BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Terdapat dua teori

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
Terdapat dua teori yang sangat erat terkait dengan intellectual capital, yaitu
stakeholder theory dan legitimacy theory. Kedua teori ini merupakan teori yang
paling tepat untuk Mendasari kajian dibidang IC (Guthrie et al.,2006). Menurut
Deegan (2004), teori stakeholder erat kaitannya dengan teori legitimacy.
Keduanya menjelaskan alasan pengungkapan suatu informasi oleh perusahaan
dalam laporan keuangan. Kedua teori tersebut juga dapat dijadikan dasar dalam
menjelaskan hubungan antara kinerja IC dengan kinerja keuangan perusahaan.
2.1.1
Stakeholder Theory
Istilah stakeholder dalam definisi klasik adalah definisi Freeman dan Reed
(1983, h.91) yang menyatakan bahwa stakeholder adalah
“any identifiable group or individual who can affect the achievement of an
organization’s objective, or is affected by the achievement of an organization’s
objective”.
Berdasarkan teori stakeholder, manajemen organisasi diharapkan untuk
melakukan aktivitas yang dianggap penting oleh stakeholder. Teori ini
menyatakan bahwa seluruh stakeholeder memiliki hak untuk disediakan informasi
tentang bagaimana aktivitas organisasi mempengaruhi mereka (sebagai contoh
melalui polusi, sponsorship, inisiatif pengamanan, dan lain-lain), bahkan mereka
Universitas Sumatera Utara
memilih untuk tidak menggunakan informasi tersebut dan bahkan ketika mereka
tidak dapat secara langsung meemainkan peran yang konstruktif dalam
kelangsungan hidup organisasi (Deegan,2004).
Lebih lanjut Deegan (2004) menyatakan bahwa teori stakeholder
menekankan akuntabilitas organisasi jauh melebihi kinerja keuangan atau
ekonomi sederhana. Teori ini menyatakan bahwa organisasi akan memilih secara
sukarela mengungkapkan informasi tentang kinerja lingkungan, sosial dan
intellectual mereka, melebihi dan di atas permintaan wajibnya, untuk memenuhi
ekspektasi sesungguhnya atau diakui oleh stakeholder.
Tujuan utama dari teori stakeholder adalah untuk membantu manajer
korporasi mengerti lingkungan stakeholder mereka dan melakukan pengelolaan
dengan lebih efektif diantara keberadaan hubungan-hubungan dilingkungan
perusahaan mereka. Namun tujuan lebih luas stakeholder adalah untuk menolong
manajer korporasi dalam meningkatkan nilai dari dampak aktifitas-aktifitas
mereka, dan meminimalkan kerugian-kerugian bagi stakeholder.
Teori ini dapat diuji dengan berbagai cara dengan menggunakan content
analysis atas laporan keuangan perusahaan (Guthrieet al., 2006), laporan
keuangan merupakan cara yang paling efisien bagi organisasi untuk
berkomunikasi
dengan
kelompok
stakeholder
yang
dianggap
memiliki
ketertarikan dalam pengendalian aspek-aspek strategis tertentu dari organisasi.
Content analysis atas pengungkapan IC dapat digunakan untuk menentukan
apakah terjadi komunikasi tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Dalam konteks untuk menjelaskan tentang konsep IC, teori stakeholder
harus dipandang dari kedua bidangnya, baik bidang etika (moral) maupun bidang
manajerial. Bidang etika berargumen bahwa seluruh stakeholder memiliki hak
untuk diperlakukan secara adil oleh organisasi, dan manajer harus mengelola
organisasi untuk keuntungan seluruh stakeholder (Deegan, 2004). Penciptaan nilai
(value creation) dalam konteks ini adalah dengan memanfaatkan seluruh potensi
yang dimiliki perusahaan, baik karyawan (human capital), aset fisik (physical
capital), maupun structural capital. Pengelolaan yang baik atas seluruh potensi ini
akan menciptakan value added bagi perusahaan yang kemudian dapat mendorong
kinerja keuangan perusahaan untuk kepentingan stakeholder.
Bidang manajerial dari teori stakeholder berpendapat bahwa kekuatan
stakeholder berpendapat bahwa kekuatan stakeholder untuk mempengaruhi
manajemen korporasi harus dipandang sebagai fungsi dari tingkat pengendalian
stakeholder atas sumber daya yang dibutuhkan organisasi (Watts dan
Zimmerman, 1986). Ketika para stakeholder berupaya untuk mengendalikan
sumber daya organisasi, maka orientasinya adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan mereka. Kesejahteraan tersebut terwujud dengan semakin tingginya
return yang dihasilkan organisasi.
Dalam konteks ini, para stakeholder berkepentingan untuk mempengaruhi
manajemen dalam proses pemanfaatan seluruh potensi yang dimiliki oleh
arganisasi. Karena hanya dengan pengelolaan yang baik dan maksimal atas
seluruh potensi inilah organisasi akan dapat menciptakan value added untuk
Universitas Sumatera Utara
kemudian mendorong kinerja keuangan perusahaan yang merupakan orientasi
para stakeholder dalam mengintervensi manajemen.
