Perspektif hubung

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka
1.
Teori Keagenan (Agency Theory)
Perspektif hubungan keagenan merupakan dasar yang digunakan
untuk memahami corporate governance. Jensen dan Meckling (1976)
menyatakan bahwa hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara manajer
(agent) dengan investor (principal). Konflik kepentingan antara pemilik dan
agen terjadi karena kemungkinan agen tidak selalu berbuat sesuai dengan
kepentingan principal, sehingga memicu biaya keagenan (agency cost).
Timbulnya manajemen laba dapat dijelaskan dengan teori agensi.
Sebagai agen, manajer secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan
keuntungan para pemilik (principal) dan sebagai imbalannya akan memperoleh
kompensasi sesuai dengan kontrak. Dengan demikian terdapat dua kepentingan
yang berbeda didalam perusahaan dimana masing-masing pihak berusaha
untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki
(Ali, 2002).
Menurut
Eisenhardt
(1989)
menyatakan
bahwa
teori
agensi
menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumya
mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir
terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3)
manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat
10
13
dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia akan bertindak opportunistic,
yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya (Haris, 2004).
Hak pengendalian yang dimiliki oleh manajer memungkinkan untuk
diselewengkan dan dapat menimbulkan masalah keagenan yang dapat diartikan
dengan sulitnya investor memperoleh keyakinan bahwa dana yang mereka
investasikan dikelola dengan semestinya oleh manajer. Manajer memiliki
kewenangan untuk mengelola perusahaan dan dengan demikian manajer
memiliki hak dalam mengelola dana investor (Ujiyantho, 2007).
Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui
informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang
dibandingkan pemilik (pemegang saham). Manajer berkewajiban memberikan
sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan
dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan
keuangan. Laporan keuangan tersebut penting bagi para pengguna eksternal
terutama sekali karena kelompok ini berada dalam kondisi yang paling besar
ketidakpastiannya (Ali, 2002). Ketidakseimbangan penguasaan informasi akan
memicu munculnya suatu kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi
(information asymmetry).
Asimetri antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal) dapat
memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba
(earnings management) dalam rangka menyesatkan pemilik (pemegang saham)
mengenai kinerja ekonomi perusahaan. Penelitian Richardson (1998)
14
menunjukkan adanya hubungan positif antara asimetri informasi dengan
manajemen laba.
Healy dan Wahlen (1999), menyatakan bahwa definisi manajemen
laba mengandung beberapa aspek. Pertama intervensi manajemen laba
terhadap pelaporan keuangan dapat dilakukan dengan penggunaan judgment,
misalnya judgment yang dibutuhkan dalam mengestimasi sejumlah peristiwa
ekonomi di masa depan untuk ditunjukkan dalam laporan keuangan, seperti
perkiraan umur ekonomis dan nilai residu aktiva tetap, tanggungjawab untuk
pensiun, pajak yang ditangguhkan, kerugian piutang dan penurunan nilai asset.
Disamping itu manajer mempunyai pilihan untuk metode akuntansi, seperti
metode penyusutan dan metode biaya. Kedua, tujuan manajemen laba untuk
menyesatkan stakeholders mengenai akses terhadap informasi yang tidak dapat
diakses oleh pihak luar.
Salah satu mekanisme yang diharapkan dapat mengontrol konflik
keagenan adalah dengan menerapkan monitoring melalui tata kelola perusahan
yang baik (Good Corporate Governance). Corporate Governance merupakan
konsep yang diajukan demi peningkatakan kinerja perusahaan melalui
supervisi atau monitoring kinerja manajemen dan menjamin akuntabilitas
manajemen terhadap stakeholder dengan mendasarkan kepada kerangka
peraturan.
Konsep
corporate
governance
diajukan
demi
tercapainya
pengelolaan perusahaan yang lebih transparan bagi semua pengguna laporan
keuangan (Nasution dan Setiawan, 2007).
15
Hal ini sekaligus terkait dengan masalah keagenan di mana corporate
governance merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan,
diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada
para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah mereka
investasikan. Corporate governance berkaitan dengan bagaimana para investor
yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi mereka, yakin bahwa
manajer tidak akan mencuri/menggelapkan atau menginvestasikan ke dalam
proyek-proyek yang tidak menguntungkan berkaitan dengan dana/kapital yang
telah ditanamkan oleh investor, dan berkaitan dengan bagaimana para investor
mengontrol para manajer (Shleifer dan Vishny, 1997). Dengan kata lain
corporate governance diharapkan dapat berfungsi untuk menekan atau
menurunkan biaya keagenan (agency cost).
Penilaian kinerja menurut Setyasih (2009) adalah penentuan
efektivitas operaisonal, organisasi, dan karyawan berdasarkan sasaran, standar
dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya secara periodik. Ada dua macam
kinerja, yakni kinerja operasional dan kinerja keuangan. Kinerja opeerasional
lebih ditekankan pada kepentingan internal perusahaan seperti kinerja
cabang/divisi yang diukur dengan kecepatan dan kedisiplinan. Sedangkan
kinerja keuangan lebih kepada evaluasi laporan keuangan perusahaan pada
waktu dan jangka tertentu. Untuk mengetahui kinerja keuangan perusahaan
maka secara umum perlu dilakukan analisis terhadap laporan keuangan, yang
menrut Brigham dan Houston (2001, h.78) mencakup (1) perbandingan kinerja
perusahaan dengan perusahaan lain dalam industri yang sama dan (2) evaluasi
16
kecendrungan posisi keuangan perusahaan sepanjang wkatu. Laporan keuangan
perusahaan melaporkan baik posisi perusahaan pada suatu waktu tertentu
maupun operasinya selama beberapa periode yang lalu.
