BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini penelitian mengenai obat herbal telah banyak dikembangkan di dunia kefarmasian. Hal ini didukung dengan keanekaragaman hayati yang tinggi di Indonesia. Di hutan tropis Indonesia terdapat sekitar 30.000 tumbuhan, diduga dari jumlah tersebut sekitar 9.600 spesies diketahui berkhasiat sebagai obat, dan sekitar 200 spesies di antaranya merupakan tumbuhan obat penting bagi industri obat tradisional (Kardinan & Kusuma, 2004). Salah satu produk obat herbal yang sedang dikembangkan untuk digunakan adalah produk SKM yang berisi kombinasi ekstrak etanolik daun sirih merah (Piper crocatum), umbi keladi tikus (Thyphonium flagelliforme), dan herba meniran (Phyllantus niruri). Ketiga tanaman tersebut telah diteliti mempunyai aktivitas farmakologi sebagai imunomodulator untuk menaikkan respon imun atau disebut sebagai imunostimulator baik untuk ekstrak tunggal, kombinasi 2 ekstrak maupun kombinasi 3 ekstrak (Hartini dkk., 2014 ; Khoris, 2015 ; Rahayu, 2015). Suatu produk herbal untuk dapat menjadi obat herbal terstandar ataupun fitofarmaka harus melalui uji pra klinis yang meliputi uji toksisitas dan uji farmakodinamik. Uji toksisitas yang dilakukan meliputi uji toksisitas dosis tunggal/akut, uji toksisitas dosis berulang, uji toksisitas pada sitem reproduksi dan teratogenisitas, serta uji karsinogenisitas (Anonim, 2015). 1 2 Uji toksisitas akut termasuk dalam salah satu uji toksisitas pra klinik, uji ini dilakukan untuk mengetahui efek toksik yang terjadi dalam waktu singkat setelah pemberian dosis tunggal suatu senyawa. Selain itu uji toksisitas akut juga dilakukan untuk mengetahui potensi kematian (LD50) yang ditimbulkan setelah pemberian suatu senyawa. Produk SKM yang sedang dikembangkan belum mempunyai informasi mengenai profil toksisitasnya, sehingga perlu dilakukan uji toksisitas akut pada produk tersebut untuk mengembangkan produk sebagai alternatif imunomodulator. Selain itu hasil dari uji toksisitas akut yang berupa nilai LD50 akan menjadi dasar penetapan dosis pemberian sediaan uji yang tidak menimbulkan ketoksikan pada manusia. B. Rumusan Masalah 1. Berapa besarkah potensi ketoksikan akut (LD50) per oral produk SKM pada tikus SD betina ? 2. Apa sajakah gejala toksik yang timbul setelah pemberian secara akut produk SKM pada tikus SD betina? 3. Bagaimanakah spektrum efek toksik yang timbul pada organ-organ vital tikus SD betina setelah pemberian produk SKM secara akut ? C. Tujuan Penelitian 1. Mengkaji potensi toksisitas akut produk SKM pada tikus SD betina 2. Mengkaji gejala toksisitas yang muncul pada tikus SD betina akibat efek pemberian produk SKM secara akut per oral 3 3. Mengkaji spektrum efek toksik yang timbul pada organ-organ vital tikus SD betina setelah pemberian produk SKM secara akut D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat untuk mengetahui potensi ketoksikan yang ditimbulkan dari pemberian produk SKM secara akut. Dari penelitian ini juga dapat memberikan data ilmiah mengenai uji toksisitas akut produk SKM sehingga dapat menjadi sumber data yang bermanfaat dan dapat digunakan sebagai landasan bagi pengembangan penelitian selanjutnya. Selain itu juga dapat memberikan data penunjang untuk Gama Herbal Indonesia sebagai syarat untuk mendaftarkan produk SKM sebagai obat herbal terstandar ataupun fitofarmaka. E. Tinjauan Pustaka 1. Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.) Gambar 1. Sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.) Klasifikasi : Kerajaan : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Bangsa : Piperales 4 Suku : Piperaceae Marga : Piper Jenis : Piper crocatum Ruiz & Pav. (Backer & Van Den Brink, 1963) Sirih merah merupakan tumbuhan merambat, hidup di hutan dan ada juga yang ditanam. Ciri khas tanaman ini adalah berbatang bulat berwarna hijau keunguan dan tidak berbunga. Daunnya bertangkai membentuk jantung hati dengan bagian ujung daun meruncing. Permukaan daun berwarna merah keperakan dan mengkilap saat terkena cahaya serta tidak merata. Ibu tulang daun terletak pada titik kelenjar yang padat. Ranting-ranting cenderung kurus. Perilous 1-5 cm, penduculus 1-2,5 cm, bractea memanjang ± 3 mm. Bunga pada bagian pertama ditutupi oleh daun pelindung tetapi tidak semua bagian ditutupi, bractea biasanya berdiri jauh dari ranting atau cabang dan tidak terbuka. Bunga bulir jantan panjangnya 5-20 cm, stamen 2-4, biasanya 3, terdapat benang-benang halus yang pendek dan tebal, bulir dalam bentuk buah yang panjangnya 15-20 cm, benang sari 3-4 kecil, buah bini/ellipsoid atau hampir membentuk bola, dengan panjang 4-5 mm (Backer & Van Den Brink, 1965). Isolat dari sirih merah yang diidentifikasi sebagai 2-allyl-4-(1’ -hydroxy1’- (3”-4”-5”-trimethoxyphenyl) propan-2’ -yl)-3,5-dimethoxycyclohexa-3,5dienone dan 2-allyl-4-(1’ -acetyl-1’ –(3”-4”-5” -trimethoxyphenyl) propan-2’yl)-3,5-dimethoxycyclohexa-3,5-dienone disebut Pc-2 dan Pc-1 dilaporkan memiliki aktivitas imunostimulan ditunjukkan dengan meningkatnya indeks 5 fagositosis makrofag tikus tetapi tidak mempengaruhi proliferasi limfosit (Apriyanto, 2011 ; Kustiawan, 2012). Pengujian toksisitas akut pada ekstrak etanol sirih merah diperoleh nilai Lethal Dose 50 (LD50) 18.000 mg/kgBB sedangkan untuk minyak atsiri 11.700 mg/kgBB (Rachmawaty, 2014). 2. Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume) Kalsifikasi : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Kelas : Monocotyledonae Bangsa : Arales Suku : Araceae Marga : Typhonium Spesies : Typhonium flagelliforme (Backer & Van Den Brink, 1965) Tumbuh di tempat terbuka pada ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Terdapat di Malaysia, Korea bagian selatan, dan Indonesia. Di Indonesia penyebarannya terdapat di sepanjang pulau Jawa, sebagian Kalimantan dan Sumatra dan Papua. (Mudahar dkk., 2006). Tanaman berbatang basah ini biasanya tumbuh di tempat terbuka pada ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Bentuk daun bulat dengan ujung runcing berbentuk jantung dan berwarna hijau segar. Umbi berbentuk bulat rata sebesar buah pala (Mudahar dkk., 2006). Pangkal daun berbentuk jantung dan bertepi 6 rata serta permukaan daun mengkilap. Ciri khas dari tanaman ini adalah memiliki bunga unik yang bentuknya menyerupai keladi tikus (ekor tikus). Bunganya muncul dari roset akar, bertangkai, panjangnya 4-8 cm dan berkelopak bunga bulat lonjong berwarna kekuning-kuningan. Bagian atas kelopak memanjang 5-21 cm dan ujungnya meruncing menyerupai ekor tikus (Sudewo, 2004). Gambar 2. Keladi Tikus (Typhonium flagelliformae (Lodd.) Blume) Tanaman keladi tikus (Typhonium flagelliforme) mengandung alkaloid, triterpenoid dan lignan (polifenol), saponin, steroid, dan glikosida flavonoid. Umbi dari tanaman ini mengandung phenylpropanoid glikosida, sterol, dan cerebrosida yang berfungsi sebagai anti hepatotoksik (Huang dkk., 2004). Ekstrak etanolik keladi tikus menunjukkan