REPUBLIKA 24 Halaman >> Rabu > 15 Desember 2010 Kewirausahaan Sosial dari British Council Irfan Junaedi Prinsip-prinsip yang diajarkan, antara lain, perniagaan yang adil dan pemberdayaan masyarakat. W ajah semringah Untung Supriyadi menghias kisah yang dipaparkannya tentang keberhasilan Koperasi Guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 3 Palembang. Sebagai ketua koperasi tersebut, dia sedang punya rencana untuk membangun minimarket. Kata dia, pihak bank sudah beberapa kali menyatakan kesediaannya untuk memberikan modal usaha. Tak hanya itu, dia pun mengisahkan kebiasaannya untuk menularkan bakat wirausaha kepada murid-muridnya. Kebetulan, saat ini, dia menjadi pengajar Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). “Jadi, memang nyambung dengan wirausaha,” tutur dia. Beberapa muridnya pun diberi modal untuk jual pulsa isi ulang. Untung adalah salah satu peserta kelas kewirausahaan sosial program "Islamic School Support Network" (ISSN) yang dihelat British Council. Setidaknya 50 sekolah Islam kini sedang digembleng untuk menjalankan prinsip-prinsip kewirausahaan sosial agar bisa memenuhi kebutuhan sendiri. “Kewirausahaan sosial adalah gelombang baru kewirausahaan di seluruh dunia. Berbeda dengan kewirausahaan biasa, kewirausahaan sosial berbasis pada komunitas di tempat sang pengusaha tinggal,” ujar Media Relation British Council, Gusni Puspitasari. Kata dia, prinsip-prinsip yang diajarkan pada sekolah-sekolah Islam melalui program ini, antara lain, perniagaan yang adil dan pemberdayaan masyarakat. Prinsip-prinsip ini mengedepankan kemaslahatan bersama dan sejalan dengan nilai-nilai Islam. Untuk pelatihan kewirausahaan sosial, British Council membaginya ke dalam tiga tahap. Acara pertama adalah pertemuan awal yang melibatkan 51 sekolah Islam. Kegiatan ini sudah diselenggarakan pada 6-8 Agustus 2010 di Jakarta. Kedua, Training of Trainers di empat tempat, yaitu Pesantren Al Maksum Yogyakarta pada 29-31 Oktober 2010 (15 peserta), SMA Khadijah Surabaya pada 12-14 November 2010 (25 peserta), PP Manba’ul Huda pada 19-21 November 2010 (24 peserta), dan SIT Al Furqon Palembang pada 26-28 November 2010 (14 peserta). Secara keseluruhan, 78 peserta terbagi ke dalam kelas advance (15) dan basic (63). Peserta kelas advance diasumsikan sudah me- ngenal prinsip dasar kewirausahaan sosial, mempunyai usaha semacam ini di sekolah mereka, dan sudah memiliki nilai serta target yang jelas. Asumsi untuk peserta kelas basic adalah mereka yang baru saja mendengar tentang kewirausahaan sosial, ingin membuatnya, tapi belum tahu mesti menghubungi siapa dan bagaimana melibatkannya. Metode yang dipakai selama pelatihan adalah presentasi dan diskusi, kegiatan kelompok, berbagi sesama peserta, dan kunjungan ke lokasi kewirausahaan sosial setempat. “Para pembicara memberikan seputar tiga hal pokok, yaitu bagaimana cara mendirikan kewirausahaan sosial, perusahaan berbasis syariah, dan aturan main keuangan syariah,” kata dia menambahkan. Selain mengikuti pelatihan di kelas, para guru sekolah Islam yang menjadi peserta program tersebut, juga didorong untuk mengaplikasikan pelatihan itu di sekolah dan lingkungan masingmasing. Kepala MAN 3 Palembang, Ahmad Zainuri, mengungkapkan, pelatihan kewirausahaan tersebut telah dijalankan di sekolahnya. Saat ini, sekolah tersebut memiliki hotel, gedung pertemuan, juga koperasi guru FOTO-FOTO: AJI SAMBOGO PRESENTASI Nina Nurania, aktivis climate change memberikan presentasi tentang perubahan iklim secara global di depan peserta Islamic School Support Network yang diselenggarakan oleh British Council bersama Harian Republika di SD Islamic Village Karawaci, Tangerang, beberapa waktu lalu. dan koperasi siswa. Selain ada kelas kewirausahaan sosial, program ISSN British