2.1.2
Legitimacy Theory
Teori legitimasi berhubungan erat dengan stakeholder. Teori legitimasi
menyatakan bahwa organisasi secara berkelanjutan mencari cara untuk menjamin
operasi mereka berada dalam batas dan norma yang berlaku di masyarakat
(Deegan, 2004). Menurut Deegan (2004), dalam perspektif teori legimitasi, suatu
perusahaan akan secara sukarela melaporkan aktifitasnya jika manajemen
menganggap bahwa hal ini adalah yang diharapkan komunitas. Teori legitimasi
bergantung pada premis bahwa terdapat “kontrak sosial” antara perusahaan
dengan masyarakat dimana perusahaan tersebut beroperasi.
Lindblom (1994 dalam Guthrie et al., 2006) menyarankan jika suatu
organisasi menganggap bahwa legitimasinya sedang dipertanyakan, organisasi
tersebut dapat mengadopsi sejumlah strategi yang agresif. Pertama, organisasi
dapat
mencari
jalan
untuk
membidik
dan
menginformasikan
kepada
stakeholdernya perubahan-perubahan pada kinerja dan aktifitas organisasi. Kedua,
organisasi dapat mencari cara untuk mengubah persepsi stakeholder tanpa
mengubah perilaku sesungguhnya dari organisasi tersebut. Ketiga, organisasi
dapat mencari cara untuk memanipulasi persepsi stakeholder dengan cara
mengarahkan kembali (memutar balik) perhatian atas isu tertentu kepada isu yang
berkaitan lainnya dan mengarahkan ketertarikan pada simbol-simbol emosional
Guthrie et al. (2006).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan teori legitimasi, organisasi harus secara berkelanjutan
menunjukkan telah beroperasi dalam perilaku yang konsisten dengan nilai sosial
(Guthrie dan Parker, 1989). Hal ini seringkali dapat dicapai melalui
pengungkapan (disclosure) dalam laporan perusahaan. Organisasi dapat
menggunakan disclosure untuk mendemonstrasikan perhatian manajemen akan
nilai sosial, atau untuk mengarahkan kembali perhatian komunitas akan
keberadaan pengaruh negatif aktifitas organisasi (Linblom, 1994 dalam Guthrie et
al., 2006).
Teori legitimasi sangat erat berhubungan dengan pelaporan IC dan juga erat
hubungannya dengan penggunaan metode content analysis sebagai ukuran dari
pelaporan tersebut. Perusahaan sepertinya lebih cenderung untuk melaporkan IC
mereka jika mereka memiih kebutuhan khusus untuk melakukannya. Hal ini
mungkin terjadi ketika perusahaan menemukan bahwa perusahaan tersebut tidak
mampu melegistimasi statusnya berdasarkan tangibles assets yang umumnya
dikenal sebagai simbol kesuksesan perusahaan.
Berdasarkan kajian tentang teori stakeholder dan teori legitimacy, dapat
disimpulkan bahwa kedua teori tersebut memiliki penekanan yang berbeda
tentang pihak-pihak yang dapat mempengaruhi luas pengungkapan informasi di
dalam laporan keuangan perusahaan.Teori stakeholder lebih mempertimbangkan
posisi para stakeholder yang dianggap powerfull. Sedangkan teori legitimacy
menempatkan persepsi dan pengakuan publik sebagai dorongan utama dalam
melakukan pengungkapan suatu informasi di dalam laporan keuangan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam konteks hubungan IC dengan kinerja keuangan, teori stakeholder
lebih tepat digunakan sebagai basis utama untuk menjelaskan hubungan IC
dengan kinerja perusahaan. Dalam pandangan teori stakeholder, perusahaan
memiliki stakeholders, bukan sekedar shareholder (Riahi-Belkaoui, 2003).
Sedangkan teori legitimacy menjadi pijakan kedua dalam mendasari kajian ini.
Menurut pandangan teori legitimacy, perusahaan akan terdorong untuk
menunjukkan kapasitan IC-nya dalam laporan keuangan untuk memperoleh
legitimasi dari public atas kekayaan intelektual yang dimilikinya.
2.1.3
Intangible Assets
Selama ini, terdapat ketidakjelasan perbedaan antara aktiva tidak berwujud
dan IC. Intangibles telah dirujuk sebagai goodwill, (ASB, 1997; IASB, 2004), dan
IC adalah bagian dari goodwill. Dewasa ini sejumlah skema klasifikasi
kontemporer telah berusaha mengidentifikasi perbedaan tersebut dengan secara
spesifik memisahkan IC kedalam katagori external (customer-related) capital,
internal (structural) capital, dan human capital (lihat misalnya: brennan dan
Connell, 2000; Edvinsson dan Malone, 1997).
Paragraph 08 PSAK 19 (revisi 2000) mendefinisikan aktiva tidak berwujud
sebagai aktiva non-moneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud
fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan
barang atau jasa, disewakan kepada pihak lainnya, atau untuk administratif.
