Content Jurnal FK (10) - Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

advertisement
UPAYA MENDETEKSI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT ILEITIS TERMINALIS
Anna Lewi Santoso
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRAK
Penyakit ileitis terminalis, adalah penyakit peradangan saluran pencernaan yang dapat mengenai dibeberapa
bagian saluran pencernaan mulai dari mulut sampai anus, penyakit ini mempunyai banyak tanda-tanda keluhan.
Keluhan yang utama adalah sakit perut, diare ( bisa disertai darah ), mual, atau berat badan turun, tetapi dapat juga
disebabkan oleh komplikasi diluar dari saluran pencernaan, misalnya : gatal pada kulit, rematik, peradangan mata,
terlalu capek dan tegang.
Penyebab Penyakit ileitis terminalis diduga karena faktor genetik, dimana sistem kekebalan tubuh menyerang
saluran pencernaan, hal ini menyebabkan peradangan, yang sejenis dengan penyakit 'inflammatory bowel'. Bila ada
riwayat keluarga yang terkena penyakit ileitis terminalis, maka kemungkinan besar individu tersebut akan terkena
penyakit tersebut.
Penyakit ileitis terminalis banyak ditemukan pada negara industri. Angka kejadian pada pria dan wanita sama
banyak. Pada perokok terdapat tiga kali lebih banyak resiko untuk menderita penyakit ileitis terminalis. Di amerika
utara, terdapat 400.000 sampai 600.000 penderita penyakit ileitis terminalis. Untuk eropa utara diperkirakan terdapat
27-48 per 100.000 orang penderita ileitis terminalis.
Penyakit ileitis terminalis cenderung menyerang individu berumur remaja dan dewasa muda, bisa juga pada
usia 50-70an, sehingga penyakit ileitis terminalis dapat menyerang semua umur. Belum ditemukan obat atau tindakan
operasi yang dapat menyembuhkan penyakit ileitis terminalis. Pengobatan yang tersedia untuk saat ini adalah
mengurangi dan mengontrol gejala dan keluhan yang muncul, juga mengurangi timbulnya kekambuhan dari penyakit
ileitis terminalis.
Nama lain dari penyakit ileitis terminalis adalah regional enteritis atau Crohn's disease. Yang memberi Nama
crohn's disease adalah dokter saluran pencernaan dari amerika bernama Burrill Bernard Crohn, pada tahun 1932,
bersama dengan dua temannya menjelaskan beberapa pasien yang sering terkena peradangan pada usus ileum bagian
terminal.
Kata kunci : peradangan, saluran pencernaan, penyakit sistem kekebalan tubuh, terapi dengan obat atau operasi.
DETECTING AND DISEASE CONTROL EFFORTS ILEITIS TERMINALIS
Anna Lewi Santoso
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRACT
Is an inflammatory disease of the intestines that may affect any part of the gastrointestinal tract from mouth to
anus, cousing a wide variety of symptoms. It primarily causes abdominal pain, diarrhea ( which may be bloody ),
vomitimg, or weight loss, but may also cause complications outside of the gastrointestinal tract such as skin rashes,
arthritis, inflammation of the eye, tiredness, and lack of consentration.
Regional ileitis disease is thought to be an autoimmune disease, in which the body's immune system attacks the
gastrointestinal tract, causing inflammation, it is classified as a type of inflammatory bowel disease. There has been
evidence of a genetic link to regional ileitis disease, putting individuals with siblings afflicted with the disease at higher
risk.
It is understood to have a large environmental component of evidence by the higher number of cases in western
industrialized nations. Males and females are equally affected. Smoker are three times more likely to develop regional
ileitis disease. Regional ileitis disease affects between 400.000 and 600.000 people in North America. Prevalence
estimates for Northern Europe have ranged from 27-48 per 100.000.
Regional ileitis disease tends to present initially in the teens and twenties, with another peak incidence in the
fifties to seventies, although the disease can occur at any age. There is no know pharmaceutical or surgical cure for
Regional ileitis disease. Treatment options are restricted to controlling symptoms, maintaining remission and preventing
relaps
Regional ileitis disease has also been called regional enteritis or crohn's disease. Crohn's disease was named
for American gastroenterologist Burrill Bernard Crohn, who in 1932, along with two colleaques, described a series of
patients with inflammation of the terminal ileum, the area most commonly affected by the illness.
KEY WORD : Inflammation, gastrointestinal tract, autoimmune disease, no know pharmaceutical or surgical cure.
1
1. PENDAHULUAN
Ileitis terminalis adalah suatu penyakit
peradangan saluran pencernaan yang mengenai
keseluruhan tebal dinding usus, menahun,
tersering pada usus halus dan colon. Insiden
tertinggi di Amerika serikat, Eropa, jarang pada
Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Penyakit ini
terdapat pada semua umur, tersering pada dewasa
muda umur rata-rata 27 tahun ( Storer, 1991 :
1169-75 ).
Etiologi ileitis terminalis tidak diketahui,
namun ada beberapa hipotesa yaitu karena
interaksi faktor genetik dan lingkungan. Mulamula hiperemis ringan, dinding usus oedematus,
mukosa juga hiperemi dan bisa ada ulkus aftosa.
Mukosa memperlihatkan derajat perusakan
bervariasi dengan ulkus linier serpiginosa untuk
membentuk “ cobblestone” nodular ( Levine,
1995 : 559-65 ).
Gejala klinis ileitis terminalis meliputi
nyeri abdomen, diare, penurunan berat badan,
demam dan lesi anus, dan diagnosis ditegakkan
dengan pemeriksaan radiologis barium kontras
ganda. Diagnosa banding untuk ileitis terminalis
adalah colitis ulseratif, apendiksitis, tuberculosis,
limfoma dan lain-lain. Untuk terapi digunakan
terapi konservatif dan bila terjadi komplikasi pada
usus seperti perforasi, obstruksi maka dilakukan
operasi ( Levine, 1995 : 559-65 ).
Tujuan dari penulisan ini adalah supaya
dapat mengenal, mengetahui dan mencegah lebih
dini, bila ada keluhan dan gejala yang sama
dengan pemyakit ileitis terminalis, mengingat
bahwa belum ditemukan obat atau operasi yang
dapat menyembuhkan secara tuntas. Bila kita
dapat mencegah lebih awal, kita dapat
mengurangi keluhan yang timbul sehingga tidak
terjadi komplikasi yang lebih berat.
2. APAKAH PENYAKIT ILEITIS
TERMINALIS ITU?
Ileitis terminalis atau Enteritis regionalis
atau Crohn disease adalah suatu penyakit
peradangan saluran pencernaan yang mengenai
keseluruhan tebal ( Transmural ) dinding usus. Ia
menahun dalam perjalanannya dengan masa
relatif tenang bersama kekambuhan akut. Bagian
saluran pencernaan apapun bisa terkena, tetapi
tersering melibatkan usus halus dan colon (
Bailey's, 1972 : 429-30 ).
Insidens tertinggi di Amerika Serikat,
Inggris dan Scandinavia. Tersering di Eropa pusat,
kadang-kadang Afrika, Asia dan Amerika Selatan.
Insidennya tiga kali lebih tinggi pada orang
Yahudi dan lebih sering muncul pada orang kulit
putih dibanding yang kulit hitam dan sedikit lebih
banyak pada pria. Sekitar 60 per 100.000 populasi
terkena di Amerika Serikat, sementara insidens
kasus baru per tahun rata-rata 2 dan 4 per
100.000. Penyakit ini terdapat pada semua umur,
tersering pada dewasa muda dengan umur ratarata 27 tahun. Puncak insiden antara dekade ke
dua dan empat. Resiko terkena ileitis terminalis
pada perokok sigaret dan yang mengkonsumsi
banyak gula ( Schwartz, 1982 : 618-22 ).
Etiologi ileitis terminalis tidak diketahui
dan penyakit ini sering kambuh namun ada
beberapa hipotesa , salah satunya ialah interaksi
faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik bila
ada riwayat keluarga “Inflammatory bowel
disease”, ditemukan pada 15 – 20% penderita.
Agen transmisinya yaitu virus, pseudomonas,
mycobacteria, chlamydia dan yersinia, yang
ditemukan pada jaringan. Dilaporkan juga karena
imunologi yang abnormal. Jadi ada bukti
mengesankan bagi dasar infeksi dan imunologi.
Fenomena ekstraintestinalis berdasarkan
imunologi sering timbul dan bahwa eksaserbasi
penyakit ini sering diredakan oleh pemberian
steroid. Kadar imunoglobulin bervariasi tapi
jumlah dan aktivitas limfosit normal, maka masih
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk
menjelaskan peranan imunologi ( Levine, 1995 :
559-65 ).
3. BAGIAN-BAGIAN SALURAN
PENCERNAAN BESERTA FUNGSINYA.
Panjang usus halus kurang lebih enam
meter. Perbatasan antara jejunum dan ileum jelas
dari luar, dinding jejunum lebih tebal dan lumen
ileum lebih sempit. Mesenterium mengandung
pembuluh darah, pembuluh limfe, kelenjar limfe
dan saraf autonom. Aliran darah kolateral melalui
arkade mesenterium di pinggir usus halus cukup
banyak, ini yang antara lain menjamin
penyembuhan luka anastomosis usus.
Selain itu, terdapat pembuluh darah kolateral
antara arteri kolika media sebagai arteri
mesenterika superior dan arteri kolika sinistra
sebagai cabang arteri mesenterika inferior.
Hubungan kolateral ini terletak di pinggir kolon
transversus dan kolon desendens. Disamping itu
terdapat hubungan kolateral antara pangkal arteri
mesenterika superior dan pangkal arteri
mesenterika inferior melalui suatu lengkung
pembuluh yang disebut “Arkus Riolan”, lengkung
salah satu dari kedua arteri tersebut.
Vena mesenterika superior bergabung dengan
vena lienalis dan vena mesenterika inferior
membentuk vena porta. Vena ini merupakan vena
besar sehingga pada hipertensi portal dapat
dipakai untuk dekompresi melalui anastomosis
mesenterikokaval dengan vena cava inferior.
Bersama cairan yang masuk dengan
2
makanan dan minuman, ludah, cairan-cairan
lambung, empedu, pankreas dan usus halus
membentuk cairan saluran cerna sejumlah 6 – 8
liter. Semua cairan ini akan diserap kembali
sebelum isi usus melalui katub ileosekal, sehingga
hanya kira-kira setengah liter cairan yang akan
diteruskan ke kolon. Keluar masuknya cairan
melalui sel ini terjadi dengan cara diffusi, osmosis
atau dibawah pengaruh tekanan hidrostatik.
Fungsi usus halus terdiri dari transportasi dan
pencernaan makanan, serta absorbsi cairan,
elektrolit dan unsur makanan.
Setiap hari beberapa liter cairan dan puluhan gram
makanan yang terdiri dari karbohidrat, lemak dan
protein akan berlalu di usus halus dan setelah
dicerna akan masuk kedalam aliran darah. Proses
ini sangat efisien sebab hampir seluruh makanan
terabsorbsi, kecuali bila terlindung oleh selulosa
yang tidak dapat dicerna. Hal ini menjadi dasar
diet berserat tinggi yang memberi volume ke
faeses sehingga pasase disaluran cerna
berlangsung lebih cepat. Hampir semua bahan
makanan diabsorbsi dalam jejunum, kecuali
vitamin B12 asam empedu yang diserap dalam
ileum terminale.
Isi usus digerakkan oleh peristaltik yang
terdiri atas dua jenis gerakan yaitu segmental dan
longitudinal. Gerakan intestinal ini diatur oleh
sistem saraf autonom dan hormon. Hampir semua
gas usus merupakan udara yang ditelan ( Hamami,
1997 :835-37 ; 855-57 ).
4. KEADAAN SALURAN PENCERNAAN
PADA ILEITIS TERMINALIS.
Lesi ileitis terminalis bisa muncul dalam
bagian traktus gastrointestinalis dimanapun, yang
mencakup esofagus dan lambung. Tetapi insiden
tertinggi ditemukan dalam usus halus dan kolon.
Ileum terminalis sering terlibat, baik tunggal atau
gabungan
dengan
bagian
lain
traktus
gastrointestinalis.
Gambaran makroskopis usus halus pada stadium
akut yaitu granular serosa dengan hiperemis
ringan, dinding usus oedematosa dan lunak
lembut, mediator inflamasi bisa faktor aktif
plasma,
leukotrien,
komplemen,
kinin,
enterotoxin, interleukin, faktor nekrosis tumor.
Mesenterium bisa menebal, tetapi tidak kenyal.
Dalam mesenterium bisa ada kelenjar besar yang
lunak bila usus dibuka, maka mukosa bisa juga
hiperemi dan bisa ada ulkus aftosa. Stadium
menahun, area segmental yang terkena, berwarna
merah gelap serta menebal 2 atau 3 kali diameter
normal dan kenyal dengan konsistensi seperti
karet atau bahkan kasar. Pada serosa terlihat
granular dan berwarna putih suram akibat
granuloma dan pembuluh limfe berdilatasi.
Lemak mesenterika bisa meluas untuk
mengelilingi keseluruhan lingkaran usus yang
terkena dengan cara yang disebut “maju pelanpelan”( Levine, 1995: 559-65 ).
Segmen usus yang terkena bisa melekat
ke struktur normal atau usus lain yang terlibat.
Massa yang melekat padat ini bisa mencakup
fistula antar gelung atau rongga abses. Pada
potongan, keseluruhan dinding usus tampak
menebal, tetapi sebagian besar reaksi ini terjadi
dalam submucosa. Sebagai hasilnya, ukuran
lumen terancam sampai suatu titik, tempat ini bisa
timbul
obstruksi
sebagian.
Mukosa
memperlihatkan derajat perusakan bervariasi
dengan ulkus linier serpiginosa, yang bisa bersatu
melalui ulkus tranversa untuk membentuk
“cobblestone” nodular.
Disamping ulserasi, maka bisa juga ada fissura
pada berbagai kedalaman melalui dinding usus.
Jika ia memotong keseluruhan tebal, maka ia bisa
berlanjut untuk membentuk fistula atau
mengandung abses dengan gelung usus lain.
Kadang-kadang ia bisa menyatukan fissura lain
secara sebagian melalui dinding usus untuk
membentuk fistula intramural.
Mesenterium usus halus dalam stadium menahun
memendek, kenyal dan menebal makroskopis.
Kelenjar limfe didalam mesenterium menebal,
kenyal dan seperti karet, yang mencapai diameter
2 sampai 4 cm ( Storer, 1991: 1169-75 ).
Gambaran makroskopis pada stadium
akut terdapat oedema dan limfangiektasis,
terutama terlihat dalam submukosa. Mukosa
tampak normal, mungkin dengan peningkatan
dalam jumlah sel goblet dan terlihat reaksi
eksudatif dalam serosa. Granuloma tidak
ditemukan dalam stadium ini.
Ileitis terminalis subakut, ditandai oleh fibrosis
dini yang terutama terlihat dalam lapisan
submukosa dan subserosa. Buktinya ditemukan
kolagen fibrilar halus didalam regio ini bersama
dengan infiltrasi sel plasma yang difus, hipertrofi
folikular limfoid dan hiperplasia. Didalam
mukosa ada ulserasi kecil yang terbentang dari
muscularis
mucosae.
Muscularis
propia
memperlihatkan bukti hipertrofi, fibrosis dan
infiltrasi juga dengan limfosit, sel plasma,
eosinofil, tetapi tidak sampai derajat yang terlihat
dalam submukosa dan subserosa ( Levine, 1995 :
559-65 ).
Granuloma mungkin ada, terdapat lokal
dalam submukosa, subserosa atau kelenjar limfe
yaitu “giant cell” granuloma epiteloid dari
tuberculosa tapi tidak ditemukan kuman TBC,
keadaan
ini
biasa
disebut
“sarcoidlike
granulomas”.
Dalam stadium menahun, fibrosis lebih
3
terorganisasi dan padat. Terutama timbul dalam
lapisan submukosa dan subserosa, meluas ke
seluruh dinding usus transmural. Ulkus mucosa
lebih besar dan lebih profunda serta bisa bersatu
dan membentuk area yang besar. Vili usus tumpul
atau tidak ada, kelenjar atrofi, keadaan ini
menyerupai mukosa kolon ( Storer, 1991 : 116975 ).
5. BAGAIMANA MENDETEKSI
PENYAKIT ILEITIS TERMINALIS.
Mula-mula gejala berlangsung singkat
lalu tanpa keluhan yang lama, tetapi setelah suatu
waktu, episode simptomatik menjadi lebih sering
dengan masa tenang yang lebih pendek. Pada
waktunya penderita mengalami kira-kira 3 tahun
gejala sebelum diagnosis enteritis regionalis
dikonfirmasi. Kompleks gejala bervariasi dan
tergantung pada tempat penyakit dimulai dalam
traktus gastrointestinalis.
Gejala umum : nyeri abdomen, diare, penurunan
berat badan, demam dan lesi anus. Sebagian kecil
enteritis regionalis bersifat akut dengan gejala
yang serupa apendisitis, yaitu nyeri kwadran
kanan bawah, nyeri tekan dan demam, biasanya
tanpa mual dan muntah. Diagnosa klinis
apendiksitis akut dan diagnosa ileitis terminalis
ditegakkan dalam kamar operasi ( Levine, 1995 :
559-65 ).
Nyeri abdomen 95% terdapat pada ileitis
terminalis. Pola nyeri secara umum bersifat
episodik dan kram serta biasanya mengikuti
makanan, berpusat pada perut bagian bawah dan
hilang dengan defekasi. Nyeri ini sekunder
terhadap peristaltik karena melawan lumen usus
yang dikonstriksikan oleh penebalan dinding usus
yang oedema dan fibrotik. Lumen usus normal
bisa juga nyeri bila melekat pada gelung yang
meradang, terinfeksi dan dapat menyebabkan
obstruksi usus sebagian, bisa juga obstruksi kolon
sebagian atau keduanya. Bila obstruksi total maka
gejalanya, kram, muntah dan abdomen distensi.
Pada penderita menahun, nyeri bersifat 'pegal',
lebih konstan, sering disertai massa yang dapat
dipalpasi dan nyeri tekan abdomen. Terdapat lebih
banyak usus ( normal dan meradang ), bisa juga
terdapat abses tertutup atau fistula entero-enterik (
Schrock, 1993 : 268 ).
Diare yang timbul ± 92%, merupakan
gejala terlazim kedua. Penderita mengeluh dua
atau lima kali buang air besar seperti air tiap hari,
bisa juga semisolid. Karakteristik faeses berisi
tanpa darah, jika yang terkena usus halus. Satu
dari tiga penderita yang terkena pada kolon,
terdapat darah dan beberapa diare darah mirip
pada kolitis ulseratif. Umumnya diare pada ileitis
terminalis jarang terbukti darah, pus dan mukus.
Pada penderita lanjut, diare bisa berbau busuk
sebagai akibat steatore penyerta ( Sachdeva, 1996
: 208-9 ).
Penyebab terjadinya diare, bisa karena penurunan
absorbsi bersih air sekunder terhadap mukosa
yang sakit dan meradang. Hal ini timbul bila
keterlibatan jejunum yang luas, karena jejunum
adalah tempat beban air terbanyak yang
diabsorbsi.
Fistula
enteroenterik
juga
menyebabkan isi usus memintasi area permukaan
mukosa yang luas, tempat normalnya air
diabsorbsi. Atau terdapatnya obstruksi usus akibat
kontriksi peradangan usus proksimal dari segmen
yang terlibat ini berdilatasi dan menyebabkan
penurunan absorbsi cairan. sekresi cairan ke
dalam lumen usus tetap normal atau
meningkat,yang menyebabkan meningkatkan
beban
air yang di angkut melewati valva
ileocaecal. Obstruksi usus sebagian bisa juga
bertanggung jawab bagi pertumbuhan bakteri
berlebihan dalam isi usus. Pertumbuhan bakteri
berlebihan bisa bertangung jawab bagi sebab
akhir diare, yaitu tidak diserapnya garam empedu
dari usus. Jumlah bakteri abnormal dalam lumen
usus mengkonjugasi empedu dan mencegah
absorbsinya didalam ileum. Bila garam empedu
tidak diserap dan melewati kolon kanan, maka ia
menghambat absorbsi air oleh mukosa kolon
sehingga terjadi diare seperti air. Juga tanpa
reabsorbsi garam empedu sebagai bagian sirkulasi
enterohepatik yang normal, kumpulan asam
empedu dikosongkan, terjadi malabsorbsi lemak
dan steatore, yang memperburuk diare ( Levine,
1995 : 559-65 ).
Demam timbul lebih dari setengah pasien
ileitis terminalis dan bisa sebagai satu-satunya
gejala. Ia sering mendahului keluhan abdomen
selama beberapa tahun. Sehingga penderita
demam yang asalnya tidak diketahui, ileitis
terminalis pasti merupakan bagian diagnosa
banding. Demam demikian bisa karena abses
didalam dinding usus atau diantara gelung usus.
Suatu fistula bisa juga bertanggung jawab bagi
peningkatan suhu ( Fielding, 1986 : 346-7 ).
Penurunan berat badan lebih dari 5 pon
timbul pada lebih dari 85% tetapi kurang
bermakna. Kegagalan mempertahankan berat
badan paling mungkin karena usaha sadar
penderita untuk menurunkan masukan, karena
hubungan,yang dirasakan antara makan dengan
mulainya gejala.
Terdapat juga malabsorbsi lemak, Vitamin yang
larut lemak (A,D,E,K) tidak dapat diserap secara
normal. Malabsorbsi protein sekunder terhadap
hipermotalitas dan jumlah mukosa yang sakit
didalam usus halus. Sehingga protein tidak
terpapar ke mucosa yang normal untuk waktu
4
yang cukup dalam pemecahan ke asam amino dan
dipeptida bagi absorbsi. Kesulitan dalam asimilasi
karbohidrat bisa akibat defisiensi disakaridase
dalam mikrovili mucosa usus yang terkena (
Schwartz, 1982 : 618-22 ).
Anemia penyerta yang terlihat dalam
ileitis terminalis mungkin karena beberapa faktor,
pendarahan menahun dari mucosa usus yang
meradang. Pendarahan ini tidak sebesar kolitis
ulserativa, tetapi cukup besar, sehingga masukan
zat
besi
yang
normal
tidak
dapat
mengkompensasi.Timbul
anemia
mikrositik
kronis.Bisa juga anemia megaloblastik karena
defisiensi vitamin B12. Vitamin ini biasanya
diserap dalam ileum terminalis.Gangguan
absorbsi dan pencernaan yang di uraikan di atas
dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan pada
pasien anak. Hal ini dapat dihindari jika pengisian
kembali dan tambahan dimulai melalui jalur oral
atau parenteral ( Schrock, 1993 : 268 ).
Sepertiga penderita ileitis terminalis
terdapat komplikasi anus yang bisa mendahului
keluhan abdomen selama beberapa tahun. Fissura
ini merupakan lesi terlazim termasuk juga fistula
dan abses. Sering fistula tidak berhubungan
dengan segmen usus lain yang sakit dan sering
biopsi lesi perianus memperlihatkan granuloma.
Harus hati-hati dalam terapi komplikasi perianus
yang menyertai ileitis terminalis, karena
kecenderungan
terjadi
menahun
pada
penyembuhan pasca bedah.
Paduan konservatif, drainase lokal dan
oral metronidazole memperlihatkan hasil yang
memuaskan, tetapi dalam beberapa kasus ,fistula
perianus kronika parah tidak dapat dikendalikan
tanpa reseksi anus proksimal yang sakit ( Schrock,
1993 : 268 ).
Terdapat juga keluhan lain yang tidak
berhubungan dengan saluran pencernaan. Terjadi
pada ± 25% dan semua sistem organ terkena.
Manifestasi ini timbul setelah mulainya penyakit
usus secara klinis.Tidak mengikuti sifat episodik
penyakit usus, tetapi konstan perjalanannya dan
jarang dipengaruhi oleh terapi.
Artritis terdapat dalam sepertiga penderita, sedikit
manifestasi kulit seperti eritema nodosum,
gangrenosum pirodermik. Terdapat juga uveitis,
iritis atau stomatitis.
Pada hati terdapat infiltrasi lemak, perikolangitis,
kolangitis sklerotikans, kolelitiasis. Batu jenis
kolesterol, terjadi karena kehilangan asam
empedu yang bertindak melarutkan kolesterol di
dalam empedu. Manifestasi ginjal pada
hidronephrosis sekunder terhadap fibrosis
periureter dan nefrolitiasis, Batu oksalat terjadi
karena gangguan absorbsi kalsium dan kehilangan
kalsium tersebut melalui lumen usus. Fibrosis
pankreas dengan penimbunan amiloid sekunder
bisa juga timbul ( Levine, 1995 : 559-65 ).
Resiko Adenokarsinoma usus halus
menyertai ileitis terminalis seratus kali lebih besar
dari pada yang terlihat dalam populasi. Tetapi
masalahnya tidak besar, karena angka karsinoma
pada yang normal hanya 3 per 100.000, sehingga
kira-kira 62 kasus adenokarsinoma usus halus
yang menyertai ileitis terminalis.
Usia rata-rata 47 tahun,10 tahun lebih muda
dibanding populasi normal. Tiga perempat dari
semua tumor timbul dalam ileum terminalis.
sepertiga dari semua tumor timbul pada segmen
yang telah dipintasi secara bedah, dengan
prognosis kelangsungan hidup rata-rata satu tahun
( Storer, 1991 : 1169-75 ).
Untuk menegakkan diagnosa diperlukan
adanya riwayat spesifik, gejala episodik yang
mencakup nyeri abdomen, diare, demam dan
penurunan berat badan, anemia, defisiensi.
Pemeriksaan fisik bisa bermanfaat dalam
menunjukkan
distensi
derajat
rendah,
hiperperistaltik dan dilatasi usus yang palpable,
massa abdomen yang nyeri tekan, usus halus
dapat menebal dan mengalami hipertrophy
sebagai respon terhadap stenosis yang berjalan
lambat ( Dunphy, 1993 : 155-6 ).
Pemeriksaan yang bermanfaat adalah
endoskopi usus bersama biopsi dan pemeriksaan
radiologi
traktus
gastrointestinal.
Karena
esophagus, lambung dan duodenum jarang terlibat
dalam ileitis terminalis, maka endoskopi fleksibel
traktus gastrointestinal atas biasanya tidak
memberikan
informasi
diagnosis
yang
bermanfaat. Karena kolon dan rektum cukup
sering terlibat, maka protoskopi dan kolonoskopi
fiberoptik fleksibel dapat sangat bermanfaat.
Pemeriksaan bisa menunjukkan mukosa hiperemi,
ulkus aftosa dini atau gambaran lebih lanjut ulkus
konfluens profunda dan fisura. Gambaran mukosa
“cobblestone” bisa sangat menyokong diagnosa
ileitis terminalis. Walaupun perubahan fibrosis
dan peradangan pada pemeriksaan mikroskopis
bisa sangat menggambarkan diagnosis ileitis
terminalis, namun hanya ditemukan suatu
granuloma dianggap patognomonik penyakit ini.
Karena granuloma tampil hanya pada 40% sampai
60% penderita ileitis terminalis, maka tidak
mungkin biopsi acak akan menghasilkan
gambaran ini ( Levine, 1995: 559-65 ).
Pemeriksaan
radiologis
traktus
gastrointestinal untuk menentukan perubahan
dalam perincian mukosa yang terlibat dengan
penyakit ini. Teknik barium kontras ganda dapat
digambarkan luasnya penyakit, kolon dan ileum
terminalis bisa diperiksa dengan enema barium.
Pada awal perjalanan penyakit, ulkus aftosa bisa
5
terbukti diatas permukaan mukosa. Gambaran
lebih lanjut yaitu penyempitan lumen “tanda
benang” Cantor, ulkus longitudinalis, fissura dan
penampilan “cobblestone”.
Karena di usus yang terlibat maupun mesenterium
menebal secara makroskopis, maka ada
peningkatan ruang diantara gelung usus yang
terisi kontras.
Dilatasi usus bisa diperlihatkan proximal dari area
lumen yang menyempit. Akhirnya massa usus
melekat karena meradang bisa menggeser usus
terisi kontras lainnya. Fistula ( sementara sering
ada dalam penyakit lanjut ) sulit diperlihatkan.
CT scan, ultrasound dan MRI memiliki nilai
diagnostik yang berharga dalam beberapa kasus (
Schrock, 1993 : 268 ).
6. BEBERAPA PENYAKIT YANG
MENYERUPAI PENYAKIT ILEITIS
TERMINALIS.
Penyakit Colitis Ulseratif, mempunyai
keluhan diare berat, yang hanya terdapat pada
kolon. Pada pemeriksaan didapatkan hanya pada
mukosa dan sub mukosa yang meradang, jarang
ada granuloma. Mempunyai respon terhadap
pengobatan
medik
baik,
sesudah
proktokolektomy, yang disertai ileotomi penyakit
colitis ulseratif jarang terulang kembali (
Sachdeva, 1996 : 208-9 ).
Apendiksitis, sangat sulit membedakan
dengan ileitis terminalis akut, karena mempunyai
gejala yang sama, sehingga sulit untuk
membedakannya tanpa operasi ( Hamami, 1997 :
855-7 ).
Tuberculosis, dapat terjadi pada beberapa
tempat dari traktus gastrointestinal, sehingga
menyerupai penyakit ileitis terminalis. Untuk
membedakannya, dilihat dari bagian saluran
pencernaan yang terkena. Tuberculosis jarang
pada caecum distal ( Hamami, 1997 : 855-7 ).
Limfoma, penyakit ini sulit dibedakan
dari
penyakit
ileitis
terminalis.
Untuk
membedakannya dapat melalui pemeriksaan
radiologi, tapi pemeriksaan secara histologi,
kadang-kadang ditemukan sebelum diagnosa
ditegakkan. Dengan Biopsi rektal atau kolon yang
menunjukkan granuloma atau radang mendukung
diagnosa ileitis terminalis ( Schwartz, 1982 : 61822 ).
Penyakit-penyakit lainnya yang bisa menyerupai
penyakit ileitis terminalis antara lain adalah,
karsinoma, amoebiasis, iskemia, gastroenteritis
eosinophilic dan keradangan lainnya.
7. UPAYA PENANGGULANGAN
PENYAKIT ILEITIS TERMINALIS.
