MODEL PENGEMBANGAN WILAYAH BERDAYA SAING BERBASIS PADA KOMPETENSI INTI DI KABUPATEN SEMARANG Eka Murtiasri Jurusan Akuntansi, Politeknik Negeri Semarang, Semarang, 50264 Email: [email protected] Abstract This research was conducted with three main objectives: to map the region's competitiveness criteria, to formulate policies of a competitive advantage based on the results of the competency maps, and to draft a development strategy of the region's competitiveness in an integrated manner in accordance with the development planning in the District of Semarang. These objectives are set based on the problem of ineffective programs to develop the competitiveness of the region during the last three years after the formation of clusters of SMEs as a core competency base. Methods Analythic Hierarchy Process (AHP) was used to identify the criteria of competitiveness in order to obtain development priorities based on the intersection of the needs of the entity associated: SMEs in the active cluster, escort agencies SMEs and Apparatus District.. Through a structured questionnaires to 30 respondents representing the three entities result that the empowerment of SMEs as the spearhead of strengthening the competitiveness by local governments proved not to be in tune with the wishes and needs of object so that all development programs carried out so far less effective because it is not in the side of the needs of SMEs. The discussions in the Focus Group Discussion (FGD) with experts, formulate the best strategy on the development of the competitiveness. The strategy becomes the answer in aligning the needs of strengthening the competitiveness of the region with the priority to expand the marketing of SME products, the prospect of value-added and resource availability, differs from the Government's criteria for prioritizing the contribution of SMEs to the PAD and strengthening infrastructure. Keywords: SMEs, competitiveness, excellent products, core competencies. Abstrak Kajian ini dilakukan dengan tiga tujuan utama, yaitu memetakan kriteria daya saing wilayah, merumuskan kebijakan keunggulan daya saing dan menyusun konsep/strategi pengembangan daya saing terintegrasi dengan perencanaan pembangunan Kabupaten Semarang. Ketiga tujuan tersebut ditetapkan berdasar permasalahan tidak efektifnya berbagai program pengembangan daya saing wilayah oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Semarang selama tiga tahun terakhir setelah terbentuknya klaster UKM sebagai basis kompetensi inti. Metode Analythic Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk mengidentifikasi kriteria daya saing sehingga diperoleh prioritas pengembangan berdasar interseksi kebutuhan entitas, yaitu pelaku UKM dalam klaster aktif, lembaga pendamping UKM dan Aparat Pemda. Hasil jawaban 30 responden mewakili tiga entitas, menunjukkan bahwa dalam program pemberdayaan UKM sebagai ujung tombak penguatan daya saing wilayah terbukti tidak selaras dengan keinginan dan kebutuhan obyek sehingga semua program pemberdayaan yang dilakukan kurang efektif karena tidak berpihak pada kebutuhan UKM. Pembahasan hasil kajian dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan para ahli, dirumuskan strategi terbaik pengembangan daya saing wilayah sebagai jawaban dalam penyelarasan kebutuhan penguatan daya saing wilayah dengan kriteria: perluasan pemasaran, prospek nilai tambah dan ketersediaan sumber daya. Usulan ini berbeda dengan kriteria Pemerintah yang memprioritaskan kontribusi UKM ke PAD dan penguatan infrastuktur. Kata kunci: UKM, daya saing, produk unggulan, kompetensi inti PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097 516 PENDAHULUAN Data Incremental Market Directory (IMD) World Competitiveness Report tahun 2013 menunjukkan peringkat daya saing Indonesia berada pada posisi 39 dari 60 negara (skor 61.805 dari 100). Meskipun peringkat ini mengalami kenaikan jika dibandingkan tahun 2012 (posisi 42 dari 59 negara, skor 59,5), namun masih jauh tertinggal jika dibandingkan beberapa negara di Asia Tenggara, seperti: Singapura (posisi 5, skor 89,857), Malaysia (posisi 15, skor 83,145) dan Thailand (posisi 27, skor 72,966). Posisi daya saing Indonesia menjadi ancaman bagi Pemerintah dalam menghadapi pasar bebas ASEAN 2015. Beberapa faktor yang ditengarai menyebabkan rendahnya