Penentuan Awal Bulan Qomariah

advertisement
http://sumut.kemenag.go.id/
Penentuan Awal Bulan Qomariah
Oleh : Drs. Chairul Zen S., Al-Falaky
BILA ditanyakan peran astronomi yang langsung dirasakan masyarakat umum, dengan
mudah kita jawab : penentuan waktu dan arah. Umur astronomi bisa dikatakan sama dengan
umur peradaban manusia. Keteraturan peredarannya dan posisinya yang hampir tetap dilangit
pada suatu musim telah dijadikan sebagai penentu dan arah.
Pada awal peradabannya, ketergantungan manusia pada benda-benda astronomis itu
demikian kuatnya, sampai-sampai ada yang mempertuhankan matahari atau bintang paling
terang (Sirius). Karena ketergantungannya, mereka pun selalu memperhatikan perubahanperubahan di langit. Dari pengalaman empirik tentang peraturan dari peredaran benda-benda
langit itu kemudian berkembanglah astronomi yang pada awalnya memfokuskan pada peredaran
dan posisi benda-benda langit. Almanak astronomi merupakan salah satu produk evolusi
pengetahuan manusia
yang memungkinkan tidak perlu setiap saat memperhatikan langit.
Keteraturan dilangit telah dirumuskan secara sistematik didalamnya sehingga memudahkan
orang dalam memprakirakan fenomena astronomis terutama setalah ditemukannya teknologi
alternatif penentuan waktu (:jam) dan arah (:kompas).
Alamanak atronomis adalah tabel, buku, atau perangkat lunak komputer yang menyajikan
informasi tentang waktu kejadian Fenomena astronomis seperti saat terbit/terbenamnya matahri
dan bulan, Fase bulan,posisi matahari, bulan, dan planet-planet, gerhana atau okultasi bendabenda langit, serta waktu bintang ( sidereal time).
Kalender Islam ditentukan berdasarkan penampakan hilal (bulan sabit pertama) sesaat
sesudah matahari terbenam. Alasan utama dipilihnya kalender bulan ( qamariah ) – walau tidak
di jelaskan di dalam hadist maupun AL-Qur’an – nampaknya karena alasan kemudahan dalam
menentukan awal bulan dan kemudahan dalam mengenali tanggal dari perubahan bentuk (fase)
bulan. Ini berbeda dari kelender syamsiah (kelender matahari) yang menekankan pada keajegan
(konsistensi ) terhadap perubahan musim, memperhatikan tanda perubahan hariannya. Karena
perubahan itu—orang awam pun bisa menentukan kapan bisa menentukan pergantian bulan –
sistem kelender tradisional banyak yang bertumpu pada kalender bulan. Pada masyakarat yang
menghendaki adanya penyesuian dengan musim, diadakan sistem kelender gabuangan: qamariasyamsiah ( luni solar calendar ), seperti kelender yahudi dan kelender Arab sebelum masa
http://sumut.kemenag.go.id/
kerasulan Muhammad SAW. Pada sistem gabungan ini ada bulan ketiga belas setiap 3 tahun agar
kelender qamariah tetap sesuai dengan musim. Namun bulan pun disesuaikan dengan nama
musimnya, seperti Rama dan yang semula berarti musim panas terik. Dalam ajaran Islam
penambahan bulan itu ( disebut nasi ) dilarang karena biasaanya bulan ke-13 itu diisi dengan
upacara atau pesta yang dipandang sesat ( AL-Qur’an S. 9:37).
Karena waktu ibadah sifatnya lokal, penentuan yang berdasarkan penampakan hilal
memang merupakan cara yang termudah. Masyarakat di suatu tempat cukup memperhatikan
kapan hilal teramati untuk menentukan saat ibadah puasa Ramadhan, beridul fitri, beridul adha,
atau saat berhaji (khusus di daerah sekitar Mekkah). Seandainya cuaca buruk, Nabi Muhammad
Saw memberikan petunjuk praktis: genapkan bulan sekarang menjadi 30 hari, karena tidak
mungkin bulan qamariyah lebih dari 30 hari. Tentunya ini menuntut pengamatan hilal yang lalu.
