1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fashion merupakan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fashion merupakan satu bidang tidak pernah ada habisnya. Berganti waktu
berganti pula tren yang ada. berganti tren berganti pula pakaian setiap orang. Fashion
kini telah menjadi bagian kebutuhan sekunder yang didasari oleh berbagai latar
belakang. Ada yang mengikuti tren fashion agar dianggap gaul atau terkini, ada yang
membeli fashion yang berharga tinggi agar dianggap orang kaya, dan ada juga yang
mengonsumsi fashion karena lingkungan dan sosial hidupnya. Alasan-alasan tersebut
kian menyeruak dan meluas mengikuti perkembangan kepentingan dan keinginan
masyarakat. Dan alasan-alasan tersebut yang menjawab mengapa fashion terus
berkembang hingga saat ini.
Berbagai macam pasar membuat segala macam jenis produk laku. Perkembangan
fashion juga dipengaruhi oleh perkembangan kultur berbusana di berbagai kalangan
dan subkultur. Sehingga setiap jenis produk fashion memiliki pasar sendiri dalam
penjualannya, hanya tinggal bagaimana cara menempatkan produk dalam pasar.
Perkembangan subkultur fashion ini juga tidak hanya dipengaruhi oleh aktor dalam
subkultur (trendsetter), pengaruh merek fashion dalam mengembangkan fashion
minded juga menjadi salah satu faktor pengaruhnya. Maka merek harus berusaha untuk
memasarkan produk pada pasar dengan menggunakan berbagai pendekatan.
Dengan berdasar nilai kegunaannya, produk fashion kini kian beragam. Ujung
rambut hingga ujung kaki kini dapat dilengkapi dengan pakaian. Tentunya alasan
penggunaannya busana tidak terbentuk dengan waktu singkat. Desainer fashion dan
merek fashion menjadi hal yang penting karena memperkenalkan varian dari pakaian
yang ada, seperti pakaian bangsawan, pakaian perang dan pakaian musiman (Barnard,
1
2002). Peluncuran koleksi perdana dari desainer Christian Dior pada 12 Februari 1947
menjadi cikal bakal komodifikasi di bidang fashion. Peluncuran koleksi dari Dior
tersebut menjadi titik perubahan fashion dari pakaian perang menjadi pakaian gaya,
perubahan ini kemudian dikenal dengan ungkapan “New Look”. Chanel dan merek
lainnya kemudian mengikuti jejak Dior dengan meluncurkan koleksinya. Dan kini
komodifikasi fashion telah menyebar ke segala macam kehidupan manusia tanpa
terkecuali, hingga kini pakaian yang dipakai seseorang dapat menunjukkan siapa
dirinya. Dan fashion pun menjadi simbol identitas dari suatu kultur atau komunitas
berdasarkan nilai yang dibawanya.
Salah satu kategori pasar fashion yang cukup berkembang adalah urban. Urban atau
tribes adalah suatu bentuk masyarakat yang tidak terikat pada organisasi, yang tumbuh
berdasar kondisi tertentu, keadaan pikiran yang diekspresikan melalui gaya hidup,
penampilan dan bentuk (Maffesoli, 1996: 98). Perkembangan urban kemudian
berujung pada neo-tribes bercabangnya yang berhubungan dengan aspek seperti
komunitas, subkultur, hingga ke gaya hidup.
Dan tentunya, gaya hidup, penampilan dan bentuk individu dalam urban juga tak
luput dari komodifikasi. Kaum muda menjadi sasaran yang paling empuk dari
berkembangnya komodifikasi dalam subkultur atau komunitas. Kultur kaum muda
kemudian terpecah secara homogen ke dalam divisi pasar, atau kita dapat menyebutnya
sebagai budaya pop (O’Connor, 2004). Frith (1996) mencontohkan konsumsi musik
sebagai
komodifikasi pada subkultur. Dijelaskannya, konsumen musik membeli
produk musik dengan alasan kualitas dari rilisan musik, popularitas dan identitas.
Selain Frith, McAlexander (1996) meyakinkan dengan pola konsumsi dipengaruhi oleh
nilai yang tumbuh pada subkultur itu sendiri. Ini menandakan bahwa subkultur
memiliki latar belakang nilai yang berkembang pada subkultur tersebut.
