ANALISIS FUNDAMENTAL Analisis fundamental adalah metode analisis yang didasarkan pada fundamental ekonomi suatu perusahaan.Teknis ini menitik beratkan pada rasio finansial dan kejadian - kejadian yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan.Umumnya pengguna Analisis Fundamental adalah investor, terutama investor saham jangka panjang.Analisis fundamental dibagi dalam tiga tahapan analisis yaitu analisis ekonomi, analisis industri, dan analisis perusahaan. ANALISIS EKONOMI Analisis inI digunakan untuk mengetahui keadaan-keadaan yang bersifat makro dari suatu keadaan ekonomi.Unsur-unsur makroekonomi yang biasa dianalisis melalui analisis ekonomik ini adalah : 1. Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal Adanya perubahan dalam kebijakan moneter dan fiskal yang diterapkan oleh pemerintah, terutama dalam hal kebijakan yang menyangkut perubahan tingkat suku bunga, akan membawa dampak signifikan terhadap perubahan dalam fundamental ekonomi. 2. Produk Domestik Bruto (PDB) Produk Domestik Bruto (PDB) adalah sebuah indikator ekonomi untuk mengukur total nilai produksi yang dihasilkan oleh semua Orang dan Perusahaan (baik lokal maupun asing) didalam suatu Negara. Singkatnya, GDP bisa dibilang sama dengan Total Pendapatan suatu Negara. 3. Tingkat Suku Bunga, Inflasi, dan PDB BI rate atau suku bunga Bank Indonesia, merupakan tingkat suku bunga untuk satu tahun yang ditetapkan oleh BI sebagai patokan bagi suku bunga pinjaman maupun simpanan bagi bank dan atau lembaga-lembaga keuangan di seluruh Indonesia.Sedangkan bagi BI sendiri, BI rate adalah suku bunga bagi Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yang disalurkan ke bank-bank. Dampak BI rate terhadap inflasi Kalau BI rate dinaikkan, maka para bank tentunya akan lebih suka menaruh dana tabungan nasabah mereka di BI daripada menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit. Sebab meskipun bunga yang ditetapkan BI lebih kecil dari bunga kredit (6.75% berbanding 12.5%), namun penjaminnya adalah pemerintah, sehingga resiko kredit macetnya sangat kecil, bahkan mendekati nol. Jika dana milik masyarakat yang dipegang para bank ‘diendapkan’ di BI, maka jumlah uang cash yang beredar di masyarakat akan berkurang, dan pada akhirnya menurunkan tingkat inflasi. Itulah sebabnya BI rate merupakan instrumen yang biasanya cukup ampuh untuk menurunkan tingkat inflasi. Dampak tingkat suku bunga dan inflasi terhadap PDB Ketika jumlah uang cash yang beredar di masyarakat berkurang, pertumbuhan inflasi memang akan tertekan. Namun disisi lain juga beresiko menekan pertumbuhan ekonomi. Misalnya, jika para bank enggan memberikan pinjaman modal ke pengusaha karena mereka lebih suka menyimpan duitnya di BI, maka para pengusaha tentunya akan kesulitan mengembangkan usahanya, dan pada akhirnya akan menekan pertumbuhan eknomi secara keseluruhan. Karena itulah, jika kemudian tingkat inflasi telah terkendali, maka BI bisa menurunkan kembali BI rate-nya, agar dana yang tadinya diendapkan bisa kembali dikucurkan ke masyarakat, untuk menumbuhkan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Hubungan antara BI rate dengan pasar modal Ketika inflasi mulai naik tidak terkendali, maka efeknya adalah biaya operasional para perusahaan yang terdaftar di BEI menjadi membengkak, karena naiknya harga bahan baku, gaji karyawan, dll. Akibatnya, laba bersih para emiten dikhawatirkan akan turun. Alhasil, harga sahamnya pun turun. Dan jika hal ini terjadi pada banyak saham, maka IHSG secara keseluruhan