aktivitas imunomodulator dengan meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag pada tikus yang diinduksi CPA, meningkatkan proliferasi sel T CD8+, dan mengurangi efek penekanan proliferasi limfosit (Nurrochmad dkk., 2015). Selain penelitian tentang manfaat keladi tikus, telah dilaporkan pula penelitian tentang sifat toksik keladi tikus. Penelitian tentang uji ketoksikan dari keladi tikus menunjukkan bahwa suspensi tanaman keladi tikus yang 7 menyebabkan kematian 50% populasi (LD50) adalah 48,081 g/kgBB, sehingga tergolong relatif tidak toksik menurut skala Loomis (Faiqoh, 2011). 3. Meniran (Phyllanthus niruri Linn.) Klasifikasi : Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Phyllanthus Spesies : Phyllanthus niruri Linn. (Backer & Van Den Brick, 1965) Tumbuhan ini berupa terna, tumbuh tegak, batang berwarna hijau pucat atau hijau kemerahan. Bentuk daun bundar telur sampai bundar memanjang, panjang daun 5 mm sampai 10 mm, lebar 2,5 mm sampai 5 mm, ujung bundar atau meruncing. Bunga keluar dari ketiak daun, bunga jantan terletak di bawah ketiak daun, berkumpul 2 bunga hingga 4 bunga, bunga betina sendiri, letaknya di bagian atas ketiak daun. Helaian mahkota bunga berbentuk bundar telur sampai bundar memanjang, tepi berwarna hijau muda. Buah licin, garis tengah 2 mm sampai 2,5 mm (Anonim, 1978). 8 Gambar 3. Meniran (Phyllantus niruri Linn.) Meniran (Phyllanthus niruri Linn.) adalah salah satu tumbuhan obat Indonesia yang telah lama digunakan secara turun-temurun untuk pengobatan berbagai penyakit seperti diuretik, ekspektoran, dan pelancar haid. Berdasarkan penelitian terdahulu ekstrak meniran memiliki peran bioaktivitas yang sangat baik sebagai antibakteri, antioksidan, dan aktivasi sistem imun dengan meningkatkan proliferasi sel mononuclear darah perifer (Amin dkk., 2012). Studi fitokimia lain mengungkapkan bahwa Phyllanthus niruri Linn atau meniran menunjukkan adanya kandungan senyawa termasuk lignan, flavonoid, tannin (elagotanin), poliphenol, triterpenoid, sterol, dan alkaloid. Meniran mempunyai aksi farmakologi yang luas diantaranya antivirus, antibakteri, antiplasmodial, antiinflamasi, antimalaria, antimikroba, antikanker, antidiabetes, hipolipidemik, antioksidan, hepatoprotective, nephroprotective, dan diuretik (Patel dkk., 2011). Selain uji aktivitas meniran, telah dilaporkan pula uji tentang sifat toksik herba meniran. Halim (2010) melaporkan bahwa berdasarkan kriteria Gleason ekstrak meniran tergolong dalam senyawa Slightly Toxic (toksik ringan) dilihat dari nilai LD50 ekstrak meniran sebesar 1588,781 mg/kgBB pada uji toksisitas 9 akut ekstrak meniran tehadap mencit galur Balb/c. Penelitian tentang uji toksisitas subkronis ekstrak meniran terhadap tikus putih galur Sprague Dawley dengan dosis 50 mg/kgBB dan 250 mg/kgBB menunjukkan bahwa ekstrak meniran tidak mempengaruhi fungsi hati dilihat dari parameter aktivitas SGOT dan SGPT (Sujono dkk., 2015) 4. Toksikologi a. Definisi Toksikologi didefinisikan sebagai cabang ilmu yang berkaitan dengan racun (Hodgson, 2004). Pakar lainnya Lu (1995) mendefinisikan toksikologi sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek toksik berbagai bahan terhadap mahluk hidup dan sistem biologi lainnya. Sedangkan menurut Donatus (2005) toksikologi merupakan ilmu antarbidang, yang meliputi ilmu biologi, kimia, biokimia, fisiologi, imunologi, patologi, farmakologi, dan kesehatan masyarakat. Ilmu-ilmu tersebut dibutuhkan untuk