BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria masih merupakan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di lebih dari 100
negara di dunia. Jumlah penderita malaria seluruh dunia diperkirakan sekitar 300500 juta kasus klinis setiap tahun. Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh
Plasmodium yang ditularkan lewat nyamuk Anopheles sp. Ada 4 jenis
Plasmodium yang menginfeksi manusia yakni Plasmodium vivax, P. ovale, P.
malariae, dan P. falciparum. Plasmodium falciparum merupakan spesies yang
paling berbahaya dan menyebabkan tingginya angka kesakitan dan kematian (satu
juta pertahun) (Noviyanti, 2010; WHO, 2005).
Berdasarkan The World Malaria Report 2010, sebanyak lebih dari 1 juta
orang termasuk anak-anak setiap tahun meninggal akibat malaria dimana 80%
kematian terjadi di Afrika, dan 15% di Asia (termasuk Eropa Timur). Secara
keseluruhan terdapat 3,2 Miliyar penderita malaria di dunia yang terdapat di 107
negara. Malaria di dunia paling banyak terdapat di Afrika yaitu di sebelah selatan
Sahara dimana banyak anak-anak meninggal karena malaria dan malaria muncul
kembali di Asia Tengah, Eropa Timur dan Asia Tenggara. Diperkirakan 4,5 juta
jiwa terancam oleh infeksi malaria dan angka mortalitasnya tinggi yaitu mencapai
satu juta jiwa per tahun pada daerah yang beriklim tropis dan subtropis seperti di
Brasil, Asia Tenggara dan seluruh Sub-Sahara Afrika (WHO, 2011; Widoyono,
2011).
1
Di Indonesia malaria masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan
merupakan salah satu penyebab kematian terutama pada kelompok risiko tinggi
seperti bayi, balita, dan ibu hamil. Sekitar 70% penduduk Indonesia diperkirakan
tinggal didaerah endemis malaria. Pada tahun 2010 di Indonesia terdapat 65%
kabupaten endemis dimana hanya sekitar 45% penduduk dikabupaten tersebut
berisiko tertular malaria. Berdasarkan hasil survei komunitas selama 2007-2010,
prevalensi malaria di Indonesia menurun dari 1,39% menjadi 0,6%. Sementara
itu, tingkat kematian akibat malaria mencapai 1,3% pada tahun 2011. Prevalensi
nasional malaria berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2010 adalah 0,6% dimana
provinsi dengan API diatas rata-rata nasional adalah Nusa Tenggara Barat,
Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung, Kepulauan Riau,
Bengkulu, Jambi, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Aceh. Tingkat prevalensi
tertinggi ditemukan diwilayah Timur Indonesia, yaitu di Papua barat (10,6%),
Papua (10,1%) dan Nusa Tenggara Timur (4,4%) (Depkes, RI, 2013; Kemenkes,
RI, 2011).
Purworejo adalah kabupaten di Jawa Tengah yang digolongkan sebagai
daerah endemis di Indonesia dengan kategori daerah endemis rendah. Kejadian
malaria di Purworejo dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni tingginya mobilitas
penduduk dari dan ke daerah endemis lainnya, kondisi geografis, perilaku
penduduk dan juga kehadiran nyamuk vektor malaria. Kasus malaria di
Kabupaten Purworejo pada tahun 2000 sebanyak 33.543 kasus atau API 43,7%,
hingga tahun 2009 kasus terus menurun jumlah kasus 359 atau API 0,47%. Mulai
tahun 2010 meningkat dengan jumlah kasus 372 atau API 0,49 % dan pada tahun
2
2011 meningkat menjadi 1001 kasus atau API 1,34%. Tahun 2012 ini terjadi 547
kasus dengan API sebesar 0,57%. Ada beberapa kecamatan yang masih
merupakan daerah endemis yaitu Puskesmas HCI (High Case Insidence) yaitu
Puskesmas Kaligesing dan Dadirejo, Puskesmas MCI (Moderate Case Incidence)
yaitu Puskesmas Banyuasin dan Karanggetas, dan Puskesmas LCI (Low Case
Insidence) yaitu Puskesmas Bruno, Purworejo, Bener, Bagelen, Cangkrep, Loano,
Winong, Kemiri, Bragolan, Wirun, Bubutan, dan Mranti) (Darundiati, 2003;
Dinkes Purworejo, 2012; Kusriastuti dan Surya, 2012; Sukowati, 2011).
Resistensi P. falciparum terhadap klorokuin muncul pertama kali di
Thailand pada Tahun 1961 dan di Amerika Serikat tahun 1962 (Wellems dan
Plowe, 2001), kemudian dari kedua fokus daerah ini resistensi meluas ke seluruh
dunia. Di Indonesia, kasus resistensi parasit malaria terhadap klorokuin ditemukan
pertama kali di Kalimantan Timur pada tahun 1973 untuk P. falciparum. Selain
itu, dilaporkan juga adanya resistensi terhadap sulfadoksin-pirimethamin (SP) di
beberapa tempat di Indonesia. Keadaan ini dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas penyakit malaria. Oleh sebab itu, untuk menanggulangi masalah
resistensi tersebut (multiple drugs resistance) dan adanya obat antimalaria baru
yang lebih paten, maka pemerintah telah merekomendasikan obat pilihan
pengganti klorokuin dan SP yaitu kombinasi turunan artemisinin dengan obat
antimalaria lainnya yang biasa disebut dengan Artemisinin Based Combination
therapy (ACT) (Kemenkes, RI, 2013).
