4 TINJAUAN PUSTAKA Hara Mineral Tumbuhan Tumbuhan merupakan organisme autotrofik. Mereka hidup sangat bergantung pada lingkungan sekitarnya, mengambil CO2 dari atmosfer dan air serta mineral dari dalam tanah. Berbagai hara mineral dibutuhkan tumbuhan untuk melangsungkan kegiatan metabolisme, pertumbuhan, dan perkembangannya. Berdasarkan kebutuhan tumbuhan, hara mineral tersebut dapat dibedakan menjadi hara makro (dibutuhkan dalam jumlah besar) dan hara mikro (dibutuhkan dalam jumlah lebih sedikit). Ketersediaan hara mineral makro dan mikro tersebut sangat penting karena setiap zat mempunyai kegunaan yang berbeda-beda. Hal itu pula yang mengakibatkan kebutuhan tumbuhan untuk setiap zat berbeda-beda jumlahnya (Taiz & Zeiger 1991). Perbedaan kandungan berbagai hara dalam jaringan tumbuhan menunjukkan perbedaan kebutuhan akan hara tersebut (Lampiran 1). Unsur karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O) merupakan unsur utama penyusun makromolekul berupa karbohidrat, protein, lipid dan asam nukleat. Hara mineral tersebut dapat bersumber dari H2O dalam tanah, CO2 dan O2 dari atmosfer. Senyawa-senyawa tersebut dibutuhkan dalam berbagai kehidupan tumbuhan. Nitrogen (N) merupakan penyusun asam amino (protein), klorofil, koenzim, dan asam nukleat. Di alam, nitrogen melimpah dalam bentuk N2 bebas (78%) yang belum siap diserap oleh tanaman. Untuk menjadikan dalam bentuk tersedia (NO3- dan NH4+) diperlukan proses nitrifikasi oleh bakteri di dalam tanah. Fosfor (P) dibutuhkan tumbuhan untuk menyusun asam nukleat, fosfolipid, beberapa koenzim dan ATP ( Adenosin Tri Fospat). Fosfor tersedia di alam dalam bentuk H2PO4- dan HPO42-. Gejala kekurangan unsur hara ini ditunjukkan oleh tanaman dengan timbulnya warna keunguan pada bagian bawah daun. Kalium (K) merupakan hara makro yang berperan sebagai kofaktor dalam sintesis protein, menjaga keseimbangan air dan terlibat dalam pergerakan stomata. Hara ini tersedia dalam bentuk K+ yang larut air di dalam tanah. Gejala defisiensi K+ terlihat pada terhambatnya pertumbuhan (kerdil) dan menguningnya daun mulai 5 dari tepi daun menuju ke pusat. Kalsium (Ca) penting untuk pembentukan dan stabilitas dinding sel dan dalam pemeliharaan struktur dan permeabilitas membran, pengaktifan beberapa enzim dan mengatur banyak respon sel terhadap rangsangan. Magnesium (Mg) merupakan komponen utama dari klorofil. Defisiensi Mg pada tumbuhan akan menyebabkan terjadinya penguningan daun (klorosis). Mg juga berperan dalam pengaktivan enzim (Shuman 2000). Hara mikro dibutuhkan oleh semua tanaman dalam bentuk kation logam (Cu2+, Fe2+, Mn2+, Zn2+) dan anion (B-, Cl-, Mo-). Meskipun kebutuhan tanaman sedikit tetapi kekurangan unsur ini dapat menghambat pertumbuhan atau mengurangi hasil sebagaimana hara makro. Fungsi umum hara mikro merupakan komponen struktural dari enzim, baik enzim untuk pengaktivan atau pengaturan, sebagai pembawa elektron pada reaksi oksidasi reduksi, sebagai komponen dinding sel atau pengisi larutan yang berkaitan dengan osmosis dan keseimbangan muatan (Taiz & Zeiger 1991; Hopkins 1995; Campbell et al. 2003). Sumber-sumber Hara Mineral Tanah merupakan sumber unsur hara utama di alam. Tanah sangat bervariasi baik dalam hal komposisi, struktur, dan suplai nutrisi. Bagian terpenting