Karena sifatnya lokal, apapun keputusan di suatu daerah sah berlaku untuk daerah itu. Daerah
lain mungkin saja berbeda.
Penentuan awal bualn yang saat ini sering membinggungkan hanyalah merupakan akibat
perkembangan zaman. Faktor-faktor penyebab kerumitan itu antara lain :
1. Tuntutan penyeragaman waktu ibadah untuk daerah yang luas, bahkan ada pula yang
menuntut penyeragaman yang sifatnya mendunia tanpa menyadari bahwa banyak kendala
yang dengan teknologi maju saat ini belum biasa tertasi;
2. Ru’yatul hilal ( pengamatan hilal ) saat ini tidak murni lagi, hisab secara tak sadar telah
mendominasi sebagian besar pengamat padahal hisab ( perhitungan ) yanng mereka
pergunakan banyak yang tidak akurat;
3. Tidak banyak lagi orang yang mengenali hilal, terutama di kota-kota besar, sehingga
kemungkinan keliru mengidentifisikan objek lain sebagi hilal lebih mungkin terjadi;
4. Polusi atmosfer ( debu dan cahaya ) mempersulit pengamatan hilal yang redup.
Kerumitan itu sebenarnya bisa sedikit diatasi dengan memanfaatkan data posisi hilal yang
akurat dari alamanak astronomi muktahir ( hasil penyempurnaan almanak astronomi sepanjang
sejarah perkembangannya). Akurasi almanak astronomi dalam penentuan ijtima’ (astronomical
new moon ) kini telah teruji ketepatan perhitungan waktu gerhana matahari yang akurat bisa
mencegah terjadinya kesalahan indentifikasi hilal. Lazimmnya, tidak mungkin terjadi hilal
http://sumut.kemenag.go.id/
teramati mendahului saat yang diperoleh dari hisab. Pengamtan hilal mungkin saja gagal karena
faktor cuaca dan halangan atsmofer lainnya sehingga bisa terjadi hilal teramati sehari lebih
lambat daripada waktu menurut hisab.
Kalau data almanak astronomi tentang posisi hilal sudah bisa diterima secara luas, satu
langkah lagi dalam mengatasi kerumitan itu: menentukan kriteria visibilitas hilal. Inilah bagian
tersulit, tetapi telah dimulai dari IICP ( international Islamic Calender Programme) di Malaysia
yang dipimpin Mohammad IIyas. Kriteria visibilitas hilal yang dirumuskan IICP (dengan sedikit
modifikasi: bukan nilai rata-rata yang diambil sebagai Kriteria, tetapi nilai minimalnya ) menjadi
tebagi tiga jenis,tergantung aspek yang ditinjau.
1. Kriteria posisi bulan dan matahari : ketinggian minimal hilal dapat teramati adalah 4 derajat
bila beda azimut bulan-matahari lebih dari 45 derajat, bila beda azimutnya 0 derajat perlu
ketinggian minimal 10,5 derajat.
2. Kriteria beda waktu terbenam : minimal bulan 40 menit lebih lambat terbenam dari pada
matahari dan memerlukan beda waktu lebih besar untuk daerah di lintang tinggi, terutama
pada musim dingin.
3. Kriteria umur bulan (dihitung sejak ijtima’) : hilal harus berumur lebih dari 16 jam bagi
pengamat di daerah tropik dan berumur lebih dari 20 jam bagi pengamat dilintang tinggi.
Kriteria IICP sebenarnya belum final, mungkin berubah dengan adanya lebih banyak data.
visibilitas berdasarkan umur bulan dan beda posisi nampaknya kuat dipengaruhi jarak bulanbumi dan posisi lintang ekliptika bulan, bukan hanya faktor geografis. Rekor pengamatan hilal
termudah bisa dijadikan bukti kelemahan kriteria beda posisi dan umur hilal . rekor keberhasilan
pengamatan hilal. bukti kelemahan criteria beda posisi dan umur hilal . Rekor keberhasilan
pengamatan hilal termuda tercatat pada umur hilal 13 jam 24 menit yang teramati pada tanggal 5
mei 1989 (6 Mei 01:10 UT) di Houston , Amerika Serikat, mengalahkan rekor sebelumnya 14
jam 30 menit pada tanggal 2 Mei 1961 di Inggris. Hasil ini jauh dibawah kriteria umur bulan.