Bagaimana dengan fashion dalam urban? Fashion merupakan konteks yang paling
nyata dari sebuah urban (Kaiser & Michalski, 2012). Hebdige (1961) menjelaskan
2
bahwa sebuah subkultur, yang merupakan bagian dari urban, menggunakan fashion
sebagai salah satu identitasnya. Pakaian merupakan ekspresi dari dari sebuah identitas
(Tseelon, 1996). Ekspresi yang secara individu tersebut merupakan akan terus berjalan
sebagai media untuk beradaptasi dengan suatu komunitas atau lingkungan (Kaiser,
2012). Dapat kita simpulkan bahwa peran fashion dalam urban merupakan alat
penghubung antara subkultur, style dan identitas.
Streetstyle merupakan gaya fashion yang berkembang pada sektor urban. fashion
streetstyle
bahkan
menjadi
sejarah
dari
kumpulan
urban
dan
subkultur
(Polhemus,1994). Pola fashion dalan streetstyle secara primer terbentuk berdasarkan
latar belakang individu. Subkultur Skinhead misalnya, dengan latar belakang mereka
yang mayoritas sebagai buruh, boots menjadi satu ciri mereka karena durabilitas saat
bekerja. Maka dapat dikatakan bahwa streetstyle sejarahnya merupakan fashion yang
dihidupi secara kultural.
Namun originalitas streetstyle mulai terkikis seiring globalisasi. Streetstyle sudah
menjadi bagian industri, dan seperti yang dikatakan Kaiser (2012: 142), industri
mengubah sejarah fashion kaum urban menjadi tren pasar yang populer. Streetstyle
tumbuh menjadi tren yang dapat dianut oleh semua orang. Hingga kini bukan lagi hal
yang mengherankan jika seorang berdandan seperti skater dan ia tidak memiliki
hubungan dengan skateboard sama sekali.
Industri fashion streetwear urban dimulai oleh Shawn Stussy pada awal tahun
1980an (Breinholt, 2009). Stussy adalah seorang peselancar profesional yang
mendirikan sebuah perusahaan papan selancar bernama Stüssy dengan tanda tangannya
sebagai logonya. Stussy kemudian tanpa sengaja mempopulerkan kaos dengan logo
Stüssy dengan tujuan promo perusahaan papannya. Tak hanya pada kaos, logo Stüssy
kemudian menjadi terkenal karena tertera dimana-mana, papan, pakaian, dinding
graffiti hingga mobil. Stüssy dengan mudah menyentuh pasar surf, musik, seni dan
3
skate tanpa menggunakan iklan melainkan pengembangan subkultur (Sande, 2005).
Stüssy pernah menjadi merek wajib kaum streetculture saat itu.
Jaringan streetwear berkembang melalui mantan pekerja dan orang-orang yang
terkait dengan Stüssy. Banyak dari mereka kini berperan penting subkultur masingmasing dan mendirikan perusahaan clothing yang melebarkan sayap fashion street.
Keith Hufnagel, mantan skater Stüssy, kini menjalankan sebuah perusahaan sepatu
skateboard yang mulai naik namanya di kalangan street skater. James Jebbia yang
mendirikan clothing bernama Supreme menjadi salah satu yang paling berhasil dalam
bisnis streetwear. Pasar utama Supreme, subkultur hip-hop, rap dan skate, kini telah
menjadikan menjadi salah satu bagian dari identitas mereka (Anonymous, 2012).
Globalisasi kemudian membuat Supreme menjadi merek populer yang dikonsumsi
oleh para penggila fashion yang tidak memiliki kaitan dengan subkultur.
Fenomena globalisasi tersebutlah yang membuat streetstyle berkembang di
Indonesia. Streetstyle di Indonesia cukup berbeda karena menggabungkan sisi
ke’barat’an dengan nilai-nilai daerah yang berkembang. Subkultur di indonesia
memang berkembang dengan nilai-nilai barat seperti, skate, musik, rave dan lain-lain,
namun Luvaas (2014: 73-77) mengatakan bahwa ekspresi mereka dalam fashion
sangatlah berbeda dengan di Barat. Perbedaan ini terjadi akibat keberagaman budaya
indonesia, latar belakang dan terutama derasnya informasi global yang diterima
masyarakat Indonesia melalui media. Sehingga jelas Luvaas, tidak ada gaya yang
original yang kini berkembang di Indonesia.
