POKOK-POKOK AJARAN MAZHAB HISTORIS BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI Abstract H.Sulbahri Madjir Dosen Fakultas Ekonomi dan Dosen Sekolah Pascasarjana Program Studi Magister Manajemen Universitas Tridinanti Palembang Jl. Kapten Marzuki No.2446 Kamboja Palembang Telp. 0711-372164-360717, Fax. 0711-360725 Wab site : www/mm-utp.com E-mail : [email protected] Classical thought of economic theory of historical concept, mainly is focused on economic development of nation which rely on historical background and characteristic of certain country. The success of economic development of the country is not assured would be applied corectly to other countries. is focused on price theory. It is caused by asset of the country, source of resources and ability to develop economy by itself. Economics globalization has positive and negative impact to economy all of nations. Therefore, it is, necessary to become more consistence, commitment, independently in economic policy appropriate to condition of the country themselves. Key words : Historical Theroy, Globalitation of Economy, Impact to Indonesian Ecoconomic Development. Abstrak Aliran klasik dalam pemikiran ekonomi pada mazhab historis pada dasarnya menekankan pada pemikiran pembangunan ekonomi suatu negara yang bertumpu kepada sejarah dan karakteristik yang dimiliki oleh sutau negara. Keberhasilan pembangunan ekonomi negara lain tidak mesti akan berhasil dapat diterapkan di negara lain. Hal ini sangat tergantung pada kekayaan ekonomi negara tersebut, sumber daya yang dimilikinya serta kemampuan untuk membangun perekonomiannya secara mandiri. Globalisasi ekonomi membawa dampak positif dan negatif bagi perekonomian suatu negara. Yang diperlukan adalah konsistensi, komitmen dan kemandirian dalam kebijakan ekonomi sesuai dengan kondisi negara yang bersangkutan. Kata Kunci : Mazhab Historis, Globalisasi Ekonomi, Dampak bagi Pembangunan Ekonomi Indonesia I. PENDAHULUAN meskipun di antara keduanya memiliki peranan yang berbeda. Akumulasi kapital mampu menghambat penurunan produktivitas, yaitu melalui kemajuan teknologi. Dan kemajuan teknologi inilah tidak dapat menghalangi terjadinya “stationary state”. Jadi, jelaslah bahwa pertumbuhan ekonomi akan merupakan proses tarik menarik antar-dua-kekuatan yaitu “the law of diminishing return” dan kemajuan teknologi. Dalam masa teori klasik juga dikenal teori dari Robert Malthus yang menitikberatkan pada “perkembangan kesejahteraan” suatu negara, yaitu pembangunan ekonomi yang dapat dicapai dengan meningkatkan kesejahteraan suatu negara. Pertambahan penduduk tidak bisa terjadi tanpa peningkatan kesejahteraan yang sebanding. Pertumbuhan penduduk akan meningkatkan “effective demand”. Peningkatan permintaan efektif tersebut pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan. Produksi dan distribusi sebagai dua unsur utama kesejahteraan Strategi pembangunan ekonomi yang menitikberatkan pada sasaran pembangunan dalam arti pertumbuhan ekonomi, nampaknya tidaklah memuaskan, karena banyak negara yang telah banyak mengalami pertumbuhan ekonomi, tetapi kurang mampu mengatasi kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran yang erat kaitannya dengan tingkat kesehatan, pendidikan. Kesemuanya ini adalah problem-problem yang pada umumnya dihadapi oleh negara-negara berkembang. Oleh karena itu apabila inti pokok sasaran pembangunan berkisar pada perkembangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengisi kemerdekaan dalam bidang-bidang politik dengan pembangunan ekonomi dunia dalam proses ini diwujudkan pembagianpembagian pendapatan yang adil dan merata. Dalam teori klasik, menurut David Ricardo (Suryana, 2000) peranan teknologi dan akumulasi modal mampu meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan menghambat bekerja “the law of diminishing return”, Jurnal M anajem enM M-U T P 1 goods), dan yang terakhir sebab-sebab lain dapat dicapai dalam jangka pendek, asal dikombinasikan pada proporsi yang besar. Faktor yang menentukan pembangunan ekonomi adalah tergantung pada tenaga kerja, modal dan organisasi. Berdasarkan prestasi kinerja ekonomi negara-negara maju dapat ditelusuri bahwa faktor kesuksesan negara-negera tersebut menyangkut keunggulan daya saing. Daya saing disini ternyata tidak bertumpu pada ketersediaan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah atau upah buruh yang murah (labor cost), akan tetapi terutama karena faktor inovasi dan kemajuan teknologi yang tidak lain menyangkut kewirausahaan (entrepreneurship) dan keunggulan prestasi kualitas sumber daya manusia yang terampil dan memiliki keunggulan keahlian (expertise) sesuai dengan bidangnya. Ini