Menurut kriteria umur bulan, pada bulan Mei umur minimal kenampakan hilai dari daerah
lintang tinggi :26 jam (daerah lintang lebih dari 50 derajat) dan 16 jam (daerah lintang 30
derajat). Beda azimut dan ketinggiannya juga dibawah ambang batas kriteria posisi. Dua
pengamatan awal Mei itu memang sangat terbaik untuk mengamati hilal termuda karena bulan
http://sumut.kemenag.go.id/
berada pada jarak terdekat dengan bumi (perigee), ditambah lagi dengan lintang eplitika bulan
mendekati maksimum (sekitar 50). Pada tanggal 2 Mei 1916 berada pada posisi lintang ekliptika
+4048’ dan pada tgl 5 Mei 1989 pada posisi +4058’. Beda waktu terbenam matahari-bulan kedua
kasus tersebut memenuhi kriteria beda waktu terbenam : pada tanggal 2 Mei 1916 beda waktu
terbenam adalah 57 menit (sesuai kriteria untuk lin-tang lebih dari 500 ) dan pada tanggal 5 Mei
1989 beda waktunya 41 menit (sesuai dengan kriteria untuk lintang 300 ).
Dengan membandingkan ketiga kriteria itu, yang terbaik adalah kriteria beda waktu
terbenam. Faktor posisi bulan-matahari dan keadaan atmosfer sudah tercakup didalamnya.
Variasai musiman pada kriteria tersebut kecil untuk daerah tropik dan makin membesar sejalan
dengan pertambahan lintang tempat. Kriteria beda waktu terbenam sangat dominan dipengaruhi
oleh keadaan atmosfer setempat. Variasi musiman untuk daerah lintang tinggi sangat dipengaruhi
oleh temperatur, pada musim dingin cendrung kenampakan hilal mensyaratkan beda waktu
terbenam yang lebih besar.
Dalam prakteknya kriteria visibilitas hilal belum banyak dipakai, mungkin karena belum
memasyarakat. Kriteria utama yang banyak dipakai adalah bulan sudah diatas ufuk yang pada
hakikatnya syarat wujudul hilal
(seperti yang dilakukan Muhammadiyah) atau dengan syarat
imkanur ru’yat ketinggian 2 derajat (seperti yang ditetapkan Kemenag RI). Menurut data Badan
Hisab dan Ru’yat Kementerian Agama RI, hilal dengan ketinggian 2 derajat berhasil di ru’yat.
Itu berarti berbeda waktu terbenam hanya sekitar 8 menit, jauh dibawah ambang batas kriteria
visibilitas hilal.
Sahkan kriteria itu untuk penentuan waktu ibadah? Menurut kaidah hukum, sahnya suatu
ibadah cukup atas dasar dugaan kuat (dzham). Pembatasnya hanya satu : tinggalkan yang
meragukan, misalnya puasa pada hari yang masih diragukan masuk awal Ramadhan atau belum
(yaumusy-syak) dilarang menurut syariah. Para ahli hisab dan ru’yat di Indonesia merasa yakin
bahwa dengan ketinggian hilal 2 sudah cukup untuk diru’yat.
Tetapi sahihkah laporan ru’yatul hilal itu? ini masalah lain. Laporan ru’yatul hilal yang
memungkinkan pengujian untuk keperluan penelitian tampaknya belum mendapat perhatian.
Sebarnya sederhana: pengamat hilal berbekal jam, dapat menggunakan jari sebagai alat ukur
ketinggian hilal, dan dapat menggambarkan secara jelas arah gerak hilal mulai tampak sampai
menghilang. Bebarapa pengamat hilal hanya berbekal jam dan ilmu hisabnya. Pada tahun1992
ada pengamat yang mengaku melihat hilal selama 11 menit lalu menyatakan ketinggian hilal
http://sumut.kemenag.go.id/
yang teramati itu 2,80 , padahal menurut data astronomi mestinya bulan sudah dibawah ufuk.