Salah satu indikator untuk menilai kinerja keuangan adalah laporan
keuangan. Jenis laporan keuangan yang mengukur keberhasilan operasi
perusahaan untuk suatu periode tertentu adalah laporan laba rugi. Tetapi angka
laba yang dihasilkan seringkali dipengaruhi oleh metode akuntansi yang
digunakan (Kieso dan Weygandt, 2005), sehingga laba yang tinggi belum tentu
mencerminkan kas yang besar. Dalam hal ini arus kas mempunyai nilai lebih
untuk menjamin kinerja perusahaan di masa mendatang. Arus kas (Cash Flow)
menunjukkan hasil operasi yang dananya telah diterima tunai oleh perusahaan
serta dibebani dengan beban yang bersifat tunai dan benar-benar sudah
dikeluarkan oleh perusahaan (Pradhono, 2004).
Cash flow return on assets (CFROA) merupakan salah satu pengukuran
kinerja perusahaan yang menunjukkan kemampuan aktiva perusahaan untuk
menghasilkan laba operasi. CFROA lebih memfokuskan pada pengukuran kinerja
perusahaan saat ini dan CFROA tidak terikat dengan harga saham (Cornett et al.,
2006).
Tujuan manajemen laba adalah mengatur laporan keuangan agar sesuai
dengan apa yang diinginkan oleh manajer terkait dengan kepentingannya. Dengan
demikian, semakin tinggi manajemen laba yang dilakukan maka kinerja keuangan
akan semakin terlihat baik, dalam kaitannya dengan tujuan melakukan manajemen
17
laba adalah untuk memperbaiki laporan keuangan perusahaan yang berbeda
dengan kondisi yang sebenarnya.
2.
Kinerja Keuangan
Kinerja Keuangan merefleksikan kinerja fundamental perusahaan.
Kinerja keuangan diukur dengan data fundamental perusahaan, yaitu data yang
berasal dari laporan keuangan (Ujiyantho dan Pramuka, 2007). Kinerja
perusahaan merupakan indikator tingkatan prestasi yang dapat dicapai dan
mencerminkan keberhasilan manajer (Lestari dan Zulaikha, 2007). Sucipto
(2003) pengertian kinerja adalah penentuan ukuran-ukuran tertentu yang dapat
mengukur keberhasilan suatu perusahaan dalam menghasilkan laba. Sedangkan
tujuan penilaian kinerja (Mulyadi, 2003) adalah:
“Untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam
mematuhi standar prilaku yang telah ditetapkan sebelumnya agar
membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan. Standar prilaku dapat
berupa kebijakan manajemen atau rencana formal yang dituangkan dalam
anggaran.”
Sucipto (2003) menjelaskan bahwa :
“Penilaian kinerja dilakukan untuk menekan perilaku yang tidak semestinya
dan untuk merangsang dan menegakkan prilaku yang semestinya diinginkan
melalui umpan balik hasil kinerja dan waktu serta penghargaan baik yang
bersifat instrinsik maupun ekstrinsik.
Mulyadi (2003) menerangkan tentang manfaat dari penilaian kinerja
adalah (1) Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisian melalui
pemitivasian karyawan secara maksimum. (2) Membantu pengambilan
keputusan yang bersangkutan dengan karyawan seperti promosi, transfer dan
pemberhentian. (3) Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan
karyawan dan untuk menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program
18
pelatihan karyawan. (4) Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai
bagaimana atasan mereka menilai kinerja mereka. (5) Menyediakan suatu dasar
bagi distribusi penghargaan.
Laporan keuangan sering digunakan sebagai alat ukur kinerja
keuangan. Dalam hal ini laporan arus kas mempunyai nilai lebih untuk
menjamin kinerja perusahaan di masa mendatang. Arus kas (Cash Flow)
menunjukkan hasil operasi yang dananya telah diterima tunai oleh perusahaan
serta dibebani dengan beban yang bersifat tunai dan benar-benar sudah
dikeluarkan oleh perusahaan (Pradhono, 2004). Cornett et al., menjelaskan
bahwa Cash Flow Return On Assets (CFROA) merupakan salah satu
pengukuran kinerja keuangan perusahaan yang menunjukkan kemampuan
aktiva perusahaan untuk menghasilkan
laba
operasi.
CFROA lebih
memfokuskan pada pengukuran kinerja perusahaan saat ini dan tidak terikat
dengan harga saham.
a.
Pengukuran Kinerja Keuangan
CFROA dihitung dari laba sebelum bunga dan pajak ditambah depresiasi
dibagi dengan total aset.
CFROA =
EBIT + Dep
Keterangan :
CFROA = Cash flow return on assets
EBIT = Laba sebelum bunga dan pajak
Dep = Depresiasi
Assets = Total aktiva
19
3.
a.
Manajemen Laba
Pengerian Manajemen Laba
Manajemen laba merupakan tindakan manajemen yang dapat
mempengaruhi angka laba yang dilaporkan. Menurut Scott (1997),
Manajemen Laba adalah tindakan manajemen untuk melaporkan laba
yang dapat memaksimalkan kepentingan pribadi atau perusahaan dengan
menggunakan kebijakan metode akuntansi. Menurut Schipper (1989)
dalam Gumanti (2000) Manajemen Laba yaitu intervensi dalam proses
pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan – keuntungan pribadi.
Manajemen laba dapat memberikan gambaran akan perilaku
manajer dalam melaporkan kegiatan usahanya pada periode tertentu,
yaitu dengan adanya kemungkinan munculnya motivasi tertentu yang
mendorong
mereka untuk mengatur data keuangan yang dilaporkan.
Manajemen laba merupakan fenomena yang tidak mudah dihindari,
manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan penilaian
opotunistik dalam pelaporan keuangan dan mengubah laporan tersebut
sehingga menyesatkan pemegang
saham. Manajemen laba juga
merupakan dampak dari penggunaan dasar akrual. Akrual merupakan
metode pencatatan pendapatan saat terjadinya pendapatan meskipun
belum terjadi transaksi kas.
