BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Eksplorasi mikroorganisme sebagai agen terapetik sudah dimulai sejak abad ke-20. Kemampuannya dalam menghasilkan senyawa antibiotik dapat memberikan manfaat dalam mengatasi berbagai penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri patogen (Tabarez, 2005). Penelitian mengenai mikroorganisme dan antibiotik yang dihasilkannya masih terus berlanjut sampai saat ini. Resistensi antibiotik yang diakibatkan oleh bakteri patogen yang telah berevolusi mengarahkan penelitian dengan topik tersebut pada tataran yang lebih jauh lagi. Senyawa dengan mekanisme aksi atau target aksi yang baru dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan tersebut (Fishbach, 2009). Diversitas mikroorganisme yang tinggi pada berbagai habitat sebanding dengan tingginya probabilitas penemuan senyawa aktif yang potensial. Laut merupakan salah satu habitat yang menyediakan produsen produk alam seperti mikroba, yang belum banyak dieksplorasi. Metabolit dari mikroba laut memiliki prospek untuk menjadi kandidat potensial bagi penemuan senyawa antibiotik baru. Salah satu mikroorganisme penyedia antibiotik tersebut adalah mikroba simbion spon (Fusetani, 2000). Indonesia memiliki perairan dengan diversitas spon yang tinggi yang memiliki potensi bersimbiosis dengan mikroorganisme penghasil antibiotik (Murniasih dan Abdullah, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Putri (2010), mengungkapkan 1 bahwa mikroba simbion spon kode BYT 7 yang diperoleh dari Pulau Buaya, Sulawesi Tenggara memiliki aktivitas antibakteri terhadap Eschericia coli dan Staphylococcus aureus. Mikroba simbion BYT 7 dipilih sebagai objek penelitian karena aktivitas antimikroba yang dimiliki. Produksi senyawa aktif oleh mikroba simbion spon diduga dihasilkan dari interaksi antara mikroba simbion spon dengan inangnya (Thomas dkk., 2010). Pemanfaatan mikroba simbion dari spon sebagai sumber senyawa aktif lebih efisien dibanding dengan spon inangnya. Siklus hidup yang singkat serta kemampuan untuk dapat dikulturkan secara in vitro merupakan faktor yang penting dalam pemanfaatan mikroba simbion tersebut untuk produksi senyawa aktif. Sebaliknya pemanfaatan spon sebagai produsen dapat mengakibatkan eksploitasi organisme tersebut secara terus-menerus, sehingga dapat menganggu keseimbangan ekosistem laut (Piel dkk., 2004). Peningkatan produksi senyawa aktif dapat dilakukan dalam berbagai metode. Salah satu metode tersebut adalah optimasi fermentasi. Produksi senyawa aktif oleh mikroorganisme dipengaruhi oleh faktor lingkungan serta kondisi kultur (Lacerda, 2010). Dengan kata lain, produksi senyawa aktif secara in vitro pada umumnya bergantung pada komposisi dari media kultur tempat dimana mikroorganisme produsen tersebut tumbuh serta kondisi kultur yang diterapkan. Mikroorganisme laut pada umumnya membutuhkan sumber karbon, sumber nitrogen serta garam mineral dalam media fermentasi (Munn, 2004). Selain itu kondisi kultur seperti agitasi diketahui juga dapat mempengaruhi pertumbuhan serta produksi senyawa aktif oleh 2 mikroorganisme (Stanbury, dkk., 1995). Oleh karena itu optimasi produksi senyawa aktif hasil fermentasi mikroba simbion spon perlu dilakukan untuk dapat meningkatkan produksi antibiotik oleh mikroorganisme tersebut. 1. Perumusan Masalah Beberapa masalah yang perlu dirumuskan dalam melaksanakan penelitian ini antara lain: a. Bagaimanakah pengaruh salinitas, pemberian sumber karbon dan sumber nitrogen, dalam media fermentasi serta agitasi terhadap pertumbuhan dan produksi senyawa aktif mikroba simbion spon kode BYT7? b. Berapakah salinitas dan konsentrasi optimum dari sumber karbon dan sumber nitrogen dalam media serta besar agitasi yang dibutuhkan oleh mikroba simbion spon kode BYT 7 untuk dapat memproduksi senyawa aktif? 2. Keaslian penelitian Beberapa penelitian pernah dilakukan, terhadap mikroba simbion spon yang berasal dari perairan Sulawesi. Namun penelitian tersebut berkisar pada tema uji aktivitas antibakteri mikroba simbion spon terhadap beberapa bakteri patogen. Penelitian yang dilakukan oleh Murniasih dan Abdullah (2010) mengungkapkan mengenai potensi mikroba spon yang terkandung dalam spon (Theonella sp., Aaptos sp., Melophlus sarassinorum, Callyspongia sp., Ircinia sp., Stylissa flabeliformes, Lisoclinum sp. dan Clathria sp.) asal Barrang Lompo Makassar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa 60 isolat dari 75 isolat bakteri tersebut memiliki 3 senyawa aktif antibakteri patogen Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis dan Vibrio eltor. Penelitian yang dilakukan oleh Rante (2010) mengungkapkan bahwa isolat Actinomycetes yang diisolasi dari spon, termasuk dalam genus Streptomyces sp. Senyawa aktif dari isolat tersebut diketahui merupakan senyawa turunan karboksilat. Senyawa tersebut menunjukkan daya hambat terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus. Penelitian yang dilakukan oleh Putri (2010) mengungkapkan bahwa mikroba simbion spon kode BYT7 yang diperoleh dari Pulau Buaya, Sulawesi Tenggara memilki aktivitas antibakteri terhadap Eschericia coli dan Staphylococcus aureus. 3. Manfaat penelitian Penelitian bermanfaat untuk dapat menunjukkan salah satu metode yang dapat dilakukan untuk dapat memproduksi senyawa aktif dari suatu organisme tanpa merusak ekosistem laut, yakni melalui fermentasi mikroba simbion spon. Selain itu penelitian ini bermanfaat untuk dapat menunjukkan faktor yang berpengaruh terhadap produksi senyawa aktif melalui fermentasi. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan atau tinjauan pustaka untuk dapat melakukan penelitian dalam bidang kefarmasian, terutama yang terkait dengan produksi senyawa aktif melalui fermentasi mikroba simbion spon yang berasal dari Indonesia. 4 B. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komposisi nutrisi dalam media fermentasi serta kondisi fermentasi berupa agitasi terhadap pertumbuhan dan produksi metabolit sekunder khususnya senyawa aktif yang dihasilkan oleh mikroba simbion spon BYT7. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui komposisi media fermentasi dan kondisi kultur berupa agitasi yang optimal untuk dapat memproduksi senyawa aktif oleh mikroba simbion spon. 5