ANALISIS PENERAPAN NILAI TUKAR ASIAN CURRENCY UNIT (ACU) DI KAWASAN ASEAN+3 BAYU DARUSSALAM H151054164 TESIS PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Penerapan Asian Currency Unit (ACU) di Kawasan ASEAN+3 adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2010 Bayu Darussalam H151064164 ABSTRACT BAYU DARUSSALAM. The Analyze of ACU Implementation in ASEAN plus Three Economic. Under Supervision of NOER AZAM ACHSANI and NUNUNG NURYARTONO. As financial crisis hit Asian countries in 1997, following international trade and globalization, there were global awareness toward maintaining regional stability. Since then, ASEAN+3 countries have made a lot of efforts to enhance economic coordination among regions, aiming at full economic integration. Along with greater ASEAN+3 economic integration, concerns on currency stabilization are raising. This research examines the readiness of the ASEAN+3 countries in the efforts of forming single currency unit, as a main representation of full economic integration. This research analyze regional cooperation on currency stabilization by way of adopting Asian Currency Unit (ACU) as parallel currency in ASEAN+3 countries, before the full implementation of common currency area, which will take longer time. The ACU implementation takes a similar model of establishing European Currency Unit (ECU), right before the Europe released the Euro single currency in 1999. The finding shows that, based on Maastricht Treaty, ASEAN+3 countries currently have no adequate capacity to be a fully, economically integrated. The reason is that not all ASEAN+3 economic meet the Maastricht convergence requirements. It shows that if ACU is implemented by now. Furthermore, as ACU and each individual domestic currencies are shocked at once against inflation, Vector Autoregressive (VAR) Model shows that ten countries are better off using ACU instead of their domestic currencies. Key words: Economic integration, Maastricht Treaty convergence criteria, Asian Currency Unit (ACU), Vector Autoregressive (VAR). JEL Classification : E 42, F15, F42 RINGKASAN BAYU DARUSSALAM. Analisis Penerapan Nilai Tukar Asian Currency Unit (ACU) di Kawasan ASEAN+3. Dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI dan NUNUNG NURYARTONO Sejak terjadi krisis ekonomi di Thailand yang menyebar menjadi Krisis Asia tahun 1997 sebagai dampak dari globalisasi dan integrasi ekonomi serta keuangan dunia, semakin meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya memelihara stabilitas suatu kawasan. Dari krisis tersebut, ada inisiasi untuk memulai kerjasama regional dalam memelihara stabilitas kawasan ASEAN+3. Kerjasama tersebut melahirkan suatu kesepakatan bernama Chiang Mai Initiative (CMI). CMI merupakan hasil kesepakatan pertemuan Menteri Keuangan ASEAN+3 pada Mei 2000. CMI bertujuan untuk menyediakan bantuan keuangan regional sebagai bantuan pendamping yang diberikan oleh lembaga internasional, melalui jejaring swap bilateral di antara negara-negara ASEAN+3. Kerjasama dalam kawasan ini pun terus berlangsung dalam rangka membentuk integrasi ekonomi secara penuh. Pembentukan integrasi ekonomi di kawasan ini dilandasi karena manfaat yang akan diperoleh dari integrasi tersebut lebih besar dibandingkan dengan resiko yang mungkin dihadapi oleh masing-masing negara dalam kawasan tersebut (Sholihah dan Saichu, 2007). Faktor lainnya yang mempengaruhi perlunya integrasi di kawasan ASEAN+3 didasari dari kesuksesan Uni Eropa membentuk suatu single market dengan mata uang tunggal Euro, dimana perdagangan dilakukan secara bebas, tanpa dibebankan adanya pajak. Hal ini mendorong tumbuh pesatnya perekonomian di wilayah Uni Eropa. Berawal dari kesuksesan Eropa juga, maka negara-negara ASEAN terdorong untuk menciptakan suatu single market. Pada KTT ASEAN ke-9 di Bali tahun 2003, para pemimpin ASEANmenyepakati sebuah penyatuan perekonomian yang dikenal dengan ASEAN Economic Community (AEC) yang ditargetkan akan beroperasi pada tahun 2015. Pembentukan AEC bermuara pada pembentukan Asian Currency Unit (ACU) atau satuan mata uang ASEAN, yang akan menjadi satu-satunya alat transaksi diantara negara-negara tersebut. Oleh sebab itu, maka menjadi penting bagi kawasan ASEAN+3 mempersiapkan diri menghadapi tantangan dan peluang terciptanya sebuah integrasi ekonomi kawasan secara penuh. Menurut tahapan integrasi Balassa, usaha-usaha untuk menuju integrasi ekonomi haruslah melalui berbagai tahapan yang dibagi dalam lima tahap antara lain : (i) Free Trade Area, (ii) Custom Union, (iii) Common Market, (iv) Economic union, dan (v) Total Economic. Namun, kondisi aktual tahapan integrasi ekonomi yang dilakukan oleh ASEAN+3 baru pada tahapan Free Trade Area (FTA). Artinya masih banyak tahapan dan persiapan yang perlu dilakukan oleh kawasan ini dalam mencapai integrasi ekonomi secara penuh. Integrasi total economic ditandai dengan penyatuan moneter berupa penerbitan mata uang tunggal kawasan yang digunakan dalam bertransaksi, baik antar negara kawasan maupun dengan negara di luar kawasan. Dalam konteks ASEAN+3, kawasan ini sedang melakukan penelitian mengenai kemungkinan penerapan mata uang tunggal kawasan. Menurut Kim (2007), terdapat pendekatan tiga tahap untuk menuju mata uang tunggal Asia. Ketiga tahapan ini meliputi : (i) Koordinasi kebijakan nilai tukar, (ii) membuat mata uang tunggal regional, (iii) membuat mata uang tunggal Asia. Bertolak dari hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pembentukan mata uang parallel ACU sebagai mata uang kawasan ASEAN+3, selanjutnya adalah kegunaan dan keuntungan menggunakan ACU, serta bagaimana kesiapan negara-negara di ASEAN+3 membentuk sebuah uni moneter regional di kawasan tersebut. Pembahasan pada penelitian ini pun dibagi ke dalam dua periode, yaitu periode krisis ekonomi (1997-2002), dan periode pasca krisis ekonomi (2003-2007). Selain tujuan tersebut, penelitian ini mencoba merumuskan berbagai implikasi kebijakan berdasarkan hasil analisis tujuan penelitian ini. Pada penelitian ini dibahas bagaimana kesiapan kawasan ASEAN+3 menuju integrasi ekonomi secara penuh dengan menggunakan kriteria konvergensi Maastricht Treaty seperti yang dilakukan oleh Eropa. Selanjutnya penelitian ini menganalisis pembentukan ACU di kawasan ASEAN+3 meliputi konstruksi model ACU, kriteria pembobotan (variabel yang digunakan maupun pembagian bobot), serta mekanisme nilai tukar yang dilakukan. Kemudian dalam penelitian ini pun dianalisis mengenai pilihan penggunaan mata uang bagi setiap negara di kawasan ASEAN+3 dengan menggunakan model VAR. Keputusan pemilihan model tersebut berdasarkan kebutuhan penelitian untuk melihat negaranegara anggota ASEAN+3 mana saja yang layak menggunakan mata uang ACU sebagai mata uang kawasan. Kriteria pemilihan tersebut didasarkan jika fluktuasi inflasi suatu negara lebih kecil jika menggunakan ACU daripada negara tersebut menggunakan mata uang domestiknya. Berdasarkan kriteria konvergensi Maastricht Treaty untuk menuju suatu uni moneter regional seperti yang dilakukan oleh Uni Eropa, hasil yang diperoleh antara lain : (i) pada periode krisis ekonomi (1997-2002) hanya negara China yang yang memenuhi empat kriteria konvergensi, dan (ii) pada periode pasca krisis ekonomi (2003-2007) kembali hanya China yang memenuhi empat kriteria konvergensi. Hal ini tentu saja mengindikasikan bahwa kondisi saat ini bukanlah saat yang tepat bagi negara-negara di kawasan ASEAN+3 membentuk sebuah uni moneter regional kawasan. Untuk pembobotan nilai tukar ACU diperoleh bahwa pada periode krisis ekonomi (1997-2002), bobot pembentukan mata uang ACU ASEAN+3 dikuasi oleh tiga negara plus three sebesar 68 persen dari total keseluruhan bobot mata uang, antara lain Jepang (30.4 persen), China (30.1 persen), dan Korea (8.3 persen). Sementara periode pasca krisis ekonomi (2003-2007), bobot pembentukan mata uang ACU ASEAN+3 tidak lagi dikuasi oleh negara-negara plus three. Pada periode ini komposisi bobot terbesar secara berturut-turut dikuasai oleh China (38.1 persen), Jepang (25.0 persen), dan Singapura (7.2 persen). Dalam penelitian ini juga diperoleh bahwa pada periode 1997-2002 tidak dapat ditentukan benchmark rate sebesar 2.25 persen, 6 persen, maupun 15 persen seperti yang dilakukan oleh Eropa karena pergerakan seluruh mata uang anggota bergerak melebihi koridor fluktuasi tersebut. Sementara pada periode 2003-2007 kembali tidak ada negara yang benchmark rate-nya berada pada koridor 2.25 persen. Namun, pada periode ini dapat diberlakukan koridor fluktuasi sebesar 25 persen. Hasil estimasi dari penelitian ini pun menunjukkan bahwa ada tiga negara yang tepat menggunakan mata uang ACU ASEAN+3 karena dapat meminimalisir fluktuasi inflasi jika terjadi shock pada nilai tukar ACU dan mata uang domestiknya. Ketiga negara tersebut antara lain, China, Singapura, dan Brunei Darussalam. Sementara itu untuk negara-negara seperti Jepang, Korea, Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Brunei, Myanmar, Kamboja dan Laos lebih tepat menggunakan mata uang domestiknya daripada menggunakan nilai tukar ACU. Secara keseluruhan, penelitian ini memberi gambaran bahwa kondisi hari ini bukanlah waktu yang tepat bagi negara-negara di kawasan ASEAN+3 membentuk integrasi ekonomi secara penuh. Namun, kemungkinan kawasan ASEAN+3 ini untuk dapat memenuhi kriteria konvergensi makroekonomi sangatlah terbuka, setidaknya dalam periode jangka panjang. Hal ini didukung oleh perkembangan yang terjadi pada kawasan ini, dengan cakupan kerja sama yang semakin luas, orientasi ekspor yang kuat, human capital yang solid, serta didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dalam beberapa dekade terakhir, mencerminkan optimisme tersebut. Kata kunci : Integrasi ekonomi, Kriteria konvergensi Maatricht Treaty, Asian Currency Unit (ACU), Vector Autoregressive (VAR). Klasifikasi JEL : E42, F15, F42 ©Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau menyeluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin dari IPB ANALISIS PENERAPAN NILAI TUKAR ASIAN CURRENCY UNIT (ACU) DI KAWASAN ASEAN+3 BAYU DARUSSALAM H151054164 Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MS PRAKATA Puji serta syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas limpahan nikmat, karunia derta hidayah yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tema yang dipilih pada tesis ini adalah Analisis Penerapan Nilai Tukar Asian Currency Unit (ACU) di Kawasan ASEAN+3. Krisis ekonomi yang melanda negara-negara Asia pada tahun 1997 merupakan guncangan dari adanya globalisasi ekonomi. Besarnya dampak krisis terhadap kesejahteraan masyarakat dalam sekejap menghapus keuntungan globalisasi serta ketidakberdayaan suatu negara melindungi perekonomiannya. Sejak terjadi krisis tersebut, negara di Asia melakukan berbagai upaya untuk mengedepankan koordinasi ekonomi regional. Hal ini dilandasi bahwa dengan adanya koordinasi dalam wilayah dapat memberikan manfaat yang lebih besar daripada tidak adanya koordinasi dalam wilayah. Fakta tersebut menilik dari kesuksesan Eropa membentuk sebuah uni moneter regional dengan peluncuran mata uang Euro pada tahun 1999. Bukan suatu perkara yang mudah mencapai integrasi ekonomi seperti yang telah dilakukan oleh Uni Eropa. Namun berbagai cara telah dilakukan dalam bentuk kerja sama yang mengarah pada integrasi ekonomi, keuangan, dan moneter. Dalam proses menuju integrasi tersebut terdapat peluang bagi kawasan ASEAN+3 mencapai suatu integrasi ekonomi secara penuh. Salah satu dari peluang tersebut adalah mengoptimalkan potensi manfaat dari proses integrasi ekonomi untuk memelihara stabilitas ekonomi melalui pertumbuhan ekonomi dan nilai tukar. Dengan tujuan untuk stabilitas nilai tukar dalam kawasan ASEAN+3 diperlukan sistem nilai tukar bersama sebelum mencapai mata uang tunggal kawasan seperti yang dilakukan Eropa. Sistem nilai tukar yang dimaksud adalah sistem nilai tukar parallel yang dibentuk sesuai dengan pola pembentukan European Currency Unit (ECU) di kawasan Eropa. Hal tersebut dapat direalisasikan melalui pembentukan Asian Currency Unit (ACU) dengan mengikuti pola pembentukan ECU pada masa lampau. Hasil analisis menjelaskan bahwa pada kondisi saat ini, kawasan ASEAN+3 masih belum dapat membentuk integrasi ekonomi secara penuh berdasarkan kriteria konvergensi Maastricht Treaty. Hal ini pun didukung fakta bahwa proses integrasi negara-negara di kawasan ASEAN+3 baru pada tahapan Free Trade Area (FTA) dan membutuhkan beberapa tahapan integrasi untuk mencapai total economic integration. Dalam stabilitas nilai tukar dengan menggunakan sistem nilai tukar ACU terlihat bahwa negara-negara plus three (Cina, Jepang, Korea) relatif mendominasi penguasaan bobot ACU dibandingkan negara-negara ASEAN. Walaupun demikian, dengan adanya negara-negara plus three setidaknya memberikan pangsa perekonomian yang besar di dunia yang diharapkan dapat menjadi kutub perekonomian baru setelah Amerika dan Uni Eropa bagi ASEAN+3. Berdasarkan Deklarasi ASEAN Concord II, disepakati bahwa Visi ASEAN 2020 adalah menuju masyarakat ekonomi ASEAN, yang kemudian dipercepat menjadi tahun 2015. Mengingat pentingnya kesepakatan regional tersebut, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi bagi persiapan negara-negara di kawasan ASEAN+3 menyongsong integrasi ekonomi yang dimaksud. Selain sebagai referensi, penelitian ini mutlak dibutuhkan sebagai landasan kebijakan yang sinergis untuk mencapai Visi ASEAN 2015 dengan kondisi yang ada pada saat ini. Kebijakan ini sejatinya tidak hanya menjadi wacana yang terabaikan di kawasan ASEAN, namun layak juga untuk diimplementasikan. Berbagai pihak telah memberikan kontribusi secara langsung maupun tidak langsung bagi penyelesaian maupun penyempurnaan tesis ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Ibunda Lily Arlina dan Ayahanda Khairil Anwar Notodiputro atas doa dan kasih sayang-nya. 2. Pembimbing Dr. Noer Azam Achsani dan Dr. Nunug Nuryartono yang dengan sabar serta ikhlas menuntun penulis menyelesaikan tesis ini dari segi ide, saran, dan kritik yang membangun. 3. Dr. Dedi Budiman Hakim selaku dosen penguji luar komisi yang telah menyempatkan waktunya untuk menguji penulis dalam mempertahankan hasil penelitiannya. 4. Dr. Wiwiek Rindayanti selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi SPS IPB dalam ujian tesis. 5. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi (2010-sekarang) Dr. Nunung Nuryartono dan Dr. D. S. Priyarsono yang telah menjadi Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi pada periode 2006-2009. 6. Semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. 7. Kakanda Nusron Wahid (calon) MSi yang telah melakukan proses perkaderan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan jenjang akademik ini secara baik dan memuaskan. 8. Sandi, Ilham, Ridwan, Yusuf, dan Ica sebagai saudara kandung penulis yang telah memberikan kasih sayang serta kehangatan dalam keluarga besar Khairil Anwar. 9. Genta Sari Luwina, yang selalu menjaga dan menambah ghiroh, semangat, serta daya juang kepada penulis, hingga akhirnya tulisan ini dapat diselesaikan dengan baik. 10. Special Thanks untuk Syarif Syahrial, Fathurrahman, Indra, dan Ade Kholis yang bersedia menunjang Sumberdaya data serta keilmuan dalam menyempurnakan tulisan ini. 11. Rekan-rekan IReS, DPRRI (Tenaga Ahli, Staf Ahli, Asisten dan Sekretaris Pribadi Anggota) serta Yayasan MataAir atas support maupun sebagai forum diskusi, yang melahirkan ide-ide brilian dalam menempuh studi. Akhirnya penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak lain yang telah membantu namun namanya tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis. Bogor, Februari 2010 Bayu Darussalam RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada Tanggal 24 April 1984 dari pasangan Khairil Anwar Notodiputro dan Lily Arlina. Penulis merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Penulis menempuh pendidikan formal di Kent Road Public School Sydney Australia pada tahun 1988-1991. Selanjutnya Sekolah Dasar dilanjutkan di SDN Polisi 4 Bogor dan lulus tahun 1996, kemudian dilanjutkan di SMP Negeri 4 Bogor dan lulus tahun 1999, serta dilanjutkan di SMU Negeri 5 Bogor dan lulus tahun 2002. Ketika sampai di jenjang perguruan tinggi, penulis melanjutkan kuliah di Program Studi Agribisnis Departemen Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB dan lulus tahun 2006. Setelah lulus menjadi sarjana, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister Ilmu Ekonomi IPB pada tahun 2007. Saat ini penulis bekerja sebagai asisten pribadi Anggota DPR RI terhitung sejak tahun 2008. Namun, selain sebagai asisten pribadi Anggota DPR RI, penulis juga belajar menjadi seorang peneliti di Lembaga kajian IReS (Institute for Rural and Economic Studies). DAFTAR ISI Halaman Daftar Isi ……………………………………………………………… Daftar Tabel ………………………………………………………….. Daftar Grafik …………………………………………………………. Daftar Gambar ……………………………………………………….. xv xvii xviii xix Bab I. Pendahuluan …………………………………………………... 1.1. Latar Belakang …………...…………………………………. 1.2. Perumusan Masalah …………...……………………………. 1.3. Tujuan Penelitian ………………...…………………………. 1.4. Ruang Lingkup, Keluaran, dan Manfaat Penelitian ................ 1 1 6 14 14 Bab II. Tinjauan Pustaka ……………………………………………. 2.1. Pentahapan Proses Integrasi ………...………………………. 2.1.1. Integrasi Sektor Riil menuju Integrasi Ekonomi ............ 2.1.2. Teori Integrasi Ekonomi ................................................ 2.2. Cerita Sukses Eropa ................................................................ 2.2.1. Pengalaman Uni Eropa untuk ASEAN+3 ...................... 2.2.2. Kondisi Kerjasama ASEAN+3 ...................................... 2.3. Integrasi Regional ASEAN+3 ................................................. 2.3.1. Latar Belakang Integrasi Moneter ASEAN+3 ............... 2.3.2. Parallel Currency ACU ................................................. 2.3.3. Vector Autoregresive (VAR) ......................................... 2.4. Optimum Currency Area (OCA) ............................................. 2.5. Maastricht Treaty Convergence Criteria ................................ 2.6. Penelitian Empiris Terkait ...................................................... 2.7. Kerangka Pemikiran ................................................................ 16 16 17 21 22 23 25 27 28 29 31 33 36 37 39 Bab III. Data dan Metodologi Penelitian ............................................ 3.1. Jenis dan Sumber Data ............................................................ 3.2. Hipotesis Penelitian ................................................................. 3.3. Model Teoritis ......................................................................... 3.3.1. Weighted Average .......................................................... 3.3.2. Model Vector Autoregressive (VAR) ............................ 3.4. Spesifikasi Model Penelitian ................................................... 3.4.1. Model Asian Currency Unit (ACU) ……………...…… 3.4.2. Model VAR untuk ACU, Mata Uang Domestik dan Inflasi .............................................................................. 3.5. Prosedur Analisis Penelitian ................................................... 43 43 44 45 45 46 51 51 Bab IV. Asian Currency Unit (ACU) sebagai Mata Uang Regional ASEAN+3 …………………………………………………… 4.1. Konstruksi ACU ...................................................................... 55 57 61 63 4.2. Pengalaman Eropa – ECU ....................................................... 4.3. Kesiapan ASEAN+3 Membentuk Uni Moneter Regional ...... 4.4. Komposisi dan Penentuan Bobot ACU ................................... 4.5. ACU pada Periode Krisis Ekonomi (1997-2002) ................... 4.5.1. Perhitungan Nilai ACU dalam Mata Uang Lokal 19972002 .............................................................................. 4.5.2. Mekanisme Nilai Tukar Periode 1997-2002 .................. 4.6. Periode Pasca Krisis Ekonomi (2003 - 2007) ......................... 4.6.1. Perhitungan Nilai ACU dalam Mata Uang Lokal 20032007 .............................................................................. 4.6.2. Mekanisme Nilai Tukar Periode 2003-2007 .................. 64 67 72 74 81 83 87 93 95 Bab V. PILIHAN PENGGUNAAN MATA UANG SETIAP NEGARA DI ASEAN+3 ........................................................... 5.1. Nilai Tukar (Exchange Rate) .................................................. 5.1.1. Bentuk Kerja sama Nilai Tukar Regional ...................... 5.1.2. Kerjasama Nilai Tukar di ASEAN+3 ............................ 5.1.3. Nilai Tukar dan Inflasi ................................................... 5.2. Pilihan Penggunaan Mata Uang ASEAN+3 ........................... 5.2.1 Uji Stasioneritas Data ...................................................... 5.2.2. Uji Kointegrasi Variabel Non-Stationer ........................ 5.2.3. Penentuan Lag Optimal .................................................. 5.2.4. Impulse Response Functions .......................................... 99 101 101 103 104 106 106 107 107 109 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 6.1. Kesimpulan ............................................................................. 6.2. Implikasi Kebijakan ................................................................ 6.3. Saran Penelitian Lebih Lanjut ................................................. 114 114 115 116 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ LAMPIRAN ........................................................................................... 117 121 DAFTAR TABEL Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3 Tabel 4. Tabel 5 Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tebel 12. Tabel 13. Tabel 14. Tabel 15. Tabel 16. Tabel 17. Tabel 18. Tabel 19. Tabel 20. Tabel 21. Tabel 22. Tabel 23. Tabel 24. Tabel 25. Tabel 26. Tabel 27. Tabel 28. Tabel 29. Tabel 30. Tahapan Integrasi Ekonomi Bela Balassa ........................ Penelitian Empiris Terkait ................................................ .Variabel-variabel Ekonomi dalam Penelitian ................... Tahapan Prosedur Analisis Penelitian .............................. Komposisi Awal ECU ...................................................... Revisi Pertama dari Komposisi ECU ............................... Revisi Kedua dari Komposisi ECU .................................. Konvergensi ASEAN+3, Kriteria Maastricht, Periode 1997-2002 ......................................................................... Konvergensi ASEAN+3, Kriteria Maastricht, Periode 2003-2007 ......................................................................... Konvergensi ASEAN+3, Kriteria Maastricht, Periode 1997-2007 ......................................................................... Mata Uang Negara ASEAN+3 ......................................... Pangsa Masing-masing Anggota ASEAN+3 1997-2002 . Bobot Masing-masing Anggota ASEAN+3 1997-2002 ... Perhitungan ASEAN+3 ACU 1997-2002 ......................... USD/ACU dengan Memperhitungkan Bobot Mata Uang Lokal Masing-masing Negara 1997-2002 ........................ Perhitungan Nilai ACU dalam Mata Uang Won dan Rupiah 1997-2002 ............................................................. Pergerakan Nilai ACU dalam Mata Uang Nasional 19972002 .................................................................................. Koridor Pergerakan Mata Uang Domestik terhadap ASEAN+3 ACU 1997-2002 ............................................. Pangsa Masing-masing Anggota ASEAN+3, 2003-2007 Bobot Masing-masing Anggota ASEAN+3 2003-2007 ... Perhitungan ASEAN+3 ACU 2003-2007 ......................... USD/ACU dengan Memperhitungkan Bobot Mata Uang Lokal Masing-masing Negara 2003-2007 ........................ Perhitungan Nilai ACU dalam Mata Uang Peso dan Kyat 2003-2007 …………………………................................. Pergerakan Nilai ACU dalam Mata Uang Nasional 20032007 .................................................................................. Koridor Pergerakan Mata Uang Domestik Terhadap ASEAN+3 ACU 2003-2007 ............................................. Sistem Nilai Tukar Negara ASEAN+3 ............................. Hasil Pengujian Unit Root, dengan Augmented DickeyFuller (ADF) ……………………………………………. Hasil Uji Kointegrasi Johanssen ....................................... Model VAR yang Terbentuk ............................................ Pilihan Mata Uang Masing-Masing Negara ASEAN+3 ... Halaman 19 39 44 59 65 66 67 69 70 71 73 74 75 77 79 82 83 86 87 88 90 91 94 95 98 100 107 108 109 113 DAFTAR GRAFIK Grafik 1. Grafik 2. Grafik 3. Grafik 4. Grafik 5. Grafik 6. Grafik 7. Grafik 8. Grafik 9. Grafik 10. Grafik 11. Grafik 12. Grafik 13. Grafik 14. Grafik 15. Grafik 16. Grafik 17. Grafik 18. Grafik 19. Grafik 20. Grafik 21. Grafik 22. Grafik 23. Grafik 24. Grafik 25. Grafik 26. Grafik 27. Grafik 28. Grafik 29. Grafik 30. Grafik 31. Grafik 32. Laju Fluktuasi Nilai Tukar Negara Eropa ………………... Laju Fluktuasi Nilai Tukar Negara ASEAN+3 …………... Laju Inflasi Negara ASEAN+3 …………………………... Pergerakan ASEAN+3 ACU Terhadap USD 1997-2002 .... Nilai Tukar JPY/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ………….. Nilai Tukar CNY/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ………… Nilai Tukar KRW/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ………... Nilai Tukar IDR/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ................. Nilai Tukar MYR/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ............... Nilai Tukar SGD/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ................ Nilai Tukar THB/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ................ Nilai Tukar PHP/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ................. Nilai Tukar VND/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ................ Nilai Tukar BRD/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ................ Nilai Tukar MMK/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ……….. Nilai Tukar KHR/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ………… Nilai Tukar LAK/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ………… Pergerakan ASEAN+3 ACU Terhadap USD 2003-2007 .... Nilai Tukar CNY/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ………… Nilai Tukar JPY/ASEAN+3 ACU (2003-2007) …………. Nilai Tukar KRW/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ………... Nilai Tukar IDR/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ................. Nilai Tukar MYR/ASEAN+ACU (2003-2007) .................. Nilai Tukar SGD/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ................ Nilai Tukar THB/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ................ Nilai Tukar PHP/ASEAN+3 ACU (2003-2007) …………. Nilai Tukar VND/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ................ Nilai Tukar BRD/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ................ Nilai Tukar MMK/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ……… Nilai Tukar KHR/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ………… Nilai Tukar LAK/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ………… Grafik Impulse Response Function terhadap Inflasi setiap Negara ASEAN+3 ............................................................... Halaman 8 9 10 80 84 84 84 84 84 84 84 84 85 85 85 85 85 93 96 96 96 96 96 96 96 96 97 97 97 97 97 112 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Tingkatan Integrasi Ekonomi menurut Griffin dan Pustay ... Gambar 2. Pembentukan Asian Currency Unit ………………………... Gambar 3. Kerangka Pemikiran .............................................................. Gambar 4. Mekanisme Transmisi Nilai Tukar ke Inflasi ........................ Halaman 20 31 42 105 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Globalisasi menyebabkan aliran barang, jasa dan modal di dunia dapat bergerak dengan bebas. Hal ini terjadi sejak diberlakukannya secara global suatu mekanisme perdagangan melalui penciptaan kebijakan free trade. Globalisasi perdagangan bebas, secara langsung berpengaruh terhadap perekonomian suatu negara, yang menimbulkan persaingan global. Era globalisasi ini sendiri merupakan sesuatu yang positif, dalam pengertian sebagai proses dimana ekonomi setiap negara berinteraksi secara timbal balik satu dengan yang lainnya, yang dengan demikian memberikan peluang bagi setiap negara untuk mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya, sehingga diharapkan dapat membuat perekonomian menjadi efisien. Dalam era globalisasi, dunia menjadi seolah tanpa batas (boundaryless) yang ditandai dengan munculnya perdagangan bebas antar pelaku ekonomi. Menurut Damanhuri (2008), sisi positif dari globalisasi adalah meningkatkan secara besar-besaran potensi produksi suatu negara dan menciptakan peluang baru dalam perdagangan internasional dan investasi. Berbagai upaya kerjasama antar negara juga menghasilkan negosiasi pengurangan hambatan-hambatan perdagangan dan investasi. Perdagangan dan investasi yang dikelola dengan baik mempunyai potensi untuk mengangkat jutaan orang keluar dari jalur kemiskinan. Terlepas dari berbagai manfaat yang diberikan oleh globalisasi perdagangan bebas, ekspansi perdagangan dunia melalui globalisasi memberikan hasil yang mengecewakan dalam indikator makroekonomi, salah satunya adalah memberantas kemiskinan. Menurut Sen (2002), kemiskinan yang mengakar dan kesenjangan yang semakin lebar adalah ciri-ciri yang menonjol dari globalisasi. Hal ini didukung oleh data dari Bank Dunia (2003), yang menunjukan bahwa meningkatnya kemakmuran yang dihasilkan dari perdagangan, terdapat 1.1 milyar manusia yang berjuang untuk bertahan hidup dengan pendapatan kurang dari 1 US Dollar per hari. Di sisi lain, kebijakan liberalisasi perdagangan dapat dilihat sebagai suatu upaya meningkatkan daya saing ekonomi (Soesastro, 2007). Berbagai kajian menunjukkan bahwa bagi negara berkembang, kunci utama untuk melakukan penetrasi pasar adalah daya saing harga. 1 Maka upaya nasional maupun internasional untuk meningkatkan daya saing, sedikitnya pada tahap permulaan hingga kehadiran di suatu pasar menjadi cukup mapan, adalah dengan mempertajam daya saing harga produk. Soesastro pun berpendapat bahwa negaranegara ASEAN bersepakat untuk membentuk kawasan perdagangan bebas, AFTA (ASEAN Free Trade Area), dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing kawasan secara keseluruhan di pasar dunia. Langkah ini merupakan jawaban kawasan terhadap tantangan globalisasi. Di kawasan Asia Tenggara, globalisasi ekonomi juga memicu terbentuknya integrasi ekonomi regional. Integrasi dan keuangan regional dalam beberapa dekade terakhir telah menjadi kecenderungan di berbagai belahan dunia. Negara-negara yang berada dalam satu kawasan membentuk persekutuan regional (regionalisme) seperti pembentukan Pasar Tunggal Eropa (PTE) dan NAFTA (Dwisaputra, 2007). Alasan utama dalam pembentukan integrasi ekonomi dan keuangan regional salah satunya dikemukakan oleh Kurniati (2007) karena adanya kedekatan geografis dan historis serta hubungan ekonomi antar negara di suatu kawasan. 2 Berbagai fakta yang menunjukkan perekonomian negara-negara di seluruh dunia semakin terintegrasi akibat adanya globalisasi ekonomi dikemukakan oleh Jeffrey Sachs (2005). Menurut Sachs, terdapat empat dimensi yang dapat menjadi rujukan tersebut. Pertama, berkembangnya perdagangan internasional. Kedua, krisis mata uang di Asia Tenggara pada tahun 1997. Ketiga, sistem produksi yang semakin terintegrasi secara internasional, dimana sepertiga perdagangan dunia dilakukan oleh perusahaan multinasional. Keempat, adanya regulasi internasional dalam kehidupan kekinian. 1 Tirthayatra, Made. 2003. Resensi Buku “Dangerous Market, Managing in Financial Crisis”. Pengarang Buku : Dominic Barton, Roberto Newell dan Gregory Willson. Diterbitkan oleh John Willey & Sons, Inc. 2 Kuniati, Yati. 2007. Buku “Integrasi Keuangan dan Moneter di Asia Timur”. Biro hubungan dan Studi Internasional Direktorat Internasional, Bank Indonesia. Jakarta. 