1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi merupakan salah satu masalah klasik dalam bidang kesehatan yang terus berkembang. Di daerah tropis seperti Indonesia, keadaan udara yang lembab, berdebu serta temperatur yang hangat menyebabkan mikroba dapat tumbuh dengan subur. Infeksi dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan protozoa (Gibson, 1996). Pembentukan biofilm merupakan salah satu sifat patogenis bakteri dalam proses infeksi kronis. Biofilm dapat meningkatkan toleransi mikroba secara signifikan terhadap terapi antimikroba dan respon hospes (Hentzer & Givskov, 2003). Biofilm adalah proses pertahanan diri suatu bakteri terhadap suatu kondisi yang mengancamnya. Pembentukan biofilm merupakan perhatian utama dalam infeksi nosokomial atau infeksi yang berasal dari rumah sakit karena dapat melindungi mikroorganisme dari antibiotik, yang dapat menyebabkan infeksi kronis dan sepsis sehingga proses pembentukan biofilm sangat membantu pemahaman tentang proses infeksi (Marti et al., 2009). Munculnya istilah back to nature mungkin sudah bukan hal yang asing bagi kita. Berbagai macam tumbuhan yang hidup di bumi ini pun memiliki khasiat sebagai obat-obatan. Kembalinya masyarakat kepada pengobatan tradisional dikarenakan sedikitnya efek samping yang didapat dan harganya pun ekonomis. 2 Hal ini memicu banyaknya penelitian yang dilakukan untuk membuktikan secara ilmiah. Ageratum conyzoides L. (bandotan) merupakan salah satu tumbuhan yang memiliki banyak khasiat. Tumbuhan ini mudah didapat di Indonesia. Masyarakat luas pun sudah banyak yang menggunakan tanaman ini sebagai obat tradisional. Salah satu khasiat dari tanaman bandotan adalah untuk mengobati sakit tenggorokan (Wijayakusuma et al., 1994). Sakit tenggorokan merupakan salah satu penyakit mulut yang disebabkan oleh mikroba yang berkembangbiak di dalam mulut. Mulut merupakan tempat yang ideal untuk tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme karena mulut memiliki kelembaban serta memiliki asupan makanan yang teratur. Mikroba-mikroba yang terdapat di dalam mulut antara lain Candida albicans, Streptococcus viridans, S. aureus, S. mutans, Lactobacillus, Solobacterium moorei, S.mutans dan Lactobacillus (Lee, 1992). Berkembangnya biofilm biasanya seiring dengan bertambahnya infeksi klinis pada sel inang sehingga biofilm ini dapat menjadi salah satu faktor virulensi dan resistensi. Pembentukan biofilm dapat dipacu dengan keberadaan serum dan saliva dalam lingkungannya (Nikawa et al., 1997). Candida albicans merupakan yeast yang dapat menyebabkan infeksi lokal dan sistemik terhadap manusia (Najafi & Nejad, 2011). Sedangkan Methicillin resistant S. aureus adalah bakteri Gram positif yang merupakan penyebab utama infeksi nosokomial. Bakteri ini dapat membentuk biofilm yang lebih lanjut menyebabkan berbagai infeksi akut (Obritsch et al., 2005). 3 Hasil penelitian pendahuluan yang sudah dilakukan terhadap daun bandotan, menunjukkan adanya aktivitas antibakteri dengan metode dilusi cair. Menurut Wijayanti (1998), ekstrak metanol dan isolat aktif daun bandotan mengandung senyawa polifenol yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap S. aureus ATCC 25923 dengan nilai MIC sebesar 5,0% b/v, sedangkan untuk Escherichia coli ATCC 25922 adalah sebesar 20,0% b/v. Aktivitas antimikroba dan antibiofilm terhadap C. albicans ATCC 10231 dan MRSA ekstrak etanol, ekstrak kombinasi etanol-air dan ekstrak air daun bandotan belum pernah dilaporkan. Digunakan ekstrak etanol dikarenakan dalam penyarian, pelarut etanol merupakan pelarut umum yang sering digunakan karena memiliki polaritas yang tinggi sehingga dapat mengekstrak bahan lebih banyak dibandingkan jenis pelarut organik yang lain. Etanol mempunyai titik didih yang rendah dan cenderung aman (Depkes RI, 1995). Etanol juga tidak beracun dan berbahaya. Penggunaan ekstrak air dikarenakan disesuaikan dengan penggunaan masyarakat yang biasa memakai tanaman ini dengan cara direbus. 