1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Saat ini penelitian mengenai obat herbal telah banyak dikembangkan di
dunia kefarmasian. Hal ini didukung dengan keanekaragaman hayati yang tinggi
di Indonesia. Di hutan tropis Indonesia terdapat sekitar 30.000 tumbuhan, diduga
dari jumlah tersebut sekitar 9.600 spesies diketahui berkhasiat sebagai obat, dan
sekitar 200 spesies di antaranya merupakan tumbuhan obat penting bagi industri
obat tradisional (Kardinan & Kusuma, 2004).
Salah satu produk obat herbal yang sedang dikembangkan untuk digunakan
adalah produk SKM yang berisi kombinasi ekstrak etanolik daun sirih merah
(Piper crocatum), umbi keladi tikus (Thyphonium flagelliforme), dan herba
meniran (Phyllantus niruri). Ketiga tanaman tersebut telah diteliti mempunyai
aktivitas farmakologi sebagai imunomodulator untuk menaikkan respon imun atau
disebut sebagai imunostimulator baik untuk ekstrak tunggal, kombinasi 2 ekstrak
maupun kombinasi 3 ekstrak (Hartini dkk., 2014 ; Khoris, 2015 ; Rahayu, 2015).
Suatu produk herbal untuk dapat menjadi obat herbal terstandar ataupun
fitofarmaka harus melalui uji pra klinis yang meliputi uji toksisitas dan uji
farmakodinamik. Uji toksisitas yang dilakukan meliputi uji toksisitas dosis
tunggal/akut, uji toksisitas dosis berulang, uji toksisitas pada sitem reproduksi dan
teratogenisitas, serta uji karsinogenisitas (Anonim, 2015).
1
2
Uji toksisitas akut termasuk dalam salah satu uji toksisitas pra klinik, uji ini
dilakukan untuk mengetahui efek toksik yang terjadi dalam waktu singkat setelah
pemberian dosis tunggal suatu senyawa. Selain itu uji toksisitas akut juga
dilakukan untuk mengetahui potensi kematian (LD50) yang ditimbulkan setelah
pemberian suatu senyawa.
Produk SKM yang sedang dikembangkan belum mempunyai informasi
mengenai profil toksisitasnya, sehingga perlu dilakukan uji toksisitas akut pada
produk
tersebut
untuk
mengembangkan
produk
sebagai
alternatif
imunomodulator. Selain itu hasil dari uji toksisitas akut yang berupa nilai LD50
akan menjadi dasar penetapan dosis pemberian sediaan uji yang tidak
menimbulkan ketoksikan pada manusia.
B. Rumusan Masalah
1.
Berapa besarkah potensi ketoksikan akut (LD50) per oral produk SKM pada
tikus SD betina ?
2.
Apa sajakah gejala toksik yang timbul setelah pemberian secara akut produk
SKM pada tikus SD betina?
3.
Bagaimanakah spektrum efek toksik yang timbul pada organ-organ vital tikus
SD betina setelah pemberian produk SKM secara akut ?
C. Tujuan Penelitian
1.
Mengkaji potensi toksisitas akut produk SKM pada tikus SD betina
2. Mengkaji gejala toksisitas yang muncul pada tikus SD betina akibat efek
pemberian produk SKM secara akut per oral
3
3. Mengkaji spektrum efek toksik yang timbul pada organ-organ vital tikus SD
betina setelah pemberian produk SKM secara akut
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat untuk mengetahui potensi ketoksikan yang ditimbulkan dari
pemberian produk SKM secara akut. Dari penelitian ini juga dapat memberikan data
ilmiah mengenai uji toksisitas akut produk SKM sehingga dapat menjadi sumber data
yang bermanfaat dan dapat digunakan sebagai landasan bagi pengembangan
penelitian selanjutnya. Selain itu juga dapat memberikan data penunjang untuk Gama
Herbal Indonesia sebagai syarat untuk mendaftarkan produk SKM sebagai obat herbal
terstandar ataupun fitofarmaka.
E. Tinjauan Pustaka
1. Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.)
Gambar 1. Sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.)
Klasifikasi :
Kerajaan
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Bangsa
: Piperales
4
Suku
: Piperaceae
Marga
: Piper
Jenis
: Piper crocatum Ruiz & Pav.
