UPAYA MENDETEKSI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT ILEITIS TERMINALIS Anna Lewi Santoso Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRAK Penyakit ileitis terminalis, adalah penyakit peradangan saluran pencernaan yang dapat mengenai dibeberapa bagian saluran pencernaan mulai dari mulut sampai anus, penyakit ini mempunyai banyak tanda-tanda keluhan. Keluhan yang utama adalah sakit perut, diare ( bisa disertai darah ), mual, atau berat badan turun, tetapi dapat juga disebabkan oleh komplikasi diluar dari saluran pencernaan, misalnya : gatal pada kulit, rematik, peradangan mata, terlalu capek dan tegang. Penyebab Penyakit ileitis terminalis diduga karena faktor genetik, dimana sistem kekebalan tubuh menyerang saluran pencernaan, hal ini menyebabkan peradangan, yang sejenis dengan penyakit 'inflammatory bowel'. Bila ada riwayat keluarga yang terkena penyakit ileitis terminalis, maka kemungkinan besar individu tersebut akan terkena penyakit tersebut. Penyakit ileitis terminalis banyak ditemukan pada negara industri. Angka kejadian pada pria dan wanita sama banyak. Pada perokok terdapat tiga kali lebih banyak resiko untuk menderita penyakit ileitis terminalis. Di amerika utara, terdapat 400.000 sampai 600.000 penderita penyakit ileitis terminalis. Untuk eropa utara diperkirakan terdapat 27-48 per 100.000 orang penderita ileitis terminalis. Penyakit ileitis terminalis cenderung menyerang individu berumur remaja dan dewasa muda, bisa juga pada usia 50-70an, sehingga penyakit ileitis terminalis dapat menyerang semua umur. Belum ditemukan obat atau tindakan operasi yang dapat menyembuhkan penyakit ileitis terminalis. Pengobatan yang tersedia untuk saat ini adalah mengurangi dan mengontrol gejala dan keluhan yang muncul, juga mengurangi timbulnya kekambuhan dari penyakit ileitis terminalis. Nama lain dari penyakit ileitis terminalis adalah regional enteritis atau Crohn's disease. Yang memberi Nama crohn's disease adalah dokter saluran pencernaan dari amerika bernama Burrill Bernard Crohn, pada tahun 1932, bersama dengan dua temannya menjelaskan beberapa pasien yang sering terkena peradangan pada usus ileum bagian terminal. Kata kunci : peradangan, saluran pencernaan, penyakit sistem kekebalan tubuh, terapi dengan obat atau operasi. DETECTING AND DISEASE CONTROL EFFORTS ILEITIS TERMINALIS Anna Lewi Santoso Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRACT Is an inflammatory disease of the intestines that may affect any part of the gastrointestinal tract from mouth to anus, cousing a wide variety of symptoms. It primarily causes abdominal pain, diarrhea ( which may be bloody ), vomitimg, or weight loss, but may also cause complications outside of the gastrointestinal tract such as skin rashes, arthritis, inflammation of the eye, tiredness, and lack of consentration. Regional ileitis disease is thought to be an autoimmune disease, in which the body's immune system attacks the gastrointestinal tract, causing inflammation, it is classified as a type of inflammatory bowel disease. There has been evidence of a genetic link to regional ileitis disease, putting individuals with siblings afflicted with the disease at higher risk. It is understood to have a large environmental component of evidence by the higher number of cases in western industrialized nations. Males and females are equally affected. Smoker are three times more likely to develop regional ileitis disease. Regional ileitis disease affects between 400.000 and 600.000 people in North America. Prevalence estimates for Northern Europe have ranged from 27-48 per 100.000. Regional ileitis disease tends to present initially in the teens and twenties, with another peak incidence in the fifties to seventies, although the disease can occur at any age. There is no know pharmaceutical or surgical cure for Regional ileitis disease. Treatment options are restricted to controlling symptoms, maintaining remission and preventing relaps Regional ileitis disease has also been called regional enteritis or crohn's disease. Crohn's disease was named for American gastroenterologist Burrill Bernard Crohn, who in 1932, along with two colleaques, described a series of patients with inflammation of the terminal ileum, the area most commonly affected by the illness. KEY WORD : Inflammation, gastrointestinal tract, autoimmune disease, no know pharmaceutical or surgical cure. 1 1. PENDAHULUAN Ileitis terminalis adalah suatu penyakit peradangan saluran pencernaan yang mengenai keseluruhan tebal dinding usus, menahun, tersering pada usus halus dan colon. Insiden tertinggi di Amerika serikat, Eropa, jarang pada Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Penyakit ini terdapat pada semua umur, tersering pada dewasa muda umur rata-rata 27 tahun ( Storer, 1991 : 1169-75 ). Etiologi ileitis terminalis tidak diketahui, namun ada beberapa hipotesa yaitu karena interaksi faktor genetik dan lingkungan. Mulamula hiperemis ringan, dinding usus oedematus, mukosa juga hiperemi dan bisa ada ulkus aftosa. Mukosa memperlihatkan derajat perusakan bervariasi dengan ulkus linier serpiginosa untuk membentuk “ cobblestone” nodular ( Levine, 1995 : 559-65 ). Gejala klinis ileitis terminalis meliputi nyeri abdomen, diare, penurunan berat badan, demam dan lesi anus, dan diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan radiologis barium kontras ganda. Diagnosa banding untuk ileitis terminalis adalah colitis ulseratif, apendiksitis, tuberculosis, limfoma dan lain-lain. Untuk terapi digunakan terapi konservatif dan bila terjadi komplikasi pada usus seperti perforasi, obstruksi maka dilakukan operasi ( Levine, 1995 : 559-65 ). Tujuan dari penulisan ini adalah supaya dapat mengenal, mengetahui dan mencegah lebih dini, bila ada keluhan dan gejala yang sama dengan pemyakit ileitis terminalis, mengingat bahwa belum ditemukan obat atau operasi yang dapat menyembuhkan secara tuntas. Bila kita dapat mencegah lebih awal, kita dapat mengurangi keluhan yang timbul sehingga tidak terjadi komplikasi yang lebih berat. 2. APAKAH PENYAKIT ILEITIS TERMINALIS ITU? Ileitis terminalis atau Enteritis regionalis atau Crohn disease adalah suatu penyakit peradangan saluran pencernaan yang mengenai keseluruhan tebal ( Transmural ) dinding usus. Ia menahun dalam perjalanannya dengan masa relatif tenang bersama kekambuhan akut. Bagian saluran pencernaan apapun bisa terkena, tetapi tersering melibatkan usus halus dan colon ( Bailey's, 1972 : 429-30 ). Insidens tertinggi di Amerika Serikat, Inggris dan Scandinavia. Tersering di Eropa pusat, kadang-kadang Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Insidennya tiga kali lebih tinggi pada orang Yahudi dan lebih sering muncul pada orang kulit putih dibanding yang kulit hitam dan sedikit lebih banyak pada pria. Sekitar 60 per 100.000 populasi terkena di Amerika Serikat, sementara insidens kasus baru per tahun rata-rata 2 dan 4 per 100.000. Penyakit ini terdapat pada semua umur, tersering pada dewasa muda dengan umur ratarata 27 tahun. Puncak insiden antara dekade ke dua dan empat. Resiko terkena ileitis terminalis pada perokok sigaret dan yang mengkonsumsi banyak gula ( Schwartz, 1982 : 618-22 ). Etiologi ileitis terminalis tidak diketahui dan penyakit ini sering kambuh namun ada beberapa hipotesa , salah satunya ialah interaksi faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik bila ada riwayat keluarga “Inflammatory bowel disease”, ditemukan pada 15 – 20% penderita. Agen transmisinya yaitu virus, pseudomonas, mycobacteria, chlamydia dan yersinia, yang ditemukan pada jaringan. Dilaporkan juga karena imunologi yang abnormal. Jadi ada bukti mengesankan bagi dasar infeksi dan imunologi. Fenomena ekstraintestinalis berdasarkan imunologi sering timbul dan bahwa eksaserbasi penyakit ini sering diredakan oleh pemberian steroid. Kadar imunoglobulin bervariasi tapi jumlah dan aktivitas limfosit normal, maka masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menjelaskan peranan imunologi ( Levine, 1995 : 559-65 ). 3. BAGIAN-BAGIAN SALURAN PENCERNAAN BESERTA FUNGSINYA. Panjang usus halus kurang lebih enam meter. Perbatasan antara jejunum dan ileum jelas dari luar, dinding jejunum lebih tebal dan lumen ileum lebih sempit. Mesenterium mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe, kelenjar limfe dan saraf autonom. Aliran darah kolateral melalui arkade mesenterium di pinggir usus halus cukup banyak, ini yang antara lain menjamin penyembuhan luka anastomosis usus. Selain itu, terdapat pembuluh darah kolateral antara arteri kolika media sebagai arteri mesenterika superior dan arteri kolika sinistra sebagai cabang arteri mesenterika inferior. Hubungan kolateral ini terletak di pinggir kolon transversus dan kolon desendens. Disamping itu terdapat hubungan kolateral antara pangkal arteri mesenterika superior dan pangkal arteri mesenterika inferior melalui suatu lengkung pembuluh yang disebut “Arkus Riolan”, lengkung salah satu dari kedua arteri tersebut. Vena mesenterika superior bergabung dengan vena lienalis dan vena mesenterika inferior membentuk vena porta. Vena ini merupakan vena besar sehingga pada hipertensi portal dapat dipakai untuk dekompresi melalui anastomosis mesenterikokaval dengan vena cava inferior. Bersama cairan yang masuk dengan 2 makanan dan minuman, ludah, cairan-cairan lambung, empedu, pankreas dan usus halus membentuk cairan saluran cerna sejumlah 6 – 8 liter. Semua cairan ini akan diserap kembali sebelum isi usus melalui katub ileosekal, sehingga hanya kira-kira setengah liter cairan yang akan diteruskan ke kolon. Keluar masuknya cairan melalui sel ini terjadi dengan cara diffusi, osmosis atau dibawah pengaruh tekanan hidrostatik. Fungsi usus halus terdiri dari transportasi dan pencernaan makanan, serta absorbsi cairan, elektrolit dan unsur makanan. Setiap hari beberapa liter cairan dan puluhan gram makanan yang terdiri dari karbohidrat, lemak dan protein akan berlalu di usus halus dan setelah dicerna akan masuk kedalam aliran darah. Proses ini sangat efisien sebab hampir seluruh makanan terabsorbsi, kecuali bila terlindung oleh selulosa yang tidak dapat dicerna. Hal ini menjadi dasar diet berserat tinggi yang memberi volume ke faeses sehingga pasase disaluran cerna berlangsung lebih cepat. Hampir semua bahan makanan diabsorbsi dalam jejunum, kecuali vitamin B12 asam empedu yang diserap dalam ileum terminale. Isi usus digerakkan oleh peristaltik yang terdiri atas dua jenis gerakan yaitu segmental dan longitudinal. Gerakan intestinal ini diatur oleh sistem saraf autonom dan hormon. Hampir semua gas usus merupakan udara yang ditelan ( Hamami, 1997 :835-37 ; 855-57 ). 4. KEADAAN SALURAN PENCERNAAN PADA ILEITIS TERMINALIS. Lesi ileitis terminalis bisa muncul dalam bagian traktus gastrointestinalis dimanapun, yang mencakup esofagus dan lambung. Tetapi insiden tertinggi ditemukan dalam usus halus dan kolon. Ileum terminalis sering terlibat, baik tunggal atau gabungan dengan bagian lain traktus gastrointestinalis. Gambaran makroskopis usus halus pada stadium akut yaitu granular serosa dengan hiperemis ringan, dinding usus oedematosa dan lunak lembut, mediator inflamasi bisa faktor aktif plasma, leukotrien, komplemen, kinin, enterotoxin, interleukin, faktor nekrosis tumor. Mesenterium bisa menebal, tetapi tidak kenyal. Dalam mesenterium bisa ada kelenjar besar yang lunak bila usus dibuka, maka mukosa bisa juga hiperemi dan bisa ada ulkus aftosa. Stadium menahun, area segmental yang terkena, berwarna merah gelap serta menebal 2 atau 3 kali diameter normal dan kenyal dengan konsistensi seperti karet atau bahkan kasar. Pada serosa terlihat granular dan berwarna putih suram akibat granuloma dan pembuluh limfe berdilatasi. Lemak mesenterika bisa meluas untuk mengelilingi keseluruhan lingkaran usus yang terkena dengan cara yang disebut “maju pelanpelan”( Levine, 1995: 559-65 ). Segmen usus yang terkena bisa melekat ke struktur normal atau usus lain yang terlibat. Massa yang melekat padat ini bisa mencakup fistula antar gelung atau rongga abses. Pada potongan, keseluruhan dinding usus tampak menebal, tetapi sebagian besar reaksi ini terjadi dalam submucosa. Sebagai hasilnya, ukuran lumen terancam sampai suatu titik, tempat ini bisa timbul obstruksi sebagian. Mukosa memperlihatkan derajat perusakan bervariasi dengan ulkus linier serpiginosa, yang bisa bersatu melalui ulkus tranversa untuk membentuk “cobblestone” nodular. Disamping ulserasi, maka bisa juga ada fissura pada berbagai kedalaman melalui dinding usus. Jika ia memotong keseluruhan tebal, maka ia bisa berlanjut untuk membentuk fistula atau mengandung abses dengan gelung usus lain. Kadang-kadang ia bisa menyatukan fissura lain secara sebagian melalui dinding usus untuk membentuk fistula intramural. Mesenterium usus halus dalam stadium menahun memendek, kenyal dan menebal makroskopis. Kelenjar limfe didalam mesenterium menebal, kenyal dan seperti karet, yang mencapai diameter 2 sampai 4 cm ( Storer, 1991: 1169-75 ). Gambaran makroskopis pada stadium akut terdapat oedema dan limfangiektasis, terutama terlihat dalam submukosa. Mukosa tampak normal, mungkin dengan peningkatan dalam jumlah sel goblet dan terlihat reaksi eksudatif dalam serosa. Granuloma tidak ditemukan dalam stadium ini. Ileitis terminalis subakut, ditandai oleh fibrosis dini yang terutama terlihat dalam lapisan submukosa dan subserosa. Buktinya ditemukan kolagen fibrilar halus didalam regio ini bersama dengan infiltrasi sel plasma yang difus, hipertrofi folikular limfoid dan hiperplasia. Didalam mukosa ada ulserasi kecil yang terbentang dari muscularis mucosae. Muscularis propia memperlihatkan bukti hipertrofi, fibrosis dan infiltrasi juga dengan limfosit, sel plasma, eosinofil, tetapi tidak sampai derajat yang terlihat dalam submukosa dan subserosa ( Levine, 1995 : 559-65 ). Granuloma mungkin ada, terdapat lokal dalam submukosa, subserosa atau kelenjar limfe yaitu “giant cell” granuloma epiteloid dari tuberculosa tapi tidak ditemukan kuman TBC, keadaan ini biasa disebut “sarcoidlike granulomas”. Dalam stadium menahun, fibrosis lebih 3 terorganisasi dan padat. Terutama timbul dalam lapisan submukosa dan subserosa, meluas ke seluruh dinding usus transmural. Ulkus mucosa lebih besar dan lebih profunda serta bisa bersatu dan membentuk area yang besar. Vili usus tumpul atau tidak ada, kelenjar atrofi, keadaan ini menyerupai mukosa kolon ( Storer, 1991 : 116975 ). 5. BAGAIMANA MENDETEKSI PENYAKIT ILEITIS TERMINALIS. Mula-mula gejala berlangsung singkat lalu tanpa keluhan yang lama, tetapi setelah suatu waktu, episode simptomatik menjadi lebih sering dengan masa tenang yang lebih pendek. Pada waktunya penderita mengalami kira-kira 3 tahun gejala sebelum diagnosis enteritis regionalis dikonfirmasi. Kompleks gejala bervariasi dan tergantung pada tempat penyakit dimulai dalam traktus gastrointestinalis. Gejala umum : nyeri abdomen, diare, penurunan berat badan, demam dan lesi anus. Sebagian kecil enteritis regionalis bersifat akut dengan gejala yang serupa apendisitis, yaitu nyeri kwadran kanan bawah, nyeri tekan dan demam, biasanya tanpa mual dan muntah. Diagnosa klinis apendiksitis akut dan diagnosa ileitis terminalis ditegakkan dalam kamar operasi ( Levine, 1995 : 559-65 ). Nyeri abdomen 95% terdapat pada ileitis terminalis. Pola nyeri secara umum bersifat episodik dan kram serta biasanya mengikuti makanan, berpusat pada perut bagian bawah dan hilang dengan defekasi. Nyeri ini sekunder terhadap peristaltik karena melawan lumen usus yang dikonstriksikan oleh penebalan dinding usus yang oedema dan fibrotik. Lumen usus normal bisa juga nyeri bila melekat pada gelung yang meradang, terinfeksi dan dapat menyebabkan obstruksi usus sebagian, bisa juga obstruksi kolon sebagian atau keduanya. Bila obstruksi total maka gejalanya, kram, muntah dan abdomen distensi. Pada penderita menahun, nyeri bersifat 'pegal', lebih konstan, sering disertai massa yang dapat dipalpasi dan nyeri tekan abdomen. Terdapat lebih banyak usus ( normal dan meradang ), bisa juga terdapat abses tertutup atau fistula entero-enterik ( Schrock, 1993 : 268 ). Diare yang timbul ± 92%, merupakan gejala terlazim kedua. Penderita mengeluh dua atau lima kali buang air besar seperti air tiap hari, bisa juga semisolid. Karakteristik faeses berisi tanpa darah, jika yang terkena usus halus. Satu dari tiga penderita yang terkena pada kolon, terdapat darah dan beberapa diare darah mirip pada kolitis ulseratif. Umumnya diare pada ileitis terminalis jarang terbukti darah, pus dan mukus. Pada penderita lanjut, diare bisa berbau busuk sebagai akibat steatore penyerta ( Sachdeva, 1996 : 208-9 ). Penyebab terjadinya diare, bisa karena penurunan absorbsi bersih air sekunder terhadap mukosa yang sakit dan meradang. Hal ini timbul bila keterlibatan jejunum yang luas, karena jejunum adalah tempat beban air terbanyak yang diabsorbsi. Fistula enteroenterik juga menyebabkan isi usus memintasi area permukaan mukosa yang luas, tempat normalnya air diabsorbsi. Atau terdapatnya obstruksi usus akibat kontriksi peradangan usus proksimal dari segmen yang terlibat ini berdilatasi dan menyebabkan penurunan absorbsi cairan. sekresi cairan ke dalam lumen usus tetap normal atau meningkat,yang menyebabkan meningkatkan beban air yang di angkut melewati valva ileocaecal. Obstruksi usus sebagian bisa juga bertanggung jawab bagi pertumbuhan bakteri berlebihan dalam isi usus. Pertumbuhan bakteri berlebihan bisa bertangung jawab bagi sebab akhir diare, yaitu tidak diserapnya garam empedu dari usus. Jumlah bakteri abnormal dalam lumen usus mengkonjugasi empedu dan mencegah absorbsinya didalam ileum. Bila garam empedu tidak diserap dan melewati kolon kanan, maka ia menghambat absorbsi air oleh mukosa kolon sehingga terjadi diare seperti air. Juga tanpa reabsorbsi garam empedu sebagai bagian sirkulasi enterohepatik yang normal, kumpulan asam empedu dikosongkan, terjadi malabsorbsi lemak dan steatore, yang memperburuk diare ( Levine, 1995 : 559-65 ). Demam timbul lebih dari setengah pasien ileitis terminalis dan bisa sebagai satu-satunya gejala. Ia sering mendahului keluhan abdomen selama beberapa tahun. Sehingga penderita demam yang asalnya tidak diketahui, ileitis terminalis pasti merupakan bagian diagnosa banding. Demam demikian bisa karena abses didalam dinding usus atau diantara gelung usus. Suatu fistula bisa juga bertanggung jawab bagi peningkatan suhu ( Fielding, 1986 : 346-7 ). Penurunan berat badan lebih dari 5 pon timbul pada lebih dari 85% tetapi kurang bermakna. Kegagalan mempertahankan berat badan paling mungkin karena usaha sadar penderita untuk menurunkan masukan, karena hubungan,yang dirasakan antara makan dengan mulainya gejala. Terdapat juga malabsorbsi lemak, Vitamin yang larut lemak (A,D,E,K) tidak dapat diserap secara normal. Malabsorbsi protein sekunder terhadap hipermotalitas dan jumlah mukosa yang sakit didalam usus halus. Sehingga protein tidak terpapar ke mucosa yang normal untuk waktu 4 yang cukup dalam pemecahan ke asam amino dan dipeptida bagi absorbsi. Kesulitan dalam asimilasi karbohidrat bisa akibat defisiensi disakaridase dalam mikrovili mucosa usus yang terkena ( Schwartz, 1982 : 618-22 ). Anemia penyerta yang terlihat dalam ileitis terminalis mungkin karena beberapa faktor, pendarahan menahun dari mucosa usus yang meradang. Pendarahan ini tidak sebesar kolitis ulserativa, tetapi cukup besar, sehingga masukan zat besi yang normal tidak dapat mengkompensasi.Timbul anemia mikrositik kronis.Bisa juga anemia megaloblastik karena defisiensi vitamin B12. Vitamin ini biasanya diserap dalam ileum terminalis.Gangguan absorbsi dan pencernaan yang di uraikan di atas dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan pada pasien anak. Hal ini dapat dihindari jika pengisian kembali dan tambahan dimulai melalui jalur oral atau parenteral ( Schrock, 1993 : 268 ). Sepertiga penderita ileitis terminalis terdapat komplikasi anus yang bisa mendahului keluhan abdomen selama beberapa tahun. Fissura ini merupakan lesi terlazim termasuk juga fistula dan abses. Sering fistula tidak berhubungan dengan segmen usus lain yang sakit dan sering biopsi lesi perianus memperlihatkan granuloma. Harus hati-hati dalam terapi komplikasi perianus yang menyertai ileitis terminalis, karena kecenderungan terjadi menahun pada penyembuhan pasca bedah. Paduan konservatif, drainase lokal dan oral metronidazole memperlihatkan hasil yang memuaskan, tetapi dalam beberapa kasus ,fistula perianus kronika parah tidak dapat dikendalikan tanpa reseksi anus proksimal yang sakit ( Schrock, 1993 : 268 ). Terdapat juga keluhan lain yang tidak berhubungan dengan saluran pencernaan. Terjadi pada ± 25% dan semua sistem organ terkena. Manifestasi ini timbul setelah mulainya penyakit usus secara klinis.Tidak mengikuti sifat episodik penyakit usus, tetapi konstan perjalanannya dan jarang dipengaruhi oleh terapi. Artritis terdapat dalam sepertiga penderita, sedikit manifestasi kulit seperti eritema nodosum, gangrenosum pirodermik. Terdapat juga uveitis, iritis atau stomatitis. Pada hati terdapat infiltrasi lemak, perikolangitis, kolangitis sklerotikans, kolelitiasis. Batu jenis kolesterol, terjadi karena kehilangan asam empedu yang bertindak melarutkan kolesterol di dalam empedu. Manifestasi ginjal pada hidronephrosis sekunder terhadap fibrosis periureter dan nefrolitiasis, Batu oksalat terjadi karena gangguan absorbsi kalsium dan kehilangan kalsium tersebut melalui lumen usus. Fibrosis pankreas dengan penimbunan amiloid sekunder bisa juga timbul ( Levine, 1995 : 559-65 ). Resiko Adenokarsinoma usus halus menyertai ileitis terminalis seratus kali lebih besar dari pada yang terlihat dalam populasi. Tetapi masalahnya tidak besar, karena angka karsinoma pada yang normal hanya 3 per 100.000, sehingga kira-kira 62 kasus adenokarsinoma usus halus yang menyertai ileitis terminalis. Usia rata-rata 47 tahun,10 tahun lebih muda dibanding populasi normal. Tiga perempat dari semua tumor timbul dalam ileum terminalis. sepertiga dari semua tumor timbul pada segmen yang telah dipintasi secara bedah, dengan prognosis kelangsungan hidup rata-rata satu tahun ( Storer, 1991 : 1169-75 ). Untuk menegakkan diagnosa diperlukan adanya riwayat spesifik, gejala episodik yang mencakup nyeri abdomen, diare, demam dan penurunan berat badan, anemia, defisiensi. Pemeriksaan fisik bisa bermanfaat dalam menunjukkan distensi derajat rendah, hiperperistaltik dan dilatasi usus yang palpable, massa abdomen yang nyeri tekan, usus halus dapat menebal dan mengalami hipertrophy sebagai respon terhadap stenosis yang berjalan lambat ( Dunphy, 1993 : 155-6 ). Pemeriksaan yang bermanfaat adalah endoskopi usus bersama biopsi dan pemeriksaan radiologi traktus gastrointestinal. Karena esophagus, lambung dan duodenum jarang terlibat dalam ileitis terminalis, maka endoskopi fleksibel traktus gastrointestinal atas biasanya tidak memberikan informasi diagnosis yang bermanfaat. Karena kolon dan rektum cukup sering terlibat, maka protoskopi dan kolonoskopi fiberoptik fleksibel dapat sangat bermanfaat. Pemeriksaan bisa menunjukkan mukosa hiperemi, ulkus aftosa dini atau gambaran lebih lanjut ulkus konfluens profunda dan fisura. Gambaran mukosa “cobblestone” bisa sangat menyokong diagnosa ileitis terminalis. Walaupun perubahan fibrosis dan peradangan pada pemeriksaan mikroskopis bisa sangat menggambarkan diagnosis ileitis terminalis, namun hanya ditemukan suatu granuloma dianggap patognomonik penyakit ini. Karena granuloma tampil hanya pada 40% sampai 60% penderita ileitis terminalis, maka tidak mungkin biopsi acak akan menghasilkan gambaran ini ( Levine, 1995: 559-65 ). Pemeriksaan radiologis traktus gastrointestinal untuk menentukan perubahan dalam perincian mukosa yang terlibat dengan penyakit ini. Teknik barium kontras ganda dapat digambarkan luasnya penyakit, kolon dan ileum terminalis bisa diperiksa dengan enema barium. Pada awal perjalanan penyakit, ulkus aftosa bisa 5 terbukti diatas permukaan mukosa. Gambaran lebih lanjut yaitu penyempitan lumen “tanda benang” Cantor, ulkus longitudinalis, fissura dan penampilan “cobblestone”. Karena di usus yang terlibat maupun mesenterium menebal secara makroskopis, maka ada peningkatan ruang diantara gelung usus yang terisi kontras. Dilatasi usus bisa diperlihatkan proximal dari area lumen yang menyempit. Akhirnya massa usus melekat karena meradang bisa menggeser usus terisi kontras lainnya. Fistula ( sementara sering ada dalam penyakit lanjut ) sulit diperlihatkan. CT scan, ultrasound dan MRI memiliki nilai diagnostik yang berharga dalam beberapa kasus ( Schrock, 1993 : 268 ). 6. BEBERAPA PENYAKIT YANG MENYERUPAI PENYAKIT ILEITIS TERMINALIS. Penyakit Colitis Ulseratif, mempunyai keluhan diare berat, yang hanya terdapat pada kolon. Pada pemeriksaan didapatkan hanya pada mukosa dan sub mukosa yang meradang, jarang ada granuloma. Mempunyai respon terhadap pengobatan medik baik, sesudah proktokolektomy, yang disertai ileotomi penyakit colitis ulseratif jarang terulang kembali ( Sachdeva, 1996 : 208-9 ). Apendiksitis, sangat sulit membedakan dengan ileitis terminalis akut, karena mempunyai gejala yang sama, sehingga sulit untuk membedakannya tanpa operasi ( Hamami, 1997 : 855-7 ). Tuberculosis, dapat terjadi pada beberapa tempat dari traktus gastrointestinal, sehingga menyerupai penyakit ileitis terminalis. Untuk membedakannya, dilihat dari bagian saluran pencernaan yang terkena. Tuberculosis jarang pada caecum distal ( Hamami, 1997 : 855-7 ). Limfoma, penyakit ini sulit dibedakan dari penyakit ileitis terminalis. Untuk membedakannya dapat melalui pemeriksaan radiologi, tapi pemeriksaan secara histologi, kadang-kadang ditemukan sebelum diagnosa ditegakkan. Dengan Biopsi rektal atau kolon yang menunjukkan granuloma atau radang mendukung diagnosa ileitis terminalis ( Schwartz, 1982 : 61822 ). Penyakit-penyakit lainnya yang bisa menyerupai penyakit ileitis terminalis antara lain adalah, karsinoma, amoebiasis, iskemia, gastroenteritis eosinophilic dan keradangan lainnya. 