8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Premedikasi Dengan kemajuan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Premedikasi
Dengan kemajuan teknik anestesi saat ini, tujuan utama pemberian
premedikasi tidak hanya untuk mempermudah induksi ataupun mengurangi
jumlah obat-obat yang digunakan namun yang terpenting adalah mengurangi
resiko morbiditas perioperatif sehingga akan mempercepat proses pemulihan
setelah anestesi dan pembedahan. Premedikasi adalah tindakan awal anestesia
dengan memberikan obat-obatan pendahuluan yang terdiri dari obat-obat
golongan antikholinergik, sedasi/trankuilizer, dan analgetik. Premedikasi dapat
menggunakan satu obat atau kombinasi dari beberapa obat. Pemilihan obat untuk
premedikasi tergantung tujuan dari premedikasi itu sendiri (Mangku G dkk.,
2010).
Tujuan pemberian premedikasi antara lain :
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien, yang meliputi bebas dari rasa
takut, cemas, bebas nyeri, dan mencegah mual-muntah. Kunjungan
preanestesi dan pemberian simpati serta sedikit pengertian dalam masalah
yang dihadapi pasien seringkali membantu pasien dalam mengatasi rasa
sakit dan khawatir dalam menghadapi operasi.
2. Memperlancar induksi anestesi; Pemberian obat sedasi dapat menurunkan
aktifitas mental sehingga imajinasi menjadi tumpul dan reaksi terhadap
8
9
rangsangan berkurang. Obat sedasi dan ansiolisis dapat membebaskan rasa
takut dan kecemasan pasien.
3. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan bronkus ; Sekresi dapat terjadi
selama tindakan pembedahan dan anestesi, dapat dirangsang oleh
suctioning
atau
pemasangan
pipa
endotrakthea.
Obat
golongan
antikholinergik seperti atropin dan scopolamin dapat mengurangi sekresi
saluran nafas.
4. Mengurangi kebutuhan/dosis obat anestesi; tujuan premedikasi untuk
mengurangi metabolisme basal sehingga induksi dan pemeliharaan anestesi
menjadi lebih mudah dan diperlukan obat-obatan lebih sedikit sehingga
pasien akan sadar lebih cepat.
5. Mengurangi mual dan muntah paska operasi, tindakan pembedahan dan
pemberian obat opioid dapat merangsang terjadinya mual dan muntah,
sehingga diperlukan pemberian obat yang dapat menekan respon mual,
muntah seperti golongan antihistamine, kortikosteroid, agonis dopamine
atau alpha-2 agonis.
6. Menimbulkan amnesia; obat golongan benzodiazepin banyak digunakan
karena efeknya di sistem saraf pusat pada sistem limbik dan ARAS
sehingga mempunyai efek sedasi, anti cemas dan menimbulkan amnesia
anterograde.
7. Mengurangi isi cairan lambung dan meningkatkan PH asam lambung; puasa
dan kecemasan dapat meningkatkan sekresi asam lambung, hal ini akan
10
sangat berbahaya apabila terjadi aspirasi dari asam lambung yang dapat
menyebabkan terjadinya pneumonitis aspirasi atau sindrom mendelson,
oleh karena itu pemberian obat yang dapat mengurangi isi cairan lambung
serta menurunkan PH lambung dapat dipertimbangan pada pasien.
8.Mengurangi refleks yang tidak diinginkan; trauma pembedahan dapat
menyebabkan bagian tubuh bergerak, bila anestesi tidak adekuat sehingga
pemberian obat analgesia dapat ditambahkan sebelum pembedahan
Obat-obat yang biasa digunakan sebagai obat premedikasi antara lain: Obat
golongan sedasi, anti kholinergik, analgetik narkotik (Mangku G dkk., 2010).
2.2 Clonidine
Clonidine adalah derivate imidazolin, merupakan suatu alpha-2 adrenergik
agonis. Clonidine dibuat pada awal tahun 1970 digunakan sebagai nasal
decongestant dan obat antihipertensi. Clonidine adalah parsial selektif alpha-2
adrenergik agonis (dengan perbandingan selektifitas alpha-2 terhadap alpha 1
adalah 200 : 1), selektifitasnya dipengaruhi oleh dosis dan kecepatan pemberian.
Clonidine bekerja sebagai obat anti hipertensi dengan menurunkan respon
simpatis dari sistem saraf pusat (SSP). Efek lain dari obat golongan alpha-2
adrenergik agonis clonidine antara lain : efek sedasi, analgesia, anti cemas,
menurunkan kebutuhan obat anestesi, mempertahankan kestabilan hemodinamik
perioperatif dan kestabilan simpatoadrenal (Kimibayasi dan Maze, 2000).
Modulasi reseptor alpha-2 di medulla spinalis akan menghasilkan efek analgesia.
Pemberian dosis besar dengan pemberian cepat akan menyebabkan rangsangan
pada reseptor α1 dan α2. Clonidine mengatur antinosiseptif perifer, supraspinal,
11
dan terutama mekanisme medula spinalis yang mencakup aktivasi reseptor α2
postsinaptik dari jaras desending noradrenergik, neuron kholinergik serta
pelepasan nitrit oksida.
Struktur kimia
Gambar 2.1 Struktur kimia clonidine hydrochloride (Bionice, 2010)
Nama kimia 2-(2,6-dichlorophenylamino)-2-imidazoline hydrochloride
2.2.1 Farmakokinetik Clonidine
Clonidine akan diabsorpsi secara cepat setelah pemberian per oral dan
mencapai
kadar puncak plasma
dalam
waktu 60 sampai
90 menit,
bioavailabitasnya mencapai 70-80%. Waktu paruh eliminasinya antara 9 sampai
12 jam, dimana 50% nya akan dimetabolisme di hepar, dan akan diekskresikan
dalam bentuk utuh melalui urine. Efek hipotensi setelah pemberian dosis tunggal
dapat mencapai 8 jam, dan pemberian melalui jalur transdermal membutuhkan
waktu 48 jam untuk mencapai kadar konsentrasi plasma (Stoelting, 2006).