juga akan turun. Jadi ketika BI rate dinaikkan dan harapannya inflasi akan terkendali, maka IHSG juga bisa bangkit kembali. Namun, naiknya BI rate tidak akan serta merta menguatkan IHSG, karena yang jadi concern investor bukanlah BI rate-nya, melainkan tingkat inflasi. Dalam jangka pendek, naiknya BI rate bahkan justru berpotensi semakin melemahkan IHSG. Kenapa? Karena dengan naiknya BI rate, maka suku bunga di deposito, sukuk, dll biasanya (meski gak selalu) juga akan naik. So, para investor di pasar modal kini punya alternatif investasi yang tidak kalah menguntungkan dibanding investasi saham. Sukuk ritel seri SR003 misalnya, bunganya 8.15% per tahun. Dengan tingkat resiko yang mendekati nol, maka bunga sebesar itu tentu saja cukup menggiurkan. Kalau para investor ramai-ramai mengalihkan dananya dari saham ke sukuk ini, maka tentu saja IHSG akan semakin tertekan. 4. Nilai Tukar Rupiah Nilai tukar rupiah juga dipengaruhi perubahan tingkat suku bunga. Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke dalam instrument-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal masuk asing ini pada gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Dampak nilai tukar terhadap pertumbuhan ekonomi Apresiasi Rupiah mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor. Turunnya net ekspor ini akan berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian. ANALISIS INDUSTRI Salah satu tools yang digunakan untuk membuat SWOT Analysis diantaranya adalah Porter Five Forces analysis, yang memberikan gambaran mengenai bagaimana posisi bisnis kita di dalam suatu industri. 1. The threat of a substitute product Bagaimana substitusi terhadap barang/jasa Anda? Apakah konsumen dapat memperoleh barang substitusinya dengan mudah? Semakin banyak dan dekat barang substitusi, maka pelanggan juga bisa beralih dengan mudah. Force ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya switching cost, kecenderungan untuk substitusi, diferensiasi produk, dan lainnya. Contoh, misalnya untuk teh botol, kecenderungan substitusinya lebih besar. Misalnya jika Anda ke suatu kios tertentu, dan ingin membeli Fruit Tea, namun nyatanya hanya ada Teh Botol Sosro, tentunya Anda tidak akan bersikeras untuk mencari Fruit Tea bukan? Ini berarti ancaman substitusi tinggi. Perbedaan antara kedua merek hanya sedikit saja, dan tidak ada biaya switching cost antara dua merek tersebut. 2. The threat of the entry of new competitors Bagaimana tingkat kesulitan/kemudahan bagi pesaing baru untuk masuk ke dalam industri Anda? Force ini antara lain dipengaruhi oleh brand equity, hambatan masuk seperti paten dsb, distribusi, skill atau core competence tertentu, economies of scope, cost advantage, dan lainnya. Contoh, misalnya Anda bergerak di industri ritel online, maka ancaman akan munculnya pesaing baru sangatlah tinggi. Zaman semakin maju, dan akses terhadap internet juga semakin mudah. Individual pun kini dapat berjualan secara online, misalnya dengan memanfaatkan blog, forum, ataupun situs social network seperti Facebook. 