Di Indonesia, saat ini terdapat 2 regimen ACT yang digunakan dalam
program malaria yaitu artesunat amodiakuin (AAQ) dan dihidroartemisinin
3
piperakuin (DHP). Penurunan sensitivitas Plasmodium terhadap obat antimalaria
akan muncul sejalan dengan meluasnya penggunaan ACT (Afonso dkk., 2006).
Indikasi menurunnya sensitivitas P. falciparum terhadap AAQ/ DHP dilaporkan
di Papua selatan dengan kegagalan pengobatan AAQ 45% dan DHP 13%
(Hasugian dkk., 2007), di Purworejo AAQ 12,9% (Kusumaningsih, 2005), di
Gabon (2004-2005) kegagalan pengobatan AAQ 13,8, di Kenya AAQ 13%, dan
DHP 8,3%, Myanmar AAQ 19,2% (WHO, 2010). Hasil evaluasi DHP dan
primakuin di Kota Sorong memiliki efikasi 94,55% dan terdapat 5,45% kegagalan
parasitologis kasep (Sewa, 2013).
Sejak tahun 2008 dan sampai saat ini, ACT yang digunakan berupa
regimen DHP yang dikombinasikan dengan primakuin (PQ). Pemakaian tersebut
didasarkan hasil penelitian di Timika yang mendapatkan kombinasi DHP terhadap
P. falciparum dan P. vivax dilaporkan lebih efektif dan aman dibandingkan AAQ.
Satu tablet DHP mengandung 40 mg dihydroartemisinin dan 320 mg piperakuin.
Obat ini diberikan per oral selama 3 hari dengan range dosis tunggal harian
dihydroartemisinin dosis 2-4 mg/kg/BB, piperakuin dosis 16-32 mg/kg BB. Obat
primakuin diberikan untuk malaria P. falciparum hanya pada hari pertama saja
dengan dosis 0,75 mg/kg/BB (Hasugian dkk., 2007; Kemenkes, RI, 2013;
Kuswantoro, 2011).
Penelitian di Thailand dengan pemberian 6,4 mg / kg DHA dan 51,2 mg /
kg Piperakuin). Hasil monitoring efek samping tersebut dilaporkan 12,3% pasien
mengalami abdominal pain (sakit perut) (Ashley dkk., 2004). Selain itu,
pemberian 1,6 mg/kg DHA dan 12,8 mg/kg piperakuin di Thailand muncul
4
kejadian efek samping seperti sulit tidur (15,3%) (Ashley dkk., 2005). Penelitian
di Myanmar dengan pemberian 7,5 mg/kg DHA dan 60 mg/kg piperakuin
dilaporkan efek samping yang muncul seperti pusing (54%), mual (17%) dan
anorexia (14%) (Smithius dkk., 2010). Penelitian di Ugandan dengan pemberian
6,4 mg/kg DHA dan 51,2 mg/kg piperakuin muncul kejadian efek samping seperti
batuk (50%) dan diare (23%) (Arinaitwe, 2009) . Penelitian di Papua dengan
pemberian 6,75 mg/kg DHA dan 54 mg/kg piperakuin muncul kejadian efek
samping muntah (10,7%) (Hasugian dkk., 2007). Selain itu, pemberian 2,25
mg/kg DHA dan 18 mg/kg piperakuin di Papua muncul kejadian efek samping
seperti sakit kepala (35%) (Ratcliff dkk., 2007). Penelitian di Thailand dengan
perlakuan pertama diberikan 6 mg/kg DHA dan 48 mg/kg piperakuin tidak
muncul efek samping muntah pada saat setelah pemberian obat sedangkan
perlakuan kedua diberikan 6,4 mg/kg DHA dan 51,2 mg/kg piperakuin muncul
efek samping muntah (<3% pasien) setelah pemberian obat. Berdasarkan dari
kedua perlakuan tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi pemberian dosis
DHA dan piperakuin dapat menyebabkan semakin tinggi munculnya kejadian
efek samping (Ashley dkk., 2004)
Efek samping DHP-PQ dilaporkan berbeda-beda untuk tiap daerah, hal ini
bisa karena pengaruh faktor lingkungan dan genetik penduduk. Efek samping ini
dapat mempengaruhi kepatuhan minum obat yang berakibat pasien mendapat
dosis subterapi dan berdampak terjadinya kegagalan terapi. Oleh karena itu, perlu
dilakukan uji efikasi penggunaan kombinasi dihydroartemisinin-piperakuin dan
5
primakuin dengan evaluasi munculnya Adverse Event dari penggunaan DHP-PQ
dengan melihat kesesuaian dosis pasien di Kabupaten Purworejo.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasahan
sebagai berikut:
1. Apakah obat standar program dengan menggunakan kombinasi DHP-PQ
menunjukkan efikasi yang baik pada pasien malaria falciparum tanpa
komplikasi di Kabupaten Purworejo?