Ketinggian itu bukan hasil pengukuran, melainkan hasil perhitungan sederhana 11 menit/24 jam
x 3600 . Pengamat hilal yang kemudian berbekal hisab (yang mungkin keliru) untuk memastikan
adanya hilal, memperhatikan lamanya objek “hilal” teramati, kemudian menghitung dengan ilmu
hisabnya dengan ketinggian hilalnya. Tanpa memperhatikan arah gerakan “hilal” itu dan
mengukur langsung ketinggiannya. Seandainya laporan hilal dibawah ambang batas kriteria
visibilitas hilal dapat dipertanggung jawabkan, maka data itu sangat berguna untuk mengoreksi
kriteria itu.
Laporan Ru’yatul Hilal
Sebagai gambaran bagaimana laporan ru’yatul hilal yang dianggap bisa dipertanggung
jawabkan disini akan dicuplikan sebagian laporan dari keluarga Muhammad Iqbal Badat dan
Saleh Al-Thani. Mereka dianggap sebagai pemegang rekor melihat hilal termuda (13 jam 24
menit) yang teramati pada tanggal 5 Mei 1989 dari Amerika. Hilal yang teramati itu adalah hilal
bulan syawal, tanda datangnya Idhul Fitri 1409/1989.
Berikut adalah cuplikan laporan keluarga Muhammad Iqbal Badat : “saya bersama
kelurga (paman, saudara-saudara saya, dan isteri saya) sedang bersiap sholat Maqrib 5 Mei 1989
di Houston, Texas. Matahari terbenam kira-kira pukul 20:04 (waktu setempat). Kami baru saja
berbuka dan berkumpul di halaman belakang bersiap untuk sholat maqrib. Sebelum sholat saya
melihat kebelakang untuk melihat kalau-kalau hilal terlihat. Dari Amerika Serikat ada Kiblat
hampir berlawanan dengan arah matahari terbenam. Jam menunujukkan pukul 20:16 ketika saya
melihat hilal karena sholat telah dimulai saya segera mengikuti sholat dahulu. Sholat dan berdoa
memakan waktu sekitar 5 menit hilal masih terlihat sampai sekitar pukul 20:30 hilal seperti
benang putih melengkung kemudian kami memastikannya dengan Binokuler. Hilal berada
sedikit diatas cahaya merah senja bentuk lengkungannya dapat digambarkan dengan lingkaran
jam khayal di ufuk barat: lengkungannya mulai dari posisi jam (angka) 2 sampai lebih sedikit
dari jam 8. Tinggi hilal kira-kira tiga tebal jari ketika pertama kali melihat dan ketika menghilang
tingginya kira-kira setebal jari. Yang berhasil mengamati adalah: saudara saya Mohammed Hanif
(29 tahun), Abdul Quadir (25), dan Fatimah (24), serta isteri saya Fahmida (24) dan saya sendiri
(31). Ada juga yang tidak berhasil melihatnya:ayah saya Mohammad Yakub (59), teman saya
http://sumut.kemenag.go.id/
Mohammad Ibrahim (26), dan paman. Ayah saya mulanya tidak percaya sebelum diyakinkan
oleh kesaksian isteri dan saudara perempuan saya. Kemudian segera kami laporkan kepada ISNA
(Islamic society of North America)
Laporan itu diperkuat dengan laporan kelompok lain yang disampaikan oleh Saleh AlThani. Berikut ini cuplikannya :”saya berada di Masjid Houston barat daya pada hari Jum’at
petang 5 Mei 1989 bersama dua teman: Nasir AL-Qaouq dan Aymen Qadorah. Kami berada di
daerah kosong dengan pandangan jelas kearah ufuk barat. Matahari terbenam pukul 20:02.