Pertama-tama,
upaya
kita
dalam
menanggulangi penyakit ileitis terminalis secara
konservatif adalah dengan istirahat yang cukup,
menghindari stres emosional, menjalin hubungan
yang baik antara dokter dan penderita. Disamping
itu, yang terpenting adalah menghentikan proses
radang. Upaya lainnya dengan peningkatan gizi
makanan sehari-hari. Bila terdapat diare,
dilakukan pencegahan diare dengan difenoksilat
hidroklorida ( lomotil) atau atropin. Bila dirasakan
nyeri abdomen, diberi analgesik. Jika tidak ada
obstruksi usus (sebagian atau lengkap) maka
dekompresi usus dengan sonde nasogaster, perlu
juga terapi intravena. Untuk eksaserbasi akut
proses peradangan dalam ileitis terminalis diberi
sulfasalazin ( azulfidine ), prednison dan
azatioprin. Namun dalam penelitian, tidak ada
obat yang mengubah perjalanan jangka lama
penyakit ini. Sehingga lama masa tenang diantara
serangan tidak meningkat atau jumlah episode
berulang tidak menurun oleh terapi apapun. Bisa
juga dilakukan pergantian gizi secara oral atau
parenteral. Untuk gizi secara oral: menggunakan
formula rendah dalam masa dan tanpa lemak. Hal
ini dapat diserap hampir seluruhnya didalam usus
halus bagian atas, yang tidak meninggalkan sisa.
Pada penderita dengan obstruksi sebagian, fistula
enteroenterik atau keterlibatan segmen usus halus
yang besar, diberikan makanan parenteral total
yang terdiri dari karbohidrat, protein, lemak,
vitamin, mineral ( Fielding, 1986 : 346-7 ).
Bila upaya kita secara konservatif tidak
bisa mengatasi keluhan penyakit ileitis terminalis
tersebut atau timbul komplikasi , maka bisa
dilakukan upaya terapi Bedah. Intervensi bedah
bukan mengobati ileitis terminalis, tetapi hanya
mengobati masalah spesifik yang timbul dalam
perjalanan penyakit. Operasi tidak mengubah
probabilitas kekambuhan atau kebutuhan bagi
intervensi bedah lebih lanjut.
Indikasi bagi intervensi bedah adalah untuk
Obstruksi usus, fistula enterik, abses, penyakit
perianus dan kegagalan meredanya gejala dengan
prednison
atau
sulfasalazin,
perdarahan
gastrointestinal yang hebat, perforasi abdomen (
jarang ).
Prinsip terapi bedah adalah perlindungan terhadap
panjang usus. Tindakannya meliputi: Pintas usus,
pintas usus dengan defungsionalis segmen yang
terlibat dan reseksi dengan atau tanpa
reanastomosis.
Umumnya dipilih reseksi usus pada
jaringan sakit yang hebat, mesenterium dalam
jumlah minimum boleh direseksi bersama usus
untuk mempertahankan vaskularisasi ke usus yang
masih ada setidaknya 25 cm. Mortalitas bagi
operasi rata-rata 5%. Tetapi tingginya insidens
penggunaan steroid prabedah menyebabkan
6
tingginya morbiditas pasca bedah. Morbiditas
berpusat pada anastomosis usus, dengan
kebocoran dan fistula serta sepsis yang
berhubungan dengan abses intra abdomen dan
infeksi luka.
Keadaan khusus pada penderita apendiksitis akut
yang dioperasi, ditemukan juga ileum terminalis
meradang,
mesenterium
menebal,
nodus
lymphatik mesenterika membesar kenyal. Jika
caecum tidak terlibat, maka harus dilakukan
apendiktomi serta ileum terminalis dibiarkan tidak
terganggu.
Operasi untuk usus halus yaitu reseksi, untuk usus
besar yaitu panproktokolektomi dengan ileostomi,
mempunyai angka kekambuhan paling kecil,
tetapi operasi yang lebih konservatif dilakukan
terhadap penyakit yang terlokalisir. ( Storer, 1991
: 1169-75 ).
Bila penanggulangan penyakit ileitis
terminalis secara konsevatif maupun tindakan
bedah tidak berhasil, maka dapat terjadi
komplikasi. Komplikasi dapat terjadi pada usus,
yaitu berupa obstruksi, abses, fistula, lesi
anorektal, sering terjadi perforasi bebas dan
perdarahan massive jarang terjadi. Karsinoma
mungkin timbul dalam segmen kecil atau besar
pada usus yang terlibat penyakit ileitis terminalis,
khususnya pada segmen dimana terdapat aliran
faeces dengan operasi pintas usus. Komplikasi
juga bisa terjadi pada seluruh tubuh, misalnya
penyakit
hepatobiliary,
uveitis,
arthritis,
ankylosing spondylitis, ulkus aftosa, erythema
nodusum, amyloidosis, thromboembolism dan
gangguan vaskuler, ditemukan juga pada colitis
ulseratif. Metastase penyakit ileitis terminalis
pada kulit yaitu ulkus kutaneus dengan reaksi
granuloma pada tempat terpisah dari usus dengan
kulit normal. Komplikasi urologi: cystitis, calculi
dan obstruksi uretra. Fibrosis periureterik,
hidronefrosis kanan. ( Sachdeva, 1996 : 208-9 ).
Penyakit Ileitis terminalis adalah penyakit
kronis yang dapat progresif. Tetapi medikal yang
menguntungkan untuk jangka lama belum
ditemukan. Disamping itu, operasi adalah
tindakan paliatif, bukan kuratif. Kekambuhan
rata-rata dalam 15 tahun sesudah operasi adalah
50%. Untuk obstruksi biasanya dilakukan
strictureplasty dan sedikit terdapat komplikasi
post operasi. Operasi ulang diperlukan 10% dari
penderita dengan stricture plasty dalam tiap tahun
dan satu dari tiga penderita dalam 10 tahun.
Operasi
hanya
digunakan
untuk
komplikasi, 80-85% penderita dioperasi dapat
hidup normal. Resiko kematian jangka panjang 2x
pada usia kapanpun. Dibandingkan dengan
normal dan resiko ini lebih besar pada penderita
muda dalam beberapa tahun diagnosis.
Peningkatan mortalitas yang terlihat dalam
penderita ini disebabkan oleh penyebab yang
seluruhnya dapat dihubungkan ke ileitis terminalis
atau komplikasi yang berhubungan.(Storer, 1991 :
1169-75).
8. SIMPULAN
Ileitis terminalis adalah suatu penyakit
peradangan saluran pencernaan yang menahun,
sering kambuh, dengan etiologi yang tidak
diketahui, dan ada hubungannya dengan
imunologi, sering menyerang usus halus dan
kolon.
Insiden tertinggi di Amerika Serikat, Inggris, dan
Scandinavia, yang terkena pada semua umur.
Resiko tertinggi pada perokok dan yang
mengkonsumsi banyak gula.
Gejala umum: nyeri abdomen, diare, penurunan
berat badan, demam dan lesi anus, bisa juga
seperti apendiksitis yang tanpa gejala mual dan
muntah. Diagnosa ditegakkan berdasarkan
anamnesa,
pemeriksaan
fisik
berupa
hiperperistaltik, dilatasi usus yang palpable,
ditemukan juga massa di abdomen yang nyeri
tekan.
Pemeriksaan tambahan yang diperlukan adalah
endoskopi usus untuk biopsi dan pemeriksaan
radiologi barium kontras ganda.
Terapi untuk ileitis terminalis adalah :
istirahat yang cukup, menghentikan proses radang
dengan obat-obatan yang disesuaikan dengan
keluhan / gejala umum, peningkatan gizi.
Terapi bedah diperlukan untuk memperbaiki
keadaan dari usus ( komplikasi ), misal: obstruksi
usus, gagal terapi menggunakan obat, abses, dan
lain-lain.
Prognosis kematian jangka panjang 2x dan lebih
besar resikonya pada penderita muda.
DAFTAR PUSTAKA

Bailey's.H,Crohn's Disease in
Emergency Surgery editor: Mc Nair. Tj,
MD, F.R.C.S, ninth Eds, Bristol John
Wright and Sons LTD.1972.

Dunphy. J. E, M. D.,F. A. C. S.,
Botsford. T.W,M.D,F.A.C.S.,
Pemeriksaan Abdomen dalam
Pemeriksaan Fisik Bedah Alih Bahasa
Susanto. Th., dkk, Yayasan Essentia
Medica, 1993,1993.

Fielding.L.P, Emergencis Caused
by Acute inflammatory and ischaemic
Bowel disease in Bailey'sH. Emergency
Surgery, Editor: Dudley.H.A.F, Eleventh
eds. Bristol Wright 1986.

Hamami. A. H, Pieter J, Riwanto
7





Ign, Tjambolong T, Usus halus, apendiks,
kolon dan anorektum dalam Buku Ajar
Ilmu Bedah, Editor : Sjamsuhidajat R,
wim de jong. Edisi I, EGC, Jakarta, 1997.
Levine.B.A, M.D., Aust.J.B,
M.D., DH. D, Kelainan Bedah Usus
Halus, dalam buku Buku Ajar Bedah,
editor : Sabiston. D. C, Jr., M.D., Alih
bahasa : Andrianto. P, dr., Timan. I. S., dr.,
editor : Oswari.J,dr., Bagian I, second eds,
EGC, Jakarta, 1995.
Sachdeva. R. K. dr., Traktus
Gastrointestinalis, dalam Catatan Ilmu
Bedah, alih bahasa : Handyanto, dr,
editor: Erlan. Dr., edisi 5, Hipokrates,
Jakarta, 1996.
Schrock. T. R, M.D., Saluran
Pencernaan dalam Ilmu Bedah, alih
bahasa: Dharma. A, drs. Med, Lukmanto.
D, DR., Gunawan, dr., edisi 7, EGC,
Jakarta, 1993.
Schwartz. S I, M.D., Crohn's
Disease in Principles of Surgery Eds :
Schwartz. S. I, M. D., Shires. G.T,M.D.,
Spencer. F. C, M. D., Storer. E. H., M. D.,
Third eds, Mc Graw-Hill International
Book Company Singapore 1982.
Storer. E. H., Small Intestine in
Current Surgical Diagnosis &
Treatmeant, Editor : Way. L. W, M. D.,
Ninth Eds, Pretice-Hall International Inc,
1991.
8
MACAM PENYAKIT HEPAR DAN PEMERIKSAANNYA
Elizabeth S Nugraheni
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRAK
Untuk mendiagnosa penyakit hati, hal pertama yang dalam pikiran adalah bagaimana membuat klasifikasi
sistematis dan praktis dari penyakit hati. Dalam membaca ini, izinkan saya mengklasifikasikan penyakit hati sering
menjadi 2 kelompok besar yaitu: Hati penyakit akut dan penyakit kronis hati.
Penyakit termasuk penyakit akut Hati adalah: Viral Hepatitis, Hepatitis Obat diinduksi, Alkoholic penyakit
hati, Ischeamic Hati Disease.The penyakit termasuk Penyakit hati kronis adalah: kronis Hepatitis, Sirosis hepatik dan
hepatoma, Lemak Hati.
Sangat penting untuk mengklasifikasikan penyakit, karena mengacu pada prognosis penyakit. Pemulihan
Hepatitis akut adalah 100%, kecuali Hepatitis C. Beberapa Hepatitis kronis sembuh, dan beberapa begitu sulit
disembuhkan. Sirosis hepatis adalah sulit untuk menyembuhkan tapi masih kita dapat melestarikan dan Cafe hepatosit.
Tapi hepatoma sulit baik untuk menyembuhkan dan untuk mempertahankan panggung.
Kadang-kadang sulit untuk berbeda kondisi tersebut, terlalu banyak laboratorium uji tapi ada keterbatasan
keuangan pasien untuk mendukung temuan laboratorium. Jadi kita harus menentukan tes terhadap diagnosis dugaan
kami buat.
Kata kunci: pengujian laboratorium untuk penyakit hati, penyakit hati kronis, penyakit hati akut.
EDUCATION BIOLOGY KINDS OF DISEASES AND INSPECTION
Elizabeth S Nugraheni
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRACT
To diagnose liver diseases, first thing in mind is how to make a systematic and practical classification of
the liver diseases. In this reading, let me classify the commonly liver disease into 2 large group which are : Acute
Liver diseases and Chronic Liver diseases.
The diseases including Acute Liver Diseases are : Viral Hepatitis, Hepatitis Drug induced, Alkoholic liver
disease, Ischeamic Liver Disease.The diseases including Chronic Liver Diseases are : Chronic Hepatitis, Cirrhosis
Hepatic and Hepatoma, Fatty Liver.
It is important to classify the diseases, because it refer to prognosis of the diseases. Recovery of Acute
Hepatitis is 100 %, except Hepatitis C . Some Chronic Hepatitis recover, and some so difficult to cure. Cirrhosis
Hepatis is difficult to heal but still we can preserve the healthty hepatocytes. But Hepatoma difficult both to heal
and to maintain the stage.
Sometimes difficult to differ those condition, too many laboratory test but there is a limitation of patient’s
financial to support the laboratory findings. So we have to specify the test toward the suspected diagnosis we’ve
made.
Keywords : Laboratory test for liver diseases, Chronic Liver diseases, Acute Liver diseases.
PENDAHULUAN
Latar belakang :
Sehubungan dengan banyaknya jenis
penyakit hati dan jenis pemeriksaan
laboratorium untuk diagnosa penyakit hati,
maka tulisan ini dibuat. Karena cara yang
praktis dan mudah sangat membantu dalam
memilah
dan
memilih
pemeriksaan
laboratorium, sehingga dapat ditegakkan
diagnosis pasti dari penyakit hati tersebut,
sehingga pengobatan yang tepat pun dapat
diberikan.
Kemampuan keuangan pasien dalam
berobat juga harus kita perhatikan, walaupun
dengan
meniadakan
perkecualian
pemeriksaan untuk menunjang diagnosa.
Tujuan penulisan ini adalah untuk memberi
deskripsi pada pembaca sedikit tentang
beragam pemeriksaan laboratorium yang
berkaitan dengan penyakit hati.
Diharapkan dengan sedikit tulisan
ini, mudah bagi para sejawat dalam
menentukan pemeriksaan yang akan di pilih
untuk membantu diagnosa pasien dan untuk
diluar profesi dokter, semoga bisa mendapat
sedikit gambaran tentang penyakit liver dan
macam-macam pemeriksaannya.
PEMBAHASAN
A. Klasifikasi Penyakit Hepar (1)
Penyakit Hepar yang sering dijumpai di
masyarakat , dibedakan yaitu :
1. Penyakit Hati akut
2. Penyakit Hati kronik
9
Penyakit hati akut adalah :
Kemungkinan penyebabnya adalah virus,
obat2an, alkohol dan keadaan ischaemia.
Penyakit hati kronis adalah :
1. Hepatitis Kronis
2. Sirosis Hati
3. Hepatoma
Kepentingan klasifikasi tersebut antara lain adalah
untuk menentukan prognosa dan penatalaksanaan
masing2 penyakit tersebut.
B. Symptoms and signs of Liver diseases (2,3,5)
Symptoms, riwayat klinis :
1. Right upper quadrant discomfort :
Riwayat nyeri perut kanan atas yang nyata, atau
nyeri setelah makan
 Mengarahkan diagnosa ke cholelithiasis,
cholecystitis.
Sedangkan nyeri perut kanan atas yang tidak
nyata, rasa tidak nyaman
 Mengarahkan ke kecurigaan penyakit
hepatocelular atau infiltrative diseases.
Disebabkan karenan peregangan kapsula Glisson.
2. Pruritus
3. Anorexia
4. Weight loss
5. Jaundice
6. Occupation / environtmental factors  hepatitis
drug induced karena Carbontetrachloride,
beryllium, vinylchloride, alcohol intake.
7. Abdominal distention / ascites
8. Hematemesis (muntah darah)
9. Hematoschezia
10. Oedema
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Signs, pemeriksaan fisik :
Jaundice , pada sclera dan kulit.
Anemia , pallor.
Spleenomegali
Hepatomegali
Ascites
Edema
Testicular atrophy,
Gynecomastia,
Loss of pubic and axillary hair.
ACUTE VIRAL HEPATITIS. (2,3)
Adalah penyakit sistemik yang
menyerang hati.
Jenis penyakit hepatitis virus ini adalah :
1. Hepatitis Virus A (HAV)
2. Hepatitis Virus B (HBV)
3. Hepatitis Virus C (HCV)
4. Hepatitis Virus D (HDV)
5. Hepatitis Virus E (HEV)
1.
HEPATITIS A VIRUS (2,3)
Hepatitis A virus tergolong dalam RNA
virus (heparna). Penularan melalui fecal-oral.
Hepatitis A ini memiliki masa inkubasi sekitar 4
minggu. Perkembangbiakan virus terbatas di hati,
virus ditemukan di hati, empedu, feses, dan darah
 di akhir masa inkubasi dan saat fase preicteric.
Virus disebarkan melalui feses, dan darah
 infektifitas virus segera hilang saat jaundice
muncul. Antibodi terhadap HAV (anti-HAV) dapat
terdeteksi selama masa akut, saat SGPT tinggi dan
penularan HAV melalui feses masih terjadi.
Respons antibody yang muncul adalah
IgM HAV, dan menetap selama beberapa bulan.
Selama masa penyembuhan IgG HAV yang nyata.
Jadi untuk diagnosa Hepatitis A adalah saat fase
akut, titer IgM HAV yang tinggi.
2.
HEPATITIS B VIRUS. (2,3)
Hepatitis B virus adalah DNA virus
(hepadna virus).
Antigen yang diperiksa :
1.
HBsAg
2.
HBcAg
3.
HBeAg
HBsAg terdeteksi pada lebih dari 95%
pasien dengan Hepatitis B akut, ditemukan di
Serum, cairan tubuh, sitoplasma hepatosit.
Sebagai petanda blood borne virus dan
menandakan status karier.
AntiHBs muncul sebagai respon
dari infeksi, antibodi protektif.
HBcAg
nukleocapsid yang mengandung DNA,
sebagai petanda diagnosa akut, bersama
dengan HBsAg dan IgM anti HBc. HBeAg
polymerase, ada di nucleus hepatosit.
Sebagai petanda dari replikasi virus.
Sebagai panduan diagnosis kronis hepatitis :
IgG antiHBc , HBsAg. Pada saat ini
pemeriksaan HBV DNA telah menjadi
pemeriksaan baku pada saat seorang pasien
diketahui
mengidap
HBsAg
positif.
Pemeriksaan HBeAg dan Anti HBe pada saat
ini dilakukan untuk menentukan strategi
pengobatan.
Pemahaman terakhir menyatakan
bahwa keberadaan HBeAg tidak hanya
menunjukkan ada atau tiadanya replikasi
virus , oleh karena penderita dengan HBeAg
negative ternyata sering dijumpai kondisi
10
reaktivasi ( flare up) virus.(2)
Pemeriksaan antiHBe dapat dipakai
sebagai salah satu indikator keberhasilan
pengobatan pada penderita Hepatitis B kronis
dengan HBeAg +.
Pemeriksaan kuantitatif HBV DNA
dengan batas atas yang dapat mendeteksi
muatan virus tinggi sangat berguna untuk
pemilihan obat lini pertama.
ii.
TOXIC AND DRUG
INDUCED HEPATITIS (2,3)
Kerusakan hati dapat dikarenakan
krn masuk nya bahan lewat inhalasi, ingesi
atau parenteral dari sejumlah obat2an atau
bahan kimia.
Misalkan : carbon
tetrachloride, acetaminophen, Halothane,
soniazide,
chlorpromazine,
Oral
contraceptive, analgetik, allopurinol dll.
Pengobatan dari hepatitis karena obat
ini adalah :
Sebagian besar adalah suportif,
seperti pada hepatitis virus akut. Obat atau
bahan penyebab harus segera dihentikan.
iii.
FATTY LIVER = NASH (NON
ALCOHOLIC STEATO HEPATITIS ) (2,3)
Non-alcoholic steatosis adalah infiltasi
lemak pada hati yang berhubungan dengan
obesitas. Kecurigaan diagnosis
dikarenakan
peningkatan
aminotransferase,
terutama
AST:ALT ratio < 1 Seringkali ada hubungan
antara non alcoholic fatty liver dan diabetes,
biasanya pasien tersebut BMI nya tinggi dan ada
truncal obesity. NASH bisa berkembang ke
cirrhosis tetapi arang sampai mengakibatkan gagal
hati.
Serum feritin meningkat pada fase akut
Pada sekitar 1/3 kasus ditemukan
autoantibody non organ specific, berhubungan
dengan resistensi insulin berat dan penyakit hati
yg lebih lanjut.
D.
LIVER FUNCTION TEST
(2,3,4)
Beberapa pemeriksaan faal hati dan
petanda virus yang sering dipergunakan untuk
mendiagnosa penyakit adalah :
1. SGOT / AST
2. SGPT / ALT
3. Urobilinogen
4. Bilirubin Urine
5. Bilirubin direk/indirek
6. Alkali fosfatase
7. Gamma GT
8. HBsAg & AntiHCV / IgM anti HAV
9. Serum Albumin
10. Prothrombine time
1. Alanine aminotransferase ( ALT ) , Serum
Glutamic Pyruvic Transaminase ( SGPT )
- Enzym yg berfungsi sbg katalis
berbagai fungsi tubuh.
- Enzym ini ditemukan paling
dominan di sel hepar, selain konsentrasi kecil
ditemukan di jantung, ginjal dan otot.
- Variasi level serum ini digunakan untuk
:
mendiagnosa penyakit hati dan
monitoring terapi penyakit hati.
Harga normal :
: 5 – 35
adult
U/L
elderly
: maybe higher
than adult
Sebagian besar penderita NASH akan
menjadi diabetes atau gangguan toleransi glukosa
setelah jangka panjang. Biasanya pada penderita
Fatty Liver rasio AST : ALT > 1 dan MCV > dari
normal.
Pada penderita NASH (1,2,3)
AST : ALT > 1 maka besar kemungkinan
terjadi penyakit yg progresif dan terjadi fibrosis.
Gamma Glutamil Transferase biasanya abnormal (
> 35 U/L ).
Alkali fosfatase mungkin naik melebihi
2x normal ( > 125 U/L ).
Infant/newborn : maybe twice as
high as adult
2. Aspartate Aminotransferase ( AST ) , Serum
Glutamic Oxaloacetic Transaminase.
adalah enzym yg ditemukan di jaringan
atau sel yg mempunyai aktivitas metabolik tinggi.
Misal : di jantung, hepar dan otot
bergaris.
-Enzym ini dikeluarkan ke aliran darah
krn adanya jejas atau kematian sel

Harga normal : 12 – 35 U/ml

AST yang meningkat :
acute myocard infarct, pancreatitis akut dan brain
necrosis.metastatic liver cancer, Reye’s syndrome,
11
alkoholic hepatitis.

AST yng kurang dari normal ,
mungkin :
kehamilan,
beri-beri,
menandakan :
1.
Pancreatic disease
ketoacidosis.
3. Alkaline fosfatase.
Adalah enzym yang ditemukan di hepar, tulang
dan epithel dari seluruh saluran empedu.
Jumlah/level enzym ini digunakan utk
identififikasi kelainan hepar, atau kelainan
tulang,dll. Harga normal terpengaruh oleh usia
dan gender.
5.
Harga normal :
Dewasa
: 17 – 142 U/L
0 – 12 th
: 145 –
Anak
530 U/L
Peningkatan alkaline fosfatase
yang
berhubungan dengan penyakit hati , termasuk :
1. Obstruksi duktus bilier.
2. Obstruktif Jaundice
3. Hepatitis - Cirrhosis
4. Liver Cancer
5. Mononukleosis infectiosa
Tetapi untuk keperluan konfirmasi dari
suatu diagnosa penyakit, pemeriksaan ini harus di
korelasikan dengan pemeriksaan faal hati
lain.
Obat2an yang menyebabkan kenaikan
alkaline fosfatase antara lain :
Allopurinol,
antibiotik,
tetracycline,
oral
contraceptive, methyldopa.
4.
Gamma Glutamyl transferase
Gamma-glytamyl transpeptidase adl enzyme yg
terdpt di hepatocytes dan biliary
epithelial cells. GGT mungkin tinggi pd liver
disease.
Biasanya lebih menyerupai biliary obstruction
daripada hepatocellular damage.

GGT (in men) = 11 - 50 i.u./l

2.
Myocardial infarction
3.
Chronic obstructive pulmonary disease
4.
Renal failure
5.
Diabetes
6.
Obesity
7.
Alcoholism, phenythoin & barbiturat.
diabetic
GGT (in women) = 7 - 32 i.u./l
Hyperbilirubinemia.
Peningkatan bilirubin dpt disebabkan
karena :
1. Peningkatan produksi.
2. Berkurangnya excresi bilirubin karena
obstruksi sal empd
3. Berkurangnya metabolisme
Peningkatan produksi sebagai akibat
obstructive liver disease diikuti oleh peningkatan
Liver enzym lainnya (alkaline phosphatase dan
GGT ) .
Pada mechanical obstructive liver disease
50% darinya adl conjugated bilirubin . Normal
serum bilirubin adl 3 to 17 micromol/l. Jaundice
dapat terdeteksi jika hasil diatas 40 micromol/l.
Dibutuhkan
cahaya
matahari
utk
mendeteksi jaundice minimal. Hyperbilirubinemia
bisa menandakan penyakit hepatobilier atau
hemolysis
Dapat
dipakai
sebagai
petunjuk
hepatobiliary diseases atau hemolysis.
1. Peningkatan
ringan
indirect
hyperbilirubin ditemukan pada 10 % pdrt
Gilbert’syndrome.
2. Pada sekitar usia 30 th, 75 % penyebab
hyperbilirubinemia adl Hepatitis
3. Pada pdrt diatas 60 th, 50% penyebabnya
adl extrahepatic
obstruction ( gallstone,
pancreatic ca )

Note reference ranges mungkin berbeda
di tiap lab.
6.
Pemeriksaan ini harus dilakukan pada pasien
dengan abnormal alkali fosfatase,
sebagai konfirmasi bahwa berasal dari kelainan
hepar.
GGT serum adl indikator sensitif dari
hepatobiliary diseases.
Peningkatan hasil GGT mungkin
Hasil serum albumin yang rendah ,
mencerminkan :
1. sintesis yg berkurang (poor
nutrition atau hepatic dysfunction )
2. kehilangan protein / increased
loss ( from kidney/ intestine )
Kadar serum albumin berhubungan dgn
Serum Albumin
12
prognosa buruk pada penyakit liver akut.
Pada decompensated liver disease kadar
albumin ini rendah.
7.
Prothrombine Time
Pemeriksaan ini harus dikerjakan pada
pasien dengan acute or chronic liver disease or
coagulopathy.
Menunjukkan fungsi sintesa vit Kdependent clotting factors. (II, VII, IX dan X )
8.
Alpha feto protein ( AFP ) (2,3)
Pemeriksaan yang dipakai untuk
kecurigaan terhadap adanya keganasan pada hati,
misal : Hepatoma
Serangkaian pemeriksaan yang dipakai
utk Hepatoma adl :
Alkali fosfatase dan Alpha feto protein.
E.
CONTOH INTEPRETASI POLA
ABNORMAL LFT (3)
1. Viral Hepatitis
Sering menyebabkan peningkatan significant
dari transaminase , melebihi 1000 IU.
ALT lebih tinggi daripada AST ; AST ALT rasio < 1.
2. Medication ( obat2an )
Menyebabkan kolestasis.
Menyebabkan transaminase dan ALP
diatas 10x normal.
3. Intrahepatic atau extrahepatic obstruction
Peningkatan ALP lebih atau sama
dengan 5 kali lebih tinggi dari harga normal.
Terutama pada Primary biliary cirrhosis
4. Infiltratif diseases
Contohnya : neoplasma, granuloma,
amyloidosis sebabkan peningkatan sedang
sampai bermakna dari ALP.
5. Alkoholic Liver disease
Peningkatan ringan dari transaminase.
Perbandingan AST & ALT dpt berguna
utk diagnostik.
Perbandingan > 2 : 1 sangat mungkin
merupakan alkoholic liver disease.
Ditambah dgn MCV > dan peningkatan
GGT.
6. Hemolysis
Jika ada kecurigaan ini, biasanya diikuti dgn
bilirubin <5 mg/dl.
Urobilinogen - , bilirubin positif kuat,
Bilirubin total 20 mg/dl, Bilirubin direk 18 mg/dl,
alkali fosfatase 960 IU, SGOT 35 IU, SGPT 32
Terjadi peningkatan hitung reticulosit dan
Hapusan darah tepi yang abnormal.
F. CONTOH KASUS :
I. Penderita Tn S, 38 th,tanpa keluhan dan
melakukan General Medical Check Up.
Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan
kelainan.
Hasil pemeriksaan :
SGPT 28 IU, SGOT 22 IU, Fosfatase alkali
180 IU HBsAg + , Anti HCV - ,
Urobilinogen + , bilirubin –, bilirubin total 1
mg/dl , bil direk 0,4 mg/dl.
Pembahasan : kasus diatas diagnosanya
adalah :
 Pengidap Sehat Virus Hepatitis B
Jika hal ini terjadi, maka untuk selanjutnya
diperlukan pemeriksaan lanjutan yaitu :
HBeAg , Anti HBe dan HBV DNA.(1,2)
II. Pasien Tn H 42 tahun, keluhan rasa tidak
enak di perut bagian atas.
Pada pemeriksaan fisik penderita tampak
sehat, TB 160 cm, BB 90 kg. Tidak terdapat
penyakit hati akut ataupun kronik.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil
sebagai berikut :
Bilirubin total 0,8 mg/dl dan direk 0,3 mg/dl,
SGOT 80 IU, SGPT : 120 IU, Elektroforesis
protein dalam batas normal, HBsAg negative,
anti HCV negativ; kolesterol total 360 mg/dl
Trigliserida 600 mg/dl; LDL 210 mg/dl ; HDL
45 mg/dl.
Pembahasan : diagnosis penderita tersebut
adalah :
 Fatty Liver akibat hiperlipidemia dan
Obesitas.(1,2)
Ciri Khas dari Fatty liver adalah :
Terdapat penyakit dasar sebagai penyebab
(obesitas, hiperlipidemia, diabetes), SGOT dan
SGPT meningkat. Faal hati lain dalam batas
normal , kecuali mungkin Gamma GT dan alkali
fosfatase sedikit meningkat.(1,4,5)
III.
Pasien Tn An, 44 th , datang
dengan keluhan gatal, mata kuning, nyeri perut
kanan atas demam . Tinja berwarna putih seperti
dempul. Fisik penderita tampak icterus kehijauan
tidak terdapat tanda penyakit hati akut maupun
kronik, kandung empedu teraba, pemeriksaan
laboratorium sebagai berikut :
IU, serum protein elektroforesis dalam batas
normal, kolesterol 460 mg/dl, Gamma GT 448
mg/dl
13
 diagnosis dari pasien tersebut adalah :
Kolestasis yang kemungkinan penyebabnya
adalah Carcinoma Caput Pancreas.
Contoh diatas menunjukkan bahwa kelainan faal
hati, bukan berarti penderita mengidap penyakit
hati akan tetapi dapat juga sebagai parameter
kelainan diluar hati, misalkan icterus obstruktif
seperti kasus Tn An di atas, atau beberapa jenis
penyakit darah (anemia hemolytic).