daya saing Indonesia adalah besarnya biaya industri dan tingginya biaya ekonomi. Besarnya biaya industri disebabkan oleh meningkatnya biaya produksi, sedangkan ekonomi biaya tinggi terkait dengan buruknya layanan birokrasi. Berbagai kebijakan ditetapkan Pemerintah untuk meningkatkan daya saing, di antaranya kebijakan nasional pembangunan industri jangka menengah (2007-2010) yang diarahkan pada strategi pengembangan dan penumbuhan UKM melalui klaster-klaster industri untuk meningkatkan daya saing. Kebijakan ini ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah yang bersegera membentuk klaster industri untuk meningkatkan daya saing produk di wilayahnya. Meskipun klaster-klaster industri di Kabupaten Semarang telah dibentuk tahun 2010, namun hingga saat ini, kondisi klaster tersebut belum menunjukkan daya saing yang signifikan. Merujuk pada penelitian Eka Murtiasri (2010) tentang pemberdayaan UKM di Kabupaten Semarang, pembentukan kelompok usaha/klaster terbukti secara signifikan mampu memberdayakan UKM dibandingkan dengan model individu. Hasil penelitian tersebut ditindaklanjuti dengan kajian pembentukan klaster usaha berdasar wilayah pada tahun 2011, sehingga terbentuklah kelompok usaha/sentra di tujuh wilayah kecamatan (Eka Murtiasri, 2011). Pembentukan klaster ini sejalan dengan pengelompokan 10 (sepuluh) sentra/klaster oleh Pemerintah Kabupaten Semarang berdasar produk. Dalam kajian lanjutan diperoleh temuan bahwa dari 10 klaster yang terbentuk, hanya tiga klaster menunjukkan ciri aktif dan memiliki potensi bersaing di pasar global. Ketiga klaster tersebut adalah klaster makanan olahan di kecamatan Ungaran Timur dan Ungaran Barat, klaster kerajinan tenun lidi rogo-rege di kecamatan Bancak dan klaster kerajinan enceng gondok di kecamatan Banyubiru (Eka Murtiasri, 2012). PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097 517 Sebagai tindak lanjut pengembangan daya saing industri model clustering, Pemerintah Kabupaten Semarang membentuk kelompok kerja teknis (working group) yang beranggotakan semua stakeholders, baik dari unsur pemerintah, dunia usaha, maupun lembaga pendukung penelitian dan pendidikan untuk memunculkan komoditas/industri unggulan wilayah sebagai ujung tombak ekonomi daerah. Penetapan komoditas/industri unggulan untuk penguatan daya saing inilah yang selanjutnya dikenal dengan istilah kompetensi inti. Pada konteks daerah, pemilihan kompetensi inti harus mempertimbangkan kondisi daerah dengan tetap memperhatikan kriteria daya saing seperti: adanya nilai tambah yang tinggi, adanya sifat yang unik, adanya keterkaitan dan peluang untuk bersaing di pasar luar daerah (bahkan internasional). Dengan kata lain, pemilihan dan penentuan kompetensi inti harus memberi memberi stimulus perekonomian daerah melalui peningkatan PAD. Penelitian tentang kompetensi inti diawali studi kelayakan oleh Aurino Djamaris (2007). Selanjutnya dilakukan penelitian wilayah Kabupaten/ Kota oleh Rahmat Nurcahyo (Kabupaten Bekasi, 2010), Chumaira (2010), Kurniyati (Bangkalan, Madura, 2011), Langoday (Belu NTT, 2011) dan Maat Pono (Tojo Una-una Sulteng 210). Hasil penelitian tersebut menemukan komoditas/industri unggulan sebagai kompetensi inti di wilayah yang diteliti. Di Kabupaten Semarang, penelitian tentang kompetensi inti telah dilakukan oleh Eka Murtiasri (2014), yang memunculkan tiga produk unggulan di Kabupaten Semarang. Kajian ini perlu dilakukan untuk mencermati efektivitas pengembangan UKM dalam klaster setelah empat tahun terbentuk dan menerima berbagai jenis program pengembangan. Merujuk pada data awal yang menunjukkan bahwa dari sepuluh klaster ternyata hanya tiga klaster yang mampu berkembang maka perlu diamati apakah strategi pemberdayaan klaster oleh Pemerintah secara top down selama ini sudah sesuai dengan kebutuhan UKM. Dilain pihak, Pemerintah Daerah menyatakan bahwa sulit berkembangnya UKM bukan disebabkan kesalahan strategi tetapi karena belum diterapkannya konsep kompetensi inti secara tepat dalam perencanaan perekonomian daerah dan belum menjadi komitmen yang kuat dari pemerintah daerah. Berdasar latar belakang yang dikemukakan, terdapat tiga keutamaan dilakukannya kajian ini. Pertama, hasil kajian ini akan merumuskan kriteria utama yang menjadi faktor prioritas pengembangan UKM dalam klaster. Kedua, kriteria yang PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097 518 terbentuk akan terintegrasi menjadi suatu strategi pengembangan wilayah berbasis kompetensi inti, dan ketiga, hasil kajian ini dapat menjadi model meningkatkan daya saing UKM berbasis pada keunggulan kompetensi UKM di Kabupaten Semarang dan menjadi role model pengembangan daya saing wilayah di Indonesia. Permasalahan yang mengemuka dalam kajian ini merupakan akibat belum tepatnya strategi atau program pemberdayaan yang diterapkan sehingga berdampak pada ketidakefektifan pengembangan daya saing. Permasalahan tersebut adalah: 1. Pembinaan dan pengembangan sektor industri khususnya industri kecil menengah di wilayah Kabupaten Semarang selama ini belum bertumpu pada peta kompetensi dan dan keunggulan daya saing berbasis UKM sebagai basis kompetensi inti, sehingga usaha-usaha pembinaan bagi peningkatan daya saing wilayah melalui peningkatan kinerja UKM sulit direalisasikan. 2. Basis kompetensi inti dan keunggulan daya saing UKM wilayah kabupaten Semarang selama ini belum teridentifikasi dan terpetakan secara sistematis sebagai dasar pengembangan UKM. Akibat dari permasalahan ini, kebijakan pengembangan UKM oleh pemerintah daerah sering mengalami tumpang tindih dan disorientasi sehingga tidak mampu mendukung peningkatan daya saing wilayah. 3. Tidak adanya keterlibatan secara aktif dari pihak yang diberdayakan (UKM) dan pihak pendamping (lembaga pemberdaya UKM) dalam merumuskan strategi pengembangan, sehingga pola pengembangan UKM selama ini belum terintegrasi. Berdasar permasalahan yang dihadapi Pemerintah Daerah dalam mengembangkan daya saing wilayah, kajian ini dilakukan untuk: (1) Memetakan kebutuhan kompetensi inti berdasar usulan tiga entitas: UKM, Lembaga Pendamping UKM dan Pemda; (2) Merumuskan kebijakan keunggulan daya saing berdasarkan peta hasil kompetensi inti antar entitas; (3) Menyusun konsep dan strategi pengembangan daya saing secara terintegrasi. METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian Mekanisme dan rancangan penelitian tentang penguatan daya saing ini ditunjukkan pada gambar 1 berikut: PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097 519 Gambar 1 : Rancangan Penelitian Sumber: Rancangan yang disusun untuk penelitian ini, 2015 Metode Penentuan Kompetensi Inti Kabupaten Semarang Penentuan daya saing UKM berbasis kompetensi inti dalam penelitian ini menggunakan 9 (sembilan) kriteria yang ditetapkan Kementerian Koperasi dan UMKM (2012) meliputi: (1) Kontribusi terhadap pengembangan daerah; (2) Dampak Sosial, Peningkatan Kesejahteraan dan pemerataan pendapatan; (3) Ketersediaan sumberdaya; (4) Infrastruktur; (5) Prospek nilai tambah; (6) Tingkat daya saing; (7) Pemasaran; (8) Nilai Lokalitas dan produk dan kondisi geografis; dan (9) Dukungan kebijakan dan kelembagaan. Kesembilan kriteria di atas mengacu pada kriteria prioritas faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan wilayah. Selanjutnya, penentuan Sektor dan Sub sektor unggulan Kabupaten Semarang dilakukan berdasarkan data sekunder yang PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097 520 diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS) dengan mencermati data PDRB 2013 pada industri yang memberikan nilai kontribusi terbesar pada Pendapatan Asli Daerah. Definisi Operasional Variabel Penelitian Definisi operasional 9 kriteria yang digunakan dalam perumusan strategi daya saing dan skala pengukuran setiap variabel ditunjukkan dalam tabel berikut: Tabel 1 Definisi Operasional Variabel Penelitian No 1 2 3 Variabel Kontribusi terhadap pengembangan daerah Dampak Sosial, Peningkatan Kesejahteraan dan Pemerataan Pendapatan Ketersediaan Sumberdaya 4 Infrastruktur 5 Prospek Nilai Tambah 6 Tingkat daya saing 7 Pemasaran 8 Nilai Lokalitas dan Geografis 9 Dukungan kebijakan dan kelembagaan Definisi Operasional Variabel Sumbangan berbagai sektor usahai UKM dalam menyumbang PDRB/PAD Manfaat yang diterima oleh masyarakat berupa peningkatan kesejahteraan dampak dari berkembangnya UKM Kepemilikan sumberdaya yang dapat diidentifikasikan oleh daerah, meliputi SDM, SDA dan SD lainnya Sarana dan prasarana pendukung kelancaran kegiatan perekonomian Nilai selain keuntungan yang dapat dinikmati oleh pelaku UKM maupun masyarakat Kemampuan dan potensi bersaing UKM dengan usaha lain di pasar