ILEUS Leonardo Basa Dairi, Lukman Hakim Zain, Juwita Sembiring, Mabel Sihombing, Masrul Lubis, Hartono Apriliasta Purba Divisi Gastroenterologi – Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK – USU RSUP. HAJI Adam Malik Medan PENDAHULUAN Ileus paralitik adalah suatu keadaan patofisiologik dimana terdapat hambatan motilitas pada traktus gastrointestinal dan tidak terdapat obstruksi mekanik intestinal, yang merupakan suatu akibat dari gangguan motilitas dan secara spesifik dapat diterangkan sebagai ileus paralitik atau adinamik ileus1,2. Sedangkan ileus obstruksi merupakan suatu keadaan yang melibatkan adanya hambatan mekanik terhadap isi lumen usus, baik parsial maupun komplit yang terjadi pada satu atau lebih area usus1,3. Keduanya dapat terjadi secara akut ataupun berkembang secara lambat sebagai akibat dari penyakit kronik4. Baik ileus paralitik maupun ileus obstruksi merupakan dua gangguan yang berpotensi mengancam jiwa, kecuali bila dilakukan terapi lebih awal4. Tidak mengherankan bahwa ileus paralitik dan ileus obstruksi termasuk dalam 10 penyebab kematian terbanyak di antara penyakit gastrointestinal4. Satu per lima dari kasus abdomen akut yang dirawat di rumah sakit adalah akibat obstruksi intestinal dan 80 % di antaranya terletak pada level usus halus4. Pada sebuah penelitian retrospektif di India Timur oleh Souvik et. al, dinyatakan bahwa dalam 3 tahun masa penelitian, ditemukan 9,87 % kasus obstruksi intestinal akut. 75,20 % di antaranya adalah pria, sedangkan 24, 79 % sisanya adalah wanita dan pada umumnya terjadi pada kelompok pasien usia 20- 60 tahun5. Obstruksi intestinal akut melebihi 3% dari seluruh penyebab perawatan gawat darurat bedah3. Berdasarkan perhitungan statistik Departemen Kesehatan Inggris, 75% kasus ileus paralitik dan obstruksi intestinal membutuhkan perawatan di Rumah Sakit dengan rata-rata usia pasien adalah 63 tahun6. Angka mortalitas ileus paralitik dan obstruksi intestinal bervariasi tergantung etiologinya yaitu berkisar 2 hingga 20 % bahkan mencapai 50% pada pasien dengan sakit berat 1 Universitas Sumatera Utara dengan penyakit sistemik dan disfungsi organ multipel4. Menurut Souvik et. al, angka mortalitas tinggi pada kelompok pasien tuberkulosis intestinal5. Baik ileus paralitik maupun obstruksi intestinal merupakan gangguan yang fatal, namun kematian dapat dicegah dengan penanganan efektif yang dilakukan lebih awal4. Patofisiologi kedua gangguan tersebut berbeda dan penting untuk diketahui bahwa tidak semua kasus memerlukan operasi1, sehingga hal ini adalah suatu tantangan bagi dokter Spesialis Penyakit Dalam untuk menegakkan diagnosis dan memutuskan penanganan secara cepat dan tepat pada pasien dengan kasus-kasus tersebut. Anatomi dan Fisiologi Saluran Cerna Untuk memahami ileus paralitik dan obstruksi intestinal, maka diperlukan pemahaman mendasar tentang fisiologi anatomi saluran cerna, terutama yang berhubungan dengan fungsi motilitas usus. Saluran cerna menyediakan suplai air, elektrolit dan nutrient untuk tubuh yang membutuhkan proses-proses sebagai berikut7: 1. Pergerakan makanan melalui saluran cerna 2. Sekresi cairan digestif dan proses pencernaan makanan 3. Absorpsi air,berbagai elektrolit dan produk digestif 4. Sirkulasi darah melalui saluran cerna untuk membawa substansi yang diabsorbsi 5. Sistem pengaturan dari semua proses diatas dengan sistem lokal usus, sistem syaraf dan sistem hormonal. Gambar 1. Potongan melintang usus7 Otot halus pada usus tersusun sebagai kumparan-kumparan yang membentuk serat otot. Sinyal elektrik yang menginisiasi kontraksi otot dapat berpindah dari satu 2 Universitas Sumatera Utara serat otot ke serat otot usus lain pada setiap kumparan. Setiap lapisan otot berfungsi sebagai sinsitium yang berarti pada saat potensial aksi ditimbulkan di mana saja pada massa otot usus, sinyal elektrik akan diteruskan ke segala arah pada otot, sedangkan jarak penerusan sinyal tersebut tergantung pada eksitabilitas otot7. Regulator Saluran Cerna Ada empat faktor yang menjadi regulator utama dalam saluran cerna, yaitu (1) Fungsi pergerakan autonomus otot saluran cerna (2) syaraf instrinsik (3) syaraf ekstrinsik dan (4) Hormon pada saluran cerna. Fungsi pergerakan autonomus otot saluran cerna Aktivitas elektrik pada otot halus gastrointestinal memiliki dua tipe yaitu: 1. Slow waves Jenis sinyal elektrik pada tipe ini bukanlah suatu potensial aksi melainkan perubahan resting membrane potential di mana semakin lama akan membuat membran menjadi kurang negative (atau lebih positif) sehingga mencetuskan spikes. Slow waves tidak menyebabkan kalsium tidak masuk ke dalam sel sebagai akibatnya slow waves tidak menimbulkan kontraksi otot. Proses dari slow waves belum diketahui secara jelas namun diduga merupakan interaksi kompleks antara sel otot halus dan interstitials cells of Cajal yang mana sel ini dipercaya memiliki aksi sebagai pacu elektrik pada sel otot halus7. 2. Spikes Spikes adalah potensial aksi yang sesungguhnya , yang terjadi setiap resting membrane potential menjadi lebih positif dari – 40 milivolt. Yang berperan dalam timbulnya potensial aksi pada otot halus gastrointestinal adalah membuka dan menutupnya kanal ion kalsium yang membuka secara lambat sehingga memungkinkan terjadinya potensial aksi berdurasi panjang7. 3 Universitas Sumatera Utara Gambar 2. Potensial membran pada otot halus intestinal Selain adanya potensial slow waves dan spikes, terdapat banyak faktor yang membuat level voltase pada resting membrane potential dapat berubah. Faktor yang dapat menyebabkan depolarisasi membrane (sel otot lebih mudah tereksitasi) yaitu peregangan pada otot, stimulasi asetilkolin, stimulasi syaraf parasimpatis dan stimulasi pada hormon gastrointestinal. Sedangkan faktor yang menyebabkan hiperpolarisasi membrane (sel otot lebih sulit tereksitasi) adalah norepinefrin atau epinefrin dan stimulasi syaraf simpatis7. Kontraksi tonik pada usus dapat disebabkan adanya potensial spikes yang berulang, hormon, atau faktor lain yang menyebabkan depolarisasi parsial usus kontinyu, atau masuknya ion kalsium secara terus-menerus ke dalam sel. Namun detail dari mekanisme-mekanisme ini masih belum jelas7. Sistem Syaraf Enterik (Intrinsik) Sistem syaraf enterik terdiri atas dua pleksus, yaitu pleksus myenterik yang fungsi utamanya adalah mengontrol pergerakan gastrointestinal dan pleksus submukosa yang terutama berperan dalam sekresi gastrointestinal dan aliran darah lokal. Walaupun kedua pleksus ini dapat bekerja sendiri, namun stimulasi dari syaraf simpatis dan parasimpatis mempengaruhi kerja keduanya. Pleksus myenterik bersifat baik eksitatorik maupun inhibitorik, di mana peran inhibitorik ini lebih pada penghambatan kontraksi sfingter misalnya pada sfingter pilorik yang mengontrol pengosongan lambung. Pleksus submukosa berperan pada sekresi intestinal, absorpsi lokal dan kontraksi lokal7. 