2 Kecenderungan peningkatan proses integrasi ekonomi dan keuangan regional di berbagai belahan dunia pada dasarnya dilandasi oleh pemikiran bahwa manfaat yang akan diperoleh dari integrasi tersebut lebih besar dibandingkan dengan resiko yang mungkin dihadapi oleh masing-masing negara anggota dalam kawasan tersebut (Sholihah dan Saichu, 2007). Integrasi ekonomi akan menyebabkan adanya pasar yang besar, mobilitas faktor produksi, yang akan menjadikan bahan baku murah, economics of scale, kenaikan produktifitas, yang berujung pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi (Kurniati, 2007). Namun, dalam kajian Satria (2008) dikatakan bahwa integrasi ekonomi (dalam hal ini perdagangan) telah memaksa terjadinya konflik dalam distribusi pendapatan. Persoalan gap pendapatan ini disimpulkan dalam model HecksherOhlin yang berbunyi ” A country will be better off with trade, but owners of abundant factors gain and owners of scarce factors lose; with trade, owners of scarce factors will be worse off without compensation”. Secara umum, teori ini menjelaskan bahwa sebagian masyarakat yang tidak mampu memanfaatkan perdagangan internasional dari adanya integrasi ekonomi, akan mengalami kerugian akibat hal tersebut. Di sisi lain, dalam perkembangannya, berbagai konsep terkait dengan integrasi keuangan dan moneter ini pun terus mengalami perkembangan. Inisiatif kerjasama mulai dikembangkan untuk dapat meningkatkan efektifitas pencapaian tujuan bersama yaitu menciptakan stabilitas keuangan regional. 3 Hal ini yang mendorong negara-negara di kawasan ASEAN, Jepang, Cina, dan Korea Selatan, atau yang lebih dikenal dengan nama ASEAN+3 untuk mencapai kerjasama yang lebih dalam berupa integrasi keuangan dan moneter. Peningkatan intensitas kerjasama keuangan dan moneter di kawasan ini pada dasarnya dilatarbelakangi beberapa faktor, 4 antara lain krisis keuangan dan moneter di kawasan Asia. Sebelum krisis pada tahun 1997, hanya sedikit pihak di 3 4 Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional. 2000, Triwulan II. Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Bank Indonesia. Falianty, T. A. 2006. “Optimum Currency Area : Studi Kasus di Negara ASEAN-5. Dalam Desertasinya penulis menuliskan bahwa peningkatan intensitas kerjasama keuangan dan moneter di kawasan ini pada dasarnya dilatarbelakangi oleh tiga faktor, yaitu : pertama, krisis keuangan dan moneter di kawasan Asia. Kedua, Aliran modal ASEAN yang semakin terbuka. Ketiga, kesuksesan Eropa menjadi sebuah Uni Moneter Regional dengan meluncurkan mata uang euro pada Tahun 1999. 3 Asia Timur dan ASEAN yang memikirkan kerjasama moneter. Adanya permusuhan, persaingan, dan distribusi kekuasaan yang tidak merata di kawasan ini menyebabkan tidak adanya dorongan untuk melakukan integrasi regional lebih lanjut, walaupun integrasi perdagangan telah mulai berlangsung sejak tahun 1992 dengan perjanjian kerjasama AFTA (ASEAN Free Trade Area). Namun, dengan terjadinya krisis mata uang di Asia, mengingatkan pentingnya stabilitas mata uang untuk menjaga kelangsungan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial (Falianty, 2006). Krisis yang berdampak luar biasa terhadap perekonomian negara-negara ASEAN+3 telah memberikan kesadaran bahwa terdapat efek tular dari krisis ekonomi di suatu kawasan. 5 Sementara itu, menurut Baharumshah dan Habibullah (2006), krisis di Asia pada tahun 1997-1998 mengungkap dua jenis resiko stabilitas keuangan Asia, yaitu : 1. Resiko yang muncul dari sifat mudah diserang/rentan pada bank dan neraca perusahaan. Khususnya, ketidakseimbangan severe currency dalam neraca yang akan membuat ekonomi secara keseluruhan rentan menuju twin crises 6 . 2. Resiko pengaruh buruk yang harus diterima akibat tidak adanya koordinasi kebijakan secara efektif di regional. Kasus untuk kerjasama regional sangat kuat di Asia Timur, dimana ekonomi terintegrasi satu dengan lainnya dan ketidakstabilan finansial dapat menyebar dengan cepat antar wilayah. Krisis keuangan dan moneter di Asia pada tahun 1997 merupakan salah satu faktor dalam pembentukan Regional Monetary Unit (RMU) di kawasan ini (Mittal, 2004). Terdapat dua keuntungan besar untuk menciptakan dan menggunakan uni moneter regional (Moon dan Rhee, 2006), yaitu: 1. RMU tepat sebagai benchmark yang berguna bagi otoritas moneter Asia untuk perkembangan pasar nilai tukar. Sebagai contoh, RMU dapat digunakan sebagai indikator untuk memonitor pergerakan mata uang 5 Kuniati, Yati. 2007. Buku “Integrasi Keuangan dan Moneter di Asia Timur”. Biro hubungan dan Studi Internasional Direktorat Internasional, Bank Indonesia. Jakarta. 6 Pengertian dari krisis ganda adalah krisis nilai tukar yang datangnya bersamaan dengan krisis perbankan dikarenakan dari sistem keuangan yang liberal, atau umumnya disebut dengan krisis finansial. 4 negara-negara Asia berhadap-hadapan (vis-a-vis) dengan mata uang penting lainnya seperti Dollar Amerika dan Euro, dan juga untuk memonitor pergerakan individu setiap mata uang negara-negara Asia terhadap rata-rata regional yang ditampilkan oleh RMU. 2. Untuk partisipan pasar sektor swasta, rancangan terbaik indeks RMU akan dibuktikan dapat berguna sebagai denominasi transaksi pasar, seperti penerbitan obligasi, dan juga berkontribusi terhadap aktivitas Asian Bond Market Initiative (ABMI). Sebaran luas dan penggunaan RMU dapat menunjukkan transaksi perdagangan dan instrumen finansial guna membantu mengurangi ketidakseimbangan mata uang dalam neraca dan hal tersebut meringankan resiko dari krisis yang pernah terjadi di Asia pada tahun 1997-1998. Sejak krisis yang melanda negara-negara Asia pada tahun 1997, negara di Asia melakukan upaya untuk mewacanakan adanya koordinasi finansial dan moneter regional. Namun, Moon dan Rhee (2007) berpendapat bahwa tidak ada kemajuan signifikan dalam perkembangan wacana integrasi moneter dan ekonomi yang dimaksud, akan tetapi masih ada harapan dan sedikit kemajuan dalam hal pengaturan moneter dan nilai tukar. Perkembangan wacana dimulai terhitung sejak krisis ekonomi 1997. Sejak krisis tersebut telah terjadi banyak pembaharuan di negara-negara ASEAN. Pada bulan Mei tahun 2000, sebuah persetujuan ditandatangani di Chiang Mai, Thailand, dimana ASEAN+3 menerapkan suatu jaringan kerjasama bagi perjanjian tukar menukar untuk membantu negara anggota ASEAN pada masa krisis. Dalam perjanjian tersebut negara ASEAN+3 setuju untuk mengembangkan jaringan perjanjian swap yang sudah ada untuk menghadapi krisis keuangan di masa mendatang. Dalam Chiang Mai Initiative (CMI) juga mencakup adanya Billateral Swap Arragement (BSA) antara negara ASEAN dan tiga negara donor Jepang, China, dan Korea Selatan. Rencana dari CMI merupakan langkah maju untuk memperkuat kerjasama keuangan antar negara di Asia Timur. 7 Adapun pertemuan lanjutan ASEAN+3, antara lain untuk membentuk suatu kesatuan moneter regional, yakni adanya pertemuan ADB di Hyderabad, 7 Falianty, T.A. 2006. Optimum Currency Area : Studi Kasus di Negara ASEAN-5 [Desertasi]. Fakultas Ilmu Ekonomi: Universitas Indonesia, Jakarta. 5 India, pada tanggal 3 Mei 2006. Menteri Keuangan Korea Selatan, Cina, dan Jepang mengumumkan bahwa negara mereka akan mengambil langkah dalam pengaturan mata uangnya sebagai bentuk menciptakan mata uang regional yang serupa dengan Euro. Negara-negara tersebut pun melakukan studi terhadap beberapa wacana yang berkembang, termasuk menciptakan Regional Curreny Unit (RCU), yang kerap kali disebut sebagai Asian Currency Unit (ACU). Meskipun tujuan akhirnya adalah sebuah kesatuan moneter, ide dari RCU merupakan sesuatu yang penting sebelum tercapainya kesatuan moneter. Pengenalan awal RCU akan membantu mengadopsi integrasi moneter dan keuangan di Asia, mengkatalisasi pasar obligasi Asia, dan tepat sebagai pengaturan nilai tukar Asia yang serupa dengan sistem nilai tukar Eropa. Kecenderungan bahwa belum adanya suatu kemajuan berarti dalam integrasi moneter Asia, RCU akan secara tepat menjadi instrumen yang efektif untuk mematahkan current standstill. Pengenalan awal RCU, bagimanapun, mempunyai pertanyaan teknis yang penting, seperti mata uang apa saja yang dapat digabungkan dalam satu basket, dan bobot apa yang menjadi atribut dalam setiap komponen mata uang. Hal tersebut juga menimbulkan pertanyaan kebijakan yang seperti apa agar RCU dapat digunakan untuk memperkuat integrasi moneter di Asia. 8 1.2. Perumusan Masalah Kesuksesan Euro merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan kerja sama maupun integrasi keuangan dan moneter. Alasannya adalah keberhasilan penyatuan ekonomi dan peluncuran mata uang tunggal di Eropa (euro) yang telah diluncurkan pada Januari 1999. Peluncuran mata uang tunggal di 11 negara Uni Eropa yang dapat melindungi mata uang mereka terhadap serangan spekulasi pasar keuangan telah menyita perhatian negaranegara di seluruh dunia, termasuk negara-negara di kawasan ASEAN+3. Dalam dekade ini, euro telah berkembang menjadi sarana hubungan moneter internasional yang sangat signifikan, sehingga berhasil menjadi mata uang nomor dua di dunia, dan menjadi alternatif dari mata uang US Dollar. Keberadaan euro 8 Moon, W. dan Y. Rhee. 2007. Regional Currency Unit and Exchange Rate Coordination in East Asia. The Kyoto Economic Review 76(1): 53-66 (June 2007). 6 diprediksi akan menjadi nilai tukar yang paling penting dalam perekonomian dunia. Keberadaan euro juga diprediksi akan mengubah konfigurasi kekuasaan dari sistem moneter internasional dengan mengurangi peran monopolistik US Dollar yang terjadi selama ini. 9 Tujuan maupun kepentingan yang diinginkan oleh negara-negara Eropa dengan meluncurkan mata uang tunggal Euro adalah mengendalikan fluktuasi nilai tukar di antara negara Eropa, yang mendorong adanya kerjasama moneter. Nilai tukar yang berfluktuatif rentan bagi mata uang negara-negara di Eropa untuk mengalami depresiasi/pelemahan nilai tukar yang terlalu dalam ketika diguncang krisis ekonomi dan moneter. Untuk melihat bagaimana laju fluktuasi nilai tukar negara-negara di Eropa yang menyetujui penggunaan mata uang euro sebelum adanya integrasi moneter maupun sesudah terjadinya integrasi moneter dengan peluncuran mata uang Euro disajikan pada Grafik 1. Rencana mata uang tunggal Eropa dimulai pada 1970 atau lebih dikenal dengan periode pertumbuhan anggota (Kosotali dan Saichu, 2008). Pada waktu tersebut, untuk menjaga stabilitas moneter, keenam negara anggota (Jerman, Perancis, Italia, Belanda, Belgia, dan Luksemburg) memutuskan agar mata uang mereka saling berfluktuasi hanya dalam batasan yang sempit. Dua tahun kemudian, yakni Tahun 1972, dilakukan mekanisme nilai tukar (Exchange Rate Mechanism, ERM) yang merupakan langkah awal menuju pembentukan mata uang Euro. Namun, pada periode pasca 1973 (pasca terjadinya krisis minyak bumi) Eropa menganut sistem Monetary Snake, yaitu mengatur tingkat margin fluktuasi di antara mata uang anggota Masyarakat Eropa, yang pada saat itu tidak tercapai. Hal ini terlihat di Grafik 1, bahwa keenam negara mengalami pelemahan nilai tukar. 9 Falianty, T.A. 2006. Optimum Currency Area : Studi Kasus di Negara ASEAN-5 [Desertasi]. Fakultas Ilmu Ekonomi: Universitas Indonesia, Jakarta. 7 40 Austria 30 Belgia Finlandia 10 Perancis 1997 1995 1993 1991 1989 1987 Potugal 1985 ‐30 1983 Spanyol 1981 ‐20 1979 Irlandia 1977 ‐10 1975 Jerman 1973 0 1971 Percent 20 Italia Sumber : IMF Economic Outlook, 2008 (diolah) Grafik 1. Laju Fluktuasi Nilai Tukar Mata Uang Negara-negara Eropa terhadap USD 1971-1997 Memasuki dekade 1980-an dengan didirikannya European Monetary System (EMS) yang merupakan tahapan perkembangan integrasi moneter di Eropa, diluncurkanlah sebuah mata uang paralel (parralel currency) yang diberi nama European Currency Unit (ECU), yang merupakan langkah maju dalam mengkoordinasikan mata uang negara-negara di Eropa. Pada periode tersebut, dalam Grafik 1, dapat dilihat bahwa negara-negara di Eropa mengalami masa penyesuaian (adjusment) ditandai dengan pelemahan nilai tukar hingga tahun 1987. Setelah proses itu kemudian terjadi apresiasi terhadap mata uang jangkar (dollar AS), yang diidentifikasi dari penguatan mata uang setiap negara anggota Uni Eropa, yang dalam hal ini ditandai dengan laju pertumbuhan nilai tukar yang negatif. Dalam perjalanannya, Eropa menetapkan indikator konvergensi nominal berdasarkan Maastricht Treaty (1993). Pada saat itu pula kriteria konvergensi diterapkan dengan indikator laju inflasi, suku bunga jangka pendek, defisit anggaran, dan pinjaman pemerintah, sebelum akhirnya negara eropa bergerak menuju penggunaan mata uang tunggal euro pada tahun 1999. Pada konteks kawasan ASEAN+3, rencana integrasi ekonomi dan moneter dikemukakan pasca terjadinya krisis ekonomi dan moneter yang melanda wilayah 8 Asia khususnya Asia tenggara pada tahun 1997. Bermula dari krisis keuangan Bath-Thailand, kemudian secara perlahan merambat ke negara-negara Asia lainnya. Krisis keuangan ini menandakan bahwa perekonomian di wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur semakin terintegrasi dengan perekonomian dunia lainnya. Dampak dari krisis ini adalah pelemahan nilai tukar negara-negara di kawasan ASEAN+3, seperti yang dapat dilihat di Grafik 2 sebagai berikut : 230 CIN 180 JPG KOR 130 IND 80 SING THAI 30 MAL FIL 2004 2003 2002 2001 2000 1999 1998 1997 1996 1995 1994 1993 1992 1991 1990 ‐20 BRU Sumber : IMF Economic Outlook, 2008 (diolah) Grafik 2. Laju Fluktuasi Nilai Tukar Negara ASEAN+3 terhadap USD Periode 1990-2004 Krisis yang melanda Asia pada Tahun 1997 dikarenakan kemungkinan dua krisis keuangan : (i) pembayaran utang luar negeri yang berat (debt crisis) atau (ii) krisis nilai tukar (Tambunan, 1997). Redelet (1995) berpendapat bahwa krisis ini terjadi karena krisis nilai tukar. Di sisi lain, McLoad (1995) cenderung memilih alasan krisis karena beratnya utang luar negeri. Redelet beranggapan bahwa krisis hutang luar negeri dan perubahan nilai tukar sebagai masalah yang saling berkaitan. Berbagai pandangan tentang penyebab krisis antara lain dikemukakan oleh Nasution (2004) bahwa besarnya defisit neraca berjalan dan hutang luar negeri, ditambah dengan lemahnya sistem perbankan nasional merupakan akar dari terjadinya krisis finansial. 9 Salah satu dampak dari krisis yang melanda Asia adalah penurunan nilai tukar yang cepat atau lambat akan berpengaruh terhadap seluruh elemen dan pelaku ekonomi. Secara teoritis, dampak utama dari penurunan nilai tukar secara efektif akan menyebabkan inflasi yang tidak terkendali sehingga mengurangi daya beli (permintaan) konsumen, terutama masyarakat berpendapatan menengah dan rendah. Inflasi yang terjadi pada saat krisis ekonomi dan moneter dapat dilihat pada Grafik 3. 180 CIN JPG 130 KOR IND 80 SING THA 30 BRU Laos 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 ‐20 MAL Sumber : IMF Economic Outlook, 2008 (diolah) Grafik 3. Laju Inflasi Negara ASEAN+3 Dampak dari penurunan permintaan akibat inflasi akan mendorong berkurangnya produksi barang dan jasa. Apabila daya beli menurun sementara harga barang dan jasa terus meningkat, jika dilihat dari sisi produsen maka produsen kemungkinan besar akan melakukan pemotongan produksi untuk barang dan jasa. Dampak dari hal tersebut adalah pengurangan tenaga kerja yang mendorong tumbuhnya tingkat pengangguran. Negara-negara seperti Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia, dan Korea mengalami pelemahan nilai tukar yang cukup dalam ketika krisis ekonomi dan moneter melanda. Indonesia mengalami pelemahan nilai tukar rupiahnya hingga 244 persen, dan ini merupakan pelemahan 10 nilai tukar terdalam yang dialami negara-negara di Kawasan Asia. Namun, krisis ekonomi dan moneter tahun 1997 ternyata tidak terlalu mempengaruhi perekonomian Amerika dan Eropa. Alasan tersebut dimungkinkan karena kondisi aktual saat ini menggambarkan bahwa kutub perekonomian di dunia terbagi atas dua kutub, yakni Eropa dan Amerika (Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko). Hal ini tentu saja membuat perekonomian dunia menjadi tidak seimbang karena hanya terkonsentrasi di kedua kutub itu saja. Pernyataan tersebut berdasarkan kontribusi perekonomian Eropa dan perekonomian Amerika terhadap GDP dunia. Berdasarkan data Bank Dunia tahun 2007, ekonomi Eropa mempunyai sumbangsih 22 persen terhadap GDP Dunia, dan ekonomi Amerika besarnya adalah 30 persen dari total GDP dunia. Jika di akumulasikan, maka kedua perekonomian tersebut menguasai lebih dari 50 persen total GDP di dunia. Artinya, jika kedua perekonomian itu terkena shock dan tidak kuat menghadapi krisis, maka dapat dipastikan perekonomian di seluruh dunia pun akan mengalami dampak yang tidak baik. Sementara menurut laporan IMF (2009), GDP dunia tahun 2008 adalah sebesar 60 trilyun US Dollar, dan diprediksi akan tumbuh tiap tahunnya sebesar 6 persen. Ternyata dari jumlah tersebut, 80 persennya dihasilkan oleh hanya dua puluh negara saja dan Indonesia berada di peringkat dua puluh tersebut. Selanjutnya data tersebut memberi informasi bahwa hanya empat negara saja yang menyumbang lebih dari 5 persen GDP dunia, antara lain Amerika serikat (23 persen), Jepang (8 persen), Cina (7 persen), dan Jerman (6 persen), sementara Indonesia yang berada diperingkat dua puluh menyumbang sekitar 0.9 persen. Dari perkembangan data IMF tersebut, dapat dilihat bahwa sangat memungkinkan membentuk kutub perekonomian baru di Asia karena Cina dan Jepang menyumbang lebih dari 15 persen GDP dunia. Oleh sebab itu, dibutuhkan kutub perekonomian baru, dalam hal ini ASEAN+3, yang dapat menciptakan keseimbangan konstalasi perekonomian dunia, dan secara khusus meminimunkan dampak jika adanya krisis yang melanda negara-negara di Asia. Namun, kawasan ASEAN+3 belum menjadi suatu original economic community yang terstruktur, yang mempunyai aturan, dan belum 11 menjadi ekonomi yang efektif. Alangkah lebih baik, jika harapannya ke depan ASEAN+3 menjadi sebuah original economic community seperti yang telah dilakukan oleh Eropa dan Amerika saat ini. Hal tersebut tentu saja mendorong diperlukannya sebuah bentuk integrasi moneter menjadi Asian Monetary Unit (AMU) dengan mengikuti tahapan-tahapan yang pernah dilakukan oleh Eropa. Langkah awal yang perlu disepakati dari sebuah kesatuan uni moeter adalah kepentingan bersama dalam mengendalikan fluktuasi nilai tukar anggota dalam kawasan ASEAN+3. Tahapan ini pernah dilakukan oleh Eropa pada tahun 1973 dengan sebuah mekanisme pengelolaan batas fluktuasi antar mata uang negara-negara di Eropa dalam sistem snake in the tunnel. Namun, hal tersebut tidak mencapai sasaran yang diinginkan oleh Eropa dan menyempurnakannya pada tahun 1979 dengan membentuk European Monetary System (EMS). Sejak diberlakukannya EMS di Eropa, terdapat suatu alat transaksi yang disebut dengan nilai tukar paralel European Currency Unit (ECU). Jika diimplementasikan di ASEAN+3, maka pembentukan Asian Currency Unit (ACU) ASEAN+3 harus melalui pembentukan sistem moneter kawasan. Pembentukan ECU yang dilakukan oleh Eropa pada masa itu berdasarkan bobot pangsa perekonomian GDP, perdagangan (trade), dan short-term support facility (Girardin dan Alfred, 2008). Untuk konteks ASEAN+3, AMU diharapkan dapat mengikuti tahapan-tahapan yang pernah dilakukan oleh eropa baik dari sisi sistem (EMS) maupun dalam hal mengkoordinasi mata uang negara-negara Eropa melalui ECU, agar dampak krisis yang terjadi dapat dikendalikan bersama sehingga resiko dampak krisis yang diterima negara-negara anggota menjadi lebih kecil. Namun, sebelum mencapai suatu unit moneter regional, ada pra syarat yang harus diikuti oleh setiap anggota negara dalam kawasan tersebut. Menurut Becker (2008), suatu kawasan dapat membentuk sebuah uni moneter regional jika memenuhi kriteria Optimum Currency Area (OCA). Teori OCA bertujuan untuk melihat guncangan supply dan demand yang simetrik dalam suatu kawasan. Kesimpulan teori ini adalah suatu kawasan yang perekonomiannya terkait erat 12 karena faktor perdagangan dan mobilitas faktor produksi mempunyai guncangan supply dan demand yang simetrik (Mundell, 1961). Untuk keadaan di Eropa saat itu, prasyarat ini tidak dapat diberlakukan dengan alasan kesulitan pergerakan ekonomi setiap negara anggota, yang dikarenakan setiap negara anggota Uni Eropa mempunyai latar belakang ekonomi yang berbeda. Oleh sebab itu, kawasan di Eropa membuat sebuah peraturan baru pada tahun 1993 yang diberi nama Maastricht Treaty Convergence Criteria untuk mengganti pra syarat OCA yang tidak dapat diimplementasikan. Berdasarkan kriteria ini, beberapa kriteria divergen mulai diberlakukan, yaitu laju inflasi, suku bunga jangka pendek, defisit anggaran dan pinjaman pemerintah. Melihat hal tersebut, peluncuran ACU sebenarnya bertujuan untuk memonitor pergerakan divergen (divergence movement) dari mata uang negaranegara yang tergabung dalam ASEAN ditambah negara Cina, Korea Selatan, dan Jepang (ASEAN+3) dalam menghadapi pergerakan kawasan perekonominya sendiri. ACU pun bertujuan untuk menggelompokan mata uangnya dalam suatu obligasi regional dengan jumlah tertentu (Kawai dan Takagi, 2005). Oleh karena itu, diperlukan analisis terhadap beberapa aspek teknis, guna mengidentifikasi kriteria yang tepat dalam membentuk ACU. Proses pembentukan ACU ini dapat mengikuti tahapan yang pernah dilakukan oleh Eropa pada saat itu. Setelah nanti nilai tukar ACU ASEAN+3 ini terbentuk, harus di analisis apakah ACU memang mampu memberikan nilai tambah bagi para negara anggota ASEAN+3 dibandingkan jika mereka tetap menggunakan mata uang domestiknya. Pada kondisi ini, ACU harus mempunyai peranan yang besar sebagai indikator monitor pergerakan mata uang negaranegara ASEAN+3, maupun untuk menjawab permasalahan dampak indikator ekonomi (inflasi) yang buruk apabila terjadi shock di kehidupan ekonomi yang akan datang. Selanjutnya, untuk mencapai suatu uni moneter regional ASEAN+3, semua negara-negara anggota kawasan ASEAN+3 harus memenuhi pra syarat yang telah dilakukan oleh eropa. Pra syarat yang dimaksud adalah Maastricht Treaty Convergence Criteria untuk menggantikan pra syarat OCA seperti yang tidak dapat dilakukan oleh Eropa. Oleh sebab itu, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan 13 sebagai berikut : 1. Bagaimanakah peluang terjadinya integrasi ekonomi di kawasan ASEAN+3? 2. Bagaimana ACU dapat diterapkan sebelum terjadinya penyatuan moneter ASEAN+3? 3. Apa keuntungan menggunakan Asian Currency Unit (ACU) sebagai bentuk koordinasi pergerakan mata uang negara-negara di kawasan ASEAN+3? 1.3. Tujuan Penelitian Berkaitan dengan permasalahan yang telah dikemukan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis kemungkinan terjadinya integrasi ekonomi dan moneter di kawasan ASEAN+3. 2. Membentuk Asian Currency Unit (ACU) sebagai mata uang paralel ASEAN+3 sebelum diterapkannya integrasi ekonomi di kawasan ASEAN+3. 3. Menganalisis keuntungan yang diperoleh jika adanya penerapan Asian Currency Unit (ACU) di kawasan ASEAN+3. 1.4. Ruang Lingkup, Keluaran, dan Manfaat Penelitian Penelitian ini menganalisis proses dan kemungkinan negara-negara di kawasan ASEAN+3 membentuk suatu unit moneter regional di kawasan tersebut. Lankah awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menentukan kemungkinan integrasi ekonomi dan moneter di kawasan ASEAN+3. Pada bagian ini digunakan indikator laju inflasi, tingkat suku bunga jangka pendek, dan kebijakan fiskal (general budget deficit dan public debt) negara-negara ASEAN+3 sebagaimana yang tertuang dalam konvergensi Maastricht criteria. Pada bahasan ini pun akan diperoleh negara mana saja di kawasan ASEAN+3 yang sudah siap untuk membentuk suatu uni moneter regional, dan negara mana saja yang belum siap untuk perihal tersebut. 14 Kemudian dalam penelitian ini akan melakukan konstruksi ACU sebagai parallel currency negara-negara di Kawasan ASEAN+3 dengan menggunakan variabel Gross National Product (GDP) dan variabel perdagangan (Trade). Dalam pembahasan ini akan diperoleh beberapa hal, antara lain (i) bobot masing-masing mata uang negara-negara ASEAN+3 dalam membentuk ASEAN+3, (ii) pergerakan vis-à-vis antara nilai tukar ACU terhadap mata uang US Dollar, (iii) nilai tukar mata uang domestik setiap negara-negara ASEAN+3 terhadap ACU, serta (iv) koridor pergerakan mata uang domestik setiap negara anggota ASEAN+3 terhadap ACU. Sementara pada analisis selanjutnya adalah melihat keuntungan yang diperoleh jika negara-negara di kawasan ASEAN+3 menerapkan ACU. Analisis dilakukan dengan menggunakan penentuan pilihan penggunaan mata uang dalam kawasan. Hal ini meliputi apakah kawasan ASEAN+3 ini lebih baik menggunakan nilai tukar domestik setiap negaranya, atau lebih baik menggunakan ACU. Pilihan tersebut akan diuji dengan menggunakan Model Vector Autoregression (VAR) dan Vector Error Correction Model (VECM) untuk menentukan mata uang terbaik yang dapat dipilih oleh setiap negara di kawasan ASEAN+3 dengan variabel inflasi sebagai tolak ukurnya. Adapun manfaat dari penelitian ini selain sebagai literatur maupun referensi bagi penelitian selanjutnya, penelitian ini merupakan informasi mengenai kesiapan negara ASEAN+3 dalam mewujudkan integrasi ekonomi dan moneter di ASEAN+3. 15 II. TINJAUAN PUSTAKA Kecenderungan peningkatan proses integrasi ekonomi dan moneter regional di berbagai belahan dunia pada dasarnya dilandasi oleh suatu konsep dasar, yakni bahwa manfaat yang akan diperoleh dari integrasi tersebut lebih besar dibandingkan dengan resiko yang mungkin dihadapi oleh masing-masing negara anggota dalam kawasan. Dalam perkembangannya, berbagai konsep terkait dengan integrasi keuangan dan moneter ini pun terus melakukan perbaikan seiring dengan perkembangan ekonomi. Bab ini secara khusus akan meninjau secara teoritis mengenai pengertian, pentahapan, dan manfaat yang diperoleh dari adanya integrasi ekonomi regional. Hasil studi empiris juga akan dipaparkan dalam bab ini untuk melengkapi argument-argumen terkait dengan teori ekonomi dan moneter regional. 2.1. Pentahapan Proses Integrasi Pasar keuangan di suatu kawasan dikatakan telah terintegrasi secara penuh apabila masing-masing negara dalam kawasan tersebut telah menghadapi kebijaksanaan dan atau ketentuan yang sama dalam pasar keuangan (single set of rules), di mana investor dan penerbit aset keuangan mempunyai akses yang sama terhadap pasar keuangan (equal access) dan diperlakukan secara sama (treated equally) ketika beroperasi di pasar keuangan (Baele et al, 2004). Definisi integrasi keuangan tersebut sangat terkait dengan the law of one price yang merupakan definisi lain dari integrasi keuangan. The law of one price ini pada dasarnya menyebutkan bahwa apabila suatu pasar keuangan mempunyai resiko dan tingkat pengembalian yang identik, maka aset keuangan tersebut haruslah mempunyai harga yang sama, terlepas dari tempat transaksi keuangan di mana aset keuangan tersebut dilangsungkan. Definisi integrasi keuangan ini baik secara teoritis maupun dalam prakteknya tidak mengalami banyak perdebatan. Namun demikian, dalam ranah teori integrasi keuangan, perdebatan yang seringkali muncul ialah terkait dengan bagaimana proses integrasi keuangan ini harus dijalankan. Haruskah integrasi 16 keuangan dan moneter di suatu kawasan didahului oleh integrasi sektor riil (perdagangan) atau tidak? Ada dua kelompok pendapat mengenai hal tersebut, kelompok pertama berpendapat bahwa integrasi keuangan harus didahului oleh integrasi sektor riil (perdagangan) di kawasan tersebut. Kelompok kedua berpendapat bahwa integrasi keuangan dan moneter tidak harus didahului adanya integrasi perdagangan. Perkembangan dari aliran pendapat ini, kemudian diikuti oleh munculnya berbagai pandangan yang memperkuat fenomena bahwa integrasi moneter merupakan langkah untuk memperkuat integrasi di sektor riil. 10 Melihat pengalaman di Asia khususnya ASEAN+3, inisiatif integrasi keuangan dan moneter yang meningkat setelah krisis keuangan di Asia tahun 1997 dapat dikatakan mengikuti pendapat yang kedua, dimana proses integrasi keuangan dan moneter berlangsung tanpa didahului oleh adanya integrasi sektor riil. Kondisi ini berbeda dengan pengalaman Eropa di mana proses menuju integrasi keuangan dan moneter didahului oleh integrasi sektor riil terlebih dahulu. 2.1.1. Integrasi Sektor Riil menuju Integrasi Ekonomi Teori awal mengenai tahapan dalam mencapai integrasi ekonomi, secara populer disebut sebagai Coronation Theory. Teori ini berpandangan bahwa integrasi sektor riil yang dilakukan melalui liberalisasi perdagangan dan mobilitas faktor produksi adalah sebagai prasyarat dalam mencapai integrasi ekonomi secara penuh (Sholihah dan Saicu, 2007). Teori ini berdasarkan pengalaman kawasan Eropa dalam proses menuju pembentukan Uni Eropa. Pada proses tersebut, inisiatif dimulai dengan adanya kerjasama di sektor riil yaitu melalui pembentukan komunitas batubara dan baja eropa (The European Coal and Steel Community-ECSC) melalui Threaty of Paris pada tahun 1951 dengan enam negara anggota, yaitu Belgia, Jerman Barat, Luksemburg, Prancis, Italy, dan Belanda. Pengalaman sukses ECSC mendorong keenam negara tersebut untuk mengintegrasikan sektor-sektor lainnya. Pada tahun 1957 keenam negara tersebut menandatangani Treaties of Rome, the European Atomic Energy CommunityEEC). 10 Selanjutnya negara anggota menetapkan pembebasan hambatan Sholihah dan Saichu. 2007. Tinjauan Teoritis Integrasi Keuangan Regional. (Eds). S. Arifin, R. Winantyo, dan Y. Kurniati. Kerjasama Perdagangan Internasional. Bank Indonesia, Jakarta. 17 perdagangan di antara mereka dan membentuk suatu pasar tunggal (common market) sebelum pada akhirnya mewujudkan suatu mata uang tunggal Euro. Dari perjalanan tersebut dapat diketahui bahwa negara-negara kawasan eropa melakukan proses yang panjang dalam menuju sebuah integrasi moneter (monetary union) dengan mengawalinya dari inisiatif integrasi di sektor riil/perdagangan. Proses integrasi yang terjadi di Eropa maupun di belahan bumi lainnya menunjukan bahwa perekonomian antar negara maupun antar kawasan saling terbuka. Secara harfiyah, kata integrasi (integration) dapat diartikan sebagai penggabungan. Jovanovic (2006) menggunakan istilah integrasi dalam ranah ekonomi pertama kali pada konteks organisasi dalam suatu industri. Sementara itu, Timbergen (1962) membedakan definisi integrasi sebagai bentuk penghapusan diskriminasi serta kebebasan bertransaksi dan sebagai bentuk penyerahan kebijakan pada lembaga bersama. Pada sisi lain, Balassa dalam Sholihah dan Saicu (2007) membedakan integrasi sebagai konsep dinamis melalui penghapusan diskriminasi di antara negara yang berbeda, maupun dalam konsep statis yang melihat ada atau tidaknya perbedaan dalam diskriminasi. Di tengah berbagai perbedaan definisi yang berkembang, Jovanovic (2006) menyimpulkan bahwa konsep integrasi ekonomi sebagai sebuah proses di mana sekelompok negara berupaya untuk meningkatkan tingkat kemakmurannya. Integrasi juga mensyaratkan paling tidak, adanya beberapa pembagian tenaga kerja dan kebebasan mobilitas yang bebas atas faktor produksi. 11 Balassa menyebutkan bahwa usaha-usaha untuk menuju integrasi ekonomi haruslah melalui berbagai tahapan. Tahapan tersebut dibagi dalam lima tahap dimulai dari integrasi sektor perdagangan dalam bentuk free trade area dan custom union, dilanjutkan dengan pasar bersama (common market), economic union, dan terakhir adalah integrasi ekonomi secara total. Secara lebih ringkas tahapan integrasi ekonomi Bela Balassa dapat dilihat pada Tabel 1. 11 Kosotali, A. dan Gunawan Saichu. 2007. Integrasi Ekonomi : Konsep Dasar dan Realitas. Bank Indonesia. 18 Tabel 1. Tahapan Integrasi Ekonomi Bela Balassa Tahapan Keterangan Prefential Trading Blok perdagangan yang memberikan keistimewaan untuk Area (PTA) produk-produk tertentu dari negara tertentu dengan melakukan pengurangan tarif (bukan menghilangkan). Free Trade Area Suatu kawasan di mana tarif dan kuota antar negara anggota (FTA) dihapuskan, namun masing-masing negara tetap menerapkan tarif mereka masing-masing terhadap negara bukan anggota. Custom Union Merupakan FTA yang meniadakan hambatan pergerakan komiditi antar negara anggota tetapi menerapkan tarif yang sama terhadap negara bukan anggota. Common Market Merupakan Custom Union yang juga meniadakan hambatanhambatan pada pergerakan faktor-faktor produksi (barang, jasa, aliran modal). Kesamaan harga dari faktor-faktor produksi diharapkan dapat menghasilkan alokasi sumber daya yang efisien. Economic Union Merupakan Interation suatu Common Market dengan tingkat harmonisasi kebijakan ekonomi nasional yang signifikan (termasuk kebijakan struktural) Total Economic Penyatuan moneter, fiskal, dan kebijakan sosial yang diikuti dengan lembaga supranasional dengan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh negara anggota. Sumber : Sholihah dan Saichu, 2007 Teori tahapan/tingkat integrasi lainnya yang hampir mirip dengan Balassa adalah teori yang dikemukan oleh Griffin dan Pustay (2002). Griffin dan Pustay menyusun integrasi ekonomi dalam lima tingkatan, yaitu kawasan perdagangan bebas, persekutuan pabean, pasaran bersama, uni ekonomi, dan uni politik yang dapat dilihat pada Gambar 1. 