(Backer & Van Den Brink, 1963)
Sirih merah merupakan tumbuhan merambat, hidup di hutan dan ada juga
yang ditanam. Ciri khas tanaman ini adalah berbatang bulat berwarna hijau
keunguan dan tidak berbunga. Daunnya bertangkai membentuk jantung hati
dengan bagian ujung daun meruncing. Permukaan daun berwarna merah
keperakan dan mengkilap saat terkena cahaya serta tidak merata. Ibu tulang
daun terletak pada titik kelenjar yang padat. Ranting-ranting cenderung kurus.
Perilous 1-5 cm, penduculus 1-2,5 cm, bractea memanjang ± 3 mm. Bunga
pada bagian pertama ditutupi oleh daun pelindung tetapi tidak semua bagian
ditutupi, bractea biasanya berdiri jauh dari ranting atau cabang dan tidak
terbuka. Bunga bulir jantan panjangnya 5-20 cm, stamen 2-4, biasanya 3,
terdapat benang-benang halus yang pendek dan tebal, bulir dalam bentuk buah
yang panjangnya 15-20 cm, benang sari 3-4 kecil, buah bini/ellipsoid atau
hampir membentuk bola, dengan panjang 4-5 mm (Backer & Van Den Brink,
1965).
Isolat dari sirih merah yang diidentifikasi sebagai 2-allyl-4-(1’ -hydroxy1’- (3”-4”-5”-trimethoxyphenyl) propan-2’ -yl)-3,5-dimethoxycyclohexa-3,5dienone dan 2-allyl-4-(1’ -acetyl-1’ –(3”-4”-5” -trimethoxyphenyl) propan-2’yl)-3,5-dimethoxycyclohexa-3,5-dienone disebut Pc-2 dan Pc-1 dilaporkan
memiliki aktivitas imunostimulan ditunjukkan dengan meningkatnya indeks
5
fagositosis makrofag tikus tetapi tidak mempengaruhi proliferasi limfosit
(Apriyanto, 2011 ; Kustiawan, 2012).
Pengujian toksisitas akut pada ekstrak etanol sirih merah diperoleh nilai
Lethal Dose 50 (LD50) 18.000 mg/kgBB sedangkan untuk minyak atsiri 11.700
mg/kgBB (Rachmawaty, 2014).
2. Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume)
Kalsifikasi :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Monocotyledonae
Bangsa
: Arales
Suku
: Araceae
Marga
: Typhonium
Spesies
: Typhonium flagelliforme
(Backer & Van Den Brink, 1965)
Tumbuh di tempat terbuka pada ketinggian 1000 meter di atas
permukaan laut. Terdapat di Malaysia, Korea bagian selatan, dan Indonesia. Di
Indonesia penyebarannya terdapat di sepanjang pulau Jawa, sebagian
Kalimantan dan Sumatra dan Papua. (Mudahar dkk., 2006). Tanaman
berbatang basah ini biasanya tumbuh di tempat terbuka pada ketinggian 1000
meter di atas permukaan laut. Bentuk daun bulat dengan ujung runcing
berbentuk jantung dan berwarna hijau segar. Umbi berbentuk bulat rata sebesar
buah pala (Mudahar dkk., 2006). Pangkal daun berbentuk jantung dan bertepi
6
rata serta permukaan daun mengkilap. Ciri khas dari tanaman ini adalah
memiliki bunga unik yang bentuknya menyerupai keladi tikus (ekor tikus).
Bunganya muncul dari roset akar, bertangkai, panjangnya 4-8 cm dan
berkelopak bunga bulat lonjong berwarna kekuning-kuningan. Bagian atas
kelopak memanjang 5-21 cm dan ujungnya meruncing menyerupai ekor tikus
(Sudewo, 2004).
Gambar 2. Keladi Tikus (Typhonium flagelliformae (Lodd.) Blume)
Tanaman keladi tikus (Typhonium flagelliforme) mengandung alkaloid,
triterpenoid dan lignan (polifenol), saponin, steroid, dan glikosida flavonoid.
Umbi dari tanaman ini mengandung phenylpropanoid glikosida, sterol, dan
cerebrosida yang berfungsi sebagai anti hepatotoksik (Huang dkk., 2004).