Pada pertengahan era 90an, fashion berbasis distro, atau distribution outlet, mulai
tumbuh di indonesia. Pionir dari tren distro adalah merek bernama 347, atau sekarang
dikenal dengan nama UNKL. 347 berdiri atas dasar kecintaan pemilik terhadap
olahraga surfing. Walaupun begitu, 347 tidak menjadikan para pecinta surfing sebagai
pasar. Mereka memang pernah berhasil mengembangkan pemasaran pada subkultur
4
musik dan skateboard, namun saat ini 347 menjadikan desain, tren dan popularitas
sebagai fokus nilai pasar (Sabarani: 2008; Pertiwi, 2013).
Salah satu merek clothing dengan target pasar subkultur adalah KMPSYD. Berawal
dengan dengan pasar kaum muda, KMPSYD kini merambah pasar skate, rave dan
musik punk. KMPSYD merupakan merek asal Bandar Lampung yang berdiri pada
tahun 2010. Saat itu KMPSYD masih berdagang dengan merek Kamp*ng Syndicate.
Dengan nama merek yang terkesan nakal, pasar anak nakal di Kota Lampung pun
sukses diraih. Dengan alasan pasar yang kian menyempit, membentuk KMPSYD untuk
memperluas pasar. Konsep KMPSYD sangat menyesuaikan dengan kehidupan anak
muda kini.
Melihat hal tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai strategi
komunikasi pemasaran yang dilakukan KMPSYD untuk menjangkau kultur dan
subkultur yang ada. Setiap subkultur dan kultur tentu memiliki pola keterikatan yang
berbeda. Langkah pemasaran KMPSYD dapat dijadikan acuan dalam pembentukan
hubungan distribusi dengan kultur dan subkultur.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan
adanya masalah sebagai berikut: Bagaimana strategi komunikasi pemasaran KMPSYD
dalam menjangkau pasar subkultur dan komunitas?
C. Tujuan Penelitian
Menjabarkan strategi komunikasi pemasaran yang digunakan oleh KMPSYD untuk
menjangkau dan membentuk keterikatan dengan pasar subkultur dan komunitas di
lingkup hidupnya.
5
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini berguna sebagai pengembangan awal kajian pemasaran yang ada di ranah
kultur dan subkultur terutama merek fashion indie yang notabene menggunakan cara
yang lebih personal dalam melakukan distribusi dan menjual produknya.
2. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan oleh merek untuk memudahkan mereka dalam
melakukan komunikasi pemasaran pada pasar subkultur.
E. Kerangka Pemikiran
1. Komunikasi Pemasaran
Berdasar dari permasalahan KMPSYD, faktor komunikasi pemasaran menjadi
subjek utama. Komunikasi pemasaran dikembangkan dengan tujuan memudahkan
proses pemasaran. Pemasaran sendiri menurut William J. Stanton, seperti yang dikutip
oleh Basu Swastha (2007:10), “Pemasaran merupakan suatu rangkaian kegiatan yang
dilakukan pihak produsen yang bertujuan memberikan kepuasan terhadap kebutuhan
pembeli yang ada maupun pembeli potensial.” Rangkaian kegiatan yang dimaksud
berupa perencanaan dan penentuan harga, kegiatan promosi sampai kegiatan dalam
rangka mendistribusikan suatu barang atau jasa. Segala kegiatan yang terkait dengan
pemasaran tidak dapat terlepas dari konsep komunikasi itu sendiri. Dapat dikatakan
bahwa pemasaran juga merupakan suatu tindakan komunikasi yang tercipta antara
produsen dan calon konsumen. Komunikasi pada hakekatnya merupakan kegiatan
pertukaran informasi (Miller: 2001). Melalui komunikasi pemasaran produsen
6
memeberikan informasi tentang produknya duna memperkenalkan produk tersebut
secara gamblang kepada konsumen. Dengan kata lain pasar dapat digerakan dengan
adanya arus informasi. Informasi juga berlangsung kebalikan, konsumen secara tidak
langsung memeberi produsen informasi bahwa mereka membutuhkan barang dan jasa
pemuas kebutuhan. Dengan adanya beragam penawaran yang dilakukan melalui
komunikasi pemasaran secara otomatis memberi keleluasaan bagi calon konsumen
untuk mendapatkan barang atau jasa pemuas kebutuhan.