7. UPAYA PENANGGULANGAN PENYAKIT ILEITIS TERMINALIS. Pertama-tama, upaya kita dalam menanggulangi penyakit ileitis terminalis secara konservatif adalah dengan istirahat yang cukup, menghindari stres emosional, menjalin hubungan yang baik antara dokter dan penderita. Disamping itu, yang terpenting adalah menghentikan proses radang. Upaya lainnya dengan peningkatan gizi makanan sehari-hari. Bila terdapat diare, dilakukan pencegahan diare dengan difenoksilat hidroklorida ( lomotil) atau atropin. Bila dirasakan nyeri abdomen, diberi analgesik. Jika tidak ada obstruksi usus (sebagian atau lengkap) maka dekompresi usus dengan sonde nasogaster, perlu juga terapi intravena. Untuk eksaserbasi akut proses peradangan dalam ileitis terminalis diberi sulfasalazin ( azulfidine ), prednison dan azatioprin. Namun dalam penelitian, tidak ada obat yang mengubah perjalanan jangka lama penyakit ini. Sehingga lama masa tenang diantara serangan tidak meningkat atau jumlah episode berulang tidak menurun oleh terapi apapun. Bisa juga dilakukan pergantian gizi secara oral atau parenteral. Untuk gizi secara oral: menggunakan formula rendah dalam masa dan tanpa lemak. Hal ini dapat diserap hampir seluruhnya didalam usus halus bagian atas, yang tidak meninggalkan sisa. Pada penderita dengan obstruksi sebagian, fistula enteroenterik atau keterlibatan segmen usus halus yang besar, diberikan makanan parenteral total yang terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral ( Fielding, 1986 : 346-7 ). Bila upaya kita secara konservatif tidak bisa mengatasi keluhan penyakit ileitis terminalis tersebut atau timbul komplikasi , maka bisa dilakukan upaya terapi Bedah. Intervensi bedah bukan mengobati ileitis terminalis, tetapi hanya mengobati masalah spesifik yang timbul dalam perjalanan penyakit. Operasi tidak mengubah probabilitas kekambuhan atau kebutuhan bagi intervensi bedah lebih lanjut. Indikasi bagi intervensi bedah adalah untuk Obstruksi usus, fistula enterik, abses, penyakit perianus dan kegagalan meredanya gejala dengan prednison atau sulfasalazin, perdarahan gastrointestinal yang hebat, perforasi abdomen ( jarang ). Prinsip terapi bedah adalah perlindungan terhadap panjang usus. Tindakannya meliputi: Pintas usus, pintas usus dengan defungsionalis segmen yang terlibat dan reseksi dengan atau tanpa reanastomosis. Umumnya dipilih reseksi usus pada jaringan sakit yang hebat, mesenterium dalam jumlah minimum boleh direseksi bersama usus untuk mempertahankan vaskularisasi ke usus yang masih ada setidaknya 25 cm. Mortalitas bagi operasi rata-rata 5%. Tetapi tingginya insidens penggunaan steroid prabedah menyebabkan 6 tingginya morbiditas pasca bedah. Morbiditas berpusat pada anastomosis usus, dengan kebocoran dan fistula serta sepsis yang berhubungan dengan abses intra abdomen dan infeksi luka. Keadaan khusus pada penderita apendiksitis akut yang dioperasi, ditemukan juga ileum terminalis meradang, mesenterium menebal, nodus lymphatik mesenterika membesar kenyal. Jika caecum tidak terlibat, maka harus dilakukan apendiktomi serta ileum terminalis dibiarkan tidak terganggu. Operasi untuk usus halus yaitu reseksi, untuk usus besar yaitu panproktokolektomi dengan ileostomi, mempunyai angka kekambuhan paling kecil, tetapi operasi yang lebih konservatif dilakukan terhadap penyakit yang terlokalisir. ( Storer, 1991 : 1169-75 ). Bila penanggulangan penyakit ileitis terminalis secara konsevatif maupun tindakan bedah tidak berhasil, maka dapat terjadi komplikasi. Komplikasi dapat terjadi pada usus, yaitu berupa obstruksi, abses, fistula, lesi anorektal, sering terjadi perforasi bebas dan perdarahan massive jarang terjadi. Karsinoma mungkin timbul dalam segmen kecil atau besar pada usus yang terlibat penyakit ileitis terminalis, khususnya pada segmen dimana terdapat aliran faeces dengan operasi pintas usus. Komplikasi juga bisa terjadi pada seluruh tubuh, misalnya penyakit hepatobiliary, uveitis, arthritis, ankylosing spondylitis, ulkus aftosa, erythema nodusum, amyloidosis, thromboembolism dan gangguan vaskuler, ditemukan juga pada colitis ulseratif. Metastase penyakit ileitis terminalis pada kulit yaitu ulkus kutaneus dengan reaksi granuloma pada tempat terpisah dari usus dengan kulit normal. Komplikasi urologi: cystitis, calculi dan obstruksi uretra. Fibrosis periureterik, hidronefrosis kanan. ( Sachdeva, 1996 : 208-9 ). Penyakit Ileitis terminalis adalah penyakit kronis yang dapat progresif. Tetapi medikal yang menguntungkan untuk jangka lama belum ditemukan. Disamping itu, operasi adalah tindakan paliatif, bukan kuratif. Kekambuhan rata-rata dalam 15 tahun sesudah operasi adalah 50%. Untuk obstruksi biasanya dilakukan strictureplasty dan sedikit terdapat komplikasi post operasi. Operasi ulang diperlukan 10% dari penderita dengan stricture plasty dalam tiap tahun dan satu dari tiga penderita dalam 10 tahun. Operasi hanya digunakan untuk komplikasi, 80-85% penderita dioperasi dapat hidup normal. Resiko kematian jangka panjang 2x pada usia kapanpun. Dibandingkan dengan normal dan resiko ini lebih besar pada penderita muda dalam beberapa tahun diagnosis. Peningkatan mortalitas yang terlihat dalam penderita ini disebabkan oleh penyebab yang seluruhnya dapat dihubungkan ke ileitis terminalis atau komplikasi yang berhubungan.(Storer, 1991 : 1169-75). 8. SIMPULAN Ileitis terminalis adalah suatu penyakit peradangan saluran pencernaan yang menahun, sering kambuh, dengan etiologi yang tidak diketahui, dan ada hubungannya dengan imunologi, sering menyerang usus halus dan kolon. Insiden tertinggi di Amerika Serikat, Inggris, dan Scandinavia, yang terkena pada semua umur. Resiko tertinggi pada perokok dan yang mengkonsumsi banyak gula. Gejala umum: nyeri abdomen, diare, penurunan berat badan, demam dan lesi anus, bisa juga seperti apendiksitis yang tanpa gejala mual dan muntah. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik berupa hiperperistaltik, dilatasi usus yang palpable, ditemukan juga massa di abdomen yang nyeri tekan. Pemeriksaan tambahan yang diperlukan adalah endoskopi usus untuk biopsi dan pemeriksaan radiologi barium kontras ganda. Terapi untuk ileitis terminalis adalah : istirahat yang cukup, menghentikan proses radang dengan obat-obatan yang disesuaikan dengan keluhan / gejala umum, peningkatan gizi. Terapi bedah diperlukan untuk memperbaiki keadaan dari usus ( komplikasi ), misal: obstruksi usus, gagal terapi menggunakan obat, abses, dan lain-lain. Prognosis kematian jangka panjang 2x dan lebih besar resikonya pada penderita muda. DAFTAR PUSTAKA Bailey's.H,Crohn's Disease in Emergency Surgery editor: Mc Nair. Tj, MD, F.R.C.S, ninth Eds, Bristol John Wright and Sons LTD.1972. Dunphy. J. E, M. D.,F. A. C. S., Botsford. T.W,M.D,F.A.C.S., Pemeriksaan Abdomen dalam Pemeriksaan Fisik Bedah Alih Bahasa Susanto. Th., dkk, Yayasan Essentia Medica, 1993,1993. Fielding.L.P, Emergencis Caused by Acute inflammatory and ischaemic Bowel disease in Bailey'sH. Emergency Surgery, Editor: Dudley.H.A.F, Eleventh eds. Bristol Wright 1986. Hamami. A. H, Pieter J, Riwanto 7 Ign, Tjambolong T, Usus halus, apendiks, kolon dan anorektum dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Editor : Sjamsuhidajat R, wim de jong. Edisi I, EGC, Jakarta, 1997. Levine.B.A, M.D., Aust.J.B, M.D., DH. D, Kelainan Bedah Usus Halus, dalam buku Buku Ajar Bedah, editor : Sabiston. D. C, Jr., M.D., Alih bahasa : Andrianto. P, dr., Timan. I. S., dr., editor : Oswari.J,dr., Bagian I, second eds, EGC, Jakarta, 1995. Sachdeva. R. K. dr., Traktus Gastrointestinalis, dalam Catatan Ilmu Bedah, alih bahasa : Handyanto, dr, editor: Erlan. Dr., edisi 5, Hipokrates, Jakarta, 1996. Schrock. T. R, M.D., Saluran Pencernaan dalam Ilmu Bedah, alih bahasa: Dharma. A, drs. Med, Lukmanto. D, DR., Gunawan, dr., edisi 7, EGC, Jakarta, 1993. Schwartz. S I, M.D., Crohn's Disease in Principles of Surgery Eds : Schwartz. S. I, M. D., Shires. G.T,M.D., Spencer. F. C, M. D., Storer. E. H., M. D., Third eds, Mc Graw-Hill International Book Company Singapore 1982. Storer. E. H., Small Intestine in Current Surgical Diagnosis & Treatmeant, Editor : Way. L. W, M. D., Ninth Eds, Pretice-Hall International Inc, 1991. 8 MACAM PENYAKIT HEPAR DAN PEMERIKSAANNYA Elizabeth S Nugraheni Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRAK Untuk mendiagnosa penyakit hati, hal pertama yang dalam pikiran adalah bagaimana membuat klasifikasi sistematis dan praktis dari penyakit hati. Dalam membaca ini, izinkan saya mengklasifikasikan penyakit hati sering menjadi 2 kelompok besar yaitu: Hati penyakit akut dan penyakit kronis hati. Penyakit termasuk penyakit akut Hati adalah: Viral Hepatitis, Hepatitis Obat diinduksi, Alkoholic penyakit hati, Ischeamic Hati Disease.The penyakit termasuk Penyakit hati kronis adalah: kronis Hepatitis, Sirosis hepatik dan hepatoma, Lemak Hati. Sangat penting untuk mengklasifikasikan penyakit, karena mengacu pada prognosis penyakit. Pemulihan Hepatitis akut adalah 100%, kecuali Hepatitis C. Beberapa Hepatitis kronis sembuh, dan beberapa begitu sulit disembuhkan. Sirosis hepatis adalah sulit untuk menyembuhkan tapi masih kita dapat melestarikan dan Cafe hepatosit. Tapi hepatoma sulit baik untuk menyembuhkan dan untuk mempertahankan panggung. Kadang-kadang sulit untuk berbeda kondisi tersebut, terlalu banyak laboratorium uji tapi ada keterbatasan keuangan pasien untuk mendukung temuan laboratorium. Jadi kita harus menentukan tes terhadap diagnosis dugaan kami buat. Kata kunci: pengujian laboratorium untuk penyakit hati, penyakit hati kronis, penyakit hati akut. EDUCATION BIOLOGY KINDS OF DISEASES AND INSPECTION Elizabeth S Nugraheni Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRACT To diagnose liver diseases, first thing in mind is how to make a systematic and practical classification of the liver diseases. In this reading, let me classify the commonly liver disease into 2 large group which are : Acute Liver diseases and Chronic Liver diseases. The diseases including Acute Liver Diseases are : Viral Hepatitis, Hepatitis Drug induced, Alkoholic liver disease, Ischeamic Liver Disease.The diseases including Chronic Liver Diseases are : Chronic Hepatitis, Cirrhosis Hepatic and Hepatoma, Fatty Liver. It is important to classify the diseases, because it refer to prognosis of the diseases. Recovery of Acute Hepatitis is 100 %, except Hepatitis C . Some Chronic Hepatitis recover, and some so difficult to cure. Cirrhosis Hepatis is difficult to heal but still we can preserve the healthty hepatocytes. But Hepatoma difficult both to heal and to maintain the stage. Sometimes difficult to differ those condition, too many laboratory test but there is a limitation of patient’s financial to support the laboratory findings. So we have to specify the test toward the suspected diagnosis we’ve made. Keywords : Laboratory test for liver diseases, Chronic Liver diseases, Acute Liver diseases. PENDAHULUAN Latar belakang : Sehubungan dengan banyaknya jenis penyakit hati dan jenis pemeriksaan laboratorium untuk diagnosa penyakit hati, maka tulisan ini dibuat. Karena cara yang praktis dan mudah sangat membantu dalam memilah dan memilih pemeriksaan laboratorium, sehingga dapat ditegakkan diagnosis pasti dari penyakit hati tersebut, sehingga pengobatan yang tepat pun dapat diberikan. Kemampuan keuangan pasien dalam berobat juga harus kita perhatikan, walaupun dengan meniadakan perkecualian pemeriksaan untuk menunjang diagnosa. Tujuan penulisan ini adalah untuk memberi deskripsi pada pembaca sedikit tentang beragam pemeriksaan laboratorium yang berkaitan dengan penyakit hati. Diharapkan dengan sedikit tulisan ini, mudah bagi para sejawat dalam menentukan pemeriksaan yang akan di pilih untuk membantu diagnosa pasien dan untuk diluar profesi dokter, semoga bisa mendapat sedikit gambaran tentang penyakit liver dan macam-macam pemeriksaannya. PEMBAHASAN A. Klasifikasi Penyakit Hepar (1) Penyakit Hepar yang sering dijumpai di masyarakat , dibedakan yaitu : 1. Penyakit Hati akut 2. Penyakit Hati kronik 9 Penyakit hati akut adalah : Kemungkinan penyebabnya adalah virus, obat2an, alkohol dan keadaan ischaemia. Penyakit hati kronis adalah : 1. Hepatitis Kronis 2. Sirosis Hati 3. Hepatoma Kepentingan klasifikasi tersebut antara lain adalah untuk menentukan prognosa dan penatalaksanaan masing2 penyakit tersebut. B. Symptoms and signs of Liver diseases (2,3,5) Symptoms, riwayat klinis : 1. Right upper quadrant discomfort : Riwayat nyeri perut kanan atas yang nyata, atau nyeri setelah makan Mengarahkan diagnosa ke cholelithiasis, cholecystitis. Sedangkan nyeri perut kanan atas yang tidak nyata, rasa tidak nyaman Mengarahkan ke kecurigaan penyakit hepatocelular atau infiltrative diseases. Disebabkan karenan peregangan kapsula Glisson. 2. Pruritus 3. Anorexia 4. Weight loss 5. Jaundice 6. Occupation / environtmental factors hepatitis drug induced karena Carbontetrachloride, beryllium, vinylchloride, alcohol intake. 7. Abdominal distention / ascites 8. Hematemesis (muntah darah) 9. Hematoschezia 10. Oedema 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Signs, pemeriksaan fisik : Jaundice , pada sclera dan kulit. Anemia , pallor. Spleenomegali Hepatomegali Ascites Edema Testicular atrophy, Gynecomastia, Loss of pubic and axillary hair. ACUTE VIRAL HEPATITIS. (2,3) Adalah penyakit sistemik yang menyerang hati. Jenis penyakit hepatitis virus ini adalah : 1. Hepatitis Virus A (HAV) 2. Hepatitis Virus B (HBV) 3. Hepatitis Virus C (HCV) 4. Hepatitis Virus D (HDV) 5. Hepatitis Virus E (HEV) 1. HEPATITIS A VIRUS (2,3) Hepatitis A virus tergolong dalam RNA virus (heparna). Penularan melalui fecal-oral. Hepatitis A ini memiliki masa inkubasi sekitar 4 minggu. Perkembangbiakan virus terbatas di hati, virus ditemukan di hati, empedu, feses, dan darah di akhir masa inkubasi dan saat fase preicteric. Virus disebarkan melalui feses, dan darah infektifitas virus segera hilang saat jaundice muncul. Antibodi terhadap HAV (anti-HAV) dapat terdeteksi selama masa akut, saat SGPT tinggi dan penularan HAV melalui feses masih terjadi. Respons antibody yang muncul adalah IgM HAV, dan menetap selama beberapa bulan. Selama masa penyembuhan IgG HAV yang nyata. Jadi untuk diagnosa Hepatitis A adalah saat fase akut, titer IgM HAV yang tinggi. 2. HEPATITIS B VIRUS. (2,3) Hepatitis B virus adalah DNA virus (hepadna virus). Antigen yang diperiksa : 1. HBsAg 2. HBcAg 3. HBeAg HBsAg terdeteksi pada lebih dari 95% pasien dengan Hepatitis B akut, ditemukan di Serum, cairan tubuh, sitoplasma hepatosit. Sebagai petanda blood borne virus dan menandakan status karier. AntiHBs muncul sebagai respon dari infeksi, antibodi protektif. HBcAg nukleocapsid yang mengandung DNA, sebagai petanda diagnosa akut, bersama dengan HBsAg dan IgM anti HBc. HBeAg polymerase, ada di nucleus hepatosit. Sebagai petanda dari replikasi virus. Sebagai panduan diagnosis kronis hepatitis : IgG antiHBc , HBsAg. Pada saat ini pemeriksaan HBV DNA telah menjadi pemeriksaan baku pada saat seorang pasien diketahui mengidap HBsAg positif. Pemeriksaan HBeAg dan Anti HBe pada saat ini dilakukan untuk menentukan strategi pengobatan. Pemahaman terakhir menyatakan bahwa keberadaan HBeAg tidak hanya menunjukkan ada atau tiadanya replikasi virus , oleh karena penderita dengan HBeAg negative ternyata sering dijumpai kondisi 10 reaktivasi ( flare up) virus.(2) Pemeriksaan antiHBe dapat dipakai sebagai salah satu indikator keberhasilan pengobatan pada penderita Hepatitis B kronis dengan HBeAg +. Pemeriksaan kuantitatif HBV DNA dengan batas atas yang dapat mendeteksi muatan virus tinggi sangat berguna untuk pemilihan obat lini pertama. ii. TOXIC AND DRUG INDUCED HEPATITIS (2,3) Kerusakan hati dapat dikarenakan krn masuk nya bahan lewat inhalasi, ingesi atau parenteral dari sejumlah obat2an atau bahan kimia. Misalkan : carbon tetrachloride, acetaminophen, Halothane, soniazide, chlorpromazine, Oral contraceptive, analgetik, allopurinol dll. Pengobatan dari hepatitis karena obat ini adalah : Sebagian besar adalah suportif, seperti pada hepatitis virus akut. Obat atau bahan penyebab harus segera dihentikan. iii. FATTY LIVER = NASH (NON ALCOHOLIC STEATO HEPATITIS ) (2,3) Non-alcoholic steatosis adalah infiltasi lemak pada hati yang berhubungan dengan obesitas. Kecurigaan diagnosis dikarenakan peningkatan aminotransferase, terutama AST:ALT ratio < 1 Seringkali ada hubungan antara non alcoholic fatty liver dan diabetes, biasanya pasien tersebut BMI nya tinggi dan ada truncal obesity. NASH bisa berkembang ke cirrhosis tetapi arang sampai mengakibatkan gagal hati. Serum feritin meningkat pada fase akut Pada sekitar 1/3 kasus ditemukan autoantibody non organ specific, berhubungan dengan resistensi insulin berat dan penyakit hati yg lebih lanjut. D. LIVER FUNCTION TEST (2,3,4) Beberapa pemeriksaan faal hati dan petanda virus yang sering dipergunakan untuk mendiagnosa penyakit adalah : 1. SGOT / AST 2. SGPT / ALT 3. Urobilinogen 4. Bilirubin Urine 5. Bilirubin direk/indirek 6. Alkali fosfatase 7. Gamma GT 8. HBsAg & AntiHCV / IgM anti HAV 9. Serum Albumin 10. Prothrombine time 1. Alanine aminotransferase ( ALT ) , Serum Glutamic Pyruvic Transaminase ( SGPT ) - Enzym yg berfungsi sbg katalis berbagai fungsi tubuh. - Enzym ini ditemukan paling dominan di sel hepar, selain konsentrasi kecil ditemukan di jantung, ginjal dan otot. - Variasi level serum ini digunakan untuk : mendiagnosa penyakit hati dan monitoring terapi penyakit hati. Harga normal : : 5 – 35 adult U/L elderly : maybe higher than adult Sebagian besar penderita NASH akan menjadi diabetes atau gangguan toleransi glukosa setelah jangka panjang. Biasanya pada penderita Fatty Liver rasio AST : ALT > 1 dan MCV > dari normal. Pada penderita NASH (1,2,3) AST : ALT > 1 maka besar kemungkinan terjadi penyakit yg progresif dan terjadi fibrosis. Gamma Glutamil Transferase biasanya abnormal ( > 35 U/L ). Alkali fosfatase mungkin naik melebihi 2x normal ( > 125 U/L ). Infant/newborn : maybe twice as high as adult 2. Aspartate Aminotransferase ( AST ) , Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase. adalah enzym yg ditemukan di jaringan atau sel yg mempunyai aktivitas metabolik tinggi. Misal : di jantung, hepar dan otot bergaris. -Enzym ini dikeluarkan ke aliran darah krn adanya jejas atau kematian sel Harga normal : 12 – 35 U/ml AST yang meningkat : acute myocard infarct, pancreatitis akut dan brain necrosis.metastatic liver cancer, Reye’s syndrome, 11 alkoholic hepatitis. AST yng kurang dari normal , mungkin : kehamilan, beri-beri, menandakan : 1. Pancreatic disease ketoacidosis. 3. Alkaline fosfatase. Adalah enzym yang ditemukan di hepar, tulang dan epithel dari seluruh saluran empedu. Jumlah/level enzym ini digunakan utk identififikasi kelainan hepar, atau kelainan tulang,dll. Harga normal terpengaruh oleh usia dan gender. 5. Harga normal : Dewasa : 17 – 142 U/L 0 – 12 th : 145 – Anak 530 U/L Peningkatan alkaline fosfatase yang berhubungan dengan penyakit hati , termasuk : 1. Obstruksi duktus bilier. 2. Obstruktif Jaundice 3. Hepatitis - Cirrhosis 4. Liver Cancer 5. Mononukleosis infectiosa Tetapi untuk keperluan konfirmasi dari suatu diagnosa penyakit, pemeriksaan ini harus di korelasikan dengan pemeriksaan faal hati lain. Obat2an yang menyebabkan kenaikan alkaline fosfatase antara lain : Allopurinol, antibiotik, tetracycline, oral contraceptive, methyldopa. 4. Gamma Glutamyl transferase Gamma-glytamyl transpeptidase adl enzyme yg terdpt di hepatocytes dan biliary epithelial cells. GGT mungkin tinggi pd liver disease. Biasanya lebih menyerupai biliary obstruction daripada hepatocellular damage. GGT (in men) = 11 - 50 i.u./l 2. Myocardial infarction 3. Chronic obstructive pulmonary disease 4. Renal failure 5. Diabetes 6. Obesity 7. Alcoholism, phenythoin & barbiturat. diabetic GGT (in women) = 7 - 32 i.u./l Hyperbilirubinemia. Peningkatan bilirubin dpt disebabkan karena : 1. Peningkatan produksi. 2. Berkurangnya excresi bilirubin karena obstruksi sal empd 3. Berkurangnya metabolisme Peningkatan produksi sebagai akibat obstructive liver disease diikuti oleh peningkatan Liver enzym lainnya (alkaline phosphatase dan GGT ) . Pada mechanical obstructive liver disease 50% darinya adl conjugated bilirubin . Normal serum bilirubin adl 3 to 17 micromol/l. Jaundice dapat terdeteksi jika hasil diatas 40 micromol/l. Dibutuhkan cahaya matahari utk mendeteksi jaundice minimal. Hyperbilirubinemia bisa menandakan penyakit hepatobilier atau hemolysis Dapat dipakai sebagai petunjuk hepatobiliary diseases atau hemolysis. 1. Peningkatan ringan indirect hyperbilirubin ditemukan pada 10 % pdrt Gilbert’syndrome. 2. Pada sekitar usia 30 th, 75 % penyebab hyperbilirubinemia adl Hepatitis 3. Pada pdrt diatas 60 th, 50% penyebabnya adl extrahepatic obstruction ( gallstone, pancreatic ca ) Note reference ranges mungkin berbeda di tiap lab. 6. Pemeriksaan ini harus dilakukan pada pasien dengan abnormal alkali fosfatase, sebagai konfirmasi bahwa berasal dari kelainan hepar. GGT serum adl indikator sensitif dari hepatobiliary diseases. Peningkatan hasil GGT mungkin Hasil serum albumin yang rendah , mencerminkan : 1. sintesis yg berkurang (poor nutrition atau hepatic dysfunction ) 2. kehilangan protein / increased loss ( from kidney/ intestine ) Kadar serum albumin berhubungan dgn Serum Albumin 12 prognosa buruk pada penyakit liver akut. Pada decompensated liver disease kadar albumin ini rendah. 7. Prothrombine Time Pemeriksaan ini harus dikerjakan pada pasien dengan acute or chronic liver disease or coagulopathy. Menunjukkan fungsi sintesa vit Kdependent clotting factors. (II, VII, IX dan X ) 8. Alpha feto protein ( AFP ) (2,3) Pemeriksaan yang dipakai untuk kecurigaan terhadap adanya keganasan pada hati, misal : Hepatoma Serangkaian pemeriksaan yang dipakai utk Hepatoma adl : Alkali fosfatase dan Alpha feto protein. E. CONTOH INTEPRETASI POLA ABNORMAL LFT (3) 1. Viral Hepatitis Sering menyebabkan peningkatan significant dari transaminase , melebihi 1000 IU. ALT lebih tinggi daripada AST ; AST ALT rasio < 1. 2. Medication ( obat2an ) Menyebabkan kolestasis. Menyebabkan transaminase dan ALP diatas 10x normal. 3. Intrahepatic atau extrahepatic obstruction Peningkatan ALP lebih atau sama dengan 5 kali lebih tinggi dari harga normal. Terutama pada Primary biliary cirrhosis 4. Infiltratif diseases Contohnya : neoplasma, granuloma, amyloidosis sebabkan peningkatan sedang sampai bermakna dari ALP. 5. Alkoholic Liver disease Peningkatan ringan dari transaminase. Perbandingan AST & ALT dpt berguna utk diagnostik. Perbandingan > 2 : 1 sangat mungkin merupakan alkoholic liver disease. Ditambah dgn MCV > dan peningkatan GGT. 6. Hemolysis Jika ada kecurigaan ini, biasanya diikuti dgn bilirubin <5 mg/dl. Urobilinogen - , bilirubin positif kuat, Bilirubin total 20 mg/dl, Bilirubin direk 18 mg/dl, alkali fosfatase 960 IU, SGOT 35 IU, SGPT 32 Terjadi peningkatan hitung reticulosit dan Hapusan darah tepi yang abnormal. F. CONTOH KASUS : I. Penderita Tn S, 38 th,tanpa keluhan dan melakukan General Medical Check Up. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan. Hasil pemeriksaan : SGPT 28 IU, SGOT 22 IU, Fosfatase alkali 180 IU HBsAg + , Anti HCV - , Urobilinogen + , bilirubin –, bilirubin total 1 mg/dl , bil direk 0,4 mg/dl. Pembahasan : kasus diatas diagnosanya adalah : Pengidap Sehat Virus Hepatitis B Jika hal ini terjadi, maka untuk selanjutnya diperlukan pemeriksaan lanjutan yaitu : HBeAg , Anti HBe dan HBV DNA.(1,2) II. Pasien Tn H 42 tahun, keluhan rasa tidak enak di perut bagian atas. Pada pemeriksaan fisik penderita tampak sehat, TB 160 cm, BB 90 kg. Tidak terdapat penyakit hati akut ataupun kronik. Pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil sebagai berikut : Bilirubin total 0,8 mg/dl dan direk 0,3 mg/dl, SGOT 80 IU, SGPT : 120 IU, Elektroforesis protein dalam batas normal, HBsAg negative, anti HCV negativ; kolesterol total 360 mg/dl Trigliserida 600 mg/dl; LDL 210 mg/dl ; HDL 45 mg/dl. Pembahasan : diagnosis penderita tersebut adalah : Fatty Liver akibat hiperlipidemia dan Obesitas.(1,2) Ciri Khas dari Fatty liver adalah : Terdapat penyakit dasar sebagai penyebab (obesitas, hiperlipidemia, diabetes), SGOT dan SGPT meningkat. Faal hati lain dalam batas normal , kecuali mungkin Gamma GT dan alkali fosfatase sedikit meningkat.(1,4,5) III. Pasien Tn An, 44 th , datang dengan keluhan gatal, mata kuning, nyeri perut kanan atas demam . Tinja berwarna putih seperti dempul. Fisik penderita tampak icterus kehijauan tidak terdapat tanda penyakit hati akut maupun kronik, kandung empedu teraba, pemeriksaan laboratorium sebagai berikut : IU, serum protein elektroforesis dalam batas normal, kolesterol 460 mg/dl, Gamma GT 448 mg/dl 13 diagnosis dari pasien tersebut adalah : Kolestasis yang kemungkinan penyebabnya adalah Carcinoma Caput Pancreas. Contoh diatas menunjukkan bahwa kelainan faal hati, bukan berarti penderita mengidap penyakit hati akan tetapi dapat juga sebagai parameter kelainan diluar hati, misalkan icterus obstruktif seperti kasus Tn An di atas, atau beberapa jenis penyakit darah (anemia hemolytic). KESIMPULAN Sehubungan dengan perkembangan jaman yang berdampak pada berkembangnya ilmu kedokteran khususnya dalam bidang laboratorium, maka penulis merasa perlu membahas jenis pemeriksaan laboratorium yang berhubungan dengan penyakit hati. Tulisan ini juga dibuat melihat kemampuan masyarakat terhadap pemeriksaan laboratorium sering kali terbatas,sehingga seorang dokter harus dengan segenap pertimbangan memilihkan pemeriksaan yang tepat untuk membantu diagnosa kerjanya. Di sini penyakit hati dibedakan menjadi penyakit hati akut dan penyakit hati kronis. Penyakit hati akut sebagian besar disebabkan oleh virus, diistilahkan Hepatitis Virus akut. Penyakit Hepatitis Virus Akut dapat dideteksi dari keluhan pasien dan ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium petanda Virus, seperti IgM Anti HAV, HBsAg, IgM Anti HBc. Obat-obatan juga bisa menyebabkan kemungkinan peningkatan tes fungsi hati. Perpaduan yang baik antara ketrampilan dokter mengumpulan data dari anamnesa dan pemeriksaan fisik dan dengan pemeriksaan laboratorium penunjang yang tepat akan menjurus ke diagnosa yang tepat, dan sebisa mungkin menghemat biaya. New York- San Francisco-Tokyo-Toronto.p.14581488, 1994. 3. Mengel.MB : Family Medicine Ambulatory Care & Prevention, 4 th edition. Mc Graw Hill BostonLondon-Singapore-Toronto. p. 268-272, 1996 4. Wallach J : Hepatobiliary Disease and Disease for Pancreas. In Intepretation of Diagnosis Tests A Synopsis of Laboratory Medicine. 5 edition. p. 170-217,1992. 