Gambaran Pengetahuan dan Sikap dalam Mengontrol Kekambuhan

advertisement
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Asma
2.1.1 Pengertian Asma
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten,reversibel
dimana trakea dan bronki berespon dalam secara hiperaktif terhadap
stimuli tertentu. Asma dimanifestasikan dengan penyempitan jalan
napas, yang mengakibatkan dispnea, batuk, dan mengi. Tingkat
penyempitan jalan napas dapat berubah baik secara spontan atau
karena terapi. Asma berbeda dari penyakit paru obstruktif dalam hal
bahwa asma adalah proses reversibel. Eksaserbasi akut dapat saja
terjadi, yang berlangsung dari beberapa menit sampai jam, diselingi oleh
periode bebas gejala. Jika asma dan bronkiitis terjadi bersamaan,
obstruksi yang diakibatkan menjadi gabungan dan disebut bronkitis
asmatik kronik(Suzane, 2001).
Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang
menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan
gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat
dan batuk-batuk terutama malam menjelang dini hari. Gejala tersebut
terjadi berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi
dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
Asma bronkial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya
respontrakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan
manifestasi adanyapenyempitan jalan napas yang luas dan derajatnya
dapat berubah-ubah baik secaraspontan maupun hasil dari pengobatan
(The American Thoracic Society, 2003).
Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative
for Asthma (GINA) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik
saluran napasdengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast,
eosinofil,
dan
limfosit
T.
Padaorang
yang
rentan
inflamasi ini
menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa dadatertekan dan
batuk,
khususnya
pada
malam
atau
dini
hari.
Gejala
ini
biasanyaberhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas
namun bervariasi, yangsebagian bersifat reversibel baik secara spontan
maupun dengan pengobatan,inflamasi ini juga berhubungan dengan
hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagairangsangan.
2.1.2 Jenis-Jenis Asma dan Penyebab
Asma sering dicirikan sebagai alergi, idiopatik, nonalergi, atau
gabungan.
1. Asma alergik
Asma alergik disebabkan oleh alergen atau alergen-alergen
yang dikenal misalnya serbuk sari, binatang, makanan, dan jamur.
Kebanyakan alergen terdapat diudara dan musiman. Pasien
dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat keluarga yang
alergik dan riwayat
medis masa lalu eczema rhinitis alergik.
Pemajanan terhadap alergen mencetuskan serangan asma.
2. Asma idiopatik atau nonalergik
Asma idiopatik atau nonalergik tidak berhubungan dengan
alergen spesifik. Faktor-faktor, seperti common cold, infeksi traktus
respiratorius, latihan, emosi, dan polutan lingkungan dapat
mencetuskan serangan. Beberapan agens farmakologi, seperti
aspirin dan agens antiinflamasi nonsteroid lain, pewarna rambut,
antagonis beta-adrenergik, dan agents sulfit (pengawet makanan),
juga mungkin menjadi faktor. Serangan asma idiopatik atau
nonalergik menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan
berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkitis kronis
dan emfisema.
3.
Asma gabungan
Asma gabungan adalah bentuk asma yang paling umum.
Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik maupun
bentuk idiopatik (Suzane, 2001).
2.1.3 Patofisiologi
Asma adalah
obstruksi jalan napas difus reversibel. Obstruksi
disebabkan oleh satu atau lebih dari yang berikut ini :
1. Kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronki, yang menyempitkan
jalan napas
2. Pembengkakan membran yang melapisi bronki
3. Pengisian bronki dengan mukus yang kental
Selain itu, otot-otot bronkial dan kelenjar mukosa membesar, sputum yang
kental, banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflamasi, udara
terperangkap didalam jaringan paru. Mekanisme yang pasti dari perubahan
ini tidak diketahui, tetapi apa yang paling diketahui adalah keterlibatan
sistem imunologis dan sistem saraf otonom.
