516 MODEL PENGEMBANGAN WILAYAH BERDAYA

advertisement
MODEL PENGEMBANGAN WILAYAH BERDAYA SAING
BERBASIS PADA KOMPETENSI INTI DI KABUPATEN SEMARANG
Eka Murtiasri
Jurusan Akuntansi, Politeknik Negeri Semarang, Semarang, 50264
Email: [email protected]
Abstract
This research was conducted with three main objectives: to map the region's competitiveness
criteria, to formulate policies of a competitive advantage based on the results of the
competency maps, and to draft a development strategy of the region's competitiveness in an
integrated manner in accordance with the development planning in the District of Semarang.
These objectives are set based on the problem of ineffective programs to develop the
competitiveness of the region during the last three years after the formation of clusters of
SMEs as a core competency base.
Methods Analythic Hierarchy Process (AHP) was used to identify the criteria of
competitiveness in order to obtain development priorities based on the intersection of the
needs of the entity associated: SMEs in the active cluster, escort agencies SMEs and
Apparatus District.. Through a structured questionnaires to 30 respondents representing the
three entities result that the empowerment of SMEs as the spearhead of strengthening the
competitiveness by local governments proved not to be in tune with the wishes and needs of
object so that all development programs carried out so far less effective because it is not in
the side of the needs of SMEs. The discussions in the Focus Group Discussion (FGD) with
experts, formulate the best strategy on the development of the competitiveness. The strategy
becomes the answer in aligning the needs of strengthening the competitiveness of the region
with the priority to expand the marketing of SME products, the prospect of value-added and
resource availability, differs from the Government's criteria for prioritizing the contribution
of SMEs to the PAD and strengthening infrastructure.
Keywords: SMEs, competitiveness, excellent products, core competencies.
Abstrak
Kajian ini dilakukan dengan tiga tujuan utama, yaitu memetakan kriteria daya saing wilayah,
merumuskan kebijakan keunggulan daya saing dan menyusun
konsep/strategi
pengembangan daya saing terintegrasi dengan perencanaan pembangunan Kabupaten
Semarang. Ketiga tujuan tersebut ditetapkan berdasar permasalahan tidak efektifnya
berbagai program pengembangan daya saing wilayah oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Semarang selama tiga tahun terakhir setelah terbentuknya klaster UKM sebagai basis
kompetensi inti.
Metode Analythic Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk mengidentifikasi kriteria daya
saing sehingga diperoleh prioritas pengembangan berdasar interseksi kebutuhan entitas,
yaitu pelaku UKM dalam klaster aktif, lembaga pendamping UKM dan Aparat Pemda. Hasil
jawaban 30 responden mewakili tiga entitas, menunjukkan bahwa dalam program
pemberdayaan UKM sebagai ujung tombak penguatan daya saing wilayah terbukti tidak
selaras dengan keinginan dan kebutuhan obyek sehingga semua program pemberdayaan
yang dilakukan kurang efektif karena tidak berpihak pada kebutuhan UKM. Pembahasan
hasil kajian dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan para ahli, dirumuskan strategi
terbaik pengembangan daya saing wilayah sebagai jawaban dalam penyelarasan kebutuhan
penguatan daya saing wilayah dengan kriteria: perluasan pemasaran, prospek nilai tambah
dan ketersediaan sumber daya. Usulan ini berbeda dengan kriteria Pemerintah yang
memprioritaskan kontribusi UKM ke PAD dan penguatan infrastuktur.
Kata kunci: UKM, daya saing, produk unggulan, kompetensi inti
PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097
516
PENDAHULUAN
Data Incremental Market Directory (IMD) World Competitiveness Report tahun
2013 menunjukkan peringkat daya saing Indonesia berada pada posisi 39 dari 60 negara
(skor 61.805 dari 100). Meskipun peringkat ini mengalami kenaikan jika dibandingkan
tahun 2012 (posisi 42 dari 59 negara, skor 59,5), namun masih jauh tertinggal jika
dibandingkan beberapa negara di Asia Tenggara, seperti: Singapura (posisi 5, skor
89,857), Malaysia (posisi 15, skor 83,145) dan Thailand (posisi 27, skor 72,966). Posisi
daya saing Indonesia menjadi ancaman bagi Pemerintah dalam menghadapi pasar bebas
ASEAN 2015. Beberapa faktor yang ditengarai menyebabkan rendahnya daya saing
Indonesia adalah besarnya biaya industri dan tingginya biaya ekonomi. Besarnya biaya
industri disebabkan oleh meningkatnya biaya produksi, sedangkan ekonomi biaya tinggi
terkait dengan buruknya layanan birokrasi.
