BAB II

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Analisis Fundamental
Dalam melakukan analisis fundamental dalam memilih saham, investor dapat
melakukan dua pendekatan, yaitu top down analysis, three-step approach dan bottom up
analysis, stockpicking approach. Hal ini dikemukakan oleh Reilly Brown (2003:369).
Perbedaan dari dua pendekatan ini, terletak pada langkah-langkah yang harus dilakukan
dalam memilih saham. Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam top down analysis,
yaitu, pertama, melakukan analisa keadaan ekonomi dan pasar secara keseluruhan dengan
tujuan untuk menentukan bagaimana mengalokasikan dana investasi di berbagai negara
atau dalam satu negara dengan berbagai bentuk investasi, seperti dalam obligasi, saham
dan uang tunai. Kedua, melakukan analisis industri dengan tujuan untuk menentukan
industri mana yang akan tumbuh atau turun, berdasarkan dari analisa keadaan ekonomi
dan pasar sebelumnya. Terakhir, setelah menentukan industri yang terbaik, barulah
investor memilih saham suatu perusahaan yang masih dianggap murah (undervalued).
Sedangkan untuk bottom up analysis, investor langsung menentukan saham yang masih
dianggap murah (stockpicking), tanpa memperhatikan keadaaan ekonomi secara
menyeluruh dan industri di mana perusahaan tersebut berada.
Dalam penentuan nilai
saham, baik melalui pendekatan top down maupun
pendekatan bottom up, faktor-faktor fundamental memiliki peranan yang penting.
Semakin baik faktor fundamental yang dimiliki oleh suatu saham, akan semakin berharga
saham itu di mata para investor. Para investor akan menganalisa faktor fundamental baik
yang berasal dari dalam perusahaan, maupun dari luar perusahaan untuk mendapatkan
nilai wajar dari suatu saham. Harga wajar (nilai intrinsik) suatu saham dibandingkan
dengan harga pasarnya, untuk menentukan apakah harga pasarnya sudah mencerminkan
harga wajarnya atau belum.
Faktor fundamental suatu perusahaan, banyak dipengaruhi oleh berbagai hal.
Warren Buffett dalam bukunya The Essential Buffet (Reilly Brown 2003:548-549)
membagi kedalam empat prinsip dasar dalam menganalisa perusahaan, yaitu Business
tenets (apakah bisnis mudah dipahami, apakah bisnis mempunyai sejarah beroperasi yang
konsisten dan apakah mempunyai prospek jangka panjang), Management tenets (apakah
manajemen rasional, gaya manajemen bertabrakan dengan keinginan pemegang saham),
Financial tenets (fokus pada ROE, mempunyai profit margins yang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang lain, apakah perusahaan menambah kemakmuran pemegang
sahamnya) dan Market tenets (apakah nilai dari bisnis, apakah bisnis dapat dibeli dengan
harga diskon yang signifikan terhadap nilai intrinsik fundamental perusahaan).
Ide dasar pendekatan ini adalah dengan melihat suatu perusahaan sebagai satu
bagian (system) dengan lingkungannya. Kinerja perusahaan dalam melakukan penjualan,
untuk mendapatkan profit sangat terpengaruh oleh kondisi industri dan perekonomian
secara umum. Pada penulisan tesis ini, hanya akan dilakukan peninjauan terhadap faktor
fundamental internal perusahaan.
Analisis perusahaan dapat dilakukan dengan mengamati kinerja fungsi-fungsi
operasional perusahaan. Dalam hal ini, laporan keuangan memegang peranan yang sangat
penting. Dengan melakukan evaluasi laporan keuangan tersebut, investor akan
mengetahui keadaan dan perkembangan kondisi keuangan perusahaan. Investor
(pemegang saham) merasa perlu menganalisis keadaan keuangan perusahaan, karena
akan diketahui kemampuan dan kebijaksaan perusahaan dalam membagikan dividen.
Ciri-ciri dari analisis secara fundamental menurut Kamaruddin (1996:79) yaitu :
•
Fokus perhatian pada harga saham, apakah wajar, overvalued atau undervalued.
•
Jangka waktu atau horizon investasi jangka menengah dan panjang bukan/jarang
untuk jangka pendek.
•
Informasi utama biasanya berasal dari perusahaan atau emiten, bukan dari
perkiraan atau isu/gosip semata.
•
Motif utama dalam analisa adalah dividen dan pertumbuhan, juga tercakup capital
gain.