diukung pula oleh sejarah keberhasilan negara-negara yang sudah maju (historis) keberhasilannya terlihat pada unsur pokok yaitu : unsur ekonomi dan unsur non ekonomi. Unsur ekonomi meliputi mutu dan jumlah sumber daya manusia, sumber daya alam, modal dan teknologi. Sedangkan unsur non ekonomi meliputi : politik, institusi, sikap dan kemampuan masyarakat. Ketidakstabilan politik dan ketergantungan ekonomi. Telah menimbulkan kerawanan-kerawanan dan ekses yang merugikan pembangunan ekonomi. Negara-negara yang berkembang umumnya terjerat dalam lingkaran yang tidak berujung pangkal yaitu pendapatan yang rendah mengakibatkan tabungan yang rendah, pertumbuhan modal yang rendah, serta investasi yang rendah pula dan seterusnya. Hambatan lain adalah tingkat perkembangan penduduk yang sangat cepat tetapi pengetahuan rendah, perekonomian yang bersifat dualistik, ekspor bahan mentah. Kondisi ini menciptakan negara-negara yang sedang berkembang menjadi pembangunan yang lamban dan terbatas. Hambatan dalam pembangunan bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia antara lain karena : perkembangan penduduk yang tinggi tetapi ilmu pengetahuan mereka rendah, perekonomiannya bersifat dualistik, tingkat pertumbuhan modal rendah (tabungan juga rendah), struktur barang yang diekspor lebih banyak pada bahan mentah (raw materials) daripada barang setengah jadi (workingprocess goods) atau barang jadi (finisihed Jurnal M anajem enM M-U T P yang sudah terakumulasi. Kegagalan pembangunan ekonomi Indonesia pada tahun 1997-tahun 1998 adalah satu contoh kegagalan para ahli ekonomi kita di tingkat elit dalam merancang konsep kebijakan maupun strategi pembangunan. Kegagalan ini menimbulkan kerugian secara sosial dan ekonomi yang masih dirasakan pada tahun 2006. Beberapa indikator penting yang patut diajukan menyangkut beban hutang luar negeri, angka pengangguran terbuka sampai 40 juta jiwa, krisis neraca pembayaran, rendahnya angka investasi asing dan permasalahan politik dan keamanan yang masih labil. Apabila ditelusuri dari kegagalankegagalan tersebut maka penulis memperoleh gambaran antara lain sebagai berikut : 1. Strategi industrialisasi sangat tergantung dari bahan baku dan pasar dari luar negeri. Ketergantungan ini menciptakan biaya produksi dan harga yang di ekspor ke luar negeri. 2. Strategi industrialisasi diarahkan pada kepentingan dunia luar yang kurang bermanfaat pada pengembangan industri lokal maupun luar negeri. 3. Industrialisasi berkembang secara direkayasa tanpa memperhatikan tahapan-tahapan pembangunan industri yang seharusnya dilalui secara alamiah. Pertumbuhan industri yang diciptakan semu dan tidak bersifat riil. 4. Model orientasi pembangunan hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi saja dan tidak jelas dan tidak terfokus pada aspek-aspek lainnya. Misalnya pembangunan diarahkan ke penciptaan lapangan kerja, penghapusan kemiskinan serta pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat. 5. Bantuan pinjaman dan modal dari luar negeri menggunakan kurs asing tanpa lindung nilai (hedging) sehingga kejatuhan nilai rupiah dalam tempo singkat menyulitkan para pengusaha dari luar negeri. Dengan demikian pembangunan yang dilakukan selama ini lebih bersifat untuk pemenuhan pasar luar negeri, pemenuhan keinginan para peminjam (lenders, misalnya IMF dan Bank Dunia, IDB, dan sebagainya). Pemerintah kurang memperhatikan pembangunan yang 2 merangsang investasi domestik, pembangunan yang lebih merata ke wilayahwilayah daerah, pembangunan yang berorientasi pada ketersediaan dan potensi daerah. Dengan semakin meluasnya dampak perdagangan bebas (free trade) terutama AFTA (Asean Free Trade Area) sejak tahun 2003 perekonomian Indonesia justru mengalami penurunan daya saing jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Beberapa produk yang menurun daya saingnya adalah tekstil, garmen, elektronik, bahan kimia dan bahanbahan hasil pertanian. Negara pengimpor beralih ke negara-negara seperti Pakistan, Bangladesh, India, Thailand, Malaysia, Vietnam dan sebagainya sehingga negaranegara tersebut mengalami kemajuan yang signifikan dalam bidang ekonomi. Permasalahannya adalah kebijakan dan strategi yang akan ditempuh agar pembangunan dapat menghasilkan peningkatan kesejahteraan rakyat. Pedoman dan anutan apakah yang dapat membawa dampak signifikan bagi pembangunan ekonomi di Indonesia. Kegagalan dalam menerapkan pembangunan ekonomi sejak Indonesia merdeka mengakibatkan ketertinggalan pembangunan kita jika dibandingkan negara-negara lain seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, India, Taiwan, Hongkong, RRC maupun Korea Selatan sebagai sama-sama negara berkembang. Sedangkan