Berbagai kebijakan ditetapkan Pemerintah untuk meningkatkan daya saing, di
antaranya kebijakan nasional pembangunan industri jangka menengah (2007-2010) yang
diarahkan pada strategi pengembangan dan penumbuhan UKM melalui klaster-klaster
industri untuk meningkatkan daya saing. Kebijakan ini ditindaklanjuti oleh Pemerintah
Daerah yang bersegera membentuk klaster industri untuk meningkatkan daya saing
produk di wilayahnya. Meskipun klaster-klaster industri di Kabupaten Semarang telah
dibentuk tahun 2010, namun hingga saat ini, kondisi klaster tersebut belum menunjukkan
daya saing yang signifikan. Merujuk pada penelitian Eka Murtiasri (2010) tentang
pemberdayaan UKM di Kabupaten Semarang, pembentukan kelompok usaha/klaster
terbukti secara signifikan mampu memberdayakan UKM dibandingkan dengan model
individu. Hasil penelitian tersebut ditindaklanjuti dengan kajian pembentukan klaster
usaha berdasar wilayah pada tahun 2011, sehingga terbentuklah kelompok usaha/sentra
di tujuh wilayah kecamatan (Eka Murtiasri, 2011). Pembentukan klaster ini sejalan
dengan pengelompokan 10 (sepuluh) sentra/klaster oleh Pemerintah Kabupaten
Semarang berdasar produk. Dalam kajian lanjutan diperoleh temuan bahwa dari 10 klaster
yang terbentuk, hanya tiga klaster menunjukkan ciri aktif dan memiliki potensi bersaing
di pasar global. Ketiga klaster tersebut adalah klaster makanan olahan di kecamatan
Ungaran Timur dan Ungaran Barat, klaster kerajinan tenun lidi rogo-rege di kecamatan
Bancak dan klaster kerajinan enceng gondok di kecamatan Banyubiru (Eka Murtiasri,
2012).
PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097
517
Sebagai tindak lanjut pengembangan daya saing industri model clustering,
Pemerintah Kabupaten Semarang membentuk kelompok kerja teknis (working group)
yang beranggotakan semua stakeholders, baik dari unsur pemerintah, dunia usaha,
maupun lembaga pendukung penelitian dan pendidikan untuk memunculkan
komoditas/industri unggulan wilayah sebagai ujung tombak ekonomi daerah. Penetapan
komoditas/industri unggulan untuk penguatan daya saing inilah yang selanjutnya dikenal
dengan istilah kompetensi inti. Pada konteks daerah, pemilihan kompetensi inti harus
mempertimbangkan kondisi daerah dengan tetap memperhatikan kriteria daya saing
seperti: adanya nilai tambah yang tinggi, adanya sifat yang unik, adanya keterkaitan dan
peluang untuk bersaing di pasar luar daerah (bahkan internasional). Dengan kata lain,
pemilihan dan penentuan kompetensi inti harus memberi memberi stimulus
perekonomian daerah melalui peningkatan PAD.
Penelitian tentang kompetensi inti diawali studi kelayakan oleh Aurino
Djamaris
(2007). Selanjutnya dilakukan penelitian wilayah Kabupaten/ Kota oleh
Rahmat Nurcahyo (Kabupaten Bekasi, 2010), Chumaira (2010), Kurniyati (Bangkalan,
Madura, 2011), Langoday (Belu NTT, 2011) dan Maat Pono (Tojo Una-una Sulteng 210).
Hasil penelitian tersebut menemukan komoditas/industri unggulan sebagai kompetensi
inti di wilayah yang diteliti. Di Kabupaten Semarang, penelitian tentang kompetensi inti
telah dilakukan oleh Eka Murtiasri (2014), yang memunculkan tiga produk unggulan di
Kabupaten Semarang.
Kajian ini perlu dilakukan untuk mencermati efektivitas pengembangan UKM
dalam klaster setelah empat tahun terbentuk dan menerima berbagai jenis program
pengembangan. Merujuk pada data awal yang menunjukkan bahwa dari sepuluh klaster
ternyata hanya tiga klaster yang mampu berkembang maka perlu diamati apakah strategi
pemberdayaan klaster oleh Pemerintah secara top down selama ini sudah sesuai dengan
kebutuhan UKM. Dilain pihak, Pemerintah Daerah menyatakan bahwa sulit
berkembangnya UKM bukan disebabkan kesalahan strategi tetapi karena belum
diterapkannya konsep kompetensi inti secara tepat dalam perencanaan perekonomian
daerah dan belum menjadi komitmen yang kuat dari pemerintah daerah.
Berdasar latar belakang yang dikemukakan, terdapat tiga keutamaan
dilakukannya kajian ini. Pertama, hasil kajian ini akan merumuskan kriteria utama yang
menjadi faktor prioritas pengembangan UKM dalam klaster. Kedua, kriteria yang
PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097
518
terbentuk akan terintegrasi menjadi suatu strategi pengembangan wilayah berbasis
kompetensi inti, dan ketiga, hasil kajian ini dapat menjadi model meningkatkan daya
saing UKM berbasis pada keunggulan kompetensi UKM di Kabupaten Semarang dan
menjadi role model pengembangan daya saing wilayah di Indonesia.
Permasalahan yang mengemuka dalam kajian ini merupakan akibat belum tepatnya
strategi atau program pemberdayaan yang diterapkan sehingga berdampak pada
ketidakefektifan pengembangan daya saing. Permasalahan tersebut adalah:
1.