KESIMPULAN
Sehubungan dengan perkembangan jaman yang
berdampak pada berkembangnya ilmu kedokteran
khususnya dalam bidang laboratorium, maka
penulis merasa perlu membahas jenis pemeriksaan
laboratorium yang berhubungan dengan penyakit
hati.
Tulisan ini juga dibuat melihat kemampuan
masyarakat terhadap pemeriksaan laboratorium
sering kali terbatas,sehingga seorang dokter harus
dengan segenap pertimbangan memilihkan
pemeriksaan yang tepat untuk membantu diagnosa
kerjanya.
Di sini penyakit hati dibedakan menjadi penyakit
hati akut dan penyakit hati kronis.
Penyakit hati akut sebagian besar disebabkan oleh
virus, diistilahkan Hepatitis Virus akut. Penyakit
Hepatitis Virus Akut dapat dideteksi dari keluhan
pasien dan ditegakkan dengan pemeriksaan
laboratorium petanda Virus, seperti IgM Anti
HAV, HBsAg, IgM Anti HBc. Obat-obatan juga
bisa menyebabkan kemungkinan peningkatan tes
fungsi hati.
Perpaduan yang baik antara ketrampilan dokter
mengumpulan data dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik dan dengan pemeriksaan
laboratorium penunjang yang tepat akan menjurus
ke diagnosa yang tepat, dan sebisa mungkin
menghemat biaya.
New York- San Francisco-Tokyo-Toronto.p.14581488, 1994.
3. Mengel.MB : Family Medicine Ambulatory Care
& Prevention, 4 th edition. Mc Graw Hill BostonLondon-Singapore-Toronto. p. 268-272, 1996
4. Wallach J : Hepatobiliary Disease and Disease for
Pancreas. In Intepretation of Diagnosis Tests A
Synopsis of Laboratory Medicine. 5 edition. p.
170-217,1992.
5. White HM : Evaluation of Liver Function Test. In
Manual of Medical Therapeutics, 27 edition. Little
brown and Co. Boston-Toronto-London. p.309322.1993.
DAFTAR PUSTAKA
1. Budiwarsono : PIT Pro Prodia Panel Penyakit
Hati , Surabaya.p 14.2009
2. Braunwald, Isselbacher : Harrison’s Principles of
Internal Medicine vol 2, 13 edition. Mc Graw Hill
14
ANEMIA DEFISIENSI BESI
Emmy Kartamihardja
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak
: Anemia defisiensi besi merupakan penurunan jumlah sel darah merah yang disebabkan oleh besi
terlalu sedikit. anemia defisiensi besi adalah bentuk paling umum dari anemia. Sekitar 20% wanita,
50% wanita hamil dan 3% laki-laki tidak memiliki cukup zat besi dalam tubuh mereka. Anemia
berkembang perlahan setelah toko besi normal dalam tubuh dan sumsum tulang sudah kehabisan.
Secara umum, wanita memiliki toko lebih kecil dari besi daripada laki-laki karena mereka kehilangan
lebih banyak melalui menstruasi. Anemia defisiensi besi juga dapat disebabkan oleh buruknya
penyerapan zat besi dalam makanan. Anemia defisiensi besi merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang serius karena berdampak pada perkembangan fisik dan psikis, perilaku dan kerja.
Dewasa pasien anemia kekurangan zat besi dapat mengakibatkan degradasi pekerjaan fisik,
penurunan daya tahan tubuh, lesu dan menurunnya produktivitas.
Kata kunci: Anemia, anemia defisiensi besi, produktivitas
IRON DEFICIENCY ANEMIA
Emmy Kartamihardja
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrack
: Iron deficiency anemia is a decrease in the number of red blood cells caused by too little iron. Iron
deficiency anemia is the most common form of anemia. About 20% of women, 50% of pregnant
women and 3% of men do not have enough iron in their body. Anemia develops slowly after the
normal iron stores in the body and bone marrow have run out. In general, women have smaller stores
of iron than men because they lose more through menstruation. Iron deficiency anemia may also be
caused by poor absorbtion of iron in the diet. Anemia of iron deficiency represent the problem of
serious society health because affecting at physical growth and psychical, behavior and work. Adult
patients of iron deficiency anemia can result the degradation work of physical, degradation of body
endurance, lethargy and downhill of the productivity.
Keywords
: Anemia, iron deficiency anemia, productivity
PENDAHULUAN
Anemia defisiensi besi merupakan anemia
yang terbanyak baik di Negara maju maupun
Negara yang sedang berkembang. Padahal besi
merupakan suatu unsur terbanyak pada lapisan
kulit bumi, akan tetapi defisiensi besi merupakan
penyebab anemia yang tersering. Hal ini
disebabkan
tubuh
manusia
mempunyai
kemampuan terbatas untuk menyerap besi dan
seringkali tubuh mengalami kehilangan besi yang
berlebihan
yang
diakibatkan
perdarahan.
(Hoffbrand.AV, et al, 2005, hal.25-34)
Besi merupakan bagian dari molekul
Hemoglobin, dengan berkurangnya besi maka
sintesa hemoglobin akan berkurang dan
mengakibatkan kadar hemoglobin akan turun.
Hemoglobin merupakan unsur yang sangat vital
bagi tubuh manusia, karena kadar hemoglobin
yang
rendah
mempengaruhi
kemampuan
menghantarkan O2 yang sangat dibutuhkan oleh
seluruh jaringan tubuh.
Anemia defisiensi besi ini dapat diderita oleh
bayi, anak-anak, bahkan orang dewasa baik pria
maupun wanita, dimana banyak hal yang dapat
mendasari terjadinya anemia defisiensi besi.
Dampak dari anemia defisiensi besi ini
sangat luas, antara lain terjadi perubahan epitel,
gangguan pertumbuhan jika terjadi pada anakanak, kurangnya konsentrasi pada anak yang
mengakibatkan prestasi disekolahnya menurun,
penurunan kemampuan kerja bagi para pekerja
sehingga produktivitasnya menurun.
Kebutuhan besi yang dibutuhkan setiap
harinya untuk menggantikan zat besi yang hilang
dari tubuh dan untuk pertumbuhan ini bervariasi,
tergantung dari umur, jenis kelamin. Kebutuhan
meningkat pada bayi, remaja, wanita hamil,
menyusui serta wanita menstruasi. Oleh karena itu
kelompok tersebut sangat mungkin menderita
defisiensi besi jika terdapat kehilangan besi yang
disebabkan hal lain maupun kurangnya intake besi
dalam jangka panjang.(Hoffbrand AV, et al,
2005,hal 25-34).
Disini penulis akan membahas masalah
Anemia
Defisiensi
Besi
dimana
dapat
menyebabkan penurunan produktivitas kerja.
15
METABOLISME BESI
Senyawa-senyawa
esensial
yang
mengandung besi dapat ditemukan dalam plasma
dan di dalam semua sel. Karena zat besi yang
terionisasi bersifat toksik terhadap tubuh, maka
zat besi selalu hadir dalam bentuk ikatan dengan
hem yang berupa hemoprotein (seperti
hemoglobin, mioglobin dan sitokrom) atau
berikatan dengan sebuah protein (seperti
transferin, ferritin dan hemosiderin) (Jones.NCH,
Wickramasinghe.SN, 2000, hal. 67-83). Jumlah
besi di dalam tubuh seorang normal berkisar
antara 3-5 g tergantung dari jenis kelamin, berat
badan dan hemoglobin. Besi dalam tubuh terdapat
dalam hemoglobin sebanyak 1,5 – 3g dan sisa
lainnya terdapat dalam plasma dan jaringan
(Sacher.RA, Mc Pherson.RA, 2000, p.68-70)
Kebanyakan besi tubuh adalah dalam
hemoglobin dengan 1 ml sel darah merah
mengandung 1 mg besi (2000 ml darah dengan
hematokrit normal mengandung sekitar 2000 mg
zat besi) (Ibister. JP,Pittiglio. DH, 1999, hal43-54)
Pertukaran zat besi dalam tubuh merupakan
lingkaran yang tertutup. Besi yang diserap usus
setiap hari kira-kira 1-2 mg, ekskresi besi melalui
eksfoliasi sama dengan jumlah besi yang diserap
usus yaitu 1-2 mg. Besi yang diserap oleh usus
dalam bentuk transferin bersama dengan besi
yang dibawa oleh makrofag sebesar 22 mg dengan
jumlah total yang dibawa tranferin yaitu 24mg
untuk dibawa ke sumsum tulang untuk
eritropoesis. Eritrosit yang terbentuk memerlukan
besi sebesar 17 mg yang merupakan eritrosit yang
beredar keseluruh tubuh, sedangkan yang 7 mg
akan dikembalikan ke makrofag karena berupa
eritropoesis inefektif. ( Bakta.IM, 2007, hal.2639)
Secara umum, metabolisme besi ini
menyeimbangkan antara absorbsi 1-2 mg/ hari
dan kehilangan 1-2 mg/ hari. Kehamilan dapat
meningkatkan keseimbangan besi, dimana
dibutuhkan 2-5 mg besi perhari selama kehamilan
dan laktasi. Diet besi normal tidak dapat
memenuhi
kebutuhan
tersebut
sehingga
diperlukan suplemen besi.(Soeparman Waspadji.
S, 1990, hal 404-409).
PENYEBAB
Beberapa hal yang dapat menjadi kausa dari
anemia defisiensi besi diantaranya (Bakta IM,
2007, hal 26-39; Sacher RA, Mc Pherson RA,
2000, p. 68-70; Theml Harald MD et al, 2004,
p.128-133)
1. Kehilangan darah yang bersifat kronis dan
patologis:
a. Yang paling sering adalah perdarahan
uterus ( menorrhagi, metrorrhagia) pada
wanita,
perdarahan
gastrointestinal
diantaranya adalah ulcus pepticum,
varices esophagus, gastritis, hernia hiatus
, diverikulitis, karsinoma lambung,
karsinoma sekum, karsinoma kolon,
maupun karsinoma rectum, infestasi
cacing
tambang,
angiodisplasia.
Konsumsi alkohol atau aspirin yang
berlebihan dapat menyebabkan gastritis,
hal ini tanpa disadari terjadi kehilangan
darah sedikit-sedikit tapi berlangsung
terus menerus.
b. Yang jarang adalah perdarahan saluran
kemih, yang disebabkan tumor, batu
ataupun
infeksi
kandung
kemih.
Perdarahan saluran nafas (hemoptoe).
2. Kebutuhan
yang
meningkat
pada
prematuritas, pada masa pertumbuhan
[remaja], kehamilan, wanita menyusui, wanita
menstruasi.
Pertumbuhan yang sangat cepat disertai
dengan penambahan volume darah yang
banyak, tentu akan meningkatkan kebutuhan
besi
3. Malabsorbsi : sering terjadi akibat dari
penyakit coeliac, gastritis atropi dan pada
pasien setelah dilakukan gastrektomi.
4. Diet yang buruk/ diet rendah besi
Merupakan faktor yang banyak terjadi di
negara yang sedang berkembang dimana
faktor ekonomi yang kurang dan latar
belakang pendidikan yang rendah sehingga
pengetahuan mereka sangat terbatas mengenai
diet/ asupan yang banyak mengandung zat
besi.
Beberapa makanan yang mengandung
besi tinggi adalah daging, telur, ikan, hati,
kacang kedelai, kerang, tahu, gandum. Yang
dapat membantu penyerapan besi adalah
vitamin C, cuka, kecap. Dan yang dapat
menghambat adalah mengkonsumsi banyak
serat sayuran, penyerapan besi teh, kopi,
`oregano`.
Faktor
nutrisi atau peningkatan
kebutuhan besi jarang sebagai penyebab
utama. Penyebab paling sering pada laki-laki
adalah perdarahan gastrointestinal,
dimana dinegara tropik paling sering karena
infeksi cacing tambang. Pada wanita
paling sering karena menormettorhagia.(Bakta
IM, 2007, hal 26-39).
16
KLASIFIKASI DEFISIENSI BESI
(Bakta IM, 2007, hal 26-39; Cielsa B, 2007, p.6570; Sacher RA, Mc Pherson RA, 2000, p.68-70)
Defisiensi besi dibagi menjadi tiga tingkatan
yaitu:
1. Deplesi besi (Iron depleted state).: keadaan
dimana cadangan besinya menurun, tetapi
penyediaan besi untuk eritropoesis belum
terganggu.
2. Eritropoesis Defisiensi Besi (Iron Deficient
Erytropoesis) : keadaan dimana cadangan
besinya kosong dan penyediaan besi untuk
eritropoesis sudah terganggu, tetapi belum
tampak anemia secara laboratorik.
3. Anemia defisiensi besi : keadaan dimana
cadangan besinya kosong dan sudah tampak
gejala anemia defisiensi besi.
GEJALA ANEMIA DEFISIENSI BESI
Pada anemia defisiensi besi biasanya
penurunan hemoglobinnya terjadi perlahan-lahan
dengan demikian memungkinkan terjadinya
proses kompensasi dari tubuh, sehingga gejala
aneminya tidak terlalu tampak atau dirasa oleh
penderita.
Gejala klinis dari anemia defisiensi besi ini
dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :( Bakta
IM, 2007, hal 26-39; Cielsa B, 2007, p.65-70:
Metha A, Hoffbrand AV, 2000, p. 32-33; Tierney
LM, et al, 2001, hal 64-68)
1]. Gejala umum dari anemia itu sendiri, yang
sering disebut sebagai sindroma anemia yaitu
merupakan kumpulan gejala dari anemia, dimana
hal ini akan tampak jelas jika hemoglobin
dibawah 7 – 8 g/dl dengan tanda-tanda adanya
kelemahan tubuh, lesu, mudah lelah, pucat,
pusing, palpitasi, penurunan daya konsentrasi,
sulit nafas (khususnya saat latihan fisik), mata
berkunang-kunang, telinga mendenging, letargi,
menurunnya daya tahan tubuh, dan keringat
dingin.
2] Gejala dari anemia defisiensi besi: gejala ini
merupakan khas pada anemia defisiensi besi dan
tidak dijumpai pada anemia jenis lainnya, yaitu:
1. koilonychia/ spoon nail/ kuku sendok
dimana kuku berubah jadi rapuh,
bergaris-garis vertikal dan jadi
cekung sehingga mirip sendok.[lihat
gambar 1]
2. Atropi papil lidah. Permukaan lidah
tampak
licin
dan
mengkilap
disebabkan karena hilangnya papil
lidah.
3. Stomatitis angularis/ inflamasi sekitar
sudut mulut.
4. Glositis
5. Pica/ keinginan makan yang tidak
biasa
6. Disfagia merupakan nyeri telan yang
disebabkan `pharyngeal web`
7. Atrofi mukosa gaster.
8. Sindroma Plummer Vinson/ Paterson
kelly ini merupakan kumpulan gejala
dari anemia hipokromik mikrositik,
atrofi papil lidah dan disfagia.
Anemia defisiensi besi yang terjadi pada
anak sangat bermakna, karena dapat menimbulkan
irritabilitas, fungsi cognitif yang buruk dan
perkembangan psikomotornya akan menurun.
Prestasi belajar menurun pada anak usia sekolah
yang disebabkan kurangnya konsentrasi, mudah
lelah, rasa mengantuk. (Permono B, Ugrasena
IDG, 2004, hal 34-37). Selain itu pada pria atau
wanita
dewasa
menyebabkan
penurunan
produktivitas kerja yang disebabkan oleh
kelemahan tubuh, mudah lelah dalam melakukan
pekerjaan fisik/ bekerja.
3]. Gejala yang ditimbulkan dari penyakit yang
mendasari terjadinya anemia defisiensi besi
tersebut, misalkan yang disebabkan oleh infeksi
cacing tambang maka akan
dijumpai gejala
dispepsia, kelenjar parotis membengkak, kulit
telapak tangan warna kuning seperti jerami. Jika
disebabkan oleh perdarahan kronis akibat dari
suatu karsinoma maka gejala yang ditimbulkan
tergantung pada lokasi dari karsinoma tersebut
beserta metastasenya.
17
Gambar 1. Koilonychia (Metha A, Hoffbrand AV, 2000, p.33)
PEMERIKSAAN LABORATORIUM:
mikrositik, anisositosis (banyak variasi ukuran
Parameter awal dari hitung darah lengkap
eritrosit), poikilositosis (banyak kelainan bentuk
biasanya menunjukkan klinisi arah dari anemia
eritrosit), sel pensil, kadang- kadang adanya sel
defisiensi besi. MCV, MCH dan MCHC yang
target. (Permono B, Ugrasena IDG, 2002, hal 55-
rendah dan film darah hipokromik sangat
66; Sacher RA, Mc Pherson RA, 2000, p 68-70).
mengarahkan terutama jika pasien diketahui
(Lihat gambar 2)
mempunyai hitung darah yang normal dimasa
lalu. (Ibister JP, Pittiglio DH, 1999, hal 43-54)
Saturasi transferin biasanya dibawah 5%,
Pada pemeriksaan hapusan darah, sel
darah merah mikrositik hipokromik apabila Hb <
12 g/dl (laki-laki), Hb < 10 g/dl (perempuan),
serum ferritin kadarnya kurang dari 10ng/ ml,
mungkin leukopeni,
protoporfirin eritrosit bebas sangat meningkat
trombosit tinggi pada perdarahan aktif, retikulosit
yaitu 200 µg/dl, terjadi peningkatan TIBC [normal
rendah.(Metha A, Hoffbrand AV, 2000, p.32-33).
orang dewasa 240-360µg/dl], kadar besi serum
Pada pemeriksaan sumsum tulang : hiperplasi
kurang dari 40µg/dl. (Sacher RA, Mc Pherson
eritroid, besi yang terwarnai sangat rendah atau
RA, 2000, p. 68-70).
tidak ada.
Hapusan darah menunjukkan anemia hipokromik
18
Gambar 2.
Hapusan darah tepi pada anemia defisiensi besi. Tampak
hipokromik mikrositik, anisositosis dan poikilositosis.
TERAPI
Pemberian terapi haruslah tepat setelah
diagnosis ditegakkan supaya terapi pada anemia
ini berhasil. Dalam hal ini kausa yang mendasari
terjadinya anemia defisiensi besi ini harus juga
diterapi.
Pemberian terapi ini dapat dibagi menjadi tiga
bagian yaitu:
1]. Terapi kausal: terapi ini diberikan berdasarkan
penyebab yang mendasari terjadinya anemia
defisiensi besi. Terapi kausal ini harus dilakukan
segera kalau tidak, anemia ini dengan mudah akan
kambuh lagi atau bahkan pemberian preparat besi
tidak akan memberikan hasil yang diinginkan.
2]. Terapi dengan preparat besi: pemberiannya
dapat secara:
1. Oral : preparat besi yang diberikan peroral
merupakan terapi yang banyak disukai oleh
kebanyakan pasien, hal ini karena lebih
efektif, lebih aman, dan dari segi
ekonomi preparat ini lebih
murah.
Preparat yang ter sedia berupa:
- Ferro Sulfat : merupakan preparat yang
terbaik, dengan dosis 3 x 200 mg, diberikan saat
perut kosong [sebelum makan]. Jika hal ini
memberikan efek samping misalkan terjadi mual,
nyeri perut, konstipasi maupun diare maka
sebaiknya diberikan setelah makan/ bersamaan
dengan makan atau menggantikannya dengan
preparat besi lain. (Metha A, Hoffbrand AV, 2000,
p.33)
- Ferro Glukonat: merupakan preparat
dengan kandungan besi lebih rendah daripada
ferro sulfat. Harga lebih mahal tetapi
efektifitasnya hampir sama.
- Ferro Fumarat, Ferro Laktat.
Waktu pemberian besi peroral ini harus
cukup lama yaitu untuk memulihkan cadangan
besi tubuh kalau tidak, maka anemia sering
kambuh lagi. Berhasilnya terapi besi peroral ini
menyebabkan retikulositosis yang cepat dalam
waktu kira-kira satu minggu dan perbaikan
kadar hemoglobin yang berarti dalam waktu
2-4 minggu, dimana akan terjadi perbaikan
anemia yang sempurna dalam waktu 1-3 bulan.
Hal ini bukan berarti terapi dihentikan tetapi
terapi harus dilanjutkan sampai 6 bulan untuk
mengisi cadangan besi tubuh. Jika pemberian
terapi besi peroral ini responnya kurang baik,
perlu dipikirkan kemungkinan - kemungkinannya
sebelum diganti dengan preparat besi parenteral.
Beberapa hal yang menyebabkan kegagalan
respon terhadap pemberian preparat besi peroral
antara lain perdarahan yang masih berkelanjutan
(kausanya belum teratasi), ketidak patuhan
pasien dalam minum obat (tidak teratur) dosis
yang kurang, malabsorbsi, salah diagnosis atau
anemia multifaktorial. ( Bakta IM, 2007, hal 2639; Hoffbrand AV, et al, 2005, hal 25-34)
19
2. Parenteral
Pemberian preparat besi secara parenteral
yaitu pada pasien dengan malabsorbsi berat,
penderita Crohn aktif, penderita yang tidak
member respon yang baik dengan terapi besi
peroral, penderita yang tidak patuh dalam minum
preparat besi atau memang dianggap untuk
memulihkan besi tubuh secara cepat yaitu pada
kehamilan tua, pasien hemodialisis.(Bakta IM,
2007, hal 26-39; Hoffbrand AV,et al, 2005, hal 2534)
Ada beberapa contoh preparat besi parenteral:
- Besi Sorbitol Sitrat (Jectofer) Pemberian
dilakukan secara intramuscular dalam dan
dilakukan berulang.
- Ferri
hidroksida-sucrosa
(Venofer)
Pemberian secara intravena lambat atau infus.
(Hoffbrand AV, et Al, 2005, hal 25-34) Harga
preparat besi parenteral ini jelas lebih mahal
dibandingkan dengan preparat besi yang peroral.
Selain itu efek samping preparat besi parental
lebih berbahaya. Beberapa efek samping yang
dapat ditimbulkan dari pemberian besi parenteral
meliputi nyeri setempat dan warna coklat pada
tempat suntikan, flebitis, sakit kepala, demam,
artralgia, nausea, vomitus, nyeri punggung,
flushing, urtikaria, bronkospasme, dan jarang
terjadi anafilaksis dan kematian. Mengingat
banyaknya efek samping maka pemberian
parenteral perlu dipertimbangkan benar benar.
Pemberian secara infus harus diberikan secara
hati-hati.
Terlebih
dulu
dilakukan
tes
hipersensitivitas,
dan
pasien
hendaknya
diobservasi selama pemberian secara infus agar
kemungkinan terjadinya anafilaksis dapat lebih
diantisipasi. (Bakta IM,2007, hal 26-39;
Hoffbrand AV,et al, 2005, hal 25-34; Tierney LM,
et al, 2001, hal 64-68) Dosis besi parenteral harus
diperhitungkan dengan tepat supaya tidak kurang
atau berlebihan, karena jika kelebihan dosis akan
membahayakan si pasien. Menurut Bakta IM,
perhitungannya memakai rumus sebagai berikut:
(2007, hal 26-39) Kebutuhan besi [ng]= (15-Hb
sekarang) x BB x 3
3] Terapi lainnya berupa: (Bakta IM, 2007, hal 2639; Metha A, Hoffbrand AV, 2000, p.32-33)
1. Diet: perbaikan diet sehari-hari yaitu
diberikan makanan yang bergizi dengan tinggi
protein dalam hal ini diutamakan protein hewani.
2. Vitamin C: pemberian vitamin C ini
sangat diperlukan mengingat vitamin C ini akan
membantu penyerapan besi. Diberikan dengan
dosis 3 x 100mg.
3. Transfusi darah: pada anemia defisiensi
besi ini jarang memerlukan transfusi kecuali
dengan indikasi tertentu.
PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan yang terpadu sangat
diperlukan
mengingat tingginya prevalensi
defisiensi besi di masyarakat. Pencegahan dapat
dilakukan dengan memberikan
penyuluhan
kesehatan masyarakat tentang kebersihan
lingkungan tempat tinggal dan higiene sanitasi
masyarakat yang tingkat pendidikan dan faktor
sosial ekonominya yang rendah yaitu dengan
memberikan penyuluhan tentang pemakaian
jamban terutama di daerah pedesaan, atau daerah
yang terpencil Menganjurkan supaya memakai
alas kaki terutama ketika keluar rumah,
membiasakan cuci tangan pakai sabun sebelum
makan. Juga dilakukan penyuluhan gizi yaitu
penyuluhan yang ditujukan kepada masyarakat
pedesaan mengenai gizi keluarga, yaitu dengan
mengkonsumsi
makanan
yang
banyak
mengandung zat besi terutama yang berasal dari
protein hewani,yaitu daging dan penjelasan
tentang bahan –bahan makanan apa saja yang
dapat membantu penyerapan zat besi dan yang
dapat menghambat penyerapan besi.
Untuk anak sekolah dilakukan melalui UKS
(Usaha Kesehatan Sekolah) yang melibatkan
murid, guru dan orang tua dengan cara
mensosialisasikan tentang cara hidup sehat yaitu
cuci tangan sebelum makan , makan makanan
yang mengandung zat besi.
Pemberian suplementasi besi pada ibu
hamil dan anak balita. Pada ibu hamil diberikan
suplementasi besi oral sejak pertama kali
pemeriksaan kehamilannya sampai post partum,
sedangkan untuk bayi diberikan ASI dan
pemberian sayur, buah/ jus buah saat usia 6 bulan.
(Cielsa B, 2007, p. 65-70)
Selain
itu
dilakukan
upaya
pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai
sumber perdarahan kronik, yang paling sering
terjadi didaerah tropik.
PENUTUP
Anemia Defisiensi Besi merupakan jenis
anemia yang paling banyak dijumpai di
masyarakat. Banyak penyebab yang mendasari
terjadinya anemia ini, tetapi perdarahan
merupakan penyebab terbanyak terjadinya anemia
defisiensi besi ini.
Anemia Defisiensi Besi ini memberikan
dampak buruk bagi kesehatan masyarakat baik
anak-anak, para wanita baik yang hamil maupun
yang tidak, juga pada pria dewasa. Dengan
dilakukan pencegahan , masyarakat dapat
terhindar dari anemia ini, sehingga pada anakanak usia sekolah tidak terjadi penurunan prestasi
20
belajarnya dan pada orang dewasa tidak terjadi
penurunan kemampuan fisiknya yang berakibat
pada produktivitas kerja yang menurun.
Apabila sudah terjadi Anemia Defisiensi Besi
maka segera obati dengan menggunakan preparat
besi dan dicari kausanya serta pengobatan
terhadap kausa ini harus juga dilakukan. Dengan
pengobatan yang tepat dan adekuat maka Anemia
Defisiensi Besi ini dapat disembuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, IM. 2007. Hematologi Klinik Ringkas.
Jakarta: EGC.
Cielsa ,B. 2007. Hematology in Practice.
Philadelphia: FA Davis Company.
Hoffbrand, AV. et all. 2005. Kapita Selekta
Hematologi. Jakarta: EGC.
Isbister, JP. Pittiglio, DH. 1999. Hematologi
Klinik Pendekatan Berorentasi Masalah.
Jakarta: Hipokrates.
Jones, NCH. Wickramasinghe, SN. 2000.
Catatan Kuliah Hematologi. Jakarta: EGC.
Mehta, A. Hoffbrand, AV. 2000. Hematology
at Glance. London: Blackwell Science
Ltd.
Permono, B. Ugrasena, IDG. 2002.
Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak.
Surabaya: SIC.
Permono,B. Ugrasena, IDG.2004. Pedoman
Diagnosis dan Terapi. Surabaya: FK
Unair.
Sacher, RA. MC Pherson, RA. 2000 .
Widman’s Clinical Interpretation of Laboratory
Tests. Philadelphia: FA Davis Company.
Soeparman. Waspadji, S. 1990. Ilmu Penyakit
Dalam II . Jakarta: FKUI.
Theml Harald, MD. et all. 2004. Color Atlas
Hematology Practical Microscopic and
And Clinical Diagnosis. New York:
Thieme.
Tierney, LM. et all. 2001. Current Medical
Diagnosis and Treatment . San Fransisco :
Mc Graw-Hill Companies.
21
GANGLION KARPAL
Maria Juliati Kusumaningtyas
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak
Dalam kehidupan sehari-hari, ada banyak masyarakat yang mempunyai pendapat bahwa benjolan abnormal yang
muncul pada tubuh merupakan infeksi. Dilihat dari segi medis, benjolan tersebut dapat dibedakan menjadi tumor jinak
dan tumor ganas dan tidak semuanya merupakan infeksi. Beberapa kali di RS, dijumpai kasus tumor jinak, salah
satunya adalah ganglion karpal, yang di sembuhkan dengan cara melakukan operasi
Kata Kunci: benjolan abnormal, tumor jinak, tumor ganas, ganglion karpal
GANGLION KARPAL
Maria Juliati Kusumaningtyas
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract
In daily life, there are many people who have the opinion that an abnormal lump that appeared on the body is infected.
Viewed in terms of medical care, these bumps can be differentiated into benign and malignant tumors and not all are
infected. Several times in the hospital, found cases of benign tumors, one of which is carpal ganglion, which is cured by
surgery
Keywords: abnormal lumps, benign tumors, malignant tumors, carpal ganglion
B A B
I
PENDAHULUAN
B A B II
TUMOR
Sehubungan dengan beragam timbulnya
kasus-kasus bedah, mau tidak mau kita harus
mempelajari tumor, yang merupakan bagian ilmu
bedah.
Dalam ilmu bedah sendiri tidak terlepas
dari ilmu anatomi dan histology yang merupakan
ilmu-ilmu dasar untuk mempelajari ilmu bedah,
dalam hal ini tumor.
Tumor yang terjadi ternyata dapat
mengenai seluruh jaringan yang terdapat pada
tubuh manusia. Salah satunya ganglion, yang
merupakan tumor kistik yang sering timbul pada
pergelangan tangan, yang berasal dari tendon
maupun bungkus tendon itu sendiri.
Sering terjadi pada dewasa muda. Bila
menekan saraf akan menimbulkan rasa nyeri yang
membawa penderita datang berobat ke dokter.
Bagaimana tindakan selanjutnya ?
Ternyata operasi merupakan pilihan terbaik
selama ini, walaupun pelaksanaanya perlu hatihati.
Pembengkakan
Neoplasma
(tumor)
Maligna
Karsinoma
benigna
Onkologi ialah ilmu yang mempelajari
penyakit yang disebabkan oleh tumor. Dalam
artian umum, tumor adalah benjolan atau
pembengkakan abnormal dalam tubuh, tetapi
dalam artian khusus tumor adalah benjolan yang
disebabkan oleh Neoplasma.
Secara klinik, tumor dibedakan atas
golongan neoplasma dan non neoplasma misalnya
kista, radang atau hipertrofi.