20
Ada dua perspektif penting yang dapat digunakan untuk
menjelaskan mengapa manajemen laba dilakukan oleh manajer, yaitu
perspektif informasi dan oportunis. Perspektif informasi merupakan
pandangan yang menyarankan bahwa manajemen laba merupakan
kebijakan manajerial untuk mengungkapkan harapan pribadi manajer
tentang arus kas perusahaan dimasa depan. Upaya mempengaruhi
informasi itu dilakukan dengan memanfaatkan kebebasan memilih,
menggunakan, dan mengubah metode dan prosedur akuntansi. Perspektif
oportunis merupakan pandangan yang menyatakan bahwa manajemen
laba merupakan perilaku manajer untuk mengelabui investor dan
memaksimalkan kesejahteraannya karena memiliki informasi lebih
banyak dibandingkan pihak lain (Sulistyanto, 2008).
b. Motivasi Manajen Laba
Watts and Zimmermann (dalam Astuti, 2005) menyatakan bahwa :
“Motivasi yang mendorong manajemen melakukan manajemen laba ada
tiga”:
i)
Hipotesis program bonus (The Bonus Plan Hypotesis). Yang
didasarkan
adanya
dorongan
manajer
perusahaan
untuk
mendapatkan bonus berdasarkan laba yang dilaporkan oleh
manajer. Scott (dalam Astuti, 2005) menyebutkan motivasi bonus
tersebut mendorong manajer untuk memilih prosedur akuntansi
yang dapat menggeser laba dari periode yang akan datang ke
periode saat ini. Manajer perusahaan dengan rencana bonus lebih
21
mungkin
menggunakan
metode-metode
akuntansi
yang
meningkatkan income yang dilaporkan pada periode berjalan.
(Gumanti, 2000) beranggapan bahwa manajer akan memilih
prosedur
akuntansi
yang
meningkatkan
keuntungan
yang
dilaporkan dalam upayauntuk memaksimalkan imbalan bonus.
Lebih lanjut Healy menemukan bukti bahwa ada hubungan yang
kuat
antara
akrual dan
dorongan-dorongan
tertentu
yang
mempengaruhi manajer untuk mengatur jumlah pendapatan yang
dilaporkan, khususnya manajer akan memilih akrual yang
menurunkan pendapatan pada saat pola bonus berada di bawah atau
di atas batasan yang diikat, dan memilih akrual yang menaikkan
pendapatan pada saat batasan tersebut tidak diikat.
ii)
Hipotesis perjanjian utang (The Debt Covenant Hypothesis).
Motivasi debt covenant disebabkan oleh munculnya perjanjian
kontrak antara manajer dan perusahaan yang berbasis kompensasi
manajerial (Astuti, 2005). Motivasi ini muncul karena perjanjian
antara manajer dan pemilik perusahaan berbasis pada kompensasi
manajerial dan perjanjian hutang (debt covenant) (Ujiantho, 2007).
Belkaoui (dalam Ujiantho, 2007) menjelaskan semakin tinggi rasio
hutang suatu perusahaan maka semakin dekat perusahaan tersebut
dengan kendala-kendala dalam perjanjian hutang dan semakin
besar probabilitas pelanggaran perjanjian, jadi semakin mungkin
22
manajer untuk menggunakan metode-metode akuntansi yang
meningkatkan income.
iii)
Hipotesis biaya politik (The Political Cost Hypotheses). Motivasi
politik timbul karena manajemen memanfaatkan kelemahan
akuntansi yang menggunakan estimasi akrual serta pemilihan
metode akuntansi dalam menghadapi berbagai regulasi yang
dikeluarkan pemerintah (Astuti, 2005).
c.
Teknik Manajemen Laba
Teknik dan pola manajemen laba menurut (Setiawati dan Na’im,
2001) dapat dilakukan dengan tiga teknik yaitu :
i)
Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi
Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgment (perkiraan)
terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak
tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau
amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi, dan lainlain.
ii)
Mengubah metode akuntansi
Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu
transaksi, contoh : merubah metode depresiasi aktiva tetap, dari
metode depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus.
23
iii) Menggeser periode biaya atau pendapat
Contoh rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain :
Mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian dan
pengembangan sampai pada
periode akuntansi
berikutnya,
mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai periode
berikutnya, mempercepat atau menunda pengiriman produk ke
pelanggan, mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tidak
dipakai.
d. Pola Manajemen Laba
Scott (2000) juga menambahkan bahwa pola manajemen laba dapat
dilakukan dengan cara:
i) Taking a Bath
Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO
baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan
ini diharapkan dapat meningkatkan laba di masa mendatang.
Strategi seperti ini dilakukan seolah-olah manajer baru melakukan
kebijakan yang agresif pada perusahaan yang mengalami kerugian
tersebut. Teknik taking a bath dilakukan dengan mengakui adanya
biaya-biaya pada periode yang akan datang dan kerugian pada
periode berjalan. Sehingga manajemen menghapus beberapa aktiva
dan
membebankan
perkiraan-perkiraan
biaya
mendatang.
Akibatnya laba pada periode berikutnya akan lebih tinggi dari
seharusnya.
24
ii) Income Minimization
Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat profitabilitas
yang tinggi sehingga jika laba pada periode mendatang
diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan mengambil laba
periode sebelumnya.
iii) Income Maximization
Dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas income
maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi
untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh
perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian utang.
e.
Pengukuran Manajemen Laba
Manajemen laba diukur dengan menggunakan proksi Discretionary
Accrual ( DA ). Discretionary Accrual ( DA ) adalah komponen akrual
yang berada dalam kebijakan manajer, artinya manajer memberi
intervensinya
dalam
proses
pelaporan
akuntansi.