•
Strategi utama yang dilakukan oleh investor adalah membeli saham lalu
menyimpannya sampai periode tertentu, tidak untuk langsung dijual dalam jangka
pendek.
•
Karakter investor yang menggunakan analisis fundamental ini adalah seseorang
yang bersifat penabung, individual dan terencana, bukan spekulan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam analisis fundamental
menganggap bahwa suatu saham mempunyai nilai intrinsik tertentu. Nilai intrinsik dapat
ditentukan dengan melihat faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi kinerja emiten,
baik yang berasal dari dalam maupun dari luar perusahaan. Dengan membandingkan nilai
intrinsik dengan harga pasarnya, investor dapat menentukan tindakan selanjutnya untuk
memperoleh keuntungan. Apakah membeli atau menjual suatu saham tersebut.
2.2
Return on Assets (ROA)
Return on Assets (ROA) atau yang sering juga disebut dengan return on
investment (ROI) merupakan perbandingan antara laba bersih dengan total aset
perusahaan. Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai dua hal. Pertama, rasio ini mengukur
kemampuan pihak manajemen perusahaan dan tingkat efisiensi dalam menggunakan aset
perusahaan untuk menghasilkan keuntungan. Kedua, rasio ini menggambarkan tingkat
pengembalian total yang akan diterima oleh semua pihak penyedia modal (hutang dan
saham), terlepas dari mana sumber modal tersebut berasal. Semakin tinggi nilai ROA,
akan mengindikasikan jika pihak manajemen perusahaan dapat mengelola aset
perusahaan secara efektif dan semakin baik pihak manajemen dalam menghasilkan
tingkat pengembalian bagi pemilik modal
Untuk mendapatkan ROA dilakukan perhitungan melalui pembagian antara net
profit (net income) yang dilaporkan dengan total aset yang terdapat di neraca.
ROA =
Net Pr ofit
Total Assets
Dalam perhitungan ROA ini, total aset yang digunakan akan lebih tepat bila
menggunakan rata-rata dari total aset (awal tahun dan akhir tahun) selama periode
perhitungan daripada hanya menggunakan total aset pada akhir tahun. Menggunakan
rata-rata total aset akan memberi nilai tambah bagi investor karena akan mengetahui
pertumbuhan, penurunan, atau faktor signifikan lainnya dalam suatu bisnis.
Melalui metode Du Pont, perhitungan ROA dapat diperoleh melalui :
ROA = Net profit margin x Total assets turnover
ROA =
2.3
Net income
Sales
x
Sales
Total assets
Return on Equity (ROE)
Dari sudut pandang pemilik suatu perusahaan, return on equity (ROE) merupakan
suatu rasio yang harus diperhatikan. Pemilik perusahaan sebagai investor merupakan
pihak di mana manajemen perusahaan harus bertanggungjawab. Oleh karena itu, sudah
seharusnya jika pihak manajemen memberikan perhatian pada sudut pandang pemilik
perusahaan dan harapan mereka berkaitan dengan jangka waktu, pelaksanaan, dan
penilaian dari hasil operasi. Hal ini merupakan dasar bagi pertambahan nilai (value
creation) bagi pemegang saham.
ROE mengukur tingkat pengembalian kepada pemegang saham perusahaan dan
diperoleh setelah dikurangi pengembalian yang dibayarkan kepada kreditur (bunga).
ROE diperoleh melalui perhitungan :
ROE =
Net income to common stockholders
Common equity
Sama seperti pada perhitungan ROA di mana menggunakan rata-rata total aset
sebagai penyebut, dalam perhitungan ROE menggunakan rata-rata common equity
sebagai penyebut.
Perhitungan ROE juga dapat diperoleh melalui hasil pengembangan perhitungan
dengan menggunakan metode Du Pont.
ROE = ROA x Equity multiplier
ROE =
Net income
Total assets
x
Total assets
Common equity
Hubungan antara ROA dan ROE merefleksikan struktur permodalan perusahaan.
Pihak kreditur dan pemegang saham menyediakan modal yang dibutuhkan oleh
perusahaan dalam memperoleh aset yang digunakan dalam bisnis.
2.4
Du Pont System
Menurut Gitman (2000:147) analisis sistem Du Pont adalah :
“System used by management to dissect the firm’s financial statements and to assess its
financial condition”.