5. White HM : Evaluation of Liver Function Test. In Manual of Medical Therapeutics, 27 edition. Little brown and Co. Boston-Toronto-London. p.309322.1993. DAFTAR PUSTAKA 1. Budiwarsono : PIT Pro Prodia Panel Penyakit Hati , Surabaya.p 14.2009 2. Braunwald, Isselbacher : Harrison’s Principles of Internal Medicine vol 2, 13 edition. Mc Graw Hill 14 ANEMIA DEFISIENSI BESI Emmy Kartamihardja Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak : Anemia defisiensi besi merupakan penurunan jumlah sel darah merah yang disebabkan oleh besi terlalu sedikit. anemia defisiensi besi adalah bentuk paling umum dari anemia. Sekitar 20% wanita, 50% wanita hamil dan 3% laki-laki tidak memiliki cukup zat besi dalam tubuh mereka. Anemia berkembang perlahan setelah toko besi normal dalam tubuh dan sumsum tulang sudah kehabisan. Secara umum, wanita memiliki toko lebih kecil dari besi daripada laki-laki karena mereka kehilangan lebih banyak melalui menstruasi. Anemia defisiensi besi juga dapat disebabkan oleh buruknya penyerapan zat besi dalam makanan. Anemia defisiensi besi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius karena berdampak pada perkembangan fisik dan psikis, perilaku dan kerja. Dewasa pasien anemia kekurangan zat besi dapat mengakibatkan degradasi pekerjaan fisik, penurunan daya tahan tubuh, lesu dan menurunnya produktivitas. Kata kunci: Anemia, anemia defisiensi besi, produktivitas IRON DEFICIENCY ANEMIA Emmy Kartamihardja Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrack : Iron deficiency anemia is a decrease in the number of red blood cells caused by too little iron. Iron deficiency anemia is the most common form of anemia. About 20% of women, 50% of pregnant women and 3% of men do not have enough iron in their body. Anemia develops slowly after the normal iron stores in the body and bone marrow have run out. In general, women have smaller stores of iron than men because they lose more through menstruation. Iron deficiency anemia may also be caused by poor absorbtion of iron in the diet. Anemia of iron deficiency represent the problem of serious society health because affecting at physical growth and psychical, behavior and work. Adult patients of iron deficiency anemia can result the degradation work of physical, degradation of body endurance, lethargy and downhill of the productivity. Keywords : Anemia, iron deficiency anemia, productivity PENDAHULUAN Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang terbanyak baik di Negara maju maupun Negara yang sedang berkembang. Padahal besi merupakan suatu unsur terbanyak pada lapisan kulit bumi, akan tetapi defisiensi besi merupakan penyebab anemia yang tersering. Hal ini disebabkan tubuh manusia mempunyai kemampuan terbatas untuk menyerap besi dan seringkali tubuh mengalami kehilangan besi yang berlebihan yang diakibatkan perdarahan. (Hoffbrand.AV, et al, 2005, hal.25-34) Besi merupakan bagian dari molekul Hemoglobin, dengan berkurangnya besi maka sintesa hemoglobin akan berkurang dan mengakibatkan kadar hemoglobin akan turun. Hemoglobin merupakan unsur yang sangat vital bagi tubuh manusia, karena kadar hemoglobin yang rendah mempengaruhi kemampuan menghantarkan O2 yang sangat dibutuhkan oleh seluruh jaringan tubuh. Anemia defisiensi besi ini dapat diderita oleh bayi, anak-anak, bahkan orang dewasa baik pria maupun wanita, dimana banyak hal yang dapat mendasari terjadinya anemia defisiensi besi. Dampak dari anemia defisiensi besi ini sangat luas, antara lain terjadi perubahan epitel, gangguan pertumbuhan jika terjadi pada anakanak, kurangnya konsentrasi pada anak yang mengakibatkan prestasi disekolahnya menurun, penurunan kemampuan kerja bagi para pekerja sehingga produktivitasnya menurun. Kebutuhan besi yang dibutuhkan setiap harinya untuk menggantikan zat besi yang hilang dari tubuh dan untuk pertumbuhan ini bervariasi, tergantung dari umur, jenis kelamin. Kebutuhan meningkat pada bayi, remaja, wanita hamil, menyusui serta wanita menstruasi. Oleh karena itu kelompok tersebut sangat mungkin menderita defisiensi besi jika terdapat kehilangan besi yang disebabkan hal lain maupun kurangnya intake besi dalam jangka panjang.(Hoffbrand AV, et al, 2005,hal 25-34). Disini penulis akan membahas masalah Anemia Defisiensi Besi dimana dapat menyebabkan penurunan produktivitas kerja. 15 METABOLISME BESI Senyawa-senyawa esensial yang mengandung besi dapat ditemukan dalam plasma dan di dalam semua sel. Karena zat besi yang terionisasi bersifat toksik terhadap tubuh, maka zat besi selalu hadir dalam bentuk ikatan dengan hem yang berupa hemoprotein (seperti hemoglobin, mioglobin dan sitokrom) atau berikatan dengan sebuah protein (seperti transferin, ferritin dan hemosiderin) (Jones.NCH, Wickramasinghe.SN, 2000, hal. 67-83). Jumlah besi di dalam tubuh seorang normal berkisar antara 3-5 g tergantung dari jenis kelamin, berat badan dan hemoglobin. Besi dalam tubuh terdapat dalam hemoglobin sebanyak 1,5 – 3g dan sisa lainnya terdapat dalam plasma dan jaringan (Sacher.RA, Mc Pherson.RA, 2000, p.68-70) Kebanyakan besi tubuh adalah dalam hemoglobin dengan 1 ml sel darah merah mengandung 1 mg besi (2000 ml darah dengan hematokrit normal mengandung sekitar 2000 mg zat besi) (Ibister. JP,Pittiglio. DH, 1999, hal43-54) Pertukaran zat besi dalam tubuh merupakan lingkaran yang tertutup. Besi yang diserap usus setiap hari kira-kira 1-2 mg, ekskresi besi melalui eksfoliasi sama dengan jumlah besi yang diserap usus yaitu 1-2 mg. Besi yang diserap oleh usus dalam bentuk transferin bersama dengan besi yang dibawa oleh makrofag sebesar 22 mg dengan jumlah total yang dibawa tranferin yaitu 24mg untuk dibawa ke sumsum tulang untuk eritropoesis. Eritrosit yang terbentuk memerlukan besi sebesar 17 mg yang merupakan eritrosit yang beredar keseluruh tubuh, sedangkan yang 7 mg akan dikembalikan ke makrofag karena berupa eritropoesis inefektif. ( Bakta.IM, 2007, hal.2639) Secara umum, metabolisme besi ini menyeimbangkan antara absorbsi 1-2 mg/ hari dan kehilangan 1-2 mg/ hari. Kehamilan dapat meningkatkan keseimbangan besi, dimana dibutuhkan 2-5 mg besi perhari selama kehamilan dan laktasi. Diet besi normal tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut sehingga diperlukan suplemen besi.(Soeparman Waspadji. S, 1990, hal 404-409). PENYEBAB Beberapa hal yang dapat menjadi kausa dari anemia defisiensi besi diantaranya (Bakta IM, 2007, hal 26-39; Sacher RA, Mc Pherson RA, 2000, p. 68-70; Theml Harald MD et al, 2004, p.128-133) 1. Kehilangan darah yang bersifat kronis dan patologis: a. Yang paling sering adalah perdarahan uterus ( menorrhagi, metrorrhagia) pada wanita, perdarahan gastrointestinal diantaranya adalah ulcus pepticum, varices esophagus, gastritis, hernia hiatus , diverikulitis, karsinoma lambung, karsinoma sekum, karsinoma kolon, maupun karsinoma rectum, infestasi cacing tambang, angiodisplasia. Konsumsi alkohol atau aspirin yang berlebihan dapat menyebabkan gastritis, hal ini tanpa disadari terjadi kehilangan darah sedikit-sedikit tapi berlangsung terus menerus. b. Yang jarang adalah perdarahan saluran kemih, yang disebabkan tumor, batu ataupun infeksi kandung kemih. Perdarahan saluran nafas (hemoptoe). 2. Kebutuhan yang meningkat pada prematuritas, pada masa pertumbuhan [remaja], kehamilan, wanita menyusui, wanita menstruasi. Pertumbuhan yang sangat cepat disertai dengan penambahan volume darah yang banyak, tentu akan meningkatkan kebutuhan besi 3. Malabsorbsi : sering terjadi akibat dari penyakit coeliac, gastritis atropi dan pada pasien setelah dilakukan gastrektomi. 4. Diet yang buruk/ diet rendah besi Merupakan faktor yang banyak terjadi di negara yang sedang berkembang dimana faktor ekonomi yang kurang dan latar belakang pendidikan yang rendah sehingga pengetahuan mereka sangat terbatas mengenai diet/ asupan yang banyak mengandung zat besi. Beberapa makanan yang mengandung besi tinggi adalah daging, telur, ikan, hati, kacang kedelai, kerang, tahu, gandum. Yang dapat membantu penyerapan besi adalah vitamin C, cuka, kecap. Dan yang dapat menghambat adalah mengkonsumsi banyak serat sayuran, penyerapan besi teh, kopi, `oregano`. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai penyebab utama. Penyebab paling sering pada laki-laki adalah perdarahan gastrointestinal, dimana dinegara tropik paling sering karena infeksi cacing tambang. Pada wanita paling sering karena menormettorhagia.(Bakta IM, 2007, hal 26-39). 16 KLASIFIKASI DEFISIENSI BESI (Bakta IM, 2007, hal 26-39; Cielsa B, 2007, p.6570; Sacher RA, Mc Pherson RA, 2000, p.68-70) Defisiensi besi dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu: 1. Deplesi besi (Iron depleted state).: keadaan dimana cadangan besinya menurun, tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu. 2. Eritropoesis Defisiensi Besi (Iron Deficient Erytropoesis) : keadaan dimana cadangan besinya kosong dan penyediaan besi untuk eritropoesis sudah terganggu, tetapi belum tampak anemia secara laboratorik. 3. Anemia defisiensi besi : keadaan dimana cadangan besinya kosong dan sudah tampak gejala anemia defisiensi besi. GEJALA ANEMIA DEFISIENSI BESI Pada anemia defisiensi besi biasanya penurunan hemoglobinnya terjadi perlahan-lahan dengan demikian memungkinkan terjadinya proses kompensasi dari tubuh, sehingga gejala aneminya tidak terlalu tampak atau dirasa oleh penderita. Gejala klinis dari anemia defisiensi besi ini dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :( Bakta IM, 2007, hal 26-39; Cielsa B, 2007, p.65-70: Metha A, Hoffbrand AV, 2000, p. 32-33; Tierney LM, et al, 2001, hal 64-68) 1]. Gejala umum dari anemia itu sendiri, yang sering disebut sebagai sindroma anemia yaitu merupakan kumpulan gejala dari anemia, dimana hal ini akan tampak jelas jika hemoglobin dibawah 7 – 8 g/dl dengan tanda-tanda adanya kelemahan tubuh, lesu, mudah lelah, pucat, pusing, palpitasi, penurunan daya konsentrasi, sulit nafas (khususnya saat latihan fisik), mata berkunang-kunang, telinga mendenging, letargi, menurunnya daya tahan tubuh, dan keringat dingin. 2] Gejala dari anemia defisiensi besi: gejala ini merupakan khas pada anemia defisiensi besi dan tidak dijumpai pada anemia jenis lainnya, yaitu: 1. koilonychia/ spoon nail/ kuku sendok dimana kuku berubah jadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan jadi cekung sehingga mirip sendok.[lihat gambar 1] 2. Atropi papil lidah. Permukaan lidah tampak licin dan mengkilap disebabkan karena hilangnya papil lidah. 3. Stomatitis angularis/ inflamasi sekitar sudut mulut. 4. Glositis 5. Pica/ keinginan makan yang tidak biasa 6. Disfagia merupakan nyeri telan yang disebabkan `pharyngeal web` 7. Atrofi mukosa gaster. 8. Sindroma Plummer Vinson/ Paterson kelly ini merupakan kumpulan gejala dari anemia hipokromik mikrositik, atrofi papil lidah dan disfagia. Anemia defisiensi besi yang terjadi pada anak sangat bermakna, karena dapat menimbulkan irritabilitas, fungsi cognitif yang buruk dan perkembangan psikomotornya akan menurun. Prestasi belajar menurun pada anak usia sekolah yang disebabkan kurangnya konsentrasi, mudah lelah, rasa mengantuk. (Permono B, Ugrasena IDG, 2004, hal 34-37). Selain itu pada pria atau wanita dewasa menyebabkan penurunan produktivitas kerja yang disebabkan oleh kelemahan tubuh, mudah lelah dalam melakukan pekerjaan fisik/ bekerja. 3]. Gejala yang ditimbulkan dari penyakit yang mendasari terjadinya anemia defisiensi besi tersebut, misalkan yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang maka akan dijumpai gejala dispepsia, kelenjar parotis membengkak, kulit telapak tangan warna kuning seperti jerami. Jika disebabkan oleh perdarahan kronis akibat dari suatu karsinoma maka gejala yang ditimbulkan tergantung pada lokasi dari karsinoma tersebut beserta metastasenya. 17 Gambar 1. Koilonychia (Metha A, Hoffbrand AV, 2000, p.33) PEMERIKSAAN LABORATORIUM: mikrositik, anisositosis (banyak variasi ukuran Parameter awal dari hitung darah lengkap eritrosit), poikilositosis (banyak kelainan bentuk biasanya menunjukkan klinisi arah dari anemia eritrosit), sel pensil, kadang- kadang adanya sel defisiensi besi. MCV, MCH dan MCHC yang target. (Permono B, Ugrasena IDG, 2002, hal 55- rendah dan film darah hipokromik sangat 66; Sacher RA, Mc Pherson RA, 2000, p 68-70). mengarahkan terutama jika pasien diketahui (Lihat gambar 2) mempunyai hitung darah yang normal dimasa lalu. (Ibister JP, Pittiglio DH, 1999, hal 43-54) Saturasi transferin biasanya dibawah 5%, Pada pemeriksaan hapusan darah, sel darah merah mikrositik hipokromik apabila Hb < 12 g/dl (laki-laki), Hb < 10 g/dl (perempuan), serum ferritin kadarnya kurang dari 10ng/ ml, mungkin leukopeni, protoporfirin eritrosit bebas sangat meningkat trombosit tinggi pada perdarahan aktif, retikulosit yaitu 200 µg/dl, terjadi peningkatan TIBC [normal rendah.(Metha A, Hoffbrand AV, 2000, p.32-33). orang dewasa 240-360µg/dl], kadar besi serum Pada pemeriksaan sumsum tulang : hiperplasi kurang dari 40µg/dl. (Sacher RA, Mc Pherson eritroid, besi yang terwarnai sangat rendah atau RA, 2000, p. 68-70). tidak ada. Hapusan darah menunjukkan anemia hipokromik 18 Gambar 2. Hapusan darah tepi pada anemia defisiensi besi. Tampak hipokromik mikrositik, anisositosis dan poikilositosis. TERAPI Pemberian terapi haruslah tepat setelah diagnosis ditegakkan supaya terapi pada anemia ini berhasil. Dalam hal ini kausa yang mendasari terjadinya anemia defisiensi besi ini harus juga diterapi. Pemberian terapi ini dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: 1]. Terapi kausal: terapi ini diberikan berdasarkan penyebab yang mendasari terjadinya anemia defisiensi besi. Terapi kausal ini harus dilakukan segera kalau tidak, anemia ini dengan mudah akan kambuh lagi atau bahkan pemberian preparat besi tidak akan memberikan hasil yang diinginkan. 2]. Terapi dengan preparat besi: pemberiannya dapat secara: 1. Oral : preparat besi yang diberikan peroral merupakan terapi yang banyak disukai oleh kebanyakan pasien, hal ini karena lebih efektif, lebih aman, dan dari segi ekonomi preparat ini lebih murah. Preparat yang ter sedia berupa: - Ferro Sulfat : merupakan preparat yang terbaik, dengan dosis 3 x 200 mg, diberikan saat perut kosong [sebelum makan]. Jika hal ini memberikan efek samping misalkan terjadi mual, nyeri perut, konstipasi maupun diare maka sebaiknya diberikan setelah makan/ bersamaan dengan makan atau menggantikannya dengan preparat besi lain. (Metha A, Hoffbrand AV, 2000, p.33) - Ferro Glukonat: merupakan preparat dengan kandungan besi lebih rendah daripada ferro sulfat. Harga lebih mahal tetapi efektifitasnya hampir sama. - Ferro Fumarat, Ferro Laktat. Waktu pemberian besi peroral ini harus cukup lama yaitu untuk memulihkan cadangan besi tubuh kalau tidak, maka anemia sering kambuh lagi. Berhasilnya terapi besi peroral ini menyebabkan retikulositosis yang cepat dalam waktu kira-kira satu minggu dan perbaikan kadar hemoglobin yang berarti dalam waktu 2-4 minggu, dimana akan terjadi perbaikan anemia yang sempurna dalam waktu 1-3 bulan. Hal ini bukan berarti terapi dihentikan tetapi terapi harus dilanjutkan sampai 6 bulan untuk mengisi cadangan besi tubuh. Jika pemberian terapi besi peroral ini responnya kurang baik, perlu dipikirkan kemungkinan - kemungkinannya sebelum diganti dengan preparat besi parenteral. Beberapa hal yang menyebabkan kegagalan respon terhadap pemberian preparat besi peroral antara lain perdarahan yang masih berkelanjutan (kausanya belum teratasi), ketidak patuhan pasien dalam minum obat (tidak teratur) dosis yang kurang, malabsorbsi, salah diagnosis atau anemia multifaktorial. ( Bakta IM, 2007, hal 2639; Hoffbrand AV, et al, 2005, hal 25-34) 19 2. Parenteral Pemberian preparat besi secara parenteral yaitu pada pasien dengan malabsorbsi berat, penderita Crohn aktif, penderita yang tidak member respon yang baik dengan terapi besi peroral, penderita yang tidak patuh dalam minum preparat besi atau memang dianggap untuk memulihkan besi tubuh secara cepat yaitu pada kehamilan tua, pasien hemodialisis.(Bakta IM, 2007, hal 26-39; Hoffbrand AV,et al, 2005, hal 2534) Ada beberapa contoh preparat besi parenteral: - Besi Sorbitol Sitrat (Jectofer) Pemberian dilakukan secara intramuscular dalam dan dilakukan berulang. - Ferri hidroksida-sucrosa (Venofer) Pemberian secara intravena lambat atau infus. (Hoffbrand AV, et Al, 2005, hal 25-34) Harga preparat besi parenteral ini jelas lebih mahal dibandingkan dengan preparat besi yang peroral. Selain itu efek samping preparat besi parental lebih berbahaya. Beberapa efek samping yang dapat ditimbulkan dari pemberian besi parenteral meliputi nyeri setempat dan warna coklat pada tempat suntikan, flebitis, sakit kepala, demam, artralgia, nausea, vomitus, nyeri punggung, flushing, urtikaria, bronkospasme, dan jarang terjadi anafilaksis dan kematian. Mengingat banyaknya efek samping maka pemberian parenteral perlu dipertimbangkan benar benar. Pemberian secara infus harus diberikan secara hati-hati. Terlebih dulu dilakukan tes hipersensitivitas, dan pasien hendaknya diobservasi selama pemberian secara infus agar kemungkinan terjadinya anafilaksis dapat lebih diantisipasi. (Bakta IM,2007, hal 26-39; Hoffbrand AV,et al, 2005, hal 25-34; Tierney LM, et al, 2001, hal 64-68) Dosis besi parenteral harus diperhitungkan dengan tepat supaya tidak kurang atau berlebihan, karena jika kelebihan dosis akan membahayakan si pasien. Menurut Bakta IM, perhitungannya memakai rumus sebagai berikut: (2007, hal 26-39) Kebutuhan besi [ng]= (15-Hb sekarang) x BB x 3 3] Terapi lainnya berupa: (Bakta IM, 2007, hal 2639; Metha A, Hoffbrand AV, 2000, p.32-33) 1. Diet: perbaikan diet sehari-hari yaitu diberikan makanan yang bergizi dengan tinggi protein dalam hal ini diutamakan protein hewani. 2. Vitamin C: pemberian vitamin C ini sangat diperlukan mengingat vitamin C ini akan membantu penyerapan besi. Diberikan dengan dosis 3 x 100mg. 3. Transfusi darah: pada anemia defisiensi besi ini jarang memerlukan transfusi kecuali dengan indikasi tertentu. PENCEGAHAN Tindakan pencegahan yang terpadu sangat diperlukan mengingat tingginya prevalensi defisiensi besi di masyarakat. Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan kesehatan masyarakat tentang kebersihan lingkungan tempat tinggal dan higiene sanitasi masyarakat yang tingkat pendidikan dan faktor sosial ekonominya yang rendah yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang pemakaian jamban terutama di daerah pedesaan, atau daerah yang terpencil Menganjurkan supaya memakai alas kaki terutama ketika keluar rumah, membiasakan cuci tangan pakai sabun sebelum makan. Juga dilakukan penyuluhan gizi yaitu penyuluhan yang ditujukan kepada masyarakat pedesaan mengenai gizi keluarga, yaitu dengan mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung zat besi terutama yang berasal dari protein hewani,yaitu daging dan penjelasan tentang bahan –bahan makanan apa saja yang dapat membantu penyerapan zat besi dan yang dapat menghambat penyerapan besi. Untuk anak sekolah dilakukan melalui UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) yang melibatkan murid, guru dan orang tua dengan cara mensosialisasikan tentang cara hidup sehat yaitu cuci tangan sebelum makan , makan makanan yang mengandung zat besi. Pemberian suplementasi besi pada ibu hamil dan anak balita. Pada ibu hamil diberikan suplementasi besi oral sejak pertama kali pemeriksaan kehamilannya sampai post partum, sedangkan untuk bayi diberikan ASI dan pemberian sayur, buah/ jus buah saat usia 6 bulan. (Cielsa B, 2007, p. 65-70) Selain itu dilakukan upaya pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik, yang paling sering terjadi didaerah tropik. PENUTUP Anemia Defisiensi Besi merupakan jenis anemia yang paling banyak dijumpai di masyarakat. Banyak penyebab yang mendasari terjadinya anemia ini, tetapi perdarahan merupakan penyebab terbanyak terjadinya anemia defisiensi besi ini. Anemia Defisiensi Besi ini memberikan dampak buruk bagi kesehatan masyarakat baik anak-anak, para wanita baik yang hamil maupun yang tidak, juga pada pria dewasa. Dengan dilakukan pencegahan , masyarakat dapat terhindar dari anemia ini, sehingga pada anakanak usia sekolah tidak terjadi penurunan prestasi 20 belajarnya dan pada orang dewasa tidak terjadi penurunan kemampuan fisiknya yang berakibat pada produktivitas kerja yang menurun. Apabila sudah terjadi Anemia Defisiensi Besi maka segera obati dengan menggunakan preparat besi dan dicari kausanya serta pengobatan terhadap kausa ini harus juga dilakukan. Dengan pengobatan yang tepat dan adekuat maka Anemia Defisiensi Besi ini dapat disembuhkan. DAFTAR PUSTAKA Bakta, IM. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC. Cielsa ,B. 2007. Hematology in Practice. Philadelphia: FA Davis Company. Hoffbrand, AV. et all. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta: EGC. Isbister, JP. Pittiglio, DH. 1999. Hematologi Klinik Pendekatan Berorentasi Masalah. Jakarta: Hipokrates. Jones, NCH. Wickramasinghe, SN. 2000. Catatan Kuliah Hematologi. Jakarta: EGC. Mehta, A. Hoffbrand, AV. 2000. Hematology at Glance. London: Blackwell Science Ltd. Permono, B. Ugrasena, IDG. 2002. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya: SIC. Permono,B. Ugrasena, IDG.2004. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Surabaya: FK Unair. Sacher, RA. MC Pherson, RA. 2000 . Widman’s Clinical Interpretation of Laboratory Tests. Philadelphia: FA Davis Company. Soeparman. Waspadji, S. 1990. Ilmu Penyakit Dalam II . Jakarta: FKUI. Theml Harald, MD. et all. 2004. Color Atlas Hematology Practical Microscopic and And Clinical Diagnosis. New York: Thieme. Tierney, LM. et all. 2001. Current Medical Diagnosis and Treatment . San Fransisco : Mc Graw-Hill Companies. 21 GANGLION KARPAL Maria Juliati Kusumaningtyas Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak Dalam kehidupan sehari-hari, ada banyak masyarakat yang mempunyai pendapat bahwa benjolan abnormal yang muncul pada tubuh merupakan infeksi. Dilihat dari segi medis, benjolan tersebut dapat dibedakan menjadi tumor jinak dan tumor ganas dan tidak semuanya merupakan infeksi. Beberapa kali di RS, dijumpai kasus tumor jinak, salah satunya adalah ganglion karpal, yang di sembuhkan dengan cara melakukan operasi Kata Kunci: benjolan abnormal, tumor jinak, tumor ganas, ganglion karpal GANGLION KARPAL Maria Juliati Kusumaningtyas Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstract In daily life, there are many people who have the opinion that an abnormal lump that appeared on the body is infected. Viewed in terms of medical care, these bumps can be differentiated into benign and malignant tumors and not all are infected. Several times in the hospital, found cases of benign tumors, one of which is carpal ganglion, which is cured by surgery Keywords: abnormal lumps, benign tumors, malignant tumors, carpal ganglion B A B I PENDAHULUAN B A B II TUMOR Sehubungan dengan beragam timbulnya kasus-kasus bedah, mau tidak mau kita harus mempelajari tumor, yang merupakan bagian ilmu bedah. Dalam ilmu bedah sendiri tidak terlepas dari ilmu anatomi dan histology yang merupakan ilmu-ilmu dasar untuk mempelajari ilmu bedah, dalam hal ini tumor. Tumor yang terjadi ternyata dapat mengenai seluruh jaringan yang terdapat pada tubuh manusia. Salah satunya ganglion, yang merupakan tumor kistik yang sering timbul pada pergelangan tangan, yang berasal dari tendon maupun bungkus tendon itu sendiri. Sering terjadi pada dewasa muda. Bila menekan saraf akan menimbulkan rasa nyeri yang membawa penderita datang berobat ke dokter. Bagaimana tindakan selanjutnya ? Ternyata operasi merupakan pilihan terbaik selama ini, walaupun pelaksanaanya perlu hatihati. Pembengkakan Neoplasma (tumor) Maligna Karsinoma benigna Onkologi ialah ilmu yang mempelajari penyakit yang disebabkan oleh tumor. Dalam artian umum, tumor adalah benjolan atau pembengkakan abnormal dalam tubuh, tetapi dalam artian khusus tumor adalah benjolan yang disebabkan oleh Neoplasma. Secara klinik, tumor dibedakan atas golongan neoplasma dan non neoplasma misalnya kista, radang atau hipertrofi. Neoplasma dapat bersifat ganas atau jinak. Neoplasma jinak tumbuh dengan batas tegas dan tidak menyusup, tidak merusak tapi membesar dan menekan jaringan sekitarnya (ekspansif) dan umumnya tidak bermetastasis. Klasifikasi patologik tumor dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopik pada jaringan dan sel tumor. Neoplasma kista radang hipertrofi sarkoma Sel tumor ialah sel tubuh yang mengalami transformasi dan tumbuh secara autonom lepas 22 dari kendali pertumbuhan sel normal, sehingga sel ini berbeda dari sel normal dalam bentuk dan strukturnya. Perbedaan sifat sel tumor tergantung dari besarnya penyimpangan dalam bentuk dan fungsi, otonominya dalam pertumbuhan, kemampuannya mengadakan infiltrasi dan menyebabkan metastasis. Sel tumor bentuknya bermacam-macam dengan warna yang beraneka (polikromasi) Karena tingginya kadar asam nukleat dalam inti dan tidak meratanya distribusi kromatin inti. Inti sel relatif besar dengan rasio inti / sitoplasma menurun. Insiden mitosis naik dan terdapat mitosis abnormal. Susunan sel tidak teratur (anaplastik). Sel tumor bersifat tumbuh terus tanpa batas sehingga tumor makin lama makin besar dan mendesak jaringan sekitarnya. Daur pertumbuhan sel dapat dibedakan secara morfologik dan biokimiawi. Secara morfologik pertumbuhan sel dapat dibedakan menjadi dua fase, yaitu fase mitosis dan dan interfase. Pada interfase sel baru tumbuh menjadi dewasa sementara terjadi sintesis DNA, RNA, enzim dan protein baru, serta duplikasi untai tunggal kromosom menjadi untai ganda. Lamanya interfase sangat beragam dari beberapa jam sampai bertahun-tahun bahkan ada sel yang tidak akan mengalami lagi fase mitosis. B A B III GANGLI O N ANATOMI Terdapat dalam ruang dorsal ( vaginae tendineum ) yang mengandung selubung tendo panjang bagi sembilan otot dan diberi nomer dari sisi radialis ke sisi ulnaris. Pada ruang pertama (11) terdapat tendo m. Abductor policis longus dan m. Extensor policis brevis, ruang ke-dua (12) terdapat tendo m. Extensor carpi radialis longus dan brevis. Ruang ke-tiga (13) terdapat tendo m. Extensor policis longus dan ruang ke-empat (14), terdapat tendo m. Extensor digitorum dan m. Extensor indicis. M. extensor digiti minimi paling panjang diliputi selubung sinovial dan berjalan melalui ruang ke-lima (15). Ruang ke-enam mengandung m. Extensor carpi ulnaris. Pada telapak tangan flexor retinaculum (10) menyempurnakan canalis carpi dimana berjalan nervus medianus dan berbagai selubung tendo otot-otot flexor. Pada pangkal tangan terdapat satu untuk m. Flexor carpi radialis (17) satu untuk tendo m. Policis longus(18) dan selubung sinovial tendo yang besar untuk m. Flexor digitorum superficialis dan profundus (19). Tendo yang panjang khususnya dilindungi baik sekali oleh selubung ini, dan tempat-tempat di mana mereka berjalan diatas sendi diperkuat lebih lanjut oleh tulang rawan. B A B IV A. TINJAUAN UMUM Ganglion merupakan tumor yang biasa terjadi pada tangan dan yang mempunyai kekhasan timbul melebihi dari synovium suatu sendi atau bungkus tendon atau dari tendon itu sendiri. Tetapi bukan dari herniasi synovial sendi atau bungkus tendon melainkan degenerasi kistik bahan dari capsul atau sarung fibrous1. Kista yang berdinding tipis berisi cairan musin jernih dan kental yang asal mulanya masih belum diketahui. Tempat yang sering ditemukan ganglion adalah pada pergelangan tangan dorsal, di atas ligamen penghubung os naviculare dan os lunatum, letaknya di daerah ulna dan volar dari arteria radialis. Ganglion yang besar biasanya hanya mengganggu dari segi estetik. Sebaliknya kista yang lebih kecil, yang terletak pada kapsul (bungkus sendi) dapat menimbulkan rasa nyeri hebat akibat iritasi pada saraf sendi. Ganglion pada palma manus bisa menekan pada n. Medianus atau n. Ulnaris dengan akibat gangguan pada fungsi saraf. Pada sisi dorsal biasanya mengenai n. Interoseus posterior dan di sisi volar n. Cutaneus antebrachii latelaris. Pada kebanyakan pasien usia muda seringkali timbul rasa nyeri pada keadaan dorso atau palma fleksi maximal. Kadangkala ganglion menyebabkan rasa tak enak setempat, tetapi biasanya penderita lebih memperhatikan mengenai bentuknya. Ganglion cenderung mengecil secara spontan, melalui periode jangka waktu yang lama, tapi biasanya penderita merasa ingin menghilangkan benjolan yang tak menyenangkan. Ganglion yang terletak pada jari disebut juga kista mukoid dan seringkali terjadi akibat eksostosis dari tulang di bawahnya. B. GAMBARAN KLINIS Sering seorang dewasa muda datang dengan benjolan yang tak disertai rasa nyeri, meskipun kadang-kadang ada sedikit sakit dan kelesuan. Penderita menyampaikan timbulnya pembesaran lunak, yang mempunyai kecenderungan semakin bertambah besar, tetapi mempunyai ukuran yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Dapat dilihat di pergelangan tangan, baik dorsum 23 maupun sisi fleksor sendi. Bisa terjadi gangguan pada fungsi saraf. C. PEMERIKSAAN Lokasi ganglion umumnya terlihat pada lokasi berikut : 1. Dapat dilihat pada dorsum pergelangan tangan biasanya mempunyai suatu tangkai yang meluas ke sendi. 