4 Universitas Sumatera Utara Gambar 3. Sistem Syaraf Enterik7 Sistem syaraf ekstrinsik Seperti yang telah diterangkan di atas, stimulasi syaraf parasimpatik secara umum meningkatkan aktivitas sebagian besar dari fungsi gastrointestinal. Sedangkan stimulasi syaraf simpatik menghambat aktivitas traktus gastrointestinal7. Kontrol hormonal Hormon yang berpengaruh ialah: gastrin, kolesitokinin (menghambat kontraksi lambung secara moderat, mencetuskan kontraksi pada kandung empedu), sekretin, dan motilin (satu-satunya fungsi dari motilin yang diketahui adalah peningkatan motilitas gastrointestinal 7. Aliran darah pada usus tergantung pada tingkat aktivitas, sebagai contoh, aliran darah akan meningkat pada vili dan daerah yang berdekatan dengan area usus yang sedang melakukan proses absorpsi aktif. Menurunnya konsentrasi oksigen juga dapat menyebabkan peningkatan aliran darah intestinal. Sistem syaraf pun dapat mempengaruhi aliran darah gastrointestinal. Peran utama syaraf simpatik pada traktus gastrointestinal adalah menimbulkan vasokontriksi pada vena intestinal dan mesenteric, penurunan volume darah pada vena-vena tersebut memungkinkan tercukupinya aliran darah ke 5 Universitas Sumatera Utara bagian lain dalam sirkulasi. Pada syok hemoragik mekanisme ini dapat menyediakan 200-400 mililiter darah ekstra untuk menunjang sistem darah sistemik7. ILEUS PARALITIK Definisi Ileus paralitik (adynamik ileus) sering diidentikkan dengan ileus yang terjadi lebih dari tiga hari (72 jam) sesudah suatu tindakan operasi dan merupakan salah satu spectrum disfungsi traktus gastro intestinal posoperatif. Namun demikian sering juga salah disebut sebagai keadaan pseudoobstruction karena sebenarnya berbeda, dimana ileus paralitik melibatkan semua bagian usus sedangkan pseudo-obstruction hanya terbatas pada kolon (ileus kolonik). Keadaan ileus paralitik terjadi karena adanya hipomotilitas usus tanpa disertai adanya obstruksi mekanik dan keadaan paralitik pasca operasi umumnya membaik setelah 24 jam pada usus halus, 24-48 jam pada lambung dan 48-72 jam pada kolon. Etiologi Meskipun ileus paralitik mempunyai banyak kemungkinan etiologi, tetapi pasca operasi merupakan penyebab tersering dan tidak harus berupa operasi intra peritoneal, dapat retroperitoneal maupun operasi selain di abdomen.Ileus paralitik tidak pernah terjadi secara primer, oleh karena itu mencari gangguan yang menjadi penyebab adalah hal yang penting untuk mencapai keberhasilan dalam tata laksana1. Penyebab lain dari ileus paralitik antara lain sepsis, obat-obatan (seperti opioid, anti depresan, antasida), metabolik (hipokalemi, hipomagnesemia, hiponatremia, anemia dan hipoosmolalitas), infark miokard, pneumonia, komplikasi diabetes, trauma (misal fraktur spinal), kolik bilier, kolik renal, trauma kepala atau prosedur-prosedur bedah saraf, inflamasi intraabdominal dan peritonitis dan hematoma retroperitoneal. Penyebab yang paling sering dari ileus paralitik adalah gangguan metabolik dan gangguan elektrolit1. Penyebab ileus paralitik dapat dibagi menjadi dua yaitu penyebab intra abdomen, dan ekstra abdomen1. Penyebab intraabdomen1,8: 6 Universitas Sumatera Utara a. Hambatan reflex Laparotomi,Trauma abdomen,Transplantasi renal b. Proses Inflamasi Luka penetrasi, Peritonitis cairan empedu, Peritonitis cairan kimia,Perdarahan intraperitoneal, Pankreatitis akut, Kolesistitis akut, Penyakit Celiac, Inflammatory bowel disease c. Infeksi Peritonitis bakteri, Appendicitis, Diverticulitis, Herpes Zoster virus d. Proses iskemik Insufisiensi arteri, Trombosis vena, Arteritis mesenteric, Obstruksi strangulasi e. Trauma radiasi akut Radiasi abdomen, Proses retroperitoneal, Batu ureteropelvik, Pyelonefritis, Perdarahan retroperitoneal, Keganasan f. Alterasi sel interstitial Cajal Penyebab ekstra abdomen1,8 a. Hambatan reflex Kraniotomi,Fraktur iga, tulang belakang atau pelvis, Infark miokard, Coronary bypass, Operasi bedah jantung, Pneumonia, emboli paru, Luka bakar, Gigitan labalaba janda hitam b. Obat Antikolinergik/antagonis ganglionik, Opiat, Agen kemoterapeutik, Tricyclic antidepressants, Phenotiazines c. Abnormalitas Metabolik Sepsis, Diabetes mellitus, Hipotiroid, Ketidakseimbangan elektrolit (hiperkalemia,hipokalemi,hipofosfatemia), Keracunan logam berat (merkuri) Porfiria, Uremia, Ketoasidosis diabetic, Penyakit sistemik seperti SLE 7 Universitas Sumatera Utara Penyebab yang berhubungan dengan Ilmu Penyakit Dalam: 1. Pankreatitis akut Penyebab yang berhubungan dengan tindakan bedah: 3. Kolesistitis akut 4. Inflammatory bowel disease 1. Post laparotomi 5. Radiasi abdomen 2. Trauma abdomen 7. Arteritis mesenterik 3. Transplantasi renal 8. Infeksi herpes zoster 4. Trauma penetrasi 9. Trombosis vena 5. Megakolon 10. Pyelonefritis 6. Perdarahan intraperitoneal 11. Infark miokard 12. Pneumonia 13. Infeksi virus herpes simpleks anorektal 14. Obat-obatan; opiat, antikolinergik, Ileus Paralitik 7. Apendisitis 8. Divertikulitis 9. Obstruksi strangulasi 10. Batu ureteropelvik 11. Perdarahan retroperitoneal 15. Sepsis 12. Kraniotomi 16. Ketidakseimbangan elektrolit 13. Fraktur iga, tulang belakang , pelvis 17. Uremia 14. Luka bakar 18. Diabetes mellitus 15. Peritonitis bakterial 19. SLE 16.Peritonitis cairan empedu 20. Hipotiroid 21. Hipoparatiroid Bagan 1. Ileus Paralitik Patogenesis Mekanisme ileus yang terlibat pada ileus paralitik dapat bersifat neurogenik, miogenik atau humoral1. Ketiga faktor tersebut dapat menghambat secara berlebihan 8 Universitas Sumatera Utara maupun kurangnya rangsangan terhadap aktivitas otot pada usus. Sebagian besar kasus berhubungan dengan substansi di pembuluh darah, sedangkan mekanisme yang lain adalah mekanisme reflex dan kegagalan fungsi otot. Tiga sistem saraf berperan dalam mengataur motilitas gastrointestinal yaitu sistem saraf simpatik dan parasimpatik yang mengatur motilitas dan sistem saraf intrinsik. Saraf parasimpatik meningkatkan motilitas dan saraf simpatik menghambatnya. Ileus paralitik mungkin terjadi karena peningkatan aktivitas saraf simpatik yang berkepanjangan. Hormon-hormon dapat bekerja lokal atau melakukan fungsinya dari jauh melalui aliran darah. Kerusakan atau gangguan pada reflex-refleks neural yang menentukan motilitas usus yang terkoordinir dan atau kejadian inflamasi otot-otot intestinal dianggap merupakan pusat dari patogenesis ileus yang dipicu tindakan manipulasi usus,sedangkan yang diakibatkan bukan oleh manipulasi mungkin jauh lebih kompleks. Kadar serotonin plasma yang tinggi ditemukan pada kasus obstruksi mekanik akut yang berhubungan dengan iskemik usus yang diduga,berkaitan dengan kongesti vascular, tetapi tidak dijumpai pada kasus ileus paralitik Namun begitu, mekanisme dari berbagai penyakit yang mendasari terjadinya ileus paralitik masih misterius, kompleks dan jarang dapat dimengerti. Terapi dapat berhasil apabila kita mengatasi penyakit yang mendasari terjadinya ileus paralitik. Oleh karena itu, kita perlu mengenal penyakit-penyakit tersebut. Di sini akan dibahas beberapa penyakit atau keadaan yang mendasari terjadinya ileus paralitik1. Hipokalemi Hipokalemi adalah salah satu gangguan elektrolit yang paling sering pada diare akut. Hipokalemi adalah suatu keadaan di mana konsentrasi plasma < 3,5 mmol/L sebagai akibat dari satu atau lebih faktor berikut ini: berkurangnya intake, masuknya kalium ke dalam sel, meningkatnya pengeluaran kalium. Gejala hipokalemi jarang muncul kecuali konsentrasi plasma < 3 mmol/L. Gejala-gejala tersebut adalah fatigue, mialgia, kelemahan otot, dari ektremitas bawah yang merupakan akibat dari lebih negatifnya resting membrane potential. Hipokalemi yang lebih berat dapat berakibat kelemahan yang progresif, hipoventilasi, dan kadang paralisis komplit. Salah satu manifestasi klinis 9 Universitas Sumatera Utara yang berat pada hipokalemi adalah ileus paralitik. Hal ini dikarenakan fungsi otot halus yang terpengaruh