mempelajari mekanisme tingkat molekul, perwujudan pengaruh toksik zat kimia tertentu setelah terjadi antaraksi, menilai batas aman zat kimia, dan untuk mengetahui serta mengendalikan faktor lingkungan yang memungkinkan menyebabkan terjadinya keracunan. b. Asas Umum Toksikologi Peristiwa timbulnya pengaruh berbahaya atau efek toksik racun atas makhluk hidup, melalui beberapa proses. Pertama kali makhluk hidup mengalami pemejanan dengan racun kemudian mengalami absorpsi dari tempat pemejanan dan selanjutnya akan terdistribusi ke tempat aksi. Di tempat aksi kemudian terjadi antaraksi antara racun atau metabolitnya dengan 10 komponen penyusun sel sasaran atau reseptor. Sebagai akibat sederetan peristiwa biokimia dan biofisika berikutnya, akhirnya timbul pengaruh berbahaya atau efek toksik dengan wujud dan sifat tertentu. Berdasarkan alur peristiwa timbulnya efek toksik, ada empat asas utama dalam toksikologi. Empat asas tersebut meliputi kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup, mekanisme aksi, wujud dan sifat efek toksik atau pengaruh berbahaya racun (Donatus, 2005). 1) Kondisi efek toksik Kondisi efek toksik menentukan keberadaan zat racun di dalam tubuh yang terdiri dari kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup. Kondisi pemejanan meliputi jenis, jalur, lama, kekerapan, saat dan takaran pemejanan. Kondisi makhluk hidup mencakup keadaan fisiologi dan patologi yang mempengaruhi ketersediaan xenobiotik di sel sasaran (Donatus, 2005). 2) Mekanisme efek toksik Mekanisme efek toksik sendiri dapat dibagi menjadi tiga yaitu mekanisme aksi berdasarkan sifat dan tempat kejadian, berdasarkan antaraksi racun dan tempat aksinya, dan berdasarkan penumpukan racun dalam gudang penyimpanan tubuh (Donatus, 2005). a) Mekanisme aksi berdasarkan sifat dan tempat kejadian dapat dibagi menjadi 2, yaitu mekanisme luka intrasel dan ekstrasel. Mekanisme luka intrasel adalah luka sel yang diawali oleh aksi langsung zat racun pada tempat aksinya di dalam sel. Mekanisme luka ekstrasel terjadi secara tidak langsung, racun beraksi di luar lingkungan sel. 11 b) Mekanisme aksi berdasarkan antaraksi racun dan tempat aksinya. Tempat sasaran molekuler yang terlibat dalam induksi efek toksik antara lain yaitu sisi aktif enzim atau reseptor pada molekul. Mekanisme aksi ini dibagi menjadi 2, yaitu reversible dan irreversible. c) Mekanisme aksi berdasarkan penumpukan racun dalam gudang penyimpanan tubuh. Senyawa yang sangat lipofil di dalam tubuh akan disimpan dalam gudang penyimpanan lemak dan dalam penyimpanan yang bersifat tak aktif, namun senyawa tersebut akhirnya terlepas ke sirkulasi sistemik dan meningkat kadarnya. Bila kadar tersebut melebihi KTM nya, maka akan timbul efek toksik (Donatus, 2005). 3) Wujud efek toksik Wujud efek toksik dapat berupa perubahan biokimia, fungsional dan struktural. Perubahan biokimia akibat adanya antaraksi racun dengan reseptornya dapat berupa peningkatan atau pengurangan aktivitas transpor elektron pembangkit energi di mitokondria, sintesis protein, maupun pergeseran hormonal. Perubahan fungsional dapat berupa perubahan tekanan darah, efek sedasi sampai halusinasi. Sedangkan efek perubahan struktural dapat berupa nekrosis, karsinogenesis mutagenesis maupun teratogenesis. Perubahan struktural ini dapat mengakibatkan respon histopatologis dasar berupa degenerasi, proliferasi, dan inflamasi (Donatus, 2005). 