Analisis Penerapan Nilai Tukar Asian CUrrency Unit (ACU) di

advertisement
ANALISIS PENERAPAN NILAI TUKAR
ASIAN CURRENCY UNIT (ACU) DI KAWASAN ASEAN+3
BAYU DARUSSALAM
H151054164
TESIS
PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Penerapan Asian
Currency Unit (ACU) di Kawasan ASEAN+3 adalah karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2010
Bayu Darussalam
H151064164
ABSTRACT
BAYU DARUSSALAM. The Analyze of ACU Implementation in ASEAN plus
Three Economic. Under Supervision of NOER AZAM ACHSANI and
NUNUNG NURYARTONO.
As financial crisis hit Asian countries in 1997, following international trade and
globalization, there were global awareness toward maintaining regional stability.
Since then, ASEAN+3 countries have made a lot of efforts to enhance economic
coordination among regions, aiming at full economic integration. Along with
greater ASEAN+3 economic integration, concerns on currency stabilization are
raising. This research examines the readiness of the ASEAN+3 countries in the
efforts of forming single currency unit, as a main representation of full economic
integration. This research analyze regional cooperation on currency stabilization
by way of adopting Asian Currency Unit (ACU) as parallel currency in
ASEAN+3 countries, before the full implementation of common currency area,
which will take longer time. The ACU implementation takes a similar model of
establishing European Currency Unit (ECU), right before the Europe released the
Euro single currency in 1999. The finding shows that, based on Maastricht Treaty,
ASEAN+3 countries currently have no adequate capacity to be a fully,
economically integrated. The reason is that not all ASEAN+3 economic meet the
Maastricht convergence requirements. It shows that if ACU is implemented by
now. Furthermore, as ACU and each individual domestic currencies are shocked
at once against inflation, Vector Autoregressive (VAR) Model shows that ten
countries are better off using ACU instead of their domestic currencies.
Key words: Economic integration, Maastricht Treaty convergence criteria, Asian
Currency Unit (ACU), Vector Autoregressive (VAR).
JEL Classification : E 42, F15, F42
RINGKASAN
BAYU DARUSSALAM. Analisis Penerapan Nilai Tukar Asian Currency Unit
(ACU) di Kawasan ASEAN+3. Dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI dan
NUNUNG NURYARTONO
Sejak terjadi krisis ekonomi di Thailand yang menyebar menjadi Krisis
Asia tahun 1997 sebagai dampak dari globalisasi dan integrasi ekonomi serta
keuangan dunia, semakin meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya
memelihara stabilitas suatu kawasan. Dari krisis tersebut, ada inisiasi untuk
memulai kerjasama regional dalam memelihara stabilitas kawasan ASEAN+3.
Kerjasama tersebut melahirkan suatu kesepakatan bernama Chiang Mai Initiative
(CMI). CMI merupakan hasil kesepakatan pertemuan Menteri Keuangan
ASEAN+3 pada Mei 2000. CMI bertujuan untuk menyediakan bantuan keuangan
regional sebagai bantuan pendamping yang diberikan oleh lembaga internasional,
melalui jejaring swap bilateral di antara negara-negara ASEAN+3. Kerjasama
dalam kawasan ini pun terus berlangsung dalam rangka membentuk integrasi
ekonomi secara penuh.
Pembentukan integrasi ekonomi di kawasan ini dilandasi karena manfaat
yang akan diperoleh dari integrasi tersebut lebih besar dibandingkan dengan
resiko yang mungkin dihadapi oleh masing-masing negara dalam kawasan
tersebut (Sholihah dan Saichu, 2007). Faktor lainnya yang mempengaruhi
perlunya integrasi di kawasan ASEAN+3 didasari dari kesuksesan Uni Eropa
membentuk suatu single market dengan mata uang tunggal Euro, dimana
perdagangan dilakukan secara bebas, tanpa dibebankan adanya pajak. Hal ini
mendorong tumbuh pesatnya perekonomian di wilayah Uni Eropa. Berawal dari
kesuksesan Eropa juga, maka negara-negara ASEAN terdorong untuk
menciptakan suatu single market. Pada KTT ASEAN ke-9 di Bali tahun 2003,
para pemimpin ASEANmenyepakati sebuah penyatuan perekonomian yang
dikenal dengan ASEAN Economic Community (AEC) yang ditargetkan akan
beroperasi pada tahun 2015. Pembentukan AEC bermuara pada pembentukan
Asian Currency Unit (ACU) atau satuan mata uang ASEAN, yang akan menjadi
satu-satunya alat transaksi diantara negara-negara tersebut. Oleh sebab itu, maka
menjadi penting bagi kawasan ASEAN+3 mempersiapkan diri menghadapi
tantangan dan peluang terciptanya sebuah integrasi ekonomi kawasan secara
penuh.
Menurut tahapan integrasi Balassa, usaha-usaha untuk menuju integrasi
ekonomi haruslah melalui berbagai tahapan yang dibagi dalam lima tahap antara
lain : (i) Free Trade Area, (ii) Custom Union, (iii) Common Market, (iv)
Economic union, dan (v) Total Economic. Namun, kondisi aktual tahapan
integrasi ekonomi yang dilakukan oleh ASEAN+3 baru pada tahapan Free Trade
Area (FTA). Artinya masih banyak tahapan dan persiapan yang perlu dilakukan
oleh kawasan ini dalam mencapai integrasi ekonomi secara penuh. Integrasi total
economic ditandai dengan penyatuan moneter berupa penerbitan mata uang
tunggal kawasan yang digunakan dalam bertransaksi, baik antar negara kawasan
maupun dengan negara di luar kawasan. Dalam konteks ASEAN+3, kawasan ini
sedang melakukan penelitian mengenai kemungkinan penerapan mata uang
tunggal kawasan. Menurut Kim (2007), terdapat pendekatan tiga tahap untuk
menuju mata uang tunggal Asia. Ketiga tahapan ini meliputi : (i) Koordinasi
kebijakan nilai tukar, (ii) membuat mata uang tunggal regional, (iii) membuat
mata uang tunggal Asia.
Bertolak dari hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
bagaimana pembentukan mata uang parallel ACU sebagai mata uang kawasan
ASEAN+3, selanjutnya adalah kegunaan dan keuntungan menggunakan ACU,
serta bagaimana kesiapan negara-negara di ASEAN+3 membentuk sebuah uni
moneter regional di kawasan tersebut. Pembahasan pada penelitian ini pun dibagi
ke dalam dua periode, yaitu periode krisis ekonomi (1997-2002), dan periode
pasca krisis ekonomi (2003-2007). Selain tujuan tersebut, penelitian ini mencoba
merumuskan berbagai implikasi kebijakan berdasarkan hasil analisis tujuan
penelitian ini.
Pada penelitian ini dibahas bagaimana kesiapan kawasan ASEAN+3
menuju integrasi ekonomi secara penuh dengan menggunakan kriteria
konvergensi Maastricht Treaty seperti yang dilakukan oleh Eropa. Selanjutnya
penelitian ini menganalisis pembentukan ACU di kawasan ASEAN+3 meliputi
konstruksi model ACU, kriteria pembobotan (variabel yang digunakan maupun
pembagian bobot), serta mekanisme nilai tukar yang dilakukan. Kemudian dalam
penelitian ini pun dianalisis mengenai pilihan penggunaan mata uang bagi setiap
negara di kawasan ASEAN+3 dengan menggunakan model VAR. Keputusan
pemilihan model tersebut berdasarkan kebutuhan penelitian untuk melihat negaranegara anggota ASEAN+3 mana saja yang layak menggunakan mata uang ACU
sebagai mata uang kawasan. Kriteria pemilihan tersebut didasarkan jika fluktuasi
inflasi suatu negara lebih kecil jika menggunakan ACU daripada negara tersebut
menggunakan mata uang domestiknya.
Berdasarkan kriteria konvergensi Maastricht Treaty untuk menuju suatu
uni moneter regional seperti yang dilakukan oleh Uni Eropa, hasil yang diperoleh
antara lain : (i) pada periode krisis ekonomi (1997-2002) hanya negara China
yang yang memenuhi empat kriteria konvergensi, dan (ii) pada periode pasca
krisis ekonomi (2003-2007) kembali hanya China yang memenuhi empat kriteria
konvergensi. Hal ini tentu saja mengindikasikan bahwa kondisi saat ini bukanlah
saat yang tepat bagi negara-negara di kawasan ASEAN+3 membentuk sebuah uni
moneter regional kawasan.
Untuk pembobotan nilai tukar ACU diperoleh bahwa pada periode krisis
ekonomi (1997-2002), bobot pembentukan mata uang ACU ASEAN+3 dikuasi
oleh tiga negara plus three sebesar 68 persen dari total keseluruhan bobot mata
uang, antara lain Jepang (30.4 persen), China (30.1 persen), dan Korea (8.3
persen). Sementara periode pasca krisis ekonomi (2003-2007), bobot
pembentukan mata uang ACU ASEAN+3 tidak lagi dikuasi oleh negara-negara
plus three. Pada periode ini komposisi bobot terbesar secara berturut-turut
dikuasai oleh China (38.1 persen), Jepang (25.0 persen), dan Singapura (7.2
persen).
Dalam penelitian ini juga diperoleh bahwa pada periode 1997-2002 tidak
dapat ditentukan benchmark rate sebesar 2.25 persen, 6 persen, maupun 15 persen
seperti yang dilakukan oleh Eropa karena pergerakan seluruh mata uang anggota
bergerak melebihi koridor fluktuasi tersebut. Sementara pada periode 2003-2007
kembali tidak ada negara yang benchmark rate-nya berada pada koridor 2.25
persen. Namun, pada periode ini dapat diberlakukan koridor fluktuasi sebesar 25
persen.
Hasil estimasi dari penelitian ini pun menunjukkan bahwa ada tiga negara
yang tepat menggunakan mata uang ACU ASEAN+3 karena dapat meminimalisir
fluktuasi inflasi jika terjadi shock pada nilai tukar ACU dan mata uang
domestiknya. Ketiga negara tersebut antara lain, China, Singapura, dan Brunei
Darussalam. Sementara itu untuk negara-negara seperti Jepang, Korea, Indonesia,
Malaysia, Thailand, Vietnam, Brunei, Myanmar, Kamboja dan Laos lebih tepat
menggunakan mata uang domestiknya daripada menggunakan nilai tukar ACU.
Secara keseluruhan, penelitian ini memberi gambaran bahwa kondisi hari
ini bukanlah waktu yang tepat bagi negara-negara di kawasan ASEAN+3
membentuk integrasi ekonomi secara penuh. Namun, kemungkinan kawasan
ASEAN+3 ini untuk dapat memenuhi kriteria konvergensi makroekonomi
sangatlah terbuka, setidaknya dalam periode jangka panjang. Hal ini didukung
oleh perkembangan yang terjadi pada kawasan ini, dengan cakupan kerja sama
yang semakin luas, orientasi ekspor yang kuat, human capital yang solid, serta
didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dalam beberapa
dekade terakhir, mencerminkan optimisme tersebut.
Kata kunci : Integrasi ekonomi, Kriteria konvergensi Maatricht Treaty, Asian
Currency Unit (ACU), Vector Autoregressive (VAR).
Klasifikasi JEL : E42, F15, F42
©Hak cipta milik IPB, tahun 2010
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau menyeluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin dari IPB
ANALISIS PENERAPAN NILAI TUKAR
ASIAN CURRENCY UNIT (ACU) DI KAWASAN ASEAN+3
BAYU DARUSSALAM
H151054164
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MS
PRAKATA
Puji serta syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
nikmat, karunia derta hidayah yang diberikan kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan tesis ini. Tema yang dipilih pada tesis ini adalah Analisis
Penerapan Nilai Tukar Asian Currency Unit (ACU) di Kawasan ASEAN+3.
Krisis ekonomi yang melanda negara-negara Asia pada tahun 1997
merupakan guncangan dari adanya globalisasi ekonomi. Besarnya dampak krisis
terhadap kesejahteraan masyarakat dalam sekejap menghapus keuntungan
globalisasi serta ketidakberdayaan suatu negara melindungi perekonomiannya.
Sejak terjadi krisis tersebut, negara di Asia melakukan berbagai upaya untuk
mengedepankan koordinasi ekonomi regional. Hal ini dilandasi bahwa dengan
adanya koordinasi dalam wilayah dapat memberikan manfaat yang lebih besar
daripada tidak adanya koordinasi dalam wilayah. Fakta tersebut menilik dari
kesuksesan Eropa membentuk sebuah uni moneter regional dengan peluncuran
mata uang Euro pada tahun 1999.
Bukan suatu perkara yang mudah mencapai integrasi ekonomi seperti yang
telah dilakukan oleh Uni Eropa. Namun berbagai cara telah dilakukan dalam
bentuk kerja sama yang mengarah pada integrasi ekonomi, keuangan, dan
moneter. Dalam proses menuju integrasi tersebut terdapat peluang bagi kawasan
ASEAN+3 mencapai suatu integrasi ekonomi secara penuh. Salah satu dari
peluang tersebut adalah mengoptimalkan potensi manfaat dari proses integrasi
ekonomi untuk memelihara stabilitas ekonomi melalui pertumbuhan ekonomi dan
nilai tukar. Dengan tujuan untuk stabilitas nilai tukar dalam kawasan ASEAN+3
diperlukan sistem nilai tukar bersama sebelum mencapai mata uang tunggal
kawasan seperti yang dilakukan Eropa. Sistem nilai tukar yang dimaksud adalah
sistem nilai tukar parallel yang dibentuk sesuai dengan pola pembentukan
European Currency Unit (ECU) di kawasan Eropa. Hal tersebut dapat
direalisasikan melalui pembentukan Asian Currency Unit (ACU) dengan
mengikuti pola pembentukan ECU pada masa lampau.
Hasil analisis menjelaskan bahwa pada kondisi saat ini, kawasan
ASEAN+3 masih belum dapat membentuk integrasi ekonomi secara penuh
berdasarkan kriteria konvergensi Maastricht Treaty. Hal ini pun didukung fakta
bahwa proses integrasi negara-negara di kawasan ASEAN+3 baru pada tahapan
Free Trade Area (FTA) dan membutuhkan beberapa tahapan integrasi untuk
mencapai total economic integration. Dalam stabilitas nilai tukar dengan
menggunakan sistem nilai tukar ACU terlihat bahwa negara-negara plus three
(Cina, Jepang, Korea) relatif mendominasi penguasaan bobot ACU dibandingkan
negara-negara ASEAN. Walaupun demikian, dengan adanya negara-negara plus
three setidaknya memberikan pangsa perekonomian yang besar di dunia yang
diharapkan dapat menjadi kutub perekonomian baru setelah Amerika dan Uni
Eropa bagi ASEAN+3.
Berdasarkan Deklarasi ASEAN Concord II, disepakati bahwa Visi
ASEAN 2020 adalah menuju masyarakat ekonomi ASEAN, yang kemudian
dipercepat menjadi tahun 2015. Mengingat pentingnya kesepakatan regional
tersebut, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi bagi
persiapan negara-negara di kawasan ASEAN+3 menyongsong integrasi ekonomi
yang dimaksud. Selain sebagai referensi, penelitian ini mutlak dibutuhkan sebagai
landasan kebijakan yang sinergis untuk mencapai Visi ASEAN 2015 dengan
kondisi yang ada pada saat ini. Kebijakan ini sejatinya tidak hanya menjadi
wacana yang terabaikan di kawasan ASEAN, namun layak juga untuk
diimplementasikan.
Berbagai pihak telah memberikan kontribusi secara langsung maupun
tidak langsung bagi penyelesaian maupun penyempurnaan tesis ini. Penghargaan
dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Ibunda Lily Arlina dan Ayahanda Khairil Anwar Notodiputro atas doa dan
kasih sayang-nya.
2. Pembimbing Dr. Noer Azam Achsani dan Dr. Nunug Nuryartono yang
dengan sabar serta ikhlas menuntun penulis menyelesaikan tesis ini dari
segi ide, saran, dan kritik yang membangun.
3. Dr. Dedi Budiman Hakim selaku dosen penguji luar komisi yang telah
menyempatkan waktunya untuk menguji penulis dalam mempertahankan
hasil penelitiannya.
4. Dr. Wiwiek Rindayanti selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi
SPS IPB dalam ujian tesis.
5. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi (2010-sekarang) Dr. Nunung
Nuryartono dan Dr. D. S. Priyarsono yang telah menjadi Ketua Program
Studi Ilmu Ekonomi pada periode 2006-2009.
6. Semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang
senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas
Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB.
7. Kakanda Nusron Wahid (calon) MSi yang telah melakukan proses
perkaderan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan jenjang
akademik ini secara baik dan memuaskan.
8. Sandi, Ilham, Ridwan, Yusuf, dan Ica sebagai saudara kandung penulis
yang telah memberikan kasih sayang serta kehangatan dalam keluarga
besar Khairil Anwar.
9. Genta Sari Luwina, yang selalu menjaga dan menambah ghiroh, semangat,
serta daya juang kepada penulis, hingga akhirnya tulisan ini dapat
diselesaikan dengan baik.
10. Special Thanks untuk Syarif Syahrial, Fathurrahman, Indra, dan Ade
Kholis yang bersedia menunjang Sumberdaya data serta keilmuan dalam
menyempurnakan tulisan ini.
11. Rekan-rekan IReS, DPRRI (Tenaga Ahli, Staf Ahli, Asisten dan Sekretaris
Pribadi Anggota) serta Yayasan MataAir atas support maupun sebagai
forum diskusi, yang melahirkan ide-ide brilian dalam menempuh studi.
Akhirnya penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada pihak lain yang telah membantu namun namanya tidak
dapat penulis sebutkan satu per satu. Kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa
yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu
penulis.
Bogor,
Februari 2010
Bayu Darussalam
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada Tanggal 24 April 1984 dari pasangan
Khairil Anwar Notodiputro dan Lily Arlina. Penulis merupakan anak kedua dari
enam bersaudara. Penulis menempuh pendidikan formal di Kent Road Public
School Sydney Australia pada tahun 1988-1991. Selanjutnya Sekolah Dasar
dilanjutkan di SDN Polisi 4 Bogor dan lulus tahun 1996, kemudian dilanjutkan di
SMP Negeri 4 Bogor dan lulus tahun 1999, serta dilanjutkan di SMU Negeri 5
Bogor dan lulus tahun 2002. Ketika sampai di jenjang perguruan tinggi, penulis
melanjutkan kuliah di Program Studi Agribisnis Departemen Sosial Ekonomi
Fakultas Pertanian IPB dan lulus tahun 2006.
Setelah lulus menjadi sarjana, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang
Magister Ilmu Ekonomi IPB pada tahun 2007. Saat ini penulis bekerja sebagai
asisten pribadi Anggota DPR RI terhitung sejak tahun 2008. Namun, selain
sebagai asisten pribadi Anggota DPR RI, penulis juga belajar menjadi seorang
peneliti di Lembaga kajian IReS (Institute for Rural and Economic Studies).
DAFTAR ISI
Halaman
Daftar Isi ………………………………………………………………
Daftar Tabel …………………………………………………………..
Daftar Grafik ………………………………………………………….
Daftar Gambar ………………………………………………………..
xv
xvii
xviii
xix
Bab I. Pendahuluan …………………………………………………...
1.1. Latar Belakang …………...………………………………….
1.2. Perumusan Masalah …………...…………………………….
1.3. Tujuan Penelitian ………………...………………………….
1.4. Ruang Lingkup, Keluaran, dan Manfaat Penelitian ................
1
1
6
14
14
Bab II. Tinjauan Pustaka …………………………………………….
2.1. Pentahapan Proses Integrasi ………...……………………….
2.1.1. Integrasi Sektor Riil menuju Integrasi Ekonomi ............
2.1.2. Teori Integrasi Ekonomi ................................................
2.2. Cerita Sukses Eropa ................................................................
2.2.1. Pengalaman Uni Eropa untuk ASEAN+3 ......................
2.2.2. Kondisi Kerjasama ASEAN+3 ......................................
2.3. Integrasi Regional ASEAN+3 .................................................
2.3.1. Latar Belakang Integrasi Moneter ASEAN+3 ...............
2.3.2. Parallel Currency ACU .................................................
2.3.3. Vector Autoregresive (VAR) .........................................
2.4. Optimum Currency Area (OCA) .............................................
2.5. Maastricht Treaty Convergence Criteria ................................
2.6. Penelitian Empiris Terkait ......................................................
2.7. Kerangka Pemikiran ................................................................
16
16
17
21
22
23
25
27
28
29
31
33
36
37
39
Bab III. Data dan Metodologi Penelitian ............................................
3.1. Jenis dan Sumber Data ............................................................
3.2. Hipotesis Penelitian .................................................................
3.3. Model Teoritis .........................................................................
3.3.1. Weighted Average ..........................................................
3.3.2. Model Vector Autoregressive (VAR) ............................
3.4. Spesifikasi Model Penelitian ...................................................
3.4.1. Model Asian Currency Unit (ACU) ……………...……
3.4.2. Model VAR untuk ACU, Mata Uang Domestik dan
Inflasi ..............................................................................
3.5. Prosedur Analisis Penelitian ...................................................
43
43
44
45
45
46
51
51
Bab IV. Asian Currency Unit (ACU) sebagai Mata Uang Regional
ASEAN+3 ……………………………………………………
4.1. Konstruksi ACU ......................................................................
55
57
61
63
4.2. Pengalaman Eropa – ECU .......................................................
4.3. Kesiapan ASEAN+3 Membentuk Uni Moneter Regional ......
4.4. Komposisi dan Penentuan Bobot ACU ...................................
4.5. ACU pada Periode Krisis Ekonomi (1997-2002) ...................
4.5.1. Perhitungan Nilai ACU dalam Mata Uang Lokal 19972002 ..............................................................................
4.5.2. Mekanisme Nilai Tukar Periode 1997-2002 ..................
4.6. Periode Pasca Krisis Ekonomi (2003 - 2007) .........................
4.6.1. Perhitungan Nilai ACU dalam Mata Uang Lokal 20032007 ..............................................................................
4.6.2. Mekanisme Nilai Tukar Periode 2003-2007 ..................
64
67
72
74
81
83
87
93
95
Bab V. PILIHAN PENGGUNAAN MATA UANG SETIAP
NEGARA DI ASEAN+3 ...........................................................
5.1. Nilai Tukar (Exchange Rate) ..................................................
5.1.1. Bentuk Kerja sama Nilai Tukar Regional ......................
5.1.2. Kerjasama Nilai Tukar di ASEAN+3 ............................
5.1.3. Nilai Tukar dan Inflasi ...................................................
5.2. Pilihan Penggunaan Mata Uang ASEAN+3 ...........................
5.2.1 Uji Stasioneritas Data ......................................................
5.2.2. Uji Kointegrasi Variabel Non-Stationer ........................
5.2.3. Penentuan Lag Optimal ..................................................
5.2.4. Impulse Response Functions ..........................................
99
101
101
103
104
106
106
107
107
109
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................
6.1. Kesimpulan .............................................................................
6.2. Implikasi Kebijakan ................................................................
6.3. Saran Penelitian Lebih Lanjut .................................................
114
114
115
116
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
LAMPIRAN ...........................................................................................
117
121
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3
Tabel 4.
Tabel 5
Tabel 6.
Tabel 7.
Tabel 8.
Tabel 9.
Tabel 10.
Tabel 11.
Tebel 12.
Tabel 13.
Tabel 14.
Tabel 15.
Tabel 16.
Tabel 17.
Tabel 18.
Tabel 19.
Tabel 20.
Tabel 21.
Tabel 22.
Tabel 23.
Tabel 24.
Tabel 25.
Tabel 26.
Tabel 27.
Tabel 28.
Tabel 29.
Tabel 30.
Tahapan Integrasi Ekonomi Bela Balassa ........................
Penelitian Empiris Terkait ................................................
.Variabel-variabel Ekonomi dalam Penelitian ...................
Tahapan Prosedur Analisis Penelitian ..............................
Komposisi Awal ECU ......................................................
Revisi Pertama dari Komposisi ECU ...............................
Revisi Kedua dari Komposisi ECU ..................................
Konvergensi ASEAN+3, Kriteria Maastricht, Periode
1997-2002 .........................................................................
Konvergensi ASEAN+3, Kriteria Maastricht, Periode
2003-2007 .........................................................................
Konvergensi ASEAN+3, Kriteria Maastricht, Periode
1997-2007 .........................................................................
Mata Uang Negara ASEAN+3 .........................................
Pangsa Masing-masing Anggota ASEAN+3 1997-2002 .
Bobot Masing-masing Anggota ASEAN+3 1997-2002 ...
Perhitungan ASEAN+3 ACU 1997-2002 .........................
USD/ACU dengan Memperhitungkan Bobot Mata Uang
Lokal Masing-masing Negara 1997-2002 ........................
Perhitungan Nilai ACU dalam Mata Uang Won dan
Rupiah 1997-2002 .............................................................
Pergerakan Nilai ACU dalam Mata Uang Nasional 19972002 ..................................................................................
Koridor Pergerakan Mata Uang Domestik terhadap
ASEAN+3 ACU 1997-2002 .............................................
Pangsa Masing-masing Anggota ASEAN+3, 2003-2007
Bobot Masing-masing Anggota ASEAN+3 2003-2007 ...
Perhitungan ASEAN+3 ACU 2003-2007 .........................
USD/ACU dengan Memperhitungkan Bobot Mata Uang
Lokal Masing-masing Negara 2003-2007 ........................
Perhitungan Nilai ACU dalam Mata Uang Peso dan Kyat
2003-2007 ………………………….................................
Pergerakan Nilai ACU dalam Mata Uang Nasional 20032007 ..................................................................................
Koridor Pergerakan Mata Uang Domestik Terhadap
ASEAN+3 ACU 2003-2007 .............................................
Sistem Nilai Tukar Negara ASEAN+3 .............................
Hasil Pengujian Unit Root, dengan Augmented DickeyFuller (ADF) …………………………………………….
Hasil Uji Kointegrasi Johanssen .......................................
Model VAR yang Terbentuk ............................................
Pilihan Mata Uang Masing-Masing Negara ASEAN+3 ...
Halaman
19
39
44
59
65
66
67
69
70
71
73
74
75
77
79
82
83
86
87
88
90
91
94
95
98
100
107
108
109
113
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1.
Grafik 2.
Grafik 3.
Grafik 4.
Grafik 5.
Grafik 6.
Grafik 7.
Grafik 8.
Grafik 9.
Grafik 10.
Grafik 11.
Grafik 12.
Grafik 13.
Grafik 14.
Grafik 15.
Grafik 16.
Grafik 17.
Grafik 18.
Grafik 19.
Grafik 20.
Grafik 21.
Grafik 22.
Grafik 23.
Grafik 24.
Grafik 25.
Grafik 26.
Grafik 27.
Grafik 28.
Grafik 29.
Grafik 30.
Grafik 31.
Grafik 32.
Laju Fluktuasi Nilai Tukar Negara Eropa ………………...
Laju Fluktuasi Nilai Tukar Negara ASEAN+3 …………...
Laju Inflasi Negara ASEAN+3 …………………………...
Pergerakan ASEAN+3 ACU Terhadap USD 1997-2002 ....
Nilai Tukar JPY/ASEAN+3 ACU (1997-2002) …………..
Nilai Tukar CNY/ASEAN+3 ACU (1997-2002) …………
Nilai Tukar KRW/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ………...
Nilai Tukar IDR/ASEAN+3 ACU (1997-2002) .................
Nilai Tukar MYR/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ...............
Nilai Tukar SGD/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ................
Nilai Tukar THB/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ................
Nilai Tukar PHP/ASEAN+3 ACU (1997-2002) .................
Nilai Tukar VND/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ................
Nilai Tukar BRD/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ................
Nilai Tukar MMK/ASEAN+3 ACU (1997-2002) ………..
Nilai Tukar KHR/ASEAN+3 ACU (1997-2002) …………
Nilai Tukar LAK/ASEAN+3 ACU (1997-2002) …………
Pergerakan ASEAN+3 ACU Terhadap USD 2003-2007 ....
Nilai Tukar CNY/ASEAN+3 ACU (2003-2007) …………
Nilai Tukar JPY/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ………….
Nilai Tukar KRW/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ………...
Nilai Tukar IDR/ASEAN+3 ACU (2003-2007) .................
Nilai Tukar MYR/ASEAN+ACU (2003-2007) ..................
Nilai Tukar SGD/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ................
Nilai Tukar THB/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ................
Nilai Tukar PHP/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ………….
Nilai Tukar VND/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ................
Nilai Tukar BRD/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ................
Nilai Tukar MMK/ASEAN+3 ACU (2003-2007) ………
Nilai Tukar KHR/ASEAN+3 ACU (2003-2007) …………
Nilai Tukar LAK/ASEAN+3 ACU (2003-2007) …………
Grafik Impulse Response Function terhadap Inflasi setiap
Negara ASEAN+3 ...............................................................
Halaman
8
9
10
80
84
84
84
84
84
84
84
84
85
85
85
85
85
93
96
96
96
96
96
96
96
96
97
97
97
97
97
112
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Tingkatan Integrasi Ekonomi menurut Griffin dan Pustay ...
Gambar 2. Pembentukan Asian Currency Unit ………………………...
Gambar 3. Kerangka Pemikiran ..............................................................
Gambar 4. Mekanisme Transmisi Nilai Tukar ke Inflasi ........................
Halaman
20
31
42
105
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Globalisasi menyebabkan aliran barang, jasa dan modal di dunia dapat
bergerak dengan bebas. Hal ini terjadi sejak diberlakukannya secara global suatu
mekanisme perdagangan melalui penciptaan kebijakan free trade. Globalisasi
perdagangan bebas, secara langsung berpengaruh terhadap perekonomian suatu
negara, yang menimbulkan persaingan global. Era globalisasi ini sendiri
merupakan sesuatu yang positif, dalam pengertian sebagai proses dimana ekonomi
setiap negara berinteraksi secara timbal balik satu dengan yang lainnya, yang
dengan demikian memberikan peluang bagi setiap negara untuk mengembangkan
dan meningkatkan perekonomiannya, sehingga diharapkan dapat membuat
perekonomian menjadi efisien.
Dalam era globalisasi, dunia menjadi seolah tanpa batas (boundaryless)
yang ditandai dengan munculnya perdagangan bebas antar pelaku ekonomi.
Menurut Damanhuri (2008), sisi positif dari globalisasi adalah meningkatkan
secara besar-besaran potensi produksi suatu negara dan menciptakan peluang baru
dalam perdagangan internasional dan investasi. Berbagai upaya kerjasama antar
negara
juga
menghasilkan
negosiasi
pengurangan
hambatan-hambatan
perdagangan dan investasi. Perdagangan dan investasi yang dikelola dengan baik
mempunyai potensi untuk mengangkat jutaan orang keluar dari jalur kemiskinan.
Terlepas dari berbagai manfaat yang diberikan oleh globalisasi
perdagangan bebas, ekspansi perdagangan dunia melalui globalisasi memberikan
hasil yang mengecewakan dalam indikator makroekonomi, salah satunya adalah
memberantas kemiskinan. Menurut Sen (2002), kemiskinan yang mengakar dan
kesenjangan yang semakin lebar adalah ciri-ciri yang menonjol dari globalisasi.
Hal ini didukung oleh data dari Bank Dunia (2003), yang menunjukan bahwa
meningkatnya kemakmuran yang dihasilkan dari perdagangan, terdapat 1.1 milyar
manusia yang berjuang untuk bertahan hidup dengan pendapatan kurang dari 1 US
Dollar per hari.
Di sisi lain, kebijakan liberalisasi perdagangan dapat dilihat sebagai suatu
upaya meningkatkan daya saing ekonomi (Soesastro, 2007). Berbagai kajian
menunjukkan bahwa bagi negara berkembang, kunci utama untuk melakukan
penetrasi pasar adalah daya saing harga. 1 Maka upaya nasional maupun
internasional untuk meningkatkan daya saing, sedikitnya pada tahap permulaan
hingga kehadiran di suatu pasar menjadi cukup mapan, adalah dengan
mempertajam daya saing harga produk. Soesastro pun berpendapat bahwa negaranegara ASEAN bersepakat untuk membentuk kawasan perdagangan bebas, AFTA
(ASEAN Free Trade Area), dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing
kawasan secara keseluruhan di pasar dunia. Langkah ini merupakan jawaban
kawasan terhadap tantangan globalisasi.
Di
kawasan
Asia
Tenggara,
globalisasi
ekonomi
juga
memicu
terbentuknya integrasi ekonomi regional. Integrasi dan keuangan regional dalam
beberapa dekade terakhir telah menjadi kecenderungan di berbagai belahan dunia.
Negara-negara yang berada dalam satu kawasan membentuk persekutuan regional
(regionalisme) seperti pembentukan Pasar Tunggal Eropa (PTE) dan NAFTA
(Dwisaputra, 2007). Alasan utama dalam pembentukan integrasi ekonomi dan
keuangan regional salah satunya dikemukakan oleh Kurniati (2007) karena adanya
kedekatan geografis dan historis serta hubungan ekonomi antar negara di suatu
kawasan. 2
Berbagai fakta yang menunjukkan perekonomian negara-negara di seluruh
dunia semakin terintegrasi akibat adanya globalisasi ekonomi dikemukakan oleh
Jeffrey Sachs (2005). Menurut Sachs, terdapat empat dimensi yang dapat menjadi
rujukan tersebut. Pertama, berkembangnya perdagangan internasional. Kedua,
krisis mata uang di Asia Tenggara pada tahun 1997. Ketiga, sistem produksi yang
semakin terintegrasi secara internasional, dimana sepertiga perdagangan dunia
dilakukan oleh perusahaan multinasional. Keempat, adanya regulasi internasional
dalam kehidupan kekinian.
1
Tirthayatra, Made. 2003. Resensi Buku “Dangerous Market, Managing in Financial Crisis”.
Pengarang Buku : Dominic Barton, Roberto Newell dan Gregory Willson. Diterbitkan oleh John
Willey & Sons, Inc.
2
Kuniati, Yati. 2007. Buku “Integrasi Keuangan dan Moneter di Asia Timur”. Biro hubungan dan
Studi Internasional Direktorat Internasional, Bank Indonesia. Jakarta.
2
Kecenderungan peningkatan proses integrasi ekonomi dan keuangan
regional di berbagai belahan dunia pada dasarnya dilandasi oleh pemikiran bahwa
manfaat yang akan diperoleh dari integrasi tersebut lebih besar dibandingkan
dengan resiko yang mungkin dihadapi oleh masing-masing negara anggota dalam
kawasan tersebut (Sholihah dan Saichu, 2007). Integrasi ekonomi akan
menyebabkan adanya pasar yang besar, mobilitas faktor produksi, yang akan
menjadikan bahan baku murah, economics of scale, kenaikan produktifitas, yang
berujung pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi (Kurniati, 2007).
Namun, dalam kajian Satria (2008) dikatakan bahwa integrasi ekonomi
(dalam hal ini perdagangan) telah memaksa terjadinya konflik dalam distribusi
pendapatan. Persoalan gap pendapatan ini disimpulkan dalam model HecksherOhlin yang berbunyi ” A country will be better off with trade, but owners of
abundant factors gain and owners of scarce factors lose; with trade, owners of
scarce factors will be worse off without compensation”. Secara umum, teori ini
menjelaskan bahwa sebagian masyarakat yang tidak mampu memanfaatkan
perdagangan internasional dari adanya integrasi ekonomi, akan mengalami
kerugian akibat hal tersebut.
Di sisi lain, dalam perkembangannya, berbagai konsep terkait dengan
integrasi keuangan dan moneter ini pun terus mengalami perkembangan. Inisiatif
kerjasama mulai dikembangkan untuk dapat meningkatkan efektifitas pencapaian
tujuan bersama yaitu menciptakan stabilitas keuangan regional. 3 Hal ini yang
mendorong negara-negara di kawasan ASEAN, Jepang, Cina, dan Korea Selatan,
atau yang lebih dikenal dengan nama ASEAN+3 untuk mencapai kerjasama yang
lebih dalam berupa integrasi keuangan dan moneter.
Peningkatan intensitas kerjasama keuangan dan moneter di kawasan ini
pada dasarnya dilatarbelakangi beberapa faktor, 4 antara lain krisis keuangan dan
moneter di kawasan Asia. Sebelum krisis pada tahun 1997, hanya sedikit pihak di
3
4
Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional. 2000, Triwulan II. Bagian
Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter.
Bank Indonesia.
Falianty, T. A. 2006. “Optimum Currency Area : Studi Kasus di Negara ASEAN-5. Dalam
Desertasinya penulis menuliskan bahwa peningkatan intensitas kerjasama keuangan dan moneter
di kawasan ini pada dasarnya dilatarbelakangi oleh tiga faktor, yaitu : pertama, krisis keuangan
dan moneter di kawasan Asia. Kedua, Aliran modal ASEAN yang semakin terbuka. Ketiga,
kesuksesan Eropa menjadi sebuah Uni Moneter Regional dengan meluncurkan mata uang euro
pada Tahun 1999.
3
Asia Timur dan ASEAN yang memikirkan kerjasama moneter. Adanya
permusuhan, persaingan, dan distribusi kekuasaan yang tidak merata di kawasan
ini menyebabkan tidak adanya dorongan untuk melakukan integrasi regional lebih
lanjut, walaupun integrasi perdagangan telah mulai berlangsung sejak tahun 1992
dengan perjanjian kerjasama AFTA (ASEAN Free Trade Area). Namun, dengan
terjadinya krisis mata uang di Asia, mengingatkan pentingnya stabilitas mata uang
untuk menjaga kelangsungan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial (Falianty,
2006).
Krisis yang berdampak luar biasa terhadap perekonomian negara-negara
ASEAN+3 telah memberikan kesadaran bahwa terdapat efek tular dari krisis
ekonomi di suatu kawasan. 5 Sementara itu, menurut Baharumshah dan Habibullah
(2006), krisis di Asia pada tahun 1997-1998 mengungkap dua jenis resiko
stabilitas keuangan Asia, yaitu :
1. Resiko yang muncul dari sifat mudah diserang/rentan pada bank dan
neraca perusahaan. Khususnya, ketidakseimbangan severe currency dalam
neraca yang akan membuat ekonomi secara keseluruhan rentan menuju
twin crises 6 .
2. Resiko pengaruh buruk yang harus diterima akibat tidak adanya koordinasi
kebijakan secara efektif di regional. Kasus untuk kerjasama regional
sangat kuat di Asia Timur, dimana ekonomi terintegrasi satu dengan
lainnya dan ketidakstabilan finansial dapat menyebar dengan cepat antar
wilayah.
Krisis keuangan dan moneter di Asia pada tahun 1997 merupakan salah
satu faktor dalam pembentukan Regional Monetary Unit (RMU) di kawasan ini
(Mittal, 2004). Terdapat dua keuntungan besar untuk menciptakan dan
menggunakan uni moneter regional (Moon dan Rhee, 2006), yaitu:
1. RMU tepat sebagai benchmark yang berguna bagi otoritas moneter Asia
untuk perkembangan pasar nilai tukar. Sebagai contoh, RMU dapat
digunakan sebagai indikator untuk memonitor pergerakan mata uang
5
Kuniati, Yati. 2007. Buku “Integrasi Keuangan dan Moneter di Asia Timur”. Biro hubungan dan
Studi Internasional Direktorat Internasional, Bank Indonesia. Jakarta.
6
Pengertian dari krisis ganda adalah krisis nilai tukar yang datangnya bersamaan dengan krisis
perbankan dikarenakan dari sistem keuangan yang liberal, atau umumnya disebut dengan krisis
finansial.
4
negara-negara Asia berhadap-hadapan (vis-a-vis) dengan mata uang
penting lainnya seperti Dollar Amerika dan Euro, dan juga untuk
memonitor pergerakan individu setiap mata uang negara-negara Asia
terhadap rata-rata regional yang ditampilkan oleh RMU.
2. Untuk partisipan pasar sektor swasta, rancangan terbaik indeks RMU akan
dibuktikan dapat berguna sebagai denominasi transaksi pasar, seperti
penerbitan obligasi, dan juga berkontribusi terhadap aktivitas Asian Bond
Market Initiative (ABMI). Sebaran luas dan penggunaan RMU dapat
menunjukkan transaksi perdagangan dan instrumen finansial guna
membantu mengurangi ketidakseimbangan mata uang dalam neraca dan
hal tersebut meringankan resiko dari krisis yang pernah terjadi di Asia
pada tahun 1997-1998.