kurangnya kadar kalium dan sebagai manifestasinya adalah ileus paralitik9,10. Diabetes mellitus Pasien dengan diabetes sering mengalami diare maupun konstipasi. Penyebab konstipasi dapat bersifat multifaktorial pada pasien diabetes. Namun patofisiologinya belum diketahui secara jelas. Secara patologi, pada pasien diabetes dapat terjadi demielinisasi nervus vagus proksimal dan nervus simpatik yang mensyarafi usus. Waktu pengosongan lambung diperpanjang sebagai akibat dari neuropati otonom yang terjadi secara sekunder pada hiperglikemia, sedangkan hiperglikemia sendiri dapat menyebabkan gangguan motilitas usus, namun hubungan secara jelas dengan dismotilitas usus pada pasien diabetes masih belum dapat diketahui11. Hipotiroid Ileus paralitik pada hipotiroidisme diduga merupakan suatu neuropati otonom yang mempengaruhi syaraf di kolon. Laporan mengenai hal ini pertama kali dibuat oleh Bastenie(1946) yang mengemukakan hipotesisnya bahwa deposisi material miksedematosa pada serat otot di intestinal berinterferensi dengan ganglia otonom. Beberapa penulis berasumsi bahwa mekanisme ileus paralitik pada hipotiroid adalah neuropati otonom seperti halnya neuropati perifer yang sering ditemukan pada hipotiroidisme12. Pada dismotilitas intestinal pada penyakit tiroid, ditemukan abnormalitas pada kontrol elektrik intrinsik dari aktivitas motor usus. Pada pasien hipotiroid frekuensi slow waves pada duodenum menurun11. Hal ini mungkin adalah salah satu sebab dari menurunnya motilitas usus dan waktu transit pada usus halus menjadi memanjang. Pada studi manometrik pada satu pasien ditemukan adanya penurunan dari amplitude kontraksi usus halus dan menurunnya motilitas usus secara keseluruhan. Pada pasien dengan hipotiroid berat, dapat terjadi ileus paralitik dan pseudoobstruksi intestinal. Abnormalitas tersebut dapat kembali ke normal setelah koreksi dari disfungsi tiroid yaitu dengan cara memberikan terapi hormon pengganti yang adekuat11. Hipoparatiroid 10 Universitas Sumatera Utara Mekanisme hormon paratiroid dalam mempengaruhi motilitas gastrointestinal tidak diketahui. Walaupun begitu, dapat kita ingat bahwa kalsium adalah elemen penting dalam kontraksi usus halus sehingga hipokalsemia dapat mengganggu aktivitas kontraksi usus. Telah dilaporkan adanya intestinal pseudoobstruksi dan malabsorpsi yang berhubungan dengan dismotilitas usus halus pada pasien hipoparatiroid. Gejala-gejala yang ditimbulkannya dapat diatasi dengan pemberian kalsium11 . SLE Systemic Lupus Erithematosus(SLE) adalah suatu penyakit inflamasi automun sistemik dengan berbagai macam manifestasi klinik. Traktus gastrointestinal adalah salah satu sistem organ yang paling dipengaruhi oleh SLE. Namun sebagian besar manifestasi gastrointestinal disebabkan efek samping terapeutik dan infeksi. Patogenesis SLE yang berhubungan dengan pseudoobstruksi intestinal masih belum dapat diketahui, walaupun begitu diduga ileus paralitik terjadi karena adanya vaskulitis. Vaskulitis kemudian akan menyebabkan terjadinya iskemi kronik dari otot halus usus sebagai akibatnya dapat timbul kerusakan otot dan hipomotilitas13. Obat-obatan Antikolinergik dapat menurunkan tonus intestinal serta amplitude dan frekuensi kontraksi peristaltik. Analgesik opiat diketahui dapat menekan motilitas traktus gastrointestinal. Morfin dapat menurunkan kontraksi propulsif dengan mempengaruhi reseptor µ-opiat pada sel otot intestinal yang mengakibatkan waktu transit pada usus halus memanjang11. Radiasi Kerusakan akibat radiasi terjadi pada semua struktur usus halus termasuk mukosa, pembuluh darah, jaringan ikat, syaraf enterik dan otot halus. Pada trauma akut, dapat terjadi dismotilitas usus halus. Pada trauma kronik, pleksus mienterik dapat terlihat normal tapi masih dapat ditemukan proliferasi syaraf submukosa yang meluas hingga ke otot sirkuler11. Pankreatitis Akut Pankreatitis akut adalah gangguan inflamasi akut pankreas yang seringkali dapat mempengaruhi sistem organ lainnya yang ditandai dengan nyeri abdomen, mual, muntah, 11 Universitas Sumatera Utara demam, takikardia, takipnea, distress pernapasan, menurunnya bising usus, distensi abdomen, oliguria dan anuria. Komplikasi yang dapat terjadi secara metabolik yaitu hiperglikemia, hipertrigliserida, hipokalsemia dan ensefalopati14,15. Lebih dari 80 % kematian oleh karena pankreatitis akut berat berhubungan dengan proses infeksi terutama infeksi sekunder dari bagian nekrotik pada pankreas atau jaringan peripankreas. Infeksi pankreas sekunder termasuk nekrosis pankreas infektif, abses pankreatik, dan pseudocyst pankreatik infektif yang menyebabkan trauma akut pada mukosa gaster, perdarahan kavum abdomen, fistula dan disfungsi organ multipel. Mekanisme terjadinya infeksi sekunder diduga oleh karena adanya pelepasan enzim pankreas dan substansi bioaktif dan substansi toksik pada fase akut akan menyebabkan paralisis gastrointestinal dan edema mukosa intestinal. Sehingga dapat terjadi translokasi bakteri dan atrofi intestinal mukosa. Sun B. et al (2002) menyatakan dalam penelitiannya bahwa ileus paralitik ≥ 5 hari menjadi salah satu faktor predisposisi dari pankreatitis akut berat16. Kolesistitis akut Kolesistitis akut adalah inflamasi akut yang dapat dicetuskan oleh tiga faktor yaitu: inflamasi mekanik oleh karena batu empedu, inflamasi kimiawi yang disebabkan lisolesitin, serta inflamasi bakteri di mana yang disebutkan terakhir ini berperan dalam 50-85% kasus pasien dengan kolesistitis akut. Gejalanya yaitu nyeri abdomen kanan atas yang menjalar hingga ke area interskapula, scapula kanan, atau bahu, mual, muntah, demam tak terlalu tinggi. Sedangkan tanda khas pada kolesistitis akut adalah nyeri yang meningkat pada batuk atau palpasi pada abdomen kanan atas (tanda Murphy). Tanda lainnya adalah distensi abdomen dan bising usus hipoaktif oleh karena ileus paralitik17. Ileus paralitik post operatif Ileus paralitik adalah masalah yang menjadi penyebab utama dari memanjangnya masa perawatan di rumah sakit post operasi. Pada ileus paralitik post operatif ini, terjadi gangguan pada sistem syaraf otonom yang melibatkan hiperaktivitas simpatetik, gangguan sistem syaraf enterik, inflamasi yang menyebabkan infiltrasi makrofag dan neutrofil serta mediator inflamasi lain, serta sejumlah obat anestesi umum(seperti halotan dan enfluran) dan penggunaan anti nyeri opiat18. 