Setelah berbuka kami berusaha mencari hilal karena hari itu atau besok hilal diharapkan akan
terlihat. Pukul 20:10 kami bertiga berhasil melihatnya selama empat menit. Kemudian kami
berjamaah salat magrib. Sesudah salat kami mencoba lagi mencarinya sejak 20:25. Tetapi kami
tak melihatnya lagi. Bila digambarkan pada lingkaran jam imajiner di ufuk barat hilal itu
melengkung dari angka 2 sampai angkah 7. Hilal itu tebal pada posisi angka 7 dan tipis pada
ujung posisi angkah 7 dan tipis pada ujung lainnya. Hilal berada di atas ufuk kira-kira 8 kali tebal
jari bila tangan dilencangkan ke depan.”
Dua laporan independen itu menunjukan bentuk hilal yang sama. Hilal sebenarnya sangat
sulit membentuk setengah lingkaran. Berdasarkan analis posisinya, semestinya pusat lengkungan
hilal ada pada sekitar angkah 7 pada lingkaran jam imajiner. Ini terbukti pada laporan kedua
yang menyatakan pada posisis itu hilal tampak tebal. Cahaya yang memandang melengkung ke
kanannya belum diketahui penyebabnya, mungkin juga efek atmosfer bumi. Tentang ketinggian
yang jauh lebih tinggi dari hasil hisab, disebabkan oleh ketidakakuratan menentukan garis ufuk.
Yang jalas, pengamat hilal ini murni melaporkan apa yang terlihat seadanya, tanpa berusaha
mereka-reka data. Walaupun ada beberapa hal yang tidak akurat, tetapi dari segi astronomi
laporan mereka bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kesaksian melihat hilal ( ru’yatul hilal), keputusan hisab, dan akahirnya keputusan
penetapan awal Ramadhan dan hari raya oleh pemimpin umat semuanya adalah hasil ijtihad
relatif. Kebenaran mutlak hanya Allah yang tahu. Tetapi orang berijtihad dan orang-orang yang
mengikutinya meyakini kebenaran suatu keputusan ijtihad itu berdasarkan dalil-dalil syariah dan
bukti empirik yang diperoleh.
Kesaksian rukyat tidak muklat kebenarannya. Mata manusiah bisa salah lihat. Mungkin
dikira hilal sebenarnya objek lain. Keyakinan bahwa yang dilihatnya benar-benar hilal harus
didukung pengetahuan dan pengalaman tentang pengamatan hillal. Hilal itu sangat redup dan
http://sumut.kemenag.go.id/
sulit mengindenfikasikannya, karena mungkin hanya tampak seperti garis tipis. Saat ini satusatunya cara untuk menyakinkan orang lain tentang kesaksian itu adalah sumpah yang
dipertanggungjawabkan kepada Allah. Jaminan kebenaran rukyatul hilal hanya kepercayaan pada
pengamat yang kadang-kadang tidak bisa diulng oleh orang lain.
Hisab pun hasil ijtihad yang didukung bukti-bukti pengamatan yang sangat banyak.
Rumus-rumus astronomi untuk keperluan hisab dibuat berdasarkan pengetahuan selama ratusan
tahun tentang keteraturan peredaran bulan dan matahari (tepatnya, peredaraan bui mengelilingin
matahari ) (Q.S. 6:96). Makin lama, hasil perhitungannya makin akurat dengan memasukkan
makin banyak faktor. Orang mempercayai hasil hisab karena didukung bukti-bukti kuat tentang
ketepatannya, seperti hisab gerhana matahari pada hakikatnya adalh ijtimak (bulan baru) yang
teramati . Maka jaminan kebenarannya lebih kuat dari rukyat, karena orang lain bisa mengujinya
dan pengamatan posisi bulan bisa membuktikannya.
Keputusan penetapan awal Ramadan dan hari raya itupun hasil ijtihad. Berdarkan
kesaksian ru’yatul hilal atau hisab yang di anggap sah, pemimpin ummat (pemerintah, ketua
organisasi Islam, atau imam masjid) kemudian menetapkannya. Karena pemimpin ummat di
dunia ini tidak tunggal, keputusannya pun bisa beragam, hal yang wajar dalam proses itjihad.
(Penulis : Tenaga Ahli Hisab/Rukyat Kanwil Kemenagsu, Anggota Tim Ahli BHR Sumut
juga Staf pada Bidang Urais Kanwil Kemenagsu)
Download