Neoplasma dapat bersifat ganas atau
jinak. Neoplasma jinak tumbuh dengan batas
tegas dan tidak menyusup, tidak merusak tapi
membesar dan menekan jaringan sekitarnya
(ekspansif) dan umumnya tidak bermetastasis.
Klasifikasi patologik tumor dibuat
berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopik pada
jaringan dan sel tumor.
Neoplasma
kista
radang
hipertrofi
sarkoma
Sel tumor ialah sel tubuh yang mengalami
transformasi dan tumbuh secara autonom lepas
22
dari kendali pertumbuhan sel normal, sehingga sel
ini berbeda dari sel normal dalam bentuk dan
strukturnya. Perbedaan sifat sel tumor tergantung
dari besarnya penyimpangan dalam bentuk dan
fungsi,
otonominya
dalam
pertumbuhan,
kemampuannya mengadakan infiltrasi dan
menyebabkan metastasis.
Sel tumor bentuknya bermacam-macam
dengan warna yang beraneka (polikromasi)
Karena tingginya kadar asam nukleat dalam inti
dan tidak meratanya distribusi kromatin inti. Inti
sel relatif besar dengan rasio inti / sitoplasma
menurun. Insiden mitosis naik dan terdapat
mitosis abnormal.
Susunan sel tidak teratur (anaplastik). Sel
tumor bersifat tumbuh terus tanpa batas sehingga
tumor makin lama makin besar dan mendesak
jaringan sekitarnya.
Daur pertumbuhan sel dapat dibedakan
secara morfologik dan biokimiawi. Secara
morfologik pertumbuhan sel dapat dibedakan
menjadi dua fase, yaitu fase mitosis dan dan
interfase. Pada interfase sel baru tumbuh menjadi
dewasa sementara terjadi sintesis
DNA, RNA, enzim dan protein baru, serta
duplikasi untai tunggal kromosom menjadi untai
ganda. Lamanya interfase sangat beragam dari
beberapa jam sampai bertahun-tahun bahkan ada
sel yang tidak akan mengalami lagi fase mitosis.
B A B
III
GANGLI O N
ANATOMI
Terdapat dalam ruang dorsal ( vaginae
tendineum ) yang mengandung selubung tendo
panjang bagi sembilan otot dan diberi nomer dari
sisi radialis ke sisi ulnaris. Pada ruang pertama
(11) terdapat tendo m. Abductor policis longus
dan m. Extensor policis brevis, ruang ke-dua (12)
terdapat tendo m. Extensor carpi radialis longus
dan brevis. Ruang ke-tiga (13) terdapat tendo m.
Extensor policis longus dan ruang ke-empat (14),
terdapat tendo m. Extensor digitorum dan m.
Extensor indicis.
M. extensor digiti minimi paling panjang
diliputi selubung sinovial dan berjalan melalui
ruang ke-lima (15). Ruang ke-enam mengandung
m. Extensor carpi ulnaris.
Pada telapak tangan flexor retinaculum (10)
menyempurnakan canalis carpi dimana berjalan
nervus medianus dan berbagai selubung tendo
otot-otot flexor. Pada pangkal tangan terdapat satu
untuk m. Flexor carpi radialis (17) satu untuk
tendo m. Policis longus(18) dan selubung sinovial
tendo yang besar untuk m. Flexor digitorum
superficialis dan profundus (19).
Tendo yang panjang khususnya dilindungi baik
sekali oleh selubung ini, dan tempat-tempat di
mana mereka berjalan diatas sendi diperkuat lebih
lanjut oleh tulang rawan.
B A B
IV
A. TINJAUAN UMUM
Ganglion merupakan tumor yang biasa
terjadi pada tangan dan yang mempunyai
kekhasan timbul melebihi dari synovium suatu
sendi atau bungkus tendon atau dari tendon itu
sendiri. Tetapi bukan dari herniasi synovial sendi
atau bungkus tendon melainkan degenerasi kistik
bahan dari capsul atau sarung fibrous1. Kista yang
berdinding tipis berisi cairan musin jernih dan
kental yang asal mulanya masih belum diketahui.
Tempat yang sering ditemukan ganglion
adalah pada pergelangan tangan dorsal, di atas
ligamen penghubung os naviculare dan os
lunatum, letaknya di daerah ulna dan volar dari
arteria radialis.
Ganglion yang besar biasanya hanya
mengganggu dari segi estetik. Sebaliknya kista
yang lebih kecil, yang terletak pada kapsul
(bungkus sendi) dapat menimbulkan rasa nyeri
hebat akibat iritasi pada saraf sendi.
Ganglion pada palma manus bisa
menekan pada n. Medianus atau n. Ulnaris dengan
akibat gangguan pada fungsi saraf.
Pada sisi dorsal biasanya mengenai n.
Interoseus posterior dan di sisi volar n. Cutaneus
antebrachii latelaris. Pada kebanyakan pasien usia
muda seringkali timbul rasa nyeri pada keadaan
dorso atau palma fleksi maximal.
Kadangkala ganglion menyebabkan rasa
tak enak setempat, tetapi biasanya penderita lebih
memperhatikan mengenai bentuknya. Ganglion
cenderung mengecil secara spontan, melalui
periode jangka waktu yang lama, tapi biasanya
penderita merasa ingin menghilangkan benjolan
yang tak menyenangkan.
Ganglion yang terletak pada jari disebut juga kista
mukoid dan seringkali terjadi akibat eksostosis
dari tulang di bawahnya.
B. GAMBARAN KLINIS
Sering seorang dewasa muda datang
dengan benjolan yang tak disertai rasa nyeri,
meskipun kadang-kadang ada sedikit sakit dan
kelesuan.
Penderita
menyampaikan
timbulnya
pembesaran
lunak,
yang
mempunyai
kecenderungan semakin bertambah besar, tetapi
mempunyai ukuran yang berubah-ubah dari waktu
ke waktu.
Dapat dilihat di pergelangan tangan, baik dorsum
23
maupun sisi fleksor sendi. Bisa terjadi gangguan
pada fungsi saraf.
C. PEMERIKSAAN
Lokasi ganglion umumnya terlihat pada
lokasi berikut :
1. Dapat dilihat pada dorsum pergelangan tangan
biasanya mempunyai suatu tangkai
yang meluas ke sendi.
2.
Ganglion yang terlihat pada sisi fleksor
pergelangan tangan biasanya berdekatan
dengan tendon fleksor carpi radialis dan
memiliki tangkai pada sendi pantrapezial.
3. Ganglion bisa timbul dari bungkus tendon
bagian fleksor dan biasanya tampak kecil,
lembut, nodul ukuran kecil pada dasar jari.
4. Suatu ganglion yang timbul dari sendi distal
interfalang yang disebut kista mukoid.
Struktur ini berasal dari sendi bertangkai yang
memanjang diantara insersi tendon
ekstensor dan batas osteofit.
Biasanya ganglion terlalu kecil, untuk
membuat tes transiluminasi. Kadangkala dapat
merasa lebih terasa saat tendon dalam posisi kerja
(action).
Pada kista mukoid dilakukan pemeriksaan
foto rontgen jari-jari di daerah sendi interfalang
distal, untuk mengetahui adanya eksostosis yang
dapat merupakan penyebabnya.
Bila perlu dilakukan diafanoskopi untuk
memastikan diagnosa suatu tumor kistik.
Untuk mengetahui secara tak langsung adanya
suatu ganglion intrakapsuler diatas ligamenta
skapolumer dorsalis, dilakukan blokade nervus
interosseus posterior kurang lebih 2 jari proksimal
dari sendi pergelangan tangan dengan anesthesi
lokal, karena iritasi saraf oleh ganglion tersebut
dapat menimbulkan rasa nyeri.
pengobatan konservatif. Jika suatu ganglion
dengan sengaja dipecahkan oleh tekanan yang
kuat, dengan atau tanpa jarum hal ini cenderung
untuk kambuh. Cairan ganglion yang kental
(mukus) hanya dapat diaspirasi dengan jarum
ukuran besar.
Seringkali ganglion dapat mengecil/
menghilang secara spontan, maka bila tak ada rasa
nyeri diajukan untuk dibiarkan saja dahulu.
F. INDIKASI OPERASI
Seperti juga tumor-tumor jaringan lunak
lainnya maka dilakukan tindakan bedah atas
indikasi diagnostik.
Juga atas indikasi kosmetik, atau bila ada
rasa nyeri atau timbulnya gangguan neurologik
misalnya rasa lemah pada ekstremitas tempat
ganglion timbul, maka dikakukan tindakan bedah.
G. TEKNIK OPERASI
Dilakukan ekstirpasi total seluruh
bungkusnya (kapsulnya) sampai dasar, serta
bagian-bagian kapsul sendi yang berdekatan. Pada
daerah sendi interfalangs distal, dibuang juga
kelainan-kelainan degeneratif yang ada tonjolan
atau penulangan disekitar sendi akibat artrosis
seperti eksostosis.
Juga dilakukan reseksi kulit yang melekat erat di
atasnya, lalu defek(celah) dikoreksi dengan
”rotation flap”. Karena operasi membuka kapsul
sendi besar maka bila ada iritasi saraf yang
mengakibatkan
rasa
nyeri
hebat
harus
dipertimbangkan untuk dilakukan reseksi terbatas
pada serabut saraf (nervus) tersebut (misalnya m.
Interosseus posterior)
RINGKASAN
-
D. DIAGNOSA BANDING
Tumor jaringan lunak lain yang sifatnya
padat misalnya : lipoma, fibroma, yang seringkali
pada palpasi sulit dibedakan dengan kista yang
terisi penuh. Di sini kadang-kadang dapat
dibedakan dengan difanoskopi.
“Giant cell tumor” yang seringkali
multinoduler dan berkonsistensi padat, dapat
merusak atau merobek septum lateral jari.
Kista yang melingkar (berbentuk cincin)
sering terdapat di daerah lipatan di atas sendi
metakarpofalangeal. Ini berasal dari ligamenta
koronaria (cincin) dan dapat dihilangkan dengan
ditusuk jarum atau dengan menoreh bungkus
tendonya.
E. PENGOBATAN KONSERVATIF
Pada
umumnya
tak
dianjurkan
-
-
-
Ganglion merupakan tumor kistik yang
berdinding tipis berisi cairan mukoid.
Lokasi tersering adalah pergelangan
tangan terutama bagian dorsal.
Ganglion cenderung mengecil secara
spontan melalui periode jangka waktu
yang lama.
Jika suatu ganglion dengan sengaja di
pecahkan oleh tekanan yang kuat dengan
atau tanpa jarum, hal ini cenderung
mengalami kekambuhan.
Tetapi dengan eksisi, pembedahan harus
dilakukan dengan seksama.
DAFTAR PUSTAKA
24
1. Apley & Solomon, in Apley’s System of
Orthopaedics and Fractures
Edisi VII Butterworth Heinemann Ltd
1993. Hal 308
2.
Campbell’s, in Operative Orthopaedics,
Edisi VI The C.V Mosby Company
St. Louis Toronto London 1980. Hal 376378
3.
Klaue Peter, dalam Ikhtisar Bedah Minor,
Edisi 2, penerbit Hipokrates Jakarta
1995 hal 106 – 109
4.
Platzer Werner, dalam ATLAS dan buku
teks Anatomi Manusia, bagian I
EGC Jakarta 1983
5.
R. Sjamsuhidayat – Wim de jong, dalam
Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi,
Penerbit Buku Kedokteran EGC Jakarta 1998
hal 1246 -1247
6.
Sabiston D.C dalam Buku Ajar Bedah
Bagian 2, Penerbit Buku EGC,cetakan I
Jakarta 1994, hal 365-366
7.
Salter R.B, in Text Book of Disorders and
Ijuries of the Muskuloskeletal System,
Second edition, Waferly Press INC USA
1983 hal 247 – 248
8.
Schwartz Seymour I. M.D, in Principles of
Surgery, sixth edition,
Mc. Graw Hill Inc. p. 2019 – 2020
25
SINDROM STEVENSS – JOHNSON
Monica
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak
Stevens Johnson'syndrome adalah sindrom yang berpengaruh pada kulit, mukosa, di mulut dan mata dengan
beberapa kondisi, dari ringan sampai severe.This penyakit adalah akut dan dalam beberapa kondisi parah, dapat
menyebabkan death.Therefore, sindrom ini adalah terburuk disease.It kulit dianggap sebagai semacam Eritema
multiforme.
Ada beberapa sinonim yang dapat digunakan untuk penyakit ini, misalnya Ektodermosis Erosiva Pluriorificialis,
sindrom Mucocutanea-Okular's, Eritema Multiformis jenis Hebra, Eritema multiforme Exudatorum dan Eritema Bulosa
maligna. Namun, sebagian besar disebut sebagai Sindrom Stevens Johnson.
Penyebab penyakit ini tidak diketahui bahkan sampai multifaktorial. Salah satu penyebab yang sering muncul
adalah karena alergi obat umum. Seperti kita ketahui, orang lebih suka membeli obat bebas di luar apotek sendiri karena
lebih murah daripada pergi ke dokter. Itulah mengapa para korban penyakit ini semakin meningkat.
Sehingga, penyakit ini harus diketahui oleh dokter karena dapat menyebabkan kematian. Tapi bisa melengkung
dengan terapi penyembuhan yang tepat dan cepat.
Kata Kunci : Sindrom Stevens Johnson, Alergi, Autoimmune
SINDROM STEVENSS – JOHNSON
Monica
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrack
Stevens Johnson’syndrome is a syndrome that affected to the skin,mucous,in orifice and eyes with several
conditions,from the mild to severe.This disease is acute and in some severe conditions,it can cause death.Therefore,this
syndrome is the worst skin’s disease.It is considered as a kind of Eritema Multiforme.
There are several synonym that can be used for this disease,for example Ektodermosis Erosiva Pluriorificialis,
Mucocutanea-Okular’s syndrome, Eritema Multiformis type Hebra, Eritema Multiforme Exudatorum and Eritema
Bulosa Maligna. However,it mostly called as Stevens Johnson’s Syndrome.
The cause of this disease is until unknown even multifaktorial. One of the cause that commonly appear is because of
medicine general allergic. As we know,people prefer to buy medicine freely outside the drugstore by themselves
because it’s cheaper than going to the doctor. That’s why the victims of this disease is getting increase.
So that, this disease should be known by the doctors because it can cause death. But it can be curved with the right
therapy and rapidly healing.
Keywords : Stevens Johnson’s syndrome, Allergic, Autoimmune
BAB I
PENDAHULUAN
Sindroma Stevens-Johnson merupakan
suatu sindroma(kumpulan gejala) yang mengenai
kulit,selaput lendIr di orificium dan mata dengan
keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai
berat. Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk
yang berat dapat menyebabkan kenmatian, Oleh
karena itu penyakit ini merupakan salah satu
kegawat daruratan penyakit kulit. Sindrom ini
dianggap sebagai jenis dari Eritema Multiforme.
Ada berbagai sinonim yang digunakan
untuk
penyakit
ini,
diantaranya
EktodermaEerosive Pluriorifisialis, Sindroma
Mukokutanea-Okuler, Eritema Multiformis tipe
Hebra,
Eritema
Mulitiforme
Exudatorum
danEeritema Bulosa Maligna. Meskipun demikian
yang umum digunakan ialah Sindroma stevens-
Johnson.
Penyebab yang pasti dari penyakit ini belum
diketahui, bahkan dikatakan Multifaktorial. Salah
satu penyebab yang dianggap sering ialah alergi
sistemik terhadap obat. Sebagaimana kita ketahui
hampir semua obat dapat dibeli bebas diluar
apotik dan adanya kecenderungan para pasien
mengobati dirinya sendiri lebih dahulu sebelum
berobat ke dokter karena faktor biaya. Oleh
karena itu penyakit ini makin sering ditemukan.
Penyakit ini perlu diketahui oleh para dokter
karena dapat menyebabkan kematian, tetapi
dengan terapi yang tepat dan cepat,umumnya
penderita dapat diselamatkan.
26
BAB II
SINDROMA STEVENS-JOHNSON
Typhoid Fever.
c.Jamur
2.1 BATASAN
Sindroma Stevens-Johnson merupakan
suatu sindroma(kumpulan gejala) akut yang
mengenai kulit,selaput lendir di orificium dan
mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari
ringan sampai berat. Penyakit ini sering dianggap
sebagai bentuk dari Eritema Multiforme yang
berat.
2.2 INCIDENCE
Penyakit ini umumnya menyerang anak-anak
dan dewasa maupun muda, jarang dijumpai pada
anak usia 3 tahun kebawah. Perbandingan antara
pria dan wanita tidak berbeda jauh di rumah Sakit
Ciptomangunkusumo setiap tahun kira-kira
ditemukan 10 kasus.
2.3 EPIDEMIOLOGI
Pada cuaca yang dingin penyakit ini sering
ditemukan.Juga adanya factor fisik pada
lingkungan seperti sinar matahari dan sinar X
akan mempengaruhi timbulnya sindrom ini.
2.4 ETIOLOGI
Penyebab yang pasti belum diketahui,
dikatakan Multifaktorial. Ada yang beranggapan
bahwa sindrom ini merupakan Eritema
Multiforme yang berat dan disebut Eritema
Multiforme
Mayor,
sehingga
dikatakan
mempunyai penyebab yang sama.
Beberapa factor yang dapat menyebabkan
timbulnya sindrom ini antara lain:
1. Infeksi
a.Virus
Sindrom Stevens-Johnson dapat
terjadi pada stadium permulaan dari
infeksi salauran nafas atas oleh virus
pneumonia. Hal ini dapat terjadi pada
Asian flu ,Lympho Granuloma Venerium,
Measles, Mumps dan vaksinasi Smallpox
virus.
Virus-virus Coxsackie, Echovirus dan
Poliomyelitis juga dapat menyebabkan
Sindroma Stevens-Johnson.
b.Bakteri
Beberapa bakteri yang mungkin
dapat menyebabkan Sindroma StevensJohnson ialah Brucellosis,Dyptheria,
Erysipeloid,
Glanders,
Pneumonia,
Psittacosis,
Tuberculosis,
Tularemia,Lepromatous Leprosy atau
Coccidiodomycosis
dan
Histoplasmosis
dapat
menyebabkan
Eritema Multiforme Bulosa, yang pada
keadaan berat juga dikatakan sebagai
Sindroma Stevens-Johnson.
d.Parasit
Malaria dan Trichomoniasis juga
dikatakan sebagai agen penyebab.
2. Alergi Sistemik terhadap:
a.Obat
Berbagai obat yang diduga dapat
menyebabkan Sindrom Stevens-Johnson
antara lain: Penisilin dan derivatnya,
Streptomysin, Sulfonamide, Tetrasiklin,
Analgesik/antipiretik (misalnya Derivat
Salisilat
,Pirazolon,
Metamizol,
Metampiron dan Paracetamol), Digitalis,
Hidralazin,
Barbiturat(Fenobarbital),
Kinin
Antipirin
,Chlorpromazin
,Karbamazepin dan jamu-jamuan.
b.Zat tambahan pada makanan(Food
Additive) dan zat warna
c.Kontaktan:
Bromofluorene, Fire sponge(Tedania
Ignis) dan rhus(3- Pentadecylcatechol).
d.Faktor Fisik:
Sinar X, sinar matahari, cuaca dan lainlain.
3. Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler.
4. Pasca vaksinasi :
BCG, Smallpox dan Poliomyelitis.
5. Penyakit-penyakit keganasan :
Karsinoma penyakit Hodgkins,
Myeloma, dan Polisitemia.
Limfoma,
6. Kehamilan dan Menstruasi.
7. Neoplasma.
8. Radioterapi.
Pada sebagian penderita tidak diketahui
penyebabnya. Yang diduga sebagai penyebab
tersering ialah alergi Sistematik terhadap obat dan
infeksi.
27
2.5 PATOGENESA
Patogenesanya belum jelas, mungkin
disebabkan oleh reaksi alergi tipe III dan IV.
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya
kompleks Antigen Antibodi yang membentuk
Mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistim
komplemen. Akibatnya terjasi Akumulasi
Neutrofil yang kemudian melepaskan Lisosim dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ
sasaran ( Target Organ ) .
Reaksi
tipe I V terjadi
akibat
Limposit T yang tersensitisasi
berkontak kembali dengan antigen yang sama,
kemudian Limfokin dilepaskan sehingga terjadi
reaksi radang.
2.6 HISTOPATOLOGI
Gambaran
Histopatologinya
sesuai
dengan Eritema Multiforme, bervariasi dari
perubahan Dermal yang ringan sampai Nekrolisis
Epidermal yang menyeluruh. Kelainan berupa :
1. Infiltrat Sel Mononuklear disekitar
pembuluh – pembuluh darah Dermis
Superfisial.
2. Edema dan Ekstravasasi sel darah
merah di Dermis Papular.
3. Degenerasi Hidrofik lapisan Basalis
sampai
terbentuk
Vesikel
Subepidermal.
4. Nekrosis sel Epidermal dan kadang –
kadang di Adnexa.
5. Spongiosis dan Edema Interasel di
Epidermis.
Pemeriksaan histopatologi tidak penting
untuk diagnosis, karena kelainannya
sesuai dengan Eritema Multiforme
2.7 IMUNOLOGI.
Pada sebagian besar kasus terdapat
kompleks Imun yang mengandung Ig G, Ig M, Ig
A secara sendiri atau dalam kombinasi. Beberapa
kasus menunjukan deposit Ig M dan C3 di
pembuluh darah Dermal Superfisial dan pada
pembuluh darah yang mengalami kerusakan.
2.8 GEJALA KLINIS
Perjalanan penyakit sangat akut dan
mendadak dapat di sertai gejala
prodromal
berupa demam tinggi ( 30 C – 40 C ), mulai
nyeri
kepala, batuk ,pilek dan nyeri tenggorokan yang
dapat berlangsung 2 minggu. Gejala – gejala ini
dengan segera akan menjadi berat yang ditandai
meningkatnya kecepatan nadi dan pernafasan,
denyut nadi melemah, kelemahan yang hebat serta
menurunnya kesadaran, soporous sampa
i koma.
Pada sindroma ini terlihat adanya trias kelainan
berupa :
a. Kelainan kulit.
b. Kelainan selaput lendir di
orifisium.
c. Kelainan mata.
Kelainan pada kulit dapat berupa Eritema,
vesikal, dan bulla. Eritema berbentuk cincin
(pinggir
Eritema
tengahnya
relative
hiperpigmentasi ) yang berkembang menjadi
urtikari atau lesipapuler berbentuk target dengan
pusat ungu atau lesi sejenis dengan vesikel kecil.
Vesikel kecil dan Bulla kemudian memecah
sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping tiu
dapat juga terjadi Erupsi Hemorrhagis berupa
Ptechiae atau Purpura. Bila disertai Purpura prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada keadaan
yang berat kelainannya menjadi Generalisata.
Kelainan selaput lendir di orifisium yang
tersering ialah pada mukosa mulut / bibir (100%),
kemudian disusul dengan kelainan dilubang alat
genetalia (50%), sedangkan di lubang hidung dan
anus jarang (masing – masing 8%-4%).
Kelainan yang terjadi berupa Stomatitis
dengan vesikel pada bibir, lidah, mukosa mulut
bagian Buccal Stomatitis merupakan gejala yang
dini dan menyolok.
Stomatitis ini kemudian menjadi lebih
berat dengan pecahnya vesikel dan Bulla sehingga
terjadi erosi, excoriasi, pendarahan, ulcerasi dan
terbentuk krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk
pseudomembran.
Di bibir kelainan yang sering tampak
ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Adanya
stomatitis ini dapat menyebabkan penderitaan
sukar menelan.
Kelainan Dimukosa dapat juga terjadi di
Faring, Traktus Respiratorius bagian atas dan
Esophagus. Terbentuknya Pseudo membrane di
Faring dapat memberikan keluhan sukar bernafas
dan penderita tidak dapat makan dan minum.
Kelainan pada mata merupakan 80%
diantar semua kasus, yang sering terjadi ialah
Conjunctivitis Kataralis. Selain itu dapat terjadi
Conjunctivitis Purulen, pendarahan, Simblefaron ,
Ulcus Cornea, Iritis/Iridosiklitis yang pada
akhirnya dapat terjadi kebutaan sehingga dikenal
trias yaitu Stomatitis, Conjuntivitis, Balanitis,
Uretritis.
Pernah dilaporkan pada beberapa kasus
dapat tanpa disertai kelainan kulit, penderita ini
hanya menunjukan Stomatitis, Rhinitis dengan
Epistaxis, Conjunctivitis dan kadang – kadang
Uretritis. Tapi pada hamper semua kasus diikuti
kelainan kulit berupa Vesiko Bulosa atau Erupsi
Hemorrhagis, khususnya pada wajah, tangan dan
28
kuku.
Selain trias kelainan diatas organ – organ
dalm juga dapat di serang, misalnya paru,
Gastrointestinal, Ginjal (Nefritis) dan Onikolisis.
2.9 DIAGNOSA
Diagnosa dapat dibuat berdasarkan anamnesa
dan gambaran klinis. Pada Anamnesa hendaknya
ditanyakan secara teliti apakah ada hubungannya
dengan alergi obat secara sistemik. Pada kasuskasus dimana telah mengalami dua kali reaksi
alergi dengan obat yang sama membuktikan
bahwa memang obat tersebutlah yang menjadi
penyebabnya.
Gambaran Klinis khas berupa adanya trias
kelainan yaitu kelainan pada kulit, selaput lendir
orifisium dan mata. Keadaan Umum penderita
bervariasi dari ringan sampai berat.
Pemeriksaan laboratorium darah dapat
membantu
memperkirakan
kemungkinan
penyebab meskipun tidak khas. Jika terdapat
lekositosis
menunjukkan
penyebabnya
kemungkinan karena infeksi. Bila terdapat
Eosinofilia kemungkinan karena alergi. Jika
disangka penyebabnya karena infeksi dapat
dilakukan kultur darah.
2.10 DIAGNOSA BANDING
Beberapa penyakit yang dapat merupakan
diagnosa banding Sindrom Stevens-Johnson ialah:
1. Nekrolisisi Epidermal Toksik (NET)
Penyakit ini sangat mirip dengan
Sindrom Stevens- Johnson.
Pada
NET
terdapat
Epidemolisis(Epidermis terlepas dari
dasarnya) yang menyeluruh dan
keadaan umum penderita biasanya lebih
buruk/berat.
2. Pemfigus Vulgaris
Sering dijumpai pada orang
dewasa, keadaan umum buruk, tidak
gatal, bula
berdinding kendor dan
biasanya generalisata.
3. Pemfigoid Bulosa
Pada penyakit ini keadaan
umumnya baik, dinding bula tegang,
letaknya subepidermal.
4. Dermatitis Herpertiformis
Didapatkan keadaan umum yang
baik, keluhan dengan gatal dan dinding
vesikel/bula tegang dan berkelompo
2.11 PENATALAKSANAAN
Penanganan terhadap penderita Sindrom
Stevens-Johnson memerlukan tindakan yang tepat
dan cepat.penderita biasanya memerlukan
perawatan di rumah sakit. Penanganan yang perlu
dilakukan meliputi:
1. Kortikosteroid
Penggunaan obat Kortikosteroid
merupakan tindakan life-saving. Pada
Sindrom Stevens –Johnson yang ringan
cukup diobati dengan Prednison dengan
dosis 30-40mg/hari. Pada bentuk yang
berat, ditandai dengan kesadaran yang
menurun dan kelainan yang menyeluruh,
digunakan Dexametason intravena dengan
dosis awal 4-6x5 mg/hari.
Setelah beberapa hari (2-3 hari)
biasanya mulai tampak perbaikan (masa
kritis telah teratasi),ditandai dengan
keadaan umum yang membaik,lesi kulit
yang baru tidak timbul sedangkan lesi
yang lama mengalami Involusi. Pada saat
ini dosis Dexametason diturunkan secara
cepat, setiap hari diturunkan sebanyak 5
mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari
lalu diganti dengan tablet Prednison yang
diberikan pada keesokan harinya dengan
dosis 20 mg sehari. Pada hari berikutnya
dosis diturunkan menjadi 10 mg,
kemudian obat tersebut dihentikan. Jadi
lama pengobatan kira-kira 10 hari.
2.Antibiotika
Penggunaan
Antibiotika
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
infeksi akibat efek Imunosupresif
Kortikosteroid yang dipakai pada dosis
tinggi. Antibiotika yang dipilih hendaknya
yang jarang menyebabkan alergi,
berspektrum luas dan bersifat bakterisidal.
Di RS Cipto mangunkusumo
dahulu biasa digunakan Gentamisin
dengan dosis 2 x 60-80 mg/hari. Sekarang
dipakai Netilmisin Sulfat dengan dosis 6
mg/kg BB/hari,dosis dibagi dua. Alasan
menggunakan obat ini karena pada
beberapa kasus mulai resisten terhadap
Gentamisin, selain itu efek sampingnya
lebih kecil dibandingkan Gentamisin.
3. Menjaga
Keseimbangan Cairan,
Elektrolit dan Nutrisi.
Hal ini perlu diperhatikan karena
penderita mengalami kesukaran atau
bahkan tidak dapat menelan akibat lesi di
mulut dan di tenggorokan serta kesadaran
yang menurun. Untuk ini dapat diberikan
infuse berupa Glukosa 5% atau larutan
Darrow.
Pada pemberian Kortikosteroid
29
terjadi retensi Natrium, kehilangan
Kalium dan efek Katabolik. Untuk
mengurangi efek samping ini perlu
diberikan diet tinggi protein dan rendah
garam, KCl 3 x 500mg/ hari dan obatobat Anabolik.
Untuk mencegah penekanan
korteks kelenjar Adrenal diberikan ACTH
(Synacthen depot) dengan dosis 1 mg/
hari setiap minggu dimulai setelah
pemberian Kortikosteroid.
4. Transfusi Darah
Bila dengan terapi diatas belum
tampak tanda-tanda perbaikan dalam 2-3
hari, maka dapat diberikan transfuse darah
sebanyak 300-500 cc setiap hari selama 2
hari berturut-turut.
Tujuan pemberian darah ini untuk
memperbaiki keadaan umum dan
menggantikan kehilangan darah pada
kasus dengan purpura yang luas. Pada
kasus Purpura yang luas dapat
ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000
mg sehari intravena dan obat-obat
Hemostatik.
5.Perawatan Topikal
Untuk lesi kulit yang erosive
dapat diberikan Sofratulle yang bersifat
sebagai protektif dan antiseptic atau Krem
Sulfadiazin Perak. Sedangkan untuk lesi
dimulut/bibir dapat diolesi dengan
Kenalog in Orabase.
Selain pengobatan diatas, perlu
dilakukan konsultasi pada beberapa
bagian yaitu ke bagian THT untuk
mengetahui apakah ada kelainan di
Faring,karena kadang-kadang terbentuk
pseudomembran yang dapat menyulitkan
penderita bernafas dan sebagaian penyakit
dalam.