Sejak krisis yang melanda negara-negara Asia pada tahun 1997, negara di
Asia melakukan upaya untuk mewacanakan adanya koordinasi finansial dan
moneter regional. Namun, Moon dan Rhee (2007) berpendapat bahwa tidak ada
kemajuan signifikan dalam perkembangan wacana integrasi moneter dan ekonomi
yang dimaksud, akan tetapi masih ada harapan dan sedikit kemajuan dalam hal
pengaturan moneter dan nilai tukar.
Perkembangan wacana dimulai terhitung sejak krisis ekonomi 1997. Sejak
krisis tersebut telah terjadi banyak pembaharuan di negara-negara ASEAN. Pada
bulan Mei tahun 2000, sebuah persetujuan ditandatangani di Chiang Mai,
Thailand, dimana ASEAN+3 menerapkan suatu jaringan kerjasama bagi
perjanjian tukar menukar untuk membantu negara anggota ASEAN pada masa
krisis. Dalam perjanjian tersebut negara ASEAN+3 setuju untuk mengembangkan
jaringan perjanjian swap yang sudah ada untuk menghadapi krisis keuangan di
masa mendatang. Dalam Chiang Mai Initiative (CMI) juga mencakup adanya
Billateral Swap Arragement (BSA) antara negara ASEAN dan tiga negara donor
Jepang, China, dan Korea Selatan. Rencana dari CMI merupakan langkah maju
untuk memperkuat kerjasama keuangan antar negara di Asia Timur. 7
Adapun pertemuan lanjutan ASEAN+3, antara lain untuk membentuk
suatu kesatuan moneter regional, yakni adanya pertemuan ADB di Hyderabad,
7
Falianty, T.A. 2006. Optimum Currency Area : Studi Kasus di Negara ASEAN-5 [Desertasi].
Fakultas Ilmu Ekonomi: Universitas Indonesia, Jakarta.
5
India, pada tanggal 3 Mei 2006. Menteri Keuangan Korea Selatan, Cina, dan
Jepang mengumumkan bahwa negara mereka akan mengambil langkah dalam
pengaturan mata uangnya sebagai bentuk menciptakan mata uang regional yang
serupa dengan Euro. Negara-negara tersebut pun melakukan studi terhadap
beberapa wacana yang berkembang, termasuk menciptakan Regional Curreny
Unit (RCU), yang kerap kali disebut sebagai Asian Currency Unit (ACU).
Meskipun tujuan akhirnya adalah sebuah kesatuan moneter, ide dari RCU
merupakan sesuatu yang penting sebelum tercapainya kesatuan moneter.
Pengenalan awal RCU akan membantu mengadopsi integrasi moneter dan
keuangan di Asia, mengkatalisasi pasar obligasi Asia, dan tepat sebagai
pengaturan nilai tukar Asia yang serupa dengan sistem nilai tukar Eropa.
Kecenderungan bahwa belum adanya suatu kemajuan berarti dalam integrasi
moneter Asia, RCU akan secara tepat menjadi instrumen yang efektif untuk
mematahkan current standstill. Pengenalan awal RCU, bagimanapun, mempunyai
pertanyaan teknis yang penting, seperti mata uang apa saja yang dapat
digabungkan dalam satu basket, dan bobot apa yang menjadi atribut dalam setiap
komponen mata uang. Hal tersebut juga menimbulkan pertanyaan kebijakan yang
seperti apa agar RCU dapat digunakan untuk memperkuat integrasi moneter di
Asia. 8
1.2. Perumusan Masalah
Kesuksesan Euro merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
peningkatan kerja sama maupun integrasi keuangan dan moneter. Alasannya
adalah keberhasilan penyatuan ekonomi dan peluncuran mata uang tunggal di
Eropa (euro) yang telah diluncurkan pada Januari 1999. Peluncuran mata uang
tunggal di 11 negara Uni Eropa yang dapat melindungi mata uang mereka
terhadap serangan spekulasi pasar keuangan telah menyita perhatian negaranegara di seluruh dunia, termasuk negara-negara di kawasan ASEAN+3. Dalam
dekade ini, euro telah berkembang menjadi sarana hubungan moneter
internasional yang sangat signifikan, sehingga berhasil menjadi mata uang nomor
dua di dunia, dan menjadi alternatif dari mata uang US Dollar. Keberadaan euro
8
Moon, W. dan Y. Rhee. 2007. Regional Currency Unit and Exchange Rate Coordination in East
Asia. The Kyoto Economic Review 76(1): 53-66 (June 2007).
6
diprediksi akan menjadi nilai tukar yang paling penting dalam perekonomian
dunia. Keberadaan euro juga diprediksi akan mengubah konfigurasi kekuasaan
dari sistem moneter internasional dengan mengurangi peran monopolistik US
Dollar yang terjadi selama ini. 9
Tujuan maupun kepentingan yang diinginkan oleh negara-negara Eropa
dengan meluncurkan mata uang tunggal Euro adalah mengendalikan fluktuasi
nilai tukar di antara negara Eropa, yang mendorong adanya kerjasama moneter.
Nilai tukar yang berfluktuatif rentan bagi mata uang negara-negara di Eropa untuk
mengalami depresiasi/pelemahan nilai tukar yang terlalu dalam ketika diguncang
krisis ekonomi dan moneter. Untuk melihat bagaimana laju fluktuasi nilai tukar
negara-negara di Eropa yang menyetujui penggunaan mata uang euro sebelum
adanya integrasi moneter maupun sesudah terjadinya integrasi moneter dengan
peluncuran mata uang Euro disajikan pada Grafik 1.
Rencana mata uang tunggal Eropa dimulai pada 1970 atau lebih dikenal
dengan periode pertumbuhan anggota (Kosotali dan Saichu, 2008). Pada waktu
tersebut, untuk menjaga stabilitas moneter, keenam negara anggota (Jerman,
Perancis, Italia, Belanda, Belgia, dan Luksemburg) memutuskan agar mata uang
mereka saling berfluktuasi hanya dalam batasan yang sempit. Dua tahun
kemudian, yakni Tahun 1972, dilakukan mekanisme nilai tukar (Exchange Rate
Mechanism, ERM) yang merupakan langkah awal menuju pembentukan mata
uang Euro. Namun, pada periode pasca 1973 (pasca terjadinya krisis minyak
bumi) Eropa menganut sistem Monetary Snake, yaitu mengatur tingkat margin
fluktuasi di antara mata uang anggota Masyarakat Eropa, yang pada saat itu tidak
tercapai. Hal ini terlihat di Grafik 1, bahwa keenam negara mengalami pelemahan
nilai tukar.
9
Falianty, T.A. 2006. Optimum Currency Area : Studi Kasus di Negara ASEAN-5 [Desertasi].
Fakultas Ilmu Ekonomi: Universitas Indonesia, Jakarta.
7
40
Austria
30
Belgia
Finlandia
10
Perancis
1997
1995
1993
1991
1989
1987
Potugal
1985
‐30
1983
Spanyol
1981
‐20
1979
Irlandia
1977
‐10
1975
Jerman
1973
0
1971
Percent
20
Italia
Sumber : IMF Economic Outlook, 2008 (diolah)
Grafik 1. Laju Fluktuasi Nilai Tukar Mata Uang Negara-negara Eropa
terhadap USD 1971-1997
Memasuki dekade 1980-an dengan didirikannya European Monetary
System (EMS) yang merupakan tahapan perkembangan integrasi moneter di
Eropa, diluncurkanlah sebuah mata uang paralel (parralel currency) yang diberi
nama European Currency Unit (ECU), yang merupakan langkah maju dalam
mengkoordinasikan mata uang negara-negara di Eropa. Pada periode tersebut,
dalam Grafik 1, dapat dilihat bahwa negara-negara di Eropa mengalami masa
penyesuaian (adjusment) ditandai dengan pelemahan nilai tukar hingga tahun
1987. Setelah proses itu kemudian terjadi apresiasi terhadap mata uang jangkar
(dollar AS), yang diidentifikasi dari penguatan mata uang setiap negara anggota
Uni Eropa, yang dalam hal ini ditandai dengan laju pertumbuhan nilai tukar yang
negatif. Dalam perjalanannya, Eropa menetapkan indikator konvergensi nominal
berdasarkan Maastricht Treaty (1993). Pada saat itu pula kriteria konvergensi
diterapkan dengan indikator laju inflasi, suku bunga jangka pendek, defisit
anggaran, dan pinjaman pemerintah, sebelum akhirnya negara eropa bergerak
menuju penggunaan mata uang tunggal euro pada tahun 1999.
Pada konteks kawasan ASEAN+3, rencana integrasi ekonomi dan moneter
dikemukakan pasca terjadinya krisis ekonomi dan moneter yang melanda wilayah
8
Asia khususnya Asia tenggara pada tahun 1997. Bermula dari krisis keuangan
Bath-Thailand, kemudian secara perlahan merambat ke negara-negara Asia
lainnya. Krisis keuangan ini menandakan bahwa perekonomian di wilayah Asia
Tenggara dan Asia Timur semakin terintegrasi dengan perekonomian dunia
lainnya. Dampak dari krisis ini adalah pelemahan nilai tukar negara-negara di
kawasan ASEAN+3, seperti yang dapat dilihat di Grafik 2 sebagai berikut :
230
CIN
180
JPG
KOR
130
IND
80
SING
THAI
30
MAL
FIL
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
‐20
BRU
Sumber : IMF Economic Outlook, 2008 (diolah)
Grafik 2. Laju Fluktuasi Nilai Tukar Negara ASEAN+3 terhadap USD
Periode 1990-2004
Krisis yang melanda Asia pada Tahun 1997 dikarenakan kemungkinan dua
krisis keuangan : (i) pembayaran utang luar negeri yang berat (debt crisis) atau (ii)
krisis nilai tukar (Tambunan, 1997). Redelet (1995) berpendapat bahwa krisis ini
terjadi karena krisis nilai tukar. Di sisi lain, McLoad (1995) cenderung memilih
alasan krisis karena beratnya utang luar negeri. Redelet beranggapan bahwa krisis
hutang luar negeri dan perubahan nilai tukar sebagai masalah yang saling
berkaitan. Berbagai pandangan tentang penyebab krisis antara lain dikemukakan
oleh Nasution (2004) bahwa besarnya defisit neraca berjalan dan hutang luar
negeri, ditambah dengan lemahnya sistem perbankan nasional merupakan akar
dari terjadinya krisis finansial.
9
Salah satu dampak dari krisis yang melanda Asia adalah penurunan nilai
tukar yang cepat atau lambat akan berpengaruh terhadap seluruh elemen dan
pelaku ekonomi. Secara teoritis, dampak utama dari penurunan nilai tukar secara
efektif akan menyebabkan inflasi yang tidak terkendali sehingga mengurangi daya
beli (permintaan) konsumen, terutama masyarakat berpendapatan menengah dan
rendah. Inflasi yang terjadi pada saat krisis ekonomi dan moneter dapat dilihat
pada Grafik 3.
180
CIN
JPG
130
KOR
IND
80
SING
THA
30
BRU
Laos
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
‐20
MAL
Sumber : IMF Economic Outlook, 2008 (diolah)
Grafik 3. Laju Inflasi Negara ASEAN+3
Dampak dari penurunan permintaan akibat inflasi akan mendorong
berkurangnya produksi barang dan jasa. Apabila daya beli menurun sementara
harga barang dan jasa terus meningkat, jika dilihat dari sisi produsen maka
produsen kemungkinan besar akan melakukan pemotongan produksi untuk barang
dan jasa. Dampak dari hal tersebut adalah pengurangan tenaga kerja yang
mendorong tumbuhnya tingkat pengangguran. Negara-negara seperti Indonesia,
Thailand, Filipina, Malaysia, dan Korea mengalami pelemahan nilai tukar yang
cukup dalam ketika krisis ekonomi dan moneter melanda. Indonesia mengalami
pelemahan nilai tukar rupiahnya hingga 244 persen, dan ini merupakan pelemahan
10
nilai tukar terdalam yang dialami negara-negara di Kawasan Asia. Namun, krisis
ekonomi dan moneter tahun 1997 ternyata tidak terlalu mempengaruhi
perekonomian Amerika dan Eropa.
Alasan
tersebut
dimungkinkan
karena
kondisi
aktual
saat
ini
menggambarkan bahwa kutub perekonomian di dunia terbagi atas dua kutub,
yakni Eropa dan Amerika (Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko). Hal ini tentu
saja membuat perekonomian dunia menjadi tidak seimbang karena hanya
terkonsentrasi di kedua kutub itu saja. Pernyataan tersebut berdasarkan kontribusi
perekonomian Eropa dan perekonomian Amerika terhadap GDP dunia.
Berdasarkan data Bank Dunia tahun 2007, ekonomi Eropa mempunyai
sumbangsih 22 persen terhadap GDP Dunia, dan ekonomi Amerika besarnya
adalah 30 persen dari total GDP dunia. Jika di akumulasikan, maka kedua
perekonomian tersebut menguasai lebih dari 50 persen total GDP di dunia.
Artinya, jika kedua perekonomian itu terkena shock dan tidak kuat menghadapi
krisis, maka dapat dipastikan perekonomian di seluruh dunia pun akan mengalami
dampak yang tidak baik.
Sementara menurut laporan IMF (2009), GDP dunia tahun 2008 adalah
sebesar 60 trilyun US Dollar, dan diprediksi akan tumbuh tiap tahunnya sebesar 6
persen. Ternyata dari jumlah tersebut, 80 persennya dihasilkan oleh hanya dua
puluh negara saja dan Indonesia berada di peringkat dua puluh tersebut.
Selanjutnya data tersebut memberi informasi bahwa hanya empat negara saja yang
menyumbang lebih dari 5 persen GDP dunia, antara lain Amerika serikat (23
persen), Jepang (8 persen), Cina (7 persen), dan Jerman (6 persen), sementara
Indonesia yang berada diperingkat dua puluh menyumbang sekitar 0.9 persen.
Dari perkembangan data IMF tersebut, dapat dilihat bahwa sangat memungkinkan
membentuk kutub perekonomian baru di Asia karena Cina dan Jepang
menyumbang lebih dari 15 persen GDP dunia.
Oleh sebab itu, dibutuhkan kutub perekonomian baru, dalam hal ini
ASEAN+3, yang dapat menciptakan keseimbangan konstalasi perekonomian
dunia, dan secara khusus meminimunkan dampak jika adanya krisis yang melanda
negara-negara di Asia. Namun, kawasan ASEAN+3 belum menjadi suatu original
economic community yang terstruktur, yang mempunyai aturan, dan belum
11
menjadi ekonomi yang efektif. Alangkah lebih baik, jika harapannya ke depan
ASEAN+3 menjadi sebuah original economic community seperti yang telah
dilakukan oleh Eropa dan Amerika saat ini.
Hal tersebut tentu saja mendorong diperlukannya sebuah bentuk integrasi
moneter menjadi Asian Monetary Unit (AMU) dengan mengikuti tahapan-tahapan
yang pernah dilakukan oleh Eropa. Langkah awal yang perlu disepakati dari
sebuah kesatuan uni moeter adalah kepentingan bersama dalam mengendalikan
fluktuasi nilai tukar anggota dalam kawasan ASEAN+3. Tahapan ini pernah
dilakukan oleh Eropa pada tahun 1973 dengan sebuah mekanisme pengelolaan
batas fluktuasi antar mata uang negara-negara di Eropa dalam sistem snake in the
tunnel. Namun, hal tersebut tidak mencapai sasaran yang diinginkan oleh Eropa
dan menyempurnakannya pada tahun 1979 dengan membentuk European
Monetary System (EMS).
Sejak diberlakukannya EMS di Eropa, terdapat suatu alat transaksi yang
disebut dengan nilai tukar paralel European Currency Unit (ECU). Jika
diimplementasikan di ASEAN+3, maka pembentukan Asian Currency Unit
(ACU) ASEAN+3 harus melalui pembentukan sistem moneter kawasan.
Pembentukan ECU yang dilakukan oleh Eropa pada masa itu berdasarkan bobot
pangsa perekonomian GDP, perdagangan (trade), dan short-term support facility
(Girardin dan Alfred, 2008). Untuk konteks ASEAN+3, AMU diharapkan dapat
mengikuti tahapan-tahapan yang pernah dilakukan oleh eropa baik dari sisi sistem
(EMS) maupun dalam hal mengkoordinasi mata uang negara-negara Eropa
melalui ECU, agar dampak krisis yang terjadi dapat dikendalikan bersama
sehingga resiko dampak krisis yang diterima negara-negara anggota menjadi lebih
kecil.
Namun, sebelum mencapai suatu unit moneter regional, ada pra syarat
yang harus diikuti oleh setiap anggota negara dalam kawasan tersebut. Menurut
Becker (2008), suatu kawasan dapat membentuk sebuah uni moneter regional jika
memenuhi kriteria Optimum Currency Area (OCA). Teori OCA bertujuan untuk
melihat guncangan supply dan demand yang simetrik dalam suatu kawasan.
Kesimpulan teori ini adalah suatu kawasan yang perekonomiannya terkait erat
12
karena faktor perdagangan dan mobilitas faktor produksi mempunyai guncangan
supply dan demand yang simetrik (Mundell, 1961).
Untuk keadaan di Eropa saat itu, prasyarat ini tidak dapat diberlakukan
dengan alasan kesulitan pergerakan ekonomi setiap negara anggota, yang
dikarenakan setiap negara anggota Uni Eropa mempunyai latar belakang ekonomi
yang berbeda. Oleh sebab itu, kawasan di Eropa membuat sebuah peraturan baru
pada tahun 1993 yang diberi nama Maastricht Treaty Convergence Criteria untuk
mengganti pra syarat OCA yang tidak dapat diimplementasikan. Berdasarkan
kriteria ini, beberapa kriteria divergen mulai diberlakukan, yaitu laju inflasi, suku
bunga jangka pendek, defisit anggaran dan pinjaman pemerintah.
Melihat hal tersebut, peluncuran ACU sebenarnya bertujuan untuk
memonitor pergerakan divergen (divergence movement) dari mata uang negaranegara yang tergabung dalam ASEAN ditambah negara Cina, Korea Selatan, dan
Jepang (ASEAN+3) dalam menghadapi pergerakan kawasan perekonominya
sendiri. ACU pun bertujuan untuk menggelompokan mata uangnya dalam suatu
obligasi regional dengan jumlah tertentu (Kawai dan Takagi, 2005). Oleh karena
itu, diperlukan analisis terhadap beberapa aspek teknis, guna mengidentifikasi
kriteria yang tepat dalam membentuk ACU.
Proses pembentukan ACU ini dapat mengikuti tahapan yang pernah
dilakukan oleh Eropa pada saat itu. Setelah nanti nilai tukar ACU ASEAN+3 ini
terbentuk, harus di analisis apakah ACU memang mampu memberikan nilai
tambah bagi para negara anggota ASEAN+3 dibandingkan jika mereka tetap
menggunakan mata uang domestiknya. Pada kondisi ini, ACU harus mempunyai
peranan yang besar sebagai indikator monitor pergerakan mata uang negaranegara ASEAN+3, maupun untuk menjawab permasalahan dampak indikator
ekonomi (inflasi) yang buruk apabila terjadi shock di kehidupan ekonomi yang
akan datang. Selanjutnya, untuk mencapai suatu uni moneter regional ASEAN+3,
semua negara-negara anggota kawasan ASEAN+3 harus memenuhi pra syarat
yang telah dilakukan oleh eropa. Pra syarat yang dimaksud adalah Maastricht
Treaty Convergence Criteria untuk menggantikan pra syarat OCA seperti yang
tidak dapat dilakukan oleh Eropa.
Oleh sebab itu, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan
13
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah peluang terjadinya integrasi ekonomi di kawasan
ASEAN+3?
2. Bagaimana ACU dapat diterapkan sebelum terjadinya penyatuan moneter
ASEAN+3?
3. Apa keuntungan menggunakan Asian Currency Unit (ACU) sebagai
bentuk koordinasi pergerakan mata uang negara-negara di kawasan
ASEAN+3?
1.3. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan permasalahan yang telah dikemukan sebelumnya, maka
penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis kemungkinan terjadinya integrasi ekonomi dan moneter di
kawasan ASEAN+3.
2. Membentuk Asian Currency Unit (ACU) sebagai mata uang paralel
ASEAN+3 sebelum diterapkannya integrasi ekonomi di kawasan
ASEAN+3.
3. Menganalisis keuntungan yang diperoleh jika adanya penerapan Asian
Currency Unit (ACU) di kawasan ASEAN+3.
1.4. Ruang Lingkup, Keluaran, dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini menganalisis proses dan kemungkinan negara-negara di
kawasan ASEAN+3 membentuk suatu unit moneter regional di kawasan tersebut.
Lankah awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menentukan
kemungkinan integrasi ekonomi dan moneter di kawasan ASEAN+3. Pada bagian
ini digunakan indikator laju inflasi, tingkat suku bunga jangka pendek, dan
kebijakan fiskal (general budget deficit dan public debt) negara-negara ASEAN+3
sebagaimana yang tertuang dalam konvergensi Maastricht criteria. Pada bahasan
ini pun akan diperoleh negara mana saja di kawasan ASEAN+3 yang sudah siap
untuk membentuk suatu uni moneter regional, dan negara mana saja yang belum
siap untuk perihal tersebut.
14
Kemudian dalam penelitian ini akan melakukan konstruksi ACU sebagai
parallel currency negara-negara di Kawasan ASEAN+3 dengan menggunakan
variabel Gross National Product (GDP) dan variabel perdagangan (Trade). Dalam
pembahasan ini akan diperoleh beberapa hal, antara lain (i) bobot masing-masing
mata uang negara-negara ASEAN+3 dalam membentuk ASEAN+3, (ii)
pergerakan vis-à-vis antara nilai tukar ACU terhadap mata uang US Dollar, (iii)
nilai tukar mata uang domestik setiap negara-negara ASEAN+3 terhadap ACU,
serta (iv) koridor pergerakan mata uang domestik setiap negara anggota
ASEAN+3 terhadap ACU.
Sementara pada analisis selanjutnya adalah melihat keuntungan yang
diperoleh jika negara-negara di kawasan ASEAN+3 menerapkan ACU. Analisis
dilakukan dengan menggunakan penentuan pilihan penggunaan mata uang dalam
kawasan. Hal ini meliputi apakah kawasan ASEAN+3 ini lebih baik
menggunakan nilai tukar domestik setiap negaranya, atau lebih baik menggunakan
ACU. Pilihan tersebut akan diuji dengan menggunakan Model Vector
Autoregression (VAR) dan Vector Error Correction Model (VECM) untuk
menentukan mata uang terbaik yang dapat dipilih oleh setiap negara di kawasan
ASEAN+3 dengan variabel inflasi sebagai tolak ukurnya.
Adapun manfaat dari penelitian ini selain sebagai literatur maupun
referensi bagi penelitian selanjutnya, penelitian ini merupakan informasi
mengenai kesiapan negara ASEAN+3 dalam mewujudkan integrasi ekonomi dan
moneter di ASEAN+3.
15
II. TINJAUAN PUSTAKA
Kecenderungan peningkatan proses integrasi ekonomi dan moneter
regional di berbagai belahan dunia pada dasarnya dilandasi oleh suatu konsep
dasar, yakni bahwa manfaat yang akan diperoleh dari integrasi tersebut lebih besar
dibandingkan dengan resiko yang mungkin dihadapi oleh masing-masing negara
anggota dalam kawasan. Dalam perkembangannya, berbagai konsep terkait
dengan integrasi keuangan dan moneter ini pun terus melakukan perbaikan seiring
dengan perkembangan ekonomi.
Bab ini secara khusus akan meninjau secara teoritis mengenai pengertian,
pentahapan, dan manfaat yang diperoleh dari adanya integrasi ekonomi regional.
Hasil studi empiris juga akan dipaparkan dalam bab ini untuk melengkapi
argument-argumen terkait dengan teori ekonomi dan moneter regional.
2.1. Pentahapan Proses Integrasi
Pasar keuangan di suatu kawasan dikatakan telah terintegrasi secara penuh
apabila masing-masing negara dalam kawasan tersebut telah menghadapi
kebijaksanaan dan atau ketentuan yang sama dalam pasar keuangan (single set of
rules), di mana investor dan penerbit aset keuangan mempunyai akses yang sama
terhadap pasar keuangan (equal access) dan diperlakukan secara sama (treated
equally) ketika beroperasi di pasar keuangan (Baele et al, 2004). Definisi integrasi
keuangan tersebut sangat terkait dengan the law of one price yang merupakan
definisi lain dari integrasi keuangan. The law of one price ini pada dasarnya
menyebutkan bahwa apabila suatu pasar keuangan mempunyai resiko dan tingkat
pengembalian yang identik, maka aset keuangan tersebut haruslah mempunyai
harga yang sama, terlepas dari tempat transaksi keuangan di mana aset keuangan
tersebut dilangsungkan.
Definisi integrasi keuangan ini baik secara teoritis maupun dalam
prakteknya tidak mengalami banyak perdebatan. Namun demikian, dalam ranah
teori integrasi keuangan, perdebatan yang seringkali muncul ialah terkait dengan
bagaimana proses integrasi keuangan ini harus dijalankan. Haruskah integrasi
16
keuangan dan moneter di suatu kawasan didahului oleh integrasi sektor riil
(perdagangan) atau tidak? Ada dua kelompok pendapat mengenai hal tersebut,
kelompok pertama berpendapat bahwa integrasi keuangan harus didahului oleh
integrasi sektor riil (perdagangan) di kawasan tersebut. Kelompok kedua
berpendapat bahwa integrasi keuangan dan moneter tidak harus didahului adanya
integrasi perdagangan. Perkembangan dari aliran pendapat ini, kemudian diikuti
oleh munculnya berbagai pandangan yang memperkuat fenomena bahwa integrasi
moneter merupakan langkah untuk memperkuat integrasi di sektor riil. 10
Melihat pengalaman di Asia khususnya ASEAN+3, inisiatif integrasi
keuangan dan moneter yang meningkat setelah krisis keuangan di Asia tahun 1997
dapat dikatakan mengikuti pendapat yang kedua, dimana proses integrasi
keuangan dan moneter berlangsung tanpa didahului oleh adanya integrasi sektor
riil. Kondisi ini berbeda dengan pengalaman Eropa di mana proses menuju
integrasi keuangan dan moneter didahului oleh integrasi sektor riil terlebih dahulu.
2.1.1. Integrasi Sektor Riil menuju Integrasi Ekonomi
Teori awal mengenai tahapan dalam mencapai integrasi ekonomi, secara
populer disebut sebagai Coronation Theory. Teori ini berpandangan bahwa
integrasi sektor riil yang dilakukan melalui liberalisasi perdagangan dan mobilitas
faktor produksi adalah sebagai prasyarat dalam mencapai integrasi ekonomi
secara penuh (Sholihah dan Saicu, 2007). Teori ini berdasarkan pengalaman
kawasan Eropa dalam proses menuju pembentukan Uni Eropa. Pada proses
tersebut, inisiatif dimulai dengan adanya kerjasama di sektor riil yaitu melalui
pembentukan komunitas batubara dan baja eropa (The European Coal and Steel
Community-ECSC) melalui Threaty of Paris pada tahun 1951 dengan enam
negara anggota, yaitu Belgia, Jerman Barat, Luksemburg, Prancis, Italy, dan
Belanda.
Pengalaman sukses ECSC mendorong keenam negara tersebut untuk
mengintegrasikan sektor-sektor lainnya. Pada tahun 1957 keenam negara tersebut
menandatangani Treaties of Rome, the European Atomic Energy CommunityEEC).
10
Selanjutnya
negara
anggota
menetapkan
pembebasan
hambatan
Sholihah dan Saichu. 2007. Tinjauan Teoritis Integrasi Keuangan Regional. (Eds). S. Arifin, R.
Winantyo, dan Y. Kurniati. Kerjasama Perdagangan Internasional. Bank Indonesia, Jakarta.
17
perdagangan di antara mereka dan membentuk suatu pasar tunggal (common
market) sebelum pada akhirnya mewujudkan suatu mata uang tunggal Euro. Dari
perjalanan tersebut dapat diketahui bahwa negara-negara kawasan eropa
melakukan proses yang panjang dalam menuju sebuah integrasi moneter
(monetary union) dengan mengawalinya dari inisiatif integrasi di sektor
riil/perdagangan.
Proses integrasi yang terjadi di Eropa maupun di belahan bumi lainnya
menunjukan bahwa perekonomian antar negara maupun antar kawasan saling
terbuka. Secara harfiyah, kata integrasi (integration) dapat diartikan sebagai
penggabungan. Jovanovic (2006) menggunakan istilah integrasi dalam ranah
ekonomi pertama kali pada konteks organisasi dalam suatu industri. Sementara
itu, Timbergen (1962) membedakan definisi integrasi sebagai bentuk penghapusan
diskriminasi serta kebebasan bertransaksi dan sebagai bentuk penyerahan
kebijakan pada lembaga bersama.
Pada sisi lain, Balassa dalam Sholihah dan Saicu (2007) membedakan
integrasi sebagai konsep dinamis melalui penghapusan diskriminasi di antara
negara yang berbeda, maupun dalam konsep statis yang melihat ada atau tidaknya
perbedaan dalam diskriminasi. Di tengah berbagai perbedaan definisi yang
berkembang, Jovanovic (2006) menyimpulkan bahwa konsep integrasi ekonomi
sebagai sebuah proses di mana sekelompok negara berupaya untuk meningkatkan
tingkat kemakmurannya. Integrasi juga mensyaratkan paling tidak, adanya
beberapa pembagian tenaga kerja dan kebebasan mobilitas yang bebas atas faktor
produksi. 11
Balassa menyebutkan bahwa usaha-usaha untuk menuju integrasi ekonomi
haruslah melalui berbagai tahapan. Tahapan tersebut dibagi dalam lima tahap
dimulai dari integrasi sektor perdagangan dalam bentuk free trade area dan
custom union, dilanjutkan dengan pasar bersama (common market), economic
union, dan terakhir adalah integrasi ekonomi secara total. Secara lebih ringkas
tahapan integrasi ekonomi Bela Balassa dapat dilihat pada Tabel 1.
11
Kosotali, A. dan Gunawan Saichu. 2007. Integrasi Ekonomi : Konsep Dasar dan Realitas. Bank
Indonesia.
18
Tabel 1. Tahapan Integrasi Ekonomi Bela Balassa
Tahapan
Keterangan
Prefential Trading Blok perdagangan yang memberikan keistimewaan untuk
Area (PTA)
produk-produk
tertentu
dari
negara
tertentu
dengan
melakukan pengurangan tarif (bukan menghilangkan).
Free Trade Area Suatu kawasan di mana tarif dan kuota antar negara anggota
(FTA)
dihapuskan, namun masing-masing negara tetap menerapkan
tarif mereka masing-masing terhadap negara bukan anggota.
Custom Union
Merupakan FTA yang meniadakan hambatan pergerakan
komiditi antar negara anggota tetapi menerapkan tarif yang
sama terhadap negara bukan anggota.
Common Market
Merupakan Custom Union yang juga meniadakan hambatanhambatan pada pergerakan faktor-faktor produksi (barang,
jasa, aliran modal). Kesamaan harga dari faktor-faktor
produksi diharapkan dapat menghasilkan alokasi sumber
daya yang efisien.
Economic
Union Merupakan
Interation
suatu
Common
Market
dengan
tingkat
harmonisasi kebijakan ekonomi nasional yang signifikan
(termasuk kebijakan struktural)
Total Economic
Penyatuan moneter, fiskal, dan kebijakan sosial yang diikuti
dengan lembaga supranasional dengan keputusan-keputusan
yang mengikat bagi seluruh negara anggota.
Sumber : Sholihah dan Saichu, 2007
Teori tahapan/tingkat integrasi lainnya yang hampir mirip dengan Balassa
adalah teori yang dikemukan oleh Griffin dan Pustay (2002). Griffin dan Pustay
menyusun integrasi ekonomi dalam lima tingkatan, yaitu kawasan perdagangan
bebas, persekutuan pabean, pasaran bersama, uni ekonomi, dan uni politik yang
dapat dilihat pada Gambar 1.
19
TINGGI
Meliputi integrasi politik dan ekonomi
Uni Politik
Pasaran pabean + mengkoordinasikan
kebijakan ekonomi di antara negaranegara anggota
Uni Ekonomi
Persekutuan Pabean + menghapuskan
hambatan pergerakan factor produksi
di antara negara-negara anggota
Pasaran Bersama
Kawasan perdagangan bebas +
menyeragamkan kebijakan
perdagangan untuk negara-negara
Persekutuan Pabean
Kawasan Perdagangan Bebas
Menurunkan hambatan tariff dan non
tariff terhadap sesama negara anggota,
namun masing-masing negara berhak
menentukan sendiri kebijakan
perdagangannya terhadap negara
RENDAH
Sumber : R. W. Griffin dan M. W. Pustay, 2002
Gambar 1. Tingkatan Integrasi Ekonomi Menurut Griffin dan Pustay
Untuk
memperjelas
berbagai
tahapan
mengenai
integrasi
yang
dikemukakan oleh Balassa maupun Griffin dan Pustay, maka pada bahasan
selanjutnya akan diberikan berbagai teori terkait dengan integrasi ekonomi.
Berdasarkan literatur yang terkumpul, terdapat berbagai landasan teori integrasi
ekonomi antara lain : (i) teori custom union, (ii) teori common market, dan (iii)
teori model gravitasi.
20
2.1.2. Teori Integrasi Ekonomi
Pergerakan barang dan jasa di antara negara yang sepakat membentuk
integrasi difasilitasi oleh upaya penghapusan tarif dan hambatan non tarif (NTB)
yang mendistorsi perdagangan intra negara-negara tersebut. Salah satu teori yang
membahas pendekatan tariff dalam kaitannya dengan perbedaan secara geografis
adalah teori custom union (CU). Teori CU ini merupakan teori integrasi neo-clasic
dan teori perrdagangan yang paling berkembang. Pembahasan teori ini dilakukan
mengingat CU merupakan tahapan penting dalam rangkaian tahap integrasi.
1. Teori Custom Union
CU
adalah
tipe
integrasi
ekonomi
dimana
negara-negara
yang
berpartisipasi dalam kesepakatan tersebut tidak hanya melakukan penghapusan
tarif dan hambatan kuantitatif lainnya di antara anggota terhadap barang yang
berasal dari negara-negara tersebut, tetapi juga menerapkan tarif yang sama
terhadap negara bukan anggota yaitu Common Effective Preferential Tariff
(CEPT). Dalam CU tidak terdapat kebutuhan untuk menerapkan preferential rules
of origin sebagaimana dalam FTA.
2. Teori Common Market (CM)
Dalam teori CM ini, mobilitas faktor produksi dalam suatu kawasan adalah
kondisi integrasi pasar di mana tidak terjadi perlakuan diskriminasi (Juvanovic,
2006). Tidak adanya diskriminatif ini, di mana faktor produksi bebas, akan
mendorong alokasi faktor produksi yang efisien melalui pergerakan faktor
tersebut menuju tempat dengan tingkat produktifitas yang tinggi. Hal ini yang
menyebabkan perbedaan produktifitas antara CU dan CM.
3. Model Gravitasi
Model Gravitasi dikembangkan oleh Tinbergen pada 1962 dan Linnemann
pada 1996 (Helmers dan Pasteels, 2005) yang menunjukkan bahwa perdagangan
mengikuti prinsip-prinsip fisik dari gravitasi yakni dua kekuatan yang
bertentangan menentukan volume perdagangan bilateral di antara negara-negara
melalui (i) tingkat aktifitas dan pendapatan ekonomi, serta (ii) tingkat hambatan
perdagangan. Hal-hal yang termasuk dalam hambatan perdagangan yaitu biaya
transportasi, kebijakan-kebijakan perdagangan, ketidakpastian, perbedaan budaya
dan karakteristik geografi.
21
Teori-teori integrasi yang dikemukakan merupakan serangkaian teori yang
mendukung tahapan integrasi ekonomi di seluruh dunia. Integrasi ekonomi yang
telah dilakukan oleh Eropa menjadi sebuah momentum baru kebangkitan ego
regional dalam membuat suatu komunitas ekonomi. Merujuk pada berbagai teori
integrasi ekonomi, menjadi sebuah pertanyaan yakni seperti apa dan bagaimana
negara-negara di Eropa berhasil menjadi sebuah komunitas ekonomi baru? Pada
pembahasan selanjutnya akan dibahas secara singkat bagaimana proses yang telah
dilalui oleh Uni Eropa, dan bagaimana kesiapan kawasan ASEAN+3
mempersiapkan diri dalam menyongsong sebuah komunitas ekonomi baru di
kawasan tersebut.
2.2. Cerita Sukses Eropa
Keberhasilan Eropa menuju kesatuan Ekonomi dan Moneter dimulai
dengan penandatanganan Treaty of Paris pada tahun 1951 yang mengawali
pembentukan the European Coal and Steel Community (ECSC) oleh enam negara
(yaitu Belgia, Belanda, Luksemburg, Jerman Barat, Italia, dan Perancis) dan
Treaties of Rome (1957) sebagai dasar pembentukan the European Anatomic
Energy Community (EUROATOM) dan the European Economic Community
(EEC). Tiga Komunitas tersebut pada akhirnya dilebur menjadi Masyarakat Eropa
(European Community).
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi di The Haque, Belanda tahun 1969,
disepakati bahwa Masyarakat Eropa akan secara progresif menuju pembentukan
European Monetary Union (EMU) dalam waktu sepuluh tahun kemudian,
tepatnya pada tahun 1979. Untuk mencapai sasaran tersebut, dibentuk sebuah
komite pakar yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Lukemburg, Pierre Werner,
untuk mengkaji berbagai elemen yang diperlukan bagi pembentukan kesatuan
ekonomi dan moneter tersebut. Namun demikian, seiring dengan terjadinya
gejolak ekonomi dikawasan tersebut pada tahun 1970-an, maka rencana
pembentukan EMU ini pun sempat terabaikan mengingat masing-masing negara
mefokuskan dirinya pada pencapaian kepentingan domestik mereka.
Adanya kepentingan bersama yaitu mengendalikan fluktuasi nilai tukar di
antara anggota Masyarakat Eropa menyebabkan kerja sama di bidang moneter
22
tetap tumbuh meskipun dalam bentuk yang berbeda. Pada saat itu masyarakat di
Eropa berinisiatif membentuk sebuah mekanisme untuk mengelola batas fluktuasi
antara mata uang anggota Masyarakat Eropa secara lebih tegas dalam sistem
snake in the tunnel. Sistem snake ini mengatur tingkat margin fluktuasi di antara
mata uang negara anggota terhadap mata uang anggota Masyarakat Eropa lainnya
dan juga terhadap dollar AS. Margin fluktuasi terhadap dollar AS ini turut dijaga
ketat mengingat dollar AS masih merupakan referensi utama bagi mata uang
negara Masyarakat Eropa. Namun demikian, sistem snake ini tidak mencapai
sasaran yang dikehendaki terutama karena adanya kebijakan ekonomi yang
beragam di Eropa pasca krisis minyak bumi tahun 1973. Kegagalan sistem snake
ini pada akhirnya menumbuhkan semangat untuk kembali mewujudkan EMU.
Akhirnya pada tahun 1979 dibentuklah European Monetary System (EMS) bagi
pembentukan sebuah bank sentral bersama di Eropa.
Ada tiga proses transisi utama yang ditempuh oleh Eropa untuk menuju
EMU. Pada tahap pertama, yaitu Juli 1990-Desember 1993, arus transaksi neraca
modal (capital account) dan jasa keuangan dibebaskan secara substansial dalam
kawasan negara Masyarakat Eropa. Pada tahap kedua, yaitu Januari 1994Desember 1998), the European Monetary Institute (EMI) dibentuk sebagai embrio
bagi pembentukan sebuah bank sentral bersama di Eropa. EMI berfungsi untuk
memperkuat kerja sama antar negara dan bank sentral, melakukan koordinasi
kebijakan moneter dan mempersiapkan berbagai hal yang diperlukan untuk
membentuk suatu European Central Bank System (ECBS). Pada saat yang sama,
berdasarkan Maasttricht Treaty (1993), beberapa indikator divergen konvergensi
nominal mulai diberlakukan, yaitu laju inflasi, suku bunga jangka pendek, defisit
anggaran, dan pinjaman pemerintah. Pada tahap ketiga, (yaitu mulai Januari
1999), 11 negara anggota Masyarakat Eropa bergerak menuju penggunaan mata
uang tunggal, euro, dan penggunaan sebuah bank sentral bersama, yaitu the
European Central Bank (ECB).
2.2.1. Pengalaman Uni Eropa untuk ASEAN+3
Pembentukan European Union (EU) merupakan prestasi keberhasilan
yang selalu menjadi tolak ukur integrasi ekonomi kawasan. Beberapa inisiatif
23
integrasi yang mencoba mengikuti EU seperti Latin American Free Trade Area
dan East African Common Market justru mengalami kegagalan.