Perhitungan
Discretionary Accruals menggunakan model Jones (1991) yang telah
dimodifikasi oleh Dechow et al. (1995) yaitu sebagai berikut:
TAC = Nit – CFOit….......………………….…....…...........................(1)
Nilai total accrual (TA) yang diestimasi dengan persaman regresi OLS
sebagai berikut:
TAit/Ait-1= β1(1/Ait-1) + β2(ΔRevt /Ait-1) + β3(PPEt/Ait-1) + e.............(2)
25
Dengan menggunakan koefisien regresi diatas nilai non discretionary
accruals (NDA) dapat dihitung dengan rumus :
NDAit = β1(1/Ait-1) + β2(ΔRevt/Ait-1 – ΔRect/Ait-1) + β3(PPEt/Ait-1)...(3)
Selanjutnya Discretionary Accrual (DA) dapat dihitung sebagai berikut:
DAit = TAit / Ait-1 – NDAit..…..……....…….…..….................…......(4)
Keterangan :
DAit = Discretionary Accruals perusahaan i pada periode ke-t
NDAit = Non Discretionary Accruals perusahaan i pada periode ke-t
TAit = Total akrual perusahaan i pada periode ke-t
Nit = Laba bersih perusahaan i pada periode ke-t
CFOit = Aliran kas dari aktivitas operasi perusahaan i pada periode ke-t
Ait-1 = Total aktiva perusahaan i pada periode ke t-1
ΔRevt = Perubahan pendapatan perusahaan i pada periode ke-t
PPEt = Aktiva tetap perusahaan pada periode ke-t
ΔRect = Perubahan piutang perusahaan i pada periode ke-t
e = error
4.
a.
Corporate Governance
Pengertian Corporate Governance
Istilah corporate governance secara luas telah dikenal dalam dunia
usaha. Organization for Economic Co-Operation and Development
(OECD) Siswanto dan Aldridge (2005:2) mendefinisikan corporate
governance sebagai :
26
“Suatu sistem pengendalian dan pengawasan pada suatu badan usaha
yang memiliki tujuan untuk mencapai kinerja badan usaha semaksimal
mungkin tanpa merugikan stakeholdernya”.
Setiap badan usaha memiliki pihak-pihak yang berkepentingan
terhadap badan usaha tersebut, antara lain pihak manajer, pemegang
saham (yang diwakili oleh dewan komisaris), karyawan, serta
stakeholder lainnya, seperti masyarakat, konsumen, pemerintah, pers, dan
lain-lain.
Komite
Nasional
Kebijakan
Governance
(2004)
mendefinisikan
corporate governance sebagai :
“Suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ perusahaan
guna memberikan nilai tambah pada perusahaan secara
berkesinambungan dalam jangka panjang bagi pemegang saham,
dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya,
berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku.”
Forum For Corporate Governance (Ujiantho, 2007) Corporate
governance didefinisikan sebagai :
“Seperangkat aturan yang mendefinisikan hubungan antara pemegang
saham, manajer, kreditor, pemerintah karyawan, dan stakeholder
internal maupun eksternal lain, mengenai hak dan kewajiban mereka,
atau sistem di mana perusahaan diatur (directed) dan dikendalikan
(controlled), tujuan corporate governance adalah menciptakan nilai
tambah bagi stakeholder.”
Dalam Akhmad Syakhroza (2003), Turnbull mendefinisikan corporate
governance :
“Corporate governance adalah suatu tata kelola yang diselenggarakan
dengan mempertimbangkan semua faktor yang mempengaruhi proses
institusional, termasuk faktor-faktor yang berkaitan dengan fungsi
regulator.”
27
Menurut Darmawati (2003), terdapat dua hal yang menjadi
perhatian dalam corporate governance. Yang pertama adalah pentingnya
hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar, akurat,
dan tepat waktu, dan yang kedua adalah kewajiban perusahaan untuk
melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu dan
transparan mengenai semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan
dan stakeholder. Mekanisme corporate governance memiliki kemampuan
dalam kaitannya untuk menghasilkan suatu laporan keuangan yang
memiliki kandungan informasi laba (Boediono, 2005).
b. Prinsip-Prinsip Corporate Governance
Komite Nasional Kebijakan Governance pada tahun 2006 telah
mengeluarkan Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia.
Pedoman GCG merupakan panduan bagi perusahaan dalam membangun,
melaksanakan dan mengkomunikasikan praktik GCG kepada pemangku
kepentingan. Dalam pedoman tersebut KNKG (Komite Nasional
Kebijakan Governance) memaparkan azas-azas GCG sebagai berikut :
i)
Transparansi (Transparancy)
Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan
harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara
yang mudah diakses dan dipahami oleh stakeholder. Perusahaan
harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya
masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan tetapi
28
juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang
saham, kreditur dan stakeholder lainnya.
ii) Akuntabilitas (Accountability)
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara
benar, terukur, dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan
tetap
memperhitungkan
stakeholder
lain.
kepentingan
Akuntabilitas
pemegang
saham
merupakan persyaratan
dan
yang
diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
iii) Pertanggungjawaban (Responsibility)
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta
melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan
sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka
panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.
iv) Kemandirian (Independency)
Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus
dikelola
secara
independen
sehingga
masing-masing
organ
perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi
oleh pihak lain.
v) Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa
memperhatikan kepentingan pemegang saham dan stakeholder
lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
29
c.
Mekanisme Corporate Governance
Mekanisme corporate governance adalah syarat-syarat pelaksanaan
sistem dalam suatu badan usaha di mana berbagai pihak yang
berkepentingan terhadap badan usaha tersebut dapat memastikan bahwa
pihak manajer dan pihak internal badan usaha lainnya dapat memenuhi
kepentingan stakeholder (Sanda et al., 2005). Mekanisme corporate
governance yang baik akan menghasilkan kinerja badan usaha yang lebih
baik. Mekanisme corporate governance terdiri dari dimensi-dimensi
corporate governance.
Mekanisme tersebut terbagi menjadi mekanisme internal dan mekanisme
eksternal (Sanda et al., 2005). Yang termasuk dalam mekanisme internal
adalah kepemilikan manajerial, ukuran dewan komisaris, komisaris
independen, dan konsentrasi kepemilikan. Utang (leverage) merupakan
mekanisme eksternal corporate governance.
i)
Mekanisme Internal Corporate Governance
a) Kepemilikan Manajerial
Kay (1992) mengatakan bahwa kepemilikan manajerial merupakan
kepemilikan sejumlah saham badan usaha oleh pihak eksekutif
sehingga membuat eksekutif yang melakukan akuisisi saham badan
usaha memiliki kinerja lebih baik dibandingkan eksekutif yang tidak
memiliki saham badan usaha.