Beberapa individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk
terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian
menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen
mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi, menyebabkan pelepasan
produk
sel-sel
mast
(mediator)
seperti
histamin,
bradikinin,
dan
prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (SRSA). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos
dan kelenjar jalan napas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan
membran mukosa, dan pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur
oleh inpuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik
atau nonalergi, ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang oleh faktor
seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi, dan polutan, jumlah
asetilkolin yang dilepas meningkat. Pelepasan asetilkolin
ini secara
langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan
mediator kimiawi yang dibahas diatas. Individu dengan asma dapat
mempunyai toleransi rendah terhadap respon parasimpatis.
Selain itu, reseptor adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak
dalam
bronki.
Ketika
reseptor
α
adrenergik
dirangsang
terjadi
bronkokonstriksi; bronkodilatasi terjadi ketika reseptor β adrenegik yang
dirangsang. Keseimbangan antara reseptor α- dan adrenegik β dikendalikan
terutama oleh siklik adenosine monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor-alfa
mengakibatkan penurunan cAMP, yang mengarah pada peningkatan
mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi yang
menyebabkan bronkodilatasi. Stimulasi reseptor beta mengakibatkan
peningkatan tingkat cAMP, yang menghambat pelepasan mediator kimiawi
dan menyebabkan bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa
penyekatan β-adrenegik terjadi pada individu dengan asma. Akibatnya,
asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dam
konstriksi otot polos (Suzane, 2001).
2.1.4 Faktor Risiko Asma
Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor
genetik danfaktor lingkungan.
1. Faktor genetik
a.
Hipereaktivitas
b.
Atopi atau alergi bronkus
c.
Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
d.
Jenis kelamin
e. Ras atau etnik
2. Faktor lingkungan
a.
Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,
alternaria atau jamur)
b.
Alergen diluar ruangan (tepung sari)
c.
Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan,
kacang,makanan laut, susu sapi, telur)
d.
Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, β
bloker dll)
e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dan
lain-lain)
f.
Ekspresi emosi berlebihan
g.
Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
i.
Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika
melakukanaktifitas tertentu.
(Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman &Penatalaksanaan di
Indonesia, 2004)
2.1.5 Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis
Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis disajikan
pada tabel dibawah ini :
Tabel 2.1
Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis
Derajat sama
Intermitten
Gejala
Bulanan
Gejala<1x/minggu
- Tanpa gejala
diluar serangan.
- Serangan
singkat.
Gejala malam
≤ 2 kali
sebulan
Faal paru
APE≥80%
- VEP1≥80%
nilai prediksi
APE≥80%
nilai terbaik.
- Variabiliti
Persisten ringan
Persisten sedang
Persisten berat
Mingguan
- Gejala>1x/minggu
tetapi<1x/hari.
- Serangan dapat
mengganggu
aktivitas
dan tidur
Harian
- Gejala setiap
hari.
- Serangan
mengganggu
aktivitas dan tidur.
- Membutuhkan
bronkodilator
setiap hari.
Kontinu
- Gejala terus
menerus
- Sering kambuh
- Aktifiti fisik
terbatas
>2 kali
sebulan
>2 kali
sebulan
Sering
APE<20%.
APE>80%
- VEP1≥80%
nilai prediksi
- APE≥80%
nilai terbaik.
- Variabiliti APE
20-30%.
APE 60-80%
- VEP1 60-80%
nilai prediksi
APE 60-80%
nilai terbaik.
- Variabiliti
APE>30%.
APE 60≤%
- VEP1≤60%
nilai prediksi
APE≤60%
nilai terbaik
- Variabiliti
APE>30%
(Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan
di Indonesia, 2004)
Selain berdasarkan gejala klinis di atas, menurut Global Initiative for
Asthma (GINA)asma dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat serangan
asma yaitu:
1. Serangan asma ringan dengan aktivitas masih dapat berjalan, bicara
satu kalimat,bisa berbaring, tidak ada sianosis dan mengi kadang
hanya pada akhir ekspirasi.
2. Serangan asma sedang dengan pengurangan aktivitas, bicara
memenggal kalimat,lebih suka duduk, tidak ada sianosis, mengi
nyaring sepanjang ekspirasi dan kadang-kadang terdengar pada saat
inspirasi,
3. Serangan asma berat dengan aktivitas hanya istirahat dengan posisi
dudukbertopang lengan, bicara kata demi kata, mulai ada sianosis dan
mengi sangat nyaring terdengar tanpa stetoskop.