Council juga dilengkapi kelas perubahan iklim (climate change). Program Manager British Council, Muhaimin Syamsuddin, mengungkapkan, pembekalan tentang climate change ini nantinya akan diikuti dengan aktivitas nyata di sekolah masingmasing. “Jadi, sepulang dari kegiatan ini, para guru di sekolah bisa membuat proyek yang terkait dengan perubahan iklim global,” ujar dia. Tidak hanya dengan kegiatan di lapangan, program pembekalan untuk para guru sekolah Islam ini juga dilengkapi dengan fasilitas website di internet yang berisi berbagai hal tentang perubahan iklim. Website itu beralamat di climate4classroom.org. Lewat fasilitas ini, Muhaimin berharap, para guru bisa mendapatkan informasi dan berbagai gambar yang diperlukan untuk mengajari murid-muridnya tentang climate change. Pihak yang dipercaya British Council untuk memberi materi soal climate change ini, antara lain, aktivis perubahan cuaca, Nina Nurania. Dia adalah aktivis climate change asal Bogor yang oleh British Council dinobatkan sebagai climate champion. Di hadapan para guru, Nina menjelaskan berbagai perubahan dunia yang terjadi akibat pemanasan yang terjadi secara global. Penanggung jawab pendidikan anak di Sekolah Swasta Model Islamic Village Karawaci, Zaitun K M Pd, menilai, pembekalan tentang climate change bagi para guru sangatlah penting. “Buat sekolah kami sendiri, program ini sangat bermanfaat,” tutur dia. Kebetulan, menurut Zaitun, sekolah sudah punya program tahunan yang terkait dengan pencegahan perubahan iklim secara global. Satu lagi program yang ditawarkan British Council lewat kegiatan "Islamic School Support Network" ini adalah kelas bahasa Inggris. Kelas ini memberikan wawasan baru untuk para guru sekolah Islam tentang metode pengajaran bahasa Inggris. Mereka yang jadi peserta kelas bahasa Inggris berbeda dari para guru yang menjadi peserta kelas perubahan iklim maupun peserta kelas kewirausahaan sosial. Sekolah Islam menjadi target karena British Council menganggap sekolah tersebut merupakan lembaga pendidikan yang berperan sangat penting dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia. Dengan merangkul Republika sebagai media partner, British Council menggelar program pembekalan ini secara keliling di sekolah-sekolah Islam yang tersebar di Jawa dan Sumatra. Salah satu peserta ISSN yang hadir di Darunnajah, Jakarta, beberapa waktu lalu, Nur Chakim, guru SMA Khadijah, Surabaya, mengaku sangat terbantu oleh program ini. “Di sini saya mendapatkan banyak pengetahuan tentang mediummedium dan peraga yang bisa digunakan untuk memudahkan guru mengajar dalam bahasa Inggris,” kata dia. >> Guru Menulis << Urgensi Budaya Literasi di Kalangan Guru Oleh Tb Moh Sholeh, SPd Guru Bahasa Indonesia SMPIT Al-Masykar Bina Insani, Waringinkurung, Serang, Banten. iterasi (literacy) adalah sebuah keterampilan membaca dan menulis secara baik yang dimiliki seseorang. Kemampuan literasi seseorang tidak serta-merta hadir begitu saja dan tidak semua orang memiliki kemampuan ini. Salah satu faktor pokok agar seseorang memiliki kemampuan membaca dan menulis yang baik adalah kecintaan terhadap ilmu. Inilah salah satu sifat kecendikiaan seseorang. Kecakapan membaca dan menulis bukanlah monopoli definisi literasi. Menurut Baynham (1995: 9), literasi merupakan integrasi keterampilan menyimak, berbicara, menulis, membaca, dan berpikir kritis. Bertolak dari situ, literasi juga dapat dikatakan sebuah budaya karena memiliki nilai-nilai kebiasaan yang melekat. Sayangnya, di negara kita budaya literasi seolah terkubur dan tenggelam, lebih banyak ‘diam di rumah’ dan dihuni hanya segelintir masyarakat. Klaim pemerintah L menunjukkan masyarakat yang sudah melek huruf sebesar 91 persen (data tahun 2006) memang terasa menyejukkan. Namun, apakah itu sudah