4 B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah perbandingan aktivitas antimikroba pada ekstrak etanol, ekstrak etanol-air dan ekstrak air terhadap C. albicans ATCC 10231 dan MRSA? 2. Apakah ekstrak daun bandotan memiliki daya hambat pembentukan biofilm terhadap C. albicans ATCC 10231 dan MRSA? 3. Apakah golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak daun bandotan tersebut? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan adalah untuk mengetahui perbandingan aktivitas antimikroba terhadap C. albicans ATCC 10231 dan MRSA, untuk mengetahui daya hambat pembentukan biofilm dari ekstrak daun bandotan terhadap kedua mikroba tersebut, serta golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak daun bandotan. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat membuktikan secara ilmiah aktivitas antimikroba dan antibiofilm ekstrak daun bandotan terhadap C. albicans ATCC 10231 dan MRSA serta mengetahui golongan senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas tersebut. 5 E. Tinjauan Pustaka 1. Uraian tentang antimikroba Antimikroba merupakan zat yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan digunakan untuk kepentingan pengobatan infeksi pada manusia dan hewan. Antimikroba terdiri dari antibakteri, antiprotozoa, antifungi dan antivirus (Fardiaz, 1983). Suatu antibakteri dapat memiliki spektrum luas apabila dapat membunuh bakteri Gram negatif dan Gram positif, spektrum sempit apabila hanya membunuh Gram positif atau Gram negatif saja, dan spektrum terbatas apabila efektif terhadap satu spesies bakteri tertentu (Dwijoseputro, 1990). Menurut Pelczar & Chan (1986), bakteri merupakan sel hidup, oleh karena itu struktur sel bakteri hampir sama dengan jenis sel mahluk hidup yang lainnya. Mekanisme kerja antibakteri dapat berlangsung melalui beberapa cara, diantaranya menghambat sintesis dinding sel, menghambat keutuhan permeabilitas dinding sel, menghambat protein pada dinding sel, menghambat sintesis asam nukleat, dan menghambat metabolisme sel mikroba. 2. Uraian tentang biofilm Biofilm merupakan kumpulan populasi bakteri yang melekat pada permukaan dan terperangkap dalam matriks extracellular polymeric substance (EPS). Extracellular polymeric substance (EPS) adalah biopolimer yang dihasilkan mikroba dimana biofilm itu melekat. Kebanyakan EPS tersusun atas polisakarida, sehingga merupakan polimer gula. Selain itu, EPS tersusun atas protein, glikoprotein, glikolipid dan komponen lainnya (Flemming et al., 2007). 6 Contoh biofilm adalah osteomyelitis, karies gigi, infeksi telinga tengah dan infeksi yang berhubungan dengan perangkat medis (Sandal et al., 2008). Bagi kebanyakan biofilm, matriks terutama terdiri dari polisakarida ekstraseluler. Selulosa merupakan komponen penting dari matrik E. coli, dimana dapat meningkatkan resistensi antimikroba. Matriks polisakarida lain seperti PIA (Polysaccharide Intercellular Adhesin) dalam spesies Staphylococcus berkontribusi terhadap fungsi perekat dan pelindung (Nobile & Mitchel, 2007). Kemampuan suatu mikroorganisme untuk mempengaruhi lingkungannya diantaranya tergantung pada kemampuannya untuk membentuk suatu komunitas. C. albicans membentuk komunitasnya dengan membentuk ikatan koloni yang disebut biofilm (Nobile & Mitchel, 2005). Hasil scanning mikroskop elektron menunjukkan bahwa biofilm C. albicans yang matang berisi sel dalam bentuk khamir maupun hifa yang menyisip dan terikat rapat pada bahan ektraseluler yang biasanya berbentuk fibrous (Andes et al., 2004). Menurut Tenke et al. (2004), pembentukan biofilm secara umum terdiri dari beberapa langkah utama. Langkah pertama adalah deposisi dari mikroorganisme, langkah berikutnya adalah penempelan produk eksopolimer bakteri dengan cara adhesi mikroba. Langkah selanjutnya adalah pertumbuhan, perkembangbiakan dan penyebaran. 