manfaat perdagangan indonesia terhadap negara

advertisement
POKOK-POKOK AJARAN MAZHAB HISTORIS
BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI
Abstract
H.Sulbahri Madjir
Dosen Fakultas Ekonomi dan
Dosen Sekolah Pascasarjana
Program Studi
Magister Manajemen
Universitas Tridinanti
Palembang
Jl. Kapten Marzuki No.2446
Kamboja Palembang
Telp. 0711-372164-360717,
Fax. 0711-360725
Wab site : www/mm-utp.com
E-mail : [email protected]
Classical thought of economic theory of historical concept, mainly is focused on economic
development of nation which rely on historical background and characteristic of certain
country. The success of economic development of the country is not assured would be
applied corectly to other countries. is focused on price theory. It is caused by asset of the
country, source of resources and ability to develop economy by itself. Economics
globalization has positive and negative impact to economy all of nations. Therefore, it is,
necessary to become more consistence, commitment, independently in economic policy
appropriate to condition of the country themselves.
Key words : Historical Theroy, Globalitation of Economy, Impact to Indonesian
Ecoconomic Development.
Abstrak
Aliran klasik dalam pemikiran ekonomi pada mazhab historis pada dasarnya menekankan
pada pemikiran pembangunan ekonomi suatu negara yang bertumpu kepada sejarah dan
karakteristik yang dimiliki oleh sutau negara. Keberhasilan pembangunan ekonomi negara
lain tidak mesti akan berhasil dapat diterapkan di negara lain. Hal ini sangat tergantung
pada kekayaan ekonomi negara tersebut, sumber daya yang dimilikinya serta kemampuan
untuk membangun perekonomiannya secara mandiri. Globalisasi ekonomi membawa
dampak positif dan negatif bagi perekonomian suatu negara. Yang diperlukan adalah
konsistensi, komitmen dan kemandirian dalam kebijakan ekonomi sesuai dengan kondisi
negara yang bersangkutan.
Kata Kunci : Mazhab Historis, Globalisasi Ekonomi, Dampak bagi Pembangunan Ekonomi
Indonesia
I.
PENDAHULUAN
meskipun di antara keduanya memiliki
peranan yang berbeda. Akumulasi kapital
mampu
menghambat
penurunan
produktivitas,
yaitu
melalui
kemajuan
teknologi. Dan kemajuan teknologi inilah
tidak
dapat
menghalangi
terjadinya
“stationary state”. Jadi, jelaslah bahwa
pertumbuhan ekonomi akan merupakan
proses tarik menarik antar-dua-kekuatan
yaitu “the law of diminishing return” dan
kemajuan teknologi.
Dalam masa teori klasik juga dikenal
teori
dari
Robert
Malthus
yang
menitikberatkan
pada
“perkembangan
kesejahteraan”
suatu
negara,
yaitu
pembangunan ekonomi yang dapat dicapai
dengan meningkatkan kesejahteraan suatu
negara. Pertambahan penduduk tidak bisa
terjadi tanpa peningkatan kesejahteraan
yang sebanding. Pertumbuhan penduduk
akan meningkatkan “effective demand”.
Peningkatan permintaan efektif tersebut
pada
gilirannya
akan
meningkatkan
kesejahteraan. Produksi dan distribusi
sebagai dua unsur utama kesejahteraan
Strategi pembangunan ekonomi yang
menitikberatkan pada sasaran pembangunan
dalam arti pertumbuhan ekonomi, nampaknya
tidaklah memuaskan, karena banyak negara
yang telah banyak mengalami pertumbuhan
ekonomi, tetapi kurang mampu mengatasi
kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran
yang
erat
kaitannya
dengan
tingkat
kesehatan, pendidikan. Kesemuanya ini
adalah problem-problem yang pada umumnya
dihadapi oleh negara-negara berkembang.
Oleh karena itu apabila inti pokok sasaran
pembangunan berkisar pada perkembangan
kemiskinan, penciptaan lapangan kerja,
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
mengisi kemerdekaan dalam bidang-bidang
politik dengan pembangunan ekonomi dunia
dalam proses ini diwujudkan pembagianpembagian pendapatan yang adil dan merata.
Dalam teori klasik, menurut David
Ricardo (Suryana, 2000) peranan teknologi
dan akumulasi modal mampu meningkatkan
produktivitas tenaga kerja dan menghambat
bekerja “the law of diminishing return”,
Jurnal M
anajem
enM
M-U
T
P
1
goods), dan yang terakhir sebab-sebab lain
dapat dicapai dalam jangka pendek, asal
dikombinasikan pada proporsi yang besar.
Faktor yang menentukan pembangunan
ekonomi adalah tergantung pada tenaga
kerja, modal dan organisasi. Berdasarkan
prestasi kinerja ekonomi negara-negara maju
dapat ditelusuri bahwa faktor kesuksesan
negara-negera
tersebut
menyangkut
keunggulan daya saing. Daya saing disini
ternyata tidak bertumpu pada ketersediaan
Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah
atau upah buruh yang murah (labor cost),
akan tetapi terutama karena faktor inovasi
dan kemajuan teknologi yang tidak lain
menyangkut
kewirausahaan
(entrepreneurship) dan keunggulan prestasi
kualitas sumber daya manusia yang terampil
dan memiliki keunggulan keahlian (expertise)
sesuai dengan bidangnya.
Ini diukung pula oleh sejarah
keberhasilan negara-negara yang sudah maju
(historis) keberhasilannya terlihat pada unsur
pokok yaitu : unsur ekonomi dan unsur non
ekonomi. Unsur ekonomi meliputi mutu dan
jumlah sumber daya manusia, sumber daya
alam, modal dan teknologi. Sedangkan unsur
non ekonomi meliputi : politik, institusi, sikap
dan kemampuan masyarakat. Ketidakstabilan
politik dan ketergantungan ekonomi. Telah
menimbulkan kerawanan-kerawanan dan
ekses
yang
merugikan
pembangunan
ekonomi.