30
Davies et al. (2002) menyatakan bahwa:
“Managerial ownership is equity ownership by inside company
managers in providing incentives to maximize the value of their
company”.
Kepemilikan manajerial diukur dengan perbandingan jumlah saham
yang dimiliki oleh pihak manajer terhadap jumlah saham beredar
(Sanda et al. 2005). Indikator yang digunakan untuk mengukur
kepemilikan manajerial yaitu :
KPMJ =
b) Ukuran Dewan Komisaris
Ukuran dewan komisaris merupakan jumlah yang tepat agar dewan
komisaris dapat bekerja secara efektif dan menjalankan corporate
governance dengan bertanggung jawab kepada pemegang saham
(Ruvisky, 2005). Jumlah yang tepat berarti jumlah yang dianggap
proporsional untuk mewakili pemegang saham. Jadi, ukuran dewan
komisaris merupakan jumlah yang dianggap proporsional untuk
mewakili pemegang saham badan usaha agar dewan komisaris dapat
bekerja secara efektif dan menjalankan corporate governance
dengan bertanggung jawab kepada pemegang saham. Ukuran dewan
komisaris diukur dengan menggunakan indikator jumlah anggota
dewan komisaris suatu perusahaan.
31
c) Dewan Komisaris Independen
Dewan komisaris independen menunjukkan keberadaan wakil dari
pemegang saham secara independen dan juga mewakili kepentingan
investor. Peraturan Bank Indonesia no. 8/4/PBI/2006 pasal 4
mengenai komisaris independen :
“Komisaris Independen adalah anggota dewan komisaris yang
tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan
saham dan/ atau hubungan keluarga dengan anggota dewan
komisaris lainnya, direksi atau pemegang saham pengendali atau
hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk
bertindak independen.”
Ukuran dewan komisaris independen diukur dengan:
DKI =
Jumlah anggota dewan komisaris yang berasal
dari luar perusahaan /independen
Jumlah seluruh komisaris perusahaan
d) Kepemilikan Institusional
Sanda et al. (2005) menyatakan bahwa Kepemilikan Institusional
merupakan :
“Proporsi lembar saham badan usaha yang dimiliki oleh pemegang
saham terbesar.
Menurut Mitton (2002):
“Ownership concentration is cumulative stockownership of
shareholder who owns at least 5 percent in the firm.”
Dalam penelitian ini diukur dengan :
KI =
%
%
32
ii) Mekanisme Eksternal Corporate Governance
Utang (leverage) merupakan mekanisme eksternal corporate
governance. Dimana Utang merupakan sarana pembiayaan yang
mempunyai klaim kontraktual atas arus kas dan aset badan usaha,
menciptakan penghematan pajak, mempunyai umur tertentu, dan
memiliki klaim pertama atas arus kas selama periode operasi
maupun kebangkrutan (Damodaran, 2001:483).
Menurut Jensen dan Meckling (1976), kebijakan utang dapat
berperan sebagai mekanisme penjamin bagi pihak manajer untuk
menunjukkan niat baiknya kepada pemegang saham. Hal ini
dikarenakan penggunaan utang menunjukkan bahwa pihak manajer
bersedia untuk menerima risiko kehilangan kendali atas badan
usahanya jika gagal bekerja secara efektif. Alat ukur utang yang
digunakan dalam penelitian ini merujuk pada Sanda et al. (2005),
yaitu proporsi utang terhadap ekuitas (share capital).
B. Penelitian Terdahulu
Ujiyantho dan Pramuka (2007), melakukanpenelitian mengenai pengaruh
mekanisme corporate governance terhadap manajemen laba dan konsekuensi
manajemen laba terhadap kinerja keuangan. Mekanisme corporate governance
yang mereka gunakan adalah kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial,
proporsi dewan komisaris, dan ukurandewan komisaris. Dari hasil analisis
menunjukkan bahwa mekanisme corporate governance (kepemilika manajerial)
33
berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba dan manajemen laba tidak
berpengaruh terhadap kinerja keuangan.
Rachmawati dan Triatmoko (2007), meneliti faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas laba dan nilai perusahaan. Variabel yang digunakan
adalah Komite audit, dewan komisaris, kepemilikan manajerial, kepemilikan
institusional. Proksi kualitas laba adalah discretionary accruals. Hasil analisis dari
penelitian ini adalah Mekanisme corporate governance tidak berpengaruh
signifikan terhadap kualitas laba namun kepemilikan institusional dan manajerial
berpengaruh posifif signifikan terhadap nilai perusahaan.
Siallagan dan Machfoedz (2006) meneliti pengaruh terhadap nilai
perusahaan dengan kualitas laba sebagai variabel intervening. Variabel corporate
governance yang diteliti adalah kepemilikan manajerial, dewan komisaris,
dankomite audit. Hasil yang diketahui dari penelitian ini adalah Kepemilikan
manajerial secara positif berpengaruh terhadap kualitas laba, dewan komisaris
secara negatif berpengaruh terhadap kualitas laba, komite audit secara positif
berpengaruh terhadap kualitas laba, kualitas laba secara positif berpengaruh
terhadap nilai perusahaan.
Nasution dan Setiawan (2007) meneliti tentang pengaruh pelaksanaan
corporate governance terhadap tindak manajemen laba yang terjadi di perusahaan
perbankan. Dari hasil analisis ditemukan bahwa komposisi dewan komisaris
berpengaruh negatif terhadap manajemen laba, ukuran dewan komisaris
berpengaruh positif terhadap manajemen laba, dan Keberadaan komite audit
berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.
34
Gideon SB. Boediono (2005) meneliti tentang Kualitas Laba: Studi
pengaruh mekanisme corporate governance dan dampak manajemen laba dengan
menggunakan analisis jalur. Mekanisme corporate governance meliputi
kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial dan komposisi dewan
komisaris. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini kepemilikan institusional,
kepemilikan manajerial dan komposisi dewan komisaris secara bersama-sama
tingkat pengaruhnya lemah terhadap manajemen laba. Pengaruh mekanisme
corporate governance dan manajemen laba secara bersama-sama terhadap
kualitas laba, teruji dengan tingkat pengaruhnya yang cukup kuat.