Ekstrak etanolik keladi tikus menunjukkan aktivitas imunomodulator dengan
meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag pada tikus yang diinduksi CPA,
meningkatkan proliferasi sel T CD8+, dan mengurangi efek penekanan
proliferasi limfosit (Nurrochmad dkk., 2015).
Selain penelitian tentang manfaat keladi tikus, telah dilaporkan pula
penelitian tentang sifat toksik keladi tikus. Penelitian tentang uji ketoksikan
dari keladi tikus menunjukkan bahwa suspensi tanaman keladi tikus yang
7
menyebabkan kematian 50% populasi (LD50) adalah 48,081 g/kgBB, sehingga
tergolong relatif tidak toksik menurut skala Loomis (Faiqoh, 2011).
3. Meniran (Phyllanthus niruri Linn.)
Klasifikasi :
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Phyllanthus
Spesies
: Phyllanthus niruri Linn.
(Backer & Van Den Brick, 1965)
Tumbuhan ini berupa terna, tumbuh tegak, batang berwarna hijau pucat
atau hijau kemerahan. Bentuk daun bundar telur sampai bundar memanjang,
panjang daun 5 mm sampai 10 mm, lebar 2,5 mm sampai 5 mm, ujung bundar
atau meruncing. Bunga keluar dari ketiak daun, bunga jantan terletak di bawah
ketiak daun, berkumpul 2 bunga hingga 4 bunga, bunga betina sendiri, letaknya
di bagian atas ketiak daun. Helaian mahkota bunga berbentuk bundar telur
sampai bundar memanjang, tepi berwarna hijau muda. Buah licin, garis tengah
2 mm sampai 2,5 mm (Anonim, 1978).
8
Gambar 3. Meniran (Phyllantus niruri Linn.)
Meniran (Phyllanthus niruri Linn.) adalah salah satu tumbuhan obat
Indonesia yang telah lama digunakan secara turun-temurun untuk pengobatan
berbagai penyakit seperti diuretik, ekspektoran, dan pelancar haid. Berdasarkan
penelitian terdahulu ekstrak meniran memiliki peran bioaktivitas yang sangat
baik sebagai antibakteri, antioksidan, dan aktivasi sistem imun dengan
meningkatkan proliferasi sel mononuclear darah perifer (Amin dkk., 2012).
Studi fitokimia lain mengungkapkan bahwa Phyllanthus niruri Linn atau
meniran menunjukkan adanya kandungan senyawa termasuk lignan, flavonoid,
tannin (elagotanin), poliphenol, triterpenoid, sterol, dan alkaloid. Meniran
mempunyai aksi farmakologi yang luas diantaranya antivirus, antibakteri,
antiplasmodial,
antiinflamasi,
antimalaria,
antimikroba,
antikanker,
antidiabetes, hipolipidemik, antioksidan, hepatoprotective, nephroprotective,
dan diuretik (Patel dkk., 2011).
Selain uji aktivitas meniran, telah dilaporkan pula uji tentang sifat toksik
herba meniran. Halim (2010) melaporkan bahwa berdasarkan kriteria Gleason
ekstrak meniran tergolong dalam senyawa Slightly Toxic (toksik ringan) dilihat
dari nilai LD50 ekstrak meniran sebesar 1588,781 mg/kgBB pada uji toksisitas
9
akut ekstrak meniran tehadap mencit galur Balb/c. Penelitian tentang uji
toksisitas subkronis ekstrak meniran terhadap tikus putih galur Sprague
Dawley dengan dosis 50 mg/kgBB dan 250 mg/kgBB menunjukkan bahwa
ekstrak meniran tidak mempengaruhi fungsi hati dilihat dari parameter
aktivitas SGOT dan SGPT (Sujono dkk., 2015)
4. Toksikologi
a. Definisi
Toksikologi didefinisikan sebagai cabang ilmu yang berkaitan
dengan racun (Hodgson, 2004). Pakar lainnya Lu (1995) mendefinisikan
toksikologi sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek toksik
berbagai bahan terhadap mahluk hidup dan sistem biologi lainnya.