12 Universitas Sumatera Utara Patofisiologi Ileus paralitik menyebabkan beberapa perubahan pada fungsi dan keadaan usus. Perubahan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Perubahan Flora Normal Usus Motilitas normal pada usus dapat membersihkan lumen usus dari nutrient dan organism sehingga pada saat terjadi gangguan motilitas, maka akan terjadi stasis dan pertumbuhan bakteri yang berlebihan serta malabsorbsi. Jumlah bakteri yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan mukosa usus ringan dan pembentukan gas yang berlebihan. Dekonjugasi cairan empedu oleh bakteri mengganggu pembentukan micelle dan menyebabkan steatorea1. Perubahan Isi Lumen Usus Belum terdapat studi yang menjelaskan perubahan aliran cairan dan elektrolit pada ileus paralitik secara memuaskan, namun kemungkinan tidak begitu berbeda dengan normal. Volume gas dapat bertambah dan kemungkinan karena udara yang tertelan, di mana udara ini terdiri dari nitrogen yang kurang diabsorbsi usus sehingga mengakibatkan distensi usus dan mengakibatkan rasa tidak nyaman pada perut1,19. Selain itu dapat terjadi produksi oleh fermentasi bakteri yang semakin bertambah dengan asupan makanan1. Efek Metabolik dan Efek Sistemik Konsekuensi sistemik yang dapat terjadi adalah ketidakseimbangan asam basa, elektrolit dan cairan. Distensi ekstrem juga akan menyebabkan elevasi diafragma dengan ventilasi yang restriktif dan kejadian atelektasis1. Pendekatan Klinis Anamnesis Keluhan pasien tergantung pada waktu perkembangan ileus terjadi, penyakit yang mendasari, komplikasi dan faktor penyerta. Pasien dapat mengeluh perut kembung (oleh karena distensi abdomen), anoreksia, mual dan obstipasi dan mungkin disertai muntah1,4,8 Nyeri abdomen yang tidak begitu berat namun bersifat kontinu dan lokasi nyeri yang tidak jelas adalah karakteristik keluhan pasien ileus4. Riwayat penyakit keluarga perlu 13 Universitas Sumatera Utara ditanyakan untuk mendeteksi adanya kemungkinan miopati atau neuropati yang disebabkan oleh penyakit herediter4. Pemeriksaan Fisik Pasien biasanya berbaring dengan tenang1. Pada pemeriksaan perkusi abdomen dapat ditemukan perkusi timpani. Pada palpasi, pasien menyatakan perasaan tidak enak pada perut dan tidak dapat menunjuk dengan jelas lokasi nyeri. Auskultasi harus dilakukan secara cermat oleh karena dapat ditemukan bising usus yang lemah, jarang, dan bahkan dapat tidak terdengar sama sekali. Dapat terdengar low pitched gurgle, suara berdenting yang lemah yang kadang dapat dicetuskan dengan cara menepuk perut pasien, atau dapat terdengar suara air bergerak(succusion splash) saat pasien berpindah posisi1,4,8. Pemeriksaan fisik perlu dilakukan secara berulang karena komplikasi dapat timbul seiring waktu berjalan sehingga dapat terjadi perubahan hasil pemeriksaan fisik. Demam, hipotensi, atau tanda-tanda sepsis merupakan tanda bahaya akan terjadinya komplikasi yang mengancam jiwa4. Pemeriksaan Penunjang -Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium penting dalam mencari penyakit yang mendasari ileus paralitik serta merencanakan manajemen terapinya. Pemeriksaan yang penting untuk dilakukan yaitu leukosit darah, kadar elektrolit, ureum, glukosa darah, dan amilase. Pemeriksaan elektrolit serum, blood urea nitrogen, dan kreatinin membantu dalam menilai adanya ketidakseimbangan cairan dan ada tidaknya dehidrasi serta derajat dehidrasi. Pemeriksaan leukosit penting dalam menilai ada tidaknya infeksi atau inflamasi. -Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi sangat membantu dalam menegakkan diagnosis, membedakan ileus paralitik dengan ileus obstruksi, dan untuk memahami penyebabnya1,8. Sebagai awal, dapat dilakukan pemeriksaan foto abdomen polos dengan posisi supine dan tegak. Untuk membedakan ileus paralitik dan ileus obstruksi, perlu diperhatikan derajat distensi abdomen, volume cairan dan gas intraluminal Pada ileus paralitik akan ditemukan distensi lambung, usus halus dan usus besar oleh karena terdapat kelainan pada akumulasi gas dan cairan, namun akumulasi gas dan cairan pada ileus paralitik tidak sebanyak pada obstruksi intestinal. Selain itu gas lebih banyak terdapat di kolon loop dari 14 Universitas Sumatera Utara distensi usus ringan dan dapat terlihat di sebelah atas atau berdekatan dengan lokasi proses inflamatorik misalnya pada pankreatitis. Loop ini disebut juga sentinel loops1 . Air fluid level berupa suatu gambaran line up (segaris)1,8. Selain itu terdapat gambaran stepladder pattern1. Gambar 4. Foto polos abdomen ileus paralitik 20 Pemeriksaan dengan CT-Scan terutama diperlukan untuk membedakan ileus dengan penyebab lain dari nyeri abdomen akut non-traumatik. Gambar.5 CT-scan pada ileus paralitik pada seorang anak. Tampak distensi usus halus dan rektum 15 Universitas Sumatera Utara Pemeriksaan dengan manometri usus halus dapat menyediakan informasi tambahan mengenai pola motilitas yang mendasari seperti miopati, neuropati atau obstruksi4,21. Jika manometri menunjukkan pola kontraktil normal dengan kontraksi amplitudo rendah cenderung merupakan tanda dari penyakit yang didasari oleh masalah miogenik. Namun karena kegunaan klinisnya masih belum jelas, pemeriksaan ini belum digunakan secara rutin dan perlu diadakan evaluasi lagi4. Diagnosis Banding Diagnosis banding utama pada ileus paralitik adalah penyebab akut abdomen non-traumatik lain seperti ischemic bowel disease, divertikulitis, diseksi aorta, inflammatory bowel disease yang berat, pankreatitis, dan kolik renal atau kolik bilier. Beberapa penyakit di atas dapat berkembang menjadi ileus sehingga membuat pemeriksaan fisik menjadi rancu1,4. Tata Laksana Hal yang paling penting dalam penatalaksanaan ileus paralitik adalah mencari penyakit yang mendasari. Hal ini oleh karena ileus paralitik diterapi dengan mengobati penyakit dasar dan perlu diingat bahwa terapi operatif harus dihindari kecuali terdapat suatu katastrofi intraabdomen yang membutuhkan laparotomi1. Pengelolaan ileus paralitik bersifat konservatif dan suportif. Tindakannya berupa dekompresi, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit mengobati kausa dan pemberian nutrisi yang adekuat4,8.Dekompresi dilakukan dengan menggunakan nasogastric tube untuk mengurangi distensi akibat gas. Dekompresi dapat mengurangi gejala dan tanda distensi , mual dan muntah serta mengurangi regurgitasi dan aspirasi4. Pemberian cairan , koreksi gangguan elektrolit dan nutrisi dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Perlu dilakukan pembatasan penggunaan obat yang menghambat motilitas usus seperti opiat,dan obat antikolinergik4. Hal-hal yang dapat mencegah ileus paralitik postoperatif yaitu salah satunya pemberian makanan via oral atau nasoenteric tube secara dini setelah operasi. Penjelasan yang logis mengenai hal ini adalah bahwa asupan makanan dapat menstimulasi reflex yang menghasilkan aktivitas gerak usus20. 16 Universitas Sumatera Utara Terapi farmakologi Alvimopan adalah antagonis reseptor µ-opioid yang dapat menghambat aksi opiat dalam menghambat motilitas gastrointestinal tanpa mempengaruhi kerja opiat sebagai anti nyeri4. Sebuah penelitian doubled blind, placebo-controlled trial menyebutkan bahwa kelompok pasien post reseksi usus halus dan usus besar yang diberi alvimopan pergerakan usus terjadi lebih cepat, lebih cepat flatus dan dapat menkonsumsi makanan padat. Alvimopan diberikan dengan dosis 12 mg 30-90 menit sebelum operasi dan dua kali sehari setelah operasi selama 7 hari22. Terdapat beberapa penelitian dan studi klinis yang menyatakan bahwa NSAID meringankan mual dan muntah serta memperbaiki transit gastrointestinal. Laksatif dapat digunakan pada ileus paralitik , namun begitu belum terdapat penelitian randomized controlled trial mengenai efeknya. Prostaglandin dilaporkan dapat meningkatkan masa transit pada usus halus dan kolon, namun masih perlu dilakukan penelitian untuk memastikan kegunaannya. Neostigmin, yang merupakan inhibitor reversibel dari asetilkolinesterase yang dapat meningkatkan motilitas kolon pada periode awal postoperative dengan cara meningkatkan aktivitas asetilkolin pada reseptor muskarinik18,22 . Pemberian neostigmin 2 mg secara cepat dapat memacu flatus dan pasase feses pada 80-90 % pasien. Neostigmin dapat diberikan 2- 2,5 mg intravena bolus atau infuse selama 24 jam, dan perlu pengawasan oleh karena resiko terjadinya bradikardia dan bronkospasme22. Ceruletide merupakan peptide sintetis yang dapat meningkatkan motilitas gastrointestinal dengan beraksi sebagai antagonis kolesistokinin. Namun karena memiliki efek samping mual dan muntah, maka tidak begitu efektif18. Terapi lain Asao et.al menyatakan dalam penelitian randomized, prospective, controlled bahwa mengunyah permen karet dapat memicu motilitas usus setelah kolektomi laparoskopik pada kanker kolorektal. Pada penelitian tersebut, pasien mengunyah permen karet tiga kali sehari dimulai dari hari pertama setelah operasi18. 