2. Ganglion yang terlihat pada sisi fleksor pergelangan tangan biasanya berdekatan dengan tendon fleksor carpi radialis dan memiliki tangkai pada sendi pantrapezial. 3. Ganglion bisa timbul dari bungkus tendon bagian fleksor dan biasanya tampak kecil, lembut, nodul ukuran kecil pada dasar jari. 4. Suatu ganglion yang timbul dari sendi distal interfalang yang disebut kista mukoid. Struktur ini berasal dari sendi bertangkai yang memanjang diantara insersi tendon ekstensor dan batas osteofit. Biasanya ganglion terlalu kecil, untuk membuat tes transiluminasi. Kadangkala dapat merasa lebih terasa saat tendon dalam posisi kerja (action). Pada kista mukoid dilakukan pemeriksaan foto rontgen jari-jari di daerah sendi interfalang distal, untuk mengetahui adanya eksostosis yang dapat merupakan penyebabnya. Bila perlu dilakukan diafanoskopi untuk memastikan diagnosa suatu tumor kistik. Untuk mengetahui secara tak langsung adanya suatu ganglion intrakapsuler diatas ligamenta skapolumer dorsalis, dilakukan blokade nervus interosseus posterior kurang lebih 2 jari proksimal dari sendi pergelangan tangan dengan anesthesi lokal, karena iritasi saraf oleh ganglion tersebut dapat menimbulkan rasa nyeri. pengobatan konservatif. Jika suatu ganglion dengan sengaja dipecahkan oleh tekanan yang kuat, dengan atau tanpa jarum hal ini cenderung untuk kambuh. Cairan ganglion yang kental (mukus) hanya dapat diaspirasi dengan jarum ukuran besar. Seringkali ganglion dapat mengecil/ menghilang secara spontan, maka bila tak ada rasa nyeri diajukan untuk dibiarkan saja dahulu. F. INDIKASI OPERASI Seperti juga tumor-tumor jaringan lunak lainnya maka dilakukan tindakan bedah atas indikasi diagnostik. Juga atas indikasi kosmetik, atau bila ada rasa nyeri atau timbulnya gangguan neurologik misalnya rasa lemah pada ekstremitas tempat ganglion timbul, maka dikakukan tindakan bedah. G. TEKNIK OPERASI Dilakukan ekstirpasi total seluruh bungkusnya (kapsulnya) sampai dasar, serta bagian-bagian kapsul sendi yang berdekatan. Pada daerah sendi interfalangs distal, dibuang juga kelainan-kelainan degeneratif yang ada tonjolan atau penulangan disekitar sendi akibat artrosis seperti eksostosis. Juga dilakukan reseksi kulit yang melekat erat di atasnya, lalu defek(celah) dikoreksi dengan ”rotation flap”. Karena operasi membuka kapsul sendi besar maka bila ada iritasi saraf yang mengakibatkan rasa nyeri hebat harus dipertimbangkan untuk dilakukan reseksi terbatas pada serabut saraf (nervus) tersebut (misalnya m. Interosseus posterior) RINGKASAN - D. DIAGNOSA BANDING Tumor jaringan lunak lain yang sifatnya padat misalnya : lipoma, fibroma, yang seringkali pada palpasi sulit dibedakan dengan kista yang terisi penuh. Di sini kadang-kadang dapat dibedakan dengan difanoskopi. “Giant cell tumor” yang seringkali multinoduler dan berkonsistensi padat, dapat merusak atau merobek septum lateral jari. Kista yang melingkar (berbentuk cincin) sering terdapat di daerah lipatan di atas sendi metakarpofalangeal. Ini berasal dari ligamenta koronaria (cincin) dan dapat dihilangkan dengan ditusuk jarum atau dengan menoreh bungkus tendonya. E. PENGOBATAN KONSERVATIF Pada umumnya tak dianjurkan - - - Ganglion merupakan tumor kistik yang berdinding tipis berisi cairan mukoid. Lokasi tersering adalah pergelangan tangan terutama bagian dorsal. Ganglion cenderung mengecil secara spontan melalui periode jangka waktu yang lama. Jika suatu ganglion dengan sengaja di pecahkan oleh tekanan yang kuat dengan atau tanpa jarum, hal ini cenderung mengalami kekambuhan. Tetapi dengan eksisi, pembedahan harus dilakukan dengan seksama. DAFTAR PUSTAKA 24 1. Apley & Solomon, in Apley’s System of Orthopaedics and Fractures Edisi VII Butterworth Heinemann Ltd 1993. Hal 308 2. Campbell’s, in Operative Orthopaedics, Edisi VI The C.V Mosby Company St. Louis Toronto London 1980. Hal 376378 3. Klaue Peter, dalam Ikhtisar Bedah Minor, Edisi 2, penerbit Hipokrates Jakarta 1995 hal 106 – 109 4. Platzer Werner, dalam ATLAS dan buku teks Anatomi Manusia, bagian I EGC Jakarta 1983 5. R. Sjamsuhidayat – Wim de jong, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi, Penerbit Buku Kedokteran EGC Jakarta 1998 hal 1246 -1247 6. Sabiston D.C dalam Buku Ajar Bedah Bagian 2, Penerbit Buku EGC,cetakan I Jakarta 1994, hal 365-366 7. Salter R.B, in Text Book of Disorders and Ijuries of the Muskuloskeletal System, Second edition, Waferly Press INC USA 1983 hal 247 – 248 8. Schwartz Seymour I. M.D, in Principles of Surgery, sixth edition, Mc. Graw Hill Inc. p. 2019 – 2020 25 SINDROM STEVENSS – JOHNSON Monica Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak Stevens Johnson'syndrome adalah sindrom yang berpengaruh pada kulit, mukosa, di mulut dan mata dengan beberapa kondisi, dari ringan sampai severe.This penyakit adalah akut dan dalam beberapa kondisi parah, dapat menyebabkan death.Therefore, sindrom ini adalah terburuk disease.It kulit dianggap sebagai semacam Eritema multiforme. Ada beberapa sinonim yang dapat digunakan untuk penyakit ini, misalnya Ektodermosis Erosiva Pluriorificialis, sindrom Mucocutanea-Okular's, Eritema Multiformis jenis Hebra, Eritema multiforme Exudatorum dan Eritema Bulosa maligna. Namun, sebagian besar disebut sebagai Sindrom Stevens Johnson. Penyebab penyakit ini tidak diketahui bahkan sampai multifaktorial. Salah satu penyebab yang sering muncul adalah karena alergi obat umum. Seperti kita ketahui, orang lebih suka membeli obat bebas di luar apotek sendiri karena lebih murah daripada pergi ke dokter. Itulah mengapa para korban penyakit ini semakin meningkat. Sehingga, penyakit ini harus diketahui oleh dokter karena dapat menyebabkan kematian. Tapi bisa melengkung dengan terapi penyembuhan yang tepat dan cepat. Kata Kunci : Sindrom Stevens Johnson, Alergi, Autoimmune SINDROM STEVENSS – JOHNSON Monica Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrack Stevens Johnson’syndrome is a syndrome that affected to the skin,mucous,in orifice and eyes with several conditions,from the mild to severe.This disease is acute and in some severe conditions,it can cause death.Therefore,this syndrome is the worst skin’s disease.It is considered as a kind of Eritema Multiforme. There are several synonym that can be used for this disease,for example Ektodermosis Erosiva Pluriorificialis, Mucocutanea-Okular’s syndrome, Eritema Multiformis type Hebra, Eritema Multiforme Exudatorum and Eritema Bulosa Maligna. However,it mostly called as Stevens Johnson’s Syndrome. The cause of this disease is until unknown even multifaktorial. One of the cause that commonly appear is because of medicine general allergic. As we know,people prefer to buy medicine freely outside the drugstore by themselves because it’s cheaper than going to the doctor. That’s why the victims of this disease is getting increase. So that, this disease should be known by the doctors because it can cause death. But it can be curved with the right therapy and rapidly healing. Keywords : Stevens Johnson’s syndrome, Allergic, Autoimmune BAB I PENDAHULUAN Sindroma Stevens-Johnson merupakan suatu sindroma(kumpulan gejala) yang mengenai kulit,selaput lendIr di orificium dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat menyebabkan kenmatian, Oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu kegawat daruratan penyakit kulit. Sindrom ini dianggap sebagai jenis dari Eritema Multiforme. Ada berbagai sinonim yang digunakan untuk penyakit ini, diantaranya EktodermaEerosive Pluriorifisialis, Sindroma Mukokutanea-Okuler, Eritema Multiformis tipe Hebra, Eritema Mulitiforme Exudatorum danEeritema Bulosa Maligna. Meskipun demikian yang umum digunakan ialah Sindroma stevens- Johnson. Penyebab yang pasti dari penyakit ini belum diketahui, bahkan dikatakan Multifaktorial. Salah satu penyebab yang dianggap sering ialah alergi sistemik terhadap obat. Sebagaimana kita ketahui hampir semua obat dapat dibeli bebas diluar apotik dan adanya kecenderungan para pasien mengobati dirinya sendiri lebih dahulu sebelum berobat ke dokter karena faktor biaya. Oleh karena itu penyakit ini makin sering ditemukan. Penyakit ini perlu diketahui oleh para dokter karena dapat menyebabkan kematian, tetapi dengan terapi yang tepat dan cepat,umumnya penderita dapat diselamatkan. 26 BAB II SINDROMA STEVENS-JOHNSON Typhoid Fever. c.Jamur 2.1 BATASAN Sindroma Stevens-Johnson merupakan suatu sindroma(kumpulan gejala) akut yang mengenai kulit,selaput lendir di orificium dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Penyakit ini sering dianggap sebagai bentuk dari Eritema Multiforme yang berat. 2.2 INCIDENCE Penyakit ini umumnya menyerang anak-anak dan dewasa maupun muda, jarang dijumpai pada anak usia 3 tahun kebawah. Perbandingan antara pria dan wanita tidak berbeda jauh di rumah Sakit Ciptomangunkusumo setiap tahun kira-kira ditemukan 10 kasus. 2.3 EPIDEMIOLOGI Pada cuaca yang dingin penyakit ini sering ditemukan.Juga adanya factor fisik pada lingkungan seperti sinar matahari dan sinar X akan mempengaruhi timbulnya sindrom ini. 2.4 ETIOLOGI Penyebab yang pasti belum diketahui, dikatakan Multifaktorial. Ada yang beranggapan bahwa sindrom ini merupakan Eritema Multiforme yang berat dan disebut Eritema Multiforme Mayor, sehingga dikatakan mempunyai penyebab yang sama. Beberapa factor yang dapat menyebabkan timbulnya sindrom ini antara lain: 1. Infeksi a.Virus Sindrom Stevens-Johnson dapat terjadi pada stadium permulaan dari infeksi salauran nafas atas oleh virus pneumonia. Hal ini dapat terjadi pada Asian flu ,Lympho Granuloma Venerium, Measles, Mumps dan vaksinasi Smallpox virus. Virus-virus Coxsackie, Echovirus dan Poliomyelitis juga dapat menyebabkan Sindroma Stevens-Johnson. b.Bakteri Beberapa bakteri yang mungkin dapat menyebabkan Sindroma StevensJohnson ialah Brucellosis,Dyptheria, Erysipeloid, Glanders, Pneumonia, Psittacosis, Tuberculosis, Tularemia,Lepromatous Leprosy atau Coccidiodomycosis dan Histoplasmosis dapat menyebabkan Eritema Multiforme Bulosa, yang pada keadaan berat juga dikatakan sebagai Sindroma Stevens-Johnson. d.Parasit Malaria dan Trichomoniasis juga dikatakan sebagai agen penyebab. 2. Alergi Sistemik terhadap: a.Obat Berbagai obat yang diduga dapat menyebabkan Sindrom Stevens-Johnson antara lain: Penisilin dan derivatnya, Streptomysin, Sulfonamide, Tetrasiklin, Analgesik/antipiretik (misalnya Derivat Salisilat ,Pirazolon, Metamizol, Metampiron dan Paracetamol), Digitalis, Hidralazin, Barbiturat(Fenobarbital), Kinin Antipirin ,Chlorpromazin ,Karbamazepin dan jamu-jamuan. b.Zat tambahan pada makanan(Food Additive) dan zat warna c.Kontaktan: Bromofluorene, Fire sponge(Tedania Ignis) dan rhus(3- Pentadecylcatechol). d.Faktor Fisik: Sinar X, sinar matahari, cuaca dan lainlain. 3. Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler. 4. Pasca vaksinasi : BCG, Smallpox dan Poliomyelitis. 5. Penyakit-penyakit keganasan : Karsinoma penyakit Hodgkins, Myeloma, dan Polisitemia. Limfoma, 6. Kehamilan dan Menstruasi. 7. Neoplasma. 8. Radioterapi. Pada sebagian penderita tidak diketahui penyebabnya. Yang diduga sebagai penyebab tersering ialah alergi Sistematik terhadap obat dan infeksi. 27 2.5 PATOGENESA Patogenesanya belum jelas, mungkin disebabkan oleh reaksi alergi tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks Antigen Antibodi yang membentuk Mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistim komplemen. Akibatnya terjasi Akumulasi Neutrofil yang kemudian melepaskan Lisosim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran ( Target Organ ) . Reaksi tipe I V terjadi akibat Limposit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian Limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang. 2.6 HISTOPATOLOGI Gambaran Histopatologinya sesuai dengan Eritema Multiforme, bervariasi dari perubahan Dermal yang ringan sampai Nekrolisis Epidermal yang menyeluruh. Kelainan berupa : 1. Infiltrat Sel Mononuklear disekitar pembuluh – pembuluh darah Dermis Superfisial. 2. Edema dan Ekstravasasi sel darah merah di Dermis Papular. 3. Degenerasi Hidrofik lapisan Basalis sampai terbentuk Vesikel Subepidermal. 4. Nekrosis sel Epidermal dan kadang – kadang di Adnexa. 5. Spongiosis dan Edema Interasel di Epidermis. Pemeriksaan histopatologi tidak penting untuk diagnosis, karena kelainannya sesuai dengan Eritema Multiforme 2.7 IMUNOLOGI. Pada sebagian besar kasus terdapat kompleks Imun yang mengandung Ig G, Ig M, Ig A secara sendiri atau dalam kombinasi. Beberapa kasus menunjukan deposit Ig M dan C3 di pembuluh darah Dermal Superfisial dan pada pembuluh darah yang mengalami kerusakan. 2.8 GEJALA KLINIS Perjalanan penyakit sangat akut dan mendadak dapat di sertai gejala prodromal berupa demam tinggi ( 30 C – 40 C ), mulai nyeri kepala, batuk ,pilek dan nyeri tenggorokan yang dapat berlangsung 2 minggu. Gejala – gejala ini dengan segera akan menjadi berat yang ditandai meningkatnya kecepatan nadi dan pernafasan, denyut nadi melemah, kelemahan yang hebat serta menurunnya kesadaran, soporous sampa i koma. Pada sindroma ini terlihat adanya trias kelainan berupa : a. Kelainan kulit. b. Kelainan selaput lendir di orifisium. c. Kelainan mata. Kelainan pada kulit dapat berupa Eritema, vesikal, dan bulla. Eritema berbentuk cincin (pinggir Eritema tengahnya relative hiperpigmentasi ) yang berkembang menjadi urtikari atau lesipapuler berbentuk target dengan pusat ungu atau lesi sejenis dengan vesikel kecil. Vesikel kecil dan Bulla kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping tiu dapat juga terjadi Erupsi Hemorrhagis berupa Ptechiae atau Purpura. Bila disertai Purpura prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada keadaan yang berat kelainannya menjadi Generalisata. Kelainan selaput lendir di orifisium yang tersering ialah pada mukosa mulut / bibir (100%), kemudian disusul dengan kelainan dilubang alat genetalia (50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang (masing – masing 8%-4%). Kelainan yang terjadi berupa Stomatitis dengan vesikel pada bibir, lidah, mukosa mulut bagian Buccal Stomatitis merupakan gejala yang dini dan menyolok. Stomatitis ini kemudian menjadi lebih berat dengan pecahnya vesikel dan Bulla sehingga terjadi erosi, excoriasi, pendarahan, ulcerasi dan terbentuk krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Adanya stomatitis ini dapat menyebabkan penderitaan sukar menelan. Kelainan Dimukosa dapat juga terjadi di Faring, Traktus Respiratorius bagian atas dan Esophagus. Terbentuknya Pseudo membrane di Faring dapat memberikan keluhan sukar bernafas dan penderita tidak dapat makan dan minum. Kelainan pada mata merupakan 80% diantar semua kasus, yang sering terjadi ialah Conjunctivitis Kataralis. Selain itu dapat terjadi Conjunctivitis Purulen, pendarahan, Simblefaron , Ulcus Cornea, Iritis/Iridosiklitis yang pada akhirnya dapat terjadi kebutaan sehingga dikenal trias yaitu Stomatitis, Conjuntivitis, Balanitis, Uretritis. Pernah dilaporkan pada beberapa kasus dapat tanpa disertai kelainan kulit, penderita ini hanya menunjukan Stomatitis, Rhinitis dengan Epistaxis, Conjunctivitis dan kadang – kadang Uretritis. Tapi pada hamper semua kasus diikuti kelainan kulit berupa Vesiko Bulosa atau Erupsi Hemorrhagis, khususnya pada wajah, tangan dan 28 kuku. Selain trias kelainan diatas organ – organ dalm juga dapat di serang, misalnya paru, Gastrointestinal, Ginjal (Nefritis) dan Onikolisis. 2.9 DIAGNOSA Diagnosa dapat dibuat berdasarkan anamnesa dan gambaran klinis. Pada Anamnesa hendaknya ditanyakan secara teliti apakah ada hubungannya dengan alergi obat secara sistemik. Pada kasuskasus dimana telah mengalami dua kali reaksi alergi dengan obat yang sama membuktikan bahwa memang obat tersebutlah yang menjadi penyebabnya. Gambaran Klinis khas berupa adanya trias kelainan yaitu kelainan pada kulit, selaput lendir orifisium dan mata. Keadaan Umum penderita bervariasi dari ringan sampai berat. Pemeriksaan laboratorium darah dapat membantu memperkirakan kemungkinan penyebab meskipun tidak khas. Jika terdapat lekositosis menunjukkan penyebabnya kemungkinan karena infeksi. Bila terdapat Eosinofilia kemungkinan karena alergi. Jika disangka penyebabnya karena infeksi dapat dilakukan kultur darah. 2.10 DIAGNOSA BANDING Beberapa penyakit yang dapat merupakan diagnosa banding Sindrom Stevens-Johnson ialah: 1. Nekrolisisi Epidermal Toksik (NET) Penyakit ini sangat mirip dengan Sindrom Stevens- Johnson. Pada NET terdapat Epidemolisis(Epidermis terlepas dari dasarnya) yang menyeluruh dan keadaan umum penderita biasanya lebih buruk/berat. 2. Pemfigus Vulgaris Sering dijumpai pada orang dewasa, keadaan umum buruk, tidak gatal, bula berdinding kendor dan biasanya generalisata. 3. Pemfigoid Bulosa Pada penyakit ini keadaan umumnya baik, dinding bula tegang, letaknya subepidermal. 4. Dermatitis Herpertiformis Didapatkan keadaan umum yang baik, keluhan dengan gatal dan dinding vesikel/bula tegang dan berkelompo 2.11 PENATALAKSANAAN Penanganan terhadap penderita Sindrom Stevens-Johnson memerlukan tindakan yang tepat dan cepat.penderita biasanya memerlukan perawatan di rumah sakit. Penanganan yang perlu dilakukan meliputi: 1. Kortikosteroid Penggunaan obat Kortikosteroid merupakan tindakan life-saving. Pada Sindrom Stevens –Johnson yang ringan cukup diobati dengan Prednison dengan dosis 30-40mg/hari. Pada bentuk yang berat, ditandai dengan kesadaran yang menurun dan kelainan yang menyeluruh, digunakan Dexametason intravena dengan dosis awal 4-6x5 mg/hari. Setelah beberapa hari (2-3 hari) biasanya mulai tampak perbaikan (masa kritis telah teratasi),ditandai dengan keadaan umum yang membaik,lesi kulit yang baru tidak timbul sedangkan lesi yang lama mengalami Involusi. Pada saat ini dosis Dexametason diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan sebanyak 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet Prednison yang diberikan pada keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari. Pada hari berikutnya dosis diturunkan menjadi 10 mg, kemudian obat tersebut dihentikan. Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari. 2.Antibiotika Penggunaan Antibiotika dimaksudkan untuk mencegah terjadinya infeksi akibat efek Imunosupresif Kortikosteroid yang dipakai pada dosis tinggi. Antibiotika yang dipilih hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakterisidal. Di RS Cipto mangunkusumo dahulu biasa digunakan Gentamisin dengan dosis 2 x 60-80 mg/hari. Sekarang dipakai Netilmisin Sulfat dengan dosis 6 mg/kg BB/hari,dosis dibagi dua. Alasan menggunakan obat ini karena pada beberapa kasus mulai resisten terhadap Gentamisin, selain itu efek sampingnya lebih kecil dibandingkan Gentamisin. 3. Menjaga Keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Nutrisi. Hal ini perlu diperhatikan karena penderita mengalami kesukaran atau bahkan tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan di tenggorokan serta kesadaran yang menurun. Untuk ini dapat diberikan infuse berupa Glukosa 5% atau larutan Darrow. Pada pemberian Kortikosteroid 29 terjadi retensi Natrium, kehilangan Kalium dan efek Katabolik. Untuk mengurangi efek samping ini perlu diberikan diet tinggi protein dan rendah garam, KCl 3 x 500mg/ hari dan obatobat Anabolik. Untuk mencegah penekanan korteks kelenjar Adrenal diberikan ACTH (Synacthen depot) dengan dosis 1 mg/ hari setiap minggu dimulai setelah pemberian Kortikosteroid. 4. Transfusi Darah Bila dengan terapi diatas belum tampak tanda-tanda perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfuse darah sebanyak 300-500 cc setiap hari selama 2 hari berturut-turut. Tujuan pemberian darah ini untuk memperbaiki keadaan umum dan menggantikan kehilangan darah pada kasus dengan purpura yang luas. Pada kasus Purpura yang luas dapat ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg sehari intravena dan obat-obat Hemostatik. 5.Perawatan Topikal Untuk lesi kulit yang erosive dapat diberikan Sofratulle yang bersifat sebagai protektif dan antiseptic atau Krem Sulfadiazin Perak. Sedangkan untuk lesi dimulut/bibir dapat diolesi dengan Kenalog in Orabase. Selain pengobatan diatas, perlu dilakukan konsultasi pada beberapa bagian yaitu ke bagian THT untuk mengetahui apakah ada kelainan di Faring,karena kadang-kadang terbentuk pseudomembran yang dapat menyulitkan penderita bernafas dan sebagaian penyakit dalam. Pemeriksaan sinar X Thoraks perlu dilakukan untuk mengetahui apakah ada kelainan pada paru, misalnya tuberculosis atau Bronchopneumonia Aspesifik. 2.12 KOMPLIKASI Komplikasi yang tersering ialah Bronchopneumonia (16%) yang dapat menyebabkan kematian. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah ,gangguan keseimbangan elektrolit sehingga dapat menyebabkan shock .Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan Lakrimasi. 2.13 PROGNOSIS Dengan penanganan yang tepat dan cepat maka prognosis Sindrom Stevens-Johnson sangat baik. Dalam kepustakaan angka kematian berkisar antara 5-15%. Dibagian kulit dan kelamin RS Ciptomangunkusumo angka kematian hanya sekitar 3,5%. Kematian biasanya terjadi akibat sekunder infeksi. BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 3.1 Kesimpulan : 1.Sindrom Stevens Johnson merupakan suatu sindroma yang bersifat akut, yang bila berat dapat menyebabkan kematian. Penyakit ini merupakan salah satu kegawat daruratan penyakit kulit. 2.Penyebab yang pasti belum diketahui dapat dikatakan multifaktorial.yang diduga sebagai penyebab tersering ialah alergi sistemik terhadap obat dan infeksi, 3.Penyakit ini umumnya menyerang anak dan dewasa muda. 4.Pada Sindrom Stevens Johnson ini ditemukan adanya trias kelainan berupa kelainan kulit,kelainan selaput lendir di orificium dan kelainan mata. 5.Penggunaan obat Kortikosteroid untuk tindakan live saving merupakan pilihan utama. 6.Komplikasi yang tersering Bronchopneumonia yang menyebabkan kematian. adalah dapat 7.Dengan penanganan yang tepat dan cepat maka prognosis Sindrom Stevens Johnson sangat baik. 3.2 Saran: 1.Sebaiknya para dokter mewaspadai timbulnya sindrom Stevens Johnson pada anak-anak bila panas tinggi timbul beberapa hari sesudah munculnya gejala pada kulit disertai keadaan umum yang memburuk serta tidak ditemukannya hasil laboratorium yang spesifik. 30 2. Menanyakan kepada penderita yang datang berobat apakah alergi terhadap obat tertentu. DAFTAR PUSTAKA 1.Djuanda A.:”Sindroma Stevens-Johnson” ,MDK,vol.9 no.4, Mei 1990,halaman 50. 2.Domonkos AN, Arnold HL, Odom RB.:”Eritema Multiforme Exudativum”,”Stevens Johnson Syndrome”,Andrew’s Disease of the Skin Clicical Dermatology,Igaku Shoin/Saunders,Tokyo,Seventh Edition,1982,page 147-150,150-151. 3.Hamzah M.:”Sindroma Stevens-Johnson” ,Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,edisi kedua, 1993,halaman 127-129. 4.Sularsito SA,Soebaryo RW,Kuswadji: Sindroma Stevens-Johnson” ,Dermatologi Praktis, Perkumpulan ahli DermatoVenereologi Indonesia, Edisi Pertama,1986,halaman 121. 