Sedangkan
menurut
Donatus
(2005)
toksikologi
merupakan
ilmu
antarbidang, yang meliputi ilmu biologi, kimia, biokimia, fisiologi,
imunologi, patologi, farmakologi, dan kesehatan masyarakat. Ilmu-ilmu
tersebut dibutuhkan untuk mempelajari mekanisme tingkat molekul,
perwujudan pengaruh toksik zat kimia tertentu setelah terjadi antaraksi,
menilai batas aman zat kimia, dan untuk mengetahui serta mengendalikan
faktor lingkungan yang memungkinkan menyebabkan terjadinya keracunan.
b. Asas Umum Toksikologi
Peristiwa timbulnya pengaruh berbahaya atau efek toksik racun atas
makhluk hidup, melalui beberapa proses. Pertama kali makhluk hidup
mengalami pemejanan dengan racun kemudian mengalami absorpsi dari
tempat pemejanan dan selanjutnya akan terdistribusi ke tempat aksi. Di
tempat aksi kemudian terjadi antaraksi antara racun atau metabolitnya dengan
10
komponen penyusun sel sasaran atau reseptor. Sebagai akibat sederetan
peristiwa biokimia dan biofisika berikutnya, akhirnya timbul pengaruh
berbahaya atau efek toksik dengan wujud dan sifat tertentu.
Berdasarkan alur peristiwa timbulnya efek toksik, ada empat asas
utama dalam toksikologi. Empat asas tersebut meliputi kondisi pemejanan
dan kondisi makhluk hidup, mekanisme aksi, wujud dan sifat efek toksik atau
pengaruh berbahaya racun (Donatus, 2005).
1) Kondisi efek toksik
Kondisi efek toksik menentukan keberadaan zat racun di dalam tubuh
yang terdiri dari kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup. Kondisi
pemejanan meliputi jenis, jalur, lama, kekerapan, saat dan takaran
pemejanan. Kondisi makhluk hidup mencakup keadaan fisiologi dan patologi
yang mempengaruhi ketersediaan xenobiotik di sel sasaran (Donatus, 2005).
2) Mekanisme efek toksik
Mekanisme efek toksik sendiri dapat dibagi menjadi tiga yaitu
mekanisme aksi berdasarkan sifat dan tempat kejadian, berdasarkan antaraksi
racun dan tempat aksinya, dan berdasarkan penumpukan racun dalam gudang
penyimpanan tubuh (Donatus, 2005).
a) Mekanisme aksi berdasarkan sifat dan tempat kejadian dapat dibagi
menjadi 2, yaitu mekanisme luka intrasel dan ekstrasel. Mekanisme luka
intrasel adalah luka sel yang diawali oleh aksi langsung zat racun pada
tempat aksinya di dalam sel. Mekanisme luka ekstrasel terjadi secara
tidak langsung, racun beraksi di luar lingkungan sel.
11
b) Mekanisme aksi berdasarkan antaraksi racun dan tempat aksinya. Tempat
sasaran molekuler yang terlibat dalam induksi efek toksik antara lain
yaitu sisi aktif enzim atau reseptor pada molekul. Mekanisme aksi ini
dibagi menjadi 2, yaitu reversible dan irreversible.
c) Mekanisme aksi berdasarkan penumpukan racun dalam gudang
penyimpanan tubuh. Senyawa yang sangat lipofil di dalam tubuh akan
disimpan dalam gudang penyimpanan lemak dan dalam penyimpanan
yang bersifat tak aktif, namun senyawa tersebut akhirnya terlepas ke
sirkulasi sistemik dan meningkat kadarnya. Bila kadar tersebut melebihi
KTM nya, maka akan timbul efek toksik (Donatus, 2005).
3) Wujud efek toksik
Wujud efek toksik dapat berupa perubahan biokimia, fungsional dan
struktural. Perubahan biokimia akibat adanya antaraksi racun dengan
reseptornya dapat berupa peningkatan atau pengurangan aktivitas transpor
elektron pembangkit energi di mitokondria, sintesis protein, maupun
pergeseran hormonal. Perubahan fungsional dapat berupa perubahan tekanan
darah, efek sedasi sampai halusinasi. Sedangkan efek perubahan struktural
dapat berupa nekrosis, karsinogenesis mutagenesis maupun teratogenesis.
Perubahan struktural ini dapat mengakibatkan respon histopatologis dasar
berupa degenerasi, proliferasi, dan inflamasi (Donatus, 2005).