global/internasional Proses penyampaian produk kepada pelanggan, meliputi unsur marketing mix: price, place, product, promotion Keunggulan wilayah usaha UKM dibanding wilayah lain, diukur dari kedekatan dengan jalan raya dan pasar Aturan, kebijakan dan prosedur yang disiapkan oleh Pemerintah Daerah dalam pembinaan UKM Skala pengukuran Skala interval Skala interval Skala interval Skala interval Skala nominal Skala interval Skala nominal Skala nominal Skala nominal Sumber: Data primer yang diolah, 2015 Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua entitas yang berkepentingan terhadap pengembangan daya saing UKM, yang terdiri dari: para pelaku UKM, para pendamping UKM yang menjadi anggota lembaga pemberdaya UKM, dan aparat Pemerintah Daerah Kabupaten Semarang. Pemilihan sampel dilakukan secara purposive untuk memilih sampel yang benarbenar memahami tentang upaya pemberdayaan UKM berdaya saing. Terpilih 30 responden dengan masing-masing 10 responden yang mewakili setiap entitas yang berkaitan dengan tema penelitian ini. Teknik Pengumpulan Data PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097 521 Setelah responden penelitian ditentukan, selanjutnya dilakukan penyebaran kuesioner dan wawancara langsung kepada responden. Hasil kuesioner diolah menggunakan alat Analytical Hierarchy Process (AHP) dan hasil wawancara terhadap responden selanjutnya menjadi sumber data untuk didiskusikan lebih lanjut dalam forum Focus Group Discussion. Focus Group Discussion sangat diperlukan karena model AHP ini sangat tergantung pada input dari persepsi ahli, sehingga apabila persepsi ahli keliru tentang sebuah permasalahan, maka hasil dari metode AHP ini tidak akan berguna. Dengan demikian, tujuan FGD adalah untuk memberikan keyakinan bahwa hasil kuesioner yang diperoleh tidak dipersepsikan keliru atau berbeda oleh para pembuat keputusan. Dengan kata lain, tujuan FGD adalah penyamaan persepsi para pengambil kebijakan tentang program pengembangan daerah yang sebaiknya dilakukan. Metode Analisis Data Uji Kuesioner Kuesioner dalam penelitian ini disusun dengan mengacu pada standar kuesioner Analytical Hierarchy Process (AHP). Penggunaan kuesioner yang sudah baku dan berulang kali digunakan untuk menentukan prioritas kebijakan menjadikan kuesioner dan jawaban kuesioner dalam penelitian ini tidak memerlukan uji validitas dan uji reliabilitas. Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytic Hierarchy Process (AHP) adalah salah satu bentuk model pengambilan keputusan yang pada dasarnya berusaha menutupi kekurangan dari model pengambilan keputusan yang lainnya. Alat utama dalam model AHP ini adalah hierarki fungsional dengan input utamanya berupa persepsi. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dan tidak terukur dipecah ke dalam kelompok-kelompok dan kemudian diatur menjadi sebuah bentuk hirarki (Brojonegoro dalam Asri Dwi Asmarani, 1992). Metode AHP memberikan kemungkinan bagi para pembuat keputusan untuk merepresentasikan interaksi faktor-faktor yang berkesinambungan di dalam situasi yang kompleks dan tidak terstruktur. Alat analisis ini membantu para pembuat keputusan untuk mengidentifikasi dan sekaligus membuat prioritas berdasarkan tujuan yang ingin dicapai (Saaty dalam Asri Dwi Asmarani, 2000). Kelebihan model AHP dibandingkan model pengambilan keputusan lainnya terletak pada kemampuan AHP untuk memecahkan masalah yang multiobjectives dan PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097 522 multikriteria. Karena metode ini memiliki fleksibilitas yang tinggi, terutama dalam pembuatan hirarkinya, sehingga model AHP dapat menangkap beberapa tujuan dan beberapa kriteria sekaligus dalam sebuah model atau sebuah hirarki (Saaty dalam Asri Dwi Asmarani, 2000). Dalam hal perencanaan pembangunan, model ini dapat memungkinkan terjaringnya aspirasi masyarakat melalui pengisian kuisioner, sehingga aspirasi masyarakat ini dapat ditangkap oleh para pembuat kebijakan dan diperhitungkan dalam perencanaan pembangunan. Metode Interpretive Structural Modeling (ISM) Salah satu teknik permodelan yang dikembangkan untuk perencanaan kebijakan strategis adalah teknik permodelan interpretasi struktural (Interpretive Structural Modeling-ISM). ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat. Teknis ISM merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencanaan jangka panjang yang sering menerapkan langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi statistik deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan Kriteria Utama Daya Saing Berbasis Kompetensi Inti Kriteria yang diajukan Pemerintah (9 sembilan kriteria Kementrian Koperasi dan UMKM) selanjutnya dianalisis oleh tiga entitas yang terkait dengan pengembangan wilayah. Ketiga entitas tersebut adalah: Aparat Pemda Kabupaten Semarang, pelaku UKM dan Lembaga Pemberdaya/pendamping UKM. Hasil analisis ini kemudian dibandingkan untuk melihat ranking atau usulan kriteria yang diajukan oleh masingmasing entitas. Berdasar hasil analisis berdasar AHP, diperoleh hasil seperti ditunjukkan dalam tabel berikut: PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097 523 Tabel 2 Perbandingan Kriteria Utama yang diajukan Pemda, Pelaku UKM dan Lembaga Pendamping UKM Rankin g Alternatif PEMDA Pelaku UKM Pendamping UKM Kriteria Skor Kriteria Skor Kriteria Skor 1 Kontribusi ke PAD 0,389 Pemasaran 0,403 Pemasaran 0,362 2 Pemasaran 0,310 Prospek Nilai Tambah 0,270 Ketersediaan Sumber Daya 0,311 3 Infrastruktur 0,289 Ketersediaan Sumber Daya 0,249 Daya Saing Produk 0,267 4 Daya Saing Produk 0,262 Kontribusi ke PAD 0,223 Kontribusi ke PAD 0,245 5 Nilai Lokalitas dan Geografis 0,238 Dukungan Kebijakan 0,201 Prospek Nilai Tambah 0,230 6 Ketersediaa n Sumber Daya 0,230 Nilai Lokalitas dan Geografis 0,167 Dukungan Kebijakan 0,217 7 Dukungan Kebijakan 0,229 Dampak Sosial 0,188 Dampak Sosial 0,188 8 Prospek Nilai Tambah 0,216 Daya Saing Produk 0,136 Infrastruktur 0,184 9 Dampak Sosial 0,184 Infrastruktur 0,107 Nilai Lokalitas dan Geografis 0,160 Sumber: Data Primer yang diolah, 2015 Hasil perbandingan kriteria utama peningkatan daya saing wilayah yang diajukan oleh ketiga entitas menunjukkan hasil berbeda. Dilihat dari tiga kriteria utama, Aparat Pemda, mengutamakan kriteria Kontribusi ke PAD (0,389), Pemasaran (0,310) dan penguatan infrastruktur (0,289). Kriteria yang diajukan oleh pelaku UKM adalah pemasaran (0,403), prospek nilai tambah (0,270) dan ketersediaan sumber daya (0,249). Sedangkan Lembaga pemberdaya UKM mengajukan kriteria pemasaran (0,362) sebagai kriteria utama, diikuti dengan ketersediaan sumber daya (0,311) dan daya saing produk (0,267). Dari hasil tersebut, menarik untuk dicermati adalah kriteria pemasaran termasuk dalam 3 kriteria prioritas untuk ketiga entitas. Hal ini berarti bahwa peningkatan daya PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097 524 saing wilayah tidak lepas dari kegiatan memasarkan produk sehingga dapat dikenal oleh masyarakat luas baik regional, nasional maupun internasional. Apabila Pemerintah Daerah mengutamakan kontribusi ke PAD, hal ini selaras dengan kriteria Pemerintah Pusat yang mengutamakan kontribusi produk ke APBN. Dari ketiga entitas yang diamati, kedekatan hubungan antara Lembaga Pemberdaya dan pelaku UKM dapat dilihat dari dua kriteria utama yang diusulkan merujuk pada kriteria yang sama, yaitu Pemasaran dan Ketersediaan Sumber Daya, membuktikan bahwa baik pelaku UKM maupun Lembaga Pemberdaya UKM memiliki prioritas yang sama dalam pengembangan daya saing wilayah. Model hubungan yang terbentuk berdasar hubungan antara Pemda, Lembaga Pendamping dan UKM ditunjukkan pada gambar 2 berikut: Pemerintah Daerah Kabupaten Semarang Kontribusi ke PAD, Pemasaran, Infrastruktur, Ketersediaan SD Kontribusi ke PAD, Pemasaran, Infrastruktur, Pemasaran, Nilai Tambah, Ketersediaan SD, Daya Lembaga Pendampin g UKM UKM Gambar 2 Model Hubungan antar Entitas dalam Perumusan Kriteria Strategi Daya Saing Sumber: Data primer yang diolah, 2015 Hasil analisis perbandingan kriteria pada setiap entitas pada tabel 2 selanjutnya diolah kembali sehingga diperoleh interseksi kriteria utama yang diajukan semua entitas. Hasil interseksi semua entitas dalam merumuskan kriteria utama daya saing ditunjukkan dalam tabel 3 berikut: PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097 525 Tabel 3 Hasil Perhitungan Interseksi terhadap Setiap Kriteria Berdasar Penilaian Responden KRITERIA IR Pendamping UKM UKM Pemda Dampak Sosial 0,090 0.284 0.434 0.281 Daya Saing Produk 0,096 0.300 0.421 0.278 Dukungan Kebijakan 0,096 0.354 0.306 0.341 Infrastruktur 0,096 0.341 0.301 0.351 Ketersediaan Sumber Daya 0,090 