BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Diabetes melitus atau masyarakat awam menyebutnya sebagai kencing manis telah dikenal sejak ± 2.000 tahun yang lalu. Istilah diabetes ini dikemukakan pertama kali oleh dua orang ahli kesehatan Yunani yakni Celcus dan Areteus karena setelah mereka menemukan penderita gejala klinis berupa poliuria dan polidipsia (Lanywati, 2001). Diabetes melitus didefenisikan sebagai suatu kumpulan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia (American Diabetes Association, 2008). Penyakit ini terjadi karena adanya kelainan sekresi insulin, kerja insulin ataupun karena keduanya. Akibat yang ditimbulkan oleh diabetes melitus adalah kerusakan organ tubuh dalam waktu jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan beberapa organ tubuh terutama pada mata, ginjal, saraf, jantung, dan pada pembuluh darah. Secara umum diabetes melitus dapat diartikan sebagai sebuah kumpulan masalah anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor akibat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin. Kasus diabetes melitus dapat dibagi dalam tiga kategori. Ketiga kategori ini adalah diabetes melitus tipe I atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau yang dikenal sebagai diabetes melitus yang tergantung pada insulin, diabetes melitus tipe II atau Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau yang dikenal sebagai diabetes melitus yang tidak tergantung ada insulin dan Gestational Diabetes Melitus (GDM) atau diabetes melitus gestasional (American Diabetes Association, 2010). Kondisi hiperglikemik pada hewan coba sebagai model penderita diabetes melitus dapat dibuat dengan menyuntikkan obat seperti streptozotocin (STZ) pada tikus putih (Rattus norvegicus) dengan dosis tertentu. Streptozotocin bekerja langsung pada sel β pankreas yang dimediatori oleh reactive oxygen species (ROS) sehingga dapat digunakan sebagai induksi diabetes melitus. Streptozotocin masuk ke sel β pankreas melalui glucose transporter (GLUT2) dan akan menyebabkan alkilasi DNA. Alkilasi atau masuknya gugus metil dari streptozotocin ke dalam molekul DNA ini akan menyebabkan kerusakan fragmentasi DNA (Elsner et al., 2000). 1 Injeksi streptozotocin secara peritoneal dengan dosis yang tepat pada tikus jantan dewasa dapat menyebabkan kerusakan sel β pankreas dan menginduksi diabetes melitus dalam 3 hari (Akbarzadeh et al., 2007). Pengobatan diabetes melitus dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu terapi tanpa obat dan terapi dengan obat. Terapi diabetes melitus tanpa obat dilakukan dengan cara memperhatikan gaya hidup berupa pengaturan diet dan olahraga sedangkan terapi dengan obat dilakukan dengan cara memberikan obat-obatan seperti insulin, obat hipoglikemik oral (golongan sulfonylurea, meglitinida, turunan fenilalanin, biguanidina, tiazolidindion, inhibitor α-glukosidase), atau kombinasi keduanya. Pengobatan diabetes melitus dengan terapi obat dapat menimbulkan masalah terkait dengan obat (drug related problems) yang dialami oleh penderita. Masalah ini merupakan keadaan terjadinya ketidak sesuaian dalam pencapaian tujuan terapi sebagai akibat pemberian obat (Haeria, 2009). Selain menimbulkan masalah tersebut penggunaan terapi obat juga membutuhkan biaya yang cukup mahal oleh sebab itu diperlukan pengobatan alternatif dengan menggunakan obat tradisional (Mambo, 2007). Untuk itu, telah dikembangkan penggunaan berbagai macam obat-obatan herbal yang relatif lebih aman untuk menurunkan gula darah. Salah satu jenis tanaman yang banyak digunakan sebagai obat tradisional dalam menangani diabetes melitus adalah buah pare. Pare mempunyai nama ilmiah Momordica charantia (Subahar, 2004), merupakan tanaman herbal merambat dan jenis tanaman dari keluarga Cucurbitaceae. Pada tahun 1578, Lisin telah mencatat bahwa Tiongkok telah memanfaatkan buah pare sebagai obat tradisional. Pada awalnya hanya sebagai tonikum, obat cacing, obat batuk, antimalaria, sariawan, penyembuh luka dan penambah nafsu makan. Telah banyak riset dilakukan untuk mengungkap efek buah ini sebagai penurun kadar gula darah (Rita et al., 2008). Menurut Pratama (2011), manfaat dari kandungan buah pare adalah menstimulasi sel β kelenjar pankreas tubuh dalam memproduksi insulin yang lebih banyak serta meningkatkan deposit cadangan glycogen di hati. Yuda2 et al. (2013) menyatakan bahwa ekstrak etanol buah pare mengandung berbagai zat aktif (saponin, flavonoid, dan polifenol) yang mampu menurunkan kadar glukosa darah. Untuk memisahkan senyawa yang terkandung dalam ekstrak etanol buah pare dapat dilakukan dengan partisi menggunakan larutan yang memiliki polaritas yang berbeda. Pada penelitian ini digunakan larutan semi polar kloroform, kemudian diuji kemampuannya dalam menurunkan kadar glukosa darah. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan permasalahan apakah pemberian partisi kloroform ekstrak buah pare dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus putih hiperglikemia? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui khasiat pemberian partisi kloroform ekstrak buah pare terhadap penurunan kadar glukosa darah tikus putih hiperglikemia. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai partisi kloroform ekstrak buah pare dalam menurunkan kadar glukosa darah tikus putih hiperglikemia.