pada intinya pemikir aliran sejarah menolak argumentasi pemikirpemikir klasik bahwa ada undang-undang alam tentang kehidupan ekonomi. Bagi mereka masyarakat harus dianggap sebagai suatu kesatuan organisme dimana interaksi sosial berkait dan berhubungan antarindividu. Pemikir-pemikir aliran sejarah menghendaki agar kegiatan masyarakat dilandaskan pada suatu sistem yang menyeluruh, yang mencakup semua organisme dalam kehidupan bermasyarakat sebagai suatu keseluruhan. Penganut aliran sejarah yang tidak percaya pada mekanisme pasar bebas klasik pada umumnya sepakat untuk meminta campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Intervensi pemerintah di harapkan mampu membawa proses ekonomi pada tujuan-tujuan sosial dan ekonomi yang diinginkan bersama. Tanpa campur tangan pemerintah dalam Jurnal M anajem enM M-U T P perekonomian, tujuan dimaksud sulit untuk dicapai. Fenomena-fenomena ekonomi merupakan produk perkembangan masyarakat secara keseluruhan sebagai hasil perjalanan sejarah. Karenanya pemikiranpemikiran, teori-teori dan kesimpulan ekonomi haruslah dilandaskan pada empiris sejarah. Pemikir-pemikir aliran sejarah tidak setuju dengan anggapan kaum klasik dan neo-klasik bahwa prinsip-prinsip ekonomi berlaku secara universal, sebab prinsipprinsip ekonomi juga dipengaruhi oleh adat istiadat, tradisi, agama, nilai-nilai dan normanorma lingkungan setempat. II. PERMASALAHAN Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan adalah sebagai berikut : Pertama, Sampai sejauhmana Indonesia dapat menemukan strategi pembangunan yang sesuai dengan kondisi di Indonesia ?; Kedua, Apakah pokok-pokok ajaran mazhab historis dapat diterapkan dengan kondisi pembangunan ekonomi di Indonesia ? Ketiga, Apakah terdapat kecocokan atau perbedaan antara mazhab historis yang diterapkan di Indonesia dengan yang diterapkan di negara lain seperti Jerman atau negara-negara lainya ? III. LANDASAN TEORI Teori ini sebenarnya sangat sederhana dipandang dari segi ekonomi. Pemahaman mazhab historis cukup ditanyakan kepada para perencana dan pemikir ahli pembangunan. Apakah perencanaan dan srategi ekonomi negara sudah mempertimbangkan kondisi negara kita sendiri ? Apa yang kita miliki dan untuk apa melakukan pembangunan ekonomi ? Seperti pepatah, apakah kita masih ingat “kacang jangan lupa dengan kulitnya ?”. Inti pemikiran mazhab ini adalah “jangan lupakan sejarah !” A. Mazhab Historis Menurut Masngudi (2006 : h. 51) Pertumbuhan dan perkembangan pemikiran ilmu ekonomi dimulai di Inggris dan atau Perancis yang selanjutnya menyebar perkembangannya ke berbagai negara, dimana pemikiran-pemikiran ilmu ekonomi sebagaimana dimaksud dirumuskan atas dasar perkembangan keadaan di masing- 3 masing negara yang bersangkutan, dimana teori tersebut mulai dikembangkan. Sementara itu Kaum Klasik didalam pemikirannya mempergunakan metoda deduktif yang didalam hal ini prosesnya berjalan dari hal-hal yang bersifat khusus untuk menuju kepada hal-hal yang bersifat umum. Dilain pihak, Jerman pada abad ke 18 ataupun awal abad ke 19 relatif keadaan ekonominya sangat berbeda bila dibandingkan dengan perkembangan yang terjadi di Inggris ataupun Perancis. Akibat daripada hal tersebut maka perkembangan ilmu ekonomi di Jerman relatif lambat pada waktu itu karena mempunyai tanggapan bahwa teori yang dilahirkan dan berkembang di Inggris ataupun Perancis dasar keadaannya sangat berbeda dengan yang di Jerman. Dalam hal ini Gustav Schmoller (Jerman) tidak ingin menggunakan metode deduktif tetapi menggunakan metode induktif, yaitu dari sesuatu yang prosesnya berlawanan dengan metode deduktif, yaitu menjabarkan dari sesuatu yang bersifat umum menuju kepada sesuatu yang bersifat khusus. Metode deduktif di dalam analisis ilmu berpangkal pada suatu pernyataan yang diketahui dan selanjutnya menggunakan proses syllogisme. Sebagai contoh, bilamana ada 2 (dua) hal yang sama dengan yang ketiga maka ketiganya harus sama, misalnya : a = b dan b = c maka a = c. Gustav Scmoller berkeberatan dengan metode induktif karena perbedaan keadaan perekonomiannya. Jerman dikala abad ke 18 dan permulaan abad 19 masih sebagai negeri agraris tidak dapat menerima begitu saja teori ekonomi yang datang dari Inggris yang sudah merupakan negara industri. Demikian pula belum mau menerima perdagangan luar negeri yang liberal dan dimana dalam hal ini teori kaum klasik dapat ditiru di Jerman dengan begitu saja. Jerman pada saat itu masih sangat berkepentingan untuk melindungi perekonomian nasionalnya. Pola pemikiran aliran mazhab historis (aliran sejarah) didasarkan pada perspektif sejarah. Kerangka dasar teoritisnya berikut pola pendekatan yang digunakan oleh aliran sejarah dalam