Du Pont System digunakan sebagai alat diagnosa untuk menilai keadaan keuangan
perusahaan. Sistem Du Pont menggabungkan laporan laba rugi dan neraca kedalam dua
perhitungan yang menghitung tingkat profitabilitas, yaitu return on total assets (ROA)
dan return on equity (ROE). Gambar 2.1 menunjukkan bagan Du Pont yang dimodifikasi,
karena menghubungkan return on assets dari perusahaan dengan return on equity, dengan
menggunakan financial leverage multiplier (FLM). Bagian atas dari bagan merupakan
ringkasan dari aktivitas operasi perusahaan yang tercermin pada laporan laba rugi, dan
bagian bawah merupakan ringkasan dari neraca perusahaan.
Du Pont System menghubungkan net profit margin (yang mengukur tingkat
profitabilitas yang dihasilkan terhadap penjualan perusahaan) dengan total assets
turnover (yang mengindikasikan seberapa efektif perusahaan dalam menggunakan
asetnya dalam menghasilkan penjualan). Formula perhitungan Du Pont lalu mengalikan
kedua rasio tersebut untuk menemukan return on assets (ROA) dari perusahaan.
ROA =
marjin laba bersih x perputaran total aktiva
Dengan mengganti formula di atas dengan perhitungan yang lebih sederhana dan
prosedur yang lebih mudah, maka didapat perhitungan :
ROA =
(laba bersih/penjualan) x (penjualan/total aktiva)
Formula Du Pont memberikan perusahaan untuk dapat melakukan perhitungan ROA
secara lebih mendetail, dengan memecah perhitungan menjadi dua bagian, yaitu laba dari
penjualan dan efisiensi dalam penggunaan komponen aset. Dengan demikian, perusahaan
yang mempunyai laba yang rendah terhadap penjualan, dan memiliki perputaran total
aktiva yang tinggi, maka akan menghasilkan ROA yang baik, walaupun sering terjadi
keadaan yang sebaliknya.
Langkah selanjutnya adalah menghitung return on equity (ROE) dengan
menggunakan modified DuPont formulation, yang menurut Gitman (2000:149)
menyatakan :
“Modified DuPont formula relates the firm’s return on total assets (ROA) to its return on
equity (ROE) using the financial leverage multiplier (FLM)”.
ROE
=
ROA x ekuitas multiplier
Dengan penyederhaan perhitungan, maka didapat rumus ROE sebagai berikut :
ROE
=
(laba bersih/total aktiva) x (total aktiva/ekuitas
biasa)
saham
Dari persamaan ROA dan ROE di atas dapat dikombinasikan untuk membuat persamaan
Du Pont yang diperluas, yang menunjukkan bagaimana marjin laba, rasio perputaran
aktiva, dan ekuitas multiplier dikombinasikan untuk menentukan return on equity :
ROE
=
=
(marjin laba) x (perputaran total aktiva) x (ekuitas
multiplier)
(laba bersih/penjualan) x (penjualan/total aktiva) x (total
aktiva/ekuitas saham biasa)
Manajemen perusahaan dapat menggunakan sistem Du Pont untuk menganalisa
cara memperbaiki kinerja. Dengan memfokuskan pada sisi marjin laba, bagian pemasaran
dapat mempelajari pengaruh harga terhadap volume penjualan, sehingga dapat
menetapkan harga yang sesuai sehingga volume penjualan meningkat, melakukan
pengembangan produk baru atau masuk ke pasar baru, dan lain sebagainya. Tiap
departemen di satu perusahaan, akan berupaya keras untuk dapat menurunkan biaya.
Sedangkan untuk meningkatkan sisi perputaran (turnover), staf keuangan dapat
melakukan analisis untuk mengurangi investasi pada berbagai jenis aktiva yang tidak
produktif, menganalisis pengaruh strategi pembiayaan alternatif, cara untuk menurunkan
beban bunga dan resiko utang, tetapi dengan tetap menggunakan leverage untuk
meningkatkan tingkat pengembalian atas ekuitas.
2.5
Earnings Before Interest and Tax (EBIT)
Earnings Before Interest and Tax (EBIT) atau juga dikenal dengan laba operasi
merupakan merupakan laba yang diperoleh dari hasil pengurangan pendapatan
perusahaan dari penjualan dengan biaya-biaya operasi. Biaya operasi terdiri dari biaya
pokok penjualan, biaya administrasi dan umum, biaya depresiasi dan biaya pemasaran.
EBIT sering digunakan oleh para investor dikarenakan dari EBIT ini dapat dilihat laba
perusahaan
sebelum
dipenuhinya
kewajiban
perusahaan
kepada
pihak
ketiga
(pembayaran bunga kepada kreditur, pembayaran pajak dan pembayaran dividen kepada
pemegang saham).