Mencermati perjalanan integrasi di Eropa, banyak pelajaran dan
pengalaman pembentukan yang dapat diambil bagi ASEAN. Namun demikian,
para pemimpin ASEAN+3 perlu memperhatikan dengan seksama perbedaanperbedaan yang ada di kawasan ASEAN+3 dan juga perbedaan latar belakang
sejarah anggota ASEAN. Beberapa pembelajaran yang dapat diambil ASEAN bila
membandingkan dengan kondisi awal European Economic Community pada tahun
1950-an antara lain adalah (Plummer, 2005) :
1. Perbedaan Lingkungan Kelembagaan
Integrasi di Eropa pada 1950-an dipicu oleh semangat kawasan yang baru
saja dilanda kehancuran Perang Dunia II dan timbulnya perang dingin antara Blok
Barat dan Blok Timur. Sehingga motivasi politik dan sosial dalam upaya
penyatuan kawasan di Eropa sangat jauh berbeda dengan latarbelakang upaya
integrasi di ASEAN+3. Meskipun kecil, ASEAN+3 juga berperan menjaga
perdamaian di Asia Tenggara pada khususnya dengan menjaga stabilitas politik
kawasan. Perkembangan kelembagaan di ASEAN berbeda dengan di Eropa
karena (i) negara-negara ASEAN yang relatif baru, (ii) keragaman tingkat
kelembagaan sosial dan politik di ASEAN yang relatif lebih tinggi, dan (iii)
keterbatasan dana dalam pengembangan kelembagaan di ASEAN.
2. Perbedaan Lingkungan Ekonomi Internasional
Kemajuan
tingkat
keterbukaan
pada
saat
ini
sangat
mewarnai
perkembangan pasar global. Keterbukaan di pasar global dipicu antara lain : (i)
meningkatnya pengurangan hambatan perdagangan internasional dengan adanya
putaran-putaran perundingan seperti GATT, WTO, dan juga liberalisasi unilateral,
(ii) meningkatnya aliran modal global (termasuk aliran modal asing). Tetapi di
lain sisi, biaya yang harus dibayar dengan adanya integrasi regional, yaitu
memperbesar trade diversion, lebih besar daripada waktu yang lampau.
Perkembangan regionalism yang pesat ditunjukkan dengan meningkatnya
pembentukan grup-grup perdagangan dalam WTO yang mencapai lebih dari 200.
Grup perdagangan tersebut banyak yang merupakan mitra dagang penting
ASEAN sehingga dapat mempengaruhi eksistensi ASEAN.
24
3. Perbedaan Tingkat Perkembangan Ekonomi
Negara yang tergabung dalam ASEAN pada saat ini mempunyai
keragaman tingkat ekonomi yang bervariasi dan dapat dikategorikan dalam
beberapa tingkatan yaitu (i) kelompok negara maju, (ii) kelompok negara
”dinamis”, (iii) kelompok negara pendapatan menengah, dan (iv) kelompok
negara belum maju. Sehingga memerlukan proses konvergensi yang cukup
panjang untuk mencapai tingkatan perkembangan yang hampir sama.
4. Perbedaan Tingkat Keterbukaan Ekonomi
Dibandingkan dengan Eropa, secara umum ekonomi ASEAN lebih kecil
tetapi lebih terbuka, kecuali untuk negara-negara CLMV (Cambodia, Laos,
Myanmar, and Vietnam). Perbedaan tersebut tidak hanya terjadi pada 1950-an
tetapi juga pada saat ini dibanding mayoritas negara-negara maju.
2.2.2. Kondisi Kerjasama ASEAN+3
Krisis keuangan Asia 1997-1998 yang memperburuk kinerja ekonomi
negara anggota ASEAN utama mendorong ASEAN untuk memperluas kerja sama
ekonomi dan keuangannya mencakup Cina, Korea, dan Jepang (ASEAN+3) 12 .
Tujuan kerja sama tersebut adalah memperkuat dialog kebijakan, koordinasi dan
kerjasama dalam isu-isu bersama mengenai keuangan, moneter, dan fiskal. Kerja
sama tersebut terdiri dari empat komponen, yaitu : (i) review perkembangan
ekonomi terkini dan dialog kebijakan (Economic Review and Policy DialogueERPD), (ii) Chiang Mai Initiative (CMI), (iii) Asian Bond Market Initiative
(ABMI), dan (iv) ASEAN+3 Research Group.
Tujuan ERPD adalah untuk mendukung upaya pencegahan krisis
keuangan melalui pengimplementasian secara cepat dan tepat berbagai langkah
kebijakan perbaikan. ERPD memfokuskan diri pada isu-isu yang menjadi
kepentingan bersama. ERPD pun bertujuan untuk mempersiapkan landasan bagi
penyediaan bantuan darurat, seperti CMI, pada saat terjadi krisis. Di bawah
kerangka ERPD, menteri keuangan ASEAN+3 bertemu satu tahun satu kali
(sementara para wakilnya bertemu dua tahun satu kali) untuk membahas isu-isu
ekonomi dan kebijakan.
12
The Joint Statement on East Asia Corporation, November 1999 merupakan landasan utama
kerangka kerja sama menteri keuangan ASEAN+3.
25
Sedangkan CMI merupakan hasil kesepakatan pertemuan Menteri
Keuangan ASEAN+3 pada Mei 2000. CMI bertujuan untuk menyediakan bantuan
keuangan regional sebagai bantuan pendamping yang diberikan oleh lembaga
internasional, melalui jejaring swap bilateral di antara negara-negara ASEAN+3.
Selain itu, CMI juga memperluas ASEAN Swap Arrangement (ASA), yang
semula dibentuk oleh lima negara ASEAN pada tahun 1977, dan berkembang
menjadi seluruh negara ASEAN dengan jumlah komitmen yang meningkat pula.
Pada Agustus 2003, ASEAN+3 menyetujui inisiatif pengembangan pasar
obligasi Asia (ABMI). Sebagai inisiatif utama dalam mengembangkan pasar
modal yang efisien dan likuid sehingga penggunaan tabungan Asia untuk
kebutuhan investasi di Asia dapat terlaksana dengan lebih baik. Selain itu, ABMI
juga bertujuan untuk mendukung upaya mengatasi permasalahan ketidaksesuaian
mata uang (currency mismatch) dan jatuh tempo pinjaman (maturity mismatch).
Kegiatan ABMI difokuskan pada dua sasaran, yaitu : (i) mendorong akses
pasar melalui perluasan berbagai kelompok penerbit obligasi, dan (ii)
meningkatkan infrastruktur pasar modal di Asia. Untuk mencapai kedua sasaran
tersebut, saat ini terdapat empat kelompok kerja teknis yang terdiri dari (i) New
securitized debts instrument, yang memfokuskan pada metode-metode sekuritas
surat-surat utang sehingga dapat diperdagangkan di pasar obligasi, (ii) Credit
guarantee and investment mechanisme, yang meneliti berbagai pilihan mekanisme
dan skema penjaminan obligasi untuk proyek-proyek investasi, (iii) Foreign
exchange transactions and settlement issues, yang meneliti berbagai isu berkaitan
dengan upaya meminimalkan resiko-resiko transaksi obligasi antar negara, dan
(iv)
Rating
system,
yang
memfokuskan
pada
kegiatan-kegiatan
untuk
meningkatkan harmonisasi ketentuan dan peraturan lembaga pemeringkat kredit
di negara-negara anggota, sehingga penilaiannya atas obligasi yang diterbitkan
masing-masing negara anggota dapat diperbandingkan.
Untuk mendukung pengembangan upaya-upaya kerja sama ekonomi di
ASEAN+3 terutama berkaitan dengan isu-isu jangka menengah-panjang,
ASEAN+3 mendirikan ASEAN+3 Research Group pada Nopember 2003.
Tujuannya adalah menggali berbagai ide untuk meningkatkan kerja sama
keuangan dan mendorong stabilitas keuangan di dalam
kawasan melalui
26
masukan-masukan akademik dari para peneliti atau lembaga-lembaga penelitian
di negara ASEAN+3.
Selain berbagai kegiatan kerja sama yang telah dilakukan di kawasan
ASEAN+3, ada pula beberapa langkah integrasi yang terjadi di ASEAN+3. Untuk
melihat sejauh mana proses integrasi yang terjadi di ASEAN+3, pada pembahasan
selanjutnya akan di bahas mengenai integrasi regional di kawasan ASEAN+3.
2.3. Integrasi Regional ASEAN+3
Integrasi ekonomi regional salah satunya dilandasi oleh kedekatan
geografis dan historis serta hubungan ekonomi antar negara di suatu kawasan.
Tujuan dari integrasi tersebut adalah untuk meningkatkan pembangunan ekonomi
dan kesejahteraan kawasan dimaksud. Di Eropa, integrasi regional diawali dengan
integrasi ekonomi (sektor riil) yang kemudian diikuti dengan integrasi moneter
dan diakhiri dengan pembentukan mata uang tunggal Euro.
Di ASEAN+3, proses integrasi regional diawali dengan kerja sama
ekonomi yang lebih banyak digerakkan oleh sektor swasta (market-led and
private sector driven integration), terutama sejak awal tahun 1990-an. Dalam
periode tersebut, peranan pemerintah dalam mendorong inisiatif kerja sama relatif
terbatas pada bidang-bidang tertentu seperti perdagangan, investasi dan
pembangunan infrastruktur lintas batas (cross-border infrastructure). Dicapainya
kesepakatan perdagangan bebas seperti pembentukan ASEAN Free Trade Area
(AFTA) tahun 1992 dan kerja sama Sub-kawasan Mekong (Greater Mekong Subregional Cooperation) pada tahun yang sama menunjukan bahwa ASEAN sudah
memasuki tahapan integrasi ekonomi.
Kondisi tersebut berbeda dengan periode setelah krisis Asia 1997, di mana
inisiatif pemerintah mulai semakin meningkat dalam kerja sama di kawasan. Hal
ini tercermin dari perluasan kerja sama ekonomi di bidang keuangan dan moneter
dengan tujuan untuk mencapai dan memelihara stabilitas keuangan regional,
menjaga
dan
mendorong
pertumbuhan
regional
dan
domestik
yang
berkesinambungan, serta mengurangi ketergantungan pada lembaga keuangan
internasional.
27
2.3.1. Latar Belakang Integrasi Moneter ASEAN+3
Pada 1 Januari 1999, negara-negara Uni Eropa meluncurkan mata uang
tunggal mereka yang diberi nama Euro. Sejak awalnya, Euro sudah memaninkan
suatu peranan penting sebagai mata uang internasional kunci. Hal itu sudah
menjadikan Euro sebagai mata uang penting seperti dollar Amerika di kancah
internasional. Negara Uni Eropa mungkin mempunyai beberapa kerugian dari
sebuah mata uang tunggal tetapi mungkin juga mempunyai beberapa keuntungan
lebih banyak dari hal tersebut. Untuk suatu hal, dengan adanya mata uang tunggal
Euro, negara-negara Uni Eropa sangat tidak mungkin mengalami krisis seperti
yang dialami negara-negara Asia di tahun 1997.
Sejak krisis, banyak negara di Asia Timur dan Asia Tenggara telah
melakukan usaha-usaha yang kuat untuk mencegah terjadinya krisis mata uang.
Para pemimpin sepuluh negara ASEAN dan tiga negara lainnya membuat
kesepakatan di Chiang May Initiative (CMI) pada bulan Mei tahun 2000. CMI
mencakup swap mata uang bilateral, dialog tentang kebijakan, dan pengembangan
pasar obligasi regional. Selain itu, mereka mencoba untuk menyamai pengalaman
dari negara-negara Uni Eropa, mengadopsi Unit Mata Uang Eropa (ECU) dan
bahkan menuju keberhasilan mata uang tunggal Asia di masa depan.
Seperti pengalaman yang ditunjukkan oleh Eropa, negara Uni Eropa sudah
mencapai suatu mata uang tunggal dengan suatu langkah pendekatan. Berdasarkan
pengalaman yang dilakukan oleh Eropa, negara-negara di Asia sangat mungkin
mengambil tindakan pendekatan gradual/berjenjang sampai terbentuknya mata
uang tunggal di Asia. Asia dapat mengambil pembelajaran dari pengalaman yang
dilakukan Eropa. Walaupun demikian, bagaimana pun, hal ini menghadapi
bottlenecks. Beban yang paling utama dari suatu negara menetapkan mata uang
tunggal regional adalah kehilangan otonomi kebijakannya. Meski begitu, apabila
manfaat yang diperoleh lebih besar dari biayanya, maka negara-negara anggota
akan meluncurkan mata uang tunggal regional. Oleh karena itu pertanyaan
kritisnya adalah bukan apakah suatu kawasan (dalam konteks ini ASEAN+3) akan
membuat mata uang tunggal regional atau tidak, tetapi proses atau langkah apa
yang akan diambil dan bagaimana cara yang harus dilakukan untuk
mempersiapkan diri dalam menghadapi era mata uang tunggal Asia.
28
Pada konteks ini, Kuroda (2004) menyarankan menerapkan pendekatan
lima tahapan. Pendekatan ini meliputi ; (1) Chiang Mai Initiative, (2) Asian Bond
Market Initiative, (3) Kesepakatan Perdagangan Bebas (Free Trade Agreements),
(4) Stabilitas Nilai Tukar intra regional (Intra-regional Exchange rate
stabilization), (5) Peningkatan posisi fiskal dari negara-negara yang pengambil
bagian/partisipan (improvement of the fiscal position of participating countries).
Pendekatan dari Kuroda dapat menerangkan implementasi praktis berbagai
kebijakan ke arah mata uang tunggal regional. Sementara itu, Kim (2007)
menggunakan pendekatan tiga tahap agar menuju mata uang tunggal Asia. Ketiga
tahapan ini meliputi ; (1) Koordinasi Kebijakan untuk Stabilitas nilai tukar, (2)
Membuat Mata Uang Tunggal Regional (Asian Currency Unit), (3) Membuat
Mata Uang Tunggal Asia.
2.3.2. Paralel Currency Asian Currency Unit (ACU)
Dewasa ini telah berkembang berbagai wacana dan studi mengenai
kemungkinan pembentukan mata uang regional di ASEAN dengan mencari sistem
nilai tukar bersama yang dapat memfasilitasi dan mempercepat integrasi moneter
di kawasan ASEAN+3. Dalam hal ini, pengalaman Eropa dengan Sistem Moneter
Eropa (European Monetary System-EMS) seringkali digunakan sebagai rujukan.
Melanjutkan inisiatif kerja sama regional yang sudah berjalan di kawasan
ASEAN+3, proses untuk integrasi moneter diawali dengan peningkatan efektifitas
dialog dan tinjauan kebijakan dengan masing-masing negara yang tetap
mempertahankan rezim nilai tukar yang dianut, untuk selanjutnya bertahap
bergerak ke proses integrasi yang lebih dalam. Pelaksanaan dialog dan tinjauan
kebijakan di kawasan ASEAN+3 lambat laun dapat membangun kepercayaan dan
membantu meningkatkan hubungan kerja untuk koordinasi kebijakan dan
memperkuat dukungan keuangan di antara negara-negara yang terlibat dalam
CMI, dan pada akhirnya menciptakan lingkungan politik dan ekonomi yang
kondusif untuk memperkenalkan sistem nilai tukar bersama.
Dalam masa transisi kearah pencapaian common currency area yang akan
memakan waktu yang cukup lama, terdapat tiga alternatif sistem nilai tukar yang
dapat dipertimbangkan untuk diadopsi, yaitu (i) sistem peg terhadap satu mata
29
uang asing (single currency peg), (ii) sistem mata uang parallel (parallel
currency), (iii) sistem peg terhadap sekeranjang mata uang mitra dagang
(currency basket). Pembentukan Asian Currency Unit untuk konteks ASEAN+3,
menggunakan sistem parallel currency
mengikuti pengalaman Eropa dalam
pembentukan European Currency Unit.
Dalam sistem nilai tukar parallel, terdapat penciptaan mata uang sintesis,
di mana mata uang sintesis tersebut digunakan bersamaan dengan mata uang
domestik masing-masing negara anggota. Mata uang sintesis tersebut dibentuk
dari sekeranjang mata uang yang terdiri dari mata uang negara-negara di kawasan
yang berpartisipasi dalam pembentukan sistem tersebut. Mata uang domestik
masing-masing negara anggota kemudian dikaitkan kepada mata uang sintesis
yang dijadikan mata uang bersama. Menurut Kurniati (2007), contoh populer
penerapan parallel currency adalah ECU dalam EMS dan Special Drawing Rights
(SDR) dari International Monetary Fund (IMF).
Sebagai gambaran, ECU merupakan unit moneter yang dibentuk dari mata
uang domestik negara-negara yang tergabung dalam EMS. Dengan demikian,
ECU mencerminkan rata-rata tertimbang kinerja nilai tukar kawasan. EMS
diadopsi oleh anggota masyarakat eropa (European Community) untuk menjaga
stabilitas dengan membatasi fluktuasi nilai tukar antar negara anggota. Dalam
hubungan tersebut, EMS mensyaratkan mata uang domestik negara anggota dalam
sistem dikaitkan dengan ECU. ECU juga digunakan oleh lembaga supranational
Masyarakat Eropa sebagai alat satuan hitung (unit of account), serta sebagai
denominasi untuk perdagangan dan investasi.
Dengan tujuan untuk stabilitas nilai tukar dalam kawasan, untuk kawasan
Asia Timur, sistem nilai tukar parallel yang dibentuk lebih sesuai dengan
mengikuti pola pembentukan ECU (European Currency Unit), yaitu dengan
membentuk ACU (Asian Currency Unit). ACU dibangun dari sekeranjang mata
uang negara anggota di kawasan Asia Timur yang berpartisipasi dalam sistem
nilai tukar tersebut. ACU digunakan sebagai numeraire untuk transaksi
perdagangan dan keuangan di kawasan, sementara transaksi di luar negeri tetap
memiliki kendali atas mata uang domestik dan kebijakan moneternya. Adapun
pembentukan Asian Currency Unit dapat dilihat pada Gambar 2.
30
Membentuk Mata Uang
Sintesis ACU
Negara Anggota
Kawasan ASEAN-5
Keranjang mata uang yang
Negara A
terdiri dari mata uang negara
anggota kawasan (dengan
bobot tertimbang tertentu)
Negara B
Negara C
Negara D
Sumber : Kurniati, 2007
Gambar 2. Pembentukan Asian Currency Unit
Dalam penelitian ini, setelah ACU nanti terbentuk dengan mengikuti
tahapan-tahapan yang telah dilakukan oleh Eropa, maka penggunaan ACU untuk
setiap anggota negara ASEAN+3 akan disimulasikan dengan memberikan
guncangan/schok terhadap mata uang ACU dan mata uang domestik setiap negara
anggota. Penggunaan simulasi ini bertujuan untuk melihat bagaimana indikator
makroekonomi (dalam hal ini inflasi) berfluktuasi menuju sebuah keseimbangan
baru setelah kedua nilai tukar tersebut di shock. Adapun model yang digunakan
untuk pembahasan tersebut adalah dengan menggunakan metode Vector
Autoregressive (VAR).
2.3.3. Vector Autoregressif (VAR)
Vector
Autoregressif
(VAR)
secara
umum
digunakan
untuk
memperkirakan (forecasting) data deret waktu yang berhubungan dan untuk
menganalisa dampak random error secara dinamis pada sistem. Metodologi VAR
31
mengacu pada model persamaan simultan dengan mempertimbangkan variabel
endogen secara bersama-sama. Setiap variabel endogen dijelaskan dengan lag-nya
sendiri dan lag dari variabel endogen lainnya di dalam model. Biasanya, tidak ada
variabel eksogen di dalam model.
Dalam model, variabel dinyatakan sebagai variabel eksogen, endogen
predetermin (eksogen
ditambah lag variabel endogen). Sebelum model
diestimasi, harus dipastikan bahwa persamaan model adalah teridentifikasi, baik
teridentifikasi secara tepat (exactly identified) maupun lebih (over identified).
Pendekatan VAR menggunakan pemodelan dengan memodelkan setiap
variabel endogen dalam sistem sebagai fungsi masa lampau (lag). Lag dari
variabel endogen terlihat disisi kanan setiap persamaan. Asumsi bahwa error tidak
memiliki korelasi serial, tidak perlu dikhawatirkan karena korelasi serial bisa
diselesaikan dengan menambah lag. Model VAR bersifat atheoritical, artinya
tidak ada pedoman khusus yang digunakan dalam penentuan banyaknya lag agar
dihasilkan model sebaik mungkin.
Model VAR memiliki beberapa kelebihan sebagai berikut:
1. Metode VAR sederhana, sehingga tidak perlu menentukan variabel
endogen dan eksogen. Seluruh variabel dalam model VAR adalah
endogen. 13
2. Estimasi VAR sederhana. Metode OLS biasa dapat digunakan untuk setiap
persamaan secara terpisah.
3. Hasil peramalan dengan menggunakan metode ini dalam beberapa kasus
lebih baik dibandingkan dengan model persamaan simultan yang lebih
rumit.
Model VAR memiliki beberapa kekurangan sebagai berikut:
1. Tidak seperti model persamaan simultan, model VAR adalah a-theoretic
karena model ini menggunakan informasi sebelumnya. Perlu diingat,
dalam model persamaan simultan, memasukkan atau mengeluarkan
variabel tertentu memainkan peranan penting dalam identifikasi model.
2. Model ini lebih fokus pada konteks peramalan sehingga kurang cocok
untuk analisis kebijakan.
13
Terkadang variabel eksogen murni mengandung trend dan faktor musiman.
32
3. Tantangan terbesar dalam model VAR adalah memilih jumlah atau
panjang lag yang tepat.
4. Untuk sejumlah m variabel dalam model VAR, seluruh variabel m harus
stasioner secara bersama-sama. Jika persyaratan ini tidak terpenuhi, maka
harus dilakukan transformasi terlebih dahulu (misalnya melalui first
differencing). Transformasi akan sulit dilakukan jika data memiliki tingkat
integrasi yang berbeda, misalnya dua variabel yang terintegrasi pada
tingkat level [ I(0) ] dan tingkat satu [ I(1) ].
5. Koefisien individual dalam estimasi model VAR seringkali sulit
diterjemahkan, sehingga digunakan Impulse Response Function (IRF) 14
untuk melacak dampak suatu variabel terhadap variabel lainnya.
Dari rangkaian pembentukan ACU dan simulasi untuk pemilihan nilai
tukar setiap negara anggota ASEAN+3, ada sebuah proses sebelum menuju
Kesatuan Integrasi Regional. Salah satunya adalah menurut Baharumshah et al
(2006), yang mengatakan bahwa suatu kawasan dapat mencapai terjadinya
kesatuan moneter regional harus memenuhi kondisi OCA agar integrasi ekonomi
yang terjadi dapat lebih efisien. Oleh karena itu berikut akan dituliskan beberapa
tinjauan terkait mengenai OCA.
2.4. Optimum Currency Area (OCA)
Pada dasarnya teori Optimum Currency Areas terkait dengan bagaimana
perekonomian suatu negara dengan wilayahnya diberikan independensi ataupun
kebebasan dengan tujuan membentuk intergrasi moneter untuk berbagi satu mata
uang bersama. Dalam perdagangan internasional, penggunaan mata uang yang
berbeda dengan satuan nilai yang berbeda menghasilkan ketidakseimbangan
dalam neraca pembayaran suatu negara. Sehingga, mata uang dapat menjadi suatu
alat kebijakan untuk kompensasi ketidakseimbangan dalam neraca pembayaran
ketika hal tersebut diperbolehkan untuk mengapresiasi dan mendepresiasi nilai
relatif yang berhubungan dengan mata uang tersebut. Akan tetapi, ekonomi yang
lebih kecil terkadang mengalami kesulitan untuk mengizinkan mata uangnya
mengambang bebas dalam pasar uang. Depresiasi suatu mata uang dapat
14
IRF melacak respon variabel dependen dalam system VAR atas shock yang diberikan pada error-nya.
33
meningkatkan ekspor dan neraca perdagangan negaranya, tetapi perekonomian
negara kecil tidak mampu mendukung tekanan nilai-nilai yang menjatuhkan mata
uangnya sebelum keadaannya stabil kembali. Depresiasi mata uang domestik akan
mengurangi daya beli lokal sedangkan daya beli dari asing akan meningkat.
Oleh karena itu, banyak perekonomian yang lebih kecil boleh menentukan
dan menerapkan nilai tukar tetap dimana mata uang mereka ditetapkan oleh mata
uang negara lain, biasanya digunakan dollar Amerika. Apabila hal itu merupakan
sebuah kasus, pertanyaannya adalah apakah semua negara dengan perekonomian
kecil perlu mengadopsi satu sistem nilai tukar tetap untuk menstabilkan nilai dari
mata uang mereka.
Teori mengenai OCA pertama kali dikemukan oleh Robert A. Mundell
dengan tulisannya yang berjudul A Theory of Optimum Currency Areas. Teori ini
muncul pada akhir periode Bretton Woods dalam debat mengenai pro dan kontra
dari flexible exchange rate (Kucerova, 2003). Perdebatan ini muncul karena
sistem Bretton Wood telah memaksimalkan capital control pada banyak negara.
Meskipun banyak penelitian tentang pilihan rezim exchange rate sejak awal tahun
1950an, Mundell adalah yang pertama kali mengungkapkan konsep optimum
currency area memungkinkan untuk diterapkan dalam suatu wilayah. Mundell
mencoba untuk menjawab pertanyaan kapan seharusnya suatu wilayah
mempunyai mata uang sendiri dan wilayah yang bagaimana yang sesuai dengan
sebuah common currency area (Broz, 2005).
Menurut Mundell (1961), Optimum Currency Area (OCA) mempunyai
definisi suatu wilayah geografis yang mempunyai guncangan supply dan demand
yang simetrik dan memenuhi beberapa kriteria atau kondisi tertentu. Kriteria
tersebut meliputi :
1. Memiliki derajat internal factor mobility yang tinggi dan derajat external
facor mobility yang rendah.
2. Memiliki upah dan harga yang stabil.
3. Mobilitas tenaga kerja yang mudah dalam batasan-batasan nasional
(budaya, peundang-undangan, kemakmuran, dll) namun mobilitas tersebut
tidak mudah apabila melewati/di luar batasan-batasan nasional (national
34
borders). Spesialisasi dan keterampilan suatu negara juga menjadi faktor
pendukung.
Selanjutnya, Krugman-Obstfeld, 15 mendefinisikan OCA sebagai suatu
kelompok negara-negara dalam suatu kawasan yang perekonomiannya terkait erat
terutama karena faktor perdagangan (barang dan jasa) serta mobilitas faktor
produksi. Definisi ini merupakan hasil pengamatan Krugman dan Obstfeld yang
menyimpulkan bahwa sebuah kawasan yang menetapkan suatu nilai tukar tetap di
antara negara-negara anggota akan berhasil mewujudkan semua tujuannya apabila
tingkat output dan keterkaitan sektor perdagangan di antara negara-negara tersebut
tinggi.
Selain Mundell, Kenen dan McKinnon juga merupakan pelopor teori
OCA. Kenen dalam Bergman (2000) mengemukakan bahwa sebuah currency
area dibentuk dari negara-negara yang memproduksi dan mengekspor barangbarang yang mempunyai diversifikasi yang luas dan struktur yang sama. Kriteria
Kenen meliputi :
1. Mempunyai sedikit goncangan asimetris, dan
2. Mempunyai tingkat diversifikasi ekonomi yang tinggi. Yang pada
dasarnya hal ini dapat melawan guncangan asimetrik.
Sedangkan McKinnon (1963) mengemukakan bahwa sebuah OCA dibentuk dari
negara-negara yang mempunyai keterbukaan perdagangan yang tinggi. Di lain
pihak, Ngian dan H Yuen, 16 mengungkapkan bahwa OCA merupakan suatu
keadaan dimana negara-negara yang tergabung dalam kerjasama tersebut secara
bersama menetapkan sistem nilai tukar tetap (mata uang masing-masing negara
anggota di peg terhadap satu mata uang jangkar) dan menjalankan kebijakan
moneter bersama.
Melihat
bagaimana
proses
integrasi
di
kawasan
Eropa,
dalam
perjalanannya, teori OCA ini tidak dapat diimplementasikan oleh Uni Eropa
karena beberapa alasan yang telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya.
15
Definisi OCA menurut Krugman-Obstfeld dalam Sholihah dan Saichu. 2007. Tinjauan Teoritis
Integrasi Keuangan Regional. (Eds). S. Arifin, R. Winantyo, dan Y. Kurniati. Kerjasama
Perdagangan Internasional. Bank Indonesia, Jakarta.
16
Definisi OCA oleh Ngian dan H Yuen dalam Sholihah dan Saichu. 2007. Tinjauan Teoritis
Integrasi Keuangan Regional. (Eds). S. Arifin, R. Winantyo, dan Y. Kurniati. Kerjasama
Perdagangan Internasional. Bank Indonesia, Jakarta.
35
Oleh sebab itu, pendekatan lain digunakan untuk menggantikan pra syarat OCA
yakni pra syarat yang dikenal dengan Maastricht Treaty Convergence Criteria.
2.5. Maastricht Treaty Convergence Criteria
Dalam Integrasi ekonomi, penyatuan pasar bukan hanya terjadi pada pasar
barang. Pasar-pasar jasa pun mengalami proses konsolidasi yang sangat dinamis.
Industri perbankan dan sektor keuangan lainnya mulai dapat memasuki wilayah
negara lain. Seperti halnya di Eropa, setelah adanya integrasi di sektor riil,
integrasi ekonomi di sektor lainnya pun mulai merambah antar negara-negara
anggota Uni Eropa.
Suatu hal yang menarik adalah perkembangan yang terjadi sehubungan
dengan mata uang antar negara. Sebagaimana dimaklumi, dengan terjadinya
perbedaan penggunaan mata uang tersebut, perdagangan antar negara di antara
sesama anggota akhirnya memperhitungkan perkembangan nilai mata uang
tersebut. Pada masa berlakunya sistem Brettonwoods, dimana semua mata uang
dikaitkan dengan US Dollar, maka hubungan mata uang antarnegara anggota pada
hakikatnya tidaklah banyak berubah dari waktu ke waktu.
Namun, dengan runtuhnya sistem tersebut melalui Presiden Nixon pada
tanggal 15 Agustus 1971, maka hubungan mata uang antar negara anggota
tidaklah linier. Hal itulah yang mendasari negara-negara di Eropa akhirnya
memiliki kesepakatan untuk mengkaitkan mata uang mereka satu sama lain,
melalui apa yang disebut dengan Snake in the Tunnel. Bahkan, diantara negara
Belgia, Belanda, dan Luxemburg, kesempatan itu lebih sempit lagi sehingga
muncul istilah worm atau cacing di antara mereka dan Snake di antara anggota
komunitas yang lebih besar.
Sistem tersebut terus berlangsung sampai tahun 1979, yakni pada saat
sistem tersebut diformalisasikan secara lebih sistematis melalui terbentuknya
EMS, dan ERM merupakan tulang punggung dari sistem tersebut. Perkembangan
itu terus berlangsung sampai munculnya suatu kesepakatan baru yang lebih
ambisius. Kesepakatan baru tersebut disepakati di Belanda pada Bulan Desember
Tahun 1991, di suatu kota di ujung selatan negara tersebut yang berbatasan
dengan Jerman, Belgia, dan Perancis.
36
Oleh karena itu, kesepakatan tersebut diberi nama kota itu, yakni Trakta
Maastricht atau Maastricht Treaty. Kesepakatan tersebut menjadi mengikat
setelah diratifikasi oleh negara-negara anggota pada tahun 1992. Dengan
kesepakatan tersebut, hubungan mata uang antar negara anggota akhirnya lebih
didekatkan lagi. Untuk itu, negara-negara anggota harus mengadopsi suatu
kebijakan yang mendekatkan perekonomian mereka melalui apa yang disebut
sebagai kriteria konvergensi. Kriteria tersebut mencakup laju inflasi, suku bunga
jangka pendek, defisit APBN yang diperlukan, dan rasio utang terhadap PDB
yang terjadi di setiap negara.
2.6. Penelitian Empiris Terkait
Penelitian mengenai Asian Currency Unit oleh Ogawa dan Shimizu (2005)
membahas empat estimasi pendekatan Asian Monetary Unit (AMU). Pendekatan
tersebut berdasarkan variabel trade volume intra kawasan, GDP nominal, GDPPPP, dan international reverse. Diantara semua itu, variabel pendekatan AMU
dengan menggunakan bobot variabel GDP-PPP dan bobot variabel trade lebih
tepat dari sudut pandang stabilitas AMU. Dari indikator divergen yang dihitung,
hanya Dollar Singapura dan Dollar Brunei yang mengalami deviasi sebesar 2.5
persen dari benchmark rates. Selebihnya, sebagian besar mata uang negara
ASEAN+3 (Cina, Jepang, dan Korea) mengalami deviasi lebih dari tiga puluh
persen pada periode Noverber tahun 2004 dengan menggunakan benchmark harga
dasar tahun 2001. Penelitian ini tidak hanya melakukan penghitungan secara
nominal, melainkan juga secara penghitungan riil.
Setelah memahami penelitian yang dilakukan oleh Ogawa dan Shimizu di
atas, Baharumshah et al. (2005) mengkonstruksi Regional Monetary Unit (RMU)
ASEAN-5 +3 (Indonesia, Thailand, Singapura, Filipina, Malaysia, Cina, Jepang,
dan Korea) untuk dibandingkan dengan penelitian Ogawa dan Shimizu (2005)
yang mengkonstruksi RMU berdasarkan tiga belas negara ASEAN+3 (Indonesia,
Thailand, Singapura, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, Kamboja,
Myanmar, Laos, Cina, Jepang, dan Korea). Hasil yang diperoleh dari penelitian
ini adalah delapan negara (ASEAN-5 +3) mempunyai potensi untuk bekerjasama
dalam membentuk International trade dan economic cooperation untuk
37
memfasilitasi pembentuk Asean Monetary Union (AMU). Landasan pokok
delapan negara saja yang dilibatkan dalam penelitiannya adalah karena lima
negara lainnya seperti Brunei Darussalam, Kamboja, Vietnam, Myanmar dan
Laos (i) data makroekonomi yang dibutuhkan dalam rentang lima belas tahun
kebelakang tidak tersedia dengan baik, (ii) Sebagian dari negara tersebut sedang
mengalami
transisi
ekonomi,
(iii)
biaya
untuk
memperoleh
data-data
makroekonomi yang diperlukan akan membutuhkan biaya yang besar.
Kesimpulan dari penelitian ini tidak menemukan perbedaan signifikan antara
RMU ASEAN+3 dan RMU ASEAN-5 +3.
Melalui pendekatan yang berbeda, Moon dan Rhee (2007) membahas
pembentukan Regional Currency Unit untuk ASEAN-5 +3 (Indonesia, Thailand,
Malaysia, Filipina, Singapura, Cina, Jepang, dan Korea). Penentuan Variabel
Ekonomi yang digunakan adalah GDP-PPP, GDP Nominal, Intra Trade, dan
CMI-Swap dengan rentang waktu data penelitian dari tahun 2000-2006. Penelitian
ini mengeksplorasi penentuan bobot serta fluktuasi nilai tukar dengan
menggunakan RCU dan untuk digunakan sebagai referensi integrasi moneter. Dari
penelitian ini disimpulkan bahwa dengan mengestimasi nilai tukar RCU terhadap
USD diperoleh dua temuan. Pertama adalah nilai RCU dengan basis penghitungan
GDP nominal berfluktuasi paling tinggi dan RCU dengan basis penghitungan
GDP-PPP berfluktuasi paling rendah. Kedua adalah dari estimasi pergerakan mata
uang setiap negara selama periode waktu 2000-2006, mata uang Won Korea
terapresiasi paling tinggi mencapai lima belas persen, sementara mata uang Peso
Philipina mengalami depresiasi tertinggi yang melebihi lima belas persen pada
periode waktu yang sama.
Sementara itu, Guman dan Palit (2008) mengevaluasi kelayakan
penggunaan Asian Currency Unit untuk ASEAN+4 (ditambah Cina, Korea,
Jepang, dan India).serta perekonomian negara Australia dan Selandia Baru. Dalam
penelitian tersebut, Guman dan Palit menambahkan jumlah observasi penelitian.
Penentuan variabel ekonomi yang digunakan adalah variabel GDP nominal, GDPPPP, dan Ekspor Intra Regional dengan rentang waktu data penelitian 2001-2007.
Dari hasil penelitiannya, Guman dan Palit menyimpulkan bahwa seharusnya
proposal integrasi ekonomi dan moneter ASEAN+3 yang dibahas dalam beberapa
38
waktu terakhir melibatkan perekonomian India, Australia, dan Selandia Baru. Hal
tersebut akan berdampak pada besarnya pangsa integrasi finansial di wilayah
tersebut terhadap perekonomian dunia. Secara lebih ringkas, penelitian empiris
yang terkait dengan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Penelitian Empiris Terkait
Penulis
Ogawa
dan
Shimizu (2005)
Bhaharumshah
et. al. (2006)
Judul
A
Deviation
Measurment for
Coordinating
Exchange Rate
Policies in East
Asia
Toward Greater
Financial
Stability in The
Asia Region
Variabel Ekonomi
1. GDP nom
2. GDP-PPP
3. Total Trade
4. International
Reserve
Observasi
ASEAN+3
Rentang Data
2000-2004
s.d.a.
ASEAN-5 +3
2000-2005
Moon dan Rhee
(2007)
Regional
Currency Unit
and Exchange
Rate
Coordination in
East Asia
1.
2.
3.
4.
GDP-PPP
GDP nom
Intra Trade
CMI-Swap
ASEAN-5 +3
2000-2006
Gupta dan Palit
(2008)
Feasibility of an
Asian Currency
Unit
1.
2.
3.
GDP nom
GDP-PPP
Ekspor Intra
Regional
ASEAN+4
+Aus dan New
Zealand
2001-2007
2.7. Kerangka Pemikiran
Krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1997 mengguncang
fundamental ekonomi negara-negara di Asia. Gejolak nilai tukar, merupakan efek
penularan (contagion effect) dari krisis yang terjadi di Thailand yang
menimbulkan berbagai kesulitan ekonomi yang mengkhawatirkan. Kondisi
stagflasi dan ketidakstabilan ekonomi melanda perekonomian negara-negara di
Asia. Penurunan nilai tukar yang tajam disertai dengan terputusnya aksesibilitas
sumber luar negeri karena ketakutan dan ketidakpercayaan investor menyebabkan
turunnya kegiatan produksi secara drastis sebagai akibat tingginya ketergantungan
terhadap komoditas barang, jasa, dan modal luar negeri. Para kreditur mengalami
kesulitan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban luar negeri yang harus
dipenuhinya. Pemutusan hubungan kerja juga sangat mewarnai kegiatan-kegiatan
39
ekonomi negara di kawasan Asia. Pada saat yang bersamaan, kenaikkan laju
inflasi yang tidak terkendali, seperti Indonesia tergolong tinggi 77.6 % (Bank
Indonesia, 2008) dan beberapa negara Asia lainnya serta terjadinya penurunan
penghasilan masyarakat akibat merosotnya kegiatan ekonomi masyarakat
menjadikan daya beli menurun, hal ini kian menciptakan terjadinya kemiskinan.
Dampak dari krisis ini dirasakan cukup sulit untuk berbagai negara
terutama negara yang mengalami pelemahan nilai tukar dan inflasi yang tinggi.
Oleh karena itu, kecenderungan proses integrasi dan moneter di suatu kawasan
pada dasarnya selain memberikan manfaat ekonomi yang akan diperoleh dari
proses tersebut lebih besar dibandingkan dengan biaya atau resiko yang mungkin
dihadapi apabila tidak terlibat dalam proses tersebut. Menyadari hal tersebut,
banyak pengambil kebijakan mencoba untuk menempuh kebijakan liberalisasi
perdagangan atau mencapai kesepakatan integrasi ekonomi dengan negara lain,
khususnya pada konteks ini adalah ASEAN+3.
Kebijakan maupun kesepakatan integrasi tersebut digunakan sebagai alat
untuk mendapatkan akses pasar yang lebih luas dan mendorong pertumbuhan
guna meningkatkan kesejahteraan (welfare state) yang kokoh. Didasari oleh
pemikiran tersebut, sekaligus untuk memperkuat daya saing kawasan dalam
menghadapi kompetisi global dan regional, negara-negara di kawasan Asia
Tenggara tergabung dalam forum ASEAN telah menyepakati untuk meningkatkan
proses integrasi di antara negara-negara dalam kawasan tersebut melalui
pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) dan diharapkan dapat diperluas menjadi Masyarakat Ekonomi
ASEAN+3.