0.314 0.386 0.312 Kontribusi ke PAD 0,096 0.328 0.319 0.329 Nilai Lokalitas dan Geografis 0,090 0.313 0.370 0.299 Pemasaran 0,096 0.286 0.475 0.239 Prospek Nilai Tambah 0,096 0.255 0.489 0.268 0,082 0.311 0.391 0.300 Bobot *IR adalah rasio indeks pada setiap kriteria (Rasio yang baik memiliki nilai IR < 1) Sumber: Data Primer yang diolah, 2015 Pada tabel 3, interseksi yang dilakukan untuk semua entitas akan membentuk nilai tertinggi untuk setiap kriteria yang berarti bahwa kriteria tersebut dianggap paling penting. Penilaian dari pelaku UKM menunjukkan kriteria dampak social, daya saing produk, ketersediaan sumber daya, nilai lokalitas dan geografis, Pemasaran dan prospek nilai tambah memiliki skor lebih tinggi dibandingkan dua entitas lainnya. Lembaga pendamping UKM lebih mengutamakan kriteria dukungan kebijakan, sedangkan Pemerintah Daerah mengutamakan pengembagan infrastruktur dan kontribusi UKM ke PAD. Hasil tersebut menggambarkan kebutuhan yang berbeda dalam mengembangkan UKM. Hasil skoring berdasar usulan ketiga entitas menunjukkan ranking kriteria atau tingkat kepentingan pengembangan UKM. Ranking tertinggi merupakan kebutuhan mutlak sebagai dasar penentuan strategi pengembangan daya saing. Tabel 4 berikut menunjukkan ranking kriteria utama: PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097 526 Tabel 4 Ranking Kriteria utama Strategi Pengembangan UKM Berdayasaing Ranking /urutan Kriteria Skor Entitas Pengusul 1 2 Prospek Nilai Tambah Pemasaran 0.489 0.475 Pelaku UKM Pelaku UKM 3 0.434 Pelaku UKM 4 Dampak Sosial dan Peningkatan Kesejahteraan Daya Saing Produk 0.421 Pelaku UKM 5 Ketersediaan Sumber Daya 0.386 Pelaku UKM 6 Nilai Lokalitas dan Geografis 0.370 Pelaku UKM 7 8 Dukungan Kebijakan Infrastruktur 0.354 0.351 Pendamping UKM Pemerintah Daerah 9 Kontribusi ke PAD 0.329 Pemerintah Daerah Sumber: Data primer yang diolah, 2015 Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa dari sembilan kriteria, enam kriteria utama pengembangan UKM mengakses kebutuhan UKM, yaitu Prospek Nilai Tambah (0.489), Pemasaran (0.475), Dampak Sosial dan Peningkatan Kesejahteraan (0.434), Daya Saing Produk (0.421), Ketersediaan Sumber Daya (0.386), Nilai Lokalitas dan Geografis (0.370). Lembaga pendamping UKM lebih menitikberatkan aspek Dukungan Kebijakan (0.354), sedangkan Pemda mengusulkan Infrastruktur (0.351) dan Kontribusi ke PAD (0.329). Secara umum, semakin tinggi nilai yang diperoleh suatu kriteria, kriteria tersebut semakin dibutuhkan dalam penentuan strategi peningkatan daya saing UKM. Model Interpretive Structural Modeling (ISM) Setelah tidak ada lagi irisan (intersection), selanjutnya dibuat model yang dihasilkan oleh ISM untuk memecahkan masalah (Bolanos et.al. (2005), dalam hal ini peningkatan daya saing di Kabupaten Semarang. Perumusan hasil kajian dalam FGD (lampiran) dan olahan ISM memunculkan serangkaian kriteria usulan dalam strategi yang melibatkan UKM, Pendamping dan Pemda. Dari model tersebut dirumuskan suatu strategi implementasi sesuai tingkatan (level) yang terbentuk, yaitu: 1) Prospek Nilai Tambah; (2) Pemasaran; (3) Dampak Sosial dan Peningkatan Kesejahteraan; (4) Daya saing Produk; (5) Ketersediaan Sumber Daya; (6) Nilai Lokalitas dan Geografis; (7) Dukungan Kebijakan; (8) Infrastruktur dan (9) Kontribusi UKM ke PAD. PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097 527 SIMPULAN Berdasar hasil analisis diperoleh simpulan sebagai berikut: 1. Peta kompetensi criteria daya saing setiap entitas menunjukkan Aparat Pemda, mengutamakan kriteria Kontribusi ke PAD, Pemasaran dan penguatan infrastruktur. Kriteria yang diajukan oleh pelaku UKM adalah pemasaran sebagai kriteria utama, diikuti oleh prospek nilai tambah dan ketersediaan sumber daya. Lembaga pendamping UKM mengajukan kriteria pemasaran sebagai kriteria utama, diikuti dengan ketersediaan sumber daya dan penguatan daya saing produk. 