Midiastuty dan Machfoedz (2003) menguji pengaruh mekanisme
corporate governance terhadap manajemen laba dan kualitas laba. Mekanisme
corporate
governance
meliputi
kepemilikan
institusional,
kepemilikan
manajerial,dan ukuran dewan direksi. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini
adalah kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional berpengaruh negatif
terhadap manajemen laba, sedangkan ukuran dewan direksi berpengaruh posiitf
terhadap manajemen laba. kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional
berpengaruh positif terhadap kualitas laba.
35
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No.
Peneliti dan Tahun
Penelitian
Judul
Variabel Penelitian
Hasil Penelitian
1.
Ujiyantho dan
Pramuka (2007)
Pengaruh Mekanisme
Corporate Governance
Terhadap Manajemen
Laba dan Konsekuensi
Manajemen Laba
Terhadap Kinerja
Keuangan.
Kepimilikan
Institusional,
Kepemilikan Manajerial,
Proporsi Dewan
Komisaris, dan Ukuran
Dewan Komisaris.
Mekanisme Corporate
Governance (Kepemilikan
Manajerial) berpengaruh
terhadap manajemen laba dan
manajemen laba tidak
berpengaruh terhadap kinerja
keuangan.
2.
Rachmawati dan
Triatmoko (2007)
Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Kualitas
Laba dan Nilai
Perusahaan
Komite Audit, Dewan
Komisaris, Kepimilikan
Manajerial, dan
Kepemilikan
Institusional.
Mekanisme Corporate
Governance tidak
berpengaruh signifikan
teradap manajemen laba,
namun sebaliknya
kepemilikan institusional dan
manajerial berpengaruh
positif.
3.
Siallagan dan
Machfoedz (2006)
Pengaruh Terhadap Nilai
Perusahaan dengan
Kualitas Laba sebagai
Variabel Intervening
Kepemilikan Manajerial,
Dewan Komisaris, dan
Komite Audit.
Kepemilikan manajerial dan
komite audit secara positif
berpengaruh terhadap kualitas
laba, dewan komisaris secara
negatif berpengaruh terhadap
kulitas laba, dan kualitas laba
secara positif berpengaruh
terhadap nilai perusahaan.
4.
Nasution dan
Setiawan (2006)
Pengaruh Pelaksanaan
Corporate Governance
Terhadap Tindak
Manajemen Laba yang
Terjadi di Perusahaan
Perbankan.
Komposisi Dewan
Komisaris, Ukuran
Dewan Komisaris, dan
Keberadaan Komite
Audit.
Komposisi dewan komiasaris
dan keberadaan komite audit
berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba, sedangkan
ukuran dewan komisaris
berpengaruh positif terhadap
manajemen laba.
5.
Midiastuty dan
Machfoedz (2003)
Pengaruh Mekanisme
Corporate Governance
Terhadap Manajemen
Laba dan Kualitas Laba.
Kepemilikan
Institusional,
Kepemilikan Manajerial,
dan Ukuran Dewan
Direksi.
Kepemilikan manajerial dan
kepemilikan institusional
berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba, sedangkan
ukuran dewan direksi
berpengaruh positif terhadap
manajemen laba. Serta
kepemilikan manajerial dan
institusional berpengaruh
positif terhadap kualitas laba.
6.
Gideon SB. Boediono
Kualitas Laba: Studi
Pengaruh Mekanisme
Corporate Governance
Dan Dampak Manajemen
Laba dengan
Menggunakan Analisis
Jalur.
Kepemilikan
Institusional,
Kepemilikan Manajerial,
Komposisi Dewan
Komisaris, Manajemen
Laba dan Kualitas Laba.
Kepemilikan institusional,
kepemilikan manajerial dan
komposisi dewan komisaris
secara bersama-sama tingkat
pengaruhnya lemah terhadap
manajemen laba. Pengaruh
mekanisme corporate
governance dan manajemen
laba secara bersama-sama
terhadap kualitas laba, teruji
dengan tingkat pengaruhnya
yang cukup kuat.
Sumber : diolah oleh penulis
36
C. Rerangka Pemikiran
Penelitian yang saya lakukan ini merupakan replikasi dari penelitian yang
dilakukan oleh Ujiyantho dan Pramuka dengan judul “Mekanisme Corporate
Governance, Manajemen Laba, dan Kinerja Keuangan” pada tahun 2007.
Perbedaan dengan penelitian saya ini terletak pada periode penelitian dan tempat
penelitian.
Corporate governanace merupakan salah satu elemen kunci dalam
meningkatkan efesiensi ekonomis, yang meliputi serangkaian hubungan antara
manajemen perusahaan, dewan komisaris, para pemegang saham dan stakeholders
lainnya.
Kepemilikan manjerial yaitu kepemilikan saham oleh pihak manajerial
perusahaan. semakin besar kepemilikan manajemen dalam perusahaan maka
manajemen akan berusaha meningkatkan kinerjanya untuk kepentingan pemegang
saham dan kepentingannya sendiri.
kepemilikan saham institusional yaitu kepemilikan saham perusahaan
oleh pihak luar perusahaan yang berbentuk institusi. investor institusional
merupakan pihak yang dapat memonitor agen dengan kepemilikannya yang besar,
sehingga motivasi manajer untuk mengatur laba menjadi berkurang
Dewan komisaris independen yang secara umum bertanggung jawab
untuk mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, serta mewujudkan
akuntabilitas. dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan atau outside
director dapat mempengaruhi tindakan manajemen laba.
37
Manajemen laba dilakukan oleh manajer pada faktor-faktor fundamental
perusahaan, yaitu dengan intervensi pada penyusunan laporan keuangan
berdasarkan akuntansi akrual. Manajemen laba yang dilakukan manajer pada
laporan keuangan tersebut akan mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan,
yang selanjutnya akan mempengaruhi kinerja saham.