4. Serangan asma dengan ancaman henti nafas, tampak kebingungan,
sudah tidakterdengar mengi dan timbul bradikardi.
Perlu dibedakan derajat klinis asma harian dan derajat serangan
asma. Seorang penderita asma persisten (asma berat) dapat mengalami
serangan asma ringan. Sedangkan asma ringan dapat mengalami serangan
asma berat, bahkan serangan asma berat yang mengancam terjadi henti
nafas yang dapat menyebabkan kematian.
2.1.6Manifestasi klinik
Tiga gejala umum asma adalah batuk, dispnea, dan mengi. Pada
beberapa keadaan, batuk mungkin satu-satunya gejala. Serangan asma
sering kali terjadi pada malam hari. Penyebabnya tidak dimengerti dengan
jelas, tetapi mungkin berhubungan dengan variasi sirkadian, yang
mempengaruhi ambang reseptor jalan napas.
Serangan asma biasanya bermula mendadak dengan batuk dan
rasa sesak dalam dada, disertai dengan pernapasan lambat, mengi.
Ekspirasi selalu lebih susah dan panjang dibanding inspirasi, yang
mendorong pasien untuk duduk tegak dan menggunakan otot-otot
aksesori pernapasan. Jalan napas yang tersumbat menyebabkan
dispnea. Batuk pada awalnya susah dan kering tetapi segera menjadi
lebih kuat. Sputum, yang terdiri atas sedikit mukus mengandung masa
gelatinosa bulat, kecil yang dibatukkan dengan susah payah. Tanda
selanjutnya termasuk sianosis sekunder terhadap hipoksia hebat, dan
gejala-gejala retensi karbon dioksida, termasuk berkeringat, takikardia,
dan pelebaran tekanan nadi.
Serangan asma dapat berlangsung dari 30 menit sampai beberapa
jam dan dapat hilang secara spontan. Meski serangan asma jarang
yang fatal, kadang terjadi reaksi kontinu yang lebih berat, yang disebut
“status asmatikus” kondisi ini merupakan keadaan yang mengancam
hidup (Suzane, 2001).
2.1.7 Evaluasi diagnostik
Riwayat kesehatan yang lengkap, termasuk keluarga, lingkungan
dan riwayat pekerjaan, dapat mengungkapkan faktor-faktor atau
substansi yang mencetuskan serangan asma.
Riwayat positif keluarga seringkali berkaitan dengan asma alergik.
Faktor-faktor lingkungan, termasuk perubahan musim, jumlah serbuk
sari yang tinggi, dan jamur juga berkaitan dengan asma. Perubahan
iklim, khususnya dingin dan polusi udara terutama sekali berkaitan
dengan asma nonalergik. Berbagai bahan kimia dan senyawa yang
berkaitan dengan pekerjaan telah menunjukkan hubungan
dengan
asma, termasuk garam logam, debu kayu dan debu sayuran, obatobatan (mis., aspirin, antibiotik, piperazin, dan simetidin), bahan kimiawi
dan plastik industri enzim biologik, (mis., detergen untuk laundry) debu
binatang dan serangga, sera, dan sekresi. Selama periode akut, rontgen
dada dapat menunjukkan hiperinflasi dan pendataran diafragma.
Pemeriksaan sputum dan darah dapat menunjukkan eosinofilia
(kenaikan
kadar
eosinofil).
Terjadi
peningkatan
kadar
serum
immunoglobulin E (IgE) pada asma alergik. Sputum dapat jernih dan
berbusa (alergik) atau kental dan putih (nonalergik) dan berserabut
(nonalergik).
Gas darah arteri menunjukkan hipoksik selama seranga akut.
Awalnya, terdapat hipokapnea dan respirasi alkalosis dan tekanan
parsial karbondioksida (PCO2) yang rendah. Dengan memburuknya
kondisi dan pasien menjadi lebih letih, PCO2dapat meningkat.
PCO2yang normal dapat menunjukkan gagal napas yang mengancam.
PCO2 20 kali lebih dapat berdifusi dibanding dengan oksigen, sehingga
sangat jarang bagi PCO2 untuk normal atau meningkat pada individu
yang bernapas dengan sangat cepat.