7 3. Uraian tentang mikroba uji a. Candida albicans ATCC 10231. Sistematika C. albicans menurut Alexopoulus et al. (1996) termasuk ke dalam kingdom Fungi dan divisi Ascomycota. Bangsa dari C. albicans adalah Saccharomycetales, suku Saccharomycetaceae, dan termasuk dalam marga Candida dengan spesies C. albicans. Candida albicans merupakan jamur oportunis dengan sel berbentuk lonjong bertunas dengan ukuran 2-3 mm x 4-6 mm, mempunyai sel-sel memanjang menyerupai hifa yang disebut pseudohifa. C. albicans dapat membentuk hifa sejati dan klamidospora (Salle, 1961) Candida albicans tumbuh sebagai mikroflora normal tubuh manusia pada saluran pencernaan, pernafasan, saluran genital wanita (Jawetz et al,, 1986). Namun C.albicans dapat bersifat patogen jika jumlahnya berlebihan dan daya tahan manusia menurun (Crissey et al., 1987). Infeksi C. albicans dapat terjadi pada kulit, terutama pada bagian-bagian tubuh yang lembab dan hangat, seperti ketiak, sela-sela jari, lipatan paha, skrotum, atau lipatan-lipatan di bawah payudara. Daerah yang terkena infeksi akan menjadi merah dan mengeluarkan cairan serta dapat membentuk vesikel. Infeksi pada kulit diantara jari-jari tangan paling sering terjadi setelah pencelupan dalam air yang berulang dan lama (Jawetz et al., 1986). 8 b. Methicillin Resistant S. aureus (MRSA). Staphylococcus aureus termasuk dalam divisi Protophyta dan kelas Schizopyhta. Bakteri ini termasuk dalam bangsa Eubacteriales suku Micrococcaceae dan tergolong dalam marga Staphylococcus (Salle, 1961). Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif, tidak membentuk spora, tidak bergerak dan dapat tumbuh pada berbagai media pada suasana aerob. Bakteri ini membentuk koloni yang berwarna kuning keemasan dan dapat tumbuh dengan baik pada suhu 370C (Jawetz et al., 1986). Bakteri MRSA adalah S. aureus yang telah mengalami mutasi sehingga resisten terhadap methicillin. Bakteri ini tidak lebih infektif dibandingkan dengan tipe S. aureus yang lain tetapi lebih sulit untuk disembuhkan karena sifat resistensinya tersebut. Pada tahun 2005, terdapat 19.000 kasus kematian di Amerika dan Inggris yang disebabkan bakteri ini (Kennedy et al., 2009). 4. Media kultur Media kultur merupakan campuran bahan-bahan nutrisi yang digunakan untuk pertumbuhan mikroba di laboratorium dengan kandungan nutrisi sesuai dengan jenis mikroba. Selain itu, media harus steril dan mengandung oksigen sesuai kebutuhan mikroba serta ditumbuhkan pada pH dan suhu optimum (Tortora et al., 2001). Medium untuk pertumbuhan mikroba harus mengandung nutrisi dasar yaitu sumber karbon (C), sumber nitrogen (N), mineral (P, Mg, Ca, Na) dan vitamin (Pratiwi, 2008). 9 5. Sterilisasi Sterilisasi merupakan suatu proses penghilangan semua jenis organisme hidup, dalam hal ini mikroorganisme (protozoa, fungi, bakteri dan virus) yang terdapat pada atau di dalam suatu benda (Pratiwi, 2008). Sterilisasi dapat dilakukan dengan metode fisik, misalnya dengan pemanasan basah atau kering, radiasi dan penyaringan. Selain itu dapat dilakukan juga dengan metode kimia menggunakan senyawa-senyawa kimia antara lain alkohol (50-70%), formaldehid (8%), halogen, fenol, dan gas etilen oksida (Mahon & Manuselis, 1995). Pada penelitian ini sterilisasi alat dan bahan menggunakan autoklaf yang merupakan metode sterilisasi panas basah. Sterilisasi panas basah menggunakan temperatur di atas 1000C dilakukan dengan uap yaitu menggunakan autoklaf. Autoklaf merupakan alat serupa pressure cooker dengan pengatur tekanan dan klep pengaman. Prinsip autoklaf adalah terjadinya koagulasi yang lebih cepat dalam keadaan basah dibanding keadaan kering. Proses sterilisasi dengan autoklaf ini dapat membunuh mikroorganisme dengan cara mendenaturasi atau mengkoagulasi protein pada enzim dan membran sel mikroorganisme. Proses ini juga dapat membunuh endospora bakteri (Pratiwi, 2008). Bahan dan alat untuk uji antibakteri yang tahan panas dapat disterilisasi dengan autoklaf. Sterilisasi dengan panas kering, misalnya pada nyala api spiritus digunakan untuk bahan dan alat yang tahan panas serta tidak dapat ditembuh oleh uap panas (Mahon & Manuselis, 1995). Untuk alat-alat yang stabil secara kimia dapat disterilkan dengan etanol 70% yang efektif mendenaturasi protein mikroba. 