Berdasarkan pada penjelasan tersebut, dapat diilustrasikan kerangka
pemikiran sebagai berikut:
Mekanisme GCG
Kepemilikan
Institusional
Kepemilikan
Manajerial
Proposi Dewan
Manajemen
Kinerja
Laba
Keuangan
Komisaris
Ukuran Dewan
Komisaris
Gambar 2.1
Model Rerangka Pemikiran
38
D. Pengembangan Hipotesis
1.
Kepemiliakan Institusional dan Manajemen Laba
Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan
pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga
dapat mengurangi manajemen laba. Persentase saham tertentu yang
dimiliki oleh institusi dapat mempengaruhi proses penyusunan laporan
keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai
kepentingan pihak manajemen (Gideon, 2005).
McConell dan Servaes (1990), Nesbitt (1994), Smith (1996), Del
Guercio dan Hawkins (1999), dan Hartzell dan Starks (2003) dalam
Cornertt et al., (2006) menemukan adanya bukti yang menyatakan
bahwa tindakan pengawasan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan
dan pihak investor insitusional dapat membatasi perilaku para manajer.
Cornet et al., (2006) menyimpulkan bahwa tindakan pengawasan
perusahaan oleh pihak investor institusional dapat mendorong manajer
untuk lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan
sehingga akan mengurangi perilaku opportunistic atau mementingkan
diri sendiri.
Penelitian Suranta dan Midiastuty (2005) menunjukkan bahwa
kepemilikan institusional dapat berperan sebagai salah satu mekanisme
corporate governance dalam mengurangi praktik manajemen laba.
Investor
institusional
diasumsikan
sebagai
investor
yang
39
berpengalaman dan dapat melakukan analisa yang lebih baik sehingga
tidak mudah diperdaya oleh manipulasi manajemen, oleh karena itu
manajer akan mengindari tindakan manajemen laba sehingga laba yang
dihasilkan akan lebih berkualitas. Dalam penelitian ini diajukan
hipotesis dengan rumusan sebagai berikut:
H1: Kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba.
2.
Kepemilikan Manajerial dan Manajemen Laba
Dari sudut pandang teori akuntansi, manajemen laba sangat ditentukan
oleh motivasi manajer perusahaan. Motivasi yang berbeda akan
menghasilkan besaran manajemen laba yang berbeda, seperti antara
manajer yang juga sekaligus sebagai pemegang saham dan manajer
yang tidak sebagai pemegang saham. Dua hal tersebut akan
mempengaruhi manajemen laba, sebab kepemilikan seorang manajer
akan ikut menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan terhadap
metode akuntansi yang diterapkan pada perusahaan yang mereka kelola.
Secara umum dapat dikatakan bahwa persentase tertentu kepemilikan
saham oleh pihak manajemen cenderung mempengaruhi tindakan
manajemen laba (Gideon, 2005).
Ada dua pandangan yang dapat menjelaskan hubungan antara hubungan
kepemilikan manajerial dengan manajemen laba, yaitu entrenchment
effect dan alligment effect. Pandangan entrenchment effect menyatakan
40
bahwa jika kepemilikan manajerial meningkat, manajer akan memiliki
perlindungan atau pertahanan (entrenchment) sehingga mereka dapat
melakukan aktivitas yang tidak meningkatkan nilai bagi perusahaan dan
mereka akan mengurangi kemakmuran pemegang saham dari luar
perusahaan (Febrianto, 2005). Berdasarkan pandangan tersebut
manajemen akan bertindak lebih leluasa dalam melakukan aktivitas
yang berorientasi kepada kepentingan pribadi mereka melalui kebijakan
dan pilihan metode akuntansi.
Pandangan berdasarkan alignment effect yang mengacu pada kerangka
Jensen dan Meckling (1976) yang menyatakan bahwa penyatuan
kepentingan (convergence of interest) antara manajer dan pemilik dapat
dicapai dengan memberikan kepemilikan saham kepada manajer. Jika
manajer memiliki saham di perusahaan, mereka akan memiliki
kepentingan yang cenderung sama dengan pemegang saham lainnya.
Dengan adanya penyatuan kepentingan tersebut konflik keagenan akan
berkurang sehingga manajer termotivasi untuk meningkatkan kinerja
perusahaan dan kemakmuran pemegang saham.
penelitian yang dilakukan Ujiantho dan Pramuka (2007) menunjukkan
variabel kepemilikan manajerial berpengaruh negatif signifikan
terhadap discretionary accruals. Pranata dan Mas’ud (2003) pun juga
menemukan adanya pengaruh negatif signifikan. Hasil ini menujukan
bahwa kepemilikan manajerial mampu menjadi mekanisme corporate
41
governance yang dapat mengurangi ketidak selarasan kepentingan
antara manajemen dengan pemilik atau pemegang saham.
Warfield et al., (1995) menemukan adanya hubungan negatif antara
kepemilikan manajerial dan discretionary accruals sebagai ukuran dari
manajemen laba dan berhubungan positif antara kepemilikan manajerial
dengan kandungan informasi dalam laba. Hasil yang sama juga
diperoleh Jensen dan Meckling (1976), Dhaliwal et al. (1982), Morck et
al. (1988) dan Pratana dan Mas’ud (2003). Dengan uraian di atas
hipotesis yang diajukan adalah:
H2 : Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba.
3.
Proporsi Dewan Komisaris Independen dan Manajemen Laba
Di Indonesia struktur governance dipisahkan antara dewan komisaris
dengan dewan direksi. Fungsi dewan komisaris adalah sebagai
pengawas dan pemberi nasehat kepada manajer (direksi) atas nama para
pemegang saham. Dewan komisaris sebagai puncak dari sistem
pengendalian internal perusahaan memiliki peranan terhadap terhadap
aktivitas pengawasan (Siallagan dan Machfoedz, 2006). Pengawasan
oleh dewan komisaris akan menambah keyakinan bahwa manajemen
telah bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham, karena
dewan komisaris diangkat oleh pemegang saham maka mereka harus
42
mewakili kepentingan para pemegang saham dalam mengawasi
tindakan manajemen.
