Pendidikan Politik Baru Sebatas Lipstik

advertisement
Pendidikan Politik Baru Sebatas Lipstik
Pemilihan presiden pada putaran pertama tanggal 5 Juli kemarin cukup
memberikan banyak pelajaran penting buat kita semua. Proses pendidikan politik
yang selama ini berjalan banyak mengalami problem krusial, seperti gejala
pragmatisme politik dengan indikasi peran media massa yang me-mark-up secara
besar-besaran realitas perpolitikan nasional, praktek politik uang (money politic),
kecurangan-kecurangan di KPU dan kuatnya intevensi asing. Di samping itu, dari
kalangan pemilih cenderung masih mengutamakan emosionalitas dari pada
rasionalitas. Hal ini ditengarai dengan besarnya jumlah angka pemilih emosional
dari pada pemilih rasional. Pemilih emosional lebih mengedepankan romantisme
dan pencitraan, sehingga seolah-olah proses pendidikan politik kita ibarat
tayangan-tayangan sinetron di televisi. Indikasi-indikasi tersebut kemudian
mengerucut pada suatu kesimpulan, bahwa proses pendidikan politik telah gagal.
Kegagalan Politik Nasional
Gagalnya proses pendidikan politik semakin jelas, sebab pemilih emosional
lebih dominan dibanding pemilih rasional. Sebagaimana dikatakan oleh Ir. Azman
Latief dari Lembaga Hikmah PWM DIY, "Pilpres kali ini saya lihat sebagai
kegagalan pendidikan politik. Rakyat dalam memilih presiden tidak rasional.
Lebih banyak emosional. Saya setuju kalau politik sekarang lebih mirip sinetron
atau telenovela. Tokoh yang dianiaya lalu diberi hati, lalu dimenangkan dalam
pemilu". Pendapat yang hampir senada juga dikatakan, "Pemilu kita ini lebih
tampil sebagai aksesoris dari pada sebuah proses. Aksesoris politik, aksesoris
kekuasaan, itu lebih menonjol ketimbang suatu proses pendidikan politik untuk
rakyat", kata Drs. H. Novel Ali, dosen Fisip Universitas Diponegoro, Semarang.
"Nah, menjelang pemilu 2004, terutama putaran pertama itu merupakan
suatu fenomena baru dalam realitas politik. Dan sebelumnya belum pernah.",
katanya. Kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan presiden
putaran pertama kemarin memang menjadi satu fenomena yang unik. Dikatakan
unik, karena fenomena popularitas menjadi aspek yang mendominasi pentas
perpolitikan nasional saat ini.
Sebenarnya dari kelima capres yang berkompetisi dalam pemilihan 5 Juli
kemarin terdapat dua tokoh yang dikategorikan popular. Keduanya itu ialah SBY
dan Amien Rais. "Tokoh popular saat ini yang kebetulan mengajukan diri sebagai
capres itu, pertama; SBY dan kedua; Amien Rais. Tetapi Amien Rais itu orang
yang tidak disakiti oleh politik atau kekuasaan, sehingga dia kalah dibanding
popularitas SBY. Jadi, SBY disamping karena popular, dia juga telah disakiti oleh
kekuasaan", tegas dosen Fisip Universitas Diponegoro itu.
Popularitas capres SBY memang di-back up sepenuhnya oleh media massa.
Perang opini publik yang dimainkan oleh para elite menggunakan media massa,
yaitu melalui iklan-iklan di televisi. Kenyataan ini diakui oleh Pradana Boy
Z.T.F., salah seorang anggota Presidium JIMM mengatakan, "ya, dalam pilpres
kemarin memang telah terjadi semacam perang antara kapitalis versus popularitas,
dan konyolnya yang menang adalah yang popular. Ini bisa saya sebut sebagai
ironi demokrasi". Kuasa media massa dalam membangun opini publik memang
tidak bisa dipungkiri lagi.
