Siti Sayidah Khomairoh 07/254466/SA/13933 SOSOK KARYA SASTRA (ESAI TENTANG KODRAT DAN KONDISI KEBERADAAN KARYA SASTRA) Usaha pemahaman terhadap karya sasya sastra sudah dilakukan sejak lama. Usaha tersebut telah membuahkan teori dan praktek kritik sastra. Menurut Abrahams, perkembangan tersebut berkisar pada empat elemen dasar, yaitu karya sastra (work), seniman (artist), semesta (universe), dan audiens (audience). Ilmu dan Ilmuwan 1. Ilmu dan Ragamnya Menurut Suriasumantri, ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang mempunyai cirri-ciri tertentu yang membedakannya dari pengetahuan-pengetahuan lain. Kekhasan cirri-ciri tersebut meliputi kekhasan ontologism dan epistemologisnya, ontology adalah cabang filsafat pengetahuan yang mempelajari kodrat keberadaan objek pengetahuan, sedangkan epistemology mempelajari perihal cara mendapatkan pengetahuan mengenai objek itu. Objek ilmu adalah seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji dengan panca indera manusia. Dalam teori ilmu pengetahuan pengertian objek dibedakan menjadi dua, yaitu objek formal dan objek material. Objek material adalah lapangan penyelidikan sedangkan objek forma adalah sudut yang diambil dalam memahami objek material. Hingga sekarang objek ilmu dapat dibedakan menjadi bermacam-macam. Popper membedakannya menjadi tiga yang meliputi dunia alam fisik, dunia proses pikiran, dan dunia isi pikiran. Dilthey membedakan objek ilmu menjadi dua, yaitu alam (natural world) dan dunia manusia (human word). Harbermas menambahkan “tindakan” sebagai salah satu objek ilmu pada pembagian yang dilakukan Dilthey. 2. Ilmu dan Ilmuan Sesuai dengan objeknya, ilmu hanya dapat diperoleh dengan cara empirik dan rasional. Karena merupakan subjek pengetahuan, ilmuwan harus dapat menempuh kedua cara itu. Kemampuan tersebut bisa dilakukan jika ilmuwan memiliki panca indera dan rasio yang normal. 1. Kondisi Keberadaan Karya Sastra Kondisi keberadaan karya sastra sebagai fakta kemanusiaan yang bersifat semiotik sangat perlu untuk diperhatikan. Sebagai fakta kemanusiaan, karya sastra merupakan ekspresi dari kebutuahan tertentu manusia, sedangkan fakta semiotik karya itu mempunyai cirri khas yang perlu diperhatikan. 1.1 Karya Sastra sebagai Fakta Semiotik Sebagai fakta semiotik , karya sastra mempunyai eksistensi ganda, yakni sekaligus berada dalam dunia inderawi dan dunia kesadaran non empirik. Aspek bunyi dan tulisan merupakan aspek empirik karya sastra. Kedua aspek tersebut tidak berubah dalam jangka waktu tertentu, sehingga dapat diuji orang lain dalam waktu yang berbeda. Makna merupakan aspek non empirik karya sastra. Pada umumnya yang menjadi lokus makna adalah kesadaran manusia. Ada yang menganggap kesadaran tersebut terletak pada kesadaran individu tetapi ada pula yang menganggapnya terletak dalam kesadaran kolektif. Makna dalam kesadaran individu merupakan makna yang tidak terelakkan sebab hanya individulah yang berhubungan langsung dengan karyanya. Kesadaran kolektif meliputi kolektif kebahasaan, kolektif kebudayaan, dan kolektif kesusastraan. Kolektif kebahasaan menyangkut pada hubungan dari makna ke tanda dan dari tanda ke makna. Kolektif kebudayaan menyangkut pada aspek ekspresi yang fisik dan aspek makna. Kolektif kesastraan menyangkut pada kode hermeuneutik dan simbolik. Kolektif kesastraan menyangkut pada kode hermeuneutik dan simbolik. 