BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Teori Keagenan (Agency Theory) Perspektif hubungan keagenan merupakan dasar yang digunakan untuk memahami corporate governance. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara manajer (agent) dengan investor (principal). Konflik kepentingan antara pemilik dan agen terjadi karena kemungkinan agen tidak selalu berbuat sesuai dengan kepentingan principal, sehingga memicu biaya keagenan (agency cost). Timbulnya manajemen laba dapat dijelaskan dengan teori agensi. Sebagai agen, manajer secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal) dan sebagai imbalannya akan memperoleh kompensasi sesuai dengan kontrak. Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda didalam perusahaan dimana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki (Ali, 2002). Menurut Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat 10 13 dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia akan bertindak opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya (Haris, 2004). Hak pengendalian yang dimiliki oleh manajer memungkinkan untuk diselewengkan dan dapat menimbulkan masalah keagenan yang dapat diartikan dengan sulitnya investor memperoleh keyakinan bahwa dana yang mereka investasikan dikelola dengan semestinya oleh manajer. Manajer memiliki kewenangan untuk mengelola perusahaan dan dengan demikian manajer memiliki hak dalam mengelola dana investor (Ujiyantho, 2007). Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Laporan keuangan tersebut penting bagi para pengguna eksternal terutama sekali karena kelompok ini berada dalam kondisi yang paling besar ketidakpastiannya (Ali, 2002). Ketidakseimbangan penguasaan informasi akan memicu munculnya suatu kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (information asymmetry). Asimetri antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal) dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba (earnings management) dalam rangka menyesatkan pemilik (pemegang saham) mengenai kinerja ekonomi perusahaan. Penelitian Richardson (1998) 14 menunjukkan adanya hubungan positif antara asimetri informasi dengan manajemen laba. Healy dan Wahlen (1999), menyatakan bahwa definisi manajemen laba mengandung beberapa aspek. Pertama intervensi manajemen laba terhadap pelaporan keuangan dapat dilakukan dengan penggunaan judgment, misalnya judgment yang dibutuhkan dalam mengestimasi sejumlah peristiwa ekonomi di masa depan untuk ditunjukkan dalam laporan keuangan, seperti perkiraan umur ekonomis dan nilai residu aktiva tetap, tanggungjawab untuk pensiun, pajak yang ditangguhkan, kerugian piutang dan penurunan nilai asset. Disamping itu manajer mempunyai pilihan untuk metode akuntansi, seperti metode penyusutan dan metode biaya. Kedua, tujuan manajemen laba untuk menyesatkan stakeholders mengenai akses terhadap informasi yang tidak dapat diakses oleh pihak luar. Salah satu mekanisme yang diharapkan dapat mengontrol konflik keagenan adalah dengan menerapkan monitoring melalui tata kelola perusahan yang baik (Good Corporate Governance). Corporate Governance merupakan konsep yang diajukan demi peningkatakan kinerja perusahaan melalui supervisi atau monitoring kinerja manajemen dan menjamin akuntabilitas manajemen terhadap stakeholder dengan mendasarkan kepada kerangka peraturan. Konsep corporate governance diajukan demi tercapainya pengelolaan perusahaan yang lebih transparan bagi semua pengguna laporan keuangan (Nasution dan Setiawan, 2007). 15 Hal ini sekaligus terkait dengan masalah keagenan di mana corporate governance merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan, diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan. Corporate governance berkaitan dengan bagaimana para investor yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi mereka, yakin bahwa manajer tidak akan mencuri/menggelapkan atau menginvestasikan ke dalam proyek-proyek yang tidak menguntungkan berkaitan dengan dana/kapital yang telah ditanamkan oleh investor, dan berkaitan dengan bagaimana para investor mengontrol para manajer (Shleifer dan Vishny, 1997). Dengan kata lain corporate governance diharapkan dapat berfungsi untuk menekan atau menurunkan biaya keagenan (agency cost). Penilaian kinerja menurut Setyasih (2009) adalah penentuan efektivitas operaisonal, organisasi, dan karyawan berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya secara periodik. Ada dua macam kinerja, yakni kinerja operasional dan kinerja keuangan. Kinerja opeerasional lebih ditekankan pada kepentingan internal perusahaan seperti kinerja cabang/divisi yang diukur dengan kecepatan dan kedisiplinan. Sedangkan kinerja keuangan lebih kepada evaluasi laporan keuangan perusahaan pada waktu dan jangka tertentu. Untuk mengetahui kinerja keuangan perusahaan maka secara umum perlu dilakukan analisis terhadap laporan keuangan, yang menrut Brigham dan Houston (2001, h.78) mencakup (1) perbandingan kinerja perusahaan dengan perusahaan lain dalam industri yang sama dan (2) evaluasi 16 kecendrungan posisi keuangan perusahaan sepanjang wkatu. Laporan keuangan perusahaan melaporkan baik posisi perusahaan pada suatu waktu tertentu maupun operasinya selama beberapa periode yang lalu. Salah satu indikator untuk menilai kinerja keuangan adalah laporan keuangan. Jenis laporan keuangan yang mengukur keberhasilan operasi