memecahkan masalah-masalah ekonomi sangat berbeda dan terpisah dari aliran utama (mainstream) yang berawal dari kaum klasik. Oleh segolongan para pakar Jerman sendiri apa yang dinamakan aliran sejarah sebagai aliran etis, untuk Jurnal M anajem enM M-U T P menunjukkan ketidaksenangan mereka pada paham hedonisme klasik. B. Tokoh-Tokoh Mazhab Historis Seperti yang ditulis oleh Deliarnov (2003 : h. 128) Tokoh-tokoh pemikir aliran sejarah (mazhab histories) cukup banyak, sebagian besar mereka dari Jerman, antara lain Friederich List, Wilhelm Roscher, Bruno Hildebrand, Karl Knies, Gustav von Schmoler, Lujo Bentano, George Friedrich Knapp, Karl Bucher, Max Weber dan Werner Sombart. Tokoh-tokoh aliran sejarah di Inggris adalah William Cunningham dan J.W. Ashley. Dari AS seperti adalah Henry Carey, Simon Nelson Patten, dan Daniel Reymond. Berikut adalah beberapa pendapat dari tokoh-tokoh mazhab historis : Friedrich List (1789-1846) yang lahir dan memperoleh pendidikan di Jerman. Ia pernah mengajar di negara tersebut. Ia mengatakan bahwa perkembangan suatu masyarakat dari sejarah. Dari cara mereka berproduksi maka setiap kelompok masyarakat pada umumnya melewati tahaptahap sejarah sebagai berikut : (1) tahap berburu dan menangkap ikan, atau tahap barbarian, yang berciri masyarakat primitif sebab kebutuhan dipenuhi dari apa yang disediakan oleh alam ; (2) zaman menggembala atau pastoral, yang mulai berternak tetapi masih nomaden atau tidak menetap ; (3) zaman agraris, dimana masyarakat mulai menetap dan bertani secara subsisten ; (4) zaman bertani, menghasilkan industri manufaktur sederhana dan mulai melakukan perdagangan lokal dan (5) masyarakat bertani, manufaktur lebih maju dan telah melakukan perdagangan internasional. Friederich List hanya memfokuskan pada masalah kebijaksanaan ekonomi, terutama bagaimana melindungi industri industrialisasi Jerman yang waktu itu tertinggal dari industrialisasi Inggris. Ia sangat menonjolkan unsur nasionalisme. Keberhasilan pembangunan suatu negara harus disesuaikan dengan kondisi negara yang bersangkutan (Deliarnov, 2003 : h. 128). Sedangkan menurut Masngudi (2006 : h. 52) tujuan dari teori Friedrich List untuk membuktikan bahwa Jerman pada kira-kira tahun 1840 masih berada pada posisi masyarakat petani yang berdampingan dengan perindustrian. Bahkan untuk memajukan industri yang dapat bersaing dengan Inggris terpaksa harus dilakukan 4 pungutan bea masuk untuk melindungi industri nasional dalam tingkat permulaan. Bruno Hilderbrand (1812-1878) dalam Deliarnov (2003 : h. 131), ia aktif dalam berbagai penelitian dan penulisan karya ilmiah. Dalam melakukan penelaahan dan penelitian-penelitian ekonomi, ia menekankan perlunya mempelajari sejarah. Maksudnya penelitian-penelitian ekonomi harus didukung oleh data statistik empiris yang dikumpulkan dalam penelitian sejarah ekonomi. Hilderbrand lebih menekan pada pentingnya perekonomian masyarakat. Masyarakat diidentifikasi atas tingkatan sebagai berikut : (a) tukar menukar secara in-natura, (b) tukar menukar dengan perantaraan uang, dan (c) tukar-menukar dengan menggunakan secara kredit. Karya Hilderbrand cukup baik untuk diterapkan dalam bidang sosiologi, salah satu kelemahannya adalah hanya analiss bersifat deskriptif sehingga tidak signifikan bagi pengembangan ilmu ekonomi. Kemudian ditambahkan pula menurut Masngudi (2006 : h. 53) Teori tingkat perkembangan perekonomian Bruno Hildebrand disesuaikan juga kepada kepentingan-kepentingan khusus di Jerman pada waktu itu. Ia membagi perkembangan ekonomi sebagai berikut : 1) Suatu periode dimana perekonomian didalamnya terjadi pertukaran antara barang dengan barang secara langsung. 2) Perekonomian dengan pertukaran tidak langsung, artinya pertukaran dengan menggunakan uang. 3) Perekonomian dimana didalamnya terjadi pertukaran barang dengan penyerahan sebelum dibayarnya. Gustav von Schmoler (1839-1917), menjadi terkenal karena ia terlibat dalam perdebatan sengit dengan pakar-pakar klasik, terutama dengan Carl Menger, tentang metodologi dalam pengembangan ilmu ekonomi. Ia dianggap sebagai pemikir aliran sejarah yang paling gigih menyarankan agar metode deduktif klasik ditukar dengan metode induktif empiris. Jika tokoh-tokoh aliran sejarah lain menghendaki berbagai kebijaksanaan di bidang ekonomi, Schmoler menghendaki agar kebijaksanaan juga menyangkut politik sosial, dan lebih jauh dari itu, juga kebijaksanaan untuk meningkatkan kesejahteraan kaum buruh. Misalnya untuk meningkatkan posisi tawar menawar (bargaining position) kaum buruh, Schmoler menganjurkan didirikan dan dibinanya organisasi-organisasi serikat pekerja. Untuk Jurnal M anajem enM M-U T P mencapai tujuan maka