Pemberian
clonidine
intravena
direkomendasikan
diencerkan
dan
diberikan dalam 10–15 menit melalui intravena. Peningkatan kadar di plasma
tercapai dalam waktu 11±9 menit, eleminasi secara lambat terjadi dalam 9±2 jam
sampai 24 jam. Clearence total dari clonidine adalah 219±92 mL/menit (Bioniche
Pharma, 2013).
12
1. Distribusi
Clonidine merupakan obat dengan kelarutan lemak yang tinggi dan
didistribusikan ke ekstravaskuler termasuk saraf pusat. Clonidine didistribusikan
2,1±0,4 L/kg. Clonidine secara in vitro berikatan dengan albumin bervariasi antara
20 dan 40 %. Pemberian secara epidural dapat mencapai sistemik melalui vena
epidural (Bioniche Pharma, 2013).
2. Metabolisme
Clonidine dimetabolisme dengan metabolit utama phydroxyclonidin
dengan komposisi kurang dari 10 % dari jumlah obat yang tidak diubah yang
terdapat di urine (Bioniche Pharma, 2013). Eksperimental pemberian clonidine
pada model binatang tidak menunjukkan neurotoxisitas dan tidak terjadi
perubahan histopatologi (Longnecker,2008).
3. Ekskresi
Setelah pemberian intravena clonidine 72 % diekskresikan melalui urine
dalam 96 jam dengan 40-50 % merupakan clonidine yang belum dimetabolisme.
Renal clearence dari clonidine 133 ± 66 mL/menit (Bioniche Pharma, 2013).
2.2.2 Mekanisme kerja clonidine
Reseptor adrenergik α2 merupakan reseptor tempat clonidine bekerja.
Terdapat 3 subtipe reseptor α2 adrenergik pada manusia; α2A, α2B dan α2C, masing
masing tersebar dimana-mana dengan fungsi yang berbeda-beda (Kimibayasi dan
Maze, 2000). Reseptor α2A tersebar utamanya pada perifer, memediasi sedasi,
analgesia dan simpatolisis. Sedangkan reseptor α2B memediasi vasokonstriksi dan
anti menggigil dan α2C pada otak dan sumsum tulang belakang (Stoelting, 2006).
13
Reseptor α2 postsinaps pada pembuluh darah perifer menyebabkan vasokonstriksi,
sedangkan di presinaps menghambat pelepasan norepinefrin yang merupakan
agen yang menyebabkan vasokonstriksi. Rangsangan reseptor α2 pada sistem saraf
pusat akan menyebabkan simpatolitik, sedasi, dan antinosisepsi (Miller, 2009).
Locus ceruleus pontine merupakan tempat yang paling banyak terdapat
reseptor alpha-2, merupakan sumber penting persarafan simpatis pada forebrain,
dan pusat kewaspadaan yang vital. Efek sedasi diakibatkan karena penghambatan
pada nucleus ceruleus (Nelson dkk., 2003). Clonidine merupakan jenis alfa 2
agonis tetapi masih memiliki efek perangsangan pada reseptor alfa 1 adrenergik
dengan perbandingan 200:1. Clonidine dapat dipergunakan meningkatkan durasi
blok saraf pada penggunaan lokal anestesi. Clonidine mampu memberikan efek
analgesia baik secara perifer, spinal, dan supraspinal (batang otak). Clonidine
bersifat lipofilik. Pemberian clonidine intravena mampu menembus saraf otak
sehingga bisa memberikan efek analgesia melalui lokal neuroaksial dan
supraspinal. Mekanisme analgesia clonidine pada tingkat spinal antara lain
melalui hambatan eksitasi saraf aferen primer pada terminal sentral, hambatan
pelepasan substansi P dan hiperpolarisasi dan penurunan aktivitas spontan saraf
kornu dorsalis (Stoelting, 2006; Chetty, 2011). Analgesia tingkat supraspinal
melalui hambatan pada saraf afferen substantia gelatinosa dan beberapa nukleus di
batang otak. Analgesia tingkat perifer dengan cara melemahkan perangsangan
saraf nyeri A delta dan serabut C serta memblok konduksi melalui peningkatan
konduktan kalium (Longnecker, 2008; Eisenach dkk., 1996).
14
Clonidine memiliki efek pada hemodinamik. Clonidine pada tingkat
supraspinal mempengaruhi nukleus di batang otak mengaktifkan adrenoreseptor
postsinaps alfa 2 dan mengaktivasi ikatan imidazole nonadrenergic pada nukleus
retikular lateral mengakibatkan pengurangan tonus simpatis. Clonidine pada
tingkat perifer bekerja pada adrenoreseptor alfa 2 presinaps mengurangi pelepasan
norepinefrin pada terminal saraf simpatis sehingga menyebabkan dilatasi
pembuluh darah dan mengurangi efek kronotropik pada jantung. Efek supraspinal
dan perifer ini melawan efek vasokonstriksi perifer akibat perangsangan langsung
pada reseptor alfa 2 dan 1 dari clonidine (Eisenach dkk., 1996).
Kualitas sedasi yang dihasilkan oleh alpha-2 adrenoseptor agonis berbeda
dengan sedasi yang ditimbulkan oleh obat golongan penghambat GABA (seperti
midazolam dan propofol) (Shelly, 2001). Obat alpha-2 adrenoseptor agonis, akan
menurunkan aktivitas saraf simpatis dan derajat kesadaran, sehingga pasien lebih
mudah dibangunkan dan lebih kooperatif. Sementara obat yang bekerja pada
penghambat reseptor GABA akan membuat kesadaran berkabut dan paradoxical
agitation (Stoelting, 2006).
Sebagai anti menggigil clonidine bekerja pada tiga level target yaitu di
hipothalamus dengan menurunkan ambang termoregulator untuk vasokonstriksi
dan menggigil, menurunkan perangsangan langsung di locus ceruleus yang
merupakan pusat menggigil di pons dan menghambat impuls dingin di tingkat
modulasi di kornu dorsalis medulla spinalis.