Definisi tersebut merupakan adopsi dari pengertian yang disajikan oleh IAS 38
tentang intangible assets yang relatif sama dengan definisi yang diajukan dalam
Universitas Sumatera Utara
FRS 10 tentang goodwill and intangible assets. Keduanya, baik IAS 38 maupun
FRS 10, menyatakan bahwa aktiva tidak berwujud harus (1) dapat diidentifikasi,
(2) bukan assets keuangan (non-financial/non-monetary assets), dan (3) tidak
memiliki substansi fisik. Sementara APB 17 tentang intangible assets tidak
menyajikan definisi yang jelas tentang aktiva tidak berwujud. Tabel 2.1 meringkas
perbandingan diantara standar akutansi tentang aktiva tidak berwujud.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1
Perbandingan standar akuntansi tentang aktiva tidak berwujud
FRS 10
IAS 38
APB 17
PSAK 19
Goodwill and
Intangible
Intangible
Aktiva tidak
intangible assets
assets
Assets
berwujud
Definisi
Aktiva tetap non-
Aktiva non-
Tidak ada
Aktiva non-
Intangible
keuangan yang
moneter yang
definisi yang
moneter yang
assets
tidak mempunyai
dapat
eksplisit
dapat
wujud fisik tetapi
diidentifikasi
diidentifikasi
dapat diidentifikasi
dan tidak
dan tidak
dan dikendalikan
mempunyai
mempunyai
oleh entitas melalui
wujud fisik
wujud fisik
penjagaan dan
serta dimiliki
serta dimiliki
undang-undang
untuk
untuk
digunakan
digunakan
dalam
dalam
menghasilkan
menghasilkan
atau
atau
menyerahkan
menyerahkan
barang atau
barang atau
jasa,
jasa,
disewakan
disewakan
pada pihak
kepada pihak
lainnya, atau
lainnya, atau
untuk tujuan
untuk tujuan
Universitas Sumatera Utara
administratif
administratif
Klasifikasi
Suatu katagori:
Ilmu
Diklasifikasi-
Ilmu
Intangible
aktiva tidak
pengetahuan
kan
pengetahuan
assets
berwujud yang
dan
berdasarkan
dan teknologi
memiliki ciri,
teknologi,
fungsi atau
desain dan
kegunaan yang
implementasi
beberapa
dasar yang
desain dan
implementasi
berbeda:
sistem atau
dapat
sama di dalam
sistem atau
proses baru,
diidentifikasi
bisnis perusahaan
proses baru,
lisensi, hak
lisensi, hak
kan, cara
kekayaan
perolehannya
intelektual
, masa
kekayaan
manfaat yang
diharapkan
FRS 10
IAS 38
APB 17
PSAK 19
Goodwill and
Intangible
Intangible
Aktiva tidak
Intangible assets
assets
Assets
Berwujud
Klasifikasi
Misalnya: lisensi,
Pengetahuan
Dapat
Intelektual,
Intangible
kuota, paten, hak
Mengenai
dipisahkan
pengetahuan
assets
cipta, franchises
pasar dan
dari
mengenai
dan trademarks.
merek
keseluruhan
pasar dan
dagang.
perusahaan.
merek
dagang
Universitas Sumatera Utara
(termasuk
merek
produk/brand
names)
Universitas Sumatera Utara
Pengakuan
Suatu aktiva tidak
Aktiva tidak
Suatu aktiva
Aktiva tidak
(recogni-
berwujud yang
berwujud
tidak
berwujud
tion)
dikembangkan
diakui jika,
berwujud
diakui jika,
secara internal
dan hanya
yang
dan hanya jika
mungkin
jika:
dikapitalisasi
kemungkinan
hanya jika ia
besar
dikembangkan  Kemungkinan
secara
besar
internal
perusahaan
harus diakui
akan
jika:
memperoleh
memiliki nilai
perusahaan
pasar yang dapat
akan
(a) secara
manfaat
diketahui
memperoleh
khusus dapat
ekonomis
manfaat
diidentifikasi
masa depan
ekonomis
(b) memiliki
dari aktiva
masa depan
umur yang
tersebut;dan
dari aktiva
tersebut;
 Biaya
jelas;
(c) dapat
perolehan
dipisahkan
aktiva tersebut
dari
dapat diukur
keseluruhan
secara andal.
biaya
perolehan
aktiva
entitas
tersebut dapat
diukur secara
andal.
Universitas Sumatera Utara
FRS 10
IAS 38
APB 17
PSAK 19
Goodwill and
Intangible
Intangible
Aktiva tidak
intangible assets
Assets
Assets
berwujud
Jumlah yang
Aktiva tidak
Jumlah yang
berwujud yang
dapat
berwujud
dapat
memiliki masa
diamortisasi
harus
diamortisasi
manfaat ekonomis
dari aktiva
diamortisasi
dari aktiva
yang terbatas,maka
tidak berwujud
melalui
tidak berwujud
Aktiva tersebut
harus
pembebanan
harus
harus diamortisasi
dialokasikan
secara
dialokasikan
secara sistematis
secara
sistematis
secara
selama masa
sistematis
selama
sistematis
manfaat tersebut.
berdasarkan
periode
berdasarkan
Sedangkan aktiva
perkiraan
pendapatan
perkiraan
tidak berwujud
terbaik dari
berdasarkan
terbaik dari
yang masa manfaat
masa
masa
masa
ekonomisnya tidak
manfaatny.
manfaat yang
manfaatnya.
diperkirakan
Pada
Amortisasi Aktiva tidak
dapat didefinisikan
maka aktiva
umumnya
tersebut tidak dapat
masa manfaat
diamortisasi
suatu aktiva
tidak berwujud
tidak akan
Universitas Sumatera Utara
melebihi 20
tahun sejak
tanggal aktiva
siap
digunakan.am
ortisasi harus
mulai dihitung
saat aktiva
siap untuk
digunakan
Sumber : Brennan dan Connell (2000); IAI (2002), diolah.