perusahaan untuk suatu periode tertentu adalah laporan laba rugi. Tetapi angka laba yang dihasilkan seringkali dipengaruhi oleh metode akuntansi yang digunakan (Kieso dan Weygandt, 2005), sehingga laba yang tinggi belum tentu mencerminkan kas yang besar. Dalam hal ini arus kas mempunyai nilai lebih untuk menjamin kinerja perusahaan di masa mendatang. Arus kas (Cash Flow) menunjukkan hasil operasi yang dananya telah diterima tunai oleh perusahaan serta dibebani dengan beban yang bersifat tunai dan benar-benar sudah dikeluarkan oleh perusahaan (Pradhono, 2004). Cash flow return on assets (CFROA) merupakan salah satu pengukuran kinerja perusahaan yang menunjukkan kemampuan aktiva perusahaan untuk menghasilkan laba operasi. CFROA lebih memfokuskan pada pengukuran kinerja perusahaan saat ini dan CFROA tidak terikat dengan harga saham (Cornett et al., 2006). Tujuan manajemen laba adalah mengatur laporan keuangan agar sesuai dengan apa yang diinginkan oleh manajer terkait dengan kepentingannya. Dengan demikian, semakin tinggi manajemen laba yang dilakukan maka kinerja keuangan akan semakin terlihat baik, dalam kaitannya dengan tujuan melakukan manajemen 17 laba adalah untuk memperbaiki laporan keuangan perusahaan yang berbeda dengan kondisi yang sebenarnya. 2. Kinerja Keuangan Kinerja Keuangan merefleksikan kinerja fundamental perusahaan. Kinerja keuangan diukur dengan data fundamental perusahaan, yaitu data yang berasal dari laporan keuangan (Ujiyantho dan Pramuka, 2007). Kinerja perusahaan merupakan indikator tingkatan prestasi yang dapat dicapai dan mencerminkan keberhasilan manajer (Lestari dan Zulaikha, 2007). Sucipto (2003) pengertian kinerja adalah penentuan ukuran-ukuran tertentu yang dapat mengukur keberhasilan suatu perusahaan dalam menghasilkan laba. Sedangkan tujuan penilaian kinerja (Mulyadi, 2003) adalah: “Untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam mematuhi standar prilaku yang telah ditetapkan sebelumnya agar membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan. Standar prilaku dapat berupa kebijakan manajemen atau rencana formal yang dituangkan dalam anggaran.” Sucipto (2003) menjelaskan bahwa : “Penilaian kinerja dilakukan untuk menekan perilaku yang tidak semestinya dan untuk merangsang dan menegakkan prilaku yang semestinya diinginkan melalui umpan balik hasil kinerja dan waktu serta penghargaan baik yang bersifat instrinsik maupun ekstrinsik. Mulyadi (2003) menerangkan tentang manfaat dari penilaian kinerja adalah (1) Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisian melalui pemitivasian karyawan secara maksimum. (2) Membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawan seperti promosi, transfer dan pemberhentian. (3) Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan untuk menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program 18 pelatihan karyawan. (4) Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan mereka menilai kinerja mereka. (5) Menyediakan suatu dasar bagi distribusi penghargaan. Laporan keuangan sering digunakan sebagai alat ukur kinerja keuangan. Dalam hal ini laporan arus kas mempunyai nilai lebih untuk menjamin kinerja perusahaan di masa mendatang. Arus kas (Cash Flow) menunjukkan hasil operasi yang dananya telah diterima tunai oleh perusahaan serta dibebani dengan beban yang bersifat tunai dan benar-benar sudah dikeluarkan oleh perusahaan (Pradhono, 2004). Cornett et al., menjelaskan bahwa Cash Flow Return On Assets (CFROA) merupakan salah satu pengukuran kinerja keuangan perusahaan yang menunjukkan kemampuan aktiva perusahaan untuk menghasilkan laba operasi. CFROA lebih memfokuskan pada pengukuran kinerja perusahaan saat ini dan tidak terikat dengan harga saham. a. Pengukuran Kinerja Keuangan CFROA dihitung dari laba sebelum bunga dan pajak ditambah depresiasi dibagi dengan total aset. CFROA = EBIT + Dep Keterangan : CFROA = Cash flow return on assets EBIT = Laba sebelum bunga dan pajak Dep = Depresiasi Assets = Total aktiva 19 3. a. Manajemen Laba Pengerian Manajemen Laba Manajemen laba merupakan tindakan manajemen yang dapat mempengaruhi angka laba yang dilaporkan. Menurut Scott (1997), Manajemen Laba adalah tindakan manajemen untuk melaporkan laba yang dapat memaksimalkan kepentingan pribadi atau perusahaan dengan menggunakan kebijakan metode akuntansi. Menurut Schipper (1989) dalam Gumanti (2000) Manajemen Laba yaitu intervensi dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan – keuntungan pribadi. Manajemen laba dapat memberikan gambaran akan perilaku manajer dalam melaporkan kegiatan usahanya pada periode tertentu, yaitu dengan adanya kemungkinan munculnya motivasi tertentu yang mendorong mereka untuk mengatur data keuangan yang dilaporkan. Manajemen laba merupakan fenomena yang tidak mudah dihindari, manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan penilaian opotunistik dalam pelaporan keuangan dan mengubah laporan tersebut sehingga menyesatkan pemegang saham. Manajemen laba juga merupakan dampak dari penggunaan dasar akrual. Akrual merupakan metode pencatatan pendapatan saat terjadinya pendapatan meskipun belum terjadi transaksi kas. 20 Ada dua perspektif penting yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa manajemen laba dilakukan oleh manajer, yaitu perspektif informasi dan oportunis. Perspektif informasi merupakan pandangan yang menyarankan