15
2.2.3 Interaksi Clonidine Dengan Obat Anestesi
Mekanisme clonidine untuk menurunkan dosis propofol masih belum
diketahui dengan pasti, diperkirakan clonidine mempunyai kemampuan untuk
memodifikasi kanal kalium (potassium channels) di sistem saraf pusat sehingga
menyebabkan membran sel mengalami hiperpolarisasi sehingga menurunkan
aktivitas neuron (Stoelting, 2006). Clonidine mempunyai dose spharing effect on
propofol dimediasi oleh efek analgesia dan sedasi, namun dose spharing effect ini
tidak tergantung dengan efek hemodinamiknya. (Rosant S dkk., 2006). Clonidine
akan menurunkan volume distribusi dari propofol. Clondine juga akan
menurunkan hepatic clearance karena menurunnya aliran darah ke hepar (hepatic
blood flow) akibat menurunnya cardiac out put. (Morris J dkk., 2005).
Pada penelitian Marchal J dkk., 2001; Jabalameli M, 2005; memberikan
premedikasi clonidine 5 mcg/KgBB per oral 90 menit sebelum operasi pada
pasien yang dilakukan operasi Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS)
didapatkan penggunaan halotan lebih kecil (1,32±0,24 berbanding 1,35±0,21),
kebutuhan analgesia fentanyl lebih kecil (112±18 berbanding 142±21) dan jumlah
perdarahan yang lebih sedikit (1,71±0,4 berbanding 2,26±0,6). Masrat J dkk.,
(2013) pada penelitiannya memberikan premedikasi clonidine 5 mcg/KgBB per
oral 90 menit sebelum operasi, pada operasi Fungsional Endoscpoy Sinus Surgery
(FESS), akan menurunkan jumlah perdarahan sampai 30%-33% (140,7±65,4
dibandingkan 199,2±104,4) namun didapatkan penurunan MAP (mmHg) yang
bermakna (89,4±3,6 menjadi 76,7±3,9). Penelitian Goyagi T dkk., (1999)
premedikasi clonidine 5 mcg/KgBB per oral 90 menit sebelum induksi akan
16
menurunkan dosis induksi propofol (mg/KgBB) (1,4±0,3 dibandingkan 1,9±0,4)
namun akan memperpanjang waktu pulih sadar pasien. Gayogi, (2000),
mengatakan premedikasi clonidine 4,5 mcg/KgBB per oral akan mempercepat
waktu induksi dan menurunkan MAC (minimum alveolar concentration)
sevoflurane 33%-45%, demikian juga halnya dengan dosis induksi propofol. Pada
penelitian Fehr S dkk., (2001) mendapatkan kesimpulan bahwa premedikasi
clonidine 4 mcg/KgBB intravena akan menurunkan kebutuhan propofol sampai
20% selama tindakan operasi. Pada penelitian Altan dan Turgut, (2005),
didapatkan bahwa pemberian premedikasi clonidine 3 mcg/KgBB intravena
dilanjutkan dengan pemeliharaan 2 mcg/KgBB/jam akan menyebabkan efek
hipotensi dan bradikardia yang significan, hal yang sama juga didapatkan pada
penelitian Kulka dan Tryba, 1993. Morris J dkk., 2005, mendapatkan premedikasi
clonidine 3 mcg/KgBB per oral 60 menit sebelum operasi akan menurunkan
kebutuhan dosis propofol (predicted plasma consentration 3,59 (3,29-3,89)
berbanding 3,32 (3,93-3,51), namun didapatkan kejadian hipotensi sampai 22%
dan bradikardia 21%. Pada penelitian Agrawal M, (2014). yang mendapatkan
kesimpulan bahwa premedikasi clonidine 1,5 mcg/KgBB intravena akan
memberikan efek sedasi yang adekuat, menurunkan dosis induksi propofol sampai
26,7% (dose spharing effecton propofol), menjaga kestabilan hemodinamik saat
induksi dan laringoskopi intubasi, menurunkan kejadian PONV serta menggigil
paska operasi.
17
2.2.4 Farmakodinamik Clonidine
Clonidine adalah suatu alpha-2 adrenergik agonis, yang mempunyai
kapasitas untuk menurunkan tekanan darah, akibat dari aktivasi reseptor alpha-2
adrenergik pada pusat kontrol kardiovaskuler pada system saraf pusat (brainstem
bawah) mungkin pada nucleus traktus solitarius. Lokasi reseptor alpha-2
adrenernik terletak pada presipnatik dan menghambat pengeluaran norepinefrin.
Jadi penurunan keluarnya norepinefrin merangsang reseptor adrenergik dan
respon terhadap jaringan.
2.2.4.1 Sistem Kardiovaskuler
Clonidine menurunkan frekuensi jantung, resistensi pembuluh darah
sistemik, aktivitas renin plasma, kadar epinefrin dan norepinefrin secara tidak
langsung menurunkan kontraktilitas jantung, kardiak out put, dan tekanan darah
sistemik (Miller, 2009; Longnecker, 2008). Efek penurunan tekanan sistolik lebih
besar dibandingkan tekanan diastolik. Refleks homeostasis kardiovaskuler masih
tetap dipertahankan, sehingga tidak akan terjadi orthostatic hipotensi maupun
hipotensi saat beraktivitas (Stoelting, 2006). Aliran darah ke ginjal akan tetap
dipertahankan selama terapi clonidine. Pemberian clonidine intravena secara cepat
dan dosis besar dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah dan laju denyut
jantung akibat perangsangan reseptor α1. Efek bradikardi pada pemberian
clonidine dapat diterapi dengan pemberian atropin (Bioniche Pharma, 2013).
2.2.4.2 Sistem Respirasi
Clonidine mempunyai efek depresi yang minimal pada sistem respirasi,
tidak mempunyai efek potensiasi terhadap depresi respirasi oleh opioid (Bailey
18
dkk., 1991). Namun pada pemberian secara intravena bersama dengan fentanyl
akan menyebabkan akumulasi dari fentanyl, sehingga akan meningkatkan resiko
depresi ventilasi (Bernard dkk., 1994). Clonidin tidak bermakna meningkatkan
efek depresi ventilasi oleh morphin (Bailey dkk, 1991).
2.2.5 Preparat Clonidine
Clonidine tersedia dalam bentuk ampul, tablet dan patch. Sediaan ampul
(catapres) mengandung 150 mcg clonidine hydrochloride dalam larutan 1 mL.
