BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Konsep Asma 2.1.1 Pengertian Asma Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten,reversibel dimana trakea dan bronki berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Asma dimanifestasikan dengan penyempitan jalan napas, yang mengakibatkan dispnea, batuk, dan mengi. Tingkat penyempitan jalan napas dapat berubah baik secara spontan atau karena terapi. Asma berbeda dari penyakit paru obstruktif dalam hal bahwa asma adalah proses reversibel. Eksaserbasi akut dapat saja terjadi, yang berlangsung dari beberapa menit sampai jam, diselingi oleh periode bebas gejala. Jika asma dan bronkiitis terjadi bersamaan, obstruksi yang diakibatkan menjadi gabungan dan disebut bronkitis asmatik kronik(Suzane, 2001). Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam menjelang dini hari. Gejala tersebut terjadi berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006). Asma bronkial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respontrakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanyapenyempitan jalan napas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secaraspontan maupun hasil dari pengobatan (The American Thoracic Society, 2003). Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative for Asthma (GINA) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran napasdengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Padaorang yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa dadatertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanyaberhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, yangsebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan,inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagairangsangan. 2.1.2 Jenis-Jenis Asma dan Penyebab Asma sering dicirikan sebagai alergi, idiopatik, nonalergi, atau gabungan. 1. Asma alergik Asma alergik disebabkan oleh alergen atau alergen-alergen yang dikenal misalnya serbuk sari, binatang, makanan, dan jamur. Kebanyakan alergen terdapat diudara dan musiman. Pasien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat keluarga yang alergik dan riwayat medis masa lalu eczema rhinitis alergik. Pemajanan terhadap alergen mencetuskan serangan asma. 2. Asma idiopatik atau nonalergik Asma idiopatik atau nonalergik tidak berhubungan dengan alergen spesifik. Faktor-faktor, seperti common cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, dan polutan lingkungan dapat mencetuskan serangan. Beberapan agens farmakologi, seperti aspirin dan agens antiinflamasi nonsteroid lain, pewarna rambut, antagonis beta-adrenergik, dan agents sulfit (pengawet makanan), juga mungkin menjadi faktor. Serangan asma idiopatik atau nonalergik menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkitis kronis dan emfisema. 3. Asma gabungan Asma gabungan adalah bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik maupun bentuk idiopatik (Suzane, 2001). 2.1.3 Patofisiologi Asma adalah obstruksi jalan napas difus reversibel. Obstruksi disebabkan oleh satu atau lebih dari yang berikut ini : 1. Kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronki, yang menyempitkan jalan napas 2. Pembengkakan membran yang melapisi bronki 3. Pengisian bronki dengan mukus yang kental Selain itu, otot-otot bronkial dan kelenjar mukosa membesar, sputum yang kental, banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflamasi, udara terperangkap didalam jaringan paru. Mekanisme yang pasti dari perubahan ini tidak diketahui, tetapi apa yang paling diketahui adalah keterlibatan sistem imunologis dan sistem saraf otonom. Beberapa individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (mediator) seperti histamin, bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (SRSA). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membran mukosa, dan pembentukan mukus yang sangat banyak. Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh inpuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau nonalergi, ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi, dan polutan, jumlah asetilkolin yang dilepas meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang dibahas diatas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon parasimpatis. Selain itu, reseptor adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam bronki. Ketika reseptor α adrenergik dirangsang terjadi bronkokonstriksi; bronkodilatasi terjadi ketika reseptor β adrenegik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor α- dan adrenegik β dikendalikan terutama oleh siklik adenosine monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor-alfa mengakibatkan penurunan cAMP, yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi yang menyebabkan bronkodilatasi. Stimulasi reseptor beta mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP, yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan menyebabkan bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan β-adrenegik terjadi pada individu dengan asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dam konstriksi otot polos (Suzane, 2001). 2.1.4 Faktor Risiko Asma Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor genetik danfaktor lingkungan. 1. Faktor genetik a. Hipereaktivitas b. Atopi atau alergi bronkus c. Faktor yang memodifikasi penyakit genetik d. Jenis kelamin e. Ras atau etnik 2. Faktor lingkungan a. Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria atau jamur) b. Alergen diluar ruangan (tepung sari) c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,makanan laut, susu sapi, telur) d. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, β bloker dll) e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dan lain-lain) f. Ekspresi emosi berlebihan g. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan i. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukanaktifitas tertentu. (Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman &Penatalaksanaan di Indonesia, 2004) 2.1.5 Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis disajikan pada tabel dibawah ini : Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis Derajat sama Intermitten Gejala Bulanan Gejala<1x/minggu - Tanpa gejala diluar serangan. - Serangan singkat. Gejala malam ≤ 2 kali sebulan Faal paru APE≥80% - VEP1≥80% nilai prediksi APE≥80% nilai terbaik. - Variabiliti Persisten ringan Persisten sedang Persisten berat Mingguan - Gejala>1x/minggu tetapi<1x/hari. - Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur Harian - Gejala setiap hari. - Serangan mengganggu aktivitas dan tidur. - Membutuhkan bronkodilator setiap hari. Kontinu - Gejala terus menerus - Sering kambuh - Aktifiti fisik terbatas >2 kali sebulan >2 kali sebulan Sering APE<20%. APE>80% - VEP1≥80% nilai prediksi - APE≥80% nilai terbaik. - Variabiliti APE 20-30%. APE 60-80% - VEP1 60-80% nilai prediksi APE 60-80% nilai terbaik. - Variabiliti APE>30%. APE 60≤% - VEP1≤60% nilai prediksi APE≤60% nilai terbaik - Variabiliti APE>30% (Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia, 2004) Selain berdasarkan gejala klinis di atas, menurut Global Initiative for Asthma (GINA)asma dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat serangan asma yaitu: 1. Serangan asma ringan dengan aktivitas masih dapat berjalan, bicara satu kalimat,bisa berbaring, tidak ada sianosis dan mengi kadang hanya pada akhir ekspirasi. 2. Serangan asma sedang dengan pengurangan aktivitas, bicara memenggal kalimat,lebih suka duduk, tidak ada sianosis, mengi nyaring sepanjang ekspirasi dan kadang-kadang terdengar pada saat inspirasi, 3. Serangan asma berat dengan aktivitas hanya istirahat dengan posisi dudukbertopang lengan, bicara kata demi kata, mulai ada sianosis dan mengi sangat nyaring terdengar tanpa stetoskop. 4. Serangan asma dengan ancaman henti nafas, tampak kebingungan, sudah tidakterdengar mengi dan timbul bradikardi. Perlu dibedakan derajat klinis asma harian dan derajat serangan asma. Seorang penderita asma persisten (asma berat) dapat mengalami serangan asma ringan. Sedangkan asma ringan dapat mengalami serangan asma berat, bahkan serangan asma berat yang mengancam terjadi henti nafas yang dapat menyebabkan kematian. 