kebijakan ekonomi pada masa pemerintahan

advertisement
KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO (SBY) DAN JUSUF KALLA TAHUN 2004-2009
Agenda utama dalam bidang ekonomi yang telah ditetapkan oleh Pemerintahan SBY Kalla bertujuan untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara yang lebih sejahtera, diantaranya
melalui program perbaikan iklim investasi, menjaga stabilitas makro, peningkatan kesejahtraan
rakyat dan penanggulangan kemiskinan. Presiden SBY menjalankan pemerintahannya dengan
menetapkan visi dan misi bidang ekonomi berdasarkan pada prinsip Esbeyenomics5 guna
mencapai agenda utama yang telah disebutkan. Pemikiran tersebut lebih menekankan kepada
SBY tidak lepas dari akar budayanya dalam membangun Bangsa Indonesia. Adapun
Esbeyenomics memiliki tiga karakteristik. Pertama, Esbeyenomics memberikan perhatian yang
sangat besar bagi upaya penanggulangan kemiskinan dan pengangguran. SBY menetapkan
prinsip tersebut karena tingginya angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia. Menurut
ILO (International Labour Organization), jumlah pengangguran di Indonesia semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001 terdapat sebanyak 6,1 juta orang yang
menganggur, kemudian pada tahun 2002 ada sebanyak 8,6 juta dan tahun 2003 meningkat
menjadi 10, 3 juta. Kandungan dari prinsip Esbeyenomics yang kedua adalah meletakkan
prioritas pembangunan ekonomi pada sektor pertanian dan pedesaan. Adapun tujuan dari prinsip
yang kedua ini adalah untuk menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan yang lebih
terpusat pada kaum miskin serta pencari kerja di sektor pertanian dan perdesaan, dan juga untuk
memindahkan sentra-sentra bisnis yang terpusat diperkotaan ke pedesaaan sebagai sentra industri
baru, sehingga dapat menggerakkan roda perkeonomian. Bahkan, terdapat kemungkinan
terjadinya pemindahan arah perputaran roda ekonomi nasional dari pasar internasional ke pasar
domestik. Pemerintahan SBY – Kalla menerapkan prinsip ketiga Esbeyenomics dengan rencana
peningkatan alokasi anggaran negara yang lebih besar untuk mempercepat pelaksanaan
pembangunan di sektor pertanian dan perdesaan. Prinsip yang ketiga tersebut merupakan upaya
tindak lanjut dari prinsip sebelumnya. Kebijakan tersebut berbeda dengan kebijakan pemerintah
terdahulu yang lebih memprioritaskan peningkatan utang luar negeri maupun mengutamakan
masuknya investasi asing dalam mempercepat penanggulangan kemiskinan dan pengangguran.
Sayangnya, pemikiran dan prinsip SBY dengan Esbeyenomics tidak direalisasikan. Adapun,
kebijakan dibidang ekonomi saat itu lebih mengarah kepada neoliberal. Karakteristiknya antara
lain: Pertama, adanya kebijakan balance budget. Pembuatan kebijakan tersebut merupakan
komitmen dari tim ekuin Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) untuk bekerja sesuai white paper dan
APBN 2005. White paper dan APBN 2005 merupakan dua dokumen ekonomi-politik yang telah
disusun oleh pemerintah dan parlemen era pemerintahan Megawati. White paper mengharuskan
pemerintah untuk menghapus subsidi, divestasi perbankan, dan privatisasi BUMN. Setidaktidaknya termasuk keharusan mematuhi UU Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000 2004 hingga akhir 2007 untuk menciptakan balance budget. Kedua, kebijakan para menteri
ekonomi yang lebih mengusung prinsip privatisasi. Konsep ekonomi neoliberal sudah diterapkan
dan dijadikan rujukan untuk dasar pembangunan ekonomi Indonesia. Hal tersebut dibuktikan
dengan adanya proses pengalihan kepemilikan perusahaan Negara (BUMN) ke pihak swasta baik