Berdasarkan pengalaman Eropa, keputusan integrasi ekonomi secara
penuh dilandasai oleh kesepakatan trakta Maastricht. Oleh karena itu, dalam
penentuan inetgrasi di kawasan ASEAN+3 perlu merujuk apa yang telah
dilakukan oleh Eropa. Dalam penelitian ini dikaji bagaimana kesiapan negaranegara di Kawasan ASEAN+3 memenuhi konvergensi Maastricht sebagai upaya
integrasi ekonomi secara penuh.
Untuk menuju suatu integrasi moneter yang komperhensif memang tidak
semudah yang diharapkan. Eropa melewati perjalan transisi yang sukup panjang
40
sebelum akhirnya mampu menjadi sebuah Uni Moneter Regional Eropa. Oleh
sebab itu, diperlukan beberapa langkah yang harus dilakukan oleh kawasan
ASEAN+3 antara lain penerapan Regional Currency Unit (RCU) yang pernah
dilakukan oleh eropa dengan ECU-nya ketika memberlakukan EMS. Dalam
konteks ASEAN+3, penerapan RCU akan diberi nama ACU sesuai dengan nama
kawasan Asia. Adapun tahapan-tahapan yang akan dilakukan dalam penelitian ini
untuk menjawab tujuan penelitian yang pertama adalah (i) Kontruksi model ACU,
(ii) Kriteria Penentuan Bobot ACU, dan (iii) Penentuan Indikator Divergen.
Setelah model ACU diperoleh dengan menggunakan pendekatan
matematis dan deskriptif, selanjutnya adalah menjawab manfaat yang akan
dihasilkan apabila kawasan ASEAN+3 menerapkan ACU. Penentuan manfaat dari
ACU dilakukan dengan cara melihat bagaimana pergerakan inflasi masing-masing
negara ASEAN+3 ketika suatu negara memilih menggunakan mata uang domestik
dan nilai tukar ACU. Rangkaian kerangka konseptual dalam penelitian ini dapat
dilihat pada Gambar 3 di bawah ini.
41
Kutub Perekonomian
Eropa
Background
Kutub Perekonomian
Amerika
Krisis Ekonomi 1997
Kesuksesan Eropa
Depresiasi Nilai Tukar
Inflasi tidak terkendali
GDP Rendah
Unemployment mennigkat
Dampak Krisis
Kawasan Eropa
Bergabung
Tidak Bergabung
Membentuk Kesatuan Moneter
Regional ASEAN+3 Menuju
Masyarakat Ekonomi ASEAN+3
ACU
ECU
Indikator
Divergen
Bobot ACU
Konstruksi ACU
Mata Uang Domestik
INFLASI
Mata Uang Euro (1999)
OCA
Maastricht Treaty Criteria
Siap
Uji Kovergensi
European
Monetary
Unit
Tidak Konvergen
Konvergen
Keterangan :
Tidak Siap
Mata Uang Tunggal
Latar Belakang
Lingkup Penelitian
Gambar 3. Kerangka Pemikiran
42
III. DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Analisis dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yang
dikumpulkan dari berbagai sumber. Data yang dikumpulkan tersebut merupakan
data panel dengan time series tahunan 1997-2008 dan cross-section tiga belas
negara ASEAN+3, yaitu Cina, Jepang, Korea, Indonesia, Singapura, Thailand,
Malaysia, Filipina, Brunei, Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Laos. Alasan
pemilihan negara-negara tersebut antara lain :
a) Adanya kedekatan geografis negara-negara ASEAN dan Asia Timur
sehingga menjadi suatu komunitas ekonomi yang dikenal sebagai kawasan
ASEAN+3 (Cina, Jepang, dan Korea) yang didukung kesepakatan Chiang
Mai untuk menjadikan kawasan ini sebagai kerjasama ekonomi regional ke
depannya.
b) Kondisi perekonomian ketiga belas negara terebut bervariasi dikarenakan
kategori ekonomi untuk negara-negara kawasan tersebut terbagi menjadi
negara maju dan negara berkembang. Hal ini membuat proses analisis
menjadi lebih menarik untuk dikaji karena dapat melihat bagaimana
penggunaan ACU dan kesiapan integrasi moneter bagi negara ASEAN dan
Asia Timur.
c) Pemilihan negara-negara kawasan ASEAN+3 tersebut juga dikarenakan
data yang dibutuhkan tersedia di berbagai lembaga keuangan dunia seperti
ADB, IMF, Bank Dunia, IFS, CEIC dan sebagainya.
Jumlah amatan data yang digunakan setiap variabelnya adalah (4 x 10) x
13 = 520 amatan. Data tersebut terdiri dari GDP (indikator pertumbuhan
ekonomi), Ekspor (proxy perdagangan), Inflasi, tingkat suku bunga, defisit fiskal,
pinjaman pemerintah, dan nilai tukar.
Penjelasan data tersebut adalah sebagai berikut, dalam mengkonstruksi
model ACU dibutuhkan data mengenai nilai tukar semua negara ASEAN+3 untuk
melihat pergerakan bersama antara mata uang tersebut dalam regional ASEAN+3
dan sebagai penentuan nilai ACU untuk setiap mata uang negara ASEAN+3.
43
Sementara data mengenai GDP nominal dan Ekspor intra kawasan digunakan
untuk menentukan bobot dari tiap mata uang dan ukuran ekonomi ASEAN+3.
Variabel Inflasi, tingkat suku bunga, defisist fiskal dan pinjaman
pemerintah merupakan indikator dalam penentuan kesiapan penyatuan Uni
Moneter Regional ASEAN+3 yang tertuang dalam Maastricth Treaty dan
dijadikan acuan dalam penyatuan Uni Moneter Regional Eropa. Secara umum,
variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini di rangkum dalam
Tabel 3 sebagai berikut :
Tabel 3. Variabel-variabel Ekonomi dalam Penelitian
No.
Variabel
1
EXR
2
3
GDP
EX
4
5
6
INF
IR
G
7
GD
Keterangan
Nilai Tukar Mata Uang Domestik
terhadap US Dollar
PDB riil diukur dengan PPP
Ekspor Perdagangan Intra
Kawasan
Inflasi
Tingkat Suku Bunga
Defisit Fiskal, share dalam
GDP masing-masing negara
Pinjaman Pemerintah, share
dalam GDP masing-masing
Negara
Satuan
US$ per 1 nilai mata uang
Domestic
US$ (PPP 2000 = 100)
US$ per 1 nilai mata uang
Domestic
Persentase
Persentase
Persentase dari GDP
Setiap Negara
Persentase dari GDP
Setiap Negara
3.2. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan permasalahan, tujuan, dan alur kerangka konseptual pada Bab
I dan Bab II, maka hipotesis dari penelitian ini adalah :
1. Adanya peluang terjadinya Uni Moneter Regional ASEAN+3 untuk semua
negara ASEAN+3.
2. Kerjasama nilai tukar dengan menggunakan ACU dapat menjaga stabilitas
keuangan dan moneter regional ASEAN+3.
3. Terdapat manfaat ekonomi yang diperoleh dengan adanya integrasi
moneter di kawasan ASEAN+3.
44
3.3. Model Teoritis
Dalam suatu penelitian, model teoritis yang digunakan harus berdasarkan
kebutuhan yang berkaitan dengan penelitian tersebut. Dalam penelitian ini
terdapat dua model teoritis yang digunakan, yaitu (i) pembobotan rata-rata
(weighted average) dan (ii) model VAR. Pembobotan rata-rata digunakan untuk
membentuk nilai tukar parallel ACU seperti yang dilakukan oleh Uni Eropa.
Di sisi lain, model VAR digunakan untuk menguji dan melakukan simulasi
terhadap mata uang ACU dan mata uang domestik setiap negara anggota
ASEAN+3 guna menentukan pilihan mata uang yang tepat bagi setiap negara
anggota. Pada pembahasan tersebut, mata uang ACU dan mata uang domestik
setiap negara anggota akan di shock secara bersamaan dan dilihat implikasinya
terhadap variabel makroekonomi yakni inflasi.
3.3.1. Weighted Average
Metode pembobotan rata-rata merupakan sebuah metode dimana setiap
peubah diberi pembobotan yang sesuai dengan persentase dari total keseluruhan
pembobot, yang dinotasikan sebagai ∑ni=1 wi. Sehingga pembobotan untuk setiap
peubah dapat dituliskan sebagai berikut :
y = w1 x1 + w2 x 2 + ... + wn x n
dengan wi =
ai
∑i =1 ai
n
(3.1)
x100%
dimana :
y
= kombinasi linier dari peubah asal dan pembobot
wi
= pembobot ke-i
xi
= peubah asal ke-i
45
3.3.2. Model Vector Autoregressive (VAR)
Vector autoregression (VAR) merupakan sebuah metode estimasi yang
dikembangkan oleh Christopher A. Sims pada tahun 1980. Model VAR dibangun
dengan pertimbangan meminimalkan pendekatan teori dengan tujuan agar mampu
menangkap fenomena ekonomi dengan baik.
Dalam penggunaanya, VAR tidak perlu membedakan antara peubah
endogen dan eksogen. Semua peubah dipercaya saling berhubungan dan
seharusnya dimasukkan ke model. Model VAR berguna menunjukkan
ketergantungan antar peubah ekonomi sehingga model sangat baik menjelaskan
perilaku peubah dalam perekonomian yang kompleks. Model VAR secara
matematis ditulis sebagai berikut :
k
X t = ∑ Ai X t −i + u1t
(3.2)
i =1
dimana Xt adalah vektor kolom pengamatan waktu ke-t semua peubah, Ai adalah
matriks parameter, dan ut adalah vektor sisaan.
Uji Stationeritas Data
Jika data deret waktu yang digunakan sudah stationer, maka model yang
terbentuk adalah VAR biasa (Unrestricted VAR). Namun dalam kenyataannya,
deret data waktu yang digunakan dalam studi ekonomi hampir selalu
menggunakan peubah-peubah yang umumnya tidak stasioner.
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, adalah dengan
memberikan perhatian terhadap sifat statistik dari data deret waktu yang terkait
dengan sifat non-staioner. Menurut Thomas (1997), suatu deret waktu Xt dapat
dikatakan stationer jika :
1. E (Xt) = konstan untuk semua t
2. Var (Xt) = konstan untuk semua t
3. Cov (xt, xt + k) = konstan untuk semua i dan semua k ≠ 0
Untuk dapat mengestimasi suatu mnodel menggunakan data tersebut,
maka langkah pertama yang harus dilakuakan adalah melakukan uji stationeritas
atau lebih dikenal dengan nama pengujian unit root pada setiap peubah. Dalam
46
penelitian ini digunakan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF). Hipotesis yang
digunakan untuk menguji kestationeran data adalah :
H0 : δ = 0 (tidak stationer)
H1 : δ < 0 (stationer)
Nilai δ diduga melalui metode kuadrat terkecil dan pengujian dilakukan dengan
menggunakan statistik uji-t. Statistik uji dapat dinyatakan sebagai berikut :
thit =
δ
σδ
(3.3)
Kemudian nilai thit dari uji tersebut dibandingkan dengan nilai kritis Mc
Kinnon 95% (α = 0.05). Jika t hasil uji ADF lebih besar dari pada t tabel Mc
Kinnon, maka sudah cukup bukti untuk menyatakan tolak H0 yang berarti bahwa
tidak terdapt unit root sehingga dapat disimpulkan data deret waktu tersebut
stationer. Hal ini berlaku juga sebaliknya, jika tidak dapat menolah H0 maka dapat
disimpulkan bahwa data tersebut tidak stationer.
Apabila data tidak stationer, maka sulit untuk mengestimasi suatu model
dengan menggunakan data tersebut, karena tren data tersebut cenderung
berfluktuasi. Oleh karena itu, data yang tidak stationer perlu dilakukan proses
differencing sehingga data yang digunakan menjadi stationer.
Uji Kointegrasi
Jika ada sekelompok peubah yang tidak stationer, merupakan hal yang
menarik untuk dikaji lebih lanjut. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah
peubah-peubah tersebut terkointegrasi atau tidak. Apabila peubah-peubah tersebut
terkointegrasi, maka dapat diidentifikasi hubungan jangka panjangnya.
Konsep kointegrasi dikembangkan oleh Eagle dan Granger pada tahun
1987, yang berarti fenomena adanya suatu hubungan jangka panjang antara
peubah tersebut dapat menjadi stationer (Enders, 1995). Kombinasi linier ini
dikenal dengan nama persamaan kointegrasi.
Uji kointegrasi bertujuan untuk menentukan apakah peubah-peubah yang
tidak stationer mengalami kointegrasi atau tidak. Pengujian-pengujian tersebut
dilakuakan untuk memperoleh hubungan jangka panjang antara peubah yang telah
47
memenuhi persyaratan dalam proses integrasi, dimana semua peubah telah
stasioner pada derajat yang sama yaitu first difference. Uji kointegrasi dapat
dijadikan dasar penentuan persamaan estimasi yang digunakan apakah memiliki
keseimbangan jangka panjang atau hanya memiliki keseimbangan jangka pendek.
Pengujian dilakukan dengan menggunakan pendekatan Johansen, dimana
hipotesis yang digunakan adalah :
H0 : rank ≤ r
H1 : rank > r
Statistik uji yang digunakan untuk pengujian hipotesis tersebut adalah :
n
λtrace (r ) = −T ∑ ln(1 − λˆt )
(3.4)
i = r +1
dengan λi : akar cirri ke-i
Akar ciri tersebut, didapat dari
∑
p
i =1
Ai − 1 . Jika λtrace < λtabel maka keputusan yang
diambil adalah menerima H0 yang artinya kointegrasi terjadi pada rank r (Enders,
1995). Apabila rank kointegrasi sama dengan nol maka VAR dapat langsung
digunakan, karena berarti tidak terjadi kointegrasi. Namun, ketika rank
kointegrasi labih besar dari nol maka harus digunakan model vector error
correction model (VECM).
Penentuan Lag Optimal
Penentuan Lag Optimal sangat berguna untuk menghilangkan masalah
autokorelasi dalam sistem VAR, sehingga dengan digunakannya lag optimal
diharapkan tidak terjadi masalah autokorelasi. Dalam rangka memperoleh panjang
lag yang tepat, maka perlu dilakukan tiga bentuk pengujian secara bertahap. Pada
tahap pertama akan dilihat panjang lag maksimum sistem VAR yang stabil.
Stabilitas sistem VAR dilihat dari nilai inverse roots karakteristik AR
polinomialnya. Suatu sistem VAR dikatakan stabil (stasioner) jika seluruh rootsnya lebih kecil dari satu dan semuanya terletak di dalam unit circle.
Pada tahap kedua, panjang lag optimal akan ditentukan berdasarkan
kriteria informasi yang tersedia. Pemilihan dilakukan dengan panjang lag menurut
kriteria Akaike Information Criteria (AIC) dan Shwarz Criterion (SC). Jika
48
kretieria informasi hanya merujuk pada sebuah kandidat saja, maka kandidat
tersebutlah yang optimal. Namun apabila diperoleh lebih dari satu kandidat, maka
pemilihan dilanjutkan pada tahap ketiga. Pengujian dengan menggunakan AIC
akan mengikuti persamaan sebagai berikut :
∑ε
AIC = log
2
t
T
+2
q
T
(3.5)
Sedangkan perhitungan SC adalah sebagai berikut :
SC = AIC (q) + (q/T) (logT – 1)
dengan :
q
= banyaknya peubah
T
= banyaknya peubah pengamatan
Besarnya lag optimal ditentukan oleh ditentukan oleh lag yang memiliki kriteria
SC dan AIC terkecil.
Pada tahap terakhir, nilai adjusted R2 peubah VAR dari setiap kandidat lag
diperbandingkan, dengan penekanan pada peubah-peubah terpenting dari sistem
VAR tersebut. Lag optimal akan dipilih dari sistem VAR dengan lag tertentu yang
menghasilkan nilai adjusted R2 terbesar pada peubah-peubah penting di dalam
sistem.
Vector Error Correction Model
Syarat penting dari penggunaan Vector Error Correction Model (VECM)
adalah terjadinya kointegrasi. Eagle dan Granger pun telah membuktikan bahwa
peubah yang terkointegrasi memiliki koreksi kesalahan. Jadi, VECM merupakan
bentuk VAR terestriksi untuk digunakan pada data yang bersifat non-stasioner dan
diketahui berkointegrasi.
VECM mempunyai hubungan kointegrasi yang dibangun melalui
spesifikasi dengan merestriksi perilaku jangka panjang dari peubah-peubah
endogen. VECM ordo p dituliskan sebagai berikut :
49
p −1
Δxt = A0 + πxt −1 + ∑ Φ *i Δxt −1 + ε t
(3.6)
i =1
dengan :
Φ *i = −∑ j =i +1 A j
p
π =α +β'
dengan α adalah vektor adjusment berukuran rx1 dan β adalah vektor kointegrasi
berukuran rx1.
Impulse Response Function
VAR atau VECM merupakan metode yang akan menentukan sendiri
struktur dinamisnya dari suatu model. Setelah melakukan uji untuk keseluruhan
VAR dan VECM tersebut, diperlukan adanya metode yang dapat mencirikan
struktur dinamis yang dihasilkan oleh VAR atau VECM secara jelas.
Impulse Response Function (IRF) menunjukkan bagaimana respon dari
setiap peubah sepanjang waktu terhadap guncangan dari peubah itu sendiri dan
peubah lainnya. IRF dapat juga mengidentifikasi suatu guncangan pada satu
peubah sehingga dapat menentukan bagaimana suatu perubahan yang tidak
diharapkan dalam peubah mempengaruhi peubah lainnya sepanjang waktu. IRF
juga berfungsi untuk menunjukkan efek inovasi pada variabel. IRF dapat
diturunkan vector moving average (VMA) yaitu variabel independen (xt)
diekspresikan dalam nilai sekarang dan nilai sebelumnya dari inovasi (et). Bentuk
reduced form model VAR dapat dituliskan sebagai berikut (Enders, 2004) :
xt = A0 + A1t t t −1 + et
(3.7)
Persamaan reduced form tersebut kemudian ditulis ke dalam bentuk matrik
VAR dua variabel sebagai berikut :
⎡ y t ⎤ ⎡ a10 ⎤ ⎡ a11
⎢ z ⎥ = ⎢a ⎥ + ⎢a
⎣ t ⎦ ⎣ 20 ⎦ ⎣ 21
a12 ⎤ ⎡ y t −1 ⎤ ⎡ e1t ⎤
+
a 22 ⎥⎦ ⎢⎣ z t −1 ⎥⎦ ⎢⎣e2t ⎥⎦
(3.8)
50
Enders selanjutnya melakukan manipulasi persamaan tersebut sehingga
menghasilkan :
⎡ y t ⎤ ⎡ y ⎤ ∞ ⎡ a11
⎢ z ⎥ = ⎢ ⎥ + ∑ ⎢a
⎣ t ⎦ ⎣ z ⎦ i =0 ⎣ 21
a12 ⎤ ⎡ yt −1 ⎤ ⎡ e1t −i ⎤
+
a 22 ⎥⎦ ⎢⎣ z t −1 ⎥⎦ ⎢⎣e2t −i ⎥⎦
(3.9)
Melalui persamaan matriks tersebut, Enders selanjutnya membuat fungsi
VAR menjadi berikut :
∞
xt = μ + ∑ Φ i ε t −1
(3.10)
i =0
Moving average berguna untuk menerangkan interaksi antara yt dan zt.
Koefisien Фi dapat digunakan untuk menghasilkan pengaruh kejutan εyt dan εzt
terhadap yt dan zt. Koefisien tersebut adalah impulse response function.
Penggunaan IRF merupakan cara yang praktis untuk menunjukkan perilaku series
yt dan zt dalam merespon berbagai guncangan.
3.4. Spesifikasi Model Penelitian
Model yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada model teoritis
yang telah dibahas sebelumnya. Dalam penelitian ini, model ACU akan
dikonstruksi sedemikian rupa sehingga menghasilkan mata uang ACU ASEAN+3
dan nilai tukar domestik setiap mata uang negara anggota ASEAN+3 terhadap
ACU. Sementara model VAR digunakan untuk melihat pergerakan variabel inflasi
setiap negara jika mata uang ACU dan mata uang domestik setiap anggota negara
ASEAN+3 di shock secara bersamaan.
3.4.1. Model Asian Currency Unit (ACU)
Dalam penentuan model RCU, harus didasarkan bahwa nilai dari RCU
sama dengan jumlah semua mata uang yang tergabung dalam RCU dan nilai tukar
semua mata uang tersebut terhadap sebuah satuan mata uang (US$) (Ogawa dan
Shimizu, 2005). Pengertian ini dapat dituliskan sebagai berikut :
51
RCU($/RCU) = ∑ j =1 Q( J ) S ($ / J ) ; Q(J) > 0
z
(3.11)
jika dalam penelitian ini suatu RCU merupakan ACU, maka dari persamaan (3.11)
dapat dimodifikasi sebagai berikut :
13
ACU($/ACU) = ∑ Q( J ) EXR($ / J ) ; Q(J) > 0
(3.12)
j =1
dimana :
ACU($/ACU) = ACU, penjumlahan dari 1 sampai 13 mata uang negara-negara
yang tergabung dalam ASEAN +3
EXR($/J)
= Nilai tukar bilateral antara dollar terhadap uang J
Q(J)
= Jumlah mata uang J dalam ACU (bobot mata uang lokal)
Secara lebih lengkap persaman (3.12) dapat dituliskan sebagai berikut :
ACU = (QCNY x $/CNY) + (QJPY x $/JPY) + (QKRW x $/KRW) + (QIDR x
$/IDR) + (QSP$ x $/SP$) + (QTLB x $/TLB) + (QMLR x $/MLR) +
(QPLP x $/PLP) + (QBN$ x $/BN$) + (QVTD x $/VTD) + (QCBR x
$/CBR) + (QMYK x $/MYK) + (QLAK x $/LAK)
(3.13)
Pada persamaan (3.13) menunjukkan bahwa ACU($/ACU) akan
homogenous pada derajat satu terhadap ER($/J). Asumsi ini mengimplikasikan
bahwa jika terjadi apresiasi sebesar satu persen setiap mata uang yang tergabung
dalam ACU maka akan mendorong ACU terapresiasi sebesar satu persen terhadap
dollar. Artinya adalah, setiap mata uang yang tergabung dalam ACU akan
memiliki nilai sendiri.
Selanjutnya adalah menentukan bobot dari setiap mata uang dalam ACU.
Bobot timbangan dari masing-masing mata uang dalam keranjang ACU dihitung
berdasarkan ukuran tingkat signifikansi ekonomi dari negara-negara yang
menerbitkannya. Jika mengikuti pengalaman pembentukan ECU, variabel yang
digunakan untuk mengukur tingkat signifikasi ekonomi terdiri dari besar ekonomi
52
relatif terhadap kawasan; pangsa perdagangan intra-kawasan, dan pangsa
likuiditas jangka pendek (de Grauwe, 2005).
Ogawa dan Shimizu (2005) menggunakan variabel volume perdagangan,
nominal PDB, PDB yang diukur dengan PPP, dan cadangan devisa untuk
menghitung bobot masing-masing mata uang dalam keranjang. Namun, pada
penelitian ini yang akan digunakan adalah GDP Riil PPP dan Ekspor dalam
kawasan masing-masing dengan pertimbangan bahwa variabel-variabel tersebut
merupakan elemen bentuk terjadinya integrasi antara satu negara dengan negara
lainnya. Sehingga dapat diperoleh bobot untuk setiap negara sebagai berikut :
Jika diasumsikan Q1 merupakan variabel GDP, maka bobot untuk setiap
negara dalam perhitungan variabel GDP adalah :
13
[ GDP( J ) ∑ GDP( J ) ]× 100%
WGDP(J) =
(3.14)
j =1
Jika Q2 diasumsikan merupakan variabel Ekspor dalam kawasan, maka
bobot untuk setiap negara dalam perhitungan variabel ekspor kawasan adalah :
WEX(J) =
[
EX ( J )
13
∑ EX ( J ) ]× 100%
(3.15)
j =1
Setelah memperoleh bobot setiap negara pada variabel tertentu,
selanjutnya adalah menentukan bobot setiap negara untuk semua variabel yang
diamati. Jika Q1 merupakan variabel GDP dan Q2 merupakan variabel ekspor,
maka bobot total untuk setiap negara dapat dituliskan dalam persamaan umum
berikut :
WQ(J) = 0.50 WQ1(J) + 0.50 WQ2(J)
(3.16)
Guna memperoleh bobot mata uang lokal atau dengan kata lain jumlah
mata uang suatu negara dalam keranjang adalah dengan mengalikan bobot negara
53
tersebut terhadap nilai tukar mata uang tersebut. Dalam persamaan umum nya
dapat dituliskan sebagai berikut :
Q(J) = WQ(J) x EXR(J/$)
(3.17)
dimana Q(J) merupakan bobot setiap mata uang ASEAN+3, WQ merupakan
bobot total setiap negara anggota ASEAN+3, dan EXR J merupakan nilai tukar
semua negara anggota ASEAN+3 (J = 1, 2, ..., 13).
Bobot dari setiap mata uang dalam ACU akan tergantung dari berapa
banyak mata uang tersebut dalam keranjang ACU. Apabila jumlah dari mata
uangnya tetap, maka bobot dari setiap mata uang akan berubah sepanjang waktu
jika terdapat perubahan nilai dalam setiap komponen mata uang ASEAN+3.
Berbagai variasi dari pendekatan yang berbeda sebenarnya dapat digunakan dalam
penentuan bobot. Tergantung dari pendekatan yang diterapkan, sehingga
keranjang dapat memiliki kemiripan atau terdapat perbedaan pembobotan dan
tidak menutup kemungkinan dapat didominasi oleh satu mata uang ataupun lebih.
Bobot merupakan faktor yang penting karena memiliki implikasi terhadap prilaku
keranjang dan dalam memperoleh indikator divergen.
Untuk maksud tersebut, hal ini berguna ketika memonitor nilai tukar
antara ACU dengan setiap komponen mata uang. Nilai ACU untuk setiap mata
uang K (K = 1, 2, 3, …, 13) dapat diperoleh dengan cara mengalikan persamaan
(3.8) dengan S(K/$) guna memperoleh tiga belas persamaan dalam rumus umum
sebagai berikut :
ACU($/ACU) =
13
∑
Q( J ) EXR($ / J ) ; Q(J) > 0
j =1
ACU($/ACU) S(K/$) =
13
∑ Q( J ) EXR($ / J )S ( K / $)
j =1
ACU (K/ACU) =
13
13
j =1
j =1
∑ Q( J )S ($ / J )S ( K / $) = ∑ Q( J ) EXR( K / J )
(3.18)
54
Guna mengetahui nilai ACU untuk mata uang K pada periode tertentu, persamaan
(3.12) dapat dituliskan kembali dalam bentuk :
ACUk,t =
13
∑ Q( J ) EXR( J / K )
j =1
t
(3.19)
dimana :
ACUkt
= Nilai ACU dalam mata uang k pada periode tertentu
Q(J)
= Jumlah mata uang j dalam keranjang (bobot mata uang lokal)
EXR(K/J)t
= Harga mata uang k dalam unit mata uang j (nilai tukar bilateral)
pada periode tertentu
Setelah model setiap mata uang ACU ASEAN+3 diperoleh dalam
persamaan (3.17), selanjutnya adalah menentukan mekanisme nilai tukar. Dalam
EMS, setiap mata uang yang dikaitkan dalam ECU, nilai tukar bilateral pada
awalnya diperbolehkan berfluktuasi dalam koridor 2.5 persen. Pada tahun 1990,
untuk Negara Italia dan kemudian Portugal, dan Spanyol diperkenankan untuk
melebarkan fluktuasi koridor (fluctuation bond) menjadi ± 6 persen. Selanjutnya,
koridor kembali diperlebar pada tahun 1992 yaitu pada masa krisis ERM menjadi
± 15 persen. Negara anggota diwajibkan untuk menjaga pergerakan nilai tukarnya
dalam koridor yang telah ditetapkan tersebut dengan melakukan intervensi
sepanjang yang dibutuhkan.
3.4.2. Model VAR untuk ACU, Mata Uang Domestik dan Inflasi
Teori yang dapat digunakan untuk memprediksi pengaruh nilai tukar
terhadap variabel inflasi dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan model
Mundell-Fleming (kurva IS-LM) dan model AD-AS secara sederhana.
Analoginya adalah depresiasi nilai tukar suatu negara akan menyebabkan harga
domestik lebih kompetitif dibandingkan produk luar negeri. Kondisi ini
menyebabkan kenaikan ekspor produk domestik. Berdasarkan teori dalam
makroekonomi, kenaikan ekspor akan menggeser kurva IS ke kanan. Pergeseran
kurva IS tersebut akan menggeser kurva AD ke kanan yang ditandai dengan
kenaikan output dan kenaikan harga.
55
Di sisi lain, depresiasi nilai tukar juga mengakibatkan barang impor
menjadi lebih mahal. Hal ini mengakibatkan produksi barang domestik
mempunyai komponen barang modal yang harus diimpor dari luar negeri.
Kenaikan produk barang luar negeri yang juga menjadi barang modal produk
domestik memicu kenaikan biaya produksi. Kenaikan biaya produksi selanjutnya
akan menggeser kurva AS ke kiri dalam model AD-AS yang ditandai dengan
kontraksi output dan kenaikan harga. Interaksi pergeseran kurva AD dan AS ini
selanjutnya akan menyebabkan kenaikan harga (inflasi).
Oleh karena itu, model VAR dalam penelitian ini digunakan untuk
menentukan pilihan antara mata uang ACU atau mata uang domestik yang sesuai
bagi setiap negara anggota ASEAN+3. Dengan menggunakan model VAR, bagi
setiap negara anggota ASEAN+3, mata uang ACU dan mata uang domestik akan
di shock secara bersamaan dan dilihat bagaimana pengaruhnya terhadap indikator
inflasi setiap negara.
Variabel yang digunakan dalam model VAR ini adalah nilai tukar ACU
setiap negara anggota, nilai tukar domestik setiap negara anggota, dan variabel
inflasi setiap negara anggota. Ketiga variabel tersebut, selanjutnya dituangkan
dalam bentuk VAR sebagai berikut :
n
n
i =1
i =1
ACU ( J ) = α + ∑ β 1 EXR( J ) t −i + ∑ β 2 INF ( J ) t −1 + ε t
n
n
i =1
i =1
n
n
i =1
i =1
EXR( J ) = α + ∑ β1 ACU ( J ) t −i + ∑ β 2 INF ( J ) t −1 + ε t
INF ( J ) = α + ∑ β1 ACU ( J ) t −i + ∑ β 2 EXR( J ) t −1 + ε t
(3.20)
(3.21)
(3.22)
56
dengan :
ACU = nilai tukar ACU
EXR = nilai tukar domestik terhadap USD
INF
= inflasi
J
= negara-negara ASEAN+3 (J = 1, 2, ..., 13)
3.5. Prosedur Analisis Penelitian
Prosedur analisis digunakan untuk melihat alur penelitian. Dalam
penelitian ini, prosedur analisis secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 4. Secara
garis besar, analisis dalam penelitian ini adalah (i) pengalaman Eropa dalam
penerapan ECU, (ii) pembahasan mengenai konvergensi Maastricht Treaty
Criteria, (iii) konstruksi ACU untuk kawasan ASEAN+3, (iii) penentuan pilihan
penggunaan mata uang untuk setiap negara ASEAN+3.
Analisis akan dilakukan dengan dua periode waktu yang berbeda. Periode
tersebut meliputi periode krisis ekonomi (1997-2002), dan periode pasca krisis
ekonomi (2003-2007). Landasan filosofis digunakannya dua periode dalam
penelitian ini antara lain : (i) melihat konsistensi pergerakan negara-negara
ASEAN+3 dalam pembentukan uni moneter regional, dan (ii) pengalaman eropa
yang menggunakan selang interval 5 tahunan dalam merevisi bobot ECU.
Langkah pertama prosedur analisis dalam penelitian ini adalah merujuk
penerapan ECU di Eropa. Pada pembahasan ini akan dikaji bagaimana Uni Eropa
menerapkan nilai tukar ECU sebelum terjadinya kesatuan moneter di kawasan
tersebut. Analisis dilakukan berdasarkan penentuan bobot ECU, baik dari sisi
penentuan awal bobot maupun revisi bobot yang pernah dilakukan oleh Eropa.
Langkah kedua, adalah. menganalisis bagaimana kesiapan negara-negara
di Kawasan ASEAN+3 membentuk suatu uni moneter regional. Pembahasan ini
mencakup ruang lingkup kesiapan negara-negara ASEAN+3 untuk mencapai
suatu integrasi ekonomi dan moneter seperti yang telah dilakukan oleh Uni Eropa
dengan menggunakan persyaratan Maastricht Treaty Criteria. Untuk menguji
negara mana saja yang sudah siap membentuk uni moneter regional adalah dengan
melihat apakah setiap negara tersebut memenuhi kriteria Maastricht secara
57
keseluruhan. Jika terpenuhi, maka negara-negara tersebut sudah siap membentuk
suatu uni moneter regional.
Langkah ketiga, penarapan ACU di kawasan ASEAN+3. Dalam Bab ini,
akan dibahas bagaimana kemungkinan pembentukan ACU untuk tiga belas
negara-negara ASEAN+3. Pembahasannya meliputi konstruksi dari pembentukan
ACU, kriteria penentuan bobot, penentuan indikator divergen untuk setiap mata
uang negara anggota ASEAN+3 berdasarkan fluktuasi nilai tukar ACU. Analisis
yang dilakukan meliputi konstruksi dan pembentukan ACU menggunakan jumlah
mata uang tetap atau dengan menggunakan bobot yang tetap untuk ACU.
Selanjutnya dalam kriteria penentuan bobot untuk ACU digunakan pendekatan
variabel GDP total ASEAN+3 dan total ekspor intra regional ASEAN+3. Setelah
mendapatkan bobot untuk mata uang ACU setiap mata uang negara-negara
ASEAN+3, adalah menentukan indikator divergen untuk setiap mata uang
tersebut.
Langkah Keempat, adalah pembahasan mengenai pilihan penggunaan
mata uang, apakah menggunakan mata uang domestik atau menggunakan nilai
tukar ACU. Pada Bab ini akan dianalisis mengenai keuntungan dan kerugian
dengan menggunakan ACU, ketika salah satu maupun kedua nilai tukar tersebut
di shock dan bagaimana pengaruhnya terhadap inflasi setiap negara ASEAN+3.
Pada bahasan tersebut, akan direkomendasikan penggunaan pilihan mata uang
yang sesuai untuk setiap negara.
.
58
Tabel 4. Tahapan Prosedur Analisis Penelitian
Judul Bab
Pembahasan
Keterangan
Meliputi
pembahasan
mengenai asumsi penggunaan
Konstruksi ACU
ACU sebagai currency dengan
satuan mata uang tetap atau
bobot yang tetap.
Proses dimana negara-negara
Pengalaman Eropa-ECU
di Eropa menggunakan mata
uang
paralel
European
Currency Unit (ECU).
1. Kesiapan
Kesiapan ASEAN+3 dengan
pendekatan konvergensi
Maastricht Treaty Criteria
Kerja sama Nilai Tukar
Asian Currency Unit
(ACU) ASEAN+3
setiap
negara
ASEAN+3
dalam
memenuhi
Kriteria
Maastricht
pada
periode
setiap
negara
1997-2002
2. Kesiapan
ASEAN+3
dalam
memenuhi
Kriteria
Maastricht
pada
periode
2002-2007
Ruang
lingkup
bahasan
mengenai komposisi mata uang
yang digunakan dalam ACU,
Komposisi dan Penentuan
penentuan variabel pembentuk
Bobot ACU
ACU, dan penentuan pangsa
untuk memperoleh komposisi
bobot setiap mata uang negaranegara di ASEAN+3
1. Perhitungan ACU dalam
mata
ACU pada periode krisis
ekonomi (1997-2002)
uang
lokal
setiap
negara di ASEAN+3 (19972002)
2. Mekanisme
Nilai
Tukar
setiap negara di ASEAN+3
(1997-2002)
ACU pada periode pasca
krisis ekonomi (2002-2007)
3. Perhitungan ACU dalam
mata
uang
lokal
setiap
59
negara di ASEAN+3 (19992002)
4. Mekanisme
Nilai
Tukar
setiap negara di ASEAN+3
(2003-2007)
Pilihan Penggunaan Nilai
Tukar di Kawasan
ASEAN+3
Menentukan mata uang yang
Pilihan Penggunaan Mata
Uang setiap negara di
ASEAN+3
sesuai bagi setiap negara di
ASEAN+3, pilihan antara mata
uang
domestiknya
menggunakan
nilai
atau
tukar
ASEAN+3.
60
IV. KERJA SAMA NILAI TUKAR
ASIAN CURRENCY UNIT (ACU) ASEAN+3
Sejalan dengan upaya pencapaian integrasi ekonomi kawasan ASEAN+3
yang lebih dalam, stabilitas nilai tukar intra kawasan perlu untuk mendapatkan
perhatian penting. Stabilitas nilai tukar diperlukan untuk menciptakan kepastian
usaha dan investasi dalam suatu kawasan, yang pada gilirannya akan
mempengaruhi arus barang dan jasa lintas batas terutama bagi negara-negara yang
sudah terintegrasi dan sangat tergantung pada pasar internasional.
Krisis ekonomi dan moneter yang melanda ASEAN dan Asia Timur pada
Tahun 1997 meruntuhkan mayoritas perekonomian negara-negara di kawasan
tersebut. Hal ini diakibatkan karena ketidakstabilan nilai tukar setiap negara yang
merupakan dampak buruk dari krisis. Oleh sebab itu, muncullah inisiasi (CMI)
untuk melakukan pengkoordinasian nilai tukar dalam kawasan ini. Dari CMI
melahirkan kesepakatan untuk menciptakan lingkungan politik dan ekonomi yang
kondusif dengan memperkenalkan sistem nilai tukar bersama.
Sistem nilai tukar bersama yang dimaksud adalah Asian Currency Unit
(ACU). Peluncuran ACU bertujuan untuk memonitor pergerakan divergen
(divergen movement) dari mata uang yang tergabung dalam ASEAN ditambah
China,
Jepang,
dan
Korea
dalam
menghadapi
pergerakan
kawasan
perekonomiannya sendiri. Tujuan lainnya adalah mengelompokan mata uang yang
tergabung tersebut dalam suatu obligasi regional dengan jumlah tertentu (Kawai
dan Takagi, 2005).
Adapun beberapa keunggulan menggunakan nilai tukar ACU menurut
Kurniyati (2007), ACU meningkatkan stabilitas nilai tukar dalam kawasan dan
mendorong intensitas perdagangan dalam kawasan. Penggunaan ACU sebagai
numeraire untuk transaksi perdagangan dan keuangan dalam kawasan akan
menghindari competitive depreciation antar anggota di kawasan, yang pada
gilirannya akan mendorong intensitas perdagangan dalam kawasan. Selanjutnya
keuntungan ACU adalah mengurangi resiko nilai tukar antara pemberi pinjaman
dan peminjam dari negara-negara di kawasan yang memiliki sistem nilai tukar
yang
berbeda-beda.
Contohnya,
Bank
Jepang
memberikan
pinjaman
61
berdenominasi yen kepada perusahaan di kawasan yang negaranya menganut
sistem nilai tukar peg terhadap dollar AS. Dengan demikian, beban resiko nilai
tukar ditanggung seluruhnya oleh perusahaan peminjam. Apabila pinjaman
diberikan dalam denominasi ACU, maka resiko nilai tukar terbagi antara pemberi
pinjaman dan peminjam.
Di sisi lain, Yam (1999) menegaskan bahwa ACU memperdalam pasar
keuangan regional. Selain berfungsi sebagai mata uang jangkar, penciptaan ACU
membentu menciptakan pasar keuangan yang lebih dalam dan likuid, melalui
penciptaan instrumen keuangan (financial asset) berdenominasi ACU. Instrumen
keuangan dalam denominasi ACU tersebut akan menambah opsi investasi di pasar
keuangan Asia sehingga dapat meningkatkan saving di dalam kawasan dan
menjadi pendorong perkembangan pasar keuangan regional selanjutnya. Pasar
keuangan regional yang dalam dan likuid pada gilirannya akan meningkatkan
stabilitas keuangan secara keseluruhan di kawasan. Kondo (2000) menjelaskan
bahwa keberadaan ACU yang berfungsi sebagai alat satuan hitung transaksi di
kawasan berperan penting dalam memformalkan kerjasama moneter regional yang
selanjutnya dapat menjadi pendorong mempercepat pencapaian tujuan penyatuan
moneter kawasan.