2.1.6Manifestasi klinik Tiga gejala umum asma adalah batuk, dispnea, dan mengi. Pada beberapa keadaan, batuk mungkin satu-satunya gejala. Serangan asma sering kali terjadi pada malam hari. Penyebabnya tidak dimengerti dengan jelas, tetapi mungkin berhubungan dengan variasi sirkadian, yang mempengaruhi ambang reseptor jalan napas. Serangan asma biasanya bermula mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam dada, disertai dengan pernapasan lambat, mengi. Ekspirasi selalu lebih susah dan panjang dibanding inspirasi, yang mendorong pasien untuk duduk tegak dan menggunakan otot-otot aksesori pernapasan. Jalan napas yang tersumbat menyebabkan dispnea. Batuk pada awalnya susah dan kering tetapi segera menjadi lebih kuat. Sputum, yang terdiri atas sedikit mukus mengandung masa gelatinosa bulat, kecil yang dibatukkan dengan susah payah. Tanda selanjutnya termasuk sianosis sekunder terhadap hipoksia hebat, dan gejala-gejala retensi karbon dioksida, termasuk berkeringat, takikardia, dan pelebaran tekanan nadi. Serangan asma dapat berlangsung dari 30 menit sampai beberapa jam dan dapat hilang secara spontan. Meski serangan asma jarang yang fatal, kadang terjadi reaksi kontinu yang lebih berat, yang disebut “status asmatikus” kondisi ini merupakan keadaan yang mengancam hidup (Suzane, 2001). 2.1.7 Evaluasi diagnostik Riwayat kesehatan yang lengkap, termasuk keluarga, lingkungan dan riwayat pekerjaan, dapat mengungkapkan faktor-faktor atau substansi yang mencetuskan serangan asma. Riwayat positif keluarga seringkali berkaitan dengan asma alergik. Faktor-faktor lingkungan, termasuk perubahan musim, jumlah serbuk sari yang tinggi, dan jamur juga berkaitan dengan asma. Perubahan iklim, khususnya dingin dan polusi udara terutama sekali berkaitan dengan asma nonalergik. Berbagai bahan kimia dan senyawa yang berkaitan dengan pekerjaan telah menunjukkan hubungan dengan asma, termasuk garam logam, debu kayu dan debu sayuran, obatobatan (mis., aspirin, antibiotik, piperazin, dan simetidin), bahan kimiawi dan plastik industri enzim biologik, (mis., detergen untuk laundry) debu binatang dan serangga, sera, dan sekresi. Selama periode akut, rontgen dada dapat menunjukkan hiperinflasi dan pendataran diafragma. Pemeriksaan sputum dan darah dapat menunjukkan eosinofilia (kenaikan kadar eosinofil). Terjadi peningkatan kadar serum immunoglobulin E (IgE) pada asma alergik. Sputum dapat jernih dan berbusa (alergik) atau kental dan putih (nonalergik) dan berserabut (nonalergik). Gas darah arteri menunjukkan hipoksik selama seranga akut. Awalnya, terdapat hipokapnea dan respirasi alkalosis dan tekanan parsial karbondioksida (PCO2) yang rendah. Dengan memburuknya kondisi dan pasien menjadi lebih letih, PCO2dapat meningkat. PCO2yang normal dapat menunjukkan gagal napas yang mengancam. PCO2 20 kali lebih dapat berdifusi dibanding dengan oksigen, sehingga sangat jarang bagi PCO2 untuk normal atau meningkat pada individu yang bernapas dengan sangat cepat. Fungsi pulmonari biasanya normal antar serangan. Selama serangan akut, terdapat suatu peningkatan kapasitas paru total (TLC) dan volume residual fungsional (FRV) sekunder terhadap terjebaknya udara. FEV dan kapasitas vital kuat (FVC) sangat menurun (Suzane, 2001). 2.1.8 Pencegahan Kekambuhan Asma 1. Mencegah sensititasi Cara – cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi (terjadinya atopi, diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau pencegehan terjadinya asma pada individu yang sensitisasi. 2. Mencegah eksaserbasi Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger) seperti alergen (indoor) seperti tungau dan debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur, alergen outdoor seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi pajanan penderita dengan beberapa faktor seperti menghentikan merokok, menghindari asap rokok, lingkungan kerja, makanan, adiktif, obat yang menimbulkan gejala dapat memperbaiki kontrol asma serta keperluan obat. Biasanya penderita bereaksi terhadap banyak faktor lingkungan sehingga usaha mengindari alergen sulit untuk dilakukan. Hal-hal lain yang harus dihindari adalah polutanindoor dan outdoor, makanan dan aditif, obesitas, emosi – stress dan berbagai faktor lainya.(MKI,2008) 2.1.9 Penatalaksanaan Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat mengontrol manifestasi klinis dari penyakit untuk waktu yang lama, meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan pengobatan asma bronkial adalah agarpenderita dapat hidup normal, bebas dariserangan asma serta memiliki faal parusenormal mungkin, mengurangi reaktifasisaluran napas, sehingga menurunkan angkaperawatan dan angka kematian akibat asma. Dalam penanganan pasien asma penting diberikan penjelasan tentang cara penggunaanobat yang benar, pengenalan dan pengontrolanfaktor alergi.