12
4) Sifat efek toksik
Menurut Loomis (1978), secara umum terdapat 2 jenis sifat efek toksik,
yaitu reversible (terbalikkan) dan irreversible (tak terbalikkan). Ciri khas sifat
efek toksik yang reversible adalah:
a) Jika kadar zat beracun pada tempat aksi atau reseptornya telah habis, maka
reseptor atau tempat aksi tersebut akan kembali ke keadaan semula.
b) Efek toksik yang ditimbulkan akan cepat kembali normal.
c) Toksisitas racun bergantung pada dosis serta kecepatan absorbsi, distribusi,
dan eliminasi zat beracun.
Ciri khas dari efek toksik yang bersifat irreversible atau tak terbalikkan
adalah:
a) Kerusakan bersifat menetap (permanen).
b) Pemberian berikutnya akan menimbulkan kerusakan yang sama sehingga
memungkinkan terjadinya akumulasi efek toksik.
c) Pemberian dosis kecil sama efektif dengan yang ditimbulkan oleh pemberian
dosis besar dalam jangka waktu pendek.
5. Uji Toksikologi
Uji toksisitas merupakan salah satu uji pra klinik yang dilakukan pada
hewan uji untuk tes keamanan suatu obat baru yang akan dikembangkan.
Penelitian toksikologi menggunakan hewan uji ini merupakan sumber data
utama bagi evaluasi toksikologi karena mengungkapkan serangkaian efek
akibat pemberian zat toksik pada berbagai peringkat dosis dengan waktu
pemberian bervariasi serta menunjukkan organ sasaran, sistem yang
13
terpengaruh, atau toksisitas khusus yang muncul (Lu, 1995). Menurut Donatus
(2005) tujuan uji toksisitas secara umum adalah untuk menentukan dosis suatu
sediaan uji yang dapat menimbulkan kematian atau gejala toksik pada organ
atau jaringan, mengidentifikasi hubungan kausatif antara dosis yang diberikan
dengan terjadinya perubahan fisiologis, dan morfologis suatu organisme, serta
melakukan monitoring terkait variasi hewan uji dengan responnya terhadap
sediaan uji.
Pada dasarnya, uji toksikologi dapat dibagi menjadi dua golongan, yakni
uji ketoksikan tak khas dan uji ketoksikan khas. Uji ketoksikan tak khas adalah
uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan atau spektrum
efek toksik sesuatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji. Termasuk
dalam golongan uji ketoksikan tak khas ini ialah uji ketoksikan akut, subkronis
dan kronis. Sedangkan uji ketoksikan khas ialah uji toksikologi yang dirancang
untuk mengevaluasi secara rinci efek yang khas suatu senyawa pada aneka
ragam jenis hewan uji. Termasuk golongan uji ketoksikan khas ini ialah uji
potensiasi, kekarsinogenikan, kemutagenikan, kekeratogenikan, reproduksi,
kulit dan mata, dan perilaku (Loomis, 1978).
6. Uji Toksisitas Akut
Pengujian terhadap toksisitas akut biasanya dilakukan untuk mengetahui
dosis letal suatu senyawa terhadap suatu spesies tertentu. Uji ketoksikan akut
dilakukan untuk mengetahui efek merugikan yang terjadi dalam waktu singkat
setelah pemberian dosis tunggal suatu senyawa. Selain itu uji ini juga
14
dilakukan untuk mengetahui potensi kematian yang ditimbulkan setelah
pemberian suatu senyawa (Hodgson, 2004).
Takaran dosis yang paling dianjurkan setidaknya empat takaran dosis,
berkisar dari dosis terendah, yaitu dosis tertinggi yang tidak atau hampir tidak
mematikan seluruh hewan uji sampai dengan dosis tertinggi, yaitu dosis
terendah yang dapat mematikan seluruh atau hampir seluruh hewan uji.
Senyawa ini diberikan melalui jalur yang akan digunakan oleh manusia atau
jalur yang memungkinkan manusia terpejani dengan senyawa itu. Biasanya
pengamatan dilakukan selama 24 jam, kecuali pada kasus tertentu selama 7-14
hari. Dan pengamatan tersebut, meliputi: (1) gejala-gejala klinis, (2) jumlah
hewan yang mati, dan (3) histopatologi organ (Donatus, 2005).