Komunikasi pemasaran menjaga hubungan antara produsen dan konsumen dengan
cara memperhatikan semua aspek yang meliputi komunikasi mengenai aspek produk,
tingkatan harga, tempat, strategi dan cara promosi. komunikasi pemasaran pun harus
ditentukan secara matang. Secara sederhana tujuan pemasaran adalah memperkaya
informasi yang dimiliki konsumen terhadap suatu produk mengubah. Selain itu adalah
mengubah paradigma konsumen mengenai suatu produk ke arah yang lebih baik.
Implikasi menarik dari hal tersebut berupa perubahan sikap dan perubahan tindakan
yang dialami oleh konsumen. Perubahan sikap ini bisa jadi berupa kesediaan konsumen
untuk membeli dan menggunakan secara berulang produk yang ditawarkan. Hal
terpenting dalam tahap ini adalah perencanaan mengenai anggaran yang akan
dihabiskan untuk melakukan pemasaran. Anggaran dapat ditentukan dalam berbagai
hal antara lain sesuai dengan kemampuan perusahaan, berdasarkan persentasi
penjualan, keseimbangan pesaing, dan metode tujuan dan tugas (Kotler & Amstrong:
2004: 602).
Konsep bauran pemasaran dari Philip Kotler (2005) dapat diterapkan. Bauran
pemasaran adalah seperangkat alat pemasaran yang digunakan perusahaan untuk terusmenerus mencapai tujuan pemasarannya di pasar sasaran. Berdasarkan definisi tersebut
diatas bahwa bauran pemasaran adalah kombinasi beberapa elemen bauran pemasaran
untuk memperoleh pasar, pangsa pasar yang lebih besar, posisi bersaing yang kuat dan
citra positif pada pelanggan sehingga dapat kita artikan bahwa tujuan pemasaran adalah
7
untuk meningkatkan jumlah pelanggan, meningkatkan hasil penjualan, serta dapat
memberikan keuntungan untuk perusahaan dan stakeholdernya.
Terdapat 4 elemen dalam bauran pemasaran yang dikembangkan oleh Kotler:
1.
Product
: sesuatu yang bisa ditawarkan ke pasar untuk mendapatkan
perhatian, pembelian,pemakaian, atau konsumsi yang dapat
memenuhi keinginan atau kebutuhan.
2.
Price
: sejumlah uang yang dibebankan untuk sebuah produk atau jasa.
3.
Promotion
: segala usaha yang dilakukan untuk mengomunikasikan dan
promosi produk pada target pasar.
4.
Placement
: berbagai kegiatan yang dilakukan perusahaan untuk membuat
produknya mudah diperoleh dan tersedia untuk konsumen
sasaran.
2. Strategi Komunikasi Pemasaran
Strategi komunikasi pemasaran adalah daya upaya dalam menyampaikan pesan
pemasaran pada target pasar. Strategi komunikasi pemasaran adalah dengan
mengombinasikan susunan pemasaran dengan pendekatan komunikasi. Ejombonteh
(2012) menjabarkan strategi pemasaran 4P dengan pola komunikasi, yakni sebagai
berikut:
a) Strategi harga
Harga merupakan penentu pilihan dari pembeli. Harga secara tidak langsung
menjadi salah satu faktor yang menari pembeli. Doole & Lowe (2004: 380384) menambahkan bahwa dalam penentuan harga terdapat konsistensi tujuan
dan image dari perusahaan. Maka harga merupakan pesan dari komunikasi
pemasaran yang dapat menarik pembeli.