Negara-negara yang berkembang
umumnya terjerat dalam lingkaran yang tidak
berujung pangkal yaitu pendapatan yang
rendah mengakibatkan tabungan yang
rendah, pertumbuhan modal yang rendah,
serta investasi yang rendah pula dan
seterusnya. Hambatan lain adalah tingkat
perkembangan penduduk yang sangat cepat
tetapi pengetahuan rendah, perekonomian
yang bersifat dualistik, ekspor bahan mentah.
Kondisi ini menciptakan negara-negara yang
sedang berkembang menjadi pembangunan
yang lamban dan terbatas. Hambatan dalam
pembangunan
bagi
negara-negara
berkembang seperti Indonesia antara lain
karena : perkembangan penduduk yang tinggi
tetapi ilmu pengetahuan mereka rendah,
perekonomiannya bersifat dualistik, tingkat
pertumbuhan modal rendah (tabungan juga
rendah), struktur barang yang diekspor lebih
banyak pada bahan mentah (raw materials)
daripada barang setengah jadi (workingprocess goods) atau barang jadi (finisihed
Jurnal M
anajem
enM
M-U
T
P
yang sudah terakumulasi.
Kegagalan pembangunan ekonomi
Indonesia pada tahun 1997-tahun 1998
adalah satu contoh kegagalan para ahli
ekonomi kita di tingkat elit dalam merancang
konsep
kebijakan
maupun
strategi
pembangunan. Kegagalan ini menimbulkan
kerugian secara sosial dan ekonomi yang
masih dirasakan pada tahun 2006. Beberapa
indikator penting yang patut diajukan
menyangkut beban hutang luar negeri,
angka pengangguran terbuka sampai 40 juta
jiwa, krisis neraca pembayaran, rendahnya
angka investasi asing dan permasalahan
politik dan keamanan yang masih labil.
Apabila ditelusuri dari kegagalankegagalan
tersebut
maka
penulis
memperoleh gambaran antara lain sebagai
berikut :
1. Strategi industrialisasi sangat tergantung
dari bahan baku dan pasar dari luar
negeri. Ketergantungan ini menciptakan
biaya produksi dan harga yang di ekspor
ke luar negeri.
2. Strategi industrialisasi diarahkan pada
kepentingan dunia luar yang kurang
bermanfaat pada pengembangan industri
lokal maupun luar negeri.
3. Industrialisasi
berkembang
secara
direkayasa
tanpa
memperhatikan
tahapan-tahapan pembangunan industri
yang seharusnya dilalui secara alamiah.
Pertumbuhan industri yang diciptakan
semu dan tidak bersifat riil.
4. Model orientasi pembangunan hanya
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi
saja dan tidak jelas dan tidak terfokus
pada aspek-aspek lainnya. Misalnya
pembangunan diarahkan ke penciptaan
lapangan kerja, penghapusan kemiskinan
serta pemenuhan kebutuhan pokok
masyarakat.
5. Bantuan pinjaman dan modal dari luar
negeri menggunakan kurs asing tanpa
lindung
nilai
(hedging)
sehingga
kejatuhan nilai rupiah dalam tempo
singkat menyulitkan para pengusaha dari
luar negeri.
Dengan demikian pembangunan
yang dilakukan selama ini lebih bersifat
untuk pemenuhan pasar luar negeri,
pemenuhan keinginan para peminjam
(lenders, misalnya IMF dan Bank Dunia, IDB,
dan
sebagainya).
Pemerintah
kurang
memperhatikan
pembangunan
yang
2
merangsang
investasi
domestik,
pembangunan yang lebih merata ke wilayahwilayah
daerah,
pembangunan
yang
berorientasi pada ketersediaan dan potensi
daerah.
Dengan semakin meluasnya dampak
perdagangan bebas (free trade) terutama
AFTA (Asean Free Trade Area) sejak tahun
2003
perekonomian
Indonesia
justru
mengalami penurunan daya saing jika
dibandingkan
dengan
negara-negara
berkembang lainnya. Beberapa produk yang
menurun daya saingnya adalah tekstil,
garmen, elektronik, bahan kimia dan bahanbahan hasil pertanian. Negara pengimpor
beralih ke negara-negara seperti Pakistan,
Bangladesh, India, Thailand, Malaysia,
Vietnam dan sebagainya sehingga negaranegara tersebut mengalami kemajuan yang
signifikan dalam bidang ekonomi.
Permasalahannya adalah kebijakan
dan strategi yang akan ditempuh agar
pembangunan
dapat
menghasilkan
peningkatan kesejahteraan rakyat. Pedoman
dan anutan apakah yang dapat membawa
dampak
signifikan
bagi
pembangunan
ekonomi di Indonesia. Kegagalan dalam
menerapkan pembangunan ekonomi sejak
Indonesia
merdeka
mengakibatkan
ketertinggalan
pembangunan
kita
jika
dibandingkan negara-negara lain seperti
Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam,
India, Taiwan, Hongkong, RRC maupun Korea
Selatan
sebagai
sama-sama
negara
berkembang.