Pengalaman Eropa dalam mendirikan European unit of account (EUA)
pada saat Monetary Snake di awal Tahun 1970-an adalah dengan membentuk
European Monetary System (EMS) dan European Currency Unit (ECU) pada
Tahun 1979. Melalui serangkaian proses yang panjang, akhirnya kawasan Eropa
tersebut menetapkan dirinya sebagai uni moneter Eropa (European Monetary
Unit-EMU) dengan meluncurkan euro sebagai mata uang regional Eropa pada
tahun 1999. Dari proses yang telah dilakukan oleh Eropa, pengalaman mereka
dalam membentuk sebuah uni moneter regional merupakan pelajaran yang sangat
relevan bagi kawasan ASEAN+3. Sebenarnya, dari beberapa tahapan yang
dilakukan oleh Eropa, penggunaan mata uang paralel ECU memiliki informasi
maupun kegunaan yang melimpah dalam hal monitoring pasar kawasan.
62
4.1. Konstruksi ACU
Langkah awal memahami ACU adalah dengan menentukan beberapa
pilihan dalam mendefinisikan ACU sebagai currency bagi ASEAN+3. Keputusan
yang tepat akan tergantung pada tujuan utama penggunaan ACU, yakni, apakah
merupakan instrumen utama dalam memonitor pasar nilai tukar pada kawasan
ASEAN+3 tanpa adanya sebuah fungsi moneter, atau ACU akan menjadi suatu
mata uang sebagai denominasi instrumen hutang di pasar keuangan. Pilihanpilihan tersebut merupakan wilayah mata uang sebagai alat penyimpan nilai (store
of value). Di waktu yang akan datang, bila biaya transaksi rendah maka mata uang
regional ACU dapat digunakan sebagai invoicing dan alat pembayaran
perdagangan internasional daripada harus menggunakan USD.
Kemauan dan kebijakan politik merupakan syarat utama untuk dapat
menggunakan ACU sebagai alat transaksi dalam negeri. Pada wilayah nasional
maupun internasional, penggunaan ACU dapat mengisi fungsi uang sebagai alat
pembayaran (mean of payment). Kondisi saat ini menunjukkan bahwa negaranegara ASEAN+3 menggunakan USD sebagai mata uang invoicing dalam
melakukan pembayaran, sehingga dibutuhkan cara bertahap guna menjadikan
ACU menggantikan fungsi mata uang internasional lainnya untuk transaksi dalam
kawasan ASEAN+3. Langkah akhir dalam menyepakati ACU adalah sebagai
parallel currency. Artinya, semua jenis organisasi baik nasional maupun
internasional, korporasi/perusahaan, dan pemerintah diizinkan menggunakan
ACU sebagai satuan mata uang (unit of account) dalam memaparkan laporan
neraca mereka. Keputusan ini merupakan salah satu kemungkinan tersulit dan
dimungkinkan membutuhkan jangka waktu percobaan yang lama dari eksperimen
penggunaan dan perkembangan ACU.
Adapun beberapa kemungkinan pilihan penggunaan ACU. Pertama,
apakah ACU menggunakan satuan mata uang tetap (fixed currency unit). Kedua,
apakah ACU menggunakan bobot yang tetap (fixed weight). Untuk satuan mata
uang tetap, nilai dari ACU ”j” untuk beberapa mata uang dapat dihitung dengan
menggunakan pendekatan komponen mata uang yang sesuai dengan nilai tukar
bilateral yang mempengaruhi mata uang ”j”. Suatu mata uang yang mengalami
devaluasi terhadap mata uang lainnya dalam keranjang akan mengalami
63
penurunan bobot sementara bobot untuk mata uang lainnya meningkat, hal ini
mengindikasikan bahwa bobot tiap mata uang dalam keranjang merupakan fungsi
dari nilai tukar.
Dalam kasus ECU, terjadi revisi bobot pada selang interval lima tahunan
atau jika bobotnya berubah lebih dari batas 25% yang telah ditentukan (Plummer,
2005). Ketika Uni Eropa mengizinkan adanya penambahan anggota baru dalam
keranjang, maka pembobotan pun ditinjau ulang. Hal ini dalam konteks
ASEAN+3 menimbulkan pilihan apakah menggunakan sistem basket terbuka atau
tertutup. Implikasi sistem basket terbuka membuat mata uang yang awalnya tidak
tergabung diperbolehkan untuk bergabung, dan mata uang yang sudah tergabung
diperbolehkan untuk keluar dari keranjang.
Pilihan lain dalam penggunaan ACU adalah sebagai satuan mata uang
tetap dan bobot yang bervariasi. Penggunaan pilihan ini adalah dengan
menciptakan bobot tetap ACU. Hal ini dapat dilakukan ketika setiap mata uang
yang berfluktuasi mengalami apresiasi maupun depresiasi dengan menyesuaikan
jumlah unit agar menjaga bobot tetap konstan. Dengan menjaga jumlah unit setiap
mata uang, ACU tidak akan kehilangan nilai terhadap komponen mata uangnya.
4.2. Pengalaman Eropa – ECU
Semenjak EMS mulai beroperasi pada 13 Maret 1979, ECU mempunyai
definisi yang sama dengan definisi EUA. EUA merupakan basket dengan
kuantitas tetap dari sembilan mata uang European Community (EC).
Perbedaannya dengan EUA, ECU merupakan basket dengan sistem yang terbuka.
Pada 5 Desember 1978, dewan European Economic Community (EEC)
mengeluarkan resolusi bahwa ”bobot dari mata uang yang tergabung dalam ECU
akan ditinjau ulang, dan jika diharuskan, akan direvisi dalam periode enam bulan
sebelum memasuki sistem, dan setelah itu, peninjauan ulang bobot akan dilakukan
setiap lima tahun sekali, atau jika ada permintaan untuk hal tersebut yang
dikarenakan bobot suatu mata uang telah mengalami perubahan melebihi 25
persen”.
Pada periode 1979-1984, komposisi ECU mengalami perubahan yang
merupakan bentuk konsekuensi karena adanya apresiasi dan depresiasi mata uang
64
yang tergabung dalam ECU, walaupun pada periode tersebut tidak ada mata uang
yang mengalami perubahan bobot melebihi 25%. Perubahan bobot yang terjadi di
Eropa pada periode 1979-1984 dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Komposisi Awal ECU
Negara
Economic
Shares
Effective Share
Sep-74 Mar-79 Mar-83
25
26.4
33
37.38
Jerman
20.2
20.5
19.8
26.93
Perancis
17.9
17.4
13.6
14.05
Inggris
7.9
9
10.5
11.46
Belanda
13
14
9.5
7.86
Italia
Belgia dan
10
8.2
9.5
8.57
Luksemburg
3
3
3
2.7
Denmark
1.5
1.1
1.1
1.06
Irlandia
Sumber : Gros dan Thygesen (1998), Van Ypersele (1989)
Motif politis untuk mengkomposisi ulang ECU adalah sebuah ketakutan
yang disebabkan mata uang yang kuat akan mendominasi pangsa terbesar ECU.
Jika dilihat pada Tabel 5, Negara Jerman dengan mata uang deucthmark-nya
mempunyai pangsa ekonomi terbesar dari awal hingga akhir periode. Hal yang
ditakutkan pada saat itu adalah akan adanya dominasi mata uang Jerman dalam
ECU apabila tidak dilakukan revisi bobot pada periode selanjutnya.
Pada saat ECU dideklarasikan, terdapat tiga kriteria ekonomi yang
digunakan dalam membangun bobot mata uang setiap negara anggota dalam ECU.
Ketiga kriteria ekonomi yang digunakan antara lain : (i) pangsa GDP setiap
negara anggota terhadap GDP EC, (ii) kontribusi setiap negara anggota EC
terhadap total perdagangan EC, (iii) kuota setiap negara anggota dalam short-term
support facility. Sebelum memasuki periode selanjutnya, ECU mengalami revisi
pertama pada Bulan September 1984. Revisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 di
bawah ini :
65
Tabel 6. Revisi Pertama dari Komposisi ECU
Negara
Effective Share
Sep-84
Sep-87
32.07
34.93
19.06
18.97
14.98
11.87
10.13
11.04
9.98
9.44
Jerman
Perancis
Inggris
Belanda
Italia
Belgia dan
8.57
9.07
Luksemburg
2.69
2.79
Denmark
1.21
1.13
Irlandia
1.31
0.76
Yunani
Sumber : Gros dan Thygesen (1998), Van Ypersele (1989)
Pada periode 1984-1989 terdapat penambahan anggota baru dalam ECU
yakni Yunani. Sama seperti pada periode sebelumnya, pada periode ini Jerman
masih menguasai pangsa ekonomi di EC tersebut. Pada periode ini terdapat
penurunan bobot yang dialami oleh Inggris dan Yunani. Negara Inggris, yang
bobot awalnya pada periode September 1984 adalah sebesar 14.98 mengalami
penurunan bobot sebanyak 20.76 persen menjadi 11.87. Pada periode September
1984-September 1987, walaupun Yunani mengalami penurunan bobot hingga
mencapai 40 persen, dewan EEC tidak melakukan revisi bobot seperti pada
kesepakatan sebelumnya.
Revisi bobot seharusnya dilakukan berdasarkan kesepakatan 5 Desember
1978, yang mengatakan bahwa selain interval waktu 5 tahunan, revisi bobot
dilakukan jika ada mata uang suatu negara yang mengalami perubahan bobot
sebesar 25 persen. Bagaimanapun, dalam ECU ini dapat disimpulkan bahwa
sebenarnya tidak ada aturan jelas mengenai bagaimana revisi bobot itu
harus dilakukan. Sementara itu, revisi kedua untuk ECU dapat dilihat pada Tabel
7.
66
Tabel 7. Revisi Kedua dari Komposisi ECU
Negara
Economic
Share
23.8
Jerman
18.4
Perancis
16.3
Inggris
8.4
Belanda
13.7
Italia
Belgia dan
6.9
Luksemburg
2.5
Denmark
1.3
Irlandia
1.3
Yunani
6.1
Spain
1.1
Portugal
Sumber : Gros dan Thygesen (1998)
Effective Share
Sep-89
Des-96
30.3
32
19
20.3
12.9
11.9
9.4
10.1
10.7
7.9
7.9
8.5
2.5
1.1
0.8
5.3
0.8
2.7
1.1
0.5
4.2
0.7
Dari revisi kedua ECU pada tahun 1989, terdapat tambahan dua negara
anggota baru yaitu Spanyol dan Portugal yang dapat dilihat pada Tabel 6. Pada
situasi tersebut, tidak ada batas bobot terbawah yang digunakan. Sebagai contoh
adalah negara Yunani dan Portugal yang mempunyai bobot dibawah 1 persen.
Penurunan bobot yang terjadi pada kedua negara ini tidak memicu adanya revisi
bobot sekalipun.
4.3. Kesiapan ASEAN+3 Membentuk Uni Moneter Regional
Di tengah perkembangan kerja sama ekonomi yang semakin meningkat
dan mengarah pada integritas ekonomi di kawasan ASEAN+3, perdebatan
mengenai kelayakan kawasan ini dalam mencapai integrasi ekonomi semakin
intensif. Menurut Rohmadyanti dan Kosotali (2007), beberapa ekonomom
berpendapat bahwa inisiatif integrasi ekonomi merupakan salah satu pilihan yang
layak dilakukan oleh negara-negara di kawasan ASEAN+3 untuk menciptakan
stabilitas ekonomi kawasan.
Namun, pada sisi lain tidak sedikit yang bersikap skeptis bahwa kondisi
negara-negara di kawasan ASEAN+3 belum layak dalam mewujudkan ambisi
menuju integrasi ekonomi secara penuh. Baharumshah et. al. (2006) mengatakan
67
bahwa kondisi dan perkembangan kerja sama ekonomi di kawasan ASEAN+3
dinilai belum mencapai tahapan yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
Hal itu dilandasi dari hasil penelitiannya yang mempunyai kesimpulan bahwa
negara-negara di kawasan ASEAN+3 tidak dapat melakukan integrasi ekonomi
secara penuh karena tidak semua negara memenuhi kriteria OCA. Sementara itu,
dalam penelitian ini kesiapan ASEAN+3 membentuk Unit Moneter Regional akan
dianalisis berdasarkan penerapan kriteria konvergensi Maastricht Treaty di
kawasan ASEAN+3.
Semenjak Uni Eropa mendeklarasikan dirinya pada tahun 1983, banyak
ahli ekonomi mendiskusikan wacana yang serupa untuk diterapkan di kawasan
ASEAN+3.
Namun,
untuk
menuju
satu
kawasan
perekonomian
baru
membutuhkan proses dan ketentuan-ketentuan yang berlaku seperti yang telah
dilakukan di Eropa. Pertanyaanya adalah apakah semua negara di kawasan
ASEAN+3 sudah siap untuk menghadapi ini? Di Eropa, suatu kriteria dipilih
sebagai tolak ukur prestasi ekonomi bagi negara-negara yang akan tergabung
dalam Uni Eropa. Kriteria ini dikenal sebagai Kriteria Konvergensi Maastricth
(Maastricth Treaty Convergence). Ruang lingkup dari kriteria ini meliputi inflasi,
suku bunga, defisit fiskal, dan utang pemerintah.
Seperti yang telah disinggung, kriteria Maastricth ini merupakan kriteriakriteria yang ditetapkan oleh masyarakat Eropa menuju monetary union. Melalui
kriteria ini, kebijakan ekonomi negara yang akan berpartisipasi dalam monetary
union diharapkan mencapai tingkat konvergensi yang telah ditetapkan sebelum
bergabung dalam monetary union. Hal ini penting mengingat negara-negara yang
telah bergabung tidak mempunyai kewenangan lagi untuk melakukan kebijakan
moneter dan nilai tukar secara unilateral. Adapun berbagai persyaratan dalam
kriteria Maastricht yang harus dipenuhi adalah :
1. Tingkat inflasi tidak melebihi 1.5 persen di atas rata-rata inflasi tiga negara
anggota dengan inflasi terendah.
2. Tingkat suku bunga tidak melebihi 2 persen di atas rata-rata suku bunga
tiap negara anggota dengan inflasi terendah.
3. Defisit fiskal terhadap GDP setiap negara tidak melebihi batas 3 persen.
4. Utang Pemerintah terhadap GDP setiap negara tidak melebihi 60 persen.
68
Perbandingan kondisi negara-negara di ASEAN+3 selama kurun 19972007, yang dibagi dalam dua periode, yakni (i) periode krisis ekonomi (19972002), dan (ii) periode pasca krisis ekonomi (2003-2007) dengan kriteria
Maastricht menunjukkan bahwa negara-negara dalam kawasan ini tidak
memenuhi seluruh Maastricht treshold. Untuk melihat bagaimana kesiapan setiap
negara ASEAN+3 pada periode krisis ekonomi dapat dilihat pada Tabel 8 sebagai
berikut :
Tabel 8. Konvergensi ASEAN+3, Kriteria Maastricht, Periode 1997-2002
Negara
Reference
Value
Brunei*
Kamboja*
Indonesia*
Laos*
Malaysia***
Myanmar
Philipines*
Singapura***
Thailand**
Vietnam**
China****
Korea**
Jepang***
Keterangan :
Inflasi
1.02
0.12
4.80
19.23
49.51
2.58
29.80
5.76
0.63
2.97
0.01
-1.42
3.65
-0.04
Suku
Bunga
5.72
n.a
6.14
21.38
11.14
5.06
12.00
8.69
2.32
5.63
6.75
4.26
8.46
0.14
****
Memenuhi empat kriteria
***
Memenuhi tiga kriteria
**
Memenuhi dua kriteria
*
Memenuhi satu kriteria
Defisit
Fiskal
(% of GDP)
3
3.95
-2.12
-1.90
-4.47
-3.24
n.a
-3.17
1.82
-2.28
-1.92
-1.86
-0.36
-6.18
Utang
Pemerintah
(% of GDP)
60
n.a
71.45
89.52
156.95
49.60
87.93
75.70
228.57
69.22
60.36
13.74
28.17
121.90
Sumber : ADB Key Indicator (2009), IFS-IMF(2008), ASEAN Statistical Year Book (2008)
Berdasarkan Tabel 8, pada periode krisis ekonomi hanya negara China
yang memenuhi kriteria konvergensi Maastricht secara keseluruhan. Singapura
dan Jepang memenuhi tiga kriteria Maastricht kecuali kriteria utang pemerintah,
sementara Malaysia yang juga memenuhi tiga kriteria konvergnesi inflasinya
masih di atas reference value pada saat itu. Kemudian negara Korea, Vietnam,
Thailand memenuhi dua kriteria konvergensi. Sedangkan Brunei, Kamboja,
69
Indonesia, Laos dan Filipina hanya memenuhi satu kriteria konvergensi
Maastricht. Melihat kondisi seperti pada periode krisis, ternyata hamper seluruh
negara di Kawasan ASEAN+3 tidak dapat memenuhi seluruh kriteria konvergensi
Maastricht, kecuali China.
Hal ini menunjukkan bahwa pada periode krisis ekonomi mayoritas
perekonomian di Kawasan ASEAN+3 belum konvergen satu dengan yang
lainnya. Menjadi sebuah pertanyaan bahwa apakah ketidaksiapan Kawasan
ASEAN+3 membentuk uni moneter regional berdasarkan kriteria konvergensi
Maastricht disebabkan oleh kondisi krisis yang melanda kawasan tersebut. Untuk
melihat kriteria konvergensi Maastricht pasca terjadinya krisis ekonomi Tahun
1997-2002, akan dibahas lebih lanjut. Pada Tabel 9 akan dilihat kesiapan negara
ASEAN+3 membentuk suatu uni moneter regional pada periode pasca krisis
ekonomi (2003-2007) sebagai berikut :
Tabel 9. Konvergensi ASEAN+3, Kriteria Maastricht, Periode 2003-2007
Negara
Reference
Value
Brunei**
Kamboja***
Indonesia**
Laos*
Malaysia***
Myanmar*
Philipines*
Singapura***
Thailand***
Vietnam***
China****
Korea***
Jepang***
Keterangan :
Inflasi
1.870
0.56
4.27
8.65
8.93
2.24
21.60
5.23
1.14
3.20
0.60
1.12
2.93
-0.05
Suku
Bunga
4.817
1.06
1.89
8.90
5.84
3.08
10.80
5.19
0.49
2.31
7.01
3.20
4.30
0.38
****
Memenuhi empat kriteria
***
Memenuhi tiga kriteria
**
Memenuhi dua kriteria
*
Memenuhi satu kriteria
Defisit
Fiskal
(% of GDP)
3
16.29
-1.19
-1.15
-3.63
-3.95
n.a
-2.41
0.15
0.10
-2.07
-1.25
1.27
-6.16
Utang
Pemerintah
(% of GDP)
60
n.a
56.16
45.50
92.84
37.66
55.71
61.62
249.78
29.89
36.73
12.30
26.87
147.48
Sumber : ADB Key Indicator (2009), IFS-IMF(2008), ASEAN Statistical Year Book (2008)
70
Berdasarkan Tabel 9, kembali hanya China yang dapat memenuhi kriteria
Masstricht secara keseluruhan. Selain Singapura, Jepang, dan Malaysia, pada
periode pasca krisis ekomomi terdapat negara-negara seperti Thailand, Kamboja,
Vietnam, dan Korea yang sudah dapat memenuhi tiga kriteria konvergsi
Maastricht. Pada periode ini pun, Brunei dan Indonesia sudah mampu menambah
perolehan kriteria menjadi dua kriteria dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Namun, Loas, Myanmar dan Filipina tidak mampu menambah Masstricht
threshold pada periode pasca krisis ini. Untuk melihat bagaimana pengelompokan
negara-negara di Kawasan ASEAN+3 memenuhi kriteria konvergensi Maastricht
dari Tahun 1997-2007 dapat dilihat pada Tabel 10
Tabel 10. Konvergensi ASEAN+3, Kriteria Maastricht, Periode 1997-2007
Periode
1997-2002
1 kriteria
Brunei
Kamboja
Indonesia
Laos
Philipines
Laos
Myanmar
Philipines
Pemenuhan Kriteria
2 kriteria 3 kriteria
Thailand
Malaysia
Vietnam
Jepang
Korea
Singapura
Brunei
Indonesia
2003-2007
Kamboja
Malaysia
Singapura
Vietnam
Korea
Jepang
Thailand
4 kriteria
China
China
Berdasarkan Tabel 10, hanya China yang konsisten memenuhi empat
kriteria konvergensi Maastricht. Sementara negara lainnya tidak dapat memenuhi
keempat kriteria konvergensi tersebut. Sehingga secara garis besar dapat
dikatakan sebagian besar negara yang tidak memenuhi kriteria Maastricht ini
mengimplikasikan bahwa kebijakan moneter dalam perspektif regional untuk
merespon shock di kawasan ASEAN+3 tidak efektif untuk diberlakukan. Dalam
konteks penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kawasan ASEAN+3 saat ini
belum mampu memenuhi persyaratan untuk melakukan penyatuan moneter,
berdasarkan kriteria konvergensi Maastricht.
71
Tidak dapat dipungkiri bahwa wacana-wacana mengenai penyatuan
moneter regional ini belum mampu membawa negara-negara di kawasan
ASEAN+3 pada tahapan atau pra kondisi yang diperlukan dalam mewujudkan
integrasi ekonomi menuju suatu sistem moneter tunggal secara penuh. Terkait
dengan pemenuhan konvergensi makroekonomi, meskipun saat ini tingkat
konvergensi tersebut dapat dikatakan lemah, peluang kawasan ASEAN+3 untuk
dapat memenuhi konvergensi makroekonomi sangatlah terbuka, setidaknya dalam
periode jangka panjang. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan masing-masing
negara di Kawasan ASEAN+3 memenuhi Maastricht Threshold dari periode
krisis ekonomi hingga ke periode pasca krisis. Selain itu tidak diragukan bahwa
perkembangan yang terjadi di kawasan saat ini, dengan cakupan kerjasama yang
semakin luas, orientasi ekspor yang kuat, human capital yang solid, serta
didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dalam beberapa
dekade
terakhir,
mencerminkan
optimisme
untuk
menjadikan
Kawasan
ASEAN+3 sebagai suatu uni moneter regional yang merupakan konsekuesi
terjadinya integrasi ekonomi secara menyeluruh.
Sebelum kawasan ASEAN+3 sampai pada tahapan integrasi ekonomi
secara penuh, dalam perjalannya diperlukan nilai tukar regional sebagai bentuk
koordinasi kebijakan nilai tukar di kawasan ini. Analisis selanjutnya adalah
penerapan nilai tukar regional ACU untuk ASEAN+3 sebelum terjadinya integrasi
ekonomi yang dimaksud.
4.4. Komposisi dan Penentuan Bobot ACU
Dasar untuk menentukan mata uang yang diperhitungkan dalam keranjang
mata uang ACU adalah partipasi dalam kesepakatan nilai tukar. Mata uang yang
digunakan untuk membentuk ACU adalah mata uang negara-negara ASEAN+3
(dengan asumsi seluruh negara berpartisipasi dalam sistem tersebut) sehingga
mata uang tersebut dapat diberi nama ASEAN+3 ACU, yakni tiga belas mata
uang negara ASEAN ditambah dengan mata uang China, Jepang, dan Korea.
Untuk komposisi nilai tukar ACU berdasarkan 13 mata uang negara anggota
ASEAN+3 dapat dilihat pada Tabel 11.
72
Tabel 11. Mata Uang Negara ASEAN+3
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Negara
China
Jepang
Korea
Indonesia
Singapura
Thailand
Malaysia
Filipina
Brunei
Vietnam
Kamboja
Myanmar
Laos
Mata Uang
Yuan
Yen
Won
Rupiah
Dollar Singapura
Bath
Ringgit
Peso
Dollar Brunei
Dong
Riel
Kyat
Kip
Satuan
CNY
JPY
KRW
IDR
SGD
THB
MYR
PHP
BND
VTD
KHR
MYK
LAK
Sumber : ADB Economic Outlook, 2007
Mengacu pada Tabel 11, setiap negara anggota ASEAN+3 yang
berpartisipasi akan diberi bobot dalam proses pembentukan ACU. Dalam
penelitian ini, variabel yang digunakan sebagai proksi indikator penentuan bobot
adalah pangsa Produk Domestik Bruto Riil PPP (PDB Riil PPP) masing-masing
negara dalam total PDB ASEAN dan pangsa ekspor intra kawasan. Alasan
penggunaan dua variabel tersebut antara lain : (i) variabel PDB merupakan salah
satu tolak ukur pertumbuhan perekonomian suatu negara maupun kawasan, (ii)
variabel ekspor intra kawasan mendeskripsikan salah satu kegiatan integrasi
ekonomi dalam kawasan dan merupakan proksi dari perdagangan intra kawasan,
(iii) pada pembentukan ECU, digunakan variabel PDB Riil PPP, perdagangan
intra-kawasan, dan kuota setiap negara anggota Eropa dalam short-term support
facility, serta (iv) keterbatasan data dan rentang waktu penelitian.
Selanjutnya adalah memaparkan proses pembentukan ACU untuk
ASEAN+3. Kemudian, hasil pembentukan ASEAN+3 ACU tersebut akan
digunakan untuk simulasi guna mengetahui perilaku ACU dan bagaimana variasi
pergerakan masing-masing mata uang domestik terhadap ACU. Hal ini untuk
menjawab apakah mata uang ASEAN+3 ACU ini konvergen atau divergen
terhadap mata uang regionalnya dari waktu ke waktu. Simulasi ini akan diawali
dengan (i) penentuan komposisi mata uang dan bobot timbangan dalam keranjang
73
mata uang, dan (ii) perhitungan nilai ACU terhadap USD dan mata uang lokal
masing-masing negara di Kawasan ASEAN+3. Namun, pembahasan tidak
dilakukan secara menyeluruh, melainkan dibagi dalam dua periode, yaitu (i)
Periode krisis ekonomi pada tahun 1997 sampai tahun 2002, dan (ii) Periode pasca
krisis ekonomi pada tahun 2003 sampai tahun 2007.
4.5. ACU pada Periode Krisis Ekonomi (1997-2002)
Dasar untuk penentuan mata uang yang diperhitungkan dalam suatu
keranjang mata uang ACU ASEAN+3 adalah partisipasi dalam kesepakatan nilai
tukar yang dimaksud. Mata uang yang membentuk ASEAN+3 ACU terdiri dari 10
mata uang negara ASEAN ditambah dengan mata uang China, Jepang dan Korea
(lihat Tabel 11). Bobot timbangan dari masing-masing mata uang dalam keranjang
ASEAN+3 ACU dihitung berdasarkan ukuran tingkat signifikansi ekonomi dari
negara-negara yang menerbitkannya.
Tabel 12 menunjukkan besar pangsa masing-masing negara anggota
ASEAN+3 terhadap total PDB Riil PPP dan ekspor dalam ASEAN+3. Data yang
digunakan adalah data rata-rata periode 1997 hingga 2002.
Tabel 12. Pangsa Masing-masing Anggota ASEAN+3 1997-2002
GDP PPP (%)
China
42.4
Jepang
30.3
Indonesia
7.8
Korea
7.3
Thailand
3.8
Malaysia
2.6
Filipina
2.6
Vietnam
1.6
Singapura
1.1
Myanmar
0.3
Kamboja
0.2
Brunei
0.1
Laos
0.1
Ekspor Intra ASEAN+3 (%)
Jepang
30.4
China
17.7
Singapura
11.5
Malaysia
10.3
Korea
9.4
Indonesia
7.5
Thailand
6.8
Filipina
3.1
Vietnam
2.3
Brunei
0.7
Myanmar
0.2
Kamboja
0.0
Laos
0.0
Sumber : CEIC data 2008, diolah
Berdasarkan Tabel 12 sulit untuk melakukan generalisasi guna
mendapatkan satu negara yang dominan berdasarkan indikator tersebut. Sebagai
74
contoh, meskipun China merupakan negara yang memiliki pangsa PDB Riil PPP
terbesar untuk periode ini, China menempati urutan kedua dari sisi pangsa ekspor
dalam ASEAN+3. Sebaliknya, Jepang yang mempunyai pangsa ekspor terbesar di
ASEAN+3 pada periode ini justru menempati urutan kedua dalam pangsa PDB
Riil PPP-nya di ASEAN+3. Tidak hanya China dan Jepang saja yang dimaksud,
hal ini pun berlaku untuk negara-negara ASEAN+3 lainnya.
Oleh sebab itu, untuk menghitung ASEAN+3 ACU dilakukan perhitungan
bobot
timbangan
terhadap
variabel-variabel
tersebut.
Untuk
tujuan
mempermudah, diasumsikan bahwa PDB Riil PPP dan perdagangan dalam
ASEAN memiliki peran yang sama pentingnya sehingga diberlakukan bobot yang
seimbang untuk kedua variabel tersebut. Bobot 50 persen untuk variabel PDB Riil
PPP dan bobot 50 persen untuk variabel ekspor dalam ASEAN+3, sehingga dapat
diperoleh bobot untuk masing-masing negara dalam pembentukan ASEAN+3
ACU.
Tabel 13. Bobot Masing-masing Anggota ASEAN+3 1997-2000
Negara
Jepang
China
Korea
Indonesia
Malaysia
Singapura
Thailand
Filipina
Vietnam
Brunei
Myanmar
Kamboja
Laos
Total (%)
30.4
30.1
8.3
7.7
6.4
6.3
5.3
2.8
1.9
0.4
0.2
0.1
0.1
Sumber : CEIC data 2008, diolah
Dengan melakukan pembobotan untuk setiap negara berdasarkan variabel
PDB Riil PPP dan variabel Ekspor, dalam kawasan ASEAN+3 pada periode
Krisis yang dapat dilihat pada Tabel 13 menunjukan bahwa negara-negara plus
three (China, Jepang, dan Korea) terlalu dominan dalam kawasan ASEAN+3. Hal
ini tidaklah mengherankan dikarenakan pangsa PDB untuk ketiga negara tersebut
75
mencapai angka 80 persen dari total keseluruhan PDB Riil PPP di kawasan
tersebut, sementara untuk pangsa ekspor-nya, ketiga negara tersebut menguasai 68
persen dari total keseluruhan.
Setelah memperoleh bobot timbangan bagi setiap mata uang negara
anggota ASEAN+3, tahapan selanjutnya adalah menerjemahkan bobot timbangan
tersebut ke dalam unit mata uang nasional yang akan membentuk ACU menjadi
ASEAN+3 ACU. Tahap pertama adalah menetapkan periode dasar secara
hipotesis. Diasumsikan bahwa periode dasar untuk periode krisis ini adalah bulan
Januari hingga Maret 1997 (dalam nilai tukar rata-rata), yang dapat dinotasikan
sebagai 1997Q1. Untuk lebih memudahkan lagi, diasumsikan bahwa pada periode
dasar tersebut 1 ASEAN+3 ACU sama dengan 1 USD. Perkalian antara nilai tukar
masing-masing mata uang negara anggota pada periode dasar dengan bobot
timbangannya akan menghasilkan jumlah unit mata uang lokal masing-masing
negara anggota (unit national currency) dalam ASEAN+3 ACU. Proses
penghitungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 14.
Dari Tabel 14, sebagai contoh, jumlah unit mata uang Indonesia dalam ASEAN+3
ACU adalah sebanyak 183.93 Indonesia rupiah, sedangkan jumlah unit mata uang
Jepang adalah sebanyak 36.812 Yen, begitu juga dengan jumlah unit mata uang
negara anggota ASEAN+3 lainnya yang dapat dilihat pada tabel tersebut. Jumlah
unit mata uang lokal masing-masing negara anggota dalam ASEAN+3 ACU
adalah konstan untuk jangka waktu tertentu (1997-2002).
76
Tabel 14. Perhitungan ASEAN+3 ACU 1997-2002
Nilai Tukar mata uang
domestik per 1 USD
pada base period 1997 (Q1)
Bobot ASEAN ACU (%)
ACU Currency =
unit mata uang nasional dalam ACU
Nilai Tukar mata uang
domestik per 1 USD
pada base period 1999(Q3)
Bobot ASEAN ACU (%)
ACU Currency =
unit mata uang nasional dalam ACU
Nilai Tukar mata uang
domestik per 1 USD
pada base period 2002(Q4)
Bobot ASEAN ACU (%)
ACU Currency =
unit mata uang nasional dalam ACU
JEP
CIN
KOR
IND
MAL
SIN
THA
FIL
VIE
BRU
MYA
KAM
LAO
121.22
8.29
870.98
2403.27
2.49
1.42
25.86
26.33
11293.70
1.42
6.11
2732.00
987.74
30.37
30.07
8.33
7.65
6.44
6.29
5.29
2.83
1.92
0.42
0.22
0.10
0.06
36.81
2.49
72.58
183.94
0.16
0.09
1.37
0.75
217.32
0.01
0.01
2.84
0.57
JEP
CIN
KOR
IND
MAL
SIN
THA
FIL
VIE
BRU
MYA
KAM
LAO
113.61
8.28
1194.90
7531.03
3.80
1.69
38.27
39.24
13960.30
1.69
6.26
3844.33
8909.27
30.37
30.07
8.33
7.65
6.44
6.29
5.29
2.83
1.92
0.42
0.22
0.10
0.06
36.81
2.49
72.58
183.94
0.16
0.09
1.37
0.75
217.32
0.01
0.01
2.84
0.57
JEP
CIN
KOR
IND
MAL
SIN
THA
FIL
VIE
BRU
MYA
KAM
LAO
122.90
8.28
1219.83
9054.67
3.80
1.77
43.37
53.24
15376.30
1.77
6.40
3931.33
10764.30
30.37
30.07
8.33
7.65
6.44
6.29
5.29
2.83
1.92
0.42
0.22
0.10
0.06
36.81
2.49
72.58
183.94
0.16
0.09
1.37
0.75
217.32
0.01
0.01
2.84
0.57
77
Sementara itu, Tabel 15 mengilustrasikan perhitungan bobot negara secara
individual yang diperoleh dari membagi unit mata uang nasional yang konstan
dengan nilai tukar yang berlaku pada waktu tertentu. Sebagai contoh, pada
periode 1998Q1 untuk dollar Singapura, SGD 0.063, diperoleh dari membagi unit
SGD dalam ACU sebesar (0.091, dalam Tabel 14) dengan nilai tukar pada periode
dasar sebesar SGD 1.42. Sementara untuk periode 1999Q3, SGD sebesar 0.053
diperoleh dengan membagi jumlah SGD unit dalam ACU (0.091, dalam Tabel 14)
dengan nilai tukar SGD/USD yang berlaku pada waktu 1999Q3 yaitu sebesar
1.69. Begitu juga untuk periode 2002Q4, SGD sebesar 0.050 diperoleh dengan
membagi jumlah SGD unit dalam ACU (0.091, dalam Tabel 14) dengan nilai
tukar SGD/USD yang berlaku pada waktu 2002Q4 yaitu sebesar 1.77. Untuk
negara-negara lainnya pun dilakukan proses penghitungan yang serupa, dengan
unit mata uang nasional yang konstan.
Penjumlahan bobot mata uang lokal seluruh negara anggota dalam periode
yang sama (lihat Tabel 15, dalam baris yang sama) akan menghasilkan nilai tukar
USD/ACU, dimana pada periode dasar diperoleh USD/ACU = 1, yakni sesuai
dengan asumsi awal. Dari waktu ke waktu nilai tukar USD/ACU bergerak searah
dengan perubahan bobot mata uang individual negara anggota yang searah dengan
pergerakan nilai tukar mata uang nasional terhadap USD.
78
Tabel 15. USD/ACU dengan Memperhitungkan Bobot Mata Uang Lokal Masing-masing Negara, 1997-2002
JEP
1997Q1
1997Q2
1997Q3
1997Q4
1998Q1
1998Q2
1998Q3
1998Q4
1999Q1
1999Q2
1999Q3
1999Q4
2000Q1
2000Q2
2000Q3
2000Q4
2001Q1
2001Q2
2001Q3
2001Q4
2002Q1
2002Q2
2002Q3
2002Q4
0.304
0.308
0.312
0.294
0.287
0.271
0.263
0.307
0.316
0.304
0.324
0.352
0.344
0.345
0.342
0.335
0.312
0.300
0.302
0.298
0.278
0.290
0.309
0.300
CIN
0.301
0.301
0.301
0.301
0.301
0.301
0.301
0.301
0.301
0.301
0.301
0.301
0.301
0.301
0.301
0.301
0.301
0.301
0.301
0.301
0.301
0.301
0.301
0.301
KOR
0.083
0.081
0.081
0.063
0.045
0.052
0.055
0.057
0.061
0.061
0.061
0.062
0.065
0.065
0.065
0.062
0.057
0.056
0.056
0.056
0.055
0.057
0.061
0.060
IND
MAL
SIN
THA
FIL
VIE
BRU
MYA
KAM
0.077
0.075
0.066
0.046
0.019
0.018
0.015
0.023
0.021
0.023
0.024
0.026
0.025
0.022
0.021
0.020
0.019
0.016
0.019
0.018
0.018
0.020
0.021
0.020
0.064
0.064
0.058
0.046
0.040
0.042
0.039
0.042
0.042
0.042
0.042
0.042
0.042
0.042
0.042
0.042
0.042
0.042
0.042
0.042
0.042
0.042
0.042
0.042
0.063
0.063
0.060
0.056
0.053
0.054
0.052
0.054
0.053
0.052
0.053
0.054
0.053
0.052
0.052
0.051
0.051
0.049
0.050
0.049
0.049
0.050
0.051
0.050
0.053
0.053
0.041
0.034
0.029
0.034
0.033
0.037
0.037
0.037
0.036
0.035
0.036
0.035
0.033
0.032
0.032
0.030
0.030
0.031
0.031
0.032
0.033
0.032
0.028
0.028
0.025
0.021
0.018
0.019
0.017
0.018
0.019
0.020
0.019
0.018
0.018
0.018
0.017
0.015
0.015
0.015
0.014
0.014
0.015
0.015
0.014
0.014
0.019
0.019
0.019
0.018
0.017
0.017
0.016
0.016
0.016
0.016
0.016
0.016
0.015
0.015
0.015
0.015
0.015
0.015
0.015
0.014
0.014
0.014
0.014
0.014
0.004
0.004
0.004
0.004
0.004
0.004
0.003
0.004
0.003
0.003
0.004
0.004
0.003
0.003
0.003
0.003
0.003
0.003
0.003
0.003
0.003
0.003
0.003
0.003
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.002
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
LAO
0.001
0.001
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
USD/ACU
1
0.999451
0.969702
0.885986
0.81777
0.814264
0.798096
0.862641
0.871646
0.862579
0.882081
0.912133
0.905689
0.902747
0.895016
0.879826
0.849904
0.830491
0.836748
0.82936
0.809271
0.827323
0.851572
0.838983
79
Sementara untuk melihat pergerakan kuartalan nilai tukar USD/ASEAN+3 ACU
dengan periode 1997 Q1 hingga 2002Q4 dapat dilihat pada Grafik 4. ASEAN+3
ACU terbentuk dari mata uang negara-negara ASEAN+3 sehingga perilakunya
merepresentasikan perilaku dari rata-rata tertimbang mata uang negara-negara
ASEAN+3.
1.1
1.05
1
0.9
0.85
0.8
ACU
depresiasi
0.95
USD/ACU
0.75
1997Q1
1997Q2
1997Q3
1997Q4
1998Q1
1998Q2
1998Q3
1998Q4
1999Q1
1999Q2
1999Q3
1999Q4
2000Q1
2000Q2
2000Q3
2000Q4
2001Q1
2001Q2
2001Q3
2001Q4
2002Q1
2002Q2
2002Q3
2002Q4
0.7
Grafik 4. Pergerakan ASEAN+3 ACU Terhadap USD 1997-2002
Dari Grafik 4 dapat dilihat bahwa nilai tukar ASEAN+3 ACU mengalami
pelemahan nilai tukar terhadap USD yang cukup dalam hingga mencapai 12
persen. Hal ini dikarenakan beberapa nilai tukar mata uang lokal negara-negara
ASEAN+3 seperti Indonesia, Thailand, dan Korea mengalami depresiasi mata
uangnya terhadap USD. Pada akhir 1998 mata uang ASEAN+3 ACU cenderung
mengalami penguatan nilai tukar terhadap USD hingga akir tahun 2002. Namun
secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa pada periode krisis ekonomi ini nilai
tukar relatif mata uang negara anggota ASEAN+3 mengalami pelemahan nilai
tukar-nya terhadap USD, yang ditunjukkan oleh pelemahan nilai tukar ASEAN+3
ACU pada grafik tersebut.