8
b) Strategi tempat
Salah satu tujuan dari strategi komunikasi pemasaran ialah ialah menerapakan
sistem dimana barang dan jasa dapat disalurkan konsumen atau penjual dengan
cepat. Oleh karenanya, perlu dibentuk sebuah komunikasi yang baik antara
produsen atau penyuplai produk dengan penyedia tempat atau distributor.
c) Strategi produk
Produk adalah atribut atau nilai yang ditawarkan kepada pasar untuk
diperhatikan, akuisisi, atau konsumsi yang bisa memuaskan keinginan atau
kebutuhan (Doole & Lowe, 2004: 249-251). Konsumen selalu memiliki
menginginkan dan mengharapkan suatu produk diharapkan untuk memenuhi
kebutuhan tertentu, dan tugas pemasar dalam merumuskan strategi
komunikasi pemasaran adalah mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan
untuk memenuhi harapan tersebut.
d) Strategi promosi
Strategi promosi akan berkaitan erat dengan periklanan. Strategi ini akan
berisikan tentang informasi perusahaan dan produk yang kemudian disebar
kepada target pasar. Doole & Lowe (2004: 310-314) menjelaskan pentingnya
promosi karena tersalurnya informasi dapat mereduksi resiko bisnis pada
produsen, distributor maupun konsumen. Strategi pasar yang tidak dikelola
dengan baik dapatt mengakibatkan kurangnya pengetahuan konsumen yang
berujung pada pertimbangan harga.
Empat elemen tersebut akan berkaitan erat dengan strategi komunikasi pemasaran,
karena setiap langkah dalam elemen ini merupakan sebuah komunikasi pada pasar
berupa karakter dari produk dan merek.
Sebagai tahap lanjutan terdapat strategi bauran komunikasi pemasaran, yakni (Fill
& Jamieson, 2006; Kotler, 2004: 578-616):
9

Advertising
: Upaya presentasi dan promosi yang diterapkan dengan
ide, produk atau servis dengan membayar pada media.

Personal selling
: Presentasi personal yang dilakukan oleh perusahaan
secara langsung untuk meningkatkan penjualan dan
membentuk hubungan pelanggan.

Sales promotion
: Usaha jangka pendek untuk mendorong penjualan dari
produk/jasa.

Public relations
: Pembentukan relasi dengan masyarakat dengan upaya
membantu masyarakat, membentuk citra perusahaan dan
menghindari kabar yang tidak diinginkan.

Direct marketing
: Komunikasi langsung kepada target konsumen untuk
memperoleh respon—melalui penggunaan surat, telpon,
fax, e-mail, dan lain-lain.
3. Role Model Theory
Beranjak dari teori sosial learning, teori role model pun berkembang. Beragam
pendekatan pun dikembangkan, baik dari segi karir individu, maupun pada identitas
sosial. Kemper (1968: 31-45) menjelaskan bahwa role model merupakan seseorang
yang dianggap memiliki kemampuan, penampilan dan teknik yang tidak dimiliki oleh
individu, dari model tersebut, individu melakukan observasi dan komparasi antara
performa dirinya dengan model tersebut (Goethals & Darley, 1977; Wood, 1989).
Menurut Gibson (2003), peranan role model dibagi menjadi dua. Pertama adalah
konsep social learning, yang menurut Gibson merupakan pengembangan dari teori
Bandura yang diaplikasikan pada indicidu yang memperhatikan sosok model karena
dapat dijadiakan teladan dalam mempelajari suatu tugas, kemampuan dan norma.
10
Konsep ini bersifat psikologis yang cocok dengan sisi kemampuan kognitif dan pola
kebiasaan antara seseorang dengan individu yang mengobservasi. Sedangkan yang
kedua
adalah
konsep
dari
peran
yang
membuat
individu
cenderung
mengidentifikasikan dirinya dalam meembentuk peran dalam kepentingan sosial.
Dalam hal ini, individu tertarik pada sosok yang dianggapnya memiliki beberapa
kesamaan dengan dirinya dari segi atribusi, kebiasaan, tujuan atau hasrat untuk
memperoleh status, dan termotivasi untuk meningkatkan kesamaan. Walaupun
keduanya merupakan buah pengembangan dari teori social learning, penerapan
individu mengenai role model dibagi menjadi dua batasan tersebut.