Sedangkan pada intinya pemikir
aliran sejarah menolak argumentasi pemikirpemikir klasik bahwa ada undang-undang
alam tentang kehidupan ekonomi. Bagi
mereka masyarakat harus dianggap sebagai
suatu kesatuan organisme dimana interaksi
sosial berkait dan berhubungan antarindividu. Pemikir-pemikir aliran sejarah
menghendaki agar kegiatan masyarakat
dilandaskan pada suatu sistem yang
menyeluruh,
yang
mencakup
semua
organisme dalam kehidupan bermasyarakat
sebagai suatu keseluruhan. Penganut aliran
sejarah yang tidak percaya pada mekanisme
pasar bebas klasik pada umumnya sepakat
untuk meminta campur tangan pemerintah
dalam perekonomian. Intervensi pemerintah
di harapkan mampu membawa proses
ekonomi pada tujuan-tujuan sosial dan
ekonomi yang diinginkan bersama. Tanpa
campur
tangan
pemerintah
dalam
Jurnal M
anajem
enM
M-U
T
P
perekonomian, tujuan dimaksud sulit untuk
dicapai.
Fenomena-fenomena
ekonomi
merupakan
produk
perkembangan
masyarakat secara keseluruhan sebagai hasil
perjalanan sejarah. Karenanya pemikiranpemikiran,
teori-teori
dan
kesimpulan
ekonomi haruslah dilandaskan pada empiris
sejarah. Pemikir-pemikir aliran sejarah tidak
setuju dengan anggapan kaum klasik dan
neo-klasik bahwa prinsip-prinsip ekonomi
berlaku secara universal, sebab prinsipprinsip ekonomi juga dipengaruhi oleh adat
istiadat, tradisi, agama, nilai-nilai dan normanorma lingkungan setempat.
II. PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang di atas
maka permasalahan adalah sebagai berikut :
Pertama, Sampai sejauhmana Indonesia
dapat menemukan strategi pembangunan
yang sesuai dengan kondisi di Indonesia ?;
Kedua, Apakah pokok-pokok ajaran mazhab
historis dapat diterapkan dengan kondisi
pembangunan ekonomi di Indonesia ?
Ketiga, Apakah terdapat kecocokan atau
perbedaan antara mazhab historis yang
diterapkan di Indonesia dengan yang
diterapkan di negara lain seperti Jerman atau
negara-negara lainya ?
III. LANDASAN TEORI
Teori
ini
sebenarnya
sangat
sederhana dipandang dari segi ekonomi.
Pemahaman
mazhab
historis
cukup
ditanyakan kepada para perencana dan
pemikir
ahli
pembangunan.
Apakah
perencanaan dan srategi ekonomi negara
sudah mempertimbangkan kondisi negara
kita sendiri ? Apa yang kita miliki dan untuk
apa melakukan pembangunan ekonomi ?
Seperti pepatah, apakah kita masih ingat
“kacang jangan lupa dengan kulitnya ?”. Inti
pemikiran mazhab ini adalah “jangan lupakan
sejarah !”
A. Mazhab Historis
Menurut Masngudi (2006 : h. 51)
Pertumbuhan dan perkembangan pemikiran
ilmu ekonomi dimulai di Inggris dan atau
Perancis
yang
selanjutnya
menyebar
perkembangannya ke berbagai negara,
dimana pemikiran-pemikiran ilmu ekonomi
sebagaimana dimaksud dirumuskan atas
dasar perkembangan keadaan di masing-
3
masing negara yang bersangkutan, dimana
teori
tersebut
mulai
dikembangkan.
Sementara
itu
Kaum
Klasik
didalam
pemikirannya
mempergunakan
metoda
deduktif yang didalam hal ini prosesnya
berjalan dari hal-hal yang bersifat khusus
untuk menuju kepada hal-hal yang bersifat
umum. Dilain pihak, Jerman pada abad ke 18
ataupun awal abad ke 19 relatif keadaan
ekonominya
sangat
berbeda
bila
dibandingkan dengan perkembangan yang
terjadi di Inggris ataupun Perancis. Akibat
daripada hal tersebut maka perkembangan
ilmu ekonomi di Jerman relatif lambat pada
waktu itu karena mempunyai tanggapan
bahwa teori yang dilahirkan dan berkembang
di Inggris ataupun Perancis dasar keadaannya
sangat berbeda dengan yang di Jerman.
Dalam hal ini Gustav Schmoller (Jerman)
tidak ingin menggunakan metode deduktif
tetapi menggunakan metode induktif, yaitu
dari sesuatu yang prosesnya berlawanan
dengan metode deduktif, yaitu menjabarkan
dari sesuatu yang bersifat umum menuju
kepada sesuatu yang bersifat khusus.
Metode deduktif di dalam analisis
ilmu berpangkal pada suatu pernyataan yang
diketahui dan selanjutnya menggunakan
proses syllogisme. Sebagai contoh, bilamana
ada 2 (dua) hal yang sama dengan yang
ketiga maka ketiganya harus sama, misalnya
: a = b dan b = c maka a = c. Gustav
Scmoller berkeberatan dengan metode
induktif
karena
perbedaan
keadaan
perekonomiannya. Jerman dikala abad ke 18
dan permulaan abad 19 masih sebagai negeri
agraris tidak dapat menerima begitu saja teori
ekonomi yang datang dari Inggris yang sudah
merupakan negara industri. Demikian pula
belum mau menerima perdagangan luar
negeri yang liberal dan dimana dalam hal ini
teori kaum klasik dapat ditiru di Jerman
dengan begitu saja. Jerman pada saat itu
masih
sangat
berkepentingan
untuk
melindungi perekonomian nasionalnya.
Pola pemikiran aliran mazhab historis
(aliran sejarah) didasarkan pada perspektif
sejarah. Kerangka dasar teoritisnya berikut
pola pendekatan yang digunakan oleh aliran
sejarah dalam memecahkan masalah-masalah
ekonomi sangat berbeda dan terpisah dari
aliran utama (mainstream) yang berawal dari
kaum klasik. Oleh segolongan para pakar
Jerman sendiri apa yang dinamakan aliran
sejarah
sebagai
aliran
etis,
untuk
Jurnal M
anajem
enM
M-U
T
P
menunjukkan ketidaksenangan mereka pada
paham hedonisme klasik.