(Meiyanti,2011 ; GINA 2006). 2.1.10. Tingkatan Asma Terkontrol Tingkatan asma terkontrol dapat dilihat pada tabel 2.2 dibawah ini Tabel 2.2 Tingkatan asma terkontrol Karakteristik Gejala harian Terkontrol Tidak ada (dua kali atau kurang perminggu) Terkontrol sebagian Lebih dari dua kali seminggu Pembatasan aktivitas Tidak ada Sewaktu-waktu dalam seminggu Gejala nokturnal nokturnal/gangguan tidur (terbangun) Tidak ada Sewaktu – waktu dalam seminggu Kebutuhan akan reliever atau terapi rescue Fungsi Paru (PEF atau FEV1 Eksaserbasi Tidak ada (dua kali atau kurang dalam seminggu) Normal Lebih dari dua kali seminggu Sumber : GINA 2006 Tidak ada < 80% (perkiraan atau dari kondisi terbaik bila diukur) Sekali atau lebih dalam setahun Tidak terkontrol Tiga atau lebih gejala dalam kategori asma terkontrol sebagian, muncul sewaktu – waktu dalam seminggu Sekali dalam seminggu Untuk semua bentuk eksaserbasi sebaiknya dilihat kembali terapinya apakah benar-benar adekuat. Suatu eksaserbasi mingguan, membuat penderita menjadi asma tak terkontrol. Kriteria asma terkontrol 1. Tidak ada atau gejala minimal 2. Tidak ada gejala asma malam 3. Tidak ada keterbatasan aktivitas 4. Tidak ada atau minimal pemakaian obatpelega 5. Faal paru normal atau mendekati normal 6. Tidak ada kunjungan ke emergensi (Antariksa Budi, 2009 : GINA 2006) 2.2 Konsep Pengetahuan 2.2.1 Pengertian Pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan suatu objek tertentu penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. baik melalui Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui pendidikan, pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain, media massa maupun lingkungan (Notoatmodjo, 2003) Menurut Notoatmodjo, pengetahuan yang dicapai dalam domain kognitif mempunyai 6 (enam) tingkatan yaitu : a. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, “tahu” ini adalah tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari adalah menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya. b. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, dan meramalkan terhadap objek yang dipelajari. c. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang (sebenarnya). telah dipelajari Aplikasi disini pada dapat situasi atau diartikan kondisi aplikasi rill atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, dan prinsip dalam konteks atau situasi lain. d. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menggambarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja dapat membedakan, memisahkan, dan mengelompokkan. e. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasiformulasi yang ada, misalnya dapat menyusun, merencanakan, meringkaskan dapat menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada. f. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat disesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut diatas. Kategori pengetahuan menurut Arikunto (2006), pengetahuan dibagi dalam 3 kategori, yaitu: a. Baik bila subyek mampu menjawab dengan benar 76%-100% dari seluruh petanyaan. b. Cukup bila subyek mampu menjawab dengan benar 56% - 75% dari seluruh pertanyaan. c. Kurang bila subyek mampu menjawab dengan benar < 55% dari seluruh pertanyaan. Menurut Notoatmodjo (2003) faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan yaitu : 1) Pengalaman Pengalaman artinya berdasarkan pemikiran kritis akan tetapi pengalaman belum tentu teratur dan bertujuan. Mungkin pengalaman hanya dicatat saja. Pengalaman yang disusun sistematis oleh otak maka hasilnya adalah ilmu pengetahuan 2) Pendidikan Pendidikan berhubungan dengan pengembangan dan perubahan kelakuan anak didik. Pendidikan bertalian dengan transmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan, dan aspek kelakuan yang lain. Pendidikan adalah proses belajar dan mengajar pola-pola kelakuan manusia menurut apa yang diharapkan oleh masyarakat 3) Paparan media massa Melalui berbagai media massa baik cetak maupun elektronik maka berbagai informasi dapat diterima oleh masyarakat, sehingga seseorang yang lebih sering terpapar media massa akan memperoleh informasi yang lebih banyak dan dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dimiliki. 