bahwa manajemen laba merupakan kebijakan manajerial untuk mengungkapkan harapan pribadi manajer tentang arus kas perusahaan dimasa depan. Upaya mempengaruhi informasi itu dilakukan dengan memanfaatkan kebebasan memilih, menggunakan, dan mengubah metode dan prosedur akuntansi. Perspektif oportunis merupakan pandangan yang menyatakan bahwa manajemen laba merupakan perilaku manajer untuk mengelabui investor dan memaksimalkan kesejahteraannya karena memiliki informasi lebih banyak dibandingkan pihak lain (Sulistyanto, 2008). b. Motivasi Manajen Laba Watts and Zimmermann (dalam Astuti, 2005) menyatakan bahwa : “Motivasi yang mendorong manajemen melakukan manajemen laba ada tiga”: i) Hipotesis program bonus (The Bonus Plan Hypotesis). Yang didasarkan adanya dorongan manajer perusahaan untuk mendapatkan bonus berdasarkan laba yang dilaporkan oleh manajer. Scott (dalam Astuti, 2005) menyebutkan motivasi bonus tersebut mendorong manajer untuk memilih prosedur akuntansi yang dapat menggeser laba dari periode yang akan datang ke periode saat ini. Manajer perusahaan dengan rencana bonus lebih 21 mungkin menggunakan metode-metode akuntansi yang meningkatkan income yang dilaporkan pada periode berjalan. (Gumanti, 2000) beranggapan bahwa manajer akan memilih prosedur akuntansi yang meningkatkan keuntungan yang dilaporkan dalam upayauntuk memaksimalkan imbalan bonus. Lebih lanjut Healy menemukan bukti bahwa ada hubungan yang kuat antara akrual dan dorongan-dorongan tertentu yang mempengaruhi manajer untuk mengatur jumlah pendapatan yang dilaporkan, khususnya manajer akan memilih akrual yang menurunkan pendapatan pada saat pola bonus berada di bawah atau di atas batasan yang diikat, dan memilih akrual yang menaikkan pendapatan pada saat batasan tersebut tidak diikat. ii) Hipotesis perjanjian utang (The Debt Covenant Hypothesis). Motivasi debt covenant disebabkan oleh munculnya perjanjian kontrak antara manajer dan perusahaan yang berbasis kompensasi manajerial (Astuti, 2005). Motivasi ini muncul karena perjanjian antara manajer dan pemilik perusahaan berbasis pada kompensasi manajerial dan perjanjian hutang (debt covenant) (Ujiantho, 2007). Belkaoui (dalam Ujiantho, 2007) menjelaskan semakin tinggi rasio hutang suatu perusahaan maka semakin dekat perusahaan tersebut dengan kendala-kendala dalam perjanjian hutang dan semakin besar probabilitas pelanggaran perjanjian, jadi semakin mungkin 22 manajer untuk menggunakan metode-metode akuntansi yang meningkatkan income. iii) Hipotesis biaya politik (The Political Cost Hypotheses). Motivasi politik timbul karena manajemen memanfaatkan kelemahan akuntansi yang menggunakan estimasi akrual serta pemilihan metode akuntansi dalam menghadapi berbagai regulasi yang dikeluarkan pemerintah (Astuti, 2005). c. Teknik Manajemen Laba Teknik dan pola manajemen laba menurut (Setiawati dan Na’im, 2001) dapat dilakukan dengan tiga teknik yaitu : i) Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgment (perkiraan) terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi, dan lainlain. ii) Mengubah metode akuntansi Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, contoh : merubah metode depresiasi aktiva tetap, dari metode depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus. 23 iii) Menggeser periode biaya atau pendapat Contoh rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain : Mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai pada periode akuntansi berikutnya, mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai periode berikutnya, mempercepat atau menunda pengiriman produk ke pelanggan, mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tidak dipakai. d. Pola Manajemen Laba Scott (2000) juga menambahkan bahwa pola manajemen laba dapat dilakukan dengan cara: i) Taking a Bath Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di masa mendatang. Strategi seperti ini dilakukan seolah-olah manajer baru melakukan kebijakan yang agresif pada perusahaan yang mengalami kerugian tersebut. Teknik taking a bath dilakukan dengan mengakui adanya biaya-biaya pada periode yang akan datang dan kerugian pada periode berjalan. Sehingga manajemen menghapus beberapa aktiva dan membebankan perkiraan-perkiraan biaya mendatang. Akibatnya laba pada periode berikutnya akan lebih tinggi dari seharusnya. 24 ii) Income Minimization Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang tinggi sehingga jika laba pada periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya. iii) Income Maximization Dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas income maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian utang. e. Pengukuran Manajemen Laba Manajemen laba diukur dengan menggunakan proksi Discretionary Accrual ( DA ). Discretionary Accrual ( DA ) adalah komponen akrual yang berada dalam kebijakan manajer, artinya manajer memberi intervensinya dalam proses pelaporan akuntansi. Perhitungan Discretionary Accruals menggunakan model Jones (1991) yang telah dimodifikasi oleh Dechow et al. (1995) yaitu sebagai berikut: TAC = Nit – CFOit….......………………….…....…...........................(1) Nilai total accrual (TA) yang diestimasi dengan persaman regresi OLS sebagai berikut: TAit/Ait-1= β1(1/Ait-1) + β2(ΔRevt /Ait-1) + β3(PPEt/Ait-1) + e.............