Schmoler beserta rekan-rekan mendirikan sebuah forum untuk menghimpun pemikiran-pemikiran untuk menghadapi berbagai masalah ekonomi dan sosial, dan hasil kesimpulan dan pertemuan dalam forum disampaikan pada pemerintah sebagai bahan masukan. Salah satu keberhasilan pertemuan-pertemuan untuk menghimpun masukan bagi pemerintah ini adalah diberlakukan undang-undang untuk melindungi kaum buruh dari penindasan kaum pengusaha. Jaminan sosial yang diberikan kepada kaum buruh sesuai undang-undang tersebut dianggap sangat maju untuk zamannya, sebab dinegaranegara Eropa pada umumnya belum ada undang-undang perlindungan kaum buruh seperti yang dibuat di Jerman tersebut (Deliarnov, 2003 : h. 132). Demikian pula menurut Werner Sombart (1863-1941). Salah satu hasil penelitian Sombart yang cukup sering dikutip orang ialah penelitiannya tentang tahaptahap perkembangan kapitalisme. Dari hasil penelitiannya Sombart mengatakan bahwa pertumbuhan masyarakat kapitalis sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan masyarakat. Dalam karyanya : Der Moderne Kapitalisme (1902), Warner Sombart lebih lanjut mengatakan bahwa pertumbuhan masyarakat kapitalis dapat dibedakan atas beberapa tingkatan : (1) tingkat prakapitalisme ; (2) tingkat kapitalisme menengah ; (3) tingkat kapitalisme tinggi ; dan (4) tingkat kapitalisme akhir. Pada tingkat pra-kapitalisme kehidupan ekonomi masih bersifat komunal ; struktur sosial masih berat ke pertanian ; kebutuhan manusia masih kurang/rendah ; uang belum dikenal ; motif laba maksimum belum nampak ; dan produksi hampir seluruhnya ditujukan untuk diri sendiri. Dalam tingkat kedua (kapitalisme menengah) kehidupan ekonomi, walau masih bersifat komunal, tetapi telah mulai memperlihatkan ciri-ciri individualistis ; struktur pertanianindustri mulai berimbang ; masyarakat sudah mengenal uang ; motif laba maksimum mulai nampak dan produksi tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi sebagian juga ditujukan untuk pasar. Dalam tingkatan ketiga (kapitalisme tinggi), ciri masyarakat komunal mulai hilang ; paham individualisme mulai menonjol ; struktur ekonomi semakin berat ke industri dan perkotaan ; peran uang semakin menonjol ; motif laba maksimum makin 5 kelihatan dan sebagian besar dari produksi dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Tingkatan terakhir, (kapitalisme tahap akhir) ditunjukkan oleh ciri-ciri dimana sikap individualisme sangat tinggi, tetapi kepentingan masyarakat tidak diabaikan; industri meluas ke padat modal ; di samping uang kartal juga mulai dikenal uang giral ; motif laba maksimum sangat tinggi, tetapi juga dipertimbangkan penggunaan laba untuk kepentingan masyarakat dan produksi untuk pasar (Deliarnov, 2003 : h. 132). Dalam pemikiran Max Weber (18641920) seperti dalam Deliarnov (2003 : h. 135), sebagian besar dari pemimpinpemimpin perusahaan, pemilik modal, pimpinan teknis dan komersial yang diamatinya (di Jerman) adalah orang-orang protestan, bukan orang katolik. Ajaran Calvin tentang takdir dan nasib manusia, menurut Weber, adalah kunci utama dalam menentukan sikap hidup para penganutnya. Bagi penganut Calvin kerja adalah “beruf”. “panggilan” atau “tugas suci”. Menurut ajaran Calvin keselamatan hanya diberikan kepada orang-orang terpilih. Ini yang mendorong orang bekerja keras agar masuk menjadi golongan orang terpilih tersebut. Dalam kerangka pemikiran teologis seperti inilah maka semangat kapitalisme, yang berstandar pada cita ketekunan, hemat, rasional, berperhitungan, dan sanggup menahan diri, menemukan pasangannya. Tentu tidak semua orang menerima tesis Weber yang diuraikan di atas. Beberapa pakar mempertanyakan atau bahkan menentangnya, misalnya Bryan S. Turner, R.H. Tawney, Kurt Samuelson, Robert N. Bellah, Andrew Greeley, dan tentu saja dari pakar-pakar lain yang pernah meneliti dampak ajaran agama lain terhadap kehidupan ekonomi, misalnya penelitian tentang masyarakat Islam dan penganutpenganut agama Tokugawa di Jepang. Kritikan-kritikan tersebut antara lain dapat dibaca dalam buku yang diedit Taufik Abdullah : Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi (1979). Kritik yang diutarakannya menurut Henry Charles Carey, adalah seorang pimpinan gerakan proteksionisme dari Amerika Serikat. Ia tertarik dengan aliran sejarah sebab ayahnya adalah teman dekat Friedrich List sewaktu List berdiam di Amerika Serikat. Dalam salah satu karyanya : Principle of Social Science, Carey menekankan Jurnal M anajem enM M-U T P perlunya diversifikasi industri untuk menciptakan lapangan pekerjaan lebih luas. Suatu negara yang hanya mengandalkan pembangunan pada ekspor produk-produk pertanian dinilainya sebagai tindakan yang bodoh