Pemeriksaan sinar X Thoraks
perlu dilakukan untuk mengetahui apakah
ada kelainan pada paru, misalnya
tuberculosis atau Bronchopneumonia
Aspesifik.
2.12 KOMPLIKASI
Komplikasi
yang
tersering
ialah
Bronchopneumonia
(16%)
yang
dapat
menyebabkan kematian. Komplikasi yang lain
ialah kehilangan cairan atau darah ,gangguan
keseimbangan
elektrolit
sehingga
dapat
menyebabkan shock .Pada mata dapat terjadi
kebutaan karena gangguan Lakrimasi.
2.13 PROGNOSIS
Dengan penanganan yang tepat dan cepat
maka prognosis Sindrom Stevens-Johnson sangat
baik. Dalam kepustakaan angka kematian berkisar
antara 5-15%. Dibagian kulit dan kelamin RS
Ciptomangunkusumo angka kematian hanya
sekitar 3,5%. Kematian biasanya terjadi akibat
sekunder infeksi.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan :
1.Sindrom Stevens Johnson merupakan
suatu sindroma yang bersifat akut, yang
bila
berat
dapat
menyebabkan
kematian. Penyakit ini merupakan salah
satu kegawat daruratan penyakit kulit.
2.Penyebab yang pasti belum diketahui
dapat
dikatakan
multifaktorial.yang
diduga sebagai penyebab tersering ialah
alergi sistemik terhadap obat dan infeksi,
3.Penyakit ini umumnya menyerang anak
dan dewasa muda.
4.Pada Sindrom Stevens Johnson ini
ditemukan adanya trias kelainan berupa
kelainan kulit,kelainan selaput lendir di
orificium dan kelainan mata.
5.Penggunaan obat Kortikosteroid untuk
tindakan live saving merupakan pilihan
utama.
6.Komplikasi yang tersering
Bronchopneumonia
yang
menyebabkan kematian.
adalah
dapat
7.Dengan penanganan yang tepat dan
cepat maka prognosis Sindrom Stevens
Johnson sangat baik.
3.2 Saran:
1.Sebaiknya
para dokter mewaspadai
timbulnya sindrom Stevens Johnson pada
anak-anak bila panas tinggi timbul beberapa
hari sesudah munculnya gejala pada kulit
disertai keadaan umum yang memburuk serta
tidak ditemukannya hasil laboratorium yang
spesifik.
30
2. Menanyakan kepada penderita yang datang
berobat apakah alergi terhadap obat tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
1.Djuanda A.:”Sindroma Stevens-Johnson”
,MDK,vol.9 no.4, Mei 1990,halaman 50.
2.Domonkos AN, Arnold HL, Odom
RB.:”Eritema
Multiforme
Exudativum”,”Stevens
Johnson
Syndrome”,Andrew’s Disease of the Skin
Clicical
Dermatology,Igaku
Shoin/Saunders,Tokyo,Seventh
Edition,1982,page 147-150,150-151.
3.Hamzah M.:”Sindroma Stevens-Johnson”
,Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Balai
Penerbit
FKUI,
Jakarta,edisi
kedua,
1993,halaman 127-129.
4.Sularsito
SA,Soebaryo
RW,Kuswadji:
Sindroma Stevens-Johnson” ,Dermatologi
Praktis, Perkumpulan ahli DermatoVenereologi
Indonesia,
Edisi
Pertama,1986,halaman 121.
31
DETEKSI HEPATITIS C
Toni
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak
:
Kata kunci
:
Hepatitis C adalah virus yang menyerang hati sering diam-diam kebanyakan orang yang
terinfeksi dengan Hepatitis C Virus (HCV) tidak memiliki gejala sama sekali. Hepatitis C
merupakan salah satu dari enam virus hepatitis diidentifikasi (yang lain adalah A, B, D, E, G,
tt). Semua menyebabkan hati menjadi meradang. Hepatitis C umumnya dianggap yang paling
serius dari virus. Seiring waktu jika Anda memiliki infeksi Hepatitis C dapat menyebabkan
kehidupan kanker, gagal hati atau sirosis ireversibel dan bekas luka fatal dari hati. Pengobatan
HCV telah berkembang dari penggunaan agen tunggal interferon dan ribavirin. Tujuan
pengobatan adalah pencapaian berkelanjutan (24-48 penghentian perawatan pasca minggu).
Tranaminase dan respon virologi (PCR negatif) dengan perbaikan histologis.
Hepatitis, Meradang, Kanker Hati, Sirosis
DETECTION HEPATITIS C
dr. Toni
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract
:
Keywords
:
Hepatitis C is a virus that often silently attacks liver most people infected with the Hepatitis C
Virus (HCV) have no symptoms at all. Hepatitis C is one of six identified hepatitis viruses (the
other are A, B, D, E, G, tt). All cause the livers to become inflamed. Hepatitis C is generally
considered to be among the most serious of these viruses. Over time if you have a Hepatitis C
infection it can lead to lives cancer, liver failure or cirrhosis irreversible and potentially fatal
scarring of the livers. The treatment of HCV has evolved from use of single agent interferon
and ribavirin. The goal of treatment is the achievement of sustained (24-48 weeks post
treatment cessation). Tranaminase and virological respon (PCR negative) with histological
improvement.
Hepatitis, Inflamed, Liver Cancer,Cirrhosis
PENDAHULUAN
Sejak tahun 1970, ketika virus nonA nonB
pertama kali diperkenalkan, sampai awal tahun
1990 ketika Houghton dan kawan kawan sukses
mengkloning virus ini, terdapat perbedaan
interpretasi
mengenai
perkembangan
dan
prognosa virus hepatitis C. Selanjutnya test anti
HCV yang menandakan virus hepatitis C dapat
dikembangkan. (Bals .M, 2006, p 249).
Virus hepatitis C adalah nama yang telah
diberikan salah satu jenis virus hepatitis dari virus
hepatitis lainnya (Hepatitis A, B, D, G, tt). Virus
ini ditemukan pada tahun 1989, dan menjadi
penyebab kasus hepatitis NANB pasca transfusi.
Pada tahun 1970 dikenal kasus kasus hepatitis
pasca transfusi. Virus hepatitis C merupakan virus
hepatitis dengan masa inkubasi yang lama dan
sering ditandai dengan gejala subklinis yang
ringan , tetapi dengan tingkat kronisitas dan
progresifitas kearah sirosis. (Kurstak, 1993,
p.177)
Penyakit Hepatitis C adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus hepatitis C, virus ini
merupakan jenis virus RNA dari keluarga
Flaviviridae. Terdapat 6 genotip HCV dan lebih
dari 50 subtipe. Respons limfosit T yang menurun
dan kecenderungan virus untuk bernutasi
nampaknya menyebabkan tingginya angka infeksi
kronis
(PPHI,
2003,
hal
8)
32
Gambar virus hepatitis C (http://www.medicastore.com/hepatitisC/infeksi
hepatitis.htm)
Virus hepatitis C paling berbahaya
dibandingkan dengan virus hepatitis lainnya,
karena 80% penderita terinfeksi bisa menjadi
infeksi yang menahun dan bisa berkelanjutan
menjadi hepatitis kronik kemudian sirosis hati,
kanker hati dan kematian. Proses perjalanan
ini memerlukan waktu yang panjang hingga
belasan atau puluhan tahun. Virus ini dapat
bermutasi dengan cepat, perubahan-perubahan
protein kapsul yang membantu virus
menghindarkan sistim imun. Genotip genotip
yang berbeda mempunyai perbedaan distribusi
geografi. Genotipe 1a dan 1b paling banyak di
Amerika, kira-kira 75% dari kasus. Genotip 2,
3 dan 4 hanya 30% dari kasus. Di Jepang dan
Cina tipe 2 lebih sering dijumpai , tipe 3 sering
dijumpai di Eropa dan Inggris, tipe 4 banyak
ditemui di Timur Tengah dan Afrika. Tipe 5
banyak di Afrika dan sedikit di Amerika Utara,
jenis tipe 6 banyak ditemukan di Hongkong
dan Macau. Genotipe 1a dan 1b merupakan
jenis yang resisten terhadap pengobatan dan
manifestasi
penyakit
umumnya
berat.(Sulaiman HA, Julitasari, 2004,hal 12).
Keberagaman genetik HCV memiliki
implikasi diagnostik dan respon terapi sedikit.
Pada genotip 1 bertanggung jawab hingga 6065% semua infeksi virus hepatitis C di
Indonesia. Genotip ini memiliki respon
pengobatan lebih rendah dibandingkan genotip
lainnya. Karena keberagaman ini yang
menyebabkan sulit untnk mengembangkan
vaksin dan respon terapi.(PPHI, 2003, hal 8)
Kira-kira
sepertiga
kanker
hati
disebabkan oleh hepatitis C. Hepatitis C yang
menjadi kanker hati terus meningkat diseluruh
dunia karena banyak orang terinfeksi virus
hepatitis C tiap tahunnya. Saat hati menjadi
rusak, maka hati tersebut akan memperbaiki
sendiri dengan membentuk jaringan parut,
jaringan parut ini disebut fibrosis. Semakin
banyaknya jaringan parut menunjukan
semakin parahnya penyakit, sehingga hati
menjadi sirosis.
Mengingat pada penderita hepatitis C
cenderung menjadi kronik dan mengarah ke
kanker hati, serta belum ditemukannya vaksin
maka penulis ingin mengupas seputar penyakit
hepatitis C.
33
EPIDEMIOLOGI
Menurut WHO tahun 1999 kira-kira 170
juta orang terinfeksi hepatitis C atau 3% dari
populasi dunia dan akan berkembang menjadi
sirosis hepar dan kanker hati. . Secara
keseluruhan ada 130 negara dimana yang
melaporkan terinfeksi HCV.
Data di
Indonesia, pravelensi HCV Berkisar antara 0,5
– 3,4% menunjukkan sekitar 1 – 7 juta
penduduk Indonesia mengidap infeksi virus C.
Di Asia,infeksi HCV diperkirakan bervariasi
dari 0,3 % di Selandia Baru sampai 4% di
Kamboja. Data didaerah Pasifik diperkirakan
sekitar 4,9%.Di Timur Tengah angka yang
pernah dilaporkan adalah 12% pada beberapa
pusat penelitian. ( Hernomo K, 2003, hal 21)
Transmisi HCV terjadi terutama melalui
paparan darah yang tercemar. Paparan ini
biasanya terjadi pada pengguna narkoba
suntik, transfusi darah (sebelum 1992),
pencangkokan organ dari donor yang
terinfeksi, praktek medis yang tak aman,
paparan okupasional terhadap darah yang
tercemar, kelahiran dari ibu yang terinfeksi,
hubungan seksual dengan
orang yang
terinfeksi, perilaku seksual resiko tinggi dan
kemungkinan penggunaan kokain intranasal,
di Amerika lebih dari 60% dari penderita
hepatitis C yang baru disebabkan oleh
pemakaian obat obatan intravena. (Bals M,
2006, p. 250) Virus ini baru-baru ini
ditemukan sebagai penyebab utama hepatitis
non A, non B yang diperoleh secara parenteral
terutama melalui transfusi darah. (Sacher RA,
Mc Pherson RA, 2000, p. 381)
GEJALA KLINIK
Sering kali orang yang menderita
hepatitis C tidak menunjukkan gejala
walaupun infeksi telah terjadi bertahun-tahun
lamanya. Gejala-gejala di bawah ini mungkin
samar, misalnya lelah, perasaan tidak enak
pada perut kanan atas, hilang selera makan,
sakit perut, mual, muntah ,pemeriksaan fisik
seperti normal atau menunjukan pembesaran
hepar sedikit. Beberapa pasien didapatkan
spidernevi, atau eritema Palmaris. (Bell B,
2009)
Hasil laboratorium yang menyolok
adalah peninggian SGOT dan SGPT yang
terjadi pada kurun waktu 2 sampai 26 minggu
setelah tertular. Masa inkubasinya diantara
hepatitis akut A dan hepatitis B, dengan
puncaknya diantara 7 sampai 8 minggu setelah
terkena infeksi. (Sulaiman HA, Julitasari,
2004, hal 17)
Penderita infeksi HCV biasanya berjalan
sublinik, hanya 10% penderita yang dilaporkan
mengalami kondisi akut dengan ikterus.
Infeksi HCV jarang menimbulkan hepatitis
fulminan, namun infeksi HCV akut yang berat
pernah dilaporkan pada penderita resipien
transplantasi hati, penderita dengan dasar
penyakit hati menahun dan penderita dengan
koinfeksi HBV (Hernomo K, 2003, hal. 22)
Meskipun kondisi akutnya ringan
sebagian besar akan berkembang menjadi
penyakit hati menahun (Harrison’s, 1998,
p.149). Infeksi HCV dinyatakan kronik kalau
deteksi RNA HCV dalam darah menetap
sekurang-kurangnya 6 bulan. Secara klinik
hepatitis C mirip dengan infeksi hepatitis B.
Gejala awal tidak spesifik dengan gejala
gastrointestinal diikuti dengan ikterus dan
kemudian diikuti perbaikan pada kebanyakan
kasus. ( PPHI, 2003, hal 21)
Infeksi kronik hepatitis C menunjukan
dampak klinik yang jauh lebih berat
disbanding infeksi hepatitis B. Kedua infeksi
virus ini dapat menimbulkan gangguan
kualitas hidup, meskipun masih dalam stadium
presirotik
dan
sering
mengakibatkan
komplikasi ekstra hepatik. (Hernomo K, 2003,
hal 20) Pasien dengan hepatitis C kronik
dengan manifestasi gejala ekstrahepatik yang
biasanya disebabkan respon imun seperti
gejala rematoid, keratoconjungtivitis sicca,
lichen planus, glomerulonefritis, limfoma dan
krioglobulinemia
esensial
campuran.
Krioglobulin telah dideteksi pada serum
sekitar separuh pasien dengan hepatitis C
kronik (Mauss S, et al ,2009, p.45)
PERJALANAN ALAMIAH HEPATITIS C
Perjalanan alamiah infeksi HCV dimulai
sejak virus hepatitis C masuk ke dalam darah
dan terus beredar dalam darah menuju hati,
menembus dinding sel dan masuk ke dalam
sel, lalu berkembang biak. Hati menjadi
meradang dan sel hati mengalami kerusakan
dan terjadi gangguan fungsi hati dan mulailah
perjalanan infeksi virus hepatitis C yang
panjang. Ada 2 mekanisme bagaimana badan
menyerang virus. Mekanisme pertama melalui
pembentukan antibodi yang menghancurkan
virus dengan menempel pada protein bagian
luar virus. Antibodi ini sangat efektif untuk
34
hepatitis A dan B. tetapi sebaliknya antibodi
yang diproduksi imun tubuh terhadap HCV
tidak bekerja sama sekali (sulaiman HA,
Julitasari, 2004, hal 15)
Sekitar 15 % pasien yang terinfeksi virus
hepatitis C dapat menghilangkan virus tersebut
dari tubuhnya secara spontan sayangnya,
mayoritas penderita penyakit ini menjadi
kronis. Dienstag telah meneliti 189 kasus
hepatitis NANB ternyata dari jumlah tersebut
34% penderita hepatitis kronik pensisten atau
hepatitis kronik lobuler, 40% hepatitis kronik
aktif dan 18% penderita hepatitis kronik
pensisten atau hepatitis kronik lobuler, 40%
hepatitis kronik aktif dan 18% penderita
sirosis hati (Dienstag, 1993, p 85)
Salah satu konsekuensi paling berat pada
hepatitis adalah kanker hati, hepatitis C kronis
merupakan salah satu bentuk penyakit
hepatitis paling berbahaya dan dalam waktu
lain dapat terjadi komplikasi. Penderita
hepatitis kronis beresiko menjadi penyakit hati
tahap akhir dan kanker hati, penyakit hati
terutama hepatitis C penyebab utama pada
transplantasi hati sekarang ini. Saat hati
menjadi rusak, hati tersebut memperbaiki
sendiri
membentuk
fibrosis,
yang
menunjukkan semakin parahnya penyakit,
sehingga hati menjadi sirosis.
Hampir semua mortalitas hepatitis C
berhubungan dengan komplikasi sirosis hati
dan kanker hati dan hampir tidak pernah
terjadi klirens spontan virus hepatitis C pada
hepatitis kronik. Sepertiga dari pasien
terinfeksi hepatitis kronik tidak pernah
menjadi sirosis. Sepertiga dari kasus hepatitis
kronik menjadi sirosis dalam waktu 30 tahun
dan sebagian dapat berkembang menjadi
kanker hati. Sedangkan sepertiga lagi dalam
waktu 20 tahun. (PPHI, 2003, hal 31)
DIAGNOSIS
Test yang dipakai untuk mendeteksi
antibodi terhadap virus seperti Enzyme
Immuno Assay (EIA), yang mengandung
antigen HCV dari gen inti dan non struktural,
dan Assay Imunoblot Recombinan (RIBA).
Teknik Polymerasi Chain Reaction (PCR) atau
Transcription – Mediated Amplification
(TMA) sebagai test kualitatif untuk HCV
RNA, sementara amplifikasi target (PCR) dan
teknik amplifikasi sinyal( Branched DNA)
dapat dipakai untuk mengukur muatan virus.
(PPHI,2003 hal 11)
Pendekatan paling baik untuk diagnosa
hepatitis C adalah test HCV RNA yang
merupakan tes yang sensitive seperti
Polimerase Chain Reaction (PCR) atau
Transcription Mediated Amplification (TMA).
Dengan adanya HCV RNA diserum
menandakan infeksi aktif. Test untuk HCV
RNA adalah membantu pasien pasien yang
dengan test EIA dengan hasil anti HCV nya
tidak dapat dipercaya, misalnya pasien dengan
gangguan imun yang mana hasil anti HCV nya
negative, sebab mereka tidak cukup
memproduksi antibody. Pasien-pasien dengan
akut hepatitis C, test anti HCV negative karena
antibody baru muncul setelah satu bulan fase
akut.(Bell B, 2009)
Test HCV RNA dibagi dua yaitu
kuantitatif dan kualitatif. Test kualitatif
menggunakan PCR/ Polymerase Chain
Reaction, test ini dapat mendeteksi HCV RNA
yang dilakukan untuk konfirmasi viremia dan
untuk menilai respon terapi. Test kuantitatif
dibagi dua yaitu: metode dengan teknik
Branched Chain DNA dan teknik Reverse
Transcription PCR.Test kuantitatif ini berguna
untuk menilai derajat perkembangan penyakit.
Pada test kuantitatif ini pula dapat diketahui
derajat
viremia.
(Sulaiman
HA,
Julitasari,2004, hal 20)
Sesuai dengan rekomendasi konsensus
penatalaksanaan HCV di Indonesia :
1. Pemeriksaan HCV RNA yang positif,
dapat memastikan diagnosis
2. Bila HCV – RNA tidak dapat
diperiksa, maka ALT/SGPT > 2N,
dengan anti HCV (+)
3. Pemeriksaan genotip tidak diperlukan
untuk menegakkan diagnosis.
4. Pemeriksaan HCV RNA kuantitatif
diperlukan pada anak dan dewasa
untuk penentuan pengobatan.
5. Pemeriksaan genotip diperlukan untuk
menentukan lamanya terapi.
6. Pemeriksaan HCV RNA diperlukan
sebelum terapi dan 6 bulan paska
terapi.
7. Pemeriksaan HCV RNA 12 minggu
sejak awal terapi dilakukan pada
pasien genotip 1 dengan pegylated
interferon untuk penilaian apakah
terapi dilanjutkan atau dihentikan.
(PPHI, 2003, hal 13)
Test faal hati rutin untuk skrining HCV
kronik memiliki keterbatasan, karena sekitar
35
50% penderita yang terinfeksi HCV
mempunyai nilai transaminase normal.
Meskipun test faal hatinya normal , penderita
ini ternyata menunjukkan kelainan histology
penyakit hati berupa nekroinflamasi dengan
atau tanpa sirosis. Pemantauan dengan
menggunakan kadar transaminase sifatnya
terbatas, karena kadarnya dapat berfluktuasi
dari kadar normal sampai ke abnormal dengan
perjalanan waktu (Hernomo K, 2003, hal 23).
Biopsi hati biasanya dikerjakan sebelum
dimulai pengobatan anti virus dan tetap
merupakan pemeriksaan paling akurat untuk
mengetahui perkembangan penyakit hati.
Biopsi hati biasanya dikerjakan pada penderita
dengan infeksi kronik HCV. Dengan
transaminase abnormal yang direncanakan
pengobatan antiviral, pemeriksaan histologi
juga dibutuhkan bila ada dugaan diagnosis
penyakit hati akibat alkohol. Biopsi hati
menjadi sumber informasi untuk penilaian
fibrosis
dan
histologi.
Biopsis
hati
memberikan informasi tentang kontribusi besi,
steatosis dan penyakit penyerta hati alkoholik
terhadap perjalanan hepatitis C kronik menuju
sirosis. Informasi yang didapat pada biopsi
hati memungkinkan pasien mengambil
keputusan tentang penundaan atau dimulainya
pemberian terapi antivirus, karena mengingat
efek samping pengobatan. (PPHI, 2003, hal
14)
PENGOBATAN
Pengobatan hepatitis C kronik telah
berkembang sejak interferon alfa pertama kali
disetujui untuk dipakai pada penyakit ini lebih
dari sepuluh tahun yang lalu. Pada waktu itu
obat ini diberikan 24 sampai 48 minggu
sebagai kombinasi Pegylated alfa interferon
dan Ribavirin. Pegylated alfa interferon
(penginterferon) adalah modifikasi kimia
dengan
penambahan
molekul
dari
polyethylene glycol. Penginterferon dapat
diberikan satu kali per minggu dan
keuntungannya kadarnya konstan di dalam
darah. Ribavirin adalah suatu obat antivirus
yang mempunyai efek sedikit pada virus
hepatitis C, tetapi penambahan Ribavirin
dengan interferon menambah respon 2 – 3 kali
lipat. Kombinasi terapi ini dianjurkan untuk
pengobatan hepatitis C. (Bell B, 2009)
Terapi dengan Interferon 3 juta unit 3x
perminggu selama 12-18 bulan, yang diberikan
kepada pasien dengan aminotransferase tinggi,
biopsi menunjukkan kronik hepatitis berat atau
lanjut, HCV RNA, 50% mengalami remisi
atau perbaikan 50% pasien kembali diantara
12 bulan pengobatan dan perlu mengulang
pengobatan kembali. Respon yang baik yaitu
hilangnya HCV RNA yang tinggi pada genotip
HCV 1a dan 1b. lebih menguntungkan dengan
penambahan ribavirin (Dienstag, 1983, p. 85)
Kriteria yang harus dipenuhi sebelum
pemberian terapi Interferon: (Sulaiman HA,
Julitasari, 2004, hal 21)
1. Anti HCV [+] dengan informasi
stadium dan aktivitas penyakit, HCV
RNA [+], genotip virus, biopsi.
2. Ada / tidaknya manifestasi ekstra
hepatic.
3. Kadar SGOT/ SGPT berfluktuasi
diatas normal.
4. Tidak ada dekompensasi hati.
5. Pemeriksaan laboratorium:
a. Granulosit > 3000/ cmm
b. Hb > 12 g/dl
c. Trombosit > 50000/ cmm.
d. Bilirubin total < 2 mg/ dl
e. Protrombin time < 3 menit.
Berdasarkan rekomendasi konsensus FKUI –
PPHI (2003, hal 21) :
1. Terapi antivirus diberikan bila ALT >
2N
2. Untuk pengobatan hepatitis C
diberikan kombinasi Interferon dengan
Ribavirin
3. Ribavirin
diberikan
tiap
hari,
tergantung berat badan selama
pemberian interferon dengan dosis :
a. < 55 kg diberikan 800 mg/hari
b. 56 – 75 kg diberikan 1000 mg/hari
c. > 75 kg diberikan 1200 mg/hari
4. Dosis Interferon konvensional 3,41/2,5
MU seminggu 3 kali, tergantung
kondisi pasien
5. Pegylated
Intenfenon Alfa
2a
diberikan 180 ug seminggu sekali
selama 12 bulan pada genotipe 1&4,
dan 6 bulan pada genotipe 2 dan 3.
pada Pegylated Interferon Alfa 2b
diberikan dengan dosis 1,5ug/kg
BB/kali selama 12 bulan atau 6 bulan
tergantung genotip
6. Dosis Ribavirin sedapat mungkin
dipertahankan. Bila terjadi efek
samping anemia, dapat diberikan
enitropoitin.
36
PENCEGAHAN
Hingga saat ini belum ditemukan vaksin
yang dapat digunakan untuk mencegah
hepatitis C tetapi ada beberapa cara untuk
mencegah penularan hepatitis C dengan cara
jarum suntik
harus steril. Melakukan
kehidupan sex yang aman. Bila memiliki
pasangan yang lebih dari satu atau
berhubungan dengan orang banyak harus
memproteksi diri misalnya dengan pemakaian
kondom. Jangan pernah berbagi alat seperti
jarum , alat cukur, sikat gigi dan gunting kuku.
Bila melakukan manicure, pedicure, tattoo
ataupun tindik pastikan alat yang dipakai
steril. Orang yang terpapar darah dalam
pekerjaannya [misalnya dokter, perawat,
perugas laboratorium] harus hati-hati agar
tidak terpapar darah yang terkontaminasi,
dengan cara memakai sarung tangan, jika ada
tetesan darah meskipun sedikit segera
dibersihkan. Jika mengalami luka karena
jarum suntik maka harus melakukan test
ELISA atau RNA HCV setelah 4 sampai 6
bulan terjadinya luka untuk memastikan tidak
terinfeksi penyakit hepatitis C. Pernah sembuh
dari salah satu penyakit hepatitis, tidak
mencegah penularan penyakit hepatitis
lainnya. Dengan demikian dokter sangat
merekomendasikan penderita hepatitis C juga
melakukan vaksinasi hepatitis A dan hepatitis
B.
PENUTUP
Hepatitis C merupakan penyebab
penyakit hati akut atau kronis yang paling
berbahaya dibandingkan dengan virus hepatitis
lainnya. Mengingat bahwa virus hepatitis C ini
dapat menyebabkan kerusakan hati yang
parah, sirosis dan kanker hati / hepatoma maka
upaya pencegahan merupakan hal yang sangat
penting, melalui pendidikan untuk mengenal
cara-cara penularan yaitu menghindari
pemakaian narkoba, penyuntikan yang aman,
mencegah perilaku seksual beresiko tinggi dan
menghindari pemakaian alat-alat pribadi
bersama.
Karena infeksi hepatitis C dapat
menyebabkan kerusakan hati tanpa gejala,
sangat penting untuk melakukan pemeriksaan
sedini mungkin. Penelitian menunjukkan
pasien yang diobati sebelum hatinya rusak
secara signifikan memiliki respon yang lebih
baik terhadap pengobatan dibandingkan pada
pasien yang menunda pengobatannya. Tujuan
pengobatan hepatitis C adalah menghilangkan
virus dari tubuh sedini mungkin untuk
mencegah perkembangan yang memburuk dan
stadium akhir penyakit hati.
Ada tiga macam obat yang digunakan
dalam mengobati hepatitis C yaitu Interferon
Alfa, Pegylated Interferon Alfa, Ribavirin
.pengobatan ini sudah diterima dalam
kemampuannya untuk melawan virus pada
penderita penyakit hepatitis kronik.
Daftar Pustaka
Anonim. 2009.
Power to beat HCV.
http://www.medicastore.com. Diakses pada 20
Mei
2010.
Bals,M. 2006. Acut Hepatitis C Virus
Infection. Romania.
Bell, B. 2009. Chronic Hepatitis C.
http://www.digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/
p.
diakses pada 15 April 2010.
Dienstag JL. 1983. Non A, Non B Hepatitis
Recognition, epidemiology and Clinical
Gastroentenologi.
Harrison’s. 1998. Principles of Internal
Medicine. Singapore
Hernomo,K.2003.Pandangan Terkini Hepatitis
Virus B dan C dalam praktek klinik.
Surabaya.
Kurstak E. 1993. Hepatitis C Virus, Hepatitis
E Virus and Disease, inviral Hepatitis.
New York.
Mauss. S. et al. 2009. Hepatology A Clinical
Textbook. Germany.
PPHI. 2003. Konsensus Penatalaksanaan
Hepatitis C kronik. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Sacher,RA. Mc Pherson, RA. 2000. Widman’s
Clinical Interpretation of laboratory
Tests. Philadelphia: FA Davis Company.
Sulaiman,HA. Julitasari. 2004. Selayang
Pandang
Hepatitis
C.
Jakarta.
37
ANALYSIS OF PATIENT SATISFACTION WITH HEALTH CARE FACILITIES AND
SERVICES OR PRIMARY
(LITERATURE STUDIES)
Atik Sri Wulandari
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
INTRODUCTION
In the midst of an era of globalization
characterized by the increasingly sharp
competition and changing business environment
moves fast, pragmatic and tend to be
unpredictable, requires each organization to
enhance its competitiveness. In addition
customers are also increasingly strong demand for
quality products and services. The services sector
is now growing rapidly is the health service, it is
related to increasing public awareness in
interpreting the word "healthy" as a part of their
investment in the future. Therefore, service
quality improvement is no longer solely on
technical quality that is part of the "way of lifre"
health industry, but leads on how to manage a
health industry memilki competitiveness of its
service users to meet the eyes of their desire.
To meet those objectives arising efforts to
meet in terms of quality-related. Tjiptono (2001)
explains that the quality is a dynamic state
associated with products, services, people,
processes that meet or exceed customer
expectations. From the definition it is also clear
that the most eligible jasalah users represent the
quality of quality by comparing what they expect
their denganpersepsi after meneima services. It
also applies in the health services industry in this
regard Ruamah Hospital. Clinics and Health
Centers Community (PHC) in the Indonesian
population demographics khususnya.Kondisi
mostly live and settled in rural areas, the health
organization's most dominant and most frequently
used is therefore Puskesmas.Oleh of line service
users with the lowest health organizations this will
be illustrated how far the service user satisfaction.
Like the above description then how cursory
overview of patient satisfaction on the services
they receive.
LITERATURE REVIEW
In general, the public health service is a
subsystem of the health service whose primary
purpose is preventive services (preventive) and
promotion (health improvement) with a target
masyarakat.Meskipun not mean that public health
services do not perform curative services
(treatment) and rehailitatif (recovery). Therefore,
the scope of services in this Kesahatan
Community Health Center is spearheading the
community health service that is precisely the
kind of services kuratiflah into the spotlight and
main kebutuan for the community.
In conjunction with the service and
quality of service (Berry1985) in presenting their
research ekploratifnya service quality and the
factors that determine the defining quality of
service as a degree of instability skewer between
normative expectations on customer service and
customer perceptions of service received at the
performance. For health services that health
centers should be carried out satisfactorily mempu
Communities
as
service
users
(www.helvetia.ac.id).