B. Tokoh-Tokoh Mazhab Historis
Seperti yang ditulis oleh Deliarnov
(2003 : h. 128) Tokoh-tokoh pemikir aliran
sejarah (mazhab histories) cukup banyak,
sebagian besar mereka dari Jerman, antara
lain Friederich List, Wilhelm Roscher, Bruno
Hildebrand, Karl Knies, Gustav von Schmoler,
Lujo Bentano, George Friedrich Knapp, Karl
Bucher, Max Weber dan Werner Sombart.
Tokoh-tokoh aliran sejarah di Inggris adalah
William Cunningham dan J.W. Ashley. Dari
AS seperti adalah Henry Carey, Simon Nelson
Patten, dan Daniel Reymond.
Berikut adalah beberapa pendapat
dari tokoh-tokoh mazhab historis :
Friedrich List (1789-1846) yang lahir dan
memperoleh pendidikan di Jerman. Ia
pernah mengajar di negara tersebut. Ia
mengatakan bahwa perkembangan suatu
masyarakat dari sejarah. Dari cara mereka
berproduksi
maka
setiap
kelompok
masyarakat pada umumnya melewati tahaptahap sejarah sebagai berikut : (1) tahap
berburu dan menangkap ikan, atau tahap
barbarian, yang berciri masyarakat primitif
sebab kebutuhan dipenuhi dari apa yang
disediakan oleh alam ; (2) zaman
menggembala atau pastoral, yang mulai
berternak tetapi masih nomaden atau tidak
menetap ; (3) zaman agraris, dimana
masyarakat mulai menetap dan bertani
secara subsisten ; (4) zaman bertani,
menghasilkan industri manufaktur sederhana
dan mulai melakukan perdagangan lokal dan
(5) masyarakat bertani, manufaktur lebih
maju dan telah melakukan perdagangan
internasional.
Friederich
List
hanya
memfokuskan pada masalah kebijaksanaan
ekonomi, terutama bagaimana melindungi
industri industrialisasi Jerman yang waktu itu
tertinggal dari industrialisasi Inggris. Ia
sangat menonjolkan unsur nasionalisme.
Keberhasilan pembangunan suatu negara
harus disesuaikan dengan kondisi negara
yang bersangkutan (Deliarnov, 2003 : h.
128). Sedangkan menurut Masngudi (2006 :
h. 52) tujuan dari teori Friedrich List untuk
membuktikan bahwa Jerman pada kira-kira
tahun 1840 masih berada pada posisi
masyarakat petani yang berdampingan
dengan
perindustrian.
Bahkan
untuk
memajukan industri yang dapat bersaing
dengan Inggris terpaksa harus dilakukan
4
pungutan bea masuk untuk melindungi
industri nasional dalam tingkat permulaan.
Bruno Hilderbrand (1812-1878) dalam
Deliarnov (2003 : h. 131), ia aktif dalam
berbagai penelitian dan penulisan karya
ilmiah. Dalam melakukan penelaahan dan
penelitian-penelitian ekonomi, ia menekankan
perlunya mempelajari sejarah. Maksudnya
penelitian-penelitian ekonomi harus didukung
oleh data statistik empiris yang dikumpulkan
dalam
penelitian
sejarah
ekonomi.
Hilderbrand lebih menekan pada pentingnya
perekonomian
masyarakat.
Masyarakat
diidentifikasi atas tingkatan sebagai berikut :
(a) tukar menukar secara in-natura, (b) tukar
menukar dengan perantaraan uang, dan (c)
tukar-menukar dengan menggunakan secara
kredit. Karya Hilderbrand cukup baik untuk
diterapkan dalam bidang sosiologi, salah satu
kelemahannya adalah hanya analiss bersifat
deskriptif
sehingga tidak signifikan bagi
pengembangan ilmu ekonomi. Kemudian
ditambahkan pula menurut Masngudi (2006 :
h.
53)
Teori
tingkat
perkembangan
perekonomian Bruno Hildebrand disesuaikan
juga kepada kepentingan-kepentingan khusus
di Jerman pada waktu itu. Ia membagi
perkembangan ekonomi sebagai berikut :
1) Suatu periode dimana perekonomian
didalamnya terjadi pertukaran antara
barang dengan barang secara langsung.
2) Perekonomian dengan pertukaran tidak
langsung, artinya pertukaran dengan
menggunakan uang.
3) Perekonomian dimana didalamnya terjadi
pertukaran barang dengan penyerahan
sebelum dibayarnya.
Gustav von Schmoler (1839-1917),
menjadi terkenal karena ia terlibat dalam
perdebatan sengit dengan pakar-pakar klasik,
terutama dengan Carl Menger, tentang
metodologi dalam pengembangan ilmu
ekonomi. Ia dianggap sebagai pemikir aliran
sejarah yang paling gigih menyarankan agar
metode deduktif klasik ditukar dengan
metode induktif empiris. Jika tokoh-tokoh
aliran sejarah lain menghendaki berbagai
kebijaksanaan di bidang ekonomi, Schmoler
menghendaki agar kebijaksanaan juga
menyangkut politik sosial, dan lebih jauh dari
itu, juga kebijaksanaan untuk meningkatkan
kesejahteraan kaum buruh. Misalnya untuk
meningkatkan
posisi
tawar
menawar
(bargaining position) kaum buruh, Schmoler
menganjurkan
didirikan
dan
dibinanya
organisasi-organisasi serikat pekerja. Untuk
Jurnal M
anajem
enM
M-U
T
P
mencapai tujuan maka Schmoler beserta
rekan-rekan mendirikan sebuah forum untuk
menghimpun pemikiran-pemikiran untuk
menghadapi berbagai masalah ekonomi dan
sosial, dan hasil kesimpulan dan pertemuan
dalam forum disampaikan pada pemerintah
sebagai bahan masukan. Salah satu
keberhasilan pertemuan-pertemuan untuk
menghimpun masukan bagi pemerintah ini
adalah diberlakukan undang-undang untuk
melindungi kaum buruh dari penindasan
kaum pengusaha. Jaminan sosial yang
diberikan kepada kaum buruh sesuai
undang-undang tersebut dianggap sangat
maju untuk zamannya, sebab dinegaranegara Eropa pada umumnya belum ada
undang-undang perlindungan kaum buruh
seperti yang dibuat di Jerman tersebut
(Deliarnov, 2003 : h. 132).