80
4.5.1. Perhitungan Nilai ACU dalam Mata Uang Lokal 1997-2002
Untuk menjaga stabilitas intra-kawasan, maka nilai tukar kawasan harus
dikelola terhadap ASEAN+3 ACU. Dalam menjaga stabilitas nilai tukar setiap
mata uang negara anggota terhadap ASEAN+3 ACU berarti menjaga stabilitas
terhadap rata-rata tertimbang dari mata uang regional yang membentuk
ASEAN+3 ACU. Oleh karena itu diperlukan menentukan paritas sentral
ASEAN+3 ACU untuk masing-masing mata uang lokal. Nilai mata uang lokal i
dapat didefinisikan sebagai berikut :
ACUi =
∑
a j S ij
(4.1)
j
dimana
ACUi = nilai ACU dalam mata uang i
aj
= jumlah mata uang j dalam keranjang (bobot mata uang lokal)
Sij
= harga mata uang j
Contoh perhitungan Nilai ACU dalam mata uang setiap negara anggota
ASEAN+3 dapat dilihat pada Tabel 16. Misalkan mata uang Won milik Korea
yang pada awal periode 1997Q1 adalah sebesar 870.98 KRW/ACU, mengalami
pelemahan nilai tukar hingga mencapai angka 1023.42 KRW/ACU. Sama halnya
dengan nilai tukar Korea, mata uang Indonesia yang pada awal periode 1997Q1
sebesar 2403.3 IDR/ACU mengalami depresiasi melebihi angka 300 persen,
hingga pada periode akhir menjadi sebesar 1023.42 IDR/ACU. Begitu juga
dengan beberapa mata uang negara ASEAN+3 lainnya. Untuk lebih jelas, nilai
mata uang setiap negara anggota ASEAN+3 berikut dengan pergerakannya selama
periode krisis ekonomi (1997-2007) dapat dilihat pada Tabel 17.
Untuk negara-negara plus three seperti China, Jepang, dan Korea, hanya
negara Jepang dan China saja yang pada periode ini mengalami penguatan nilai
tukar mata uang domestiknya terhadap ASEAN+3 ACU. Sementara mata uang
Korea Won mengalami depresiasi terhadap ASEAN+3 ACU. Mata uang negaranegara ASEAN cenderung mengalami pelemahan nilai tukar terhadap ASEAN+3
ACU, kecuali untuk mata uang Myanmar Kyat yang mengalami penguatan mata
uang domestiknya terhadap ASEAN+3 ACU.
81
Tebel 16. Perhitungan Nilai ACU dalam Mata Uang Won dan Rupiah 19972002
Perhitungan KRW, Periode 1997Q1
aj
Sij
aijSij
JPY
CNY
KRW
IDR
MYR
SGD
THB
PHP
VND
BRD
MMK
KHR
LAK
36.8
2.5
72.6
183.9
0.2
0.1
1.4
0.7
217.3
0.0
0.0
2.8
0.6
7.2
105.1
1.0
0.4
349.8
613.4
33.7
33.1
0.1
613.4
142.5
0.3
0.9
264.5
261.9
72.6
66.7
56.1
54.8
46.1
24.6
16.8
3.6
1.9
0.9
0.5
870.98
JPY
CNY
KRW
IDR
MYR
SGD
THB
PHP
VND
BRD
MMK
KHR
LAK
36.8
2.5
72.6
183.9
0.2
0.1
1.4
0.7
217.3
0.0
0.0
2.8
0.6
19.8
289.9
2.8
1.0
965.2
1692.4
92.9
91.3
0.2
1692.4
393.3
0.9
2.4
729.8
722.6
200.3
183.9
154.7
151.3
127.1
68.0
46.2
10.0
5.4
2.5
1.4
2403.3
36.8
2.5
72.6
183.9
0.2
0.1
1.4
0.7
217.3
0.0
0.0
2.8
0.6
9.9
147.3
1.0
0.1
321.0
689.2
28.1
22.9
0.1
689.2
190.6
0.3
0.1
KRW/
ACU
Perhitungan IDR, Periode 1997Q1
aj
Sij
aijSij
JPY
CNY
KRW
IDR
MYR
SGD
THB
PHP
VND
BRD
MMK
KHR
LAK
Perhitungan KRW, Periode 2002Q4
aj
Sij
aijSij
1023.42
KRW/
ACU
Perhitungan IDR, Periode 2002Q4
aj
Sij
aijSij
JPY
CNY
KRW
IDR
MYR
SGD
THB
PHP
VND
BRD
MMK
KHR
LAK
IDR/
ACU
365.4
367.2
72.6
24.8
51.4
61.6
38.5
17.1
17.2
4.1
2.6
0.9
0.1
36.8
2.5
72.6
183.9
0.2
0.1
1.4
0.7
217.3
0.0
0.0
2.8
0.6
73.7
1093.6
7.4
1.0
2382.8
5115.6
208.8
170.1
0.6
5115.6
1414.8
2.3
0.8
2712.2
2725.8
538.8
183.9
381.8
457.2
285.6
126.7
128.0
30.3
19.3
6.5
0.5
7596.71
IDR/
ACU
82
Tabel 17. Pergerakan Nilai ACU dalam Mata Uang Nasional 1997-2002
1997Q1
1998Q1
1999Q1
2000Q1
2001Q1
2002Q4
121.22
104.72
101.5816
96.96312
100.3652
103.111
8.29
6.7711
7.217228
7.499109
7.037207
6.946778
KRW
870.98
1313.1
1043.604
1019.009
1080.925
1023.416
IDR
2403.3
7714.3
7649.303
6693.888
8311.808
7596.713
MYR
2.49
3.2711
3.312255
3.44162
3.229636
3.188135
SGD
1.42
1.3739
1.481798
1.539672
1.487332
1.485
THB
25.86
38.509
32.3032
34.05392
36.69037
36.38669
PHP
26.33
33.275
33.7327
36.81628
41.84928
44.66745
VND
11294
10331
12106.03
12727.93
12364.15
12900.45
BRD
1.42
1.3739
1.481798
1.539672
1.487332
1.485
MMK
6.11
5.1683
5.360623
5.696787
5.600869
5.36949
KHR
2732
2926.5
3293.078
3440.108
3323.125
3298.318
LAK
987.74
1985.3
3911.075
6838.173
7301.247
9031.063
JPY
CNY
4.5.2. Mekanisme Nilai Tukar Periode 1997-2002
Dalam EMS (European Monetary System), setiap mata uang yang
dikaitkan terhadap ECU, nilai tukar bilateral pada awalnya diperbolehkan
berfluktuasi dalam koridor sebesar 2.25 persen. Pada tahun 1990, untuk negara
Italia dan kemudian Spanyol, Portugal, dan Inggris diperkenankan untuk
melebarkan fluktuasi koridor (fluctuation bond) menjadi 6 persen. Selanjutnya,
koridor tersebut kembali diperlebar pada tahun 1992 yaitu pada masa krisis ERM
menjadi 15 persen. Negara anggota diwajibkan untuk menjaga pergerakan nilai
tukarnya dalam rentang yang telah ditetapkan tersebut dengan melakukan
intervensi sepanjang dibutuhkan.
Simulasi terhadap data time series ASEAN+3 ACU ini dimaksudkan
untuk mengetahui sampai sejauh mana bank sentral yang ada pada kawasan
ASEAN+3 perlu untuk melakukan intervensi guna menjaga stabilitas nilai tukar di
kawasan agar bergerak tetap dalam koridor yang akan disepakati bersama. Dengan
menggunakan metodologi yang telah dijelaskan sebelumnya (Tabel 17), dapat
diperoleh time series nilai tukar ACU dalam masing-masing mata uang nasional
untuk keseluruhan periode dari 1997Q1 hingga 2002Q4. Yang selanjutnya dalam
penelitian ini ditetapkan keharusan intervensi secara hipotesis yang dihitung dari
nilai tukar yang berlaku pada periode dasar 1997Q1.
83
110
7
100
6.5
1400
4
3
45
JPY/ACU
1800
1600
KRW/USD
1200
1000
KRW/ACU
4.5
MYR/USD
3.5
MYR/ACU
2.5
2
50
THB/USD
40
35
30
THB/ACU
25
20
Grafik 11. Nilai Tukar THB/ASEAN+3 ACU (97-02)
1997Q1
1997Q2
1997Q3
1997Q4
1998Q1
1998Q2
1998Q3
1998Q4
1999Q1
1999Q2
1999Q3
1999Q4
2000Q1
2000Q2
2000Q3
2000Q4
2001Q1
2001Q2
2001Q3
2001Q4
2002Q1
2002Q2
2002Q3
2002Q4
1997Q1
1997Q2
1997Q3
1997Q4
1998Q1
1998Q2
1998Q3
1998Q4
1999Q1
1999Q2
1999Q3
1999Q4
2000Q1
2000Q2
2000Q3
2000Q4
2001Q1
2001Q2
2001Q3
2001Q4
2002Q1
2002Q2
2002Q3
2002Q4
90
1997Q1
1997Q2
1997Q3
1997Q4
1998Q1
1998Q2
1998Q3
1998Q4
1999Q1
1999Q2
1999Q3
1999Q4
2000Q1
2000Q2
2000Q3
2000Q4
2001Q1
2001Q2
2001Q3
2001Q4
2002Q1
2002Q2
2002Q3
2002Q4
1997Q1
1997Q2
1997Q3
1997Q4
1998Q1
1998Q2
1998Q3
1998Q4
1999Q1
1999Q2
1999Q3
1999Q4
2000Q1
2000Q2
2000Q3
2000Q4
2001Q1
2001Q2
2001Q3
2001Q4
2002Q1
2002Q2
2002Q3
2002Q4
130
8
120
7.5
JPY/USD
1997Q1
1997Q2
1997Q3
1997Q4
1998Q1
1998Q2
1998Q3
1998Q4
1999Q1
1999Q2
1999Q3
1999Q4
2000Q1
2000Q2
2000Q3
2000Q4
2001Q1
2001Q2
2001Q3
2001Q4
2002Q1
2002Q2
2002Q3
2002Q4
1997Q1
1997Q2
1997Q3
1997Q4
1998Q1
1998Q2
1998Q3
1998Q4
1999Q1
1999Q2
1999Q3
1999Q4
2000Q1
2000Q2
2000Q3
2000Q4
2001Q1
2001Q2
2001Q3
2001Q4
2002Q1
2002Q2
2002Q3
2002Q4
9
140
8.5
Grafik 5. Nilai Tukar JPY/ASEAN+3 ACU (97-02)
Grafik 7. Nilai Tukar KRW/ASEAN+3 ACU (97-02)
1.9
1.8
1.7
1.6
1.5
1.4
1.3
1.2
1.1
1
Grafik 9. Nilai Tukar MYR/ASEAN+3 ACU (97-02)
55
40
1997Q1
1997Q2
1997Q3
1997Q4
1998Q1
1998Q2
1998Q3
1998Q4
1999Q1
1999Q2
1999Q3
1999Q4
2000Q1
2000Q2
2000Q3
2000Q4
2001Q1
2001Q2
2001Q3
2001Q4
2002Q1
2002Q2
2002Q3
2002Q4
1997Q1
1997Q2
1997Q3
1997Q4
1998Q1
1998Q2
1998Q3
1998Q4
1999Q1
1999Q2
1999Q3
1999Q4
2000Q1
2000Q2
2000Q3
2000Q4
2001Q1
2001Q2
2001Q3
2001Q4
2002Q1
2002Q2
2002Q3
2002Q4
150
CNY/USD
6
CNY/ACU
Grafik 6. Nilai Tukar CNY/ASEAN+3 ACU (97-02)
12000
10000
IDR/USD
8000
6000
800
4000
600
2000
IDR/ACU
Grafik 8. Nilai Tukar IDR/ASEAN+3 ACU (97-02)
SGD/USD
SGD/ACU
Grafik 10. Nilai Tukar SGD/ASEAN+3 ACU (97-02)
60
50
PHP/USD
45
35
PHP/ACU
30
25
20
Grafik 12. Nilai Tukar PHP/ASEAN+3 ACU (97-02)
84
15000
VND/USD
14000
13000
12000
VND/ACU
11000
10000
BRD/USD
BRD/ACU
1997Q1
1997Q2
1997Q3
1997Q4
1998Q1
1998Q2
1998Q3
1998Q4
1999Q1
1999Q2
1999Q3
1999Q4
2000Q1
2000Q2
2000Q3
2000Q4
2001Q1
2001Q2
2001Q3
2001Q4
2002Q1
2002Q2
2002Q3
2002Q4
9000
1.9
1.8
1.7
1.6
1.5
1.4
1.3
1.2
1.1
1
1997Q1
1997Q2
1997Q3
1997Q4
1998Q1
1998Q2
1998Q3
1998Q4
1999Q1
1999Q2
1999Q3
1999Q4
2000Q1
2000Q2
2000Q3
2000Q4
2001Q1
2001Q2
2001Q3
2001Q4
2002Q1
2002Q2
2002Q3
2002Q4
16000
Grafik 13. Nilai Tukar VND/ASEAN+3 ACU (97-02)
7
Grafik 14. Nilai Tukar BRD/ASEAN+3 ACU (97-02)
4500
6.5
MMK/USD
4000
KHR/USD
6
3500
5.5
MMK/ACU
5
3000
2000
Grafik 15. Nilai Tukar MMK/ASEAN+3 ACU (97-02)
KHR/ACU
1997Q1
1997Q2
1997Q3
1997Q4
1998Q1
1998Q2
1998Q3
1998Q4
1999Q1
1999Q2
1999Q3
1999Q4
2000Q1
2000Q2
2000Q3
2000Q4
2001Q1
2001Q2
2001Q3
2001Q4
2002Q1
2002Q2
2002Q3
2002Q4
4
1997Q1
1997Q2
1997Q3
1997Q4
1998Q1
1998Q2
1998Q3
1998Q4
1999Q1
1999Q2
1999Q3
1999Q4
2000Q1
2000Q2
2000Q3
2000Q4
2001Q1
2001Q2
2001Q3
2001Q4
2002Q1
2002Q2
2002Q3
2002Q4
4.5
2500
Grafik 16. Nilai Tukar KHR/ASEAN+3 ACU (97-02)
12000
10000
LAK/USD
8000
LAK/ACU
6000
4000
2000
1997Q1
1997Q2
1997Q3
1997Q4
1998Q1
1998Q2
1998Q3
1998Q4
1999Q1
1999Q2
1999Q3
1999Q4
2000Q1
2000Q2
2000Q3
2000Q4
2001Q1
2001Q2
2001Q3
2001Q4
2002Q1
2002Q2
2002Q3
2002Q4
0
Grafik 17. Nilai Tukar LAK/ASEAN+3 ACU (1997-02)
Dari Grafik 5 sampai Grafik 17 menunjukkan perilaku masing-masing
mata uang domestik yang berbeda. Dengan menetapkan benchmark ACU pada
periode dasar, beberapa mata uang antara lain Jepang (JPY), China (CNY), dan
Myanmar (MMK) mengalami trend apresiasi masing-masing mata uang lokal
terhadap ASEAN+3 ACU. Sementara mata uang Korea (KRW), Indonesia (IDR),
Malaysia (MYR), Thailand (THB), Singapura (SGD), Filipina (PHP), Brunei
Darussalam (BRD), Kamboja (KHR) dan Laos (LAK) cenderung mengalami
depresiasi mata uang lokal nya terhadap ASEAN+3 ACU. Semua mata uang
ASEAN+3 ACU bergerak menembus batas koridor 2.25 persen. Artinya
perberlakuan bencmark rate sebesar 2.25 persen berdasarkan ketetapan awal EMS
85
tidak bisa diterapkan pada periode krisis ekonomi 1997-2002 di kawasan
ASEAN+3 ini.
Dengan mengacu pada Tabel 18, nilai mata uang domestik terhadap
ASEAN+3 ACU yang mempunyai pergerakan paling kecil adalah mata uang
Dollar Brunei Darussalam dan Dollar Singapura, yakni pada koridor fluktuasi 6
sampai 15 persen. Selanjutnya diikuti oleh mata uang Yen Jepang, Yuan China,
Dong Vietnam, dan Kyat Myanmar yang mempunyai pergerakan mata uang ACU
pada rentang 15 sampai 20 persen. Sedangkan Ringgit Malaysia dan Riel
Kamboja berfluktuasi pada koridor 20-5o persen. Sementara nilai tukar Won
Korea, Rupiah Indonesia, Bath Thailand, Peso Filipina dan Kip Laos mengalami
fluktuasi melebihi koridor 50 persen.
Tabel 18. Koridor Pergerakan Mata Uang Domestik terhadap ASEAN+3
ACU 1997-2002
Negara
1997-2002
0-2.25%
6-15% 15-25% 25-50% >50%
JPY
√
CNY
√
KRW
√
IDR
√
MYR
√
SGD
√
THB
√
PHP
√
VND
√
BRD
√
MMK
√
KHR
√
LAK
√
Apabila ditetapkan koridor fluktuasi seperti yang pernah dilakukan oleh
EMS, untuk periode krisis ini sulit menentukan pada koridor berapa harus
disepakati batas toleransi bencmark rate tersebut. Hal ini dikarenakan pergerakan
beberapa mata uang negara-negara ASEAN+3 mempunyai tingkat fluktuasi yang
beragam. Dari hasil simulasi ini pun hampir setiap negara cenderung bergerak
menjauh dari ASEAN+3 ACU benchmark rate dan melampaui koridor 2.25
persen. Meskipun demikian, untuk beberapa nilai tukar seperti Dollar Brunei
86
Darussalam dan Dollar Singapura (6-15%) pergerakan nilai tukar negara tersebut
masih memenuhi batas toleransi fluktuasi EMS pada batas maksimal 15 persen.
Sedangkan negara-negara lainnya tidak dapat memenuhi kriteria fluktuasi
tersebut, sehingga negara-negara ini perlu melakukan intervensi yang signifikan
agar nilai tukarnya dapat berada dalam koridor yang disepakati.
4.6. Periode Pasca Krisis Ekonomi (2003 - 2007)
Dengan menggunakan variabel-variabel pembobotan seperti pada periode
krisis ekonomi, yaitu variabel PDB riil PPP dan variabel ekspor intra kawasan
ASEAN+3, maka diperoleh bobot untuk kedua variabel tersebut bagi negaranegara ASEAN+3 pada periode pasca krisis ekonomi dalam Tabel 19. Tabel
tersebut menunjukkan besar pangsa masing-masing negara anggota ASEAN+3
terhadap total PDB Riil PPP dan ekspor dalam ASEAN+3. Sedangkan data yang
digunakan adalah data rata-rata periode 2003 hingga 2007.
Tabel 19. Pangsa Masing-masing Anggota ASEAN+3, 2003-2007
GDP PPP (%)
China
52.2
Jepang
22.6
Indonesia
6.6
Korea
6.4
Thailand
3.3
Malaysia
2.4
Filipina
2.3
Vietnam
1.6
Myanmar
1.2
Singapura
1.0
Kamboja
0.2
Brunei
0.1
Laos
0.1
Ekspor Intra ASEAN+3 (%)
Jepang
27.3
China
23.9
Singapura
13.4
Malaysia
8.7
Korea
7.4
Thailand
7.0
Indonesia
6.4
Filipina
2.7
Vietnam
2.2
Brunei
0.6
Myanmar
0.3
Laos
0.1
Kamboja
0.0
Sumber : CEIC data 2008, diolah
Berdasarkan Tabel 19, sulit untuk kembali melakukan generalisasi guna
mendapatkan satu negara yang dominan berdasarkan indikator-indikaor dari
variabel tersebut. Sebagai contoh, China yang memiliki pangsa GDP sebesar
52.26 persen (terbesar di kawasan ASEAN+3) menempati peringkat kedua dalam
pangsa ekspor intra kawasan ASEAN+3 di bawah Jepang, begitu pun dengan
87
negara-negara lainnya. Jika dibandingkan dengan pangsa periode krisis, pada
periode ini terjadi perubahan komposisi bobot, baik dari sisi besaran pangsa
maupun dari sisi urutan komposisi. Sebagai contoh, Indonesia yang pada periode
krisis ekonomi menempati urutan keenam dalam hal pangsa ekspor, untuk periode
ini harus turun satu peringkat dan digantikan oleh Thailand. Hal tersebut pun
terjadi pada negara Laos dan Kamboja. Laos yang pada periode krisis menempati
urutan terakhir dalam penguasaan bobot Ekspor, pada periode ini menggantikan
posisi Kamboja, sehingga membuat Kamboja berada pada urutan terbawah
penguasaan pangsa Ekspor di Kawasan ini.
Selanjutnya untuk menghitung kembali ASEAN+3 ACU, maka dilakukan
perhitungan bobot timbangan terhadap variabel-variabel tersebut. Sekali lagi
diasumsikan bahwa PDB Riil PPP dan ekspor dalam ASEAN memiliki peran
yang sama pentingnya, sehingga diberlakukan bobot yang seimbang untuk kedua
variabel tersebut, yakni dengan perbandingan bobot 50 : 50 persen. Kemudian
setelah melakukan perbandingan pada kedua bobot tersebut dapat diperoleh bobot
untuk masing-masing negara dalam pembentukan ASEAN+3 ACU pada periode
pasca krisis ekonomi.
Tabel 20. Bobot Masing-masing Anggota ASEAN+3 2003-2007
Negara
China
Jepang
Singapura
Korea
Indonesia
Malaysia
Thailand
Filipina
Vietnam
Myanmar
Brunei
Kamboja
Laos
Total (%)
38.1
25.0
7.2
6.9
6.5
5.5
5.2
2.5
1.9
0.7
0.4
0.1
0.1
Sumber : CEIC data, 2008, diolah
Dengan melakukan pembobotan untuk setiap negara, pada periode pasca
krisis ekonomi ini negara-negara plus three (China, Jepang, dan Korea) sudah
88
tidak lagi mendominasi penguasaan bobot secara keseluruhan. Berdasarkan Tabel
20, pada periode ini, negara-negara plus three menguasai lebih dari 70 persen total
bobot secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa negara-negara tersebut
mengalami kenaikan penguasaan bobot sebesar 2 persen dibandingkan pada saat
periode krisis ekonomi.
Namun, yang menarik adalah bahwa konstalasi penguasaan bobot tidak
lagi dikuasai oleh negara-negara plus three seperti halnya pada periode krisis
ekonomi. Pada periode ini, Singapura menjadi negara terbesar ketiga dalam
penguasaan bobot untuk kawasan ASEAN+3 dengan menggeser Korea ke
peringkat keempat. Ini tentu saja membanggakan komunitas ASEAN pada
umumnya, karena perekonomian ASEAN+3 tidak lagi dimonopoli oleh negaranegara kawasan Asia Timur. Selain itu, pada periode pasca krisis ekonomi, China
mampu menjadi negara dengan penguasaan bobot terbesar dalam kawasan
ASEAN+3 menggantikan posisi Jepang sebagai penguasa bobot pada periode
krisis ekonomi. Sementara untuk negara-negara ASEAN lainnya tidak ada
perubahan urutan komposisi bobot yang signifikan.
Setelah memperoleh bobot timbangan bagi setiap mata uang negara
anggota ASEAN+3, tahapan selanjutnya adalah menerjemahkan bobot timbangan
tersebut ke dalam unit mata uang nasional yang membentuk ACU menjadi
ASEAN+3 ACU. Dengan menggunakan periode dasar 2003Q1, dan berasumsi
bahwa 1 ACU = 1 USD, maka perhitungan ASEAN+3 ACU pada periode pasca
krisis dapat dilihat pada Tabel 21. Berdasarkan Tabel tersebut, jumlah unit mata
uang setiap negara ASEAN+3 dapat dilihat antara lain, China (3.2), Jepang (29.7),
Singapura (0.1), Korea (82.6), Indonesia (580.2), Malaysia (0.2), Thailand (2.24),
Filipina (1.35), Vietnam (291.05), Brunei Darussalam (0.01), Myanmar (0.02),
Kamboja (4.5), dan Laos (7.16). Jumlah unit mata uang masing-masing negara
tersebut dalam ASEAN+3 ACU adalah konstan untuk jangka waktu tertentu.
89
Tabel 21. Perhitungan ASEAN+3 ACU 2001-2004
Nilai Tukar mata uang
domestik per 1 USD
pada base period 2003 (Q1)
Bobot ASEAN ACU (%)
ACU Currency =
unit mata uang nasional
dalam ACU
Nilai Tukar mata uang
domestik per 1 USD
pada base period 2005 (Q4)
Bobot ASEAN ACU (%)
ACU Currency =
unit mata uang nasional
dalam ACU
Nilai Tukar mata uang
domestik per 1 USD
pada base period 2007 (Q4)
Bobot ASEAN ACU (%)
ACU Currency =
unit mata uang nasional
dalam ACU
CIN
JEP
SIN
KOR
IND
MAL
THA
FIL
VIE
MYA
BRU
KAM
LAO
8.3
118.8
1.7
1202.3
8905.5
3.8
42.8
54.1
15426.0
6.2
1.7
3932.0
10619.1
38.1
25.0
7.2
6.9
6.5
5.5
5.2
2.5
1.9
0.7
0.4
0.1
0.1
3.2
29.7
0.1
82.6
580.2
0.2
2.2
1.3
291.0
0.0
0.0
4.5
7.1
CIN
JEP
SIN
KOR
IND
MAL
THA
FIL
VIE
MYA
BRU
KAM
LAO
8.1 117.3 1.7 1036.6 9999.6 3.8 41.0 54.6 15907.0 5.9 1.7 4154.3 10831.0 38.1 25.0 7.2 6.9 6.5 5.5 5.2 2.5 1.9 0.7 0.4 0.1 0.1 3.2 29.7 0.1 82.6 580.2 0.2 2.2 1.3 291.0 0.0 0.0 4.5 7.1 CIN
JEP
SIN
KOR
IND
MAL
THA
FIL
VIE
MYA
BRU
KAM
LAO
7.4 113.1 1.5 921.2 9246.3 3.4 33.9 43.1 16122.3 5.4 1.5 4026.0 9518.1 38.1 25.0 7.2 6.9 6.5 5.5 5.2 2.5 1.9 0.7 0.4 0.1 0.1 3.2 29.7 0.1 82.6 580.2 0.2 2.2 1.3 291.0 0.0 0.0 4.5 7.1 90
Tabel 22. USD/ACU dengan Memperhitungkan Bobot Mata Uang Lokal Masing-masing Negara 2003-2007
2003Q1 2003Q2 2003Q3 2003Q4 2004Q1 2004Q2 2004Q3 2004Q4 2005Q1 2005Q2 2005Q3 2005Q4 2006Q1 2006Q2 2006Q3 2006Q4 2007Q1 2007Q2 2007Q3 2007Q4 CIN
0.381
0.381
0.381
0.381
0.381
0.381
0.381
0.381
0.381
0.381
0.387
0.390
0.391
0.393
0.395
0.401
0.406
0.410
0.417
0.424
JEP
KOR
0.250 0.072
0.251 0.072
0.252 0.072
0.273 0.073
0.277 0.074
0.270 0.074
0.270 0.074
0.280 0.076
0.283 0.077
0.276 0.076
0.267 0.075
0.253 0.074
0.254 0.077
0.259 0.079
0.255 0.080
0.252 0.081
0.248 0.082
0.246 0.083
0.252 0.083
0.262 0.087
IND
0.069
0.068
0.070
0.070
0.071
0.071
0.072
0.076
0.081
0.082
0.080
0.080
0.085
0.087
0.087
0.088
0.088
0.089
0.089
0.090
MAL
0.065
0.068
0.069
0.068
0.069
0.064
0.063
0.064
0.063
0.061
0.058
0.058
0.063
0.064
0.064
0.064
0.064
0.065
0.063
0.063
SIN
0.055
0.055
0.055
0.055
0.055
0.055
0.055
0.055
0.055
0.055
0.056
0.056
0.057
0.058
0.057
0.058
0.060
0.061
0.061
0.063
THA
0.052
0.052
0.053
0.055
0.056
0.055
0.053
0.055
0.057
0.055
0.053
0.054
0.056
0.058
0.059
0.060
0.062
0.064
0.065
0.065
FIL
0.025
0.025
0.025
0.024
0.024
0.024
0.024
0.024
0.024
0.024
0.024
0.024
0.026
0.026
0.026
0.027
0.028
0.029
0.029
0.031
VIE
0.019
0.019
0.019
0.019
0.019
0.018
0.018
0.018
0.018
0.018
0.018
0.018
0.018
0.018
0.018
0.018
0.018
0.018
0.018
0.018
BRU
0.007
0.007
0.007
0.008
0.008
0.008
0.008
0.008
0.008
0.008
0.008
0.008
0.008
0.008
0.008
0.008
0.008
0.008
0.008
0.008
MYA
0.004
0.004
0.004
0.004
0.004
0.004
0.004
0.004
0.004
0.004
0.004
0.004
0.004
0.004
0.004
0.004
0.004
0.004
0.004
0.004
KAM
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
0.001
LAO USD/ACU
0.001
1
0.001
1.004676
0.001
1.009075
0.001
1.031646
0.001
1.038601
0.001
1.026651
0.001
1.023771
0.001
1.042002
0.001
1.053363
0.001
1.041817
0.001
1.032020
0.001
1.020765
0.001
1.039865
0.001
1.055803
0.001
1.054590
0.001
1.062657
0.001
1.070534
0.001
1.078453
0.001
1.090314
0.001
1.117434
91
Sementara pada Tabel 22 menggambarkan perhitungan bobot negara-negara
ASEAN+3 ACU secara individual dengan memperoleh cara penghitungan yang
sama dengan cara perhitungan pada periode krisis. Penjumlahan bobot mata uang
lokal seluruh negara anggota ASEAN+3 dalam periode pemulihan krisis ini akan
menghasilkan nilai tukar USD/ASEAN+3 ACU, dimana pada periode dasar
pemulihan krisis diperoleh USD/ASEAN+3 ACU = 1, yakni sesuai dengan
asumsi awal. Dapat dilihat juga bahwa dari waktu ke waktu nilai tukar USD/ACU
bergerak searah dengan perubahan bobot mata uang individual negara anggota
yang searah dengan pergerakan nilai tukar mata uang nasional terhadap USD.
Sementara untuk melihat pergerakan kuartalan nilai tukar USD/AEAN+3
ACU dengan periode 2003Q1 hingga 2007Q4 yang dapat dilihat pada Grafik 18.
ASEAN+3 ACU terbentuk dari mata uang negara-negara ASEAN+3 sehingga
perilakunya merepresentasikan perilaku dari rata-rata tertimbang mata uang
negara-negara ASEAN+3. Dari Grafik 18 dapat dilihat bahwa nilai tukar
ASEAN+3 ACU secara umum mengalami penguatan nilai tukar terhadap USD,
hal ini berbeda dengan pergerakan nilai USD/ASEAN+3 pada saat periode krisis
yang mengalami pelemahan nilai tukar. Hal ini tentu saja dikarenakan beberapa
nilai tukar mata uang lokal negara-negara ASEAN+3 mengalami apresiasi mata
uang terhadap USD.
92
2007Q4
2007Q3
2007Q2
2007Q1
2006Q4
2006Q3
2006Q2
2006Q1
2005Q4
2005Q3
2005Q2
2005Q1
2004Q4
2004Q3
2004Q2
2004Q1
2003Q4
USD/ACU
2003Q3
2003Q2
2003Q1
ACU apresiasi
1.14
1.12
1.1
1.08
1.06
1.04
1.02
1
0.98
0.96
0.94
Grafik 18. Pergerakan USD Terhadap ASEAN+3 ACU 2003-2007
4.6.1. Perhitungan Nilai ACU dalam Mata Uang Lokal 2003-2007
Dengan menjaga stabilitas intra-kawasan dan menggunakan cara
perhitungan yang sama pada Persamaan (4.1), maka diperoleh perhitungan Nilai
ASEAN+3 ACU untuk beberapa negara anggota pada Tabel 23. Sebagai contoh,
mata uang milik Filipina yang pada periode awal 2003Q1 adalah sebesar 54.08
PHP/ACU mengalami penguatan nilai tukar hingga mencapai angka 48.17
PHP/ACU. Begitu juga dengan mata uang Myanmar yang pada awal periode
2003Q1 adalah sebesar 6.22 MMK/ACU mengalami penguatan mencapai 6.05
MMK/ACU pada akhir periode 2007Q4.
Secara lebih lengkap, pergerakan nilai mata uang setiap negara selama
periode pemulihan krisis (2001-2004) dapat dilihat pada Tabel 24. Adapun
beberapa negara yang mengalami penguatan nilai tukar antara lain Dollar
Singapura, Won Korea, Bath Thailand, Peso Filipina, Dollar Brunei, dan Kyat
Myanmar. Sedangkan nilai tukar Yen Jepang, Rupiah Indonesia, Dong Vietnam,
Riel Kamboja dan Kip Laos mengalami depresiasi nilai tukar. Sementara Yuan
China dan Ringgit Malaysia mempunyai nilai tukar yang tetap hingga akhir
periode ini.
93
Tabel 23. Perhitungan Nilai ACU dalam Mata Uang Peso dan Kyat 20032007
Perhitungan PHP, Periode 2003Q1
aj
Sij
aijSij
CNY
3.15
6.53
20.58
JPY
29.68
0.46
13.51
KRW
0.13 31.08
3.91
IDR
82.60
0.04
3.72
MYR
580.18
0.01
3.52
SGD
0.21 14.23
3.00
THB
2.20
1.26
2.79
PHP
1.34
1.00
1.34
VND
291.04
0.00
1.02
BRD
0.05
8.69
0.40
MMK
0.01 31.08
0.20
KHR
4.48
0.01
0.06
LAK
7.14
0.01
0.04
54.08 PHP/
ACU
Perhitungan PHP, Periode 2007Q4
aj
Sij
aijSij
CNY
3.15
5.80
18.28
JPY
29.68
0.38
11.31
KRW
0.13
29.73
3.74
IDR
82.60
0.05
3.87
MYR
580.18
0.00
2.71
SGD
0.21
12.83
2.71
THB
2.20
1.27
2.81
PHP
1.34
1.00
1.34
VND
291.04
0.00
0.78
BRD
0.05
7.97
0.36
MMK
0.01
29.73
0.19
KHR
4.48
0.01
0.05
LAK
7.14
0.00
0.03
48.17 PHP/
ACU
Perhitungan MMK, Periode 2003Q1
aj
Sij
aijSij
CNY
3.15
0.75
2.37
JPY
29.68
0.05
1.55
KRW
0.13
3.57
0.45
IDR
82.60
0.01
0.43
MYR
580.18
0.00
0.41
SGD
0.21
1.64
0.35
THB
2.20
0.15
0.32
PHP
1.34
0.12
0.15
VND
291.04
0.00
0.12
BRD
0.05
1.00
0.05
MMK
0.01
3.57
0.02
KHR
4.48
0.00
0.01
LAK
7.14
0.00
0.00
6.22 MMK/
ACU
Perhitungan MMK, Periode 2007Q4
aj
Sij
aijSij
CNY
3.15
0.73
2.29
JPY
29.68
0.05
1.42
KRW
0.13
3.73
0.47
IDR
82.60
0.01
0.49
MYR
580.18
0.00
0.34
SGD
0.21
1.61
0.34
THB
2.20
0.16
0.35
PHP
1.34
0.13
0.17
VND
291.04
0.00
0.10
BRD
0.05
1.00
0.05
MMK
0.01
3.73
0.02
KHR
4.48
0.00
0.01
LAK
7.14
0.00
0.00
6.05 MMK/
ACU
94
Tabel 24. Pergerakan Nilai ACU dalam Mata Uang Nasional 2003-2007
CNY
JPY
SGD
KRW
IDR
MYR
THB
PHP
VND
BRD
MMK
KHR
LAK
2003Q1 2004Q1 2005Q1 2006QQ1 2007Q1 2007Q4
8.3
8.6
8.7
8.4
8.3
8.3
118.8
111.4
110.3
121.5
127.9
126.3
1.7
1.8
1.7
1.7
1.6
1.6
1202.3 1216.4 1076.8
1015.3 1005.3 1029.4
8905.5 8796.5 9769.2
9644.6 9749.5 10332.1
3.8
3.9
4.0
3.9
3.7
3.8
42.8
40.7
40.6
40.9
38.0
37.8
54.1
58.1
57.9
53.9
52.0
48.2
15426.0 16324.0 16652.3
16555.4 17152.4 18015.6
1.7
1.8
1.7
1.7
1.6
1.6
6.2
5.9
5.9
6.1
6.1
6.0
3932.0 4144.4 4241.9
4244.0 4341.0 4498.8
10619.1 10831.6 10893.0
10911.8 10372.4 10635.9
4.6.2. Mekanisme Nilai Tukar Periode 2003-2007
Dengan adanya ketetapan EMS yang mewajibkan negara anggota ECU
menjaga pergerakan nilai tukarnya dalam rentang yang 2.25 persen, 6 persen pada
tahun 1990, dan 15 persen pada tahun 1992, maka untuk negara-negara Anggota
ASEAN+3 ACU akan dilakukan simulasi terhadap data time series pada periode
2003-2007. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana Bank Sentral
yang ada di kawasan ASEAN+3 perlu melakukan suatu intervensi guna menjaga
stabilitas nilai tukar di kawasan ASEAN+3 agar bergerak dalam koridor yang
akan disepakati bersama. Dengan menggunakan metodologi yang telah dijelaskan
sebelumnya dapat diperoleh time series nilai tukar ACU dalam masing-masing
mata uang nasional untuk keseluruhan periode dari 2003Q1 hingga 2007Q4. Yang
selanjutnya dalam penelitian ini ditetapkan keharusan intervensi secara hipotesis
yang dihitung dari nilai tukar yang berlaku pada periode dasar 2003Q1.