Measurement
and
assessment of satisfaction from the emergence of
hope beawal satisfaction of patients who use
health services in public health centers.
Therefore, the scope of services related to
people's interests kesehatanmasyarakat much the
role of government in public health services have
a large portion. Nevertheless, due to limited
government resources, the potential community
needs to be extracted or included in the health
service efforts. Government in this regard the
Ministry of Health has an obligation and
responsibility in exploring and enhancing the
potential of people in this health service.
Mobilizing potential of the people here includes
three dimensions, namely:
a. Potential society in the sense of
community (eg, the people of the RT, RW,
Kelurahan, etc.). For example with the health
fund, contributions to procurement PMT
(Supplementary Feeding) for children Toddlers,
health cadres and so on are forms of participation
and exploration potential of the community in
community health services.
b. Mobilizing potential of the
community through the organization or
community-oarganisasi
often
called
Non
Governmental Agencies (NGOs).
c. Mobilizing potential of the
community through private companies which will
38
help to ease the burden of administering public
health services (PHC, Balkesmas etc.)
Public health services, both hosted by the
Government
and
private
sector
needs,
attention to several provisions, among others:
a. Responsible person, a health care system
responsible masyarakatharus no government or
private. However, in Indonesia, the government in
this case the Ministry of Health is responsible for
most high. This means pengawsan, service
standards and so forth for the good of society
ksehatan peleyanan pemerinta (PHC) or private
(Balkesma) is under the coordination of the
Ministry of Health.
b. Service standards, public health service system,
both private pemerintahmaupun should be based
on an a certain standard. This standard set by the
Ministry of Health with the Health Center guide
book.
c. Employment Relations, the public health
service system must have a clear division of labor
between the one with the other. This means that
health facilities must have a clear organizational
structure den describes the working relationship,
both horizontally and vertically.
d. Potential of Community Organizing, typical
characteristics of the system of public health
services is community involvement or community
organizing. This effort is important, especially in
Indonesia, because of the limited resources of the
community health service providers, we need
community participation.
In assessing the quality of service, Bolton
and Drew (1991) stated that overall consumer
understanding about the services arranged by a
series of compliance-related stages on the
performance of services, service and value kalitas
services. This model was motivated by the
concept of consumer satisfaction as a function
diskonfirmasi between consumer expectations
with perceptions of the perceived actual
performance. In research eksplorai Zeithaml and
Berry (1985) in kaintannya with describing the
quality of their services and service quality factors
which determine this by defining the service as a
degree of instability kulaitas skewer between
Normative expectations in customer service and
customer perceptions of service performance
diterima.
DISCUSSION
Judging from some of the problems
mentioned above there poko beberpa things that
need attention and scrutiny. Among them is the
view from the user side dalah it is society itself,
which manapelanggan or communities express
their needs on the basis of perception. According
to Juran, JM perception is also very dipengaruhin
by personal characteristics and circumstances at
the time.
While according Hendartini personal
characteristics may also affect perceptions.
Customer perception of product or services affect
customer satisfaction. Satisfaction is subjective
depending on the backgrounds of individuals, so
that individuals can Tipa just feel different levels
of satisfaction for the same type of service,
(Azwar. A. 1996). However, according to Bolton
and Drew (1991) that the meletarbelakangi
concept of patient satisfaction as a function of
diskonfirmasi between consumer expectations
with actual performance perceptions of the
perceived bias viewed as a whole from a series of
stage performance, quality and quality of service
itself, which include, Responsible, standard of
service, labor relations, the process to service the
resulting product. According to research in
peneliitia et Sudibyo factor-factor related to
satisfaction of outpatient and inpatient
dipuskesmas penlaian includes five dimensions.
Responsivness (responsiveness) is ability officers
provide services to consumers quickly. Reliability
(reliability) is kempuan officers provide services
to consumers with the right.
Assurance (assurance) that gave the
officers the ability of services to consumers so
believable. Emphaty (empathy), namely the
ability liaison officer, attention, and understand
kebutuan patient / consumer. And Tengible
(evidence) that the availability of Arana and
infrastructure diraskan directly by consumers.
Bolton and Drew (1991) memamarkan multistage
model of customers assessments of service quality
and value. This model states that consumers'
overall understanding of the services arranged by
a series of steps related to the understanding of
service performance, service quality and value of
the services. This model was motivated by the
concept of consumer satisfaction as a function
diskonfirmasi between consumer expectations
with perceptions of the perceived actual
performance. Satisfaction by Tse and Wilton
(1988) are as customer response to the evaluation
of the perceived discrepancy between prior
expectations with the actual performance that is
felt after wearing them. Engle (1990) defines
customer satisfaction as a full evaluation of
alternatives and purchase where purchased at least
39
equal or exceed customer expectations, while
dissatisfaction arise if the result (outcome) does
not meet expectations.
Kotler (1994) states that satisfaction is the
level of state of one's feelings which is the result
of the comparison between the performance of
products or services related to those expectations.
Meanwhile, according to research by using the
SWOT analysis of R & D in the servant's
empowerment center consists of:
1. Market penetration strategy, which the PHC
berusahan utnuk improve public health services
through the efforts of promotion, dissemination
and extension, so that products can pusksmas
services masyarakatsebagai sasran known and
unknown consumers.
2. Product development strategy is a strategy that
aims to improve PHC services by increasing the
variance of health services in an effort to develop
products to existing health services.
3. Strategiintegrasi meningktakan horizontal
control of health services to the community in an
effort to develop strategic competitiveness.
4.Strategi / policy implementation of system
maintenance and repair the infrastructure and
performance-based health centers.
Implementation of health for the community
pelayana by Puskesmas is one of the basic forms
of public servants who conduct by the
Government. This makes assessment of fully
kineja services rendered to the public as users, and
certainly as a measure of community satisfaction
adalh that need to be considered.
CONCLUSION
Based on the few things mentioned above
there are some things to consider in addressing the
health center service satisfaction criteria. First
from the user side, namely responsiveness dlam
providing service, accuracy of services according
to needs, and empathy. In terms of health centers,
health services karenaPuskesmas a subsystem
whose main goal is prevention services and health
improvement however it turns out the fact that
there is give the stolen treatment and recovery
services, the MEU will not have a few parties who
must work together, among others, government
and society. Despite the limitations of government
resources mka community potential bias dug to be
included in the health peleyanan efforts.
REFERENCES
Bolton & Drew, 1991, Tecnical Compexcity and
Consumer Knowledge as Moderators of Service
Quality Evaluation in Outomobile Service
Industry, Journal of Retailing.70 (4) 367-381
Arikunto, suharsimi, 1998, the research
procedure, a practical approach, the revised fourth
edition, the publisher Rineka Reserved.
Azwar, Syaifudin, 2001, Research Methods,
Student Book Publisher, Yogyakarta Blanton
Godfrey and Edward G Kammerer, Service
Quality vs. Quality Manufacturing Five Myths
Exploded.
TP CF Bonser, 1992, Total Quality Education,
Journal of Public Administration Review, Sept /
oct,
vol
52
(s)
504-512.
James L. Bossert & ross, 1993 Quality Function
Deployment: A practioner's approach, Milwauke,
Wilconsin: ASQC Quality Press. Chen, Chuen
Lung, and Stanley F Bullington, 1999,
Development of a strategic plan for academic
research department through the use of QFD.
Journal of Computer and Industrial Engineering
25. (49-52). Cothtle4, 1995, Quality Function
Deploymeny; How make QFD work for you,
Addison-Wesley Publishing Company, USA.
Cortada, James W., 1996, Total Quality
Management, Translation, Publishing Andi,
Yogyakarta. Cronin, Joseph J and SA Taylor,
Thommason, B & Ovretveit J, 1994, Quality of
Service: Making it Really Work, Cambridge:
McGraw Hill International Limited, UK. Ermer,
Donald S, 1999, Using QFD Become An
Educational Experience For Students And Faculty,
Journal of Quality Progress, 28, (131-136).
Fitzsimmons and Fitzsimmons (2001), Service
Management:
Operations,
Strategy
and
Information Technology.
McGrawHill , International Edition, New York, p.44.
Fitzsimmons JA & Fitzsimmons MJ (1994)
Service Management for Competitive Advantage,
McGraw Hill, Singapore Gaspersz, Vincent, 1997,
Quality Management in Service Industries,
publisher PT. Gramedia.
Gaspersz, Vincent,
1997, Building Seven habits of Quality, publisher
PT. Gramedia. Gaspersz, Vincent, 2001, Total
Quality Management, publisher PT. Gramedia.
40
PENGARUH DIET VEGAN TERHADAP KADAR LDL-KOLESTEROL DARAH
Loo Hariyanto Raharjo
Departemen Biokimia
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui adanya pengaruh diet vegan terhadap kadar LDL-kolesterol darah sehingga
dapat menurunkan insiden terjadinya aterosklerosis.
Metode Penelitian: Melakukan suatu analisa deskriptif terhadap empat buah hasil penelitian, yaitu : The Oxford
Vegetarian Study, Studi tentang resiko cardiovascular disease pada kelompok vegan Afro-Amerika dibandingkan
dengan lakto-ovovegetarian, Studi tentang kadar leptin pada kelompok anak vegetarian prepubertas, Studi
tentang pengaruh diet vegetarian terhadap kadar kolesterol dan trigliserida darah.
Hasil Penelitian: Keempat studi yang dianalisa tersebut memberikan hasil kadar LDL-kolesterol darah yang lebih
rendah pada kelompok vegan. Bahkan dengan memberikan diet vegan sejak anak usia prepubertas dapat memberikan lipid profile (LDL, HDL, Total Kolesterol, Trigliserida) yang lebih baik daripada anak yang omnivora.
Selain itu pemberian diet vegan sejak usia prepubertas dapat menekan faktor aterogenik (apo-B), meningkatkan
faktor anti-aterogenik (apo-A1),serta menurunkan kadar leptin darah sehingga mencegah terjadinya obesitas.
Kesimpulan: Diet vegan dapat menurunkan kadar LDL-kolesterol darah, dapat mengurangi faktor aterogenik,
meningkatkan faktor anti-aterogenik, menurunkan kadar leptin darah, mengurangi terjadinya obesitas, serta dapat
menurunkan insiden terjadinya aterosklerosis yang menyebabkan timbulnya penyakit kardiovaskuler dan penyakit
serebrovaskuler.
Kata Kunci: Vegan, LDL-kolesterol, Aterosklerosis
VEGAN DIET EFFECT ON BLOOD LEVELS OF LDL-CHOLESTEROL
Loo Hariyanto Raharjo
Biokimia Departement
Wijaya Kusuma Surabaya University
e-mail: [email protected]
ABSTRACT
Background: This study to know influence of diet vegan to LDL-cholesterol blood level then can decrease
incident of atherosclerosis.
Method: Descriptive analysis to four results research, e.g.: The Oxford Vegetarian Study, Study of serum leptin
concentration in vegetarian prepubertal children, Study of Cardiovascular Disease Risk Factors in AfricanAmerican Vegans Compared to Lacto-Ovo-Vegetarians, Study of influence vegetarian diet to Cholesterol and
Triglycerides level.
Results: These four studies given results that LDL-cholesterol is lower at vegan group than omnivore group.
Giving vegan diet since prepubertal age of children can give the better of lipid profile (HDL, LDL, Total
Cholesterol, Triglycerides) than children with omnivore diet. Moreover giving vegan diet since prepubertal age
can decrease of atherogenic factor (apo-B), increase anti-atherogenic factor (apo-A1), also decrease blood leptin
level to prevent obesity.
Conclusion: Diet vegan can decrease LDL-cholesterol, decrease atherogenic factor, increase anti-atherogenic
factor, decrease blood leptin level, decrease incident of obesity, also can decrease incident of atherosclerosis,
which can cause of cardiovascular and cerebrovascular disease.
Key words: diet vegan, LDL-cholesterol, atherosclerosis
I. PENDAHULUAN
Pola diet vegetarian saat ini semakin
berkembang di kota-kota besar di Indonesia,
khususnya Surabaya. Pola diet vegetarian ini ada
beberapa macam, salah satunya adalah vegan,
yaitu suatu pola diet yang tidak mengkonsumsi
makanan yang berasal dari hewan baik hewan
yang hidup di air, darat, maupun udara, selain itu
juga tidak mengkonsumsi susu, telur, serta hasil
olahannya.
Pola diet vegan ini dianggap sebagai pola
diet yang sehat sehingga dapat mencegah
terjadinya penyakit degeneratif, khususnya
penyakit kardiovaskular. Penyakit kardiovaskular
ini
biasanya
dihubungkan
dengan
hiperkolesterolemia, terutama adanya peningkatan
kadar LDL-kolesterol darah.
American Dietetic Association and
Dietitians of Canada (2003) menyatakan bahwa
diet vegan dapat mencegah terjadinya obesitas,
diabetes mellitus type 2, penyakit kardiovaskular,
serta beberapa kanker. Selain itu diet vegan juga
41
meningkatkan intake nutrisi dan senyawa
fitokimia yang bersifat protektif untuk mencegah
terjadinya penyakit kronis (Dewell A.,2008).
Frasser (2003) menyatakan bahwa kelompok
orang yang vegan mempunyai total kolesterol dan
LDL-kolesterol yang rendah, serta tekanan darah
yang juga lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok orang vegetarian lainnya. Kemudian
Toohey,dan kawan-kawan (1998) menunjukkan
bahwa kadar lipid dan Body Mass Index (BMI,
dalam kg/m2) secara signifikan lebih rendah pada
kelompok Afro-Amerika yang vegan dari pada
kelompok yang lacto-ovovegetarian.
Tujuan penulisan artikel ilmiah ini adalah
untuk membuktikan bahwa pemberian diet vegan
bisa menurunkan kadar LDL-kolesterol darah
sehingga bisa mencegah terjadinya penyakit
kardiovaskular. Disini kita akan membandingkan
beberapa penelitian yang pernah dilakukan
mengenai pengaruh diet vegan terhadap kadar
LDL-kolesterol darah. Kemudian kita ambil
kesimpulan
dari
perbandingan
hasil-hasil
penelitian tersebut sehingga bisa didapatkan
jawaban untuk hipotesa mengenai adanya
pengaruh diet vegan terhadap kadar LDLkolesterol darah.
II. BAHAN DAN METODA:
Ada beberapa penelitian yang kita pakai untuk
perbandingan, yaitu:
1. The Oxford Vegetarian Study
Merupakan suatu studi prospektif yang
melibatkan 6000 orang vegetarian
(berasal dari Vegetarian Society di United
Kingdom) dan 5000 orang yang nonvegetarian sebagai kelompok kontrol.
Studi ini dilaksanakan di United Kingdom
antara bulan September 1980 sampai
Januari 1984. Kemudian kepada orang
coba tersebut dibagikan kuesioner yang
berisi tentang pola diet yang dilakukan,
beberapa
faktor
lifestyle
yang
mempengaruhi
kesehatan
seperti
merokok, minum alkohol, kebiasaan olah
raga, tanggal lahir, tempat tinggal, tinggi
badan, berat badan, riwayat penyakit
termasuk riwayat penyakit keluarga serta
riwayat reproduksi untuk responden
wanita, dan keanggotaan organisasi
vegetarian. Kemudian responden dibagi
menjadi kelompok yang terpisah antara
kelompok vegan, vegetarian, fish eater,
dan meat eater sesuai jawaban kuesioner
yang diisi. Kelompok vegan terdiri dari
responden yang tidak mengkonsumsi diet
hewani atau hanya mengkonsumsi
sayuran, kelompok vegetarian terdiri dari
responden yang tidak makan daging atau
ikan tetapi mengkonsumsi susu, telur
serta produk hasil olahannya, kelompok
fish-eater terdiri dari responden yang
makan ikan tetapi tidak makan daging,
sedangkan kelompok meat eater terdiri
dari responden yang makan daging juga
makan ikan, susu, telur, juga sayuran.
2. Studi tentang cardiovascular risk
factor pada orang Afro-amerika antara
kelompok
vegan
dan
lactoovovegetarian.
Suatu
studi
cross-sectional
yang
dilakukan oleh M.Lynn Toohey dan
kawan-kawan pada tahun 1998 dengan
memakai 188 responden orang Afroamerika yang terdiri dari 45 orang vegan
dan 143 orang lacto-ovovegetarian.
Responden diambil dari 3 tempat yaitu:
Washington,DC; Philadelphia, PA; and
Baltimore, MD, dengan mengambil orang
kulit hitam yang menjadi anggota
Seventh-day
Adventist
Church.
Responden disuruh mengisi kuesioner
tentang kebiasaan hidup sehat dan riwayat
sakit, serta kuesioner tentang kebiasaan
makan. Kuesioner kebiasaan hidup sehat
dan riwayat sakit berisikan informasi
tentang karakteristik demografi, riwayat
kesehatan pribadi dan keluarga, kebiasaan
hidup sehat individual. Sedangkan
kuesioner tentang kebiasaan makan
mencatat jumlah dan frekuensi makanan
yang dikonsumsi dari 141 jenis makanan
dalam daftar dan makanan lainnya 3 bulan
sebelumnya. Untuk analisa darah
dilakukan pengukuran kadar trigliserida,
total kolesterol, HDL dan LDL-kolesterol.
Disebabkan karena adanya variasi
penyulit, maka analisa darah ini yang
memenuhi syarat adalah 40 orang dari 45
orang vegan, serta 135 orang dari 143
orang lacto-ovovegetarian.
3. Studi tentang kadar lipid pada anakanak usia pre-pubertal.
Studi
yang
dilakukan
oleh
Ambroszkiewicz J, dan kawan-kawan dari
Department of Biochemistry, Institute of
Mother and Child, Warsawa, Polandia.
Pada studi ini dilakukan dengan menilai
35 orang anak sebagai responden yang
berada di klinik pediatri Institute of
Mother and Child. Responden tersebut
dibagi dalam 2 kelompok, kelompok
pertama terdiri dari 22 orang anak yang
42
bervegetarian (11 anak wanita, 11 anak
laki-laki, dengan rata-rata usia 5.7 ± 2.9
tahun). Kelompok vegetarian ini terdiri
dari 13 anak lacto-ovovegetarian, 2 anak
lacto-vegetarian, dan 7 anak vegan.
Sedangkan untuk kelompok kontrol
(kelompok kedua) terdiri dari 13 anak
omnivora dengan profil lipid normal.
4. Studi tentang pengaruh diet vegetarian
terhadap
kadar
kolesterol
dan
trigliserida darah.
Suatu studi cross sectional yang dilakukan
oleh Simone Grigoletto De Biase,dan
kawan-kawan (2005),dari Universitas
Katolik Sao Paulo, Brazil, dengan
menggunakan 67 orang responden, yang
terdiri dari 22 orang omnivora dan 54
orang vegetarian. Untuk kelompok
vegetarian ini terbagi menjadi 3
kelompok, yaitu: 19 orang lactoovovegetarian, 17 orang lactovegetarian,
dan 18 orang vegan. Responden disuruh
mengisi kuesioner yang berisi keterangan
tentang: nama, jenis kelamin, umur, jenis
diet, kebiasaan olahraga, kebiasaan
konsumsi alkohol, kebiasaan merokok,
berat dan tinggi badan, pemakaian obat
golongan statin. Pengambilan sampel
darah dilakukan setelah responden puasa
selama 12 jam. Kemudian terhadap
sampel
darah
tersebut
dilakukan
pengukuran Total Kolesterol, LDLkolesterol,
HDL-kolesterol,
dan
Triasilgliserol.
Metoda yang kami lakukan untuk studi masalah
ini adalah dengan melakukan suatu analisa
deskriptif, dimana kami akan melakukan suatu
analisa deskriptif terhadap hasil percobaan dari
keempat studi tersebut diatas. Dari analisa
deskriptif tersebut kita akan menarik kesimpulan
apakah ada pengaruh diet vegan terhadap kadar
LDL-kolesterol.
III. HASIL
1. The Oxford Vegetarian Study
Dari The Oxford Vegetarian Study didapatkan hasil sebagai berikut:
Dietary group
Total Kolesterol
LDL Kolesterol
(mmol/L)
(mmol/L)
4.29 ± 0.140
2.28 ± 0.126
Vegan (n=114)
4.88 ± 0.100
2.74 ± 0.090
Vegetarians (n=1550)
5.01 ± 0.109
2.88 ± 0.098
Fish eaters (n=415)
5.31 ± 0.101
3.17 ± 0.091
Meat eaters (n=1198)
P < 0.001
P < 0.001
Heterogenecity
Dari tabel tersebut terlihat bahwa pada
kelompok vegan mempunyai kadar LDLkolesterol yang paling rendah secara
signifikan
dibandingkan
dengan
kelompok vegetarian, fish-eaters, maupun
meat-eaters. Sedangkan untuk kadar
HDL-kolesterol paling tinggi pada
kelompok fish-eaters, sedangkan pada
kelompok vegan, vegetarian maupun
HDL Kolesterol
(mmol/L)
1.49 ± 0.048
1.50 ± 0.035
1.56 ± 0.038
1.49 ± 0.035
P < 0.01
meat-eaters mempunyai nilai yang hampir
sama. Dari hasil studi tersebut juga dibuat
suatu prediksi tentang insiden ischaemic
heart disease pada kelompok vegetarian
24 % lebih rendah daripada kelompok
meat-eaters, sedangkan pada kelompok
vegan 57 % lebih rendah daripada
kelompok meat-eaters.
2. Studi tentang cardiovascular risk factor pada orang Afro-amerika antara kelompok vegan dan
lacto-ovovegetarian.
Dari percobaan ini didapatkan hasil sebagai berikut:
Variable
VEGAN
LACTOp-Values
OVOVEGETARIAN
Male
Female
Male
Female
3.52 ± 0.23 3.85 ± 0.03 4.23 ± 0.14
4.68 ± 0.12
0.0002
Serum Total
Cholesterol
(mmol/l)
2.04 ± 0.23 2.07 ± 0.14 2.43 ± 0.13
2.79 ± 0.11
0.009
LDL
CHOLESTEROL
43
(mmol/l)
HDLCHOLESTEROL
(mmol/l)
TRIGLYCERIDE
S
(mmol/l)
1.12 ± 0.05
1.39 ± 0.06
1.20 ± 0.04
1.37 ± 0.04
0.003
0.94 ± 0.12
0.94 ±
0.15
1.25 ± 0.07
1.14 ± 0.04
0.002
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa
kadar LDL-kolesterol pada kelompok
vegan, baik pria maupun wanita secara
signifikan
lebih
rendah
daripada
kelompok lacto-ovovegetarian, baik pria
maupun wanita. Hal yang sama juga dapat
dijumpai pada kadar trigliserida, dimana
pada kelompok vegan, baik pria maupun
wanita, secara signifikan lebih rendah
daripada kelompok lacto-ovovegetarian,
baik pria maupun wanita. Bila kita hitung
rasio LDL-kolesterol/ HDL-kolesterol
serta rasio Total kolesterol/ HDLkolesterol maka pada kelompok vegan,
baik pria maupun wanita, secara
signifikan
lebih
rendah
daripada
kelompok lacto-ovovegetarian, baik pria
maupun wanita.
3. Studi tentang kadar lipid pada anak-anak usia pre-pubertal.
Dari percobaan ini didapatkan hasil sebagai berikut:
ANAK VEGETARIAN ANAK OMNIVORA
Total Kolesterol (mg/dl)
146.6 ± 23.3
172.4 ± 22.9
HDL-kolesterol (mg/dl)
49.3 ± 13.1
60.4 ± 13.9
LDL-kolesterol (mg/dl)
80.0 ± 18.5
94.8 ± 15.0
Trigliserida (mg/dl)
66.4 ± 22.9
63.6 ± 22.3
Apo-A1 (mg/dl)
Apo-B (mg/dl)
Rata-rata serum leptin (ng/ml)
167.3 ± 23.9
69.4 ± 14.1
3.0 ± 1.1
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada
kelompok anak vegetarian mempunyai
kadar total kolesterol, HDL-kolesterol,
dan
LDL-kolesterol
yang
secara
signifikan lebih rendah dari kelompok
anak yang makan daging (omnivora).
Sedangkan untuk kadar trigliserida tidak
ada perbedaan yang signifikan antara
kelompok anak vegetarian dan kelompok
180.2 ± 16.8
81.4 ± 18.4
5.1 ± 2.0
p-VALUES
0.003
0.027
0.012
Not
Signifikan
0.048
0.024
< 0.01
anak omnivora. Kadar apoprotein pada
kelompok anak vegetarian secara
signifikan
lebih
rendah
daripada
kelompok anak omnivora, baik untuk apoA1 maupun apo-B. Untuk kadar serum
leptin pada kelompok anak vegetarian
juga secara signifikan lebih rendah
daripada kelompok anak omnivora.
4. Studi tentang pengaruh diet vegetarian terhadap kadar kolesterol dan trigliserida darah.
Dari percobaan ini didapatkan hasil sebagai berikut:
Lipid
Omnivora
LactoLactoVegan
P-values
ovovegetarian vegetarian
208.09 ± 49.09 175.32 ± 28.47 164.82 ± 51.00 141.06 ± 30.56 < 0.001
Total
Kolesterol
56.23 ± 18.29
55.47 ± 14.61
57.71 ± 14.92
55.67 ± 13.93
0.96
HDLkolesterol
0.29 ± 0.12
0.32 ± 0.09
0.37 ± 0.13
0.41± 0.11
0.01
Ratio
HDL/ total
kolesterol
123.43 ± 42.67 101.47 ± 28.07
87.71 ± 41.67
69.28 ± 29.53
< 0.001
LDLkolesterol
94.71 ± 62.51
81.67 ± 81.90
< 0.01
Trigliserida 155.68 ± 119.84 93.95 ± 33.43
44
Dari tabel diatas terlihat bahwa kadar total
kolesterol, LDL-kolesterol, Trigliserida
secara signifikan didapatkan lebih rendah
pada kelompok vegan dibandingkan
dengan kelompok lakto-ovovegetarian,
lakto-vegetarian,
maupun
kelompok
omnivora. Rasio HDL/ total kolesterol
juga secara signifikan lebih tinggi pada
kelompok vegan dibandingkan dengan
kelompok lakto-ovovegetarian, laktovegetarian, maupun kelompok omnivora.
Sedangkan kadar HDL-kolesterol untuk
semua kelompok tidak ada perbedaan
yang mencolok.
IV. DISKUSI:
Pada The Oxford Vegetarian study selain
didapatkan kadar LDL-kolesterol yang lebih
rendah pada kelompok vegan, juga didapatkan
bahwa kadar HDL-kolesterol pada kelompok
vegan maupun meat-eaters adalah sama. Begitu
pula dengan kadar HDL-kolesterol pada
kelompok vegetarian dan kelompok fish-eaters
tidak berbeda jauh. Kita ketahui bahwa HDLkolesterol merupakan faktor anti-aterogenik,
sedangkan LDL-kolesterol merupakan faktor
aterogenik. Dari studi ini kita juga bisa melihat
bahwa rasio HDL-kolesterol / Total kolesterol
maupun rasio HDL-kolesterol / LDL-kolesterol
pada kelompok vegan lebih besar daripada
kelompok meat-eaters. Jadi meskipun HDLkolesterol pada kelompok vegan maupun meateaters sama nilainya, tetapi pada kelompok vegan
dapat
diprediksikan
terjadinya
insiden
aterosklerosis lebih rendah daripada kelompok
meat-eaters.
Studi pada kelompok Afro-Amerika juga
didapatkan bahwa kadar LDL-kolesterol pada
kelompok vegan lebih rendah daripada kelompok
lakto-ovovegetarian.Selain itu kadar trigliserida
pada kelompok vegan juga lebih rendah daripada
kelompok lakto-ovovegetarian. Hal ini juga
menunjukkan faktor-faktor aterogenik pada
kelompok vegan lebih rendah daripada kelompok
lakto-ovovegetarian sehingga dapat diprediksikan
bahwa insiden terjadinya aterosklerosis pada
kelompok vegan lebih rendah daripada kelompok
lakto-ovovegetarian.
Hal yang sama juga kita jumpai pada
studi di Sao Paolo, Brazil yang menunjukkan
faktor aterogenik lebih rendah pada kelompok
vegan daripada kelompok laktovegetarian, laktoovovegetarian, maupun kelompok omnivora.
Perlu juga dicatat pada studi ini, pada kelompok
laktovegetarian
maupun
kelompok
lakoovovegetarian, meskipun kedua kelompok ini
mengkonsumsi sayuran tetapi masih terdapat
konsumsi lemak hewani yang berasal dari telur,
susu, maupun produk olahannya.
Studi di Warsawa, Polandia melakukan
penelitian pada anak-anak vegetarian dan anakanak yang omnivora. Ternyata hasil yang didapat
juga menunjukkan kadar LDL-kolesterol lebih
rendah pada kelompok anak vegetarian daripada
kelompok anak omnivora. Tetapi pada studi ini
tidak dipisahkan antara anak yang vegan, laktoovovegetarian, dan laktovegetarian. Hal menarik
lainnya pada studi ini adalah pengukuran kadar
apo-A1 dan apo-B. Apo-A1 merupakan faktor
anti-aterogenik, sedangkan apo-B merupakan
faktor aterogenik. Selain itu apo-B yang melebihi
nilai normal akan meningkatkan insiden
aterosklerosis meskipun kadar LDL-kolesterolnya
normal. Keadaan dimana kadar apo-B yang tidak
normal disertai kadar LDL-kolesterol yang normal
menimbulkan Small Dense LDL, LDL-kolesterol
yang ukurannya jauh lebih kecil, yang
menimbulkan insiden aterosklerosis lebih besar
daripada LDL-kolesterol. Jadi pada anak-anak
bila kita berikan diet vegetarian maka kita dapat
menurunkan insiden terjadinya aterosklerosis
pada saat dewasa. Hal menarik lainnya pada studi
ini
adalah
pemberian
diet
vegetarian
menyebabkan kadar serum leptin lebih rendah
daripada diet omnivora. Kadar leptin yang rendah
dapat menurunkan insiden terjadinya obesitas,
sebab apabila kadar leptin tinggi maka pusat lapar
akan
meningkat
kepekaannya
terhadap
rangsangan sehingga anak akan terus menerus
makan sehingga timbul obesitas.
V. KESIMPULAN
Dari hasil diskusi diatas maka kita dapat
menarik beberapa kesimpulan dari analisa
deskriptif terhadap keempat studi diatas, yaitu:
1. Pemberian diet vegan dapat menurunkan
kadar LDL-kolesterol.
2. Pemberian diet vegan lebih baik daripada
diet laktovegetarian dan diet laktoovovegetarian, karena pada diet vegan
tidak ada asupan lemak hewani maupun
kolesterol.
3. Pemberian diet vegan juga menurunkan
faktor-faktor aterogenik lainnya seperti
apo-B, trigliserida, maupun adanya small
dense LDL, serta dapat meningkatkan
faktor-faktor anti-aterogenik seperti apoA1 dan HDL-kolesterol.