31 DETEKSI HEPATITIS C Toni Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak : Kata kunci : Hepatitis C adalah virus yang menyerang hati sering diam-diam kebanyakan orang yang terinfeksi dengan Hepatitis C Virus (HCV) tidak memiliki gejala sama sekali. Hepatitis C merupakan salah satu dari enam virus hepatitis diidentifikasi (yang lain adalah A, B, D, E, G, tt). Semua menyebabkan hati menjadi meradang. Hepatitis C umumnya dianggap yang paling serius dari virus. Seiring waktu jika Anda memiliki infeksi Hepatitis C dapat menyebabkan kehidupan kanker, gagal hati atau sirosis ireversibel dan bekas luka fatal dari hati. Pengobatan HCV telah berkembang dari penggunaan agen tunggal interferon dan ribavirin. Tujuan pengobatan adalah pencapaian berkelanjutan (24-48 penghentian perawatan pasca minggu). Tranaminase dan respon virologi (PCR negatif) dengan perbaikan histologis. Hepatitis, Meradang, Kanker Hati, Sirosis DETECTION HEPATITIS C dr. Toni Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstract : Keywords : Hepatitis C is a virus that often silently attacks liver most people infected with the Hepatitis C Virus (HCV) have no symptoms at all. Hepatitis C is one of six identified hepatitis viruses (the other are A, B, D, E, G, tt). All cause the livers to become inflamed. Hepatitis C is generally considered to be among the most serious of these viruses. Over time if you have a Hepatitis C infection it can lead to lives cancer, liver failure or cirrhosis irreversible and potentially fatal scarring of the livers. The treatment of HCV has evolved from use of single agent interferon and ribavirin. The goal of treatment is the achievement of sustained (24-48 weeks post treatment cessation). Tranaminase and virological respon (PCR negative) with histological improvement. Hepatitis, Inflamed, Liver Cancer,Cirrhosis PENDAHULUAN Sejak tahun 1970, ketika virus nonA nonB pertama kali diperkenalkan, sampai awal tahun 1990 ketika Houghton dan kawan kawan sukses mengkloning virus ini, terdapat perbedaan interpretasi mengenai perkembangan dan prognosa virus hepatitis C. Selanjutnya test anti HCV yang menandakan virus hepatitis C dapat dikembangkan. (Bals .M, 2006, p 249). Virus hepatitis C adalah nama yang telah diberikan salah satu jenis virus hepatitis dari virus hepatitis lainnya (Hepatitis A, B, D, G, tt). Virus ini ditemukan pada tahun 1989, dan menjadi penyebab kasus hepatitis NANB pasca transfusi. Pada tahun 1970 dikenal kasus kasus hepatitis pasca transfusi. Virus hepatitis C merupakan virus hepatitis dengan masa inkubasi yang lama dan sering ditandai dengan gejala subklinis yang ringan , tetapi dengan tingkat kronisitas dan progresifitas kearah sirosis. (Kurstak, 1993, p.177) Penyakit Hepatitis C adalah penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis C, virus ini merupakan jenis virus RNA dari keluarga Flaviviridae. Terdapat 6 genotip HCV dan lebih dari 50 subtipe. Respons limfosit T yang menurun dan kecenderungan virus untuk bernutasi nampaknya menyebabkan tingginya angka infeksi kronis (PPHI, 2003, hal 8) 32 Gambar virus hepatitis C (http://www.medicastore.com/hepatitisC/infeksi hepatitis.htm) Virus hepatitis C paling berbahaya dibandingkan dengan virus hepatitis lainnya, karena 80% penderita terinfeksi bisa menjadi infeksi yang menahun dan bisa berkelanjutan menjadi hepatitis kronik kemudian sirosis hati, kanker hati dan kematian. Proses perjalanan ini memerlukan waktu yang panjang hingga belasan atau puluhan tahun. Virus ini dapat bermutasi dengan cepat, perubahan-perubahan protein kapsul yang membantu virus menghindarkan sistim imun. Genotip genotip yang berbeda mempunyai perbedaan distribusi geografi. Genotipe 1a dan 1b paling banyak di Amerika, kira-kira 75% dari kasus. Genotip 2, 3 dan 4 hanya 30% dari kasus. Di Jepang dan Cina tipe 2 lebih sering dijumpai , tipe 3 sering dijumpai di Eropa dan Inggris, tipe 4 banyak ditemui di Timur Tengah dan Afrika. Tipe 5 banyak di Afrika dan sedikit di Amerika Utara, jenis tipe 6 banyak ditemukan di Hongkong dan Macau. Genotipe 1a dan 1b merupakan jenis yang resisten terhadap pengobatan dan manifestasi penyakit umumnya berat.(Sulaiman HA, Julitasari, 2004,hal 12). Keberagaman genetik HCV memiliki implikasi diagnostik dan respon terapi sedikit. Pada genotip 1 bertanggung jawab hingga 6065% semua infeksi virus hepatitis C di Indonesia. Genotip ini memiliki respon pengobatan lebih rendah dibandingkan genotip lainnya. Karena keberagaman ini yang menyebabkan sulit untnk mengembangkan vaksin dan respon terapi.(PPHI, 2003, hal 8) Kira-kira sepertiga kanker hati disebabkan oleh hepatitis C. Hepatitis C yang menjadi kanker hati terus meningkat diseluruh dunia karena banyak orang terinfeksi virus hepatitis C tiap tahunnya. Saat hati menjadi rusak, maka hati tersebut akan memperbaiki sendiri dengan membentuk jaringan parut, jaringan parut ini disebut fibrosis. Semakin banyaknya jaringan parut menunjukan semakin parahnya penyakit, sehingga hati menjadi sirosis. Mengingat pada penderita hepatitis C cenderung menjadi kronik dan mengarah ke kanker hati, serta belum ditemukannya vaksin maka penulis ingin mengupas seputar penyakit hepatitis C. 33 EPIDEMIOLOGI Menurut WHO tahun 1999 kira-kira 170 juta orang terinfeksi hepatitis C atau 3% dari populasi dunia dan akan berkembang menjadi sirosis hepar dan kanker hati. . Secara keseluruhan ada 130 negara dimana yang melaporkan terinfeksi HCV. Data di Indonesia, pravelensi HCV Berkisar antara 0,5 – 3,4% menunjukkan sekitar 1 – 7 juta penduduk Indonesia mengidap infeksi virus C. Di Asia,infeksi HCV diperkirakan bervariasi dari 0,3 % di Selandia Baru sampai 4% di Kamboja. Data didaerah Pasifik diperkirakan sekitar 4,9%.Di Timur Tengah angka yang pernah dilaporkan adalah 12% pada beberapa pusat penelitian. ( Hernomo K, 2003, hal 21) Transmisi HCV terjadi terutama melalui paparan darah yang tercemar. Paparan ini biasanya terjadi pada pengguna narkoba suntik, transfusi darah (sebelum 1992), pencangkokan organ dari donor yang terinfeksi, praktek medis yang tak aman, paparan okupasional terhadap darah yang tercemar, kelahiran dari ibu yang terinfeksi, hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi, perilaku seksual resiko tinggi dan kemungkinan penggunaan kokain intranasal, di Amerika lebih dari 60% dari penderita hepatitis C yang baru disebabkan oleh pemakaian obat obatan intravena. (Bals M, 2006, p. 250) Virus ini baru-baru ini ditemukan sebagai penyebab utama hepatitis non A, non B yang diperoleh secara parenteral terutama melalui transfusi darah. (Sacher RA, Mc Pherson RA, 2000, p. 381) GEJALA KLINIK Sering kali orang yang menderita hepatitis C tidak menunjukkan gejala walaupun infeksi telah terjadi bertahun-tahun lamanya. Gejala-gejala di bawah ini mungkin samar, misalnya lelah, perasaan tidak enak pada perut kanan atas, hilang selera makan, sakit perut, mual, muntah ,pemeriksaan fisik seperti normal atau menunjukan pembesaran hepar sedikit. Beberapa pasien didapatkan spidernevi, atau eritema Palmaris. (Bell B, 2009) Hasil laboratorium yang menyolok adalah peninggian SGOT dan SGPT yang terjadi pada kurun waktu 2 sampai 26 minggu setelah tertular. Masa inkubasinya diantara hepatitis akut A dan hepatitis B, dengan puncaknya diantara 7 sampai 8 minggu setelah terkena infeksi. (Sulaiman HA, Julitasari, 2004, hal 17) Penderita infeksi HCV biasanya berjalan sublinik, hanya 10% penderita yang dilaporkan mengalami kondisi akut dengan ikterus. Infeksi HCV jarang menimbulkan hepatitis fulminan, namun infeksi HCV akut yang berat pernah dilaporkan pada penderita resipien transplantasi hati, penderita dengan dasar penyakit hati menahun dan penderita dengan koinfeksi HBV (Hernomo K, 2003, hal. 22) Meskipun kondisi akutnya ringan sebagian besar akan berkembang menjadi penyakit hati menahun (Harrison’s, 1998, p.149). Infeksi HCV dinyatakan kronik kalau deteksi RNA HCV dalam darah menetap sekurang-kurangnya 6 bulan. Secara klinik hepatitis C mirip dengan infeksi hepatitis B. Gejala awal tidak spesifik dengan gejala gastrointestinal diikuti dengan ikterus dan kemudian diikuti perbaikan pada kebanyakan kasus. ( PPHI, 2003, hal 21) Infeksi kronik hepatitis C menunjukan dampak klinik yang jauh lebih berat disbanding infeksi hepatitis B. Kedua infeksi virus ini dapat menimbulkan gangguan kualitas hidup, meskipun masih dalam stadium presirotik dan sering mengakibatkan komplikasi ekstra hepatik. (Hernomo K, 2003, hal 20) Pasien dengan hepatitis C kronik dengan manifestasi gejala ekstrahepatik yang biasanya disebabkan respon imun seperti gejala rematoid, keratoconjungtivitis sicca, lichen planus, glomerulonefritis, limfoma dan krioglobulinemia esensial campuran. Krioglobulin telah dideteksi pada serum sekitar separuh pasien dengan hepatitis C kronik (Mauss S, et al ,2009, p.45) PERJALANAN ALAMIAH HEPATITIS C Perjalanan alamiah infeksi HCV dimulai sejak virus hepatitis C masuk ke dalam darah dan terus beredar dalam darah menuju hati, menembus dinding sel dan masuk ke dalam sel, lalu berkembang biak. Hati menjadi meradang dan sel hati mengalami kerusakan dan terjadi gangguan fungsi hati dan mulailah perjalanan infeksi virus hepatitis C yang panjang. Ada 2 mekanisme bagaimana badan menyerang virus. Mekanisme pertama melalui pembentukan antibodi yang menghancurkan virus dengan menempel pada protein bagian luar virus. Antibodi ini sangat efektif untuk 34 hepatitis A dan B. tetapi sebaliknya antibodi yang diproduksi imun tubuh terhadap HCV tidak bekerja sama sekali (sulaiman HA, Julitasari, 2004, hal 15) Sekitar 15 % pasien yang terinfeksi virus hepatitis C dapat menghilangkan virus tersebut dari tubuhnya secara spontan sayangnya, mayoritas penderita penyakit ini menjadi kronis. Dienstag telah meneliti 189 kasus hepatitis NANB ternyata dari jumlah tersebut 34% penderita hepatitis kronik pensisten atau hepatitis kronik lobuler, 40% hepatitis kronik aktif dan 18% penderita hepatitis kronik pensisten atau hepatitis kronik lobuler, 40% hepatitis kronik aktif dan 18% penderita sirosis hati (Dienstag, 1993, p 85) Salah satu konsekuensi paling berat pada hepatitis adalah kanker hati, hepatitis C kronis merupakan salah satu bentuk penyakit hepatitis paling berbahaya dan dalam waktu lain dapat terjadi komplikasi. Penderita hepatitis kronis beresiko menjadi penyakit hati tahap akhir dan kanker hati, penyakit hati terutama hepatitis C penyebab utama pada transplantasi hati sekarang ini. Saat hati menjadi rusak, hati tersebut memperbaiki sendiri membentuk fibrosis, yang menunjukkan semakin parahnya penyakit, sehingga hati menjadi sirosis. Hampir semua mortalitas hepatitis C berhubungan dengan komplikasi sirosis hati dan kanker hati dan hampir tidak pernah terjadi klirens spontan virus hepatitis C pada hepatitis kronik. Sepertiga dari pasien terinfeksi hepatitis kronik tidak pernah menjadi sirosis. Sepertiga dari kasus hepatitis kronik menjadi sirosis dalam waktu 30 tahun dan sebagian dapat berkembang menjadi kanker hati. Sedangkan sepertiga lagi dalam waktu 20 tahun. (PPHI, 2003, hal 31) DIAGNOSIS Test yang dipakai untuk mendeteksi antibodi terhadap virus seperti Enzyme Immuno Assay (EIA), yang mengandung antigen HCV dari gen inti dan non struktural, dan Assay Imunoblot Recombinan (RIBA). Teknik Polymerasi Chain Reaction (PCR) atau Transcription – Mediated Amplification (TMA) sebagai test kualitatif untuk HCV RNA, sementara amplifikasi target (PCR) dan teknik amplifikasi sinyal( Branched DNA) dapat dipakai untuk mengukur muatan virus. (PPHI,2003 hal 11) Pendekatan paling baik untuk diagnosa hepatitis C adalah test HCV RNA yang merupakan tes yang sensitive seperti Polimerase Chain Reaction (PCR) atau Transcription Mediated Amplification (TMA). Dengan adanya HCV RNA diserum menandakan infeksi aktif. Test untuk HCV RNA adalah membantu pasien pasien yang dengan test EIA dengan hasil anti HCV nya tidak dapat dipercaya, misalnya pasien dengan gangguan imun yang mana hasil anti HCV nya negative, sebab mereka tidak cukup memproduksi antibody. Pasien-pasien dengan akut hepatitis C, test anti HCV negative karena antibody baru muncul setelah satu bulan fase akut.(Bell B, 2009) Test HCV RNA dibagi dua yaitu kuantitatif dan kualitatif. Test kualitatif menggunakan PCR/ Polymerase Chain Reaction, test ini dapat mendeteksi HCV RNA yang dilakukan untuk konfirmasi viremia dan untuk menilai respon terapi. Test kuantitatif dibagi dua yaitu: metode dengan teknik Branched Chain DNA dan teknik Reverse Transcription PCR.Test kuantitatif ini berguna untuk menilai derajat perkembangan penyakit. Pada test kuantitatif ini pula dapat diketahui derajat viremia. (Sulaiman HA, Julitasari,2004, hal 20) Sesuai dengan rekomendasi konsensus penatalaksanaan HCV di Indonesia : 1. Pemeriksaan HCV RNA yang positif, dapat memastikan diagnosis 2. Bila HCV – RNA tidak dapat diperiksa, maka ALT/SGPT > 2N, dengan anti HCV (+) 3. Pemeriksaan genotip tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosis. 4. Pemeriksaan HCV RNA kuantitatif diperlukan pada anak dan dewasa untuk penentuan pengobatan. 5. Pemeriksaan genotip diperlukan untuk menentukan lamanya terapi. 6. Pemeriksaan HCV RNA diperlukan sebelum terapi dan 6 bulan paska terapi. 7. Pemeriksaan HCV RNA 12 minggu sejak awal terapi dilakukan pada pasien genotip 1 dengan pegylated interferon untuk penilaian apakah terapi dilanjutkan atau dihentikan. (PPHI, 2003, hal 13) Test faal hati rutin untuk skrining HCV kronik memiliki keterbatasan, karena sekitar 35 50% penderita yang terinfeksi HCV mempunyai nilai transaminase normal. Meskipun test faal hatinya normal , penderita ini ternyata menunjukkan kelainan histology penyakit hati berupa nekroinflamasi dengan atau tanpa sirosis. Pemantauan dengan menggunakan kadar transaminase sifatnya terbatas, karena kadarnya dapat berfluktuasi dari kadar normal sampai ke abnormal dengan perjalanan waktu (Hernomo K, 2003, hal 23). Biopsi hati biasanya dikerjakan sebelum dimulai pengobatan anti virus dan tetap merupakan pemeriksaan paling akurat untuk mengetahui perkembangan penyakit hati. Biopsi hati biasanya dikerjakan pada penderita dengan infeksi kronik HCV. Dengan transaminase abnormal yang direncanakan pengobatan antiviral, pemeriksaan histologi juga dibutuhkan bila ada dugaan diagnosis penyakit hati akibat alkohol. Biopsi hati menjadi sumber informasi untuk penilaian fibrosis dan histologi. Biopsis hati memberikan informasi tentang kontribusi besi, steatosis dan penyakit penyerta hati alkoholik terhadap perjalanan hepatitis C kronik menuju sirosis. Informasi yang didapat pada biopsi hati memungkinkan pasien mengambil keputusan tentang penundaan atau dimulainya pemberian terapi antivirus, karena mengingat efek samping pengobatan. (PPHI, 2003, hal 14) PENGOBATAN Pengobatan hepatitis C kronik telah berkembang sejak interferon alfa pertama kali disetujui untuk dipakai pada penyakit ini lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Pada waktu itu obat ini diberikan 24 sampai 48 minggu sebagai kombinasi Pegylated alfa interferon dan Ribavirin. Pegylated alfa interferon (penginterferon) adalah modifikasi kimia dengan penambahan molekul dari polyethylene glycol. Penginterferon dapat diberikan satu kali per minggu dan keuntungannya kadarnya konstan di dalam darah. Ribavirin adalah suatu obat antivirus yang mempunyai efek sedikit pada virus hepatitis C, tetapi penambahan Ribavirin dengan interferon menambah respon 2 – 3 kali lipat. Kombinasi terapi ini dianjurkan untuk pengobatan hepatitis C. (Bell B, 2009) Terapi dengan Interferon 3 juta unit 3x perminggu selama 12-18 bulan, yang diberikan kepada pasien dengan aminotransferase tinggi, biopsi menunjukkan kronik hepatitis berat atau lanjut, HCV RNA, 50% mengalami remisi atau perbaikan 50% pasien kembali diantara 12 bulan pengobatan dan perlu mengulang pengobatan kembali. Respon yang baik yaitu hilangnya HCV RNA yang tinggi pada genotip HCV 1a dan 1b. lebih menguntungkan dengan penambahan ribavirin (Dienstag, 1983, p. 85) Kriteria yang harus dipenuhi sebelum pemberian terapi Interferon: (Sulaiman HA, Julitasari, 2004, hal 21) 1. Anti HCV [+] dengan informasi stadium dan aktivitas penyakit, HCV RNA [+], genotip virus, biopsi. 2. Ada / tidaknya manifestasi ekstra hepatic. 3. Kadar SGOT/ SGPT berfluktuasi diatas normal. 4. Tidak ada dekompensasi hati. 5. Pemeriksaan laboratorium: a. Granulosit > 3000/ cmm b. Hb > 12 g/dl c. Trombosit > 50000/ cmm. d. Bilirubin total < 2 mg/ dl e. Protrombin time < 3 menit. Berdasarkan rekomendasi konsensus FKUI – PPHI (2003, hal 21) : 1. Terapi antivirus diberikan bila ALT > 2N 2. Untuk pengobatan hepatitis C diberikan kombinasi Interferon dengan Ribavirin 3. Ribavirin diberikan tiap hari, tergantung berat badan selama pemberian interferon dengan dosis : a. < 55 kg diberikan 800 mg/hari b. 56 – 75 kg diberikan 1000 mg/hari c. > 75 kg diberikan 1200 mg/hari 4. Dosis Interferon konvensional 3,41/2,5 MU seminggu 3 kali, tergantung kondisi pasien 5. Pegylated Intenfenon Alfa 2a diberikan 180 ug seminggu sekali selama 12 bulan pada genotipe 1&4, dan 6 bulan pada genotipe 2 dan 3. pada Pegylated Interferon Alfa 2b diberikan dengan dosis 1,5ug/kg BB/kali selama 12 bulan atau 6 bulan tergantung genotip 6. Dosis Ribavirin sedapat mungkin dipertahankan. Bila terjadi efek samping anemia, dapat diberikan enitropoitin. 36 PENCEGAHAN Hingga saat ini belum ditemukan vaksin yang dapat digunakan untuk mencegah hepatitis C tetapi ada beberapa cara untuk mencegah penularan hepatitis C dengan cara jarum suntik harus steril. Melakukan kehidupan sex yang aman. Bila memiliki pasangan yang lebih dari satu atau berhubungan dengan orang banyak harus memproteksi diri misalnya dengan pemakaian kondom. Jangan pernah berbagi alat seperti jarum , alat cukur, sikat gigi dan gunting kuku. Bila melakukan manicure, pedicure, tattoo ataupun tindik pastikan alat yang dipakai steril. Orang yang terpapar darah dalam pekerjaannya [misalnya dokter, perawat, perugas laboratorium] harus hati-hati agar tidak terpapar darah yang terkontaminasi, dengan cara memakai sarung tangan, jika ada tetesan darah meskipun sedikit segera dibersihkan. Jika mengalami luka karena jarum suntik maka harus melakukan test ELISA atau RNA HCV setelah 4 sampai 6 bulan terjadinya luka untuk memastikan tidak terinfeksi penyakit hepatitis C. Pernah sembuh dari salah satu penyakit hepatitis, tidak mencegah penularan penyakit hepatitis lainnya. Dengan demikian dokter sangat merekomendasikan penderita hepatitis C juga melakukan vaksinasi hepatitis A dan hepatitis B. PENUTUP Hepatitis C merupakan penyebab penyakit hati akut atau kronis yang paling berbahaya dibandingkan dengan virus hepatitis lainnya. Mengingat bahwa virus hepatitis C ini dapat menyebabkan kerusakan hati yang parah, sirosis dan kanker hati / hepatoma maka upaya pencegahan merupakan hal yang sangat penting, melalui pendidikan untuk mengenal cara-cara penularan yaitu menghindari pemakaian narkoba, penyuntikan yang aman, mencegah perilaku seksual beresiko tinggi dan menghindari pemakaian alat-alat pribadi bersama. Karena infeksi hepatitis C dapat menyebabkan kerusakan hati tanpa gejala, sangat penting untuk melakukan pemeriksaan sedini mungkin. Penelitian menunjukkan pasien yang diobati sebelum hatinya rusak secara signifikan memiliki respon yang lebih baik terhadap pengobatan dibandingkan pada pasien yang menunda pengobatannya. Tujuan pengobatan hepatitis C adalah menghilangkan virus dari tubuh sedini mungkin untuk mencegah perkembangan yang memburuk dan stadium akhir penyakit hati. Ada tiga macam obat yang digunakan dalam mengobati hepatitis C yaitu Interferon Alfa, Pegylated Interferon Alfa, Ribavirin .pengobatan ini sudah diterima dalam kemampuannya untuk melawan virus pada penderita penyakit hepatitis kronik. Daftar Pustaka Anonim. 2009. Power to beat HCV. http://www.medicastore.com. Diakses pada 20 Mei 2010. Bals,M. 2006. Acut Hepatitis C Virus Infection. Romania. Bell, B. 2009. Chronic Hepatitis C. http://www.digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/ p. diakses pada 15 April 2010. Dienstag JL. 1983. Non A, Non B Hepatitis Recognition, epidemiology and Clinical Gastroentenologi. Harrison’s. 1998. Principles of Internal Medicine. Singapore Hernomo,K.2003.Pandangan Terkini Hepatitis Virus B dan C dalam praktek klinik. Surabaya. Kurstak E. 1993. Hepatitis C Virus, Hepatitis E Virus and Disease, inviral Hepatitis. New York. Mauss. S. et al. 2009. Hepatology A Clinical Textbook. Germany. PPHI. 2003. Konsensus Penatalaksanaan Hepatitis C kronik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Sacher,RA. Mc Pherson, RA. 2000. Widman’s Clinical Interpretation of laboratory Tests. Philadelphia: FA Davis Company. Sulaiman,HA. Julitasari. 2004. Selayang Pandang Hepatitis C. Jakarta. 37 ANALYSIS OF PATIENT SATISFACTION WITH HEALTH CARE FACILITIES AND SERVICES OR PRIMARY (LITERATURE STUDIES) Atik Sri Wulandari Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya INTRODUCTION In the midst of an era of globalization characterized by the increasingly sharp competition and changing business environment moves fast, pragmatic and tend to be unpredictable, requires each organization to enhance its competitiveness. In addition customers are also increasingly strong demand for quality products and services. The services sector is now growing rapidly is the health service, it is related to increasing public awareness in interpreting the word "healthy" as a part of their investment in the future. Therefore, service quality improvement is no longer solely on technical quality that is part of the "way of lifre" health industry, but leads on how to manage a health industry memilki competitiveness of its service users to meet the eyes of their desire. To meet those objectives arising efforts to meet in terms of quality-related. Tjiptono (2001) explains that the quality is a dynamic state associated with products, services, people, processes that meet or exceed customer expectations. From the definition it is also clear that the most eligible jasalah users represent the quality of quality by comparing what they expect their denganpersepsi after meneima services. It also applies in the health services industry in this regard Ruamah Hospital. Clinics and Health Centers Community (PHC) in the Indonesian population demographics khususnya.Kondisi mostly live and settled in rural areas, the health organization's most dominant and most frequently used is therefore Puskesmas.Oleh of line service users with the lowest health organizations this will be illustrated how far the service user satisfaction. Like the above description then how cursory overview of patient satisfaction on the services they receive. LITERATURE REVIEW In general, the public health service is a subsystem of the health service whose primary purpose is preventive services (preventive) and promotion (health improvement) with a target masyarakat.Meskipun not mean that public health services do not perform curative services (treatment) and rehailitatif (recovery). Therefore, the scope of services in this Kesahatan Community Health Center is spearheading the community health service that is precisely the kind of services kuratiflah into the spotlight and main kebutuan for the community. In conjunction with the service and quality of service (Berry1985) in presenting their research ekploratifnya service quality and the factors that determine the defining quality of service as a degree of instability skewer between normative expectations on customer service and customer perceptions of service received at the performance. For health services that health centers should be carried out satisfactorily mempu Communities as service users (www.helvetia.ac.id). Measurement and assessment of satisfaction from the emergence of hope beawal satisfaction of patients who use health services in public health centers. Therefore, the scope of services related to people's interests kesehatanmasyarakat much the role of government in public health services have a large portion. Nevertheless, due to limited government resources, the potential community needs to be extracted or included in the health service efforts. Government in this regard the Ministry of Health has an obligation and responsibility in exploring and enhancing the potential of people in this health service. Mobilizing potential of the people here includes three dimensions, namely: a. Potential society in the sense of community (eg, the people of the RT, RW, Kelurahan, etc.). For example with the health fund, contributions to procurement PMT (Supplementary Feeding) for children Toddlers, health cadres and so on are forms of participation and exploration potential of the community in community health services. b. Mobilizing potential of the community through the organization or community-oarganisasi often called Non Governmental Agencies (NGOs). c. Mobilizing potential of the community through private companies which will 38 help to ease the burden of administering public health services (PHC, Balkesmas etc.) Public health services, both hosted by the Government and private sector needs, attention to several provisions, among others: a. Responsible person, a health care system responsible masyarakatharus no government or private. However, in Indonesia, the government in this case the Ministry of Health is responsible for most high. This means pengawsan, service standards and so forth for the good of society ksehatan peleyanan pemerinta (PHC) or private (Balkesma) is under the coordination of the Ministry of Health. b. Service standards, public health service system, both private pemerintahmaupun should be based on an a certain standard. This standard set by the Ministry of Health with the Health Center guide book. c. Employment Relations, the public health service system must have a clear division of labor between the one with the other. This means that health facilities must have a clear organizational structure den describes the working relationship, both horizontally and vertically. d. Potential of Community Organizing, typical characteristics of the system of public health services is community involvement or community organizing. This effort is important, especially in Indonesia, because of the limited resources of the community health service providers, we need community participation. In assessing the quality of service, Bolton and Drew (1991) stated that overall consumer understanding about the services arranged by a series of compliance-related stages on the performance of services, service and value kalitas services. This model was motivated by the concept of consumer satisfaction as a function diskonfirmasi between consumer expectations with perceptions of the perceived actual performance. In research eksplorai Zeithaml and Berry (1985) in kaintannya with describing the quality of their services and service quality factors which determine this by defining the service as a degree of instability kulaitas skewer between Normative expectations in customer service and customer perceptions of service performance diterima. DISCUSSION Judging from some of the problems mentioned above there poko beberpa things that need attention and scrutiny. Among them is the view from the user side dalah it is society itself, which manapelanggan or communities express their needs on the basis of perception. According to Juran, JM perception is also very dipengaruhin by personal characteristics and circumstances at the time. While according Hendartini personal characteristics may also affect perceptions. Customer perception of product or services affect customer satisfaction. Satisfaction is subjective depending on the backgrounds of individuals, so that individuals can Tipa just feel different levels of satisfaction for the same type of service, (Azwar. A. 1996). However, according to Bolton and Drew (1991) that the meletarbelakangi concept of patient satisfaction as a function of diskonfirmasi between consumer expectations with actual performance perceptions of the perceived bias viewed as a whole from a series of stage performance, quality and quality of service itself, which include, Responsible, standard of service, labor relations, the process to service the resulting product. According to research in peneliitia et Sudibyo factor-factor related to satisfaction of outpatient and inpatient dipuskesmas penlaian includes five dimensions. Responsivness (responsiveness) is ability officers provide services to consumers quickly. Reliability (reliability) is kempuan officers provide services to consumers with the right. Assurance (assurance) that gave the officers the ability of services to consumers so believable. Emphaty (empathy), namely the ability liaison officer, attention, and understand kebutuan patient / consumer. And Tengible (evidence) that the availability of Arana and infrastructure diraskan directly by consumers. Bolton and Drew (1991) memamarkan multistage model of customers assessments of service quality and value. This model states that consumers' overall understanding of the services arranged by a series of steps related to the understanding of service performance, service quality and value of the services. This model was motivated by the concept of consumer satisfaction as a function diskonfirmasi between consumer expectations with perceptions of the perceived actual performance. Satisfaction by Tse and Wilton (1988) are as customer response to the evaluation of the perceived discrepancy between prior expectations with the actual performance that is felt after wearing them. Engle (1990) defines customer satisfaction as a full evaluation of alternatives and purchase where purchased at least 39 equal or exceed customer expectations, while dissatisfaction arise if the result (outcome) does not meet expectations. Kotler (1994) states that satisfaction is the level of state of one's feelings which is the result of the comparison between the performance of products or services related to those expectations. Meanwhile, according to research by using the SWOT analysis of R & D in the servant's empowerment center consists of: 1. Market penetration strategy, which the PHC berusahan utnuk improve public health services through the efforts of promotion, dissemination and extension, so that products can pusksmas services masyarakatsebagai sasran known and unknown consumers. 