Role model dapat menjadi siapa saja, baik selebriti, atlet, orang tua hingga teman
kita sendiri. Pada dasarnya, role model dianggap oleh individu sebagai sosok yang
dapat memimpim peningkatan diri dan inspirasi dalam lingkungan dan dalam keadaan
rendahnya moral diri (Lockwood & Kunda, 1997). Sings dkk. (2006) memberi contoh
mengenai penerapan role model dari segi pengembangan karir individu. Dalam
penelitiannya, setiap individu memiliki sosok tersendiri yang menginspirasi mereka
dalam melakukan aktivitas. Sosok yang dijadikan model pun tidak selalu sesuai dengan
karir yang ditekuni oleh individu, karena pada dasarnya, individu hanya mempelajari
hal atau aspek yang dianggapnya sesuai dengannya. Dari sisi identitas, Foote (1950)
menjelaskan bahwa identitas terbentuk dari segala macam motivasi yang tumbuh pada
lingkungan dengan adanya dukungan dari pengalaman dan pemikiran terhadapnya.
Foote dengan tegas bahwa proses pembentukan identitas merupakan proses dimana
individu mengaitkan dirinya dengan kelompok. Ini artinya identitas terbentuk dengan
adanya pola adaptasi perilaku atau role model pada lingkungan.
4. Pemasaran Cryptic
11
Pemasaran Cryptic adalah proses pengiriman pesan pemasaran yang berisi
disengaja, mendasari dan tersirat makna untuk subkultur atau subkelompok tertentu
dalam masyarakat arus utama yang mampu memecahkan kode dan memahami
(Choong, 2010). Lebih jelasnya, pemasaran Cryptic adalah strategi komunikasi
pemasaran yang menekankan pada identifikasi simbol dan isyarat, pembacaan sandi
dan mengertikan pesan yang tidak terlihat oleh si penerima atau target pasar (Choong,
2014: 212). Dalam penerapannya, pemasaran Cryptic bertujuan untuk membentuk
premis menggunakan pesan implisit. Choong (2014) mencontohkan pada penggunaan
gambar segitiga berwarna merah muda pada sebuah hotel untuk menyimbolkan
fokusnya untuk menjangkau pasar gay. Simbol kecil pun dapat mengubah persepsi
tanpa menggunakan pesan yang eksplisit.
Melakukan pendekatan pada pasar subkultur, perlu adaptasi secara semiotic.
Pemasar dapat menggunakan banyak pendekatan dengan pilihan yang berbeda dalam
menyampaikan pesan kepada khalayak, termasuk kamuflase, gerilya, virus atau target
pemasaran. Penggunaan strategi pemasaran Cryptic dapat menjangkau besaran dari
subkultur melalui media maistream dengan menghindari asosiasi negatif dari pasar
mainstream (Oakenfull, McCarthy & Greenlee, 2008; Oakenfull & Greenlee, 2005;
Bhat, Leigh & Wardlow, 1998).
Positive/Negative Feedback
Perceived value
Sender
Cryptic Code
Private Key
(Subculture)
Cryptic Decode
Private Key
(Subculture)
Primary Receiver
(Implicit Message)
Cryptic Decode
Public Key
(Culture)
Secondary Receiver
(Explicit Message)
Channel
Positive/Negative Feedback
Bagan I.1 Skema komunikasi Cryptic dari Choong (2009)
12
Model ini mengusulkan bahwa nilai-nilai yang dirasakan diidentifikasi melalui
penelitian subkultur yang tertanam ke dalam pesan pemasaran dan periklanan. Pesan
implisit kemudian di-decode oleh individu menggunakan pengetahuan subkulturnya
dan identitas personalnya. Pemahaman individu tersebut merupakan kunci untuk pesan
eksplisit agar ditransmisikan melalui saluran kepada masyarakat (Choong, 2010).