diimbangi dengan realitas yang ada? Berapa persenkah jumlah penduduk yang melek huruf itu juga berkategori melek wacana? Melek wacana, penulis asosiasikan sebagai strata tertinggi dari seorang insan. Seseorang dapat dikatakan melek wacana tatkala dia telah sampai pada fase tertinggi derajat keilmuan, yaitu mengolah gagasan-gagasan yang didapatnya (baca: hasil membaca) untuk dijadikan landasanlandasan gagasan teraktual (baca: karya) buah dari orisinalitas pemikirannya. Kemudian, dia wajib pula mengimplementasikan serta mengaplikasikan gagasan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam ayat suci Alquran pun telah dipaparkan bagaimana urgensi seorang Muslim yang harus banyak membaca (QS Al-Alaq), serta derajat seorang manusia begitu luhur diakui Allah, bahkan hingga beberapa tingkat (QS Al-Mujaadilah: 11), apabila memiliki keilmuan yang tinggi (intelektual). Hal itu merupakan implikasi dari kemelekwacanaan tersebut. Tak cukup hanya dengan banyak membaca seseorang dikatakan berilmu. Dia pun harus membuktikan wawasan bacaannya dengan menuangkan berbagai gagasan baru, bahkan ‘liar’, dalam bentuk berbagai karya tulis ilmiah. Ya, karena membaca dan menulis adalah sumber segala sumber ilmu pengetahuan. Peradaban suatu bangsa dapat dilihat dari kegemaran masyarakatnya di bidang baca tulis. Salah satu faktor penyebab rendahnya budaya literasi di negara kita, di antaranya tak bisa dilepaskan dari dunia pendidikan. Untuk mewujudkan masyarakat yang gemar membaca, tentu saja dibutuhkan banyak peran dari berbagai kalangan, terutama peran pendidik. Di negara kita, menumbuhkan kebiasaan membaca masyarakat saja masih sulit, apalagi membudayakan kebiasaan literasi. Hal ini terjadi karena budaya baca tulis para pendidik selaku poros utama kejayaan umat (masyarakat) justru masih tertinggal. Kita bisa lihat bagaimana kuantitas guru yang memiliki kebiasaan membaca, dan tentu saja akan terlihat pula semakin sedikit jumlah guru yang memiliki kebiasaan menulis. Imbasnya, kebanyakan siswa selaku subjek didik, kini menjadi orang yang seperti pernah dikatakan penyair Taufiq Ismail “buta membaca dan lumpuh menulis”. Ini terjadi karena posisi guru yang memang kurang memainkan peran selaku ‘pendoktrin’ karakter siswa, yaitu sebagai penanam kebiasaan siswa untuk senantiasa mencintai kegiatan membaca dan menulis. Peran itu harus direvitalisasi agar relevan dengan pencanangan pendidikan berkarakter oleh pemerintah. Dan, mudah-mudahan karakter tersebut menyentuh ranah baca tulis siswa. Guru sebagai agen pembelajaran, semestinya tak hanya bertugas dan bertanggung jawab untuk mentransfer ilmu pengetahuan belaka kepada anak didik (siswa). Guru juga harus mampu mendidik untuk mengembangkan potensi holistik siswa sehingga menjadi anak yang cerdas dan berbudi pekerti luhur. Dalam mengembangkan potensi siswa, guru harus mengerahkan segenap potensi yang ada pada dirinya. Salah satu aktualisasi dari kecerdasan dan budi pekerti luhur siswa adalah berpikir kritis, bersikap ilmiah, dan berjiwa kreatif. Itu selaras dengan hakikat literasi karena ketiganya juga buah dari kemampuan emosional dan rasional seseorang. Kecakapan literasi siswa akan terlihat manakala kemampuan-kemampuan tersebut berkumpul dan melekat. Bagaimana mungkin guru dapat membentuk siswa agar berbudaya literasi jika para pendidik tidak atau belum memiliki budaya literasi itu sendiri? Itulah pertanyaan yang harus dijawab dengan cara mengubah karakter kita selaku pendidik. Paradigma klasik yang menyatakan guru hanyalah pengajar, kini telah usang dan berganti. Guru harus pula menjadi seorang pembelajar yang aktif. Salah satu ciri pembelajar yang baik adalah banyak membaca dan menulis. Wallahu a’lam. Naskah tulisan disertai foto diri kirim ke e-mail: [email protected]