Sediaan ini juga mengandung NaCl, hydrochloric acid dan air untuk injeksi
(Boehringer Ingelheim, 2013). Dan sediaan clonidine hydrochloride (catapres,
clonidine) tersedia dalam kemasan tablet 150 mcg (0,15 mg) dan 300 mcg (0,3
mg).
2.3 Propofol
Propofol pertama kali ditemukan tahun 1970 dan diperkenalkan di pasaran
sejak tahun 1977 sebagai obat induksi anestesi (Kay dan Rolly 1977), semakin
populer dan semakin luas penggunaannya di seluruh dunia mulai tahun 1986.
Sebagai turunan dari phenol dengan komponen hipnotik kuat yang dihasilkan dari
pengembangan 2,6-diisopropofol. Propofol tidak larut dalam air dan pada awalnya
disediakan dengan Ctemophor EL (polyethoxylated Castrol oil), namun karena
banyaknya reaksi anafilaktoid yang ditimbulkan, sediaannya diubah menjadi
bentuk emulsi (Hasani A. dkk., 2012). Ahli anestesi lebih suka menggunakan
propofol karena sifat mula kerja obat yang cepat hampir sama dengan obat
golongan barbiturat tetapi masa pemulihan yang lebih cepat dan pasien bisa lebih
cepat dipindahkan dari ruang pemulihan ke ruang rawat. Secara subjektif pasien
19
merasa lebih baik dan lebih segar paska anestesi dengan propofol dibandingkan
obat anestesi induksi lainnya. Kejadian mual muntah paska operasi sangat jarang
karena propofol memiliki efek anti muntah. Efek yang menguntungkan lainnya
adalah efek antipruritus, antikonvulsan dan mengurangi konstriksi bronkus.
Propofol dalam dosis 1,5 – 2,5 mg/KgBB diberikan intravena akan menyebabkan
kehilangan kesadaran dalam waktu 30 detik. Proses pemulihannya juga cepat
dibandingkan dengan obat anestesi yang lain. Pasien cepat kembali sadar setelah
pembiusan dengan propofol dan efek residual yang minimal merupakan
keuntungan propofol. Karena keunggulan sifat inilah Propofol dipergunakan
sebagai obat induksi dan pemeliharaan anestesi, sehingga penggunaannya begitu
luas di seluruh dunia.
2.3.1 Struktur Bangun dan Karakteristik Propofol
Propofol (2,6-diisopropylfenol) terdiri dari sebuah cincin fenol dengan dua
kelompok isopropil yang berikatan (Gambar 2.2). Propofol tidak larut dalam air,
tetapi tersedia sediaan larutan 1 % (10 mg/mL) untuk pemberian intravena,
sebagai emulsi minyak dalam air yang mengandung minyak kedelai, gliserol, dan
lesitin telur. Riwayat alergi telur bukan merupakan kontraindikasi pemakaian
propofol karena sebagian besar alergi telur melibatkan reaksi terhadap putih telur
(albumin telur), sedangkan lesitin telur diekstraksi dari kuning telur. Formulasi ini
dapat menyebabkan nyeri selama suntikan (jarang terjadi terjadi pada pasien yang
lebih tua) yang dapat dikurangi dengan suntikan awal lidokain atau pencampuran
lidokain dengan propofol sebelum suntikan (2 mL lidokain 1% dalam 18 mL
propofol) (Morgan dkk., 2006).
20
Formulasi propofol ini dapat mendukung pertumbuhan bakteri, sehingga
teknik sterilitas yang baik harus dilakukan selama persiapan dan penyimpanan.
Pemberian propofol harus sudah dilakukan dalam 6 jam setelah membuka ampul.
Formulasi propofol yang ada saat ini berisi 0,005% disodium edetate atau 0,025%
sodium metabisulfite untuk membantu memperlambat tingkat pertumbuhan dari
bakteri, meskipun demikian, produk tahan bakteri ini masih belum berdasarkan
standar United States Pharmacopeia (USP) (Morgan dkk., 20a06).
Gambar 2.2 Struktur kimia propofol
(Dikutip dari Morgan dkk., 2006)
Biokimia
Propofol (C12H18O), merupakan golongan fenol yang memiliki sifat stabil
secara kimia dan memiliki efek biotoksisitas yang lebih rendah dibandingkan
dengan golongan fenol yang lain. Namun, seperti sebagian besar golongan fenol,
propofol dapat mengiritasi kulit dan membrane mukosa. Propofol tidak larut
dalam air, yang merupakan alasan sediaan komersial yang tersedia berupa emulsi
lipid isotonik bukan buffer dengan rentang pH 6,0-9,0 (Tan, 1998).
21
Sediaan
Propofol pada konsentrasi 10-20 mg/ml secara tradisional telah
diformulasikan dalam emulsi lemak yang mengandung 10% LCT minyak kedelai,
tetapi sejak 1995, propofol juga tersedia secara komersial dalam formula
MCT/LCT yang 26-40% lebih rendah kandungannya dibandingkan formula LCT,
menyebabkan penurunan 0,2-0,14% dari total konsentrasi (Babl 1995, Yamakage
2005). Memodifikasi komposisi lemak emulsi tidak memiliki efek pada
pharmakokinetik dan efikasi propofol (doenicke 1997). Meskipun konsentrasi
tigliserida plasma menurun selama sedasi tidak berbeda antara emulsi propofol
LCT dan MCT/LCT, terdapat kecenderungan elimiasi tigliserida yang lebih cepat
pada pemberian formula MCT/LCT dibandingakan LCT (Theilen 2002).
Cara Menyiapkan
Propofol harus disiapkan secara asepsis untuk penggunaan segera, untuk
mencegah proliferasi mikrobakteri yang cepat setelah kontaminasi bakteri
(McHugh 1995). Aktivitas antimikroba dari anestesi lokal yang ditambahkan pada
emulsi propofol sebelum pemberian untuk menurunkan nyeri pada tempat injeksi
hanya akan membatasi namun tidak mencegah pertumbuhan mikroba pada
membrane sel (Ohsuka 1991, Ozer 2002).