1.2 Karya Sastra sebagai Fakta Kemanusiaan Menurut Goldmann, karya sastra adalah struktur yang berarti (significant structure). Sebagai struktur penciptaan karya sastra adalah untuk mengembangkan hubungan manusia dengan dunia. Hal inilah yang membuat karya sastra tidak dapat lepas dari subjek penciptanya. Goldman beranggapan subjek karya sastra bukanlah individu tetapi kelompok. Seung juga memiliki anggapan yang sama dengan Goldman. Intensi-intensi pengarang adalah intesi yang dibangun oleh kelompok, oleh norma dan pragmatic yang berlaku pada ruang, waktu, dan kebudayaan tertentu. 2. Kodrat Keberadaan Karya Sastra 2.1 Karya Sastra dan Fakta Semiotik Lain Sebagai fakta semiotik, karya sastra adalah sistem tanda. Menurut Pierce, penanda adalah sesuatu yang bagi seseorang menjadi wakil dari sesuatu yang lain atas dasar tertentu. Penanda disebutnya sebagai representamen, sesuatu yang lain disebut objek, seseorang disebut interpretant, sedangkan dasar disebutnya ground. Hubungan antara keempat hal itu menentukan kodrat yang tepat dari suatu proses semiotik. Pierce membagi hubungan itu hanya terbatas pada tiga hal selain interpretant. Selanjutnya, dikatakan bahwa hubungan antara ketiga hal tersebut berada di dalam tiga jenis struktur triadik, yaitu hubungan triadik perbandingan atau kemungkinan logis yang didasarkan pada jenis tanda, hubungan triadik penampilan, dan hubungan triadik pikiran yang didasarkan pada jenis objek. 2.1.1 Jenis Tanda Karya Sastra Sebagai wavana, karya sastra tentu saja termasuk simbol. Meskipun secara mutlak tidak dapat mengingkari kehadiran bahasa, karya sastra tidak dapat sepenuhnya dipandang sebagai simbol belaka. Karya sastra juga mengandung ilusi visual dan tiruan bunyi yang tidak terikat pada konvansi bahasa. Gambaran tempat, perilaku manusia, dan tiruan suara, seperti angin, suara ombak, atau suara zero, merupakan hal-hal yang selalu terdapat dalam karya sastra, baik prosa maupun puisi. Selain mengandung ilusi visual dan tiruan bunyi, karya sastra mengandung pula ilusi kausal. Karya sastra tidak hanya dipandang sebagai simbol, melainkan juga indeks dan ikon atau bahkan jenis tanda lainnya. Intinya karya sastra memberikan ilusi mengenai kehidupan, seluruh jenis tanda yang ada dalam kehidupan menjadi jiwanya. Barthes dan Culler memandang segala hubungan penanda dan petanda sebagai sesuatu yang tidak kodrati dan universal, melainkan sesuatu yang konvensional, yang hanya didapat lewat pengetahuan serta proses belajar. Pengetahuan psikologi, sosiologi, dan lain-lainnya yang digunakan sebagai alat memahami petanda dari suatu penanda adalah juga suatu konvensi. Karya sastra pada hakikatnya adalah jenis simbol yang kompleks. Karya sastra merupakan simbol visual, suara, bahasa, indikatif, kausal, dan sebagainya. Segala jenis tanda yang terdapat dalam kehidupan menjiwai karya sastra karena wacana itu menampilkan ilusi kehidupan itu sendiri 2.1.2 Karya Sastra dan Wacana Lain Pembicaraan antara wacana karya sastra dengan wacana lain dapat dimulai dari Jakobson (1972) yang telah mengemukakan skema yang cukup luas. Ia juga lebih dahulu meneliti faktor- faktor yang membangun setiap peristiwa komunikasi verbal. Faktor pertama adalah pengirim tanda verbal, kedua adalah penerima tanda verbal. Agar dapat operatif, tanda verbal itu menutut faktor keempat, yaitu konteks atau refren . komunikasi verbal tidak mungkin akan terbangun tanpa adanya sluran fisik ataupun psikologis yang menghubungankan pengirim dan penerima. Saluran