2. Product development strategy is a strategy that aims to improve PHC services by increasing the variance of health services in an effort to develop products to existing health services. 3. Strategiintegrasi meningktakan horizontal control of health services to the community in an effort to develop strategic competitiveness. 4.Strategi / policy implementation of system maintenance and repair the infrastructure and performance-based health centers. Implementation of health for the community pelayana by Puskesmas is one of the basic forms of public servants who conduct by the Government. This makes assessment of fully kineja services rendered to the public as users, and certainly as a measure of community satisfaction adalh that need to be considered. CONCLUSION Based on the few things mentioned above there are some things to consider in addressing the health center service satisfaction criteria. First from the user side, namely responsiveness dlam providing service, accuracy of services according to needs, and empathy. In terms of health centers, health services karenaPuskesmas a subsystem whose main goal is prevention services and health improvement however it turns out the fact that there is give the stolen treatment and recovery services, the MEU will not have a few parties who must work together, among others, government and society. Despite the limitations of government resources mka community potential bias dug to be included in the health peleyanan efforts. REFERENCES Bolton & Drew, 1991, Tecnical Compexcity and Consumer Knowledge as Moderators of Service Quality Evaluation in Outomobile Service Industry, Journal of Retailing.70 (4) 367-381 Arikunto, suharsimi, 1998, the research procedure, a practical approach, the revised fourth edition, the publisher Rineka Reserved. Azwar, Syaifudin, 2001, Research Methods, Student Book Publisher, Yogyakarta Blanton Godfrey and Edward G Kammerer, Service Quality vs. Quality Manufacturing Five Myths Exploded. TP CF Bonser, 1992, Total Quality Education, Journal of Public Administration Review, Sept / oct, vol 52 (s) 504-512. James L. Bossert & ross, 1993 Quality Function Deployment: A practioner's approach, Milwauke, Wilconsin: ASQC Quality Press. Chen, Chuen Lung, and Stanley F Bullington, 1999, Development of a strategic plan for academic research department through the use of QFD. Journal of Computer and Industrial Engineering 25. (49-52). Cothtle4, 1995, Quality Function Deploymeny; How make QFD work for you, Addison-Wesley Publishing Company, USA. Cortada, James W., 1996, Total Quality Management, Translation, Publishing Andi, Yogyakarta. Cronin, Joseph J and SA Taylor, Thommason, B & Ovretveit J, 1994, Quality of Service: Making it Really Work, Cambridge: McGraw Hill International Limited, UK. Ermer, Donald S, 1999, Using QFD Become An Educational Experience For Students And Faculty, Journal of Quality Progress, 28, (131-136). Fitzsimmons and Fitzsimmons (2001), Service Management: Operations, Strategy and Information Technology. McGrawHill , International Edition, New York, p.44. Fitzsimmons JA & Fitzsimmons MJ (1994) Service Management for Competitive Advantage, McGraw Hill, Singapore Gaspersz, Vincent, 1997, Quality Management in Service Industries, publisher PT. Gramedia. Gaspersz, Vincent, 1997, Building Seven habits of Quality, publisher PT. Gramedia. Gaspersz, Vincent, 2001, Total Quality Management, publisher PT. Gramedia. 40 PENGARUH DIET VEGAN TERHADAP KADAR LDL-KOLESTEROL DARAH Loo Hariyanto Raharjo Departemen Biokimia Universitas Wijaya Kusuma Surabaya e-mail: [email protected] ABSTRAK Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui adanya pengaruh diet vegan terhadap kadar LDL-kolesterol darah sehingga dapat menurunkan insiden terjadinya aterosklerosis. Metode Penelitian: Melakukan suatu analisa deskriptif terhadap empat buah hasil penelitian, yaitu : The Oxford Vegetarian Study, Studi tentang resiko cardiovascular disease pada kelompok vegan Afro-Amerika dibandingkan dengan lakto-ovovegetarian, Studi tentang kadar leptin pada kelompok anak vegetarian prepubertas, Studi tentang pengaruh diet vegetarian terhadap kadar kolesterol dan trigliserida darah. Hasil Penelitian: Keempat studi yang dianalisa tersebut memberikan hasil kadar LDL-kolesterol darah yang lebih rendah pada kelompok vegan. Bahkan dengan memberikan diet vegan sejak anak usia prepubertas dapat memberikan lipid profile (LDL, HDL, Total Kolesterol, Trigliserida) yang lebih baik daripada anak yang omnivora. Selain itu pemberian diet vegan sejak usia prepubertas dapat menekan faktor aterogenik (apo-B), meningkatkan faktor anti-aterogenik (apo-A1),serta menurunkan kadar leptin darah sehingga mencegah terjadinya obesitas. Kesimpulan: Diet vegan dapat menurunkan kadar LDL-kolesterol darah, dapat mengurangi faktor aterogenik, meningkatkan faktor anti-aterogenik, menurunkan kadar leptin darah, mengurangi terjadinya obesitas, serta dapat menurunkan insiden terjadinya aterosklerosis yang menyebabkan timbulnya penyakit kardiovaskuler dan penyakit serebrovaskuler. Kata Kunci: Vegan, LDL-kolesterol, Aterosklerosis VEGAN DIET EFFECT ON BLOOD LEVELS OF LDL-CHOLESTEROL Loo Hariyanto Raharjo Biokimia Departement Wijaya Kusuma Surabaya University e-mail: [email protected] ABSTRACT Background: This study to know influence of diet vegan to LDL-cholesterol blood level then can decrease incident of atherosclerosis. Method: Descriptive analysis to four results research, e.g.: The Oxford Vegetarian Study, Study of serum leptin concentration in vegetarian prepubertal children, Study of Cardiovascular Disease Risk Factors in AfricanAmerican Vegans Compared to Lacto-Ovo-Vegetarians, Study of influence vegetarian diet to Cholesterol and Triglycerides level. Results: These four studies given results that LDL-cholesterol is lower at vegan group than omnivore group. Giving vegan diet since prepubertal age of children can give the better of lipid profile (HDL, LDL, Total Cholesterol, Triglycerides) than children with omnivore diet. Moreover giving vegan diet since prepubertal age can decrease of atherogenic factor (apo-B), increase anti-atherogenic factor (apo-A1), also decrease blood leptin level to prevent obesity. Conclusion: Diet vegan can decrease LDL-cholesterol, decrease atherogenic factor, increase anti-atherogenic factor, decrease blood leptin level, decrease incident of obesity, also can decrease incident of atherosclerosis, which can cause of cardiovascular and cerebrovascular disease. Key words: diet vegan, LDL-cholesterol, atherosclerosis I. PENDAHULUAN Pola diet vegetarian saat ini semakin berkembang di kota-kota besar di Indonesia, khususnya Surabaya. Pola diet vegetarian ini ada beberapa macam, salah satunya adalah vegan, yaitu suatu pola diet yang tidak mengkonsumsi makanan yang berasal dari hewan baik hewan yang hidup di air, darat, maupun udara, selain itu juga tidak mengkonsumsi susu, telur, serta hasil olahannya. Pola diet vegan ini dianggap sebagai pola diet yang sehat sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit degeneratif, khususnya penyakit kardiovaskular. Penyakit kardiovaskular ini biasanya dihubungkan dengan hiperkolesterolemia, terutama adanya peningkatan kadar LDL-kolesterol darah. American Dietetic Association and Dietitians of Canada (2003) menyatakan bahwa diet vegan dapat mencegah terjadinya obesitas, diabetes mellitus type 2, penyakit kardiovaskular, serta beberapa kanker. Selain itu diet vegan juga 41 meningkatkan intake nutrisi dan senyawa fitokimia yang bersifat protektif untuk mencegah terjadinya penyakit kronis (Dewell A.,2008). Frasser (2003) menyatakan bahwa kelompok orang yang vegan mempunyai total kolesterol dan LDL-kolesterol yang rendah, serta tekanan darah yang juga lebih rendah dibandingkan dengan kelompok orang vegetarian lainnya. Kemudian Toohey,dan kawan-kawan (1998) menunjukkan bahwa kadar lipid dan Body Mass Index (BMI, dalam kg/m2) secara signifikan lebih rendah pada kelompok Afro-Amerika yang vegan dari pada kelompok yang lacto-ovovegetarian. Tujuan penulisan artikel ilmiah ini adalah untuk membuktikan bahwa pemberian diet vegan bisa menurunkan kadar LDL-kolesterol darah sehingga bisa mencegah terjadinya penyakit kardiovaskular. Disini kita akan membandingkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengenai pengaruh diet vegan terhadap kadar LDL-kolesterol darah. Kemudian kita ambil kesimpulan dari perbandingan hasil-hasil penelitian tersebut sehingga bisa didapatkan jawaban untuk hipotesa mengenai adanya pengaruh diet vegan terhadap kadar LDLkolesterol darah. II. BAHAN DAN METODA: Ada beberapa penelitian yang kita pakai untuk perbandingan, yaitu: 1. The Oxford Vegetarian Study Merupakan suatu studi prospektif yang melibatkan 6000 orang vegetarian (berasal dari Vegetarian Society di United Kingdom) dan 5000 orang yang nonvegetarian sebagai kelompok kontrol. Studi ini dilaksanakan di United Kingdom antara bulan September 1980 sampai Januari 1984. Kemudian kepada orang coba tersebut dibagikan kuesioner yang berisi tentang pola diet yang dilakukan, beberapa faktor lifestyle yang mempengaruhi kesehatan seperti merokok, minum alkohol, kebiasaan olah raga, tanggal lahir, tempat tinggal, tinggi badan, berat badan, riwayat penyakit termasuk riwayat penyakit keluarga serta riwayat reproduksi untuk responden wanita, dan keanggotaan organisasi vegetarian. Kemudian responden dibagi menjadi kelompok yang terpisah antara kelompok vegan, vegetarian, fish eater, dan meat eater sesuai jawaban kuesioner yang diisi. Kelompok vegan terdiri dari responden yang tidak mengkonsumsi diet hewani atau hanya mengkonsumsi sayuran, kelompok vegetarian terdiri dari responden yang tidak makan daging atau ikan tetapi mengkonsumsi susu, telur serta produk hasil olahannya, kelompok fish-eater terdiri dari responden yang makan ikan tetapi tidak makan daging, sedangkan kelompok meat eater terdiri dari responden yang makan daging juga makan ikan, susu, telur, juga sayuran. 2. Studi tentang cardiovascular risk factor pada orang Afro-amerika antara kelompok vegan dan lactoovovegetarian. Suatu studi cross-sectional yang dilakukan oleh M.Lynn Toohey dan kawan-kawan pada tahun 1998 dengan memakai 188 responden orang Afroamerika yang terdiri dari 45 orang vegan dan 143 orang lacto-ovovegetarian. Responden diambil dari 3 tempat yaitu: Washington,DC; Philadelphia, PA; and Baltimore, MD, dengan mengambil orang kulit hitam yang menjadi anggota Seventh-day Adventist Church. Responden disuruh mengisi kuesioner tentang kebiasaan hidup sehat dan riwayat sakit, serta kuesioner tentang kebiasaan makan. Kuesioner kebiasaan hidup sehat dan riwayat sakit berisikan informasi tentang karakteristik demografi, riwayat kesehatan pribadi dan keluarga, kebiasaan hidup sehat individual. Sedangkan kuesioner tentang kebiasaan makan mencatat jumlah dan frekuensi makanan yang dikonsumsi dari 141 jenis makanan dalam daftar dan makanan lainnya 3 bulan sebelumnya. Untuk analisa darah dilakukan pengukuran kadar trigliserida, total kolesterol, HDL dan LDL-kolesterol. Disebabkan karena adanya variasi penyulit, maka analisa darah ini yang memenuhi syarat adalah 40 orang dari 45 orang vegan, serta 135 orang dari 143 orang lacto-ovovegetarian. 3. Studi tentang kadar lipid pada anakanak usia pre-pubertal. Studi yang dilakukan oleh Ambroszkiewicz J, dan kawan-kawan dari Department of Biochemistry, Institute of Mother and Child, Warsawa, Polandia. Pada studi ini dilakukan dengan menilai 35 orang anak sebagai responden yang berada di klinik pediatri Institute of Mother and Child. Responden tersebut dibagi dalam 2 kelompok, kelompok pertama terdiri dari 22 orang anak yang 42 bervegetarian (11 anak wanita, 11 anak laki-laki, dengan rata-rata usia 5.7 ± 2.9 tahun). Kelompok vegetarian ini terdiri dari 13 anak lacto-ovovegetarian, 2 anak lacto-vegetarian, dan 7 anak vegan. Sedangkan untuk kelompok kontrol (kelompok kedua) terdiri dari 13 anak omnivora dengan profil lipid normal. 4. Studi tentang pengaruh diet vegetarian terhadap kadar kolesterol dan trigliserida darah. Suatu studi cross sectional yang dilakukan oleh Simone Grigoletto De Biase,dan kawan-kawan (2005),dari Universitas Katolik Sao Paulo, Brazil, dengan menggunakan 67 orang responden, yang terdiri dari 22 orang omnivora dan 54 orang vegetarian. Untuk kelompok vegetarian ini terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu: 19 orang lactoovovegetarian, 17 orang lactovegetarian, dan 18 orang vegan. Responden disuruh mengisi kuesioner yang berisi keterangan tentang: nama, jenis kelamin, umur, jenis diet, kebiasaan olahraga, kebiasaan konsumsi alkohol, kebiasaan merokok, berat dan tinggi badan, pemakaian obat golongan statin. Pengambilan sampel darah dilakukan setelah responden puasa selama 12 jam. Kemudian terhadap sampel darah tersebut dilakukan pengukuran Total Kolesterol, LDLkolesterol, HDL-kolesterol, dan Triasilgliserol. Metoda yang kami lakukan untuk studi masalah ini adalah dengan melakukan suatu analisa deskriptif, dimana kami akan melakukan suatu analisa deskriptif terhadap hasil percobaan dari keempat studi tersebut diatas. Dari analisa deskriptif tersebut kita akan menarik kesimpulan apakah ada pengaruh diet vegan terhadap kadar LDL-kolesterol. III. HASIL 1. The Oxford Vegetarian Study Dari The Oxford Vegetarian Study didapatkan hasil sebagai berikut: Dietary group Total Kolesterol LDL Kolesterol (mmol/L) (mmol/L) 4.29 ± 0.140 2.28 ± 0.126 Vegan (n=114) 4.88 ± 0.100 2.74 ± 0.090 Vegetarians (n=1550) 5.01 ± 0.109 2.88 ± 0.098 Fish eaters (n=415) 5.31 ± 0.101 3.17 ± 0.091 Meat eaters (n=1198) P < 0.001 P < 0.001 Heterogenecity Dari tabel tersebut terlihat bahwa pada kelompok vegan mempunyai kadar LDLkolesterol yang paling rendah secara signifikan dibandingkan dengan kelompok vegetarian, fish-eaters, maupun meat-eaters. Sedangkan untuk kadar HDL-kolesterol paling tinggi pada kelompok fish-eaters, sedangkan pada kelompok vegan, vegetarian maupun HDL Kolesterol (mmol/L) 1.49 ± 0.048 1.50 ± 0.035 1.56 ± 0.038 1.49 ± 0.035 P < 0.01 meat-eaters mempunyai nilai yang hampir sama. Dari hasil studi tersebut juga dibuat suatu prediksi tentang insiden ischaemic heart disease pada kelompok vegetarian 24 % lebih rendah daripada kelompok meat-eaters, sedangkan pada kelompok vegan 57 % lebih rendah daripada kelompok meat-eaters. 2. Studi tentang cardiovascular risk factor pada orang Afro-amerika antara kelompok vegan dan lacto-ovovegetarian. Dari percobaan ini didapatkan hasil sebagai berikut: Variable VEGAN LACTOp-Values OVOVEGETARIAN Male Female Male Female 3.52 ± 0.23 3.85 ± 0.03 4.23 ± 0.14 4.68 ± 0.12 0.0002 Serum Total Cholesterol (mmol/l) 2.04 ± 0.23 2.07 ± 0.14 2.43 ± 0.13 2.79 ± 0.11 0.009 LDL CHOLESTEROL 43 (mmol/l) HDLCHOLESTEROL (mmol/l) TRIGLYCERIDE S (mmol/l) 1.12 ± 0.05 1.39 ± 0.06 1.20 ± 0.04 1.37 ± 0.04 0.003 0.94 ± 0.12 0.94 ± 0.15 1.25 ± 0.07 1.14 ± 0.04 0.002 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kadar LDL-kolesterol pada kelompok vegan, baik pria maupun wanita secara signifikan lebih rendah daripada kelompok lacto-ovovegetarian, baik pria maupun wanita. Hal yang sama juga dapat dijumpai pada kadar trigliserida, dimana pada kelompok vegan, baik pria maupun wanita, secara signifikan lebih rendah daripada kelompok lacto-ovovegetarian, baik pria maupun wanita. Bila kita hitung rasio LDL-kolesterol/ HDL-kolesterol serta rasio Total kolesterol/ HDLkolesterol maka pada kelompok vegan, baik pria maupun wanita, secara signifikan lebih rendah daripada kelompok lacto-ovovegetarian, baik pria maupun wanita. 3. Studi tentang kadar lipid pada anak-anak usia pre-pubertal. Dari percobaan ini didapatkan hasil sebagai berikut: ANAK VEGETARIAN ANAK OMNIVORA Total Kolesterol (mg/dl) 146.6 ± 23.3 172.4 ± 22.9 HDL-kolesterol (mg/dl) 49.3 ± 13.1 60.4 ± 13.9 LDL-kolesterol (mg/dl) 80.0 ± 18.5 94.8 ± 15.0 Trigliserida (mg/dl) 66.4 ± 22.9 63.6 ± 22.3 Apo-A1 (mg/dl) Apo-B (mg/dl) Rata-rata serum leptin (ng/ml) 167.3 ± 23.9 69.4 ± 14.1 3.0 ± 1.1 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada kelompok anak vegetarian mempunyai kadar total kolesterol, HDL-kolesterol, dan LDL-kolesterol yang secara signifikan lebih rendah dari kelompok anak yang makan daging (omnivora). Sedangkan untuk kadar trigliserida tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok anak vegetarian dan kelompok 180.2 ± 16.8 81.4 ± 18.4 5.1 ± 2.0 p-VALUES 0.003 0.027 0.012 Not Signifikan 0.048 0.024 < 0.01 anak omnivora. Kadar apoprotein pada kelompok anak vegetarian secara signifikan lebih rendah daripada kelompok anak omnivora, baik untuk apoA1 maupun apo-B. Untuk kadar serum leptin pada kelompok anak vegetarian juga secara signifikan lebih rendah daripada kelompok anak omnivora. 4. Studi tentang pengaruh diet vegetarian terhadap kadar kolesterol dan trigliserida darah. Dari percobaan ini didapatkan hasil sebagai berikut: Lipid Omnivora LactoLactoVegan P-values ovovegetarian vegetarian 208.09 ± 49.09 175.32 ± 28.47 164.82 ± 51.00 141.06 ± 30.56 < 0.001 Total Kolesterol 56.23 ± 18.29 55.47 ± 14.61 57.71 ± 14.92 55.67 ± 13.93 0.96 HDLkolesterol 0.29 ± 0.12 0.32 ± 0.09 0.37 ± 0.13 0.41± 0.11 0.01 Ratio HDL/ total kolesterol 123.43 ± 42.67 101.47 ± 28.07 87.71 ± 41.67 69.28 ± 29.53 < 0.001 LDLkolesterol 94.71 ± 62.51 81.67 ± 81.90 < 0.01 Trigliserida 155.68 ± 119.84 93.95 ± 33.43 44 Dari tabel diatas terlihat bahwa kadar total kolesterol, LDL-kolesterol, Trigliserida secara signifikan didapatkan lebih rendah pada kelompok vegan dibandingkan dengan kelompok lakto-ovovegetarian, lakto-vegetarian, maupun kelompok omnivora. Rasio HDL/ total kolesterol juga secara signifikan lebih tinggi pada kelompok vegan dibandingkan dengan kelompok lakto-ovovegetarian, laktovegetarian, maupun kelompok omnivora. Sedangkan kadar HDL-kolesterol untuk semua kelompok tidak ada perbedaan yang mencolok. IV. DISKUSI: Pada The Oxford Vegetarian study selain didapatkan kadar LDL-kolesterol yang lebih rendah pada kelompok vegan, juga didapatkan bahwa kadar HDL-kolesterol pada kelompok vegan maupun meat-eaters adalah sama. Begitu pula dengan kadar HDL-kolesterol pada kelompok vegetarian dan kelompok fish-eaters tidak berbeda jauh. Kita ketahui bahwa HDLkolesterol merupakan faktor anti-aterogenik, sedangkan LDL-kolesterol merupakan faktor aterogenik. Dari studi ini kita juga bisa melihat bahwa rasio HDL-kolesterol / Total kolesterol maupun rasio HDL-kolesterol / LDL-kolesterol pada kelompok vegan lebih besar daripada kelompok meat-eaters. Jadi meskipun HDLkolesterol pada kelompok vegan maupun meateaters sama nilainya, tetapi pada kelompok vegan dapat diprediksikan terjadinya insiden aterosklerosis lebih rendah daripada kelompok meat-eaters. Studi pada kelompok Afro-Amerika juga didapatkan bahwa kadar LDL-kolesterol pada kelompok vegan lebih rendah daripada kelompok lakto-ovovegetarian.Selain itu kadar trigliserida pada kelompok vegan juga lebih rendah daripada kelompok lakto-ovovegetarian. Hal ini juga menunjukkan faktor-faktor aterogenik pada kelompok vegan lebih rendah daripada kelompok lakto-ovovegetarian sehingga dapat diprediksikan bahwa insiden terjadinya aterosklerosis pada kelompok vegan lebih rendah daripada kelompok lakto-ovovegetarian. Hal yang sama juga kita jumpai pada studi di Sao Paolo, Brazil yang menunjukkan faktor aterogenik lebih rendah pada kelompok vegan daripada kelompok laktovegetarian, laktoovovegetarian, maupun kelompok omnivora. Perlu juga dicatat pada studi ini, pada kelompok laktovegetarian maupun kelompok lakoovovegetarian, meskipun kedua kelompok ini mengkonsumsi sayuran tetapi masih terdapat konsumsi lemak hewani yang berasal dari telur, susu, maupun produk olahannya. Studi di Warsawa, Polandia melakukan penelitian pada anak-anak vegetarian dan anakanak yang omnivora. Ternyata hasil yang didapat juga menunjukkan kadar LDL-kolesterol lebih rendah pada kelompok anak vegetarian daripada kelompok anak omnivora. Tetapi pada studi ini tidak dipisahkan antara anak yang vegan, laktoovovegetarian, dan laktovegetarian. Hal menarik lainnya pada studi ini adalah pengukuran kadar apo-A1 dan apo-B. Apo-A1 merupakan faktor anti-aterogenik, sedangkan apo-B merupakan faktor aterogenik. Selain itu apo-B yang melebihi nilai normal akan meningkatkan insiden aterosklerosis meskipun kadar LDL-kolesterolnya normal. Keadaan dimana kadar apo-B yang tidak normal disertai kadar LDL-kolesterol yang normal menimbulkan Small Dense LDL, LDL-kolesterol yang ukurannya jauh lebih kecil, yang menimbulkan insiden aterosklerosis lebih besar daripada LDL-kolesterol. Jadi pada anak-anak bila kita berikan diet vegetarian maka kita dapat menurunkan insiden terjadinya aterosklerosis pada saat dewasa. Hal menarik lainnya pada studi ini adalah pemberian diet vegetarian menyebabkan kadar serum leptin lebih rendah daripada diet omnivora. Kadar leptin yang rendah dapat menurunkan insiden terjadinya obesitas, sebab apabila kadar leptin tinggi maka pusat lapar akan meningkat kepekaannya terhadap rangsangan sehingga anak akan terus menerus makan sehingga timbul obesitas. V. KESIMPULAN Dari hasil diskusi diatas maka kita dapat menarik beberapa kesimpulan dari analisa deskriptif terhadap keempat studi diatas, yaitu: 1. Pemberian diet vegan dapat menurunkan kadar LDL-kolesterol. 2. Pemberian diet vegan lebih baik daripada diet laktovegetarian dan diet laktoovovegetarian, karena pada diet vegan tidak ada asupan lemak hewani maupun kolesterol. 3. Pemberian diet vegan juga menurunkan faktor-faktor aterogenik lainnya seperti apo-B, trigliserida, maupun adanya small dense LDL, serta dapat meningkatkan faktor-faktor anti-aterogenik seperti apoA1 dan HDL-kolesterol. 4. Pemberian diet vegan dapat menurunkan insiden terjadinya obesitas terutama pada anak-anak. 5. Pemberian diet vegan dapat menurunkan insiden aterosklerosis sehingga juga dapat menurunkan morbidity maupun mortality 45 pada penyakit kardiovaskuler maupun penyakit serebrovaskuler. VI. DAFTAR PUSTAKA Appleby, Paul N., et al.1999. The Oxford Vegetarian Study: an overview.The American Journal of Clinical Nutrition.70 (suppl): 525s31s. Ambroszkiewicz, J.,et. al.2004. Low serum leptin concentration in vegetarian prepubertal children. Annales Academiae Medicae Bialostocensis. 49 : 103-05. Dewell A., et.al. 2008. A very-low fat vegan diet increases intake of protective dietary factors and decreases intake of pathogenic dietary factors. American Dietetic Association;108:347–56. Position of the American Dietetic Association:Vegetarian Diets.2009. The AMERICAN DIETETIC ASSOCIATION. 109:126682. Grigoletto De Biase, Simone., et.al.2007. Vegetarian Diet and Cholesterol and Triglycerides Levels. Brazillian Cardiology. 88(1) : 32-36 Toohey, M.Lynn., et.al.1998. Cardiovascular Disease Risk Factors are Lower in AfricanAmerican Vegans Compared to LactoOvo-vegetarians. The American College of Nutrition. 