Pembinaan dan pengembangan sektor industri khususnya industri kecil menengah di
wilayah Kabupaten Semarang selama ini belum bertumpu pada peta kompetensi dan
dan keunggulan daya saing berbasis UKM sebagai basis kompetensi inti, sehingga
usaha-usaha pembinaan bagi peningkatan daya saing wilayah melalui peningkatan
kinerja UKM sulit direalisasikan.
2.
Basis kompetensi inti dan keunggulan daya saing UKM wilayah kabupaten
Semarang selama ini belum teridentifikasi dan terpetakan secara sistematis sebagai
dasar pengembangan UKM. Akibat dari permasalahan ini, kebijakan pengembangan
UKM oleh pemerintah daerah sering mengalami tumpang tindih dan disorientasi
sehingga tidak mampu mendukung peningkatan daya saing wilayah.
3.
Tidak adanya keterlibatan secara aktif dari pihak yang diberdayakan (UKM) dan
pihak pendamping (lembaga pemberdaya UKM) dalam merumuskan strategi
pengembangan, sehingga pola pengembangan UKM selama ini belum terintegrasi.
Berdasar permasalahan yang dihadapi Pemerintah Daerah dalam mengembangkan daya
saing wilayah, kajian ini dilakukan untuk: (1) Memetakan kebutuhan kompetensi inti
berdasar usulan tiga entitas: UKM, Lembaga Pendamping UKM dan Pemda; (2)
Merumuskan kebijakan keunggulan daya saing berdasarkan peta hasil kompetensi inti
antar entitas; (3) Menyusun konsep dan strategi pengembangan daya saing secara
terintegrasi.
METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Mekanisme dan rancangan penelitian tentang penguatan daya saing ini
ditunjukkan pada gambar 1 berikut:
PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097
519
Gambar 1 : Rancangan Penelitian
Sumber: Rancangan yang disusun untuk penelitian ini, 2015
Metode Penentuan Kompetensi Inti Kabupaten Semarang
Penentuan daya saing UKM berbasis kompetensi inti dalam penelitian ini
menggunakan 9 (sembilan) kriteria yang ditetapkan Kementerian Koperasi dan UMKM
(2012) meliputi: (1) Kontribusi terhadap pengembangan daerah; (2) Dampak Sosial,
Peningkatan Kesejahteraan dan pemerataan pendapatan; (3) Ketersediaan sumberdaya;
(4) Infrastruktur; (5) Prospek nilai tambah; (6) Tingkat daya saing; (7) Pemasaran; (8)
Nilai Lokalitas dan produk dan kondisi geografis; dan (9) Dukungan kebijakan dan
kelembagaan. Kesembilan kriteria di atas mengacu pada kriteria prioritas faktor yang
berpengaruh terhadap pengembangan wilayah. Selanjutnya, penentuan Sektor dan Sub
sektor unggulan Kabupaten Semarang dilakukan berdasarkan data sekunder yang
PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097
520
diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS) dengan mencermati data PDRB 2013 pada
industri yang memberikan nilai kontribusi terbesar pada Pendapatan Asli Daerah.
Definisi Operasional Variabel Penelitian
Definisi operasional 9 kriteria yang digunakan dalam perumusan strategi daya saing dan
skala pengukuran setiap variabel ditunjukkan dalam tabel berikut:
Tabel 1
Definisi Operasional Variabel Penelitian
No
1
2
3
Variabel
Kontribusi terhadap
pengembangan daerah
Dampak Sosial,
Peningkatan
Kesejahteraan dan
Pemerataan Pendapatan
Ketersediaan
Sumberdaya
4
Infrastruktur
5
Prospek Nilai Tambah
6
Tingkat daya saing
7
Pemasaran
8
Nilai Lokalitas dan
Geografis
9
Dukungan kebijakan dan
kelembagaan
Definisi Operasional Variabel
Sumbangan berbagai sektor usahai UKM
dalam menyumbang PDRB/PAD
Manfaat yang diterima oleh masyarakat berupa
peningkatan kesejahteraan dampak dari
berkembangnya UKM
Kepemilikan sumberdaya yang dapat
diidentifikasikan oleh daerah, meliputi SDM,
SDA dan SD lainnya
Sarana dan prasarana pendukung kelancaran
kegiatan perekonomian
Nilai selain keuntungan yang dapat dinikmati
oleh pelaku UKM maupun masyarakat
Kemampuan dan potensi bersaing UKM dengan
usaha lain di pasar global/internasional
Proses penyampaian produk kepada pelanggan,
meliputi unsur marketing mix: price, place,
product, promotion
Keunggulan wilayah usaha UKM dibanding
wilayah lain, diukur dari kedekatan dengan jalan
raya dan pasar
Aturan, kebijakan dan prosedur yang disiapkan
oleh Pemerintah Daerah dalam pembinaan
UKM
Skala
pengukuran
Skala interval
Skala interval
Skala interval
Skala interval
Skala nominal
Skala interval
Skala nominal
Skala nominal
Skala nominal
Sumber: Data primer yang diolah, 2015
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua entitas yang berkepentingan terhadap
pengembangan daya saing UKM, yang terdiri dari: para pelaku UKM, para pendamping
UKM yang menjadi anggota lembaga pemberdaya UKM, dan aparat Pemerintah Daerah
Kabupaten Semarang.