Fungsi pulmonari biasanya
normal antar serangan. Selama
serangan akut, terdapat suatu peningkatan kapasitas paru total (TLC)
dan volume residual fungsional (FRV) sekunder terhadap terjebaknya
udara. FEV dan kapasitas vital kuat (FVC) sangat menurun (Suzane,
2001).
2.1.8 Pencegahan Kekambuhan Asma
1. Mencegah sensititasi
Cara – cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi
(terjadinya atopi, diduga paling relevan pada masa prenatal dan
perinatal) atau pencegehan terjadinya asma pada individu yang
sensitisasi.
2. Mencegah eksaserbasi
Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger) seperti
alergen (indoor) seperti tungau dan debu rumah, hewan berbulu, kecoa,
dan jamur, alergen outdoor seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan
dan obat. Mengurangi pajanan penderita dengan beberapa faktor
seperti menghentikan merokok, menghindari asap rokok, lingkungan
kerja,
makanan,
adiktif,
obat
yang
menimbulkan
gejala
dapat
memperbaiki kontrol asma serta keperluan obat. Biasanya penderita
bereaksi terhadap banyak faktor lingkungan sehingga usaha mengindari
alergen sulit untuk dilakukan. Hal-hal lain yang harus dihindari adalah
polutanindoor dan outdoor, makanan dan aditif, obesitas, emosi – stress
dan berbagai faktor lainya.(MKI,2008)
2.1.9 Penatalaksanaan
Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat mengontrol
manifestasi klinis dari penyakit untuk waktu yang lama, meningkatkan
dan mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup
normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan
pengobatan asma bronkial adalah agarpenderita dapat hidup normal,
bebas dariserangan asma serta memiliki faal parusenormal mungkin,
mengurangi
reaktifasisaluran
napas,
sehingga
menurunkan
angkaperawatan dan angka kematian akibat asma.
Dalam penanganan pasien asma penting diberikan penjelasan
tentang
cara
penggunaanobat
yang
benar,
pengenalan
dan
pengontrolanfaktor alergi.(Meiyanti,2011 ; GINA 2006).
2.1.10. Tingkatan Asma Terkontrol
Tingkatan asma terkontrol dapat dilihat pada tabel 2.2 dibawah ini
Tabel 2.2
Tingkatan asma terkontrol
Karakteristik
Gejala harian
Terkontrol
Tidak ada (dua kali
atau kurang
perminggu)
Terkontrol sebagian
Lebih dari dua kali
seminggu
Pembatasan aktivitas
Tidak ada
Sewaktu-waktu
dalam seminggu
Gejala nokturnal
nokturnal/gangguan
tidur (terbangun)
Tidak ada
Sewaktu – waktu
dalam seminggu
Kebutuhan akan
reliever atau terapi
rescue
Fungsi Paru (PEF
atau
FEV1
Eksaserbasi
Tidak ada (dua kali
atau kurang dalam
seminggu)
Normal
Lebih dari dua kali
seminggu
Sumber : GINA 2006
Tidak ada
< 80% (perkiraan
atau dari kondisi
terbaik bila diukur)
Sekali atau lebih
dalam setahun
Tidak terkontrol
Tiga atau lebih gejala
dalam kategori asma
terkontrol sebagian,
muncul sewaktu –
waktu dalam
seminggu
Sekali dalam
seminggu
Untuk semua
bentuk eksaserbasi sebaiknya
dilihat kembali
terapinya apakah benar-benar adekuat. Suatu eksaserbasi mingguan,
membuat penderita menjadi asma tak terkontrol.
Kriteria asma terkontrol
1. Tidak ada atau gejala minimal
2. Tidak ada gejala asma malam
3. Tidak ada keterbatasan aktivitas
4. Tidak ada atau minimal pemakaian obatpelega
5. Faal paru normal atau mendekati normal
6.