2. Interseksi yang dilakukan untuk semua entitas akan membentuk nilai tertinggi untuk setiap kriteria yang berarti bahwa kriteria tersebut dianggap paling penting. Penilaian dari pelaku UKM memiliki nilai tertinggi untuk tiga kriteria, yaitu dampak sosial, daya saing produk, dan ketersediaan sumber daya. 3. Secara total, hasil kajian menunjukkan dari sembilan kriteria, enam kriteria utama pengembangan UKM mengakses kebutuhan UKM, yaitu Prospek Nilai Tambah, Pemasaran, Dampak Sosial dan Peningkatan Kesejahteraan, Daya Saing Produk, Ketersediaan Sumber Daya, Nilai Lokalitas dan Geografis. Lembaga pendamping UKM lebih menitikberatkan aspek Dukungan Kebijakan, sedangkan Pemda mengusulkan Infrastruktur dan Kontribusi ke PAD. Berdasar kriteria tersebut sudah seharusnya Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah mengapresiasi usulan kriteria pengembangan daya saing berdasar kebutuhan UKM selaku obyek yang diberdayakan. Agenda Penelitian Yang Akan Datang 1. Penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada kriteria pengembangan wilayah berdaya saing dari Kementrian Koperasi dan UMKM. Pada penelitian yang akan datang akan lebih lengkap jika pengamatan juga dilakukan berdasar Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Semarang 2. Penelitian ini akan lebih baik jika melibatkan responden tidak hanya pelaku UKM dalam klaster aktif tetapi juga pelaku UKM dalam klaster pasif. 3. Dalam pelaksanaan FGD sebaiknya para ahli/expert dibekali dengan bahan bahasan sehingga pada saat diskusi argumen yang disampaikan lebih tajam dan spesifik. PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097 528 4. Tindak lanjut penelitian ini perlu dilakukan dengan membentuk model penguatan daya saing wilayah dalam pembahasan di tingkat pengambil kebijakan Pemda Kabupaten Semarang. DAFTAR PUSTAKA Al Harbi, K. M. A. (2001). Application of the AHP in Project Management. International Journal of Project Management. Elsevier Science Ltd and IPMA. Arikunto, Suharsimi. 2006. Metodologi penelitian. Yogyakarta. Bina Aksara. Asmarani, Asri D. 2010. Strategi Kebijakan Pembangunan Daerah Kabupaten Klaten: Pendekatan Analisis SWOT Dan AHP. Tesis. Jakarta. Universitas Indonesia. Tesis dipublikasikan. Aurino Djamaris – 2007 – MACON Consulting and Training Services R E B O N http://blog.aurino.com Bolanos et.al. (2005). Using Interpretive Structural Modelling in Strategic DecisionMaking Groups. Management Decision 43 (6): 877-895. BPS Kabupaten Semarang. (2013). Kabupaten Semarang Dalam Angka. Semarang. Latifah, S. (2005). Prinsip-Prinsip Dasar Analytic Hierarchy Process. Sumatera Utara: e-USU Repository. G.K.L.,and Chan, E.H.W. (2007). The Analythic Hierarchy Process (AHP) Approach for Assessment of UrbanRenewal Proposals. Springer Science+Business Media B.V Murtiasri, Eka (2011), Laporan Penelitian Hibah Bersaing tidak dipublikasikan: Model Pengembangan Usaha Kecil Menengah Berbasis Klaster dan Indeks Penyerapan Tenaga Kerja di Kabupaten Semarang. Murtiasri, Eka (2012), Desain Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah berbasis Klaster dan Indeks Penyerapan Tenaga Kerja di Kabupaten Semarang, Jurnal Teknis, ISSN 1907-4379 Murtiasri, Eka (2013), Laporan Penelitian Hibah Bersaing tidak dipublikasikan: Kajian terhadap Efektivitas Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah melalui Penumbuhan Klaster Bisnis di Kabupaten Semarang. Prahalad, C.K. and Hamel, G. (1990). The Core Competence of the Corporation. Harvard Business Review 68 (3): 79-91. Prahalad, C.K. and Hamel, G. (1994). Competing for the Future. Boston – MA: Harvard Business School Press. Saaty, L. Thomas. 2000. Decision Making For Leaders. University of Pittsburgh; Supomo, et.al., (2006). Permasalahan dan Kebijakan Pengembangan Industri Tekstil dan Produk Tekstil di Indonesia. Jakarta: P2KTPUDPKM-BPPT. Takkar, J., Kanda, A., and Deshmukh S.G. (2008). Interpretive Structural Modeling (ISM) of IT-enablers for Indian Manufacturing SMES. Information Management & Computer Security 16 (2): 113- 136. PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097 529 LAMPIRAN (hasil FGD dengan para pelaku dan pengambil kebiajakan publik) Model Hubungan yang Terbentuk Antar UKM-Pendamping dan Pemda No Kriteria Usulan (Bottom up dari ketiga Entitas) UKM 1. Prospek Nilai Tambah Pendamping UKM Pemerintah Daerah UKM 2. Pemasaran Pendamping UKM Pemerintah Daerah UKM 3. Dampak Sosial dan Pendamping Peningkatan UKM Kesejahteraan Pemerintah Daerah UKM 4. Daya Saing Produk Pendamping UKM Pemerintah Daerah 5. 