10 6. Uji aktivitas antimikroba Mikroba diinokulasikan dalam media cair yang mengandung substansi antimikroba dengan berbagai seri kadar. Larutan pada tabung yang jernih atau dengan tingkat kekeruhan terendah ditetapkan sebagai MIC (Minimum Inhibitory Concentration). Kemudian larutan tersebut ditransfer ke media pertumbuhan padat. Jika pada media tersebut tidak ada pertumbuhan bakteri, maka kadar larutan uji tersebut ditetapkan sebagai Kadar Bunuh Minimal (KBM) (Tortora et al., 2001). Uji kepekaan cara dilusi cair dengan menggunakan tabung reaksi, tidak praktis dan jarang dipakai. Namun, kini ada cara yang lebih sederhana dan banyak dipakai yaitu menggunakan mikrodilusi cair adalah uji ini memberikan hasil kuantitatif yang menunjukkan jumlah antimikroba yang dibutuhkan untuk menghambat atau membunuh bakteri (Brooks et al., 1991). Pada pengujian menggunakan microplate flat bottom 96 wells, kemudian pembacaan absorbansi bisa langsung dilakukan dengan menggunakan alat microplate reader. 7. Uji penghambatan pembentukan biofilm Uji penghambatan pembentukan biofilm ini dapat dilakukan dengan metode mikrodilusi cair dimana akan memberikan hasil kuantitatif yang menunjukkan jumlah antimikroba yang dibutuhkan untuk menghambat atau membunuh bakteri (Brooks et al., 1991). Pengujian menggunakan microplate polysterene U-bottom 96-well yang melengkung pada bagian bawahnya. Metode pengukurannya menggunakan matrix quantification assay yang didasarkan pada pewarnaan 11 spesifik komponen-komponen matriks, yaitu menggunakan kristal violet (Peeters et al., 2008). 8. Uraian tentang tanaman bandotan (Ageratum conyzoides L.) a. Klasifikasi tanaman. Klasifikasi botani tanaman bandotan menurut Syamsuhidayat dan Hutapea (1991) adalah bandotan termasuk dalam divisi Spermatophyta dan anak divisi Angiospermae. Tanaman bandotan termasuk dalam kelas Dicotyledonae dan anak kelas Sympetalae. Bangsa dari tanaman bandotan adalah Asterales, suku Asteraceae, dan termasuk marga Ageratum dengan jenis Ageratum conyzoides L. b. Nama daerah. Nama daerah A. conyzoides L. bermacam-macam tergantung daerahnya. Daerah Sumatera tanaman bandotan dikenal sebagai Bandotan, Siangit, Rumput tahi ayam, Siangik Kahwa, Tombak Jantan, Daun Tombak. Sedangkan di daerah Jawa tanaman bandotan dikenal dengan nama Bandotan, Berokan, Kibau, Babadotan, Dus Bedusan, Jukut Bau, Wedusan, Tempuyak. Sedangkan di daerah Sulawesi, tanaman bandotan dikenal dengan nama Rukut Weru, Rukut Manoe, Lawet, Dawet (Heyne, 1987; Syamsuhidayat dan Hutapea,1991; Wijayakusuma et al., 1994). c. Morfologi tanaman. Tanaman bandotan merupakan herba satu tahun, tegak atau berbaring, dan dari bagian batangnya keluar akar. Tinggi tumbuhan ini antara 0,1-0,2 m. Batang berbentuk bulat dan berambut jarang. Daun bagian bawah berhadapan dan berbentuk bulat telur, beringgit, dengan ukuran daun 1-10 cm, kedua sisi daun 12 berambut panjang, sisi bagian bawah mempunyai kelenjar. Bongkol bunga berkelamin satu macam. Tiga atau lebih bongkol bunga berkumpul menjadi karangan bunga berbentuk malai rata yang terminal. Daun pembalut 2 atau 3 lingkaran, berbentuk runcing dengan ukuran yang tidak sama, berambut sangat jarang atau gundul. Bunga sama panjang dengan pembalut. Mahkota dengan tabung sempit dan pinggiran sempit berbentuk lonceng, berlekuk lima dengan panjang 