2.3.2 Farmakokinetik Propofol
Absorpsi
Sediaan propofol di pasaran sebagai induksi anestesi hanya untuk
penggunaan intravena saja dan memberikan efek sedasi sedang sampai berat.
Konsentrasi propofol dalam darah meningkat dengan cepat setelah pemberian
22
bolus intravena sedangkan peningkatan konsentrasi cerebral lebih lambat. Waktu
untuk mencapai efek penurunan kesadaran/tidak sadar ditentukan oleh dosis total
yang diberikan.
Distribusi
Tingginya tingkat kelarutan propofol dalam lemak menyebabkan onset
kerja cepat. Waktu yang diperlukan dari saat pertama kali diberikan bolus sampai
pasien terbangun (waktu paruh) sangat singkat yaitu 2-8 menit. Waktu paruh
eliminasi sekitar 30-60 menit (Katzung, 2004). Hal ini menyebabkan propofol
menjadi pilihan untuk anestesi rawat jalan (one day care). Farmakokinetik
propofol digambarkan sebagai model 3 kompartemen, dimana pada pemberian
bolus propofol, kadar propofol dalam darah akan menurun dengan cepat akibat
adanya redistribusi dan eliminasi. Waktu paruh distribusi awal dari propofol
adalah 2-8 menit. Pada model tiga kompartemen waktu paruh distribusi awal
adalah 1-8 menit, yang lambat 30-70 menit dan waktu paruh eliminasi 4-23,5 jam.
Waktu paruh yang panjang diakibatkan oleh karena adanya kompartemen dengan
perfusi terbatas. Context sensitive half time untuk infus propofol sampai 8 jam
adalah 40 menit. Propofol mengalami distribusi yang cepat dan luas juga
dimetabolisme dengan cepat.
Dengan berkembangnya TCI maka konsep context sensitivity half time
diperkenalkan kembali. Context sensitivity half time adalah waktu yang diperlukan
sampai konsentrasi obat menjadi setengah dari saat infus dihentikan. Tidak seperti
konsep farmakokinetik klasik yaitu bersihan obat tidak tergantung dari cara
pemberian obat, konsep context sensitivity half time memperkenalkan pengaruh
23
lamanya infus diberikan. Semakin banyak obat yang terakumulasi akan
menyebabkan semakin lama obat dieleminasi. Semakin lama durasi infus maka
semakin lama pula context sensitivity half timenya. Context sensitivity half time
sangat berguna dalam pemilihan obat serta memperkirakan pemulihan dari
anestesi. Karena context sensitivity half time propofol tidak lebih dari 40 menit,
terutama saat dipergunakan sebagai sedasi dan anesthesia dimana penurunan
konsentrasi di plasma untuk pemulihan umumnya kurang dari 50% maka propofol
cocok digunakan untuk infus jangka panjang tanpa mengganggu proses pemulihan
(TCI manual, 2009).
Gambar 2.3 Hubungan waktu dan konsentrasi propofol dalam darah.
Simulasi hubungan antara waktu dan level propofol dalam darah setelah
induksi dosis 2mg/KgBB. Level propofol dalam darah yang diperlukan
untuk anestesia pembedahan adalah 2-5mcg/mL, dengan bangun dari
anestesi biasanya pada level kurang dari 1.5mcg/mL
Waktu yang diperlukan untuk bangun dari anestesi atau sedasi dari
propofol hanya 50%, sehingga waktu pulih sadar dari propofol tetap cepat
meskipun pada infus kontinyu yang lama.
24
Konsentrasi plasma untuk propofol yang dapat menyebabkan supresi dari
elektroencephalogram (EEG) yang berkaitan dengan hilangnya kesadaran adalah
sekitar 0,3 menit dengan efek puncak dicapai 90-100 detik.Farmakokinetik
propofol menurun oleh karena beberapa faktor antara lain jenis kelamin, berat
badan, penyakit sebelumnya, umur dan medikasi lain yang diberikan.
Biotransformasi
Tingginya tingkat bersihan (clearence) propofol di hepar (hampir 10 kali
lipat dibanding tiopental) menyebabkan cepatnya waktu pemulihan setelah
pemberian infus kontinyu.
Ekskresi
Walaupun metabolisme propofol utamanya diekskresikan melalui ginjal,
tetapi penurunan fungsi ginjal tidak mempengaruhi bersihan propofol.
2.3.3 Farmakodinamik Propofol
Propofol merupakan obat anestesi intravena yang paling sering digunakan
saat ini, baik untuk induksi dan pemeliharaan anestesi maupun untuk sedasi di
dalam dan di luar ruang operasi. Propofol digunakan secara luas dalam bidang
kedokteran karena efeknya yang menguntungkan bagi pasien-pasien yang
menjalani pemulihan anestesia dan insiden mual dan muntahnya yang kecil
(Smith dkk., 1994). Propofol memberikan mula kerja dan akhir kerja yang cepat
serta memiliki efek antiemetik (Reves dkk., 2005). Daya larut lipidnya yang tinggi
menyebabkan mula kerja yang hampir secepat thiopental (one arm to brain
circulation time). Membangunkan pasien setelah dosis bolus tunggal propofol
25
juga cepat karena waktu paruh distribusi awal yang sangat singkat (2-8 menit).
Hal ini membuatnya sebagai suatu obat yang baik untuk pasien anestesi rawat
jalan (Morgan dkk., 2006). Dosis induksi yang lebih kecil direkomendasikan pada
pasien-pasien lanjut usia oleh karena volume distribusi (V d) mereka yang lebih
kecil. Wanita bisa memerlukan dosis propofol yang lebih besar daripada laki-laki
dan pemulihan kesadarannya lebih cepat (Morgan dkk., 2006). Pada tahun 1981,
Major dkk. meneliti 3 dosis induksi anestesia propofol (1,5 , 2,0 dan 2,5
mg/KgBB) pada wanita sehat yang menjalani tindakan ginekologi singkat.