4. Pemberian diet vegan dapat menurunkan
insiden terjadinya obesitas terutama pada
anak-anak.
5. Pemberian diet vegan dapat menurunkan
insiden aterosklerosis sehingga juga dapat
menurunkan morbidity maupun mortality
45
pada penyakit kardiovaskuler maupun
penyakit serebrovaskuler.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Appleby, Paul N., et al.1999. The Oxford
Vegetarian Study: an overview.The American
Journal
of Clinical Nutrition.70 (suppl): 525s31s.
Ambroszkiewicz, J.,et. al.2004. Low serum leptin
concentration in vegetarian prepubertal
children. Annales Academiae Medicae
Bialostocensis. 49 : 103-05.
Dewell A., et.al. 2008. A very-low fat vegan diet
increases intake of protective dietary factors
and decreases intake of pathogenic
dietary factors. American Dietetic
Association;108:347–56.
Position of the American Dietetic
Association:Vegetarian Diets.2009. The
AMERICAN
DIETETIC ASSOCIATION. 109:126682.
Grigoletto De Biase, Simone., et.al.2007.
Vegetarian Diet and Cholesterol and Triglycerides
Levels. Brazillian Cardiology. 88(1) :
32-36
Toohey, M.Lynn., et.al.1998. Cardiovascular
Disease Risk Factors are Lower in AfricanAmerican Vegans Compared to LactoOvo-vegetarians. The American College of
Nutrition. 17(5): 425-34,
46
STUDI KOMPARASI MEDIA NUTRIN AGAR DENGAN SUPLEMEN FILTRAT IKAN
GABUS UNTUK DETEKSI Mycobacterium tuberculosis DIBANDING MEDIA
LOWENSTEIN – JENSEN
Indah Widyaningsih
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRAK
Ini adalah studi laboratorium diagnostik untuk menentukan tingkat deteksi positif dari Mycobacterium
tuberculosis dari pemeriksaan kultur dahak di media nutrien agar filtrat dari ikan snakehead (ikan Gabus), dan gliserol
suplemen tambah dan penisilin juga, dengan membandingkan dengan Lowenstein-Jensen media.
Sampel sputum diperoleh dari Laboratorium Klinik, Rumah Sakit BP4, Surabaya, sebanyak 31 sampel dari 1
positif kepada pasien 3 TB positif. Pengambilan sampel dilakukan pada Juni hingga Agustus, 2008.
Prosedur laboratorium: pada sampel dahak yang telah decontamined dan terkonsentrasi di duplo diinokulasi
pada ikan kepala ular filtrat media nutrien agar dan media Lowesntein-Jensen. Ikan kepala ular filtrat media dalam dua
yaitu komposisi ikan kepala ular ditambahkan filtrat suplemen dari SNA 50 ml dan 100 ml sebagai SNB.
Mycobacterium tuberculosis ini identifikasi menggunakan pewarnaan Ziehl - Neelsen dan uji akumulasi niasin.
Hasil studi dari 31 observasi sampel terungkap bahwa tingkat deteksi Mycobacterium tuberculosis positif
dalam SNA adalah 20% (2 / 10) dari BTA (BTA) 1 sampel sputum; dinyatakan 100% BTA antara 2 dan 3 (12 / 12, 9 /
9). Dalam SNB adalah sebagai berikut: tingkat deteksi positif adalah 40% (4 / 10) dari sampel 1 dahak BTA dan 100%
dari BTA 2 dan 3 (12/12, 9 / 9). Lowenstein - Jensen media lebih sensitif hasil 1 sampel dahak BTA dan 100% dari
BTA 2 dan 3 sampel. Mycobacterium tuberculosis laju pertumbuhan di SNA adalah 21-49 hari, SNB 21-56 hari dan di
L - J 28-56 hari. Kesimpulannya, tidak ada perbedaan tingkat deteksi posive dan laju pertumbuhan TB Mycobacterum
antara ikan kepala ular filtrat media nutrien dan Lowenstein - Jensen media (p> 0,05).
Kata kunci: Mycobacterium tuberculosis, filtrat ikan snakehead nutrien, Lowenstein-Jensen
Comparative Study NUTRIN MEDIA TO SUPPLEMENT WITH catfish filtrate of
Mycobacterium tuberculosis THAN FOR DETECTION MEDIA Lowenstein – JENSEN
Indah Widyaningsih
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRACT
This was a laboratory diagnostic study to determine the positive detection rate of Mycobacterium tuberculosis
from the sputum culture examination in the nutrient agar media the filtrate of the fish snakehead (ikan Gabus), and
glycerol supplement added and penicillin also, by comparing with Lowenstein-Jensen media.
Sputum sample was obtained from Clinical Laboratory, BP4 Hospital, Surabaya, as many as 31 samples of
positive 1 to positive 3 tuberculosis patients. Samples were collected at June to August, 2008.
The laboratory procedure : on the sputum samples that had been decontamined and concentrated were
inoculated in duplo at the snake head fish filtrate nutrient agar media and Lowesntein-Jensen media. The snake head
fish filtrate media in two composition ie added snake head fish filtrate supplement of 50 ml SNA and 100 ml as SNB.
The Mycobacterium tuberculosis identification using the Ziehl – Neelsen staining and niacin accumulation test.
The Study result of 31 samples observation was revealed that Mycobacterium tuberculosis positive detection
rate in SNA was 20% ( 2/10 ) from acid fast bacilli ( AFB ) +1 sputum samples; otherwise 100% among AFB +2 and
+3 ( 12/12 , 9/9 ). In SNB were as follow : the positive detection rate was 40% ( 4/10 ) from AFB +1 sputum samples
and 100% from AFB +2 and +3 ( 12/12 , 9/9 ). Lowenstein – Jensen media more sensitive results of AFB 1 sputum
samples and 100% of AFB +2 and +3 samples. Mycobacterium tuberculosis growth rate in SNA was 21 – 49 days,
SNB 21- 56 days and in L – J 28 – 56 days.
The conclusion, there is no difference in posive detection rate and growth rate of Mycobacterum tuberculosis between
snake head fish filtrate nutrient agar media and Lowenstein – Jensen media (p > 0.05).
Keywords: Mycobacterium tuberculosis, snakehead fish filtrate nutrient agar , Lowenstein-Jensen
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Tuberkulosis merupakan penyebab kematian
yang menonjol selama berabad – abad. Saat ini
tuberkulosis adalah penyebab kematian karena
infeksi nomer satu di dunia yaitu mencapai angka
1,5 juta per tahun ( Flynn,2001 ). Tuberkulosis
merupakan penyakit bermasalah diseluruh dunia.
Sedikitnya sepertiga penduduk dunia terinfeksi
dan beresiko terjadinya penyakit ini. Setiap tahun
lebih dari 8 juta orang menderita tuberkulosis
aktif dan sekitar 2 juta orang meninggal
karenanya. Lebih dari 90% kasus tuberkulosis
dan kematiannya terjadi dinegara berkembang,
47
75% nya terjadi pada usia produktif. Kematian
akibat tuberkulosis merupakan 25% dari kematian
yang dapat dicegah ( ATS,2000; Blanc, 2003 ).
Laporan tuberkulosis dunia oleh WHO
yang terbaru (2006), masih menempatkan
Indonesia sebagai penyumbang tuberkulosis
terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina
dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 dan
jumlah kematian sekitar 101.000 pertahun. Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995,
menempatkan tuberkulosis sebagai penyebab
kematian ketiga terbesar setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan,
dan merupakan nomor satu terbesar dalam
kelompok penyakit infeksi ( DEPKES, 2006 ).
Menurut laporan World Health Organization
(WHO) penyakit tuberkulosis paru di Indonesia
tercatat 320 kasus per 100.000 penduduk pada
tahun 1991, 300 per 100.000 pada tahun 1992 dan
247 kasus pada tahun 1993. Perkiraan angka
kejadian untuk semua golongan umur pada tahun
2000 dan 2005 adalah 243 dan 247 per 100.000
penduduk. Hasil survei kesehatan rumah tangga
yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada
tahun 1992, menunjukkan bahwa tuberkulosis
paru sebagai salah satu penyebab kematian
terbesar nomor dua di Indonesia, dengan angka
kematian sebesar 9,5%. Kasus tuberkulosis paru
positif adalah kasus dengan Basil Tahan Asam
(BTA) positif. Laporan Departemen Kesehatan
dalam profil kesehatan Indonesia (1994), tercatat
kematian karena tuberkulosis paru di rumah sakit
pada penderita rawat inap sebesar 3,6% pada
1991, 4% pada tahun 1992 dan 4,9% pada tahun
1993.
Di dalam buku Sistem Kesehatan Nasional
(SKN) disebutkan bahwa angka kesakitan
tuberkulosis paru adalah sebesar 3 per mil dan
ditargetkan untuk turun menjadi 2 per mil pada
tahun 2000, namun perkiraan ini masih belum ada
laporan sampai dengan akhir tahun 2000.
Infeksi
HIV
memperbesar
masalah
tuberkulosis, koinfeksi HIV meningkatkan risiko
menjadi tuberkulosis aktif sebesar 5 – 10%.
Tahun 2000 prevalensi HIV dan tuberkulosis
meningkat tajam. WHO mengestimasi prevalensi
HIV pada orang dewasa dan anak seluruh dunia
sebanyak 36,1 juta dan 11,8 juta orang dengan
koinfeksi HIV.
Saat Ini 12% penderita
tuberkulosis menderita HIV positif dan 22,5%
kematian penderita tuberkulosis disebabkan HIV.
(Soewondo 2002; Lulu, 2005; DEPKES 2006)
Permasalahan tuberkulosis selain peningkatan
prevalensi atau insiden, diperberat dengan
masalah peningkatan prevalensi infeksi HIV atau
AIDS. Adanya peningkatan insiden tuberkulosis
koinfeksi HIV ini dapat meningkatkan kesulitan
pengobatan. Demikian pula dengan masalah
dalam peningkatan resistensi obat anti tuberlulosis
( OAT ) . Peningkatan prevalensi tuberkulosis
koinfeksi HIV maupun tuberkulosis resisten OAT
berakibat peningkatan risiko penularan demikian
juga menjadi kendala pengendalian tuberculosis (
Kim SJ, 1998 ).
Diagnosis
tuberkulosis
dimulai
sejak
penemuan bakteri tuberkulosis oleh Robert Koch
tahun 1882. Setelah penemuan itu, dikembangkan
berbagai teknik pemeriksaan kuman tuberkulosis.
Sampai saat ini prinsip penemuan dari kuman
tuberkulosis tetap merupakan salah satu pilihan
utama terutama untuk pelayanan pada masyarakat
walaupun dengan banyak keterbatasan. Diagnosis
tuberkulosis dapat ditegakkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik,laboratorium dan pemeriksaan
penunjang lainnya.
Bahan pemeriksaan
tuberkulosis paru dapat diperoleh dari sputum,
bilasan bronkus, bilasan lambung, jaringan paru
serta cairan pleura ( Aditama TY, 2005; Crofton,
1984; Frotingham, 1996 ).
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkkan
dari anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium
dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Pada
program Penanggulangan tuberkulosis dengan
strategi Directly Observed Treatment Shortcourse
Chemoterapy ( DOTS ), pemeriksaan hapusan
sputum mikroskopis langsung dan radiologis
toraks merupakan metode standar.
Saat ini
perkembangan teknik diagnosis yang baru dalam
mendeteksi penyakit tuberkulosis telah cukup
dikenal, misalnya Polymerase Chain Reaction (
PCR ), bact-alert, Ligase Chain Reaction, Gen
Probe, Nucleic Acid Amplification dan deteksi
interferon gama ( Aditama TY, 2005; Retno B,
2004 ; Parnaik, 2001 )
Diagnosis tuberkulosis terutama ditegakkan
berdasarkan
pemeriksaan
sputum
secara
mikroskopis langsung dengan pengambilan
sewaktu – pagi – sewaktu ( SPS ). Pada kasus
kronik atau gagal pengobatan maka dilakukan
pemeriksaan kultur atau biakkan yang merupakan
pemeriksaan baku emas yang juga berperan pada
pemeriksaan uji kepekaan Mycobacterium
tuberculosis terhadap Obat Anti Tuberkulosis (
OAT ). Pada prinsipnya pemeriksaan kultur untuk
memperbanyak atau menumbuhkan bakteri, guna
mengatasi kesulitan diagnosis pada kasus
tuberkulosis koinfeksi HIV yang sering
dilaporkan dengan bakteri tahan asam ( BTA )
negatif.
Sampai saat ini masih banyak
digunakan pemeriksaan kultur dengan memakai
media agar antara lain Lowenstein - Jensen, tetapi
membutuhkan waktu yang lama yaitu lebih dari
tiga minggu ( Sandjaya, 1995; Jawetz et all,
2001 ) ).
48
Sifat Mycobacterium tuberculosis yang
lambat pada waktu pembelahan sekitar 20 jam,
sehingga di kultur pertumbuhan baru tampak
setelah 4 sampai 8 minggu. Untuk dapat tumbuh
di media kultur diperlukan 50 sampai 100
kuman/ml sputum. ( Elisabeth Frida, 2006 )
Media
perbenihan
bertujuan
untuk
memperbanyak
bakteri
Mycobacterium
tuberculosis dalam spesimen sputum, sehingga
dapat meningkatkan deteksi sensitifitas. Sekarang
ini banyak media yang dapat digunakan sebagai
kultur dari Mycobacterium tuberculosis, seperti
media padat dan cair, seperti Lowenstein-Jensen,
Mycobacteria Growth Indicator Tube ( MGIT )
maupun mikrokoloni culture.
Tetapi semua
pemeriksaan diatas memakan biaya yang tidak
murah. Dengan demikian masih berkembang
teknik lain dalam penelitian kultur guna
mendeteksi Mycobacterium tuberculosis guna
mendapatkan metode kultur yang murah dan
tingkat sensitifitas dan spesitifitasnya tinggi
(Forbes BA,Sahm DF,Werssfeld AS, 2005 ).
Media Lowenstein – Jensen memiliki
nutrisi dengan komposisi sebagai berikut: larutan
garam mineral adalah potasium dyhidrogen
phosphate anhydrous, magnesium sulphate,
magnesium citrate, asparagin, glycerol dan air
suling. Media tersebut ditambahkan telur sebagai
suplemennya dimana telur mengandung protein,
Calcium, Phosphor, Ferous, Vitamin A dan
vitamin B1.
Medium nutrient agar yang akan dipakai
adalah dari Oxoid yang mengandung Lab lemco
powder, yeast ekstrak, peptone, sodium chloride
dan agar. Pada nutrien ini akan ditambahkan filtrat
ikan gabus yang mengandung protein, calcium,
Phosphor, Ferous, Vitamin A dan vitamin B1.
Pada penelitian ini kami akan melakukan
modifikasi median nutrien agar yang mengandung
gliserol ditambah dengan filtrat ikan gabus yang
mengandung albumin dan mikronutrien lain .
Penelitian ini diharapkan penambahan filtrat ikan
gabus / ikan kutuk dapat memberikan hasil kultur
yang lebih cepat dan sensitif dibandingkan dengan
kultur pada media Lowenstein – Jensen, dan dapat
menjadi alternatif metode cepat, murah dan
sensitif untuk deteksi
Mycobacterium
tuberculosis
sehingga
dapat
menegakkan
diagnosis dengan cepat dan mempercepat
pengobatan
dan
penyembuhan
penderita
Tuberkulosis.
Rumusan Masalah
1. Apakah pemeriksaan kultur agar dengan
penambahan filtrat ikan
gabus dapat meningkatkan prosen
positif deteksi kuman
Mycobacterium tuberculosis “
2. Apakah pemeriksaan kultur dengan
penambahan
filtrat
ikan
gabus
memberikan waktu yang lebih cepat
dibanding medium Lowenstein Jensen
Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum :
Teknik
kultur
agar
dengan
penambahan filtrat ikan gabus dapat
digunakansebagai metode kultur untuk
Mycobacterium tuberculosis
.2 Tujuan Khusus :
1. Untuk membuktikan pemeriksaan
kultur agar dengan penambahan filtrat
ikan gabus dapat meningkatkan prosen
positif
deteksi
Mycobacterium
tuberculosi
dibandingkan dengan
medium Lowenstein Jensen
2. Untuk membuktikan pemeriksaan
kultur agar dengan penambahan filtrat
ikan gabus memberikan hasil yang
lebih cepat dibandingkan
dengan
medium Lowenstein Jensen
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
mengetahui perkembangan
pengetahuan terhadap nutrisi yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan kuman
Mycobacterium tuberculosis pada media
agar.
.2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat
menemukan tehnik kultur yang akurat,
sederhana dan murah yang berguna dalam
menegakkan diagnosis adanya
Mycobacterium tuberculosis dalam bahan
pemeriksaan.
TINJAUAN PUSTAKA
Tuberkulosis
Definisi tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi
kronis
yang
disebabkan
oleh
kuman
Mycobacterium tuberculosis. Ditemukan pada
tahun 1882 oleh Robert Koch, berbentuk batang
atau sedikit melengkung tidak berspora dan tidak
berkapsul. Bakteri ini ukurannya lebar 0,3 – 0,6
µm dan panjangnya 1 – 4 µm ( MD Iseman, 2002
).
Tuberkulosis adalah nama suatu infeksi yang
disebabkan
oleh
kuman
Mycobacterium
tuberculosis, dapat menyebabkan lesi pada
berbagai jaringan organ tubuh. Organ utama yang
sering terkena adalah paru – paru. Kuman ini
dapat juga menyerang organ lain selain paru ( Rai,
49
1990 ; Sidik, 1997 )
Sebagian besar Mycobacterium tuberculosis
menyerang paru tetapi dapat juga menyerang
organ tubuh yang lain. Sumber penularan dari
bakteri ini adalah melalui inhalasi dari manusia ke
manusia secara kontak langsung lewat udara (
droplet nuclei ) melalui percikan dahak atau
sputum
yang
mengandung
partikel
Mycobacterium tuberculosis yang berukuran 1 –
5 µm ) ( Forbes, 2005 ).
Diagnosis
Diperkirakan terdapat 8 – 10 juta kasus
tuberkulosis setiap tahunnya didunia saat ini, dan
sekitar
3
juta
menyebabkan
kematian.
Perkembangan gejala yang spesifik tergantung
dari organ mana yang terkena infeksi
Mycobacterium tuberculosis.
Gambaran klinis tuberkulosis paru dibagi
menjadi dua golongan yaitu (DEPKES 2006,
Soedarsono, 2002 ):
1.
Gejala utama, yaitu batuk terus
menerus dan berdahak selama tiga
minggu atau lebih
2.
Gejala tambahan, yang sering
dijumpai :
a. Dahak bercampur darah
b. Batuk berdarah
c. Sesak nafas dan nyeri dada
d. Badan lemah, nafsu makan
menurun, berat badan menurun,
rasa kurang enak badan (
malaise ), keringat malam,
demam atau meriang lebih dari
sebulan
Diagnosis tuberkulosis Paru pada orang
dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman
mycobacterium tuberculosis.
Pada program
tuberkulosis nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan
diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto
toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan
sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai
dengan indikasinya.
Pemeriksaan sputum secara mikroskopis
merupakan pemeriksaan yang efisien, mudah dan
murah.
Pemeriksaan baku mas untuk
mendiagnosis tuberkulosis adalah melalui kultur,
tetapi membutuhkan waktu yang lama. Sifat
Mycobacterium tuberculosis yang lambat pada
waktu pembelahan sekitar 20 jam, sehingga pada
kultur pertumbuhan baru tampak setelah 4 sampai
8 minggu. Untuk dapat tumbuh di media kultur
diperlukan 1 sampai 100 kuman / ml sputum (
Elisabeth Frida, 2006 )
Ikan Gabus
Karakteristik ikan gabus
Daging ikan merupakan bahan biologis
yang secara kimia tersusun protein,
karbohidrat, lemak, vitamin, enzim dan
sebagainya. Kadar protein ikan 16 – 20 % yang
terdiri dari asam amino esensial dan non esensial.
Protein dibutuhkan untuk pertumbuhan sel,
penyusun sel, penyusun struktur sel . Protein
yang banyak berperan adalah albumin (
Hadiwiyoto, 1993 ).
Ikan gabus atau ikan kutuk atau Snake
Head ( Ophiacephalus striatu)
adalah ikan yang hidup di air tawar dimana ikan
ini bersifat karnivora. Ciri nya adalah ikan ini
berbentuk hampir bulat, panjang dan semakin
kebelakang berbentuk pipih. Bagian punggung
cembung, perut rata dan kepala pipih seperti ular.
Berwarna hijau kehitaman ikan ini dapat
mencapai panjang 90 – 110 cm ( Eddy, 2003 ).
Tabel Komposisi kimia ikan gabus per 100 gram bahan ( Seminar nasional UNBRAW 2008 )
Komposisi Kimia
Ikan Gabus Segar
air ( g )
69
Kalori ( kal )
74
Protein ( g )
25,2
Lemak ( g )
1,7
Karbohidrat ( g )
0
Ca ( mg )
62
P ( mg )
176
Fe ( mg )
0,9
Vitamin A ( SI )
150
Vitamin B1 ( mg )
0,04
Vitamin C ( mg )
0
Bydd ( mg )
64
Sumber : Poedjiadi dan Supriyanti ( 2006 )
Ikan Gabus Kering
24
292
58
4
0
15
100
0,7
100
0,1
0
80
50
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
Sputum Mycobacterium tuberculosis
Kultur Invitro
Pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis
Media Nutrien agar + filtrat ikan gabus
Nutrisi :
Pepton, sodium chloride, yeast ekstrak,
karbohidrat
Filtrat ikan gabus :
Albumin, protein, lemak, karbohidrat,
mikronutrien (C, P, Fe), vitamin A, vitamin
B1, Vitamin C
-
Gambar 3.1.
Lingkungan :
- Suhu
- pH
- Cahaya
Media Lowenstein – Jensen
Nutrisi :
Tepung kentang, asparagin, gliserol,
magnesium sulfat, sodium citrat, mono
potasium fosfat, malasite green
Telur bebek :
Protein, karbohidrat, lemak, thiamin,
Riboflavin B12, asam folat, Fe
Beda prosen deteksi Mycobacterium tuberculosis
Kecepatan pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis
Kerangka Konseptual Media Kultur dengan Suplemen Filtrat Ikan Gabus untuk
meningkatkan pertumbuhan Mycobacterium tubercolosis.
Keterangan Gambar :
:
yang tidak diteliti
:
yang diteliti
Hipotesis Penelitian
1 Ada perbedaan prosen positif deteksi kuman
Mycobacterium tuberculosis
antara Lowenstein – Jensen dengan nutrien
agar yang ditambah filtrat ikan gabus
2 Ada perbedaan kecepatan pertumbuhan
Mycobacterium tuberculosis antara
Lowenstein – Jensen dengan nutrien agar
yang ditambah filtrat ikan gabus
METODOLOGI PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah uji
diagnostik eksperimental dilaboratorium
dengan cara melakukan eksperimen,
kemudian diamati dan dibandingkan hasil
pertumbuhan
bakteri
Mycobacterium
tuberculosis antara metode Lowensten –
Jensen dan media agar dengan penambahan
filtrat ikan gabus dalam dua konsentrasi.
Komposisi pertama adalah mengandung
filtrat 50 ml dan Komposisi kedua adalah
mengandung filtrat 100 ml.
Tempat
Tempat penelitian
a. Persiapan filtrat ikan gabus :
- Filtrat di dapat dari Rumah Sakit
Angkatan Laut Surabaya
b. Laboratorium Mikrobiologi FK UNAIR
dan BBLK Surabaya
c. Rumah Sakit BP4 Surabaya, tempat
pengambilan sputum
d. Balai Besar Laboratorium Kesehatan
Surabaya
51
HASIL
Tabel 1. hasil kultur sputum penderita Tuberkulosis Paru dengan BTA + pada media GNA
Jenis Sampel
Hasil Pemeriksaan Kultur Pada Media GNA
Positif
Negatif
Total
BTA +1
2
8
10
BTA +2
12
0
12
BTA +3
9
0
9
Total
23
8
31
BTA : Bakteri Tahan Asam GNA : komposisi filtrat 50 ml
Pada sejumlah sampel sputum penderita
tuberkulosis paru yang didapat dari Laboratorium
Klinik RS BP4 Surabaya sebanyak 31 sampel
yang ditanam media Gabus Nutrien Agar dengan
komposisi filtrat 50 ml
dengan
BTA +1
sebanyak 10 sampel , BTA + 2 sebanyak 12
sampel, BTA +3 sebanyak 9 sampel ditemukan
deteksi positif
Mycobacterium tuberculosis
sebagai berikut : BTA +1 sebanyak 2 sampel yang
positif ( 20 % ), BTA +2 sebanyak 11 sampel
yang positif ( 100% ), BTA +3 sebanyak 10
sampel
yang
positif
(
100%
)
Tabel 2 Hasil kultur sputum penderita Tuberkulosis Paru dengan BTA + pada
media GNB
Jenis Sampel
Hasil Pemeriksaan Kultur Media GNB
Positif
Negatif
Total
BTA +1
4
6
10
BTA +2
12
0
12
BTA +3
9
0
9
Total
25
8
31
BTA : Bakteri Tahan Asam
GNB : Gabus Nutrien Agar dengan komposisi filtrat 100 ml
Pada sejumlah sampel sputum penderita
tuberkulosis paru sebanyak 31sampel yang
ditanam media
Gabus Nutrien Agar dengan
komposisi filtrat 100 ml dengan BTA +1 sebanyak
10 sampel, BTA + 2 sebanyak 12 sampel, BTA
+3 sebanyak 9 sampel ditemukan deteksi positif
Mycobacterium tuberculosis ditemukan BTA +1
sebanyak 4 sampel yang positif ( 40% ), BTA +2
sebanyak 11 sampel yang positif ( 100% ), BTA
+3 sebanyak 10 sampel yang positif ( 100%).
Tabel hasil kultur sputum pada media L-J
JENIS SAMPEL
Hasil Kultur Pada media L - J
positif
negatif
TOTAL
BTA +1
8
2
10
BTA +2
12
0
12
BTA +3
9
0
9
TOTAL
29
2
31
Pada
analisis
statistik
membandingkan
pertumbuhan
untuk
koloni
Mycobacterium tuberculosis pada media Gabus
Nutrien Agar dengan komposisi 100 ml filtrat
52
ikan
gabus dan media Lowenstein – Jensen
didapatkan hasil p > 0.05 yaitu 0.219 berarti
tidak terdapat
perbedaan pertumbuhan kultur
antara kedua media tersebut.
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Ada perbedaan Positif deteksi positif
Mycobacterium tuberculosis dari
kultur
sputum
sebanayak 31 sampel pada
media Gabus nutrient agar dengan
media
Lowenstein – Jensen. Dimana pada
metode Gabus nutrient agar dengan
konsentrasi 50 ml didapat pada BTA +1
sebanyak
20.%
,
BTA
+2
sebanyak100%, BTA +3 1sebanyak
100%. Pada konsentrsi 100 ml didapat
BTA +1
sebanyak 40%, BTA +2
sebanyak 100%, BTA +3 sebanyak
100% serta pada
media
Lowenstein – Jensen
memberikan hasil pada BTA + 1
sebanyak 80%, BTA+2 sebanyak 100
%, BTA + 3 seanyak 100 %.
Saran
Perlu dikembangkan penelitian untuk media
kultur meliputi preparasi filtrate ikan
Gabus
menjadi isolate protein murni yang
dikandundung dari filtrat ikan Gabus, serta
dilakukan kombinasi komponen komposisi nutrisi
sesuai dengan kebutuhan
pertumbuhan
Mycobacterium tuberculosis untuk meningkatkan
deteksi
Mycobacterium tuberculosis dari
spesimen klinik.
Daftar Pustaka
Hasegaf Hood. 2007.
new current in
Tuberculosis. Dalam TB update. Surabaya.
Jawetz , E. Melnick, JL Adelberg, EA. 2001.
Medical Microbiology. 22 th Ed. Appleton
& Lange. Mc Graw Hill comp.
Ni Made Mertaniasih., Diagnosis Tuberkulosis
masa kini dan akan datang, Peran pada
klinik
dan
program
pengendalian
simposium Tuberkulosis. Tropical Disease
Center UNAIR 2005
Suprayitno Eddy, 2008. Tinjauan Aspek Biokimia
Albumin Ikan Gabus sebagai sumber
Pangan Kesehatan. Dalam Seminar
Nasional Pemanfaatan ikan Gabus Dalam
Dunia Kesehatan. UNIBRAW
53
LIPOLISIS
F. Y. Widodo
Department of Biochemistry
University of Wijaya Kusuma Surabaya Medical Faculty
ABSTRAK
Lipolisis adalah rincian lemak yang tersimpan dalam sel-sel lemak. Selama proses ini, asam lemak
bebas dilepaskan ke dalam aliran darah dan beredar ke seluruh tubuh. Keton dihasilkan, dan ditemukan
dalam jumlah besar di ketosis (keadaan metabolisme adaptif yang terjadi ketika tidak cukup
karbohidrat hadir dalam makanan).
Hormon-hormon berikut menginduksi lipolisis: epinefrin, norepinefrin, glukagon dan hormon
Adrenocorticotropic. Ini memicu 7TM reseptor, yang mengaktifkan adenilat siklase. Hal ini
menghasilkan peningkatan produksi cAMP, yang mengaktifkan protein kinase A, yang kemudian
mengaktifkan lipase ditemukan dalam jaringan adiposa.
Trigliserida mengalami lipolisis (hidrolisis oleh lipase) dan dipecah menjadi gliserol dan asam lemak.
Setelah dilepaskan ke darah, mengikat asam lemak bebas relatif hidrofobik untuk serum albumin untuk
transport ke jaringan yang membutuhkan energi. gliserol juga memasuki aliran darah dan diserap oleh
hati atau ginjal di mana itu dikonversi menjadi gliserol 3-fosfat oleh enzim gliserol kinase. Hepatika
gliserol 3-fosfat sebagian besar diubah menjadi dihidroksiaseton (DHAP) dan kemudian
glyceraldehyde 3-fosfat (G3P) untuk bergabung kembali dengan glikolisis dan jalur glukoneogenesis.
KATA-KATA KUNCI: Asam Lemak Bebas, triasilgliserol, Badan Keton
LIPOLYSIS
F. Y. Widodo
Department of Biochemistry
University of Wijaya Kusuma Surabaya Medical Faculty
ABSTRACT
Lipolysis is the breakdown of fat stored in fat cells. During this process, free fatty acids are released
into the bloodstream and circulate throughout the body. Ketones are produced, and are found in large
quantities in ketosis (an adaptive metabolic state that occurs when insufficient carbohydrates are
present in the diet).