1-1,5 mm (Van Steenis, 1975). Buah termasuk jenis buah padi. Biji kecil, berwana hitam. Tanaman ini berakar tunggang berwarna putih kotor (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). d. Habitat. Tumbuhan ini berasal dari darah tropis benua Amerika. Di Indonesia merupakan salah satu tanaman pengganggu yang terkenal. Banyak tumbuh di ladang, semak belukar, halaman, kebun, tepi jalan, dan tanggul tepi saluran air. Tumbuh dengan baik pada ketinggian 1-2100 m di atas permukaan air laut (Van Steenis, 1975). e. Kandungan kimia. Tanaman bandotan ini memiliki berbagai kandungan kimia diantaranya yaitu: saponin, flavonoid, kumarin, minyak atsiri, polifenol dan alkaloid ( Heyne, 1987; Depkes RI, 1989; Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991; Wijayakusuma et al., 1994). 9. Pembuatan ekstrak Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh 13 cahaya matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk. Penyarian dengan etanol dilakukan dengan cara maserasi atau perkolasi (Depkes RI, 1979). Ekstrak yang dibuat dari simplisia dapat dipandang sebagai bahan awal, bahan antara atau bahan produk jadi. Ekstrak dipandang sebagai bahan awal dianalogkan dengan bahan komoditi bahan baku obat yang dengan teknologi fitofarmasi diproses menjadi produk jadi. Ekstrak sebagai bahan antara berarti masih menjadi bahan yang dapat diproses lagi menjadi fraksi-fraksi, isolat senyawa tunggal ataupun tetap sebagai campuran dengan ekstrak lain. Ekstrak sebagai produk jadi berarti ekstrak yang berada dalam sediaan obat yang siap digunakan oleh penderita (Depkes RI, 2000). Tumbuhan segar yang telah dihaluskan atau material tumbuhan yang dikeringkan diproses dengan suatu metode ekstraksi. Jenis ekstraksi mana dan bahan ekstraksi mana yang digunakan tergantung dari kelarutan bahan yang dikandung serta stabilitasnya (Voight, 1984). Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor. Cairan penyari yang baik harus memenuhi kriteria diantaranya yaitu: murah dan mudah diperoleh, stabil secara fisik dan kimia, bereaksi netral, selektif dan tidak mempengaruhi zat berkhasiat (Depkes RI, 1986). Berdasarkan sifatnya, ekstrak dapat dibagi menjadi empat, yaitu: ekstrak encer (Extractum tenue), ekstrak kental (Extractum spissum), ekstrak kering (extractum siccum) dan ekstrak cair (Extractum liquidum) (Voight, 1984). 14 10. Penentuan golongan senyawa aktif antimikroba a. Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Kromatografi merupakan teknik pemisahan yang melibatkan perpindahan yang berbeda-beda dari banyak komponen pada fase diam. Pada dasarnya semua kromatografi menggunakan dua fase, yaitu fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase). Keuntungan penggunaan kromatografi adalah metode pemisahan yang cepat, mudah dan peralatan yang digunakan sederhana. Selain itu, penggunaaan cuplikan sampel sangat kecil dan dapat dilakukan berulang kali (Sastrohamidjojo, 1985). Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu metode pemisahan komponen sampel berdasarkan perbedaan afinitas terhadap fase gerak dan fase diam. Fase diam berupa bahan padat yang ditempatkan pada penyangga seperti pelat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Fase diam silika gel diberi pengikat seperti kalsium sulfat untuk memberikan kekuatan pada lapisan dan menambah gaya adhesi pada penyokong. Pelat silika gel biasanya dilapisi dengan substansi yang berflouresensi (fluorescence indicator) pada sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm untuk mempermudah deteksi keberadaan suatu senyawa (Sastrohamidjojo, 2002). Fase gerak merupakan medium dan terdiri atas satu atau lebih pelarut, bergerak di dalam fase diam yakni lapisan berpori karena adanya gaya kapiler (Stahl, 1985). Fase gerak yang digunakan dalam pemisahan sangat tergantung dari polaritas senyawa yang akan