2.1.4
Definisi Intellectual Capital
Ketertarikan akan IC bermula ketika Tom Stewart, pada juni 1991, menulis
sebuah artikel (“Brain Power – How Intellectual Capital is Becoming Amerika’s
most Valuable Asset”), yang mengantar IC kepada agenda manajemen. Tabel 2.2
meringkas kronologi beberapa konstribusi signifikan terhadap pengidentifikasian,
pengukuran dan pelaporan IC.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2
Kronologi konstribusi signifikan terhadap pengidentifikasian,
pengukuran dan pelaporan IC
Period
Program
Awal 1980-an
Muncul pemahaman umum tentang
intangible (biasanya disebut
“goodwill”)
Pertengahan 1980-an
Era informasi (information age)
memegang peranan, dan selisih (gap)
antara nilai buku dan nilai pasar
semakin tampak jelasdi beberapa
perusahaan
Akhir 1990-an
Awal usaha para konsultan (praktisi)
untuk membangun laporan/akun yang
mengukur intellectual capital (Sveiby,
1988).
Awal 1990-an
Prakarsa secara sistematis untuk
mengukur dan melaporkan persediaan
perusahaan atas intellectual capital
kepada pihak eksternal
(misalnya: celemi and Skandia;
SCSI,1995)
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 1990, Skandia AFS
menugaskan Leif Edvinsson sebagai
“Direktur intellectual capital”. Hal ini
adalah untuk kali pertama bahwa tugas
pengelolaan intellectual capital
diangkat pada posisi formal dan
mendapatkan legitimasi
Kaplan dan Norton memperkenalkan
konsep tentang balanced scorecard
(1992).
Pertengahan 1990-an
Nonaka dan Takeuchi (1995)
mempresentasikan karya yang sangat
berpengaruh terhadap “penciptaan
pengetahuan perusahaan”. Meskipun
buku ini berkosentrasi pada
‘knowledge’, pembedaan antara
pengetahuan dan intellectual capital
dalam buku ini cukup menunjukkan
bahwa mereka fokus pada intellectual
capital.
Pada tahun 1994, suplemen laporan
tahunan Skandia dihasilkan. Suplemen
ini fokus pada penyajian dan penilaian
Universitas Sumatera Utara
persediaan perusahaan atas intellectual
capital. Visualisasi IC menarik minat
perusahaan lain untuk mengikuti
petunjuk Skandia.
Sensasi lainnya terjadi pada tahun 1995
ketika Celemi menggunakan
knowledge audit untuk menawarkan
suatu taksiran detail atas pernyataan
intellectual capitalnya.
Para pioner intellectual capital
mempublikasikan buku-buku laris
dengan topic IC (Kaplan dan Norton,
1996; Edvinson and Malone, 1997;
Sveiby, 1997). Karya Edvinsson and
Malone lebih banyak ,mengupas
tentang proses dan ‘bagaimana’
pengukuran IC.
Akhir 1990-an
Intellectual capital menjadi topic
popular dengan konfrensi para peneliti
dan akademisi, working paper, dan
publikasi lainnya menemukan audien
Peningkatan jumlah proyek-proyek
besar (misalnya the MERITUM
Universitas Sumatera Utara
project; Danish; Stockholm) yang
diselenggarakan dengan tujuan, antara
lain, untuk memperkenalkan beberapa
penelitian tentang intellectual capital.
Pada tahun 1999, OECD
menyelenggarakan simposium
internasional tentang intellectual
capital di Amsterdam.
Sumber: Petty and Guthrie (2000)
Beberapa peneliti/penulis memberikan definisi dan pengertian yang
beragam tentang IC. Brooking (1996) misalnya mendefinisikan IC sebagai
berikut:
“IC is the term given to the combined intangible assets of market,
intellectual property, human-centred and infrastructure – which enable
the company to function”
Roos et al. (1997) menyatakan bahwa:
“IC includes all the processes and the assets which are not normally
shown on the balance-sheet and all the intangible assets (trademarks,
patent and brands) which accounting methods consider”
Sedangkan bontis (1998) mengakui bahwa:
Universitas Sumatera Utara
“IC is elusive but once it is discovered and exploited, it may provide an
organization with a new resource-base from which to compete and win”
Klein and Prusak (dalam Brooking, 1997) memberikan definisi awal atas
intellectual capital. Mereka menyatakan bahwa intellectual capital adalah
“material yang telah disusun, ditangkap, dan digunakan untuk menghasilkan nilai
assets yang lebih tinggi. “Stewart (1997), mendefinisikan intellectual capital
sebagai “packaget useful knowledge.” Brooking (1996) menawarkan definisi yang
lebih komperhensif dengan menyatakan bahwa istilah intellectual capital
diberikan untuk kombinasi intangible assets yang dapat membuat perusahaan
untuk berfungsi.”
Setelah satu definisi IC yang banyak digunakan adalah yang ditawarkan
oleh Organitation for Economic Cooperation and Development (OECD, 1999)
yang menjelaskan IC sebagai nilai ekonomi dari dua katagori asset tak berwujud:
(1) organizational (structural); dan (2) human capital. Lebih tepatnya
Organisational (structural) capital mengacu pada hal seperti sistem software,
jaringan distribusi, dan rantai pasokan. Human capital meliputi sumber daya
manusia didalam organisasi (yaitu sumber daya tenaga kerja/karyawan) dan
sumber daya eksternal yang berkaitan dengan organisasi, seperti konsumen dan
supplier.