Tidak ada kunjungan ke emergensi
(Antariksa Budi, 2009 : GINA 2006)
2.2 Konsep Pengetahuan
2.2.1 Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah
orang
melakukan
penginderaan
suatu
objek
tertentu
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
baik
melalui
Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui pendidikan, pengalaman sendiri
maupun pengalaman orang lain, media massa maupun lingkungan
(Notoatmodjo, 2003)
Menurut Notoatmodjo, pengetahuan yang dicapai dalam domain kognitif
mempunyai 6 (enam) tingkatan yaitu :
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini
adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari
seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
Oleh sebab itu, “tahu” ini adalah tingkat pengetahuan yang paling
rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa
yang dipelajari adalah menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan,
menyatakan dan sebagainya.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan
secara
benar
tentang
objek
yang
diketahui,
dan
dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang
telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, dan meramalkan terhadap
objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi
yang
(sebenarnya).
telah
dipelajari
Aplikasi
disini
pada
dapat
situasi
atau
diartikan
kondisi
aplikasi
rill
atau
penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, dan prinsip dalam
konteks atau situasi lain.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menggambarkan
materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi
masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada
kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari
penggunaan kata kerja dapat membedakan, memisahkan, dan
mengelompokkan.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk
meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu
bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasiformulasi yang ada, misalnya dapat menyusun, merencanakan,
meringkaskan dapat menyesuaikan terhadap suatu teori atau
rumusan-rumusan yang telah ada.
f.
Evaluasi (evaluation)
Evaluasi
ini
berkaitan
dengan
kemampuan
untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau
objek. Penilaian-penilaian ini
berdasarkan suatu kriteria yang
ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah
ada.
Pengukuran
pengetahuan
dapat
dilakukan
dengan
wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang
ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman
pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat
disesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut diatas.
Kategori pengetahuan menurut Arikunto (2006), pengetahuan
dibagi dalam 3 kategori, yaitu:
a. Baik bila subyek mampu menjawab dengan benar 76%-100% dari
seluruh petanyaan.
b. Cukup bila subyek mampu menjawab dengan benar 56% - 75%
dari seluruh pertanyaan.
c. Kurang bila subyek mampu menjawab dengan benar < 55% dari
seluruh pertanyaan.
Menurut Notoatmodjo (2003) faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat pengetahuan yaitu :
1) Pengalaman
Pengalaman artinya berdasarkan pemikiran kritis akan tetapi
pengalaman belum tentu teratur dan bertujuan. Mungkin
pengalaman hanya dicatat saja. Pengalaman yang disusun
sistematis oleh otak maka hasilnya adalah ilmu pengetahuan
2) Pendidikan
Pendidikan
berhubungan
dengan
pengembangan
dan
perubahan kelakuan anak didik. Pendidikan bertalian dengan
transmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan,
dan aspek kelakuan yang lain. Pendidikan adalah proses
belajar dan mengajar pola-pola kelakuan manusia menurut
apa yang diharapkan oleh masyarakat
3) Paparan media massa
Melalui berbagai media massa baik cetak maupun elektronik
maka berbagai informasi dapat diterima oleh masyarakat,
sehingga seseorang yang lebih sering terpapar media massa
akan memperoleh informasi yang lebih banyak dan dapat
mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dimiliki.
4) Sosial budaya
Semua
orang
hidup
dalam
kelompok
dan
saling
berhubungan melalui lambang-lambang, khususnya bahasa.
Manusia mempelajari kelakuan orang lain di lingkungan
sosialnya. Hampir segala sesuatu yang dipikirkan, dirasakan
bertalian dengan orang lain, bahasa, kebiasaan, makan,
pakaian, dan sebagainya dipelajari dari lingkungan sosial
budayanya.
5) Umur
Menurut Ahmadi (2001), bahwa dengan bertambahnya umur
seseorang
dapat
berpengaruh
pengetahuan yang diperolehnya.
6) Intelegensi
pada
pertambahan
Intelegensi bagi seseorang merupakan salah satu model
untuk berfikir dan mengolah berbagai informasi secara
terarah.
Perbedaan
intelegensi
dari
seseorang
akan
berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan.
2.3 Konsep Sikap
Menurut
Muss
dalam Sarwono
(2008)
sikap
adalah
suatu
predisposisi atau kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus
menerus untuk bertingkah laku atau untuk bereaksi dengan cara tertentu
terhadap pribadi lain, objek,lembaga atau persoalan tertentu.