Di samping kontribusi media massa yang cenderung menampilkan gejala
instan dalam proses pendidikan politik, praktek money politic juga belum bisa
bersih dari bumi pertiwi ini. Sulitnya memberangus tradisi money politic diakui
oleh Dr. H. Qomari Anwar, "Jadi menurut saya politik uang dalam segala bentuk
permainan dan segala macam pemilu dipastikan ada dan sulit diketahui karena
bersifat rahasia. Bahkan dalam pemilihan presiden kemarin pun juga banyak
terjadi politik uang yang dilakukan oleh kader-kader parpol tertentu. Mereka
bergerilya terutama di desa-desa."
Indikasi lain dari kegagalan pendidikan politik ditengarai dengan banyaknya
kecurangan yang terjadi dalam proses pemilihan kemarin. Anehnya, kecurangan
itu berpusat di KPU sebagai penyelenggara pesta demokrasi itu. Penghitungan
suara yang disinyalir banyak kecurangan, namun tidak diakui. Bahkan ada
kecenderungan untuk menjatuhkan salah seorang kandidat yang ikut berkompetisi
dalam pilpres putaran pertama kemarin. "Dalam pilpres ini saya melihat bahwa
ada satu skenario besar untuk menjatuhkan kandidat tertentu. Indikasinya dengan
tabulasi yang selama ini dicurigai tidak adil dan malah sudah dalam batas tertentu
terkuak praktek ketidakjujuran tabulasi, tapi tidak diakui", kata Ir. Azman Latief.
Termasuk dalam kategori kegagalan politik nasional ialah dengan adanya
intervensi asing. Indonesia sebagai bangsa yang besar ternyata belum bisa
menunjukkan jati diri sebagai bangsa yang berwibawa. Bangsa Indonesia belum
bisa memposisikan diri sebagai bangsa yang disegani, sehingga sering
dipermainkan oleh kepentingan pihak asing. Kuatnya intervensi asing sangat
kentara dalam proses pemilihan presiden putaran pertama kemarin. Bahkan tidak
menutup kemungkinan jika keterlibatan asing terjadi dalam pilpres putaran kedua
nanti. Dikatakan, " Indonesia ini belum cukup pandai untuk bermain. Apalagi
harus dihadapkan dengan orang asing, sehingga yang namanya intervensi itu
terbuka lebar. Dan dalam pemilu 2004 ini tidak lepas dari intervensi asing. Karena
ada beberapa elite parpol yang memang didanai dari pihak asing. Ini juga
merupakan politik uang", kata Dr. H. Qomari Anwar M.A.
Keterlibatan kepentingan asing jelas sangat mempengaruhi wibawa bangsa
ini. Sebab, capres terpilih nanti hanya akan mudah disetir oleh kepentingan asing
itu. Hal ini ditegaskan oleh Pradana Boy ZTF, "Tentang intervensi asing saya kira
itu benar semata. Karena saya sedang mengadakan persiapan studi ke Australia,
maka saya setiap hari harus mengikuti pers-pers Barat dan hamper semua pers
Barat itu sangat aspiratif dengan kemenangan SBY. Barangkali figure SBY yang
dari sorot matanya terlihat sebagai figure peragu itu memang relative bisa diterir
oleh kehendak Barat. Maka Barat, terutama USA sangat menghendaki SBY yang
jadi presiden RI."
Selanjutnya dia menegaskan, "Dalam sejarah, setiap USA menghendaki
seseorang jadi presiden di suatu Negara biasanya itu akan terjadi, dan itu yang
sekarang harus kita lawan".
Perjuangan Belum Berakhir
Memang banyak pengamat yang menilai bahwa proses pendidikan politik di
Indonesia selama ini telah gagal. Namun di antara mereka ada yang masih
optimis, bahwa pendidikan politik tidak sepenuhnya gagal. "Memang banyak
orang mengatakan bahwa saat ini pendidikan politik mengalami kegagalan. Tetapi
walaupun gagal, ternyata masyarakat dalam menghadapi pemilu 2004 tidak terjadi
golput, dan yang bisa kita acungi jempol adalah bahwa pelaksanaan pemilu
kemarin relative tertib aman dan tidak terjadi kegaduhan seperti pemilu
sebelumnya", demikian kata Dr. H. Qomari Anwar, M.A. "Bahkan Carter sangat
memuji lancarnya pelaksanaan pemilihan umum 2004, namun semua orang tidak
diberikan saham pendapat seperti itu", dia menambahkan.