nasional maupun asing. Menteri BUMN yang didukung oleh Menko Perekonomian Aburizal
Bakrie melaksanakan kebijakan privatisasi meskipun kebijakan tersebut sebenarnya mendapat
tentangan yang keras dari Wakil Presiden Yusuf Kalla. Kebijakan tersebut tetap dilakukan
dengan dalih untuk memenuhi target pendapatan APBN 2005. Ketiga yakni kebijakan
liberalisasi. Sesuai yang tertera pada RPJMK bab Peningkatan Investasi dan Ekspor Non Migas,
para menteri ekonomi sepakat untuk meninngkatkan kerjasama perdagangan internasional
melalui prinsip kerjasama perdagangan yang saling menguntungkan, adil dan transparan. Dalam
konteks riil, liberalisasi dilakukan dengan melakukan sosialisasi dan menerapkan hasil
perundingan WTO, APEC, ASEM, ASEAN serta membuka kesempatan seluas-luasnya bagi
para investor asing untuk melakukan investasi di Indonesia. Bukti lainnya adalah 'konsensus
bersama' antara Menteri Perdagangan (Mendag) dan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas)
untuk menjadikan pendidikan sebagai bagian dari sektor jasa yang akan diliberalkan dalam
rangka General Agreement on Tariffs and Services (GATS). Padahal, jauh sebelum pembentukan
Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), kebijakan yang dimotori oleh Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO) itu telah ditolak Forum Rektor sebagai wakil dari dunia pendidikan. Arah kebijakan
ekonomi pemerintahan SBY dapat diduga semakin neoliberal jika dilihat dari kebijakan yang
diberlakukan dan komposisi menteri ekonomi yang telah disebut sebelumnya, sehingga
penyelenggaraan ekonomi yang berbasis Esbeyenomics menjadi sulit dilaksanakan meskipun
pemegang kendali ada di SBY sendiri. Sebenarnya hal tersebut tidak terlepas dari peranan partai
politik dan SBY yang menetapkan komunikasi politik dan pengakomodiran kepentingan
kepentingan partai politik sebagai dasar pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu. Adanya
pertimbangan tersebut pun menjadi penyebab persaingan ekonomi-politik yang terjadi antara
partai yang menetapkan kadernya, SBY dengan prinsip Esbeyenomics, kepentingan pribadi yang
dimiliki oleh menteri yang menjabat dan tentunya kolega – kolega partai – SBY – menteri, baik
secara individu maupun kelembagaan. Jika kondisi tersebut tetap dibiarkan terjadi dalam waktu
yang lama, maka dimungkinkan akan menghambat kinerja para menteri dan akan menjauhkan
pemerintahan dari tugas pokoknya yaitu untuk memperbaiki perekonomian dan keberpihakan
pada masyarakat hingga menambah jarak dari rakyat.
Tabel pelaksanaan agenda ekonomi pemerintahan SBY – Kalla
Daftar Pustaka:
Yusuf, Ali. 2005. Evaluasi Pemerintahan SBY-Kalla. www.theindonesianinstitute.com. Diakses
pada tanggal 24 November 2016.
KOMENTAR:
Pada masa pemerintahan SBY-JK, sebenarnya telah digagas prinsip-prinsip ekonomi
yang ditujukan untuk memulihkan kondisi ekonomi Indonesia. Namun, prinsip-prinsip ekonomi
tersebut tidak terlaksana. Hal tersebut dibuktikan dengan pemilihan menteri-menteri ekonomi
yang tidak mendukung upaya implementasi dari prinsip-prinsip tersebut. Pada masa
pemerintahan SBY pada periode pertama yaitu tahun 2004-2009, masih cukup banyak keluaran
yang tidak terealisasi. Diantaranya adalah tidak ditetapkannya penerimaan dalam APBN 2005,
Revisi PP /129 2000, penyelesaian kasus TPST, Buyat dan Reklamasi, Realisasi SMF, TOR dana
investasi infrastruktur, PP Ketenagakerjaan, Renstra penanggulangan kemiskinan, konsep
pelayanan
kesehatan,
dan
pengelolaan
TKI.
Tidak
terealisasinya
keluaran
tersebut
mengakibatkan agenda utama dalam bidang ekonomi yang telah ditetapkan sebelumnya tidak
berjalan dengan baik.