Dengan demikian, besarnya EBIT tergantung kepada penjualan bersih dan
besarnya biaya usaha (operating expenses). Dengan jumlah operating expenses tertentu,
laba operasi dapat diperbesar dengan meningkatkan penjualan, atau dengan penjualan
tertentu, laba operasi dapat diperbesar dengan menekan atau memperkecil biaya
operasinya.
2.6
Price Earnings Ratio (PER)
Price Earnings Ratio (PER) atau juga dikenal sebagai Earnings Multiplier Model
merupakan suatu tehnik penilaian relatif yang secara implisit melakukan perhitungan
untuk menentukan nilai dari suatu entitas ekonomi (pasar, industri, atau perusahaan) dan
membandingkannya kepada suatu entitas yang sama. PER diperoleh dari membagi harga
saham suatu entitas kepada earnings yang diperoleh.
Price Earnings Ratio
(PER)
=
=
Price
Earnings Ratio
Current Market Price
Expected 12-Month Earnings
Banyak investor yang lebih suka untuk menggunakan PER untuk memprediksi
harga saham. Hal ini berdasarkan pada konsep dasar dari nilai suatu investasi merupakan
nilai tunai sekarang (present value) dari arus kas di masa yang akan datang. Untuk
saham, pengembalian yang akan diterima oleh investor merupakan laba bersih yang
dihasilkan oleh perusahaan. Untuk itu, satu cara investor untuk mengestimasi nilai saham,
adalah dengan menentukan berapa rupiah seorang investor ingin membayar untuk setiap
rupiah yang akan dihasilkan perusahaan.
Nilai PER yang rendah menunjukkan persepsi pasar bahwa perusahaan hanya
akan mengalami pertumbuhan yang rendah, sedangkan nilai PER yang tinggi
menunjukkan persepsi pasar yang baik terhadap pendapatan yang tinggi pada masa
mendatang, atau perusahaan memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi. Perhitungan
current earnings multiplier (P/E ratio) mengindikasikan sikap investor terhadap nilai
saham. Investor harus memutuskan apakah mereka setuju dengan nilai PER (apakah
nilainya terlalu tinggi atau terlalu rendah) jika dibandingkan dengan nilai PER dari pasar,
industri di mana perusahaan berada, dan perusahaan sejenis.
Perhitungan nilai saham dengan menggunakan dividend discount model dapat
digunakan untuk memprediksi nilai PER sebagai berikut :
Price =
P
E
Dividends
k-g
=
D/E
k-g
Sehingga nilai PER ditentukan oleh :
1. Expected dividend payout rasio (dividen dibagi dengan pendapatan)
2. Estimasi required rate of return dari saham (k)
3. Ekspektasi dari tingkat pertumbuhan dividen suatu saham (g)
2.7
Economic Value Added (EVA)
Economic Value Added (EVA) merupakan metode perhitungan yang digunakan
untuk mengukur efisien tidaknya operasionalisasi sebuah perusahaan.
Menurut Brigham (2001:60), EVA adalah :
“EVA is a way to measure an operations true profitability. Recall that the cost of debt
capital (interest expense) is deducted when calculating net income, but no cost is
deducted to account for the cost of common equity.”
Sedangkan menurut Gitman (2000:17) EVA adalah :
“EVA is a popular measure, used by many firms to determine whether an investments
contributes positively to the owners’ wealth; calculated by subtracting the cost of funds
used to finance an investment from its after-tax operating profits.”
Dengan EVA akan dengan mudah diketahui apakah sebuah manajemen
perusahaan cukup perform dalam menjaga kinerja perusahaannya. Dengan EVA, para
pemilik saham mampu menilai apakah pihak manajemen cukup perform memberikan
kemakmuran bagi pemegang saham, yang merupakan kompensasi dari tiap rupiah uang
yang diinvestasikannya.
Jika EVA-nya positif, itu artinya pihak manajemen berhasil memberikan
kemakmuran bagi pemegang sahamnya. Sebaliknya jika EVA-nya negatif, itu berarti
pihak manajemen justru buruk, dengan menghancurkan kemakmuran para pemegang
sahamnya.
Bagaimana caranya pihak manajemen perusahaan meningkatkan
nilai value
added pemegang sahamnya? Hal ini dapat ditempuh dengan cara menciptakan return
yang lebih besar dibandingkan dengan cost of capitalnya. Hanya perusahaan yang
mampu meningkatkan pendapatan dan memangkas biayanya saja yang akan tampil
efisien.