95
Grafik 25. Nilai Tukar THB/ASEAN+3 ACU (03-07)
30
2007Q4
35
30
2007Q3
45
2007Q2
55
2007Q1
32
2007Q4
2007Q3
2007Q2
2007Q1
2006Q4
2006Q3
2006Q2
2006Q1
2005Q4
2005Q3
2005Q2
2005Q1
1.8
1.75
1.7
1.65
1.6
1.55
1.5
1.45
1.4
1.35
1.3
2006Q4
THB/USD
2004Q4
9000
2006Q3
36
2007Q4
2007Q3
2007Q2
2007Q1
2006Q4
2006Q3
2006Q2
2006Q1
2005Q4
2005Q3
2005Q2
2005Q1
2004Q4
2004Q3
2004Q2
2004Q1
2003Q4
2003Q3
2003Q2
135
130
125
120
115
110
105
100
95
90
2006Q2
THB/ACU
2006Q1
60
2005Q4
40
2005Q3
65
42
2005Q2
44
2005Q1
Grafik 23. Nilai Tukar MYR/ASEAN+ACU (03-07)
2004Q3
3
2004Q4
3.2
2004Q2
MYR/USD
2004Q3
MYR/ACU
2004Q1
3.8
2004Q2
4
2004Q1
4.2
2003Q4
Grafik 21. Nilai Tukar KRW/ASEAN+3 ACU (03-07)
2003Q4
KRW/USD
2003Q3
Grafik 19. Nilai Tukar CNY/ASEAN+3 ACU (03-07)
2003Q3
KRW/ACU
2003Q1
6.5
2003Q1
2003Q2
2003Q3
2003Q4
2004Q1
2004Q2
2004Q3
2004Q4
2005Q1
2005Q2
2005Q3
2005Q4
2006Q1
2006Q2
2006Q3
2006Q4
2007Q1
2007Q2
2007Q3
2007Q4
CNY/USD
2003Q2
2007Q4
2007Q3
7
2003Q1
2007Q4
2007Q2
2007Q1
CNY/ACU
2003Q2
2007Q4
2007Q3
2007Q2
2006Q4
2006Q3
2006Q2
2006Q1
8.5
2003Q1
2007Q4
2007Q3
2007Q2
3.6
2007Q3
38
2007Q1
2006Q4
2006Q3
2006Q2
2005Q4
2005Q3
2005Q2
2005Q1
2004Q4
2004Q3
2004Q2
2004Q1
2003Q4
2003Q3
2003Q2
2003Q1
8
2007Q2
3.4
2007Q1
2006Q4
2006Q3
2006Q2
2006Q1
2005Q4
2005Q3
2005Q2
2005Q1
2004Q4
2004Q3
2004Q2
2004Q1
2003Q4
2003Q3
2003Q2
2003Q1
7.5
2007Q1
2006Q4
34
2006Q3
2006Q2
2006Q1
2005Q4
2005Q3
2005Q2
2005Q1
2004Q4
2004Q3
2004Q2
2004Q1
2003Q4
2003Q3
2003Q2
2003Q1
1250
1200
1150
1100
1050
1000
950
900
850
800
2006Q1
2005Q4
2005Q3
2005Q2
2005Q1
2004Q4
2004Q3
2004Q2
2004Q1
2003Q4
2003Q3
2003Q2
2003Q1
9
JPY/ACU
JPY/USD
Grafik 20. Nilai Tukar JPY/ASEAN+3 ACU (03-07)
10500
10000
IDR/ACU
9500
8500
IDR/USD
8000
Grafik 22. Nilai Tukar IDR/ASEAN+3 ACU (03-07)
SGD/ACU
SGD/USD
Grafik 24. Nilai Tukar SGD/ASEAN+3 ACU (03-07)
50
PHP/ACU
40
PHP/USD
Grafik 26. Nilai Tukar PHP/ASEAN+3 ACU (03-07)
96
18500
1.9
18000
1.8
17500
1.7
VND/ACU
17000
16500
BRD/ACU
1.6
1.5
16000
VND/USD
15500
1.3
Grafik 27. Nilai Tukar VND/ASEAN+3 ACU (03-07)
2007Q4
2007Q3
2007Q2
2007Q1
2006Q4
2006Q3
2006Q2
2006Q1
2005Q4
2005Q3
2005Q2
2005Q1
2004Q4
2004Q3
2004Q2
2004Q1
2003Q4
2003Q3
2003Q2
2003Q1
1.2
2003Q1
2003Q2
2003Q3
2003Q4
2004Q1
2004Q2
2004Q3
2004Q4
2005Q1
2005Q2
2005Q3
2005Q4
2006Q1
2006Q2
2006Q3
2006Q4
2007Q1
2007Q2
2007Q3
2007Q4
15000
BRD/USD
1.4
Grafik 28. Nilai Tukar BRD/ASEAN+3 ACU (03-07)
6.4
4600
6.2
4500
4400
6
MMK/ACU
5.8
KHR/ACU
4300
4200
5.6
4100
4000
Grafik 29. Nilai Tukar MMK/ASEAN+3 ACU (03-07)
2007Q4
2007Q3
2007Q2
2006Q4
2006Q3
2006Q2
2006Q1
2005Q4
2005Q3
2005Q2
2005Q1
2004Q4
2004Q3
2004Q2
2004Q1
2003Q4
2003Q3
2003Q2
KHR/USD
2003Q1
2007Q4
2007Q3
2007Q2
2007Q1
2006Q4
2006Q3
2006Q2
2006Q1
2005Q4
2005Q3
2005Q2
2005Q1
2004Q4
2004Q3
2004Q2
2004Q1
2003Q4
3800
2003Q3
5
2003Q2
3900
2003Q1
5.2
2007Q1
MMK/USD
5.4
Grafik 29. Nilai Tukar KHR/ASEAN+3 ACU (03-07)
11500
11000
LAK/ACU
10500
10000
LAK/USD
9500
9000
2003Q1
2003Q2
2003Q3
2003Q4
2004Q1
2004Q2
2004Q3
2004Q4
2005Q1
2005Q2
2005Q3
2005Q4
2006Q1
2006Q2
2006Q3
2006Q4
2007Q1
2007Q2
2007Q3
2007Q4
8500
Grafik 31. Nilai Tukar LAK/ASEAN+3 ACU (03-07)
Dari Grafik 19 sampai dengan Grafik 31 menunjukkan perilaku masingmasing mata uang nasional yang berbeda. Dengan menetapkan benchmark ACU
pada periode dasar, beberapa mata uang antara lain Singapura (SGD), Korea
(KRW), Thailand (THB), Filipina (PHP), Brunei (BRD), dan Myanmar (MYK)
mengalami trend apresiasi masing-masing mata uang lokal terhadap mata uang
ASEAN+3 ACU. Sementara Jepang (JPY), Indonesia (IDR), Vietnam (VND),
Kamboja (KHR), dan Laos (LAK) cenderung mengalami depresiasi mata uang
lokalnya terhadap ASEAN+3 ACU.
Jika dibandingkan dengan periode krisis ekonomi (1997-2002), pada
periode pasca krisis ekonomi (2003-2007) terdapat enam mata uang negara-negara
97
anggota ASEAN+3 yang mengalami trend apresiasi terhadap ASEAN+3 ACU,
padahal pada periode krisis hanya tiga nilai tukar saja. Sedangkan untuk mata
uang yang mengalami depresiasi atau pelemahan nilai tukar ada lima negara, tidak
seperti pada kondisi krisis ekonomi yang mencapai sepuluh negara.
Pada periode ini pun seluruh mata uang ASEAN+3 ACU bergerak
menembus koridor 2.25 persen, artinya perberlakuan bencmark rate sebesar 2.25
persen oleh EMS tidak bisa diterapkan pada periode pasca krisis ekonomi 20032007 di kawasan ASEAN+3 ini. Untuk itu perlu dilihat pada rentang berapa
pergerakan mata uang masing-masing Negara Anggota ASEAN+3 dapat
disepakati suatu koridor fluktuasi. Mengacu pada Tabel 25, nilai tukar domestik
terhadap ASEAN+3 ACU yang memiliki pergerakan terkecil adalah Yuan China,
Ringgit Malaysia, Kyat Myanmar dan Kip Laos yang berada pada rentang 2.25-6
persen. Sementara mayoritas fluktuasi nilai tukar negara-negara ASEAN+3 berada
pada rentang 6-15 persen yang ditempati oleh Yen Jepang, Dollar Singapura, Bath
Thailand, Peso Filipina, Dollar Brunei, dan Riel Kamboja. Sedangkan nilai tukar
Won Korea, Rupiah Indonesia, dan Dong Vietnam berada pada koridor fluktuasi
15-20 persen.
Berbeda dengan periode krisis ekonomi, pada periode pasca krisis ini
rentang fluktuasi nilai tukar negara-negara ASEAN+3 relatif lebih kecil.
Meskipun demikian, pemberlakuan benchmark rate seperti yang ditetapkan oleh
Eropa (ERM) tidak dapat diberlakukan secara penuh karena tidak semua negara di
ASEAN+3 berada pada koridor fluktuasi 15 persen. Kendati begitu, pada periode
pasca krisis ekonomi, seluruh Bank Sentral di kawasan ASEAN+3 sebenarnya
dapat melakukan kebijakan fluktuasi nilai tukar pada koridor pergerakan 25
persen. Hal ini dikarenakan fluktuasi nilai tukar seluruh negara-negara di
Kawasan ASEAN+3 berada pada rentang tersebut. Namun, jika kawasan
ASEAN+3 ingin menerapkan benchmark rate seperti yang dilakukan oleh Uni
Eropa, yakni sebesar 15 persen, dibutuhkan intervensi khusus oleh Bank Sentral
negara Korea, Indonesia, dan Vietnam dalam menjaga fluktuasi nilai tukarnya
sampai pada koridor 15 persen.
98
V. PILIHAN PENGGUNAAN MATA UANG
SETIAP NEGARA DI ASEAN+3
Berawal dari kesuksesan Uni Eropa dan dalam rangka menanggulangi
krisis di masa yang akan datang, mendorong negara-negara ASEAN untuk
menciptakan suatu single market. Pada KTT ASEAN ke-9 di Bali Tahun 2003
yang silam, para pemimpin ASEAN tersebut menyepakati sebuah penyatuan
perekonomian yang dikenal dengan ASEAN Economic Community (AEC) yang
ditargetkan akan diimplementasikan pada Tahun 2015 mendatang. Adanya
rencana tersebut, bukan hanya untuk kalangan negara-negara ASEAN saja,
melainkan diperluas ke Asia Timur yang melibatkan Negara-negara seperti China,
Jepang, dan Korea. Perluasan kerjasama tersebut dikenal dengan nama
ASEAN+3.
Pembentukan AEC akan bermuara pada pembentukan Asian Currency
Unit (ACU) atau satuan mata uang ASEAN, yang akan menjadi alat transaksi
tunggal di kawasan ASEAN+3. Tetapi apakah kawasan ASEAN+3 sudah dapat
menerapkan common currency area? Ada beberapa hasil penelitian yang dapat
menjawab hal tersebut. Moon, Yoo dan Rhee (2000) menyimpulkan bahwa
kondisi di Asia Tenggara dan Asia Timur tidak dapat mencapai hal tersebut
berdasarkan kriteria OCA. Pendapat yang sama pun dikemukakan oleh Lee, Park,
dan Sin (2002) yang meneliti bahwa kawasan tersebut untuk saat ini tidak tepat
mengimplementasikan currency union. Sementara itu, Chow dan Kim (2000) serta
Wyploz (2001) berpendapat bahwa kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara tidak
dapat memenuhi prakondisi untuk menerapkan suatu monetary union dalam waktu
dekat. Semua penelitian terkait tersebut menggunakan kriteria OCA dalam
menyimpulkan kesiapan ASEAN+3 menjadi sebuah uni moneter regional.
Dalam penelitian ini pun telah dibahas bagaimana kesiapan Negara-negara
ASEAN+3 membentuk suatu uni moneter regional. Walaupun berbeda dengan
beberapa penelitian yang menggunakan OCA, hasil dari penelitian ini mempunyai
kesimpulan yang sama dengan menggunakan kriteria konvergensi Maastricht.
Secara garis besar, benang merah yang dapat diambil dari hasil pembahasan
sebelumnya bahwa kawasan ASEAN+3 belum layak untuk menjadi suatu uni
99
moneter regional karena belum terjadi integrasi secara menyeluruh pada kondisi
saat ini.
Sehingga untuk mencapai uni moneter regional dengan menerbitkan mata
uang tunggal dalam kawasan masih memerlukan waktu yang panjang. Namun,
proses pencapaian keaarah tersebut sudah mulai menunjukan beberapa kemajuan.
Hal ini tercermin dari beberapa kesepakatan dalam melakukan berbagai upaya
kerja sama untuk menuju komunitas ekonomi yang terintegrasi. Salah satu hasil
kesepakatan yang terjalin antara lain keinginan menerapkan nilai tukar regional
ACU dalam beberapa waktu mendatang. Proses konstruksi maupun implementasi
ACU di kawasan ASEAN+3 pun sudah dikaji pada penelitian ini di Bab
sebelumnya.
Dengan mengadopsi mekanisme penerapan nilai tukar Eropa pada masa
lampau, memberikan berbagai informasi menarik seputar pemberlakuan ACU di
Kawasan ASEAN+3. Secara ekonomi tentu saja harus ada nilai tambah yang
diberikan dari nilai tukar ACU dibandingkan dengan penggunaan nilai tukar
domestik terhadap USD masing-masing negara anggota. Oleh sebab itu, fokus
pembahasan bab ini adalah bagaimana suatu negara menentukan pilihan
penggunaan mata uangnya, apakah menggunakan nilai tukar ACU atau tetap
menggunakan mata uang domestiknya. Penentuan pilihan tersebut akan
disimulasikan dengan menggunakan model VAR. Kesimpulan yang diperoleh
adalah berdasarkan pergerakan indikator inflasi jika nilai tukar ACU dan mata
uang domestik setiap negara di shock secara bersamaan.
5.1. Nilai Tukar (Exchange Rate)
Nilai tukar mempunyai peran penting dalam rangka tercapainya stabilitas
moneter dalam mendukung kegiatan ekonomi. Nilai tukar ini didefinisikan
sebagai satuan mata uang terhadap mata uang lainnya. Kurs antara dua negara
adalah tingkat harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling
melakukan perdagangan (Mankiw, 2003).
100
5.1.1. Bentuk Kerja sama Nilai Tukar Regional
Negara-negara di kawasan ASEAN+3 saat ini menerapkan sistem nilai
tukar yang bervariasi. Mulai dari sistem nilai tukar tetap (termasuk currency
board), nilai tukar mengambang terkendali, hingga nilai tukar mengambang
bebas. Untuk melihat sistem nilai tukar yang digunakan Negara-negara di
ASEAN+3 disajikan pada Tabel 26.
Tabel 26. Sistem Nilai Tukar Negara ASEAN+3
Negara
Sistem Nilai Tukar
Brunei
Currency Board (pegged terhadap dollar Singapura)
Kamboja
Mengambang Terkendali
China
Mengambang Terkendali
Indonesia
Mengambang Bebas
Jepang
Mengambang Bebas
Korea Selatan
Mengambang Terkendali
Laos
Mengambang Terkendali
Malaysia
Mengambang Terkendali
Myanmar
Mengambang Terkendali (terhadap SDR)
Filipina
Mengambang Bebas
Singapura
Mengambang Terkendali
Thailand
Mengambang Terkendali
Vietnam
Mengambang Terkendali
Sumber : IMF, Annual Report on Exchange Restrictions and Exchange Arrangements, 2007
dan ASEAN capital account 2007
Saat ini telah berkembang berbagai wacana dan studi mengenai
kemungkinan pembentukan mata uang regional ASEAN+3 dengan mencari sistem
nilai tukar bersama yang dapat memfasilitasi dan mempercepat integrasi moneter
di kawasan ASEAN+3. Dalam hal ini, pengalaman Eropa dengan Sistem Moneter
Eropa (European Monetary System-EMS) dengan menggunakan parallel currency
ECU banyak digunakan sebagai referensi.
Dalam masa transisi ke arah pencapaian common currency area yang
diperkirakan akan memakan waktu yang panjang, terdapat tiga alternatif sistem
101
nilai tukar yang dapat dipertimbangkan untuk diadopsi, yaitu (i) sistem peg
terhadap satu mata uang asing (single currency peg); (ii) sistem mata uang parallel
(parallel currency) dan (iii) sistem peg terhadap sekeranjang mata uang mitra
dagang (currency basket).
1. Single currency peg
Single currency peg adalah sistem nilai tukar dengan mengkaitkan masingmasing mata uang negara anggota kawasan dengan satu mata uang negara lain
yang ditetapkan sebagai mata uang jangkar (anchor currency) pada nilai yang
tetap (fixed parity). Dalam konteks kerja sama nilai tukar ini, negara peserta
kerjasama telah mencapai kata sepakat dan memutuskan bersama mengenai
penetapan mata uang jangkar, apakah bersasal dari salah satu mata uang utama
dunia (misalnya dollar AS, yen, atau euro) atau salah satu mata uang kawasan
(misalnya : rupiah Indonesia atau dollar Singapura). Penentuan mata uang jangkar
dalam rezim nilai tukar peg ini tergantung pada dua kriteria, yaitu : pertama, mata
uang jangkar mendominasi perdagangan dan investasi di kawasan. Kedua, pesaing
ekspor berlokasi di kawasan yang sama. 17
2. Parallel Currency
Dalam sistem nilai tukar paralel terhadap penciptaan mata uang sintesis, di
mana mata uang sintesis tersebut digunakan bersamaan dengan mata uang
domestik masing-masing negara anggota. Mata uang sintesis tersebut dibentuk
dari sekerangjang mata uang yang terdiri dari mata uang negara-negara di
kawasan yang berpartisipasi dalam pembentukan sistem tersebut. Mata uang
domestik masing-masing negara anggota kemudian dikaitkan kepada mata uang
sintesis yang dijadikan mata uang bersama. Contoh populer penerapan parallel
currency adalah ECU dalam EMS dan Special Drawing Rights (SDR) dari
International Monetary Fund (IMF). 18
17
Kurniati, Y. 2007. Integrasi Keuangan dan Moneter di Asia Timur. Peluang dan Tantangan bagi
Indonesia. (Eds). S. Arifin, R. Winantyo, dan Y. Kurniati. Kerjasama Perdagangan
Internasionl. Bank Indonesia, Jakarta.
18
Ibid.
102
3. Currency Basket
Sistem nilai tukar regional lainnya adalah Currency Basket Arrangement
yang merupakan suatu sistem nilai tukar bersama di kawasan tempat masingmasing mata uang lokal negara anggota dalam kawasan dikaitkan terhadap
sekeranjang mata uang yang terdiri dari mata uang mitra dagang utama (Kurniati,
2007). Sistem ini dirancang untuk menjamin kestabilan nilai tukar secara langsung
terhadap mata uang mitra dagang utama, dan secara langsung terhadap mata uang
negara anggota kerjasama nilai tukar.
5.1.2. Kerjasama Nilai Tukar di ASEAN+3
Kerja sama sepuluh negara ASEAN dengan China, Jepang, dan Korea
yang selanjutnya disebut sebagai kelompok negara ASEAN+3, diawali dengan
dideklarasikannya ”Pernyataan Bersama Kerja sama Asia Timur” pada tahun
1999. Adapun isi dari deklarasi tersebut berisi kesepakatan untuk meningkatkan
dialog dan kerja sama di berbagai bidang, yang diawali dengan kerja sama proses
surveillance ASEAN+3 yaitu Proses Review Ekonomi dan Dialog Kebijakan.
Pada KTT ASEAN ke-7 di Brunei Darussalam bulan November 2001,
para pemimpin ASEAN menyepakati perlunya penyusunan Roadmap untuk
Integrasi ASEAN (RIA). Roadmap tersebut disusun secara sektoral yang
menjabarkan tahapan-tahapan kegiatan yang jelas dengan indikator dan jangka
waktu dari program tersebut, dengan tujuan akhir memperluas integrasi ekonomi
ASEAN pada tahun 2020. Di bidang keuangan, RIA-financial disepakati dalam
pertemuan ASEAN tingkat menteri keuangan (ASEAN Finance ministersAFMM) ke-7 di Makati City, Filipina, pada bulan Agustus 2003. RIA-financial
meliputi empat sektor yang salah satunya adalah kerja sama nilai tukar (Currency
Cooperation).
Adapun Roadmap di bidang kerja sama nilai tukar bertujuan untuk
mewujudkan kerja sama mata uang yang lebih erat untuk meningkatkan
perdagangan intra kawasan dan memperdalam integrasi ekonomi regional.
Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk merealisasikan tujuan tersebut, hingga
saat ini masih sebatas pada kajian atau studi untuk melihat bagaimana
103
kemungkinan interim currency arrangement. Hasil kajian yang telah dilakukan
oleh ASEAN pada tahun 2002 menghasilkan beberapa kesimpulan.
Hasil studi yang dimaksud menunjukkan kondisi negara-negara ASEAN
saat ini belum siap untuk membentuk common currency, karena belum dapat
memenuhi beberapa prasyarat pembentukannya. Hal ini disebabkan antara lain
karena masih lemahnya konvergensi makroekonomi, celum memadainya regional
institutional framework dan relatif masih rendahnya perdagangan intra kawasan
ASEAN, serta tingginya kekhawatiran akan hilangnya sovereignty atas kebijakan
nasional. Pergerakan ke arah single currency akan melalui banyak tahapan bila
tujuan monetary union yang sustainable ingin dicapai. Khususnya terdapat
kebutuhan untuk trust building dan penciptaan komitmen politik yang tinggi.
Studi berikutnya yang dilakukan oleh ASEAN adalah pada tahun 20042006 untuk mencari peluang terbentuknya currrency arrangement yang dapat
memfasilitasi dan mempromosikan perdagangan intra-kawasan dan memperdalam
integrasi ekonomi regional. Hasil studi yang dimaksud, menyimpulkan bahwa
adanya kerja sama nilai tukar di kawasan ASEAN memang sangat diperlukan
terutama untuk mencapai stabilitas keuangan regional. Namun demikian, berbagai
arrangement nilai tukar saat ini masih belum dilaksanakan.
5.1.3. Nilai Tukar dan Inflasi
Dalam penelitian ini, pilihan penentuan mata uang yang tepat bagi setiap
negara ASEAN+3 adalah berdasarkan simulasi yang menggunakan Model VAR.
Nilai tukar ACU dan mata uang domestik setiap negara anggota ASEAN+3 akan
di schok secara bersamaan dan dilihat bagaimana prilaku inflasi setiap negara
anggota ASEAN+3 dengan adanya shock tersebut. Landasan menggunakan
variabel inflasi sebagai tolah ukurnya karena inflasi merupakan empat indikator
makroekonomi penting, selain pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan balance
of payment (Blanchard, 2007).
Nilai tukar mempunyai pengaruh terhadap variabel inflasi. Suatu negara
yang menyerahkan nilai tukarnya kepada pasar, berarti keleluasaan aliran modal
dan perdagangan internasional sehingga nilai tukar dan harga-harga akan bergerak
dengan keterkaitan yang erat. Nilai tukar dapat mempengaruhi harga-harga
104
konsumen domestik secara langsung melalui pengaruhnya terhadap permintaan
domestik dan permintaan eksternal bersih atau ekspor (Simorangkir dkk, 2004).
Mekanisme transmisi tersebut secara sistematis dapat dilihat pada Gambar 4.
Mekanisme transmisi permintaan domestik dapat terjadi melalui
perubahan harga relatif antara harga barang domestik dengan harga barang impor.
Kenaikkan harga barang impor terjadap harga barang di dalam negeri akibat
depresiasi mengakibatkan masyarakat cenderung untuk membeli lebih banyak
barang di dalam negeri. Kenaikkan permintaan tersebut mendorong kenaikkan
harga barang-barang di dalam negeri. Transmisi tidak langsung terjadi melalui
permintaan luar negeri (ekspor) berawal dari perubahan harga barang impor dan
ekspor.
Tidak
Langsung
Permintaan
Domestik
Permintaan
Total
Permintaan
LN
Nilai
Tukar
Inflasi
Langsung
Harga Impor
Gambar 4. Mekanisme Transmisi Nilai Tukar ke Inflasi
Sumber : Sumorangkir (2004)
Devaluasi nilai tukar mengakibatkan harga barang impor lebih mahal dan
harga barang ekspor lebih murah. Kenaikkan harga barang impor ini dapat
menekan jumlah barang impor, sedangkan penurunan harga barang ekspor dapat
meningkatkan ekspor. Kedua faktor ini secara simultan akan meningkatkan
permintaan luar negeri yang selanjutnya meningkatkan total permintaan agregat
dan akhirnya meningkatkan laju inflasi.
105
5.2. Pilihan Penggunaan Mata Uang ASEAN+3
Seluruh negara dalam kawasan ASEAN+3 perlu diidentifikasi apakah
cukup layak untuk menggati mata uangnya menjadi mata uang ACU ASEAN+3
atau tetap menggunakan mata uang domestiknya. Oleh karena itu, dengan analisis
VAR atau VECM ini dapat diketahui bahwa suatu negara sudah siap untuk
mengganti mata uangnya dengan ACU ASEAN+3 atau belum siap dalam waktu
dekat. Peubah yang digunakan dalam analisis ini adalah nilai tukar mata uang dari
ASEAN+3 terhadap Dollar, mata uang ACU ASEAN+3 yang telah dibentuk
dengan metode weighted average, dan variabel inflasi.
Adapun alasan penggunaan ketiga variabel ini adalah untuk memperoleh
nilai tukar kuat jika terjadi guncangan pada kondisi lingkungan ekonomi. Oleh
karena itu pemilihan terhadap dua variabel, yaitu ACU ASEAN+3 dan nilai tukar
mata uang lokal terhadap dollar (USD) tersebut diuji dengan memberikan shock
terhadap kedua variabel tersebut dan dilihat dampaknya terhadap pergerakan
inflasi. Inflasi merupakan salah satu indikator makroekonomi yang menjadi target
dan pengawasan terhadap perkembangan kondisi makro setiap negara. Inflasi juga
erat kaitannya dengan daya beli suatu negara serta volatilitas nilai tukar suatu
negara.
Sebelum melakukan estimasi VAR atau VECM, ada beberapa tahapan
yang harus dilakukan, yaitu pengujian pra-estimasi. Pengujian-pengujian tersebut
antara lain uji stationeritas data, uji kointegrasi variabel non stasioner, dan
penentuan lag optimal. Beberapa pengujian tersebut dimaksudkan untuk
memperoleh model yang tepat dan dapat dijadikan acuan pemilihan model.
5.2.1 Uji Stasioneritas Data
Langkah awal yang harus dilakukan adalah memeriksa kestasioneritasan
semua peubah. Untuk melihat kestationeritasan data dalam penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 27. Berdasarkan Tabel 27, untuk mata uang ACU ASEAN+3
yang stasioner pada taraf 5 persen adalah negara Korea, Indonesia, dan Thailand.
Pada variabel Inflasi negara Indonesia, Thailand, dan Vietnam stasioner pada taraf
5 persen. Sementara untuk peubah mata uang lokal terhadap USD yang stasioner
pada taraf 5 persen hanya negara Thailand dan Vietnam saja.
106
Tabel 27. Hasil Pengujian Unit Root, dengan Augmented Dickey-Fuller (ADF)
Negara
China
Jepang
Korea
Indonesia
Malaysia
Singapura
Thailand
Filipina
Vietnam
Brunei
Myanmar
Kamboja
Laos
ACU ASEAN+3
Inflasi
Mata Uang Lokal
-1.33515
-1.502
9.034861
-1.05712
-2.02148
-3.06087
-3.21277*
-2.40987
-2.63782
-2.9314*
-3.12524*
-2.32103
-2.58829
-2.79263
-0.59116
-1.44833
1.380338
-1.6589
-3.00547*
-3.02102*
-4.55226*
-2.00909
-2.39796
-0.88545
-0.11849
-5.92549*
-5.4995*
-1.44833
-3.52137
-1.31206
-1.94908
-2.87726
-0.12323
-0.95062
-1.502
-0.73944
-2.4379
-1.2709
1.568343
Keterangan :
Uji stationeritas data pada tingkat level
(*) Stasioner pada taraf 5 %
5.2.2. Uji Kointegrasi Variabel Non-Stationer
Uji kointegrasi dilakukan karena peubah yang ada dalam model tidak
stationer pada tingkat level. Hal ini mengakibatkan, besarnya kemungkinan akan
terjadi kointegrasi, yang berarti terdapat hubungan jangka panjang diantara kedua
peubah tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji kointegrasi Johansen. Hasil
uji pada ranknya tertera pada Lampiran 1. Namun, pada Tabel 28 dapat dilihat
hasil uji kointegrasi Johansen, menurut setiap negara.
107
Tabel 28. Hasil Uji Kointegrasi Johanssen
Negara
Rank Cointegration
Kesimpulan
China
1 (satu)
Ada Kointegrasi
Jepang
1 (satu)
Ada Kointegrasi
Korea
0 (nol)
Tidak Ada Kointegrasi
Indonesia
0 (nol)
Tidak Ada Kointegrasi
Malaysia
1 (nol)
Ada Kointegrasi
Singapura
0 (nol)
Tidak Ada Kointegrasi
Thailand
0 (nol)
Tidak Ada Kointegrasi
Filipina
0 (nol)
Tidak Ada Kointegrasi
Vietnam
0 (nol)
Tidak Ada Kointegrasi
Brunei
1 (satu)
Ada Kointegrasi
Myanmar
1 (satu)
Ada Kointegrasi
Kamboja
0 (satu)
Tidak Ada Kointegrasi
Laos
1 (nol)
Ada Kointegrasi
Berdasarkan Tabel 28, hasil uji kointegrasi tersebut menunjukkan bahwa
terjadi kointegrasi pada peubah negara China, Jepang, Malaysia, Brunei,
Myanmar, dan Laos. Hal ini ditunjukkan dengan λtrace yang lebih besar dari nilai
kritisnya pada taraf 5 persen dalam rank nol, sehingga harus digunakan model
VEC. Sementara negara-negara seperti Korea, Indonesia, Singapura, Thailand,
Vietnam, dan Kamboja tidak mempunyai kointegrasi dalam peubahnya
menggunakan model VAR dengan ordo satu.
5.2.3. Penentuan Lag Optimal
Langkah selanjutnya adalah menentukan lag optimal yang akan digunakan
dalam estimasi. Dengan memeriksa stabilitas model, maka diperoleh panjang lag
maksimum yang akan digunakan. Pada penelitian ini, setiap negara mempunyai
panjang lag yang berbeda sehingga terbentuk masing-masing model yang berbeda.
Oleh karena itu perlu diperiksa AIC, Adjusted R2, dan SIC untuk memperoleh
model terbaik setiap negara. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 2.
Sementara untuk model yang terbentuk dapat dilihat pada Tabel 29.
108
Tabel 29. Model VAR yang Terbentuk
Negara
Peubah
Model
China
ACU_CNY INF_CNY USD_CNY
VECM (1) Rank-2
Jepang
ACU_JPY INF_JPY USD_JPY
VECM (2) Rank-2
Korea
ACU_KRW INF_KRW USD_KRW
VAR (1) 1st Difference
Indonesia
ACU_IDR INF_IDR USD_IDR
VAR(2) 1st Difference
Malaysia
ACU_MYR INF_MYR USD_MYR
VECM (2) Rank 1
Singapura
ACU_SGD INF_SGD USD_SGD
VAR (1) 1st Difference
Thailand
ACU_THB INF_THB USD_THB
VAR (1) 1st Difference
Filipina
ACU_PHP INF_PHP USD_PHP
VAR (1) 1st Difference
Vietnam
ACU_VND INF_VND USD_VND
VAR(1) 1st Difference
Brunei
ACU_BRD INF_BRD USD_BRD
VECM(1) Rank 1
Myanmar
ACU_MYK INF_MYK USD_MYK
VECM(2) Rank 1
Kamboja
ACU_KHR INF_KHR USD_KHR
VAR(1) 1st Difference
Laos
ACU_LAK INF_LAK USD_LAK
VECM(2) Rank 1
Berdasarkan Tabel 29, setiap negara mempunyai model terbaik yang
berbeda. Negara China, Jepang, Malaysia, Brunei, Myanmar dan Laos
menggunakan VECM. Sementara Negara Korea, Indonesia, Singapura, Thailand,
Filipina, Vietnam, dan Kamboja menggunakan Model VAR. Penggunaan model
setiap negara ASEAN+3 ini mempunyai lag yang berbeda, hal ini dikarenakan lag
yang terbentuk dipilih berdasarkan pemilihan model yang optimal/terbaik.
5.2.4. Impulse Response Functions
Informasi yang dapat diperoleh dari tiap-tiap nilai tukar negara-negara
ASEAN+3 dalam keterkaitannya dengan mata uang ACU ASEAN+3 maupun
nilai tukar mata uang domestik terhadap USD, adalah dengan melakukan
penelusuran pola, seperti yang dilakukan dengan IRF. Guncangan terhadap suatu
peubah tidak hanya secara langsung mempengaruhi peubah tersebut tetapi juga
ditansmisikan kepada semua peubah yang ada melalui struktur dinamis pada
model.
109
IRF dapat melacak efek perubahan suatu peubah suatu waktu, terhadap
peubah lainnya pada waktu sekarang dan waktu mendatang. P3njelasan ini dapat
dilihat dalam bentuk grafik respons impulse pada Grafik 32.
Response of INF_CNY to Cholesky
One S.D. Innovations
Response of INF_JPY to Cholesky
One S.D. Innovations
10
.24
0
.20
-10
.16
-20
-30
.12
-40
.08
-50
.04
-60
5
10
15
20
25
ACU_CNY
30
35
40
.00
5
10
USD_CNY
15
20
ACU_JPY
25
30
35
40
35
40
35
40
USD_JPY
Response of INF_IDR to Cholesky
One S.D. Innovations
Response of INF_KRW to Cholesky
One S.D. Innovations
5
.5
4
.4
3
.3
2
.2
1
.1
0
.0
-1
-2
-.1
5
10
15
20
USD_KRW
25
30
35
5
40
10
15
20
ACU_IDR
ACU_KRW
25
30
USD_IDR
Response of INF_SGD to Cholesky
One S.D. Innovations
Response of INF_MYR to Cholesky
One S.D. Innovations
.10
.0020
.05
.0015
.00
.0010
-.05
.0005
.0000
-.10
-.0005
-.15
-.20
-.0010
5
10
15
20
ACU_MYR
25
30
USD_MYR
35
40
5
10
15
20
ACU_SGD
25
30
USD_SGD
110
Response of INF_PHP to Cholesky
One S.D. Innovations
Response of INF_THB to Cholesky
One S.D. Innovations
.5
.005
.4
.004
.3
.003
.2
.002
.1
.001
.0
-.1
.000
2
4
6
8
10
12
ACU_THB
14
16
18
5
20
10
15
20
25
ACU_PHP
USD_THB
Response of INF_VND to Cholesky
One S.D. Innovations
30
35
40
35
40
USD_PHP
Response of INF_BRD to Cholesky
One S.D. Innovations
.0015
.0014
.0010
.0012
.0005
.0010
.0000
.0008
-.0005
.0006
-.0010
.0004
-.0015
.0002
-.0020
.0000
5
10
15
20
25
ACU_VND
30
35
40
5
10
USD_VND
15
20
ACU_BRD
25
30
USD_BRD
Response of INF_KHR to Cholesky
One S.D. Innovations
Response of INF_MYK to Cholesky
One S.D. Innovations
.006
.08
.06
.004
.04
.002
.02
.00
.000
-.02
-.002
-.04
-.004
-.06
-.006
-.08
5
10
15
20
ACU_MYK
25
30
USD_MYK
35
40
5
10
15
20
ACU_KHR
25
30
35
40
USD_KHR
111
Response of INF_LAK to Cholesky
One S.D. Innovations
.20
.15
.10
.05
.00
-.05
-.10
-.15
-.20
5
10
15
20
ACU_LAK
25
30
35
40
USD_LAK
Grafik 32. Grafik Impulse Response Function terhadap Inflasi
setiap Negara ASEAN+3
Berdasarkan Grafik 32 di atas, semua negara ASEAN+3 mempunyai
pengaruh guncangan yang berbeda untuk mata uang ACU ASEAN+3 dan mata
uang domestik terhadap variabel inflasi. Dari keterangan pada gambar tersebut
ada beberapa negara yang sudah layak untuk mengganti mata uangnya dengan
mata uang ACU ASEAN+3 dan ada beberapa negara yang lebih baik
menggunakan mata uang domestiknya sendiri. Hal ini didasarkan bahwa jika
terjadi guncangan pada salah satu mata uang tersebut maka mata uang mana yang
dapat meminimalisir terjadinya inflasi yang semakin buruk.
Oleh karena itu, kelayakan penentuan mata uang untuk setiap negara
ASEAN+3 berdasarkan pergerakan inflasi terendah dalam jangka panjang akan
disimpulkan pada pembahasan ini. Secara ringkas penentuan tersebut dapat dilihat
pada Tabel 30.
112
Tabel 30. Pilihan Mata Uang Masing-Masing Negara ASEAN+3
No.
Negara
Mata Uang
1
China
Domestik (Yuan)
2
Jepang
ACU
3
Korea
ACU
4
Indonesia
ACU
5
Malaysia
ACU
6
Singapura
Domestik (Dollar)
7
Thailand
ACU
8
Filipina
ACU
9
Vietnam
ACU
10
Brunei
11
Myanmar
ACU
12
Kamboja
ACU
13
Laos
ACU
Domestik (Dollar)
Berdasarkan Tabel 30, terdapat tiga negara yang lebih baik menggunakan
nilai tukar mata uang domestiknya terhadap USD daripada menggunakan mata
uang ACU, yakni Cina, Singapura, dan Brunei Darussalam. Sementara Jepang,
Korea, Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Myanmar, Kamboja dan
Laos lebih layak menggunakan mata uang ACU ASEAN+3. Hasil ini menjawab
permasalahan bahwa dengan adanya koordinasi penggunaan mata uang di suatu
kawasan dapat meminimalisir kondisi buruk perekonomian suatu negara.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa ketika terjadi Krisis
Ekonomi dan Moneter yang melanda Asia pada tahun 1998 menyebabkan kondisi
perekonomian beberapa negara Asean dan Asia Timur memburuk. Hal ini
dikarenakan tidak adanya pembagian resiko dari dampak krisis tersebut. Indikator
perekonomian seperti inflasi dan nilai tukar mengalami pelemahan selama periode
krisis. Namun dengan adanya integrasi perekonomian melalui penerapan ACU,
penggunaan nilai tukar bersama ini dapat meminimalisir dampak buruk krisis
melalui suatu pengujian, seperti pada penelitian ini.
113
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Penelitian ini secara umum mengkaji penerapan Asian Currency Unit
(ACU) sebagai mata uang parallel ASEAN+3. Tujuannya selain melihat kesiapan
kawasan ASEAN+3 menuju integrasi ekonomi secara penuh juga mengkonstruksi
nilai tukar ACU di kawasan ASEAN+3 dan melihat keuntungan setiap negara di
ASEAN+3 jika menerapkan nilai tukar ACU di kawasan ini. Dalam analisis ini
secara umum dibagi dalam dua periode waktu penelitian antara lain : (i) periode
krisis ekonomi (1997-2002), dan (ii) periode pasca krisis ekonomi (2003-2007).
Penelitian ini memfokuskan bahasan pada tiga belas negara ASEAN+3 yang akan
menuju sebuah masyarakat ekonomi yang terstruktur dan terintegrasi secara
penuh. Adapun beberapa kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini antara
lain sebagai berikut :
1. Berdasarkan kriteria konvergensi Maastricht Treaty untuk menuju suatu
uni moneter regional seperti yang dilakukan oleh Uni Eropa, hasil yang
diperoleh antara lain : (i) pada periode krisis ekonomi (1997-2002) hanya
negara China yang yang memenuhi empat kriteria konvergensi, dan (ii)
pada periode pasca krisis ekonomi (2003-2007) kembali hanya China yang
memenuhi empat kriteria konvergensi. Hal ini tentu saja mengindikasikan
bahwa kondisi saat ini bukanlah saat yang tepat bagi negara-negara di
kawasan ASEAN+3 membentuk sebuah uni moneter regional kawasan.
2. Untuk pembobotan nilai tukar ACU diperoleh bahwa pada periode krisis
ekonomi (1997-2002), bobot pembentukan mata uang ACU ASEAN+3
dikuasi oleh tiga negara plus three sebesar 68 persen dari total keseluruhan
bobot mata uang, antara lain Jepang (30.4 persen), China (30.1 persen),
dan Korea (8.3 persen). Sementara periode pasca krisis ekonomi (20032007), bobot pembentukan mata uang ACU ASEAN+3 tidak lagi dikuasi
oleh negara-negara plus three. Pada periode ini komposisi bobot terbesar
secara berturut-turut dikuasai oleh China (38.1 persen), Jepang (25.0
persen), dan Singapura (7.2 persen).
114
3. Secara umum pada periode 1997-2002 mata uang ACU mengalami
depresiasi terhadap nilai tukar US Dollar. Sementara pada periode 20032007, mata uang ACU mengalami apresiasi terhadap nilai tukar dollar.
4. Di Eropa terdapat Exchange Rate Mechanism, yakni penentuan benchmark
rate untuk koridor fluktuasi mata uang setiap negara. Dalam penelitian ini
diperoleh bahwa pada periode 1997-2002 tidak dapat ditentukan
benchmark rate sebesar 2.25 persen, 6 persen, maupun 15 persen seperti
yang dilakukan oleh Eropa karena pergerakan seluruh mata uang anggota
bergerak melebihi koridor fluktuasi tersebut. Sementara pada periode
2003-2007 kembali tidak ada negara yang benchmark rate-nya berada
pada koridor 2.25 persen. Namun, pada periode ini dapat diberlakukan
koridor fluktuasi sebesar 25 persen.
5. Hasil estimasi dari penelitian ini pun menunjukkan bahwa ada tiga negara
yang tepat menggunakan mata uang ACU ASEAN+3 karena dapat
meminimalisir fluktuasi inflasi jika terjadi shock pada nilai tukar ACU dan
mata uang domestiknya. Ketiga negara tersebut antara lain, China,
Singapura, dan Brunei Darussalam. Sementara itu untuk negara-negara
seperti Jepang, Korea, Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Brunei,
Myanmar, Kamboja dan Laos lebih tepat menggunakan mata uang
domestiknya daripada menggunakan nilai tukar ACU.
6.2. Implikasi Kebijakan
Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan yang telah dilakukan,
beberapa arahan kebijakan yang disarankan antara lain :
1. Kondisi kerja sama kawasan ASEAN+3 baru memasuki tahapan Free
Trade Area. Untuk meningkatkan integrasi ekonomi yang lebih jauh,
kawasan ini diharapkan segera menghapus hambatan perdagangan bagi
perdagangan intra-kawasan, baik untuk barang dan jasa, sekaligus
menciptakan timeline untuk mencapai sebuah pasar tunggal.