dalam hal penyediaan nutrisi baik organik maupun anorganik disebut sebagai koloid. Koloid tanah bertanggung jawab melepaskan nutrisi ke larutan tanah sehingga tersedia untuk diserap oleh akar tanaman. Interaksi antara koloid tanah dengan unsur hara dipacu oleh muatan listrik pada permukaan koloid tanah (Gambar 1). Kation- kation diserap oleh lapisan partikel tanah yang bermuatan negatif. Perubahan keasaman tanah akibat meningkatnya konsentrasi H+ menyebabkan terjadinya perubahan muatan listrik yang akan mendorong terjadinya pelepasan ion-ion lain dari partikel tanah. Prinsip pertukaran ion tersebut sering disebut kapasitas tukar kation (KTK). KTK merupakan sifat kimia yang erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah dengan nilai KTK tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik dari pada tanah yang memiliki nilai KTK rendah (Taiz & Zeiger 1991). 6 Partikel tanah Gambar 1 Prinsip perubahan muatan kation pada permukaan partikel tanah (Taiz & Zeiger 1991). Selain hara mineral yang secara alami terkandung dalam tanah, berbagai hara seperti nitrogen melibatkan mikroorganisme dalam penyediaannya di dalam tanah. Proses fiksasi N2 oleh bakteri Rhizobium, dan nitrifikasi oleh Nitrosomonas, Nitrosococcus dan Nitrobacter, memungkinkan N2 bebas di atmosfer diubah menjadi NH3 dan selanjutnya diubah menjadi NO3- yang siap diserap oleh tumbuhan. Hara P dan K juga banyak tersedia dalam tanah sebagai hasil aktivitas bakteri pelarut P dan K (Hopkins 1995). Jadi, secara alamiah tanah telah mengandung berbagai unsur hara bagi tumbuhan. Namun demikian, penggunaan tanah untuk budidaya berbagai macam tanaman telah menyebabkan terjadinya penurunan kandungan hara tersebut, sehingga tanah tidak lagi mencukupi kebutuhan tanaman. Oleh sebab itu pertanian saat ini sangat bergantung pada pemupukan untuk menyediakan unsur hara bagi tanaman. Pemupukan terutama dilakukan untuk menambah kandungan hara N, P, K, dan S. Pemupukan dengan pupuk anorganik telah secara intensif dilakukan sejak tahun 1960an. Dengan pemakaian bibit unggul yang tanggap terhadap pemupukan, pupuk anorganik seperti Urea, KCL, dan TSP memberikan sumbangan nyata terhadap peningkatan produksi pertanian. Sejak itu, petani menggunakan pupuk buatan dan mengesampingkan pupuk organik karena lebih mudah dan murah serta lebih cepat direspon oleh tanaman. Penggunaan pupuk anorganik yang terlalu lama dan berlebihan ternyata telah menyebabkan 7 kerusakan sifat fisik dan kimia tanah serta menurunkan kandungan mikroorganisme dalam tanah. Oleh sebab itu berbagai kajian penggunaan pupuk organik untuk mempertahankan kesuburan tanah telah banyak dilakukan dan menunjukkan hasil yang memuaskan. Meskipun respon tanaman terhadap pupuk organik lebih lama, pupuk organik dapat mempertahankan tingkat produksi tanaman (Bekti & Surdianto 2001). Penggunaan pupuk organik berupa kompos dapat meningkatkan kandungan hara seperti N, P, K, Ca, dan Mg. Pupuk jenis ini mudah tersedia bagi tanaman. Hal tersebut dapat menutupi kekurangan kandungan hara pada tanah miskin (Sudarsana 2000). Pemanfaatan Pupuk Organik dan Pupuk Hayati Dalam usaha untuk memperbaiki kondisi tanah akibat penggunaan pupuk kimia yang berlebihan maka banyak kalangan yang memanfaatkan berbagai jenis pupuk berbahan dasar