17 Universitas Sumatera Utara Tabel 1. terapi ileus postoperatif18 Komplikasi Efek sistemik dari distensi abdomen yang terjadi pada abdomen adalah peninggian diafragma dengan ventilasi yang terhambat, dan selanjutnya dapat terjadi ateletaksis19. ILEUS OBSTRUKSI Definisi Ileus obstruksi adalah hambatan pada satu atau lebih area di usus yang disebabkan problem mekanik. Penyebab obstruksi mekanis pada lumen usus dapat dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu lesi ekstrinsik, lesi intrinsik, dan obturasi yang akan dibahas lebih lanjut1, 4, 19, . Etiologi Terkadang penyebab dari ileus obstruksi tidak dapat diketahui sebelum operasi, namun dengan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang yang tepat kita dapat menegakkan diagnosis dan merencanakan terapi. Lesi ekstrinsik Adhesi adalah penyebab paling sering dari obstruksi pada usus halus namun jarang terjadi pada kolon. Pita adhesi yang dapat memendek sejalan dengan waktu 18 Universitas Sumatera Utara menyebabkan terjadinya loop entrapment pada usus sehingga dapat menyebabkan terjadinya closed loop obstruction. Hal ini berkaitan dengan kejadian strangulasi. Contoh dari lesi ekstrinsik adalah hernia dan volvulus1,4. Lesi Intrinsik Keadaan yang dapat menyebabkan lesi intrinsik adalah tumor, intususepsi, dan proses inflamasi atau iskemik. Proses inflamasi atau iskemik dapat menyebabkan striktur lumen, disfungsi otot dan terganggunya masa transit pada usus1,4. Obturasi Salah satu contoh dari obturasi adalah impaksi fesses yang disebabkan konstipasi kronik yang berat, bermacam-macam obat (contoh: narkotik, antipsikotik), dan karsinoma kolon atau divertikulitis1,4. Tabel 2. Penyebab obstruksi mekanik1 Lesi ekstrinsik Adhesi dan pita congenital Hernia - Hernia eksternal - Hernia internal - Hernia diafragmatik - Hernia pelvis Volvulus - Gaster - Usus halus - Sekum - Sigmoid Massa ekstrinsik - Tumor maligna atau benigna - Abses - Aneurisma - Hematoma - Endometriosis Lesi intrinsik 19 Universitas Sumatera Utara Neoplasma benigna atau maligna - Adenokarsinoma - Limfoma, limfosarkoma - Tumor karsinoid Inflamasi Tuberkulosis gastrointestinal Crohn’s disease Striktur, sebagai akibat sekunder dari: - NSAIDs - Iskemia Divertikulitis Intususepsi Defek congenital - Stenosis pilorik hipertrofik - Atresia intestinal - Malrotasi - Divertikulum Meckel - Hirschsprung disease Hematoma - Trauma abdomen - Trombositopenia - Henoch-Schonlein purpura Benda intraabdomen - Ileus mekonium - Impaksi barium - Impaksi feses - Ileus batu empedu - Benda asing Patogenesis Tuberkulosis gastrointestinal Tuberkulosis gastrointestinal termasuk masalah utama pada negara-negara sedang berkembang. Kira-kira terdapat 20-25% pasien tuberkulosis abdominal yang juga disertai dengan tuberkulosis paru. Tuberkulosis gastrointestinal dapat menyerang semua bagian usus, namun area yang paling umum terkena tuberkulosis abdominal adalah ileum dan kolon. Penyebaran infeksi gastrointestinal berasal dari tiga jalur berikut ini23: 1. Penyebaran yang berasal dari sputum yang terinfeksi yang tertelan, biasa terjadi pada pasien dengan tuberkulosis paru akut. 20 Universitas Sumatera Utara 2. Penyebaran melalui jalur pembuluh darah, berasal dari fokus tuberkulosis di paru 3. Penyebaran lokal yang berasal dari organ sekitar yang terinfeksi infeksi tuberkulosis primer(contoh: tuberkulosis renal menyebabkan fistula menuju duodenum) Terdapat tiga bentuk tuberkulosis gastrointestinal yaitu, bentuk ulseratif, hipertrofik, dan ulserohipertrofik23. Diduga obstruksi intestinal disebabkan oleh jaringan parut , fibrosis dan massa rigid pada bentuk hipertrofik. Gejala pada obstruksi intestinal oleh karena tuberkulosis sama seperti gejala klinis pada penyebab lain, yaiu mual, muntah, nyeri abdomen, kemudian terdapat penurunan berat badan23. Crohn’s disease Pada Crohn’s disease, yang dapat bermanifestasi menjadi proses inflamasi akut dan kronik, serta terdapat dua bentuk pola klinis yaitu pola fibrostenosis –obstruksi dan pola penetrasi-fistula. Obstruksi usus pada penyakit ini dapat terjadi dalam berbagai tahap. Pada tahap awal, terjadi edema dinding usus dan spasme sehingga menyebabkan obstruksi intermiten serta nyeri setelah makan yang semakin meningkat. Setelah beberapa tahun, inflamasi persisten berkembang secara progresif menjadi penyempitan fibrostenotik dan striktur. Diare akan berkurang dan digantikan dengan obstruksi usus kronik. Selain itu dapat terjadi episode akut obstruksi yang dicetuskan oleh inflamasi usus dan spasme atau terkadang oleh impaksi makanan yang tidak tercerna. Obstruksi usus terjadi sebanyak 40% dari pasien dengan Crohn’s disease24. Striktur sekunder dari NSAIDs NSAIDs adalah salah satu obat yang digunakan secara luas yang efek sampingnya terutama terjadi pada saluran cerna. Prevalensi lesi pada usus halus yang disebabkan NSAIDs pada masa lalu diremehkan karena sulitnya melakukan pemeriksaan diagnostik yang sensitif pada usus halus, sebuah penelitian Shumaker DA et al. (2001) memaparkan efek samping NSAIDs pada usus halus dengan enteroskopi perioperatif. Efek samping NSAIDs pada usus halus adalah terbentuknya ulkus, striktur, dan enteropati. Ketiga lesi tersebut menimbulkan konsekuensi berupa obstruksi usus halus, perdarahan gastrointestinal kronik, perforasi, anemia defisiensi besi, dan malabsorbsi25. 21 Universitas Sumatera Utara Patofisiologi Perubahan flora normal usus Pada obstuksi parsial, stasis intestinal seperti halnya pada ileus paralitik dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri yang berlebihan dan malabsorbsi. Jumlah mikroorganisme yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan mukosa. Pembentukan gas yang berlebihan, katabolisme nutrient dengan pembentukan asam lemak rantai pendek1. Perubahan isi lumen usus Cairan dan elektrolit terkumpul di bagian proksimal dari area obtruksi. Dalam 12 (dua belas) jam pertama setelah timbulnya obstruksi usus terdapat penurunan absorbsi dan peningkatan sekresi dari air, natrium, dan kalium. Peningkatan sekresi tersebut merupakan akibat dari aktivasi refleks neural oleh reseptor regangan (stretch reseptors). Kegagalan absorbsi dan peningkatan sekresi air dan elektrolit akan terus berlangsung sehingga menyebabkan akumulasi cairan. Selain itu adanya saliva yang tertelan, cairan lambung, serta sekresi dari cairan empedu dan pankreas berperan dalam akumulasi cairan. Sedangkan akumulasi gas berasal dari udara yang tertelan dan fermentasi bakteri1,4,19. Distensi usus yang disebabkan akumulasi gas dan cairan tersebut menyebabkan rasa tidak nyaman, Nyeri adomen pada ileus obstruksi lebih berat dibandingkan dengan nyeri abdomen pada ileus paralitik. Sedangkan sekuestrasi cairan dan elektrolit , hilangnya kapasitas absorbsi dan muntah berperan pada proses terjadinya dehidrasi dan insufisiensi sirkulasi darah melalui hilangnya cairan dari ekstraseluler dan kompartemen