Seringkali, istilah IC diperlakukan sebagai sinonim dari intangible assets.
Meskipun demikian, definisi yang diajukan OECD, menyajikan cukup perbedaan
dengan meletakkan IC sebagai bagian terpisah dari dasar dari penetapan
Universitas Sumatera Utara
intangible asset secara keseluruhan suatu perusahaan. Dengan demikian, terdapat
item-item intangible asset yang secara logika tidak membentuk bagian dari IC
suatu perusahaan.salah satunya adalah reputasi bank.
IC umumnya diidentifikasi sebagai perbedaan antara nilai pasar perusahaan
(bisnis perusahaan) dan nilai buku dari asset perusahaan tersebut atau dari
financial capitalnya. Hal ini berdasarkan suatu observasi bahwa sejak akhir 1980an, nilai pasar dari bisnis kebanyakan dan secara khusus adalah bisnis yang
berdasar pengetahuan telah menjadi lebih besar dari nilai yang dilaporkan dalam
laporan keuangan berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh akuntan.
(Roslender dan Fincham, 2004)
Lebih lanjut, Edvinsson dan Malone (1997) mengidentifikasikan IC sebagai
nila tersembunyi (hidden value) dari bisnis. Terminologi “tersembunyi” disini
digunakan untuk dua hal yang berhubungan. Pertama IC khususnya asset
intelektual atau asset pengetahuan, adalah minat tidak terlihat secara umum seperti
layaknya asset tradisional, dan kedua, asset itu biasanya tidak terlihat pula pada
laporan keuangan.Tabel 2.3 merangkum dan membandingkan beberapa konsep IC
menurut peneliti.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3
Perbandingan Konsep IC Menurut Beberapa Peneliti
Brooking (UK)
Roos (UK)
Stewart (USA)
Bontis
(Kanada)
Human-
Human capital
Human capital
Human capital
centered
Competence,
Employees are an
The individual
Assets
attitude, and
organization’s
level knowledge
Skill, abilities
intellectual agility
most important
that each
asset
employee
and expertise,
possesses
problem solving
abilities and
leadership styles
Infrastructure
Organisational
Structural
Structural
assets
capital
capital
capital
All the
All organizational,
Knowledge
Non-human
technologies,
innovation,
embedded in
assets or
process and
processes,
information
organizational
methodologies
intellectual
technology
capabilities used
that enable
property, and
to meet market
company to
cultural assets
requirements
function
Universitas Sumatera Utara
Intellectual
Renewel and
Structural
Intellectual
property
development
capital
property
Know-how,
capital
All patents, plans
Unlike, IC, IP is
trademarks and
New patents and
and trademarks
a protected asset
patents
training efforts
and has a legal
definition
Market assets
Relational capital
Brands,
Relationship which Market
capital
customers,
include internal
information used
Customer capital
customer loyalty
and external
to capture and
is only one
and distribution
stakeholders
retain customers
feature of the
channels
Customer capital
Relational
knowledge
embedded in
organizational
relationships
Sumber: Bontis et al. (2000)
Usaha-usaha telah dilakukan untuk mengestimasi nilai pengetahuan dalam
rangka untuk mendapatkan nilai perusahaan yang sesungguhnya (Bontis, 2001).
Secara umum diasumsikan bahwa peningkatan dan digunakannya pengetahuan
dengan lebih baik akan menyebabkan pengaruh yang bermanfaat bagi kinerja
perusahaan. Berkaitan dengan asumsi tersebut, karakter tak berujud dan dinamis
dari pengetahuan dan kesenjangan kesepakatan para ahli atas definisi pengetahuan
menyebabkan halangan besar (Yates et al.,2002 dalam Boekestain,2006).
Universitas Sumatera Utara
Namun, kebanyakan dibedakan dalam tiga katagori pengetahuan, yaitu
pengetahuan yang berhubungan dengan karyawan (disebut sebagai human
capital), pengetahuan yang berhubungan dengan pelanggan (disebut dengan
customer atau relational capital)
dan pengetahuan yang berhubungan hanya
dengan perusahaan (disebut dengan structural atau organizational capital).
Seringkali IC didefinisikan sebagai sumber daya pengetahuan dalam bentuk
karyawan, pelanggan, proses atau teknologi yang mana perusahaan dapat
menggunakannya dalam proses penciptaan nilai bagi perusahaan (Bukh et al.,
2005). Dalam literatur yang lain, petty and Guthrie (2000), mengemukakan bahwa
asset intelektual dapat dianggap sebagi IC.
2.1.5
Komponen Intellectual Capital
Brooking (USA) mengklasifikasikan intellectual capital menjadi human
centered assets, infrastructure asssets, intellectual property,market assets.Stewart
(USA) membagi intellectual capital menjadihuman capital, structure capital, dan
customer capital. Sedangkan Bontis (Kanada) membagi intellectual capital
menjadi human capital, structural capital, intellectual property, dan relational
capital.