Pemilihan sampel dilakukan secara purposive untuk memilih sampel yang benarbenar memahami tentang upaya pemberdayaan UKM berdaya saing. Terpilih 30
responden dengan masing-masing 10 responden yang mewakili setiap entitas yang
berkaitan dengan tema penelitian ini.
Teknik Pengumpulan Data
PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097
521
Setelah responden penelitian ditentukan, selanjutnya dilakukan penyebaran
kuesioner dan wawancara langsung kepada responden. Hasil kuesioner diolah
menggunakan alat Analytical Hierarchy Process (AHP) dan hasil wawancara terhadap
responden selanjutnya menjadi sumber data untuk didiskusikan lebih lanjut dalam forum
Focus Group Discussion.
Focus Group Discussion sangat diperlukan karena model AHP ini sangat
tergantung pada input dari persepsi ahli, sehingga apabila persepsi ahli keliru tentang
sebuah permasalahan, maka hasil dari metode AHP ini tidak akan berguna. Dengan
demikian, tujuan FGD adalah untuk memberikan keyakinan bahwa hasil kuesioner yang
diperoleh tidak dipersepsikan keliru atau berbeda oleh para pembuat keputusan. Dengan
kata lain, tujuan FGD adalah penyamaan persepsi para pengambil kebijakan tentang
program pengembangan daerah yang sebaiknya dilakukan.
Metode Analisis Data
Uji Kuesioner
Kuesioner dalam penelitian ini disusun dengan mengacu pada standar kuesioner
Analytical Hierarchy Process (AHP). Penggunaan kuesioner yang sudah baku dan
berulang kali digunakan untuk menentukan prioritas kebijakan menjadikan kuesioner dan
jawaban kuesioner dalam penelitian ini tidak memerlukan uji validitas dan uji reliabilitas.
Metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
Analytic Hierarchy Process (AHP) adalah salah satu bentuk model pengambilan
keputusan yang pada dasarnya berusaha menutupi kekurangan dari model pengambilan
keputusan yang lainnya. Alat utama dalam model AHP ini adalah hierarki fungsional
dengan input utamanya berupa persepsi. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks
dan tidak terukur dipecah ke dalam kelompok-kelompok dan kemudian diatur menjadi
sebuah bentuk hirarki (Brojonegoro dalam Asri Dwi Asmarani, 1992). Metode AHP
memberikan kemungkinan bagi para pembuat keputusan untuk merepresentasikan
interaksi faktor-faktor yang berkesinambungan di dalam situasi yang kompleks dan tidak
terstruktur. Alat analisis ini membantu para pembuat keputusan untuk mengidentifikasi
dan sekaligus membuat prioritas berdasarkan tujuan yang ingin dicapai (Saaty dalam Asri
Dwi Asmarani, 2000).
Kelebihan model AHP dibandingkan model pengambilan keputusan lainnya
terletak pada kemampuan AHP untuk memecahkan masalah yang multiobjectives dan
PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097
522
multikriteria. Karena metode ini memiliki fleksibilitas yang tinggi, terutama dalam
pembuatan hirarkinya, sehingga model AHP dapat menangkap beberapa tujuan dan
beberapa kriteria sekaligus dalam sebuah model atau sebuah hirarki (Saaty dalam Asri
Dwi Asmarani, 2000). Dalam hal perencanaan pembangunan, model ini dapat
memungkinkan terjaringnya aspirasi masyarakat melalui pengisian kuisioner, sehingga
aspirasi masyarakat ini dapat ditangkap oleh para pembuat kebijakan dan diperhitungkan
dalam perencanaan pembangunan.