(2) 25 Dengan menggunakan koefisien regresi diatas nilai non discretionary accruals (NDA) dapat dihitung dengan rumus : NDAit = β1(1/Ait-1) + β2(ΔRevt/Ait-1 – ΔRect/Ait-1) + β3(PPEt/Ait-1)...(3) Selanjutnya Discretionary Accrual (DA) dapat dihitung sebagai berikut: DAit = TAit / Ait-1 – NDAit..…..……....…….…..….................…......(4) Keterangan : DAit = Discretionary Accruals perusahaan i pada periode ke-t NDAit = Non Discretionary Accruals perusahaan i pada periode ke-t TAit = Total akrual perusahaan i pada periode ke-t Nit = Laba bersih perusahaan i pada periode ke-t CFOit = Aliran kas dari aktivitas operasi perusahaan i pada periode ke-t Ait-1 = Total aktiva perusahaan i pada periode ke t-1 ΔRevt = Perubahan pendapatan perusahaan i pada periode ke-t PPEt = Aktiva tetap perusahaan pada periode ke-t ΔRect = Perubahan piutang perusahaan i pada periode ke-t e = error 4. a. Corporate Governance Pengertian Corporate Governance Istilah corporate governance secara luas telah dikenal dalam dunia usaha. Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) Siswanto dan Aldridge (2005:2) mendefinisikan corporate governance sebagai : 26 “Suatu sistem pengendalian dan pengawasan pada suatu badan usaha yang memiliki tujuan untuk mencapai kinerja badan usaha semaksimal mungkin tanpa merugikan stakeholdernya”. Setiap badan usaha memiliki pihak-pihak yang berkepentingan terhadap badan usaha tersebut, antara lain pihak manajer, pemegang saham (yang diwakili oleh dewan komisaris), karyawan, serta stakeholder lainnya, seperti masyarakat, konsumen, pemerintah, pers, dan lain-lain. Komite Nasional Kebijakan Governance (2004) mendefinisikan corporate governance sebagai : “Suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ perusahaan guna memberikan nilai tambah pada perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka panjang bagi pemegang saham, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku.” Forum For Corporate Governance (Ujiantho, 2007) Corporate governance didefinisikan sebagai : “Seperangkat aturan yang mendefinisikan hubungan antara pemegang saham, manajer, kreditor, pemerintah karyawan, dan stakeholder internal maupun eksternal lain, mengenai hak dan kewajiban mereka, atau sistem di mana perusahaan diatur (directed) dan dikendalikan (controlled), tujuan corporate governance adalah menciptakan nilai tambah bagi stakeholder.” Dalam Akhmad Syakhroza (2003), Turnbull mendefinisikan corporate governance : “Corporate governance adalah suatu tata kelola yang diselenggarakan dengan mempertimbangkan semua faktor yang mempengaruhi proses institusional, termasuk faktor-faktor yang berkaitan dengan fungsi regulator.” 27 Menurut Darmawati (2003), terdapat dua hal yang menjadi perhatian dalam corporate governance. Yang pertama adalah pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar, akurat, dan tepat waktu, dan yang kedua adalah kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu dan transparan mengenai semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan dan stakeholder. Mekanisme corporate governance memiliki kemampuan dalam kaitannya untuk menghasilkan suatu laporan keuangan yang memiliki kandungan informasi laba (Boediono, 2005). b. Prinsip-Prinsip Corporate Governance Komite Nasional Kebijakan Governance pada tahun 2006 telah mengeluarkan Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia. Pedoman GCG merupakan panduan bagi perusahaan dalam membangun, melaksanakan dan mengkomunikasikan praktik GCG kepada pemangku kepentingan. Dalam pedoman tersebut KNKG (Komite Nasional Kebijakan Governance) memaparkan azas-azas GCG sebagai berikut : i) Transparansi (Transparancy) Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh stakeholder. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan tetapi 28 juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan stakeholder lainnya. ii) Akuntabilitas (Accountability) Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur, dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan stakeholder lain. kepentingan Akuntabilitas pemegang saham merupakan persyaratan dan yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. iii) Pertanggungjawaban (Responsibility) Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. iv) Kemandirian (Independency) Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. v) Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness) Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan stakeholder lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. 29 c. Mekanisme Corporate Governance Mekanisme corporate governance adalah syarat-syarat pelaksanaan sistem dalam suatu badan usaha di mana berbagai pihak yang berkepentingan terhadap badan usaha tersebut dapat memastikan bahwa pihak manajer dan pihak internal badan usaha lainnya dapat memenuhi kepentingan stakeholder (Sanda et al., 2005). Mekanisme corporate governance yang baik akan menghasilkan kinerja badan usaha yang lebih baik. Mekanisme corporate governance terdiri dari dimensi-dimensi corporate governance. Mekanisme tersebut terbagi menjadi mekanisme internal dan mekanisme eksternal (Sanda et al., 2005). Yang termasuk dalam mekanisme internal adalah kepemilikan manajerial, ukuran dewan komisaris, komisaris independen, dan konsentrasi kepemilikan. Utang (leverage) merupakan mekanisme eksternal corporate governance. i) Mekanisme Internal Corporate Governance a) Kepemilikan Manajerial Kay (1992) mengatakan bahwa kepemilikan manajerial merupakan kepemilikan sejumlah saham badan usaha oleh pihak eksekutif sehingga membuat eksekutif yang melakukan akuisisi saham badan usaha memiliki kinerja lebih baik dibandingkan eksekutif yang tidak memiliki saham badan usaha. 