12 4) Sifat efek toksik Menurut Loomis (1978), secara umum terdapat 2 jenis sifat efek toksik, yaitu reversible (terbalikkan) dan irreversible (tak terbalikkan). Ciri khas sifat efek toksik yang reversible adalah: a) Jika kadar zat beracun pada tempat aksi atau reseptornya telah habis, maka reseptor atau tempat aksi tersebut akan kembali ke keadaan semula. b) Efek toksik yang ditimbulkan akan cepat kembali normal. c) Toksisitas racun bergantung pada dosis serta kecepatan absorbsi, distribusi, dan eliminasi zat beracun. Ciri khas dari efek toksik yang bersifat irreversible atau tak terbalikkan adalah: a) Kerusakan bersifat menetap (permanen). b) Pemberian berikutnya akan menimbulkan kerusakan yang sama sehingga memungkinkan terjadinya akumulasi efek toksik. c) Pemberian dosis kecil sama efektif dengan yang ditimbulkan oleh pemberian dosis besar dalam jangka waktu pendek. 5. Uji Toksikologi Uji toksisitas merupakan salah satu uji pra klinik yang dilakukan pada hewan uji untuk tes keamanan suatu obat baru yang akan dikembangkan. Penelitian toksikologi menggunakan hewan uji ini merupakan sumber data utama bagi evaluasi toksikologi karena mengungkapkan serangkaian efek akibat pemberian zat toksik pada berbagai peringkat dosis dengan waktu pemberian bervariasi serta menunjukkan organ sasaran, sistem yang 13 terpengaruh, atau toksisitas khusus yang muncul (Lu, 1995). Menurut Donatus (2005) tujuan uji toksisitas secara umum adalah untuk menentukan dosis suatu sediaan uji yang dapat menimbulkan kematian atau gejala toksik pada organ atau jaringan, mengidentifikasi hubungan kausatif antara dosis yang diberikan dengan terjadinya perubahan fisiologis, dan morfologis suatu organisme, serta melakukan monitoring terkait variasi hewan uji dengan responnya terhadap sediaan uji. Pada dasarnya, uji toksikologi dapat dibagi menjadi dua golongan, yakni uji ketoksikan tak khas dan uji ketoksikan khas. Uji ketoksikan tak khas adalah uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan atau spektrum efek toksik sesuatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji. Termasuk dalam golongan uji ketoksikan tak khas ini ialah uji ketoksikan akut, subkronis dan kronis. Sedangkan uji ketoksikan khas ialah uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek yang khas suatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji. Termasuk golongan uji ketoksikan khas ini ialah uji potensiasi, kekarsinogenikan, kemutagenikan, kekeratogenikan, reproduksi, kulit dan mata, dan perilaku (Loomis, 1978). 6. Uji Toksisitas Akut Pengujian terhadap toksisitas akut biasanya dilakukan untuk mengetahui dosis letal suatu senyawa terhadap suatu spesies tertentu. Uji ketoksikan akut dilakukan untuk mengetahui efek merugikan yang terjadi dalam waktu singkat setelah pemberian dosis tunggal suatu senyawa. Selain itu uji ini juga 14 dilakukan untuk mengetahui potensi kematian yang ditimbulkan setelah pemberian suatu senyawa (Hodgson, 2004). Takaran dosis yang paling dianjurkan setidaknya empat takaran dosis, berkisar dari dosis terendah, yaitu dosis tertinggi yang tidak atau hampir tidak mematikan seluruh hewan uji sampai dengan dosis tertinggi, yaitu dosis terendah yang dapat mematikan seluruh atau hampir seluruh hewan uji. Senyawa ini diberikan melalui jalur yang akan digunakan oleh manusia atau jalur yang memungkinkan manusia terpejani dengan senyawa itu. Biasanya pengamatan dilakukan selama 24 jam, kecuali pada kasus tertentu selama 7-14 hari. Dan pengamatan tersebut, meliputi: (1) gejala-gejala klinis, (2) jumlah hewan yang mati, dan (3) histopatologi organ (Donatus, 2005). Selama uji toksisitas akut dilakukan pengamatan terhadap hewan uji meliputi pengamatan fisik, perubahan berat badan, dan kondisi patologi. Di akhir uji, hewan hidup dikorbankan secara lazim kemudian dilakukan pemeriksaan mikroskopik dan bila perlu pemeriksaan mikroskopik organ (histopatologi) terhadap organ-organ vital (Anonim, 2001). Data kuantitatif yang diperoleh dari uji ketoksikan akut ini ialah LD 50 sedang data kualitatifnya berupa gambaran klinis dan morfologis efek toksik senyawa uji. LD50 didefinisikan sebagai dosis tunggal suatu zat yang secara statistik diharapkan akan mematikan 50% hewan uji (Donatus, 2005). Kategori potensi ketoksikan menurut peraturan Kepala BPOM No 7 Tahun 2014 tentang Pedoman Uji Toksisitas Non Klinik Secara In Vivo dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 15 a. Sangat Toksik (1 mg/kg atau kurang) b. Toksik (1 – 50 mg/kg) c. Toksik Sedang (50 - 500 mg/kg) d. Toksik Ringan (0,5 – 5 g/kg) e. Praktis tidak toksik f. Relatif tidak membahayakan (lebih daripada 15 g/kg) (5 – 15 g/kg) Sedangkan klasifikasi potensi ketoksikan menurut OECD (2001) adalah sebagai berikut : a. Kategori 1 (0-5 mg/kg) b. Kategori 2 (5-50 mg/kg) c. Kategori 3 (50-300 mg/kg) d. Kategori 4 (300-2000 mg/kg) e. Kategori 5 (2000-5000 mg/kg Unclassified) Metode OECD Guideline 423 dipilih karena hewan uji yang digunakan sedikit, bersifat reprodusibel dan terutama dapat untuk menetapkan peringkat ketoksikan dengan cara yang mirip dengan metode pengujian toksisitas akut lainnya. Pada pedoman toksisitas akut OECD Guideline 423, kematian hewan uji dijadikan sebagai titik endpoint-nya (Anonim, 2001). Pengujian toksisitas akut OECD Guideline 423 dilakukan dengan memejankan suatu sediaan uji dengan tingkatan dosis tertentu (starting dose) pada sekelompok hewan uji yang terdiri dari tiga ekor hewan uji dari galur dan jenis kelamin yang sama. Apabila selama masa pengujian terdapat dua atau tiga kematian hewan uji dalam satu kelompok, maka pengujian dilanjutkan dengan 16 penurunan tingkatan dosis pemejanan pada sekelompok hewan uji yang baru. Namun apabila terjadi satu atau tidak ada kematian hewan uji, maka pengujian dilanjutkan dengan melakukan pemejanan pada tingkatan dosis yang sama kepada kelompok hewan uji yang baru (pengulangan tingkatan dosis). Apabila pada pengulangan terjadi satu atau tidak terjadi kematian hewan uji, maka pengujian dilakukan dengan menaikkan tingkatan dosis pada sekelompok hewan uji. Metode OECD Guidline 423 memasukkan bukti dan gejala klinis ketoksikan pada suatu seri tingkatan dosis. Tujuan protokol uji ini untuk meminimalkan jumlah dan penderitaan hewan uji (Barile, 2008). Gambar 4. Skema OECD Guideline 423 annex 2d Selanjutnya dilakukan pengamatan secara intensif terhadap hewan uji 3-4 jam setelah pemejanan dan dilakuakan pengamatan setiap hari selama 14 hari (Anonim, 2001). Pengamatan gejala toksik secara kualitatif yang mungkin timbul dilakukan secara intensif selama 4 jam pertama setelah pemberian sediaan uji, dilanjutkan selama 14 hari pada tikus yang tidak mengalami 17 kematian pada 24 jam pertama setelah pemberian sediaan uji. Pengamatan secara mikroskopis dilihat dari kerusakan terhadap fungsi organ vital hewan uji yang disebabkan oleh pemberian sediaan uji. Kerusakan terhadap organ vital hewan uji dapat diketahui dari hasil pengamatan histopatologi masing-masing organ. 