Selama uji toksisitas akut dilakukan pengamatan terhadap hewan uji
meliputi pengamatan fisik, perubahan berat badan, dan kondisi patologi. Di
akhir uji, hewan hidup dikorbankan secara lazim kemudian dilakukan
pemeriksaan mikroskopik dan bila perlu pemeriksaan mikroskopik organ
(histopatologi) terhadap organ-organ vital (Anonim, 2001).
Data kuantitatif yang diperoleh dari uji ketoksikan akut ini ialah LD 50
sedang data kualitatifnya berupa gambaran klinis dan morfologis efek toksik
senyawa uji. LD50 didefinisikan sebagai dosis tunggal suatu zat yang secara
statistik diharapkan akan mematikan 50% hewan uji (Donatus, 2005).
Kategori potensi ketoksikan menurut peraturan Kepala BPOM No 7
Tahun 2014 tentang Pedoman Uji Toksisitas Non Klinik Secara In Vivo dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
15
a.
Sangat Toksik (1 mg/kg atau kurang)
b.
Toksik (1 – 50 mg/kg)
c.
Toksik Sedang (50 - 500 mg/kg)
d.
Toksik Ringan (0,5 – 5 g/kg)
e.
Praktis tidak toksik
f.
Relatif tidak membahayakan (lebih daripada 15 g/kg)
(5 – 15 g/kg)
Sedangkan klasifikasi potensi ketoksikan menurut OECD (2001) adalah
sebagai berikut :
a.
Kategori 1
(0-5 mg/kg)
b.
Kategori 2
(5-50 mg/kg)
c.
Kategori 3
(50-300 mg/kg)
d.
Kategori 4
(300-2000 mg/kg)
e.
Kategori 5
(2000-5000 mg/kg Unclassified)
Metode OECD Guideline 423 dipilih karena hewan uji yang digunakan
sedikit, bersifat reprodusibel dan terutama dapat untuk menetapkan peringkat
ketoksikan dengan cara yang mirip dengan metode pengujian toksisitas akut
lainnya. Pada pedoman toksisitas akut OECD Guideline 423, kematian hewan
uji dijadikan sebagai titik endpoint-nya (Anonim, 2001).
Pengujian toksisitas akut OECD Guideline 423 dilakukan dengan
memejankan suatu sediaan uji dengan tingkatan dosis tertentu (starting dose)
pada sekelompok hewan uji yang terdiri dari tiga ekor hewan uji dari galur dan
jenis kelamin yang sama. Apabila selama masa pengujian terdapat dua atau tiga
kematian hewan uji dalam satu kelompok, maka pengujian dilanjutkan dengan
16
penurunan tingkatan dosis pemejanan pada sekelompok hewan uji yang baru.
Namun apabila terjadi satu atau tidak ada kematian hewan uji, maka pengujian
dilanjutkan dengan melakukan pemejanan pada tingkatan dosis yang sama
kepada kelompok hewan uji yang baru (pengulangan tingkatan dosis). Apabila
pada pengulangan terjadi satu atau tidak terjadi kematian hewan uji, maka
pengujian dilakukan dengan menaikkan tingkatan dosis pada sekelompok
hewan uji. Metode OECD Guidline 423 memasukkan bukti dan gejala klinis
ketoksikan pada suatu seri tingkatan dosis. Tujuan protokol uji ini untuk
meminimalkan jumlah dan penderitaan hewan uji (Barile, 2008).
Gambar 4. Skema OECD Guideline 423 annex 2d
Selanjutnya dilakukan pengamatan secara intensif terhadap hewan uji 3-4
jam setelah pemejanan dan dilakuakan pengamatan setiap hari selama 14 hari
(Anonim, 2001). Pengamatan gejala toksik secara kualitatif yang mungkin
timbul dilakukan secara intensif selama 4 jam pertama setelah pemberian
sediaan uji, dilanjutkan selama 14 hari pada tikus yang tidak mengalami
17
kematian pada 24 jam pertama setelah pemberian sediaan uji. Pengamatan
secara mikroskopis dilihat dari kerusakan terhadap fungsi organ vital hewan uji
yang disebabkan oleh pemberian sediaan uji. Kerusakan terhadap organ vital
hewan uji dapat diketahui dari hasil pengamatan histopatologi masing-masing
organ.