The Danish Confederation of Trade unions (1999) membagi intellectual
capital menjadi manusia, sistem, dan pasar. Leliaert (2003) mengembangkan 4leaf models, membagi intellectual capital menjadi manusia, pelanggan, modal
structural, dan modal aliansi strategi. The European Commision (MERITUM,
Universitas Sumatera Utara
2001 dalam hong, 2007) mengelompokkan intellectual capital menjadi modal
manusia, modal struktural, dan modal hubungan.
Berdasarkan value platform model yang dikembangkan oleh Petrash
(1996)dalam tan et.el., (2007) intellectual capital diklasifikasikan menjadi modal
manusia, modal structural, dan modal pelanggan. Edvinsson dan Malone (1997)
dalam tan et.al., (2007) mengembangkan Skandia value scheme yang
mengklasifikasikan intellectual capital menjadi 3 bentuk dasar yaitu modal
manusia, modal struktural, dan modal pelanggan.
Dari beberapa pengklasifikasian tersebut terdapat 3 skema yang sering
digunakan dalam penelitian yaitu skema yang diusulkan oleh Stewart (1997),
Sveiby (1997), dan Edvinsson dan Malone (1996). Dari ketiga skema tersebut
terdapat kesamaan pada elemen-elemen yang terdapat pada intellectual capital.
Yaitu Intellectual capital yang melekat pada diri manusia, intellectual capital
yang terdapat pada internal perusahaan dan intellectual capital yang terdapat dari
eksternal perusahaan.
2.1.6
Human Capital
Human capital didefinisikan sebagai pengetahuan, skill, dan pengalaman
yang pegawai bawa ketika pegawai meninggalkan perusahaan (Starovic & Marr,
dalam Rifqi 2009). Beberapa dari pengetahuan tersebut bersifat unik untuk setiap
individu dan beberapa lainnya bersifat umum, misalnya kapasitas inovasi,
kreativitas, know-how dan pengalaman, kapasitas pembelajaran, loyalty,
pendidikan formal, dan pendidikan informal ( Starovic & Marr, 2004 dalam Rifqi
Universitas Sumatera Utara
2009). Human capital meliputi pengetahuan individu dari suatu organisasi yang
terdapat pada pegawainya ( Bontis, Crossan & Hulland, 2001 dalam Rifqi 2009)
dihasilkan melalui kompetensi, sikap, dan kecerdasan intelektual (Ross,
Edvinsson & Draagonetti, 1997 dalam Rifqi 2009). Kompetensi tersebut dapat
meliputi pendidikan dan keterampilan. Sikap dapat meliputi komponen perilaku
dari pegawai. Kecerdasan intelektual dapat menjadi pegawai lebih sistematis
dalam menyelesaikan masalah dan menciptakan solusi-solusi untuk kemajuan
perusahaan. Meskipun pegawai dianggap sebagai aset oleh perusahaan, tetapi
mereka bukanlah barang yang biasa dimiliki perusahaan.
Human capital merupakan lifeblood dalam modal intelektual karena hal ini
merupakan sumber inovasi dan pembaharuan strategi (Sawarjuwono dan Kadir,
2003). Human capital juga merupakan tempat bersumbernya pengetahuan yang
sangat berguna, keterampilan dan kompetensi dalam suatu organisasi atau
perusahaan. Human capital mencerminkan kemampuan kolektif perusahaan untuk
menghasilkan solusi terbaik berdasarkan kemampuan yang dimiliki oleh orangorang yang ada dalam perusahaan tersebut (Suwardjono dan Kadir, 2003).
Human capital merupakan kombinasi warisan genetik, pendidikan,
pengalaman, dan sikap tentang hidup dan bisnis (Hudson, 1993 dalam Rifqi
2009). Esensi dari human capital adalah kecerdasan suatu organisasi yang dapat
dari kemampuan yang dimiliki oleh orang-orang yang ada di dalam organisasi
tersebut. Suatu organisasi akan meningkatkan kinerjanya jika organisasi tersebut
dapat memanfaatkan human capital yang dimilikinya.
Universitas Sumatera Utara
2.1.5
Structural Capital
Structural capital merupakan pengetahuan dalam organisasi yang
independent dari orang-orang atau dengan kata lain dapat diartikan sebagai
pengetahuan yang tetap tinggal dalam organisasi meskipun pekerjanya
meninggalkan organisasi tersebut (Saleh, et al,. 2008). Structural capital terdiri
atas perjanjian, data base, informasi, sistem, budaya, prosedur, system
administrative, kebiasaan, best practice (CIMA, 2000; Breman dan Cornnell,
2000; Bontis et.al,. 2000 Edvinsson dan Malone, 1997 dalam Saleh et al., 2008).
Selain itu, termasuk dalam structural capital adalah semua hal selain manusia
yang berasal dari pengetahuan yang berada dalam suatu organisasi termasuk
struktur organisasi, strategi, rutinitas, software dan hardware dan semua hal yang
nilainya terhadap perusahaan lebih tinggi daripada nilai materinya (Astuti, 2005
dalam Novitasari, 2009).