dideteksi. Sebaiknya menggunakan campuran 15 pelarut organik yang memiliki polaritas serendah mungkin. Salah satu alasannya adalah mengurangi serapan dari setiap komponen campuran pelarut. Pengembangan kromatografi dilakukan dalam bejana yang sekecil mungkin sehingga atmosfer akan bervolume sekecil mungkin (Sastrohamidjojo, 1985). Tingkat kejenuhan bejana sangat berpengaruh pada pemisahan dan letak bercak pada kromatogram. Hasil elusi dari metode KLT berupa bercak-bercak yang terpisah pada pelat KLT (kromatogram). Deteksi atau identifikasi senyawa dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Lazimnya pada KLT digunakan harga hRf (hundred Retention factor) yang menunjukkan jarak pengembangan senyawa pada kromatogram. Angka Rf berkisar antara 0,0 sampai 1,0. Nilai Rf sering dikonversi menjadi hRf yaitu 100 x Rf. .....(1) (Sastrohamidjojo, 2002) 11. Identifikasi golongan senyawa Deteksi kualitatif dapat dilakukan dengan menggunakan sinar UV pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Bercak yang meredam (dark zones) pada UV254 menunjukkan adanya senyawa yang mengabsorbsi sinar UV254. Senyawa yang tereksitasi oleh sinar UV (panjang gelombang 366 nm) dapat mengemisikan sinar fluoresen atau fosforesen berwarna kuning, merah, orange, hijau, biru atau ungu (Sherma & Fried, 1996). 16 Apabila deteksi ini tidak tampak maka dapat dilakukan deteksi warna dan kimia seperti penggunaan anisaldehid-H2SO4 sebagai pereaksi semprot umum yang biasanya digunakan untuk mendeteksi golongan terpenoid dan pereaksi semprot FeCl3 untuk mendeteksi adanya golongan fenol (Wagner et al., 1984). a. Deteksi senyawa polifenol. Polifenol memiliki spektrum luas dengan sifat kelarutan pada suatu pelarut yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh gugus hidroksil pada senyawa tersebut yang dimiliki berbeda jumlah dan posisinya. Dengan demikian, ekstraksi menggunakan berbagai pelarut akan menghasilkan komponen polifenol yang berbeda pula. Sifat antibakteri yang dimiliki oleh setiap senyawa yang diperoleh dari ekstraksi tersebut juga berbeda. Fitokimia polifenol banyak terdapat pada buah–buahan dan sayur–sayuran hijau, penelitian pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa polifenol dapat mengatur kadar gula darah seperti anti kanker, anti oksidan dan anti mikroba (Harborne, 1987). Untuk mendeteksi senyawa polifenol menggunakan pereaksi semprot FeCl3 dan sebagai pembanding menggunakan asam galat supaya dapat menegaskan senyawa yang dimaksud. Penggunaan besi (III) klorida dapat membentuk warna hijau atau hitam dengan kebanyakan senyawa fenol maupun polifenol. Ion Fe akan membentuk senyawa kompleks dengan gugus hidroksi pada senyawa fenol ataupun polifenol. Adanya fenol dapat diketahui dengan timbulnya bercak berwarna hijau, merah, ungu, biru atau hitam kuat yang terjadi karena terbentuknya kompleks antara fenol dengan FeCl3 (Harborne, 1987). 17 b. Deteksi senyawa flavonoid. Flavonoid adalah pigmen tanaman yang tersebar luas di dalam tanaman, dalam bentuk aglikon. Dalam tumbuhan, aglikon flavonoid terdapat dalam berbagai struktur. Semuanya mengandung 15 atom karbon sebagai struktur intinya, tersususn dalam konfigurasi C6-C3-C6. Flavonoid terdapat dalam semua bagian tanaman hijau sehingga pasti ditemukan dalam setiap ekstrak tumbuhan (Markham, 1988). Gambar 1. Struktur Flavonoid ( Markham, 1988) Aglikon flavonoid adalah polifenol, oleh karena itu mempunyai sifat senyawa fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga dapat larut dalam basa. Bersifat polar dan cukup larut dalam etanol, metanol, butanol, aseton, dimetil sulfoksida, air dan sebagainya. Adanya gula menyebabkan flavonoid lebih mudah larut dalam air (Claus et al,1970). Sebaliknya aglikon yang kurang polar seperti isoflavon, flavonon, flavon, serta flavonol yang termetoksi cenderung lebih mudah larut dalam pelarut