Sarwono (2008) menyatakan bahwa sikap adalah
kesiapan
seseorang untuk bertindak secara tertentu. Sikap dapat bersifat positif dan
negatif. Orang yang memiliki perasaan positif, akan
cenderung
mendekati, menyenangi, menerima, atau mengharapkan objek tertentu.
Sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi,
menghindari, membenci, dan tidak menyukai objek tertentu.
(Walgito 2001) mengemukakan bahwa sikap adalah kesiapan
merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap objek atau situasi
secara konsisten. Sedangkan Gerungan (2004) menyatakan bahwa
pengertian attitude dapat diterjemahkan dengan kata sikap, pandangan
atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut disertai oleh kecenderungan
untuk bertindak sesuai dengn sikap terhadap objek tadi. Jadi attitude lebih
tepat diterjemahkan sebagai sikap dan kesediaan bereaksi terhadap
sesuatu hal. Dengan demikian sikap adalah konsep yang membantu kita
memahami perilaku.
2.3.1 Komponen Yang Membentuk Sruktur Sikap yaitu :
Menurut Azwar (2008), struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang
saling menunjang yaitu :
a.
Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa
yang berlaku atau apa yang benar bagi obyek sikap. Sekali
kepercayaan
itu
terbentuk,
maka
ia
akan
menjadi
dasar
pengetahuan seseorang mengenai apa yang dapat diharapkan dari
obyek tertentu.
b.
Komponen afektif
menyangkut
masalah
emosional,
subyektif
seseorang terhadap suatu obyek sikap. Secara umum, komponen ini
disamakan dengan perasaan pribadi sering kali sangat berbeda
perwujudannya bila dikaitkan dengan sikap.
c.
Komponen perilaku dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana
perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri
seseorang berkaitan dengan objek sikap yang di hadapi. Kaitan ini di
dasari oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak
mempengaruhi perilaku.
2.3.2 Pengukuran sikap
Menurut Azwar (2008), pengukuran sikap dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
a. Observasi Perilaku
Kalau seseorang menampakkan perilaku yang konsisten, dapat
ditafsirkan sikapnya dari bentuk perilaku yang tampak. Dengan kata
lain untuk mengetahui sikap seseorang terhadap sesuatu kita dapat
memperhatikan perilakunya, sebab perilaku merupakan salah satu
indikator sikap individu.
b. Penanyaan langsung
Asumsi yang mendasari metode penanyaan langsung guna
pengungkapan
sikap,
pertama
adalah
asumsi
bahwa
individu
merupakan orang yang paling tahu mengenai dirinya sendiri, dan
kedua
adalah
asumsi
keterusterangan
bahwa
manusia
akan
mengemukakan secara terbuka apa yang dirasakannya. Oleh karena
itu dalam metode ini, jawaban yang diberikan oleh mereka yang
ditanyai dijadikan indikator sikap mereka.
c. Pengungkapan langsung
Suatu pengungkapan langsung (direct assemant) secara tertulis
yang dapat dilakukan dengan menggunakan sistem tanggal maupun
sistem
ganda.
Responden
diminta
menjawab
langsung
suatu
pernyataan sikap tertulis dengan memberi tanda setuju atau tidak
setuju.
d. Skala sikap
Metode pengungkapan sikap dalam bentuk skala report yang hingga
kini dianggap sebagai paling dapat diandalkan adalah dengan
menggunakan daftar pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh
individu. Dari respons subjek pada setiap pertanyaan itu kemudian
dapat disimpulkan mengenai arah dan intensitas sikap seseorang.
e. Pengukuran terselubung
Metode terselubung (covert measures) sebenarnya berorientasi
kembali ke metode observasi perilaku yang telah dikemukakan diatas,
akan tetapi sebagai objek pengamatan bukan lagi perilaku yang
disadari atau sengaja dilakukan oleh seseorang melakukan reaksireaksi fisiologis yang terjadi lebih di luar kehendak orang yang
bersangkutan.
2.3.3 Tingkatan sikap
Menurut Notoatmodjo (2007), sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan yaitu :
1. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
2. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan
suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang
diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti
bahwa orang menerima ide tersebut.
3. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
2.3.4 Ciri Ciri Sikap :
Menurut Gerungan (2004), sikap memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Sikap tidak dibawa orang sejak ia lahir, tetapi dibentuk atau
dipelajarinya
sepanjang
perkembangan
orang
itu
dalam
hubungannya dengan objeknya
2. Sikap dapat berubah-ubah, karena itu sikap dapat dipelajari orang,
sehingga sikap dapat berubah pada seseorang bila terdapat
keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah
berubahnya sikap pada orang itu.
3. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mengandung relasi
tertentu terhadap suatu objek. Sikap terbentuk, dipelajari atau
berubah senantiasa berkaitan dengan suatu objek tertentu yang
dapat dirumuskan dengan jelas.
4. Objek sikap dapat merupakan satu hal tertentu, tetapi dapat juga
merupakan dari hal-hal tersebut. Jadi, sikap dapat berkaitan dengan
satu objek saja tetapi juga berkaitan dengan sederetan objek yang
serupa
5. Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan. Sifat
inilah yang membeda-bedakan sikap dari kecakapan-kecakapan
atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang.
2.3.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Dan Perubahan
Sikap
Sikap merupakan sesuatu yang dipelajari serta dapat berubah-ubah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perubahan sikap
(Walgito,2001; Gerungan,2004) adalah
1. Faktor internal
Faktor internal adalah faktor yang terdapat dalam pribadi manusia itu
sendiri berupa selectivity atau daya pilih seseorang untuk menerima dan
mengolah pengaruh-pengaruh yang datang dari luar. Pilihan terhadap
pengaruh dari luar tersebut berhubungan erat dengan motif-motif dan
sikap-sikap yang bekerja dalam diri manusia, terutama yang menarik minat
perhatiannya.
2. Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang terdapat diluar pribadi manusia berupa
interaksi sosial diluar kelompok.
Menurut Sherif (dalam Gerungan,2004), dengan melihat faktor-faktor
eksternal yang ada, sikap dapat dibentuk atau berubah apabila :
a. terdapat hubungan timbal balik yang langsung antara manusia
b. adanya komunikasi (yaitu hubungan langsung) dari satu pihak
Sikap dapat dibentuk atau berubah melalui 4 macam cara antara lain:
1. Adopsi
Kejadian dan peristiwa yang terjadi berulang dan terusmenerus,
secara
bertahap
diserap
ke
dalam
individu
dan
mempengaruhi terbentuknya suatu sikap.
2. Deferensiasi
Dengan
perkembangan
intelegensi,
bertambahnya
pengalaman sejalan dengan bertambahnya usia, maka ada hal-hal
yang tadinya dianggap sejenis, sekarang dipandang tersendiri
lepas dari jenisnya. Terdapat objek tersebut dapat terbentuk sikap
tersendiri pula.
3.
Integritas
Pembentukan sikap dasar terjadi secara bertahap, dimulai
dengan berbagai pengalaman yang berhubungan dengan suatu
hal tertentu.
4.
Trauma
Pengalaman yang tiba-tiba, mengejutkan yang meninggalkan
kesan mendalam pada jiwa orang bersangkutan. Pengalaman-
pengalaman
yang
traumatis
dapat
juga
menyebabkan
terbentuknya sikap.
Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap meliputi :
1. Pengalaman pribadi
Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk
dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial.
2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara
komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang
yang
dianggap
penting,
seseorang
yang
kita
harapkan
persetujuannya bagi setiap gerak, tingkah dan pendapat kita,
seseorang yang tidak ingin kita kecewakan atau seseorang yang
berarti khusus bagi kita akan mempengaruhi pembentkan sikap kita
terhadap sesuatu. Misalnya : Orang tua, teman sebaya, teman
dekat, guru, istri, suami dan lain-lain.
3. Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai
pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita.
4. Media massa
Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa
seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai
pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan.
Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan
kognitif bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut.
5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama
Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu
sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan
keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam arti
individu.
6. Pengaruh faktor emosional
Tidak
semua
bentuk
sikap
dipengaruhi
oleh
situasi
lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang, kadang-kadang
sesuatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh
emosi yang berfungsi yang berfungsi sebagai penyaluran frustasi
atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego (Aswar. 2008).
Download