17(5): 425-34, 46 STUDI KOMPARASI MEDIA NUTRIN AGAR DENGAN SUPLEMEN FILTRAT IKAN GABUS UNTUK DETEKSI Mycobacterium tuberculosis DIBANDING MEDIA LOWENSTEIN – JENSEN Indah Widyaningsih Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRAK Ini adalah studi laboratorium diagnostik untuk menentukan tingkat deteksi positif dari Mycobacterium tuberculosis dari pemeriksaan kultur dahak di media nutrien agar filtrat dari ikan snakehead (ikan Gabus), dan gliserol suplemen tambah dan penisilin juga, dengan membandingkan dengan Lowenstein-Jensen media. Sampel sputum diperoleh dari Laboratorium Klinik, Rumah Sakit BP4, Surabaya, sebanyak 31 sampel dari 1 positif kepada pasien 3 TB positif. Pengambilan sampel dilakukan pada Juni hingga Agustus, 2008. Prosedur laboratorium: pada sampel dahak yang telah decontamined dan terkonsentrasi di duplo diinokulasi pada ikan kepala ular filtrat media nutrien agar dan media Lowesntein-Jensen. Ikan kepala ular filtrat media dalam dua yaitu komposisi ikan kepala ular ditambahkan filtrat suplemen dari SNA 50 ml dan 100 ml sebagai SNB. Mycobacterium tuberculosis ini identifikasi menggunakan pewarnaan Ziehl - Neelsen dan uji akumulasi niasin. Hasil studi dari 31 observasi sampel terungkap bahwa tingkat deteksi Mycobacterium tuberculosis positif dalam SNA adalah 20% (2 / 10) dari BTA (BTA) 1 sampel sputum; dinyatakan 100% BTA antara 2 dan 3 (12 / 12, 9 / 9). Dalam SNB adalah sebagai berikut: tingkat deteksi positif adalah 40% (4 / 10) dari sampel 1 dahak BTA dan 100% dari BTA 2 dan 3 (12/12, 9 / 9). Lowenstein - Jensen media lebih sensitif hasil 1 sampel dahak BTA dan 100% dari BTA 2 dan 3 sampel. Mycobacterium tuberculosis laju pertumbuhan di SNA adalah 21-49 hari, SNB 21-56 hari dan di L - J 28-56 hari. Kesimpulannya, tidak ada perbedaan tingkat deteksi posive dan laju pertumbuhan TB Mycobacterum antara ikan kepala ular filtrat media nutrien dan Lowenstein - Jensen media (p> 0,05). Kata kunci: Mycobacterium tuberculosis, filtrat ikan snakehead nutrien, Lowenstein-Jensen Comparative Study NUTRIN MEDIA TO SUPPLEMENT WITH catfish filtrate of Mycobacterium tuberculosis THAN FOR DETECTION MEDIA Lowenstein – JENSEN Indah Widyaningsih Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRACT This was a laboratory diagnostic study to determine the positive detection rate of Mycobacterium tuberculosis from the sputum culture examination in the nutrient agar media the filtrate of the fish snakehead (ikan Gabus), and glycerol supplement added and penicillin also, by comparing with Lowenstein-Jensen media. Sputum sample was obtained from Clinical Laboratory, BP4 Hospital, Surabaya, as many as 31 samples of positive 1 to positive 3 tuberculosis patients. Samples were collected at June to August, 2008. The laboratory procedure : on the sputum samples that had been decontamined and concentrated were inoculated in duplo at the snake head fish filtrate nutrient agar media and Lowesntein-Jensen media. The snake head fish filtrate media in two composition ie added snake head fish filtrate supplement of 50 ml SNA and 100 ml as SNB. The Mycobacterium tuberculosis identification using the Ziehl – Neelsen staining and niacin accumulation test. The Study result of 31 samples observation was revealed that Mycobacterium tuberculosis positive detection rate in SNA was 20% ( 2/10 ) from acid fast bacilli ( AFB ) +1 sputum samples; otherwise 100% among AFB +2 and +3 ( 12/12 , 9/9 ). In SNB were as follow : the positive detection rate was 40% ( 4/10 ) from AFB +1 sputum samples and 100% from AFB +2 and +3 ( 12/12 , 9/9 ). Lowenstein – Jensen media more sensitive results of AFB 1 sputum samples and 100% of AFB +2 and +3 samples. Mycobacterium tuberculosis growth rate in SNA was 21 – 49 days, SNB 21- 56 days and in L – J 28 – 56 days. The conclusion, there is no difference in posive detection rate and growth rate of Mycobacterum tuberculosis between snake head fish filtrate nutrient agar media and Lowenstein – Jensen media (p > 0.05). Keywords: Mycobacterium tuberculosis, snakehead fish filtrate nutrient agar , Lowenstein-Jensen PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH Tuberkulosis merupakan penyebab kematian yang menonjol selama berabad – abad. Saat ini tuberkulosis adalah penyebab kematian karena infeksi nomer satu di dunia yaitu mencapai angka 1,5 juta per tahun ( Flynn,2001 ). Tuberkulosis merupakan penyakit bermasalah diseluruh dunia. Sedikitnya sepertiga penduduk dunia terinfeksi dan beresiko terjadinya penyakit ini. Setiap tahun lebih dari 8 juta orang menderita tuberkulosis aktif dan sekitar 2 juta orang meninggal karenanya. Lebih dari 90% kasus tuberkulosis dan kematiannya terjadi dinegara berkembang, 47 75% nya terjadi pada usia produktif. Kematian akibat tuberkulosis merupakan 25% dari kematian yang dapat dicegah ( ATS,2000; Blanc, 2003 ). Laporan tuberkulosis dunia oleh WHO yang terbaru (2006), masih menempatkan Indonesia sebagai penyumbang tuberkulosis terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar 101.000 pertahun. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, menempatkan tuberkulosis sebagai penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi ( DEPKES, 2006 ). Menurut laporan World Health Organization (WHO) penyakit tuberkulosis paru di Indonesia tercatat 320 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 1991, 300 per 100.000 pada tahun 1992 dan 247 kasus pada tahun 1993. Perkiraan angka kejadian untuk semua golongan umur pada tahun 2000 dan 2005 adalah 243 dan 247 per 100.000 penduduk. Hasil survei kesehatan rumah tangga yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1992, menunjukkan bahwa tuberkulosis paru sebagai salah satu penyebab kematian terbesar nomor dua di Indonesia, dengan angka kematian sebesar 9,5%. Kasus tuberkulosis paru positif adalah kasus dengan Basil Tahan Asam (BTA) positif. Laporan Departemen Kesehatan dalam profil kesehatan Indonesia (1994), tercatat kematian karena tuberkulosis paru di rumah sakit pada penderita rawat inap sebesar 3,6% pada 1991, 4% pada tahun 1992 dan 4,9% pada tahun 1993. Di dalam buku Sistem Kesehatan Nasional (SKN) disebutkan bahwa angka kesakitan tuberkulosis paru adalah sebesar 3 per mil dan ditargetkan untuk turun menjadi 2 per mil pada tahun 2000, namun perkiraan ini masih belum ada laporan sampai dengan akhir tahun 2000. Infeksi HIV memperbesar masalah tuberkulosis, koinfeksi HIV meningkatkan risiko menjadi tuberkulosis aktif sebesar 5 – 10%. Tahun 2000 prevalensi HIV dan tuberkulosis meningkat tajam. WHO mengestimasi prevalensi HIV pada orang dewasa dan anak seluruh dunia sebanyak 36,1 juta dan 11,8 juta orang dengan koinfeksi HIV. Saat Ini 12% penderita tuberkulosis menderita HIV positif dan 22,5% kematian penderita tuberkulosis disebabkan HIV. (Soewondo 2002; Lulu, 2005; DEPKES 2006) Permasalahan tuberkulosis selain peningkatan prevalensi atau insiden, diperberat dengan masalah peningkatan prevalensi infeksi HIV atau AIDS. Adanya peningkatan insiden tuberkulosis koinfeksi HIV ini dapat meningkatkan kesulitan pengobatan. Demikian pula dengan masalah dalam peningkatan resistensi obat anti tuberlulosis ( OAT ) . Peningkatan prevalensi tuberkulosis koinfeksi HIV maupun tuberkulosis resisten OAT berakibat peningkatan risiko penularan demikian juga menjadi kendala pengendalian tuberculosis ( Kim SJ, 1998 ). Diagnosis tuberkulosis dimulai sejak penemuan bakteri tuberkulosis oleh Robert Koch tahun 1882. Setelah penemuan itu, dikembangkan berbagai teknik pemeriksaan kuman tuberkulosis. Sampai saat ini prinsip penemuan dari kuman tuberkulosis tetap merupakan salah satu pilihan utama terutama untuk pelayanan pada masyarakat walaupun dengan banyak keterbatasan. Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Bahan pemeriksaan tuberkulosis paru dapat diperoleh dari sputum, bilasan bronkus, bilasan lambung, jaringan paru serta cairan pleura ( Aditama TY, 2005; Crofton, 1984; Frotingham, 1996 ). Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada program Penanggulangan tuberkulosis dengan strategi Directly Observed Treatment Shortcourse Chemoterapy ( DOTS ), pemeriksaan hapusan sputum mikroskopis langsung dan radiologis toraks merupakan metode standar. Saat ini perkembangan teknik diagnosis yang baru dalam mendeteksi penyakit tuberkulosis telah cukup dikenal, misalnya Polymerase Chain Reaction ( PCR ), bact-alert, Ligase Chain Reaction, Gen Probe, Nucleic Acid Amplification dan deteksi interferon gama ( Aditama TY, 2005; Retno B, 2004 ; Parnaik, 2001 ) Diagnosis tuberkulosis terutama ditegakkan berdasarkan pemeriksaan sputum secara mikroskopis langsung dengan pengambilan sewaktu – pagi – sewaktu ( SPS ). Pada kasus kronik atau gagal pengobatan maka dilakukan pemeriksaan kultur atau biakkan yang merupakan pemeriksaan baku emas yang juga berperan pada pemeriksaan uji kepekaan Mycobacterium tuberculosis terhadap Obat Anti Tuberkulosis ( OAT ). Pada prinsipnya pemeriksaan kultur untuk memperbanyak atau menumbuhkan bakteri, guna mengatasi kesulitan diagnosis pada kasus tuberkulosis koinfeksi HIV yang sering dilaporkan dengan bakteri tahan asam ( BTA ) negatif. Sampai saat ini masih banyak digunakan pemeriksaan kultur dengan memakai media agar antara lain Lowenstein - Jensen, tetapi membutuhkan waktu yang lama yaitu lebih dari tiga minggu ( Sandjaya, 1995; Jawetz et all, 2001 ) ). 48 Sifat Mycobacterium tuberculosis yang lambat pada waktu pembelahan sekitar 20 jam, sehingga di kultur pertumbuhan baru tampak setelah 4 sampai 8 minggu. Untuk dapat tumbuh di media kultur diperlukan 50 sampai 100 kuman/ml sputum. ( Elisabeth Frida, 2006 ) Media perbenihan bertujuan untuk memperbanyak bakteri Mycobacterium tuberculosis dalam spesimen sputum, sehingga dapat meningkatkan deteksi sensitifitas. Sekarang ini banyak media yang dapat digunakan sebagai kultur dari Mycobacterium tuberculosis, seperti media padat dan cair, seperti Lowenstein-Jensen, Mycobacteria Growth Indicator Tube ( MGIT ) maupun mikrokoloni culture. Tetapi semua pemeriksaan diatas memakan biaya yang tidak murah. Dengan demikian masih berkembang teknik lain dalam penelitian kultur guna mendeteksi Mycobacterium tuberculosis guna mendapatkan metode kultur yang murah dan tingkat sensitifitas dan spesitifitasnya tinggi (Forbes BA,Sahm DF,Werssfeld AS, 2005 ). Media Lowenstein – Jensen memiliki nutrisi dengan komposisi sebagai berikut: larutan garam mineral adalah potasium dyhidrogen phosphate anhydrous, magnesium sulphate, magnesium citrate, asparagin, glycerol dan air suling. Media tersebut ditambahkan telur sebagai suplemennya dimana telur mengandung protein, Calcium, Phosphor, Ferous, Vitamin A dan vitamin B1. Medium nutrient agar yang akan dipakai adalah dari Oxoid yang mengandung Lab lemco powder, yeast ekstrak, peptone, sodium chloride dan agar. Pada nutrien ini akan ditambahkan filtrat ikan gabus yang mengandung protein, calcium, Phosphor, Ferous, Vitamin A dan vitamin B1. Pada penelitian ini kami akan melakukan modifikasi median nutrien agar yang mengandung gliserol ditambah dengan filtrat ikan gabus yang mengandung albumin dan mikronutrien lain . Penelitian ini diharapkan penambahan filtrat ikan gabus / ikan kutuk dapat memberikan hasil kultur yang lebih cepat dan sensitif dibandingkan dengan kultur pada media Lowenstein – Jensen, dan dapat menjadi alternatif metode cepat, murah dan sensitif untuk deteksi Mycobacterium tuberculosis sehingga dapat menegakkan diagnosis dengan cepat dan mempercepat pengobatan dan penyembuhan penderita Tuberkulosis. Rumusan Masalah 1. Apakah pemeriksaan kultur agar dengan penambahan filtrat ikan gabus dapat meningkatkan prosen positif deteksi kuman Mycobacterium tuberculosis “ 2. Apakah pemeriksaan kultur dengan penambahan filtrat ikan gabus memberikan waktu yang lebih cepat dibanding medium Lowenstein Jensen Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum : Teknik kultur agar dengan penambahan filtrat ikan gabus dapat digunakansebagai metode kultur untuk Mycobacterium tuberculosis .2 Tujuan Khusus : 1. Untuk membuktikan pemeriksaan kultur agar dengan penambahan filtrat ikan gabus dapat meningkatkan prosen positif deteksi Mycobacterium tuberculosi dibandingkan dengan medium Lowenstein Jensen 2. Untuk membuktikan pemeriksaan kultur agar dengan penambahan filtrat ikan gabus memberikan hasil yang lebih cepat dibandingkan dengan medium Lowenstein Jensen Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengetahui perkembangan pengetahuan terhadap nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kuman Mycobacterium tuberculosis pada media agar. .2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat bermanfaat menemukan tehnik kultur yang akurat, sederhana dan murah yang berguna dalam menegakkan diagnosis adanya Mycobacterium tuberculosis dalam bahan pemeriksaan. TINJAUAN PUSTAKA Tuberkulosis Definisi tuberkulosis Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Ditemukan pada tahun 1882 oleh Robert Koch, berbentuk batang atau sedikit melengkung tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini ukurannya lebar 0,3 – 0,6 µm dan panjangnya 1 – 4 µm ( MD Iseman, 2002 ). Tuberkulosis adalah nama suatu infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, dapat menyebabkan lesi pada berbagai jaringan organ tubuh. Organ utama yang sering terkena adalah paru – paru. Kuman ini dapat juga menyerang organ lain selain paru ( Rai, 49 1990 ; Sidik, 1997 ) Sebagian besar Mycobacterium tuberculosis menyerang paru tetapi dapat juga menyerang organ tubuh yang lain. Sumber penularan dari bakteri ini adalah melalui inhalasi dari manusia ke manusia secara kontak langsung lewat udara ( droplet nuclei ) melalui percikan dahak atau sputum yang mengandung partikel Mycobacterium tuberculosis yang berukuran 1 – 5 µm ) ( Forbes, 2005 ). Diagnosis Diperkirakan terdapat 8 – 10 juta kasus tuberkulosis setiap tahunnya didunia saat ini, dan sekitar 3 juta menyebabkan kematian. Perkembangan gejala yang spesifik tergantung dari organ mana yang terkena infeksi Mycobacterium tuberculosis. Gambaran klinis tuberkulosis paru dibagi menjadi dua golongan yaitu (DEPKES 2006, Soedarsono, 2002 ): 1. Gejala utama, yaitu batuk terus menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih 2. Gejala tambahan, yang sering dijumpai : a. Dahak bercampur darah b. Batuk berdarah c. Sesak nafas dan nyeri dada d. Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan ( malaise ), keringat malam, demam atau meriang lebih dari sebulan Diagnosis tuberkulosis Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman mycobacterium tuberculosis. Pada program tuberkulosis nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Pemeriksaan sputum secara mikroskopis merupakan pemeriksaan yang efisien, mudah dan murah. Pemeriksaan baku mas untuk mendiagnosis tuberkulosis adalah melalui kultur, tetapi membutuhkan waktu yang lama. Sifat Mycobacterium tuberculosis yang lambat pada waktu pembelahan sekitar 20 jam, sehingga pada kultur pertumbuhan baru tampak setelah 4 sampai 8 minggu. Untuk dapat tumbuh di media kultur diperlukan 1 sampai 100 kuman / ml sputum ( Elisabeth Frida, 2006 ) Ikan Gabus Karakteristik ikan gabus Daging ikan merupakan bahan biologis yang secara kimia tersusun protein, karbohidrat, lemak, vitamin, enzim dan sebagainya. Kadar protein ikan 16 – 20 % yang terdiri dari asam amino esensial dan non esensial. Protein dibutuhkan untuk pertumbuhan sel, penyusun sel, penyusun struktur sel . Protein yang banyak berperan adalah albumin ( Hadiwiyoto, 1993 ). Ikan gabus atau ikan kutuk atau Snake Head ( Ophiacephalus striatu) adalah ikan yang hidup di air tawar dimana ikan ini bersifat karnivora. Ciri nya adalah ikan ini berbentuk hampir bulat, panjang dan semakin kebelakang berbentuk pipih. Bagian punggung cembung, perut rata dan kepala pipih seperti ular. Berwarna hijau kehitaman ikan ini dapat mencapai panjang 90 – 110 cm ( Eddy, 2003 ). Tabel Komposisi kimia ikan gabus per 100 gram bahan ( Seminar nasional UNBRAW 2008 ) Komposisi Kimia Ikan Gabus Segar air ( g ) 69 Kalori ( kal ) 74 Protein ( g ) 25,2 Lemak ( g ) 1,7 Karbohidrat ( g ) 0 Ca ( mg ) 62 P ( mg ) 176 Fe ( mg ) 0,9 Vitamin A ( SI ) 150 Vitamin B1 ( mg ) 0,04 Vitamin C ( mg ) 0 Bydd ( mg ) 64 Sumber : Poedjiadi dan Supriyanti ( 2006 ) Ikan Gabus Kering 24 292 58 4 0 15 100 0,7 100 0,1 0 80 50 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS Sputum Mycobacterium tuberculosis Kultur Invitro Pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis Media Nutrien agar + filtrat ikan gabus Nutrisi : Pepton, sodium chloride, yeast ekstrak, karbohidrat Filtrat ikan gabus : Albumin, protein, lemak, karbohidrat, mikronutrien (C, P, Fe), vitamin A, vitamin B1, Vitamin C - Gambar 3.1. Lingkungan : - Suhu - pH - Cahaya Media Lowenstein – Jensen Nutrisi : Tepung kentang, asparagin, gliserol, magnesium sulfat, sodium citrat, mono potasium fosfat, malasite green Telur bebek : Protein, karbohidrat, lemak, thiamin, Riboflavin B12, asam folat, Fe Beda prosen deteksi Mycobacterium tuberculosis Kecepatan pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis Kerangka Konseptual Media Kultur dengan Suplemen Filtrat Ikan Gabus untuk meningkatkan pertumbuhan Mycobacterium tubercolosis. Keterangan Gambar : : yang tidak diteliti : yang diteliti Hipotesis Penelitian 1 Ada perbedaan prosen positif deteksi kuman Mycobacterium tuberculosis antara Lowenstein – Jensen dengan nutrien agar yang ditambah filtrat ikan gabus 2 Ada perbedaan kecepatan pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis antara Lowenstein – Jensen dengan nutrien agar yang ditambah filtrat ikan gabus METODOLOGI PENELITIAN Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah uji diagnostik eksperimental dilaboratorium dengan cara melakukan eksperimen, kemudian diamati dan dibandingkan hasil pertumbuhan bakteri Mycobacterium tuberculosis antara metode Lowensten – Jensen dan media agar dengan penambahan filtrat ikan gabus dalam dua konsentrasi. Komposisi pertama adalah mengandung filtrat 50 ml dan Komposisi kedua adalah mengandung filtrat 100 ml. Tempat Tempat penelitian a. Persiapan filtrat ikan gabus : - Filtrat di dapat dari Rumah Sakit Angkatan Laut Surabaya b. Laboratorium Mikrobiologi FK UNAIR dan BBLK Surabaya c. Rumah Sakit BP4 Surabaya, tempat pengambilan sputum d. Balai Besar Laboratorium Kesehatan Surabaya 51 HASIL Tabel 1. hasil kultur sputum penderita Tuberkulosis Paru dengan BTA + pada media GNA Jenis Sampel Hasil Pemeriksaan Kultur Pada Media GNA Positif Negatif Total BTA +1 2 8 10 BTA +2 12 0 12 BTA +3 9 0 9 Total 23 8 31 BTA : Bakteri Tahan Asam GNA : komposisi filtrat 50 ml Pada sejumlah sampel sputum penderita tuberkulosis paru yang didapat dari Laboratorium Klinik RS BP4 Surabaya sebanyak 31 sampel yang ditanam media Gabus Nutrien Agar dengan komposisi filtrat 50 ml dengan BTA +1 sebanyak 10 sampel , BTA + 2 sebanyak 12 sampel, BTA +3 sebanyak 9 sampel ditemukan deteksi positif Mycobacterium tuberculosis sebagai berikut : BTA +1 sebanyak 2 sampel yang positif ( 20 % ), BTA +2 sebanyak 11 sampel yang positif ( 100% ), BTA +3 sebanyak 10 sampel yang positif ( 100% ) Tabel 2 Hasil kultur sputum penderita Tuberkulosis Paru dengan BTA + pada media GNB Jenis Sampel Hasil Pemeriksaan Kultur Media GNB Positif Negatif Total BTA +1 4 6 10 BTA +2 12 0 12 BTA +3 9 0 9 Total 25 8 31 BTA : Bakteri Tahan Asam GNB : Gabus Nutrien Agar dengan komposisi filtrat 100 ml Pada sejumlah sampel sputum penderita tuberkulosis paru sebanyak 31sampel yang ditanam media Gabus Nutrien Agar dengan komposisi filtrat 100 ml dengan BTA +1 sebanyak 10 sampel, BTA + 2 sebanyak 12 sampel, BTA +3 sebanyak 9 sampel ditemukan deteksi positif Mycobacterium tuberculosis ditemukan BTA +1 sebanyak 4 sampel yang positif ( 40% ), BTA +2 sebanyak 11 sampel yang positif ( 100% ), BTA +3 sebanyak 10 sampel yang positif ( 100%). Tabel hasil kultur sputum pada media L-J JENIS SAMPEL Hasil Kultur Pada media L - J positif negatif TOTAL BTA +1 8 2 10 BTA +2 12 0 12 BTA +3 9 0 9 TOTAL 29 2 31 Pada analisis statistik membandingkan pertumbuhan untuk koloni Mycobacterium tuberculosis pada media Gabus Nutrien Agar dengan komposisi 100 ml filtrat 52 ikan gabus dan media Lowenstein – Jensen didapatkan hasil p > 0.05 yaitu 0.219 berarti tidak terdapat perbedaan pertumbuhan kultur antara kedua media tersebut. PENUTUP Kesimpulan 1. Ada perbedaan Positif deteksi positif Mycobacterium tuberculosis dari kultur sputum sebanayak 31 sampel pada media Gabus nutrient agar dengan media Lowenstein – Jensen. Dimana pada metode Gabus nutrient agar dengan konsentrasi 50 ml didapat pada BTA +1 sebanyak 20.% , BTA +2 sebanyak100%, BTA +3 1sebanyak 100%. Pada konsentrsi 100 ml didapat BTA +1 sebanyak 40%, BTA +2 sebanyak 100%, BTA +3 sebanyak 100% serta pada media Lowenstein – Jensen memberikan hasil pada BTA + 1 sebanyak 80%, BTA+2 sebanyak 100 %, BTA + 3 seanyak 100 %. Saran Perlu dikembangkan penelitian untuk media kultur meliputi preparasi filtrate ikan Gabus menjadi isolate protein murni yang dikandundung dari filtrat ikan Gabus, serta dilakukan kombinasi komponen komposisi nutrisi sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis untuk meningkatkan deteksi Mycobacterium tuberculosis dari spesimen klinik. Daftar Pustaka Hasegaf Hood. 2007. new current in Tuberculosis. Dalam TB update. Surabaya. Jawetz , E. Melnick, JL Adelberg, EA. 2001. Medical Microbiology. 22 th Ed. Appleton & Lange. Mc Graw Hill comp. Ni Made Mertaniasih., Diagnosis Tuberkulosis masa kini dan akan datang, Peran pada klinik dan program pengendalian simposium Tuberkulosis. Tropical Disease Center UNAIR 2005 Suprayitno Eddy, 2008. Tinjauan Aspek Biokimia Albumin Ikan Gabus sebagai sumber Pangan Kesehatan. Dalam Seminar Nasional Pemanfaatan ikan Gabus Dalam Dunia Kesehatan. UNIBRAW 53 LIPOLISIS F. Y. Widodo Department of Biochemistry University of Wijaya Kusuma Surabaya Medical Faculty ABSTRAK Lipolisis adalah rincian lemak yang tersimpan dalam sel-sel lemak. Selama proses ini, asam lemak bebas dilepaskan ke dalam aliran darah dan beredar ke seluruh tubuh. Keton dihasilkan, dan ditemukan dalam jumlah besar di ketosis (keadaan metabolisme adaptif yang terjadi ketika tidak cukup karbohidrat hadir dalam makanan). Hormon-hormon berikut menginduksi lipolisis: epinefrin, norepinefrin, glukagon dan hormon Adrenocorticotropic. Ini memicu 7TM reseptor, yang mengaktifkan adenilat siklase. Hal ini menghasilkan peningkatan produksi cAMP, yang mengaktifkan protein kinase A, yang kemudian mengaktifkan lipase ditemukan dalam jaringan adiposa. Trigliserida mengalami lipolisis (hidrolisis oleh lipase) dan dipecah menjadi gliserol dan asam lemak. Setelah dilepaskan ke darah, mengikat asam lemak bebas relatif hidrofobik untuk serum albumin untuk transport ke jaringan yang membutuhkan energi. gliserol juga memasuki aliran darah dan diserap oleh hati atau ginjal di mana itu dikonversi menjadi gliserol 3-fosfat oleh enzim gliserol kinase. Hepatika gliserol 3-fosfat sebagian besar diubah menjadi dihidroksiaseton (DHAP) dan kemudian glyceraldehyde 3-fosfat (G3P) untuk bergabung kembali dengan glikolisis dan jalur glukoneogenesis. KATA-KATA KUNCI: Asam Lemak Bebas, triasilgliserol, Badan Keton LIPOLYSIS F. Y. Widodo Department of Biochemistry University of Wijaya Kusuma Surabaya Medical Faculty ABSTRACT Lipolysis is the breakdown of fat stored in fat cells. During this process, free fatty acids are released into the bloodstream and circulate throughout the body. Ketones are produced, and are found in large quantities in ketosis (an adaptive metabolic state that occurs when insufficient carbohydrates are present in the diet). The following hormones induce lipolysis: epinephrine, norepinephrine, glucagon and adrenocorticotropic hormone. These trigger 7TM receptors, which activate adenylate cyclase. This results in increased production of cAMP, which activates protein kinase A, which subsequently activate lipases found in adipose tissue. Triglycerides undergo lipolysis (hydrolysis by lipases) and are broken down into glycerol and fatty acids. Once released into the blood, the relatively hydrophobic free fatty acids bind to serum albumin for transport to tissues that require energy. The glycerol also enters the bloodstream and is absorbed by the liver or kidney where it is converted to glycerol 3-phosphate by the enzyme glycerol kinase. Hepatic glycerol 3-phosphate is mostly converted into Dihydroxyacetone (DHAP) and then glyceraldehyde 3-phosphate (G3P) to rejoin the glycolysis and gluconeogenesis pathway. KEY WORDS: Free Fatty Acids, Triacylglycerol, Ketone Bodies Makalah disampaikan pada Seminar “COSMETIC DERMATOLOGIC SURGERY WORKSHOP AND LIVE PATIENT DEMONSTRATION” pada tanggal 25-26 Agustus 2007 di Surabaya 54 Interconversion of chemical compounds in the body The nature of the diet sets the basic pattern of metabolism. There is a need to process the products of digestion of dietary carbohydrate, lipid, and protein. These are mainly glucose, fatty acids and glycerol, and amino acids, respectively. In ruminants (and, to a lesser extent, other herbivores), dietary cellulose is fermented by symbiotic microorganisms to shortchain fatty acids (acetic, propionic, butyric), and metabolism in these animals is adapted to use these fatty acids as major substrates. All the products of digestion are metabolized to a common product, acetyl-CoA, which is then oxidized by the citric acid cycle Figure 1: Overview of metabolism Glucose is the major fuel of most tissues. It is metabolized to pyruvate by the pathway of glycolysis. Aerobic tissues metabolize pyruvate to acetyl-CoA, which can enter the citric acid cycle for complete oxidation to CO2 and H2O, linked to the formation of ATP in the process of oxidative phosphorylation . Glycolysis can also occur anaerobically (in the absence of oxygen), when the end product is lactate. Glucose and its metabolites also take part in other processes, eg, (1) Synthesis of the storage polymer glycogen in skeletal muscle and liver. (2) The pentose phosphate pathway, an alternative to part of the pathway of glycolysis. It is a source of reducing equivalents (NADPH) for fatty acid synthesis and the source of ribose for nucleotide and nucleic acid synthesis. (3) Triose phosphates gives rise to the glycerol moiety of triacylglycerols. (4) Pyruvate and intermediates of the citric acid cycle provide the carbon skeletons for the synthesis of amino acids, and acetyl-CoA is the precursor of fatty acids and cholesterol (and hence of all steroids synthesized in the body). Gluconeogenesis is the process of forming glucose from non- carbohydrate precursors, eg, lactate, amino acids, and glycerol Figure 2: Overview of metabolism 55 The source of long-chain fatty acids is either dietary lipid or de novo synthesis from acetyl-CoA derived from carbohydrate or amino acids . Fatty acids may be oxidized to acetyl-CoA ( -oxidation) or esterified with glycerol, forming triacylglycerol (fat) as the body's main fuel reserve. Acetyl-CoA formed by -oxidation may undergo several fates. (1) As with acetyl-CoA arising from Figure 3: Overview of fatty acid metabolism Lipids in the diet are mainly triacylglycerol, and are hydrolyzed to monoacylglycerols and fatty acids in the gut, then re-esterified in the intestinal mucosa. Here they are packaged with protein and secreted into the lymphatic system and thence into the bloodstream as chylomicrons, the largest of the plasma lipoproteins. Chylomicrons also contain other lipid-soluble nutrients. Unlike glucose and amino acids, chylomicron triacylglycerol is not taken up directly by the liver. It is first metabolized by tissues that have lipoprotein lipase, which hydrolyzes the triacylglycerol, releasing fatty acids that are incorporated into tissue lipids or oxidized as fuel. The chylomicron remnants are cleared by the liver. The other major source of long-chain fatty glycolysis, it is oxidized to CO2 + H2O via the citric acid cycle. (2) It is the precursor for synthesis of cholesterol and other steroids. (3) In the liver, it is used to form ketone bodies (acetoacetate and 3-hydroxybutyrate) that are important fuels in prolonged fasting. acids is synthesis (lipogenesis) from carbohydrate, in adipose tissue and the liver. Adipose tissue triacylglycerol is the main fuel reserve of the body. It is hydrolyzed (lipolysis) and glycerol and free fatty acids are released into the circulation. Glycerol is a substrate for gluconeogenesis. The fatty acids are transported bound to serum albumin; they are taken up by most tissues (but not brain or erythrocytes) and either esterified to acylglycerols or oxidized as a fuel. In the liver, triacylglycerol arising from lipogenesis, free fatty acids, and chylomicron remnants is secreted into the circulation in very low density lipoprotein (VLDL). This triacylglycerol undergoes a fate similar to that of chylomicrons. Partial oxidation of fatty acids in the liver leads to ketone body production (ketogenesis). Ketone bodies are transported to extrahepatic tissues, where they act as a fuel in prolonged fasting and starvation. The central role of the mitochondrion is immediately apparent, since it acts as the focus of carbohydrate, lipid, and amino acid metabolism. It contains the enzymes of the citric acid cycle, -oxidation of fatty acids and ketogenesis, as well as the respiratory chain and ATP synthase. The products of lipid digestion enter the circulation as chylomicrons, the largest of the plasma lipoproteins, especially rich in triacylglycerol. In adipose tissue and skeletal muscle, extracellular lipoprotein lipase is synthesized and activated in response to insulin; the resultant nonesterified fatty acids are largely taken up by the tissue and used for synthesis of triacylglycerol, while the glycerol remains in the bloodstream and is taken up by the liver and used for either gluconeogenesis and glycogen synthesis or lipogenesis. 