30 Davies et al. (2002) menyatakan bahwa: “Managerial ownership is equity ownership by inside company managers in providing incentives to maximize the value of their company”. Kepemilikan manajerial diukur dengan perbandingan jumlah saham yang dimiliki oleh pihak manajer terhadap jumlah saham beredar (Sanda et al. 2005). Indikator yang digunakan untuk mengukur kepemilikan manajerial yaitu : KPMJ = b) Ukuran Dewan Komisaris Ukuran dewan komisaris merupakan jumlah yang tepat agar dewan komisaris dapat bekerja secara efektif dan menjalankan corporate governance dengan bertanggung jawab kepada pemegang saham (Ruvisky, 2005). Jumlah yang tepat berarti jumlah yang dianggap proporsional untuk mewakili pemegang saham. Jadi, ukuran dewan komisaris merupakan jumlah yang dianggap proporsional untuk mewakili pemegang saham badan usaha agar dewan komisaris dapat bekerja secara efektif dan menjalankan corporate governance dengan bertanggung jawab kepada pemegang saham. Ukuran dewan komisaris diukur dengan menggunakan indikator jumlah anggota dewan komisaris suatu perusahaan. 31 c) Dewan Komisaris Independen Dewan komisaris independen menunjukkan keberadaan wakil dari pemegang saham secara independen dan juga mewakili kepentingan investor. Peraturan Bank Indonesia no. 8/4/PBI/2006 pasal 4 mengenai komisaris independen : “Komisaris Independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/ atau hubungan keluarga dengan anggota dewan komisaris lainnya, direksi atau pemegang saham pengendali atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen.” Ukuran dewan komisaris independen diukur dengan: DKI = Jumlah anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan /independen Jumlah seluruh komisaris perusahaan d) Kepemilikan Institusional Sanda et al. (2005) menyatakan bahwa Kepemilikan Institusional merupakan : “Proporsi lembar saham badan usaha yang dimiliki oleh pemegang saham terbesar. Menurut Mitton (2002): “Ownership concentration is cumulative stockownership of shareholder who owns at least 5 percent in the firm.” Dalam penelitian ini diukur dengan : KI = % % 32 ii) Mekanisme Eksternal Corporate Governance Utang (leverage) merupakan mekanisme eksternal corporate governance. Dimana Utang merupakan sarana pembiayaan yang mempunyai klaim kontraktual atas arus kas dan aset badan usaha, menciptakan penghematan pajak, mempunyai umur tertentu, dan memiliki klaim pertama atas arus kas selama periode operasi maupun kebangkrutan (Damodaran, 2001:483). Menurut Jensen dan Meckling (1976), kebijakan utang dapat berperan sebagai mekanisme penjamin bagi pihak manajer untuk menunjukkan niat baiknya kepada pemegang saham. Hal ini dikarenakan penggunaan utang menunjukkan bahwa pihak manajer bersedia untuk menerima risiko kehilangan kendali atas badan usahanya jika gagal bekerja secara efektif. Alat ukur utang yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada Sanda et al. (2005), yaitu proporsi utang terhadap ekuitas (share capital). B. Penelitian Terdahulu Ujiyantho dan Pramuka (2007), melakukanpenelitian mengenai pengaruh mekanisme corporate governance terhadap manajemen laba dan konsekuensi manajemen laba terhadap kinerja keuangan. Mekanisme corporate governance yang mereka gunakan adalah kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris, dan ukurandewan komisaris. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa mekanisme corporate governance (kepemilika manajerial) 33 berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba dan manajemen laba tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan. Rachmawati dan Triatmoko (2007), meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas laba dan nilai perusahaan. Variabel yang digunakan adalah Komite audit, dewan komisaris, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional. Proksi kualitas laba adalah discretionary accruals. Hasil analisis dari penelitian ini adalah Mekanisme corporate governance tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba namun kepemilikan institusional dan manajerial berpengaruh posifif signifikan terhadap nilai perusahaan. Siallagan dan Machfoedz (2006) meneliti pengaruh terhadap nilai perusahaan dengan kualitas laba sebagai variabel intervening. Variabel corporate governance yang diteliti adalah kepemilikan manajerial, dewan komisaris, dankomite audit. Hasil yang diketahui dari penelitian ini adalah Kepemilikan manajerial secara positif berpengaruh terhadap kualitas laba, dewan komisaris secara negatif berpengaruh terhadap kualitas laba, komite audit secara positif berpengaruh terhadap kualitas laba, kualitas laba secara positif berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Nasution dan Setiawan (2007) meneliti tentang pengaruh pelaksanaan corporate governance terhadap tindak manajemen laba yang terjadi di perusahaan perbankan. Dari hasil analisis ditemukan bahwa komposisi dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap manajemen laba, ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap manajemen laba, dan Keberadaan komite audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. 