2. Adverse Event apakah yang muncul dari penggunaan kombinasi DHP-PQ
pada pasien malaria falciparum tanpa komplikasi di Kabupaten
Purworejo?
3. Adakah pengaruh ketidaktepatan dosis terhadap munculnya Adverse Event
dari penggunaan kombinasi DHP-PQ pada pasien malaria falciparum
tanpa komplikasi di Kabupaten Purworejo?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui efikasi penggunaan kombinasi dihydroartemisinin-piperakuin
dan primakuin pada pasien malaria falciparum tanpa komplikasi di
Kabupaten Purworejo.
2. Mengetahui Adverse Event yang muncul dari penggunaan kombinasi
dihydroartemisinin- piperakuin dan primakuin pada pasien malaria
falciparum tanpa komplikasi di Kabupaten Purworejo.
6
3. Mengetahui
ada/tidaknya
pengaruh
ketidaktepatan
dosis
terhadap
munculnya Adverse Event dari penggunaan kombinasi DHP-PQ pada
pasien malaria falciparum tanpa komplikasi di Kabupaten Purworejo.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini secara ilmiah adalah sebagai berikut :
1. Bahan informasi tentang efikasi dan adverse event DHP+PQ pada
pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi di Kabupaten Purworejo.
2. Bahan pertimbangan bagi pengelola program malaria dan kebijakan
kesehatan dalam pengendalian malaria di Kabupaten Purworejo
3. Dapat
memberi
tambahan
pengetahuan
dan
pengalaman
dalam
melaksanakan uji coba obat kombinasi antimalaria baru.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan baik melalui kepustakaan
maupun melalui internet mengenai penelitian yang memfokuskan “Uji Efikasi
Penggunaan Kombinasi Dihidroartemisinin-Piperakuin dan Primakuin pada
Pasien Malaria falciparum Tanpa Komplikasi Kabupaten Purworejo” belum
pernah dilakukan sebelumnya, namun telah ada beberapa penelitian terkait dengan
efikasi terapi Pasien Malaria falciparum Tanpa Komplikasi yang pernah
dilakukan oleh peneliti lain, antara lain adalah:
7
Tabel 1. Penelitian-Penelitian yang Relevan
No.
1.
Peneliti
Ashley
2004
2.
Kusumaningsih,
2005
3.
Susiawan, 2006
4.
Hasugian dkk.,
2007
5.
Gargano
2012
dkk.,
dkk.,
Fokus
Randomized, controlled
dose-optimization
studies
of
dihydroartemisininpiperaquine
for
the
treatment
of
uncomplicated
multidrug-resistant
falciparum malaria in
Thailand
Metode
Randomised
Controlled
Trial (RCT)
Temuan
Dosis DP (6,4 mg / kg DHA
dan 51,2 mg / kg piperaquine
fosfat) diberikan selama 48
jam sangat efektif, aman, dan
ditoleransi dengan baik untuk
pengobatan
multidrugresisten malaria falciparum.
Uji Efikasi Kombinasi
Artesunat-Amodiakuin
Dibandingkan
dengan
Sulfadoksin-pirimetamin
dan primakuin pada
Penderita
Malaria
Falciparum
tanpa
Komplikasi
di
Kabupaten Purworejo
Efikasi
Artesdiaquine
pada Pengobatan Malaria
falciparum
tanpa
komplikasi
di
Banjarnegara
DihydroartemisininPiperaquine
versus
ArtesunateAmodiaquine: Superior
Efficacy
and
Posttreatment
prophylaxis
against
Multidrug-Resistant
Plasmodium falciparum
and Plasmodium vivax
Malaria
Therapeutic efficacy and
safety
of
dihydroartemisininpiperaquine
versus
artesunate-mefloquine in
uncomplicated
Plasmodium falciparum
malaria in India
Eksperimenta
l (field trial)
dengan
rancangan
Randomised
Controlled
Trial (RCT)
single blind
Hasil penelitian menunjukkan
efikasi hingga hari ke 28 AAQ
sebesar 87,1% dan SP+PQ
sebesar 78,1%.
Potong
lintang dan
evaluasi
secara
prospektif
Prospektif,
open
label,
randomized.
Hasil penelitian menunjukkan
angka keberhasilan regimen
AAQ+PQ dan SP 100% pada
hari ke-28.
Randomised
Controlled
Trial (RCT)
Hasil penelitian melaporkan
kegagalan pengobatan AAQ
45% dan DHP sebesar 13%
dan DHP lebih tolerans
daripada AAQ.
DP adalah ACT baru yang
manjur dan aman dalam
pengobatan
malaria
P.
falciparum tanpa komplikasi
dan lebih potensi untuk
pengobatan
lini
pertama
malaria falciparum di India.
8
Download