bahan organik. Selain tujuan tersebut, penggunaan pupuk hayati yang mengandung mikroorganisme juga dilaporkan banyak meningkatkan produksi berbagai tanaman. Bekti dan Surdianto (2001) melaporkan penggunaan pupuk kompos 1500 kg/ha mampu meningkatkan produksi padi dan efisiensi penggunaan pupuk SP-36 dan KCL. Kompos yang digunakan adalah kompos kotoran sapi dengan pakan utama jerami padi hasil fermentasi. Selain itu, penggunaan pupuk kompos juga dapat memperbaiki meningkatkan aerasi. struktur tanah dan Bahan organik merupakan sumber utama energi atau menjadi bahan makanan bagi aktivitas jasad mikro tanah. Penambahan bahan organik dengan rasio C/N tinggi mendorong pembiakan jasad renik dan mengikat beberapa unsur hara tanaman. Anwar (1993) melaporkan pemberian kompos yang berasal dari biomassa Gliricidia dan kacang tanah memberikan hasil kedelai lebih tinggi. Nuraini dan Puspitasari (2004) menambahkan, pemanfaatan bahan organik meningkatkan N-total tanah, P-tersedia, K-tersedia, dan tinggi tanaman jagung. Penggunaan pupuk kombinasi antara organik dan anorganik dapat digunakan sebagai alternatif teknologi budidaya untuk tanaman padi (Sebayang et al. 2004). Penggunaan pupuk kompos dengan berbagai bahan organik dapat membantu 8 menekan penggunaan pupuk buatan pada budi daya sayur-sayuran seperti kangkung darat (Ipomoea reptans Poir) (Harijati et al. 1996) dan tanaman kubis (Lologau & Thamrin 2005). Selain itu, Rubiyo et al. (2005) melaporkan penggunaan pupuk kandang dapat meningkatkan produktivitas tanaman kopi. Pemanfaatan pupuk hayati berupa mikoriza yang dikombinasikan dengan pupuk kompos Azolla efektif meningkatkan pertumbuhan luas daun, jumlah cabang produktif, dan persentase infeksi mikoriza pada tanaman kedelai. Kompos tersebut juga efektif meningkatkan luas daun, bobot kering akar, dan bobot biji per tanaman. Pemberian mikoriza dan kompos Azolla dapat mengurangi penggunaan pupuk N dan P hingga 15 % dari rekomendasi dalam meningkatkan kadar N jaringan, serapan P, dan jumlah polong per tanaman (Begananda & Rokhminarsi 2004). Harjoso dan Utari (2004) menambahkan penggunaan pupuk hayati pada tanaman kedelai dapat mengefisienkan penggunaan pupuk N 50% hingga 100%. Pemanfaatan Mikroba sebagai Pupuk Hayati Permasalahan utama dalam penggunaan pupuk hayati adalah rendahnya kandungan unsur hara dalam pupuk tersebut. Menurut Isroi (2005) kompos yang matang kandungan haranya kurang lebih mengandung : 1.69% N, 0.34% P2O5, dan 2.81% K. Dengan kata lain 100 kg kompos setara dengan 1.69 kg Urea, 0.34 kg SP 36, dan 2.18 kg KCl. Misalnya untuk memupuk padi dibutuhkan dosis sebesar 200 kg Urea/ha, 75 kg SP 36/ha dan 37.5 kg KCl/ha, maka jika menggunakan kompos dibutuhkan dosis sebanyak 22 ton/ha. Jumlah kompos yang demikian besar ini memerlukan banyak tenaga kerja dan berimplikasi pada naiknya biaya produksi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut pemanfaatan mikroba tanah untuk meningkatkan unsur hara bagi tumbuhan telah banyak dilakukan. Pemanfaatan mikroba ini didasari pada kemampuan mikroba tersebut untuk menyediakan hara dalam tanah . Penggunaan bakteri Rhizobium pada budi daya tanaman kacangkacangan dikarenakan bakteri tersebut mampu menambat nitrogen bebas di atmosfer sehingga dapat diubah bentuknya menjadi