dan merugikan. Bagi Carey, hanya bangsa petani yang bodoh saja yang secara berkelanjutan mengeskpor barang-barang mentah dan menerima imbal tukar produkproduk lain dalam jumlah sedikit. Tindakan seperti ini hanya akan menyebabkan semakin berkurangnya kesuburan tanah dan semakin melemahnya posisi negara dibanding negaranegara lain yang maju pesat dengan mengembangkan produk-produk industri yang lebih tinggi nilai tambahnya (Deliarnov, 2003 : h. 135). IV. PEMBAHASAN Pada umumnya kondisi perekonomian negara-negara berkembang, termasuk Indonesia didominasi oleh sektor pertanian. Perekonomian yang di dominasi sektor pertanian ternyata justru sulit mengalami kemajuan. Jika ingin mengalami kemajuan, maka langkah awal yang perlu dilakukan ialah memacu industrialisasi. Pada tahap awal, sebagaimana dianjurkan oleh Frederich List, negara-negara berkembang boleh melakukan kebijaksanaan proteksi untuk melindungi industri dalam negeri. Tindakan proteksi dimaksudkan agar setelah melalui beberapa tahap waktu industri dalam negeri menjadi lebih mapan sehingga lebih kompetitif dalam bersaing. Pengembangan industri ini lebih lanjut diharapkan untuk mampu mengangkat perekonomian masyarakat lebih luas ke berbagai bidang. Tetapi apa yang terjadi di Indonesia suatu hal yang sangat ironi. Hal ini dapat diungkapkan oleh tulisan Nancy Peluso berjudul “Rich Forest, Poor People” (Kaya Hutan, Rakyat Miskin) dalam Bustanul Arifin (2007) adalah betapa ironisnya negara kita Indonesia dan negara berkembang lainnya di dunia. Dengan segala kekayaan alam hutan tropis terbesar kedua di dunia, lautan luas kaya akan ikannya, semua hasil tambang dimilikinya. Tetapi apa yang terjadi dengan negara seperti itu, ternyata manfaat besar sama sekali tidak mampu dinikmati lapisan terpenting masyarakat yang berada di sekitar hutan, bahkan justru sering menimbulkan bencana karena buruknya setting kebijakan, regulasi dan kelembagaan pendukung tentang pembangunan kehutanan. 6 Masyarakat di sekitar hutan tetap terjerat kemiskinan dan kemelaratan. Buruknya kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan membuat mereka menjadi terasing di lingkungannya sendiri. Tidak jarang, masyarakat yang hidup di sekitar hutan menjadi target kekerasan para oknum penguasa karena sering dianggap “menghalangi” eksploitasi kepentingan kekayaan segelintir pemburu rente tersebut, yang umumnya bekerja sama dengan para cukong pemodal dari negara asing. Menyadari kegetiran permasalahan tersebut, seperti yang dinyatakan Peluso, hampir seluruh negara di dunia, agenda kebijakan kehutanan dan lingkungan hidup pada umumnya mengikutsertakan dimensi pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas hidup dan pemberdayaan masyarakat, terutama di sekitar hutan agar mampu sejajar dengan saudara-saudaranya yang lain di pelosok negara. Kembali ke persoalan di atas, dalam kasus produk-produk pertanian yang kita hasilkan dalam jumlah besar, akan tetapi sayang di sebagian negara berkembang termasuk Indonesia proteksi diberikan secara tidak bijaksana. Kalau List menganjurkan proteksi hanya diberikan pada tahap-tahap awal, di beberapa negara berkembang, terutama dalam negara yang kuat persekongkolan antara pengusaha dengan penguasanya, proteksi diberikan secara terus menerus. Sedang industrinya sendiri keropos dan tidak efisien. Hasil produksi mereka tidak bisa bersaing dengan produk-produk luar negeri. Jauh dari yang diharapkan, yang terjadi adalah meluasnya distorsi, selain itu perekonomian beroperasi dengan biaya-biaya tinggi (high cost economy). Padahal List telah memperingatkan bahwa proteksi yang tidak bijaksana seperti ini hanya akan menjadi sumber pemborosan keuangan negara. Lebih parah lagi, di beberapa negara berkembang “kebijaksanaan” proteksi hanya dinikmati oleh segelintir pengusaha yang berkolaborasi dengan penguasa. Kondisi ini pada akhirnya hanya menjadi pemicu kecemburuan sosial. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan sebagaimana diuraikan di atas, bagi negara-negara berkembang yang ingin memberikan proteksi harus diiringi dengan suatu mekanisme yang mampu mengatur agar proteksi secara tahap demi tahap dikurangi, dan sesudah sekian waktu, apapun yang nanti terjadi, proteksi tersebut harus Jurnal M anajem enM M-U T P dihentikan. Kalau tidak industri yang dilindungi tersebut cenderung manja dan tidak efisien. Dengan demikian untuk memajukan industri dalam negeri tidak bisa lagi dilakukan dengan menggunakan kebijaksanaan proteksi, melainkan harus mengarah pada usaha-usaha yang dapat meninggikan efisiensi produksi. Pemikiran serupa diutarakan oleh Amartya Sen, terkait dengan buruknya kinerja ekonomi Indonesia. Menurut Sen, petani yang