Perhitungan EVA pertama kali diperkenalkan oleh Stern Stewart, sekitar akhir
tahun 1980-an, dengan formula sebagai berikut (Biddle, Bowen and Wallace, 1997) :
EVA = (Return on Capital – Cost of Capital)(Capital Invested in Project)
= NOPAT – (WACC)(Capital)
Di mana :
EVA
= Economic Value Added
NOPAT = Net Operating Profit After Tax
WACC = Weighted Average Cost of Capital (Biaya modal rata-rata
tertimbang)
Dalam membuat perhitungan EVA, Stern Stewart banyak melakukan penyesuaian
untuk menghilangkan distorsi yang disebabkan oleh GAAP (Prinsip Akuntansi yang
Diterima)
Untuk lebih jelasnya, langkah-langkah untuk menghitung EVA adalah sebagai
berikut :
•
Menghitung NOPAT.
•
Menghitung biaya modal komponen hutang.
•
Menghitung biaya modal komponen saham preferen.
•
Menghitung biaya modal komponen saham biasa.
•
Menghitung biaya modal komponen laba ditahan.
•
Menghitung biaya modal rata-rata tertimbang.
•
Menghitung EVA.
Keuntungan menggunakan EVA menurut Biddle, Bowen and Wallace, dalam
jurnalnya yang berjudul Evidence of EVA, 1997, adalah :
•
EVA erat kaitannya dengan perhitungan NPV. Hal ini sejalan dengan teori di
corporate finance,di mana nilai perusahaan akan meningkat jika NPV-nya positif.
•
Membuat pihak manajer berpikir dan bertindak sesuai dan searah dengan pihak
investor, di mana tujuan dari perusahaan adalah untuk memaksimumkan kekayaan
para pemegang sahamnya.
2.7.1 Net Operating Profit After Tax (NOPAT)
Penggunaan Net Operating Profit After Tax (NOPAT) didasarkan pada keinginan
investor untuk mengetahui jika perusahaan dalam menghasilkan keuntungan tidak
menggunakan hutang dan tidak memiliki non -operating aset.
Hal ini dikemukakan oleh Brigham (2001:55) sebagai berikut :
“Net Operating Profit After Taxes (NOPAT) is the profit a company would generate if it
had no debt and held no non-operating assets”.
Jika kita mengandaikan terdapat dua buah perusahaan yang mempunyai jumlah
utang yang berbeda, kedua perusahaan itu dapat memiliki performa operasi yang sama,
tetapi hal ini akan berbeda pada laba bersih masing-masing perusahaan, yang disebabkan
oleh pembayaran bunga. Perusahaan yang mempunyai hutang lebih besar, akan
mempunyai laba bersih yang lebih kecil. Laba bersih suatu perusahaan memang penting,
tetapi laba bersih tidak selalu menggambarkan kemampuan operasi perusahaan secara
tepat atau efektif tidaknya operasional suatu perusahaan.
NOPAT = EBIT ( 1 – Tingkat pajak )
2.7.2 Pengertian Struktur Modal
Modal suatu perusahaan dapat dilihat pada sisi kanan neraca perusahaan tersebut.
Modal perusahaan terdiri atas hutang, saham preferen dan saham biasa. Setiap
penambahan dari total aset, harus dibiayai dengan peningkatan satu atau lebih dari
komponen modal tersebut. Masing-masing komponen modal mempunyai biaya, yang
biasa disebut dengan biaya komponen modal.
Menurut Gitman (2000:488), struktur modal adalah :
“The mix of long term debt and equity maintained by the firm”.
Sedangkan menurut Brigham Houston (2000:602) yaitu :
“The mix of debt, preferred stock, and common equity with which the firm plans to raise
capital”.
Perusahaan harus menganalisa terlebih dahulu berbagai faktor untuk menentukan
target struktur modal. Target tersebut dapat berubah sepanjang waktu, tetapi pihak
manajemen harus mempunyai gambaran mengenai target struktur modal secara spesifik.
Jika rasio hutang aktual masih di bawah target, maka ekspansi modal dilakukan dengan
cara meningkatkan jumlah utang, namun jika jumlah hutang suadah di atas target, maka
perusahaan dapat mengeluarkan saham.
Kebijaksanaan sturktur modal mengandung trade-off antara resiko dan imbal
hasil, yaitu :
•
Menggunakan banyak hutang akan meningkatkan resiko yang harus ditanggung
oleh pemegang saham.