Vafeas (dalam Siallagan dan Machfoedz, 2006) mengatakan bahwa
selain kepemilikan manajerial, peran dewan komisaris juga diharapkan
dapat
meningkatkan
kualitas
laba
dengan
membatasi
tingkat
manajemen laba melalui fungsi monitoring laporan keuangan. Fungsi
monitoring yang dilakukan oleh dewan komisaris dipengaruhi oleh
jumlah atau ukuran dewan komisaris (Siallagan dan Machfoedz, 2006).
Fama dan Jensen (1983) menyatakan bahwa non-executive director
(komisaris independen) dapat bertindak sebagai penengah dalam
perselisihan yang terjadi diantara para manajer internal dan mengawasi
kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada manajemen.
Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan
fungsi monitoring agar tercipta perusahaan yang good corporate
governance.
Hasil penelitian Cornett (dalam Ujiantho dan Pramuka, 2007
menunjukkan
bahwa
dewan
komisaris
independen
mempunyai
pengaruh negatif terhadap manajemen laba. Masih menurut Cornett,
jika anggota dewan komisaris meningkatkan tindakan pengawasan, hal
ini juga akan berhubungan dengan makin rendahnya discretionary
accruals, sehingga diharapkan kualitas laba juga akan meningkat.
43
Hasil penelitian Dechow, Patricia, Sloan dan Sweeney (1996), Klein
(2002) dan, Pratana dan Mas’ud (2003), memberikan simpulan bahwa
perusahaan yang memiliki proporsi anggota dewan komisaris yang
berasal dari luar perusahaan atau outside director dapat mempengaruhi
tindakan manajemen laba. Sehingga, jika anggota dewan komisaris dari
luar meningkatkan tindakan pengawasan, hal ini juga akan berhubungan
dengan makin rendahnya penggunaan discretionary accruals (Cornett
et al., 2006). Dari hasil beberapa penelitian diatas, hipotesis dalam
penelitian ini adalah:
H3 : Proporsi dewan komisaris independen berpengaruh negatif
terhadap manajemen laba.
4.
Ukuran Dewan Komisaris dan Manajemen Laba
Jensen (1993) dan Lipton dan Lorsch (1992) dalam Beiner, Drobetz,
Schmid
dan
Zimmermann
(2003)
merupakan
yang
pertama
menyimpulkan bahwa ukuran dewan komisaris merupakan bagian dari
mekanisme corporate governance. Hal ini diperkuat oleh pendapat
Allen dan Gale (2000) dalam Beiner et al. (2003) yang menegaskan
bahwa dewan komisaris merupakan mekanisme governance yang
penting. Mereka juga menyarankan bahwa dewan komisaris yang
ukurannya besar kurang efektif daripada dewan yang ukurannya kecil.
Penelitian yang dilakukan Yermack (1996), Beaslley (1996) dan Jensen
(1993) juga menyimpulkan bahwa dewan komisaris yang berukuran
kecil akan lebih efektif dalam melakukan tindakan pengawasan
44
dibandingkan dewan komisaris berukuran besar. Ukuran dewan
komisaris yang besar dianggap kurang efektif dalam menjalankan
fungsinya karena sulit dalam komunikasi, koordinasi serta pembuatan
keputusan.
Ukuran dewan komisaris merupakan suatu hal yang tidak boleh
dikesampingkan. Penelitian yang dilakukan Yermack dan Jensen
(dalam Nasution dan Setiawan, 2007) menjelaskan bahwa ukuran
dewan komisaris yang kecil lebih efektif dalam melakukan tindakan
pengawasan dibandingkan dewan komisaris yang berukuran besar. Hal
ini disebabkan ukuran dewan komisaris yang besar dianggap kurang
efektif dalam menjalankan fungsinya sebagai alat monitoring kegiatan
manajemen karena sulit dalam komunikasi, koordinasi serta pembuatan
keputusan. Oleh karena itu hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian
ini adalah:
H4 : Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap
manajemen laba.
5.
Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan
Cornett et al. (dalam Ujiantho dan Pramuka, 2007) menemukan adanya
pengaruh mekanisme corporate governance terhadap penurunan
discretionary accruals sebagai ukuran dari manajemen laba dan
berhubungan positif dengan CFROA. Hasil ini diinterpretasikan sebagai
indikasi bahwa CFROA merupakan fungsi positif dari indikator
45
mekanisme corporate governance. Mekanisme corporate governance
dapat mengurangi dorongan manajer melakukan earnings management,
sehingga CFROA yang dilaporkan merefleksikan keadaan yang
sebenarnya.
Manajemen
laba
dilakukan
oleh
manajer
pada
faktor-faktor
fundamental perusahaan, yaitu dengan intervensi pada penyusunan
laporan keuangan berdasarkan akuntansi akrual. Padahal kinerja
fundamental perusahaan tersebut digunakan oleh pemodal untuk
menilai prospek perusahaan, yang tercermin pada kinerja saham.
Manajemen laba yang dilakukan manajer pada laporan keuangan
tersebut akan mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan, yang
selanjutnya akan mempengaruhi kinerja saham (Haris, 2004).
Schipper (dalam Gumanti, 2000) manajemen laba merupakan suatu
intervensi dengan maksud tertentu terhadap proses pelaporan keuangan
ekternal dengan sengaja untuk memperoleh beberapa keuntungan
pribadi. Manajemen laba dilakukan oleh manajer perusahaan pada
faktor-faktor fundamental perusahaan, yaitu dengan intervensi pada
penyusunan laporan keuangan berdasarkan akuntansi akrual. Padahal
kinerja fundamental perusahaan tersebut digunakan oleh pemodal untuk
menilai prospek perusahaan, yang tercermin pada kinerja saham.
Berdasarkan uraian diatas hipotesis yang diajukan untuk penelitian ini
dengan rumusan sebagai berikut:
H5: Manajemen laba berpengaruh terhadap kinerja keuangan.
Download