tersedia bagi tanaman. Namun 9 mikroba tersebut terbatas penggunaannya pada famili leguminoseae. Sedangkan Mikroba penambat N non-simbiotik misalnya: Azospirillum sp. dan Azotobacter sp. dapat digunakan untuk semua jenis tanaman. Selain bakteri penambat N, bakteri pelarut P dan K seperti Aspergillus sp., Penicillium sp., Pseudomonas sp., dan Bacillus megaterium mampu melepaskan unsur P dan K yang terikat pada partikel tanah menjadi tersedia bagi tanaman ( Atlas & Bortha 1998). Kelompok mikroba lain yang juga berperan dalam penyerapan unsur P adalah Mikoriza yang bersimbiosis dengan akar tanaman. Setidaknya ada dua jenis mikoriza yang sering dipakai untuk biofertilizer, yaitu: ektomikoriza dan endomikoriza. Mikoriza berperan dalam melarutkan P dan membantu penyerapan hara P oleh tanaman. Selain itu tanaman yang bermikoriza umumnya juga lebih tahan terhadap kekeringan. Contoh mikoriza yang sering dimanfaatkan adalah Glomus sp. dan Gigaspora sp. Mishra dan Pabbi (2004) menambahkan pemanfatan Cyanobacteria sebagai pupuk hayati sangat berpotensi meningkatkan produksi padi karena mampu meningkatkan penambatan N2 bebas. Manfaat lain dari penggunaan pupuk hayati adalah sebagai kontrol biologi terhadap berbagai macam jenis penyakit tumbuhan. Pupuk hayati yang diaplikasikan pada proses pembibitan kacang buncis (Vigna mungo) mampu menekan munculnya penyakit busuk akar hingga 77% dan meningkatkan daya kecambah hingga 20% (Mohammad & Hossain 2003). Penggunaan pupuk yang mengandung jamur Gliocladium sp. dengan dosis 10 dan 20 cc/liter air dapat menekan serangan penyakit Fusarium sp. pada tanaman tomat sebesar 16,32 – 25,63% (Rosmahani et al. 2001). Hasil penelitian Hafeez et al. (2006) menunjukkan penggunaan berbagai isolat bakteri dari Brazil, Indonesia, Mongolia, dan Pakistan telah menghasilkan hormon auksin, siderofor, dan pelarut P. Pemanfaatan isolat Bacillus turnilus telah meningkatkan produksi tanaman gandum, padi, dan jagung. Pembuatan kompos serasah tanaman yang dibuat secara aerobik dan diaktivasi dengan mikroba genus Cephalosporium sp. mampu meningkatkan kualitas pupuk tersebut dan merangsang peningkatan produksi pada tanaman tomat hingga 24 % (Kostov et al. 1996). 10 Interaksi antara Mikroba dan Tumbuhan Interaksi positif dan negatif tidak hanya terjadi antar mikroba tetapi juga antara mikroba dengan tanaman. Daerah rhizosphere merupakan zona yang sangat didominasi interaksi komensalisme dan mutualisme antara tanaman dengan mikroba. Ekto dan endomikoriza memberikan tanaman air dan mineral, sedangkan tanaman memberikan hasil fotosintesis kepada fungi tersebut. Dalam kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan, interaksi mutualistik akan sangat penting bagi kehidupan tanaman. Asosiasi antara bakteri pengikat nitrogen dengan tanaman tertentu menyediakan kebutuhan nitrogen bagi tanaman dan ekosistem. Permukaan udara di sekitar tanaman merupakan habitat bagi berbagai mikroba komensal. Namun demikian, sisi negatif dari interaksi tersebut adalah munculnya berbagai penyakit akibat virus, bakteri, dan jamur yang dapat menghilangkan nilai ekonomi dari berbagai tanaman ( Atlas & Bortha 1998). Akar tanaman menjadi habitat yang sangat cocok untuk pertumbuhan berbagai mikroorganisme sehingga berbagai macam populasi