•
Tetapi, penggunaan hutang biasanya akan meningkatkan tingkat return on equity.
Resiko yang lebih tinggi akan menyebabkan rendahnya harga saham, tetapi
tingginya imbal hasil yang diharapkan akan mempertinggi harga saham. Untuk itu,
struktur modal yang optimal harus menerapkan keseimbangan antara resiko dan tingkat
imbal hasil yang akan memaksimumkan harga saham.
Empat faktor utama yang mempengaruhi keputusan struktur modal perusahaan
adalah :
•
Resiko bisnis, yaitu tingkat resiko dalam operasional perusahaan tanpa menggunakan
hutang. Semakin besar resiko bisnis perusahaan, semakin rendah rasio hutang yang
optimal.
•
Tingkat pajak. Alasan utama perusahaan menggunakan hutang karena pembayaran
bunga merupakan pengurang pajak, sehingga akan menurunkan biaya modal dari
hutang.
•
Fleksibilitas keuangan atau kemampuan untuk meningkatkan modal dalam berbagai
kondisi.
•
Tingkat konservatif atau agresif pihak manajemen. Beberapa manajemen bersifat
agresif, sehingga cenderung untuk meningkatkan hutang sebagai usaha untuk
meningkatkan profit.
2.7.3 Pengertian Biaya Modal
Pengertian biaya modal (cost of capital) menurut Gitman (2000:449) adalah :
“The cost of capital is the rate of return that a firm must earn on its project investment to
maintain its market value and attrack funds”.
Biaya modal merupakan konsep keuangan yang sangat penting. Hal ini
disebabkan karena biaya modal berfungsi sebagai penghubung antara penentuan
keputusan investasi jangka panjang perusahaan dengan kekayaan pemilik perusahaan
yang ditentukan oleh investor di pasar. Biaya modal digunakan untuk menentukan apakah
investasi perusahaan akan meningkatkan atau malah menurunkan harga saham
perusahaan. Jelas bahwa hanya investasi yang diharapkan akan meningkatkan harga
saham saja yang akan direkomendasikan untuk dilaksanakan. Dalam hal ini, investasi
yang memiliki nilai net present value (NPV) lebih dari Rp. 0 atau memiliki internal rate
of return (IRR) yang lebih besar dari biaya modal.
Untuk mengukur biaya modal, maka biaya penggunaan hutang jangka panjang,
saham preferen, saham biasa, dan laba ditahan harus dihitung masing-masing terlebih
dahulu, baru ditentukan berdasarkan rata-rata tertimbang dari modal yang dimiliki.
1.
Biaya Modal Komponen Hutang
Biaya hutang merupakan biaya yang harus ditanggung oleh perusahaan (debitur)
kepada kreditur akibat perusahaan melakukan hutang. Biaya hutang ini biasa dikenal
sebagai bunga (interest). Banyak perusahaan melakukan pencarian modal bagi
perusahaannya dengan cara berhutang. Hal ini disebabkan karena pembayaran bunga
merupakan faktor pengurang pajak (tax deductible). Sehingga, biaya hutang yang
diterima oleh perusahaan harus dikurangi dengan tingkat pajak.
Hal ini didapat dari Brigham (2001:458) yang menyatakan bahwa :
“The after-tax cost of debt, is used to calculate the weighted average cost of capital, and
it is the interest rate on debt, less the tax savings that result because interest is
deductible”.
Demikian juga menurut Gitman (2000:454) di mana :
“The cost of long term debt, is the after tax cost today of raising long term funds through
borrowing”.
Dengan demikian biaya hutang dapat diperoleh melalui perhitungan :
kdt = kd (1 – T )
Di mana :
kdt
:
Biaya hutang setelah pajak
kd
:
Biaya hutang sebelum pajak
T
:
Tingkat pajak
Alasan mengapa perusahaan menggunakan biaya hutang setelah pajak untuk
menghitung biaya modal tertimbang rata-rata adalah sebagai berikut. Nilai saham suatu
perusahaan, di mana perusahaan berusaha untuk memaksimumkannya, tergantung pada
arus kas setelah pajak. Karena bunga merupakan biaya pengurang yang menghasilkan
penghematan pajak, yang akan mengurangi biaya hutang bersih, sehingga biaya hutang
setelah pajak akan lebih kecil daripada biaya hutang sebelum pajak. Ketika perusahaan
memberi perhatian pada arus kas setelah pajak, di mana arus kas dan tingkat
pengembalian harus dapat dibandingkan, sehingga perusahaan melakukan penyesuaian
dengan menurunkan tingkat bunga untuk menyesuaikan dengan perlakuan pajak terhadap
hutang yang lebih sesuai.