19 TINGGI Meliputi integrasi politik dan ekonomi Uni Politik Pasaran pabean + mengkoordinasikan kebijakan ekonomi di antara negaranegara anggota Uni Ekonomi Persekutuan Pabean + menghapuskan hambatan pergerakan factor produksi di antara negara-negara anggota Pasaran Bersama Kawasan perdagangan bebas + menyeragamkan kebijakan perdagangan untuk negara-negara Persekutuan Pabean Kawasan Perdagangan Bebas Menurunkan hambatan tariff dan non tariff terhadap sesama negara anggota, namun masing-masing negara berhak menentukan sendiri kebijakan perdagangannya terhadap negara RENDAH Sumber : R. W. Griffin dan M. W. Pustay, 2002 Gambar 1. Tingkatan Integrasi Ekonomi Menurut Griffin dan Pustay Untuk memperjelas berbagai tahapan mengenai integrasi yang dikemukakan oleh Balassa maupun Griffin dan Pustay, maka pada bahasan selanjutnya akan diberikan berbagai teori terkait dengan integrasi ekonomi. Berdasarkan literatur yang terkumpul, terdapat berbagai landasan teori integrasi ekonomi antara lain : (i) teori custom union, (ii) teori common market, dan (iii) teori model gravitasi. 20 2.1.2. Teori Integrasi Ekonomi Pergerakan barang dan jasa di antara negara yang sepakat membentuk integrasi difasilitasi oleh upaya penghapusan tarif dan hambatan non tarif (NTB) yang mendistorsi perdagangan intra negara-negara tersebut. Salah satu teori yang membahas pendekatan tariff dalam kaitannya dengan perbedaan secara geografis adalah teori custom union (CU). Teori CU ini merupakan teori integrasi neo-clasic dan teori perrdagangan yang paling berkembang. Pembahasan teori ini dilakukan mengingat CU merupakan tahapan penting dalam rangkaian tahap integrasi. 1. Teori Custom Union CU adalah tipe integrasi ekonomi dimana negara-negara yang berpartisipasi dalam kesepakatan tersebut tidak hanya melakukan penghapusan tarif dan hambatan kuantitatif lainnya di antara anggota terhadap barang yang berasal dari negara-negara tersebut, tetapi juga menerapkan tarif yang sama terhadap negara bukan anggota yaitu Common Effective Preferential Tariff (CEPT). Dalam CU tidak terdapat kebutuhan untuk menerapkan preferential rules of origin sebagaimana dalam FTA. 2. Teori Common Market (CM) Dalam teori CM ini, mobilitas faktor produksi dalam suatu kawasan adalah kondisi integrasi pasar di mana tidak terjadi perlakuan diskriminasi (Juvanovic, 2006). Tidak adanya diskriminatif ini, di mana faktor produksi bebas, akan mendorong alokasi faktor produksi yang efisien melalui pergerakan faktor tersebut menuju tempat dengan tingkat produktifitas yang tinggi. Hal ini yang menyebabkan perbedaan produktifitas antara CU dan CM. 3. Model Gravitasi Model Gravitasi dikembangkan oleh Tinbergen pada 1962 dan Linnemann pada 1996 (Helmers dan Pasteels, 2005) yang menunjukkan bahwa perdagangan mengikuti prinsip-prinsip fisik dari gravitasi yakni dua kekuatan yang bertentangan menentukan volume perdagangan bilateral di antara negara-negara melalui (i) tingkat aktifitas dan pendapatan ekonomi, serta (ii) tingkat hambatan perdagangan. Hal-hal yang termasuk dalam hambatan perdagangan yaitu biaya transportasi, kebijakan-kebijakan perdagangan, ketidakpastian, perbedaan budaya dan karakteristik geografi. 21 Teori-teori integrasi yang dikemukakan merupakan serangkaian teori yang mendukung tahapan integrasi ekonomi di seluruh dunia. Integrasi ekonomi yang telah dilakukan oleh Eropa menjadi sebuah momentum baru kebangkitan ego regional dalam membuat suatu komunitas ekonomi. Merujuk pada berbagai teori integrasi ekonomi, menjadi sebuah pertanyaan yakni seperti apa dan bagaimana negara-negara di Eropa berhasil menjadi sebuah komunitas ekonomi baru? Pada pembahasan selanjutnya akan dibahas secara singkat bagaimana proses yang telah dilalui oleh Uni Eropa, dan bagaimana kesiapan kawasan ASEAN+3 mempersiapkan diri dalam menyongsong sebuah komunitas ekonomi baru di kawasan tersebut. 2.2. Cerita Sukses Eropa Keberhasilan Eropa menuju kesatuan Ekonomi dan Moneter dimulai dengan penandatanganan Treaty of Paris pada tahun 1951 yang mengawali pembentukan the European Coal and Steel Community (ECSC) oleh enam negara (yaitu Belgia, Belanda, Luksemburg, Jerman Barat, Italia, dan Perancis) dan Treaties of Rome (1957) sebagai dasar pembentukan the European Anatomic Energy Community (EUROATOM) dan the European Economic Community (EEC). Tiga Komunitas tersebut pada akhirnya dilebur menjadi Masyarakat Eropa (European Community). Dalam Konferensi Tingkat Tinggi di The Haque, Belanda tahun 1969, disepakati bahwa Masyarakat Eropa akan secara progresif menuju pembentukan European Monetary Union (EMU) dalam waktu sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1979. Untuk mencapai sasaran tersebut, dibentuk sebuah komite pakar yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Lukemburg, Pierre Werner, untuk mengkaji berbagai elemen yang diperlukan bagi pembentukan kesatuan ekonomi dan moneter tersebut. Namun demikian, seiring dengan terjadinya gejolak ekonomi dikawasan tersebut pada tahun 1970-an, maka rencana pembentukan EMU ini pun sempat terabaikan mengingat masing-masing negara mefokuskan dirinya pada pencapaian kepentingan domestik mereka. Adanya kepentingan bersama yaitu mengendalikan fluktuasi nilai tukar di antara anggota Masyarakat Eropa menyebabkan kerja sama di bidang moneter 22 tetap tumbuh meskipun dalam bentuk yang berbeda. Pada saat itu masyarakat di Eropa berinisiatif membentuk sebuah mekanisme untuk mengelola batas fluktuasi antara mata uang anggota Masyarakat Eropa secara lebih tegas dalam sistem snake in the tunnel. Sistem snake ini mengatur tingkat margin fluktuasi di antara mata uang negara anggota terhadap mata uang anggota Masyarakat Eropa lainnya dan juga terhadap dollar AS. Margin fluktuasi terhadap dollar AS ini turut dijaga ketat mengingat dollar AS masih merupakan referensi utama bagi mata uang negara Masyarakat Eropa. Namun demikian, sistem snake ini tidak mencapai sasaran yang dikehendaki terutama karena adanya kebijakan ekonomi yang beragam di Eropa pasca krisis minyak bumi tahun 1973. Kegagalan sistem snake ini pada akhirnya menumbuhkan semangat untuk kembali mewujudkan EMU. Akhirnya pada tahun 1979 dibentuklah European Monetary System (EMS) bagi pembentukan sebuah bank sentral bersama di Eropa. Ada tiga proses transisi utama yang ditempuh oleh Eropa untuk menuju EMU. Pada tahap pertama, yaitu Juli 1990-Desember 1993, arus transaksi neraca modal (capital account) dan jasa keuangan dibebaskan secara substansial dalam kawasan negara Masyarakat Eropa. Pada tahap kedua, yaitu Januari 1994Desember 1998), the European Monetary Institute (EMI) dibentuk sebagai embrio bagi pembentukan sebuah bank sentral bersama di Eropa. EMI berfungsi untuk memperkuat kerja sama antar negara dan bank sentral, melakukan koordinasi kebijakan moneter dan mempersiapkan berbagai hal yang diperlukan untuk membentuk suatu European Central Bank System (ECBS). Pada saat yang sama, berdasarkan Maasttricht Treaty (1993), beberapa indikator divergen konvergensi nominal mulai diberlakukan, yaitu laju inflasi, suku bunga jangka pendek, defisit anggaran, dan pinjaman pemerintah. Pada tahap ketiga, (yaitu mulai Januari 1999), 11 negara anggota Masyarakat Eropa bergerak menuju penggunaan mata uang tunggal, euro, dan penggunaan sebuah bank sentral bersama, yaitu the European Central Bank (ECB). 2.2.1. Pengalaman Uni Eropa untuk ASEAN+3 Pembentukan European Union (EU) merupakan prestasi keberhasilan yang selalu menjadi tolak ukur integrasi ekonomi kawasan. Beberapa inisiatif 23 integrasi yang mencoba mengikuti EU seperti Latin American Free Trade Area dan East African Common Market justru mengalami kegagalan. Mencermati perjalanan integrasi di Eropa, banyak pelajaran dan pengalaman pembentukan yang dapat diambil bagi ASEAN. Namun demikian, para pemimpin ASEAN+3 perlu memperhatikan dengan seksama perbedaanperbedaan yang ada di kawasan ASEAN+3 dan juga perbedaan latar belakang sejarah anggota ASEAN. Beberapa pembelajaran yang dapat diambil ASEAN bila membandingkan dengan kondisi awal European Economic Community pada tahun 1950-an antara lain adalah (Plummer, 2005) : 1. Perbedaan Lingkungan Kelembagaan Integrasi di Eropa pada 1950-an dipicu oleh semangat kawasan yang baru saja dilanda kehancuran Perang Dunia II dan timbulnya perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Sehingga motivasi politik dan sosial dalam upaya penyatuan kawasan di Eropa sangat jauh berbeda dengan latarbelakang upaya integrasi di ASEAN+3. Meskipun kecil, ASEAN+3 juga berperan menjaga perdamaian di Asia Tenggara pada khususnya dengan menjaga stabilitas politik kawasan. Perkembangan kelembagaan di ASEAN berbeda dengan di Eropa karena (i) negara-negara ASEAN yang relatif baru, (ii) keragaman tingkat kelembagaan sosial dan politik di ASEAN yang relatif lebih tinggi, dan (iii) keterbatasan dana dalam pengembangan kelembagaan di ASEAN. 2. Perbedaan Lingkungan Ekonomi Internasional Kemajuan tingkat keterbukaan pada saat ini sangat mewarnai perkembangan pasar global. Keterbukaan di pasar global dipicu antara lain : (i) meningkatnya pengurangan hambatan perdagangan internasional dengan adanya putaran-putaran perundingan seperti GATT, WTO, dan juga liberalisasi unilateral, (ii) meningkatnya aliran modal global (termasuk aliran modal asing). Tetapi di lain sisi, biaya yang harus dibayar dengan adanya integrasi regional, yaitu memperbesar trade diversion, lebih besar daripada waktu yang lampau. Perkembangan regionalism yang pesat ditunjukkan dengan meningkatnya pembentukan grup-grup perdagangan dalam WTO yang mencapai lebih dari 200. Grup perdagangan tersebut banyak yang merupakan mitra dagang penting ASEAN sehingga dapat mempengaruhi eksistensi ASEAN. 24 3. Perbedaan Tingkat Perkembangan Ekonomi Negara yang tergabung dalam ASEAN pada saat ini mempunyai keragaman tingkat ekonomi yang bervariasi dan dapat dikategorikan dalam beberapa tingkatan yaitu (i) kelompok negara maju, (ii) kelompok negara ”dinamis”, (iii) kelompok negara pendapatan menengah, dan (iv) kelompok negara belum maju. Sehingga memerlukan proses konvergensi yang cukup panjang untuk mencapai tingkatan perkembangan yang hampir sama. 4. Perbedaan Tingkat Keterbukaan Ekonomi Dibandingkan dengan Eropa, secara umum ekonomi ASEAN lebih kecil tetapi lebih terbuka, kecuali untuk negara-negara CLMV (Cambodia, Laos, Myanmar, and Vietnam). Perbedaan tersebut tidak hanya terjadi pada 1950-an tetapi juga pada saat ini dibanding mayoritas negara-negara maju. 2.2.2. Kondisi Kerjasama ASEAN+3 Krisis keuangan Asia 1997-1998 yang memperburuk kinerja ekonomi negara anggota ASEAN utama mendorong ASEAN untuk memperluas kerja sama ekonomi dan keuangannya mencakup Cina, Korea, dan Jepang (ASEAN+3) 12 . Tujuan kerja sama tersebut adalah memperkuat dialog kebijakan, koordinasi dan kerjasama dalam isu-isu bersama mengenai keuangan, moneter, dan fiskal. Kerja sama tersebut terdiri dari empat komponen, yaitu : (i) review perkembangan ekonomi terkini dan dialog kebijakan (Economic Review and Policy DialogueERPD), (ii) Chiang Mai Initiative (CMI), (iii) Asian Bond Market Initiative (ABMI), dan (iv) ASEAN+3 Research Group. Tujuan ERPD adalah untuk mendukung upaya pencegahan krisis keuangan melalui pengimplementasian secara cepat dan tepat berbagai langkah kebijakan perbaikan. ERPD memfokuskan diri pada isu-isu yang menjadi kepentingan bersama. ERPD pun bertujuan untuk mempersiapkan landasan bagi penyediaan bantuan darurat, seperti CMI, pada saat terjadi krisis. Di bawah kerangka ERPD, menteri keuangan ASEAN+3 bertemu satu tahun satu kali (sementara para wakilnya bertemu dua tahun satu kali) untuk membahas isu-isu ekonomi dan kebijakan. 12 The Joint Statement on East Asia Corporation, November 1999 merupakan landasan utama kerangka kerja sama menteri keuangan ASEAN+3. 25 Sedangkan CMI merupakan hasil kesepakatan pertemuan Menteri Keuangan ASEAN+3 pada Mei 2000. CMI bertujuan untuk menyediakan bantuan keuangan regional sebagai bantuan pendamping yang diberikan oleh lembaga internasional, melalui jejaring swap bilateral di antara negara-negara ASEAN+3. Selain itu, CMI juga memperluas ASEAN Swap Arrangement (ASA), yang semula dibentuk oleh lima negara ASEAN pada tahun 1977, dan berkembang menjadi seluruh negara ASEAN dengan jumlah komitmen yang meningkat pula. Pada Agustus 2003, ASEAN+3 menyetujui inisiatif pengembangan pasar obligasi Asia (ABMI). Sebagai inisiatif utama dalam mengembangkan pasar modal yang efisien dan likuid sehingga penggunaan tabungan Asia untuk kebutuhan investasi di Asia dapat terlaksana dengan lebih baik. Selain itu, ABMI juga bertujuan untuk mendukung upaya mengatasi permasalahan ketidaksesuaian mata uang (currency mismatch) dan jatuh tempo pinjaman (maturity mismatch). Kegiatan ABMI difokuskan pada dua sasaran, yaitu : (i) mendorong akses pasar melalui perluasan berbagai kelompok penerbit obligasi, dan (ii) meningkatkan infrastruktur pasar modal di Asia. Untuk mencapai kedua sasaran tersebut, saat ini terdapat empat kelompok kerja teknis yang terdiri dari (i) New securitized debts instrument, yang memfokuskan pada metode-metode sekuritas surat-surat utang sehingga dapat diperdagangkan di pasar obligasi, (ii) Credit guarantee and investment mechanisme, yang meneliti berbagai pilihan mekanisme dan skema penjaminan obligasi untuk proyek-proyek investasi, (iii) Foreign exchange transactions and settlement issues, yang meneliti berbagai isu berkaitan dengan upaya meminimalkan resiko-resiko transaksi obligasi antar negara, dan (iv) Rating system, yang memfokuskan pada kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan harmonisasi ketentuan dan peraturan lembaga pemeringkat kredit di negara-negara anggota, sehingga penilaiannya atas obligasi yang diterbitkan masing-masing negara anggota dapat diperbandingkan. Untuk mendukung pengembangan upaya-upaya kerja sama ekonomi di ASEAN+3 terutama berkaitan dengan isu-isu jangka menengah-panjang, ASEAN+3 mendirikan ASEAN+3 Research Group pada Nopember 2003. Tujuannya adalah menggali berbagai ide untuk meningkatkan kerja sama keuangan dan mendorong stabilitas keuangan di dalam kawasan melalui 26 masukan-masukan akademik dari para peneliti atau lembaga-lembaga penelitian di negara ASEAN+3. Selain berbagai kegiatan kerja sama yang telah dilakukan di kawasan ASEAN+3, ada pula beberapa langkah integrasi yang terjadi di ASEAN+3. Untuk melihat sejauh mana proses integrasi yang terjadi di ASEAN+3, pada pembahasan selanjutnya akan di bahas mengenai integrasi regional di kawasan ASEAN+3. 2.3. Integrasi Regional ASEAN+3 Integrasi ekonomi regional salah satunya dilandasi oleh kedekatan geografis dan historis serta hubungan ekonomi antar negara di suatu kawasan. Tujuan dari integrasi tersebut adalah untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan kawasan dimaksud. Di Eropa, integrasi regional diawali dengan integrasi ekonomi (sektor riil) yang kemudian diikuti dengan integrasi moneter dan diakhiri dengan pembentukan mata uang tunggal Euro. Di ASEAN+3, proses integrasi regional diawali dengan kerja sama ekonomi yang lebih banyak digerakkan oleh sektor swasta (market-led and private sector driven integration), terutama sejak awal tahun 1990-an. Dalam periode tersebut, peranan pemerintah dalam mendorong inisiatif kerja sama relatif terbatas pada bidang-bidang tertentu seperti perdagangan, investasi dan pembangunan infrastruktur lintas batas (cross-border infrastructure). Dicapainya kesepakatan perdagangan bebas seperti pembentukan ASEAN Free Trade Area (AFTA) tahun 1992 dan kerja sama Sub-kawasan Mekong (Greater Mekong Subregional Cooperation) pada tahun yang sama menunjukan bahwa ASEAN sudah memasuki tahapan integrasi ekonomi. Kondisi tersebut berbeda dengan periode setelah krisis Asia 1997, di mana inisiatif pemerintah mulai semakin meningkat dalam kerja sama di kawasan. Hal ini tercermin dari perluasan kerja sama ekonomi di bidang keuangan dan moneter dengan tujuan untuk mencapai dan memelihara stabilitas keuangan regional, menjaga dan mendorong pertumbuhan regional dan domestik yang berkesinambungan, serta mengurangi ketergantungan pada lembaga keuangan internasional. 27 2.3.1. Latar Belakang Integrasi Moneter ASEAN+3 Pada 1 Januari 1999, negara-negara Uni Eropa meluncurkan mata uang tunggal mereka yang diberi nama Euro. Sejak awalnya, Euro sudah memaninkan suatu peranan penting sebagai mata uang internasional kunci. Hal itu sudah menjadikan Euro sebagai mata uang penting seperti dollar Amerika di kancah internasional. Negara Uni Eropa mungkin mempunyai beberapa kerugian dari sebuah mata uang tunggal tetapi mungkin juga mempunyai beberapa keuntungan lebih banyak dari hal tersebut. Untuk suatu hal, dengan adanya mata uang tunggal Euro, negara-negara Uni Eropa sangat tidak mungkin mengalami krisis seperti yang dialami negara-negara Asia di tahun 1997. Sejak krisis, banyak negara di Asia Timur dan Asia Tenggara telah melakukan usaha-usaha yang kuat untuk mencegah terjadinya krisis mata uang. Para pemimpin sepuluh negara ASEAN dan tiga negara lainnya membuat kesepakatan di Chiang May Initiative (CMI) pada bulan Mei tahun 2000. CMI mencakup swap mata uang bilateral, dialog tentang kebijakan, dan pengembangan pasar obligasi regional. Selain itu, mereka mencoba untuk menyamai pengalaman dari negara-negara Uni Eropa, mengadopsi Unit Mata Uang Eropa (ECU) dan bahkan menuju keberhasilan mata uang tunggal Asia di masa depan. Seperti pengalaman yang ditunjukkan oleh Eropa, negara Uni Eropa sudah mencapai suatu mata uang tunggal dengan suatu langkah pendekatan. Berdasarkan pengalaman yang dilakukan oleh Eropa, negara-negara di Asia sangat mungkin mengambil tindakan pendekatan gradual/berjenjang sampai terbentuknya mata uang tunggal di Asia. Asia dapat mengambil pembelajaran dari pengalaman yang dilakukan Eropa. Walaupun demikian, bagaimana pun, hal ini menghadapi bottlenecks. Beban yang paling utama dari suatu negara menetapkan mata uang tunggal regional adalah kehilangan otonomi kebijakannya. Meski begitu, apabila manfaat yang diperoleh lebih besar dari biayanya, maka negara-negara anggota akan meluncurkan mata uang tunggal regional. Oleh karena itu pertanyaan kritisnya adalah bukan apakah suatu kawasan (dalam konteks ini ASEAN+3) akan membuat mata uang tunggal regional atau tidak, tetapi proses atau langkah apa yang akan diambil dan bagaimana cara yang harus dilakukan untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi era mata uang tunggal Asia. 28 Pada konteks ini, Kuroda (2004) menyarankan menerapkan pendekatan lima tahapan. Pendekatan ini meliputi ; (1) Chiang Mai Initiative, (2) Asian Bond Market Initiative, (3) Kesepakatan Perdagangan Bebas (Free Trade Agreements), (4) Stabilitas Nilai Tukar intra regional (Intra-regional Exchange rate stabilization), (5) Peningkatan posisi fiskal dari negara-negara yang pengambil bagian/partisipan (improvement of the fiscal position of participating countries). Pendekatan dari Kuroda dapat menerangkan implementasi praktis berbagai kebijakan ke arah mata uang tunggal regional. Sementara itu, Kim (2007) menggunakan pendekatan tiga tahap agar menuju mata uang tunggal Asia. Ketiga tahapan ini meliputi ; (1) Koordinasi Kebijakan untuk Stabilitas nilai tukar, (2) Membuat Mata Uang Tunggal Regional (Asian Currency Unit), (3) Membuat Mata Uang Tunggal Asia. 2.3.2. Paralel Currency Asian Currency Unit (ACU) Dewasa ini telah berkembang berbagai wacana dan studi mengenai kemungkinan pembentukan mata uang regional di ASEAN dengan mencari sistem nilai tukar bersama yang dapat memfasilitasi dan mempercepat integrasi moneter di kawasan ASEAN+3. Dalam hal ini, pengalaman Eropa dengan Sistem Moneter Eropa (European Monetary System-EMS) seringkali digunakan sebagai rujukan. Melanjutkan inisiatif kerja sama regional yang sudah berjalan di kawasan ASEAN+3, proses untuk integrasi moneter diawali dengan peningkatan efektifitas dialog dan tinjauan kebijakan dengan masing-masing negara yang tetap mempertahankan rezim nilai tukar yang dianut, untuk selanjutnya bertahap bergerak ke proses integrasi yang lebih dalam. Pelaksanaan dialog dan tinjauan kebijakan di kawasan ASEAN+3 lambat laun dapat membangun kepercayaan dan membantu meningkatkan hubungan kerja untuk koordinasi kebijakan dan memperkuat dukungan keuangan di antara negara-negara yang terlibat dalam CMI, dan pada akhirnya menciptakan lingkungan politik dan ekonomi yang kondusif untuk memperkenalkan sistem nilai tukar bersama. Dalam masa transisi kearah pencapaian common currency area yang akan memakan waktu yang cukup lama, terdapat tiga alternatif sistem nilai tukar yang dapat dipertimbangkan untuk diadopsi, yaitu (i) sistem peg terhadap satu mata 29 uang asing (single currency peg), (ii) sistem mata uang parallel (parallel currency), (iii) sistem peg terhadap sekeranjang mata uang mitra dagang (currency basket). Pembentukan Asian Currency Unit untuk konteks ASEAN+3, menggunakan sistem parallel currency mengikuti pengalaman Eropa dalam pembentukan European Currency Unit. Dalam sistem nilai tukar parallel, terdapat penciptaan mata uang sintesis, di mana mata uang sintesis tersebut digunakan bersamaan dengan mata uang domestik masing-masing negara anggota. Mata uang sintesis tersebut dibentuk dari sekeranjang mata uang yang terdiri dari mata uang negara-negara di kawasan yang berpartisipasi dalam pembentukan sistem tersebut. Mata uang domestik masing-masing negara anggota kemudian dikaitkan kepada mata uang sintesis yang dijadikan mata uang bersama. Menurut Kurniati (2007), contoh populer penerapan parallel currency adalah ECU dalam EMS dan Special Drawing Rights (SDR) dari International Monetary Fund (IMF). Sebagai gambaran, ECU merupakan unit moneter yang dibentuk dari mata uang domestik negara-negara yang tergabung dalam EMS. Dengan demikian, ECU mencerminkan rata-rata tertimbang kinerja nilai tukar kawasan. EMS diadopsi oleh anggota masyarakat eropa (European Community) untuk menjaga stabilitas dengan membatasi fluktuasi nilai tukar antar negara anggota. Dalam hubungan tersebut, EMS mensyaratkan mata uang domestik negara anggota dalam sistem dikaitkan dengan ECU. ECU juga digunakan oleh lembaga supranational Masyarakat Eropa sebagai alat satuan hitung (unit of account), serta sebagai denominasi untuk perdagangan dan investasi. Dengan tujuan untuk stabilitas nilai tukar dalam kawasan, untuk kawasan Asia Timur, sistem nilai tukar parallel yang dibentuk lebih sesuai dengan mengikuti pola pembentukan ECU (European Currency Unit), yaitu dengan membentuk ACU (Asian Currency Unit). ACU dibangun dari sekeranjang mata uang negara anggota di kawasan Asia Timur yang berpartisipasi dalam sistem nilai tukar tersebut. ACU digunakan sebagai numeraire untuk transaksi perdagangan dan keuangan di kawasan, sementara transaksi di luar negeri tetap memiliki kendali atas mata uang domestik dan kebijakan moneternya. Adapun pembentukan Asian Currency Unit dapat dilihat pada Gambar 2. 30 Membentuk Mata Uang Sintesis ACU Negara Anggota Kawasan ASEAN-5 Keranjang mata uang yang Negara A terdiri dari mata uang negara anggota kawasan (dengan bobot tertimbang tertentu) Negara B Negara C Negara D Sumber : Kurniati, 2007 Gambar 2. Pembentukan Asian Currency Unit Dalam penelitian ini, setelah ACU nanti terbentuk dengan mengikuti tahapan-tahapan yang telah dilakukan oleh Eropa, maka penggunaan ACU untuk setiap anggota negara ASEAN+3 akan disimulasikan dengan memberikan guncangan/schok terhadap mata uang ACU dan mata uang domestik setiap negara anggota. Penggunaan simulasi ini bertujuan untuk melihat bagaimana indikator makroekonomi (dalam hal ini inflasi) berfluktuasi menuju sebuah keseimbangan baru setelah kedua nilai tukar tersebut di shock. Adapun model yang digunakan untuk pembahasan tersebut adalah dengan menggunakan metode Vector Autoregressive (VAR). 2.3.3. Vector Autoregressif (VAR) Vector Autoregressif (VAR) secara umum digunakan untuk memperkirakan (forecasting) data deret waktu yang berhubungan dan untuk menganalisa dampak random error secara dinamis pada sistem. Metodologi VAR 31 mengacu pada model persamaan simultan dengan mempertimbangkan variabel endogen secara bersama-sama. Setiap variabel endogen dijelaskan dengan lag-nya sendiri dan lag dari variabel endogen lainnya di dalam model. Biasanya, tidak ada variabel eksogen di dalam model. Dalam model, variabel dinyatakan sebagai variabel eksogen, endogen predetermin (eksogen ditambah lag variabel endogen). Sebelum model diestimasi, harus dipastikan bahwa persamaan model adalah teridentifikasi, baik teridentifikasi secara tepat (exactly identified) maupun lebih (over identified). Pendekatan VAR menggunakan pemodelan dengan memodelkan setiap variabel endogen dalam sistem sebagai fungsi masa lampau (lag). Lag dari variabel endogen terlihat disisi kanan setiap persamaan. Asumsi bahwa error tidak memiliki korelasi serial, tidak perlu dikhawatirkan karena korelasi serial bisa diselesaikan dengan menambah lag. Model VAR bersifat atheoritical, artinya tidak ada pedoman khusus yang digunakan dalam penentuan banyaknya lag agar dihasilkan model sebaik mungkin. Model VAR memiliki beberapa kelebihan sebagai berikut: 1. Metode VAR sederhana, sehingga tidak perlu menentukan variabel endogen dan eksogen. Seluruh variabel dalam model VAR adalah endogen. 13 2. Estimasi VAR sederhana. Metode OLS biasa dapat digunakan untuk setiap persamaan secara terpisah. 3. Hasil peramalan dengan menggunakan metode ini dalam beberapa kasus lebih baik dibandingkan dengan model persamaan simultan yang lebih rumit. Model VAR memiliki beberapa kekurangan sebagai berikut: 1. Tidak seperti model persamaan simultan, model VAR adalah a-theoretic karena model ini menggunakan informasi sebelumnya. Perlu diingat, dalam model persamaan simultan, memasukkan atau mengeluarkan variabel tertentu memainkan peranan penting dalam identifikasi model. 2. Model ini lebih fokus pada konteks peramalan sehingga kurang cocok untuk analisis kebijakan. 13 Terkadang variabel eksogen murni mengandung trend dan faktor musiman. 32 3. Tantangan terbesar dalam model VAR adalah memilih jumlah atau panjang lag yang tepat. 4. Untuk sejumlah m variabel dalam model VAR, seluruh variabel m harus stasioner secara bersama-sama. Jika persyaratan ini tidak terpenuhi, maka harus dilakukan transformasi terlebih dahulu (misalnya melalui first differencing). Transformasi akan sulit dilakukan jika data memiliki tingkat integrasi yang berbeda, misalnya dua variabel yang terintegrasi pada tingkat level [ I(0) ] dan tingkat satu [ I(1) ]. 5. Koefisien individual dalam estimasi model VAR seringkali sulit diterjemahkan, sehingga digunakan Impulse Response Function (IRF) 14 untuk melacak dampak suatu variabel terhadap variabel lainnya. Dari rangkaian pembentukan ACU dan simulasi untuk pemilihan nilai tukar setiap negara anggota ASEAN+3, ada sebuah proses sebelum menuju Kesatuan Integrasi Regional. Salah satunya adalah menurut Baharumshah et al (2006), yang mengatakan bahwa suatu kawasan dapat mencapai terjadinya kesatuan moneter regional harus memenuhi kondisi OCA agar integrasi ekonomi yang terjadi dapat lebih efisien. Oleh karena itu berikut akan dituliskan beberapa tinjauan terkait mengenai OCA. 2.4. Optimum Currency Area (OCA) Pada dasarnya teori Optimum Currency Areas terkait dengan bagaimana perekonomian suatu negara dengan wilayahnya diberikan independensi ataupun kebebasan dengan tujuan membentuk intergrasi moneter untuk berbagi satu mata uang bersama. Dalam perdagangan internasional, penggunaan mata uang yang berbeda dengan satuan nilai yang berbeda menghasilkan ketidakseimbangan dalam neraca pembayaran suatu negara. Sehingga, mata uang dapat menjadi suatu alat kebijakan untuk kompensasi ketidakseimbangan dalam neraca pembayaran ketika hal tersebut diperbolehkan untuk mengapresiasi dan mendepresiasi nilai relatif yang berhubungan dengan mata uang tersebut. Akan tetapi, ekonomi yang lebih kecil terkadang mengalami kesulitan untuk mengizinkan mata uangnya mengambang bebas dalam pasar uang. Depresiasi suatu mata uang dapat 14 IRF melacak respon variabel dependen dalam system VAR atas shock yang diberikan pada error-nya. 33 meningkatkan ekspor dan neraca perdagangan negaranya, tetapi perekonomian negara kecil tidak mampu mendukung tekanan nilai-nilai yang menjatuhkan mata uangnya sebelum keadaannya stabil kembali. Depresiasi mata uang domestik akan mengurangi daya beli lokal sedangkan daya beli dari asing akan meningkat. Oleh karena itu, banyak perekonomian yang lebih kecil boleh menentukan dan menerapkan nilai tukar tetap dimana mata uang mereka ditetapkan oleh mata uang negara lain, biasanya digunakan dollar Amerika. Apabila hal itu merupakan sebuah kasus, pertanyaannya adalah apakah semua negara dengan perekonomian kecil perlu mengadopsi satu sistem nilai tukar tetap untuk menstabilkan nilai dari mata uang mereka. Teori mengenai OCA pertama kali dikemukan oleh Robert A. Mundell dengan tulisannya yang berjudul A Theory of Optimum Currency Areas. Teori ini muncul pada akhir periode Bretton Woods dalam debat mengenai pro dan kontra dari flexible exchange rate (Kucerova, 2003). Perdebatan ini muncul karena sistem Bretton Wood telah memaksimalkan capital control pada banyak negara. Meskipun banyak penelitian tentang pilihan rezim exchange rate sejak awal tahun 1950an, Mundell adalah yang pertama kali mengungkapkan konsep optimum currency area memungkinkan untuk diterapkan dalam suatu wilayah. Mundell mencoba untuk menjawab pertanyaan kapan seharusnya suatu wilayah mempunyai mata uang sendiri dan wilayah yang bagaimana yang sesuai dengan sebuah common currency area (Broz, 2005). Menurut Mundell (1961), Optimum Currency Area (OCA) mempunyai definisi suatu wilayah geografis yang mempunyai guncangan supply dan demand yang simetrik dan memenuhi beberapa kriteria atau kondisi tertentu. Kriteria tersebut meliputi : 1. Memiliki derajat internal factor mobility yang tinggi dan derajat external facor mobility yang rendah. 2. Memiliki upah dan harga yang stabil. 3. Mobilitas tenaga kerja yang mudah dalam batasan-batasan nasional (budaya, peundang-undangan, kemakmuran, dll) namun mobilitas tersebut tidak mudah apabila melewati/di luar batasan-batasan nasional (national 34 borders). Spesialisasi dan keterampilan suatu negara juga menjadi faktor pendukung. Selanjutnya, Krugman-Obstfeld, 15 mendefinisikan OCA sebagai suatu kelompok negara-negara dalam suatu kawasan yang perekonomiannya terkait erat terutama karena faktor perdagangan (barang dan jasa) serta mobilitas faktor produksi. Definisi ini merupakan hasil pengamatan Krugman dan Obstfeld yang menyimpulkan bahwa sebuah kawasan yang menetapkan suatu nilai tukar tetap di antara negara-negara anggota akan berhasil mewujudkan semua tujuannya apabila tingkat output dan keterkaitan sektor perdagangan di antara negara-negara tersebut tinggi. Selain Mundell, Kenen dan McKinnon juga merupakan pelopor teori OCA. Kenen dalam Bergman (2000) mengemukakan bahwa sebuah currency area dibentuk dari negara-negara yang memproduksi dan mengekspor barangbarang yang mempunyai diversifikasi yang luas dan struktur yang sama. Kriteria Kenen meliputi : 1. Mempunyai sedikit goncangan asimetris, dan 2. Mempunyai tingkat diversifikasi ekonomi yang tinggi. Yang pada dasarnya hal ini dapat melawan guncangan asimetrik. Sedangkan McKinnon (1963) mengemukakan bahwa sebuah OCA dibentuk dari negara-negara yang mempunyai keterbukaan perdagangan yang tinggi. Di lain pihak, Ngian dan H Yuen, 16 mengungkapkan bahwa OCA merupakan suatu keadaan dimana negara-negara yang tergabung dalam kerjasama tersebut secara bersama menetapkan sistem nilai tukar tetap (mata uang masing-masing negara anggota di peg terhadap satu mata uang jangkar) dan menjalankan kebijakan moneter bersama. Melihat bagaimana proses integrasi di kawasan Eropa, dalam perjalanannya, teori OCA ini tidak dapat diimplementasikan oleh Uni Eropa karena beberapa alasan yang telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya. 15 Definisi OCA menurut Krugman-Obstfeld dalam Sholihah dan Saichu. 