mikroba dapat ditemukan di sekitar akar tanaman tersebut. Interaksi antara mikroba tanah dengan akar tanaman sangat penting bagi penyediaan nutrisi baik untuk tanaman maupun mikroba itu sendiri. Hal tersebut tampak dari banyaknya mikroba yang ditemukan di daerah rhizosphere. Rhizosphere adalah lapisan tipis dari tanah yang melekat pada sistem perakaran tanaman. Ukuran rhizosphere tergantung pada struktur akar tanaman, tetapi secara umum daerah yang berinteraksi dengan tanah sangat luas. Sebagai contoh, sistem perakaran tanaman gandum memiliki panjang lebih dari 200 meter. Dengan asumsi rata-rata diameter akar adalah 0.1 mm, maka luas permukaan akar adalah 6 meter persegi. Meskipun hanya 4-10% wilayah yang langsung berinteraksi dengan mikroba, sebagian besar mikroorganisme berasosiasi dengan akar di wilayah rhizosphere ( Atlas & Bortha 1998). Struktur sistem perakaran tanaman sangat berperan dalam keberadaan populasi mikroba di daerah rhizosphere. Interaksi antara akar tanaman dengan mikroorganisme rhizosphere didasarkan pada besarnya perubahan lingkungan tanah oleh berbagai proses seperti penyerapan air oleh tanaman, pelepasan bahan organik tanah oleh tanaman, produksi faktor-faktor pertumbuhan tanaman oleh 11 mikroba dan penyediaan berbagai hara mineral oleh mikroba. Populasi mikroba di daerah rhizosphere dapat menguntungkan bagi tanaman dalam berbagai hal termasuk peningkatan daur ulang dan pelarutan hara mineral, sintesis vitamin, asam amino, auksin, sitokinin, dan giberelin yang memacu pertumbuhan tanaman dan mempunyai sifat antagonisme terhadap patogen tanaman dengan memproduksi antibiotik ( Atlas & Bortha 1998). Salah satu interaksi antara mikroba dengan akar tanaman adalah pembentukan nodul yang berperan dalam penambatan nitrogen bebas. Nodul merupakan salah satu mekanisme sistem simbiosis oleh mikroorganisme untuk mendapatkan karbon dengan kemampuan menambat N2 bebas. Beberapa mikroorganisme yang mempunyai kemampuan membentuk nodul adalah bakteri genus Rhizobium dan Bradyrhizobium. Genus tersebut mampu menambat nitrogen bebas setelah bersimbiosis dengan beberapa kelompok tanaman terutama jenis polong-polongan (legum). Namun demikian, bakteri tersebut tidak dapat mengikat N2 saat hidup bebas. Tanaman legum akan mendapatkan nitrogen yang terikat, sedangkan Rhizobium dapat melanjutkan kehidupannya dengan mendapatkan hasil fotosintesis, air, dan nutrisi lainnya dari legum. Hal tersebut akan menjadikan suatu hubungan yang sangat bermanfaat mengingat kemampuan yang terbatas tanaman untuk mengikat nitrogen. Tanaman legum seperti kedelai merupakan salah satu komoditas pertanian yang penting. Hal tersebut karena kedelai mengandung nutrisi jenis protein yang tinggi. Dengan kemampuan membentuk nodul pada akar-akarnya, kedelai akan mampu menyediakan banyak nitrogen sebagai bahan utama pembentukan protein (Marschner 1995). . Secara bologi pengikatan nitrogen dapat ditunjukkan dengan persamaan kimia berikut, dimana 2 mol amonia terbentuk dari 1 mol gas nitrogen, memerlukan 16 mokekul ATP dan suplai elektron dan proton: N2 + 8H+ + 8e- + 16 ATP 2NH3 + H2 + 16ADP + 16 Pi Reaksi di atas dapat dilakukan oleh organisme prokariot seperti bakteri, menggunakan kompleks enzim nitrogenase. Reaksi terjadi ketika N2 terikat oleh enzim