7. Histopatologi Organ Pemeriksaan histopatologi meliputi pemeriksaan makroskopik jaringan disertai seleksi sampel jaringan untuk pengamatan mikroskopik. Pemeriksaan histopatologi bertujuan untuk melihat adanya kelainan pada organ yang ditimbulkan akibat pemberian sediaan uji. Organ yang diamati dalam pemeriksaan histopatologi pada hewan uji setelah pemberian sediaan uji antara lain hati, ginjal, pankreas, jantung, lambung, usus, dan paru-paru (Lu, 1995). Prinsip dari pemeriksaan histopatologi adalah organ yang telah difiksasi dengan formalin, dicuci, didehidrasi, dibuat blok dengan parafin, kemudian dipotong menjadi sayatan tipis dan diberi pewarnaan selanjutnya diperiksa dengan mikroskop. Mayoritas histopatologis dilakukan dari potongan jaringan blok parafin dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (Underwood, 1994). Senyawa kimia dan obat-obatan dapat menyebabkan terjadinya adaptasi, luka sel, dan kematian sel. Macam-macam luka sel atau perubahan yang dapat terjadi pada organ akibat terpapar senyawa kimia antara lain : a. Degenerasi Degenerasi merupakan perubahan morfologi akibat luka yang non fatal (tidak fatal). Perubahan jenis ini masih dapat pulih (reversible). 18 Meskipun sebab yang menimbulkan perubahan tersebut sama, tetapi apabila berjalan lama dan derajatnya berlebih, akhirnya mengakibatkan kematian sel (nekrosis). Luka pada sel dan kematian sel merupakan kerusakan yang berbeda dalam derajat kerusakannya (Saleh, 1973). b. Infiltrasi Infiltrasi terjadi akibat gangguan yang bersifat sistemik, kemudian mengenai sel yang sehat sehingga mengakibatkan penumpukan metabolit dalam jumlah berlebih. Infiltrasi intrasel pada umumnya berupa penumpukan air, lemak, dan aneka ragam jenis inklusi. Penumpukan bahan padat di intrasel dapat menyebabkan terjadinya pembengkakan yang merupakan respon morfologi dan bersifat timbal balik, namun memungkinkan untuk menjadi tahap awal proses menuju kematian sel (nekrosis). Perbedaan antara infiltrasi dan degenerasi yakni degenerasi timbul karena adanya luka, selanjutnya mengakibatkan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak dalam sel, sedangkan infiltrasi muncul diawali dengan gangguan yang menyebabkan luka pada sel, sehingga mengakibatkan penumpukan metabolit (Saleh, 1973) c. Radang Radang merupakan respon fisiologi lokal terhadap cedera jaringan. Radang bukan suatu penyakit melainkan manifestasi dari suatu penyakit. Radang dapat mempunyai pengaruh yang menguntungkan dan merugikan. Radang dapat menghancurkan mikroorganisme yang masuk dan pembuatan dinding pada rongga abses sehingga mencegah penyebaran infeksi. Namun 19 di sisi lain mekanisme tersebut juga dapat memproduksi penyakit seperti pembentukan fibrosis akibat radang kronis yang dapat mengakibatkan terjadinya distorsi jaringan yang permanen dan menyebabkan gangguan fungsinya. Berbagai penyebab radang antara lain yaitu infeksi mikrobial, reaksi hipersensitivitas terhadap parasit atau basil tuberkulosis, terjadinya trauma, radiasi pengion, respon terhadap panas atau dingin, senyawa kimiawi dan jaringan nekrosis (Underwood, 1994). d. Edema Edema merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan volume cairan ekstraseluler dan ekstravaskuler disertai dengan penimbunan cairan ini dalam sela-sela jaringan dan organ serosa. Efusi serosa merupakan kelebihan cairan di dalam rongga serosa atau rongga selomik (misalnya rongga peritoneal dan pleura). Edema dapat bersifat setempat ataupun umum (Saleh, 1973). e. Nekrosis Nekrosis adalah kematian sel atau jaringan pada organisme hidup tetapi tidak terikat oleh penyebabnya. Secara makroskopis jaringan nekrotik menunjukkan perangai yang berubah. Jaringan atau atau alat tubuh tampak keruh, tidak cerah lagi, putih abu-abu. Secara mikroskopi jaringan nekrotik seluruhnya berwarna kemerahan dan tidak mengambil zat warna hematoksilin. Jaringan nekrotik sering terlihat pucat (Saleh, 1973). 