intravaskuler1. Perubahan motilitas Pada model eksperimental obstruksi usus menunjukkan kontraksi meningkat di sebelah proksimal dari hambatan lumen usus sedangkan kontraksi di sebelah distal menurun. Komponen utama dari peningkatan aktivitas motor di bagian proksimal tersebut diatur oleh neuron motorik kolinergik usus. Pada keadaan obstruksi yang lama, akan terjadi peningkatan refleks peristaltik motorik. Proses tersebut akan disela oleh fase kontraksi berkelompok, gelombang kontraktil yang intens, atau hilangnya aktivitas 22 Universitas Sumatera Utara motorik. Hal-hal tersebut akan menimbulkan kolik intermiten dan borborigmi. Pada obstruksi kronik muskularis eksterna menjadi tebal melalui mekanisme hipertrofi dan hiperplastik. Semakin lama aktivitas motorik berkurang sehingga periode diamnya aktivitas motorik usus akan meningkat secara progresif. Pada obstruksi usus parsial akan terjadi perubahan pada Interstisial cell’s of Cajal yang reversibel. Perubahan pada aktivitas neuronal, Insterstisial cell’s of Cajal, dan otot halus usus itu sendiri diduga berperan dalam perubahan motilitas selama obstruksi intestinal kronik terjadi1,4. Efek sistemik dan metabolik Sama dengan ileus paralitik, efek sistemik ada ileus obstruksi adalah ketidak seimbangan cairan elektrolit dan asam basa. Volume muntah tidak terlalu banyak pada obstruksi intestinal distal, namun nyeri kolik dan distensi abdomen lebih berat. Distensi dan nyeri pada obstruksi kolon cukup intens namun muntah dan dehidrasi jarang terjadi. Dengan adanya closed loop obstruction dan strangulasi dapat terjadi pelepasan usus yang necrotic sehingga menyebabkan pelepasan substansi yang menjadi penyebab systemic imflamatory response1,4. 23 Universitas Sumatera Utara Pendekatan Klinis Anamnesis Pada ileus obstruksi, hal yang penting selain menyingkirkan diagnosis ileus paralitik adalah menentukan sifat obstruksi(parsial atau komplit), identifikasi lokasi dan gangguan anatomi yang mendasari. Keluhan umum pasien yaitu distensi abdomen , nyeri atau rasa tidak nyaman di perut, keluhan tersebut sering berhubungan dengan obstipasi dan mual atau muntah. Pasien dengan obstruksi usus proksimal umumnya mengeluh kembung dan distensi. Nyeri khas pada obstruksi yaitu rasa seperti tertekan yang tumpul, atau seperti diremas dengan periode eksaserbasi kram dan gelombang yang muncul secara bergantian. Nyeri pada obstruksi usus halus menjalar ke area periumbilikal, derajat nyeri cukup berat dan bersifat kolik. Sedangkan nyeri pada obstruksi kolon terlokalisasi sedikit di bawah umbilikus, sedangkan pada lesi distal biasanya mengalami nyeri yang lebih terlokalisasi pada abdomen kiri bawah. 24 Universitas Sumatera Utara Beberapa pasien mengeluh adanya borborigmi, atau gerakan usus yang dapat dilihat. Pada pasien dengan obstruksi pada outlet gaster, muntah akan bersifat asam dan tidak mengandung cairan bilier. Sedangkan pada obstruksi usus halus, muntah mengandung cairan bilier, terasa pahit dan dapat berbau feses. Ketika terjadi obstruksi komplit, maka pasien tidak dapat flatus ataupun buang air besar. Selain menanyakan mengenai keluhan yang dirasakan oleh pasien, kita juga perlu mengetahui riwayat gejala gastrointestinal sebelumnya, adanya penyakit lain, trauma atau operasi sebelumnya dan penggunaan obat-obatan1,4. Pemeriksaan Fisik Pasien terlihat meringkuk, memegang perut, gelisah dan sering berganti-ganti posisi tidur, muntah. Pada inspeksi dapat terlihat distensi abdomen dan peristaltik usus. Perkusi abdomen akan menghasilkan suara timpani. Bila ditemukan pekak alih atau puddle sign pada perkusi maka kemungkinan terdapat cairan bebas di abdomen yang menyiratkan adanya asites inflamatorik atau asites akibat inflamasi. Pada palpasi, harus dicari adanya massa oleh karena inflamasi, atau neoplasma. bila teraba massa solid maka kemungkinannya adalah abses dari Crohn’s disease atau diverticulitis. Bila pasien merasakan rebound tenderness pada palpasi maka hal tersebut mengindikasikan adanya komplikasi yang membutuhkan operasi segera. Auskultasi dapat membedakan obstruksi intestinal dengan ileus paralitik, yaitu pada obstruksi intestinal bising usus menjadi lebih keras, high pitched, dan hiperaktif, kecuali bila obstruksi berlangsung selama beberapa hari atau telah timbul komplikasi berupa iskemia, nekrosis, atau peritonitis1,4. Pemeriksaan rektal dapat dilakukan untuk mengetahui kelainan atau masssa di daerah pelvik. Pada pemeriksaan rektal, bila didapatkan feses pada sarung tangan, maka hal itu mengindikasikan adanya impaksi feses4. Seperti halnya pada ileus paralitik, perlu dilakukan pemeriksaan fisik berulang pada obstruksi intestinal untuk memonitor timbulnya komplikasi1,4. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan foto polos abdomen dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis obstruksi usus pada lebih dari 60 % kasus26. Dilakukan dengan dua posisi yaitu supine dan tegak (atau lateral dekubitus bila pasien tidak bisa tegak) merupakan pemeriksaan 25 Universitas Sumatera Utara awal yang berguna untuk menentukan letak obstruksi dan mencari penyebabnya. Pada posisi tegak atau lateral dekubitus dapat terlihat multiple air fluid levels dan stepladder pattern. Stepladder patern dengan multiple air fluid levels dan tidak terlihat gas di dalam kolon adalah tanda patognomonik Dapat ditemukan scalloped effect oleh karena udara dan cairan yang berkumpul di kolon proksimal dari obstruksi. Pada tahap awal strangulasi, sulit dibedakan dengan obstruksi simple, namun bila sudah mencapai tahap lanjut, maka usus yang nekrotik akan kehilangan kontur mukosanya dan mengalami edema sehingga tampak gambaran thumbprinted dan bentuk coffee bean. Untuk membedakan ileus paralitik dengan ileus obstruksi, maka perlu diperhatikan derajat distensi intestinal, jumlah cairan dan gas intralumen, dan pola distribusi air fluid-levels. Pada obstruksi intestinal, akumulasi gas dan cairan lebih banyak sedangkan air fluidlevels lebih panjang dan terlihat lebih jelas. Selain itu dapat ditemukan stepladder pattern. Apabila multiple air fluid-levels terlihat sebagai pola string of beads, maka terdapat kecenderungan adanya obstruksi parsial atau komplit derajat tinggi 1,4. Gambar 6. Obstruksi usus halus(kiri) foto polos abdomen pasien dengan obstruksi usus halus posisi supine .(kanan) foto dari pasien yang sama dengan posisi tegak, menunjukkan adanya air-fluid levels. . Walaupun pemeriksaan foto polos abdomen dapat menegakkan diagnosis pada sebagian besar kasus obstruksi intestinal, namun evaluasi lebih lanjut diperlukan(misalnya dengan CT-scan atau radiografi barium)pada 20-30 % kasus26. Sensitivitas CT-scan adalah 80-90 % sedangkan spesifisitasnya adalah 70-90% dalam 26 Universitas Sumatera Utara deteksi obstruksi usus halus. Pada pemeriksaan CT-scan, adanya transisi yang jelas antara bagian usus yang berdilatasi dengan yang kolaps, dilatasi usus proksimal, dekompresi usus distal dan dengan kontras intralumen tidak dapat melalui zona transisi, serta kolon mengandung sedikit gas atau cairan, maka hal-hal tersebut mengarah pada diagnosis pasti obstruksi intestinal. Sedangkan bila terlihat titik transisi yang tidak terdapat adanya struktur ekstralumen atau abnormalitas dinding usus mneyiratkan adanya pita adhesi atau kongenital. Perubahan pada ketebalan dinding usus, massa ekstralumen dan penemuan lain menyediakan informasi penting mengenai penyebab dari obstruksi. Pemeriksaan CT-scan abdomen berguna dalam mendiagnosis tuberkulosis gastrointestinal1,4. CT-scan dapat menunjukkan adanya penebalan dinding usus yang asimetris, dan nodus –nodus yang melebarz. Gambar 7. CT-scan menunjukkan adanya dilatasi jejunum dengan transisi yang jelas, bagian distal kolaps. Tampak usus halus sesuai dengan gambaran obstruksi usus halus komplit Pada obstruksi intestinal parsial, penggunaan kontras barium direkomendasikan pada pasien dengan riwayat obstruksi berulang atau obstruksi mekanik level rendah untuk menentukan segmen obstruksi dan derajat obstruksi. Selain itu dapat membantu mengetahui penyebab obstruksi namun apabila dicurigai terdapat perforasi, maka kontras barium tidak boleh digunakan. Begitu juga dengan obstruksi kolon karena dapat menyebabkan impaksi barium4. Selain itu, dapat pula digunakan sigmoidoskopi atau kolonoskopi pada obstruksi kolon. Sigmoidoskopi dapat pula berfungsi sebagai terapi pada volvulus sigmoid19. 