2. Diperlukan keseriusan kawasan dalam menjaga stabilitas nilai tukar
regional untuk meningkatkan integrasi ekonomi. Hal-hal yang perlu
ditindaklajuti adalah pemenuhan prakondisi yang diperlukan melalui
115
pendalaman upaya komitmen bersama, dengan menentukan roadmap kerja
sama nilai tukar dalam sebuah kerangka waktu tertentu.
6.3. Saran Penelitian Lebih Lanjut
Adapun beberapa saran penelitian lebih lanjut untuk menambah informasi
kesiapan negara-negara di ASEAN+3 menuju integrasi ekonomi secara penuh
maupun penerapan mata uang ACU antara lain :
1. Kondisi integrasi yang terjadi di kawasan ASEAN+3 pada saat ini baru
memasuki tahapan FTA (Free Trade Area). Untuk mencapai suatu
integrasi ekonomi dan moneter secara penuh harus melalui beberapa
tahapan antara lain : tahap custom union, common market, dan economic
union iteration. Oleh karena itu diharapkan ada penelitian-penelitian
mengenai tahapan integrasi ekonomi dan moneter yang dimaksud.
2. Dalam pembentukan nilai tukar ACU, diharapkan adanya penelitian
lanjutan yang memasukkan variabel-variabel bobot selain variabel bobot
yang ada dalam penelitian ini dalam pembentukan ACU. Akan lebih baik
juga apabila penelitian selanjutnya memperbanyak observasi negara serta
menggunakan rentang data yang lebih panjang.
3. Diperlukannya penelitian lanjutan yang menganalisis kegunaan ACU bagi
indikator/variabel ekonomi seluruh negara anggota ASEAN+3, tidak
seperti dalam penelitian ini yang hanya menganalisis keuntungan
penggunaan mata uang ACU berdasarkan pergerakan inflasi.
116
DAFTAR PUSTAKA
Asian Development Bank. 2008. Kebangkitan Regionalisme Asia : Kemitraan
Bagi Kemakmuran Bangsa.
Baele, Lieven, Annalisa Ferrando, Peter Hordahl, Elizaveta Krylova dan Cyril
Monner. 2004. Measuring Financial Integration in the Euro Area.
European Central Bank Occasional Paper Series No. 14/April/2004.
European Central Bank.
Baharumshah, A. Z. dan M. S. Habibullah. 2006. Toward Greater Financial
Stability in The Asia Region : Exploring Step to create Regional Monetary
Unit. Center for Economic Integration and Departement of Economincs,
Faculty of Economics and Management. Universiti Putra Malaysia.
Baltagi, Badi H. 2006. Panel Data Econometrics : Theoritical Conteribution and
Empirical Applications. First Edition. Elsevier, Amsterdam.
Bela, Balassa. 1976. Types of Economic Integration, World Bank Reprint Series,
No. 69, Washington, D. C. p.29
Blanchard, Oliuver. 2006. Macroeconomics, Third Edition, Massachusetts
Intstitute of Technology, Prantice Hall – Pearson Education International
Bregman, M. 2000. The Optimum Currency Area Criteria. University of
Copenhagen. International Monetary Economics.
Broz, T. 2005. The Theory of Optimum Currency Area Criteria. University of
Copenhagen. International Monetary Economics.
Damanhuri, Didin S. 2008. Indonesia, Globalisasi Perekonomian dan Kejahatan
Ekonomi Internasional. Working Paper Series No. 13/A/III/2008.
Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institur
Pertanian Bogor.
De Grauwe, Paul. 2006. What Have We Learnt About Monetary Integration Since
the Maastricht Treaty?. Journal of Common Market Studies.
Dwisaputra, R. 2007. Kerjasama Perdagangan Regional. (Eds). S. Arifin, D.E.
Rae, dan C.P.R Joseph. Kerjasama Perdagangan Internasional. Bank
Indonesia, Jakarta.
Elliot, R J R. dan K. Ikemoto. 2004. AFTA and The Asian Crisis : Help or
Hindarnce to ASEAN Intra-Regional Trade?. The School of Economics
Discussion Paper. Economics, The University of Manchaster
117
Falianty, T.A. 2006. Optimum Currency Area : Studi Kasus di Negara ASEAN-5
[Desertasi]. Fakultas Ilmu Ekonomi: Universitas Indonesia, Jakarta.
Griffin, R. W. dan M. W. Pustay. 2002. International Business : A Managerial
Perspective (3rd Edition). Upper Saddle River : Prentice Hall.
Gros, D dan N Thygesen. 1998. European Monetary Integration: From the EMS to
EMU. 2nd Edition. New York: Longman.
Gupta, A. S. dan Amitendu Palit. 2008. Feasibility of an Asian Currency Unit.
Indian Council for Research on International Economics Relations.
Hsiao, Cheng. 2004. Analysis of Panel Data. Second Edition. Cambridge
University Press, Cambridge.
Johnston, Barry. (1997). The Speed of Financial Sector Reform: Risks and
Strategies (in: Sequencing Financial Strategies for Developing Countries,
ed. by Alison Harwood and Bruce Smith), Brookings Institution Press,
Washington, D.C.
Jovanovic, Miroslov N. 1997. European Economic Integration : Limits and
Prospect. London and New York : Routledge.
Kawai, M. dan S. Takagi. 2005. Strategy for a Regional Exchange Rate
Arrangement in East Asia : Analysis, Review and Proposal. Global
Economic Review 34 (1): 21-64.
Kim, Inchul. 2007. The Evolutionary Process of East Asia’s Monetary Integration.
The International Journal of Economics Policy Studies. Volume 2.
http://wwwsoc.nii.ac.jp/jepa/ijeps/contents/2007/articles/KimIJEPS07.pdf
Kondo, Takehiro. Toward a Conmmon Currency for the Asia-Pasific Region.
Tersedia secara online dalam www.jetro.go.jp/ec/e/report/AsiaPasific_common currency.pdf.
Kucerova, S. 2003. The OCA Theory and its Application to Central and Eastern
European Candidate Countries. Departement of Macroeconomic. Faculty
of Economic. Technical University of Oatrawa.
Kurniati, Y. 2007. Integrasi Keuangan dan Moneter di Asia Timur. Peluang dan
Tantangan bagi Indonesia. (Eds). S. Arifin, R. Winantyo, dan Y. Kurniati.
Kerjasama Perdagangan Internasionl. Bank Indonesia, Jakarta.
Kuroda, Haruhiko. (2004). Transitional Steps in the Road to a Single currency in
East Asia. Asian Development Bank.
118
Lall, S. V., dan Yilmaz, S. 2000. Regional Economic Convergence : Do Policy
Instruments Make a Difference?. The Institute of Public Policy. George
Mason University.
Lindert, P. dan Charles P. Kindlebergen. 1995. Ekonomi Internasional
(International Economics). Eight Edition. Erlangga. Jakarta.
Mankiw, G. 2003. Teori Makroekonomi (Macroeconomics). Edisi Kelima.
Erlangga. Jakarta.
. 2006. Macroeconomics. Sixth Edition, Harvard University.
McKinnon, Ronald I. Optimum Currency Area. The American Economic Review,
Vol. 53, No. 4. (Sep., 1963), pp. 717-725.
McKinnon, Ronald I. After the Crisis, the East Asian Dollar Standard
Resurrested: An Interpretation of High Frequency Exchange Rate Pegging.
Stanford University.
McLeod, Ross H. 1996. Indonesia Foreign Debt : Headed for Crisis of Finance
Sustainable Growth. BIES, 31.
Mittal, R. 2004. Asean Monetary Union-A Possibillity ? A comparison of ASEAN
economic indicators with that of Euro Zone. Public Policy Department
Stanford University.
Mundell, R. 1961. A Optimum Currency Area Theory. American Theory of
Economic Review, 51, pp. 657-665.
Moon, W. dan Y. Rhee. 2007. Regional Currency Unit and Exchange Rate
Coordination in East Asia. The Kyoto Economic Review 76(1): 53-66 (June
2007).
Ogawa, Eiji dan Junko Shimizu. 2005. A Deviation Measure for Coordination
Exchange Rate Policies in East Asia. RIETI Discussion Paper Series 05E-017.
Plummer, Michael G. 2005. Creating an ASEAN Economic Community : Lessons
from the EU and Reflection on the Roadmap. Dalam Denis Hew (Ed.),
Roadmap to an ASEAN Economic Community (pp. 31-59). ISEAS.
Singapore.
Redelet, S. dan J. Sachs. 1998. The East Asian Financial Crises : Diagnosis,
Remedies, Prospect. Brooking Paper on Economic Activity. Washington,
DC : Brooking Institute.
Rose, Andrew K. 2004. Do We Really Know That the WTO Increase Trade?. The
American Economic Review, 94, 98-115.
119
Sachs, Jeffrey. 2008. Managing Global Capitalism. Keynote Spech on 24 October
2008. Copland Theatre, University of Melbourne. Australia
Sala-i-Martin. 1996. Regional cohesion: Evidence and theories of regional growth
and convergence. European Economic Review 40, 1325-1352.
Satria,
Dias. 2008. Modal Manusia dan Globalisasi. Tersaji di
http://www.diassatria.web.id/wp-content/uploads/2008/12/jurnal-indefsubsidi.pdf
Sen, Amartya. 2002. Aturan-aturan Curang dan Standar Ganda Perdagangan,
Globalisasi, dan Perjuangan Melawan Kemiskinan. Ringkasan Eksekutif
Make Trade Fair. Oxfarm International.
Sholihah dan Saichu. 2007. Tinjauan Teoritis Integrasi Keuangan Regional. (Eds).
S. Arifin, R. Winantyo, dan Y. Kurniati. Kerjasama Perdagangan
Internasional. Bank Indonesia, Jakarta.
Simonangkir, I dan Suseno. 2004. Seri Kebanksentralan : Sistem Kebijakan dan
Nilai Tukar. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank
Indonesia, Jakarta.
Soesastro, H. 2007. Kebijakan Persaingan, Daya Saing, Liberalisasi, Globalisasi,
Regionaliasasi, dan Semua itu. Economics Working Paper Series CSIS,
Jakarta.
Van Ypersele, J. 1989. The European Monetary System. Commision of the
European Communities: Brussel.
Verbeek, Marno. 2004. A Guide to Modern Economics. Second Edition Jhon
Willey and Sons Ltd. England.
120
LAMPIRAN
121
Lampiran 1. Hasil Uji Kointegrasi
CINA
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1
At most 2
0.523114
0.333739
0.154848
53.90640
23.54680
6.897793
42.91525
25.87211
12.51798
0.0028
0.0948
0.3553
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
JEPANG
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1
At most 2
0.523597
0.334984
0.127743
52.73036
22.32925
5.603536
42.91525
25.87211
12.51798
0.0040
0.1297
0.5122
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
KOREA
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None
At most 1
At most 2
0.341557
0.144045
0.085619
27.84276
10.29190
3.759317
35.01090
18.39771
3.841466
0.2370
0.4528
0.0525
Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
122
Malaysia
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1
At most 2
0.549515
0.188476
0.076328
45.59816
12.10607
3.334736
35.01090
18.39771
3.841466
0.0026
0.3012
0.0678
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
SINGAPURA
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None
At most 1
At most 2
0.419918
0.239325
0.002135
34.45148
11.57886
0.089784
35.01090
18.39771
3.841466
0.0573
0.3413
0.7644
Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
FILIPINA
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None
At most 1
At most 2
0.443288
0.201298
0.022320
34.98796
10.38828
0.948043
35.01090
18.39771
3.841466
0.0503
0.4438
0.3302
Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
123
Myanmar
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1
At most 2
0.487981
0.260051
0.144558
47.32157
19.20708
6.557765
42.91525
25.87211
12.51798
0.0170
0.2687
0.3929
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Brunei
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1
At most 2
0.448669
0.199725
0.039152
36.04263
11.03501
1.677422
35.01090
18.39771
3.841466
0.0386
0.3861
0.1953
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
KAMBOJA
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None
At most 1
At most 2
0.331384
0.158210
0.017504
24.88207
7.975140
0.741694
35.01090
18.39771
3.841466
0.3906
0.6854
0.3891
Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
124
Laos
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1
At most 2
0.471743
0.205446
0.017106
37.18687
10.38360
0.724656
24.27596
12.32090
4.129906
0.0007
0.1034
0.4531
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Catatan : Negara Indonesia, Thailand, dan Vietnam tidak dilakukan uji
kointegrasi. Hal ini dikarenakan terdapat dua atau lebih peubah yang
stasioner pada tingkat level.
Lampiran 2. Hasil Estimasi Model
CINA
Vector Error Correction Estimates
Date: 01/12/10 Time: 21:30
Sample (adjusted): 1997Q3 2007Q4
Included observations: 42 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
Cointegrating Eq:
CointEq1
CointEq2
ACU_CNY(-1)
1.000000
0.000000
INF_CNY(-1)
0.000000
1.000000
USD_CNY(-1)
-12.74868
(3.77027)
[-3.38137]
-161.6142
(48.7780)
[-3.31326]
@TREND(97Q1)
0.044864
(0.03932)
[ 1.14102]
1.681887
(0.50869)
[ 3.30630]
C
95.77820
1282.865
Error Correction:
D(ACU_CNY)
D(INF_CNY)
D(USD_CNY)
125
CointEq1
-0.258790
(0.07288)
[-3.55086]
1.271650
(0.62600)
[ 2.03140]
-0.004559
(0.00668)
[-0.68206]
CointEq2
0.019195
(0.00499)
[ 3.84630]
-0.087059
(0.04286)
[-2.03107]
-0.000417
(0.00046)
[-0.91026]
D(ACU_CNY(-1))
0.130604
(0.15757)
[ 0.82884]
-2.388380
(1.35345)
[-1.76466]
0.016985
(0.01445)
[ 1.17519]
D(INF_CNY(-1))
-0.024271
(0.01964)
[-1.23587]
0.038748
(0.16869)
[ 0.22970]
0.000618
(0.00180)
[ 0.34292]
D(USD_CNY(-1))
1.998475
(2.14712)
[ 0.93077]
-15.27260
(18.4422)
[-0.82813]
0.056938
(0.19694)
[ 0.28912]
C
0.035570
(0.05440)
[ 0.65387]
-0.199091
(0.46725)
[-0.42609]
-0.019475
(0.00499)
[-3.90304]
0.318687
0.224061
2.367837
0.256463
3.367835
0.794130
0.247899
0.496137
0.000407
0.291146
0.236742
0.130734
174.6893
2.202834
2.233245
-89.52754
4.548930
4.797169
0.069496
2.362683
0.713750
0.673993
0.019920
0.023523
17.95280
101.1320
-4.530094
-4.281856
-0.020476
0.041199
Determinant resid covariance (dof adj.)
Determinant resid covariance
Log likelihood
Akaike information criterion
Schwarz criterion
0.000145
9.11E-05
16.59439
0.447886
1.523586
R-squared
Adj. R-squared
Sum sq. resids
S.E. equation
F-statistic
Log likelihood
Akaike AIC
Schwarz SC
Mean dependent
S.D. dependent
JEPANG
Vector Error Correction Estimates
Date: 01/12/10 Time: 22:03
Sample (adjusted): 1997Q4 2007Q4
Included observations: 41 after adjustments
126
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
Cointegrating Eq:
CointEq1
CointEq2
ACU_JPY(-1)
1.000000
0.000000
INF_JPY(-1)
0.000000
1.000000
USD_JPY(-1)
-0.645271
(0.22484)
[-2.86988]
-0.040060
(0.02870)
[-1.39603]
@TREND(97Q1)
-1.076079
(0.15019)
[-7.16496]
-0.044450
(0.01917)
[-2.31904]
C
-9.822744
5.838550
Error Correction:
D(ACU_JPY)
D(INF_JPY)
D(USD_JPY)
CointEq1
-0.839849
(0.16652)
[-5.04351]
0.072175
(0.02166)
[ 3.33225]
-0.523280
(0.25717)
[-2.03473]
CointEq2
5.146870
(1.46136)
[ 3.52198]
-0.791103
(0.19008)
[-4.16195]
4.405640
(2.25691)
[ 1.95207]
D(ACU_JPY(-1))
0.436601
(0.17585)
[ 2.48285]
-0.042189
(0.02287)
[-1.84454]
0.296416
(0.27158)
[ 1.09146]
D(ACU_JPY(-2))
0.171432
(0.17862)
[ 0.95976]
-0.020930
(0.02323)
[-0.90086]
-0.076207
(0.27586)
[-0.27626]
D(INF_JPY(-1))
-2.800325
(1.34928)
[-2.07542]
0.308254
(0.17550)
[ 1.75641]
-2.546344
(2.08382)
[-1.22196]
D(INF_JPY(-2))
0.853459
(1.04592)
[ 0.81599]
0.135852
(0.13604)
[ 0.99860]
4.977029
(1.61530)
[ 3.08117]
D(USD_JPY(-1))
-0.155108
(0.11807)
[-1.31366]
0.030544
(0.01536)
[ 1.98884]
-0.009308
(0.18235)
[-0.05104]
D(USD_JPY(-2))
-0.302427
-0.002332
-0.105735
127
(0.11420)
[-2.64823]
(0.01485)
[-0.15698]
(0.17637)
[-0.59951]
0.012075
(0.45683)
[ 0.02643]
-0.007429
(0.05942)
[-0.12503]
-0.227250
(0.70552)
[-0.32210]
0.597526
0.496908
252.7440
2.810383
5.938537
-95.46199
5.095707
5.471857
0.292235
3.962248
0.488218
0.360273
4.276025
0.365549
3.815834
-11.83524
1.016353
1.392503
-0.041213
0.457033
0.507809
0.384761
602.8316
4.340333
4.126918
-113.2818
5.964967
6.341117
-0.118780
5.533513
Determinant resid covariance (dof adj.)
Determinant resid covariance
Log likelihood
Akaike information criterion
Schwarz criterion
15.23154
7.241727
-215.1166
12.20081
13.66361
C
R-squared
Adj. R-squared
Sum sq. resids
S.E. equation
F-statistic
Log likelihood
Akaike AIC
Schwarz SC
Mean dependent
S.D. dependent
KOREA
Vector Autoregression Estimates
Date: 01/12/10 Time: 23:04
Sample (adjusted): 1997Q3 2007Q4
Included observations: 42 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
USD_KRW
INF_KRW
ACU_KRW
USD_KRW(-1)
0.525398
(0.31076)
[ 1.69068]
0.006440
(0.00254)
[ 2.53866]
0.373803
(0.22435)
[ 1.66615]
INF_KRW(-1)
-52.69059
(24.3856)
[-2.16073]
-0.538533
(0.19905)
[-2.70546]
-49.17221
(17.6050)
[-2.79309]
ACU_KRW(-1)
-0.076473
(0.42100)
[-0.18164]
0.000257
(0.00344)
[ 0.07485]
-0.009566
(0.30394)
[-0.03147]
C
44.53047
(24.5493)
1.281576
(0.20039)
44.14243
(17.7231)
128
[ 1.81392]
[ 6.39541]
[ 2.49067]
0.141952
0.074212
321309.7
91.95389
2.095525
-247.3877
11.97084
12.13634
0.703095
95.56838
0.281133
0.224380
21.40909
0.750598
4.953656
-45.44448
2.354499
2.519991
0.838571
0.852281
0.188020
0.123916
167466.4
66.38532
2.933059
-233.7037
11.31922
11.48471
3.290541
70.92498
Determinant resid covariance (dof adj.)
Determinant resid covariance
Log likelihood
Akaike information criterion
Schwarz criterion
3189345.
2362133.
-486.9628
23.76014
24.25661
R-squared
Adj. R-squared
Sum sq. resids
S.E. equation
F-statistic
Log likelihood
Akaike AIC
Schwarz SC
Mean dependent
S.D. dependent
INDONESIA
Vector Autoregression Estimates
Date: 01/12/10 Time: 23:38
Sample (adjusted): 1997Q4 2007Q4
Included observations: 41 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
ACU_IDR
INF_IDR
USD_IDR
ACU_IDR(-1)
-1.066522
(0.31755)
[-3.35865]
0.000112
(0.00183)
[ 0.06111]
-3.575483
(1.27665)
[-2.80067]
ACU_IDR(-2)
-0.533676
(0.35490)
[-1.50374]
-0.005655
(0.00204)
[-2.77060]
-2.192297
(1.42683)
[-1.53648]
INF_IDR(-1)
-31.44020
(25.7750)
[-1.21980]
0.573278
(0.14824)
[ 3.86733]
-98.57278
(103.625)
[-0.95124]
INF_IDR(-2)
39.93644
(21.0764)
[ 1.89484]
-0.087839
(0.12121)
[-0.72466]
97.80642
(84.7353)
[ 1.15426]
USD_IDR(-1)
0.306873
(0.08661)
[ 3.54309]
0.000707
(0.00050)
[ 1.41919]
0.892770
(0.34821)
[ 2.56387]
129
USD_IDR(-2)
0.290480
(0.08873)
[ 3.27373]
0.002405
(0.00051)
[ 4.71356]
0.857663
(0.35673)
[ 2.40423]
C
479.6268
(152.574)
[ 3.14357]
0.972240
(0.87748)
[ 1.10799]
1022.937
(613.405)
[ 1.66764]
0.453195
0.356700
20024176
767.4284
4.696562
-326.7035
16.27822
16.57078
185.9849
956.8218
0.812726
0.779678
662.3206
4.413617
24.59210
-115.2111
5.961518
6.254079
0.003428
9.402988
0.313480
0.192330
3.24E+08
3085.358
2.587526
-383.7500
19.06097
19.35354
-33.93837
3433.116
Determinant resid covariance (dof adj.)
Determinant resid covariance
Log likelihood
Akaike information criterion
Schwarz criterion
1.65E+13
9.40E+12
-786.8925
39.40939
40.28707
R-squared
Adj. R-squared
Sum sq. resids
S.E. equation
F-statistic
Log likelihood
Akaike AIC
Schwarz SC
Mean dependent
S.D. dependent
MALAYSIA
Vector Error Correction Estimates
Date: 01/12/10 Time: 23:56
Sample (adjusted): 1997Q4 2007Q4
Included observations: 41 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
Cointegrating Eq:
CointEq1
ACU_MYR(-1)
1.000000
INF_MYR(-1)
-26.98327
(7.43228)
[-3.63055]
USD_MYR(-1)
-5.397670
(0.44747)
[-12.0626]
@TREND(97Q1)
-0.143252
C
21.78284
130
Error Correction:
D(ACU_MYR) D(INF_MYR) D(USD_MYR)
CointEq1
0.048836
(0.02313)
[ 2.11154]
0.000274
(0.00072)
[ 0.38241]
0.153960
(0.01413)
[ 10.8964]
D(ACU_MYR(-1))
-0.002688
(0.18951)
[-0.01419]
-0.007556
(0.00588)
[-1.28553]
0.042747
(0.11578)
[ 0.36923]
D(ACU_MYR(-2))
0.020606
(0.19536)
[ 0.10548]
-0.001670
(0.00606)
[-0.27561]
0.073256
(0.11935)
[ 0.61378]
D(INF_MYR(-1))
-0.806767
(5.68988)
[-0.14179]
0.316957
(0.17646)
[ 1.79614]
2.679167
(3.47608)
[ 0.77074]
D(INF_MYR(-2))
4.217959
(4.57407)
[ 0.92215]
-0.036618
(0.14186)
[-0.25813]
9.902826
(2.79441)
[ 3.54380]
D(USD_MYR(-1))
0.040966
(0.15429)
[ 0.26551]
0.024015
(0.00479)
[ 5.01852]
0.030610
(0.09426)
[ 0.32474]
D(USD_MYR(-2))
-0.033669
(0.20369)
[-0.16529]
0.004147
(0.00632)
[ 0.65642]
0.039292
(0.12444)
[ 0.31575]
C
0.075966
(0.05301)
[ 1.43308]
-0.002930
(0.00164)
[-1.78199]
0.092321
(0.03238)
[ 2.85077]
@TREND(97Q1)
-0.002134
(0.00207)
[-1.03018]
0.000133
(6.4E-05)
[ 2.06447]
-0.004172
(0.00127)
[-3.29613]
0.185864
-0.017670
0.553120
0.131472
0.913182
30.09143
-1.028850
-0.652700
0.025825
0.130326
0.632706
0.540882
0.000532
0.004077
6.890450
172.4976
-7.975495
-7.599345
-2.36E-05
0.006018
0.832403
0.790503
0.206440
0.080320
19.86674
50.29553
-2.014416
-1.638266
-0.004257
0.175482
R-squared
Adj. R-squared
Sum sq. resids
S.E. equation
F-statistic
Log likelihood
Akaike AIC
Schwarz SC
Mean dependent
S.D. dependent
131
Determinant resid covariance (dof adj.)
Determinant resid covariance
Log likelihood
Akaike information criterion
Schwarz criterion
1.51E-09
7.18E-10
257.0970
-11.07790
-9.824068
SINGAPURA
Vector Autoregression Estimates
Date: 01/13/10 Time: 00:37
Sample (adjusted): 1997Q3 2007Q4
Included observations: 42 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
ACU_SGD
INF_SGD
USD_SGD
ACU_SGD(-1)
0.053629
(0.16419)
[ 0.32662]
-0.737134
(2.02334)
[-0.36432]
0.015780
(0.15169)
[ 0.10403]
INF_SGD(-1)
-0.002895
(0.01178)
[-0.24574]
0.545269
(0.14519)
[ 3.75544]
-0.010438
(0.01089)
[-0.95891]
USD_SGD(-1)
-0.217513
(0.17972)
[-1.21032]
-3.408530
(2.21460)
[-1.53912]
-0.015762
(0.16603)
[-0.09494]
C
0.004833
(0.00735)
[ 0.65743]
0.056008
(0.09059)
[ 0.61829]
0.000673
(0.00679)
[ 0.09903]
0.040596
-0.035147
0.084610
0.047187
0.535972
70.75950
-3.179024
-3.013531
0.004549
0.046379
0.306747
0.252017
12.84815
0.581471
5.604685
-34.72154
1.843883
2.009375
0.056683
0.672330
0.024049
-0.053000
0.072211
0.043592
0.312123
74.08704
-3.337478
-3.171986
0.000476
0.042481
Determinant resid covariance (dof adj.)
Determinant resid covariance
Log likelihood
1.39E-06
1.03E-06
110.6903
R-squared
Adj. R-squared
Sum sq. resids
S.E. equation
F-statistic
Log likelihood
Akaike AIC
Schwarz SC
Mean dependent
S.D. dependent
132
Akaike information criterion
Schwarz criterion
-4.699539
-4.203062
THAILAND
Vector Autoregression Estimates
Date: 01/13/10 Time: 01:06
Sample (adjusted): 1997Q3 2007Q4
Included observations: 42 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
ACU_THB
INF_THB
USD_THB
ACU_THB(-1)
0.143387
(0.25305)
[ 0.56664]
0.000104
(0.00130)
[ 0.08035]
0.225199
(0.31038)
[ 0.72555]
INF_THB(-1)
11.16208
(28.6951)
[ 0.38899]
0.406497
(0.14689)
[ 2.76727]
23.64304
(35.1964)
[ 0.67175]
USD_THB(-1)
-0.018060
(0.20702)
[-0.08724]
0.001313
(0.00106)
[ 1.23916]
0.069683
(0.25392)
[ 0.27442]
C
0.257407
(0.31769)
[ 0.81023]
-0.000335
(0.00163)
[-0.20610]
0.131769
(0.38967)
[ 0.33815]
0.025427
-0.051513
156.4421
2.029014
0.330474
-87.21075
4.343369
4.508862
0.284802
1.978689
0.331172
0.278370
0.004100
0.010387
6.271943
134.3294
-6.206161
-6.040669
-0.000322
0.012227
0.087361
0.015310
235.3620
2.488722
1.212496
-95.78798
4.751809
4.917301
0.189762
2.507995
Determinant resid covariance (dof adj.)
Determinant resid covariance
Log likelihood
Akaike information criterion
Schwarz criterion
0.001003
0.000743
-27.48667
1.880317
2.376794
R-squared
Adj. R-squared
Sum sq. resids
S.E. equation
F-statistic
Log likelihood
Akaike AIC
Schwarz SC
Mean dependent
S.D. dependent
133
FILIPINA
Vector Autoregression Estimates
Date: 01/13/10 Time: 13:28
Sample (adjusted): 1997Q3 2007Q4
Included observations: 42 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
ACU_PHP
INF_PHP
USD_PHP
ACU_PHP(-1)
-0.127914
(0.19487)
[-0.65639]
-0.028720
(0.14720)
[-0.19510]
-0.164639
(0.18707)
[-0.88010]
INF_PHP(-1)
0.072520
(0.19276)
[ 0.37622]
0.298166
(0.14561)
[ 2.04776]
0.111101
(0.18504)
[ 0.60043]
USD_PHP(-1)
0.317518
(0.19338)
[ 1.64191]
0.298402
(0.14608)
[ 2.04276]
0.440403
(0.18564)
[ 2.37239]
C
0.594320
(0.33578)
[ 1.76997]
0.029505
(0.25364)
[ 0.11633]
0.049328
(0.32233)
[ 0.15304]
0.072343
-0.000894
160.2631
2.053643
0.987799
-87.71751
4.367500
4.532993
0.519453
2.052726
0.211653
0.149415
91.44608
1.551282
3.400715
-75.93509
3.806433
3.971925
0.006905
1.682023
0.143269
0.075633
147.6810
1.971380
2.118223
-86.00049
4.285738
4.451230
-0.047466
2.050445
Determinant resid covariance (dof adj.)
Determinant resid covariance
Log likelihood
Akaike information criterion
Schwarz criterion
27.10787
20.07697
-241.7773
12.08463
12.58111
R-squared
Adj. R-squared
Sum sq. resids
S.E. equation
F-statistic
Log likelihood
Akaike AIC
Schwarz SC
Mean dependent
S.D. dependent
VIETNAM
Vector Autoregression Estimates
Date: 01/13/10 Time: 14:06
Sample (adjusted): 1997Q3 2007Q4
134
Included observations: 42 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
ACU_VND
INF_VND
USD_VND
ACU_VND(-1)
0.034287
(0.16492)
[ 0.20790]
-2.28E-06
(4.6E-06)
[-0.49970]
0.000106
(0.00054)
[ 0.19641]
INF_VND(-1)
2085.834
(5978.70)
[ 0.34888]
0.451782
(0.16506)
[ 2.73711]
16.92434
(19.5175)
[ 0.86714]
USD_VND(-1)
-12.11236
(53.0479)
[-0.22833]
0.000739
(0.00146)
[ 0.50470]
0.428413
(0.17317)
[ 2.47387]
C
159.6265
(102.845)
[ 1.55211]
0.001270
(0.00284)
[ 0.44718]
0.878873
(0.33574)
[ 2.61775]
0.003894
-0.074746
9438885.
498.3891
0.049521
-318.3717
15.35103
15.51652
151.5713
480.7460
0.240367
0.180396
0.007194
0.013759
4.008057
122.5199
-5.643803
-5.478311
0.002513
0.015198
0.227891
0.166935
100.5897
1.626990
3.738621
-77.93641
3.901734
4.067226
1.485952
1.782566
Determinant resid covariance (dof adj.)
Determinant resid covariance
Log likelihood
Akaike information criterion
Schwarz criterion
97.42047
72.15280
-268.6408
13.36385
13.86032
R-squared
Adj. R-squared
Sum sq. resids
S.E. equation
F-statistic
Log likelihood
Akaike AIC
Schwarz SC
Mean dependent
S.D. dependent
BRUNEI
Vector Error Correction Estimates
Date: 01/13/10 Time: 15:17
Sample (adjusted): 1997Q3 2007Q4
Included observations: 42 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
Cointegrating Eq:
CointEq1
135
ACU_BRD(-1)
1.000000
INF_BRD(-1)
-21.77300
(3.95606)
[-5.50371]
USD_BRD(-1)
0.111720
(0.43933)
[ 0.25430]
C
-1.716472
Error Correction:
D(ACU_BRD)
D(INF_BRD)
D(USD_BRD)
CointEq1
0.053216
(0.03106)
[ 1.71324]
0.014427
(0.00394)
[ 3.66565]
-0.110724
(0.02604)
[-4.25216]
D(ACU_BRD(-1))
-0.223789
(0.17958)
[-1.24617]
-0.039579
(0.02275)
[-1.73938]
0.138621
(0.15055)
[ 0.92079]
D(INF_BRD(-1))
3.334841
(1.30184)
[ 2.56163]
0.573372
(0.16496)
[ 3.47590]
-1.336313
(1.09136)
[-1.22445]
D(USD_BRD(-1))
0.022184
(0.19224)
[ 0.11540]
0.021307
(0.02436)
[ 0.87473]
-0.312017
(0.16115)
[-1.93614]
C
0.007070
(0.00687)
[ 1.02953]
-5.05E-05
(0.00087)
[-0.05807]
-8.87E-05
(0.00576)
[-0.01540]
0.199037
0.112447
0.070637
0.043693
2.298601
74.54995
-3.311902
-3.105037
0.004549
0.046379
0.369452
0.301285
0.001134
0.005536
5.419782
161.3158
-7.443612
-7.236746
-0.000448
0.006623
0.329079
0.256547
0.049642
0.036629
4.537016
81.95702
-3.664620
-3.457755
0.000476
0.042481
Determinant resid covariance (dof adj.)
Determinant resid covariance
Log likelihood
Akaike information criterion
6.68E-11
4.57E-11
321.2110
-14.43862
R-squared
Adj. R-squared
Sum sq. resids
S.E. equation
F-statistic
Log likelihood
Akaike AIC
Schwarz SC
Mean dependent
S.D. dependent
136
Schwarz criterion
-13.69390
MYANMAR
Vector Error Correction Estimates
Date: 01/13/10 Time: 15:32
Sample (adjusted): 1997Q4 2007Q4
Included observations: 41 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
Cointegrating Eq:
CointEq1
ACU_MYK(-1)
1.000000
INF_MYK(-1)
0.165370
(0.21306)
[ 0.77617]
USD_MYK(-1)
-0.201201
(0.12871)
[-1.56323]
@TREND(97Q1)
-0.026694
(0.00396)
[-6.73461]
C
-3.954604
Error Correction:
D(ACU_MYK) D(INF_MYK) D(USD_MYK)
CointEq1
-0.666545
(0.10915)
[-6.10691]
-0.063845
(0.05143)
[-1.24136]
0.062202
(0.09940)
[ 0.62579]
D(ACU_MYK(-1))
0.161549
(0.11571)
[ 1.39618]
-0.124754
(0.05452)
[-2.28807]
-0.097308
(0.10537)
[-0.92345]
D(ACU_MYK(-2))
0.217804
(0.12591)
[ 1.72985]
-0.094271
(0.05933)
[-1.58891]
0.131928
(0.11466)
[ 1.15055]
D(INF_MYK(-1))
-0.123731
(0.31788)
[-0.38924]
0.332933
(0.14979)
[ 2.22265]
0.488591
(0.28949)
[ 1.68775]
D(INF_MYK(-2))
-0.540490
(0.30794)
0.036481
(0.14511)
-0.303295
(0.28044)
137
[-1.75518]
[ 0.25141]
[-1.08151]
D(USD_MYK(-1))
0.123491
(0.18228)
[ 0.67747]
0.104732
(0.08589)
[ 1.21930]
0.168239
(0.16600)
[ 1.01347]
D(USD_MYK(-2))
-0.367467
(0.18563)
[-1.97961]
0.151634
(0.08747)
[ 1.73355]
-0.164367
(0.16905)
[-0.97231]
C
-0.000215
(0.02096)
[-0.01023]
0.000627
(0.00988)
[ 0.06350]
-0.020229
(0.01909)
[-1.05970]
0.578513
0.489106
0.576978
0.132228
6.470593
29.22575
-1.035402
-0.701047
-0.000137
0.184994
0.571337
0.480409
0.128115
0.062308
6.283365
60.07572
-2.540279
-2.205923
-0.001352
0.086439
0.153804
-0.025692
0.478522
0.120419
0.856864
33.06134
-1.222505
-0.888149
-0.020244
0.118901
Determinant resid covariance (dof adj.)
Determinant resid covariance
Log likelihood
Akaike information criterion
Schwarz criterion
9.53E-07
4.97E-07
123.0180
-4.635023
-3.464779
R-squared
Adj. R-squared
Sum sq. resids
S.E. equation
F-statistic
Log likelihood
Akaike AIC
Schwarz SC
Mean dependent
S.D. dependent
KAMBOJA
Vector Autoregression Estimates
Date: 01/13/10 Time: 15:58
Sample (adjusted): 1997Q3 2007Q4
Included observations: 42 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
ACU_KHR
INF_KHR
USD_KHR
ACU_KHR(-1)
-0.049910
(0.16083)
[-0.31033]
-2.20E-05
(3.2E-05)
[-0.68286]
0.081746
(0.14586)
[ 0.56044]
INF_KHR(-1)
434.8484
(825.948)
0.054517
(0.16538)
780.0214
(749.082)
138
[ 0.52648]
[ 0.32965]
[ 1.04130]
USD_KHR(-1)
-0.267944
(0.17912)
[-1.49589]
4.86E-05
(3.6E-05)
[ 1.35606]
0.093778
(0.16245)
[ 0.57727]
C
42.81583
(19.5870)
[ 2.18593]
0.001907
(0.00392)
[ 0.48613]
-10.75022
(17.7641)
[-0.60516]
0.069936
-0.003490
537722.7
118.9563
0.952469
-258.2014
12.48578
12.65127
42.59395
118.7492
0.058070
-0.016292
0.021558
0.023819
0.780906
99.47259
-4.546314
-4.380821
0.000695
0.023627
0.041201
-0.034493
442294.0
107.8857
0.544312
-254.0987
12.29041
12.45591
-7.940956
106.0718
Determinant resid covariance (dof adj.)
Determinant resid covariance
Log likelihood
Akaike information criterion
Schwarz criterion
88946.67
65876.82
-411.7926
20.18060
20.67708
R-squared
Adj. R-squared
Sum sq. resids
S.E. equation
F-statistic
Log likelihood
Akaike AIC
Schwarz SC
Mean dependent
S.D. dependent
LAOS
Vector Error Correction Estimates
Date: 01/13/10 Time: 16:30
Sample (adjusted): 1997Q4 2007Q4
Included observations: 41 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
Cointegrating Eq:
CointEq1
ACU_LAK(-1)
1.000000
INF_LAK(-1)
6782.419
(1920.02)
[ 3.53247]
USD_LAK(-1)
-1.559773
(0.10514)
[-14.8348]
139
Error Correction:
D(ACU_LAK)
D(INF_LAK)
D(USD_LAK)
CointEq1
-0.085948
(0.02586)
[-3.32321]
-7.63E-06
(3.6E-06)
[-2.11252]
-0.037197
(0.03610)
[-1.03026]
D(ACU_LAK(-1))
0.254891
(0.15474)
[ 1.64722]
-1.53E-05
(2.2E-05)
[-0.70853]
-0.198774
(0.21602)
[-0.92018]
D(ACU_LAK(-2))
-0.077254
(0.17038)
[-0.45343]
-6.07E-05
(2.4E-05)
[-2.55080]
-0.008264
(0.23784)
[-0.03474]
D(INF_LAK(-1))
-1148.619
(1250.68)
[-0.91839]
0.785535
(0.17465)
[ 4.49774]
2422.640
(1745.94)
[ 1.38758]
D(INF_LAK(-2))
2742.227
(1247.70)
[ 2.19783]
-0.061270
(0.17423)
[-0.35165]
-1270.082
(1741.78)
[-0.72919]
D(USD_LAK(-1))
-0.347779
(0.15932)
[-2.18293]
4.03E-05
(2.2E-05)
[ 1.80975]
0.160737
(0.22241)
[ 0.72272]
D(USD_LAK(-2))
-0.201971
(0.14860)
[-1.35920]
1.81E-05
(2.1E-05)
[ 0.87337]
-0.472704
(0.20744)
[-2.27877]
0.384386
0.275748
8187154.
490.7124
3.538234
-308.3688
15.38385
15.67641
218.2933
576.6100
0.789996
0.752937
0.159655
0.068525
21.31696
55.56398
-2.368975
-2.076414
-0.007032
0.137863
0.235472
0.100555
15955048
685.0300
1.745315
-322.0466
16.05105
16.34362
-28.69125
722.3080
Determinant resid covariance (dof adj.)
Determinant resid covariance
Log likelihood
Akaike information criterion
Schwarz criterion
1.95E+08
1.11E+08
-554.3523
28.21231
29.21537
R-squared
Adj. R-squared
Sum sq. resids
S.E. equation
F-statistic
Log likelihood
Akaike AIC
Schwarz SC
Mean dependent
S.D. dependent
140
Download