34 Gideon SB. Boediono (2005) meneliti tentang Kualitas Laba: Studi pengaruh mekanisme corporate governance dan dampak manajemen laba dengan menggunakan analisis jalur. Mekanisme corporate governance meliputi kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial dan komposisi dewan komisaris. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial dan komposisi dewan komisaris secara bersama-sama tingkat pengaruhnya lemah terhadap manajemen laba. Pengaruh mekanisme corporate governance dan manajemen laba secara bersama-sama terhadap kualitas laba, teruji dengan tingkat pengaruhnya yang cukup kuat. Midiastuty dan Machfoedz (2003) menguji pengaruh mekanisme corporate governance terhadap manajemen laba dan kualitas laba. Mekanisme corporate governance meliputi kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial,dan ukuran dewan direksi. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap manajemen laba, sedangkan ukuran dewan direksi berpengaruh posiitf terhadap manajemen laba. kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap kualitas laba. 35 Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No. Peneliti dan Tahun Penelitian Judul Variabel Penelitian Hasil Penelitian 1. Ujiyantho dan Pramuka (2007) Pengaruh Mekanisme Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba dan Konsekuensi Manajemen Laba Terhadap Kinerja Keuangan. Kepimilikan Institusional, Kepemilikan Manajerial, Proporsi Dewan Komisaris, dan Ukuran Dewan Komisaris. Mekanisme Corporate Governance (Kepemilikan Manajerial) berpengaruh terhadap manajemen laba dan manajemen laba tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan. 2. Rachmawati dan Triatmoko (2007) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Laba dan Nilai Perusahaan Komite Audit, Dewan Komisaris, Kepimilikan Manajerial, dan Kepemilikan Institusional. Mekanisme Corporate Governance tidak berpengaruh signifikan teradap manajemen laba, namun sebaliknya kepemilikan institusional dan manajerial berpengaruh positif. 3. Siallagan dan Machfoedz (2006) Pengaruh Terhadap Nilai Perusahaan dengan Kualitas Laba sebagai Variabel Intervening Kepemilikan Manajerial, Dewan Komisaris, dan Komite Audit. Kepemilikan manajerial dan komite audit secara positif berpengaruh terhadap kualitas laba, dewan komisaris secara negatif berpengaruh terhadap kulitas laba, dan kualitas laba secara positif berpengaruh terhadap nilai perusahaan. 4. Nasution dan Setiawan (2006) Pengaruh Pelaksanaan Corporate Governance Terhadap Tindak Manajemen Laba yang Terjadi di Perusahaan Perbankan. Komposisi Dewan Komisaris, Ukuran Dewan Komisaris, dan Keberadaan Komite Audit. Komposisi dewan komiasaris dan keberadaan komite audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba, sedangkan ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap manajemen laba. 5. Midiastuty dan Machfoedz (2003) Pengaruh Mekanisme Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba dan Kualitas Laba. Kepemilikan Institusional, Kepemilikan Manajerial, dan Ukuran Dewan Direksi. Kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap manajemen laba, sedangkan ukuran dewan direksi berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Serta kepemilikan manajerial dan institusional berpengaruh positif terhadap kualitas laba. 6. Gideon SB. Boediono Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate Governance Dan Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisis Jalur. Kepemilikan Institusional, Kepemilikan Manajerial, Komposisi Dewan Komisaris, Manajemen Laba dan Kualitas Laba. Kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial dan komposisi dewan komisaris secara bersama-sama tingkat pengaruhnya lemah terhadap manajemen laba. Pengaruh mekanisme corporate governance dan manajemen laba secara bersama-sama terhadap kualitas laba, teruji dengan tingkat pengaruhnya yang cukup kuat. Sumber : diolah oleh penulis 36 C. Rerangka Pemikiran Penelitian yang saya lakukan ini merupakan replikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Ujiyantho dan Pramuka dengan judul “Mekanisme Corporate Governance, Manajemen Laba, dan Kinerja Keuangan” pada tahun 2007. Perbedaan dengan penelitian saya ini terletak pada periode penelitian dan tempat penelitian. Corporate governanace merupakan salah satu elemen kunci dalam meningkatkan efesiensi ekonomis, yang meliputi serangkaian hubungan antara manajemen perusahaan, dewan komisaris, para pemegang saham dan stakeholders lainnya. Kepemilikan manjerial yaitu kepemilikan saham oleh pihak manajerial perusahaan. semakin besar kepemilikan manajemen dalam perusahaan maka manajemen akan berusaha meningkatkan kinerjanya untuk kepentingan pemegang saham dan kepentingannya sendiri. kepemilikan saham institusional yaitu kepemilikan saham perusahaan oleh pihak luar perusahaan yang berbentuk institusi. investor institusional merupakan pihak yang dapat memonitor agen dengan kepemilikannya yang besar, sehingga motivasi manajer untuk mengatur laba menjadi berkurang Dewan komisaris independen yang secara umum bertanggung jawab untuk mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, serta mewujudkan akuntabilitas. dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan atau outside director dapat mempengaruhi tindakan manajemen laba. 37 Manajemen laba dilakukan oleh manajer pada faktor-faktor fundamental perusahaan, yaitu dengan intervensi pada penyusunan laporan keuangan berdasarkan akuntansi akrual. Manajemen laba yang dilakukan manajer pada laporan keuangan tersebut akan mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan, yang selanjutnya akan mempengaruhi kinerja saham. Berdasarkan pada penjelasan tersebut, dapat diilustrasikan kerangka pemikiran sebagai berikut: Mekanisme GCG Kepemilikan Institusional Kepemilikan Manajerial Proposi Dewan Manajemen Kinerja Laba Keuangan Komisaris Ukuran Dewan Komisaris Gambar 2.1 Model Rerangka Pemikiran 38 D. Pengembangan Hipotesis 1. Kepemiliakan Institusional dan Manajemen Laba Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga dapat mengurangi manajemen laba. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen (Gideon, 2005). McConell dan Servaes (1990), Nesbitt (1994), Smith (1996), Del Guercio dan Hawkins (1999), dan Hartzell dan Starks (2003) dalam Cornertt et al., (2006) menemukan adanya bukti yang menyatakan bahwa tindakan pengawasan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dan pihak investor insitusional dapat membatasi perilaku para manajer. Cornet et al., (2006) menyimpulkan bahwa tindakan pengawasan perusahaan oleh pihak investor institusional dapat mendorong manajer untuk lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan sehingga akan mengurangi perilaku opportunistic atau mementingkan diri sendiri. Penelitian Suranta dan Midiastuty (2005) menunjukkan bahwa kepemilikan institusional dapat berperan sebagai salah satu mekanisme corporate governance dalam mengurangi praktik manajemen laba. Investor institusional diasumsikan sebagai investor yang 39 berpengalaman dan dapat melakukan analisa yang lebih baik sehingga tidak mudah diperdaya oleh manipulasi manajemen, oleh karena itu manajer akan mengindari tindakan manajemen laba sehingga laba yang dihasilkan akan lebih berkualitas. Dalam penelitian ini diajukan hipotesis dengan rumusan sebagai berikut: H1: Kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. 2. Kepemilikan Manajerial dan Manajemen Laba Dari sudut pandang teori akuntansi, manajemen laba sangat ditentukan oleh motivasi manajer perusahaan. Motivasi yang berbeda akan menghasilkan besaran manajemen laba yang berbeda, seperti antara manajer yang juga sekaligus sebagai pemegang saham dan manajer yang tidak sebagai pemegang saham. Dua hal tersebut akan mempengaruhi manajemen laba, sebab kepemilikan seorang manajer akan ikut menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan terhadap metode akuntansi yang diterapkan pada perusahaan yang mereka kelola. Secara umum dapat dikatakan bahwa persentase tertentu kepemilikan saham oleh pihak manajemen cenderung mempengaruhi tindakan manajemen laba (Gideon, 2005). Ada dua pandangan yang dapat menjelaskan hubungan antara hubungan kepemilikan manajerial dengan manajemen laba, yaitu entrenchment effect dan alligment effect. Pandangan entrenchment effect menyatakan 40 bahwa jika kepemilikan manajerial meningkat, manajer akan memiliki perlindungan atau pertahanan (entrenchment) sehingga mereka dapat melakukan aktivitas yang tidak meningkatkan nilai bagi perusahaan dan mereka akan mengurangi kemakmuran pemegang saham dari luar perusahaan (Febrianto, 2005). Berdasarkan pandangan tersebut manajemen akan bertindak lebih leluasa dalam melakukan aktivitas yang berorientasi kepada kepentingan pribadi mereka melalui kebijakan dan pilihan metode akuntansi. Pandangan berdasarkan alignment effect yang mengacu pada kerangka Jensen dan Meckling (1976) yang menyatakan bahwa penyatuan kepentingan (convergence of interest) antara manajer dan pemilik dapat dicapai dengan memberikan kepemilikan saham kepada manajer. Jika manajer memiliki saham di perusahaan, mereka akan memiliki kepentingan yang cenderung sama dengan pemegang saham lainnya. Dengan adanya penyatuan kepentingan tersebut konflik keagenan akan berkurang sehingga manajer termotivasi untuk meningkatkan kinerja perusahaan dan kemakmuran pemegang saham. penelitian yang dilakukan Ujiantho dan Pramuka (2007) menunjukkan variabel kepemilikan manajerial berpengaruh negatif signifikan terhadap discretionary accruals. Pranata dan Mas’ud (2003) pun juga menemukan adanya pengaruh negatif signifikan. Hasil ini menujukan bahwa kepemilikan manajerial mampu menjadi mekanisme corporate 41 governance yang dapat mengurangi ketidak selarasan kepentingan antara manajemen dengan pemilik atau pemegang saham. Warfield et al., (1995) menemukan adanya hubungan negatif antara kepemilikan manajerial dan discretionary accruals sebagai ukuran dari manajemen laba dan berhubungan positif antara kepemilikan manajerial dengan kandungan informasi dalam laba. Hasil yang sama juga diperoleh Jensen dan Meckling (1976), Dhaliwal et al. (1982), Morck et al. (1988) dan Pratana dan Mas’ud (2003). Dengan uraian di atas hipotesis yang diajukan adalah: H2 : Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. 