Mereka menemukan bahwa 3 pasien dengan dosis 1,5 mg/KgBB dan satu pasien
dengan dosis 2 mg/KgBB tidak mengalami kehilangan kesadaran, namun semua
pasien mengalami kehilangan kesadaran dengan dosis 2,5 mg/KgBB. Durasi ratarata untuk mulainya kehilangan kesadaran adalah 47,4 detik pada kelompok 1,5
mg/KgBB, 39,9 detik pada kelompok 2 mg/KgBB dan 38,2 detik pada kelompok
2,5 mg/KgBB. Insiden apneu yang tampak nyata secara klinis adalah 4, 7 dan 12
pasien pada masing-masing kelompok 1,5, 2, 2,5 mg/KgBB. Perubahan
kardiovaskular yang tergantung dosis meliputi penurunan tekanan arterial dan
peningkatan denyut jantung.
2.3.3.1 Sistem Kardiovaskular
Efek mayor propofol terhadap sistem kardiovaskular adalah penurunan
tekanan darah arteri akibat penurunan drastis tahanan pembuluh darah sistemik
(inhibisi aktivitas vasokonstriktor simpatik), kontraktilitas jantung, dan preload.
Propofol dapat diberikan pada pasien dengan penyakit jantung koroner dengan
26
monitoring dan supervisi ketat. Dosis induksi normal akan menurunkan tekanan
darah sistolik (Coates 1985) dengan efek bervariasi pada laju denyut jantung dan
juga dapat menurunkan curah jantung (Coates 1987). Propofol juga pernah
dilaporkan mempengaruhi reflek baroreseptor yang dapat menyebabkan
penurunan laju denyut jantung selain menurunkan tekanan darah sistolik (Cullen
1987) dan memiliki efek minimal pada fungsi hepar (Robinson 1985, Stark 1985).
Faktor-faktor yang memperburuk hipotensi antara lain dosis pemberian yang
besar, suntikan cepat, dan umur tua. Propofol dengan jelas mengganggu respon
normal baroreflek arterial terhadap hipotensi, khususnya pada keadaan
normokarbia atau hipokarbia (Morgan dkk., 2006). Induksi anestesia dengan
propofol telah menunjukkan efek terhadap hemodinamik yang poten, yang
didominasi oleh hipotensi (Singh, 2005). Induksi anestesia dengan propofol sering
disertai dengan penurunan tekanan darah arterial dan denyut jantung yang
signifikan (Monk dkk., 1987; Claeys dkk., 1988; Hug dkk., 1993). Diperkirakan
terdapat beberapa mekanisme yang mendasarinya, yakni depresi miokard dan
penurunan after load atau preload (Lepage dkk., 1991; Muzi dkk., 1992). Rapid
Sequent Induction (RSI) dengan propofol menyebabkan penurunan tekanan darah
yang signifikan dan beberapa penulis menyarankan pemberian loading cairan
Ringer Laktat praoperatif untuk melawan hipotensi yang disebabkan oleh propofol
tanpa menyebabkan peningkatan tekanan darah sama sekali (El-Beheiry dkk.,
1995).
Waktu paling kritis terjadinya bradikardia dan hipotensi saat anestesia
adalah segera setelah induksi dan sebelum intubasi trakeal, saat tercapainya efek
27
puncak obat-obat induksi anestesia dengan stimulasi yang minimal (Masjedi dkk,
2014). Penurunan drastis preload, yang dapat menyebabkan bradikardia yang
diperantarai oleh refleks vagal, jarang terjadi. Perubahan pada denyut jantung dan
curah jantung biasanya bersifat sementara dan tidak signifikan pada pasien yang
sehat, tetapi dapat berubah menjadi sangat berat sampai terjadi asistole, terutama
pada pasien-pasien dengan usia ekstrim, dalam terapi kronotropik negatif, atau
sedang dalam tindakan operasi yang berhubungan dengan reflek okulokardiak
(Morgan dkk., 2006). Pasien dengan gangguan fungsi ventrikel dapat mengalami
penurunan curah jantung yang drastis sebagai akibat penurunan tekanan pengisian
ventrikel dan kontraktilitas. Meskipun konsumsi oksigen miokard dan aliran darah
koroner menurun, produksi laktat sinus koroner akan meningkat pada beberapa
pasien. Hal ini mengindikasikan adanya suatu missmatch antara permintaan dan
penyediaan oksigen miokard (Morgan dkk., 2006).
Menurut Aun dan Major (1984), pada kondisi tanpa disertai penyakit
kardiovaskular, dosis induksi 2-2,5 mg/KgBB menyebabkan penurunan tekanan
darah sistolik sebesar 25 sampai 40%. Begitu juga tampak pada tekanan arterial
rerata dan tekanan darah diastolik. Reich dkk. (2005) mendapatkan 9% pasien
mengalami hipotensi berat 0 sampai 10 menit setelah induksi anestesi umum.
Penurunan tekanan arterial berkaitan dengan penurunan curah jantung/indeks
jantung (15%), indeks volume sekuncup (20%), dan tahanan pembuluh darah
sistemik (15-25%) (Prys-Roberts dkk., 1983; Coates dkk., 1987). Indeks kerja
sekuncup ventrikel kiri juga mengalami penurunan (30%) (Claeys dkk., 1988).
Penurunan tekanan darah sistemik setelah dosis induksi propofol tampaknya
28
disebabkan oleh vasodilatasi dan depresi miokard. Kedua efek tersebut tergantung
pada dosis dan konsentrasi plasma (Pagel dan Warltier, 1993). Efek vasodilatasi
propofol disebabkan oleh penurunan aktivitas simpatis (Ebert dkk., 1992) dan
efek langsung mobilisasi kalsium intraselular otot polos (Xuan dkk., 1996).
Techanivate A (2012) pada penelitianya mendapatkan kejadian hipotensi
lebih sedikit pada pasien yang diberikan dexmedetomidine 1 mcg/KgBB dengan
fentanyl 0,5 mcg/KgBB dan 1 mg/KgBB propofol dibandingkan pada pasien yang
diberikan fentanyl 0,5 mcg/KgBB dan propofol 2 mg/KgBB.
Penelitian Agrawal
M (2014)
mendapatkan
tidak ada perubahan
hemodinamik yang bermakna pada pemberian premedikasi clonidine 1,5
mcg/KgBB intravena pada saat induksi propofol intravena.