2007. Tinjauan Teoritis Integrasi Keuangan Regional. (Eds). S. Arifin, R. Winantyo, dan Y. Kurniati. Kerjasama Perdagangan Internasional. Bank Indonesia, Jakarta. 16 Definisi OCA oleh Ngian dan H Yuen dalam Sholihah dan Saichu. 2007. Tinjauan Teoritis Integrasi Keuangan Regional. (Eds). S. Arifin, R. Winantyo, dan Y. Kurniati. Kerjasama Perdagangan Internasional. Bank Indonesia, Jakarta. 35 Oleh sebab itu, pendekatan lain digunakan untuk menggantikan pra syarat OCA yakni pra syarat yang dikenal dengan Maastricht Treaty Convergence Criteria. 2.5. Maastricht Treaty Convergence Criteria Dalam Integrasi ekonomi, penyatuan pasar bukan hanya terjadi pada pasar barang. Pasar-pasar jasa pun mengalami proses konsolidasi yang sangat dinamis. Industri perbankan dan sektor keuangan lainnya mulai dapat memasuki wilayah negara lain. Seperti halnya di Eropa, setelah adanya integrasi di sektor riil, integrasi ekonomi di sektor lainnya pun mulai merambah antar negara-negara anggota Uni Eropa. Suatu hal yang menarik adalah perkembangan yang terjadi sehubungan dengan mata uang antar negara. Sebagaimana dimaklumi, dengan terjadinya perbedaan penggunaan mata uang tersebut, perdagangan antar negara di antara sesama anggota akhirnya memperhitungkan perkembangan nilai mata uang tersebut. Pada masa berlakunya sistem Brettonwoods, dimana semua mata uang dikaitkan dengan US Dollar, maka hubungan mata uang antarnegara anggota pada hakikatnya tidaklah banyak berubah dari waktu ke waktu. Namun, dengan runtuhnya sistem tersebut melalui Presiden Nixon pada tanggal 15 Agustus 1971, maka hubungan mata uang antar negara anggota tidaklah linier. Hal itulah yang mendasari negara-negara di Eropa akhirnya memiliki kesepakatan untuk mengkaitkan mata uang mereka satu sama lain, melalui apa yang disebut dengan Snake in the Tunnel. Bahkan, diantara negara Belgia, Belanda, dan Luxemburg, kesempatan itu lebih sempit lagi sehingga muncul istilah worm atau cacing di antara mereka dan Snake di antara anggota komunitas yang lebih besar. Sistem tersebut terus berlangsung sampai tahun 1979, yakni pada saat sistem tersebut diformalisasikan secara lebih sistematis melalui terbentuknya EMS, dan ERM merupakan tulang punggung dari sistem tersebut. Perkembangan itu terus berlangsung sampai munculnya suatu kesepakatan baru yang lebih ambisius. Kesepakatan baru tersebut disepakati di Belanda pada Bulan Desember Tahun 1991, di suatu kota di ujung selatan negara tersebut yang berbatasan dengan Jerman, Belgia, dan Perancis. 36 Oleh karena itu, kesepakatan tersebut diberi nama kota itu, yakni Trakta Maastricht atau Maastricht Treaty. Kesepakatan tersebut menjadi mengikat setelah diratifikasi oleh negara-negara anggota pada tahun 1992. Dengan kesepakatan tersebut, hubungan mata uang antar negara anggota akhirnya lebih didekatkan lagi. Untuk itu, negara-negara anggota harus mengadopsi suatu kebijakan yang mendekatkan perekonomian mereka melalui apa yang disebut sebagai kriteria konvergensi. Kriteria tersebut mencakup laju inflasi, suku bunga jangka pendek, defisit APBN yang diperlukan, dan rasio utang terhadap PDB yang terjadi di setiap negara. 2.6. Penelitian Empiris Terkait Penelitian mengenai Asian Currency Unit oleh Ogawa dan Shimizu (2005) membahas empat estimasi pendekatan Asian Monetary Unit (AMU). Pendekatan tersebut berdasarkan variabel trade volume intra kawasan, GDP nominal, GDPPPP, dan international reverse. Diantara semua itu, variabel pendekatan AMU dengan menggunakan bobot variabel GDP-PPP dan bobot variabel trade lebih tepat dari sudut pandang stabilitas AMU. Dari indikator divergen yang dihitung, hanya Dollar Singapura dan Dollar Brunei yang mengalami deviasi sebesar 2.5 persen dari benchmark rates. Selebihnya, sebagian besar mata uang negara ASEAN+3 (Cina, Jepang, dan Korea) mengalami deviasi lebih dari tiga puluh persen pada periode Noverber tahun 2004 dengan menggunakan benchmark harga dasar tahun 2001. Penelitian ini tidak hanya melakukan penghitungan secara nominal, melainkan juga secara penghitungan riil. Setelah memahami penelitian yang dilakukan oleh Ogawa dan Shimizu di atas, Baharumshah et al. (2005) mengkonstruksi Regional Monetary Unit (RMU) ASEAN-5 +3 (Indonesia, Thailand, Singapura, Filipina, Malaysia, Cina, Jepang, dan Korea) untuk dibandingkan dengan penelitian Ogawa dan Shimizu (2005) yang mengkonstruksi RMU berdasarkan tiga belas negara ASEAN+3 (Indonesia, Thailand, Singapura, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, Kamboja, Myanmar, Laos, Cina, Jepang, dan Korea). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah delapan negara (ASEAN-5 +3) mempunyai potensi untuk bekerjasama dalam membentuk International trade dan economic cooperation untuk 37 memfasilitasi pembentuk Asean Monetary Union (AMU). Landasan pokok delapan negara saja yang dilibatkan dalam penelitiannya adalah karena lima negara lainnya seperti Brunei Darussalam, Kamboja, Vietnam, Myanmar dan Laos (i) data makroekonomi yang dibutuhkan dalam rentang lima belas tahun kebelakang tidak tersedia dengan baik, (ii) Sebagian dari negara tersebut sedang mengalami transisi ekonomi, (iii) biaya untuk memperoleh data-data makroekonomi yang diperlukan akan membutuhkan biaya yang besar. Kesimpulan dari penelitian ini tidak menemukan perbedaan signifikan antara RMU ASEAN+3 dan RMU ASEAN-5 +3. Melalui pendekatan yang berbeda, Moon dan Rhee (2007) membahas pembentukan Regional Currency Unit untuk ASEAN-5 +3 (Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, Singapura, Cina, Jepang, dan Korea). Penentuan Variabel Ekonomi yang digunakan adalah GDP-PPP, GDP Nominal, Intra Trade, dan CMI-Swap dengan rentang waktu data penelitian dari tahun 2000-2006. Penelitian ini mengeksplorasi penentuan bobot serta fluktuasi nilai tukar dengan menggunakan RCU dan untuk digunakan sebagai referensi integrasi moneter. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa dengan mengestimasi nilai tukar RCU terhadap USD diperoleh dua temuan. Pertama adalah nilai RCU dengan basis penghitungan GDP nominal berfluktuasi paling tinggi dan RCU dengan basis penghitungan GDP-PPP berfluktuasi paling rendah. Kedua adalah dari estimasi pergerakan mata uang setiap negara selama periode waktu 2000-2006, mata uang Won Korea terapresiasi paling tinggi mencapai lima belas persen, sementara mata uang Peso Philipina mengalami depresiasi tertinggi yang melebihi lima belas persen pada periode waktu yang sama. Sementara itu, Guman dan Palit (2008) mengevaluasi kelayakan penggunaan Asian Currency Unit untuk ASEAN+4 (ditambah Cina, Korea, Jepang, dan India).serta perekonomian negara Australia dan Selandia Baru. Dalam penelitian tersebut, Guman dan Palit menambahkan jumlah observasi penelitian. Penentuan variabel ekonomi yang digunakan adalah variabel GDP nominal, GDPPPP, dan Ekspor Intra Regional dengan rentang waktu data penelitian 2001-2007. Dari hasil penelitiannya, Guman dan Palit menyimpulkan bahwa seharusnya proposal integrasi ekonomi dan moneter ASEAN+3 yang dibahas dalam beberapa 38 waktu terakhir melibatkan perekonomian India, Australia, dan Selandia Baru. Hal tersebut akan berdampak pada besarnya pangsa integrasi finansial di wilayah tersebut terhadap perekonomian dunia. Secara lebih ringkas, penelitian empiris yang terkait dengan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Penelitian Empiris Terkait Penulis Ogawa dan Shimizu (2005) Bhaharumshah et. al. (2006) Judul A Deviation Measurment for Coordinating Exchange Rate Policies in East Asia Toward Greater Financial Stability in The Asia Region Variabel Ekonomi 1. GDP nom 2. GDP-PPP 3. Total Trade 4. International Reserve Observasi ASEAN+3 Rentang Data 2000-2004 s.d.a. ASEAN-5 +3 2000-2005 Moon dan Rhee (2007) Regional Currency Unit and Exchange Rate Coordination in East Asia 1. 2. 3. 4. GDP-PPP GDP nom Intra Trade CMI-Swap ASEAN-5 +3 2000-2006 Gupta dan Palit (2008) Feasibility of an Asian Currency Unit 1. 2. 3. GDP nom GDP-PPP Ekspor Intra Regional ASEAN+4 +Aus dan New Zealand 2001-2007 2.7. Kerangka Pemikiran Krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1997 mengguncang fundamental ekonomi negara-negara di Asia. Gejolak nilai tukar, merupakan efek penularan (contagion effect) dari krisis yang terjadi di Thailand yang menimbulkan berbagai kesulitan ekonomi yang mengkhawatirkan. Kondisi stagflasi dan ketidakstabilan ekonomi melanda perekonomian negara-negara di Asia. Penurunan nilai tukar yang tajam disertai dengan terputusnya aksesibilitas sumber luar negeri karena ketakutan dan ketidakpercayaan investor menyebabkan turunnya kegiatan produksi secara drastis sebagai akibat tingginya ketergantungan terhadap komoditas barang, jasa, dan modal luar negeri. Para kreditur mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban luar negeri yang harus dipenuhinya. Pemutusan hubungan kerja juga sangat mewarnai kegiatan-kegiatan 39 ekonomi negara di kawasan Asia. Pada saat yang bersamaan, kenaikkan laju inflasi yang tidak terkendali, seperti Indonesia tergolong tinggi 77.6 % (Bank Indonesia, 2008) dan beberapa negara Asia lainnya serta terjadinya penurunan penghasilan masyarakat akibat merosotnya kegiatan ekonomi masyarakat menjadikan daya beli menurun, hal ini kian menciptakan terjadinya kemiskinan. Dampak dari krisis ini dirasakan cukup sulit untuk berbagai negara terutama negara yang mengalami pelemahan nilai tukar dan inflasi yang tinggi. Oleh karena itu, kecenderungan proses integrasi dan moneter di suatu kawasan pada dasarnya selain memberikan manfaat ekonomi yang akan diperoleh dari proses tersebut lebih besar dibandingkan dengan biaya atau resiko yang mungkin dihadapi apabila tidak terlibat dalam proses tersebut. Menyadari hal tersebut, banyak pengambil kebijakan mencoba untuk menempuh kebijakan liberalisasi perdagangan atau mencapai kesepakatan integrasi ekonomi dengan negara lain, khususnya pada konteks ini adalah ASEAN+3. Kebijakan maupun kesepakatan integrasi tersebut digunakan sebagai alat untuk mendapatkan akses pasar yang lebih luas dan mendorong pertumbuhan guna meningkatkan kesejahteraan (welfare state) yang kokoh. Didasari oleh pemikiran tersebut, sekaligus untuk memperkuat daya saing kawasan dalam menghadapi kompetisi global dan regional, negara-negara di kawasan Asia Tenggara tergabung dalam forum ASEAN telah menyepakati untuk meningkatkan proses integrasi di antara negara-negara dalam kawasan tersebut melalui pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan diharapkan dapat diperluas menjadi Masyarakat Ekonomi ASEAN+3. Berdasarkan pengalaman Eropa, keputusan integrasi ekonomi secara penuh dilandasai oleh kesepakatan trakta Maastricht. Oleh karena itu, dalam penentuan inetgrasi di kawasan ASEAN+3 perlu merujuk apa yang telah dilakukan oleh Eropa. Dalam penelitian ini dikaji bagaimana kesiapan negaranegara di Kawasan ASEAN+3 memenuhi konvergensi Maastricht sebagai upaya integrasi ekonomi secara penuh. Untuk menuju suatu integrasi moneter yang komperhensif memang tidak semudah yang diharapkan. Eropa melewati perjalan transisi yang sukup panjang 40 sebelum akhirnya mampu menjadi sebuah Uni Moneter Regional Eropa. Oleh sebab itu, diperlukan beberapa langkah yang harus dilakukan oleh kawasan ASEAN+3 antara lain penerapan Regional Currency Unit (RCU) yang pernah dilakukan oleh eropa dengan ECU-nya ketika memberlakukan EMS. Dalam konteks ASEAN+3, penerapan RCU akan diberi nama ACU sesuai dengan nama kawasan Asia. Adapun tahapan-tahapan yang akan dilakukan dalam penelitian ini untuk menjawab tujuan penelitian yang pertama adalah (i) Kontruksi model ACU, (ii) Kriteria Penentuan Bobot ACU, dan (iii) Penentuan Indikator Divergen. Setelah model ACU diperoleh dengan menggunakan pendekatan matematis dan deskriptif, selanjutnya adalah menjawab manfaat yang akan dihasilkan apabila kawasan ASEAN+3 menerapkan ACU. Penentuan manfaat dari ACU dilakukan dengan cara melihat bagaimana pergerakan inflasi masing-masing negara ASEAN+3 ketika suatu negara memilih menggunakan mata uang domestik dan nilai tukar ACU. Rangkaian kerangka konseptual dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini. 41 Kutub Perekonomian Eropa Background Kutub Perekonomian Amerika Krisis Ekonomi 1997 Kesuksesan Eropa Depresiasi Nilai Tukar Inflasi tidak terkendali GDP Rendah Unemployment mennigkat Dampak Krisis Kawasan Eropa Bergabung Tidak Bergabung Membentuk Kesatuan Moneter Regional ASEAN+3 Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN+3 ACU ECU Indikator Divergen Bobot ACU Konstruksi ACU Mata Uang Domestik INFLASI Mata Uang Euro (1999) OCA Maastricht Treaty Criteria Siap Uji Kovergensi European Monetary Unit Tidak Konvergen Konvergen Keterangan : Tidak Siap Mata Uang Tunggal Latar Belakang Lingkup Penelitian Gambar 3. Kerangka Pemikiran 42 III. DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Analisis dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Data yang dikumpulkan tersebut merupakan data panel dengan time series tahunan 1997-2008 dan cross-section tiga belas negara ASEAN+3, yaitu Cina, Jepang, Korea, Indonesia, Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina, Brunei, Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Laos. Alasan pemilihan negara-negara tersebut antara lain : a) Adanya kedekatan geografis negara-negara ASEAN dan Asia Timur sehingga menjadi suatu komunitas ekonomi yang dikenal sebagai kawasan ASEAN+3 (Cina, Jepang, dan Korea) yang didukung kesepakatan Chiang Mai untuk menjadikan kawasan ini sebagai kerjasama ekonomi regional ke depannya. b) Kondisi perekonomian ketiga belas negara terebut bervariasi dikarenakan kategori ekonomi untuk negara-negara kawasan tersebut terbagi menjadi negara maju dan negara berkembang. Hal ini membuat proses analisis menjadi lebih menarik untuk dikaji karena dapat melihat bagaimana penggunaan ACU dan kesiapan integrasi moneter bagi negara ASEAN dan Asia Timur. c) Pemilihan negara-negara kawasan ASEAN+3 tersebut juga dikarenakan data yang dibutuhkan tersedia di berbagai lembaga keuangan dunia seperti ADB, IMF, Bank Dunia, IFS, CEIC dan sebagainya. Jumlah amatan data yang digunakan setiap variabelnya adalah (4 x 10) x 13 = 520 amatan. Data tersebut terdiri dari GDP (indikator pertumbuhan ekonomi), Ekspor (proxy perdagangan), Inflasi, tingkat suku bunga, defisit fiskal, pinjaman pemerintah, dan nilai tukar. Penjelasan data tersebut adalah sebagai berikut, dalam mengkonstruksi model ACU dibutuhkan data mengenai nilai tukar semua negara ASEAN+3 untuk melihat pergerakan bersama antara mata uang tersebut dalam regional ASEAN+3 dan sebagai penentuan nilai ACU untuk setiap mata uang negara ASEAN+3. 43 Sementara data mengenai GDP nominal dan Ekspor intra kawasan digunakan untuk menentukan bobot dari tiap mata uang dan ukuran ekonomi ASEAN+3. Variabel Inflasi, tingkat suku bunga, defisist fiskal dan pinjaman pemerintah merupakan indikator dalam penentuan kesiapan penyatuan Uni Moneter Regional ASEAN+3 yang tertuang dalam Maastricth Treaty dan dijadikan acuan dalam penyatuan Uni Moneter Regional Eropa. Secara umum, variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini di rangkum dalam Tabel 3 sebagai berikut : Tabel 3. Variabel-variabel Ekonomi dalam Penelitian No. Variabel 1 EXR 2 3 GDP EX 4 5 6 INF IR G 7 GD Keterangan Nilai Tukar Mata Uang Domestik terhadap US Dollar PDB riil diukur dengan PPP Ekspor Perdagangan Intra Kawasan Inflasi Tingkat Suku Bunga Defisit Fiskal, share dalam GDP masing-masing negara Pinjaman Pemerintah, share dalam GDP masing-masing Negara Satuan US$ per 1 nilai mata uang Domestic US$ (PPP 2000 = 100) US$ per 1 nilai mata uang Domestic Persentase Persentase Persentase dari GDP Setiap Negara Persentase dari GDP Setiap Negara 3.2. Hipotesis Penelitian Berdasarkan permasalahan, tujuan, dan alur kerangka konseptual pada Bab I dan Bab II, maka hipotesis dari penelitian ini adalah : 1. Adanya peluang terjadinya Uni Moneter Regional ASEAN+3 untuk semua negara ASEAN+3. 2. Kerjasama nilai tukar dengan menggunakan ACU dapat menjaga stabilitas keuangan dan moneter regional ASEAN+3. 3. Terdapat manfaat ekonomi yang diperoleh dengan adanya integrasi moneter di kawasan ASEAN+3. 44 3.3. Model Teoritis Dalam suatu penelitian, model teoritis yang digunakan harus berdasarkan kebutuhan yang berkaitan dengan penelitian tersebut. Dalam penelitian ini terdapat dua model teoritis yang digunakan, yaitu (i) pembobotan rata-rata (weighted average) dan (ii) model VAR. Pembobotan rata-rata digunakan untuk membentuk nilai tukar parallel ACU seperti yang dilakukan oleh Uni Eropa. Di sisi lain, model VAR digunakan untuk menguji dan melakukan simulasi terhadap mata uang ACU dan mata uang domestik setiap negara anggota ASEAN+3 guna menentukan pilihan mata uang yang tepat bagi setiap negara anggota. Pada pembahasan tersebut, mata uang ACU dan mata uang domestik setiap negara anggota akan di shock secara bersamaan dan dilihat implikasinya terhadap variabel makroekonomi yakni inflasi. 3.3.1. Weighted Average Metode pembobotan rata-rata merupakan sebuah metode dimana setiap peubah diberi pembobotan yang sesuai dengan persentase dari total keseluruhan pembobot, yang dinotasikan sebagai ∑ni=1 wi. Sehingga pembobotan untuk setiap peubah dapat dituliskan sebagai berikut : y = w1 x1 + w2 x 2 + ... + wn x n dengan wi = ai ∑i =1 ai n (3.1) x100% dimana : y = kombinasi linier dari peubah asal dan pembobot wi = pembobot ke-i xi = peubah asal ke-i 45 3.3.2. Model Vector Autoregressive (VAR) Vector autoregression (VAR) merupakan sebuah metode estimasi yang dikembangkan oleh Christopher A. Sims pada tahun 1980. Model VAR dibangun dengan pertimbangan meminimalkan pendekatan teori dengan tujuan agar mampu menangkap fenomena ekonomi dengan baik. Dalam penggunaanya, VAR tidak perlu membedakan antara peubah endogen dan eksogen. Semua peubah dipercaya saling berhubungan dan seharusnya dimasukkan ke model. Model VAR berguna menunjukkan ketergantungan antar peubah ekonomi sehingga model sangat baik menjelaskan perilaku peubah dalam perekonomian yang kompleks. Model VAR secara matematis ditulis sebagai berikut : k X t = ∑ Ai X t −i + u1t (3.2) i =1 dimana Xt adalah vektor kolom pengamatan waktu ke-t semua peubah, Ai adalah matriks parameter, dan ut adalah vektor sisaan. Uji Stationeritas Data Jika data deret waktu yang digunakan sudah stationer, maka model yang terbentuk adalah VAR biasa (Unrestricted VAR). Namun dalam kenyataannya, deret data waktu yang digunakan dalam studi ekonomi hampir selalu menggunakan peubah-peubah yang umumnya tidak stasioner. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, adalah dengan memberikan perhatian terhadap sifat statistik dari data deret waktu yang terkait dengan sifat non-staioner. Menurut Thomas (1997), suatu deret waktu Xt dapat dikatakan stationer jika : 1. E (Xt) = konstan untuk semua t 2. Var (Xt) = konstan untuk semua t 3. Cov (xt, xt + k) = konstan untuk semua i dan semua k ≠ 0 Untuk dapat mengestimasi suatu mnodel menggunakan data tersebut, maka langkah pertama yang harus dilakuakan adalah melakukan uji stationeritas atau lebih dikenal dengan nama pengujian unit root pada setiap peubah. Dalam 46 penelitian ini digunakan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF). Hipotesis yang digunakan untuk menguji kestationeran data adalah : H0 : δ = 0 (tidak stationer) H1 : δ < 0 (stationer) Nilai δ diduga melalui metode kuadrat terkecil dan pengujian dilakukan dengan menggunakan statistik uji-t. Statistik uji dapat dinyatakan sebagai berikut : thit = δ σδ (3.3) Kemudian nilai thit dari uji tersebut dibandingkan dengan nilai kritis Mc Kinnon 95% (α = 0.05). Jika t hasil uji ADF lebih besar dari pada t tabel Mc Kinnon, maka sudah cukup bukti untuk menyatakan tolak H0 yang berarti bahwa tidak terdapt unit root sehingga dapat disimpulkan data deret waktu tersebut stationer. Hal ini berlaku juga sebaliknya, jika tidak dapat menolah H0 maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut tidak stationer. Apabila data tidak stationer, maka sulit untuk mengestimasi suatu model dengan menggunakan data tersebut, karena tren data tersebut cenderung berfluktuasi. Oleh karena itu, data yang tidak stationer perlu dilakukan proses differencing sehingga data yang digunakan menjadi stationer. Uji Kointegrasi Jika ada sekelompok peubah yang tidak stationer, merupakan hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah peubah-peubah tersebut terkointegrasi atau tidak. Apabila peubah-peubah tersebut terkointegrasi, maka dapat diidentifikasi hubungan jangka panjangnya. Konsep kointegrasi dikembangkan oleh Eagle dan Granger pada tahun 1987, yang berarti fenomena adanya suatu hubungan jangka panjang antara peubah tersebut dapat menjadi stationer (Enders, 1995). Kombinasi linier ini dikenal dengan nama persamaan kointegrasi. Uji kointegrasi bertujuan untuk menentukan apakah peubah-peubah yang tidak stationer mengalami kointegrasi atau tidak. Pengujian-pengujian tersebut dilakuakan untuk memperoleh hubungan jangka panjang antara peubah yang telah 47 memenuhi persyaratan dalam proses integrasi, dimana semua peubah telah stasioner pada derajat yang sama yaitu first difference. Uji kointegrasi dapat dijadikan dasar penentuan persamaan estimasi yang digunakan apakah memiliki keseimbangan jangka panjang atau hanya memiliki keseimbangan jangka pendek. Pengujian dilakukan dengan menggunakan pendekatan Johansen, dimana hipotesis yang digunakan adalah : H0 : rank ≤ r H1 : rank > r Statistik uji yang digunakan untuk pengujian hipotesis tersebut adalah : n λtrace (r ) = −T ∑ ln(1 − λˆt ) (3.4) i = r +1 dengan λi : akar cirri ke-i Akar ciri tersebut, didapat dari ∑ p i =1 Ai − 1 . Jika λtrace < λtabel maka keputusan yang diambil adalah menerima H0 yang artinya kointegrasi terjadi pada rank r (Enders, 1995). Apabila rank kointegrasi sama dengan nol maka VAR dapat langsung digunakan, karena berarti tidak terjadi kointegrasi. Namun, ketika rank kointegrasi labih besar dari nol maka harus digunakan model vector error correction model (VECM). Penentuan Lag Optimal Penentuan Lag Optimal sangat berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR, sehingga dengan digunakannya lag optimal diharapkan tidak terjadi masalah autokorelasi. Dalam rangka memperoleh panjang lag yang tepat, maka perlu dilakukan tiga bentuk pengujian secara bertahap. Pada tahap pertama akan dilihat panjang lag maksimum sistem VAR yang stabil. Stabilitas sistem VAR dilihat dari nilai inverse roots karakteristik AR polinomialnya. Suatu sistem VAR dikatakan stabil (stasioner) jika seluruh rootsnya lebih kecil dari satu dan semuanya terletak di dalam unit circle. Pada tahap kedua, panjang lag optimal akan ditentukan berdasarkan kriteria informasi yang tersedia. Pemilihan dilakukan dengan panjang lag menurut kriteria Akaike Information Criteria (AIC) dan Shwarz Criterion (SC). Jika 48 kretieria informasi hanya merujuk pada sebuah kandidat saja, maka kandidat tersebutlah yang optimal. Namun apabila diperoleh lebih dari satu kandidat, maka pemilihan dilanjutkan pada tahap ketiga. Pengujian dengan menggunakan AIC akan mengikuti persamaan sebagai berikut : ∑ε AIC = log 2 t T +2 q T (3.5) Sedangkan perhitungan SC adalah sebagai berikut : SC = AIC (q) + (q/T) (logT – 1) dengan : q = banyaknya peubah T = banyaknya peubah pengamatan Besarnya lag optimal ditentukan oleh ditentukan oleh lag yang memiliki kriteria SC dan AIC terkecil. Pada tahap terakhir, nilai adjusted R2 peubah VAR dari setiap kandidat lag diperbandingkan, dengan penekanan pada peubah-peubah terpenting dari sistem VAR tersebut. Lag optimal akan dipilih dari sistem VAR dengan lag tertentu yang menghasilkan nilai adjusted R2 terbesar pada peubah-peubah penting di dalam sistem. Vector Error Correction Model Syarat penting dari penggunaan Vector Error Correction Model (VECM) adalah terjadinya kointegrasi. Eagle dan Granger pun telah membuktikan bahwa peubah yang terkointegrasi memiliki koreksi kesalahan. Jadi, VECM merupakan bentuk VAR terestriksi untuk digunakan pada data yang bersifat non-stasioner dan diketahui berkointegrasi. VECM mempunyai hubungan kointegrasi yang dibangun melalui spesifikasi dengan merestriksi perilaku jangka panjang dari peubah-peubah endogen. VECM ordo p dituliskan sebagai berikut : 49 p −1 Δxt = A0 + πxt −1 + ∑ Φ *i Δxt −1 + ε t (3.6) i =1 dengan : Φ *i = −∑ j =i +1 A j p π =α +β' dengan α adalah vektor adjusment berukuran rx1 dan β adalah vektor kointegrasi berukuran rx1. Impulse Response Function VAR atau VECM merupakan metode yang akan menentukan sendiri struktur dinamisnya dari suatu model. Setelah melakukan uji untuk keseluruhan VAR dan VECM tersebut, diperlukan adanya metode yang dapat mencirikan struktur dinamis yang dihasilkan oleh VAR atau VECM secara jelas. Impulse Response Function (IRF) menunjukkan bagaimana respon dari setiap peubah sepanjang waktu terhadap guncangan dari peubah itu sendiri dan peubah lainnya. IRF dapat juga mengidentifikasi suatu guncangan pada satu peubah sehingga dapat menentukan bagaimana suatu perubahan yang tidak diharapkan dalam peubah mempengaruhi peubah lainnya sepanjang waktu. IRF juga berfungsi untuk menunjukkan efek inovasi pada variabel. IRF dapat diturunkan vector moving average (VMA) yaitu variabel independen (xt) diekspresikan dalam nilai sekarang dan nilai sebelumnya dari inovasi (et). Bentuk reduced form model VAR dapat dituliskan sebagai berikut (Enders, 2004) : xt = A0 + A1t t t −1 + et (3.7) Persamaan reduced form tersebut kemudian ditulis ke dalam bentuk matrik VAR dua variabel sebagai berikut : ⎡ y t ⎤ ⎡ a10 ⎤ ⎡ a11 ⎢ z ⎥ = ⎢a ⎥ + ⎢a ⎣ t ⎦ ⎣ 20 ⎦ ⎣ 21 a12 ⎤ ⎡ y t −1 ⎤ ⎡ e1t ⎤ + a 22 ⎥⎦ ⎢⎣ z t −1 ⎥⎦ ⎢⎣e2t ⎥⎦ (3.8) 50 Enders selanjutnya melakukan manipulasi persamaan tersebut sehingga menghasilkan : ⎡ y t ⎤ ⎡ y ⎤ ∞ ⎡ a11 ⎢ z ⎥ = ⎢ ⎥ + ∑ ⎢a ⎣ t ⎦ ⎣ z ⎦ i =0 ⎣ 21 a12 ⎤ ⎡ yt −1 ⎤ ⎡ e1t −i ⎤ + a 22 ⎥⎦ ⎢⎣ z t −1 ⎥⎦ ⎢⎣e2t −i ⎥⎦ (3.9) Melalui persamaan matriks tersebut, Enders selanjutnya membuat fungsi VAR menjadi berikut : ∞ xt = μ + ∑ Φ i ε t −1 (3.10) i =0 Moving average berguna untuk menerangkan interaksi antara yt dan zt. Koefisien Фi dapat digunakan untuk menghasilkan pengaruh kejutan εyt dan εzt terhadap yt dan zt. Koefisien tersebut adalah impulse response function. Penggunaan IRF merupakan cara yang praktis untuk menunjukkan perilaku series yt dan zt dalam merespon berbagai guncangan. 3.4. Spesifikasi Model Penelitian Model yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada model teoritis yang telah dibahas sebelumnya. Dalam penelitian ini, model ACU akan dikonstruksi sedemikian rupa sehingga menghasilkan mata uang ACU ASEAN+3 dan nilai tukar domestik setiap mata uang negara anggota ASEAN+3 terhadap ACU. Sementara model VAR digunakan untuk melihat pergerakan variabel inflasi setiap negara jika mata uang ACU dan mata uang domestik setiap anggota negara ASEAN+3 di shock secara bersamaan. 3.4.1. Model Asian Currency Unit (ACU) Dalam penentuan model RCU, harus didasarkan bahwa nilai dari RCU sama dengan jumlah semua mata uang yang tergabung dalam RCU dan nilai tukar semua mata uang tersebut terhadap sebuah satuan mata uang (US$) (Ogawa dan Shimizu, 2005). Pengertian ini dapat dituliskan sebagai berikut : 51 RCU($/RCU) = ∑ j =1 Q( J ) S ($ / J ) ; Q(J) > 0 z (3.11) jika dalam penelitian ini suatu RCU merupakan ACU, maka dari persamaan (3.11) dapat dimodifikasi sebagai berikut : 13 ACU($/ACU) = ∑ Q( J ) EXR($ / J ) ; Q(J) > 0 (3.12) j =1 dimana : ACU($/ACU) = ACU, penjumlahan dari 1 sampai 13 mata uang negara-negara yang tergabung dalam ASEAN +3 EXR($/J) = Nilai tukar bilateral antara dollar terhadap uang J Q(J) = Jumlah mata uang J dalam ACU (bobot mata uang lokal) Secara lebih lengkap persaman (3.12) dapat dituliskan sebagai berikut : ACU = (QCNY x $/CNY) + (QJPY x $/JPY) + (QKRW x $/KRW) + (QIDR x $/IDR) + (QSP$ x $/SP$) + (QTLB x $/TLB) + (QMLR x $/MLR) + (QPLP x $/PLP) + (QBN$ x $/BN$) + (QVTD x $/VTD) + (QCBR x $/CBR) + (QMYK x $/MYK) + (QLAK x $/LAK) (3.13) Pada persamaan (3.13) menunjukkan bahwa ACU($/ACU) akan homogenous pada derajat satu terhadap ER($/J). Asumsi ini mengimplikasikan bahwa jika terjadi apresiasi sebesar satu persen setiap mata uang yang tergabung dalam ACU maka akan mendorong ACU terapresiasi sebesar satu persen terhadap dollar. Artinya adalah, setiap mata uang yang tergabung dalam ACU akan memiliki nilai sendiri. Selanjutnya adalah menentukan bobot dari setiap mata uang dalam ACU. Bobot timbangan dari masing-masing mata uang dalam keranjang ACU dihitung berdasarkan ukuran tingkat signifikansi ekonomi dari negara-negara yang menerbitkannya. Jika mengikuti pengalaman pembentukan ECU, variabel yang digunakan untuk mengukur tingkat signifikasi ekonomi terdiri dari besar ekonomi 52 relatif terhadap kawasan; pangsa perdagangan intra-kawasan, dan pangsa likuiditas jangka pendek (de Grauwe, 2005). Ogawa dan Shimizu (2005) menggunakan variabel volume perdagangan, nominal PDB, PDB yang diukur dengan PPP, dan cadangan devisa untuk menghitung bobot masing-masing mata uang dalam keranjang. Namun, pada penelitian ini yang akan digunakan adalah GDP Riil PPP dan Ekspor dalam kawasan masing-masing dengan pertimbangan bahwa variabel-variabel tersebut merupakan elemen bentuk terjadinya integrasi antara satu negara dengan negara lainnya. Sehingga dapat diperoleh bobot untuk setiap negara sebagai berikut : Jika diasumsikan Q1 merupakan variabel GDP, maka bobot untuk setiap negara dalam perhitungan variabel GDP adalah : 13 [ GDP( J ) ∑ GDP( J ) ]× 100% WGDP(J) = (3.14) j =1 Jika Q2 diasumsikan merupakan variabel Ekspor dalam kawasan, maka bobot untuk setiap negara dalam perhitungan variabel ekspor kawasan adalah : WEX(J) = [ EX ( J ) 13 ∑ EX ( J ) ]× 100% (3.15) j =1 Setelah memperoleh bobot setiap negara pada variabel tertentu, selanjutnya adalah menentukan bobot setiap negara untuk semua variabel yang diamati. Jika Q1 merupakan variabel GDP dan Q2 merupakan variabel ekspor, maka bobot total untuk setiap negara dapat dituliskan dalam persamaan umum berikut : WQ(J) = 0.50 WQ1(J) + 0.50 WQ2(J) (3.16) Guna memperoleh bobot mata uang lokal atau dengan kata lain jumlah mata uang suatu negara dalam keranjang adalah dengan mengalikan bobot negara 53 tersebut terhadap nilai tukar mata uang tersebut. Dalam persamaan umum nya dapat dituliskan sebagai berikut : Q(J) = WQ(J) x EXR(J/$) (3.17) dimana Q(J) merupakan bobot setiap mata uang ASEAN+3, WQ merupakan bobot total setiap negara anggota ASEAN+3, dan EXR J merupakan nilai tukar semua negara anggota ASEAN+3 (J = 1, 2, ..., 13). Bobot dari setiap mata uang dalam ACU akan tergantung dari berapa banyak mata uang tersebut dalam keranjang ACU. Apabila jumlah dari mata uangnya tetap, maka bobot dari setiap mata uang akan berubah sepanjang waktu jika terdapat perubahan nilai dalam setiap komponen mata uang ASEAN+3. Berbagai variasi dari pendekatan yang berbeda sebenarnya dapat digunakan dalam penentuan bobot. Tergantung dari pendekatan yang diterapkan, sehingga keranjang dapat memiliki kemiripan atau terdapat perbedaan pembobotan dan tidak menutup kemungkinan dapat didominasi oleh satu mata uang ataupun lebih. Bobot merupakan faktor yang penting karena memiliki implikasi terhadap prilaku keranjang dan dalam memperoleh indikator divergen. Untuk maksud tersebut, hal ini berguna ketika memonitor nilai tukar antara ACU dengan setiap komponen mata uang. Nilai ACU untuk setiap mata uang K (K = 1, 2, 3, …, 13) dapat diperoleh dengan cara mengalikan persamaan (3.8) dengan S(K/$) guna memperoleh tiga belas persamaan dalam rumus umum sebagai berikut : ACU($/ACU) = 13 ∑ Q( J ) EXR($ / J ) ; Q(J) > 0 j =1 ACU($/ACU) S(K/$) = 13 ∑ Q( J ) EXR($ / J )S ( K / $) j =1 ACU (K/ACU) = 13 13 j =1 j =1 ∑ Q( J )S ($ / J )S ( K / $) = ∑ Q( J ) EXR( K / J ) (3.18) 54 Guna mengetahui nilai ACU untuk mata uang K pada periode tertentu, persamaan (3.12) dapat dituliskan kembali dalam bentuk : ACUk,t = 13 ∑ Q( J ) EXR( J / K ) j =1 t (3.19) dimana : ACUkt = Nilai ACU dalam mata uang k pada periode tertentu Q(J) = Jumlah mata uang j dalam keranjang (bobot mata uang lokal) EXR(K/J)t = Harga mata uang k dalam unit mata uang j (nilai tukar bilateral) pada periode tertentu Setelah model setiap mata uang ACU ASEAN+3 diperoleh dalam persamaan (3.17), selanjutnya adalah menentukan mekanisme nilai tukar. Dalam EMS, setiap mata uang yang dikaitkan dalam ECU, nilai tukar bilateral pada awalnya diperbolehkan berfluktuasi dalam koridor 2.5 persen. Pada tahun 1990, untuk Negara Italia dan kemudian Portugal, dan Spanyol diperkenankan untuk melebarkan fluktuasi koridor (fluctuation bond) menjadi ± 6 persen. Selanjutnya, koridor kembali diperlebar pada tahun 1992 yaitu pada masa krisis ERM menjadi ± 15 persen. Negara anggota diwajibkan untuk menjaga pergerakan nilai tukarnya dalam koridor yang telah ditetapkan tersebut dengan melakukan intervensi sepanjang yang dibutuhkan. 