The following hormones induce lipolysis: epinephrine, norepinephrine, glucagon and
adrenocorticotropic hormone. These trigger 7TM receptors, which activate adenylate cyclase. This
results in increased production of cAMP, which activates protein kinase A, which subsequently activate
lipases found in adipose tissue.
Triglycerides undergo lipolysis (hydrolysis by lipases) and are broken down into glycerol and fatty
acids. Once released into the blood, the relatively hydrophobic free fatty acids bind to serum albumin
for transport to tissues that require energy. The glycerol also enters the bloodstream and is absorbed by
the liver or kidney where it is converted to glycerol 3-phosphate by the enzyme glycerol kinase.
Hepatic glycerol 3-phosphate is mostly converted into Dihydroxyacetone (DHAP) and then
glyceraldehyde 3-phosphate (G3P) to rejoin the glycolysis and gluconeogenesis pathway.
KEY WORDS: Free Fatty Acids, Triacylglycerol, Ketone Bodies
Makalah disampaikan pada Seminar “COSMETIC DERMATOLOGIC SURGERY WORKSHOP AND
LIVE PATIENT DEMONSTRATION” pada tanggal 25-26 Agustus 2007 di Surabaya
54
Interconversion of chemical compounds
in the body
The nature of the diet sets the basic pattern
of metabolism. There is a need to process
the products of digestion of dietary
carbohydrate, lipid, and protein. These are
mainly glucose, fatty acids and glycerol,
and amino acids, respectively. In
ruminants (and, to a lesser extent, other
herbivores), dietary cellulose is fermented
by symbiotic microorganisms to shortchain fatty acids (acetic, propionic,
butyric), and metabolism in these animals
is adapted to use these fatty acids as major
substrates. All the products of digestion
are metabolized to a common product,
acetyl-CoA, which is then oxidized by the
citric acid cycle
Figure 1: Overview of metabolism
Glucose is the major fuel of most tissues.
It is metabolized to pyruvate by the
pathway of glycolysis. Aerobic tissues
metabolize pyruvate to acetyl-CoA, which
can enter the citric acid cycle for
complete oxidation to CO2 and H2O,
linked to the formation of ATP in the
process of oxidative phosphorylation .
Glycolysis can also occur anaerobically
(in the absence of oxygen), when the end
product is lactate.
Glucose and its metabolites also take part
in other processes, eg,
(1) Synthesis of the storage polymer
glycogen in skeletal muscle and liver.
(2) The pentose phosphate pathway, an
alternative to part of the pathway of
glycolysis. It is a source of reducing
equivalents (NADPH) for fatty acid
synthesis and the source of ribose for
nucleotide and nucleic acid synthesis.
(3) Triose phosphates gives rise to the
glycerol moiety of triacylglycerols.
(4) Pyruvate and intermediates of the
citric acid cycle provide the carbon
skeletons for the synthesis of amino
acids, and acetyl-CoA is the precursor
of fatty acids and cholesterol (and
hence of all steroids synthesized in the
body). Gluconeogenesis is the process
of forming glucose from non-
carbohydrate precursors, eg, lactate,
amino acids, and glycerol
Figure 2: Overview of metabolism
55
The source of long-chain fatty acids is either
dietary lipid or de novo synthesis from
acetyl-CoA derived from carbohydrate or
amino acids . Fatty acids may be oxidized to
acetyl-CoA ( -oxidation) or esterified with
glycerol, forming triacylglycerol (fat) as the
body's main fuel reserve.
Acetyl-CoA formed by -oxidation may
undergo several fates.
(1) As with acetyl-CoA arising from
Figure 3: Overview of fatty acid
metabolism
Lipids in the diet
are mainly
triacylglycerol, and are hydrolyzed to
monoacylglycerols and fatty acids in the
gut, then re-esterified in the intestinal
mucosa. Here they are packaged with
protein and secreted into the lymphatic
system and thence into the bloodstream as
chylomicrons, the largest of the plasma
lipoproteins. Chylomicrons also contain
other lipid-soluble nutrients. Unlike
glucose and amino acids, chylomicron
triacylglycerol is not taken up directly by
the liver. It is first metabolized by tissues
that have lipoprotein lipase, which
hydrolyzes the triacylglycerol, releasing
fatty acids that are incorporated into tissue
lipids or oxidized as fuel. The chylomicron
remnants are cleared by the liver. The
other major source of long-chain fatty
glycolysis, it is oxidized to CO2 + H2O
via the citric
acid cycle.
(2) It is the precursor for synthesis of
cholesterol and other steroids.
(3) In the liver, it is used to form ketone
bodies (acetoacetate and 3-hydroxybutyrate)
that
are important fuels in prolonged
fasting.
acids is synthesis (lipogenesis) from
carbohydrate, in adipose tissue and the
liver.
Adipose tissue triacylglycerol is the main
fuel reserve of the body. It is hydrolyzed
(lipolysis) and glycerol and free fatty acids
are released into the circulation. Glycerol
is a substrate for gluconeogenesis. The
fatty acids are transported bound to serum
albumin; they are taken up by most tissues
(but not brain or erythrocytes) and either
esterified to acylglycerols or oxidized as a
fuel. In the liver, triacylglycerol arising
from lipogenesis, free fatty acids, and
chylomicron remnants is secreted into the
circulation in very low density lipoprotein
(VLDL). This triacylglycerol undergoes a
fate similar to that of chylomicrons.
Partial oxidation of fatty acids in the liver
leads to ketone body production
(ketogenesis).
Ketone
bodies
are
transported to extrahepatic tissues, where
they act as a fuel in prolonged fasting and
starvation.
The central role of the mitochondrion is
immediately apparent, since it acts as the
focus of carbohydrate, lipid, and amino
acid metabolism. It contains the enzymes
of the citric acid cycle, -oxidation of
fatty acids and ketogenesis, as well as the
respiratory chain and ATP synthase.
The products of lipid digestion enter the
circulation as chylomicrons, the largest of
the plasma lipoproteins, especially rich in
triacylglycerol. In adipose tissue and
skeletal muscle, extracellular lipoprotein
lipase is synthesized and activated in
response to insulin; the resultant
nonesterified fatty acids are largely taken
up by the tissue and used for synthesis of
triacylglycerol, while the glycerol remains
in the bloodstream and is taken up by the
liver and used for either gluconeogenesis
and glycogen synthesis or lipogenesis.
56
Fatty acids remaining in the bloodstream
are taken up by the liver and reesterified.
The lipid-depleted chylomicron remnants
are cleared by the liver, and the remaining
triacylglycerol is exported, together with
that synthesized in the liver, in very low
density lipoprotein.
In adipose tissue the decrease in insulin
and increase in glucagon results in
inhibition of lipogenesis, inactivation of
lipoprotein lipase, and activation of
intracellular hormone-sensitive lipase.
This leads to release from adipose tissue
of increased amounts of glycerol (which is
a substrate for gluconeogenesis in the
liver) and free fatty acids, which are used
by liver, heart, and skeletal muscle as their
preferred metabolic fuel, therefore sparing
glucose.
Although muscle preferentially takes up
and metabolizes free fatty acids in the
fasting state, it cannot meet all of its
energy requirements by –oxidation. By
contrast, the liver has a greater capacity
for –oxidation than it requires to meet its
own energy needs, and as fasting becomes
more prolonged, it forms more acetyl-CoA
than can be oxidized. This acetyl-CoA is
used to synthesize the ketone bodies,
which are major metabolic fuels for
skeletal and heart muscle and can meet
some of the brain’s energy needs. In
prolonged starvation, glucose may
represent less than 10% of whole body
energy-yielding metabolism.
Transport of Fat
Triacylglycerols come from diet, de novo
biosynthesis (primarily liver), and
adipocyte storage. Dietary fat is
hydrolyzed in the lumen of the small
intestine (mostly by pancreatic lipase) to
yield glycerol, free fatty acids,
monoacylglycerols, and diacylglycerols.
The hydrolysis products of this digestion
are combined back into triacylglycerols
(fats) in the endoplasmic reticula and
Golgi complexes of the intestinal mucosa
cells. Fats are combined with apoproteins
to form chylomicrons, which transport the
fats through blood and lymph.
Chylomicrons are thus the transport
vehicle for dietary cholesterol. Note that
fats in chylomicrons are digested in
capillaries (to produce chylomicron
remnants), like the VLDLs described
below. Free fatty acids are rarely found in
the bloodstream. Rather, they are
complexed to serum albumin. The liver
also plays an important role in fat
metabolism. Fats synthesized in the liver
are combined with another set of
apoproteins to form very low density
lipoproteins (VLDLs), which are
hydrolyzed en route to peripheral tissues at
the inner surface of capillaries.
Hydrolysis of fats in capillaries by
lipoprotein lipase yields intermediatedensity lipoproteins (IDLs) from VLDLs
and chylomicron remnants from
chylomicrons. IDLs are taken up by the
liver and further processed to low-density
lipoproteins (LDLs). LDLs are the
primary form by which cholesterol is
transported to tissues and high-density
lipoproteins (HDLs) serve to transport
cholesterol from tissues back to the liver.
Four major groups of lipoproteins have
been identified that are important
physiologically and in clinical diagnosis.
These are (1) chylomicrons, derived from
intestinal absorption of triacylglycerol and
other lipids; (2) very low density
lipoproteins (VLDL, or pre- lipoproteins), derived from the liver for
the export of triacylglycerol; (3) lowdensity lipoproteins (LDL, or lipoproteins), representing a final stage in
the catabolism of VLDL; and (4) highdensity lipoproteins (HDL, or lipoproteins), involved in cholesterol
transport and also in VLDL and
chylomicron metabolism. Triacylglycerol
is the predominant lipid in chylomicrons
and VLDL, whereas cholesterol and
phospholipid are the predominant lipids in
LDL and HDL, respectively. Lipoproteins
may be separated according to their
electrophoretic properties into -, -, and
pre- -lipoproteins.
The free fatty acids (FFA) arise in the
plasma from lipolysis of triacylglycerol in
adipose tissue or as a result of the action
of lipoprotein lipase during uptake of
plasma triacylglycerols into tissues. They
are found in combination with albumin,
57
a very effective solubilizer, in
concentrations varying between 0.1 and
2.0 eq/mL of plasma.The free fatty acid
uptake by tissues is related directly to the
plasma free fatty acid concentration,
which in turn is determined by the rate of
lipolysis in adipose tissue.
Triaculglycerol is transported from the
intestines in chylomicrons and from the
liver in very low density lipoprteins
(VLDL). By definition, chylomicrons are
found in chyle formed only by the
Figure 4: Metabolic fate of
chylomicrons.
Triacylglycerols of Chylomicrons &
VLDL Are Hydrolyzed by Lipoprotein
Lipase, there is located on the walls of
blood capillaries.
Reaction with lipoprotein lipase results in
the loss of approximately 90% of the
triacylglycerol of chylomicrons and in the
loss of apo C (which returns to HDL) but
not apo E, which is retained. The resulting
chylomicron remnant is about half the
diameter of the parent chylomicron and is
relatively enriched in cholesterol and
cholesteryl esters because of the loss of
triacylglycerol. Similar changes occur to
VLDL, with the formation of VLDL
remnants or IDL (intermediate-density
lipoprotein).
After metabolism to IDL, VLDL may be
taken up by the liver directly via the LDL
(apo B-100, E) receptor, or it may be
lymphatic system draining the intestine.
They are responsible for the transport of
all dietary lipids into the circulation. Small
quantities of VLDL are also to be found in
chyle; however, most of the plasma VLDL
are of hepatic origin. They are the vehicles
of transport of triacylglycerol from the
liver to the extrahepatic tissues. There are
striking similarities in the mechanisms of
formation of chylomicrons by intestinal
cells and of VLDL by hepatic
parenchymal cells
Figure 5: Metabolic fate of very low
density lipoproteins (VLDL) and
production of low-density lipoproteins
(LDL).
converted to LDL. Only one molecule of
apo B-100 is present in each of these
lipoprotein particles, and this is conserved
during the transformations. Thus, each
LDL particle is derived from a single
precursor VLDL particle.
HDL Takes Part in Both Lipoprotein
Triacylglycerol
&
Cholesterol
Metabolism. HDL is synthesized and
secreted from both liver and intestine .
However, apo C and apo E are synthesized
in the liver and transferred from liver HDL
to intestinal HDL when the latter enters
the plasma. A major function of HDL is to
act as a repository for the apo C and apo E
required
in
the
metabolism
of
chylomicrons and VLDL. Nascent HDL
consists of discoid phospholipid bilayers
containing apo A and free cholesterol.
LCAT
(lecithin:cholesterol
58
acyltransferase)—and the LCAT activator
apo A-I—bind to the discoidal particles,
and the surface phospholipid and free
cholesterol are converted into cholesteryl
esters and lysolecithin.
HDLs are lipoprotein complexes often
referred to as the "good cholesterol"
because they function to take cholesterol
from peripheral tissues back to the liver
and help lower total serum cholesterol . At
the liver, HDLs are not taken up by
endocytosis. Rather, HDLs appear to
"dock" at a cell surface receptor, deposit
cholesterol, and then depart as remnants
without being incorporated to the cell's
interior.
Figure 6: Metabolism of high-density lipoprotein (HDL) in reverse cholesterol transport
The Liver Plays a Central Role in Lipid
Transport & Metabolism. The liver carries
out the following major functions in lipid
metabolism:
(1) It facilitates the digestion and
absorption of lipids by the production of
bile, which contains cholesterol and bile
salts synthesized within the liver de novo
or from uptake of lipoprotein cholesterol .
Adipose Tissue Is the Main Store of
Triacylglycerol in the Body. The
triacylglycerol stores in adipose tissue are
continually
undergoing
lipolysis
(hydrolysis) and reesterification These two
processes are entirely different pathways
involving different reactants and enzymes.
This allows the processes of esterification
or lipolysis to be regulated separately by
many nutritional, metabolic, and hormonal
of free fatty acids exert an influence far
beyond the tissue itself.
Triacylglycerol is synthesized from acylCoA and glycerol 3-phosphate. Because
the enzyme glycerol kinase is not
expressed in adipose tissue, glycerol
by ACTH, TSH, glucagon, epinephrine,
norepinephrine, and vasopressin and
inhibited by insulin, prostaglandin E1, and
(2) It actively synthesizes and oxidizes
fatty acids and also synthesizes
triacylglycerols and phospholipids
(3) It converts fatty acids to ketone bodies
(ketogenesis).
(4) It plays an integral part in the synthesis
and metabolism of plasma lipoprotein.
factors. The resultant of these two
processes determines the magnitude of the
free fatty acid pool in adipose tissue,
which in turn determines the level of free
fatty acids circulating in the plasma. Since
the latter has most profound effects upon
the metabolism of other tissues,
particularly liver and muscle, the factors
operating in adipose tissue that regulate
the
outflow
cannot be utilized for the provision of
glycerol 3-phosphate, which must be
supplied by glucose via glycolysis.
Triacylglycerol undergoes hydrolysis by a
hormone-sensitive lipase
(activated
nicotinic acid) to form free fatty acids and
glycerol. This lipase is distinct from
lipoprotein lipase, which catalyzes
59
lipoprotein triacylglycerol hydrolysis
before its uptake into extrahepatic tissues
(see above). Since the glycerol cannot be
utilized, it enters the blood and is taken up
and utilized by tissues such as the liver
and kidney, which possess an active
glycerol kinase.
Figure 7: Metabolism in adipose tissue
The free fatty acids formed by lipolysis
can be reconverted in adipose tissue to
acyl-CoA by acyl-CoA synthetase and
reesterified with glycerol 3-phosphate to
form triacylglycerol. Thus, there is a
continuous cycle of lipolysis and
reesterification within the tissue.
However, when the rate of reesterification
is not sufficient to match the rate of
lipolysis, free fatty acids accumulate and
diffuse into the plasma, where they bind to
albumin and raise the concentration of
plasma free fatty acids.
When the utilization of glucose by adipose
tissue is increased, the free fatty acid
outflow decreases. However, the release
of glycerol continues, demonstrating that
the effect of glucose is not mediated by
reducing the rate of lipolysis. The effect is
due to the provision of glycerol 3phosphate, which enhances esterification
of free fatty acids. Glucose can take
several pathways in adipose tissue,
including oxidation to CO2 via the citric
acid cycle, oxidation in the pentose
phosphate pathway, conversion to longchain fatty acids, and formation of
acylglycerol via glycerol 3-phosphate.
When glucose utilization is high, a larger
proportion of the uptake is oxidized to
CO2 and converted to fatty acids.
However, as total glucose utilization
decreases, the greater proportion of the
glucose is directed to the formation of
glycerol 3-phosphate for the esterification
of acyl-CoA, which helps to minimize the
efflux of free fatty acids.
The rate of release of free fatty acids from
adipose tissue is affected by many
hormones that influence either the rate of
esterification or the rate of lipolysis.
Insulin inhibits the release of free fatty
acids from adipose tissue, which is
followed by a fall in circulating plasma
free fatty acids. It enhances lipogenesis
and the synthesis of acylglycerol and
increases the oxidation of glucose to CO2
via the pentose phosphate pathway. All of
these effects are dependent on the
presence of glucose and can be explained,
to a large extent, on the basis of the ability
of insulin to enhance the uptake of glucose
into adipose cells via the GLUT 4
transporter. Insulin also increases the
activity of pyruvate dehydrogenase,
acetyl-CoA carboxylase, and glycerol
phosphate acyltransferase, reinforcing the
effects of increased glucose uptake on the
enhancement
of
fatty
acid
and
acylglycerol synthesis. These three
enzymes are regulated in a coordinate
60
manner
by
phosphorylationdephosphorylation mechanisms.
A principal action of insulin in adipose
tissue is to inhibit the activity of hormonesensitive lipase, reducing the release not
only of free fatty acids but of glycerol as
well. Adipose tissue is much more
sensitive to insulin than are many other
tissues, which points to adipose tissue as a
major site of insulin action in vivo.
Other hormones accelerate the release of
free fatty acids from adipose tissue and
raise the plasma free fatty acid
concentration by increasing the rate of
lipolysis of the triacylglycerol stores
These
include
epinephrine,
norepinephrine,
glucagon,
adrenocorticotropic hormone (ACTH),
and
-melanocyte-stimulating
hormones (MSH), thyroid-stimulating
hormone (TSH), growth hormone (GH),
and vasopressin. Many of these activate
hormone-sensitive lipase. For an optimal
effect, most of these lipolytic processes
require the presence of glucocorticoids
and thyroid hormones. These hormones
act in a facilitatory or permissive capacity
with respect to other lipolytic endocrine
factors.
Note the cascade sequence of reactions
affording amplification at each step. The
lipolytic stimulus is "switched off" by
removal of the stimulating hormone; the
action of lipase phosphatase; the inhibition
of the lipase and adenylyl cyclase by high
concentrations of FFA; the inhibition of
adenylyl cyclase by adenosine; and the
removal of cAMP by the action of
phosphodiesterase. ACTH, TSH, and
glucagon may not activate adenylyl
cyclase in vivo, since the concentration of
each hormone required in vitro is much
higher than is found in the circulation.
Positive (+) and negative (-) regulatory
effects are represented by broken lines and
substrate flow by solid lines.
The hormones that act rapidly in
promoting lipolysis, ie, catecholamines,
do so by stimulating the activity of
adenylyl cyclase, the enzyme that
converts ATP to cAMP. The mechanism
is analogous to that responsible for
hormonal stimulation of glycogenolysis.
cAMP, by stimulating cAMP-dependent
protein kinase, activates hormonesensitive lipase. Thus, processes which
destroy or preserve cAMP influence
lipolysis. cAMP is degraded to 5'-AMP by
the enzyme cyclic 3',5'-nucleotide
phosphodiesterase. This enzyme is
inhibited by methylxanthines such as
caffeine and theophylline. Insulin
antagonizes the effect of the lipolytic
hormones. Lipolysis appears to be more
sensitive to changes in concentration of
insulin than are glucose utilization and
esterification. The antilipolytic effects of
insulin,
nicotinic
acid,
and
prostaglandin E1 are accounted for by
inhibition of the synthesis of cAMP at the
adenylyl cyclase site, acting through a Gi
protein.
Insulin
also
stimulates
phosphodiesterase
and
the
lipase
phosphatase that inactivates hormonesensitive lipase. The effect of growth
hormone in promoting lipolysis is
dependent on synthesis of proteins
involved in the formation of cAMP.
Glucocorticoids promote lipolysis via
synthesis of new lipase protein by a
cAMP-independent pathway, which may
be inhibited by insulin, and also by
promoting transcription of genes involved
in the cAMP signal cascade. These
findings help to explain the role of the
pituitary gland and the adrenal cortex in
enhancing fat mobilization. Adipose tissue
secretes the hormone leptin, which
regulates energy homeostasis. Although it
was initally thought to protect against
obesity, current evidence suggests that the
main role of leptin is to act as a signal of
energy sufficiency rather than energy
excess.
The sympathetic nervous system, through
liberation of norepinephrine in adipose
tissue, plays a central role in the
mobilization of free fatty acids. Thus, the
increased lipolysis caused by many of the
factors described above can be reduced or
abolished by denervation of adipose tissue
or by ganglionic blockade.
Human adipose tissue may not be an
important site of lipogenesis. There is no
significant incorporation of glucose or
pyruvate into long-chain fatty acids; ATPcitrate lyase, a key enzyme in lipogenesis,
61
does not appear to be present, and other
lipogenic
enzymes—eg,
glucose-6phosphate dehydrogenase and the malic
enzyme—do not undergo adaptive
changes. Indeed, it has been suggested that
in humans there is a "carbohydrate excess
syndrome" due to a unique limitation in
ability to dispose of excess carbohydrate
by lipogenesis. Human adipose tissue is
unresponsive to most of the lipolytic
hormones apart from the catecholamines.
Oxidation of Fatty Acids
Fatty acids must first be converted to an
active intermediate before they can be
catabolized. This is the only step in the
complete degradation of a fatty acid that
requires energy from ATP. In the presence
of ATP and coenzyme A, the enzyme acylCoA synthetase (thiokinase) catalyzes the
conversion of a fatty acid (or free fatty
acid) to an "active fatty acid" or acyl-CoA,
which uses one high-energy phosphate
with the formation of AMP and PPi ..
Acyl-CoA synthetases are found in the
endoplasmic reticulum, peroxisomes, and
inside and on the outer membrane of
mitochondria.
Long-Chain Fatty Acids Penetrate the
Inner Mitochondrial Membrane as
Carnitine Derivatives. Long-chain acylCoA (or FFA) will not penetrate the inner
membrane of mitochondria. However,
carnitine palmitoyltransferase-I, present
in the outer mitochondrial membrane,
converts
long-chain
acyl-CoA
to
acylcarnitine, which is able to penetrate
the inner membrane and gain access to the
-oxidation system of enzymes .
Carnitine-acylcarnitine translocase acts
as an inner membrane exchange
transporter. Acylcarnitine is transported in,
coupled with the transport out of one
molecule of carnitine. The acylcarnitine
then reacts with CoA, catalyzed by
carnitine
palmitoyltransferase-II,
located on the inside of the inner
membrane. Acyl-CoA is re-formed in the
mitochondrial matrix, and carnitine is
liberated.
Figure 8: Role of Carnitine
In -oxidation, two carbons at a time are
cleaved from acyl-CoA molecules, starting
at the carboxyl end. The chain is broken
between the
(2)- and
(3)-carbon
atoms—hence the name -oxidation. The
two-carbon units formed are acetyl-CoA;
thus, palmitoyl-CoA forms eight acetylCoA molecules.
Several enzymes, known collectively as
"fatty acid oxidase," are found in the
mitochondrial matrix or inner membrane
adjacent to the respiratory chain. These
62
catalyze the oxidation of acyl-CoA to
acetyl-CoA, the system being coupled
with the phosphorylation of ADP to ATP.
The first step is the removal of two
hydrogen atoms from the 2( )- and 3( )carbon atoms, catalyzed by acyl-CoA
transferring flavoprotein. Water is added
to saturate the double bond and form 3hydroxyacyl-CoA, catalyzed by 2-enoylCoA hydratase. The 3-hydroxy derivative
undergoes further dehydrogenation on the
3-carbon
catalyzed
by
L(+)-3hydroxyacyl-CoA dehydrogenase to
form the corresponding 3-ketoacyl-CoA
CoA formed in the cleavage reaction
reenters the oxidative pathway at reaction
2. In this way, a long-chain fatty acid may
be degraded completely to acetyl-CoA (C2
units). Since acetyl-CoA can be oxidized
to CO2 and water via the citric acid cycle
(which is also found within the
This compound is converted to succinylCoA, a constituent of the citric acid cycle.
Hence, the propionyl residue from an oddUnder metabolic conditions associated
with a high rate of fatty acid oxidation,
the liver produces considerable quantities
of
acetoacetate
and
D(–)-3hydroxybutyrate ( -hydroxybutyrate).
Figure 9: Ketone Bodies
dehydrogenase and requiring FAD. This
results in the formation of 2-trans-enoylCoA and FADH2. The reoxidation of
FADH2 by the respiratory chain requires
the mediation of another flavoprotein,
termed
electron
compound. In this case, NAD+ is the
coenzyme involved. Finally, 3-ketoacylCoA is split at the 2,3- position by
thiolase
(3-ketoacyl-CoA-thiolase),
forming acetyl-CoA and a new acyl-CoA
two carbons shorter than the original acylCoA
molecule.
The
acylmitochondria), the complete oxidation of
fatty acids is achieved.
Fatty acids with an odd number of carbon
atoms are oxidized by the pathway of oxidation, producing acetyl-CoA, until a
three-carbon (propionyl-CoA) residue
remains.
chain fatty acid is the only part of a fatty
acid that is glucogenic.
Acetoacetate
continually
undergoes
spontaneous decarboxylation to yield
acetone. These three substances are
collectively known as the ketone bodies.
Figure 10: Ketogenesis
63
Enzymes responsible for ketone body formation
are associated mainly with the mitochondria. Two
acetyl-CoA molecules formed in -oxidation
condense with one another to form acetoacetylCoA by a reversal of the thiolase reaction.
Acetoacetyl-CoA, which is the starting material
for ketogenesis, also arises directly from the
terminal four carbons of a fatty acid during oxidation . Condensation of acetoacetyl-CoA with
another molecule of acetyl-CoA by 3-hydroxy-3methylglutaryl-CoA synthase forms 3-hydroxy3-methylglutaryl-CoA (HMG-CoA). 3-Hydroxy3-methylglutaryl-CoA lyase then causes acetylCoA to split off from the HMG-CoA, leaving free
acetoacetate. The carbon atoms split off in the
acetyl-CoA molecule are derived from the
original acetoacetyl-CoA molecule. Both
enzymes must be present in mitochondria for
ketogenesis to take place. This occurs solely in
liver
and
rumen
epithelium.
D(-)-3Hydroxybutyrate
is
quantitatively
the
predominant ketone body present in the blood and
urine in ketosis.
While an active enzymatic mechanism produces
acetoacetate from acetoacetyl-CoA in the liver,
acetoacetate once formed cannot be reactivated
directly except in the cytosol, where it is used in a
much less active pathway as a precursor in
cholesterol synthesis. This accounts for the net
production of ketone bodies by the liver.
In extrahepatic tissues, acetoacetate is activated to
acetoacetyl-CoA by succinyl-CoA-acetoacetate
CoA transferase. CoA is transferred from
succinyl-CoA to form acetoacetyl-CoA . The
acetoacetyl-CoA is split to acetyl-CoA by thiolase
and oxidized in the citric acid cycle. If the blood
level is raised, oxidation of ketone bodies
increases until, at a concentration of
approximately 12 mmol/L, they saturate the
oxidative machinery. When this occurs, a large
proportion of the oxygen consumption may be
accounted for by the oxidation of ketone bodies.
Ketogenesis is regulated at three crucial steps:
1. Ketosis does not occur in vivo unless
there is an increase in the level of
circulating free fatty acids that arise from
lipolysis of triacylglycerol in adipose
tissue. Free fatty acids are the
precursors of ketone bodies in the liver.
The liver, both in fed and in fasting
conditions, extracts about 30% of the free
fatty acids passing through it, so that at
high concentrations the flux passing into
the liver is substantial. Therefore, the
factors regulating mobilization of free
fatty acids from adipose tissue are
important in controlling ketogenesis
2. After uptake by the liver, free fatty acids
are either -oxidized to CO2 or ketone
bodies or esterified to triacylglycerol and
phospholipid. There is regulation of entry
of fatty acids into the oxidative pathway
by carnitine palmitoyltransferase-I
(CPT-I), and the remainder of the fatty
acid taken up is esterified. CPT-I activity
is low in the fed state, leading to
depression of fatty acid oxidation, and
high in starvation, allowing fatty acid
oxidation to increase. However, as the
concentration of free fatty acids increases
with the onset of starvation, acetyl-CoA
carboxylase is inhibited directly by acylCoA, and [malonyl-CoA] decreases,
releasing the inhibition of CPT-I and
allowing more acyl-CoA to be
oxidized. These events are reinforced in
starvation
by
decrease
in
the
[insulin]/[glucagon] ratio. Thus,
oxidation from free fatty acids is
controlled by the CPT-I gateway into the
mitochondria, and the balance of the free
fatty acid uptake not oxidized is
esterified.
3. In turn, the acetyl-CoA formed in oxidation is oxidized in the citric acid
cycle, or it enters the pathway of
ketogenesis to form ketone bodies. As the
level of serum free fatty acids is raised,
proportionately more free fatty acid is
converted to ketone bodies and less is
oxidized via the citric acid cycle to CO2.
The partition of acetyl-CoA between the
ketogenic pathway and the pathway of
oxidation to CO2 is so regulated that the
total free energy captured in ATP which
results from the oxidation of free fatty
acids remains constant as their
concentration in the serum changes. This
may be appreciated when it is realized
that complete oxidation of 1 mol of
palmitate involves a net production of 106
mol of ATP via -oxidation and CO2
production in the citric acid cycle (see
above), whereas only 26 mol of ATP are
produced when acetoacetate is the end
product and only 21 mol when 3hydroxybutyrate is the end product. Thus,
ketogenesis may be regarded as a
mechanism that allows the liver to oxidize
increasing quantities of fatty acids within
64
the constraints of a tightly coupled system
of
oxidative
phosphorylation.
4.
Figure 11: Formation, utilization, and excretion of ketone bodies. (The main pathway is
indicated by the solid arrows.)
References:
1.
Murray, Granner, Rodwell; Harper’s
Illustrated Biochemistry; 27th ed.; The McGrawHill Companies, 2006.
2. Mathews, Van Holde, Ahern; Biochemistry, 3rd
ed.; Addison-Wesley Pub. Co., 2000.
3. Understand! Biochemistry; Nelson & Cox,
Lehninger Principles of Biochemistry,
3rd ed. Version, 2000: The Mona
Group LLC.
4.
http://www.accessmedicine.com/resourceToc.asp
x?resourceID=18
65
Download