2.3.3.2 Sistem Respirasi
Seperti barbiturat, propofol merupakan suatu depressant pernapasan yang
dalam, yang biasanya menyebabkan apneu setelah dosis induksi. Sebagian besar
studi menunjukkan propofol menyebabkan depresi respirasi yang menurunkan
laju respirasi begitu juga volume tidal (Goodman 1987). Bahkan ketika
digunakan untuk pemberian sedasi dengan dosis subanestesi, propofol
menghambat hypoxic ventilatory drive dan menekan respon normal terhadap
hiperkarbia. Depresi reflek jalan nafas atas yang diinduksi oleh propofol lebih
baik daripada thiopental dan terbukti sangat menolong selama intubasi atau insersi
LMA tanpa pemakaian pelumpuh otot. Meskipun propofol dapat menyebabkan
pelepasan histamin, induksi dengan propofol dapat menyebabkan timbulnya
wheezing pada penderita asma maupun bukan asma, dengan angka kejadian yang
29
lebih rendah dibandingkan dengan barbiturat atau etomidat, dan hal ini tidak
dikontraindikasikan pada pasien-pasien yang menderita asma (Morgan dkk.,
2006).
2.3.3.3 Sistem Saraf Pusat
Seperti barbiturate, propofol terikat dengan reseptor GABA tapi juga
memiliki mekanisme kerja melibatkan berbagai reseptor protein. Efek cerebralnya
adalah hipnotik dan mungkin juga analgetik (Canavero 2004, Zacny 1996). Pada
pasien dengan patologi intrakranial, propofol seperti kebanyakan agen induksi
anestesi, menurunkan CBF, Meningkatkan CVR dan menurunkan CMRO 2
(Vandesteene 1988, Stephan 1987). Propofol mengurangi aliran darah serebral
dan tekanan intrakranial. Pada pasien-pasien dengan tekanan intrakranial yang
meningkat, propofol dapat menyebabkan penurunan kritis tekanan perfusi serebral
(<50 mmHg), kecuali jika dilakukan tindakan untuk menopang tekanan arterial
rerata. Yang unik dari propofol adalah efek anti gatalnya. Efek antiemetiknya
(memerlukan konsentrasi propofol 200 ng/mL dalam darah) membuat propofol
sebagai obat yang lebih disukai untuk pasien anestesi rawat jalan. Induksi kadangkadang disertai oleh gejala eksitasi seperti kejang otot, gerakan spontan,
opistotonus, atau cegukan, mungkin akibat terjadinya antagonis glisin subkortikal.
Meski reaksi-reaksi ini kadang-kadang bisa menyerupai kejang tonik–klonik,
propofol tampaknya secara predominan memiliki efek anti kejang (dengan kata
lain, menekan lonjakan), yang berhasil digunakan untuk mengakhiri status
epileptikus, dan dapat dengan aman diberikan pada pasien epilepsi. Propofol
30
menurunkan tekanan intraokular. Toleransi tidak terjadi setelah pemberian
propofol jangka panjang (Morgan dkk., 2006).
2.4 Target Controlled Infusion (TCI)
TCI adalah infus yang dikontrol dengan tujuan untuk mencapai
konsentrasi tertentu obat pada kompartemen tubuh. Dengan menggunakan teknik
ini ahli anestesi dapat mengatur dan mengganti konsentrasi yang diinginkan sesuai
dengan observasi klinis pada pasien. Pada dasarnya TCI adalah menetapkan
konsentrasi tertentu obat yang harus dicapai dan dipertahankan baik di plasma
(Cp) maupun effect site (Ce). Konsentrasi target diset sejak awal oleh ahli anestesi
untuk mendapat luaran klinis yang diperlukan. Perubahan konsentrasi target yang
diset oleh ahli anestesi akan terlihat pada effect site kompartemen setelah waktu
tertentu karena terdapat jarak waktu perpindahan obat dari darah ke tempat yang
dituju atau obat berefek (Ce), (Naidoo D, 2011). Untuk system TCI dengan
propofol pada orang dewasa model farmakokinetik yang banyak digunakan adalah
MARSH dan SCHNIDER, sedangkan pada pasien anak-anak model Paedfusor
dan Kataria. Selain propofol obat lain yang dapat dioperasikan menggunakan
sistim TCI adalah sufentanil (model Bovil dan Gepts), alfentanil (model Maitre),
remifentanil (model Minto).
2.4.1 Model Marsh
Ini adalah model yang pertama kali dikembangkan, merupakan
pengembangan dari model farmakokinetik propofol oleh Gepts dengan
memperkirakan volume kompartemen sentral sebagai sebuah fungsi linear secara
langsung terhadap berat badan. Usia tidak dimasukkan dalam kalkulasi, namun
31
pompa tidak dapat digunakan untuk umur dibawah 16 tahun. Hal ini menjadi
sumber bias dan ketidakakuratan sistim Marsh.
2.4.2 Model Schnider
Model Schnider disebut sebagai generasi baru dari TCI. Metode ini
menggunakan model 3 kompartemen dengan memasukkan umur, tinggi badan,
dan berat badan ke dalam perhitungan. Lean body mass pasien dihitung dan
digunakan untuk mengkalkulasi dosis dan laju infus, jika yang dipakai berat badan
aktual maka akan ada kemungkinan kelebihan konsentrasi obat pada pasien
obesitas. Pada pasien obesitas dipergunakan berat badan ideal.
Perbedaan utama antara kedua model ini adalah jumlah volume
kompartemen sentral. Pada model schnider menggunakan volume kompartemen
sentral tetap dan sama pada setiap pasien dan lebih kecil (4,27 L pada pasien BB
70 kg) dibanding model Marsh (15,9 L). Akibat perbedaan ini akan didapatkan
model schnider Keo yang lebih besar (equilibrasi sentral dan effect site
kompartemen lebih cepat) dan K10 lebih besar (bersihan metabolik lebih cepat)
sehingga model schnider waktu pulihnya lebih cepat dibanding Marsh. Untuk
tujuan induksi model schnider akan lebih lambat dibandingkan model Marsh.
Pada model marsh hanya menggunakan berat badan sebagai kovariat sedangkan
model schnider memakai berat badan, lean body mass, umur dan jenis kelamin.