3.4.2. Model VAR untuk ACU, Mata Uang Domestik dan Inflasi Teori yang dapat digunakan untuk memprediksi pengaruh nilai tukar terhadap variabel inflasi dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan model Mundell-Fleming (kurva IS-LM) dan model AD-AS secara sederhana. Analoginya adalah depresiasi nilai tukar suatu negara akan menyebabkan harga domestik lebih kompetitif dibandingkan produk luar negeri. Kondisi ini menyebabkan kenaikan ekspor produk domestik. Berdasarkan teori dalam makroekonomi, kenaikan ekspor akan menggeser kurva IS ke kanan. Pergeseran kurva IS tersebut akan menggeser kurva AD ke kanan yang ditandai dengan kenaikan output dan kenaikan harga. 55 Di sisi lain, depresiasi nilai tukar juga mengakibatkan barang impor menjadi lebih mahal. Hal ini mengakibatkan produksi barang domestik mempunyai komponen barang modal yang harus diimpor dari luar negeri. Kenaikan produk barang luar negeri yang juga menjadi barang modal produk domestik memicu kenaikan biaya produksi. Kenaikan biaya produksi selanjutnya akan menggeser kurva AS ke kiri dalam model AD-AS yang ditandai dengan kontraksi output dan kenaikan harga. Interaksi pergeseran kurva AD dan AS ini selanjutnya akan menyebabkan kenaikan harga (inflasi). Oleh karena itu, model VAR dalam penelitian ini digunakan untuk menentukan pilihan antara mata uang ACU atau mata uang domestik yang sesuai bagi setiap negara anggota ASEAN+3. Dengan menggunakan model VAR, bagi setiap negara anggota ASEAN+3, mata uang ACU dan mata uang domestik akan di shock secara bersamaan dan dilihat bagaimana pengaruhnya terhadap indikator inflasi setiap negara. Variabel yang digunakan dalam model VAR ini adalah nilai tukar ACU setiap negara anggota, nilai tukar domestik setiap negara anggota, dan variabel inflasi setiap negara anggota. Ketiga variabel tersebut, selanjutnya dituangkan dalam bentuk VAR sebagai berikut : n n i =1 i =1 ACU ( J ) = α + ∑ β 1 EXR( J ) t −i + ∑ β 2 INF ( J ) t −1 + ε t n n i =1 i =1 n n i =1 i =1 EXR( J ) = α + ∑ β1 ACU ( J ) t −i + ∑ β 2 INF ( J ) t −1 + ε t INF ( J ) = α + ∑ β1 ACU ( J ) t −i + ∑ β 2 EXR( J ) t −1 + ε t (3.20) (3.21) (3.22) 56 dengan : ACU = nilai tukar ACU EXR = nilai tukar domestik terhadap USD INF = inflasi J = negara-negara ASEAN+3 (J = 1, 2, ..., 13) 3.5. Prosedur Analisis Penelitian Prosedur analisis digunakan untuk melihat alur penelitian. Dalam penelitian ini, prosedur analisis secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 4. Secara garis besar, analisis dalam penelitian ini adalah (i) pengalaman Eropa dalam penerapan ECU, (ii) pembahasan mengenai konvergensi Maastricht Treaty Criteria, (iii) konstruksi ACU untuk kawasan ASEAN+3, (iii) penentuan pilihan penggunaan mata uang untuk setiap negara ASEAN+3. Analisis akan dilakukan dengan dua periode waktu yang berbeda. Periode tersebut meliputi periode krisis ekonomi (1997-2002), dan periode pasca krisis ekonomi (2003-2007). Landasan filosofis digunakannya dua periode dalam penelitian ini antara lain : (i) melihat konsistensi pergerakan negara-negara ASEAN+3 dalam pembentukan uni moneter regional, dan (ii) pengalaman eropa yang menggunakan selang interval 5 tahunan dalam merevisi bobot ECU. Langkah pertama prosedur analisis dalam penelitian ini adalah merujuk penerapan ECU di Eropa. Pada pembahasan ini akan dikaji bagaimana Uni Eropa menerapkan nilai tukar ECU sebelum terjadinya kesatuan moneter di kawasan tersebut. Analisis dilakukan berdasarkan penentuan bobot ECU, baik dari sisi penentuan awal bobot maupun revisi bobot yang pernah dilakukan oleh Eropa. Langkah kedua, adalah. menganalisis bagaimana kesiapan negara-negara di Kawasan ASEAN+3 membentuk suatu uni moneter regional. Pembahasan ini mencakup ruang lingkup kesiapan negara-negara ASEAN+3 untuk mencapai suatu integrasi ekonomi dan moneter seperti yang telah dilakukan oleh Uni Eropa dengan menggunakan persyaratan Maastricht Treaty Criteria. Untuk menguji negara mana saja yang sudah siap membentuk uni moneter regional adalah dengan melihat apakah setiap negara tersebut memenuhi kriteria Maastricht secara 57 keseluruhan. Jika terpenuhi, maka negara-negara tersebut sudah siap membentuk suatu uni moneter regional. Langkah ketiga, penarapan ACU di kawasan ASEAN+3. Dalam Bab ini, akan dibahas bagaimana kemungkinan pembentukan ACU untuk tiga belas negara-negara ASEAN+3. Pembahasannya meliputi konstruksi dari pembentukan ACU, kriteria penentuan bobot, penentuan indikator divergen untuk setiap mata uang negara anggota ASEAN+3 berdasarkan fluktuasi nilai tukar ACU. Analisis yang dilakukan meliputi konstruksi dan pembentukan ACU menggunakan jumlah mata uang tetap atau dengan menggunakan bobot yang tetap untuk ACU. Selanjutnya dalam kriteria penentuan bobot untuk ACU digunakan pendekatan variabel GDP total ASEAN+3 dan total ekspor intra regional ASEAN+3. Setelah mendapatkan bobot untuk mata uang ACU setiap mata uang negara-negara ASEAN+3, adalah menentukan indikator divergen untuk setiap mata uang tersebut. Langkah Keempat, adalah pembahasan mengenai pilihan penggunaan mata uang, apakah menggunakan mata uang domestik atau menggunakan nilai tukar ACU. Pada Bab ini akan dianalisis mengenai keuntungan dan kerugian dengan menggunakan ACU, ketika salah satu maupun kedua nilai tukar tersebut di shock dan bagaimana pengaruhnya terhadap inflasi setiap negara ASEAN+3. Pada bahasan tersebut, akan direkomendasikan penggunaan pilihan mata uang yang sesuai untuk setiap negara. . 58 Tabel 4. Tahapan Prosedur Analisis Penelitian Judul Bab Pembahasan Keterangan Meliputi pembahasan mengenai asumsi penggunaan Konstruksi ACU ACU sebagai currency dengan satuan mata uang tetap atau bobot yang tetap. Proses dimana negara-negara Pengalaman Eropa-ECU di Eropa menggunakan mata uang paralel European Currency Unit (ECU). 1. Kesiapan Kesiapan ASEAN+3 dengan pendekatan konvergensi Maastricht Treaty Criteria Kerja sama Nilai Tukar Asian Currency Unit (ACU) ASEAN+3 setiap negara ASEAN+3 dalam memenuhi Kriteria Maastricht pada periode setiap negara 1997-2002 2. Kesiapan ASEAN+3 dalam memenuhi Kriteria Maastricht pada periode 2002-2007 Ruang lingkup bahasan mengenai komposisi mata uang yang digunakan dalam ACU, Komposisi dan Penentuan penentuan variabel pembentuk Bobot ACU ACU, dan penentuan pangsa untuk memperoleh komposisi bobot setiap mata uang negaranegara di ASEAN+3 1. Perhitungan ACU dalam mata ACU pada periode krisis ekonomi (1997-2002) uang lokal setiap negara di ASEAN+3 (19972002) 2. Mekanisme Nilai Tukar setiap negara di ASEAN+3 (1997-2002) ACU pada periode pasca krisis ekonomi (2002-2007) 3. Perhitungan ACU dalam mata uang lokal setiap 59 negara di ASEAN+3 (19992002) 4. Mekanisme Nilai Tukar setiap negara di ASEAN+3 (2003-2007) Pilihan Penggunaan Nilai Tukar di Kawasan ASEAN+3 Menentukan mata uang yang Pilihan Penggunaan Mata Uang setiap negara di ASEAN+3 sesuai bagi setiap negara di ASEAN+3, pilihan antara mata uang domestiknya menggunakan nilai atau tukar ASEAN+3. 60 IV. KERJA SAMA NILAI TUKAR ASIAN CURRENCY UNIT (ACU) ASEAN+3 Sejalan dengan upaya pencapaian integrasi ekonomi kawasan ASEAN+3 yang lebih dalam, stabilitas nilai tukar intra kawasan perlu untuk mendapatkan perhatian penting. Stabilitas nilai tukar diperlukan untuk menciptakan kepastian usaha dan investasi dalam suatu kawasan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi arus barang dan jasa lintas batas terutama bagi negara-negara yang sudah terintegrasi dan sangat tergantung pada pasar internasional. Krisis ekonomi dan moneter yang melanda ASEAN dan Asia Timur pada Tahun 1997 meruntuhkan mayoritas perekonomian negara-negara di kawasan tersebut. Hal ini diakibatkan karena ketidakstabilan nilai tukar setiap negara yang merupakan dampak buruk dari krisis. Oleh sebab itu, muncullah inisiasi (CMI) untuk melakukan pengkoordinasian nilai tukar dalam kawasan ini. Dari CMI melahirkan kesepakatan untuk menciptakan lingkungan politik dan ekonomi yang kondusif dengan memperkenalkan sistem nilai tukar bersama. Sistem nilai tukar bersama yang dimaksud adalah Asian Currency Unit (ACU). Peluncuran ACU bertujuan untuk memonitor pergerakan divergen (divergen movement) dari mata uang yang tergabung dalam ASEAN ditambah China, Jepang, dan Korea dalam menghadapi pergerakan kawasan perekonomiannya sendiri. Tujuan lainnya adalah mengelompokan mata uang yang tergabung tersebut dalam suatu obligasi regional dengan jumlah tertentu (Kawai dan Takagi, 2005). Adapun beberapa keunggulan menggunakan nilai tukar ACU menurut Kurniyati (2007), ACU meningkatkan stabilitas nilai tukar dalam kawasan dan mendorong intensitas perdagangan dalam kawasan. Penggunaan ACU sebagai numeraire untuk transaksi perdagangan dan keuangan dalam kawasan akan menghindari competitive depreciation antar anggota di kawasan, yang pada gilirannya akan mendorong intensitas perdagangan dalam kawasan. Selanjutnya keuntungan ACU adalah mengurangi resiko nilai tukar antara pemberi pinjaman dan peminjam dari negara-negara di kawasan yang memiliki sistem nilai tukar yang berbeda-beda. Contohnya, Bank Jepang memberikan pinjaman 61 berdenominasi yen kepada perusahaan di kawasan yang negaranya menganut sistem nilai tukar peg terhadap dollar AS. Dengan demikian, beban resiko nilai tukar ditanggung seluruhnya oleh perusahaan peminjam. Apabila pinjaman diberikan dalam denominasi ACU, maka resiko nilai tukar terbagi antara pemberi pinjaman dan peminjam. Di sisi lain, Yam (1999) menegaskan bahwa ACU memperdalam pasar keuangan regional. Selain berfungsi sebagai mata uang jangkar, penciptaan ACU membentu menciptakan pasar keuangan yang lebih dalam dan likuid, melalui penciptaan instrumen keuangan (financial asset) berdenominasi ACU. Instrumen keuangan dalam denominasi ACU tersebut akan menambah opsi investasi di pasar keuangan Asia sehingga dapat meningkatkan saving di dalam kawasan dan menjadi pendorong perkembangan pasar keuangan regional selanjutnya. Pasar keuangan regional yang dalam dan likuid pada gilirannya akan meningkatkan stabilitas keuangan secara keseluruhan di kawasan. Kondo (2000) menjelaskan bahwa keberadaan ACU yang berfungsi sebagai alat satuan hitung transaksi di kawasan berperan penting dalam memformalkan kerjasama moneter regional yang selanjutnya dapat menjadi pendorong mempercepat pencapaian tujuan penyatuan moneter kawasan. Pengalaman Eropa dalam mendirikan European unit of account (EUA) pada saat Monetary Snake di awal Tahun 1970-an adalah dengan membentuk European Monetary System (EMS) dan European Currency Unit (ECU) pada Tahun 1979. Melalui serangkaian proses yang panjang, akhirnya kawasan Eropa tersebut menetapkan dirinya sebagai uni moneter Eropa (European Monetary Unit-EMU) dengan meluncurkan euro sebagai mata uang regional Eropa pada tahun 1999. Dari proses yang telah dilakukan oleh Eropa, pengalaman mereka dalam membentuk sebuah uni moneter regional merupakan pelajaran yang sangat relevan bagi kawasan ASEAN+3. Sebenarnya, dari beberapa tahapan yang dilakukan oleh Eropa, penggunaan mata uang paralel ECU memiliki informasi maupun kegunaan yang melimpah dalam hal monitoring pasar kawasan. 62 4.1. Konstruksi ACU Langkah awal memahami ACU adalah dengan menentukan beberapa pilihan dalam mendefinisikan ACU sebagai currency bagi ASEAN+3. Keputusan yang tepat akan tergantung pada tujuan utama penggunaan ACU, yakni, apakah merupakan instrumen utama dalam memonitor pasar nilai tukar pada kawasan ASEAN+3 tanpa adanya sebuah fungsi moneter, atau ACU akan menjadi suatu mata uang sebagai denominasi instrumen hutang di pasar keuangan. Pilihanpilihan tersebut merupakan wilayah mata uang sebagai alat penyimpan nilai (store of value). Di waktu yang akan datang, bila biaya transaksi rendah maka mata uang regional ACU dapat digunakan sebagai invoicing dan alat pembayaran perdagangan internasional daripada harus menggunakan USD. Kemauan dan kebijakan politik merupakan syarat utama untuk dapat menggunakan ACU sebagai alat transaksi dalam negeri. Pada wilayah nasional maupun internasional, penggunaan ACU dapat mengisi fungsi uang sebagai alat pembayaran (mean of payment). Kondisi saat ini menunjukkan bahwa negaranegara ASEAN+3 menggunakan USD sebagai mata uang invoicing dalam melakukan pembayaran, sehingga dibutuhkan cara bertahap guna menjadikan ACU menggantikan fungsi mata uang internasional lainnya untuk transaksi dalam kawasan ASEAN+3. Langkah akhir dalam menyepakati ACU adalah sebagai parallel currency. Artinya, semua jenis organisasi baik nasional maupun internasional, korporasi/perusahaan, dan pemerintah diizinkan menggunakan ACU sebagai satuan mata uang (unit of account) dalam memaparkan laporan neraca mereka. Keputusan ini merupakan salah satu kemungkinan tersulit dan dimungkinkan membutuhkan jangka waktu percobaan yang lama dari eksperimen penggunaan dan perkembangan ACU. Adapun beberapa kemungkinan pilihan penggunaan ACU. Pertama, apakah ACU menggunakan satuan mata uang tetap (fixed currency unit). Kedua, apakah ACU menggunakan bobot yang tetap (fixed weight). Untuk satuan mata uang tetap, nilai dari ACU ”j” untuk beberapa mata uang dapat dihitung dengan menggunakan pendekatan komponen mata uang yang sesuai dengan nilai tukar bilateral yang mempengaruhi mata uang ”j”. Suatu mata uang yang mengalami devaluasi terhadap mata uang lainnya dalam keranjang akan mengalami 63 penurunan bobot sementara bobot untuk mata uang lainnya meningkat, hal ini mengindikasikan bahwa bobot tiap mata uang dalam keranjang merupakan fungsi dari nilai tukar. Dalam kasus ECU, terjadi revisi bobot pada selang interval lima tahunan atau jika bobotnya berubah lebih dari batas 25% yang telah ditentukan (Plummer, 2005). Ketika Uni Eropa mengizinkan adanya penambahan anggota baru dalam keranjang, maka pembobotan pun ditinjau ulang. Hal ini dalam konteks ASEAN+3 menimbulkan pilihan apakah menggunakan sistem basket terbuka atau tertutup. Implikasi sistem basket terbuka membuat mata uang yang awalnya tidak tergabung diperbolehkan untuk bergabung, dan mata uang yang sudah tergabung diperbolehkan untuk keluar dari keranjang. Pilihan lain dalam penggunaan ACU adalah sebagai satuan mata uang tetap dan bobot yang bervariasi. Penggunaan pilihan ini adalah dengan menciptakan bobot tetap ACU. Hal ini dapat dilakukan ketika setiap mata uang yang berfluktuasi mengalami apresiasi maupun depresiasi dengan menyesuaikan jumlah unit agar menjaga bobot tetap konstan. Dengan menjaga jumlah unit setiap mata uang, ACU tidak akan kehilangan nilai terhadap komponen mata uangnya. 4.2. Pengalaman Eropa – ECU Semenjak EMS mulai beroperasi pada 13 Maret 1979, ECU mempunyai definisi yang sama dengan definisi EUA. EUA merupakan basket dengan kuantitas tetap dari sembilan mata uang European Community (EC). Perbedaannya dengan EUA, ECU merupakan basket dengan sistem yang terbuka. Pada 5 Desember 1978, dewan European Economic Community (EEC) mengeluarkan resolusi bahwa ”bobot dari mata uang yang tergabung dalam ECU akan ditinjau ulang, dan jika diharuskan, akan direvisi dalam periode enam bulan sebelum memasuki sistem, dan setelah itu, peninjauan ulang bobot akan dilakukan setiap lima tahun sekali, atau jika ada permintaan untuk hal tersebut yang dikarenakan bobot suatu mata uang telah mengalami perubahan melebihi 25 persen”. Pada periode 1979-1984, komposisi ECU mengalami perubahan yang merupakan bentuk konsekuensi karena adanya apresiasi dan depresiasi mata uang 64 yang tergabung dalam ECU, walaupun pada periode tersebut tidak ada mata uang yang mengalami perubahan bobot melebihi 25%. Perubahan bobot yang terjadi di Eropa pada periode 1979-1984 dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi Awal ECU Negara Economic Shares Effective Share Sep-74 Mar-79 Mar-83 25 26.4 33 37.38 Jerman 20.2 20.5 19.8 26.93 Perancis 17.9 17.4 13.6 14.05 Inggris 7.9 9 10.5 11.46 Belanda 13 14 9.5 7.86 Italia Belgia dan 10 8.2 9.5 8.57 Luksemburg 3 3 3 2.7 Denmark 1.5 1.1 1.1 1.06 Irlandia Sumber : Gros dan Thygesen (1998), Van Ypersele (1989) Motif politis untuk mengkomposisi ulang ECU adalah sebuah ketakutan yang disebabkan mata uang yang kuat akan mendominasi pangsa terbesar ECU. Jika dilihat pada Tabel 5, Negara Jerman dengan mata uang deucthmark-nya mempunyai pangsa ekonomi terbesar dari awal hingga akhir periode. Hal yang ditakutkan pada saat itu adalah akan adanya dominasi mata uang Jerman dalam ECU apabila tidak dilakukan revisi bobot pada periode selanjutnya. Pada saat ECU dideklarasikan, terdapat tiga kriteria ekonomi yang digunakan dalam membangun bobot mata uang setiap negara anggota dalam ECU. Ketiga kriteria ekonomi yang digunakan antara lain : (i) pangsa GDP setiap negara anggota terhadap GDP EC, (ii) kontribusi setiap negara anggota EC terhadap total perdagangan EC, (iii) kuota setiap negara anggota dalam short-term support facility. Sebelum memasuki periode selanjutnya, ECU mengalami revisi pertama pada Bulan September 1984. Revisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini : 65 Tabel 6. Revisi Pertama dari Komposisi ECU Negara Effective Share Sep-84 Sep-87 32.07 34.93 19.06 18.97 14.98 11.87 10.13 11.04 9.98 9.44 Jerman Perancis Inggris Belanda Italia Belgia dan 8.57 9.07 Luksemburg 2.69 2.79 Denmark 1.21 1.13 Irlandia 1.31 0.76 Yunani Sumber : Gros dan Thygesen (1998), Van Ypersele (1989) Pada periode 1984-1989 terdapat penambahan anggota baru dalam ECU yakni Yunani. Sama seperti pada periode sebelumnya, pada periode ini Jerman masih menguasai pangsa ekonomi di EC tersebut. Pada periode ini terdapat penurunan bobot yang dialami oleh Inggris dan Yunani. Negara Inggris, yang bobot awalnya pada periode September 1984 adalah sebesar 14.98 mengalami penurunan bobot sebanyak 20.76 persen menjadi 11.87. Pada periode September 1984-September 1987, walaupun Yunani mengalami penurunan bobot hingga mencapai 40 persen, dewan EEC tidak melakukan revisi bobot seperti pada kesepakatan sebelumnya. Revisi bobot seharusnya dilakukan berdasarkan kesepakatan 5 Desember 1978, yang mengatakan bahwa selain interval waktu 5 tahunan, revisi bobot dilakukan jika ada mata uang suatu negara yang mengalami perubahan bobot sebesar 25 persen. Bagaimanapun, dalam ECU ini dapat disimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada aturan jelas mengenai bagaimana revisi bobot itu harus dilakukan. Sementara itu, revisi kedua untuk ECU dapat dilihat pada Tabel 7. 66 Tabel 7. Revisi Kedua dari Komposisi ECU Negara Economic Share 23.8 Jerman 18.4 Perancis 16.3 Inggris 8.4 Belanda 13.7 Italia Belgia dan 6.9 Luksemburg 2.5 Denmark 1.3 Irlandia 1.3 Yunani 6.1 Spain 1.1 Portugal Sumber : Gros dan Thygesen (1998) Effective Share Sep-89 Des-96 30.3 32 19 20.3 12.9 11.9 9.4 10.1 10.7 7.9 7.9 8.5 2.5 1.1 0.8 5.3 0.8 2.7 1.1 0.5 4.2 0.7 Dari revisi kedua ECU pada tahun 1989, terdapat tambahan dua negara anggota baru yaitu Spanyol dan Portugal yang dapat dilihat pada Tabel 6. Pada situasi tersebut, tidak ada batas bobot terbawah yang digunakan. Sebagai contoh adalah negara Yunani dan Portugal yang mempunyai bobot dibawah 1 persen. Penurunan bobot yang terjadi pada kedua negara ini tidak memicu adanya revisi bobot sekalipun. 4.3. Kesiapan ASEAN+3 Membentuk Uni Moneter Regional Di tengah perkembangan kerja sama ekonomi yang semakin meningkat dan mengarah pada integritas ekonomi di kawasan ASEAN+3, perdebatan mengenai kelayakan kawasan ini dalam mencapai integrasi ekonomi semakin intensif. Menurut Rohmadyanti dan Kosotali (2007), beberapa ekonomom berpendapat bahwa inisiatif integrasi ekonomi merupakan salah satu pilihan yang layak dilakukan oleh negara-negara di kawasan ASEAN+3 untuk menciptakan stabilitas ekonomi kawasan. Namun, pada sisi lain tidak sedikit yang bersikap skeptis bahwa kondisi negara-negara di kawasan ASEAN+3 belum layak dalam mewujudkan ambisi menuju integrasi ekonomi secara penuh. Baharumshah et. al. (2006) mengatakan 67 bahwa kondisi dan perkembangan kerja sama ekonomi di kawasan ASEAN+3 dinilai belum mencapai tahapan yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Hal itu dilandasi dari hasil penelitiannya yang mempunyai kesimpulan bahwa negara-negara di kawasan ASEAN+3 tidak dapat melakukan integrasi ekonomi secara penuh karena tidak semua negara memenuhi kriteria OCA. Sementara itu, dalam penelitian ini kesiapan ASEAN+3 membentuk Unit Moneter Regional akan dianalisis berdasarkan penerapan kriteria konvergensi Maastricht Treaty di kawasan ASEAN+3. Semenjak Uni Eropa mendeklarasikan dirinya pada tahun 1983, banyak ahli ekonomi mendiskusikan wacana yang serupa untuk diterapkan di kawasan ASEAN+3. Namun, untuk menuju satu kawasan perekonomian baru membutuhkan proses dan ketentuan-ketentuan yang berlaku seperti yang telah dilakukan di Eropa. Pertanyaanya adalah apakah semua negara di kawasan ASEAN+3 sudah siap untuk menghadapi ini? Di Eropa, suatu kriteria dipilih sebagai tolak ukur prestasi ekonomi bagi negara-negara yang akan tergabung dalam Uni Eropa. Kriteria ini dikenal sebagai Kriteria Konvergensi Maastricth (Maastricth Treaty Convergence). Ruang lingkup dari kriteria ini meliputi inflasi, suku bunga, defisit fiskal, dan utang pemerintah. Seperti yang telah disinggung, kriteria Maastricth ini merupakan kriteriakriteria yang ditetapkan oleh masyarakat Eropa menuju monetary union. Melalui kriteria ini, kebijakan ekonomi negara yang akan berpartisipasi dalam monetary union diharapkan mencapai tingkat konvergensi yang telah ditetapkan sebelum bergabung dalam monetary union. Hal ini penting mengingat negara-negara yang telah bergabung tidak mempunyai kewenangan lagi untuk melakukan kebijakan moneter dan nilai tukar secara unilateral. Adapun berbagai persyaratan dalam kriteria Maastricht yang harus dipenuhi adalah : 1. Tingkat inflasi tidak melebihi 1.5 persen di atas rata-rata inflasi tiga negara anggota dengan inflasi terendah. 2. Tingkat suku bunga tidak melebihi 2 persen di atas rata-rata suku bunga tiap negara anggota dengan inflasi terendah. 3. Defisit fiskal terhadap GDP setiap negara tidak melebihi batas 3 persen. 4. Utang Pemerintah terhadap GDP setiap negara tidak melebihi 60 persen. 68 Perbandingan kondisi negara-negara di ASEAN+3 selama kurun 19972007, yang dibagi dalam dua periode, yakni (i) periode krisis ekonomi (19972002), dan (ii) periode pasca krisis ekonomi (2003-2007) dengan kriteria Maastricht menunjukkan bahwa negara-negara dalam kawasan ini tidak memenuhi seluruh Maastricht treshold. Untuk melihat bagaimana kesiapan setiap negara ASEAN+3 pada periode krisis ekonomi dapat dilihat pada Tabel 8 sebagai berikut : Tabel 8. Konvergensi ASEAN+3, Kriteria Maastricht, Periode 1997-2002 Negara Reference Value Brunei* Kamboja* Indonesia* Laos* Malaysia*** Myanmar Philipines* Singapura*** Thailand** Vietnam** China**** Korea** Jepang*** Keterangan : Inflasi 1.02 0.12 4.80 19.23 49.51 2.58 29.80 5.76 0.63 2.97 0.01 -1.42 3.65 -0.04 Suku Bunga 5.72 n.a 6.14 21.38 11.14 5.06 12.00 8.69 2.32 5.63 6.75 4.26 8.46 0.14 **** Memenuhi empat kriteria *** Memenuhi tiga kriteria ** Memenuhi dua kriteria * Memenuhi satu kriteria Defisit Fiskal (% of GDP) 3 3.95 -2.12 -1.90 -4.47 -3.24 n.a -3.17 1.82 -2.28 -1.92 -1.86 -0.36 -6.18 Utang Pemerintah (% of GDP) 60 n.a 71.45 89.52 156.95 49.60 87.93 75.70 228.57 69.22 60.36 13.74 28.17 121.90 Sumber : ADB Key Indicator (2009), IFS-IMF(2008), ASEAN Statistical Year Book (2008) Berdasarkan Tabel 8, pada periode krisis ekonomi hanya negara China yang memenuhi kriteria konvergensi Maastricht secara keseluruhan. Singapura dan Jepang memenuhi tiga kriteria Maastricht kecuali kriteria utang pemerintah, sementara Malaysia yang juga memenuhi tiga kriteria konvergnesi inflasinya masih di atas reference value pada saat itu. Kemudian negara Korea, Vietnam, Thailand memenuhi dua kriteria konvergensi. Sedangkan Brunei, Kamboja, 69 Indonesia, Laos dan Filipina hanya memenuhi satu kriteria konvergensi Maastricht. Melihat kondisi seperti pada periode krisis, ternyata hamper seluruh negara di Kawasan ASEAN+3 tidak dapat memenuhi seluruh kriteria konvergensi Maastricht, kecuali China. Hal ini menunjukkan bahwa pada periode krisis ekonomi mayoritas perekonomian di Kawasan ASEAN+3 belum konvergen satu dengan yang lainnya. Menjadi sebuah pertanyaan bahwa apakah ketidaksiapan Kawasan ASEAN+3 membentuk uni moneter regional berdasarkan kriteria konvergensi Maastricht disebabkan oleh kondisi krisis yang melanda kawasan tersebut. Untuk melihat kriteria konvergensi Maastricht pasca terjadinya krisis ekonomi Tahun 1997-2002, akan dibahas lebih lanjut. Pada Tabel 9 akan dilihat kesiapan negara ASEAN+3 membentuk suatu uni moneter regional pada periode pasca krisis ekonomi (2003-2007) sebagai berikut : Tabel 9. Konvergensi ASEAN+3, Kriteria Maastricht, Periode 2003-2007 Negara Reference Value Brunei** Kamboja*** Indonesia** Laos* Malaysia*** Myanmar* Philipines* Singapura*** Thailand*** Vietnam*** China**** Korea*** Jepang*** Keterangan : Inflasi 1.870 0.56 4.27 8.65 8.93 2.24 21.60 5.23 1.14 3.20 0.60 1.12 2.93 -0.05 Suku Bunga 4.817 1.06 1.89 8.90 5.84 3.08 10.80 5.19 0.49 2.31 7.01 3.20 4.30 0.38 **** Memenuhi empat kriteria *** Memenuhi tiga kriteria ** Memenuhi dua kriteria * Memenuhi satu kriteria Defisit Fiskal (% of GDP) 3 16.29 -1.19 -1.15 -3.63 -3.95 n.a -2.41 0.15 0.10 -2.07 -1.25 1.27 -6.16 Utang Pemerintah (% of GDP) 60 n.a 56.16 45.50 92.84 37.66 55.71 61.62 249.78 29.89 36.73 12.30 26.87 147.48 Sumber : ADB Key Indicator (2009), IFS-IMF(2008), ASEAN Statistical Year Book (2008) 70 Berdasarkan Tabel 9, kembali hanya China yang dapat memenuhi kriteria Masstricht secara keseluruhan. Selain Singapura, Jepang, dan Malaysia, pada periode pasca krisis ekomomi terdapat negara-negara seperti Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Korea yang sudah dapat memenuhi tiga kriteria konvergsi Maastricht. Pada periode ini pun, Brunei dan Indonesia sudah mampu menambah perolehan kriteria menjadi dua kriteria dibandingkan dengan periode sebelumnya. Namun, Loas, Myanmar dan Filipina tidak mampu menambah Masstricht threshold pada periode pasca krisis ini. Untuk melihat bagaimana pengelompokan negara-negara di Kawasan ASEAN+3 memenuhi kriteria konvergensi Maastricht dari Tahun 1997-2007 dapat dilihat pada Tabel 10 Tabel 10. Konvergensi ASEAN+3, Kriteria Maastricht, Periode 1997-2007 Periode 1997-2002 1 kriteria Brunei Kamboja Indonesia Laos Philipines Laos Myanmar Philipines Pemenuhan Kriteria 2 kriteria 3 kriteria Thailand Malaysia Vietnam Jepang Korea Singapura Brunei Indonesia 2003-2007 Kamboja Malaysia Singapura Vietnam Korea Jepang Thailand 4 kriteria China China Berdasarkan Tabel 10, hanya China yang konsisten memenuhi empat kriteria konvergensi Maastricht. Sementara negara lainnya tidak dapat memenuhi keempat kriteria konvergensi tersebut. Sehingga secara garis besar dapat dikatakan sebagian besar negara yang tidak memenuhi kriteria Maastricht ini mengimplikasikan bahwa kebijakan moneter dalam perspektif regional untuk merespon shock di kawasan ASEAN+3 tidak efektif untuk diberlakukan. Dalam konteks penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kawasan ASEAN+3 saat ini belum mampu memenuhi persyaratan untuk melakukan penyatuan moneter, berdasarkan kriteria konvergensi Maastricht. 71 Tidak dapat dipungkiri bahwa wacana-wacana mengenai penyatuan moneter regional ini belum mampu membawa negara-negara di kawasan ASEAN+3 pada tahapan atau pra kondisi yang diperlukan dalam mewujudkan integrasi ekonomi menuju suatu sistem moneter tunggal secara penuh. Terkait dengan pemenuhan konvergensi makroekonomi, meskipun saat ini tingkat konvergensi tersebut dapat dikatakan lemah, peluang kawasan ASEAN+3 untuk dapat memenuhi konvergensi makroekonomi sangatlah terbuka, setidaknya dalam periode jangka panjang. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan masing-masing negara di Kawasan ASEAN+3 memenuhi Maastricht Threshold dari periode krisis ekonomi hingga ke periode pasca krisis. Selain itu tidak diragukan bahwa perkembangan yang terjadi di kawasan saat ini, dengan cakupan kerjasama yang semakin luas, orientasi ekspor yang kuat, human capital yang solid, serta didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dalam beberapa dekade terakhir, mencerminkan optimisme untuk menjadikan Kawasan ASEAN+3 sebagai suatu uni moneter regional yang merupakan konsekuesi terjadinya integrasi ekonomi secara menyeluruh. Sebelum kawasan ASEAN+3 sampai pada tahapan integrasi ekonomi secara penuh, dalam perjalannya diperlukan nilai tukar regional sebagai bentuk koordinasi kebijakan nilai tukar di kawasan ini. Analisis selanjutnya adalah penerapan nilai tukar regional ACU untuk ASEAN+3 sebelum terjadinya integrasi ekonomi yang dimaksud. 4.4. Komposisi dan Penentuan Bobot ACU Dasar untuk menentukan mata uang yang diperhitungkan dalam keranjang mata uang ACU adalah partipasi dalam kesepakatan nilai tukar. Mata uang yang digunakan untuk membentuk ACU adalah mata uang negara-negara ASEAN+3 (dengan asumsi seluruh negara berpartisipasi dalam sistem tersebut) sehingga mata uang tersebut dapat diberi nama ASEAN+3 ACU, yakni tiga belas mata uang negara ASEAN ditambah dengan mata uang China, Jepang, dan Korea. Untuk komposisi nilai tukar ACU berdasarkan 13 mata uang negara anggota ASEAN+3 dapat dilihat pada Tabel 11. 72 Tabel 11. Mata Uang Negara ASEAN+3 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Negara China Jepang Korea Indonesia Singapura Thailand Malaysia Filipina Brunei Vietnam Kamboja Myanmar Laos Mata Uang Yuan Yen Won Rupiah Dollar Singapura Bath Ringgit Peso Dollar Brunei Dong Riel Kyat Kip Satuan CNY JPY KRW IDR SGD THB MYR PHP BND VTD KHR MYK LAK Sumber : ADB Economic Outlook, 2007 Mengacu pada Tabel 11, setiap negara anggota ASEAN+3 yang berpartisipasi akan diberi bobot dalam proses pembentukan ACU. Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan sebagai proksi indikator penentuan bobot adalah pangsa Produk Domestik Bruto Riil PPP (PDB Riil PPP) masing-masing negara dalam total PDB ASEAN dan pangsa ekspor intra kawasan. Alasan penggunaan dua variabel tersebut antara lain : (i) variabel PDB merupakan salah satu tolak ukur pertumbuhan perekonomian suatu negara maupun kawasan, (ii) variabel ekspor intra kawasan mendeskripsikan salah satu kegiatan integrasi ekonomi dalam kawasan dan merupakan proksi dari perdagangan intra kawasan, (iii) pada pembentukan ECU, digunakan variabel PDB Riil PPP, perdagangan intra-kawasan, dan kuota setiap negara anggota Eropa dalam short-term support facility, serta (iv) keterbatasan data dan rentang waktu penelitian. Selanjutnya adalah memaparkan proses pembentukan ACU untuk ASEAN+3. Kemudian, hasil pembentukan ASEAN+3 ACU tersebut akan digunakan untuk simulasi guna mengetahui perilaku ACU dan bagaimana variasi pergerakan masing-masing mata uang domestik terhadap ACU. Hal ini untuk menjawab apakah mata uang ASEAN+3 ACU ini konvergen atau divergen terhadap mata uang regionalnya dari waktu ke waktu. Simulasi ini akan diawali dengan (i) penentuan komposisi mata uang dan bobot timbangan dalam keranjang 73 mata uang, dan (ii) perhitungan nilai ACU terhadap USD dan mata uang lokal masing-masing negara di Kawasan ASEAN+3. Namun, pembahasan tidak dilakukan secara menyeluruh, melainkan dibagi dalam dua periode, yaitu (i) Periode krisis ekonomi pada tahun 1997 sampai tahun 2002, dan (ii) Periode pasca krisis ekonomi pada tahun 2003 sampai tahun 2007. 