Metode Interpretive Structural Modeling (ISM)
Salah satu teknik permodelan yang dikembangkan untuk perencanaan kebijakan
strategis adalah teknik permodelan interpretasi struktural (Interpretive Structural
Modeling-ISM). ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning process)
dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari
suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis
serta kalimat. Teknis ISM merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk
menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencanaan jangka panjang yang sering
menerapkan langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi statistik deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan Kriteria Utama Daya Saing Berbasis Kompetensi Inti
Kriteria yang diajukan Pemerintah (9 sembilan kriteria Kementrian Koperasi dan
UMKM) selanjutnya dianalisis oleh tiga entitas yang terkait dengan pengembangan
wilayah. Ketiga entitas tersebut adalah: Aparat Pemda Kabupaten Semarang, pelaku
UKM dan Lembaga Pemberdaya/pendamping UKM. Hasil analisis ini kemudian
dibandingkan untuk melihat ranking atau usulan kriteria yang diajukan oleh masingmasing entitas. Berdasar hasil analisis berdasar AHP, diperoleh hasil seperti ditunjukkan
dalam tabel berikut:
PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097
523
Tabel 2
Perbandingan Kriteria Utama yang diajukan
Pemda, Pelaku UKM dan Lembaga Pendamping UKM
Rankin
g
Alternatif
PEMDA
Pelaku UKM
Pendamping UKM
Kriteria
Skor
Kriteria
Skor
Kriteria
Skor
1
Kontribusi
ke PAD
0,389
Pemasaran
0,403
Pemasaran
0,362
2
Pemasaran
0,310
Prospek Nilai
Tambah
0,270
Ketersediaan
Sumber Daya
0,311
3
Infrastruktur
0,289
Ketersediaan
Sumber Daya
0,249
Daya Saing
Produk
0,267
4
Daya Saing
Produk
0,262
Kontribusi ke
PAD
0,223
Kontribusi ke
PAD
0,245
5
Nilai
Lokalitas
dan
Geografis
0,238
Dukungan
Kebijakan
0,201
Prospek Nilai
Tambah
0,230
6
Ketersediaa
n Sumber
Daya
0,230
Nilai Lokalitas
dan Geografis
0,167
Dukungan
Kebijakan
0,217
7
Dukungan
Kebijakan
0,229
Dampak
Sosial
0,188
Dampak Sosial
0,188
8
Prospek
Nilai
Tambah
0,216
Daya Saing
Produk
0,136
Infrastruktur
0,184
9
Dampak
Sosial
0,184
Infrastruktur
0,107
Nilai Lokalitas
dan Geografis
0,160
Sumber: Data Primer yang diolah, 2015
Hasil perbandingan kriteria utama peningkatan daya saing wilayah yang diajukan
oleh ketiga entitas menunjukkan hasil berbeda. Dilihat dari tiga kriteria utama, Aparat
Pemda, mengutamakan kriteria Kontribusi ke PAD (0,389), Pemasaran (0,310) dan
penguatan infrastruktur (0,289). Kriteria yang diajukan oleh pelaku UKM adalah
pemasaran (0,403), prospek nilai tambah (0,270) dan ketersediaan sumber daya (0,249).
Sedangkan Lembaga pemberdaya UKM mengajukan kriteria pemasaran (0,362) sebagai
kriteria utama, diikuti dengan ketersediaan sumber daya (0,311) dan daya saing produk
(0,267). Dari hasil tersebut, menarik untuk dicermati adalah kriteria pemasaran termasuk
dalam 3 kriteria prioritas untuk ketiga entitas. Hal ini berarti bahwa peningkatan daya
PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097
524
saing wilayah tidak lepas dari kegiatan memasarkan produk sehingga dapat dikenal oleh
masyarakat luas baik regional, nasional maupun internasional. Apabila Pemerintah
Daerah mengutamakan kontribusi ke PAD, hal ini selaras dengan kriteria Pemerintah
Pusat yang mengutamakan kontribusi produk ke APBN.
Dari ketiga entitas yang diamati, kedekatan hubungan antara Lembaga
Pemberdaya dan pelaku UKM dapat dilihat dari dua kriteria utama yang diusulkan
merujuk pada kriteria yang sama, yaitu Pemasaran dan Ketersediaan Sumber Daya,
membuktikan bahwa baik pelaku UKM maupun Lembaga Pemberdaya UKM memiliki
prioritas yang sama dalam pengembangan daya saing wilayah. Model hubungan yang
terbentuk berdasar hubungan antara Pemda, Lembaga Pendamping dan UKM
ditunjukkan pada gambar 2 berikut:
Pemerintah Daerah
Kabupaten
Semarang
Kontribusi ke PAD,
Pemasaran,
Infrastruktur,
Ketersediaan SD
Kontribusi ke PAD,
Pemasaran,
Infrastruktur,
Pemasaran, Nilai Tambah,
Ketersediaan SD, Daya
Lembaga
Pendampin
g UKM
UKM
Gambar 2 Model Hubungan antar Entitas dalam Perumusan
Kriteria Strategi Daya Saing
Sumber: Data primer yang diolah, 2015
Hasil analisis perbandingan kriteria pada setiap entitas pada tabel 2 selanjutnya
diolah kembali sehingga diperoleh interseksi kriteria utama yang diajukan semua entitas.
Hasil interseksi semua entitas dalam merumuskan kriteria utama daya saing ditunjukkan
dalam tabel 3 berikut:
PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097
525
Tabel 3
Hasil Perhitungan Interseksi terhadap Setiap Kriteria Berdasar Penilaian Responden
KRITERIA
IR
Pendamping
UKM
UKM
Pemda
Dampak Sosial
0,090
0.284
0.434
0.281
Daya Saing Produk
0,096
0.300
0.421
0.278
Dukungan Kebijakan
0,096
0.354
0.306
0.341
Infrastruktur
0,096
0.341
0.301
0.351
Ketersediaan Sumber Daya
0,090
0.314
0.386
0.312
Kontribusi ke PAD
0,096
0.328
0.319
0.329
Nilai Lokalitas dan Geografis
0,090
0.313
0.370
0.299
Pemasaran
0,096
0.286
0.475
0.239
Prospek Nilai Tambah
0,096
0.255
0.489
0.268
0,082
0.311
0.391
0.300
Bobot
*IR adalah rasio indeks pada setiap kriteria (Rasio yang baik memiliki nilai IR < 1)
Sumber: Data Primer yang diolah, 2015
Pada tabel 3, interseksi yang dilakukan untuk semua entitas akan membentuk nilai
tertinggi untuk setiap kriteria yang berarti bahwa kriteria tersebut dianggap paling
penting. Penilaian dari pelaku UKM menunjukkan kriteria dampak social, daya saing
produk, ketersediaan sumber daya, nilai lokalitas dan geografis, Pemasaran dan prospek
nilai tambah memiliki skor lebih tinggi dibandingkan dua entitas lainnya. Lembaga
pendamping UKM lebih mengutamakan kriteria dukungan kebijakan, sedangkan
Pemerintah Daerah mengutamakan pengembagan infrastruktur dan kontribusi UKM ke
PAD. Hasil tersebut menggambarkan kebutuhan yang berbeda dalam mengembangkan
UKM.
Hasil skoring berdasar usulan ketiga entitas menunjukkan ranking kriteria atau
tingkat kepentingan pengembangan UKM. Ranking tertinggi merupakan kebutuhan
mutlak sebagai dasar penentuan strategi pengembangan daya saing. Tabel 4 berikut
menunjukkan ranking kriteria utama:
PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097
526
Tabel 4
Ranking Kriteria utama Strategi Pengembangan UKM Berdayasaing
Ranking
/urutan
Kriteria
Skor
Entitas Pengusul
1
2
Prospek Nilai Tambah
Pemasaran
0.489
0.475
Pelaku UKM
Pelaku UKM
3
0.434
Pelaku UKM
4
Dampak
Sosial
dan
Peningkatan Kesejahteraan
Daya Saing Produk
0.421
Pelaku UKM
5
Ketersediaan Sumber Daya
0.386
Pelaku UKM
6
Nilai Lokalitas dan Geografis
0.370
Pelaku UKM
7
8
Dukungan Kebijakan
Infrastruktur
0.354
0.351
Pendamping UKM
Pemerintah Daerah
9
Kontribusi ke PAD
0.329
Pemerintah Daerah
Sumber: Data primer yang diolah, 2015
Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa dari sembilan kriteria, enam kriteria utama
pengembangan UKM mengakses kebutuhan UKM, yaitu Prospek Nilai Tambah (0.489),
Pemasaran (0.475), Dampak Sosial dan Peningkatan Kesejahteraan (0.434), Daya Saing
Produk (0.421), Ketersediaan Sumber Daya (0.386), Nilai Lokalitas dan Geografis
(0.370). Lembaga pendamping UKM lebih menitikberatkan aspek Dukungan Kebijakan
(0.354), sedangkan Pemda mengusulkan Infrastruktur (0.351) dan Kontribusi ke PAD
(0.329).
Secara umum, semakin tinggi nilai yang diperoleh suatu kriteria, kriteria tersebut
semakin dibutuhkan dalam penentuan strategi peningkatan daya saing UKM.
Model Interpretive Structural Modeling (ISM)
Setelah tidak ada lagi irisan (intersection), selanjutnya dibuat model yang dihasilkan oleh
ISM untuk memecahkan masalah (Bolanos et.al. (2005), dalam hal ini peningkatan daya
saing di Kabupaten Semarang. Perumusan hasil kajian dalam FGD (lampiran) dan olahan
ISM memunculkan serangkaian kriteria usulan dalam strategi yang melibatkan UKM,
Pendamping dan Pemda. Dari model tersebut dirumuskan suatu strategi implementasi
sesuai tingkatan (level) yang terbentuk, yaitu: 1) Prospek Nilai Tambah; (2) Pemasaran;
(3) Dampak Sosial dan Peningkatan Kesejahteraan; (4) Daya saing Produk; (5)
Ketersediaan Sumber Daya; (6) Nilai Lokalitas dan Geografis; (7) Dukungan Kebijakan;
(8) Infrastruktur dan (9) Kontribusi UKM ke PAD.
PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097
527
SIMPULAN
Berdasar hasil analisis diperoleh simpulan sebagai berikut:
1.
Peta kompetensi criteria daya saing setiap entitas menunjukkan Aparat Pemda,
mengutamakan kriteria Kontribusi ke PAD, Pemasaran dan penguatan infrastruktur.
Kriteria yang diajukan oleh pelaku UKM adalah pemasaran sebagai kriteria utama,
diikuti oleh prospek nilai tambah dan ketersediaan sumber daya. Lembaga
pendamping UKM mengajukan kriteria pemasaran sebagai kriteria utama, diikuti
dengan ketersediaan sumber daya dan penguatan daya saing produk.
2.
Interseksi yang dilakukan untuk semua entitas akan membentuk nilai tertinggi untuk
setiap kriteria yang berarti bahwa kriteria tersebut dianggap paling penting. Penilaian
dari pelaku UKM memiliki nilai tertinggi untuk tiga kriteria, yaitu dampak sosial,
daya saing produk, dan ketersediaan sumber daya.
3.