2.
Biaya Modal Komponen Saham Preferen
Biaya modal komponen saham preferen merupakan tingkat imbal hasil yang
diinginkan oleh pemegang saham preferen. Hal ini dikemukan oleh Brigham Houston
(2000:460) yang menyatakan :
“Cost of preferred stock is the rate of return investors require on the firm’s preferred
stock”.
Biaya ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
kp =
Di mana :
Dp
Pp
kp
:
biaya saham preferen
Dp
:
dividen yang dibayar
Pp
:
harga saham di pasar
3.
Biaya Modal Komponen Saham Biasa
Menurut Gitman (2000:459) :
“Cost of common stock equity is the rate at which investors discount the expected
dividends of the firm to determine its share value”.
Jadi biaya modal komponen saham biasa merupakan tingkat pengembalian yang
diharapkan investor dengan mencari nilai di masa sekarang (present value) dari dividen
yang akan diterima.
Dua tehnik perhitungan dapat digunakan untuk menentukan biaya modal
komponen saham biasa, pertama, dengan menggunakan constant growth valuation model,
kedua, dengan metode capital asset pricing model (CAPM).
Berdasarkan constant growth valuation model, perhitungan menggunakan rumus :
Ks =
D1
+g
P0
Di mana :
Ks
:
biaya saham biasa
D1
:
dividen yang akan dibayar
P0
:
harga saham biasa
g
:
tingkat pertumbuhan dividen
Untuk mencari tingkat pertumbuhan dividen (g) digunakan rumus :
g = 1 - (Dps/EAT) x (EAT/equity)
Di mana :
g
:
tingkat pertumbuhan dividen
Dps
:
dividen
EAT
:
earnings after tax (laba bersih)
Equity :
jumlah modal sendiri
Metode kedua, dengan menggunakan metode capital asset pricing model
(CAPM). Hal ini menurut Gitman (2000:461) adalah :
“Capital Asset Pricing Model (CAPM) is describes the relationship between required
rate of return, or cost of common stock equity, and nondiversifiable risk of the firm as
measured by the beta coefficient”.
Perhitungan CAPM menggunakan rumus :
Ks = RF + [b x (Km – RF)]
Di mana :
Ks
:
biaya saham biasa
RF
:
risk free rate of return
b
:
resiko pasar
Km
:
imbal hasil pasar
Membandingkan CAPM dan constant growth valuation model, maka akan
diketahui jika kedua metode tersebut berbeda dalam memandang resiko perusahaan,
sebagaimana terefleksi oleh beta, dalam menentukan tingkat imbal hasil yang diinginkan
atau biaya saham biasa. Metode constant growth tidak melihat resiko, tetapi
menggunakan harga saham di pasar,Po.
Secara teori, metode CAPM dan constant
growth model yang mudah diaplikasikan dalam praktek nyata sehari-hari adalah sama.
Tetapi, akan sangat sulit untuk memperlihatkan tingkat kesamaan di antara kedua
metode, berkaitan dengan kesulitan dalam menentukan tingkat pertumbuhan, beta, dan
tingkat suku bunga bebas resiko. Banyak investor lebih menyukai menggunakan metode
constant growth valuation karena data-data yang dibutuhkan lebih mudah ditemukan di
pasar.
4.
Biaya Modal Laba Ditahan
Laba ditahan merupakan bagian dari laba bersih yang tidak dibagikan. Tujuan
perusahaan untuk menahan sebagian dari laba bersihnya adalah adanya kesempatan
perusahaan untuk bertumbuh, sehingga imbal hasil yang diberikan kepada pemegang
saham akan semakin besar.
Banyak pihak yang salah penilaian tentang laba ditahan. Mereka memperkirakan
bahwa laba ditahan merupakan modal tanpa biaya, karena laba ditahan mempresentasikan
sisa uang yang dimiliki perusahaan setelah membayar dividen. Walaupun hal tersebut
benar bahwa tidak ada biaya secara langsung, laba ditahan tetaplah memiliki biaya.