Demikian pula menurut Werner
Sombart (1863-1941). Salah satu hasil
penelitian Sombart yang cukup sering dikutip
orang ialah penelitiannya tentang tahaptahap perkembangan kapitalisme. Dari hasil
penelitiannya Sombart mengatakan bahwa
pertumbuhan masyarakat kapitalis sangat
erat
kaitannya
dengan
pertumbuhan
masyarakat. Dalam karyanya : Der Moderne
Kapitalisme (1902), Warner Sombart lebih
lanjut mengatakan bahwa pertumbuhan
masyarakat kapitalis dapat dibedakan atas
beberapa tingkatan : (1) tingkat prakapitalisme ; (2) tingkat kapitalisme
menengah ; (3) tingkat kapitalisme tinggi ;
dan (4) tingkat kapitalisme akhir.
Pada
tingkat
pra-kapitalisme
kehidupan ekonomi masih bersifat komunal ;
struktur sosial masih berat ke pertanian ;
kebutuhan manusia masih kurang/rendah ;
uang belum dikenal ; motif laba maksimum
belum nampak ; dan produksi hampir
seluruhnya ditujukan untuk diri sendiri.
Dalam tingkat kedua (kapitalisme menengah)
kehidupan ekonomi, walau masih bersifat
komunal, tetapi telah mulai memperlihatkan
ciri-ciri individualistis ; struktur pertanianindustri mulai berimbang ; masyarakat sudah
mengenal uang ; motif laba maksimum mulai
nampak dan produksi tidak hanya untuk diri
sendiri, tetapi sebagian juga ditujukan untuk
pasar. Dalam tingkatan ketiga (kapitalisme
tinggi), ciri masyarakat komunal mulai hilang
; paham individualisme mulai menonjol ;
struktur ekonomi semakin berat ke industri
dan perkotaan ; peran uang semakin
menonjol ; motif laba maksimum makin
5
kelihatan dan sebagian besar dari produksi
dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Tingkatan terakhir, (kapitalisme tahap akhir)
ditunjukkan oleh ciri-ciri
dimana sikap
individualisme
sangat
tinggi,
tetapi
kepentingan masyarakat tidak diabaikan;
industri meluas ke padat modal ; di samping
uang kartal juga mulai dikenal uang giral ;
motif laba maksimum sangat tinggi, tetapi
juga dipertimbangkan penggunaan laba untuk
kepentingan masyarakat dan produksi untuk
pasar (Deliarnov, 2003 : h. 132).
Dalam pemikiran Max Weber (18641920) seperti dalam Deliarnov (2003 : h.
135),
sebagian besar dari pemimpinpemimpin
perusahaan,
pemilik
modal,
pimpinan teknis dan komersial yang
diamatinya (di Jerman) adalah orang-orang
protestan, bukan orang katolik. Ajaran Calvin
tentang takdir dan nasib manusia, menurut
Weber,
adalah
kunci
utama
dalam
menentukan sikap hidup para penganutnya.
Bagi penganut Calvin kerja adalah “beruf”.
“panggilan” atau “tugas suci”. Menurut ajaran
Calvin keselamatan hanya diberikan kepada
orang-orang terpilih. Ini yang mendorong
orang bekerja keras agar masuk menjadi
golongan orang terpilih tersebut. Dalam
kerangka pemikiran teologis seperti inilah
maka semangat kapitalisme, yang berstandar
pada cita ketekunan, hemat, rasional,
berperhitungan, dan sanggup menahan diri,
menemukan pasangannya. Tentu tidak semua
orang menerima tesis Weber yang diuraikan
di atas.
Beberapa pakar mempertanyakan
atau bahkan menentangnya, misalnya Bryan
S. Turner, R.H. Tawney, Kurt Samuelson,
Robert N. Bellah, Andrew Greeley, dan tentu
saja dari pakar-pakar lain yang pernah
meneliti dampak ajaran agama lain terhadap
kehidupan ekonomi, misalnya penelitian
tentang masyarakat Islam dan penganutpenganut agama Tokugawa di Jepang.
Kritikan-kritikan tersebut antara lain dapat
dibaca dalam buku yang diedit Taufik
Abdullah : Agama, Etos Kerja dan
Perkembangan Ekonomi (1979).
Kritik yang diutarakannya menurut
Henry Charles Carey, adalah seorang
pimpinan
gerakan
proteksionisme
dari
Amerika Serikat. Ia tertarik dengan aliran
sejarah sebab ayahnya adalah teman dekat
Friedrich List sewaktu List berdiam di Amerika
Serikat. Dalam salah satu karyanya : Principle
of Social Science, Carey menekankan
Jurnal M
anajem
enM
M-U
T
P
perlunya
diversifikasi
industri
untuk
menciptakan lapangan pekerjaan lebih luas.