56 Fatty acids remaining in the bloodstream are taken up by the liver and reesterified. The lipid-depleted chylomicron remnants are cleared by the liver, and the remaining triacylglycerol is exported, together with that synthesized in the liver, in very low density lipoprotein. In adipose tissue the decrease in insulin and increase in glucagon results in inhibition of lipogenesis, inactivation of lipoprotein lipase, and activation of intracellular hormone-sensitive lipase. This leads to release from adipose tissue of increased amounts of glycerol (which is a substrate for gluconeogenesis in the liver) and free fatty acids, which are used by liver, heart, and skeletal muscle as their preferred metabolic fuel, therefore sparing glucose. Although muscle preferentially takes up and metabolizes free fatty acids in the fasting state, it cannot meet all of its energy requirements by –oxidation. By contrast, the liver has a greater capacity for –oxidation than it requires to meet its own energy needs, and as fasting becomes more prolonged, it forms more acetyl-CoA than can be oxidized. This acetyl-CoA is used to synthesize the ketone bodies, which are major metabolic fuels for skeletal and heart muscle and can meet some of the brain’s energy needs. In prolonged starvation, glucose may represent less than 10% of whole body energy-yielding metabolism. Transport of Fat Triacylglycerols come from diet, de novo biosynthesis (primarily liver), and adipocyte storage. Dietary fat is hydrolyzed in the lumen of the small intestine (mostly by pancreatic lipase) to yield glycerol, free fatty acids, monoacylglycerols, and diacylglycerols. The hydrolysis products of this digestion are combined back into triacylglycerols (fats) in the endoplasmic reticula and Golgi complexes of the intestinal mucosa cells. Fats are combined with apoproteins to form chylomicrons, which transport the fats through blood and lymph. Chylomicrons are thus the transport vehicle for dietary cholesterol. Note that fats in chylomicrons are digested in capillaries (to produce chylomicron remnants), like the VLDLs described below. Free fatty acids are rarely found in the bloodstream. Rather, they are complexed to serum albumin. The liver also plays an important role in fat metabolism. Fats synthesized in the liver are combined with another set of apoproteins to form very low density lipoproteins (VLDLs), which are hydrolyzed en route to peripheral tissues at the inner surface of capillaries. Hydrolysis of fats in capillaries by lipoprotein lipase yields intermediatedensity lipoproteins (IDLs) from VLDLs and chylomicron remnants from chylomicrons. IDLs are taken up by the liver and further processed to low-density lipoproteins (LDLs). LDLs are the primary form by which cholesterol is transported to tissues and high-density lipoproteins (HDLs) serve to transport cholesterol from tissues back to the liver. Four major groups of lipoproteins have been identified that are important physiologically and in clinical diagnosis. These are (1) chylomicrons, derived from intestinal absorption of triacylglycerol and other lipids; (2) very low density lipoproteins (VLDL, or pre- lipoproteins), derived from the liver for the export of triacylglycerol; (3) lowdensity lipoproteins (LDL, or lipoproteins), representing a final stage in the catabolism of VLDL; and (4) highdensity lipoproteins (HDL, or lipoproteins), involved in cholesterol transport and also in VLDL and chylomicron metabolism. Triacylglycerol is the predominant lipid in chylomicrons and VLDL, whereas cholesterol and phospholipid are the predominant lipids in LDL and HDL, respectively. Lipoproteins may be separated according to their electrophoretic properties into -, -, and pre- -lipoproteins. The free fatty acids (FFA) arise in the plasma from lipolysis of triacylglycerol in adipose tissue or as a result of the action of lipoprotein lipase during uptake of plasma triacylglycerols into tissues. They are found in combination with albumin, 57 a very effective solubilizer, in concentrations varying between 0.1 and 2.0 eq/mL of plasma.The free fatty acid uptake by tissues is related directly to the plasma free fatty acid concentration, which in turn is determined by the rate of lipolysis in adipose tissue. Triaculglycerol is transported from the intestines in chylomicrons and from the liver in very low density lipoprteins (VLDL). By definition, chylomicrons are found in chyle formed only by the Figure 4: Metabolic fate of chylomicrons. Triacylglycerols of Chylomicrons & VLDL Are Hydrolyzed by Lipoprotein Lipase, there is located on the walls of blood capillaries. Reaction with lipoprotein lipase results in the loss of approximately 90% of the triacylglycerol of chylomicrons and in the loss of apo C (which returns to HDL) but not apo E, which is retained. The resulting chylomicron remnant is about half the diameter of the parent chylomicron and is relatively enriched in cholesterol and cholesteryl esters because of the loss of triacylglycerol. Similar changes occur to VLDL, with the formation of VLDL remnants or IDL (intermediate-density lipoprotein). After metabolism to IDL, VLDL may be taken up by the liver directly via the LDL (apo B-100, E) receptor, or it may be lymphatic system draining the intestine. They are responsible for the transport of all dietary lipids into the circulation. Small quantities of VLDL are also to be found in chyle; however, most of the plasma VLDL are of hepatic origin. They are the vehicles of transport of triacylglycerol from the liver to the extrahepatic tissues. There are striking similarities in the mechanisms of formation of chylomicrons by intestinal cells and of VLDL by hepatic parenchymal cells Figure 5: Metabolic fate of very low density lipoproteins (VLDL) and production of low-density lipoproteins (LDL). converted to LDL. Only one molecule of apo B-100 is present in each of these lipoprotein particles, and this is conserved during the transformations. Thus, each LDL particle is derived from a single precursor VLDL particle. HDL Takes Part in Both Lipoprotein Triacylglycerol & Cholesterol Metabolism. HDL is synthesized and secreted from both liver and intestine . However, apo C and apo E are synthesized in the liver and transferred from liver HDL to intestinal HDL when the latter enters the plasma. A major function of HDL is to act as a repository for the apo C and apo E required in the metabolism of chylomicrons and VLDL. Nascent HDL consists of discoid phospholipid bilayers containing apo A and free cholesterol. LCAT (lecithin:cholesterol 58 acyltransferase)—and the LCAT activator apo A-I—bind to the discoidal particles, and the surface phospholipid and free cholesterol are converted into cholesteryl esters and lysolecithin. HDLs are lipoprotein complexes often referred to as the "good cholesterol" because they function to take cholesterol from peripheral tissues back to the liver and help lower total serum cholesterol . At the liver, HDLs are not taken up by endocytosis. Rather, HDLs appear to "dock" at a cell surface receptor, deposit cholesterol, and then depart as remnants without being incorporated to the cell's interior. Figure 6: Metabolism of high-density lipoprotein (HDL) in reverse cholesterol transport The Liver Plays a Central Role in Lipid Transport & Metabolism. The liver carries out the following major functions in lipid metabolism: (1) It facilitates the digestion and absorption of lipids by the production of bile, which contains cholesterol and bile salts synthesized within the liver de novo or from uptake of lipoprotein cholesterol . Adipose Tissue Is the Main Store of Triacylglycerol in the Body. The triacylglycerol stores in adipose tissue are continually undergoing lipolysis (hydrolysis) and reesterification These two processes are entirely different pathways involving different reactants and enzymes. This allows the processes of esterification or lipolysis to be regulated separately by many nutritional, metabolic, and hormonal of free fatty acids exert an influence far beyond the tissue itself. Triacylglycerol is synthesized from acylCoA and glycerol 3-phosphate. Because the enzyme glycerol kinase is not expressed in adipose tissue, glycerol by ACTH, TSH, glucagon, epinephrine, norepinephrine, and vasopressin and inhibited by insulin, prostaglandin E1, and (2) It actively synthesizes and oxidizes fatty acids and also synthesizes triacylglycerols and phospholipids (3) It converts fatty acids to ketone bodies (ketogenesis). (4) It plays an integral part in the synthesis and metabolism of plasma lipoprotein. factors. The resultant of these two processes determines the magnitude of the free fatty acid pool in adipose tissue, which in turn determines the level of free fatty acids circulating in the plasma. Since the latter has most profound effects upon the metabolism of other tissues, particularly liver and muscle, the factors operating in adipose tissue that regulate the outflow cannot be utilized for the provision of glycerol 3-phosphate, which must be supplied by glucose via glycolysis. Triacylglycerol undergoes hydrolysis by a hormone-sensitive lipase (activated nicotinic acid) to form free fatty acids and glycerol. This lipase is distinct from lipoprotein lipase, which catalyzes 59 lipoprotein triacylglycerol hydrolysis before its uptake into extrahepatic tissues (see above). Since the glycerol cannot be utilized, it enters the blood and is taken up and utilized by tissues such as the liver and kidney, which possess an active glycerol kinase. Figure 7: Metabolism in adipose tissue The free fatty acids formed by lipolysis can be reconverted in adipose tissue to acyl-CoA by acyl-CoA synthetase and reesterified with glycerol 3-phosphate to form triacylglycerol. Thus, there is a continuous cycle of lipolysis and reesterification within the tissue. However, when the rate of reesterification is not sufficient to match the rate of lipolysis, free fatty acids accumulate and diffuse into the plasma, where they bind to albumin and raise the concentration of plasma free fatty acids. When the utilization of glucose by adipose tissue is increased, the free fatty acid outflow decreases. However, the release of glycerol continues, demonstrating that the effect of glucose is not mediated by reducing the rate of lipolysis. The effect is due to the provision of glycerol 3phosphate, which enhances esterification of free fatty acids. Glucose can take several pathways in adipose tissue, including oxidation to CO2 via the citric acid cycle, oxidation in the pentose phosphate pathway, conversion to longchain fatty acids, and formation of acylglycerol via glycerol 3-phosphate. When glucose utilization is high, a larger proportion of the uptake is oxidized to CO2 and converted to fatty acids. However, as total glucose utilization decreases, the greater proportion of the glucose is directed to the formation of glycerol 3-phosphate for the esterification of acyl-CoA, which helps to minimize the efflux of free fatty acids. The rate of release of free fatty acids from adipose tissue is affected by many hormones that influence either the rate of esterification or the rate of lipolysis. Insulin inhibits the release of free fatty acids from adipose tissue, which is followed by a fall in circulating plasma free fatty acids. It enhances lipogenesis and the synthesis of acylglycerol and increases the oxidation of glucose to CO2 via the pentose phosphate pathway. All of these effects are dependent on the presence of glucose and can be explained, to a large extent, on the basis of the ability of insulin to enhance the uptake of glucose into adipose cells via the GLUT 4 transporter. Insulin also increases the activity of pyruvate dehydrogenase, acetyl-CoA carboxylase, and glycerol phosphate acyltransferase, reinforcing the effects of increased glucose uptake on the enhancement of fatty acid and acylglycerol synthesis. These three enzymes are regulated in a coordinate 60 manner by phosphorylationdephosphorylation mechanisms. A principal action of insulin in adipose tissue is to inhibit the activity of hormonesensitive lipase, reducing the release not only of free fatty acids but of glycerol as well. Adipose tissue is much more sensitive to insulin than are many other tissues, which points to adipose tissue as a major site of insulin action in vivo. Other hormones accelerate the release of free fatty acids from adipose tissue and raise the plasma free fatty acid concentration by increasing the rate of lipolysis of the triacylglycerol stores These include epinephrine, norepinephrine, glucagon, adrenocorticotropic hormone (ACTH), and -melanocyte-stimulating hormones (MSH), thyroid-stimulating hormone (TSH), growth hormone (GH), and vasopressin. Many of these activate hormone-sensitive lipase. For an optimal effect, most of these lipolytic processes require the presence of glucocorticoids and thyroid hormones. These hormones act in a facilitatory or permissive capacity with respect to other lipolytic endocrine factors. Note the cascade sequence of reactions affording amplification at each step. The lipolytic stimulus is "switched off" by removal of the stimulating hormone; the action of lipase phosphatase; the inhibition of the lipase and adenylyl cyclase by high concentrations of FFA; the inhibition of adenylyl cyclase by adenosine; and the removal of cAMP by the action of phosphodiesterase. ACTH, TSH, and glucagon may not activate adenylyl cyclase in vivo, since the concentration of each hormone required in vitro is much higher than is found in the circulation. Positive (+) and negative (-) regulatory effects are represented by broken lines and substrate flow by solid lines. The hormones that act rapidly in promoting lipolysis, ie, catecholamines, do so by stimulating the activity of adenylyl cyclase, the enzyme that converts ATP to cAMP. The mechanism is analogous to that responsible for hormonal stimulation of glycogenolysis. cAMP, by stimulating cAMP-dependent protein kinase, activates hormonesensitive lipase. Thus, processes which destroy or preserve cAMP influence lipolysis. cAMP is degraded to 5'-AMP by the enzyme cyclic 3',5'-nucleotide phosphodiesterase. This enzyme is inhibited by methylxanthines such as caffeine and theophylline. Insulin antagonizes the effect of the lipolytic hormones. Lipolysis appears to be more sensitive to changes in concentration of insulin than are glucose utilization and esterification. The antilipolytic effects of insulin, nicotinic acid, and prostaglandin E1 are accounted for by inhibition of the synthesis of cAMP at the adenylyl cyclase site, acting through a Gi protein. Insulin also stimulates phosphodiesterase and the lipase phosphatase that inactivates hormonesensitive lipase. The effect of growth hormone in promoting lipolysis is dependent on synthesis of proteins involved in the formation of cAMP. Glucocorticoids promote lipolysis via synthesis of new lipase protein by a cAMP-independent pathway, which may be inhibited by insulin, and also by promoting transcription of genes involved in the cAMP signal cascade. These findings help to explain the role of the pituitary gland and the adrenal cortex in enhancing fat mobilization. Adipose tissue secretes the hormone leptin, which regulates energy homeostasis. Although it was initally thought to protect against obesity, current evidence suggests that the main role of leptin is to act as a signal of energy sufficiency rather than energy excess. The sympathetic nervous system, through liberation of norepinephrine in adipose tissue, plays a central role in the mobilization of free fatty acids. Thus, the increased lipolysis caused by many of the factors described above can be reduced or abolished by denervation of adipose tissue or by ganglionic blockade. Human adipose tissue may not be an important site of lipogenesis. There is no significant incorporation of glucose or pyruvate into long-chain fatty acids; ATPcitrate lyase, a key enzyme in lipogenesis, 61 does not appear to be present, and other lipogenic enzymes—eg, glucose-6phosphate dehydrogenase and the malic enzyme—do not undergo adaptive changes. Indeed, it has been suggested that in humans there is a "carbohydrate excess syndrome" due to a unique limitation in ability to dispose of excess carbohydrate by lipogenesis. Human adipose tissue is unresponsive to most of the lipolytic hormones apart from the catecholamines. Oxidation of Fatty Acids Fatty acids must first be converted to an active intermediate before they can be catabolized. This is the only step in the complete degradation of a fatty acid that requires energy from ATP. In the presence of ATP and coenzyme A, the enzyme acylCoA synthetase (thiokinase) catalyzes the conversion of a fatty acid (or free fatty acid) to an "active fatty acid" or acyl-CoA, which uses one high-energy phosphate with the formation of AMP and PPi .. Acyl-CoA synthetases are found in the endoplasmic reticulum, peroxisomes, and inside and on the outer membrane of mitochondria. Long-Chain Fatty Acids Penetrate the Inner Mitochondrial Membrane as Carnitine Derivatives. Long-chain acylCoA (or FFA) will not penetrate the inner membrane of mitochondria. However, carnitine palmitoyltransferase-I, present in the outer mitochondrial membrane, converts long-chain acyl-CoA to acylcarnitine, which is able to penetrate the inner membrane and gain access to the -oxidation system of enzymes . Carnitine-acylcarnitine translocase acts as an inner membrane exchange transporter. Acylcarnitine is transported in, coupled with the transport out of one molecule of carnitine. The acylcarnitine then reacts with CoA, catalyzed by carnitine palmitoyltransferase-II, located on the inside of the inner membrane. Acyl-CoA is re-formed in the mitochondrial matrix, and carnitine is liberated. Figure 8: Role of Carnitine In -oxidation, two carbons at a time are cleaved from acyl-CoA molecules, starting at the carboxyl end. The chain is broken between the (2)- and (3)-carbon atoms—hence the name -oxidation. The two-carbon units formed are acetyl-CoA; thus, palmitoyl-CoA forms eight acetylCoA molecules. Several enzymes, known collectively as "fatty acid oxidase," are found in the mitochondrial matrix or inner membrane adjacent to the respiratory chain. These 62 catalyze the oxidation of acyl-CoA to acetyl-CoA, the system being coupled with the phosphorylation of ADP to ATP. The first step is the removal of two hydrogen atoms from the 2( )- and 3( )carbon atoms, catalyzed by acyl-CoA transferring flavoprotein. Water is added to saturate the double bond and form 3hydroxyacyl-CoA, catalyzed by 2-enoylCoA hydratase. The 3-hydroxy derivative undergoes further dehydrogenation on the 3-carbon catalyzed by L(+)-3hydroxyacyl-CoA dehydrogenase to form the corresponding 3-ketoacyl-CoA CoA formed in the cleavage reaction reenters the oxidative pathway at reaction 2. In this way, a long-chain fatty acid may be degraded completely to acetyl-CoA (C2 units). Since acetyl-CoA can be oxidized to CO2 and water via the citric acid cycle (which is also found within the This compound is converted to succinylCoA, a constituent of the citric acid cycle. Hence, the propionyl residue from an oddUnder metabolic conditions associated with a high rate of fatty acid oxidation, the liver produces considerable quantities of acetoacetate and D(–)-3hydroxybutyrate ( -hydroxybutyrate). Figure 9: Ketone Bodies dehydrogenase and requiring FAD. This results in the formation of 2-trans-enoylCoA and FADH2. The reoxidation of FADH2 by the respiratory chain requires the mediation of another flavoprotein, termed electron compound. In this case, NAD+ is the coenzyme involved. Finally, 3-ketoacylCoA is split at the 2,3- position by thiolase (3-ketoacyl-CoA-thiolase), forming acetyl-CoA and a new acyl-CoA two carbons shorter than the original acylCoA molecule. The acylmitochondria), the complete oxidation of fatty acids is achieved. Fatty acids with an odd number of carbon atoms are oxidized by the pathway of oxidation, producing acetyl-CoA, until a three-carbon (propionyl-CoA) residue remains. chain fatty acid is the only part of a fatty acid that is glucogenic. Acetoacetate continually undergoes spontaneous decarboxylation to yield acetone. These three substances are collectively known as the ketone bodies. Figure 10: Ketogenesis 63 Enzymes responsible for ketone body formation are associated mainly with the mitochondria. Two acetyl-CoA molecules formed in -oxidation condense with one another to form acetoacetylCoA by a reversal of the thiolase reaction. Acetoacetyl-CoA, which is the starting material for ketogenesis, also arises directly from the terminal four carbons of a fatty acid during oxidation . Condensation of acetoacetyl-CoA with another molecule of acetyl-CoA by 3-hydroxy-3methylglutaryl-CoA synthase forms 3-hydroxy3-methylglutaryl-CoA (HMG-CoA). 3-Hydroxy3-methylglutaryl-CoA lyase then causes acetylCoA to split off from the HMG-CoA, leaving free acetoacetate. The carbon atoms split off in the acetyl-CoA molecule are derived from the original acetoacetyl-CoA molecule. Both enzymes must be present in mitochondria for ketogenesis to take place. This occurs solely in liver and rumen epithelium. D(-)-3Hydroxybutyrate is quantitatively the predominant ketone body present in the blood and urine in ketosis. While an active enzymatic mechanism produces acetoacetate from acetoacetyl-CoA in the liver, acetoacetate once formed cannot be reactivated directly except in the cytosol, where it is used in a much less active pathway as a precursor in cholesterol synthesis. This accounts for the net production of ketone bodies by the liver. In extrahepatic tissues, acetoacetate is activated to acetoacetyl-CoA by succinyl-CoA-acetoacetate CoA transferase. CoA is transferred from succinyl-CoA to form acetoacetyl-CoA . The acetoacetyl-CoA is split to acetyl-CoA by thiolase and oxidized in the citric acid cycle. If the blood level is raised, oxidation of ketone bodies increases until, at a concentration of approximately 12 mmol/L, they saturate the oxidative machinery. When this occurs, a large proportion of the oxygen consumption may be accounted for by the oxidation of ketone bodies. Ketogenesis is regulated at three crucial steps: 1. Ketosis does not occur in vivo unless there is an increase in the level of circulating free fatty acids that arise from lipolysis of triacylglycerol in adipose tissue. Free fatty acids are the precursors of ketone bodies in the liver. The liver, both in fed and in fasting conditions, extracts about 30% of the free fatty acids passing through it, so that at high concentrations the flux passing into the liver is substantial. Therefore, the factors regulating mobilization of free fatty acids from adipose tissue are important in controlling ketogenesis 2. After uptake by the liver, free fatty acids are either -oxidized to CO2 or ketone bodies or esterified to triacylglycerol and phospholipid. There is regulation of entry of fatty acids into the oxidative pathway by carnitine palmitoyltransferase-I (CPT-I), and the remainder of the fatty acid taken up is esterified. CPT-I activity is low in the fed state, leading to depression of fatty acid oxidation, and high in starvation, allowing fatty acid oxidation to increase. However, as the concentration of free fatty acids increases with the onset of starvation, acetyl-CoA carboxylase is inhibited directly by acylCoA, and [malonyl-CoA] decreases, releasing the inhibition of CPT-I and allowing more acyl-CoA to be oxidized. These events are reinforced in starvation by decrease in the [insulin]/[glucagon] ratio. Thus, oxidation from free fatty acids is controlled by the CPT-I gateway into the mitochondria, and the balance of the free fatty acid uptake not oxidized is esterified. 3. In turn, the acetyl-CoA formed in oxidation is oxidized in the citric acid cycle, or it enters the pathway of ketogenesis to form ketone bodies. As the level of serum free fatty acids is raised, proportionately more free fatty acid is converted to ketone bodies and less is oxidized via the citric acid cycle to CO2. The partition of acetyl-CoA between the ketogenic pathway and the pathway of oxidation to CO2 is so regulated that the total free energy captured in ATP which results from the oxidation of free fatty acids remains constant as their concentration in the serum changes. This may be appreciated when it is realized that complete oxidation of 1 mol of palmitate involves a net production of 106 mol of ATP via -oxidation and CO2 production in the citric acid cycle (see above), whereas only 26 mol of ATP are produced when acetoacetate is the end product and only 21 mol when 3hydroxybutyrate is the end product. Thus, ketogenesis may be regarded as a mechanism that allows the liver to oxidize increasing quantities of fatty acids within 64 the constraints of a tightly coupled system of oxidative phosphorylation. 4. Figure 11: Formation, utilization, and excretion of ketone bodies. (The main pathway is indicated by the solid arrows.) References: 1. Murray, Granner, Rodwell; Harper’s Illustrated Biochemistry; 27th ed.; The McGrawHill Companies, 2006. 2. Mathews, Van Holde, Ahern; Biochemistry, 3rd ed.; Addison-Wesley Pub. Co., 2000. 3. Understand! Biochemistry; Nelson & Cox, Lehninger Principles of Biochemistry, 3rd ed. Version, 2000: The Mona Group LLC. 4. http://www.accessmedicine.com/resourceToc.asp x?resourceID=18 65