BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. HIV/AIDS 2.1.1. Definisi 2.1.1.1.Definisi HIV HIV (Human Immunodeficiency Virus ) adalah virus dari famili le ntivirus dari retrovirus hewan. Istilah HIV telah digunakan sejak 1986 sebagai nama untuk retrovirus yang diusulkan pertama kali sebagai penyebab AIDS oleh Luc Montagnier dari Perancis, yang awalnya menamakannya LAV ( lymphadenopathyassociated virus) dan oleh Robert Gallo dari Amerika Serikat, yang awalnya menamakannya HTLV-III (human T lymphotropic virus type III ) (Puraja, 2008). Dikenal dua tipe HIV, yaitu HIV -1 yang ditemukan pada tahun 1983, dan HIV-2 yang ditemukan pada tahun 1986 pada pasien AIDS di Afrika Barat. Epidemi HIV secara global terutama disebabkan oleh HIV -1, sedangkan HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya, hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang mempunyai hubungan erat dengan Afrika Barat. 2.1.1.2.Definisi AIDS AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome ) adalah kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus ). Penyakit ini dicirikan dengan timbulnya berbagai penyakit infeksi bakteri, jamur, parasit, dan virus yang bersifat oportunistik atau keganasan seperti sarkoma kaposi dan limfoma primer di otak. Dengan ditegakkannya penyakit -penyakit tersebut, meskipun hasil pemeriksaan laboratorium untuk infeksi HIV belum dilakukan atau tidak dapat Universitas Sumatera Utara diambil kesimpulan, maka diagnosis AIDS telah dapat ditegakkan (Kapita Selekta Kedokteran, 2000). 2.1.2. Diagnosis HIV/AIDS Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu: 1. Cara langsung, yaitu isolasi virus dari sampel. Umumnya dapat menggunakan mikroskop elektron dan deteksi antigen virus adalah dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Penggunaan PCR antara lain untuk: Tes HIV pada bayi karena zat anti dari ibu masih ada pada bayi sehingga menghambat pemeriksaan serologis. Menetapkan status infeksi pada individu serokonversi Tes pada kelompok resiko tinggi sebelum terjadi serokonversi Tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab sensitivitas ELISA untuk HIV 2 rendah 2. Cara tidak langsung, yaitu dengan melihat respons zat anti spesifik. Tes, misalnya: ELISA, sensitivitasnya tinggi (98. 1-100%). Biasanya memberikan hasil positif 2-3 bulan sesudah infeksi. Hasil positif harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan Western blot. Western blot, spesitifitas tinggi (99.6-100%). Namun, pemeriksaan ini cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam. Mutlak diperlukan untuk konfirmasi hasil pemeriksaan ELISA positif. Immunofluorescent assay (IFA) Radioimmunopraecipitation assay (RIPA) Menurut WHO, HIV terbagi atas 4 derajat, yaitu: Derajat I 1. Asimptomatik Universitas Sumatera Utara 2. Persistent generalized lymphadenopathy 3. Acute retroviral seroconvertion syndrome Gejala : demam, radang tenggorokan, sakit kepala, ruam kulit, nyeri otot, hasil belum menunjukkan HIV (+) Derajat II Gejala : berat badan menurun <10%, minor mucocutaneous manisfestation, e.g.prurigo, fungal nail, oral ulceration, herpes zoster, Infeksi Saluran Nafas Atas berulang Derajat III Gejala : bergejela tetapi aktivitas masih normal, berat badan menu run >10%, kronik diare tidak jelas penyebabnya >1 bulan, oral candidiasis, oral hair leukopenia, pulmonary TB, infeksi bakteri berat: pneumonia, pyomyositis. Derajat IV Gejala : berkembang penyakit-penyakit seperti penyakit saraf, infeksi oportunistik, keganasan/neoplasma: lymphoma dan Kaposi’s sarcoma, HIV encephalopathy, extrapulmonary TB. 2.1.3. Struktur HIV Partikel virus HIV-1 yang berdiameter sepesepuluhribu mm (0.1µm) diselubungi oleh dwilapis fosfolipid seperti halnya membran sel pada umumnya. Kond isi ini memberikan kemudahan terjadinya fusi antara kedua membran. Selubung virus tersebut dilengkapi dengan tonjolan-tonjolan protein pada seluruh permukaan seperti jeruji. Pada setiap ujung luar dilengkapi dengan struktur berbentuk bulat telur seperti to mbol pintu dengan sebuah cekungan. Bagian protein yang menembus selubung virus sampai ke bagian dalam berbentuk batang. Seluruh bangunan protein tersebut disebut gp160, karena berat molekulnya 160, dan bagian yang berbentuk bulat telur disebut gp120 yang melanjutkan struktur seperti batang dalam selubung menjadi gp41. Di sebelah dalam selubung luar virus dilengkapi dengan selubung protein (kapsid). Di bagian tengah virus terdapat “inti” yang terdiri atas substansi genetik berbentuk dua untaian RNA dengan enzim reverse transcriptase (Subowo, 2010). Universitas Sumatera Utara Gambar 2.1. Struktur HIV Sumber: Castillo, 2005 2.1.4. Patofisiologi HIV Sel limfosit CD4 + merupakan target utama pada infeksi HIV. Sel ini berfungsi sentral dalam sistem imun. Pada mulanya sistem imun dapat mengendalikan infeksi HIV, namun dengan perjalanan dari waktu ke waktu HIV akan menimbulkan penurunan jumlah sel limfosit CD4 +, terganggunya homeostasis dan fungsi sel -sel lainnya dalam sistem imun tersebut. Keadaan ini akan menimbulkan berbagai gejala pen yakit dengan spektrum yang luas. Gejala penyakit tersebut terutama merupakan akibat terganggunya fungsi imunitas seluler, disamping imunitas humoral karena gangguan sel T helper (Th) untuk mengaktivasi sel limfosit B. HIV menimbulkan penyakit melalui beber apa mekanisme, antara lain: terjadinya defisiensi imun yang menimbulkan infeksi Universitas Sumatera Utara oportunistik, terjadinya reaksi autoimun, reaksi hipersensitivitas dan kecenderungan terjadinya malignansi atau keganasan pada stadium lanjut. Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama, yaitu transmisi melalui mukosa genital, transmisi langsung ke peredaran darah melalui jarum suntik, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. Untuk bisa menginfeksi sel, HIV memerlukan reseptor dan reseptor utama untuk HIV adalah mo lekul CD4 + pada permukaan sel pejamu. Namun reseptor CD4 + saja ternyata tidak cukup. Ada beberapa sel yang tidak mempunyai reseptor CD4 +, tapi dapat diinfeksi oleh HIV yaitu Fc reseptor untuk virion yang diliputi antibodi, dan molekul CD26 yang diperkiraka n merupakan koreseptor untuk terjadinya fusi sel dan masuknya virus kedalam sel. Di samping itu telah ditemukan juga koreseptor kemokin yang mempunyai peranan sangat penting dalam proses masuknya HIV ke dalam sel yaitu CCR5 dan CXCR4 (Nasronudin, 2007). Gambar 2.2. Patofisiologi HIV Sumber: Castillo, 2005 Universitas Sumatera Utara 2.1.5. Daur hidup HIV Menurut Subowo pada tahun 2010, daur hidup HIV -1 dapat dibedakan dalam 4 tahap : 1. Tahap masuknya virus dalam sel. 2. Tahap transkripsi mundur dan integrasi genom. 3. Tahap replikasi (memperbanyak diri di dalam sel inang). 4. Tahap perakitan dan pendewasaan virus. 2.1.6. Faktor Risiko HIV Menurut WHO pada tahun 2011, ada beberapa per ilaku hidup yang menghasilkan risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya infeksi HIV, antara lain : 1. Hubungan seksual tanpa pelindung secara vaginal maupun anal. 2. Infeksi menular seksual lain seperti syphilis, herpes, chlamydia, gonorrhoea, dan vaginosis bakterial. 3. Menggunakan jarum bekas dan peralatan medis lain yang mengandung HIV. 4. Menerima injeksi yang tidak ama n, transfusi darah, prosedur medis yang tidak steril. 5. Tertusuk jarum suntik secara tidak sengaja pada tenaga medis. 2.1.7. Cara Penularan HIV Awal infeksi biasanya terjadi dengan cara paparan cairan tubuh yang berasal dari orang yang terinfeksi HIV. Virus HIV ditemukan sebagai partikel virus yang bebas dan terdapat dalam sel yang terinfeksi, dalam semen, cairan vagina dan air susu ibu (ASI). Jalan penularan yang paling diketahui di seluruh dunia adalah melalui persetubuhan. Penggunaan jarum suntik bekas ya ng tercemar oleh HIV pada orang orang yang menggunakan obat -obatan intravena, dan penggunaan darah atau produknya untuk tujuan pengobatan, juga merupakan cara infeksi yang biasa terjadi. Rute lain yang penting dalam penularan HIV yaitu berasal dari ibu yan g terinfeksi HIV kepada anaknya. Ibu-ibu tersebut dapat menularkan HIV kepada anaknya ketika mereka Universitas Sumatera Utara melahirkan atau melalui pemberian ASI (Subowo, 2010). HIV juga dapat menular pada janin melalui ari-ari (plasenta) (Depkes, 2008). HIV tidak dapat menular melalui kegiatan seperti gigitan serangga, bersalaman, bersentuhan, berpelukan bahkan beciuman, menggunakan peralatan makan bersama, menggunakan jamban bersama, bahkan tinggal serumah dengan orang yang terpapar HIV (Depkes, 2008). Berbagai kegiatan yang dapat mengakibatkan penularan HIV antara lain : 1. Berhubungan seks baik secara anal maupun vaginal tanpa menggunakan pengaman dengan pasangan terinfeksi HIV. 2. Transmisi ibu terinfeksi HIV ke anak pada masa kehamilan, melahirkan dan menyusui. 3. Transmisi melalui transfusi darah yang terinfeksi HIV. 4. Penggunaan jarum suntik secara bersama -sama, tattooing, peralatan skin piercing, dan peralatan-peralatan operasi (WHO, 2011). Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2010), cara penularan terbanyak adalah melalui hubungan heteroseksual (51.3%), Injection Drug User atau pengguna Narkoba suntik/Penasun (39.6%), Lelaki Seks Lelaki (3.1%), dan perinatal atau dari ibu pengidap kepada bayinya (2.6%). 2.1.8. Imunopatogenesis Penyakit AIDS Menurut Subowo (2010), mekanisme merosotnya jumlah sel -sel CD4+ misalnya dapat disebabkan karena : 1. HIV dapat menyerang, membunuh ataupun melumpuhkan sel -sel CD4 + yang sangat dibutuhkan untuk pemekaran cadangan limfoid CD4 +. Universitas Sumatera Utara 2. Merosotnya jumlah sel-sel CD4+ dapat pula disebabkan oleh adanya sekresi substansi toksik terhadap sel TCD4 +, yang diinduksi oleh HIV terhadap sel CD4+ tertentu. 3. Telah dibuktikan pula bahwa pro tein selubung virus (gp120) yang berada pada permukaan sel inang yang telah diinfeksi HIV akan berikatan dengan molekul CD4+ pada sel-sel tubuh yang tidak diinfeksi. Reaksi antara 2 molekul tersebut akan mengakibatkan berfusinya membran sel inang yang tidak terinfeksi sehingga terbentuklah sinsitium atau sel datia multinuclear yang mengandung HIV. Terbentuknya sel datia tersebu t diikuti oleh sitolisis yang mengakibatkan kematian sel dalam waktu yang sangat pendek. 4. Fenomena autoimunitas dengan maksud melenyapkan sel -sel CD4 + yang mengikat molekul gp120 bebas. 2.1.9. Penatalaksanaan HIV/AIDS Tujuan pengobatan penderita dengan pen yakit defisiensi imun umumnya adalah untuk mengurangi kejadian dan dampak infeksi seperti menjauhi subyek dengn penyakit menular, memantau penderita terhadap infeksi, menggunakan antibiotik/antiviral yang benar, imunisasi aktif atau pasif bila memungkinkan dan memperbaiki komponen sistem imun yang detektif dengan transfer pasif atau transplantasi (Baratawidjaja, 2009). Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam pengembangan obat efektif. Siklus virus HIV menunjukkan beberapa titik rentan yang diduga d apat dicegah obat antiviral. Ada 2 jenis obat antivirus yang digunakan untuk mengobati infeksi HIV dan AIDS. Analog nukleotide mencegah aktivitas reverse transcriptase seperti timidine-AZT, dideoksinosin dan dideoksisitidin yang dapat mengurangi kadar RNA HIV dalam plasma. Biasanya obat-obat tersebut tidak berhasil menghentikan progres penyakit oleh karena timbulnya bentuk mutasi reverse transcriptase yang resisten terhadap obat. Inhibitor protease virus sekarang digunakan untuk mencegah protein prekursor m enjadi kapsid virus matan dan protein core (Baratawidjaja, 2009). Universitas Sumatera Utara 2.2. CD4⁺ 2.2.1. Definisi CD4⁺ CD4⁺ adalah bagian dari populasi limfosit T yang disebut sebagai sel T helper (penolong). CD4⁺ dalam sistem imun ditulis dengan penanda permukaan CD4⁺. Fungsi utama CD4⁺ dalam imun, meregulasi sistem imun agar bekerja dengan baik. Prosesnya dengan merangsang sistem imun nonspesifik berupa fagosit untuk khemotaksis dan proses fagositosis benda asing, untuk sistem imun spesifik humoral : merangsang sel B (Limfosit B) menghasilkan antibodi dan mengatur produksi antibodi (Ripani, 2010). Ketika HIV masuk ke tubuh, maka virus mencari sel CD4 + dan mulai menggandakan dirinya (replikasi virus). CD4 + merupakan target utama HIV untuk menghancurkan sistem imun tubu h. Apabila telah bereplikasi virus dan meninggalkan CD4+ yang telah mati, maka partikel virus baru akan mencari dan menginfeksi CD4 + baru, sehingga dengan demikian maka akan semakin rendah jumlah CD4 + dalam tubuh. Setelah melewati beberapa waktu, banyak se l-sel CD4 + dihancurkan sehingga sistem kekebalan tidak lagi dapat melindungi tubuh dari infeksi dan penyakit yang lain. Oleh sebab itu pemantauan CD4 + pada seseorang yang terinfeksi HIV sangatlah penting untuk melihat perjalanan penyakit beserta prognosisn ya (Ripani, 2010). Sel limfosit CD4⁺ merupakan target utama pada infeksi HIV. Sel ini berfungsi sentral dalam sistem imun. Pada mulanya sistem imun dapat mengendalikan infeksi HIV, namun dengan perjalanan dari waktu ke waktu, HIV akan menimbulkan penurunan jumlah sel limfosit CD4⁺. Berkurangnya sel-sel TCD4⁺ yang secara nyata terjadi di jaringan usus selama infeksi primer, dan kemudian bergerak lambat dalam jangka bertahun -tahun dalam bentuk laten menuju kerusakan dari sistem imun, sehingga penderita cenderung terserang oleh infeksi patogen oportunistik . Kebanyakan pasien terlambat datang untuk berobat, yang menyebabkan CD4 ⁺ sudah sangat menurun sehingga rentan terkena infeksi oportunistik, salah satunya adalah Tuberkulosis, ketika mereka menderita penyakit AIDS (Subowo, 2010). Universitas Sumatera Utara 2.3. Tuberkulosis (TB) 2.3.1. Definisi Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit menular, disebabkan oleh bakteri yang nama ilmiahnya adalah Mycobacterium tuberculosis . Mycobacterium tuberculosis pertama kali diisolasi pada tahun 1882 oleh seorang dokter Jerman bernama Robert Koch yang menerima hadiah Nobel untuk penemuan ini. TB paling sering mempengaruhi paru -paru, tetapi juga dapat melibatkan hampir semua organ tubuh (George, 2010). Tuberkulosis merupakan salah satu infeksi oportunistik tersering pada orang yang menderita HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia. Infeksi HIV memudahkan terjadinya infeksi Mycobacterium tuberculosis. Penderita HIV mempunyai risiko lebih besar menderita TB dibandingkan non -HIV. Risiko ODHA untuk menderita TB adalah 10% per tahun, sedangkan pada non -ODHA risiko menderita TB hanya 10% seumur hidup. Di Amerika Serikat dilaporkan angka kejadi an TB dengan infeksi menurun, 4. 4 kasus baru per 100.000 populasi (total 13.299 kasus) pada tahun 2007. Di RSU Dr. Soetomo, dilaporkan sebanyak 25-83%. Sementara laporan Ra viglione, dkk menyebutkan bahwa TB merupakan penyebab kematian tersering pada ODHA. Dimana World Health Organization (WHO) memperkirakan TB sebagai penyebab kematian 13% dari penderita AIDS (Dian, 2009). 2.3.2. Diagnosis TB Menurut Oxford Immunotec (2000), diagnosis TB dibagi atas : 1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik 2. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat) 3. Foto toraks PA dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjang diagnosis TB, yaitu: Bayangan lesi terletak di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus bawah. Bayangan berawan (patchy) atau bercak (nodular). Universitas Sumatera Utara Adanya kavitas, tunggal atau ganda. Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru. Adanya kalsifikasi. Bayangan menetap pada foto ulang beb erapa minggu kemudian. Bayangan milier. 4. Pemeriksaan sputum BTA Pemeriksaan sputum BTA memastikan diagnosis TB Paru, namun pemeriksaan ini tidak sensitif karena hanya 30 -70% pasien TB yang dapat didiagnosis berdasarkan pemeriksaan ini. 5. Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase) Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen imunoperoksidase staining untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB. 6. Tes Mantoux/Tuberkulin 7. Teknik Polymerase Chain Reaction Deteksi DNA kuman secara spesifik mel alui amplifikasi dalam berbagai tahap sehingga dapat mendeteksi meskipun hanya ada 1 mikroorganisme dalam specimen. Juga dapat mendeteksi adanya resistensi. 8. Becton Dickinson Diagnostic Instrument System (BACTEC) Deteksi growth index berdasarkan CO 2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak oleh M. Tuberculosis. 9. Enzyme Linked Immunosorbent Assay Deteksi respon humoral, berupa proses antigen -antibodi yang terjadi. Pelaksanaannya rumit dan antibodi dapat menetap dalam waktu lama sehingga menimbulkan masalah. 10. MYCODOT Deteksi antibodi memakai antigen lipoarabinomannan yang direkatkan pada suatu alat berbentuk seperti sisir plastik, kemudian dicelupkan dalam serum pasien. Bila terdapat antibodi spesifik dalam jumlah memadai makan warna sisir akan berubah. Universitas Sumatera Utara 2.3.3. Faktor Risiko TB Beberapa faktor risiko infeksi tentu saja termasuk riwayat kontak pasien dengan TB menular, misalnya dalam pengaturan rumah tangga, penjara dan pekerjaan tertentu, seperti kerja di rumah sakit. Perkembangan penyakit dapat difasilitasi oleh co-morbiditas, seperti HIV / AIDS, diabetes atau silikosis, serta kekurangan gizi dan merokok. Selain itu, hasil yang merugikan secara langsung atau secara tidak langsung berhubungan dengan alkoholisme dan penggunaan obat intravena serta kemiskinan (WHO, 2005). 2.3.4. Bagaimana pasien HIV bisa terinfeksi Tuberkulosis Mycobacterium tuberculosis , organisme penyebab Tuberkulosis menyebar hampir secara eksklusif melalui jalur pernafasan. Orang dengan TB paru aktif menularkannya melalui batuk atau bersin. Ketika seorang individu rentan menghirup partikel berukur <10 mikron, ia akan mencapai alveoli (kantung udara kecil) di paru paru, dan menetapkan infeksi TB. Dengan sistem kekebalan yang kuat, pasien tidak akan mengembangkan penyakit TB. Orang dengan infeksi TB laten adalah asimtomatik dan tidak menyebarkan TB ke orang lain. Satu -satunya bukti bahwa mereka telah memiliki infeksi TB adalah hasil tes ku lit tuberkulin positif. Karena depresi sistem imunitas pada pasien dengan penyakit HIV, sistem kekebalan tubuh tidak dapat melawan organisme yang menyerang tubuh. Multiplikasi yang cepat terjadi pada pelbagai lokasi organ secara bersamaan. Pasien dengan pe nyakit HIV mungkin tidak dapat membatasi multiplikasi Mycobacterium tuberculosis dan dengan demikian orang yang terinfeksi HIV mungkin memiliki kerusakan multiorgan (Verma, 2008). Secara klinis, Tuberkulosis dapat terjadi melalui infeksi primer dan pasca primer. Infeksi primer terjadi saat seseorang terkena kuman Tuberkulosis untuk pertama kalinya. Setelah terjadi infeksi melalui saluran pernafasan, di dalam alveoli (gelembung paru) terjadi peradangan. Hal in i disebabkan oleh kuman Tuberkulosis yang berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru. Waktu terjadinya infeksi hingga pembentukan komplek primer adalah sekitar 4 -6 minggu. Kelanjutan infeksi primer tergantung dari Universitas Sumatera Utara banyaknya kuman yang masuk dan re spon daya tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan kuman TB dengan cara menyelubungi kuman dengan jaringan pengikat. Ada beberapa kuman yang menetap sebagai “persister” atau “ dormant”, sehingga daya tahan tubuh tidak dapat menghentikan perkembangbiakan kuman, akibatnya yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis dalam beberapa bulan. Pada infeksi primer ini biasanya menjadi abses (terselubung) dan berlangsung tanpa gejala, hanya batuk dan nafas berbunyi. Tetapi pada orang -orang dengan sistem imun lemah dapat timbul radang paru hebat, ciri -cirinya batuk kronik dan bersifat sangat menular (Verma, 2008). 2.3.5. Gejala Klinis Tuberkulosis Paru Menurut Wikipedia (2013), gejala utama pasien Tuberkulosis paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik dan demam meriang lebih dari satu bulan. Menginga t prevalensi Tuberkulosis di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien Tuberkulosis dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. 2.3.6. Klasifikasi Tuberkulosis Klasifikasi diagnosis TB (Oxford Immunotec, 2000) adalah: 1. TB paru a. BTA mikroskopis langsung (+) atau biakan (+), kelainan foto toraks menyokong TB, dan gejala klinis sesuai TB. b. BTA mikroskopis langsung atau biakan ( -), tetapi kelainan rontgen dan klinis sesuai TB dan memberikan perbaikan pada pengobatan awal anti TB (initial therapy). 2. TB paru tersangka Universitas Sumatera Utara Diagnosis pada tahap ini bersifat sementara sampai hasil pemeriksaan BTA didapat (paling lambat 3 bulan). Pasien dengan BTA mikroskopis langsung (-) atau belum ada hasil pemeriksaan atau pemeriksaan belum lengkap, tetapi kelainan rontgen dan klinis sesuai TB paru. Pengobatan dengan anti TB sudah dapat dimulai. 3. Bekas TB (tidak sakit) Ada riwayat TB pada pasien di masa lalu dengan atau tanpa pengobatan atau gambaran rontgen normal atau abnormal tetapi stabil pada foto serial dan sputum BTA (-). Kelompok ini tidak perlu diobati. 2.3.7. Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru Menurut Jawetz et al., (2002) penatalaksanaan TB adalah dengan memberikan Obat anti TB (OAT). OAT harus diberikan dalam kombinasi sedikitnya dua obat yang bersifat bakterisid dengan atau tanpa obat ketiga. Tujuan pemberian OAT, antara lain: Membuat konversi sputum BTA positif menjadi negatif secepat mungkin melalui kegiatan bakterisid. Mencegah kekambuhan dalam tahun pertama setelah pengobatan dengan kegiatan sterilisasi. Menghilangkan atau mengurangi gejala dan lesi melalui perbaikan daya tahan imunologis. Maka pengobatan TB dilakukan melalui 2 fase, yaitu: a. Fase awal intensif, dengan kegiatan bakterisid untuk memusnahkan populasi kuman yang membelah dengan cepat. b. Fase lanjutan, melalui kegiatan sterilisasi kuman pada pengobatan jangka pendek atau kegiatan bakteriostatik pada pengobatan konvensional. Universitas Sumatera Utara OAT yang biasa digunakan antara lain isoniazid (INH), rifampisin (R), pirazinamid (Z), dan streptomisin (S) yang bersifat bakterisid dan etambutol (E) yang bersifat bakteriostatik. Universitas Sumatera Utara