3. The bargaining power of customers Bagaimana kekuatan yang dimiliki pelanggan Anda? Force ini antara lain dipengaruhi oleh: jumlah pembeli, konsentrasi pembeli, switching cost pembeli, ketersediaan barang, besar order pembeli, sensitivitas harga, tingkat diferensiasi, dan sebagainya. Misalnya, Anda memiliki sebuah ritel premium dengan pelanggan-pelanggan kelas atas. Pada kelompok pelanggan tersebut, sekitar 60% penjualan berasal dari 20% pelanggan. Artinya, konsentrasi pembeli cukup tinggi, sehingga pembeli punya kekuatan yang lebih tinggi. Switching cost bagi pembeli pun tidak ada, sementara bagi Anda sulit untuk memperoleh pelanggan baru lagi. 4. The bargaining power of suppliers Supplier merupakan tempat dimana kita membeli input yang digunakan untuk bahan produksi. Force ini ditentukan oleh beberapa factor diantaranya: switching cost ke supplier lain, jumlah supplier, konsentrasi supplier, ketersediaan substitusi input, tingkat diferensiasi input, hingga tingkat hubungan dengan supplier. Misalnya, supplier obat-obatan untuk rumah sakit, pada umumnya punya tingkat konsentrasi tinggi. RS biasanya punya langganan kepada segelintir perusahaan farmasi tertentu. Dalam kasus ini, berarti bargaining power of supplier tinggi karena supplier terkonsentrasi pada sekian kecil saja. 5. The intensity of competitive rivalry Bagaimana intensitas persaingan dalam industri Anda? Semakin banyak jumlah pesaing, dengan produk yang berkualitas dan harga bersaing, maka semakin tinggi tingkat persaingan. Force ini ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya: jumlah pesaing, perbedaan kualitas, loyalitas pelanggan, diferensiasi produk, perbedaan harga, exit barriers, dan sebagainya. Contoh industri dengan intensitas persaingan yang tinggi adalah industri telekomunikasi. Industri telekomunikasi sendiri punya prospek growth yang tinggi, karena orang selalu membutuhkan komunikasi dan ditunjang oleh pertumbuhan penduduk. Kemudian, exit barriers juga tinggi, karena perusahaan tentunya sudah menginvestasikan infrastruktur telekomunikasi yang tidak murah. Saat ini, operator melakukan perang harga dalam menjaring konsumen, sementara switching cost pun rendah. ANALISIS PERUSAHAAN Dalam prakteknya ada 5 faktor utama yang paling penting untuk mengidentifikasi saham-saham yang memiliki fundamental yang baik dan berpeluang besar bagi peningkatan harganya dimasa yang akan datang. 1. Pertumbuhan EPS (Earning per Share) EPS = Keuntungan bersih / Jumlah saham beredar Nilai EPS sendiri sedikit kurang penting, tetapi yang lebih penting adalah berapa kenaikan EPS-nya dibandingkan periode sebelumnya. 2. Pertumbuhan pendapatan Begitu juga dengan pendapatan. Tidak terlalu penting berapa pendapatannya, tetapi lebih penting berapa kenaikan pendapatannya. 3. Pertumbuhan laba operasi Pertumbuhan laba operasi ini diperlukan untuk mengetahui apakah EPS diatas memang merupakan kontribusi dari operasional perusahaan bukan dari pendapatan lainnya. Sebuah perusahaan bisa saja operasional intinya merugi, namun oleh karena perusahaan yang bersangkutan juga menjual asetnya, maka EPS-nya bisa naik. Dan ini tidak baik karena besanya EPS bukan didapat dari inti bisnis perusahaan. 4. ROE (Return on Equity) ROE = Keuntungan bersih / Ekuitas Rasio ini mengukur berapa banyak keuntungan yang dihasilkan oleh Perusahaan dibandingkan dengan modal yang disetor oleh Pemegang Saham. 5. DER (Debt to Equity Ratio) Kita juga perlu mengetahui historis dari hutang perusahaan. Perusahaan untuk alasan-alasan tertentu seperti ekspansi usaha tentu perlu mendapatkan modal tambahan. Modal tambahan ini bisa dengan menerbitkan saham baru (right issue) atau dengan berhutang. Jika menerbitkan saham baru, manajemen tidak memiliki biaya selain biaya fee untuk menerbitkan saham baru itu saja. Namun jika berhutang, maka akan ada biaya rutin berupa bunga yang harus dibayar. Makin tinggi rasio besar hutang terhadap modal akan membuat perusahaan semakin berat untuk membayar bunga.