Suatu negara yang hanya mengandalkan
pembangunan pada ekspor produk-produk
pertanian dinilainya sebagai tindakan yang
bodoh dan merugikan. Bagi Carey, hanya
bangsa petani yang bodoh saja yang secara
berkelanjutan mengeskpor barang-barang
mentah dan menerima imbal tukar produkproduk lain dalam jumlah sedikit. Tindakan
seperti ini hanya akan menyebabkan semakin
berkurangnya kesuburan tanah dan semakin
melemahnya posisi negara dibanding negaranegara lain yang maju pesat dengan
mengembangkan produk-produk industri
yang lebih tinggi nilai tambahnya (Deliarnov,
2003 : h. 135).
IV. PEMBAHASAN
Pada
umumnya
kondisi
perekonomian negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia didominasi oleh sektor
pertanian. Perekonomian yang di dominasi
sektor pertanian ternyata justru sulit
mengalami kemajuan. Jika ingin mengalami
kemajuan, maka langkah awal yang perlu
dilakukan ialah memacu industrialisasi. Pada
tahap awal, sebagaimana dianjurkan oleh
Frederich List, negara-negara berkembang
boleh melakukan kebijaksanaan proteksi
untuk melindungi industri dalam negeri.
Tindakan proteksi dimaksudkan agar setelah
melalui beberapa tahap waktu industri dalam
negeri menjadi lebih mapan sehingga lebih
kompetitif dalam bersaing. Pengembangan
industri ini lebih lanjut diharapkan untuk
mampu
mengangkat
perekonomian
masyarakat lebih luas ke berbagai bidang.
Tetapi apa yang terjadi di Indonesia
suatu hal yang sangat ironi. Hal ini dapat
diungkapkan oleh tulisan Nancy Peluso
berjudul “Rich Forest, Poor People” (Kaya
Hutan, Rakyat Miskin) dalam Bustanul Arifin
(2007) adalah betapa ironisnya negara kita
Indonesia dan negara berkembang lainnya di
dunia. Dengan segala kekayaan alam hutan
tropis terbesar kedua di dunia, lautan luas
kaya akan ikannya, semua hasil tambang
dimilikinya. Tetapi apa yang terjadi dengan
negara seperti itu, ternyata manfaat besar
sama sekali tidak mampu dinikmati lapisan
terpenting masyarakat yang berada di sekitar
hutan, bahkan justru sering menimbulkan
bencana karena buruknya setting kebijakan,
regulasi dan kelembagaan pendukung
tentang
pembangunan
kehutanan.
6
Masyarakat di sekitar hutan tetap terjerat
kemiskinan dan kemelaratan. Buruknya
kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan
membuat mereka menjadi terasing di
lingkungannya
sendiri.
Tidak
jarang,
masyarakat yang hidup di sekitar hutan
menjadi target kekerasan para oknum
penguasa
karena
sering
dianggap
“menghalangi”
eksploitasi
kepentingan
kekayaan segelintir pemburu rente tersebut,
yang umumnya bekerja sama dengan para
cukong pemodal dari negara asing. Menyadari
kegetiran permasalahan tersebut, seperti
yang dinyatakan Peluso, hampir seluruh
negara di dunia, agenda kebijakan kehutanan
dan lingkungan hidup pada umumnya
mengikutsertakan
dimensi
pengentasan
kemiskinan, peningkatan kualitas hidup dan
pemberdayaan masyarakat, terutama di
sekitar hutan agar mampu sejajar dengan
saudara-saudaranya yang lain di pelosok
negara.
Kembali ke persoalan di atas, dalam
kasus produk-produk pertanian yang kita
hasilkan dalam jumlah besar, akan tetapi
sayang di sebagian negara berkembang
termasuk Indonesia proteksi diberikan secara
tidak bijaksana. Kalau List menganjurkan
proteksi hanya diberikan pada tahap-tahap
awal, di beberapa negara berkembang,
terutama
dalam
negara
yang
kuat
persekongkolan antara pengusaha dengan
penguasanya, proteksi diberikan secara terus
menerus. Sedang industrinya sendiri keropos
dan tidak efisien. Hasil produksi mereka tidak
bisa bersaing dengan produk-produk luar
negeri. Jauh dari yang diharapkan, yang
terjadi adalah meluasnya distorsi, selain itu
perekonomian beroperasi dengan biaya-biaya
tinggi (high cost economy). Padahal List telah
memperingatkan bahwa proteksi yang tidak
bijaksana seperti ini hanya akan menjadi
sumber pemborosan keuangan negara. Lebih
parah lagi, di beberapa negara berkembang
“kebijaksanaan” proteksi hanya dinikmati oleh
segelintir pengusaha yang berkolaborasi
dengan penguasa. Kondisi ini pada akhirnya
hanya menjadi pemicu kecemburuan sosial.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan sebagaimana diuraikan di atas,
bagi negara-negara berkembang yang ingin
memberikan proteksi harus diiringi dengan
suatu mekanisme yang mampu mengatur
agar proteksi secara tahap demi tahap
dikurangi, dan sesudah sekian waktu, apapun
yang nanti terjadi, proteksi tersebut harus
Jurnal M
anajem
enM
M-U
T
P
dihentikan. Kalau tidak industri yang
dilindungi tersebut cenderung manja dan
tidak efisien. Dengan demikian untuk
memajukan industri dalam negeri tidak bisa
lagi
dilakukan
dengan
menggunakan
kebijaksanaan proteksi, melainkan harus
mengarah pada usaha-usaha yang dapat
meninggikan efisiensi produksi.