7. Histopatologi Organ
Pemeriksaan histopatologi meliputi pemeriksaan makroskopik jaringan
disertai seleksi sampel jaringan untuk pengamatan mikroskopik. Pemeriksaan
histopatologi bertujuan untuk melihat adanya kelainan pada organ yang
ditimbulkan akibat pemberian sediaan uji. Organ yang diamati dalam
pemeriksaan histopatologi pada hewan uji setelah pemberian sediaan uji antara
lain hati, ginjal, pankreas, jantung, lambung, usus, dan paru-paru (Lu, 1995).
Prinsip dari pemeriksaan histopatologi adalah organ yang telah difiksasi
dengan formalin, dicuci, didehidrasi, dibuat blok dengan parafin, kemudian
dipotong menjadi sayatan tipis dan diberi pewarnaan selanjutnya diperiksa
dengan mikroskop. Mayoritas histopatologis dilakukan dari potongan jaringan
blok parafin dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (Underwood, 1994).
Senyawa kimia dan obat-obatan dapat menyebabkan terjadinya adaptasi,
luka sel, dan kematian sel. Macam-macam luka sel atau perubahan yang dapat
terjadi pada organ akibat terpapar senyawa kimia antara lain :
a. Degenerasi
Degenerasi merupakan perubahan morfologi akibat luka yang non
fatal (tidak fatal). Perubahan jenis ini masih dapat pulih (reversible).
18
Meskipun sebab yang menimbulkan perubahan tersebut sama, tetapi apabila
berjalan lama dan derajatnya berlebih, akhirnya mengakibatkan kematian sel
(nekrosis). Luka pada sel dan kematian sel merupakan kerusakan yang
berbeda dalam derajat kerusakannya (Saleh, 1973).
b. Infiltrasi
Infiltrasi terjadi akibat gangguan yang bersifat sistemik, kemudian
mengenai sel yang sehat sehingga mengakibatkan penumpukan metabolit
dalam
jumlah berlebih.
Infiltrasi intrasel pada umumnya
berupa
penumpukan air, lemak, dan aneka ragam jenis inklusi. Penumpukan bahan
padat di intrasel dapat menyebabkan terjadinya pembengkakan yang
merupakan
respon
morfologi
dan
bersifat
timbal
balik,
namun
memungkinkan untuk menjadi tahap awal proses menuju kematian sel
(nekrosis). Perbedaan antara infiltrasi dan degenerasi yakni degenerasi
timbul karena
adanya
luka,
selanjutnya
mengakibatkan gangguan
metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak dalam sel, sedangkan infiltrasi
muncul diawali dengan gangguan yang menyebabkan luka pada sel,
sehingga mengakibatkan penumpukan metabolit (Saleh, 1973)
c. Radang
Radang merupakan respon fisiologi lokal terhadap cedera jaringan.
Radang bukan suatu penyakit melainkan manifestasi dari suatu penyakit.
Radang dapat mempunyai pengaruh yang menguntungkan dan merugikan.
Radang dapat menghancurkan mikroorganisme yang masuk dan pembuatan
dinding pada rongga abses sehingga mencegah penyebaran infeksi. Namun
19
di sisi lain mekanisme tersebut juga dapat memproduksi penyakit seperti
pembentukan fibrosis akibat radang kronis yang dapat mengakibatkan
terjadinya distorsi jaringan yang permanen dan menyebabkan gangguan
fungsinya. Berbagai penyebab radang antara lain yaitu infeksi mikrobial,
reaksi hipersensitivitas terhadap parasit atau basil tuberkulosis, terjadinya
trauma, radiasi pengion, respon terhadap panas atau dingin, senyawa
kimiawi dan jaringan nekrosis (Underwood, 1994).
d. Edema
Edema merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan volume
cairan ekstraseluler dan ekstravaskuler disertai dengan penimbunan cairan
ini dalam sela-sela jaringan dan organ serosa. Efusi serosa merupakan
kelebihan cairan di dalam rongga serosa atau rongga selomik (misalnya
rongga peritoneal dan pleura). Edema dapat bersifat setempat ataupun
umum (Saleh, 1973).
e. Nekrosis
Nekrosis adalah kematian sel atau jaringan pada organisme hidup tetapi
tidak terikat oleh penyebabnya. Secara makroskopis jaringan nekrotik
menunjukkan perangai yang berubah. Jaringan atau atau alat tubuh tampak
keruh, tidak cerah lagi, putih abu-abu. Secara mikroskopi jaringan nekrotik
seluruhnya berwarna kemerahan dan tidak mengambil zat warna hematoksilin.