27 Universitas Sumatera Utara Selain itu perlu dilakukan pemeriksaan darah yaitu pemeriksaan hematokrit, elektrolit (natrium, sodium, chlorida dan bikarbonat), blood urea nitrogen, dan kreatinin serta analisis gas darah sebagai dasar dari terapi cairan1. 3.4.Komplikasi Hilangnya cairan dan elektrolit dapat sangat berat, dan apabila tidak dilakukan terapi penggantian cairan, maka dapat terjadi hipovolemi, insufisiensi renal dan bahkan syok. Komplikasi yang paling berbahaya dari obstruksi intestinal akut adalah “closedloop” obstruction yang terjadi ketika lumen usus mengalami oklusi pada dua titik yang disebabkan satu mekanisme misalnya hernia fasial atau pita adhesi. Pada komplikasi tersebut, aliran darah juga terhambat. Pada kolon, walaupun aliran darah tidak terhambat oleh karena adanya mekanisme obstruksi, namun distensi pada sekum menjadi sangat ekstrim oleh karena diameternya yang besar, akibatnya, aliran darah intramural dapat terganggu pula dan pada akhirnya terjadi gangrene pada dinding sekum. Setelah terjadi hambatan aliran darah maka sebagai akibatnya terjadi invasi bakteri dan dapat pula timbul peritonitis. Sama halnya dengan ileus paralitik, efek sistemik yang disebabkan distensi adalah elevasi diafragma dengan ventilasi yang terhambat dan selanjutnya ateletaksis19. Tata Laksana Dalam menentukan keputusan untuk melakukan terapi pada pasien ileus obstruksi, maka diperlukan observasi yang cermat. Segera setelah diagnosis ileus obstruksi ditegakkan, maka resusitasi cairan, elektrolit, dan asam basa harus dimulai. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah menentukan apakah akan dilakukan terapi operatif, pertimbangan akan dilakukan terapi operatif atau terapi nonoperatif1. Salah satu contoh yang membutuhkan operasi segera adalah obstruksi intestinal komplit yang akut yang merupakan keadaan emergensi yang dengan tujuan terapinya adalah membebaskan obstruksi1. Apabila terdapat hipovolemia berat, maka terapi cairan intravaskuler harus dimonitor dengan pengukuran pengeluran urin dan evaluasi central venous pressure. Terapi cairan harus dilakukan berdasarkan defisit cairan dan kebutuhan cairan seharihari1. 28 Universitas Sumatera Utara Cairan yang diberikan untuk mengoreksi defisit cairan adalah ringer laktat, sedangkan pada keadaan asidosis metabolik terutama pada pH darah arteri kurang dari 7,1 maka diperlukan NaHCO3 2 mmol/L 1. Hal lain yang penting untuk dilakukan adalah dekompresi usus untuk mengurangi distensi abdomen. Resusitasi cairan, elektrolit serta asam basa penting dilakukan untuk mengurangi resiko operasi26. Seperti yang telah disebutkan di atas, obstruksi intestinal komplit akut harus dioperasi segera setelah resusitasi preoperatif dilaksanakan. Alasan operasi harus segera dilaksanakan pada obstruksi intestinal komplit adalah bahwa pada keadaan tersebut, kemungkinan strangulasi belum dapat disingkirkan dan penundaan operasi dapat berakibat fatal. Selain itu, kematian sangat terkait dengan kasus obstruksi akut yang sudah mengalami komplikasi. Sebelum operasi perlu dilakukan pemberian antibiotik spektrum luas sebagai terapi profilaksis sebab usus yang tidak dipersiapkan dengan pemberian antibiotik memiliki insiden tinggi terkena infeksi dan selanjutnya dapat terjadi sepsis19,26. Pada obstruksi intestinal parsial, terapi operatif segera tidak selalu diperlukan sehingga masih ada waktu untuk menentukan derajat keparahan serta penyakit yang mendasari dengan pemeriksaan diagnostik. Jika pasien mengeluarkan feses dan flatus dan bila udara dapat terlihat di kolon, maka kemungkinan adanya strangulasi kecil. Laparotomi menjadi indikasi bila terdapat tanda-tanda seperti demam, takikardi, nyeri abdomen yang berlangsung terus-menerus, rebound tenderness dan leukositosis 1. Pada 45% kasus dengan gejala dan tanda seperti yang telah disebutkan, ditemukan strangulasi26. Operasi segera tidak dianjurkan pula pada keadaan-keadaan seperti riwayat mengalami periode obstruksi intestinal multipel yang berulang, operasi abdomen multipel dengan adhesi luas, terapi radiasi abdomen, Crohn’s disease atau karsinomatosis dengan metastasis luas1. Perlu diketahui bahwa operasi segera tidak dianjurkan kecuali pada keadaan perforasi, peritonitis, dan kesulitan respirasi akibat distensi abdomen masif. Dapat dilakukan endoskopi yang digunakan tidak hanya untuk penegakkan diagnosis tapi juga terapi. Kateter balon pneumatik terutama membantu dalam terapi Crohn’s disease. Gejala-gejala obstruksi dapat diatasi dengan obat-obatan namun pada beberapa kasus, 29 Universitas Sumatera Utara terutama pasien yang mengalami obstruksi intestinal proksimal, tindakan endoskopi, gastrostomi dan jejunostomi dapat mengatasi gejala mual, muntah dan kolik1. Tabel 3. Rekomendasi tata laksana obstruksi usus halus(Eastern Association fot the Surgery of Trauma)26 No. Rekomendasi 1. Semua pasien dengan kecurigaan adanya obstruksi usus halus harus diperiksa dengan foto polos abdomen karena foto polos abdomen sama sensitifnya dengan Ct-scan dalam mmbedakan obstruksi dengan nonobstruksi.(level III) 2. Semua pasien yang dengan foto polos abdomen belum dapat ditentukan obstruksi komplit atau letak tinggi sebaiknya diperiksa dengan CT-scan sebagai dasar untuk menetukan letak serta etiologi obstruksi(level I) 3. Beberapa literatur menyatakan bahwa pemeriksaan kontas sebaiknya dipertimbangkan pada pasien yang tidak membaik setelah mendapatkan terapi konservatif selama 48 jam karena pemeriksaan kontras dapat menyingkirkan adanya obstruksi usus halus yang memerlukan operasi(level II) 4. Kontras dengan osmolaritas rendah nonionik dapat menjadi alternatif dari barium untuk pemeriksaan kontras pada evaluasi obstruksi usus halaus untuk tujuan diagnostic(level I) No. Tata Laksana 1. Pasien yang pada foto polos abdomen ditemukan adanya obstruksi usus halus dengan tanda-tanda seperti demam, leukositosis, takikardia, asidosis metabolik dan nyeri terus-menerus; atau ditemukan peritonitis pada pemeriksaan fisik, sangat dianjurkan eksplorasi (Level 1) 2. Pasien yang tanpa manifestasi klinik di atas, obstruksi usus halus parsial atau komplit dapat diberikan tata laksana non-operatif, namun biasanya obstruksi komplit mengalami kegagalan terapi(Level I) Pasien dengan obstruksi usus halus yang tidak mengalami perbaikan setelah diberikan terapi non-operatif selama 3-5hari sebaiknya menjalani operasi (Level III) Tidak