Pemikiran serupa diutarakan oleh
Amartya Sen, terkait dengan buruknya
kinerja ekonomi Indonesia. Menurut Sen,
petani yang miskin karena tidak memiliki
kemampuan (entitlement) bahkan tidak
memiliki kemerdekaan (freedom) untuk
melakukan sesuatu bagi keluarga dan
bangsanya. Sen berupaya memberikan
penjelasan yang lebih komprehensif, tidak
hanya fakta bahwa petani tidak memiliki
penghasilan yang memadai atau akibat dari
suatu kemiskinan, namun lebih banyak
tentang buruknya akses atau sebab
terjadinya
suatu
kemiskinan.
Dapat
dibayangkan, dampak berantai yang pasti
terjadi, apabila petani tidak memiliki akses
terhadap lahan sebagai faktor produksi
terpenting dalam suatu budi daya pertanian
(agriculture), pastilah upaya peningkatan
produksi, produktifitas dan pendapatan
petani tidak akan mencapai hasil yang
optimal. Lebih lagi, perbaikan akses ini
menjadi begitu krusial dan sangat vital dalam
dimensi bisnis pertanian (agribusiness) yang
sangat mengedepankan kesatuan sistem dan
tata nilai yang utuh dari hulu, tengah, hilir
dan pendukung seperti akses pasar,
pemasaran,
perbankan,
pendidikan,
penyuluhan dan kebijakan pemerintah yang
relevan.
Belajar dari keberhasilan negaranegara dalam membangun ekonomi seperti
di negara kawasan pasifik yakni : Singapura,
Malaysia, Thailand, Taiwan, Hongkong,
Korea Selatan, Jepang, RRC, bahkan Vietnam
semestinya menjadi pelajaran bagi para ahli
ekonomi di Indonesia. Secara historis
keberhasilan
ekonomi
negara-negara
tersebut
berkat
keberhasilan
dalam
memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya
serta keberhasilan dalam hal perencanaan
maupun pengelolaan ekonomi oleh pemimpin
mereka. Hal yang aneh justru terjadi di
Indonesia, walaupun kaya akan sumber daya
alam dan padatnya jumlah penduduk
ternyata Indonesia dalam pembangunan
ekonomi belum berhasil.
7
Apabila mengacu pada pemikiran
mazhab historis, berbagai negara berhasil
karena berbagai alasan sebagai berikut :
1) Singapura walaupun tidak memiliki
sumber daya alam tetapi pemimpin
negara berhasil meningkatkan kualitas
sumber daya manusianya dalam waktu
singkat, konsistensi terhadap penegakan
hukum termasuk keberhasilan dalam
menekuni industri jasanya di tingkat
internasional.
2) Malaysia meskipun merdeka setelah
Indonesia tetapi kemauan yang kuat,
penerapan hukum yang ketat dan
membangun ekonominya bertumpu pada
sumber daya alam yang dimilikinya
seperti minyak, kelapa sawit dan hasil
hutan.
3) Jepang
telah
memiliki
kekuatan
nasionalisme yang tinggi, konsisten
dengan hukum, kerja keras dan sumber
daya manusia yang cepat belajar dari
negara Jerman, AS dan Inggris sehingga
mampu menguasai teknologi. Sumber
daya alam yang sangat sedikit dan
kekalahan
perang
menyebabkan
bangsanya bertekad menguasai dunia di
bidang ekonomi.
4) Kekuatan Thailand dalam menghadapi
krisis karena struktur ekonomi negara ini
bertumpu pada bidang agribisnis dan
industri pariwisata. Kemajuan industri
manufaktur bertumpu pada bahan baku
pertanian dan teknologi budi daya dalam
bidang pertanian.
5) Seperti halnya negara Singapura, negara
Hongkong dan Taiwan membangun
ekonominya
dengan
memperhatikan
industri jasa perdagangan, industri
manufaktur serta memperkokoh industri
mulai dari industri kecil dan menengah.
6) Terpecahnya Negara Korea Selatan dari
Korea Utara memaksa negara ini sangat
terbuka dan berorientasi ke negara
Jepang, AS dan Eropa. Walaupun tahun
1950-an masih terbelakang dibandingkan
Indonesia, rakyat Korsel belajar ilmu dan
teknologi ke Jepang dan akhirnya negaranegara barat ikut serta menanamkan
modalnya di Korsel. Keberhasilan industri
manufaktur Korsel mampu menyamai
Jepang, Eropa dan AS.
7) RRC telah berhasil menerapkan dua aliran
ekonomi secara sekaligus. Walaupun
politik negara itu menerapkan politik
tersentral yaitu paham komunisme tetapi
Jurnal M
anajem
enM
M-U
T
P
dibeberapa wilayah perekonomian dibuka
seperti negara-negara kapitalis, yakni
Hongkong, Ghuang Zou dan lain-lain
ternyata
menarik
investor
asing.
Penegakan hukum, birokrasi dan bersih
diri dari korupsi, stabilitas keamanan dan
berkembangnya industri manufaktur RRC
sebagai salah satu pusat kekuatan
ekonomi di dunia.
8) Vietnam sebagai negara yang baru
membuka dunia luar telah menunjukkan
prestasinya yaitu dengan meningkatkan
kualitas sumber daya manusia dan
bertumpu
pada
sektor
agribisnis
diharapkan
akan
sukses
dalam
membangun
ekonomi
negaranya
menyusul Thailand maupun negaranegara di kawasan Asia Pasifik lainnya.
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut di
atas maka kesimpulan yang diajukan adalah
sebagai berikut :
1. Mazhab historis di masa industrialisasi di
Jerman perlu diterapkan di Indonesia
terutama bagi Indonesia sebagai negara
berkembang yang masih bertumpu pada
bidang pertanian dan sektor agribisnis.