Adapun kondisi perekonomian pada masa pemerintahan SBY-JK tidaklah terlalu bagus.
Pada tahun 2005, 2006 dan 2007, pertumbuhan ekonomi berturut-turut mencapai angka 5,6%,
5,5% dan 6,3%. Angka pertumbuhan tersebut tidak jauh beda dengan target RPJMN, sehingga
tidak menjadi suatu kabar menggembirakan. Selain itu, pada masa pemerintahan SBY-JK juga
bertepatan dengan terjadinya gejolak harga minyak dunia. Saat itu, SBY menerapkan kebjakan
berupa menaikkan harga BBM pada tanggal 1 Oktober 2005, dan setelah sebelumnya pada bulan
Maret 2005. Akan tetapi, pemberlakuan kebijaka tersebut justru berdampak pada kondisi
perekonomian di tahun-tahun berikutnya. Pada waktu itu, Pemerintahan SBY-JK memang harus
menaikkan harga BBM dalam menghadapi tekanan APBN yang semakin berat karena lonjakan
harga minyak dunia. Namun, kenaikan harga BBM tersebut telah memicu tingkat inflasi Oktober
2005 mencapai 8,7% (MoM). Angka tersebut merupakan puncak tingkat inflasi bulanan selama
tahun 2005 dan kemudian ditutup dengan angka 17,1% per 30 Desember
2005 (YoY).
Penyumbang inflasi terbesar adalah kenaikan biaya transportasi lebih 40% dan harga bahan
makanan 18%. Kebijakan Bank Indonesia (BI) sebagai pemegang otoritas moneter juga menjadi
tidak sepenuhnya efektif. Hal tersebut ditunjukkan dengan Core inflation pun naik menjadi
9,4%. Inflasi yang mencapai dua digit itu jauh melampaui angka target inflasi APBNP II tahun
2005 yaitu sebesar 8,6%. Inflasi sampai bulan Februari 2006 (YoY) masih amat tinggi 17,92%,
bandingkan dengan Februari 2005 (YoY) 7,15% atau Februari 2004 (YoY) yang hanya 4,6%.
Pada masa pemerintahan SBY-JK, pola koordinasi kebijakan juga dianggap kurang baik
dan kemampuan profesional yang dianggap memprihatinkan dikarenakan perbedaan prediksi
inflasi antara pemegang kebijakan fiskal dan moneter yang ternyata jauh dari inflasi aktual pada
saat itu.
Sedangkan untuk peran perbankan bagi pertumbuhan UMKM saat itu juga tidak terlalu
signifikan. Hal tersebut ditandai dengan total kredit macet yang menyentuh Rp 11,9 triliun Per
31 Desember 2005 yang tersebar di 783,477 unit UMKM, dengan rincian di Bank Mandiri
sebesar Rp 4,1 triliun, BRI Rp 4,7 triliun, BNI Rp 3 triliun, dan BTN Rp 158 milyar. Bila
dihitung sampai 31 Desember 2006 nilainya bertambah menjadi Rp 17,4 triliun.
Selain itu, Paket kebijakan Pemerintah yang dikeluarkan Juni 2007 tentang Percepatan
pertumbuhan sektor riil dan UMKM juga kurang dikoordinasikan dengan badan pengatur
perbankan, yakni BI. Pada saat itu, pemerintahan masih berjalan sendiri-sendiri, sehingga target
peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi belum tercapai.
Dengan demikian, Pemeritahan SBY-JK pada tahun 2004-2009 memang tidak terlalu
memuaskan karena masih banyaknya yang belum/tidak terealisasi termasuk diantaranya target
pertumbuhan ekonomi dan kinerja pelaksanaan APBN yang masih buruk, sehingga tidak banyak
peningkatan perekonomian yang terjadi pada waktu itu.
Daftar Pustaka:
Aziz, Harry Azhar. 2008. Kinerja Pemerintahan SBY-JK di Bidang Perekonomian.
http://www.setneg.go.id. Diakses pada tanggal 24 November, 2016, 14:45.
Download