2.1.6 Customer Capital
Customer capital merupakan pengetahuan yang berhubungan dengan
sumber eksternal dari organisasi seperti pelanggan, pemasok, kreditur, jaringan,
gabungan strategi, saluran distribusi (Sveiby, 1997; Bozzola et al., 2003 dalam
Saleh et al., 2008). Customer capital tercipta dari hubungan harmonis yang
dimiliki oleh perusahaan dengan para mitranya, baik yang berasal dari pemasok
yang andal dan berkualitas, para pelanggan yang merasa loyal dan puas akan
pelayanan perusahaan yang bersangkutan, pemerintah maupun dengan masyarakat
sekitar (Sawarjuwono dan Kadir, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Customer capital dapat muncul dari berbagai bagian di luar lingkungan
perusahaan yang dapat menambah nilai bagi perusahaan tersebut (Sawarjuwono
dan Kadir, 2003). Sumber eksternal ini menciptakan persepsi masa depan yang
positif dari sebuah organisasi yang meliputi image, reputasi, loyalitas pelanggan,
kekuatan komersial kemampuan negosiasi dengan entitas keuangan dan aktivitas
lingkungan (CIMA, 2000 dalam Saleh et al., 2008).
2.1.7
Value Added Intellectual Coeficient (VAIC™)
Hal terpenting dalam manajemen di abad ke-20 adalah peningkatan hingga
50 kali lipat produktivitas pekerja manual dalam memproduksi. Konstribusi
penting manajemen yang harus dibuat di abad ke-21 adalah dengan cara yang
sama meningkatkan produktivitas pekerjaan pengetahuan (knowledge work) dan
pekerja berpengetahuan di abad ke-20 adalah peralatan produksinya.
Metode value added intellectual coefficient (VAIC™) dikembangkan oleh
Pulic pada tahun 1997 yang didesain untuk menyajikan informasi tentang value
creation efficiency dari aset berwujud (tangible asset) dan (intangible assets) yang
dimiliki perusahaan. (VAIC™) merupakan intellectual capital perusahaan.
Pendekatan ini relatif mudah dan sangat mungkin untuk dilakukan, karena
dikonstruksi dari akun-akun dalam laporan keuangan perusahaan (neraca, laba
rugi).
Model ini dimulai dengan kemampuan perusahaan untuk menciptakan value
added (VA). Value added adalah indikator paling objektif untuk menilai
Universitas Sumatera Utara
keberhasilan bisnis dan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam penciptaan
nilai (value creation). VA dihitung sebagai selisih antara output dan input.
Output (out) mempresentasikan revenue dan mencakup seluruh produk dan
jasa yang dijual dipasar, sedangkan input (IN) mencakup seluruh beban yang
digunakan dalam memperoleh revenue. Hal penting dalam model ini adalah
bahwa beban karyawan (labour expenses) tidak termasuk dalam IN. karena peran
aktifnya
dalam
proses
value
creation,
intellectual
potential
(yang
direpresentasikan dengan labour expenses) tidak dihitung sebagai biaya (cost) dan
tidak masuk dalam komponen IN.
VA dipengaruhi oleh efisiensi dari Human Capital (HCE) dan
StructuralCapital (SC).Hubungan lainnya dari VA adalah Capital Employed
(CE), yang dalam hal ini dibeli dengan VACA.VACA adalah indikator untuk VA
yang diciptakan oleh satu unit dari physical capital.
Pulic (1998) mengasumsikan bahwa jika 1 unit dari CE menghasilka return
yang lebih besar daripada perusahaan yang lain, maka berarti perusahaan tersebut
lebih baik dalam memanfaatkan CEnya. Dengan, demikian pemanfaatan CE yang
lebih baik merupakan bagian dari IC perusahaan.
Hubungan selanjutnya adalah VA dan HC. ‘value added human capital’
(VAHU) menunjukkan berapa banyak VA dapat dihasilkan dengan dana yang
dikeluarkan untuk tenaga kerja. Hubungan antara VA dan HC mengindikasikan
kemampuan dari HC untuk menciptakan nilai dalam perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
Hubungan ketiga adalah “structural capital coefficient” (STVA), yang
menunjukkan konstribusi structural capital (SC) ddalam penciptaan nilai. STVA
mengukur jumlah SC yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 rupiah dari VA dan
merupakan indikasi bagaimana keberhasilan SC dalam penciptaan nilai.SC
bukanlah ukuran yang independent sebagaimana HC, ia dependen terhadap value
creation (Pulic 1999). Artinya semakin besar konstribusi HC dalam value
creation, maka akan semakin kecil konstribusi SC dalam hal tersebut. Lebih
lanjut Pulic menyatakan bahwa SC adlah VA dikurangi HC, yang hal ini telah
diversifikasi melalui penelitian empiris pada sektor industri tradisional (Pulic,
2000).
2.1.8
Kinerja Keuangan Perusahaan
Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau
sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung
jawab masing-masing, dalam upaya untuk mencapai tujuan organisasi yang
bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral
maupun etika (Prawirosentono, 1997 dalam Wahdikorin, 2010). Kinerja sebagai
tindakan-tindakan atau kegiatan yang dapat diukur.