Secara total, hasil kajian menunjukkan dari sembilan kriteria, enam kriteria utama
pengembangan UKM mengakses kebutuhan UKM, yaitu Prospek Nilai Tambah,
Pemasaran, Dampak Sosial dan Peningkatan Kesejahteraan, Daya Saing Produk,
Ketersediaan Sumber Daya, Nilai Lokalitas dan Geografis. Lembaga pendamping
UKM lebih menitikberatkan aspek Dukungan Kebijakan, sedangkan Pemda
mengusulkan Infrastruktur dan Kontribusi ke PAD. Berdasar kriteria tersebut sudah
seharusnya Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah mengapresiasi usulan
kriteria pengembangan daya saing berdasar kebutuhan UKM selaku obyek yang
diberdayakan.
Agenda Penelitian Yang Akan Datang
1. Penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada kriteria pengembangan wilayah
berdaya saing dari Kementrian Koperasi dan UMKM. Pada penelitian yang akan
datang akan lebih lengkap jika pengamatan juga dilakukan berdasar Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Semarang
2. Penelitian ini akan lebih baik jika melibatkan responden tidak hanya pelaku UKM
dalam klaster aktif tetapi juga pelaku UKM dalam klaster pasif.
3. Dalam pelaksanaan FGD sebaiknya para ahli/expert dibekali dengan bahan bahasan
sehingga pada saat diskusi argumen yang disampaikan lebih tajam dan spesifik.
PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097
528
4. Tindak lanjut penelitian ini perlu dilakukan dengan membentuk model penguatan
daya saing wilayah dalam pembahasan di tingkat pengambil kebijakan Pemda
Kabupaten Semarang.
DAFTAR PUSTAKA
Al Harbi, K. M. A. (2001). Application of the AHP in Project Management. International
Journal of Project Management. Elsevier Science Ltd and IPMA.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Metodologi penelitian. Yogyakarta. Bina Aksara.
Asmarani, Asri D. 2010. Strategi Kebijakan Pembangunan Daerah Kabupaten Klaten:
Pendekatan Analisis SWOT Dan AHP. Tesis. Jakarta. Universitas Indonesia. Tesis
dipublikasikan.
Aurino Djamaris – 2007 – MACON Consulting and Training
Services R E B O N http://blog.aurino.com
Bolanos et.al. (2005). Using Interpretive Structural Modelling in Strategic DecisionMaking Groups. Management Decision 43 (6): 877-895.
BPS Kabupaten Semarang. (2013). Kabupaten Semarang Dalam Angka. Semarang.
Latifah, S. (2005). Prinsip-Prinsip Dasar Analytic Hierarchy Process. Sumatera Utara:
e-USU Repository.
G.K.L.,and Chan, E.H.W. (2007). The Analythic Hierarchy Process (AHP) Approach for
Assessment of UrbanRenewal Proposals. Springer Science+Business Media B.V
Murtiasri, Eka (2011), Laporan Penelitian Hibah Bersaing tidak dipublikasikan: Model
Pengembangan Usaha Kecil Menengah Berbasis Klaster dan Indeks Penyerapan
Tenaga Kerja di Kabupaten Semarang.
Murtiasri, Eka (2012), Desain Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah berbasis
Klaster dan Indeks Penyerapan Tenaga Kerja di Kabupaten Semarang, Jurnal
Teknis, ISSN 1907-4379
Murtiasri, Eka (2013), Laporan Penelitian Hibah Bersaing tidak dipublikasikan: Kajian
terhadap Efektivitas Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah melalui
Penumbuhan Klaster Bisnis di Kabupaten Semarang.
Prahalad, C.K. and Hamel, G. (1990). The Core Competence of the Corporation. Harvard
Business Review 68 (3): 79-91.
Prahalad, C.K. and Hamel, G. (1994). Competing for the Future. Boston – MA: Harvard
Business School Press.
Saaty, L. Thomas. 2000. Decision Making For Leaders. University of Pittsburgh;
Supomo, et.al., (2006). Permasalahan dan Kebijakan Pengembangan Industri Tekstil dan
Produk Tekstil di Indonesia. Jakarta: P2KTPUDPKM-BPPT.
Takkar, J., Kanda, A., and Deshmukh S.G. (2008). Interpretive Structural Modeling
(ISM) of IT-enablers for Indian Manufacturing SMES. Information Management &
Computer Security 16 (2): 113- 136.
PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097
529
LAMPIRAN (hasil FGD dengan para pelaku dan pengambil kebiajakan publik)
Model Hubungan yang Terbentuk Antar UKM-Pendamping dan Pemda
No
Kriteria
Usulan (Bottom up dari ketiga Entitas)
UKM
1.
Prospek Nilai
Tambah
Pendamping
UKM
Pemerintah
Daerah
UKM
2.
Pemasaran
Pendamping
UKM
Pemerintah
Daerah
UKM
3.
Dampak
Sosial
dan Pendamping
Peningkatan
UKM
Kesejahteraan
Pemerintah
Daerah
UKM
4.
Daya Saing
Produk
Pendamping
UKM
Pemerintah
Daerah
5.
6.