32
Gambar 2.4 Mesin TCI Perfusor® Space dari B.Braun (dikutip dari
B.Braun TCI perfusor ® Space)
Keuntungan penggunaan TCI secara umum adalah: dapat memfasilitasi
titrasi dosis untuk mencapai efek yang diinginkan, memudahkan perhitungan
dosis obat dan pemberiannya, diperolehnya informasi tambahan mengenai obat
yang diberikan seperti jumlah obat yang diberikan, durasi pemberian, konsentrasi
dan lain-lain, pemberian dosis obat dengan memperhitungkan usia dan
karakteristik pasien lainnya, konsentrasi obat yang dicapai lebih stabil, dapat
terhindar dari kelebihan dosis dan masa pulih yang lebih cepat (Sugiarto, 2012).
2.4.3 Target Konsentrasi Plasma Propofol TCI
Pasien usia muda target konsentrasi pasma propofol untuk induksi adalah
6-8 mcg/mL, hati-hati pada saat induksi orang tua atau pasien sakit berat, dosis
perlu disesuiakan dengan menurunkan konsentrasi induksi. Pada prakteknya
konsentrasi plasma yang diperlukan untuk induksi adalah 5-6 mcg/mL dan bisa
ditingkatkan sampai 8 mcg/mL pada pasien dewasa muda yang sehat. Pada pasien
yang telah mendapatkan premedikasi terlebih dahulu konsentrasi plasma bisa
dikurangi 4-5 mcg/mL (Naidoo D, 2011).
33
2.5 Mengukur Kedalaman Anestesi (Index of Conciousness)
Induksi anestesi adalah perubahan keadaan pasien dari sadar menjadi tidak
sadar setelah pemberian obat-obat anestesi. Keadaan induksi dapat dinilai dengan
melihat tanda klinis berupa hilangnya refleks bulu mata. Menentukan derajat
kedalaman anestesi adalah sangat penting pada pasien yang akan dilakukan
tindakan pembedahan, syarat untuk bisa dilakukannya pembedahan adalah pasien
sudah masuk kedalam stadium III (fase pembedahan) plana III menurut Guedel,
yang bisa dilihat dengan tanda-tanda klinis yaitu mulai hilangnya gerak nafas
thorakal. Hal ini masih sangat sulit dilihat karena sudah makin berkembangnya
macam-macam obat anestesi dan volatile anestes. Berbeda halnya ketika duhulu
eter masih menjadi pilihan untuk dilakukannya induksi anestesi. Saat ini banyak
cara dan banyak alat yang diciptakan untuk mengetahui kedalaman anestesi.
Kedalaman anestesi merupakan masalah klinis praktis yang sangat fundamental
dalam dunia anestesi. Selama dilakukannya anestesi akan terjadi penekanan sistim
saraf pusat, sistim kardiovaskuler dan sistim lainnya, jika kedalaman anestesi
berlebihan akan terjadi fase toksik yang menyebabkan kerusakan bahkan
kematian. Jika kedalaman anestesi kurang maka akan menyebabkan keadaan
sedasi ringan juga akan menyebabkan morbiditas pada pasien. Dengan
mengetahui kedalaman anestesia maka hal-hal tersebut diatas bisa dihindari
sehingga morbiditas dan mortalitas bisa dikurangi (Prabhar Kumar dan Thomas
Koshy, 2007). Dalam penelitian ini alat yang dipergunakan dalam mengukur
kedalaman anestesi adalah Index of consciousness tipe IOC View dari Morpheus
Medical merupakan gabungan antara dinamyc spectral ratio dengan EEG
34
suppression rate (ESR) dan facial EMG. Merupakan alat pengukur kedalaman
anestesi sangat praktis dengan ukuran segenggaman tangan dewasa. Cara kerjanya
adalah merupakan penyederhanaan dari EEG dan ditampilkan dalam bentuk
rentang angka antara 0-99. Angka 0 berarti tidak ada aktivitas EEG dan 99
menunjukkan aktivitas penuh EEG yang diinterpretasikan suatu keadaan bangun
(sadar penuh). Angka 40-60 menunjukkan kedalaman anestesi adekuat untuk
dilakukan pembedahan. Dari alat ini juga bisa mengetahui persentase dari supresi
EEG dan aktifitas EMG (75-85 Hz). Dari penelitian validasi antara IOC view
dengan Bispectral index yang dilakukan oleh Litvan dkk., 2006, tidak
menunjukan perbedaan (prediction probability) antara IOC dengan BIS. Jadi pada
penelitian ini merekomendasikan IOC sebagai salah satu alat monitoring tingkat
kedalaman anestesi menggunakan propofol sebagai induksi.
Gambar 2.5 Sensor (elektrode) IOC ditempatkan (dikutip dari IOC view
monitoring consciousness, Morpheus medical)
35
Gambar 2.6 IOC-View dari Morpheus Medical (dikutip dari IOC view
monitoring consciousness, Morpheus medical)
Dari alat ini juga sering dihubungkan dengan skor tingkat sedasi yang diobservasi
secara klinis (Yusuke Kasuya dkk., 2009).
Tabel 1. Tingkat kedalaman anestesi BIS dan IOC- View
(Dikutip dari intra operatif awarness tools, 2007)
Kondisi-kondisi yang dapat mempengaruhi nilai BIS maupun IOC adalah
keadaan hipoglikemia, hipovolemia, henti jantung, iskemia otak, hipotermia
selama pengunaan mesin pintas kardio-pulmoner, penempatan elektrode dan
36
adanya artifact pada tempelan elektrode. Keuntungan penggunaan alat pengukur
kedalaman anestesi (Daya B, 2008) adalah dapat mengurangi kejadian terbangun
saat operasi dilakukan terutama pada pasien beresiko tinggi, mengurangi kejadian
kelebihan dosis obat atau kekurangan dosis obat (light anesthesia) yang
menyebabkan terbangunnya pasien selama operasi, mengurangi kejadian mual
muntah, memperpendek waktu pemulihan, mengurangi biaya penggunaan obat
anestesi dan menurunkan morbiditas- mortalitas pasien.
Download