3. Proporsi Dewan Komisaris Independen dan Manajemen Laba Di Indonesia struktur governance dipisahkan antara dewan komisaris dengan dewan direksi. Fungsi dewan komisaris adalah sebagai pengawas dan pemberi nasehat kepada manajer (direksi) atas nama para pemegang saham. Dewan komisaris sebagai puncak dari sistem pengendalian internal perusahaan memiliki peranan terhadap terhadap aktivitas pengawasan (Siallagan dan Machfoedz, 2006). Pengawasan oleh dewan komisaris akan menambah keyakinan bahwa manajemen telah bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham, karena dewan komisaris diangkat oleh pemegang saham maka mereka harus 42 mewakili kepentingan para pemegang saham dalam mengawasi tindakan manajemen. Vafeas (dalam Siallagan dan Machfoedz, 2006) mengatakan bahwa selain kepemilikan manajerial, peran dewan komisaris juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas laba dengan membatasi tingkat manajemen laba melalui fungsi monitoring laporan keuangan. Fungsi monitoring yang dilakukan oleh dewan komisaris dipengaruhi oleh jumlah atau ukuran dewan komisaris (Siallagan dan Machfoedz, 2006). Fama dan Jensen (1983) menyatakan bahwa non-executive director (komisaris independen) dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada manajemen. Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar tercipta perusahaan yang good corporate governance. Hasil penelitian Cornett (dalam Ujiantho dan Pramuka, 2007 menunjukkan bahwa dewan komisaris independen mempunyai pengaruh negatif terhadap manajemen laba. Masih menurut Cornett, jika anggota dewan komisaris meningkatkan tindakan pengawasan, hal ini juga akan berhubungan dengan makin rendahnya discretionary accruals, sehingga diharapkan kualitas laba juga akan meningkat. 43 Hasil penelitian Dechow, Patricia, Sloan dan Sweeney (1996), Klein (2002) dan, Pratana dan Mas’ud (2003), memberikan simpulan bahwa perusahaan yang memiliki proporsi anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan atau outside director dapat mempengaruhi tindakan manajemen laba. Sehingga, jika anggota dewan komisaris dari luar meningkatkan tindakan pengawasan, hal ini juga akan berhubungan dengan makin rendahnya penggunaan discretionary accruals (Cornett et al., 2006). Dari hasil beberapa penelitian diatas, hipotesis dalam penelitian ini adalah: H3 : Proporsi dewan komisaris independen berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. 4. Ukuran Dewan Komisaris dan Manajemen Laba Jensen (1993) dan Lipton dan Lorsch (1992) dalam Beiner, Drobetz, Schmid dan Zimmermann (2003) merupakan yang pertama menyimpulkan bahwa ukuran dewan komisaris merupakan bagian dari mekanisme corporate governance. Hal ini diperkuat oleh pendapat Allen dan Gale (2000) dalam Beiner et al. (2003) yang menegaskan bahwa dewan komisaris merupakan mekanisme governance yang penting. Mereka juga menyarankan bahwa dewan komisaris yang ukurannya besar kurang efektif daripada dewan yang ukurannya kecil. Penelitian yang dilakukan Yermack (1996), Beaslley (1996) dan Jensen (1993) juga menyimpulkan bahwa dewan komisaris yang berukuran kecil akan lebih efektif dalam melakukan tindakan pengawasan 44 dibandingkan dewan komisaris berukuran besar. Ukuran dewan komisaris yang besar dianggap kurang efektif dalam menjalankan fungsinya karena sulit dalam komunikasi, koordinasi serta pembuatan keputusan. Ukuran dewan komisaris merupakan suatu hal yang tidak boleh dikesampingkan. Penelitian yang dilakukan Yermack dan Jensen (dalam Nasution dan Setiawan, 2007) menjelaskan bahwa ukuran dewan komisaris yang kecil lebih efektif dalam melakukan tindakan pengawasan dibandingkan dewan komisaris yang berukuran besar. Hal ini disebabkan ukuran dewan komisaris yang besar dianggap kurang efektif dalam menjalankan fungsinya sebagai alat monitoring kegiatan manajemen karena sulit dalam komunikasi, koordinasi serta pembuatan keputusan. Oleh karena itu hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah: H4 : Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap manajemen laba. 5. Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan Cornett et al. (dalam Ujiantho dan Pramuka, 2007) menemukan adanya pengaruh mekanisme corporate governance terhadap penurunan discretionary accruals sebagai ukuran dari manajemen laba dan berhubungan positif dengan CFROA. Hasil ini diinterpretasikan sebagai indikasi bahwa CFROA merupakan fungsi positif dari indikator 45 mekanisme corporate governance. Mekanisme corporate governance dapat mengurangi dorongan manajer melakukan earnings management, sehingga CFROA yang dilaporkan merefleksikan keadaan yang sebenarnya. Manajemen laba dilakukan oleh manajer pada faktor-faktor fundamental perusahaan, yaitu dengan intervensi pada penyusunan laporan keuangan berdasarkan akuntansi akrual. Padahal kinerja fundamental perusahaan tersebut digunakan oleh pemodal untuk menilai prospek perusahaan, yang tercermin pada kinerja saham. Manajemen laba yang dilakukan manajer pada laporan keuangan tersebut akan mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan, yang selanjutnya akan mempengaruhi kinerja saham (Haris, 2004). Schipper (dalam Gumanti, 2000) manajemen laba merupakan suatu intervensi dengan maksud tertentu terhadap proses pelaporan keuangan ekternal dengan sengaja untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi. Manajemen laba dilakukan oleh manajer perusahaan pada faktor-faktor fundamental perusahaan, yaitu dengan intervensi pada penyusunan laporan keuangan berdasarkan akuntansi akrual. Padahal kinerja fundamental perusahaan tersebut digunakan oleh pemodal untuk menilai prospek perusahaan, yang tercermin pada kinerja saham. Berdasarkan uraian diatas hipotesis yang diajukan untuk penelitian ini dengan rumusan sebagai berikut: H5: Manajemen laba berpengaruh terhadap kinerja keuangan.