Ketersediaan
Sumber Daya
UKM
Pendamping
UKM
Pemerintah
Daerah
Nilai Lokalitas
UKM
dan Geografis
UKM sangat memprioritaskan prospek nilai tambah untuk
mendukung kesejahteraan. Pemerintah harus memfasilitasi
kemudahan UKM dalam memperluas produk
Bagi Pendamping, prospek nilai tambah ini sangat penting karena
keberhasilan pendampingan memiliki tolok ukur peningkatan
kemampuan UKM memperluas produk
Pemerintah perlu memikirkan nilai tambah yang akan diperoleh
UKM selain laba usahanya sehingga kegiatan yang dilakukan
UKM benar-benar member manfaat dan kepuasan/kebanggaan
Bagi UKM, keberhasilan memasarkan produk merupakan
jaminan dalam melakukan usaha jangka panjang
Pendamping UKM membantu UKM dalam memasarkan
produknya melalui pendampingan cara promosi atau strategi
penentuan harga
Pemerintah memiliki kewajiban membantu UKM dengan
menyediakan pasar baik pasar regional, nasional maupun
internasional
Dampak yang diberikan dengan pendirian UKM adalah adanya
perbaikan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar, misalkan
dengan memberikan lapangan kerja, mengurangi pengangguran
dan menciptakan kreativitas
Pendamping bisa mengelola masyarakat sekitar UKM melalui
pendirian koperasi atau pembentukan usaha bersama untuk
mengurangi persaingan antar UKM yang sejenis
Secara makro, efek dari dampak lingkungan adalah peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Semakin sejahtera masyarakat, indeks
kesejahteraan semakin tinggi. Artinya Pemerintah secara tidak
langsung dinilai mampu memakmurkan masyarakatnya
Daya saing diartikan sebagai uji kualitas produk di pasar. Semakin
berkualitas, semakin tinggi daya saing yang dimiliki UKM
Bagi pendamping, perlu untuk melakukan pembainaan sehingga
UKM mampu bersaing denganfair
Pemerintah memiliki kewenangan melalui program yang tepat
untuk menjga dan meningkatkan daya saing dengan tetap
berpegang pada aturan dan etika yang ditetapkan
Bagi UKM kebutuhan sumberdaya mutlak diperlukan. Artinya
jika sumberdaya tersebut tidak dimiliki, maka kegiatan produksi
akan terganggu
Pendamping UKM perlu ikut memonitor ketersediaan SD bagi
UKM
Pemerintah wajib mengatur dan mengusahakan kecukupan
sumber daya bagi kelangsungan hidup UKM
Bagi UKM dan pendamping, nilai lokalitas akan menunjukkan
keunggulan produk yang menjadi cirri khas daerah, sedangkan
nilai geografis menunjukkan kondisi suatu wilayah, apakah dekat
dengan jalan raya, jalan lintas kota, bandara atau pelabuhan
PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097
530
No
Kriteria
Usulan (Bottom up dari ketiga Entitas)
Pendamping UKM sebagai kepanjangan tangan Pemerintah
memiliki kewajiban untuk turut mengenalkan produk unggulan
daerah
Kompetensi inti sangat erat kaitannya dengan nilai lokalitas. Oleh
Pemerintah
karenanyaPemerintah wajib mengenalkan wilayah dan produk
keuanggulan wilayah tersebut sehingga dikenal dan diingat oleh
Daerah
masyarakat
Kebijakan yang pro terhadap pengembangn UKMperlu disusun
oleh Pemerintah, misalnya kebijakan /regulasi di bidang
UKM
keuangan, produksi, pemasaran maupun SDM
Dukungan kebijakan sangat berperan dalam membantu lembaga
Dukungan
Pendamping pendamping menguatkan UKM. Kebijakan yang berkaitan antara
lain perolehan kredit, kemudahan pengurusan ijin, penguatan
Kebijakan
UKM
pasar
Pemerintah Daerah merupakan kepanjangan tangan dari
Pemerintah
Pemerintah Pusat. Perlu dikaji bahwa sebaiknya kebijakan Pusat
Daerah
diadaptasi sesuai kebutuhan wilayah, bukan diadopt begitu saja.
UKM memerlukan infrastruktur yang mampu memperlancar
UKM
usahanya
Pendamping tidak berkaitan langsung dengan infrastuktur, namun
Pendamping
diakui bahwa kerusakan infrastruktur akan berpengaruh dalam
Infrastruktur
UKM
pendampingan yang diberikan pada UKM
Penguatan infrastruktur merupakan kewajiban Pemerintah dalam
Pemerintah
memperlancar kegiatan operasional UKM melalui pembangunan
Daerah
sarana prasarana, transportasi, jalan dll
Bagi UKM kontribusi ini bukan merupakan prioritas, karena lebih
utama bagi UKM untuk berpikir bagaimana caranya bertahan dan
UKM
berkembang secara individu
Sebagai lembaga yang dibentuk Pemerintah, pendamping wajib
Kontribusi ke Pendamping mensukseskan program sumbangan ke PAD, namun sebagai
pendamping, mereka menyuarakan aspirasi dari UKM yang tidak
UKM
PAD
memikirkan PAD
Bagi Pemerintah, tujuan utama pengembangan UKM adalah
Pemerintah
kontribusinya ke PAD. Semakin besar kontribusinya, UKM
Daerah
dianggap berhasil
Sumber: Data Primer yang diolah, 2015
Pendamping
UKM
7.
8.
9.
PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097
531
Download