Alasan mengapa perusahaan harus menganggap bahwa laba ditahan memiliki biaya
adalah adanya prinsip opportunity cost. Laba setelah pajak merupakan milik pemegang
saham biasa. Para kreditur mendapatkan kompensasi dari pembayaran bunga, dan
pemegang saham preferen mendapatkan dividen preferen. Semua laba yang tersisa
setelah pembayaran bunga dan dividen preferen merupakan milik pemegang saham biasa,
dan laba ini merupakan kompensasi untuk pemegang saham biasa atas penggunaan modal
mereka. Manajemen dapat membayar semua laba dalam bentuk dividen, atau menahan
dan menginvestasikannya kembali. Jika pihak manajemen memutuskan untuk menahan,
terdapat opportunity cost (di mana pihak pemegang saham biasa dapat menerima semua
laba sebagai dividen, dan menginvestasikannya ke dalam saham lain, obligasi, atau
bentuk lainnya). Sehingga, perusahaan harus memberikan kompensasi kepada pemegang
saham sebesar yang dapat dihasilkan investor pada alternatif investasi.
Dengan demikian, timbul pertanyaan, berapa besar tingkat imbal hasil yang
diharapkan para pemegang saham? Jika perusahaan tidak dapat menginvestaikan laba
ditahan dan menghasilkan imbal hasil sesuai dengan yang diinginkan investor,
perusahaan harus membayar laba tersebut kepada pemegang saham, dan memberikan
kesempatan untuk melakukan investasi pada aset yang lain. Hal ini sesuai yang
diungkapkan oleh Brigham Houston (2000:460) yang menyatakan :
“Cost of retained earnings is the rate of return required by stockholders on a firm’s
common stock”.
Sehingga biaya modal laba ditahan sama dengan biaya modal saham biasa.
Ke
=
Di mana :
Ke
:
biaya laba ditahan.
D1
:
dividen
P0
:
harga saham
g
:
pertumbuhan dividen
D1
P0
+ g
2.7.4 Biaya Modal Rata-rata Tertimbang
Biaya modal rata-rata tertimbang (Weighted Average Cost of Capital, WACC)
merupakan biaya modal suatu perusahaan, yang terdiri dari saham, penggunaan hutang,
dan laba ditahan. Biaya modal rata-rata tertimbang ini nanti yang digunakan sebagai
patokan apakah perusahaan dapat memberikan imbal hasil sesuai yang diinginkan para
pemilik modal.
Menurut Brigham Houston (2000:470) menyatakan :
“Weighted Average Cost of Capital (WACC) is a weighted average of the component
costs of debt, preferred stock, and common stock”.
Rumus untuk menghitung biaya modal rata-rata tertimbang adalah :
WACC = wd kd ( 1-T ) + wp kp + wc kc
Di mana :
WACC
:
biaya modal rata-rata tertimbang
wd
:
proporsi hutang dalam modal
kd
:
biaya hutang sebelum pajak
T
:
tingkat pajak
wp
:
proporsi saham preferen dalam modal
kp
:
biaya saham preferen
wc
:
proporsi saham biasa dalam modal
kc
:
biaya saham biasa
2.8
Return Saham
Dalam melakukan investasi, investor mengharapkan sejumlah tingkat hasil
tertentu sesuai dengan tingkat resiko dari investasi tersebut. Untuk saham, investor
mengharapkan return yang merupakan penjumlahan dari dua bentuk return, yaitu dividen
dan capital gain.
Dividen merupakan hal yang penting bagi para pemegang saham. Para investor
biasanya merespons negatif ketika suatu perusahaan mengurangi pembagian dividennya.
Dividen dalam bentuk tunai yang dibagikan perusahaan, biasa dibandingkan dengan
harga pasar saham tersebut di bursa untuk memperoleh dividend yield. Menurut Brigham
Houston (2001:411) :
“Dividend yield is the expected dividend divided by current price of a share of stock”.
Dividend yield =
dividen per lembar saham
harga pasar per lembar saham
Dividend pay out ratio merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur
besarnya dividen tunai yang dibagikan perusahaan terhadap laba bersih perusahaan.
Rasio ini didapat dengan perhitungan :
Dividend payout ratio = dividen per saham / laba bersih per saham
Bentuk return yang kedua dari investasi pada saham adalah dengan
mengharapkan capital gain (kenaikan harga).
Capital gain (loss) menurut Brigham Houston (2001:64) adalah :
“The profit (loss) from the sale of a capital asset for more (less) than its purchase price”.
Perhitungan capital gain (loss) adalah sebagai berikut :
Capital gain (loss) =
P t - P t-1
P t-1
Di mana :
Pt
:
harga saham yang bersangkutan pada periode t
P t-1
:
harga saham yang bersangkutan pada periode t-1 (periode sebelumnya)
Download