6. Ketersediaan Sumber Daya UKM Pendamping UKM Pemerintah Daerah Nilai Lokalitas UKM dan Geografis UKM sangat memprioritaskan prospek nilai tambah untuk mendukung kesejahteraan. Pemerintah harus memfasilitasi kemudahan UKM dalam memperluas produk Bagi Pendamping, prospek nilai tambah ini sangat penting karena keberhasilan pendampingan memiliki tolok ukur peningkatan kemampuan UKM memperluas produk Pemerintah perlu memikirkan nilai tambah yang akan diperoleh UKM selain laba usahanya sehingga kegiatan yang dilakukan UKM benar-benar member manfaat dan kepuasan/kebanggaan Bagi UKM, keberhasilan memasarkan produk merupakan jaminan dalam melakukan usaha jangka panjang Pendamping UKM membantu UKM dalam memasarkan produknya melalui pendampingan cara promosi atau strategi penentuan harga Pemerintah memiliki kewajiban membantu UKM dengan menyediakan pasar baik pasar regional, nasional maupun internasional Dampak yang diberikan dengan pendirian UKM adalah adanya perbaikan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar, misalkan dengan memberikan lapangan kerja, mengurangi pengangguran dan menciptakan kreativitas Pendamping bisa mengelola masyarakat sekitar UKM melalui pendirian koperasi atau pembentukan usaha bersama untuk mengurangi persaingan antar UKM yang sejenis Secara makro, efek dari dampak lingkungan adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat. Semakin sejahtera masyarakat, indeks kesejahteraan semakin tinggi. Artinya Pemerintah secara tidak langsung dinilai mampu memakmurkan masyarakatnya Daya saing diartikan sebagai uji kualitas produk di pasar. Semakin berkualitas, semakin tinggi daya saing yang dimiliki UKM Bagi pendamping, perlu untuk melakukan pembainaan sehingga UKM mampu bersaing denganfair Pemerintah memiliki kewenangan melalui program yang tepat untuk menjga dan meningkatkan daya saing dengan tetap berpegang pada aturan dan etika yang ditetapkan Bagi UKM kebutuhan sumberdaya mutlak diperlukan. Artinya jika sumberdaya tersebut tidak dimiliki, maka kegiatan produksi akan terganggu Pendamping UKM perlu ikut memonitor ketersediaan SD bagi UKM Pemerintah wajib mengatur dan mengusahakan kecukupan sumber daya bagi kelangsungan hidup UKM Bagi UKM dan pendamping, nilai lokalitas akan menunjukkan keunggulan produk yang menjadi cirri khas daerah, sedangkan nilai geografis menunjukkan kondisi suatu wilayah, apakah dekat dengan jalan raya, jalan lintas kota, bandara atau pelabuhan PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097 530 No Kriteria Usulan (Bottom up dari ketiga Entitas) Pendamping UKM sebagai kepanjangan tangan Pemerintah memiliki kewajiban untuk turut mengenalkan produk unggulan daerah Kompetensi inti sangat erat kaitannya dengan nilai lokalitas. Oleh Pemerintah karenanyaPemerintah wajib mengenalkan wilayah dan produk keuanggulan wilayah tersebut sehingga dikenal dan diingat oleh Daerah masyarakat Kebijakan yang pro terhadap pengembangn UKMperlu disusun oleh Pemerintah, misalnya kebijakan /regulasi di bidang UKM keuangan, produksi, pemasaran maupun SDM Dukungan kebijakan sangat berperan dalam membantu lembaga Dukungan Pendamping pendamping menguatkan UKM. Kebijakan yang berkaitan antara lain perolehan kredit, kemudahan pengurusan ijin, penguatan Kebijakan UKM pasar Pemerintah Daerah merupakan kepanjangan tangan dari Pemerintah Pemerintah Pusat. Perlu dikaji bahwa sebaiknya kebijakan Pusat Daerah diadaptasi sesuai kebutuhan wilayah, bukan diadopt begitu saja. UKM memerlukan infrastruktur yang mampu memperlancar UKM usahanya Pendamping tidak berkaitan langsung dengan infrastuktur, namun Pendamping diakui bahwa kerusakan infrastruktur akan berpengaruh dalam Infrastruktur UKM pendampingan yang diberikan pada UKM Penguatan infrastruktur merupakan kewajiban Pemerintah dalam Pemerintah memperlancar kegiatan operasional UKM melalui pembangunan Daerah sarana prasarana, transportasi, jalan dll Bagi UKM kontribusi ini bukan merupakan prioritas, karena lebih utama bagi UKM untuk berpikir bagaimana caranya bertahan dan UKM berkembang secara individu Sebagai lembaga yang dibentuk Pemerintah, pendamping wajib Kontribusi ke Pendamping mensukseskan program sumbangan ke PAD, namun sebagai pendamping, mereka menyuarakan aspirasi dari UKM yang tidak UKM PAD memikirkan PAD Bagi Pemerintah, tujuan utama pengembangan UKM adalah Pemerintah kontribusinya ke PAD. Semakin besar kontribusinya, UKM Daerah dianggap berhasil Sumber: Data Primer yang diolah, 2015 Pendamping UKM 7. 8. 9. PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097 531