ada perbedaan signifikan pada efek terapi non-operatif atau pada tingkat mortalitas setelah tindakan operasi pada dekompresi yang dilakukan dengan tube panjang dibandingkan dengan penggunaan nasogastric tube. Pada pasien yang telah terseleksi pelaksanaan terapi laparoskopi untuk obstruksi usus halus sebaiknya dipertimbangkan serta tindakan tersebut dapat memperpendek waktu perawatan di rumah sakit. Keterangan: Level I : rekomendasi ini cukup meyakinkan dan berdasarkan infomasi keilmuan yang biasanya berdasarkan data Kelas 1, Level 2: rekomendasi ini cukup beralasan yang didukung bukti keilmuan dan diperkuat dengan pendapat ahli, Level 3: rekomendasi ini didukung oleh yang tersedia tanpa bukti keilmuan yang kuat. 30 Universitas Sumatera Utara KESIMPULAN Obstruksi intestinal merupakan salah satu dari penyebab nyeri abdomen yang menjadi diagnosis masuk di instalasi gawat darurat. Penatalaksanan kadang terlambat akibat adanya misdiagnosis antara obstruksi parsial (pseudo obstruksi) sehingga akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Para klinisi perlu mengetahui manifestasi klinik, teknik radiologis untuk mendiagnosis serta modalitas-modalitas terapeutik terkini pada obstruksi intestinal. Ileus paralitik dan ileus obstruksi adalah dua keadaan di mana terdapat hambatan isi usus dengan mekanisme berbeda sehingga penatalaksanaannya pun berbeda. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dapat membedakan keduanya. Baik ileus paralitik dan ileus obstruksi dapat berkembang sehingga mengakibatkan komplikasi yang fatal, namun dengan deteksi dan penanganan yang cepat, maka tingkat kematian akibat keduanya dapat diturunkan. Pada ileus paralitik, yang paling penting adalah menentukan penyakit yang mendasari untuk kemudian mengatasi penyakit tersebut yang pada umumnya juga akan mengatasi ileus paralitik. Sedangkan hal yang penting dalam ileus obstruksi adalah menegakkan diagnosis obstruksi secara cepat kemudian memutuskan apakah akan dilakukan tindakan operatif atau diberikan terapi nonoperatif. Keterlambatan dalam operasi pada ileus obstruksi dapat berakibat fatal. 31 Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA 1. Summers RW. Approach to the patient with ileus and obstruction. In: Yamada T, Owyang C, Powell DW. Textbook of Gastroenterology vol I 4th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2003. Pg: 829-842 2. Mukherjee S. Ileus. Dec 2009. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/178948-overview#a0104. Diunduh 7 April 2011 3. Chen X, Wei T, Jiang K et. al. Etiological and factors acute intestinal obstruction: a review of 705 cases. Journal of Chinese Integrative Medicine , October 2008, Vol 6. No 10. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18847534 4. Bielefeldt K, Bauer AJ. Approach to the patient with ileus and obstruction . In: Yamada T, Alpers DH, Kalloa AN et. al. Principles of clinical gastroenterology. Singapore: WileyBlackwell; 2008. Pg: 287- 300 5. Souvik A, Hossein MZ, Amitabha D et. al. Etiology and outcome of acute intestinal obstruction: a review of 367 patients in Eastern India. Saudi J Gastrointestinal. 2010 October; 16(4): 285-287. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2995099/?tool=pubmed 6. Anonymous. Society issues for paralytic issues. Cure Research. Available at www.cureresearch.com 7. Guyton AC. Textbook of medical physiology. Penyysylvania: Elsevier Saunders; 2006.pg 771-780 8. Djumhana A. Ileus paralitik. : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol. I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006 9. Singer GG, Brenner BM. Fluid and electrolyte imbalance. In: Kasper, Braunwald, Fauci et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine vol II 17th ed. New York: McGrawHill; 2005. Pg : 282 10. Majeed R, Shamsi HA, Rajar UD. Clinical manifestations of hypokalemia. JLUMHS MayAugust 2006. Available at: http://beta.lumhs.edu.pk/jlumhs/Vol05No02/pdfs/v5n2oa01.pdf 11. Camilleri M. Dysmotility of the small intestine and colon. In: : Yamada T, Owyang C, Powell DW. Textbook of Gastroenterology vol I 4th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2003. 12. Rodrigo C, Gamakaranage CS. Epa DS. Et.al . Hypothyroidism causing paralytic ileus and acute kidney injury - case report. Thyroid research April 2011. Available at: http://www.thyroidresearchjournal.com/content/pdf/1756-6614-4-7.pdf-13. Tian X, Zhang X. Gastrointestinal involvement in systemic lupus Erythematosus. World J Gastroenterol 2010 June 28; 16(24): 2971-2977. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2890936/pdf/WJG-16-2971.pdf 14. Greenberger NJ. Acute pancreatitis. In: Greenberger NJ, Blumberg RS, Burakoff R. Lange Current Diagnosis & Treatment, Gastroenterology, Hepatology, Endocopy. New York: McGrawHill; 2009. 15. Greenberger NJ, Toskes PP. Acute and chronic pancreatitis. In: Kasper, Braunwald, Fauci et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine vol II 17th ed. New York: McGrawHill; 2005. Pg : 2006-2011 16. Sun B, Li H, Xu J, Jiang HC. Analysis and prevention of factors predisposing to infections associated with severe acute pancreatitis. Hepatobiliary & Pancreatic Disease International, 32 Universitas Sumatera Utara Vol 2, No 2, 303-307. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2780141/pdf/ccrs18096.pdf 17. Greenberger NJ, Paumgartner G. Diseases of the Gallbladder and Bile ducts. . In: Kasper, Braunwald, Fauci et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine vol II 17th ed. New York: McGrawHill; 2005. Pg : 1995-1998 18. Luckey A, Livingston E, Tache Y. Mechanisms and treatment of postoperative Ileus. Arch Surg/Vol 138, Feb 2003. Available at: http://archsurg.amaassn.org/cgi/reprint/138/2/206.pdf 19. Gearhart SL, Silen W. Acute intestinal obstruction. . In: Kasper, Braunwald, Fauci et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine vol II 17th ed. New York: McGrawHill; 2005. Pg : 1912-1914 20. Behm B, Stollman N. Postoperative Ileus: Etiologies and Interventions. Clinical gastroenterology and hepatology 2003;1:71-80. Available at: http://www.usagiedu.com/articles/ileus/ileus.pdf 21. Hansen MB. Small intestinal manometry . Physio;. Res. 51: 541-556, 2002. Available at: http://www.biomed.cas.cz/physiolres/pdf/51/51_541.pdf 22. Johnson MD, Walsh RM. Current therapies to shorten postoperative ileus. Cleveland clinic journal of medicine. Vol 76, Number 11 November 2009. Available at http://www.ccjm.org/content/76/11/641.full.pdf+html 23. Anand MKN, Lin EC. Tuberculosis gastrointestinal. Medscape November 30 2009. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/376015-overview 24. Friedman S, Blumberg RS. Inflammatory bowel disease. . In: Kasper, Braunwald, Fauci et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine vol II 17th ed. New York: McGrawHill; 2005. Pg : 1890-1891 25. Shumaker DA, Bladen K, Katon RM. NSAIDs-induced small bowel diaphragms and strictures diagnosed with intraoperative enteroscopy. Can J Gastroenterol Vol 15 No 9 September 2001. Available at: http://www.pulsus.com/journals/pdf_frameset.jsp? 26. Diaz JJ, Bokhari F, Mowery NT, et al. Practice management guidelines for small bowel obstruction: EAST practice parameter workgroup for management of small bowel obstruction. Eastern Association for the surgery of trauma 2007. Available at : www.east.org.pdf. 33 Universitas Sumatera Utara