Pendapat senada juga datang dari tokoh elemen gerakan mahasiswa. Seperti
pendapat Ancol, "Saya melihat proses yang terjadi saat ini menunjukkan
kecenderungan beberapa tanda yang positif. Ini bisa dilihat dari mekanisme dan
partisipasi masyarakat yang lebih berkualitas dibanding sebelumnya", demikian
kata Ketua Komisariat GMNI IPB. Dia menambahkan, "Hanya saja hal-hal yang
bersifat teknis seperti kinerja KPU, misalnya, perlu mendapat evaluasi yang lebih
serius".
Meskipun dalam pilpres putaran pertama banyak di sana-sini kecerobohan
dan kecurangan, namun tidak berarti kita harus menyimpulkan bahwa proses
pendidikan politik telah gagal. Memang disadari, bahwa kecerobohan dan
kecurangan yang terjadi dalam pilpres putaran pertama kemarin menjadi preseden
buruk bagi masa depan politik nasional. Tetapi tidak lantas membuat kita berputus
asa, karena jelas-jelas perjuangan belum berakhir. Jika kita masih bercita-cita
untuk memperbaiki bangsa yang sudah bobrok ini, maka perjuangan belum
berakhir.
Menyikapi kekalahan kubu reformis dalam pilpres putaran pertama kemarin,
adalah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk tetap memperjuangkannya.
Proses pendidikan politik harus terus berjalan, meskipun tidak terlibat secara
langsung dalam struktur.
"Semua elemen bangsa bertanggung jawab dalam pendidikan politik rakyat
supaya bisa lebih idealis. LSM, lembaga agama, ormas dan parpol, serta setiap
manusia wajib mempercepat dan memperkuat tumbuhnya idealisme rakyat",
demikian jelas Pradana Boy ZTF.
Idealisme politik rakyat harus tetap terbangun, agar proses pendidikan
politik tepat guna. Sebenarnya, siapakah yang paling berperan dalam proses
pendidikan politik untuk rakyat itu?
"Seharusnya ada partai politik di situ. Akan tetapi ketika partai politik tidak
bisa lagi diharapkan, semua pilihan-pilihan yang ada di luar struktur bisa menjadi
pertimbangan. Gerakan mahasiswa, opinion leader, ataupun lembaga-lembaga
pendidikan formal", kata Rudi, ketua dewan perwakilan Mahasiswa Unpad,
Bandung. Memang parpol-parpol yang ada selama ini belum mampu memberikan
pendidikan politik yang lebih baik. Bahkan fungsi yang satu ini tenggelam
bersama kepentingan dari parpol itu sendiri untuk
Namun, masih mungkinkah kita membangun kembali idealisme rakyat
dengan kondisi yang seperti ini? Menurut Dadang Rahmat menyakinkan, "Bisa
dan sangat mungkin. Tetapi dengan catatan khusus, apakah masih menggunakan
format yang seperti kemarin atau menggunakan format yang lebih baik?
Maksudnya adalah, format yang digunakan dalam system politik ke depan
haruslah benar-benar merupakan hasil evaluasi yang matang dan komprehensif",
kata ketua PWM Jawa Barat itu.
Dengan kondisi bangsa yang sudah carut-marut, sementara di satu sisi kita
bermaksud untuk memperbaikinya, maka diperlukan agenda-agenda strategis ke
depan. "Bagi saya, hal ini dapat diatasi dengan adanya pemberdayaan seluruh
elemen yang ada dalam menentukan common enemy. Sehingga, dapat terbangun
hubungan secara organic dalam menjalankan komunikasi politik antara
masyarakat sipil dengan masyarakat politik. Atau yang akrab di telinga kita
adalah, kotrak politik antara masyarakat pemilih dengan masyarakat yang akan
dipilih sebagai wakil rakyat", demikian menurut Farid Setiawan, sekretaris
jenderal Presidium Barisan Oposisi Bersatu DIY yang juga menjabat sebagai
ketua umum DPD IMM DIY itu. [tulisan: rif. bahan: fik, rif, k'ies, nafi', ton]
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 16 2004
Download