Jaringan nekrotik sering terlihat pucat (Saleh, 1973).
20
f. Hemoragi
Hemoragi ialah suatu pengertian untuk menunjukkan terdapatnya darah
yang keluar dari susunan kardiovaskuler. Biasanya hemoragi dihubungkan
dengan terdapatnya ruptura pada pembuluh darah atau jantung. Hemoragi dapat
terjadi pada kapiler, vena, arteri, atau jantung. Bila pendarahan sedemikian rupa
sehingga darah tampak keluar dari permukaan tubuh disebut hemoragi
eksternal. Bila darah yang keluar dari pembuluh tetap berada dalam tubuh
disebut hemoragi internal (Saleh, 1973).
g. Proliferasi
Adanya tekanan kimia atau luka kimia, suatu sel akan menanggapi
dengan cara meningkatkan pertumbuhan pada sembarang tingkat struktural,
dari tingkat molekular sampai tingkat selular. Proliferasi mencakup aneka
ragam respon yang berkisar dari homeostatis adaptif sampai ke proliferasi yang
tak terbalikkan dari keseluruhan populasi sel atau yang lebih dikenal dengan
istilah kanker (Donatus, 2005).
F. Landasan Teori
Produk kombinasi ekstrak etanolik daun sirih merah, umbi keladi tikus,
dan herba meniran telah diketahui memiliki aktivitas imunomodulator. Ketiga
tanaman tersebut telah diteliti mempunyai aktivitas farmakologi sebagai
imunomodulator untuk menaikkan respon imun atau disebut sebagai
imunostimulator baik untuk ekstrak tunggal, kombinasi 2 ekstrak maupun
kombinasi 3 ekstrak (Hartini dkk., 2014 ; Khoris, 2015 ; Rahayu, 2015).
21
Penelitian untuk mengetahui toksisitas terhadap masing-masing ekstrak
etanolik daun sirih merah (Piper crocatum), umbi keladi tikus (Thyphonium
flagelliforme), dan herba meniran (Phyllantus niruri) sudah pernah dilakukan
sebelumnya. Pengujian toksisitas akut pada ekstrak etanol sirih merah
diperoleh nilai Lethal Dose 50 (LD50) 18.000 mg/kgBB (Rachmawaty, 2014).
Sedangkan tanaman keladi tikus yang menyebabkan kematian 50% populasi
(LD50) adalah 48,081 g/kgBB, sehingga tergolong relatif tidak toksik menurut
skala Loomis (Faiqoh, 2011). Halim (2010) melaporkan bahwa berdasarkan
kriteria Gleason ekstrak meniran tergolong dalam senyawa Slightly Toxic
(toksik ringan) dilihat dari nilai LD50 ekstrak meniran sebesar 1588,781
mg/kgBB pada uji toksisitas akut ekstrak meniran tehadap mencit galur
Balb/c.
Walaupun masing-masing ekstrak etanolik daun sirih merah (Piper
crocatum), umbi keladi tikus (Thyphonium flagelliforme), dan herba meniran
(Phyllantus niruri) sudah pernah diuji toksisitasnya tetapi untuk kombinasi
ketiga ekstrak tersebut belum pernah dilakukan pengujian untuk mengetahui
toksisitasnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji toksisitas terhadap
kombinasi ketiga ekstrak tersebut agar diketahui profil toksisitas akut
penggunaan kombinasinya.
G. Hipotesis
1. Pemejanan secara akut produk SKM pada tikus betina Sprague Dawley tidak
menimbulkan kematian hewan uji.
22
2. Pemejanan secara akut produk SKM tidak menimbulkan gejala toksik pada
tikus betina Sprague Dawley
3. Pemejanan secara akut produk SKM pada tikus betina Sprague Dawley tidak
menimbulkan spekrum efek toksik yang luas.
Download