4.5. ACU pada Periode Krisis Ekonomi (1997-2002) Dasar untuk penentuan mata uang yang diperhitungkan dalam suatu keranjang mata uang ACU ASEAN+3 adalah partisipasi dalam kesepakatan nilai tukar yang dimaksud. Mata uang yang membentuk ASEAN+3 ACU terdiri dari 10 mata uang negara ASEAN ditambah dengan mata uang China, Jepang dan Korea (lihat Tabel 11). Bobot timbangan dari masing-masing mata uang dalam keranjang ASEAN+3 ACU dihitung berdasarkan ukuran tingkat signifikansi ekonomi dari negara-negara yang menerbitkannya. Tabel 12 menunjukkan besar pangsa masing-masing negara anggota ASEAN+3 terhadap total PDB Riil PPP dan ekspor dalam ASEAN+3. Data yang digunakan adalah data rata-rata periode 1997 hingga 2002. Tabel 12. Pangsa Masing-masing Anggota ASEAN+3 1997-2002 GDP PPP (%) China 42.4 Jepang 30.3 Indonesia 7.8 Korea 7.3 Thailand 3.8 Malaysia 2.6 Filipina 2.6 Vietnam 1.6 Singapura 1.1 Myanmar 0.3 Kamboja 0.2 Brunei 0.1 Laos 0.1 Ekspor Intra ASEAN+3 (%) Jepang 30.4 China 17.7 Singapura 11.5 Malaysia 10.3 Korea 9.4 Indonesia 7.5 Thailand 6.8 Filipina 3.1 Vietnam 2.3 Brunei 0.7 Myanmar 0.2 Kamboja 0.0 Laos 0.0 Sumber : CEIC data 2008, diolah Berdasarkan Tabel 12 sulit untuk melakukan generalisasi guna mendapatkan satu negara yang dominan berdasarkan indikator tersebut. Sebagai 74 contoh, meskipun China merupakan negara yang memiliki pangsa PDB Riil PPP terbesar untuk periode ini, China menempati urutan kedua dari sisi pangsa ekspor dalam ASEAN+3. Sebaliknya, Jepang yang mempunyai pangsa ekspor terbesar di ASEAN+3 pada periode ini justru menempati urutan kedua dalam pangsa PDB Riil PPP-nya di ASEAN+3. Tidak hanya China dan Jepang saja yang dimaksud, hal ini pun berlaku untuk negara-negara ASEAN+3 lainnya. Oleh sebab itu, untuk menghitung ASEAN+3 ACU dilakukan perhitungan bobot timbangan terhadap variabel-variabel tersebut. Untuk tujuan mempermudah, diasumsikan bahwa PDB Riil PPP dan perdagangan dalam ASEAN memiliki peran yang sama pentingnya sehingga diberlakukan bobot yang seimbang untuk kedua variabel tersebut. Bobot 50 persen untuk variabel PDB Riil PPP dan bobot 50 persen untuk variabel ekspor dalam ASEAN+3, sehingga dapat diperoleh bobot untuk masing-masing negara dalam pembentukan ASEAN+3 ACU. Tabel 13. Bobot Masing-masing Anggota ASEAN+3 1997-2000 Negara Jepang China Korea Indonesia Malaysia Singapura Thailand Filipina Vietnam Brunei Myanmar Kamboja Laos Total (%) 30.4 30.1 8.3 7.7 6.4 6.3 5.3 2.8 1.9 0.4 0.2 0.1 0.1 Sumber : CEIC data 2008, diolah Dengan melakukan pembobotan untuk setiap negara berdasarkan variabel PDB Riil PPP dan variabel Ekspor, dalam kawasan ASEAN+3 pada periode Krisis yang dapat dilihat pada Tabel 13 menunjukan bahwa negara-negara plus three (China, Jepang, dan Korea) terlalu dominan dalam kawasan ASEAN+3. Hal ini tidaklah mengherankan dikarenakan pangsa PDB untuk ketiga negara tersebut 75 mencapai angka 80 persen dari total keseluruhan PDB Riil PPP di kawasan tersebut, sementara untuk pangsa ekspor-nya, ketiga negara tersebut menguasai 68 persen dari total keseluruhan. Setelah memperoleh bobot timbangan bagi setiap mata uang negara anggota ASEAN+3, tahapan selanjutnya adalah menerjemahkan bobot timbangan tersebut ke dalam unit mata uang nasional yang akan membentuk ACU menjadi ASEAN+3 ACU. Tahap pertama adalah menetapkan periode dasar secara hipotesis. Diasumsikan bahwa periode dasar untuk periode krisis ini adalah bulan Januari hingga Maret 1997 (dalam nilai tukar rata-rata), yang dapat dinotasikan sebagai 1997Q1. Untuk lebih memudahkan lagi, diasumsikan bahwa pada periode dasar tersebut 1 ASEAN+3 ACU sama dengan 1 USD. Perkalian antara nilai tukar masing-masing mata uang negara anggota pada periode dasar dengan bobot timbangannya akan menghasilkan jumlah unit mata uang lokal masing-masing negara anggota (unit national currency) dalam ASEAN+3 ACU. Proses penghitungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 14. Dari Tabel 14, sebagai contoh, jumlah unit mata uang Indonesia dalam ASEAN+3 ACU adalah sebanyak 183.93 Indonesia rupiah, sedangkan jumlah unit mata uang Jepang adalah sebanyak 36.812 Yen, begitu juga dengan jumlah unit mata uang negara anggota ASEAN+3 lainnya yang dapat dilihat pada tabel tersebut. Jumlah unit mata uang lokal masing-masing negara anggota dalam ASEAN+3 ACU adalah konstan untuk jangka waktu tertentu (1997-2002). 76 Tabel 14. Perhitungan ASEAN+3 ACU 1997-2002 Nilai Tukar mata uang domestik per 1 USD pada base period 1997 (Q1) Bobot ASEAN ACU (%) ACU Currency = unit mata uang nasional dalam ACU Nilai Tukar mata uang domestik per 1 USD pada base period 1999(Q3) Bobot ASEAN ACU (%) ACU Currency = unit mata uang nasional dalam ACU Nilai Tukar mata uang domestik per 1 USD pada base period 2002(Q4) Bobot ASEAN ACU (%) ACU Currency = unit mata uang nasional dalam ACU JEP CIN KOR IND MAL SIN THA FIL VIE BRU MYA KAM LAO 121.22 8.29 870.98 2403.27 2.49 1.42 25.86 26.33 11293.70 1.42 6.11 2732.00 987.74 30.37 30.07 8.33 7.65 6.44 6.29 5.29 2.83 1.92 0.42 0.22 0.10 0.06 36.81 2.49 72.58 183.94 0.16 0.09 1.37 0.75 217.32 0.01 0.01 2.84 0.57 JEP CIN KOR IND MAL SIN THA FIL VIE BRU MYA KAM LAO 113.61 8.28 1194.90 7531.03 3.80 1.69 38.27 39.24 13960.30 1.69 6.26 3844.33 8909.27 30.37 30.07 8.33 7.65 6.44 6.29 5.29 2.83 1.92 0.42 0.22 0.10 0.06 36.81 2.49 72.58 183.94 0.16 0.09 1.37 0.75 217.32 0.01 0.01 2.84 0.57 JEP CIN KOR IND MAL SIN THA FIL VIE BRU MYA KAM LAO 122.90 8.28 1219.83 9054.67 3.80 1.77 43.37 53.24 15376.30 1.77 6.40 3931.33 10764.30 30.37 30.07 8.33 7.65 6.44 6.29 5.29 2.83 1.92 0.42 0.22 0.10 0.06 36.81 2.49 72.58 183.94 0.16 0.09 1.37 0.75 217.32 0.01 0.01 2.84 0.57 77 Sementara itu, Tabel 15 mengilustrasikan perhitungan bobot negara secara individual yang diperoleh dari membagi unit mata uang nasional yang konstan dengan nilai tukar yang berlaku pada waktu tertentu. Sebagai contoh, pada periode 1998Q1 untuk dollar Singapura, SGD 0.063, diperoleh dari membagi unit SGD dalam ACU sebesar (0.091, dalam Tabel 14) dengan nilai tukar pada periode dasar sebesar SGD 1.42. Sementara untuk periode 1999Q3, SGD sebesar 0.053 diperoleh dengan membagi jumlah SGD unit dalam ACU (0.091, dalam Tabel 14) dengan nilai tukar SGD/USD yang berlaku pada waktu 1999Q3 yaitu sebesar 1.69. Begitu juga untuk periode 2002Q4, SGD sebesar 0.050 diperoleh dengan membagi jumlah SGD unit dalam ACU (0.091, dalam Tabel 14) dengan nilai tukar SGD/USD yang berlaku pada waktu 2002Q4 yaitu sebesar 1.77. Untuk negara-negara lainnya pun dilakukan proses penghitungan yang serupa, dengan unit mata uang nasional yang konstan. Penjumlahan bobot mata uang lokal seluruh negara anggota dalam periode yang sama (lihat Tabel 15, dalam baris yang sama) akan menghasilkan nilai tukar USD/ACU, dimana pada periode dasar diperoleh USD/ACU = 1, yakni sesuai dengan asumsi awal. Dari waktu ke waktu nilai tukar USD/ACU bergerak searah dengan perubahan bobot mata uang individual negara anggota yang searah dengan pergerakan nilai tukar mata uang nasional terhadap USD. 78 Tabel 15. USD/ACU dengan Memperhitungkan Bobot Mata Uang Lokal Masing-masing Negara, 1997-2002 JEP 1997Q1 1997Q2 1997Q3 1997Q4 1998Q1 1998Q2 1998Q3 1998Q4 1999Q1 1999Q2 1999Q3 1999Q4 2000Q1 2000Q2 2000Q3 2000Q4 2001Q1 2001Q2 2001Q3 2001Q4 2002Q1 2002Q2 2002Q3 2002Q4 0.304 0.308 0.312 0.294 0.287 0.271 0.263 0.307 0.316 0.304 0.324 0.352 0.344 0.345 0.342 0.335 0.312 0.300 0.302 0.298 0.278 0.290 0.309 0.300 CIN 0.301 0.301 0.301 0.301 0.301 0.301 0.301 0.301 0.301 0.301 0.301 0.301 0.301 0.301 0.301 0.301 0.301 0.301 0.301 0.301 0.301 0.301 0.301 0.301 KOR 0.083 0.081 0.081 0.063 0.045 0.052 0.055 0.057 0.061 0.061 0.061 0.062 0.065 0.065 0.065 0.062 0.057 0.056 0.056 0.056 0.055 0.057 0.061 0.060 IND MAL SIN THA FIL VIE BRU MYA KAM 0.077 0.075 0.066 0.046 0.019 0.018 0.015 0.023 0.021 0.023 0.024 0.026 0.025 0.022 0.021 0.020 0.019 0.016 0.019 0.018 0.018 0.020 0.021 0.020 0.064 0.064 0.058 0.046 0.040 0.042 0.039 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.063 0.063 0.060 0.056 0.053 0.054 0.052 0.054 0.053 0.052 0.053 0.054 0.053 0.052 0.052 0.051 0.051 0.049 0.050 0.049 0.049 0.050 0.051 0.050 0.053 0.053 0.041 0.034 0.029 0.034 0.033 0.037 0.037 0.037 0.036 0.035 0.036 0.035 0.033 0.032 0.032 0.030 0.030 0.031 0.031 0.032 0.033 0.032 0.028 0.028 0.025 0.021 0.018 0.019 0.017 0.018 0.019 0.020 0.019 0.018 0.018 0.018 0.017 0.015 0.015 0.015 0.014 0.014 0.015 0.015 0.014 0.014 0.019 0.019 0.019 0.018 0.017 0.017 0.016 0.016 0.016 0.016 0.016 0.016 0.015 0.015 0.015 0.015 0.015 0.015 0.015 0.014 0.014 0.014 0.014 0.014 0.004 0.004 0.004 0.004 0.004 0.004 0.003 0.004 0.003 0.003 0.004 0.004 0.003 0.003 0.003 0.003 0.003 0.003 0.003 0.003 0.003 0.003 0.003 0.003 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 LAO 0.001 0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 USD/ACU 1 0.999451 0.969702 0.885986 0.81777 0.814264 0.798096 0.862641 0.871646 0.862579 0.882081 0.912133 0.905689 0.902747 0.895016 0.879826 0.849904 0.830491 0.836748 0.82936 0.809271 0.827323 0.851572 0.838983 79 Sementara untuk melihat pergerakan kuartalan nilai tukar USD/ASEAN+3 ACU dengan periode 1997 Q1 hingga 2002Q4 dapat dilihat pada Grafik 4. ASEAN+3 ACU terbentuk dari mata uang negara-negara ASEAN+3 sehingga perilakunya merepresentasikan perilaku dari rata-rata tertimbang mata uang negara-negara ASEAN+3. 1.1 1.05 1 0.9 0.85 0.8 ACU depresiasi 0.95 USD/ACU 0.75 1997Q1 1997Q2 1997Q3 1997Q4 1998Q1 1998Q2 1998Q3 1998Q4 1999Q1 1999Q2 1999Q3 1999Q4 2000Q1 2000Q2 2000Q3 2000Q4 2001Q1 2001Q2 2001Q3 2001Q4 2002Q1 2002Q2 2002Q3 2002Q4 0.7 Grafik 4. Pergerakan ASEAN+3 ACU Terhadap USD 1997-2002 Dari Grafik 4 dapat dilihat bahwa nilai tukar ASEAN+3 ACU mengalami pelemahan nilai tukar terhadap USD yang cukup dalam hingga mencapai 12 persen. Hal ini dikarenakan beberapa nilai tukar mata uang lokal negara-negara ASEAN+3 seperti Indonesia, Thailand, dan Korea mengalami depresiasi mata uangnya terhadap USD. Pada akhir 1998 mata uang ASEAN+3 ACU cenderung mengalami penguatan nilai tukar terhadap USD hingga akir tahun 2002. Namun secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa pada periode krisis ekonomi ini nilai tukar relatif mata uang negara anggota ASEAN+3 mengalami pelemahan nilai tukar-nya terhadap USD, yang ditunjukkan oleh pelemahan nilai tukar ASEAN+3 ACU pada grafik tersebut. 80 4.5.1. Perhitungan Nilai ACU dalam Mata Uang Lokal 1997-2002 Untuk menjaga stabilitas intra-kawasan, maka nilai tukar kawasan harus dikelola terhadap ASEAN+3 ACU. Dalam menjaga stabilitas nilai tukar setiap mata uang negara anggota terhadap ASEAN+3 ACU berarti menjaga stabilitas terhadap rata-rata tertimbang dari mata uang regional yang membentuk ASEAN+3 ACU. Oleh karena itu diperlukan menentukan paritas sentral ASEAN+3 ACU untuk masing-masing mata uang lokal. Nilai mata uang lokal i dapat didefinisikan sebagai berikut : ACUi = ∑ a j S ij (4.1) j dimana ACUi = nilai ACU dalam mata uang i aj = jumlah mata uang j dalam keranjang (bobot mata uang lokal) Sij = harga mata uang j Contoh perhitungan Nilai ACU dalam mata uang setiap negara anggota ASEAN+3 dapat dilihat pada Tabel 16. Misalkan mata uang Won milik Korea yang pada awal periode 1997Q1 adalah sebesar 870.98 KRW/ACU, mengalami pelemahan nilai tukar hingga mencapai angka 1023.42 KRW/ACU. Sama halnya dengan nilai tukar Korea, mata uang Indonesia yang pada awal periode 1997Q1 sebesar 2403.3 IDR/ACU mengalami depresiasi melebihi angka 300 persen, hingga pada periode akhir menjadi sebesar 1023.42 IDR/ACU. Begitu juga dengan beberapa mata uang negara ASEAN+3 lainnya. Untuk lebih jelas, nilai mata uang setiap negara anggota ASEAN+3 berikut dengan pergerakannya selama periode krisis ekonomi (1997-2007) dapat dilihat pada Tabel 17. Untuk negara-negara plus three seperti China, Jepang, dan Korea, hanya negara Jepang dan China saja yang pada periode ini mengalami penguatan nilai tukar mata uang domestiknya terhadap ASEAN+3 ACU. Sementara mata uang Korea Won mengalami depresiasi terhadap ASEAN+3 ACU. Mata uang negaranegara ASEAN cenderung mengalami pelemahan nilai tukar terhadap ASEAN+3 ACU, kecuali untuk mata uang Myanmar Kyat yang mengalami penguatan mata uang domestiknya terhadap ASEAN+3 ACU. 81 Tebel 16. Perhitungan Nilai ACU dalam Mata Uang Won dan Rupiah 19972002 Perhitungan KRW, Periode 1997Q1 aj Sij aijSij JPY CNY KRW IDR MYR SGD THB PHP VND BRD MMK KHR LAK 36.8 2.5 72.6 183.9 0.2 0.1 1.4 0.7 217.3 0.0 0.0 2.8 0.6 7.2 105.1 1.0 0.4 349.8 613.4 33.7 33.1 0.1 613.4 142.5 0.3 0.9 264.5 261.9 72.6 66.7 56.1 54.8 46.1 24.6 16.8 3.6 1.9 0.9 0.5 870.98 JPY CNY KRW IDR MYR SGD THB PHP VND BRD MMK KHR LAK 36.8 2.5 72.6 183.9 0.2 0.1 1.4 0.7 217.3 0.0 0.0 2.8 0.6 19.8 289.9 2.8 1.0 965.2 1692.4 92.9 91.3 0.2 1692.4 393.3 0.9 2.4 729.8 722.6 200.3 183.9 154.7 151.3 127.1 68.0 46.2 10.0 5.4 2.5 1.4 2403.3 36.8 2.5 72.6 183.9 0.2 0.1 1.4 0.7 217.3 0.0 0.0 2.8 0.6 9.9 147.3 1.0 0.1 321.0 689.2 28.1 22.9 0.1 689.2 190.6 0.3 0.1 KRW/ ACU Perhitungan IDR, Periode 1997Q1 aj Sij aijSij JPY CNY KRW IDR MYR SGD THB PHP VND BRD MMK KHR LAK Perhitungan KRW, Periode 2002Q4 aj Sij aijSij 1023.42 KRW/ ACU Perhitungan IDR, Periode 2002Q4 aj Sij aijSij JPY CNY KRW IDR MYR SGD THB PHP VND BRD MMK KHR LAK IDR/ ACU 365.4 367.2 72.6 24.8 51.4 61.6 38.5 17.1 17.2 4.1 2.6 0.9 0.1 36.8 2.5 72.6 183.9 0.2 0.1 1.4 0.7 217.3 0.0 0.0 2.8 0.6 73.7 1093.6 7.4 1.0 2382.8 5115.6 208.8 170.1 0.6 5115.6 1414.8 2.3 0.8 2712.2 2725.8 538.8 183.9 381.8 457.2 285.6 126.7 128.0 30.3 19.3 6.5 0.5 7596.71 IDR/ ACU 82 Tabel 17. Pergerakan Nilai ACU dalam Mata Uang Nasional 1997-2002 1997Q1 1998Q1 1999Q1 2000Q1 2001Q1 2002Q4 121.22 104.72 101.5816 96.96312 100.3652 103.111 8.29 6.7711 7.217228 7.499109 7.037207 6.946778 KRW 870.98 1313.1 1043.604 1019.009 1080.925 1023.416 IDR 2403.3 7714.3 7649.303 6693.888 8311.808 7596.713 MYR 2.49 3.2711 3.312255 3.44162 3.229636 3.188135 SGD 1.42 1.3739 1.481798 1.539672 1.487332 1.485 THB 25.86 38.509 32.3032 34.05392 36.69037 36.38669 PHP 26.33 33.275 33.7327 36.81628 41.84928 44.66745 VND 11294 10331 12106.03 12727.93 12364.15 12900.45 BRD 1.42 1.3739 1.481798 1.539672 1.487332 1.485 MMK 6.11 5.1683 5.360623 5.696787 5.600869 5.36949 KHR 2732 2926.5 3293.078 3440.108 3323.125 3298.318 LAK 987.74 1985.3 3911.075 6838.173 7301.247 9031.063 JPY CNY 4.5.2. Mekanisme Nilai Tukar Periode 1997-2002 Dalam EMS (European Monetary System), setiap mata uang yang dikaitkan terhadap ECU, nilai tukar bilateral pada awalnya diperbolehkan berfluktuasi dalam koridor sebesar 2.25 persen. Pada tahun 1990, untuk negara Italia dan kemudian Spanyol, Portugal, dan Inggris diperkenankan untuk melebarkan fluktuasi koridor (fluctuation bond) menjadi 6 persen. Selanjutnya, koridor tersebut kembali diperlebar pada tahun 1992 yaitu pada masa krisis ERM menjadi 15 persen. Negara anggota diwajibkan untuk menjaga pergerakan nilai tukarnya dalam rentang yang telah ditetapkan tersebut dengan melakukan intervensi sepanjang dibutuhkan. Simulasi terhadap data time series ASEAN+3 ACU ini dimaksudkan untuk mengetahui sampai sejauh mana bank sentral yang ada pada kawasan ASEAN+3 perlu untuk melakukan intervensi guna menjaga stabilitas nilai tukar di kawasan agar bergerak tetap dalam koridor yang akan disepakati bersama. Dengan menggunakan metodologi yang telah dijelaskan sebelumnya (Tabel 17), dapat diperoleh time series nilai tukar ACU dalam masing-masing mata uang nasional untuk keseluruhan periode dari 1997Q1 hingga 2002Q4. Yang selanjutnya dalam penelitian ini ditetapkan keharusan intervensi secara hipotesis yang dihitung dari nilai tukar yang berlaku pada periode dasar 1997Q1. 83 110 7 100 6.5 1400 4 3 45 JPY/ACU 1800 1600 KRW/USD 1200 1000 KRW/ACU 4.5 MYR/USD 3.5 MYR/ACU 2.5 2 50 THB/USD 40 35 30 THB/ACU 25 20 Grafik 11. Nilai Tukar THB/ASEAN+3 ACU (97-02) 1997Q1 1997Q2 1997Q3 1997Q4 1998Q1 1998Q2 1998Q3 1998Q4 1999Q1 1999Q2 1999Q3 1999Q4 2000Q1 2000Q2 2000Q3 2000Q4 2001Q1 2001Q2 2001Q3 2001Q4 2002Q1 2002Q2 2002Q3 2002Q4 1997Q1 1997Q2 1997Q3 1997Q4 1998Q1 1998Q2 1998Q3 1998Q4 1999Q1 1999Q2 1999Q3 1999Q4 2000Q1 2000Q2 2000Q3 2000Q4 2001Q1 2001Q2 2001Q3 2001Q4 2002Q1 2002Q2 2002Q3 2002Q4 90 1997Q1 1997Q2 1997Q3 1997Q4 1998Q1 1998Q2 1998Q3 1998Q4 1999Q1 1999Q2 1999Q3 1999Q4 2000Q1 2000Q2 2000Q3 2000Q4 2001Q1 2001Q2 2001Q3 2001Q4 2002Q1 2002Q2 2002Q3 2002Q4 1997Q1 1997Q2 1997Q3 1997Q4 1998Q1 1998Q2 1998Q3 1998Q4 1999Q1 1999Q2 1999Q3 1999Q4 2000Q1 2000Q2 2000Q3 2000Q4 2001Q1 2001Q2 2001Q3 2001Q4 2002Q1 2002Q2 2002Q3 2002Q4 130 8 120 7.5 JPY/USD 1997Q1 1997Q2 1997Q3 1997Q4 1998Q1 1998Q2 1998Q3 1998Q4 1999Q1 1999Q2 1999Q3 1999Q4 2000Q1 2000Q2 2000Q3 2000Q4 2001Q1 2001Q2 2001Q3 2001Q4 2002Q1 2002Q2 2002Q3 2002Q4 1997Q1 1997Q2 1997Q3 1997Q4 1998Q1 1998Q2 1998Q3 1998Q4 1999Q1 1999Q2 1999Q3 1999Q4 2000Q1 2000Q2 2000Q3 2000Q4 2001Q1 2001Q2 2001Q3 2001Q4 2002Q1 2002Q2 2002Q3 2002Q4 9 140 8.5 Grafik 5. Nilai Tukar JPY/ASEAN+3 ACU (97-02) Grafik 7. Nilai Tukar KRW/ASEAN+3 ACU (97-02) 1.9 1.8 1.7 1.6 1.5 1.4 1.3 1.2 1.1 1 Grafik 9. Nilai Tukar MYR/ASEAN+3 ACU (97-02) 55 40 1997Q1 1997Q2 1997Q3 1997Q4 1998Q1 1998Q2 1998Q3 1998Q4 1999Q1 1999Q2 1999Q3 1999Q4 2000Q1 2000Q2 2000Q3 2000Q4 2001Q1 2001Q2 2001Q3 2001Q4 2002Q1 2002Q2 2002Q3 2002Q4 1997Q1 1997Q2 1997Q3 1997Q4 1998Q1 1998Q2 1998Q3 1998Q4 1999Q1 1999Q2 1999Q3 1999Q4 2000Q1 2000Q2 2000Q3 2000Q4 2001Q1 2001Q2 2001Q3 2001Q4 2002Q1 2002Q2 2002Q3 2002Q4 150 CNY/USD 6 CNY/ACU Grafik 6. Nilai Tukar CNY/ASEAN+3 ACU (97-02) 12000 10000 IDR/USD 8000 6000 800 4000 600 2000 IDR/ACU Grafik 8. Nilai Tukar IDR/ASEAN+3 ACU (97-02) SGD/USD SGD/ACU Grafik 10. Nilai Tukar SGD/ASEAN+3 ACU (97-02) 60 50 PHP/USD 45 35 PHP/ACU 30 25 20 Grafik 12. Nilai Tukar PHP/ASEAN+3 ACU (97-02) 84 15000 VND/USD 14000 13000 12000 VND/ACU 11000 10000 BRD/USD BRD/ACU 1997Q1 1997Q2 1997Q3 1997Q4 1998Q1 1998Q2 1998Q3 1998Q4 1999Q1 1999Q2 1999Q3 1999Q4 2000Q1 2000Q2 2000Q3 2000Q4 2001Q1 2001Q2 2001Q3 2001Q4 2002Q1 2002Q2 2002Q3 2002Q4 9000 1.9 1.8 1.7 1.6 1.5 1.4 1.3 1.2 1.1 1 1997Q1 1997Q2 1997Q3 1997Q4 1998Q1 1998Q2 1998Q3 1998Q4 1999Q1 1999Q2 1999Q3 1999Q4 2000Q1 2000Q2 2000Q3 2000Q4 2001Q1 2001Q2 2001Q3 2001Q4 2002Q1 2002Q2 2002Q3 2002Q4 16000 Grafik 13. Nilai Tukar VND/ASEAN+3 ACU (97-02) 7 Grafik 14. Nilai Tukar BRD/ASEAN+3 ACU (97-02) 4500 6.5 MMK/USD 4000 KHR/USD 6 3500 5.5 MMK/ACU 5 3000 2000 Grafik 15. Nilai Tukar MMK/ASEAN+3 ACU (97-02) KHR/ACU 1997Q1 1997Q2 1997Q3 1997Q4 1998Q1 1998Q2 1998Q3 1998Q4 1999Q1 1999Q2 1999Q3 1999Q4 2000Q1 2000Q2 2000Q3 2000Q4 2001Q1 2001Q2 2001Q3 2001Q4 2002Q1 2002Q2 2002Q3 2002Q4 4 1997Q1 1997Q2 1997Q3 1997Q4 1998Q1 1998Q2 1998Q3 1998Q4 1999Q1 1999Q2 1999Q3 1999Q4 2000Q1 2000Q2 2000Q3 2000Q4 2001Q1 2001Q2 2001Q3 2001Q4 2002Q1 2002Q2 2002Q3 2002Q4 4.5 2500 Grafik 16. Nilai Tukar KHR/ASEAN+3 ACU (97-02) 12000 10000 LAK/USD 8000 LAK/ACU 6000 4000 2000 1997Q1 1997Q2 1997Q3 1997Q4 1998Q1 1998Q2 1998Q3 1998Q4 1999Q1 1999Q2 1999Q3 1999Q4 2000Q1 2000Q2 2000Q3 2000Q4 2001Q1 2001Q2 2001Q3 2001Q4 2002Q1 2002Q2 2002Q3 2002Q4 0 Grafik 17. Nilai Tukar LAK/ASEAN+3 ACU (1997-02) Dari Grafik 5 sampai Grafik 17 menunjukkan perilaku masing-masing mata uang domestik yang berbeda. Dengan menetapkan benchmark ACU pada periode dasar, beberapa mata uang antara lain Jepang (JPY), China (CNY), dan Myanmar (MMK) mengalami trend apresiasi masing-masing mata uang lokal terhadap ASEAN+3 ACU. Sementara mata uang Korea (KRW), Indonesia (IDR), Malaysia (MYR), Thailand (THB), Singapura (SGD), Filipina (PHP), Brunei Darussalam (BRD), Kamboja (KHR) dan Laos (LAK) cenderung mengalami depresiasi mata uang lokal nya terhadap ASEAN+3 ACU. Semua mata uang ASEAN+3 ACU bergerak menembus batas koridor 2.25 persen. Artinya perberlakuan bencmark rate sebesar 2.25 persen berdasarkan ketetapan awal EMS 85 tidak bisa diterapkan pada periode krisis ekonomi 1997-2002 di kawasan ASEAN+3 ini. Dengan mengacu pada Tabel 18, nilai mata uang domestik terhadap ASEAN+3 ACU yang mempunyai pergerakan paling kecil adalah mata uang Dollar Brunei Darussalam dan Dollar Singapura, yakni pada koridor fluktuasi 6 sampai 15 persen. Selanjutnya diikuti oleh mata uang Yen Jepang, Yuan China, Dong Vietnam, dan Kyat Myanmar yang mempunyai pergerakan mata uang ACU pada rentang 15 sampai 20 persen. Sedangkan Ringgit Malaysia dan Riel Kamboja berfluktuasi pada koridor 20-5o persen. Sementara nilai tukar Won Korea, Rupiah Indonesia, Bath Thailand, Peso Filipina dan Kip Laos mengalami fluktuasi melebihi koridor 50 persen. Tabel 18. Koridor Pergerakan Mata Uang Domestik terhadap ASEAN+3 ACU 1997-2002 Negara 1997-2002 0-2.25% 6-15% 15-25% 25-50% >50% JPY √ CNY √ KRW √ IDR √ MYR √ SGD √ THB √ PHP √ VND √ BRD √ MMK √ KHR √ LAK √ Apabila ditetapkan koridor fluktuasi seperti yang pernah dilakukan oleh EMS, untuk periode krisis ini sulit menentukan pada koridor berapa harus disepakati batas toleransi bencmark rate tersebut. Hal ini dikarenakan pergerakan beberapa mata uang negara-negara ASEAN+3 mempunyai tingkat fluktuasi yang beragam. Dari hasil simulasi ini pun hampir setiap negara cenderung bergerak menjauh dari ASEAN+3 ACU benchmark rate dan melampaui koridor 2.25 persen. Meskipun demikian, untuk beberapa nilai tukar seperti Dollar Brunei 86 Darussalam dan Dollar Singapura (6-15%) pergerakan nilai tukar negara tersebut masih memenuhi batas toleransi fluktuasi EMS pada batas maksimal 15 persen. Sedangkan negara-negara lainnya tidak dapat memenuhi kriteria fluktuasi tersebut, sehingga negara-negara ini perlu melakukan intervensi yang signifikan agar nilai tukarnya dapat berada dalam koridor yang disepakati. 4.6. Periode Pasca Krisis Ekonomi (2003 - 2007) Dengan menggunakan variabel-variabel pembobotan seperti pada periode krisis ekonomi, yaitu variabel PDB riil PPP dan variabel ekspor intra kawasan ASEAN+3, maka diperoleh bobot untuk kedua variabel tersebut bagi negaranegara ASEAN+3 pada periode pasca krisis ekonomi dalam Tabel 19. Tabel tersebut menunjukkan besar pangsa masing-masing negara anggota ASEAN+3 terhadap total PDB Riil PPP dan ekspor dalam ASEAN+3. Sedangkan data yang digunakan adalah data rata-rata periode 2003 hingga 2007. Tabel 19. Pangsa Masing-masing Anggota ASEAN+3, 2003-2007 GDP PPP (%) China 52.2 Jepang 22.6 Indonesia 6.6 Korea 6.4 Thailand 3.3 Malaysia 2.4 Filipina 2.3 Vietnam 1.6 Myanmar 1.2 Singapura 1.0 Kamboja 0.2 Brunei 0.1 Laos 0.1 Ekspor Intra ASEAN+3 (%) Jepang 27.3 China 23.9 Singapura 13.4 Malaysia 8.7 Korea 7.4 Thailand 7.0 Indonesia 6.4 Filipina 2.7 Vietnam 2.2 Brunei 0.6 Myanmar 0.3 Laos 0.1 Kamboja 0.0 Sumber : CEIC data 2008, diolah Berdasarkan Tabel 19, sulit untuk kembali melakukan generalisasi guna mendapatkan satu negara yang dominan berdasarkan indikator-indikaor dari variabel tersebut. Sebagai contoh, China yang memiliki pangsa GDP sebesar 52.26 persen (terbesar di kawasan ASEAN+3) menempati peringkat kedua dalam pangsa ekspor intra kawasan ASEAN+3 di bawah Jepang, begitu pun dengan 87 negara-negara lainnya. Jika dibandingkan dengan pangsa periode krisis, pada periode ini terjadi perubahan komposisi bobot, baik dari sisi besaran pangsa maupun dari sisi urutan komposisi. Sebagai contoh, Indonesia yang pada periode krisis ekonomi menempati urutan keenam dalam hal pangsa ekspor, untuk periode ini harus turun satu peringkat dan digantikan oleh Thailand. Hal tersebut pun terjadi pada negara Laos dan Kamboja. Laos yang pada periode krisis menempati urutan terakhir dalam penguasaan bobot Ekspor, pada periode ini menggantikan posisi Kamboja, sehingga membuat Kamboja berada pada urutan terbawah penguasaan pangsa Ekspor di Kawasan ini. Selanjutnya untuk menghitung kembali ASEAN+3 ACU, maka dilakukan perhitungan bobot timbangan terhadap variabel-variabel tersebut. Sekali lagi diasumsikan bahwa PDB Riil PPP dan ekspor dalam ASEAN memiliki peran yang sama pentingnya, sehingga diberlakukan bobot yang seimbang untuk kedua variabel tersebut, yakni dengan perbandingan bobot 50 : 50 persen. Kemudian setelah melakukan perbandingan pada kedua bobot tersebut dapat diperoleh bobot untuk masing-masing negara dalam pembentukan ASEAN+3 ACU pada periode pasca krisis ekonomi. Tabel 20. Bobot Masing-masing Anggota ASEAN+3 2003-2007 Negara China Jepang Singapura Korea Indonesia Malaysia Thailand Filipina Vietnam Myanmar Brunei Kamboja Laos Total (%) 38.1 25.0 7.2 6.9 6.5 5.5 5.2 2.5 1.9 0.7 0.4 0.1 0.1 Sumber : CEIC data, 2008, diolah Dengan melakukan pembobotan untuk setiap negara, pada periode pasca krisis ekonomi ini negara-negara plus three (China, Jepang, dan Korea) sudah 88 tidak lagi mendominasi penguasaan bobot secara keseluruhan. Berdasarkan Tabel 20, pada periode ini, negara-negara plus three menguasai lebih dari 70 persen total bobot secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa negara-negara tersebut mengalami kenaikan penguasaan bobot sebesar 2 persen dibandingkan pada saat periode krisis ekonomi. Namun, yang menarik adalah bahwa konstalasi penguasaan bobot tidak lagi dikuasai oleh negara-negara plus three seperti halnya pada periode krisis ekonomi. Pada periode ini, Singapura menjadi negara terbesar ketiga dalam penguasaan bobot untuk kawasan ASEAN+3 dengan menggeser Korea ke peringkat keempat. Ini tentu saja membanggakan komunitas ASEAN pada umumnya, karena perekonomian ASEAN+3 tidak lagi dimonopoli oleh negaranegara kawasan Asia Timur. Selain itu, pada periode pasca krisis ekonomi, China mampu menjadi negara dengan penguasaan bobot terbesar dalam kawasan ASEAN+3 menggantikan posisi Jepang sebagai penguasa bobot pada periode krisis ekonomi. Sementara untuk negara-negara ASEAN lainnya tidak ada perubahan urutan komposisi bobot yang signifikan. Setelah memperoleh bobot timbangan bagi setiap mata uang negara anggota ASEAN+3, tahapan selanjutnya adalah menerjemahkan bobot timbangan tersebut ke dalam unit mata uang nasional yang membentuk ACU menjadi ASEAN+3 ACU. Dengan menggunakan periode dasar 2003Q1, dan berasumsi bahwa 1 ACU = 1 USD, maka perhitungan ASEAN+3 ACU pada periode pasca krisis dapat dilihat pada Tabel 21. Berdasarkan Tabel tersebut, jumlah unit mata uang setiap negara ASEAN+3 dapat dilihat antara lain, China (3.2), Jepang (29.7), Singapura (0.1), Korea (82.6), Indonesia (580.2), Malaysia (0.2), Thailand (2.24), Filipina (1.35), Vietnam (291.05), Brunei Darussalam (0.01), Myanmar (0.02), Kamboja (4.5), dan Laos (7.16). Jumlah unit mata uang masing-masing negara tersebut dalam ASEAN+3 ACU adalah konstan untuk jangka waktu tertentu. 89 Tabel 21. Perhitungan ASEAN+3 ACU 2001-2004 Nilai Tukar mata uang domestik per 1 USD pada base period 2003 (Q1) Bobot ASEAN ACU (%) ACU Currency = unit mata uang nasional dalam ACU Nilai Tukar mata uang domestik per 1 USD pada base period 2005 (Q4) Bobot ASEAN ACU (%) ACU Currency = unit mata uang nasional dalam ACU Nilai Tukar mata uang domestik per 1 USD pada base period 2007 (Q4) Bobot ASEAN ACU (%) ACU Currency = unit mata uang nasional dalam ACU CIN JEP SIN KOR IND MAL THA FIL VIE MYA BRU KAM LAO 8.3 118.8 1.7 1202.3 8905.5 3.8 42.8 54.1 15426.0 6.2 1.7 3932.0 10619.1 38.1 25.0 7.2 6.9 6.5 5.5 5.2 2.5 1.9 0.7 0.4 0.1 0.1 3.2 29.7 0.1 82.6 580.2 0.2 2.2 1.3 291.0 0.0 0.0 4.5 7.1 CIN JEP SIN KOR IND MAL THA FIL VIE MYA BRU KAM LAO 8.1 117.3 1.7 1036.6 9999.6 3.8 41.0 54.6 15907.0 5.9 1.7 4154.3 10831.0 38.1 25.0 7.2 6.9 6.5 5.5 5.2 2.5 1.9 0.7 0.4 0.1 0.1 3.2 29.7 0.1 82.6 580.2 0.2 2.2 1.3 291.0 0.0 0.0 4.5 7.1 CIN JEP SIN KOR IND MAL THA FIL VIE MYA BRU KAM LAO 7.4 113.1 1.5 921.2 9246.3 3.4 33.9 43.1 16122.3 5.4 1.5 4026.0 9518.1 38.1 25.0 7.2 6.9 6.5 5.5 5.2 2.5 1.9 0.7 0.4 0.1 0.1 3.2 29.7 0.1 82.6 580.2 0.2 2.2 1.3 291.0 0.0 0.0 4.5 7.1 90 Tabel 22. USD/ACU dengan Memperhitungkan Bobot Mata Uang Lokal Masing-masing Negara 2003-2007 2003Q1 2003Q2 2003Q3 2003Q4 2004Q1 2004Q2 2004Q3 2004Q4 2005Q1 2005Q2 2005Q3 2005Q4 2006Q1 2006Q2 2006Q3 2006Q4 2007Q1 2007Q2 2007Q3 2007Q4 CIN 0.381 0.381 0.381 0.381 0.381 0.381 0.381 0.381 0.381 0.381 0.387 0.390 0.391 0.393 0.395 0.401 0.406 0.410 0.417 0.424 JEP KOR 0.250 0.072 0.251 0.072 0.252 0.072 0.273 0.073 0.277 0.074 0.270 0.074 0.270 0.074 0.280 0.076 0.283 0.077 0.276 0.076 0.267 0.075 0.253 0.074 0.254 0.077 0.259 0.079 0.255 0.080 0.252 0.081 0.248 0.082 0.246 0.083 0.252 0.083 0.262 0.087 IND 0.069 0.068 0.070 0.070 0.071 0.071 0.072 0.076 0.081 0.082 0.080 0.080 0.085 0.087 0.087 0.088 0.088 0.089 0.089 0.090 MAL 0.065 0.068 0.069 0.068 0.069 0.064 0.063 0.064 0.063 0.061 0.058 0.058 0.063 0.064 0.064 0.064 0.064 0.065 0.063 0.063 SIN 0.055 0.055 0.055 0.055 0.055 0.055 0.055 0.055 0.055 0.055 0.056 0.056 0.057 0.058 0.057 0.058 0.060 0.061 0.061 0.063 THA 0.052 0.052 0.053 0.055 0.056 0.055 0.053 0.055 0.057 0.055 0.053 0.054 0.056 0.058 0.059 0.060 0.062 0.064 0.065 0.065 FIL 0.025 0.025 0.025 0.024 0.024 0.024 0.024 0.024 0.024 0.024 0.024 0.024 0.026 0.026 0.026 0.027 0.028 0.029 0.029 0.031 VIE 0.019 0.019 0.019 0.019 0.019 0.018 0.018 0.018 0.018 0.018 0.018 0.018 0.018 0.018 0.018 0.018 0.018 0.018 0.018 0.018 BRU 0.007 0.007 0.007 0.008 0.008 0.008 0.008 0.008 0.008 0.008 0.008 0.008 0.008 0.008 0.008 0.008 0.008 0.008 0.008 0.008 MYA 0.004 0.004 0.004 0.004 0.004 0.004 0.004 0.004 0.004 0.004 0.004 0.004 0.004 0.004 0.004 0.004 0.004 0.004 0.004 0.004 KAM 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 LAO USD/ACU 0.001 1 0.001 1.004676 0.001 1.009075 0.001 1.031646 0.001 1.038601 0.001 1.026651 0.001 1.023771 0.001 1.042002 0.001 1.053363 0.001 1.041817 0.001 1.032020 0.001 1.020765 0.001 1.039865 0.001 1.055803 0.001 1.054590 0.001 1.062657 0.001 1.070534 0.001 1.078453 0.001 1.090314 0.001 1.117434 91 Sementara pada Tabel 22 menggambarkan perhitungan bobot negara-negara ASEAN+3 ACU secara individual dengan memperoleh cara penghitungan yang sama dengan cara perhitungan pada periode krisis. Penjumlahan bobot mata uang lokal seluruh negara anggota ASEAN+3 dalam periode pemulihan krisis ini akan menghasilkan nilai tukar USD/ASEAN+3 ACU, dimana pada periode dasar pemulihan krisis diperoleh USD/ASEAN+3 ACU = 1, yakni sesuai dengan asumsi awal. Dapat dilihat juga bahwa dari waktu ke waktu nilai tukar USD/ACU bergerak searah dengan perubahan bobot mata uang individual negara anggota yang searah dengan pergerakan nilai tukar mata uang nasional terhadap USD. Sementara untuk melihat pergerakan kuartalan nilai tukar USD/AEAN+3 ACU dengan periode 2003Q1 hingga 2007Q4 yang dapat dilihat pada Grafik 18. ASEAN+3 ACU terbentuk dari mata uang negara-negara ASEAN+3 sehingga perilakunya merepresentasikan perilaku dari rata-rata tertimbang mata uang negara-negara ASEAN+3. Dari Grafik 18 dapat dilihat bahwa nilai tukar ASEAN+3 ACU secara umum mengalami penguatan nilai tukar terhadap USD, hal ini berbeda dengan pergerakan nilai USD/ASEAN+3 pada saat periode krisis yang mengalami pelemahan nilai tukar. Hal ini tentu saja dikarenakan beberapa nilai tukar mata uang lokal negara-negara ASEAN+3 mengalami apresiasi mata uang terhadap USD. 92 2007Q4 2007Q3 2007Q2 2007Q1 2006Q4 2006Q3 2006Q2 2006Q1 2005Q4 2005Q3 2005Q2 2005Q1 2004Q4 2004Q3 2004Q2 2004Q1 2003Q4 USD/ACU 2003Q3 2003Q2 2003Q1 ACU apresiasi 1.14 1.12 1.1 1.08 1.06 1.04 1.02 1 0.98 0.96 0.94 Grafik 18. Pergerakan USD Terhadap ASEAN+3 ACU 2003-2007 4.6.1. Perhitungan Nilai ACU dalam Mata Uang Lokal 2003-2007 Dengan menjaga stabilitas intra-kawasan dan menggunakan cara perhitungan yang sama pada Persamaan (4.1), maka diperoleh perhitungan Nilai ASEAN+3 ACU untuk beberapa negara anggota pada Tabel 23. Sebagai contoh, mata uang milik Filipina yang pada periode awal 2003Q1 adalah sebesar 54.08 PHP/ACU mengalami penguatan nilai tukar hingga mencapai angka 48.17 PHP/ACU. Begitu juga dengan mata uang Myanmar yang pada awal periode 2003Q1 adalah sebesar 6.22 MMK/ACU mengalami penguatan mencapai 6.05 MMK/ACU pada akhir periode 2007Q4. Secara lebih lengkap, pergerakan nilai mata uang setiap negara selama periode pemulihan krisis (2001-2004) dapat dilihat pada Tabel 24. Adapun beberapa negara yang mengalami penguatan nilai tukar antara lain Dollar Singapura, Won Korea, Bath Thailand, Peso Filipina, Dollar Brunei, dan Kyat Myanmar. Sedangkan nilai tukar Yen Jepang, Rupiah Indonesia, Dong Vietnam, Riel Kamboja dan Kip Laos mengalami depresiasi nilai tukar. Sementara Yuan China dan Ringgit Malaysia mempunyai nilai tukar yang tetap hingga akhir periode ini. 93 Tabel 23. Perhitungan Nilai ACU dalam Mata Uang Peso dan Kyat 20032007 Perhitungan PHP, Periode 2003Q1 aj Sij aijSij CNY 3.15 6.53 20.58 JPY 29.68 0.46 13.51 KRW 0.13 31.08 3.91 IDR 82.60 0.04 3.72 MYR 580.18 0.01 3.52 SGD 0.21 14.23 3.00 THB 2.20 1.26 2.79 PHP 1.34 1.00 1.34 VND 291.04 0.00 1.02 BRD 0.05 8.69 0.40 MMK 0.01 31.08 0.20 KHR 4.48 0.01 0.06 LAK 7.14 0.01 0.04 54.08 PHP/ ACU Perhitungan PHP, Periode 2007Q4 aj Sij aijSij CNY 3.15 5.80 18.28 JPY 29.68 0.38 11.31 KRW 0.13 29.73 3.74 IDR 82.60 0.05 3.87 MYR 580.18 0.00 2.71 SGD 0.21 12.83 2.71 THB 2.20 1.27 2.81 PHP 1.34 1.00 1.34 VND 291.04 0.00 0.78 BRD 0.05 7.97 0.36 MMK 0.01 29.73 0.19 KHR 4.48 0.01 0.05 LAK 7.14 0.00 0.03 48.17 PHP/ ACU Perhitungan MMK, Periode 2003Q1 aj Sij aijSij CNY 3.15 0.75 2.37 JPY 29.68 0.05 1.55 KRW 0.13 3.57 0.45 IDR 82.60 0.01 0.43 MYR 580.18 0.00 0.41 SGD 0.21 1.64 0.35 THB 2.20 0.15 0.32 PHP 1.34 0.12 0.15 VND 291.04 0.00 0.12 BRD 0.05 1.00 0.05 MMK 0.01 3.57 0.02 KHR 4.48 0.00 0.01 LAK 7.14 0.00 0.00 6.22 MMK/ ACU Perhitungan MMK, Periode 2007Q4 aj Sij aijSij CNY 3.15 0.73 2.29 JPY 29.68 0.05 1.42 KRW 0.13 3.73 0.47 IDR 82.60 0.01 0.49 MYR 580.18 0.00 0.34 SGD 0.21 1.61 0.34 THB 2.20 0.16 0.35 PHP 1.34 0.13 0.17 VND 291.04 0.00 0.10 BRD 0.05 1.00 0.05 MMK 0.01 3.73 0.02 KHR 4.48 0.00 0.01 LAK 7.14 0.00 0.00 6.05 MMK/ ACU 94 Tabel 24. Pergerakan Nilai ACU dalam Mata Uang Nasional 2003-2007 CNY JPY SGD KRW IDR MYR THB PHP VND BRD MMK KHR LAK 2003Q1 2004Q1 2005Q1 2006QQ1 2007Q1 2007Q4 8.3 8.6 8.7 8.4 8.3 8.3 118.8 111.4 110.3 121.5 127.9 126.3 1.7 1.8 1.7 1.7 1.6 1.6 1202.3 1216.4 1076.8 1015.3 1005.3 1029.4 8905.5 8796.5 9769.2 9644.6 9749.5 10332.1 3.8 3.9 4.0 3.9 3.7 3.8 42.8 40.7 40.6 40.9 38.0 37.8 54.1 58.1 57.9 53.9 52.0 48.2 15426.0 16324.0 16652.3 16555.4 17152.4 18015.6 1.7 1.8 1.7 1.7 1.6 1.6 6.2 5.9 5.9 6.1 6.1 6.0 3932.0 4144.4 4241.9 4244.0 4341.0 4498.8 10619.1 10831.6 10893.0 10911.8 10372.4 10635.9 4.6.2. Mekanisme Nilai Tukar Periode 2003-2007 Dengan adanya ketetapan EMS yang mewajibkan negara anggota ECU menjaga pergerakan nilai tukarnya dalam rentang yang 2.25 persen, 6 persen pada tahun 1990, dan 15 persen pada tahun 1992, maka untuk negara-negara Anggota ASEAN+3 ACU akan dilakukan simulasi terhadap data time series pada periode 2003-2007. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana Bank Sentral yang ada di kawasan ASEAN+3 perlu melakukan suatu intervensi guna menjaga stabilitas nilai tukar di kawasan ASEAN+3 agar bergerak dalam koridor yang akan disepakati bersama. Dengan menggunakan metodologi yang telah dijelaskan sebelumnya dapat diperoleh time series nilai tukar ACU dalam masing-masing mata uang nasional untuk keseluruhan periode dari 2003Q1 hingga 2007Q4. Yang selanjutnya dalam penelitian ini ditetapkan keharusan intervensi secara hipotesis yang dihitung dari nilai tukar yang berlaku pada periode dasar 2003Q1. 95 Grafik 25. Nilai Tukar THB/ASEAN+3 ACU (03-07) 30 2007Q4 35 30 2007Q3 45 2007Q2 55 2007Q1 32 2007Q4 2007Q3 2007Q2 2007Q1 2006Q4 2006Q3 2006Q2 2006Q1 2005Q4 2005Q3 2005Q2 2005Q1 1.8 1.75 1.7 1.65 1.6 1.55 1.5 1.45 1.4 1.35 1.3 2006Q4 THB/USD 2004Q4 9000 2006Q3 36 2007Q4 2007Q3 2007Q2 2007Q1 2006Q4 2006Q3 2006Q2 2006Q1 2005Q4 2005Q3 2005Q2 2005Q1 2004Q4 2004Q3 2004Q2 2004Q1 2003Q4 2003Q3 2003Q2 135 130 125 120 115 110 105 100 95 90 2006Q2 THB/ACU 2006Q1 60 2005Q4 40 2005Q3 65 42 2005Q2 44 2005Q1 Grafik 23. Nilai Tukar MYR/ASEAN+ACU (03-07) 2004Q3 3 2004Q4 3.2 2004Q2 MYR/USD 2004Q3 MYR/ACU 2004Q1 3.8 2004Q2 4 2004Q1 4.2 2003Q4 Grafik 21. Nilai Tukar KRW/ASEAN+3 ACU (03-07) 2003Q4 KRW/USD 2003Q3 Grafik 19. Nilai Tukar CNY/ASEAN+3 ACU (03-07) 2003Q3 KRW/ACU 2003Q1 6.5 2003Q1 2003Q2 2003Q3 2003Q4 2004Q1 2004Q2 2004Q3 2004Q4 2005Q1 2005Q2 2005Q3 2005Q4 2006Q1 2006Q2 2006Q3 2006Q4 2007Q1 2007Q2 2007Q3 2007Q4 CNY/USD 2003Q2 2007Q4 2007Q3 7 2003Q1 2007Q4 2007Q2 2007Q1 CNY/ACU 2003Q2 2007Q4 2007Q3 2007Q2 2006Q4 2006Q3 2006Q2 2006Q1 8.5 2003Q1 2007Q4 2007Q3 2007Q2 3.6 2007Q3 38 2007Q1 2006Q4 2006Q3 2006Q2 2005Q4 2005Q3 2005Q2 2005Q1 2004Q4 2004Q3 2004Q2 2004Q1 2003Q4 2003Q3 2003Q2 2003Q1 8 2007Q2 3.4 2007Q1 2006Q4 2006Q3 2006Q2 2006Q1 2005Q4 2005Q3 2005Q2 2005Q1 2004Q4 2004Q3 2004Q2 2004Q1 2003Q4 2003Q3 2003Q2 2003Q1 7.5 2007Q1 2006Q4 34 2006Q3 2006Q2 2006Q1 2005Q4 2005Q3 2005Q2 2005Q1 2004Q4 2004Q3 2004Q2 2004Q1 2003Q4 2003Q3 2003Q2 2003Q1 1250 1200 1150 1100 1050 1000 950 900 850 800 2006Q1 2005Q4 2005Q3 2005Q2 2005Q1 2004Q4 2004Q3 2004Q2 2004Q1 2003Q4 2003Q3 2003Q2 2003Q1 9 JPY/ACU JPY/USD Grafik 20. Nilai Tukar JPY/ASEAN+3 ACU (03-07) 10500 10000 IDR/ACU 9500 8500 IDR/USD 8000 Grafik 22. Nilai Tukar IDR/ASEAN+3 ACU (03-07) SGD/ACU SGD/USD Grafik 24. Nilai Tukar SGD/ASEAN+3 ACU (03-07) 50 PHP/ACU 40 PHP/USD Grafik 26. Nilai Tukar PHP/ASEAN+3 ACU (03-07) 96 18500 1.9 18000 1.8 17500 1.7 VND/ACU 17000 16500 BRD/ACU 1.6 1.5 16000 VND/USD 15500 1.3 Grafik 27. Nilai Tukar VND/ASEAN+3 ACU (03-07) 2007Q4 2007Q3 2007Q2 2007Q1 2006Q4 2006Q3 2006Q2 2006Q1 2005Q4 2005Q3 2005Q2 2005Q1 2004Q4 2004Q3 2004Q2 2004Q1 2003Q4 2003Q3 2003Q2 2003Q1 1.2 2003Q1 2003Q2 2003Q3 2003Q4 2004Q1 2004Q2 2004Q3 2004Q4 2005Q1 2005Q2 2005Q3 2005Q4 2006Q1 2006Q2 2006Q3 2006Q4 2007Q1 2007Q2 2007Q3 2007Q4 15000 BRD/USD 1.4 Grafik 28. Nilai Tukar BRD/ASEAN+3 ACU (03-07) 6.4 4600 6.2 4500 4400 6 MMK/ACU 5.8 KHR/ACU 4300 4200 5.6 4100 4000 Grafik 29. Nilai Tukar MMK/ASEAN+3 ACU (03-07) 2007Q4 2007Q3 2007Q2 2006Q4 2006Q3 2006Q2 2006Q1 2005Q4 2005Q3 2005Q2 2005Q1 2004Q4 2004Q3 2004Q2 2004Q1 2003Q4 2003Q3 2003Q2 KHR/USD 2003Q1 2007Q4 2007Q3 2007Q2 2007Q1 2006Q4 2006Q3 2006Q2 2006Q1 2005Q4 2005Q3 2005Q2 2005Q1 2004Q4 2004Q3 2004Q2 2004Q1 2003Q4 3800 2003Q3 5 2003Q2 3900 2003Q1 5.2 2007Q1 MMK/USD 5.4 Grafik 29. Nilai Tukar KHR/ASEAN+3 ACU (03-07) 11500 11000 LAK/ACU 10500 10000 LAK/USD 9500 9000 2003Q1 2003Q2 2003Q3 2003Q4 2004Q1 2004Q2 2004Q3 2004Q4 2005Q1 2005Q2 2005Q3 2005Q4 2006Q1 2006Q2 2006Q3 2006Q4 2007Q1 2007Q2 2007Q3 2007Q4 8500 Grafik 31. Nilai Tukar LAK/ASEAN+3 ACU (03-07) Dari Grafik 19 sampai dengan Grafik 31 menunjukkan perilaku masingmasing mata uang nasional yang berbeda. Dengan menetapkan benchmark ACU pada periode dasar, beberapa mata uang antara lain Singapura (SGD), Korea (KRW), Thailand (THB), Filipina (PHP), Brunei (BRD), dan Myanmar (MYK) mengalami trend apresiasi masing-masing mata uang lokal terhadap mata uang ASEAN+3 ACU. Sementara Jepang (JPY), Indonesia (IDR), Vietnam (VND), Kamboja (KHR), dan Laos (LAK) cenderung mengalami depresiasi mata uang lokalnya terhadap ASEAN+3 ACU. Jika dibandingkan dengan periode krisis ekonomi (1997-2002), pada periode pasca krisis ekonomi (2003-2007) terdapat enam mata uang negara-negara 97 anggota ASEAN+3 yang mengalami trend apresiasi terhadap ASEAN+3 ACU, padahal pada periode krisis hanya tiga nilai tukar saja. Sedangkan untuk mata uang yang mengalami depresiasi atau pelemahan nilai tukar ada lima negara, tidak seperti pada kondisi krisis ekonomi yang mencapai sepuluh negara. Pada periode ini pun seluruh mata uang ASEAN+3 ACU bergerak menembus koridor 2.25 persen, artinya perberlakuan bencmark rate sebesar 2.25 persen oleh EMS tidak bisa diterapkan pada periode pasca krisis ekonomi 20032007 di kawasan ASEAN+3 ini. Untuk itu perlu dilihat pada rentang berapa pergerakan mata uang masing-masing Negara Anggota ASEAN+3 dapat disepakati suatu koridor fluktuasi. Mengacu pada Tabel 25, nilai tukar domestik terhadap ASEAN+3 ACU yang memiliki pergerakan terkecil adalah Yuan China, Ringgit Malaysia, Kyat Myanmar dan Kip Laos yang berada pada rentang 2.25-6 persen. Sementara mayoritas fluktuasi nilai tukar negara-negara ASEAN+3 berada pada rentang 6-15 persen yang ditempati oleh Yen Jepang, Dollar Singapura, Bath Thailand, Peso Filipina, Dollar Brunei, dan Riel Kamboja. Sedangkan nilai tukar Won Korea, Rupiah Indonesia, dan Dong Vietnam berada pada koridor fluktuasi 15-20 persen. Berbeda dengan periode krisis ekonomi, pada periode pasca krisis ini rentang fluktuasi nilai tukar negara-negara ASEAN+3 relatif lebih kecil. Meskipun demikian, pemberlakuan benchmark rate seperti yang ditetapkan oleh Eropa (ERM) tidak dapat diberlakukan secara penuh karena tidak semua negara di ASEAN+3 berada pada koridor fluktuasi 15 persen. Kendati begitu, pada periode pasca krisis ekonomi, seluruh Bank Sentral di kawasan ASEAN+3 sebenarnya dapat melakukan kebijakan fluktuasi nilai tukar pada koridor pergerakan 25 persen. Hal ini dikarenakan fluktuasi nilai tukar seluruh negara-negara di Kawasan ASEAN+3 berada pada rentang tersebut. Namun, jika kawasan ASEAN+3 ingin menerapkan benchmark rate seperti yang dilakukan oleh Uni Eropa, yakni sebesar 15 persen, dibutuhkan intervensi khusus oleh Bank Sentral negara Korea, Indonesia, dan Vietnam dalam menjaga fluktuasi nilai tukarnya sampai pada koridor 15 persen. 98 V. PILIHAN PENGGUNAAN MATA UANG SETIAP NEGARA DI ASEAN+3 Berawal dari kesuksesan Uni Eropa dan dalam rangka menanggulangi krisis di masa yang akan datang, mendorong negara-negara ASEAN untuk menciptakan suatu single market. Pada KTT ASEAN ke-9 di Bali Tahun 2003 yang silam, para pemimpin ASEAN tersebut menyepakati sebuah penyatuan perekonomian yang dikenal dengan ASEAN Economic Community (AEC) yang ditargetkan akan diimplementasikan pada Tahun 2015 mendatang. Adanya rencana tersebut, bukan hanya untuk kalangan negara-negara ASEAN saja, melainkan diperluas ke Asia Timur yang melibatkan Negara-negara seperti China, Jepang, dan Korea. Perluasan kerjasama tersebut dikenal dengan nama ASEAN+3. Pembentukan AEC akan bermuara pada pembentukan Asian Currency Unit (ACU) atau satuan mata uang ASEAN, yang akan menjadi alat transaksi tunggal di kawasan ASEAN+3. Tetapi apakah kawasan ASEAN+3 sudah dapat menerapkan common currency area? Ada beberapa hasil penelitian yang dapat menjawab hal tersebut. Moon, Yoo dan Rhee (2000) menyimpulkan bahwa kondisi di Asia Tenggara dan Asia Timur tidak dapat mencapai hal tersebut berdasarkan kriteria OCA. Pendapat yang sama pun dikemukakan oleh Lee, Park, dan Sin (2002) yang meneliti bahwa kawasan tersebut untuk saat ini tidak tepat mengimplementasikan currency union. Sementara itu, Chow dan Kim (2000) serta Wyploz (2001) berpendapat bahwa kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara tidak dapat memenuhi prakondisi untuk menerapkan suatu monetary union dalam waktu dekat. Semua penelitian terkait tersebut menggunakan kriteria OCA dalam menyimpulkan kesiapan ASEAN+3 menjadi sebuah uni moneter regional. Dalam penelitian ini pun telah dibahas bagaimana kesiapan Negara-negara ASEAN+3 membentuk suatu uni moneter regional. Walaupun berbeda dengan beberapa penelitian yang menggunakan OCA, hasil dari penelitian ini mempunyai kesimpulan yang sama dengan menggunakan kriteria konvergensi Maastricht. Secara garis besar, benang merah yang dapat diambil dari hasil pembahasan sebelumnya bahwa kawasan ASEAN+3 belum layak untuk menjadi suatu uni 99 moneter regional karena belum terjadi integrasi secara menyeluruh pada kondisi saat ini. Sehingga untuk mencapai uni moneter regional dengan menerbitkan mata uang tunggal dalam kawasan masih memerlukan waktu yang panjang. Namun, proses pencapaian keaarah tersebut sudah mulai menunjukan beberapa kemajuan. Hal ini tercermin dari beberapa kesepakatan dalam melakukan berbagai upaya kerja sama untuk menuju komunitas ekonomi yang terintegrasi. Salah satu hasil kesepakatan yang terjalin antara lain keinginan menerapkan nilai tukar regional ACU dalam beberapa waktu mendatang. Proses konstruksi maupun implementasi ACU di kawasan ASEAN+3 pun sudah dikaji pada penelitian ini di Bab sebelumnya. Dengan mengadopsi mekanisme penerapan nilai tukar Eropa pada masa lampau, memberikan berbagai informasi menarik seputar pemberlakuan ACU di Kawasan ASEAN+3. Secara ekonomi tentu saja harus ada nilai tambah yang diberikan dari nilai tukar ACU dibandingkan dengan penggunaan nilai tukar domestik terhadap USD masing-masing negara anggota. Oleh sebab itu, fokus pembahasan bab ini adalah bagaimana suatu negara menentukan pilihan penggunaan mata uangnya, apakah menggunakan nilai tukar ACU atau tetap menggunakan mata uang domestiknya. Penentuan pilihan tersebut akan disimulasikan dengan menggunakan model VAR. Kesimpulan yang diperoleh adalah berdasarkan pergerakan indikator inflasi jika nilai tukar ACU dan mata uang domestik setiap negara di shock secara bersamaan. 5.1. Nilai Tukar (Exchange Rate) Nilai tukar mempunyai peran penting dalam rangka tercapainya stabilitas moneter dalam mendukung kegiatan ekonomi. Nilai tukar ini didefinisikan sebagai satuan mata uang terhadap mata uang lainnya. Kurs antara dua negara adalah tingkat harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan (Mankiw, 2003). 100 5.1.1. Bentuk Kerja sama Nilai Tukar Regional Negara-negara di kawasan ASEAN+3 saat ini menerapkan sistem nilai tukar yang bervariasi. Mulai dari sistem nilai tukar tetap (termasuk currency board), nilai tukar mengambang terkendali, hingga nilai tukar mengambang bebas. Untuk melihat sistem nilai tukar yang digunakan Negara-negara di ASEAN+3 disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Sistem Nilai Tukar Negara ASEAN+3 Negara Sistem Nilai Tukar Brunei Currency Board (pegged terhadap dollar Singapura) Kamboja Mengambang Terkendali China Mengambang Terkendali Indonesia Mengambang Bebas Jepang Mengambang Bebas Korea Selatan Mengambang Terkendali Laos Mengambang Terkendali Malaysia Mengambang Terkendali Myanmar Mengambang Terkendali (terhadap SDR) Filipina Mengambang Bebas Singapura Mengambang Terkendali Thailand Mengambang Terkendali Vietnam Mengambang Terkendali Sumber : IMF, Annual Report on Exchange Restrictions and Exchange Arrangements, 2007 dan ASEAN capital account 2007 Saat ini telah berkembang berbagai wacana dan studi mengenai kemungkinan pembentukan mata uang regional ASEAN+3 dengan mencari sistem nilai tukar bersama yang dapat memfasilitasi dan mempercepat integrasi moneter di kawasan ASEAN+3. Dalam hal ini, pengalaman Eropa dengan Sistem Moneter Eropa (European Monetary System-EMS) dengan menggunakan parallel currency ECU banyak digunakan sebagai referensi. Dalam masa transisi ke arah pencapaian common currency area yang diperkirakan akan memakan waktu yang panjang, terdapat tiga alternatif sistem 101 nilai tukar yang dapat dipertimbangkan untuk diadopsi, yaitu (i) sistem peg terhadap satu mata uang asing (single currency peg); (ii) sistem mata uang parallel (parallel currency) dan (iii) sistem peg terhadap sekeranjang mata uang mitra dagang (currency basket). 1. Single currency peg Single currency peg adalah sistem nilai tukar dengan mengkaitkan masingmasing mata uang negara anggota kawasan dengan satu mata uang negara lain yang ditetapkan sebagai mata uang jangkar (anchor currency) pada nilai yang tetap (fixed parity). Dalam konteks kerja sama nilai tukar ini, negara peserta kerjasama telah mencapai kata sepakat dan memutuskan bersama mengenai penetapan mata uang jangkar, apakah bersasal dari salah satu mata uang utama dunia (misalnya dollar AS, yen, atau euro) atau salah satu mata uang kawasan (misalnya : rupiah Indonesia atau dollar Singapura). Penentuan mata uang jangkar dalam rezim nilai tukar peg ini tergantung pada dua kriteria, yaitu : pertama, mata uang jangkar mendominasi perdagangan dan investasi di kawasan. Kedua, pesaing ekspor berlokasi di kawasan yang sama. 17 2. Parallel Currency Dalam sistem nilai tukar paralel terhadap penciptaan mata uang sintesis, di mana mata uang sintesis tersebut digunakan bersamaan dengan mata uang domestik masing-masing negara anggota. Mata uang sintesis tersebut dibentuk dari sekerangjang mata uang yang terdiri dari mata uang negara-negara di kawasan yang berpartisipasi dalam pembentukan sistem tersebut. Mata uang domestik masing-masing negara anggota kemudian dikaitkan kepada mata uang sintesis yang dijadikan mata uang bersama. Contoh populer penerapan parallel currency adalah ECU dalam EMS dan Special Drawing Rights (SDR) dari International Monetary Fund (IMF). 18 17 Kurniati, Y. 2007. Integrasi Keuangan dan Moneter di Asia Timur. Peluang dan Tantangan bagi Indonesia. (Eds). S. Arifin, R. Winantyo, dan Y. Kurniati. Kerjasama Perdagangan Internasionl. Bank Indonesia, Jakarta. 18 Ibid. 102 3. Currency Basket Sistem nilai tukar regional lainnya adalah Currency Basket Arrangement yang merupakan suatu sistem nilai tukar bersama di kawasan tempat masingmasing mata uang lokal negara anggota dalam kawasan dikaitkan terhadap sekeranjang mata uang yang terdiri dari mata uang mitra dagang utama (Kurniati, 2007). Sistem ini dirancang untuk menjamin kestabilan nilai tukar secara langsung terhadap mata uang mitra dagang utama, dan secara langsung terhadap mata uang negara anggota kerjasama nilai tukar. 5.1.2. Kerjasama Nilai Tukar di ASEAN+3 Kerja sama sepuluh negara ASEAN dengan China, Jepang, dan Korea yang selanjutnya disebut sebagai kelompok negara ASEAN+3, diawali dengan dideklarasikannya ”Pernyataan Bersama Kerja sama Asia Timur” pada tahun 1999. Adapun isi dari deklarasi tersebut berisi kesepakatan untuk meningkatkan dialog dan kerja sama di berbagai bidang, yang diawali dengan kerja sama proses surveillance ASEAN+3 yaitu Proses Review Ekonomi dan Dialog Kebijakan. Pada KTT ASEAN ke-7 di Brunei Darussalam bulan November 2001, para pemimpin ASEAN menyepakati perlunya penyusunan Roadmap untuk Integrasi ASEAN (RIA). Roadmap tersebut disusun secara sektoral yang menjabarkan tahapan-tahapan kegiatan yang jelas dengan indikator dan jangka waktu dari program tersebut, dengan tujuan akhir memperluas integrasi ekonomi ASEAN pada tahun 2020. Di bidang keuangan, RIA-financial disepakati dalam pertemuan ASEAN tingkat menteri keuangan (ASEAN Finance ministersAFMM) ke-7 di Makati City, Filipina, pada bulan Agustus 2003. RIA-financial meliputi empat sektor yang salah satunya adalah kerja sama nilai tukar (Currency Cooperation). Adapun Roadmap di bidang kerja sama nilai tukar bertujuan untuk mewujudkan kerja sama mata uang yang lebih erat untuk meningkatkan perdagangan intra kawasan dan memperdalam integrasi ekonomi regional. Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk merealisasikan tujuan tersebut, hingga saat ini masih sebatas pada kajian atau studi untuk melihat bagaimana 103 kemungkinan interim currency arrangement. Hasil kajian yang telah dilakukan oleh ASEAN pada tahun 2002 menghasilkan beberapa kesimpulan. Hasil studi yang dimaksud menunjukkan kondisi negara-negara ASEAN saat ini belum siap untuk membentuk common currency, karena belum dapat memenuhi beberapa prasyarat pembentukannya. Hal ini disebabkan antara lain karena masih lemahnya konvergensi makroekonomi, celum memadainya regional institutional framework dan relatif masih rendahnya perdagangan intra kawasan ASEAN, serta tingginya kekhawatiran akan hilangnya sovereignty atas kebijakan nasional. Pergerakan ke arah single currency akan melalui banyak tahapan bila tujuan monetary union yang sustainable ingin dicapai. Khususnya terdapat kebutuhan untuk trust building dan penciptaan komitmen politik yang tinggi. Studi berikutnya yang dilakukan oleh ASEAN adalah pada tahun 20042006 untuk mencari peluang terbentuknya currrency arrangement yang dapat memfasilitasi dan mempromosikan perdagangan intra-kawasan dan memperdalam integrasi ekonomi regional. Hasil studi yang dimaksud, menyimpulkan bahwa adanya kerja sama nilai tukar di kawasan ASEAN memang sangat diperlukan terutama untuk mencapai stabilitas keuangan regional. Namun demikian, berbagai arrangement nilai tukar saat ini masih belum dilaksanakan. 5.1.3. Nilai Tukar dan Inflasi Dalam penelitian ini, pilihan penentuan mata uang yang tepat bagi setiap negara ASEAN+3 adalah berdasarkan simulasi yang menggunakan Model VAR. Nilai tukar ACU dan mata uang domestik setiap negara anggota ASEAN+3 akan di schok secara bersamaan dan dilihat bagaimana prilaku inflasi setiap negara anggota ASEAN+3 dengan adanya shock tersebut. Landasan menggunakan variabel inflasi sebagai tolah ukurnya karena inflasi merupakan empat indikator makroekonomi penting, selain pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan balance of payment (Blanchard, 2007). Nilai tukar mempunyai pengaruh terhadap variabel inflasi. Suatu negara yang menyerahkan nilai tukarnya kepada pasar, berarti keleluasaan aliran modal dan perdagangan internasional sehingga nilai tukar dan harga-harga akan bergerak dengan keterkaitan yang erat. Nilai tukar dapat mempengaruhi harga-harga 104 konsumen domestik secara langsung melalui pengaruhnya terhadap permintaan domestik dan permintaan eksternal bersih atau ekspor (Simorangkir dkk, 2004). Mekanisme transmisi tersebut secara sistematis dapat dilihat pada Gambar 4. Mekanisme transmisi permintaan domestik dapat terjadi melalui perubahan harga relatif antara harga barang domestik dengan harga barang impor. Kenaikkan harga barang impor terjadap harga barang di dalam negeri akibat depresiasi mengakibatkan masyarakat cenderung untuk membeli lebih banyak barang di dalam negeri. Kenaikkan permintaan tersebut mendorong kenaikkan harga barang-barang di dalam negeri. Transmisi tidak langsung terjadi melalui permintaan luar negeri (ekspor) berawal dari perubahan harga barang impor dan ekspor. Tidak Langsung Permintaan Domestik Permintaan Total Permintaan LN Nilai Tukar Inflasi Langsung Harga Impor Gambar 4. Mekanisme Transmisi Nilai Tukar ke Inflasi Sumber : Sumorangkir (2004) Devaluasi nilai tukar mengakibatkan harga barang impor lebih mahal dan harga barang ekspor lebih murah. Kenaikkan harga barang impor ini dapat menekan jumlah barang impor, sedangkan penurunan harga barang ekspor dapat meningkatkan ekspor. Kedua faktor ini secara simultan akan meningkatkan permintaan luar negeri yang selanjutnya meningkatkan total permintaan agregat dan akhirnya meningkatkan laju inflasi. 105 5.2. Pilihan Penggunaan Mata Uang ASEAN+3 Seluruh negara dalam kawasan ASEAN+3 perlu diidentifikasi apakah cukup layak untuk menggati mata uangnya menjadi mata uang ACU ASEAN+3 atau tetap menggunakan mata uang domestiknya. Oleh karena itu, dengan analisis VAR atau VECM ini dapat diketahui bahwa suatu negara sudah siap untuk mengganti mata uangnya dengan ACU ASEAN+3 atau belum siap dalam waktu dekat. Peubah yang digunakan dalam analisis ini adalah nilai tukar mata uang dari ASEAN+3 terhadap Dollar, mata uang ACU ASEAN+3 yang telah dibentuk dengan metode weighted average, dan variabel inflasi. Adapun alasan penggunaan ketiga variabel ini adalah untuk memperoleh nilai tukar kuat jika terjadi guncangan pada kondisi lingkungan ekonomi. Oleh karena itu pemilihan terhadap dua variabel, yaitu ACU ASEAN+3 dan nilai tukar mata uang lokal terhadap dollar (USD) tersebut diuji dengan memberikan shock terhadap kedua variabel tersebut dan dilihat dampaknya terhadap pergerakan inflasi. Inflasi merupakan salah satu indikator makroekonomi yang menjadi target dan pengawasan terhadap perkembangan kondisi makro setiap negara. Inflasi juga erat kaitannya dengan daya beli suatu negara serta volatilitas nilai tukar suatu negara. Sebelum melakukan estimasi VAR atau VECM, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan, yaitu pengujian pra-estimasi. Pengujian-pengujian tersebut antara lain uji stationeritas data, uji kointegrasi variabel non stasioner, dan penentuan lag optimal. Beberapa pengujian tersebut dimaksudkan untuk memperoleh model yang tepat dan dapat dijadikan acuan pemilihan model. 5.2.1 Uji Stasioneritas Data Langkah awal yang harus dilakukan adalah memeriksa kestasioneritasan semua peubah. Untuk melihat kestationeritasan data dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 27. Berdasarkan Tabel 27, untuk mata uang ACU ASEAN+3 yang stasioner pada taraf 5 persen adalah negara Korea, Indonesia, dan Thailand. Pada variabel Inflasi negara Indonesia, Thailand, dan Vietnam stasioner pada taraf 5 persen. Sementara untuk peubah mata uang lokal terhadap USD yang stasioner pada taraf 5 persen hanya negara Thailand dan Vietnam saja. 106 Tabel 27. Hasil Pengujian Unit Root, dengan Augmented Dickey-Fuller (ADF) Negara China Jepang Korea Indonesia Malaysia Singapura Thailand Filipina Vietnam Brunei Myanmar Kamboja Laos ACU ASEAN+3 Inflasi Mata Uang Lokal -1.33515 -1.502 9.034861 -1.05712 -2.02148 -3.06087 -3.21277* -2.40987 -2.63782 -2.9314* -3.12524* -2.32103 -2.58829 -2.79263 -0.59116 -1.44833 1.380338 -1.6589 -3.00547* -3.02102* -4.55226* -2.00909 -2.39796 -0.88545 -0.11849 -5.92549* -5.4995* -1.44833 -3.52137 -1.31206 -1.94908 -2.87726 -0.12323 -0.95062 -1.502 -0.73944 -2.4379 -1.2709 1.568343 Keterangan : Uji stationeritas data pada tingkat level (*) Stasioner pada taraf 5 % 5.2.2. Uji Kointegrasi Variabel Non-Stationer Uji kointegrasi dilakukan karena peubah yang ada dalam model tidak stationer pada tingkat level. Hal ini mengakibatkan, besarnya kemungkinan akan terjadi kointegrasi, yang berarti terdapat hubungan jangka panjang diantara kedua peubah tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji kointegrasi Johansen. Hasil uji pada ranknya tertera pada Lampiran 1. Namun, pada Tabel 28 dapat dilihat hasil uji kointegrasi Johansen, menurut setiap negara. 107 Tabel 28. Hasil Uji Kointegrasi Johanssen Negara Rank Cointegration Kesimpulan China 1 (satu) Ada Kointegrasi Jepang 1 (satu) Ada Kointegrasi Korea 0 (nol) Tidak Ada Kointegrasi Indonesia 0 (nol) Tidak Ada Kointegrasi Malaysia 1 (nol) Ada Kointegrasi Singapura 0 (nol) Tidak Ada Kointegrasi Thailand 0 (nol) Tidak Ada Kointegrasi Filipina 0 (nol) Tidak Ada Kointegrasi Vietnam 0 (nol) Tidak Ada Kointegrasi Brunei 1 (satu) Ada Kointegrasi Myanmar 1 (satu) Ada Kointegrasi Kamboja 0 (satu) Tidak Ada Kointegrasi Laos 1 (nol) Ada Kointegrasi Berdasarkan Tabel 28, hasil uji kointegrasi tersebut menunjukkan bahwa terjadi kointegrasi pada peubah negara China, Jepang, Malaysia, Brunei, Myanmar, dan Laos. Hal ini ditunjukkan dengan λtrace yang lebih besar dari nilai kritisnya pada taraf 5 persen dalam rank nol, sehingga harus digunakan model VEC. Sementara negara-negara seperti Korea, Indonesia, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Kamboja tidak mempunyai kointegrasi dalam peubahnya menggunakan model VAR dengan ordo satu. 5.2.3. Penentuan Lag Optimal Langkah selanjutnya adalah menentukan lag optimal yang akan digunakan dalam estimasi. Dengan memeriksa stabilitas model, maka diperoleh panjang lag maksimum yang akan digunakan. Pada penelitian ini, setiap negara mempunyai panjang lag yang berbeda sehingga terbentuk masing-masing model yang berbeda. Oleh karena itu perlu diperiksa AIC, Adjusted R2, dan SIC untuk memperoleh model terbaik setiap negara. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Sementara untuk model yang terbentuk dapat dilihat pada Tabel 29. 108 Tabel 29. Model VAR yang Terbentuk Negara Peubah Model China ACU_CNY INF_CNY USD_CNY VECM (1) Rank-2 Jepang ACU_JPY INF_JPY USD_JPY VECM (2) Rank-2 Korea ACU_KRW INF_KRW USD_KRW VAR (1) 1st Difference Indonesia ACU_IDR INF_IDR USD_IDR VAR(2) 1st Difference Malaysia ACU_MYR INF_MYR USD_MYR VECM (2) Rank 1 Singapura ACU_SGD INF_SGD USD_SGD VAR (1) 1st Difference Thailand ACU_THB INF_THB USD_THB VAR (1) 1st Difference Filipina ACU_PHP INF_PHP USD_PHP VAR (1) 1st Difference Vietnam ACU_VND INF_VND USD_VND VAR(1) 1st Difference Brunei ACU_BRD INF_BRD USD_BRD VECM(1) Rank 1 Myanmar ACU_MYK INF_MYK USD_MYK VECM(2) Rank 1 Kamboja ACU_KHR INF_KHR USD_KHR VAR(1) 1st Difference Laos ACU_LAK INF_LAK USD_LAK VECM(2) Rank 1 Berdasarkan Tabel 29, setiap negara mempunyai model terbaik yang berbeda. Negara China, Jepang, Malaysia, Brunei, Myanmar dan Laos menggunakan VECM. Sementara Negara Korea, Indonesia, Singapura, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Kamboja menggunakan Model VAR. Penggunaan model setiap negara ASEAN+3 ini mempunyai lag yang berbeda, hal ini dikarenakan lag yang terbentuk dipilih berdasarkan pemilihan model yang optimal/terbaik. 5.2.4. Impulse Response Functions Informasi yang dapat diperoleh dari tiap-tiap nilai tukar negara-negara ASEAN+3 dalam keterkaitannya dengan mata uang ACU ASEAN+3 maupun nilai tukar mata uang domestik terhadap USD, adalah dengan melakukan penelusuran pola, seperti yang dilakukan dengan IRF. Guncangan terhadap suatu peubah tidak hanya secara langsung mempengaruhi peubah tersebut tetapi juga ditansmisikan kepada semua peubah yang ada melalui struktur dinamis pada model. 109 IRF dapat melacak efek perubahan suatu peubah suatu waktu, terhadap peubah lainnya pada waktu sekarang dan waktu mendatang. P3njelasan ini dapat dilihat dalam bentuk grafik respons impulse pada Grafik 32. Response of INF_CNY to Cholesky One S.D. Innovations Response of INF_JPY to Cholesky One S.D. Innovations 10 .24 0 .20 -10 .16 -20 -30 .12 -40 .08 -50 .04 -60 5 10 15 20 25 ACU_CNY 30 35 40 .00 5 10 USD_CNY 15 20 ACU_JPY 25 30 35 40 35 40 35 40 USD_JPY Response of INF_IDR to Cholesky One S.D. Innovations Response of INF_KRW to Cholesky One S.D. Innovations 5 .5 4 .4 3 .3 2 .2 1 .1 0 .0 -1 -2 -.1 5 10 15 20 USD_KRW 25 30 35 5 40 10 15 20 ACU_IDR ACU_KRW 25 30 USD_IDR Response of INF_SGD to Cholesky One S.D. Innovations Response of INF_MYR to Cholesky One S.D. Innovations .10 .0020 .05 .0015 .00 .0010 -.05 .0005 .0000 -.10 -.0005 -.15 -.20 -.0010 5 10 15 20 ACU_MYR 25 30 USD_MYR 35 40 5 10 15 20 ACU_SGD 25 30 USD_SGD 110 Response of INF_PHP to Cholesky One S.D. Innovations Response of INF_THB to Cholesky One S.D. Innovations .5 .005 .4 .004 .3 .003 .2 .002 .1 .001 .0 -.1 .000 2 4 6 8 10 12 ACU_THB 14 16 18 5 20 10 15 20 25 ACU_PHP USD_THB Response of INF_VND to Cholesky One S.D. Innovations 30 35 40 35 40 USD_PHP Response of INF_BRD to Cholesky One S.D. Innovations .0015 .0014 .0010 .0012 .0005 .0010 .0000 .0008 -.0005 .0006 -.0010 .0004 -.0015 .0002 -.0020 .0000 5 10 15 20 25 ACU_VND 30 35 40 5 10 USD_VND 15 20 ACU_BRD 25 30 USD_BRD Response of INF_KHR to Cholesky One S.D. Innovations Response of INF_MYK to Cholesky One S.D. Innovations .006 .08 .06 .004 .04 .002 .02 .00 .000 -.02 -.002 -.04 -.004 -.06 -.006 -.08 5 10 15 20 ACU_MYK 25 30 USD_MYK 35 40 5 10 15 20 ACU_KHR 25 30 35 40 USD_KHR 111 Response of INF_LAK to Cholesky One S.D. Innovations .20 .15 .10 .05 .00 -.05 -.10 -.15 -.20 5 10 15 20 ACU_LAK 25 30 35 40 USD_LAK Grafik 32. Grafik Impulse Response Function terhadap Inflasi setiap Negara ASEAN+3 Berdasarkan Grafik 32 di atas, semua negara ASEAN+3 mempunyai pengaruh guncangan yang berbeda untuk mata uang ACU ASEAN+3 dan mata uang domestik terhadap variabel inflasi. Dari keterangan pada gambar tersebut ada beberapa negara yang sudah layak untuk mengganti mata uangnya dengan mata uang ACU ASEAN+3 dan ada beberapa negara yang lebih baik menggunakan mata uang domestiknya sendiri. Hal ini didasarkan bahwa jika terjadi guncangan pada salah satu mata uang tersebut maka mata uang mana yang dapat meminimalisir terjadinya inflasi yang semakin buruk. Oleh karena itu, kelayakan penentuan mata uang untuk setiap negara ASEAN+3 berdasarkan pergerakan inflasi terendah dalam jangka panjang akan disimpulkan pada pembahasan ini. Secara ringkas penentuan tersebut dapat dilihat pada Tabel 30. 112 Tabel 30. Pilihan Mata Uang Masing-Masing Negara ASEAN+3 No. Negara Mata Uang 1 China Domestik (Yuan) 2 Jepang ACU 3 Korea ACU 4 Indonesia ACU 5 Malaysia ACU 6 Singapura Domestik (Dollar) 7 Thailand ACU 8 Filipina ACU 9 Vietnam ACU 10 Brunei 11 Myanmar ACU 12 Kamboja ACU 13 Laos ACU Domestik (Dollar) Berdasarkan Tabel 30, terdapat tiga negara yang lebih baik menggunakan nilai tukar mata uang domestiknya terhadap USD daripada menggunakan mata uang ACU, yakni Cina, Singapura, dan Brunei Darussalam. Sementara Jepang, Korea, Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Myanmar, Kamboja dan Laos lebih layak menggunakan mata uang ACU ASEAN+3. Hasil ini menjawab permasalahan bahwa dengan adanya koordinasi penggunaan mata uang di suatu kawasan dapat meminimalisir kondisi buruk perekonomian suatu negara. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa ketika terjadi Krisis Ekonomi dan Moneter yang melanda Asia pada tahun 1998 menyebabkan kondisi perekonomian beberapa negara Asean dan Asia Timur memburuk. Hal ini dikarenakan tidak adanya pembagian resiko dari dampak krisis tersebut. Indikator perekonomian seperti inflasi dan nilai tukar mengalami pelemahan selama periode krisis. Namun dengan adanya integrasi perekonomian melalui penerapan ACU, penggunaan nilai tukar bersama ini dapat meminimalisir dampak buruk krisis melalui suatu pengujian, seperti pada penelitian ini. 113 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Penelitian ini secara umum mengkaji penerapan Asian Currency Unit (ACU) sebagai mata uang parallel ASEAN+3. Tujuannya selain melihat kesiapan kawasan ASEAN+3 menuju integrasi ekonomi secara penuh juga mengkonstruksi nilai tukar ACU di kawasan ASEAN+3 dan melihat keuntungan setiap negara di ASEAN+3 jika menerapkan nilai tukar ACU di kawasan ini. Dalam analisis ini secara umum dibagi dalam dua periode waktu penelitian antara lain : (i) periode krisis ekonomi (1997-2002), dan (ii) periode pasca krisis ekonomi (2003-2007). Penelitian ini memfokuskan bahasan pada tiga belas negara ASEAN+3 yang akan menuju sebuah masyarakat ekonomi yang terstruktur dan terintegrasi secara penuh. Adapun beberapa kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut : 1. Berdasarkan kriteria konvergensi Maastricht Treaty untuk menuju suatu uni moneter regional seperti yang dilakukan oleh Uni Eropa, hasil yang diperoleh antara lain : (i) pada periode krisis ekonomi (1997-2002) hanya negara China yang yang memenuhi empat kriteria konvergensi, dan (ii) pada periode pasca krisis ekonomi (2003-2007) kembali hanya China yang memenuhi empat kriteria konvergensi. Hal ini tentu saja mengindikasikan bahwa kondisi saat ini bukanlah saat yang tepat bagi negara-negara di kawasan ASEAN+3 membentuk sebuah uni moneter regional kawasan. 2. Untuk pembobotan nilai tukar ACU diperoleh bahwa pada periode krisis ekonomi (1997-2002), bobot pembentukan mata uang ACU ASEAN+3 dikuasi oleh tiga negara plus three sebesar 68 persen dari total keseluruhan bobot mata uang, antara lain Jepang (30.4 persen), China (30.1 persen), dan Korea (8.3 persen). Sementara periode pasca krisis ekonomi (20032007), bobot pembentukan mata uang ACU ASEAN+3 tidak lagi dikuasi oleh negara-negara plus three. Pada periode ini komposisi bobot terbesar secara berturut-turut dikuasai oleh China (38.1 persen), Jepang (25.0 persen), dan Singapura (7.2 persen). 114 3. Secara umum pada periode 1997-2002 mata uang ACU mengalami depresiasi terhadap nilai tukar US Dollar. Sementara pada periode 20032007, mata uang ACU mengalami apresiasi terhadap nilai tukar dollar. 4. Di Eropa terdapat Exchange Rate Mechanism, yakni penentuan benchmark rate untuk koridor fluktuasi mata uang setiap negara. Dalam penelitian ini diperoleh bahwa pada periode 1997-2002 tidak dapat ditentukan benchmark rate sebesar 2.25 persen, 6 persen, maupun 15 persen seperti yang dilakukan oleh Eropa karena pergerakan seluruh mata uang anggota bergerak melebihi koridor fluktuasi tersebut. Sementara pada periode 2003-2007 kembali tidak ada negara yang benchmark rate-nya berada pada koridor 2.25 persen. Namun, pada periode ini dapat diberlakukan koridor fluktuasi sebesar 25 persen. 5. Hasil estimasi dari penelitian ini pun menunjukkan bahwa ada tiga negara yang tepat menggunakan mata uang ACU ASEAN+3 karena dapat meminimalisir fluktuasi inflasi jika terjadi shock pada nilai tukar ACU dan mata uang domestiknya. Ketiga negara tersebut antara lain, China, Singapura, dan Brunei Darussalam. Sementara itu untuk negara-negara seperti Jepang, Korea, Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Brunei, Myanmar, Kamboja dan Laos lebih tepat menggunakan mata uang domestiknya daripada menggunakan nilai tukar ACU. 6.2. Implikasi Kebijakan Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan yang telah dilakukan, beberapa arahan kebijakan yang disarankan antara lain : 1. Kondisi kerja sama kawasan ASEAN+3 baru memasuki tahapan Free Trade Area. Untuk meningkatkan integrasi ekonomi yang lebih jauh, kawasan ini diharapkan segera menghapus hambatan perdagangan bagi perdagangan intra-kawasan, baik untuk barang dan jasa, sekaligus menciptakan timeline untuk mencapai sebuah pasar tunggal. 2. Diperlukan keseriusan kawasan dalam menjaga stabilitas nilai tukar regional untuk meningkatkan integrasi ekonomi. Hal-hal yang perlu ditindaklajuti adalah pemenuhan prakondisi yang diperlukan melalui 115 pendalaman upaya komitmen bersama, dengan menentukan roadmap kerja sama nilai tukar dalam sebuah kerangka waktu tertentu. 6.3. Saran Penelitian Lebih Lanjut Adapun beberapa saran penelitian lebih lanjut untuk menambah informasi kesiapan negara-negara di ASEAN+3 menuju integrasi ekonomi secara penuh maupun penerapan mata uang ACU antara lain : 1. Kondisi integrasi yang terjadi di kawasan ASEAN+3 pada saat ini baru memasuki tahapan FTA (Free Trade Area). Untuk mencapai suatu integrasi ekonomi dan moneter secara penuh harus melalui beberapa tahapan antara lain : tahap custom union, common market, dan economic union iteration. Oleh karena itu diharapkan ada penelitian-penelitian mengenai tahapan integrasi ekonomi dan moneter yang dimaksud. 2. Dalam pembentukan nilai tukar ACU, diharapkan adanya penelitian lanjutan yang memasukkan variabel-variabel bobot selain variabel bobot yang ada dalam penelitian ini dalam pembentukan ACU. Akan lebih baik juga apabila penelitian selanjutnya memperbanyak observasi negara serta menggunakan rentang data yang lebih panjang. 3. Diperlukannya penelitian lanjutan yang menganalisis kegunaan ACU bagi indikator/variabel ekonomi seluruh negara anggota ASEAN+3, tidak seperti dalam penelitian ini yang hanya menganalisis keuntungan penggunaan mata uang ACU berdasarkan pergerakan inflasi. 116 DAFTAR PUSTAKA Asian Development Bank. 2008. Kebangkitan Regionalisme Asia : Kemitraan Bagi Kemakmuran Bangsa. Baele, Lieven, Annalisa Ferrando, Peter Hordahl, Elizaveta Krylova dan Cyril Monner. 2004. Measuring Financial Integration in the Euro Area. European Central Bank Occasional Paper Series No. 14/April/2004. European Central Bank. Baharumshah, A. Z. dan M. S. Habibullah. 2006. Toward Greater Financial Stability in The Asia Region : Exploring Step to create Regional Monetary Unit. Center for Economic Integration and Departement of Economincs, Faculty of Economics and Management. Universiti Putra Malaysia. Baltagi, Badi H. 2006. Panel Data Econometrics : Theoritical Conteribution and Empirical Applications. First Edition. Elsevier, Amsterdam. Bela, Balassa. 1976. Types of Economic Integration, World Bank Reprint Series, No. 69, Washington, D. C. p.29 Blanchard, Oliuver. 2006. Macroeconomics, Third Edition, Massachusetts Intstitute of Technology, Prantice Hall – Pearson Education International Bregman, M. 2000. The Optimum Currency Area Criteria. University of Copenhagen. International Monetary Economics. Broz, T. 2005. The Theory of Optimum Currency Area Criteria. University of Copenhagen. International Monetary Economics. Damanhuri, Didin S. 2008. Indonesia, Globalisasi Perekonomian dan Kejahatan Ekonomi Internasional. Working Paper Series No. 13/A/III/2008. Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institur Pertanian Bogor. De Grauwe, Paul. 2006. What Have We Learnt About Monetary Integration Since the Maastricht Treaty?. Journal of Common Market Studies. Dwisaputra, R. 2007. Kerjasama Perdagangan Regional. (Eds). S. Arifin, D.E. Rae, dan C.P.R Joseph. Kerjasama Perdagangan Internasional. Bank Indonesia, Jakarta. Elliot, R J R. dan K. Ikemoto. 2004. AFTA and The Asian Crisis : Help or Hindarnce to ASEAN Intra-Regional Trade?. The School of Economics Discussion Paper. Economics, The University of Manchaster 117 Falianty, T.A. 2006. Optimum Currency Area : Studi Kasus di Negara ASEAN-5 [Desertasi]. Fakultas Ilmu Ekonomi: Universitas Indonesia, Jakarta. Griffin, R. W. dan M. W. Pustay. 2002. International Business : A Managerial Perspective (3rd Edition). Upper Saddle River : Prentice Hall. Gros, D dan N Thygesen. 1998. European Monetary Integration: From the EMS to EMU. 2nd Edition. New York: Longman. Gupta, A. S. dan Amitendu Palit. 2008. Feasibility of an Asian Currency Unit. Indian Council for Research on International Economics Relations. Hsiao, Cheng. 2004. Analysis of Panel Data. Second Edition. Cambridge University Press, Cambridge. Johnston, Barry. (1997). The Speed of Financial Sector Reform: Risks and Strategies (in: Sequencing Financial Strategies for Developing Countries, ed. by Alison Harwood and Bruce Smith), Brookings Institution Press, Washington, D.C. Jovanovic, Miroslov N. 1997. European Economic Integration : Limits and Prospect. London and New York : Routledge. Kawai, M. dan S. Takagi. 2005. Strategy for a Regional Exchange Rate Arrangement in East Asia : Analysis, Review and Proposal. Global Economic Review 34 (1): 21-64. Kim, Inchul. 2007. The Evolutionary Process of East Asia’s Monetary Integration. The International Journal of Economics Policy Studies. Volume 2. http://wwwsoc.nii.ac.jp/jepa/ijeps/contents/2007/articles/KimIJEPS07.pdf Kondo, Takehiro. Toward a Conmmon Currency for the Asia-Pasific Region. Tersedia secara online dalam www.jetro.go.jp/ec/e/report/AsiaPasific_common currency.pdf. Kucerova, S. 2003. The OCA Theory and its Application to Central and Eastern European Candidate Countries. Departement of Macroeconomic. Faculty of Economic. Technical University of Oatrawa. Kurniati, Y. 2007. Integrasi Keuangan dan Moneter di Asia Timur. Peluang dan Tantangan bagi Indonesia. (Eds). S. Arifin, R. Winantyo, dan Y. Kurniati. Kerjasama Perdagangan Internasionl. Bank Indonesia, Jakarta. Kuroda, Haruhiko. (2004). Transitional Steps in the Road to a Single currency in East Asia. Asian Development Bank. 118 Lall, S. V., dan Yilmaz, S. 2000. Regional Economic Convergence : Do Policy Instruments Make a Difference?. The Institute of Public Policy. George Mason University. Lindert, P. dan Charles P. Kindlebergen. 1995. Ekonomi Internasional (International Economics). Eight Edition. Erlangga. Jakarta. Mankiw, G. 2003. Teori Makroekonomi (Macroeconomics). Edisi Kelima. Erlangga. Jakarta. . 2006. Macroeconomics. Sixth Edition, Harvard University. McKinnon, Ronald I. Optimum Currency Area. The American Economic Review, Vol. 53, No. 4. (Sep., 1963), pp. 717-725. McKinnon, Ronald I. After the Crisis, the East Asian Dollar Standard Resurrested: An Interpretation of High Frequency Exchange Rate Pegging. Stanford University. McLeod, Ross H. 1996. Indonesia Foreign Debt : Headed for Crisis of Finance Sustainable Growth. BIES, 31. Mittal, R. 2004. Asean Monetary Union-A Possibillity ? A comparison of ASEAN economic indicators with that of Euro Zone. Public Policy Department Stanford University. Mundell, R. 1961. A Optimum Currency Area Theory. American Theory of Economic Review, 51, pp. 657-665. Moon, W. dan Y. Rhee. 2007. Regional Currency Unit and Exchange Rate Coordination in East Asia. The Kyoto Economic Review 76(1): 53-66 (June 2007). Ogawa, Eiji dan Junko Shimizu. 2005. A Deviation Measure for Coordination Exchange Rate Policies in East Asia. RIETI Discussion Paper Series 05E-017. Plummer, Michael G. 2005. Creating an ASEAN Economic Community : Lessons from the EU and Reflection on the Roadmap. Dalam Denis Hew (Ed.), Roadmap to an ASEAN Economic Community (pp. 31-59). ISEAS. Singapore. Redelet, S. dan J. Sachs. 1998. The East Asian Financial Crises : Diagnosis, Remedies, Prospect. Brooking Paper on Economic Activity. Washington, DC : Brooking Institute. Rose, Andrew K. 2004. Do We Really Know That the WTO Increase Trade?. The American Economic Review, 94, 98-115. 119 Sachs, Jeffrey. 2008. Managing Global Capitalism. Keynote Spech on 24 October 2008. Copland Theatre, University of Melbourne. Australia Sala-i-Martin. 1996. Regional cohesion: Evidence and theories of regional growth and convergence. European Economic Review 40, 1325-1352. Satria, Dias. 2008. Modal Manusia dan Globalisasi. Tersaji di http://www.diassatria.web.id/wp-content/uploads/2008/12/jurnal-indefsubsidi.pdf Sen, Amartya. 2002. Aturan-aturan Curang dan Standar Ganda Perdagangan, Globalisasi, dan Perjuangan Melawan Kemiskinan. Ringkasan Eksekutif Make Trade Fair. Oxfarm International. Sholihah dan Saichu. 2007. Tinjauan Teoritis Integrasi Keuangan Regional. (Eds). S. Arifin, R. Winantyo, dan Y. Kurniati. Kerjasama Perdagangan Internasional. Bank Indonesia, Jakarta. Simonangkir, I dan Suseno. 2004. Seri Kebanksentralan : Sistem Kebijakan dan Nilai Tukar. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia, Jakarta. Soesastro, H. 2007. Kebijakan Persaingan, Daya Saing, Liberalisasi, Globalisasi, Regionaliasasi, dan Semua itu. Economics Working Paper Series CSIS, Jakarta. Van Ypersele, J. 1989. The European Monetary System. Commision of the European Communities: Brussel. Verbeek, Marno. 2004. A Guide to Modern Economics. Second Edition Jhon Willey and Sons Ltd. England. 120 LAMPIRAN 121 Lampiran 1. Hasil Uji Kointegrasi CINA Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 At most 2 0.523114 0.333739 0.154848 53.90640 23.54680 6.897793 42.91525 25.87211 12.51798 0.0028 0.0948 0.3553 Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values JEPANG Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 At most 2 0.523597 0.334984 0.127743 52.73036 22.32925 5.603536 42.91525 25.87211 12.51798 0.0040 0.1297 0.5122 Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values KOREA Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None At most 1 At most 2 0.341557 0.144045 0.085619 27.84276 10.29190 3.759317 35.01090 18.39771 3.841466 0.2370 0.4528 0.0525 Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values 122 Malaysia Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 At most 2 0.549515 0.188476 0.076328 45.59816 12.10607 3.334736 35.01090 18.39771 3.841466 0.0026 0.3012 0.0678 Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values SINGAPURA Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None At most 1 At most 2 0.419918 0.239325 0.002135 34.45148 11.57886 0.089784 35.01090 18.39771 3.841466 0.0573 0.3413 0.7644 Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values FILIPINA Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None At most 1 At most 2 0.443288 0.201298 0.022320 34.98796 10.38828 0.948043 35.01090 18.39771 3.841466 0.0503 0.4438 0.3302 Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values 123 Myanmar Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 At most 2 0.487981 0.260051 0.144558 47.32157 19.20708 6.557765 42.91525 25.87211 12.51798 0.0170 0.2687 0.3929 Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Brunei Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 At most 2 0.448669 0.199725 0.039152 36.04263 11.03501 1.677422 35.01090 18.39771 3.841466 0.0386 0.3861 0.1953 Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values KAMBOJA Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None At most 1 At most 2 0.331384 0.158210 0.017504 24.88207 7.975140 0.741694 35.01090 18.39771 3.841466 0.3906 0.6854 0.3891 Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values 124 Laos Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 At most 2 0.471743 0.205446 0.017106 37.18687 10.38360 0.724656 24.27596 12.32090 4.129906 0.0007 0.1034 0.4531 Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Catatan : Negara Indonesia, Thailand, dan Vietnam tidak dilakukan uji kointegrasi. Hal ini dikarenakan terdapat dua atau lebih peubah yang stasioner pada tingkat level. Lampiran 2. Hasil Estimasi Model CINA Vector Error Correction Estimates Date: 01/12/10 Time: 21:30 Sample (adjusted): 1997Q3 2007Q4 Included observations: 42 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq: CointEq1 CointEq2 ACU_CNY(-1) 1.000000 0.000000 INF_CNY(-1) 0.000000 1.000000 USD_CNY(-1) -12.74868 (3.77027) [-3.38137] -161.6142 (48.7780) [-3.31326] @TREND(97Q1) 0.044864 (0.03932) [ 1.14102] 1.681887 (0.50869) [ 3.30630] C 95.77820 1282.865 Error Correction: D(ACU_CNY) D(INF_CNY) D(USD_CNY) 125 CointEq1 -0.258790 (0.07288) [-3.55086] 1.271650 (0.62600) [ 2.03140] -0.004559 (0.00668) [-0.68206] CointEq2 0.019195 (0.00499) [ 3.84630] -0.087059 (0.04286) [-2.03107] -0.000417 (0.00046) [-0.91026] D(ACU_CNY(-1)) 0.130604 (0.15757) [ 0.82884] -2.388380 (1.35345) [-1.76466] 0.016985 (0.01445) [ 1.17519] D(INF_CNY(-1)) -0.024271 (0.01964) [-1.23587] 0.038748 (0.16869) [ 0.22970] 0.000618 (0.00180) [ 0.34292] D(USD_CNY(-1)) 1.998475 (2.14712) [ 0.93077] -15.27260 (18.4422) [-0.82813] 0.056938 (0.19694) [ 0.28912] C 0.035570 (0.05440) [ 0.65387] -0.199091 (0.46725) [-0.42609] -0.019475 (0.00499) [-3.90304] 0.318687 0.224061 2.367837 0.256463 3.367835 0.794130 0.247899 0.496137 0.000407 0.291146 0.236742 0.130734 174.6893 2.202834 2.233245 -89.52754 4.548930 4.797169 0.069496 2.362683 0.713750 0.673993 0.019920 0.023523 17.95280 101.1320 -4.530094 -4.281856 -0.020476 0.041199 Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion 0.000145 9.11E-05 16.59439 0.447886 1.523586 R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent JEPANG Vector Error Correction Estimates Date: 01/12/10 Time: 22:03 Sample (adjusted): 1997Q4 2007Q4 Included observations: 41 after adjustments 126 Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq: CointEq1 CointEq2 ACU_JPY(-1) 1.000000 0.000000 INF_JPY(-1) 0.000000 1.000000 USD_JPY(-1) -0.645271 (0.22484) [-2.86988] -0.040060 (0.02870) [-1.39603] @TREND(97Q1) -1.076079 (0.15019) [-7.16496] -0.044450 (0.01917) [-2.31904] C -9.822744 5.838550 Error Correction: D(ACU_JPY) D(INF_JPY) D(USD_JPY) CointEq1 -0.839849 (0.16652) [-5.04351] 0.072175 (0.02166) [ 3.33225] -0.523280 (0.25717) [-2.03473] CointEq2 5.146870 (1.46136) [ 3.52198] -0.791103 (0.19008) [-4.16195] 4.405640 (2.25691) [ 1.95207] D(ACU_JPY(-1)) 0.436601 (0.17585) [ 2.48285] -0.042189 (0.02287) [-1.84454] 0.296416 (0.27158) [ 1.09146] D(ACU_JPY(-2)) 0.171432 (0.17862) [ 0.95976] -0.020930 (0.02323) [-0.90086] -0.076207 (0.27586) [-0.27626] D(INF_JPY(-1)) -2.800325 (1.34928) [-2.07542] 0.308254 (0.17550) [ 1.75641] -2.546344 (2.08382) [-1.22196] D(INF_JPY(-2)) 0.853459 (1.04592) [ 0.81599] 0.135852 (0.13604) [ 0.99860] 4.977029 (1.61530) [ 3.08117] D(USD_JPY(-1)) -0.155108 (0.11807) [-1.31366] 0.030544 (0.01536) [ 1.98884] -0.009308 (0.18235) [-0.05104] D(USD_JPY(-2)) -0.302427 -0.002332 -0.105735 127 (0.11420) [-2.64823] (0.01485) [-0.15698] (0.17637) [-0.59951] 0.012075 (0.45683) [ 0.02643] -0.007429 (0.05942) [-0.12503] -0.227250 (0.70552) [-0.32210] 0.597526 0.496908 252.7440 2.810383 5.938537 -95.46199 5.095707 5.471857 0.292235 3.962248 0.488218 0.360273 4.276025 0.365549 3.815834 -11.83524 1.016353 1.392503 -0.041213 0.457033 0.507809 0.384761 602.8316 4.340333 4.126918 -113.2818 5.964967 6.341117 -0.118780 5.533513 Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion 15.23154 7.241727 -215.1166 12.20081 13.66361 C R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent KOREA Vector Autoregression Estimates Date: 01/12/10 Time: 23:04 Sample (adjusted): 1997Q3 2007Q4 Included observations: 42 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] USD_KRW INF_KRW ACU_KRW USD_KRW(-1) 0.525398 (0.31076) [ 1.69068] 0.006440 (0.00254) [ 2.53866] 0.373803 (0.22435) [ 1.66615] INF_KRW(-1) -52.69059 (24.3856) [-2.16073] -0.538533 (0.19905) [-2.70546] -49.17221 (17.6050) [-2.79309] ACU_KRW(-1) -0.076473 (0.42100) [-0.18164] 0.000257 (0.00344) [ 0.07485] -0.009566 (0.30394) [-0.03147] C 44.53047 (24.5493) 1.281576 (0.20039) 44.14243 (17.7231) 128 [ 1.81392] [ 6.39541] [ 2.49067] 0.141952 0.074212 321309.7 91.95389 2.095525 -247.3877 11.97084 12.13634 0.703095 95.56838 0.281133 0.224380 21.40909 0.750598 4.953656 -45.44448 2.354499 2.519991 0.838571 0.852281 0.188020 0.123916 167466.4 66.38532 2.933059 -233.7037 11.31922 11.48471 3.290541 70.92498 Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion 3189345. 2362133. -486.9628 23.76014 24.25661 R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent INDONESIA Vector Autoregression Estimates Date: 01/12/10 Time: 23:38 Sample (adjusted): 1997Q4 2007Q4 Included observations: 41 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] ACU_IDR INF_IDR USD_IDR ACU_IDR(-1) -1.066522 (0.31755) [-3.35865] 0.000112 (0.00183) [ 0.06111] -3.575483 (1.27665) [-2.80067] ACU_IDR(-2) -0.533676 (0.35490) [-1.50374] -0.005655 (0.00204) [-2.77060] -2.192297 (1.42683) [-1.53648] INF_IDR(-1) -31.44020 (25.7750) [-1.21980] 0.573278 (0.14824) [ 3.86733] -98.57278 (103.625) [-0.95124] INF_IDR(-2) 39.93644 (21.0764) [ 1.89484] -0.087839 (0.12121) [-0.72466] 97.80642 (84.7353) [ 1.15426] USD_IDR(-1) 0.306873 (0.08661) [ 3.54309] 0.000707 (0.00050) [ 1.41919] 0.892770 (0.34821) [ 2.56387] 129 USD_IDR(-2) 0.290480 (0.08873) [ 3.27373] 0.002405 (0.00051) [ 4.71356] 0.857663 (0.35673) [ 2.40423] C 479.6268 (152.574) [ 3.14357] 0.972240 (0.87748) [ 1.10799] 1022.937 (613.405) [ 1.66764] 0.453195 0.356700 20024176 767.4284 4.696562 -326.7035 16.27822 16.57078 185.9849 956.8218 0.812726 0.779678 662.3206 4.413617 24.59210 -115.2111 5.961518 6.254079 0.003428 9.402988 0.313480 0.192330 3.24E+08 3085.358 2.587526 -383.7500 19.06097 19.35354 -33.93837 3433.116 Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion 1.65E+13 9.40E+12 -786.8925 39.40939 40.28707 R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent MALAYSIA Vector Error Correction Estimates Date: 01/12/10 Time: 23:56 Sample (adjusted): 1997Q4 2007Q4 Included observations: 41 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq: CointEq1 ACU_MYR(-1) 1.000000 INF_MYR(-1) -26.98327 (7.43228) [-3.63055] USD_MYR(-1) -5.397670 (0.44747) [-12.0626] @TREND(97Q1) -0.143252 C 21.78284 130 Error Correction: D(ACU_MYR) D(INF_MYR) D(USD_MYR) CointEq1 0.048836 (0.02313) [ 2.11154] 0.000274 (0.00072) [ 0.38241] 0.153960 (0.01413) [ 10.8964] D(ACU_MYR(-1)) -0.002688 (0.18951) [-0.01419] -0.007556 (0.00588) [-1.28553] 0.042747 (0.11578) [ 0.36923] D(ACU_MYR(-2)) 0.020606 (0.19536) [ 0.10548] -0.001670 (0.00606) [-0.27561] 0.073256 (0.11935) [ 0.61378] D(INF_MYR(-1)) -0.806767 (5.68988) [-0.14179] 0.316957 (0.17646) [ 1.79614] 2.679167 (3.47608) [ 0.77074] D(INF_MYR(-2)) 4.217959 (4.57407) [ 0.92215] -0.036618 (0.14186) [-0.25813] 9.902826 (2.79441) [ 3.54380] D(USD_MYR(-1)) 0.040966 (0.15429) [ 0.26551] 0.024015 (0.00479) [ 5.01852] 0.030610 (0.09426) [ 0.32474] D(USD_MYR(-2)) -0.033669 (0.20369) [-0.16529] 0.004147 (0.00632) [ 0.65642] 0.039292 (0.12444) [ 0.31575] C 0.075966 (0.05301) [ 1.43308] -0.002930 (0.00164) [-1.78199] 0.092321 (0.03238) [ 2.85077] @TREND(97Q1) -0.002134 (0.00207) [-1.03018] 0.000133 (6.4E-05) [ 2.06447] -0.004172 (0.00127) [-3.29613] 0.185864 -0.017670 0.553120 0.131472 0.913182 30.09143 -1.028850 -0.652700 0.025825 0.130326 0.632706 0.540882 0.000532 0.004077 6.890450 172.4976 -7.975495 -7.599345 -2.36E-05 0.006018 0.832403 0.790503 0.206440 0.080320 19.86674 50.29553 -2.014416 -1.638266 -0.004257 0.175482 R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent 131 Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion 1.51E-09 7.18E-10 257.0970 -11.07790 -9.824068 SINGAPURA Vector Autoregression Estimates Date: 01/13/10 Time: 00:37 Sample (adjusted): 1997Q3 2007Q4 Included observations: 42 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] ACU_SGD INF_SGD USD_SGD ACU_SGD(-1) 0.053629 (0.16419) [ 0.32662] -0.737134 (2.02334) [-0.36432] 0.015780 (0.15169) [ 0.10403] INF_SGD(-1) -0.002895 (0.01178) [-0.24574] 0.545269 (0.14519) [ 3.75544] -0.010438 (0.01089) [-0.95891] USD_SGD(-1) -0.217513 (0.17972) [-1.21032] -3.408530 (2.21460) [-1.53912] -0.015762 (0.16603) [-0.09494] C 0.004833 (0.00735) [ 0.65743] 0.056008 (0.09059) [ 0.61829] 0.000673 (0.00679) [ 0.09903] 0.040596 -0.035147 0.084610 0.047187 0.535972 70.75950 -3.179024 -3.013531 0.004549 0.046379 0.306747 0.252017 12.84815 0.581471 5.604685 -34.72154 1.843883 2.009375 0.056683 0.672330 0.024049 -0.053000 0.072211 0.043592 0.312123 74.08704 -3.337478 -3.171986 0.000476 0.042481 Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood 1.39E-06 1.03E-06 110.6903 R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent 132 Akaike information criterion Schwarz criterion -4.699539 -4.203062 THAILAND Vector Autoregression Estimates Date: 01/13/10 Time: 01:06 Sample (adjusted): 1997Q3 2007Q4 Included observations: 42 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] ACU_THB INF_THB USD_THB ACU_THB(-1) 0.143387 (0.25305) [ 0.56664] 0.000104 (0.00130) [ 0.08035] 0.225199 (0.31038) [ 0.72555] INF_THB(-1) 11.16208 (28.6951) [ 0.38899] 0.406497 (0.14689) [ 2.76727] 23.64304 (35.1964) [ 0.67175] USD_THB(-1) -0.018060 (0.20702) [-0.08724] 0.001313 (0.00106) [ 1.23916] 0.069683 (0.25392) [ 0.27442] C 0.257407 (0.31769) [ 0.81023] -0.000335 (0.00163) [-0.20610] 0.131769 (0.38967) [ 0.33815] 0.025427 -0.051513 156.4421 2.029014 0.330474 -87.21075 4.343369 4.508862 0.284802 1.978689 0.331172 0.278370 0.004100 0.010387 6.271943 134.3294 -6.206161 -6.040669 -0.000322 0.012227 0.087361 0.015310 235.3620 2.488722 1.212496 -95.78798 4.751809 4.917301 0.189762 2.507995 Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion 0.001003 0.000743 -27.48667 1.880317 2.376794 R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent 133 FILIPINA Vector Autoregression Estimates Date: 01/13/10 Time: 13:28 Sample (adjusted): 1997Q3 2007Q4 Included observations: 42 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] ACU_PHP INF_PHP USD_PHP ACU_PHP(-1) -0.127914 (0.19487) [-0.65639] -0.028720 (0.14720) [-0.19510] -0.164639 (0.18707) [-0.88010] INF_PHP(-1) 0.072520 (0.19276) [ 0.37622] 0.298166 (0.14561) [ 2.04776] 0.111101 (0.18504) [ 0.60043] USD_PHP(-1) 0.317518 (0.19338) [ 1.64191] 0.298402 (0.14608) [ 2.04276] 0.440403 (0.18564) [ 2.37239] C 0.594320 (0.33578) [ 1.76997] 0.029505 (0.25364) [ 0.11633] 0.049328 (0.32233) [ 0.15304] 0.072343 -0.000894 160.2631 2.053643 0.987799 -87.71751 4.367500 4.532993 0.519453 2.052726 0.211653 0.149415 91.44608 1.551282 3.400715 -75.93509 3.806433 3.971925 0.006905 1.682023 0.143269 0.075633 147.6810 1.971380 2.118223 -86.00049 4.285738 4.451230 -0.047466 2.050445 Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion 27.10787 20.07697 -241.7773 12.08463 12.58111 R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent VIETNAM Vector Autoregression Estimates Date: 01/13/10 Time: 14:06 Sample (adjusted): 1997Q3 2007Q4 134 Included observations: 42 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] ACU_VND INF_VND USD_VND ACU_VND(-1) 0.034287 (0.16492) [ 0.20790] -2.28E-06 (4.6E-06) [-0.49970] 0.000106 (0.00054) [ 0.19641] INF_VND(-1) 2085.834 (5978.70) [ 0.34888] 0.451782 (0.16506) [ 2.73711] 16.92434 (19.5175) [ 0.86714] USD_VND(-1) -12.11236 (53.0479) [-0.22833] 0.000739 (0.00146) [ 0.50470] 0.428413 (0.17317) [ 2.47387] C 159.6265 (102.845) [ 1.55211] 0.001270 (0.00284) [ 0.44718] 0.878873 (0.33574) [ 2.61775] 0.003894 -0.074746 9438885. 498.3891 0.049521 -318.3717 15.35103 15.51652 151.5713 480.7460 0.240367 0.180396 0.007194 0.013759 4.008057 122.5199 -5.643803 -5.478311 0.002513 0.015198 0.227891 0.166935 100.5897 1.626990 3.738621 -77.93641 3.901734 4.067226 1.485952 1.782566 Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion 97.42047 72.15280 -268.6408 13.36385 13.86032 R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent BRUNEI Vector Error Correction Estimates Date: 01/13/10 Time: 15:17 Sample (adjusted): 1997Q3 2007Q4 Included observations: 42 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq: CointEq1 135 ACU_BRD(-1) 1.000000 INF_BRD(-1) -21.77300 (3.95606) [-5.50371] USD_BRD(-1) 0.111720 (0.43933) [ 0.25430] C -1.716472 Error Correction: D(ACU_BRD) D(INF_BRD) D(USD_BRD) CointEq1 0.053216 (0.03106) [ 1.71324] 0.014427 (0.00394) [ 3.66565] -0.110724 (0.02604) [-4.25216] D(ACU_BRD(-1)) -0.223789 (0.17958) [-1.24617] -0.039579 (0.02275) [-1.73938] 0.138621 (0.15055) [ 0.92079] D(INF_BRD(-1)) 3.334841 (1.30184) [ 2.56163] 0.573372 (0.16496) [ 3.47590] -1.336313 (1.09136) [-1.22445] D(USD_BRD(-1)) 0.022184 (0.19224) [ 0.11540] 0.021307 (0.02436) [ 0.87473] -0.312017 (0.16115) [-1.93614] C 0.007070 (0.00687) [ 1.02953] -5.05E-05 (0.00087) [-0.05807] -8.87E-05 (0.00576) [-0.01540] 0.199037 0.112447 0.070637 0.043693 2.298601 74.54995 -3.311902 -3.105037 0.004549 0.046379 0.369452 0.301285 0.001134 0.005536 5.419782 161.3158 -7.443612 -7.236746 -0.000448 0.006623 0.329079 0.256547 0.049642 0.036629 4.537016 81.95702 -3.664620 -3.457755 0.000476 0.042481 Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion 6.68E-11 4.57E-11 321.2110 -14.43862 R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent 136 Schwarz criterion -13.69390 MYANMAR Vector Error Correction Estimates Date: 01/13/10 Time: 15:32 Sample (adjusted): 1997Q4 2007Q4 Included observations: 41 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq: CointEq1 ACU_MYK(-1) 1.000000 INF_MYK(-1) 0.165370 (0.21306) [ 0.77617] USD_MYK(-1) -0.201201 (0.12871) [-1.56323] @TREND(97Q1) -0.026694 (0.00396) [-6.73461] C -3.954604 Error Correction: D(ACU_MYK) D(INF_MYK) D(USD_MYK) CointEq1 -0.666545 (0.10915) [-6.10691] -0.063845 (0.05143) [-1.24136] 0.062202 (0.09940) [ 0.62579] D(ACU_MYK(-1)) 0.161549 (0.11571) [ 1.39618] -0.124754 (0.05452) [-2.28807] -0.097308 (0.10537) [-0.92345] D(ACU_MYK(-2)) 0.217804 (0.12591) [ 1.72985] -0.094271 (0.05933) [-1.58891] 0.131928 (0.11466) [ 1.15055] D(INF_MYK(-1)) -0.123731 (0.31788) [-0.38924] 0.332933 (0.14979) [ 2.22265] 0.488591 (0.28949) [ 1.68775] D(INF_MYK(-2)) -0.540490 (0.30794) 0.036481 (0.14511) -0.303295 (0.28044) 137 [-1.75518] [ 0.25141] [-1.08151] D(USD_MYK(-1)) 0.123491 (0.18228) [ 0.67747] 0.104732 (0.08589) [ 1.21930] 0.168239 (0.16600) [ 1.01347] D(USD_MYK(-2)) -0.367467 (0.18563) [-1.97961] 0.151634 (0.08747) [ 1.73355] -0.164367 (0.16905) [-0.97231] C -0.000215 (0.02096) [-0.01023] 0.000627 (0.00988) [ 0.06350] -0.020229 (0.01909) [-1.05970] 0.578513 0.489106 0.576978 0.132228 6.470593 29.22575 -1.035402 -0.701047 -0.000137 0.184994 0.571337 0.480409 0.128115 0.062308 6.283365 60.07572 -2.540279 -2.205923 -0.001352 0.086439 0.153804 -0.025692 0.478522 0.120419 0.856864 33.06134 -1.222505 -0.888149 -0.020244 0.118901 Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion 9.53E-07 4.97E-07 123.0180 -4.635023 -3.464779 R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent KAMBOJA Vector Autoregression Estimates Date: 01/13/10 Time: 15:58 Sample (adjusted): 1997Q3 2007Q4 Included observations: 42 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] ACU_KHR INF_KHR USD_KHR ACU_KHR(-1) -0.049910 (0.16083) [-0.31033] -2.20E-05 (3.2E-05) [-0.68286] 0.081746 (0.14586) [ 0.56044] INF_KHR(-1) 434.8484 (825.948) 0.054517 (0.16538) 780.0214 (749.082) 138 [ 0.52648] [ 0.32965] [ 1.04130] USD_KHR(-1) -0.267944 (0.17912) [-1.49589] 4.86E-05 (3.6E-05) [ 1.35606] 0.093778 (0.16245) [ 0.57727] C 42.81583 (19.5870) [ 2.18593] 0.001907 (0.00392) [ 0.48613] -10.75022 (17.7641) [-0.60516] 0.069936 -0.003490 537722.7 118.9563 0.952469 -258.2014 12.48578 12.65127 42.59395 118.7492 0.058070 -0.016292 0.021558 0.023819 0.780906 99.47259 -4.546314 -4.380821 0.000695 0.023627 0.041201 -0.034493 442294.0 107.8857 0.544312 -254.0987 12.29041 12.45591 -7.940956 106.0718 Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion 88946.67 65876.82 -411.7926 20.18060 20.67708 R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent LAOS Vector Error Correction Estimates Date: 01/13/10 Time: 16:30 Sample (adjusted): 1997Q4 2007Q4 Included observations: 41 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq: CointEq1 ACU_LAK(-1) 1.000000 INF_LAK(-1) 6782.419 (1920.02) [ 3.53247] USD_LAK(-1) -1.559773 (0.10514) [-14.8348] 139 Error Correction: D(ACU_LAK) D(INF_LAK) D(USD_LAK) CointEq1 -0.085948 (0.02586) [-3.32321] -7.63E-06 (3.6E-06) [-2.11252] -0.037197 (0.03610) [-1.03026] D(ACU_LAK(-1)) 0.254891 (0.15474) [ 1.64722] -1.53E-05 (2.2E-05) [-0.70853] -0.198774 (0.21602) [-0.92018] D(ACU_LAK(-2)) -0.077254 (0.17038) [-0.45343] -6.07E-05 (2.4E-05) [-2.55080] -0.008264 (0.23784) [-0.03474] D(INF_LAK(-1)) -1148.619 (1250.68) [-0.91839] 0.785535 (0.17465) [ 4.49774] 2422.640 (1745.94) [ 1.38758] D(INF_LAK(-2)) 2742.227 (1247.70) [ 2.19783] -0.061270 (0.17423) [-0.35165] -1270.082 (1741.78) [-0.72919] D(USD_LAK(-1)) -0.347779 (0.15932) [-2.18293] 4.03E-05 (2.2E-05) [ 1.80975] 0.160737 (0.22241) [ 0.72272] D(USD_LAK(-2)) -0.201971 (0.14860) [-1.35920] 1.81E-05 (2.1E-05) [ 0.87337] -0.472704 (0.20744) [-2.27877] 0.384386 0.275748 8187154. 490.7124 3.538234 -308.3688 15.38385 15.67641 218.2933 576.6100 0.789996 0.752937 0.159655 0.068525 21.31696 55.56398 -2.368975 -2.076414 -0.007032 0.137863 0.235472 0.100555 15955048 685.0300 1.745315 -322.0466 16.05105 16.34362 -28.69125 722.3080 Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion 1.95E+08 1.11E+08 -554.3523 28.21231 29.21537 R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent 140