Di era globalisasi dan perdagangan
bebas sepertinya pemerintah Indonesia
tetap memperhatikan dan melindungi
sektor pertanian khususnya produk
pertanian seperti kelapa sawit, gula,
beras, kopi, cocoa, ikan dan udang,
cengkeh, teh, peternakan ayam, sapi dan
sebagainya karena kebangkrutan di
sektor
ini
akan
mengakibatkan
pendapatan petani menurun. Semangat
nasionalisme terhadap produk dan
industri dalam negeri diperlukan bagi
suatu negara untuk memperkokoh
perekonomian suatu bangsa.
2. Pokok-pokok ajaran Mazhab historis
dapat dijadikan pedoman pembangunan
ekonomi suatu negara asalkan pemimpin
negara
yang
bersangkutan
menggunakan kebijakan ekonominya
secara konsisten dalam jangka panjang.
Kebijakan ekonomi yang berhasil di
berbagai negara karena bertumpu pada
kekuatan sumber daya alam yang
dimilikinya. Industri manufaktur harus
berorientasi pada ketersediaan bahan
baku
dalam
negeri,
kemampuan
teknologi dan jaringan pemasarannya.
8
Peningkatan
kualitas
sumber
daya
manusia, pemerintahan yang bersih,
penegakan hukum serta stabilitas politik
dan keamanan adalah kunci pokok
keberhasilan
pembangunan
ekonomi
diberbagai negara.
3. Jerman sebagai negara percontohan
mazhab historis di kawasan Eropa yang
pada waktu itu dari segi perkembangan
ekonomi
sangat
terbelakang
dibandingkan dengan negara Inggris
maupun Perancis. Tahapan masyarakat
perekonomian pada masa itu (abad 18)
bertumpu pada perekonomian agraris
(subsisten) yaitu suatu kegiatan produksi
berteknologi rendah dan hasilnya untuk
kebutuhan sendiri. Meskipun demikian
para pemikir ekonomi di Jerman tidak
banyak terpengaruh oleh perkembangan
ekonomi diluar negeri tetapi lebih tertarik
kepada kondisi di dalam negeri. Oleh
karena itu, pengembangan ekonomi
dipusatkan pada hasil pertanian yang
diolah menjadi barang akhir dengan
menggunakan teknologi yang lebih maju
sehingga hasilnya bisa dipakai di dalam
negeri dan sisanya diekspor ke luar
negeri. Berkat rasa kebangsaan yang
sangat tinggi dan peningkatan kualitas
sumber daya alam pada kenyataannya
mampu
mengembangkan
produk,
teknologi dan pasar. Pada masa sekarang
Jerman adalah suatu negara yang tetap
memiliki rasa nasionalisme yang tinggi
maju dalam bidang teknologi canggih dan
menguasai pasar dalam bidang barang
industri baik di Eropa maupun Asia.
4. Keberhasilan ekonomi negara lain patut
kita contoh. Satu hal yang menarik yang
menjadi pemikiran mazhab historis adalah
bahwa mencontoh keberhasilan suatu
negara tidak harus meniru seratus persen
strategi dan kebijakan negara tersebut.
Ini beralasan, karena Indonesia memiliki
latar belakang sejarah dan karakteristik
yang sangat berbeda dengan negaranegara lain yang berhasil tersebut.
Modifikasi
harus
dilakukan
dalam
menerapkan strategi dan kebijakan
ekonominya.
1. Konsistensi kebijakan ekonomi sesuai
dengan kondisi sumber daya alam yang
dimiliki dapat dijadikan modal utama
pembangunan.
Bukti
menunjukkan
ternyata berkah SDA tidak menjamin
kesejahteraan.
Mazhab
historis
mengajarkan
tidak
perlu
meniru
keberhasilan
negara
lain
tetapi
berpelinglah pada kekayaan yang kita
miliki dan manfaatkan kekayaan alam
tersebut bagi kesejahteraan masyarakat.
Kemandirian
dalam
pembangunan
ekonomi merupakan kunci jawaban.
2. Kepercayaan diri terhadap modal utama
yang dimilikinya serta keseriusan dalam
pembangunan ekonomi dapat membantu
keberhasilan
ekonomi.
Arah
dan
kebijakan ekonomi selama tidak jelas
mau kemana. Memiliki rencana jangka
panjang pembangunan ekonomi yang
telah disepakati oleh bangsa dan negara
kita semestinya konsisten diaplikasikan
bagi strategi dan kebijakan Indonesia
tanpa
banyak
terpengaruh
oleh
kebijakan negara lain. Mengikuti saja apa
kemauan
negara
lain
justru
dikhawatirkan
akan
menyebabkan
ekonomi Indonesia semakin terpuruk
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Bustanul, 2007. Diagnosis Ekonomi
Politik Pangan dan Pertanian. Jakarta :
PT RajaGrafindo Persada.
Deliarnov. 2003. Perkembangan Pemikiran
Ekonomi, Edisi Revisi, Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada.
Masngudi. 2006. Sejarah Pemikiran Ilmu
Ekonomi. Diktat Kuliah. Jakarta :
Program
Doktor
Ilmu
Ekonomi
Universitas Borobudur.
Soule, George. 1994. Pemikiran Para Pakar
Ekonomi Terkemuka. Dari Aristoteles
hingga Keynes. Yogyakarta : Kanisius.
2000. Ekonomi Pembangunan.
Problematika dan Pendekatan. Jakarta
Suryana,
: Penerbit Salemba Empat.
Tulus. 2001. Perekonomian
Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Tambunan,
B. Saran
Adapun
saran-saran
yang
perlu
dikemukaan sesuai dengan kesimpulan adalah
sebagai berikut :
Jurnal M
anajem
enM
M-U
T
P
Winardi. 1990. Ilmu Ekonomi (Aspek-Aspek
Sejarahnya). Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti.
9
Download