4) Sosial budaya Semua orang hidup dalam kelompok dan saling berhubungan melalui lambang-lambang, khususnya bahasa. Manusia mempelajari kelakuan orang lain di lingkungan sosialnya. Hampir segala sesuatu yang dipikirkan, dirasakan bertalian dengan orang lain, bahasa, kebiasaan, makan, pakaian, dan sebagainya dipelajari dari lingkungan sosial budayanya. 5) Umur Menurut Ahmadi (2001), bahwa dengan bertambahnya umur seseorang dapat berpengaruh pengetahuan yang diperolehnya. 6) Intelegensi pada pertambahan Intelegensi bagi seseorang merupakan salah satu model untuk berfikir dan mengolah berbagai informasi secara terarah. Perbedaan intelegensi dari seseorang akan berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan. 2.3 Konsep Sikap Menurut Muss dalam Sarwono (2008) sikap adalah suatu predisposisi atau kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus menerus untuk bertingkah laku atau untuk bereaksi dengan cara tertentu terhadap pribadi lain, objek,lembaga atau persoalan tertentu. Sarwono (2008) menyatakan bahwa sikap adalah kesiapan seseorang untuk bertindak secara tertentu. Sikap dapat bersifat positif dan negatif. Orang yang memiliki perasaan positif, akan cenderung mendekati, menyenangi, menerima, atau mengharapkan objek tertentu. Sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, dan tidak menyukai objek tertentu. (Walgito 2001) mengemukakan bahwa sikap adalah kesiapan merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap objek atau situasi secara konsisten. Sedangkan Gerungan (2004) menyatakan bahwa pengertian attitude dapat diterjemahkan dengan kata sikap, pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut disertai oleh kecenderungan untuk bertindak sesuai dengn sikap terhadap objek tadi. Jadi attitude lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap dan kesediaan bereaksi terhadap sesuatu hal. Dengan demikian sikap adalah konsep yang membantu kita memahami perilaku. 2.3.1 Komponen Yang Membentuk Sruktur Sikap yaitu : Menurut Azwar (2008), struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang yaitu : a. Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi obyek sikap. Sekali kepercayaan itu terbentuk, maka ia akan menjadi dasar pengetahuan seseorang mengenai apa yang dapat diharapkan dari obyek tertentu. b. Komponen afektif menyangkut masalah emosional, subyektif seseorang terhadap suatu obyek sikap. Secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan pribadi sering kali sangat berbeda perwujudannya bila dikaitkan dengan sikap. c. Komponen perilaku dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang di hadapi. Kaitan ini di dasari oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku. 2.3.2 Pengukuran sikap Menurut Azwar (2008), pengukuran sikap dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Observasi Perilaku Kalau seseorang menampakkan perilaku yang konsisten, dapat ditafsirkan sikapnya dari bentuk perilaku yang tampak. Dengan kata lain untuk mengetahui sikap seseorang terhadap sesuatu kita dapat memperhatikan perilakunya, sebab perilaku merupakan salah satu indikator sikap individu. b. Penanyaan langsung Asumsi yang mendasari metode penanyaan langsung guna pengungkapan sikap, pertama adalah asumsi bahwa individu merupakan orang yang paling tahu mengenai dirinya sendiri, dan kedua adalah asumsi keterusterangan bahwa manusia akan mengemukakan secara terbuka apa yang dirasakannya. Oleh karena itu dalam metode ini, jawaban yang diberikan oleh mereka yang ditanyai dijadikan indikator sikap mereka. c. Pengungkapan langsung Suatu pengungkapan langsung (direct assemant) secara tertulis yang dapat dilakukan dengan menggunakan sistem tanggal maupun sistem ganda. Responden diminta menjawab langsung suatu pernyataan sikap tertulis dengan memberi tanda setuju atau tidak setuju. d. Skala sikap Metode pengungkapan sikap dalam bentuk skala report yang hingga kini dianggap sebagai paling dapat diandalkan adalah dengan menggunakan daftar pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh individu. Dari respons subjek pada setiap pertanyaan itu kemudian dapat disimpulkan mengenai arah dan intensitas sikap seseorang. e. Pengukuran terselubung Metode terselubung (covert measures) sebenarnya berorientasi kembali ke metode observasi perilaku yang telah dikemukakan diatas, akan tetapi sebagai objek pengamatan bukan lagi perilaku yang disadari atau sengaja dilakukan oleh seseorang melakukan reaksireaksi fisiologis yang terjadi lebih di luar kehendak orang yang bersangkutan. 