Menurut ikatan Akuntansi Indonesia (IAI, 1996) kinerja perusahaan dapat
diukur dengan menganalisa dan mengevaluasi laporan keuangan.Informasi posisi
keuangan dan kinerja keuangan dimasa lalu seringkali digunakan sebagai dasar
untuk memprediksi posisi keuangan dan kinerja di masa depan dan hal-hal lain
yang langsung menarik perhatian pemakai seperti pembayaran seperti deviden,
Universitas Sumatera Utara
upah, upah, pergerakan harga sekuritas dan kemampuan perusahaan untuk
memenuhi komitmennya ketika jatuh tempo. Kinerja merupakan hal penting yang
harus dicapai oleh setiap perusahaan dimanapun, kinerja merupakan cerminan dari
kemampuan perusahaan dalam mengelola dan mengalokasikan sumber dayanya.
Selain itu tujuan pokok penilaian kinerja adalah untuk memotivasi karyawan
dalam mencapai sasaran organisai dan dalam mematuhi standar perilaku yang
telah ditetapkan sebelumnya, agar membuahkan tindakan dan hasil yang
diharapkan.Standar perilaku dapat berupa kebijakan manajemen atau rencana
formal yang dituangkan dalam anggaran.
2.1.9
Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang kinerja intellectual capital telah dilakukan oleh (2005) di
Malaysia. Penelitian ini mengukur kinerja intellectuall capital dari sepuluh bank
komersial lokal dan enam bank komersial asing untuk periode 2001 dan 2002.
Penelitian ini menemukan bahwa kira-kira 80 persen kemampuan penciptaan nilai
(nilai VAIC) baik bank lokal maupun bank asing sebagian besar berhubungan
dengan efisiensi modal manusia (HC) dibandingkan dengan efisiensi modal
struktural (SC) dan efisiensi modal yang digunakan (CA).
Bontis (1998) menyatakan bahwa intellectual capital sangat penting dalam
peningkatan kemampuan organisasi dan penelitian tersebut bertujuan untuk
mengembangkan model dan pengukuran intellectual capital. Penelitian tersebut
menggunakan kuesioner dalam pengumpulan data. Bontis (2000) juga
Universitas Sumatera Utara
menyatakan bahwa intellectual capital berpengaruh positif dengan kinerja
perusahaan di Malaysia tanpa memperhatikan jenis industrinya.
Sugeng (2000) menyatakan bahwa intellectual capital digunakan untuk
mengurangi tuntutan kerja karyawan dan meningkatkan kemampuan karyawan
(studi pustaka). El Bannany mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja intellectual capital yaitu bank efficiency di bidang intellectual capital,
profitabilitas, risiko.
Astuti (2005) menunjukkan bahwa human capital akan memiliki hubungan
yang lebih kuat dengan structural capital jika hubungan tersebut bersifat langsung
daripada hubungan tersebut tidak berssifat langsung dengan customer capital
sebagai intervening. Disamping itu, penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa
customer capital dan structural capital dapat berfungsi sebagai variabel
intervening hubungan human capital dan business performance, sedangkan
structural capital dapat digunakan untuk mediasi hubungan customer capital
dengan business performance.
Ulum et. al., 2006 yang telah melakukan penelitian terhadap kinerja
intellectual capital pada perusahaan perbankan di Indonesia tahun 2004-2006
menyatakan bahwa terdapat pergeseran kinerja bank-bank di Indonesia jika dilihat
dari kinerja intellectual capital. Hal ini karena di pengaruhi investasi pada sektor
intellectual capitalnya..
Chen (2005) menggunakan VAIC untuk melihat hubungan intellectual
capitalnya dengan kinerja keuangan perusahaan dengan menggunakan sampel
Universitas Sumatera Utara
perusahaan public Taiwan. Dalam hal ini intellectual capital dihubungkan dengan
nilai pasar (firm’s market value) dan kinerja keuangan perusahaann (financial
performance).
Hasilnya
menunjukkan
bahwa
intellectual
capital(VAIC)
mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap nilai pasar dan kinerja
keuangan perusahaan. Penelitian ini menambahkan R & D (research and
development) dan advertising expenditure sebagai instrument untuk memperkuat
daya prediksi VAIC.
Hong (2007) menyatakan bahwa ada pengaruh intellectual capital dengan
kinerja perusahaan pada 150 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Singapura.
Purnomosidhi (2006) menyatakan bahwa praktik pengungkapan intellectual
capital dalam laporan tahunan berdasarkan hasil content analisis terhadap laporan
tahunan sebanyak 14 atribut (56 persen). Meskipun praktik pengungkapan
intellectual capital diantara perusahaan sangat bervariasi. Persentase ini
menggambarkan bahwa perusahaan go public sudah memiliki kesadaran terhadap
arti pentingnya intellectual capital bagi peningkatan keunggulan komperatif.
2.2
Kerangka Pemikiran
Untuk memberikan gambaran yang jelas dalam penelitian ini diberikan
kerangka pemikiran sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
HCE
H1
H2
SCE
ROA
H3
CEE
H4
Gambar 2.1.7 Kerangka Pemikiran
2.2.1 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
H1 : Ada pengaruh Human capital efficiency (HCE) terhadap Return on Asset
(ROA).
H2 : Ada pengaruh Structural Capital Efficiency (SCEI) terhadap Return on
Asset (ROA).
H3 : Ada pengaruh Capital Employed Efficiency (CEE) terhadap Return on Asset
(ROA).
H4 : Ada pengaruh Human Capital Efficiency (HCE), Structural Capital
Efficiency (SCE), Capital Employed Efficiency (CEE) terhadap Return om
Asset (ROA).
Universitas Sumatera Utara
Download