miskin karena tidak memiliki kemampuan (entitlement) bahkan tidak memiliki kemerdekaan (freedom) untuk melakukan sesuatu bagi keluarga dan bangsanya. Sen berupaya memberikan penjelasan yang lebih komprehensif, tidak hanya fakta bahwa petani tidak memiliki penghasilan yang memadai atau akibat dari suatu kemiskinan, namun lebih banyak tentang buruknya akses atau sebab terjadinya suatu kemiskinan. Dapat dibayangkan, dampak berantai yang pasti terjadi, apabila petani tidak memiliki akses terhadap lahan sebagai faktor produksi terpenting dalam suatu budi daya pertanian (agriculture), pastilah upaya peningkatan produksi, produktifitas dan pendapatan petani tidak akan mencapai hasil yang optimal. Lebih lagi, perbaikan akses ini menjadi begitu krusial dan sangat vital dalam dimensi bisnis pertanian (agribusiness) yang sangat mengedepankan kesatuan sistem dan tata nilai yang utuh dari hulu, tengah, hilir dan pendukung seperti akses pasar, pemasaran, perbankan, pendidikan, penyuluhan dan kebijakan pemerintah yang relevan. Belajar dari keberhasilan negaranegara dalam membangun ekonomi seperti di negara kawasan pasifik yakni : Singapura, Malaysia, Thailand, Taiwan, Hongkong, Korea Selatan, Jepang, RRC, bahkan Vietnam semestinya menjadi pelajaran bagi para ahli ekonomi di Indonesia. Secara historis keberhasilan ekonomi negara-negara tersebut berkat keberhasilan dalam memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya serta keberhasilan dalam hal perencanaan maupun pengelolaan ekonomi oleh pemimpin mereka. Hal yang aneh justru terjadi di Indonesia, walaupun kaya akan sumber daya alam dan padatnya jumlah penduduk ternyata Indonesia dalam pembangunan ekonomi belum berhasil. 7 Apabila mengacu pada pemikiran mazhab historis, berbagai negara berhasil karena berbagai alasan sebagai berikut : 1) Singapura walaupun tidak memiliki sumber daya alam tetapi pemimpin negara berhasil meningkatkan kualitas sumber daya manusianya dalam waktu singkat, konsistensi terhadap penegakan hukum termasuk keberhasilan dalam menekuni industri jasanya di tingkat internasional. 2) Malaysia meskipun merdeka setelah Indonesia tetapi kemauan yang kuat, penerapan hukum yang ketat dan membangun ekonominya bertumpu pada sumber daya alam yang dimilikinya seperti minyak, kelapa sawit dan hasil hutan. 3) Jepang telah memiliki kekuatan nasionalisme yang tinggi, konsisten dengan hukum, kerja keras dan sumber daya manusia yang cepat belajar dari negara Jerman, AS dan Inggris sehingga mampu menguasai teknologi. Sumber daya alam yang sangat sedikit dan kekalahan perang menyebabkan bangsanya bertekad menguasai dunia di bidang ekonomi. 4) Kekuatan Thailand dalam menghadapi krisis karena struktur ekonomi negara ini bertumpu pada bidang agribisnis dan industri pariwisata. Kemajuan industri manufaktur bertumpu pada bahan baku pertanian dan teknologi budi daya dalam bidang pertanian. 5) Seperti halnya negara Singapura, negara Hongkong dan Taiwan membangun ekonominya dengan memperhatikan industri jasa perdagangan, industri manufaktur serta memperkokoh industri mulai dari industri kecil dan menengah. 6) Terpecahnya Negara Korea Selatan dari Korea Utara memaksa negara ini sangat terbuka dan berorientasi ke negara Jepang, AS dan Eropa. Walaupun tahun 1950-an masih terbelakang dibandingkan Indonesia, rakyat Korsel belajar ilmu dan teknologi ke Jepang dan akhirnya negaranegara barat ikut serta menanamkan modalnya di Korsel. Keberhasilan industri manufaktur Korsel mampu menyamai Jepang, Eropa dan AS. 7) RRC telah berhasil menerapkan dua aliran ekonomi secara sekaligus. Walaupun politik negara itu menerapkan politik tersentral yaitu paham komunisme tetapi Jurnal M anajem enM M-U T P dibeberapa wilayah perekonomian dibuka seperti negara-negara kapitalis, yakni Hongkong, Ghuang Zou dan lain-lain ternyata menarik investor asing. Penegakan hukum, birokrasi dan bersih diri dari korupsi, stabilitas keamanan dan berkembangnya industri manufaktur RRC sebagai salah satu pusat kekuatan ekonomi di dunia. 8) Vietnam sebagai negara yang baru membuka dunia luar telah menunjukkan prestasinya yaitu dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan bertumpu pada sektor agribisnis diharapkan akan sukses dalam membangun ekonomi negaranya menyusul Thailand maupun negaranegara di kawasan Asia Pasifik lainnya. V. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan tersebut di atas maka kesimpulan yang diajukan adalah sebagai berikut : 1. Mazhab historis di masa industrialisasi di Jerman perlu diterapkan di Indonesia terutama bagi Indonesia sebagai negara berkembang yang masih bertumpu pada bidang pertanian dan sektor agribisnis. Di era globalisasi dan perdagangan bebas sepertinya pemerintah Indonesia tetap memperhatikan dan melindungi sektor pertanian khususnya produk pertanian seperti kelapa sawit, gula, beras, kopi, cocoa, ikan dan udang, cengkeh, teh, peternakan ayam, sapi dan sebagainya karena kebangkrutan di sektor ini akan mengakibatkan pendapatan petani menurun. Semangat nasionalisme terhadap produk dan industri dalam negeri diperlukan bagi suatu negara untuk memperkokoh perekonomian suatu bangsa. 2. Pokok-pokok ajaran Mazhab historis dapat dijadikan pedoman pembangunan ekonomi suatu negara asalkan pemimpin negara yang bersangkutan menggunakan kebijakan ekonominya secara konsisten dalam jangka panjang. Kebijakan ekonomi yang berhasil di berbagai negara karena bertumpu pada kekuatan sumber daya alam yang dimilikinya. Industri manufaktur harus berorientasi pada ketersediaan bahan baku dalam negeri, kemampuan teknologi dan jaringan pemasarannya. 8 Peningkatan kualitas sumber daya manusia, pemerintahan yang bersih, penegakan hukum serta stabilitas politik dan keamanan adalah kunci pokok keberhasilan pembangunan ekonomi diberbagai negara. 3. Jerman sebagai negara percontohan mazhab historis di kawasan Eropa yang pada waktu itu dari segi perkembangan ekonomi sangat terbelakang dibandingkan dengan negara Inggris maupun Perancis. Tahapan masyarakat perekonomian pada masa itu (abad 18) bertumpu pada perekonomian agraris (subsisten) yaitu suatu kegiatan produksi berteknologi rendah dan hasilnya untuk kebutuhan sendiri. Meskipun demikian para pemikir ekonomi di Jerman tidak banyak terpengaruh oleh perkembangan ekonomi diluar negeri tetapi lebih tertarik kepada kondisi di dalam negeri. Oleh karena itu, pengembangan ekonomi dipusatkan pada hasil pertanian yang diolah menjadi barang akhir dengan menggunakan teknologi yang lebih maju sehingga hasilnya bisa dipakai di dalam negeri dan sisanya diekspor ke luar negeri. Berkat rasa kebangsaan yang sangat tinggi dan peningkatan kualitas sumber daya alam pada kenyataannya mampu mengembangkan produk, teknologi dan pasar. Pada masa sekarang Jerman adalah suatu negara yang tetap memiliki rasa nasionalisme yang tinggi maju dalam bidang teknologi canggih dan menguasai pasar dalam bidang barang industri baik di Eropa maupun Asia. 4. Keberhasilan ekonomi negara lain patut kita contoh. Satu hal yang menarik yang menjadi pemikiran mazhab historis adalah bahwa mencontoh keberhasilan suatu negara tidak harus meniru seratus persen strategi dan kebijakan negara tersebut. Ini beralasan, karena Indonesia memiliki latar belakang sejarah dan karakteristik yang sangat berbeda dengan negaranegara lain yang berhasil tersebut. Modifikasi harus dilakukan dalam menerapkan strategi dan kebijakan ekonominya. 1. Konsistensi kebijakan ekonomi sesuai dengan kondisi sumber daya alam yang dimiliki dapat dijadikan modal utama pembangunan. Bukti menunjukkan ternyata berkah SDA tidak menjamin kesejahteraan. Mazhab historis mengajarkan tidak perlu meniru keberhasilan negara lain tetapi berpelinglah pada kekayaan yang kita miliki dan manfaatkan kekayaan alam tersebut bagi kesejahteraan masyarakat. Kemandirian dalam pembangunan ekonomi merupakan kunci jawaban. 2. Kepercayaan diri terhadap modal utama yang dimilikinya serta keseriusan dalam pembangunan ekonomi dapat membantu keberhasilan ekonomi. Arah dan kebijakan ekonomi selama tidak jelas mau kemana. Memiliki rencana jangka panjang pembangunan ekonomi yang telah disepakati oleh bangsa dan negara kita semestinya konsisten diaplikasikan bagi strategi dan kebijakan Indonesia tanpa banyak terpengaruh oleh kebijakan negara lain. Mengikuti saja apa kemauan negara lain justru dikhawatirkan akan menyebabkan ekonomi Indonesia semakin terpuruk DAFTAR PUSTAKA Arifin, Bustanul, 2007. Diagnosis Ekonomi Politik Pangan dan Pertanian. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Deliarnov. 2003. Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Edisi Revisi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Masngudi. 2006. Sejarah Pemikiran Ilmu Ekonomi. Diktat Kuliah. Jakarta : Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Borobudur. Soule, George. 1994. Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka. Dari Aristoteles hingga Keynes. Yogyakarta : Kanisius. 2000. Ekonomi Pembangunan. Problematika dan Pendekatan. Jakarta Suryana, : Penerbit Salemba Empat. Tulus. 2001. Perekonomian Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia. Tambunan, B. Saran Adapun saran-saran yang perlu dikemukaan sesuai dengan kesimpulan adalah sebagai berikut : Jurnal M anajem enM M-U T P Winardi. 1990. Ilmu Ekonomi (Aspek-Aspek Sejarahnya). Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. 9