Penyatuan Mekanisme Penganggaran Belanja Pegawai, Mungkinkah? Oleh Nico Aditia, Pegawai Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan Otonomi daerah yang saat ini sedang dijalankan oleh Indonesia bukan tanpa kelemahan. Kebijakan otonomi daerah sudah lama menuai kritikan. Bahkan, berbagai kritikan yang disampaikan berbagai pihak sudah mulai terbukti. Salah satunya mengenai kebijakan belanja pegawai. Sejak dijalankannya otonomi daerah, sejumlah daerah mulai terbebani dengan membengkaknya belanja pegawai. Akibatnya bisa ditebak, beberapa daerah diperkirakan akan bangkrut karena tidak mampu lagi mengalokasikan belanja modal untuk pembangunan. Hal ini tercermin dari hasil penelitian yang dilakukan oleh salah satu LSM yang mencatat bahwa banyak Pemerintah Daerah yang mengalokasikan lebih dari 50 persen anggarannya hanya untuk belanja pegawai. Hal senada juga dapat dilihat dari data Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan. Berdasarkan data Ditjen Perimbangan Keuangan tahun 2011, diketahui bahwa terdapat 124 daerah yang belanja pegawainya menghabiskan lebih dari 60 persen alokasi dalam APBD tahun 2011. Dari 124 daerah tersebut, 16 diantaranya menggunakan 70 persen atau lebih APBD hanya untuk membayar gaji pegawai. Bahkan terdapat daerah yang 83 persen anggarannya tersedot untuk APBD, yakni di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Oleh karena itu, ide untuk menyatukan belanja pegawai daerah ke dalam satu mekanisme penganggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mulai disuarakan oleh beberapa pihak. Melalui penyatuan anggaran belanja pegawai daerah ke APBN diharapkan dapat meningkatkan penggunaan dana transfer. Selain itu, dengan metode ini diharapkan juga dapat menghilangkan kontaminasi politik lokal terhadap pegawai daerah. Pada akhirnya dengan adanya metode ini, para pegawai daerah dapat lebih netral dalam menjalankan tugas melayani masyarakat. Otonomi Daerah dan Dampaknya pada Pembangunan Pada dasarnya, hakikat pemikiran otonomi daerah adalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan tingkat pusat kepada pemerintahan daerah. Pelimpahan kewenangan ini bertujuan untuk mencapai penyelenggaraan manajemen pemerintahan yang efektif dan efisien. Namun faktanya, pelaksanaan otonomi daerah yang sampai dengan saat ini berjalan dinilai banyak pihak belum berhasil dalam mewujudkan pelayanan publik yang baik. Padahal, tujuan utama dari otonomi daerah adalah mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat, khususnya masyarakat daerah. Ini tentu sangat disayangkan, karena pelayanan publik adalah garda terdepan pemerintah daerah dalam berinteraksi secara langsung dengan rakyat, dan memiliki kaitan yang sangat erat dengan pemenuhan kesejahteraan rakyat. Melalui pelayanan publik, pemerintah daerah dapat menyampaikan berbagai produk yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Salah satu penyebab tidak optimalnya pelayanan publik di daerah adalah alokasi anggaran yang tidak tepat sasaran. Anggaran daerah selama ini habis terserap pada alokasi belanja tidak langsung, seperti belanja pegawai, belanja bunga subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Padahal, jenis belanja ini merupakan belanja yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Sementara itu, untuk alokasi belanja modal malah semakin mengecil. Akibatnya, pembangunan di daerah secara otomatis juga tidak dapat berjalan dengan baik. Solusi Menyatukan Anggaran Usulan beberapa pihak untuk menyatukan belanja pegawai ke dalam satu mekanisme penganggaran dalam APBN, bisa jadi merupakan solusi untuk mengoptimalkan pelayanan publik di daerah. Pembayaran gaji aparatur pemerintah daerah tidak dibebankan ke APBD, melainkan dibayar oleh pemerintah pusat. Pembebanan gaji aparatur daerah ke APBD hanya akan menghambat kinerja pemerintah daerah. Apabila gaji PNS dibayar oleh pemerintah pusat, maka Pendapatan Asli Daerah yang selama ini juga digunakan untuk membayar gaji pegawai daerah juga dapat digunakan lebih optimal untuk pelayanan kepada masyarakat. Mekanisme penyatuan anggaran belanja pegawai daerah ke dalam satu mekanisme penganggaran dalam APBN dapat dilakukan dengan cara memotong Dana Alokasi Umum (DAU) yang selama itu ditransfer ke daerah. Jumlah besaran potongannya tentu disesuaikan dengan anggaran belanja pegawai di masing-masing daerah. Besaran potongan tersebut juga disesuaikan dengan alokasi berbagai tunjangan yang melekat pada jabatan maupun tunjangan daerah. Kelebihan penyatuan mekanisme anggaran belanja pegawai, di satu sisi, akan mengerem daerah-daerah yang selama ini memberikan tunjangan daerah secara berlebihan. Di sisi lain, pemerintah pusat juga dapat meminimalisir kesenjangan tunjangan antara satu daerah dengan daerah yang lain. Dengan demikian, tidak akan terjadi kecemburuan diantara daerah yang kaya dengan daerah yang miskin. Sementara itu, penyatuan mekanisme belanja pegawai diprediksi juga tidak akan berdampak pada alokasi belanja pemerintah pusat. Hal ini disebabkan alokasi anggaran ini diambil dari transfer DAU, sehingga tidak akan mengganggu program-program pemeritah pusat. Namun demikian, ide penyatuan ini juga bukan tanpa kekurangan. Dengan disatukannya anggaran belanja pegawai daerah dari APBD ke APBN juga memiliki dampak negatif. Hal ini disebabkan selama ini belanja pegawai pada APBN cenderung mendapat kritikan dari masyarakat. Alokasi dan pertumbuhan belanja pegawai sering menyudutkan pemerintah karena anggaran dianggap lebih pro terhadap birokrat dibandingkan rakyat kecil. Dengan masuknya belanja pegawai daerah ke APBN sudah tentu makin memperbesar porsi belanja pegawai pada APBN, walaupun di sisi lain juga memperbesar jumlah APBN. Hal ini justru hanya semakin menegaskan besarnya porsi anggaran belanja pegawai dibanding jenis belanja lain. Penyatuan ini hanya akan meningkatkan porsi anggaran belanja pegawai tetapi tidak meningkatkan porsi anggaran belanja modal maupun belanja barang. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah bisa menurun. Terlebih, hal ini justru dijadikan alasan bagi pihak-pihak tertentu untuk menurunkan wibawa pemerintah. Selain itu, merealisasikan penyatuan mekanisme penganggaran belanja pegawai tidaklah mudah. Kemungkinan penolakan juga akan datang dari daerah-daerah kaya. Alasannya sudah dapat ditebak, yakni menyalahi konsep otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah termasuk di dalamnya kewenangan mengalokasikan anggaran. Pertanyaannya sekarang ini adalah, perlukah merombak mekanisme penganggaran belanja pegawai negeri? Perlu dikaji lagi lebih mendalam urgensi penyatuan mekanisme penganggaran belanja pegawai ini. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja.