BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Hubungan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Hubungan Internal Audit dan Good Corporate Governance (GCG)
Peranan internal audit dalam good corporate governance (GCG) yang
dikeluarkan oleh KPMG dalam Purwaningsih (2008) berjudul Internal Audit’s
Role in Corporate Governance disebutkan bahwa peranan kunci internal audit
adalah membantu Dewan Pengawas / Komite Audit dalam peranan internal
memastikan adanya pengawasan yang memadai atas internal control dan dengan
melakukan hal tersebut akan membentuk komponen yang integral dalam kerangka
kerja corporate governance perusahaan. Dalam hal ini, internal audit membantu
dewan pengawas dan atau komite audit dalam pemenuhan tanggung jawab atas
tata kelola perusahaan yang baik.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perwujudan good corporate
governance (GCG) membutuhkan peran pihak intern perusahaan, salah satunya
yaitu peran internal audit. Internal auditor merupakan dukungan penting bagi
komisaris, komite audit, direksi dan manajemen senior dalam membentuk fondasi
bagi pengembangan good corporate governance (GCG)”
2.1.2. Standar Audit Intern
Dalam melakukan audit ada standar-standar yang harus dipatuhi oleh
setiap personil auditor termasuk auditor internal, dalam menjalankan tugasnya ada
aturan dan etika yang harus dijalankan dan tidak boleh diabaikan serta menjadi
pedoman bagi auditor sebagai tanggung jawab profesionalnya. Standar-standar
ini meliputi pertimbangan mengenai kualitas profesional mereka, seperti keahlian
dan independensi, persyaratan pelaporan dan bahan bukti.
Universitas Sumatera Utara
Pemeriksa intern memerlukan pedoman atau standar dalam menjalankan
fungsinya. Institute of Internal Auditors (IIA) telah menetapkan standar praktek
bagi pemeriksa intern yang mengikat para anggotanya. Standar itu menetapkan
ukuran bagi operasi suatu audit intern yang memberi pengukuran konsisten
tentang kinerja audit (Sawyer, 1991:39). Kriteria yang ditetapkan dalam standar
itu dapat diterapkan pada semua perusahaan dan bagian audit intern merupakan
kekuatan yang dapat menyatukan pemeriksa intern seluruh dunia; mendorong
peningkatan praktek audit intern; mengenal segala sesuatu yang berkenaan dengan
peran baru, objektivitas, ruang lingkup dan kinerja audit intern; dan
mempromosikan pengakuan terhadap audit intern sebagai suatu profesi.
Kerangka lengkap standar audit intern adalah sebagai berikut : (Miller,
critied by Kell and Boynton, 1992:810) dalam Nasution (2008) dapat dilihat pada
tabel 2.1 sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Kerangka Lengkap Standar Audit Intern
NAMA DOKUMEN
Statement of
Responsibilities of
Internal Auditing Code of
Ethnic
Standards for the
Professional Practice of
Internal Auditing
(Standards)
General Standards
PENGESAH
KETERANGAN
IIA Board of Directors
Membicarakan Peran dan tanggung
jawab audit intern
IIA Board of Directors
Menetapkan
standar
perilaku
professional untuk anggota IIA
dan/atau pemeriksa intern berijazah
IIA Board of Directors
Menetapkan 5 standar umum audit
intern yang harus diikuti untuk
memenuhi standar itu
Menetapkan 25 standar khusus yang
harus diikuti untuk memenuhi standar
umum
Menetapkan pedoman yang paling
berterima umum untuk memenuhi
standar umum dan standar khusus.
Memberi interpretasi tentang standar
umum, standar khusus dan pedoman
yang telah ditetapkan.
Sebagai
tambahan SIAS digunakan untuk
manambah atau merubah pedoman
yang ada
Menentukan kebijakan dan prosedur
lembaga IIA menyusul pengelolaan
standar professional
Membicarakan permasalahan yang
dihasilkan dari aplikasi pernyataan
standar IIA PSB bukan merupakan
pernyataan resmi dari IIA.
Untuk
pedoman resmi, pemeriksa intern harus
merujuk pada standar IIA tersebut
diatas.
Spesific Standards
Proffesional standards
committee (PSC)
Guidelines
PSC
Statement in Internal
Auditing Standards
(SIAS)
PSC
Practice Directives (PD)
PSC
Proffesional standards
Bulletins (PSB)
PSC Chairpersons
Di Indonesia, standar audit intern belum ditetapkan secara resmi yang
berlaku bagi seluruh perusahaan. Kalaupun ada, yaitu acuan yang dikeluarkan
oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berupa standar audit
SPI BUMN/D yang meliputi standar umum, standar audit, standar pelaporan dan
standar tindak lanjut. (Forum Komunikasi Satuan Pengawasan Intern (FK-SPI)
BUMN/D, 1996:57).
Sepertinya
Standar Audit SPI BUMN/D tersebut
mengadaptasi Standards for professional practice of internal Auditing yang di
keluarkan oleh institute of internal Auditors (IIA).
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Tanggung Jawab dan Peranan Auditor Internal
Menurut Sawyer et al. (2006:6-8) menyatakan tanggung jawab auditor
internal adalah memberikan informasi yang diperlukan manajemen dalam
menjalankan tanggung jawab mereka secara efektif. Audit internal bertindak
sebagai penilai independen untuk menelaah operasional perusahaan dengan
mengukur dan mengevaluasi kecukupan kontrol serta efisiensi dan efektivitas
kinerja perusahaan. Auditor internal memiliki peranan yang penting dalam semua
hal yang berkaitan dengan pengelolaan perusahaan dan risiko-risiko terkait
menjalankan usaha.
Audit internal di seluruh dunia melakukan pekerjaan yang sama yaitu
sangat memperhatikan pemborosan dan kecurangan, dari manapun sumbernya dan
sekecil apapun jumlahnya karena penyimpangan kecil bisa menjadi besar
sehingga dapat menggoyahkan pilar-pilar perusahaan.
Auditor internal memiliki tanggung jawab untuk merencanakan dan
melaksanakan audit agar memperoleh keyakinan memadai bahwa manajemen
menjalankan operasional perusahan dengan baik dan memenuhi kriteria yang
telah ditetapkan dan mendeteksi penipuan atau kecurangan dan memelihara
pengendalian intern.
Sistem pengendalian internal terdiri atas kebijakan dan
prosedur yang dirancang untuk memberikan manajemen kepastian yang layak
bahwa perusahaan telah mencapai tujuan dan sasarannya.
Kebijakan dan prosedur ini sering disebut pengendalian dan secara kolektif
membentuk pengendalian internal. Biasanya manajemen memiliki tiga tujuan
umum dalam merancang sistem pengendalian internal yang efektif:
1. Reliabilitas pelaporan keuangan.
Manajemen bertanggung jawab untuk
menyiapkan laporan keuangan bagi para investor, kreditor dan pemakai
lainnya. Manajemen memikul tanggung jawab hukum maupun profesional
Universitas Sumatera Utara
untuk memastikan bahwa informasi telah disajikan secara wajar sesuai dengan
persyaratan pelaporan seperti prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Tujuan pengendalian internal yang efektif atas pelaporan keuangan adalah
memenuhi tanggung jawab pelaporan keuangan tersebut.
2. Efisiensi dan efektivitas operasi.
Pengendalian dalam perusahaan akan
mendorong pemakaian sumber daya secara efisien dan efektif untuk
mengoptimalkan sasaran-sasaran perusahaan.
Tujuan yang penting dari
pengendalian ini adalah memperoleh informasi keuangan dan non keuangan
yang akurat tentang operasi perusahaan untuk keperluan pengambilan
keputusan.
3. Ketaatan pada hukum dan peraturan.
Section 404 mengharuskan semua
perusahaan publik mengeluarkan laporan tentang keefektifan pelaksanaan
pengendalian internal perusahaan atas pelaporan keuangan.
2.1.4. Peran dan Tujuan Pengawasan Internal
Peran pengawasan internal sangat strategis, paradigma baru peran
pengawasan internal adalah dalam rangka menciptakan nilai tambah bagi
perusahaan dengan fungsi pengawasan atas risiko perusahaan.
Pengawasan
internal sebagai suatu aktivitas penilaian independen yang dibentuk dalam suatu
organisasi yang melaksanakan kegiatannya bagi organisasi.
Lebih lanjut lagi bahwa tujuan pengawasan internal menurut (Gil,
1996:16) adalah untuk membantu para anggota organisasi agar dapat
menyelesaikan tanggung jawabnya secara efektif, untuk tujuan tersebut
pengawasan internal menyediakan bagi mereka berbagai analisis, penilaian,
rekomendasi, nasihat dan informasi sehubungan dengan aktivitas yang diperiksa.
Untuk tujuan tersebut ruang lingkup pengawasan internal yaitu:
1. Cukup tidaknya pengendalian internal;
Universitas Sumatera Utara
2. Kualitas pelaksanaan dalam menjalankan tanggungjawab yang diberikan;
3. Reliabilitas dan integritas informasi keuangan dan operasional yaitu : untuk
membantu para anggota organisasi agar dapat menyelesaikan tanggung
jawabnya secara efektif, untuk tujuan tersebut pengawasan internal
menyediakan bagi mereka berbagai analisis, penilaian, rekomendasi, nasihat
dan informasi sehubungan dengan aktivitas yang diperiksa;
4. Kesesuaian dengan kebijakan, rencana, prosedur, hukum dan pengaturan;
5. Verifikasi dan perlindungan harta;
6. Keekonomian dan efisiensi dalam penggunaan berbagai sumber daya.
Hal-hal yang dilakukan dalam pengawasan internal dapat dirangkum
dalam tiga kata kunci yaitu:
1. Memastikan (menentukan, memverifikasi)
2. Menilai (mengevaluasi, menaksir) dan
3. Merekomendasi (memberi saran).
Adapun audit internal, sebagaimana yang dinyatakan Dewan Direksi IIA
dalam Sawyer et al. (2006:9) menyebutkan audit internal adalah sebuah aktivitas
independen, keyakinan objektif dan konsultasi yang dirancang untuk memberi
nilai tambah dan meningkatkan operasi organisasi. Audit tersebut membantu
organisasi mencapai tujuannya dengan menerapkan pendekatan yang sistematis
dan berdisiplin untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas proses
pengelolaan risiko, kecukupan kontrol dan pengelolaan organisasi.
Uraian di atas bermakna bahwa tujuan audit intern adalah untuk membantu
anggota organisasi dalam melaksanakan tanggung jawab yang dibebankan kepada
mereka agar efektif.
Bantuan tersebut diwujudkan dalam bentuk analisis,
penilaian, rekomendasi, konseling dan informasi yang berhubungan dengan
kegiatan yang diperiksa.
Universitas Sumatera Utara
2.1.5. Jenis – Jenis Audit Intern
Sebagian pendapat mengatakan bahwa audit operasional identik dengan
audit manajemen dan beranggapan bahwa audit intern yang berada di luar lingkup
bidang audit keuangan disebut dengan audit operasional. Sementara pendapat
lain mengatakan bahwa tidak semua audit yang berada diluar audit keuangan
merupakan audit operasional dan ada bagian tertentu yang bukan audit
operasional tapi adalah audit manajemen.
Audit intern dibagi atas audit
keuangan, audit operasional dan audit manajemen.
Perbedaan audit operasional dengan audit manajemen berbeda dalam hal
luas auditnya.
Audit manajemen sebenarnya merupakan perluasan dari audit
operasional, sehingga meskipun teknik audit yang dipergunakan keduanya adalah
sama, namun penilaian lebih banyak dilakukan dalam audit manajemen
dibandingkan dengan audit operasional. Jadi perbedaannya yaitu bahwa audit
operasional itu penilaian yang dilakukan untuk manajemen (evaluation for
management), sedangkan audit manajemen itu penilaian terhadap kegiatan
manajemen (evaluation of management).
Penulis lain yang juga memberi konstribusi tentang jenis audit intern
tersaji berikut ini. Cook dan Winkle (1976:262) menyebutkan ada dua jenis audit
intern, yaitu Internal Financial Auditing dan Internal Operational Auditing. Audit
keuangan intern terutama berhubungan dengan audit dan penilaian kegiatan
akuntansi atau keuangan suatu perusahaan sedangkan audit operasional intern
merupakan pengujian dan penelitian terhadap operasi perusahaan terhadap tujuan
menginformasikan pada manajemen apakah operasi telah terselenggara sesuai
dengan kebijakan yang telah ditetapkan.
Termasuk dalam audit operasional
adalah penilaian terhadap efisiensi penggunaan sumber daya manusia dan fisik
sebagaimana juga penilaian terhadap berbagai prosedur operasi dan harus juga
Universitas Sumatera Utara
termasuk rekomendasi terhadap solusi masalah dan tentang metode meningkatkan
efisiensi dan laba.
Ramadhan (1990:298) dalam Nasution (2008) mengemukakan tidak
sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa audit operasional identik
dengan audit manajemen. Dengan tegas dia mengatakan bahwa audit operasional
berbeda cakupannya dengan audit manajeman.
Audit operasional hannya
penilaian terhadap manajemen tingkat menengah dan bawah (Middle and
Supervisory). Apabila audit tersebut dilakukan terhadap manajemen puncak, maka
hal ini tidak dapat disebut lagi sebagai audit operasional. Oleh karena itu audit
operasional dapat disebut dengan audit manajemen, tetapi seluruh audit
manajemen bukanlah audit operasional.
2.1.6. Posisi Audit Intern dalam Perusahaan
Independensi bagian audit intern harus ditunjukkan dalam struktur formal
organisasi (Woolf, 1973:21) dalam Nasution (2008). Status organisasi adalah
tingkat dalam hirarki organisasi tempat bagian audit intern itu berada. Bagian
audit intern hendaklah dapat memperoleh cakupan daerah audit yang luas, dapat
mengeluarkan informasi yang memadai, tindakan yang efektif atas temuan audit
serta rekomendasi audit.
Dengan kata lain pimpinan bagian audit intern
hendaklah bertanggung jawab pada pejabat yang memiliki pengaruh dan posisi
yang cukup kuat sehingga kegiatan audit intern dapat mencapai ruang lingkup
yang luas dan pertimbangan, tindakan maupun rekomendasi hasil audit dapat
dilakukan dengan baik.
Status organisasi dan dukungan manajemen merupakan faktor penentu atas
penilaian jasa yang diberikan oleh bagian audit intern. Idealnya, makin tinggi
pada siapa pemeriksa intern harus bertanggung jawab maka akan semakin baik,
namun ini tidak seluruhnya benar tergantung dari macam dan kegiatan itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Ada yang bertanggung jawab pada dewan komisaris, presiden direktur (direktur
utama) atau kontroller dan sebagainya.
Menurut PPA-STAN (1984:1) ada pendapat bahwa keadaan paling baik
adalah organisasi internal auditor bertanggung jawab pada direktur utama.
Walaupun ini juga mempunyai kelemahan, minimal hendaknya organisasi
pemeriksa intern bertanggung jawab atau melaporkan pekerjaannya kepada
pejabat yang berdasarkan wewenangnya dapat segera memerintahkan perbaikan
secara tepat atau mengambil langkah-langkah berdasarkan pendapat atau saran
pemeriksa intern.
Apabila dihubungkan dengan perkembangan konsep audit intern, pada
awalnya kedudukan pemeriksa intern adalah sebagai staf direktur keuangan.
Kemudian berkembang menjadi staf presiden direktur atau direktur utama, namun
akhir-akhir ini pemeriksa intern juga berperan sebagai staf dewan komisaris.
Hartono (1979:264) dalam Nasution (2008) menyebutkan secara garis
besarnya pemeriksa intern bertanggung jawab pada salah satu dari tiga
fungsionaris dibawah ini:
1.
Langsung bertanggung jawab pada dewan komisaris. Hal ini banyak
dilakukan dalam perusahaan perusahaan bank dan asuransi. Dalam
perusahaan ini internal auditor merupakan penjaga bagi dewan komisaris.
Secara teoritis maka seluruh organisasi termasuk direktur utama dapat
diteliti oleh internal auditor. Namun seperti yang dikatakan diatas, cara ini
terbatas pada perusahaan perusahaan bank dan asuransi.
2.
Bertanggung jawab pada direktur utama.
Cara ini agak jarang dipakai
mengingat bahwa direkur utama dengan tugas tugasnya yang berat biasanya
tidak mempunyai waktu untuk mempelajari laporan internal auditor dan
Universitas Sumatera Utara
kemudian melakukan tindakan koreksi berdasarkan laporan tersebut. (lihat
gambar 2.1)
DIRUT
SPI
SUBBAG
TU
BID WAS
BID WAS
BID WAS
BID WAS
OPERASI
BANG & IT
KEUANGANI
SDM&UMUM
PENGAWAS
PENGAWAS
PENGAWAS
PENGAWAS
BID WAS
DIVRE
PENGAWAS
Sumber : KD No.: Kep-225/DS200/08/2004
Keterangan :
______________ = tanggung jawab primer
Gambar 2.1. Struktur organisasi perusahaan dengan bagian satuan
pengawasan intern memiliki tanggung jawab primer kepada
direktur utama.
3.
Yang paling sering dilaksanakan adalah bahwa internal auditor bertanggung
jawab pada fungsionaris keuangan tertinggi. Fungsionaris tersebut mungkin
berfungsi sebagai direktur bidang keuangan, bendahara ataupun kontroler
yang penting adalah bahwa fungsionaris tersebut adalah yang bertanggung
jawab atas kordinasi pada persoalan persoalan keuangan dan akuntansi.
Universitas Sumatera Utara
Masing-masing alternatif diatas tentunya berpengaruh terhadap fungsi
audit intern, hal ini disebabkan karena antara manajemen dan dewan komisaris
memiliki kepentingan yang berbeda dengan kedudukan masing-masing di dalam
perusahaan. Apabila bagian audit intern berada sepenuhnya dibawah wewenang
manajemen tentu saja fungsi audit intern akan diarahkan sesuai dengan
kepentingan manajemen semata. Begitu pula sebaliknya, andai kata bagian audit
intern sepenuhnya berada dibawah wewenang dewan komisaris.
Mengingat
kondisi tersebut, mungkin alternatif yang baik adalah alternatif yang terakhir.
Pemilihan alternatif terakhir ini mengundang masalah tentang seberapa
jauh tanggung jawab bagian audit intern kepada manajemen dan seberapa jauh
pula kepada dewan komisaris.
Untuk itu terdapat tiga susunan yang dapat
dilaksanakan. Pertama, bagian audit intern memiliki tanggung jawab primer
kepada manajemen dan tanggung jawab sekunder kepada dewan komisaris.
Kedua merupakan kebalikan dari yang pertama yaitu tanggung jawab primer
kepada dewan komisaris dan tanggung jawab skunder kepada manajemen.
Ketiga, tanggung jawab primer diberikan baik kepada manajemen maupun dewan
komisaris.
Masing-masing susunan diatas tentu saja memiliki beberapa keuntungan
dan kelemahannya akan tetapi yang jelas susunan yang dikemukakan terakhir
terlihat kurang realistis, karena disini bagian audit intern bertanggung jawab
secara penuh kepada dua administrator sekaligus. Menurut Brink et al. (1982:28)
menyatakan kecendrungannya untuk menyetujui menempatkan bagian audit
intern berada dibawah wewenang manajemen perusahaan dan memiliki tanggung
jawab sekunder kepada dewan komisaris. Dalam hal ini sebaiknya bagian audit
intern menyampaikan laporannya langsung kepada presiden direktur atau direktur
utama, apabila presdir atau dirut tidak punya cukup waktu untuk meneliti laporan
Universitas Sumatera Utara
tersebut maka dapat disampaikan kepada direktur yang mempunyai hubungan
langsung dengan presdir atau dirut. (lihat gambar 2.2)
Board of
Directors
Chief
Executive
Offi
Senior Vice
President,
Finance
Treasure
(Staff vice president)
Controller
Internal
Audit
Subsidiaries
and Division
Sumber : Brink and Witt (1982)
Keterangan :
______________ = tanggung jawab primer
---------------------- = tanggung jawab sekunder
Gambar 2.2. Struktur organisasi perusahaan dengan bagian audit intern
memiliki tanggung jawab primer kepada manajemen dan
tanggung jawab sekunder kepada dewan komisaris.
2.1.7. Satuan Pengawasan Intern (SPI)
Tujuan, kewenangan dan tanggungjawab dari fungsi pengawasan intern
harus dinyatakan secara formal dalan Charter Audit Internal, konsisten dengan
standar profesi audit internal dan mendapat persetujuan dari pimpinan dan dewan
pengawas perusahaan. Fungsi pengawasan intern harus independen
dan objektif
Universitas Sumatera Utara
yaitu tidak memihak dalam melaksanakan tugasnya yang memungkinkan fungsi
tersebut dapat memenuhi tanggungjawabnya.
Penanggung jawab fungsi
pengawasan harus mengelola fungsinya secara efektif untuk memastikan bahwa
kegiatan tersebut memberikan nilai tambah bagi perusahaan.
Penanggungjawab fungsi pengawasan intern harus menyusun perencanaan
yang berbasis risiko (risk-based plan)
untuk menetapkan prioritas kegiatan
pengawasan intern, konsisten dengan tujuan perusahaan.
Rencana penugasan
harus berdasarkan penilaian risiko yang dilakukan paling sedikit setahun sekali,
rencana penugasan harus mempertimbangkan potensi untuk meningkatkan
pengelolaan risiko, memberikan nilai tambah dan meningkatkan kegiatan
perusahaan. Penanggung jawab fungsi pengawasan harus mengkomunikasikan
rencana kegiatan dan kebutuhan sumber daya kepada pimpinan dan dewan
pengawas
perusahaan
untuk
mendapat
persetujuan
dan
harus
juga
mengkomunikasikan dampak yang mungkin timbul karena adanya keterbatasan
sumber daya. Sumber daya fungsi pengawasan intern harus sesuai, memadai dan
dapat digunakan secara efektif untuk mencapai rencana-rencana yang telah
disetujui.
2.1.7.1. Independensi
Menurut Tugiman (2000) yang dimaksud dengan independensi adalah :
“Auditor internal harus mandiri dan terpisah dari berbagai kegiatan yang
diperiksa.
Auditor internal dianggap mandiri apabila dapat melaksanakan
pekerjaannya secara bebas dan objektif. Kemandirian auditor internal sangat
penting terutama dalam memberikan penilaian yang tidak memihak (netral)”.
Sedangkan pengertian independensi menurut Sukrisno (2009:146) adalah :
“Independensi mencerminkan sikap tidak memihak serta tidak dibawah pengaruh
atau tekanan pihak tertentu dalam mengambil keputusan dan tindakan.”
Universitas Sumatera Utara
Pengertian Independensi menurut Rahayu dkk. (2009:51) dalam Nasution
(2008) adalah sebagai berikut :
“Independensi dalam audit berarti cara pandang yang tidak memihak didalam
pelaksanaan pengujian, evaluasi hasil pemeriksaan dan penyusunan laporan audit.
Sikap mental independen tersebut harus meliputi Independence in fact dan
independence in appearance”.
Independence in fact (independen dalam
kenyataan) akan ada apabila pada kenyataan auditor mampu mempertahankan
sikap yang tidak memihak sepanjang pelaksanaan auditnya. Artinya sebagai suatu
kejujuran yang tidak memihak dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya,
hal ini berarti bahwa dalam mempertimbangkan fakta-fakta yang dipakai sebagai
dasar pemberiaan pendapat, auditor harus objektif dan tidak berprasangka.
Independence in appearance (independen dalam penampilan) adalah hasil
interpretasi pihak lain mengenai independensi ini. Auditor akan dianggap tidak
independen apabila auditor tersebut memiliki hubungan tertentu (misalnya
hubungan keluarga) dengan kliennya yang dapat menimbulkan kecurigaan bahwa
auditor tersebut akan memihak kliennya atau tidak independen.
Mempertahankan perilaku independen bagi auditor dalam memenuhi
tanggung jawab mereka adalah sangat penting, namun yang lebih penting lagi
adalah bahwa pemakai laporan keuangan memiliki kepercayaan atas independensi
itu sendiri. Independensi memiliki penilaian apabila auditor mengamati hasil
audit, sehingga klien dapat menilai apakah auditor tersebut bersifat independen
atau justru sebaliknya terhadap kualitas audit yang diperiksanya.
Menurut Peraturan BPK RI Nomor 01 tahun 2007 tentang standar
Pemeriksaan Keuangan Negara, Lampiran II pada Standar Pemeriksaan
Pernyataan Nomor 01 Standar Umum menyebutkan, independensi dan
Universitas Sumatera Utara
obyektifitas pelaksanaan suatu pemeriksaan dapat dipengaruhi gangguan ekstern,
apabila terdapat :
a. Campur tangan atau pengaruh pihak ekstern yang membatasi atau
mengubah lingkup pemeriksaan secara tidak semestinya.
b. Campur tangan pihak ekstern terhadap pemilihan dan penerapan prosedur
pemeriksaan atau pemilihan sampel pemeriksaan.
c. Pembatasan
waktu
yang
tidak
wajar
untuk
penyelesaian
suatu
pemeriksaan.
d. Campur tangan pihak ekstern mengenai penugasan, penunjukan dan
promosi pemeriksa.
e. Pembatasan terhadap sumber daya yang disediakan bagi organisasi
pemeriksa yang dapat berdampak negatif terhadap kemampuan organisasi
pemeriksa tersebut dalam pelaksanaan pemeriksaan.
f. Wewenang untuk menolak atau mempengaruhi pertimbangan pemeriksa
terhadap isi suatu laporan terhadap hasil pemeriksaan.
g. Ancaman penggantian petugas pemeriksa atas ketidaksetujuan dengan isi
laporan hasil pemeriksaan, simpulan pemeriksa atau penerapan suatu
prinsip akuntansi.
h. Pengaruh yang membahayakan kelangsungan pemeriksa sebagai pegawai,
selain sebab-sebab yang berkaitan dengan kecakapan pemeriksa atau
kebutuhan pemeriksa.
Pemeriksa/auditor yang kompeten adalah pemeriksa yang mempunyai hak
atau kewenangan untuk melakukan audit menurut hukum dan memiliki
keterampilan yang cukup untuk melakukan tugas audit.
Pemeriksa sebagai
institusi mempunyai hak atau kewenangan melakukan audit berdasarkan dasar
hukum pendirian organisasi atau penugasan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam semua hal yang berkaitan dengan pemeriksaan, pemeriksa harus
independen dan para auditornya harus objektif dalam pelaksanaan tugasnya.
Independensi serta objektivitas pemeriksa diperlukan agar kredibel dan hasil
pekerjaannya berkualitas. Posisi pemeriksa ditempatkan secara tepat sehingga
bebas dari intervensi dan memperoleh dukungan yang memadai dari pimpinan
tertinggi organisasi sehingga dapat bekerjasama dengan auditee dan melaksanakan
pekerjaan dengan leluasa (PER/05/M.PAN/03/2008).
Independensi merupakan standar umum nomor dua dari tiga standar auditing
yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang menyatakan bahwa
dalam semua yang berhubungan dengan perikatan, independensi dan sikap mental
harus dipertahankan oleh auditor. Kode etik Pejabat Pengawas Pemerintah
mengatur tentang independensi auditor internal. Kode etik dimaksudkan untuk
memberikan pengertian dan penjabaran mengenai aturan perilaku sebagai pejabat
pengawas pemerintah yang profesional dan sebagai pedoman bagi aparat
pengawas dalam berhubungan dengan lembaga organisasinya, sesama pejabat
pengawas pemerintah, pihak yang diawasi, pihak lain yang terkait dan
masyarakat, agar terpenuhi prinsip-prinsip kerja yang sehat dan terlaksananya
pengendalian pengawasan. Dengan demikian dapat terwujud kinerja yang tinggi
dalam mempertahankan profesionalisme, integritas, objektivitas dan independensi
serta memelihara citra organisasi dan masyarakat. Dalam norma pelaksanaan
pemeriksaan
pejabat
pengawas
pemerintah
diwajibkan
mengungkapkan
permasalahan yang terjadi di daerah secara kronologis, obyektif, cermat dan
independen maksudnya:
1. Pengungkapan permasalahan secara kronologis yaitu menguraikan latar
belakang
permasalahan,
penanggungjawab
kegiatan,
pelaku/pelaksana
kegiatan yang terlibat, permasalahan yang terjadi dan dibuktikan dengan
Universitas Sumatera Utara
fakta/data secara akurat, lengkap dan sah sampai dengan kondisi nyata pada
saat dilakukan pemeriksaan;
2. Pengungkapan permasalahan secara obyektif menempatkan pejabat pengawas
pemerintah untuk bersikap dan bertindak berdasarkan alat bukti yang
ditemukan;
3. Pengungkapan permasalahan secara cermat mengharuskan pejabat pengawas
pemerintah harus selalu waspada menghadapi suatu kondisi, situasi, transaksi,
kegiatan
yang
mengandung
indikasi
penyimpangan,
penyelewengan,
ketidakwajaran, pemborosan atau ketidakhematan dalam penggunaan sumber
daya yang ada; dan
4. Pengungkapan permasalahan secara independen mengharuskan pejabat
pengawas pemerintah dan/atau pejabat yang diawasi untuk mempertahankan
independensinya sehingga tidak memihak kepada suatu kepentingan tertentu.
Independensi menurut Wilcox (1952) merupakan suatu standar auditing
yang penting karena opini akuntan independen bertujuan untuk menambah
kredibilitas laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen.
Jika akuntan
tersebut tidak independen terhadap kliennya, maka opininya tidak akan
memberikan tambahan apapun (Mautz dan Sharaf, 1993).
Kode Etik Akuntan tahun 1994 dalam Tarigan (2010) menyebutkan bahwa
independensi adalah sikap yang diharapkan dari seorang akuntan publik untuk
tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam pelaksanaan tugasnya, yang
bertentangan dengan prinsip integritas dan objektivitas.
Hasil penelitian Pany dan Reckers (1980) ini menunjukkan bahwa hadiah
meskipun jumlahnya sedikit berpengaruh signifikan terhadap independensi
auditor, sedangkan ukuran klien tidak berpengaruh secara signifikan. Penelitian
oleh Knapp (1985) menunjukkan bahwa subjektivitas terbesar dalam teknik
Universitas Sumatera Utara
standar mengurangi kemampuan auditor untuk bertahan dalam tekanan klien dan
posisi keuangan yang sehat mempunyai kemampuan untuk menghasilkan konflik
audit.
Mayangsari (2003) menemukan bahwa auditor yang memiliki keahlian
dan independensi memberikan pendapat tentang kelangsungan hidup perusahaan
yang cenderung benar dibandingkan auditor yang hanya memiliki salah satu
karakteristik atau sama sekali tidak memiliki keduanya.
Menurut Taylor (1997) dalam Tarigan (2010) ada dua aspek independensi,
yaitu:
1. Independensi sikap mental (independence of mind/independence of mental
attitude), independensi sikap mental ditentukan oleh pikiran akuntan publik
untuk bertindak dan bersikap independen.
2. Independensi penampilan (image projected to the public/appearance of
independence), independensi penampilan ditentukan oleh kesan masyarakat
terhadap independensi akuntan publik.
Dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara dinyatakan dalam semua
hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan
pemeriksa harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi,
ekstern, dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya.
Menurut Harahap (1991) auditor harus bebas dari segala kepentingan
terhadap perusahaan dan laporan yang dibuatnya. Kebebasan itu mencakup :
Bebas secara nyata (Independent infact) yaitu ia benar-benar tidak mempunyai
kepentingan ekonomis dalam perusahaan yang dilihat dari keadaan yang
sebenarnya dan Bebas secara penampilan (Independent in appearance) yaitu
kebebasan yang dituntut bukan secara fakta, tetapi juga harus bebas dari
kepentingan yang kelihatannya cenderung dimilikinya dalam perusahaan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Auditor independen tidak hanya memberikan jasa untuk menguji laporan
keuangan (audit), tetapi juga melakukan jasa lain selain audit. Pemberian jasa
selain audit ini merupakan ancaman potensial bagi independensi auditor, karena
manajemen
dapat
meningkatkan
tekanan
agar
auditor
bersedia
untuk
mengeluarkan laporan yang dikehendaki oleh manajemen, yaitu wajar tanpa
syarat (Knapp, 1985). Pemberian jasa selain audit berarti auditor telah terlibat
dalam aktivitas manajemen klien. Jika pada saat dilakukan pengujian pelaporan
keuangan klien ditemukan kesalahan yang terkait dengan jasa yang diberikan
auditor tersebut, maka auditor sukar untuk melaporkan kesalahan tersebut.
Auditor tidak mau reputasinya buruk karena dianggap memberikan alternatif yang
tidak baik bagi kliennya.
Hendro dan Aida (2006) di Kota Malang, Jawa Timur dengan judul
pengaruh profesionalisme auditor terhadap tingkat materialitas dalam pemeriksaan
laporan keuangan, yang menjelaskan profesionalisme merupakan syarat utama
bagi seorang auditor, baik auditor intern maupun ekstern. Sebab dengan
profesionalisme yang tinggi maka kebebasan auditor akan semakin terjamin. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa pengabdian pada profesi, kemandirian,
kepercayaan pada profesi, hubungan dengan sesama rekan seprofesi mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap tingkat materialitas sedangkan kewajiban
sosial tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat materialitas.
Susiana dan Arleen (2003) menganalisis pengaruh independensi,
mekanisme corporate governance dan kualitas audit terhadap integritas laporan
keuangan. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa independensi memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap integritas laporan keuangan sedangkan
mekanisme corporate governance dan kualitas audit tidak memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap integritas laporan keuangan.
Universitas Sumatera Utara
2.1.7.2. Integritas
Integritas mengharuskan seorang auditor untuk bersikap jujur dan
transparan, berani, bijaksana dan bertanggung jawab dalam melaksanakan audit.
Keempat unsur itu diperlukan untuk membangun kepercayaan dan memberikan
dasar bagi pengambilan keputusan yang andal. Dengan integritas yang tinggi,
maka auditor dapat meningkatkan kualitas hasil pemeriksaannya (Pusdiklatwas
BPKP, 2005).
Integritas adalah unsur karakter yang mendasar bagi pengakuan
profesional.
Integritas
merupakan
kualitas
yang
menjadikan
timbulnya
kepercayaan masyarakat dan tatanan nilai tertinggi bagi anggota profesi dalam
menguji semua keputusannya. Integritas mengharuskan auditor dalam berbagai
hal jujur dan terus terang dalam batasan kerahasiaan obyek pemeriksaan.
Pelayanan dan kepercayaan masyarakat tidak dapat dikalahkan demi kepentingan
dan keuntungan pribadi.
Sunarto (2003) dalam Tarigan (2010) menyatakan bahwa integritas dapat
menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur,
tetapi tidak dapat menerima kecurangan prinsip. Integritas merupakan kualitas
yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan bagi anggota dalam
menguji semua keputusannya.
Alim dkk. (2007) menyatakan bahwa kualitas audit dapat dicapai jika
auditor memiliki kompetensi yang baik dan hasil penelitiannya menemukan
bahwa kompetensi berpengaruh terhadap kualitas audit. Auditor sebagai ujung
tombak pelaksanaan tugas audit harus senantiasa meningkatkan pengetahuan yang
telah dimiliki agar penerapan pengetahuan dapat maksimal dalam praktiknya.
Universitas Sumatera Utara
2.1.7.3. Kompetensi
Kompetensi didefinisikan sebagai aspek-aspek pribadi dari seorang
pekerja yang memungkinkan dia untuk mencapai kinerja superior. Aspek-aspek
pribadi ini mencakup sifat, motif-motif, sistem nilai, sikap, pengetahuan dan
ketrampilan di mana kompetensi akan mengarahkan tingkah laku, sedangkan
tingkah laku akan menghasilkan kinerja.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor :
PER/05/M.PAN/03/2008 tentang Standar Audit Aparat Pengawasan Intern
Pemerintah menyatakan kompetensi teknis yang harus dimiliki oleh pemeriksa
adalah auditing, akuntansi, administrasi dan komunikasi. Disamping wajib
memiliki keahlian tentang standar audit, kebijakan, prosedur dan praktik-praktik
audit, auditor harus memiliki keahlian yang memadai tentang lingkungan
pemerintahan sesuai dengan tupoksi unit yang dilayani oleh APIP.
Dalam Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia No. 01
Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan dinyatakan bahwa dalam
pelaksanaan pemeriksaan serta penyusunan laporan hasil pemeriksaan, pemeriksa
wajib menggunakan kemahiran profesionalnya secara cermat dan seksama.
Selanjutnya dalam Standar Profesi Audit Internal (1200;9) dinyatakan bahwa
auditor internal harus memiliki pengetahuan, keterampilan dan kompetensi yang
dibutuhkan untuk melaksanakan tanggung jawab perorangan. Guna melaksanakan
fungsinya, audit internal secara kolektif harus memiliki atau memperoleh
pengetahuan, keterampilan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan
tanggung jawabnya.
Susanto (2000) menyatakan bahwa definisi tentang kompetensi yang
sering dipakai adalah karakteristik-karakteristik yang mendasari individu untuk
mencapai
kinerja
superior.
Kompetensi
juga
merupakan
pengetahuan,
Universitas Sumatera Utara
ketrampilan, dan kemampuan yang berhubungan dengan pekerjaan, serta
kemampuan yang dibutuhkan untuk pekerjaan-pekerjaan non-rutin. Definisi
kompetensi dalam bidang auditing juga sering diukur dengan pengalaman
(Mayangsari, 2003).
Ashton (1991) dalam Tarigan (2010) menunjukkan bahwa pengetahuan
spesifik dan lama pengalaman bekerja sebagai faktor penting untuk meningkatkan
kompetensi. Ia juga menjelaskan bahwa ukuran kompetensi tidak cukup hanya
pengalaman tetapi diperlukan pertimbangan-pertimbangan lain dalam pembuatan
keputusan yang baik karena pada dasarnya manusia memiliki sejumlah unsur lain
selain pengalaman.
Pendapat ini didukung oleh Schmidt (1988) yang
memberikan bukti empiris bahwa terdapat hubungan antara pengalaman bekerja
dengan kinerja yang dimoderasi dengan lama pengalaman dan kompleksitas tugas.
Selain itu, penelitian yang dilakukan Bonner (1990) dalam Tarigan (2010)
menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai spesifikasi tugas dapat meningkatkan
kinerja auditor berpengalaman, walaupun hanya dalam penetapan risiko analitis.
Hal ini menunjukkan bahwa pendapat auditor yang baik akan tergantung pada
kompetensi dan prosedur audit yang dilakukan oleh auditor (Hogarth, 1991).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Murtanto (1998) dalam Mayangsari
(2003) menunjukkan bahwa komponen kompetensi untuk auditor di Indonesia
terdiri atas:
1. Komponen pengetahuan, yang merupakan komponen penting dalam suatu
kompetensi.
Komponen ini meliputi pengetahuan terhadap fakta-fakta,
prosedur-prosedur dan pengalaman. Kanfer dan Ackerman (1989) juga
mengatakan bahwa pengalaman akan memberikan hasil dalam menghimpun
dan memberikan kemajuan bagi pengetahuan.
Universitas Sumatera Utara
2. Ciri-ciri
psikologi,
seperti
kemampuan
berkomunikasi,
kreativitas,
kemampuan bekerja sama dengan orang lain. Gibbin’s dan Larocque’s (1990)
dalam Tarigan (2010) juga menunjukkan bahwa kepercayaan, komunikasi dan
kemampuan untuk bekerja sama adalah unsur penting bagi kompetensi audit.
2.1.7.4. Objektivitas
Pengertian objektivitas menurut Sawyer et al. (2006:103) adalah :
“Objektivitas adalah suatu hal yang langka dan hendaknya tidak dikompromikan.
Seorang audior hendaknya tidak pernah menempatkan diri atau ditempatkan
dalam posisi di mana objektivitas mereka dapat dipertanyakan. Kode etik dan
standar auditor internal telah menetapkan aturan-aturan tertentu yang harus diikuti
agar terhindar dari kemungkinan pandangan akan kurangnya objektivitas atau
munculnya bias. Pelanggaran atas aturan-aturan ini akan menyebabkan munculnya
kritikan dan pertanyaan mengenai kurangnya objektivitas yang dimiliki oleh audit
internal.”
Laporan hasil pemeriksaan yang memiliki kriteria objektivitas menurut
Tugiman (2006:191) adalah :
“Suatu laporan pemeriksaan yang objektif membicarakan pokok persoalan dalam
pemeriksaan, bukan perincian prosedural atau hal-hal lain yang diperlukan dalam
proses pemeriksaan. Objektivitas juga harus dapat memberikan uraian mengenai
dunia auditee dengan tidak menunjuk pada pribadi tertentu dan tidak
menyinggung perasaan orang lain.”
Untuk memperoleh sikap seorang auditor yang objektif menurut Sawyer
et al. (2006:11) adalah :
“Objektivitas dipastikan melalui struktur organisasi, pelatihan, dan penugasan
personel dengan pertimbangan yang seksama.”
Universitas Sumatera Utara
Dalam Standar Profesi Audit Internal standar 1120 digariskan bahwa
auditor internal harus memiliki sikap yang tidak memihak, tidak bias dan
menghindari konflik kepentingan. Lebih lanjut IIA memberikan panduan sebagai
berikut:
1. Dengan objektivitas individual dimaksudkan auditor internal melakukan
penugasan dengan keyakinan yang jujur dan tidak membuat kompromi dalam
hal kualitas yang signifikan. Auditor internal tidak boleh ditempatkan dalam
situasi-situasi yang dapat mengganggu kemampuan mereka dalam membuat
penilaian secara objektif profesional.
2. Objektivitas individual melibatkan kepala eksekutif audit (CAE) untuk
memberikan penugasan staf sedemikian rupa sehingga mencegah konflik
kepentingan dan bias, baik yang potensial maupun aktual. CAE juga perlu
secara berkala mendapatkan informasi dari staf audit internal mengenai
potensi
konflik
kepentingan
dan
bias
serta
bila
memungkinkan
memberlakukan rotasi tugas.
3. Reviu terhadap hasil pekerjaan audit internal sebelum laporan penugasan
diterbitkan, akan membantu memberikan keyakinan yang memadai bahwa
pekerjaan auditor internal yang bersangkutan telah dilakukan secara objektif.
4. Objektivitas auditor internal tidak terpengaruh secara negatif ketika auditor
merekomendasikan
melakukan
reviu
standar
terhadap
pengendalian
prosedur
untuk
tertentu
sistem tertentu
sebelum
atau
dilaksanakan.
Objektivitas auditor dianggap terganggu jika auditor membuat desain,
menerapkan, mendrafkan prosedur atau mengoperasikan sistem tersebut.
5. Pelaksanaan tugas sesekali di luar audit oleh auditor internal, bila dilakukan
pengungkapan penuh dalam pelaporan tugas itu, tidak serta merta
mengganggu objektivitas. Namun hal tersebut membutuhkan pertimbangan
Universitas Sumatera Utara
cermat, baik oleh manajemen maupun auditor internal untuk menghindari
dampak negatif terhadap objektivitas auditor internal.
Dalam Standar Profesi Audit Internal standar 1100 digariskan bahwa
aktivitas auditor internal harus bersikap independen dan auditor internal harus
bersikap objektif dalam melaksanakan pekerjaan mereka.
Objektivitas dalam
standar 1100 adalah :
“Sikap mental yang tidak bias yang memungkinkan auditor internal untuk
melakukan penugasan dengan sedemikian rupa sehingga mereka meyakini hasil
pekerjaan mereka dan meyakini tidak ada kompromi. Objektivitas mensyaratkan
bahwa auditor internal tidak menundukkan penilaian mereka dalam masalahmasalah audit terhadap orang lain. Ancaman terhadap objektivitas harus dikelola
pada masing-masing tingkat auditor, penugasan, fungsional dan tingkat
organisasi.”
2.1.7.5. Pengalaman Kerja
Choo dan Trotman (1991) memberikan bukti empiris bahwa pemeriksa/
auditor berpengalaman lebih banyak menemukan item-item yang tidak umum
(atypical) dibandingkan auditor yang kurang berpengalaman tetapi antara
pemeriksa yang berpengalaman dengan yang kurang berpengalaman tidak berbeda
dalam menemukan item-item yang umum (typical). Penelitian serupa dilakukan
oleh Tubbs (1992) yang menunjukkan bahwa subyek yang mempunyai
pengalaman audit lebih banyak maka akan menemukan kesalahan yang lebih
banyak dan item-item kesalahannya lebih besar dibandingkan auditor yang
pengalaman auditnya lebih sedikit.
Yudhi dan Meifida (2006) meneliti pengaruh pengalaman auditor terhadap
penggunaan bukti tidak relevan dalam auditor judgment. Penelitian ini
Universitas Sumatera Utara
mengungkapkan bahwa auditor berpengalaman tidak terpengaruh oleh adanya
informasi tidak relevan dalam membuat going concern judgment.
2.1.8. Prinsip-prinsip Tata Kelola Pemerintahan yang Baik ( Good Corporate
Governance )
Good Corporate Governance (GCG) berdasarkan Peraturan Menteri
BUMN No. Per-09/MBU/2012 tanggal 6 Juli 2012 tentang Penerapan Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) pada BUMN digunakan
untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna
mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap
memperhatikan
kepentingan
stakeholder
lainnya,
berlandaskan
peraturan
perundangan dan nilai-nilai etika.
Menurut Sedarmayanti (2012:54) stakeholders adalah pihak-pihak yang
memiliki kepentingan dengan BUMN, baik berkepentingan secara langsung
maupun tidak langsung yaitu pemegang saham/pemilik modal, komisaris/dewan
pengawas, direksi dan karyawan serta pemerintah, kreditur dan pihak
berkepentingan lainnya.
Prinsip keterbukaan dilaksanakan dalam berbagai proses pengambilan
keputusan dan mengemukakan informasi materil dan relevan mengenai
perusahaan. Prinsip akuntabilitas dilaksanakan dalam kaitannya dengan kejelasan
fungsi, pelaksanaan, pengelolaan dan pertanggungjawaban organ perusahaan
secara efektif. Prinsip tanggung jawab dilaksanakan dalam hubungannya dengan
kesesuaian pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan dan
prinsip korporasi yang sehat.
Prinsip kemandirian merupakan suatu keadaan
dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan
pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan prinsip korporasi yang sehat,
sedangkan prinsip
Universitas Sumatera Utara
kewajaran mencakup keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak
pemangku kepentingan berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Kelima prinsip diatas saling mendukung dan berkaitan satu sama
lain dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya dalam membangun
korporasi yang sehat.
2.1.9.
Perancangan
dan
Pengembangan
Penerapan
Good
Corporate
Governance yang Baik
1. Isu Krusial Tata Korporasi
Kondisi lingkungan bisnis yang memberikan ruang bagi pembelajaran dan
tidak semata penegakan hukum lewat penjatuhan sanksi sangatlah relevan dengan
kondisi sekarang mengingat di satu sisi perbincangan tentang tata kelola korporasi
tidak akan berhenti malah akan semakin intens dan menentukan keberhasilan serta
reputasi perusahaan. Sementara di sisi lain perusahaan yang ingin membangun
reputasi dan keunggulan bersaing dalam lapangan global tata kelola korporasi
membutuhkan strategi, struktur dan proses dalam mengelola dan berkomunikasi
dengan stakeholder.
Dalam dua kondisi yang bersisian itu terdapat dua isu krusial sehubungan
dengan tata kelola korporasi yaitu keputusan investasi mengingat Indonesia harus
bekerja keras memulihkan diri dari krisis ekonomi dan corporate control market.
Keputusan investasi yang benar yang didasarkan pada informasi yang
dapat dipercaya pada suatu pasar modal, efisiensi diharapkan menjadi salah satu
penggerak ekonomi nasional. Memang investasi langsung di sektor riel akan
memiliki efek ekonomi yang lebih terasa.
Namun bukankah pasar modal
merupakan etalase dan juga indikator kepercayaan investor dan masalah
perekonomian Indonesia adalah karena merosotnya kepercayaan investor.
Universitas Sumatera Utara
Kita memerlukan upaya yang sangat besar dan waktu yang panjang untuk
memulihkan kepercayaan investor jika strategi yang diambil adalah mengundang
langsung berinvestasi di sektor riel. Kita juga tahu bahwa pasar modal selalu
memberikan sinyal paling dini sebelum sektor-sektor lain menggeliat karena
peluang ekonomi yang muncul dari kebijakan pemerintah.
Di samping itu, pasar modal yang sehat akan mendorong penyehatan
ekonomi nasional.
Karena bergeraknya pasar modal dengan kapitalisasi dan
volume penjualan yang besar maka hal ini akan menambah dana bagi emiten yang
melakukan ekspansi usaha di sektor riel.
Ekspansi dengan sendirinya akan
meningkatkan kinerja dan nilai maka ekonomi nasional akan berdenyut. Tenaga
kerja akan terserap, ekspor akan meningkat, pajak bisa dioptimalkan, pemasok
industri bisa beraktivitas, perdagangan dan pembiayaan konsumen juga bisa
berjalan dan semua aktor ekonomi bisa menjalankan fungsinya.
Manajer perusahaan, terutama manajer keuangan harus membangun dan
menerapkan perencanaan untuk membiayai perusahaan dan mengelola risiko
finansialnya.
Keputusan
pembiayaan
(financing)
mencakup
kapan
akan
menghimpun modal dan pertimbangan apakah akan menggunakan utang atau
ekuitas.
Keputusan manajemen risiko mencakup pilihan-pilihan melakukan
hedging nilai tukar, prediksi suku bunga dan antisipasi perubahan lainnya adalah
menstabilkan arus kas dan melindungi perusahaan dari perubahan lainnya
(misalnya harga komoditi) melalui strategi manajemen risiko.
Isu kunci yang berhubungan langsung dengan tata kelola korporasi adalah
kepentingan investor publik.
Proses yang transparan dan kontrol pasar yang
kompetitif dapat melindungi kepentingan investor publik. Pada setting dalam
banyak hal merupakan hal baru bagi bisnis Indonesia itulah perusahaan-perusahan
yang mempertahankan kelangsungan hidup. Dari sini dapat diserap semangat
Universitas Sumatera Utara
perusahaan untuk terus memperbaiki diri dalam hal tata kelola korporasi.
Pelajaran pahit dari krisis ekonomi dan meningkatkan persaingan bisnis berperan
dalam membangun semangat ini.
Dalam perkembangannya menegaskan betapa luas spectrum penerapan
tata kelola korporasi mulai dari kepatuhan terhadap hukum dan perundangundangan, struktur tata kelola yang berhubungan dengan akuntabilitas, efisiensi,
dan efektivitas pengelolaan usaha, citra perusahaan hingga tanggung jawab sosial.
2. Konsepsi dan Definisi GCG
Konsepsi Corporate Governace sesungguhnya sejak lama dikenal di
negara-negara maju (Eropa dan Amerika) dengan adanya konsep pemisahaan
antara kepemilikan pemilik modal dengan para manajemen dalam perusahaan.
Perdebatan muncul pada saat terjadinya masalah yang dihadapi oleh beberapa
perusahaan publik di UK (United Kingdom-Inggris) pada akhir tahun 1980-an,
yaitu adanya creative accounting, kegagalan bisnis yang spektakuler, terbatasnya
peran auditor dan lain sebagainya.
Laporan Cadbury Committee (1992)
merupakan suatu tanggapan atas masalah-masalah tersebut (Keasy and
Wright,1997).
Diskusi mengenai Corporate Governance telah berkembang sampai saat
ini sejak krisis ekonomi yang melanda negara-negara di Asia Tenggara, terutama
Indonesia yang merasakan paling parah akibat krisis tersebut. Salah satu alasan
kegagalan perusahaan akibat krisis tersebut adalah buruknya praktek Corporate
Governance. Prowse seperti yang dikutip oleh pangestu Harianto menyimpulkan
bahwa karakteristik lemahnya Corporate Governance di Asia Tenggara adalah:
1. Konsentrasi kepemilikan dan kekuatan insider shareholder (termasuk
pemerintah dan pihak-pihak yang berhubungan dengan pusat kekuatan);
2. Lemahnya governance sektor keuangan; dan
Universitas Sumatera Utara
3. Ketidakcukupan dan ketidakefektifan internal rules dan lingkungan lemah
yang melindungi investor luar berhadapan dengan pemegang saham mayoritas
dan manajer.
Herwidayanto (2001) mengelompokkan praktek-praktek di Indonesia yang
bertentangan dengan konsep Good Corporate Governance menjadi:
1. Konsentrasi kepemilikan oleh pihak tertentu yang memungkinkan terjadinya
hubungan afiliasi antara pemilik, pengawas, direktur perusahaan;
2. Tidak efektifinya peran Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas; dan
3. Lemah law enforcement.
Beberapa tindakan pemerintah Indonesia dalam menghadapi kondisi buruk
tersebut telah dilakukan antara lain dengan menerbitkan Surat Edaran Bapepam
No. SE-03/PM/2000 tentang Komite Audit.
Selain itu pada tahun 1990,
pemerintah juga membentuk suatu lembaga yaitu Komite Nasional mengenai
Kebijakan Corporate Governance (KKNCG).
Komite ini bertugas untuk
merumuskan dan menyusun rekomendasi kebijakan nasional tentang Corporate
Governance antara lain meliputi Code for Good Governance. Selanjutnya komite
secara berkesinambungan bertugas memantau perbaikan di bidang Corporate
Governance di Indonesia (Herwidayanto, 2001).
Di sektor swasta juga tumbuh inisiatif untuk membantu upaya
mensosialisasikan beberapa lembaga yaitu: From for Corporate Governance in
Indonesia (FCGI). Corporate Leadership Development in Indonesia (CLDI),
Indonesia Institue for Corporate Directorship (IICD), Lembaga Komisaris dan
Direktur Indonesia (LKDI), Indonesian Institute for Corporate Governance
(IICG). Masing-masing lembaga tersebut mempunyai aktivitas yang berbeda
namun tujuannya sama yaitu membantu pemerintah mensosialisasikan penerapan
Corporate Governance di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
3. Prinsip Corporate Governance
Istilah Corporate Governance diperkenalkan oleh Cadbury tahun 1992
dalam laporannya yang dikenal sebagai Cadbury Report dalam Tjager et al.
(2003). Laporan ini dipandang sebagai titik balik (turning point) yang sangat
menentukan praktek Corporate Governance di seluruh dunia. Monks dan Minov
(1995) mendefinisikan Corporate Governance sebagai hubungan berbagai
partisipasi dalam menentukan arah dan kinerja korporasi. Definisi lain diajukan
oleh Shleifer dan Vishny (1997) menyebutkan bahwa Corporate Govenance
sebagai bagian cara atau mekanisme untuk meyakinkan para pemilik modal dalam
memperoleh imbal hasil yang sesuai dengan investasi yang ditanamkan. Menurut
sebagian besar pedoman yang dikeluarkan oleh organisasi Internsional
(Organization for Economic Cooperation and Development/OECD), Corporate
Governance mengacu kepada pembagian kewenangan antara semua pihak yang
menentukan arah dan performance suatu manajemen dan Board of Directors
(Herwidayanto, 2001).
Beberapa institusi Indonesia mengajukan definisi
Corporate Governance, antara lain oleh Forum for Corporate Governance in
Indonesia/FCGI (2000), yang mendefinisikan Corporate Governance sebagai
seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham,
pengaruh, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan
intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka,
atau dengan kata lain sistem yang mengarah dan mengendalikan perusahaan.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut nampak dengan jelas bahwa
Corporate Governance merupakan upaya yang dilakukan oleh semua pihak yang
berkepentingan dengan perusahaan untuk menjalankan usahanya
secara baik
sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing.
Universitas Sumatera Utara
4.
Organisasi dan Adaptasi Penerapan Tata Kelola Perusahaan
Publik
Corporate Governance merupakan hubungan antar stakeholder yang
digunakan untuk menentukan dan mengendalikan arah strategi dan kinerja suatu
organisasi. Dalam prakteknya Corporate Governance berbeda di setiap negara
dan perusahaan karena berkaitan dengan sistem ekonomi, hukum, struktur
kepemilikan, sosial dan budaya.
Perbedaan praktek ini menggambarkan
perbedaan dalam kekuatan suatu kontrak, sikap politik pemilik saham dan hutang.
Terdapat beberapa versi yang menyangkut prinsip-prinsip Corporate
Governance namun pada dasarnya mempunyai banyak kesamaan. Menurut
laporan Cadbury (1992) prinsip utama Corporate
Governance adalah:
keterbukaan, integritas dan akuntabilitas. Organization for Economic Corporation
and Development (OECD) telah mengembangkan seperangkat prinsip Good
Corporate Governance yang dapat diterapkan sesuai dengan kondisi di masingmasing negara.
Prinsip dasar tersebut adalah: fairness, transperancy,
accountability dan responsibility.
Fairness dapat diartikan sebagai perlakuan yang sama terhadap para
pemegang saham, terutama kepada pemegang saham minoritas dan pemegang
saham asing dari kecurangan, kesalahan perilaku insider. Beberapa literature
Corporate Governance menekankan hubungan antara pemegang saham sebagai
principal dengan manajemen sebagai agen. Corporate Governance dimaksudkan
untuk mengatasi masalah yang timbul dari adanya hubungan kedua belah pihak
tersebut karena adanya kepentingan yang berbeda.
Prinsip dasar akuntabilitas menekankan pada pentingnya penciptaan sistem
pengawasan yang efektif berdasarkan pembagian kekuasaan antara Dewan
Komisaris atau Dewan Pengawas, Direksi dan Pemegang Saham (Baridwan,
Universitas Sumatera Utara
2002) yang meliputi monitoring, evaluasi dan pengendalian terhadap menajemen
untuk meyakinkan bahwa manajemen bertindak sesuai dengan kepentingan
pemegang saham dan pihak berkepentingan lainnya. Akuntabilitas dilaksanakan
dengan adanya Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas, Direksi Independen,
Komite Audit serta Komite Remunerasi.
Responsibilitiy diartikan sebagai tanggung jawab perusahaan sebagai
anggota masyarakat untuk memenuhi peraturan-peraturan
yang berlaku dan
pemenuhan terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial. Tjager et al. (2003:52)
menyebutkan
bahwa
prinsip
ini
diwujudkan
dengan
kesadaran
bahwa
tanggungjawab merupakan konsekwensi logis dari adanya wewenang; menyadari
akan adanya tanggung jawab sosial; menghindari penyalahgunaan wewenang
kekuasaan; menjadi professional dan menjunjung etika; serta memelihara
lingkungan bisnis yang sehat.
Prinsip dasar transparansi menunjukan tindakan perusahaan untuk dapat
memberikan informasi yang dibutuhkan oleh seluruh stakeholder. Prinsip ini
diwujudkan antara lain dengan mengembangkan sistem akuntansi yang
berbasiskan strandar akuntansi dan best practice yang menjamin adanya laporan
keuangan dan pengungkapan yang berkualitas; mengembangkan teknologi
informasi dan sistem informasi manajemen untuk menjamin adanya pengukuran
kinerja yang memadai dan proses pengambilan keputusan yang efektif oleh
Dewan Komisaris/Dewan Pengawas dan Direksi; mengembangkan manajemen
risiko yang memastikan bahwa semua risiko signifikan telah diidentifikasi, diukur
dan dapat dikelola pada tingkat toleransi yang jelas; dan mengumumkan jabatan
yang kosong secara terbuka (Tjager et al. 2003:51).
Prinsip-prinsip tersebut ditujukan untuk membantu pemerintah yang
menjadi anggota OECD maupun bukan anggota dalam usahanya untuk
Universitas Sumatera Utara
mengevaluasi dan memperbaiki kerangka regulasi, institusi dan hukum bagi
pelaksanaan corporate governance dalam negaranya dan memberikan pedoman
serta saran bagi pasar modal, investor, perusahaan dan pihak lain yang
mempunyai peran dalam proses pengembangan corporate governance yang baik.
Di Indonesia pemerintah melalui Keputusan Menteri Koordinator
Ekonomi, Keuangan dan Industri No. Kep-10/M.EKUIN/08/1999, telah
membentuk suatu badan yaitu komite nasional bagi pengelolaan perusahaan yang
mempunyai tugas untuk merumuskan dan merekomendasikan kebijakan nasional
mengenai pengelolaan perusahaan. Komite nasional ini telah merumuskan suatu
kerangka kerja good corporate governance atau pedoman good corporate
covernance. Tujuan pedoman ini adalah untuk memaksimalkan nilai perusahaan
dan pemegang saham dengan mengembangkan transparansi, kepercayaan dan
pertanggungjawaban serta menetapkan sistem pengelolaan yang mendorong dan
mempromosikan kreativitas dan kewirausahaan yang progresif.
Selain itu
pedoman ini juga merekomendasi perusahaan agar memperhatikan berbagai
kepentingan yang berbeda dari para pihak yang mempunyai kepentingan terhadap
perusahaan. Perusahaan harus meminimalkan biaya untuk menengahi berbagai
kepentingan tersebut dengan cara rasional dan adil untuk memperkuat daya saing.
Keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh pemegang saham harus berdasarkan
moralitas yang baik dan prinsip-prinsip warga perusahaan yang baik dan tanggung
jawab sosial.
Pedoman ini diklasifikasikan dalam 13 kelompok, yaitu:
1. Hak-hak pemegang saham dan prosedur RUPS
Pedoman ini menyatakan bahwa para pemegang saham harus dilindungi
dan para pemegang saham harus dapat menjalankan hak-hak mereka melalui
prosedur yang memadai ditetapkan oleh perusahaan. Selain itu para pemegang
Universitas Sumatera Utara
saham harus diperlakukan secara adil berdasarkan prinsip kesetaraan. Sedangkan
pelaksanaan RUPS tahunan harus diadakan pada waktunya sesuai dengan
ketentuan UUPT dan RUPS luar biasa dapat dilakukan setiap kali diperlukan.
2. Dewan Komisaris/Dewan Pengawas
Pedoman ini menetapkan fungsi komisaris yang bertanggung jawab dan
berwenang untuk mengawasi kebijakan dan tindakan direksi serta memberikan
saran-saran kepada direksi jika diperlukan. Pedoman ini juga mengatur komposisi
komisaris, yaitu 20% anggota komisaris haruslah merupakan orang luar untuk
meningkatkan efektivitas dan transparansi musyawarah yang dilakukan komisaris.
Prinsip ini juga mengatur adanya larangan bagi Dewan Komisaris/Dewan
Pengawas mengambil keuntungan pribadi. Dalam menjalankan tugasnya,
komisaris harus mempunyai akses terhadap informasi mengenai perusahaan
secara menyeluruh dan pada waktunya pengangkatan dan penetapan gaji
komisaris harus ditetapkan dalam suatu sistem yang resmi dan transparan,
komisaris dapat membentuk komite-komite yang anggotanya berasal anggota
Dewan Komisaris, Komite Remunerasi, Komite Asuransi dan Komite Audit.
3. Direksi
Direksi bertugas menjalankan dan mengelola perusahaan. Seperti halnya
komisaris komposisi direksi proporsional haruslah merupakan orang luar. Seperti
halnya Dewan Komisaris/Dewan Pengawas, Dewan Direksi juga tidak
diperbolehkan mengambil keuntungan pribadi.
4. Sistem Audit
Pedoman ini mengatur perlunya auditor eksternal dan komite audit yang
membantu dewan komisaris atau dewan pengawas dalam melakukan pemantauan
atas operasi perusahaan. Komite audit adalah sejumlah anggota dewan komisaris
perusahaan klien yang bertanggungjawab untuk membantu auditor dalam
Universitas Sumatera Utara
mempertahankan independensinya dari manajemen.
Umumnya komite audit
terdiri dari tiga atau lima atau kadang tujuh orang yang tidak merupakan bagian
dari manajemen perusahaan.
Pada umumnya, suatu komite audit memutuskan hal-hal seperti kantor
akuntan publik yang akan ditugaskan dan ruang lingkup pelayanan yang akan
dilakukan oleh kantor akuntan publik tersebut. Pertemuan dengan kantor akuntan
publik yang bersangkutan secara periodik untuk membicarakan perkembangan
dan hasil audit dan membantu menengahi perselisihan yang timbul di antara
kantor akuntan publik dan manajemen. Komite audit untuk perusahaan yang lebih
besar diterima baik oleh para auditor, pembaca laporan keuangan dan manajemen
perusahaan pada umumnya. Tetapi, keharusan untuk membentuk komite audit
terlalu mahal bagi perusahaan yang lebih kecil.
5. Sekretaris Perusahaan
Pedoman ini menyatakan bahwa fungsi sekretaris perusahaan adalah
sebagai petugas penghubung dengan para investor.
6. Pihak-pihak yang berkepentingan
Pedoman ini juga mengatur hak-hak para pihak yang mempunyai
kepentingan selain pemegang saham yaitu masyarakat, karyawan, pelanggan,
pemasok, kreditur dan kelompok-kelompok lingkungan yang terkena dampak atas
operasi perusahaan.
7. Keterbukaan
Pedoman ini menyatakan bahwa perseroan harus berinisiatif untuk
mengungkapkan bukan hanya hal-hal yang diharuskan berdasarkan Undangundang tetapi juga hal-hal penting terhadap pembuatan keputusan oleh investor
institusi, para pemegang saham, kreditur dan pihak-pihak yang mepunyai
kepentingan lainnya sehubungan dengan perusahaan. Pengungkapan informasi
Universitas Sumatera Utara
penting dalam laporan tahunan dan laporan keuangannya harus disampaikan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan secara tepat waktu, akurat, dapat
dimengerti dan obyektif.
8.
Kerahasiaan
Prinsip ini menyatakan bahwa komisaris dan direksi mempunyai
kewajiban menjaga kerahasiaan perusahaan.
Informasi rahasia yang didapat
selama menjabat sebagai komisaris atau anggota direksi harus dijaga
kerahasiaannya kecuali jika harus diungkapkan berdasarkan peraturan yang
berlaku atau menjadi pengetahuan umum.
9. Informasi orang dalam
Prinsip ini mengatur anggota dewan komisaris/dewan pengawas, direksi,
dan karyawan perusahaan dilarang untuk memberikan atau menawarkan baik
langsung atau tidak langsung sesuatu yang berharga kepada pelanggan atau
pejabat pemerintah untuk mempengaruhi atau sebagai imbalan atas apa yang telah
dilakukannya dan tindakan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
10. Etika berusaha dan Anti Korupsi
Prinsip ini mengatur anggota dewan komisaris/dewan pengawas, direksi
dan karyawan perusahaan dilarang untuk memberikan atau menawarkan, baik
langsung atau tidak langsung, sesuatu yang berharga kepada pelanggan atau
pejabat pemerintah untuk mempengaruhi atau sebagai imbalan atas apa yang telah
dilakukan dan tindakan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
11. Donasi
Prinsip ini mengatur bahwa aset perusahaan tidak dibenarkan untuk
kepentingan donasi politik namun masih dibenarkan untuk kepentingan amal.
Universitas Sumatera Utara
12. Kepatuhan pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan proteksi, kesehatan, keselamatan kerja dan pelestarian
lingkungan
Prinsip ini mengatur bahwa perusahaan harus memenuhi peraturan yang
berlaku berkenaan dengan pelestarian lingkungan, kesehatan dan keselamatan
kerja.
13. Kesempatan kerja yang sama
Prinsip ini mewajibkan direksi untuk menggunakan kemampuan,
kualifikasi dan kriteria yang terkait dengan hubungan kerja sebagai dasar satusatunya dalam mengambil keputusan mengenai hubungan kerja antara perusahaan
dengan karyawan, bukan berdasarkan faktor lainnya.
Pedoman tersebut
menyajikan best practices yang perlu ada dalam penerapan good corporate
governance bersifat tidak mengikat.
2.1.10. Penerapan GCG secara berkelanjutan
Indonesia mulai menerapkan prinsip tata kelola korporasi yang baik (Good
Corporate Governance/GCG) sejak menandatangani Letter of Intent (LOI) dengan
Intertnational Monetary Fund (IMF) yang salah satu bagian pentingnya adalah
pencantuman jadwal perbaikan pengelolaan perusahaan di Indonesia. Sejalan
dengan hal tersebut Komite Nasional Kebijakan GCG (Komnas GCG)
berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia mempunyai tanggung
jawab untuk menerapkan standar GCG yang telah diterapkan di tingkat
internasional. Walaupun banyak pihak pula yang menyadari pentingya GCG,
tetapi banyak pula yang melaporkan masih rendahnya jumlah perusahaan di
Indonesia menerapkan prinsip GCG karena mendorong regulasi dan menghindari
sanksi yang ada daripada menganggap prinsip tersebut sebagai bagian dari budaya
perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
Pengelolaan perusahaan yang tidak baik, tidak etis dan bahkan telah
melakukan kebohongan kepada pemegang saham (publik) telah membuat
perusahaan yang bersangkutan menjadi bangkrut.
Di Indonesia juga dapat dipastikan bahwa cukup banyak perusahaan yang
telah menjadi milik publik yang belum mampu menerapkan tata kelola korporasi
yang baik. Banyak dijumpai perusahaan publik yang masih terus merugi setiap
tahun. Dimasa yang akan datang perusahaan-perusahaan publik semakin dituntut
untuk berkiprah sebagai entitas bisnis yang mampu mengembangkan kemampuan
berlabanya secara konsisten sekaligus mampu mewujudkannya secara mandiri dan
kompetitif dengan tetap mengacu secara ketat pada seperangkat tata nilai dan
norma bisnis universal tertentu.
Perusahaan publik bukan hanya perlu
bertanggung jawab penuh kepada pemegang saham yang memiliknya melalui
lembaga-lembaga pemerintah dan swasta maupun perorangan, tetapi sekaligus
dapat membuktikan diri bahwa perusahaan mampu berkiprah sesuai dengan
norma bisnis yang juga berlaku bagi perusahaan lain di seluruh dunia. Perusahaan
perlu bekerja, minimal dengan menjunjung nilai etika bisnis yang berlaku secara
universal bila ingin membangun citranya sebagai pengelola bisnis yang dihargai
pada tataran global yang tidak hanya berlaku di dalam negeri melainkan juga
berlaku secara internasional.
2.1.11. Pemimpin perusahaan dan Atributnya
Tata kelola yang baik dapat dimaknai sebagai serangkaian mekanisme
dengan apa suatu perusahaan publik diarahkan dan dikendalikan sesuai dengan
harapan para pihak yang berkepentingan (stakeholders).
Mekanisme tersebut
merefleksikan suatu struktur pengelolaan perusahaan yang menetapkan distribusi
hak dan tanggungjawab diantara berbagai partisipasi di dalam perusahaan publik,
Universitas Sumatera Utara
termasuk para pemegang saham, dewan komisaris, direksi, aggota perusahaan dan
pihak lainnya.
Tujuan
utama
dari
pengelolaan
yang
baik
adalah
memberikan
perlindungan yang memadai dan perlakuan yang adil kepada para pemegang
saham dan pihak yang berkepentingan lainnya melalui peningkatan nilai pemilik
saham secara maksimal. Tata kelola korporasi yang baik bukanlah sekedar suatu
upaya untuk menjaga agar perusahaan bekerja sesuai peraturan dan norma yang
berlaku secara universal tetapi terutama pengelolaan yang baik itu dapat
memperoleh keyakinan bahwa taruhannya di perusahaan publik adalah suatu
keputusan yang benar. Tata kelola korporasi yang baik merupakan bagian upaya
perusahaan publik untuk melakukan investasi dalam modal maya yang berbentuk
sebagai gabungan yang sinergi dari modal intelektual, modal sosial dan modal
moral perusahaan. Karena modal maya itu tertanam dalam diri para pelaku usaha,
maka masalah tata kelola korporasi yang baik tidak terhenti setelah semua
peraturan dibuat, tetapi baru akan bermakna bila semua anggota perusahaan sadar
terhadap perannya dalam investasi modal maya ini.
2.1.12. Strategi Pengembangan Praktek GCG di Perusahaan Publik
Banyak faktor yang dapat menetukan penciptaan nilai perusahaan publik.
Sebuah perusahaan publik dapat meningkat nilai sahamnya dengan mengandalkan
pada sumber daya fisik yang dimilikinya atau dengan bertumpu pada potensi insan
anggotanya dalam wujud modal maya.
Umumnya sumber daya fisik yang
dimiliki oleh sebuah perusahaan biasanya bersifat terbatas dan habis atau usang
bila dimanfaatkan terus menerus. Sebaliknya potensi insan makin bertambah
nilainya bila dilandasi suasana kerja yang saling percaya.
Dengan dasar
pemikiran seperti itu proses penciptaan kekayaan sudah beralih kepada
Universitas Sumatera Utara
intelektual, jejaring kerjasama dan kredibilitas yang bersumber pada diri anggota
perusahaan.
2.1.13. Kualitas Hasil Pemeriksaan
Laporan audit intern menurut Tugiman (2006:11) adalah sebagai berikut:
“Laporan audit termasuk ringkasan eksekutif dirancang untuk mengkomunikasikan
perbaikan-perbaikan
yang
disarankan
dan
rencana-rencana
manajemen
operasional untuk melaksanakan perbaikan tersebut”.
Menurut Tugiman (2006:70) menyatakan bahwa: “Laporan hasil
pemeriksaan haruslah objektif, jelas, singkat, konstruktif dan tepat waktu”.
Lebih lanjut kriteria-kriteria tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Laporan yang objektif adalah laporan yang faktual, tidak berpihak dan
terbebas dari distorsi. Berbagai temuan, kesimpulan dan rekomendasi haruslah
dilakukan tanpa ada suatu prasangka.
2. Laporan yang jelas dan mudah dimengerti. Kejelasan suatu laporan dapat
ditingkatkan dengan cara menghindari penggunaan bahasa teknis yang tidak
diperlukan dan pemberian berbagai informasi yang cukup mendukung.
3. Laporan yang diringkas langsung membicarakan pokok permasalahan dan
menghindari berbagai perincian yang tidak diperlukan.
Laporan tersebut
disusun dengan menggunakan kata-kata secara efektif.
4. Laporan yang konstruktif adalah laporan yang berdasarkan isi dan sifatnya
akan membantu pihak yang akan diperiksa dan organisasi serta menghasilkan
berbagai perbaikan yang dibutuhkan.
5. Laporan yang tepat waktu adalah laporan yang penerbitnya tidak memerlukan
penundaan dan mempercepat kemungkinan pelaksanaan berbagai tindakan
efektif.
Universitas Sumatera Utara
Laporan pemeriksaan merupakan satu-satunya dari produk unit audit
internal yang secara teratur dilaporkan kepada manajemen senior, dewan direksi,
dewan komisaris dan komite audit. Karena merupakan satu-satunya produk audit
yang sampai kepada mereka, pembaca cenderung mengasosiasikan kualitas
laporan dengan kinerja dan kemampuan profesional unit satuan pengawasan
intern.
Sebagai profesi yang sudah mapan, auditor internal memiliki Standar
Profesi Audit Internal sebagai suatu sistem untuk menjamin diterbitkannya
laporan audit internal yang berkualitas.
Hasil pemeriksaan atas pelaksanaan pengelolaan perusahaan dikatakan
berkualitas jika hasil pemeriksaan tersebut dapat meningkatkan bobot
pertanggungjawaban atau akuntabilitas serta dapat memberikan informasi
pembuktian ada tidaknya penyimpangan, kesalahan serta tindak pidana korupsi.
Menurut peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK
RI) nomor 01 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara
menyatakan definisi kualitas hasil pemeriksaan yaitu: ”Laporan hasil pemeriksaan
yang memuat adanya kelemahan dalam pengendalian intern, kecurangan,
penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan dan ketidakpatutan,
harus dilengkapi tanggapan dari pimpinan atau pejabat yang bertanggung jawab
pada entitas yang diperiksa mengenai temuan dan rekomendasi serta tindakan
koreksi yang direncanakan”.
Pemeriksaan yang dilakukan adalah membandingkan antara kondisi
dengan kriteria yang
seharusnya, kriteria adalah standar ukuran harapan
mengenai apa yang seharusnya terjadi, praktik terbaik dan benchmarks. Kinerja
dibandingkan atau dievaluasi dengan kriteria ini. Kriteria, sebagai salah satu
unsur temuan pemeriksaan, memberikan suatu hubungan dalam memahami hasil
Universitas Sumatera Utara
pemeriksaan. Rencana pemeriksaan harus menyatakan kriteria yang akan
digunakan. Dalam menentukan kriteria, pemeriksa harus menggunakan kriteria
yang masuk akal, dapat dicapai dan relevan dengan tujuan pemeriksaan.
Pemeriksa harus mengkomunikasikan kriteria tersebut kepada entitas yang
diperiksa sebelum atau pada saat dimulainya pemeriksaan. Berikut ini adalah
beberapa contoh kriteria:
a.
Maksud dan tujuan yang ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundangundangan atau yang ditetapkan oleh entitas yang diperiksa (auditee).
b.
Kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh entitas yang diperiksa (auditee)
c.
Pendapat ahli
d.
Target kinerja tahun berjalan
e.
Kinerja tahun-tahun sebelumnya
f.
Kinerja entitas yang sejenis
g.
Kinerja sektor swasta di bidang yang sama
h.
Praktik terbaik organisasi terkemuka
Peraturan
Menteri
Pendayagunaan
Aparatur
Negara
Nomor
:
PER/05/M.PAN/03/2008 tentang Standar Audit Aparat Pengawasan Intern
Pemerintah menyatakan Laporan Hasil Pemeriksaan merupakan hasil akhir dari
proses pemeriksaan yang berguna untuk mengkomunikasikan hasil pemeriksaan
kepada auditee dan pihak lain yang berwenang berdasarkan peraturan perundangundangan, menghindari kesalahpahaman atas hasil pemeriksaan, menjadi bahan
untuk melakukan tindakan perbaikan bagi auditee dan instansi terkait. Cara yang
paling efektif untuk menjamin bahwa suatu laporan hasil pemeriksaan telah dibuat
secara wajar, lengkap, dan obyektif adalah dengan mendapatkan reviu dan
tanggapan dari pejabat yang bertanggung jawab pada auditee yang diperiksa.
Tanggapan atau pendapat dari pejabat yang bertanggung jawab tidak hanya
Universitas Sumatera Utara
mencakup kelemahan dalam pengendalian intern, kecurangan, penyimpangan
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan atau tidak ketidakpatutan yang
dilaporkan oleh pemeriksa, tetapi juga tindakan perbaikan yang direncanakan.
Pemeriksa harus memuat komentar pejabat tersebut dalam laporan hasil
pemeriksaannya.
Pemeriksa harus meminta pejabat yang bertanggung jawab untuk
memberikan tanggapan tertulis terhadap temuan, simpulan dan rekomendasi,
termasuk tindakan perbaikan yang direncanakan oleh manajemen yang diperiksa.
Tanggapan yang diperoleh harus dievaluasi secara seimbang dan obyektif.
Tanggapan yang berupa suatu janji atau rencana untuk tindakan perbaikan tidak
boleh diterima sebagai alasan untuk menghilangkan temuan yang signifikan atau
rekomendasi yang berkaitan.
Apabila tanggapan dari auditee bertentangan dengan temuan, simpulan
atau rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan dan menurut pemeriksa
tanggapan tersebut tidak benar atau apabila rencana tindakan perbaikannya tidak
sesuai
dengan
rekomendasi,
maka
pemeriksa
harus
menyampaikan
ketidaksetujuannya atas tanggapan dan rencana tindakan perbaikan tersebut
beserta alasannya. Ketidaksetujuan tersebut harus disampaikan secara seimbang
dan obyektif.
2.2.Review Penelitian Terdahulu
Sebagai pembanding perlu dikemukakan beberapa hasil penelitian
terdahulu yang menjelaskan tinjauan pustaka baik definisi, konsep atau hasil
penelitian yang berkaitan dengan perilaku pemeriksa intern yang menjelaskan
pengaruhnya terhadap kualitas hasil pemeriksaan.
Universitas Sumatera Utara
Di Indonesia penelitian masalah kualitas hasil pemeriksaan dilakukan oleh
Sukriah dkk. (2009) pada Pegawai Negeri Sipil di Inspektorat pulau Lombok,
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengalaman kerja, objektivitas dan
kompetensi berpengaruh positif terhadap kualitas hasil pemeriksaan. Sedangkan
untuk independensi dan integritas tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas
hasil pemeriksaan.
Alim dkk. (2007) dengan judul pengaruh kompetensi dan independensi
terhadap kualitas audit dengan etika auditor sebagai variabel moderasi yang
menjelaskan bahwa kompetensi dan independensi berpengaruh signifikan
terhadap kualitas audit, sedang interaksi kompetensi dan etika auditor tidak
berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit.
Selanjutnya penelitian Tarigan, Sabri (2011) hasil penelitian ini
berkesimpulan bahwa pengalaman kerja, independensi, objektivitas, integritas dan
kompetensi berpengaruh terhadap kualitas hasil pemeriksaan secara simultan.
Sedangkan secara parsial pengalaman kerja tidak berpengaruh terhadap kualitas
hasil pemeriksaan.
Trisnaningsih (2006) di kota Jawa Timur tentang independensi auditor
dan komitmen organisasi sebagai mediasi pengaruh pemahaman good
governance, gaya kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap kinerja auditor
menunjukkan bahwa 1) pemahaman good governance tidak berpengaruh langsung
terhadap kinerja auditor melainkan berpengaruh tidak langsung melalui
independensi auditor; 2) gaya kepemimpinan berpengaruh langsung terhadap
kinerja auditor, tetapi komitmen organisasi bukan merupakan intervening variabel
dalam hubungan antara gaya kepemimpinan terhadap kinerja auditor; 3) budaya
organisasi tidak berpengaruh langsung terhadap kinerja auditor namun secara
Universitas Sumatera Utara
tidak langsung komitmen organisasi memediasi hubungan antara budaya
organisasi terhadap kinerja auditor.
Penelitian yang telah dilakukan di luar negeri yaitu seperti yang telah
dilakukan oleh Muqattash (2011) meneliti tentang objektivitas dan independensi
internal auditor terhadap aktivitas internal audit.
Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa adanya hubungan objektivitas dan independensi internal
audit berpengaruh positif dan signifikan terhadap aktivitas audit internal.
Beberapa penelitian terdahulu yang menyangkut internal audit atau
perilaku personil satuan pengawasan intern antara lain dilakukan seperti terlihat
pada tabel 2.2 sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. Theoritical Mapping
Nama Peneliti
(Tahun
Penelitian)
Judul Penelitian
Variabel Penelitian
Hasil Penelitian
Sukriah, Akram
dan Biana A. I.,
(2009)
Pengaruh Pengalaman Kerja,
Independensi, Obyektivitas,
Integritas dan Kompetensi
terhadap
Kualitas
Hasil
Pemeriksaan di Inspektorat
Pulau Lombok.
Variabel Independen:
Pengalaman
Kerja,
Independensi,
Objektivitas,
Integritas
dan Kompetensi.
Variabel Dependen:
Kualitas
Hasil
Pemeriksaan
Pengalaman Kerja, Objektivitas
dan Kompetensi berpengaruh
positif terhadap Kualitas Hasil
Pemeriksaan. Sedangkan untuk
Independensi dan Integritas tidak
berpengaruh signifikan terhadap
Kualitas Hasil Pemeriksaan.
Muqattash
(2011)
The Effect of the Factors in
the Internal audit Department
on the Internal Auditor
Objectivity in the Banks
Operating in the United Arab
Emirates.
Variabel
Independen:
Internal
Auditors
Objectivity
and
Independensi.
Variabel
Dependen:
Internal Audit Activity
Adanya hubungan positif yang
signifikan antara independensi
dan objektivitas auditor internal
terhadap aktivitas internal audit
Alim
M.
Nizarul, Trisni
Hapsari
dan
Lilik Purwati
(2007)
Pengaruh Kompetensi dan
Independensi
Terhadap
Kualitas audit dengan Etika
Auditor sebagai Variabel
Moderasi Seluruh Auditor
KAP di Pulau Jawa Timur.
Variabel Independen:
Kompetensi, Independensi
Variabel Dependen:
Kualitas Audit
Variabel Moderating:
Etika Auditor.
Kompetensi dan, Independensi
berpengaruh signifikan terhadap
Kualitas Audit, sedang Interaksi
Kompetensi dan Etika Auditor
tidak berpengaruh signifikan
terhadap Kualitas Audit.
Tarigan, Sabri
(2011)
Pengaruh Pengalaman Kerja,
Independensi, Objektivitas,
Integritas dan Kompetensi
terhadap
Kualitas
Hasil
Pemeriksaan di Inspektorat
Provinsi Sumatera Utara.
Variabel Independen :
Pengalaman
Kerja,
Independensi,
Objektivitas,
Integritas
dan Kompetensi.
Variabel
dependen:
Kualitas
Hasil
Pemeriksaan.
Pengalaman Kerja, Independensi,
Objektivitas,
Integritas
dan
Kompetensi
berpengaruh
terhadap
Kualitas
Hasil
Pemeriksaan secara simultan.
Sedangkan
secara
parsial
Pengalaman
Kerja
tidak
berpengaruh terhadap Kualitas
Hasil Pemeriksaan.
Trisnaningsih
Sri (2006)
Independensi Auditor dan
Komitmen
Organisasi
sebagai Mediasi Pengaruh
Pemahaman
Good
Governance,
Gaya
Kepemimpinan dan Budaya
Organisasi terhadap Kinerja
Auditor di KAP Seluruh
Indonesia.
Variabel Independen:
Good Governance, Gaya
Kepemimpinan
dan
Budaya Organisasi
Variabel Dependen:
Kinerja Auditor
Variabel intervening :
Independensi auditor dan
Komitmen Organisasi.
1) Pemahaman good governance
tidak
berpengaruh
langsung
terhadap
kinerja
auditor
melainkan berpengaruh tidak
langsung melalui independensi
auditor; 2) gaya kepemimpinan
berpengaruh langsung terhadap
kinerja auditor, tetapi komitmen
organisasi bukan merupakan
intervening
variabel
dalam
hubungan
antara
gaya
kepemimpinan terhadap kinerja
auditor; 3) budaya organisasi
tidak
berpengaruh
langsung
terhadap kinerja auditor namun
secara tidak langsung komitmen
organisasi memediasi hubungan
antara budaya organisasi terhadap
kinerja auditor.
Penelitian ini merupakan pengembangan atas penelitian yang telah
dilakukan oleh Sukriah, Akram dan Biana A. Inapaty (2009) tentang pengaruh
pengalaman kerja, independensi, obyektivitas, integritas dan kompetensi terhadap
kualitas hasil pemeriksaan. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa
pengalaman kerja, obyektivitas dan kompetensi berpengaruh positif terhadap
Universitas Sumatera Utara
kualitas hasil pemeriksaan. Sedangkan variabel independensi dan integritas tidak
berpengaruh signifikan terhadap kualitas hasil pemeriksaan.
Universitas Sumatera Utara
Download