2.3.3 Tingkatan sikap Menurut Notoatmodjo (2007), sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan yaitu : 1. Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). 2. Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut. 3. Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. 4. Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. 2.3.4 Ciri Ciri Sikap : Menurut Gerungan (2004), sikap memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Sikap tidak dibawa orang sejak ia lahir, tetapi dibentuk atau dipelajarinya sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungannya dengan objeknya 2. Sikap dapat berubah-ubah, karena itu sikap dapat dipelajari orang, sehingga sikap dapat berubah pada seseorang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah berubahnya sikap pada orang itu. 3. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mengandung relasi tertentu terhadap suatu objek. Sikap terbentuk, dipelajari atau berubah senantiasa berkaitan dengan suatu objek tertentu yang dapat dirumuskan dengan jelas. 4. Objek sikap dapat merupakan satu hal tertentu, tetapi dapat juga merupakan dari hal-hal tersebut. Jadi, sikap dapat berkaitan dengan satu objek saja tetapi juga berkaitan dengan sederetan objek yang serupa 5. Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan. Sifat inilah yang membeda-bedakan sikap dari kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang. 2.3.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Dan Perubahan Sikap Sikap merupakan sesuatu yang dipelajari serta dapat berubah-ubah. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perubahan sikap (Walgito,2001; Gerungan,2004) adalah 1. Faktor internal Faktor internal adalah faktor yang terdapat dalam pribadi manusia itu sendiri berupa selectivity atau daya pilih seseorang untuk menerima dan mengolah pengaruh-pengaruh yang datang dari luar. Pilihan terhadap pengaruh dari luar tersebut berhubungan erat dengan motif-motif dan sikap-sikap yang bekerja dalam diri manusia, terutama yang menarik minat perhatiannya. 2. Faktor eksternal Faktor eksternal adalah faktor yang terdapat diluar pribadi manusia berupa interaksi sosial diluar kelompok. Menurut Sherif (dalam Gerungan,2004), dengan melihat faktor-faktor eksternal yang ada, sikap dapat dibentuk atau berubah apabila : a. terdapat hubungan timbal balik yang langsung antara manusia b. adanya komunikasi (yaitu hubungan langsung) dari satu pihak Sikap dapat dibentuk atau berubah melalui 4 macam cara antara lain: 1. Adopsi Kejadian dan peristiwa yang terjadi berulang dan terusmenerus, secara bertahap diserap ke dalam individu dan mempengaruhi terbentuknya suatu sikap. 2. Deferensiasi Dengan perkembangan intelegensi, bertambahnya pengalaman sejalan dengan bertambahnya usia, maka ada hal-hal yang tadinya dianggap sejenis, sekarang dipandang tersendiri lepas dari jenisnya. Terdapat objek tersebut dapat terbentuk sikap tersendiri pula. 3. Integritas Pembentukan sikap dasar terjadi secara bertahap, dimulai dengan berbagai pengalaman yang berhubungan dengan suatu hal tertentu. 4. Trauma Pengalaman yang tiba-tiba, mengejutkan yang meninggalkan kesan mendalam pada jiwa orang bersangkutan. Pengalaman- pengalaman yang traumatis dapat juga menyebabkan terbentuknya sikap. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap meliputi : 1. Pengalaman pribadi Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. 2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang dianggap penting, seseorang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak, tingkah dan pendapat kita, seseorang yang tidak ingin kita kecewakan atau seseorang yang berarti khusus bagi kita akan mempengaruhi pembentkan sikap kita terhadap sesuatu. Misalnya : Orang tua, teman sebaya, teman dekat, guru, istri, suami dan lain-lain. 3. Pengaruh kebudayaan Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. 4. Media massa Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. 5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam arti individu. 6. Pengaruh faktor emosional Tidak semua bentuk sikap dipengaruhi oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang, kadang-kadang sesuatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi yang berfungsi sebagai penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego (Aswar. 2008).