nitrogenase. Protein Fe akan tereduksi dengan elektron yang diberikan oleh feredoxin. Kemudian Fe protein tersebut mengikat ATP dan mereduksi Mo-Fe 12 protein, yang memberikan elektronnya kepada N2, menghasilkan NH3. Hasil pengikatan N dalam nodul tanaman kedelai biasanya berbentuk Ureides. Selengkapnya seperti pada bagan berikut: Gambar 2 Bagan pengikatan nitrogen pada bakteri dalam nodul ( Deacon 2006) Selain mikroba pengikat nitrogen (N2), hal yang tak kalah penting adalah keberadaan berbagai bakteri yang berperan dalam penyediaan hara mineral fosfor (P) dan kalium (K) seperti Aspergillus sp., Penicillium sp., Pseudomonas sp., dan Bacillus megaterium. Pemanfaatan bakteri pelarut P dan pelarut K seperti Bacillus megaterium telah dilaporkan Han dan Lee (2005) yaitu mampu meningkatkan tingkat serapan hara baik N, P, dan K pada tanaman Solanum torvum. Selain itu juga terdapat peningkatan pada respon bobot kering akar dan batangnya. Pada tanaman legum pemanfaatan bakteri pelarut P Pseudomonas sp. telah memacu peningkatan jumlah nodul, berat kering nodul, ketersediaan hara, dan tingkat serapan hara tanaman kedelai ( Son et al. 2006). 13 BAHAN DAN METODE Bahan Tanaman Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman budi daya yang meliputi jagung (Zea mays L.) Pioneer, padi (Oryza sativa L.) varietas IR 64, kedelai (Glycine max L.) varietas Wilis, kacang tanah (Arachis hypogaea L.), dan caisim (Brassica chinensis L. ) varietas Pendawa. Tanah Percobaan dan Kompos Tanah yang digunakan sebagai media percobaan meliputi jenis latosol asal Bogor untuk tanaman kacang tanah dan caisim, aluvial asal Karawang untuk padi dan jagung, serta grumosol asal Cianjur untuk kedelai. Masing-masing tanah yang digunakan sebanyak 5 kg/pot kecuali untuk tanaman jagung sebanyak 7 kg/pot. Sebelum percobaan dilakukan uji fisik dan kimia tanah di Laboratorium Kesuburan dan Kimia Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Kompos yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari pusat pengolahan limbah kampus IPB Darmaga, Bogor . Bahan dasar kompos meliputi sampah dedaunan, jerami padi, dan kotoran ternak asal lingkungan kampus IPB Darmaga. Mikroba aktivator yang digunakan merupakan campuran dari Pseudomonas, Bacillus, Azotobacter, Azospirillum, Rhizobium, dan pelarut P koleksi Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, FMIPA, IPB, Bogor. Dosis yang digunakan adalah 10% dari dosis kompos. Masing-masing biakan bakteri yang digunakan memiliki kepadatan populasi sebesar 109 sel/ml. Waktu dan Tempat Percobaan Penanaman dilakukan di rumah kaca kebun percobaan Cikabayan kampus IPB Darmaga Bogor mulai bulan Desember 2006 hingga April 2007. Analisis serapan hara dilakukan di Laboratorium Kesuburan dan Kimia Tanah Departemen 14 Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan Fakultas Pertanian IPB, sedangkan analisis kandungan hormon IAA (auksin) dilakukan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan Departemen Biologi, FMIPA, IPB, Bogor mulai bulan Maret hingga Oktober 2007. Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) untuk masing-masing jenis tanaman dengan perlakuan media terdiri dari 4 taraf yaitu I. Tanpa pupuk, II. 100% pupuk biologi (dosis 100 g/pot), III. 100% pupuk anorganik, IV. Kombinasi pupuk biologi dan pupuk anorganik dengan perbandingan 50%: 50%. Pupuk biologi yang digunakan adalah kompos yang diperkaya mikroba Pseudomonas, Bacillus, Azotobacter, Azospirillum, Rhizobium, dan pelarut P. Dosis pupuk anorganik adalah 0.5 g/pot Urea; 0.5 g/pot SP-36; 0.375 g/pot KCl untuk padi, jagung, caisim dan 0.125 g/pot Urea; 0.5 g/pot SP-36; 0.375 g/pot KCl untuk kedelai dan kacang tanah. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Pemeliharaan Pemeliharaan yang dilakukan antara lain penyiraman tanaman, penyiangan, dan pengendalian hama dan penyakit. Pengendalian penyakit cendawan pada tanaman kacang tanah dilakukan dengan menggunakan fungisida Dhitane M.45 dengan dosis 1-2 kg/ha. Pemanenan dan Uji Hasil Pemanenan dilakukan 90 hari setelah tanam (HST) pada tanaman jagung, kedelai, dan kacang tanah. Tanaman padi dipanen pada 120 HST, sedangkan caisim dipanen pada 40 HST. Sejak 10 HST dilakukan analisis morfologi tanaman setiap seminggu sekali hingga pemanenan. Parameter yang diukur antar lain bobot kering tajuk, bobot kering akar, bobot kering biji, tinggi tajuk, jumlah 15 daun, jumlah cabang (kedelai dan kacang tanah), jumlah anakan (padi), tingkat senesen (jagung), dan jumlah nodul (kedelai). Selain itu, pada akhir fase pertumbuhan vegetatif dilakukan pemanenan untuk uji kandungan hormon IAA dan tingkat serapan hara. Analisis Jaringan Tanaman Tingkat serapan dan kadar hara yang dianalisis meliputi N dengan metode Kjedahl, analisis hara P dan K menggunakan metode pengabuan basah dengan kuantifikasi masing-masing menggunakan UV-vis Spektrofotometer dan Flamenofotometer. Analisis hormon IAA (auksin) dilakukan dengan kombinasi metode Unyayar et al. (1996) untuk ekstraksi dan metode spektrofotometer dengan reagen Salkowski (Pattern & Glick 2002) untuk pengukuran kadar hormon. Sebanyak 1 gram sampel daun atau akar segar digerus menggunakan cawan porselin hingga halus. Ekstrak dilarutkan dengan 60 ml pelarut (36 ml metanol: 15 ml kloroform: 9 ml NH4OH 2N), kemudian ditambahkan 25ml akuades. Larutan kloroform dipisahkan menggunakan corong pemisah dengan membuang fase sebelah bawah. Larutan metanol diuapkan menggunakan mesin evaporator (Heidolp VV2000) hingga tidak terdapat gelembung udara. Fase air yang diperoleh ditambahkan dengan larutan HCl 1 N untuk mendapatkan larutan pada pH 2,5. Kemudian larutan diekstraksi sebanyak 3 kali dengan pelarut etilasetat 15 ml dan diambil fase sebelah atas. Fase etilasetat diuapkan dengan mesin evaporator hingga larutan tinggal tersisa kurang lebih 2 ml . Untuk pengukuran kadar hormon sebanyak 1 ml larutan hasil ekstraksi di atas ditambahkan dengan 4 ml larutan reagen Salkowski (150ml H2SO4 pekat: 250 ml akuades: 7ml FeCl3.6H2O 0,5M), kemudian diinkubasi dalam ruang gelap pada suhu kamar selama 1 jam. Selanjutnya larutan diukur absorbannya menggunakan spektrofotometer (Double Wavelength-Double Beam Spectrophotometer Hitachi 557) pada panjang gelombang 510 nm. Kadar hormon IAA diperoleh dengan membuat rumus kurva standar menggunakan hormon IAA standar pada konsentrasi 0, 10, 15, 20, 30, dan 40 ppm. 16 Analisis Data Analisis data dilakukan dengan uji ANOVA menggunakan program SPSS 12 for Windows, kemudian dilakukan uji lanjutan dengan uji Tukey pada taraf kepercayaan 95%.