20 f. Hemoragi Hemoragi ialah suatu pengertian untuk menunjukkan terdapatnya darah yang keluar dari susunan kardiovaskuler. Biasanya hemoragi dihubungkan dengan terdapatnya ruptura pada pembuluh darah atau jantung. Hemoragi dapat terjadi pada kapiler, vena, arteri, atau jantung. Bila pendarahan sedemikian rupa sehingga darah tampak keluar dari permukaan tubuh disebut hemoragi eksternal. Bila darah yang keluar dari pembuluh tetap berada dalam tubuh disebut hemoragi internal (Saleh, 1973). g. Proliferasi Adanya tekanan kimia atau luka kimia, suatu sel akan menanggapi dengan cara meningkatkan pertumbuhan pada sembarang tingkat struktural, dari tingkat molekular sampai tingkat selular. Proliferasi mencakup aneka ragam respon yang berkisar dari homeostatis adaptif sampai ke proliferasi yang tak terbalikkan dari keseluruhan populasi sel atau yang lebih dikenal dengan istilah kanker (Donatus, 2005). F. Landasan Teori Produk kombinasi ekstrak etanolik daun sirih merah, umbi keladi tikus, dan herba meniran telah diketahui memiliki aktivitas imunomodulator. Ketiga tanaman tersebut telah diteliti mempunyai aktivitas farmakologi sebagai imunomodulator untuk menaikkan respon imun atau disebut sebagai imunostimulator baik untuk ekstrak tunggal, kombinasi 2 ekstrak maupun kombinasi 3 ekstrak (Hartini dkk., 2014 ; Khoris, 2015 ; Rahayu, 2015). 21 Penelitian untuk mengetahui toksisitas terhadap masing-masing ekstrak etanolik daun sirih merah (Piper crocatum), umbi keladi tikus (Thyphonium flagelliforme), dan herba meniran (Phyllantus niruri) sudah pernah dilakukan sebelumnya. Pengujian toksisitas akut pada ekstrak etanol sirih merah diperoleh nilai Lethal Dose 50 (LD50) 18.000 mg/kgBB (Rachmawaty, 2014). Sedangkan tanaman keladi tikus yang menyebabkan kematian 50% populasi (LD50) adalah 48,081 g/kgBB, sehingga tergolong relatif tidak toksik menurut skala Loomis (Faiqoh, 2011). Halim (2010) melaporkan bahwa berdasarkan kriteria Gleason ekstrak meniran tergolong dalam senyawa Slightly Toxic (toksik ringan) dilihat dari nilai LD50 ekstrak meniran sebesar 1588,781 mg/kgBB pada uji toksisitas akut ekstrak meniran tehadap mencit galur Balb/c. Walaupun masing-masing ekstrak etanolik daun sirih merah (Piper crocatum), umbi keladi tikus (Thyphonium flagelliforme), dan herba meniran (Phyllantus niruri) sudah pernah diuji toksisitasnya tetapi untuk kombinasi ketiga ekstrak tersebut belum pernah dilakukan pengujian untuk mengetahui toksisitasnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji toksisitas terhadap kombinasi ketiga ekstrak tersebut agar diketahui profil toksisitas akut penggunaan kombinasinya. G. Hipotesis 1. Pemejanan secara akut produk SKM pada tikus betina Sprague Dawley tidak menimbulkan kematian hewan uji. 22 2. Pemejanan secara akut produk SKM tidak menimbulkan gejala toksik pada tikus betina Sprague Dawley 3. Pemejanan secara akut produk SKM pada tikus betina Sprague Dawley tidak menimbulkan spekrum efek toksik yang luas.