organik seperti eter dan kloroform. Meskipun sulit untuk menentukan aturan umum kelarutan flavonoid, namun saat bahan tanaman segar diekstraksi, metanol atau etanol akan memindahkan sebagian besar flavonoid (Claus et al,1970). Flavonoid berupa senyawa fenol, oleh karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau ammonia. Flavonoid mengandung sistem aromatik yang 18 terkonjugasi sehingga akan menunjukkan pita serapan yang kuat pada sinar UV dan sinar tampak. Analisis dengan KLT dan penampakan dengan pereaksi AlCl3, flavonoid akan tampak berupa bercak berwarna kuning dan tergantung strukturnya, flavonoid akan berfluoresensi kuning, biru, atau hijau di bawah UV 365nm (Harborne, 1987). c. Identifikasi senyawa saponin. Saponin adalah suatu glikosida yang mungkin ada pada banyak macam tanaman. Saponin ada pada seluruh tanaman dengan konsentrasi tinggi pada bagian-bagian tertentu, dan dipengaruhi oleh varietas tanaman dan tahap pertumbuhan. Fungsi dalam tumbuh-tumbuhan tidak diketahui, mungkin sebagai bentuk penyimpanan karbohidrat, atau merupakan waste product dari metabolisme tumbuh-tumbuhan. Kemungkinan lain adalah sebagai pelindung terhadap serangan serangga (Hostettmann & Marston, 1995) Sifat-sifat saponin antara lain yaitu mempunyai rasa pahit, dalam larutan air membentuk busa yang stabil, menghemolisa eritrosit, merupakan racun kuat untuk ikan dan amfibi, membentuk persenyawaan dengan kolesterol dan hidroksisteroid, sulit untuk dimurnikan dan diidentifikasi, dan berat molekul relatif tinggi. Berdasarkan atas sifat kimiawinya, saponin dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu steroid dengan 27 atom C dan triterpenoid dengan 30 atom C (Harborne, 1987). 19 1. Uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Saponin dalam tanaman terdapat dalam bentuk glikosida yang akan membentuk sabun dengan penambahan air. Cara deteksi pada plat KLT dengan penyemprotan anisaldehid asam sulfat, diteruskan dengan pemanasan pada suhu 100-1050C selama 10 menit agar pembentukan warna sempurna. Dan sebagai pembanding menggunakan stigmasterol. Setelah disemprot dengan anisaldehid asam sulfat, bercak akan tampak berwarna ungu violet (Harborne, 1987). 2. Uji tabung. Identifikasi senyawa saponin juga dapat dilakukan dengan uji tabung, yaitu dengan ditandai terbentuknya busa setinggi lebih dari 3 cm, didiamkan setelah 30 menit setelah digojog yang kuat, jika terbentuk buih setinggi lebih dari 3 cm membuktikan adanya saponin. Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau waktu memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti akan adanya saponin (Harborne, 1987). d. Identifikasi antrakinon. Glikosida antrakinon memiliki aglikon yang sekerabat dengan antrasena yang memiliki gugus karbonil pada kedua atom C yang berseberangan (atom C9 dan C10) atau hanya C9 (antron) dan C9 ada gugus hidroksil (antranol) (Claus et al, 1970). Antrakinon Gambar 2. Struktur kimia antrakinon (Claus et al, 1970) 20 Senyawa antrakinon dan turunannya seringkali bewarna kuning sampai merah sindur (oranye), larut dalam air panas atau alkohol encer. Antrakinon yang mengandung gugus karboksilat (rein) dapat diekstraksi dengan penambahan basa, misalnya dengan natrium bikarbonat. Hasil reduksi antrakinon adalah antron dan antranol, terdapat bebas di alam atau sebagai glikosida. Untuk mendeteksi senyawa antrakinon menggunakan pereaksi semprot KOH etanolik 5% dan untuk membandingkan suatu ekstrak yang diujikan menggunakan pembanding Istizin (Harborne, 1987). F. Keterangan Empiris Melalui penelitian ini diharapkan memperoleh keterangan empiris mengenai aktivitas antimikroba terhadap Candida albicans ATCC 10231 dan MRSA, daya hambat pembentukan biofilm dari ekstrak daun bandotan terhadap kedua mikroba tersebut, serta golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak daun bandotan.