itu merupakan faktor keenam yang disebut kontak. Wellek dan Waren membahas tidak hanya perbedaan umum antara wacana sastra dengan wacana lain. Mereka juga berbicara perbedaan antara wacana sastra dengan wacana ilmu. Mernurut kedua tokoh tersebut, perbedaan antara kedua jenis wacana itu berkisar pada perbedaan antara sifat konotatif dan denotatif, antara tekanan pada penanda dan pada referen, dan antara sifat unambious dan sifat ambigu makna. Sebaliknya teks sastra baik detail detailnya maupun keseluruhan masuk ke dalam berbagai sistem hubungan sehingga menghasilkan secara simultan lebih dari satu makna. Dalam hal kadar ambiguitas, wacana sastra sama dengan wacana agam atau teks religi. Meskipun demikian, antara kedua wacana itu terdapat juga perbedaan. Wacana religius sering dikonstruksi atas prinsip semantik multilevel. Sebaliknya, wacana sastra mengandung banyak makna secara simultan. Meskipun demikian makna yang satu dengan yang lain tidak saling menyisihkan. Wellek dan Warren mencoba membedakan karya sastra dengan wacana lain dari segi sifat imajinatif dan fiktifnya. Akan tetapi Pratt menolak teori semacam itu. Untuk membedakan kembali perbedaan karya satra dengan nonsastra Pratt akhirnya menggunakan pendekatan kontekstual, yakni dengan berusaha mengidentifikasikan situasi tutur sastra. Karya sastra dapat dibedakan dari karya seni lainnya dilihat dari ciri intrinsiknya. Ciriciri intrinsik yang menjadi pembeda itu, antara lain materinya adalah bahasa yang bersifat simbolik, petanda bahasanya dapat menjadi penanda visual, auditori, dan sebagainya yang juga bersifat simbolik. Selanjutnya, perbedaan antara karya sastra dengan wacana lain tidak dapat ditentukan secara intrinsik, melainkan secara kontekstual. Konteks itu berupa situasi tutur sastra yang terbangun atas tiga faktor, yaitu audiens harus menjadi partisipan pasif dalam komunikasi sastra, kepasifan audiens itu disebabkan oleh kelayakan cerita dari hal yang dikemukakan karya sastra, kepasifan itu dimungkinkan pula oleh kepercayaan audiens pada proses persiapan dan seleksi yang telah dialami karya sastra itu. 2.2 Karya Sastra dan Fakta Kemanusiaan Lain Pengertian fakta kemanusiaan sesungguhnya sangat luas, bahkan fakta semiotika merupakan fakta kemanusiaan. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan fakta kemanusiaan di sini adalah fakta nonsemiotik, yaitu peristiwa sosial, politik, dan ekonomi. Dalam membedakan fakta kemanusiaan itu dengan karya sastra cukup mudah, karena segala fakta kemanusiaan itu adalah aktivitas fisik sedangkan karya sastra adalah aktivitas verbal. Dalam pengertian itu, segala tulisan mengenai kenyataan sosial, politik, dan ekonomi tidak dapat dianggap sebagai fakta kemanusiaan melainkan fakta semiotik yang bersifat verbal. Demikian pula pernyataan-pernyataan mengenai kehidupan politik, ekonomi, dan sosial. Meskipun perbedaan antara kedua kutub fakta itu tampak jelas, kasus-kasus yang mengaburkannya sering juga terjadi. Pertama, peristiwa-peristiwa fisik, baik yang sosial, politis maupaun ekonomis seringkali dianggap sebagai indikator dari sesuatu yang lain. Kekaburan yang terjadi dapat diatasi dengan pembedaan antara peristiwa konstruksi mental manusia dengan peristiwa hukum alam. Dalam karya sastra, terkandung peristiwa-peristiwa fisik. Kekaburan akibat kasus kedua dapat diatasi dengan cara yang sama. Akan tetapi, yang harus menjadi fokus perhatian adalah sifat konstruktifnya.