Penggunaan pemasaran Cyptic tidak membuat target pasar menjadi ciut. Pemasaran
Cryptic dapat mengandung makna implisit sekaligu eksplisit. Dengan menggunakan
simbolisme dan makna, iklan dapat dipasarkan melalui media tradisional tanpa
mengasingkan penonton mainstream. Sehingga, dalam media, pesan implisit dan
eksplist dapat diterapkan. Penggunaan pesan simbolis implisit pun bersifat meaningful
dan tidak mengganggu pesan eksplisit untuk pasar mainstream atau homogen (Choong,
2010).
F. Kerangka Konsep
Adanya pola konsumsi pada subkultur membuat pelaku pemasaran perlu menerapkan
berbagai macam nilai pada pemasarannya. KMPSYD, yang bertarget pasar pada
subkultur, selayaknya memerlukan stretegi komunikasi yang bersifat kultural.
Subkultur merupakan sebuah kontradiksi sosial yang terus bertransformasi. Subkultur
tidak hanya mengandung unsur kehidupan sosial melainkan juga nilai lainnya seperti
identitas, kebiasaan, fashion dan pola konsumsi. Maka dalam prakteknya, diperlukan
bentuk komunikasi pemasaran dengan pendekatan kultural akan berhubungan erat
dengan nilai-nilai yang tumbuh di subkultur target. Perbedaan pada target pasar
membuat KMPSYD perlu menggunakan strategi komunikasi pemasaran yang berbeda
dari segi pesan, bentuk dan tools pemasaran.
13
Penelitian akan berada dalam lingkup strategi komunikasi pemasaran. Secara
umum, strategi komunikasi pemasaran akan membedah unsur komunikasi yang
terdapat dalam harga, penempatan, produk dan promosi. Selain “4P”, strategi
pemasaran akah membahas tentang penggunaan media dalam melakukan pemasaran.
Media tersebut tidak hanya yang digunakan dalam iklan dan promosi, namun juga
seluruh unsur 4P, karena setiap unsurnya menggunakan media dalam menyampaikan
pesan terselubung.
KMPSYD sampai saat ini memiliki eksistensi yang cukup besar di pasaran,
mengalahkan para pesaingnya. Eksistensi ini cukup menarik karena KMPSYD tidak
memprioritaskan iklan komersil seperti poster majalah ataupun radio. Komunikasi
pemasaran yang dilakukan cenderung berupa press dan update lewat website dan
media sosial. Jangka waktu KMPSYD melakukan press dan updates yang mereka
sebar bukan setiap hari, namun bisa 1 bulan sekali. Minimnya penyebaran informasi
ini perlu diusut lebih jauh karena secara logis tidak setara dengan eksistensi yang
dimiliki oleh KMPSYD sampai saat ini.
Strategi komunikasi pemasaran KMPSYD kemudian akan dikaitkan dengan
stretegi komunikasi pemasaran sosial kultural secara struktural. Pasar dari KMPSYD
memiliki fokus yang berbeda, luas dan kompleks, yaitu subkultur. Oleh karenya,
KMPSYD dalam melakukan setrategi komunikasi pemasaran perlu mengadopsi nilai
dan kultur yang ada pada subkultur pasaranya. Dalam strategi komunikasi pemasaran
berkonteks kultur, objek yang diteliti adalah pada segmentasi dan identifikasi pasar,
adaptasi pesan, kredibilitas sumber pesan dan integrasi kampanye pemasaran. Hal ini
akan berkaitan dengan pesan yang digunakan, media penyampaian pesan dan adaptasi
program.
Mengingat lingkupnya yang berada di bidang fashion, KMPSYD
membutuhkan alat dan media baru dalam program pemasaran. Media tersebut adalah
seperti lookbook atau endorsement, namun sifatnya tidak terpaku karena menyesuaikan
14
dengan pasarnya. Namun dalam pemasaran fashion dengan basis komunikasi kultural,
media pemasaran membutuhkan nilai lebih daripadanya. Media pada ranah kultural
digunakan untuk melakukan pedekatan secara langsung pada nilai-nilai yang eksis
dalam subkultur. Sebabnya, KMPSYD berbeban umtuk menerapkan unsur kultural
pada pemasaran fashionnya. Bentuk komunikasi pemasaran fashion kultural akan
diperhatikan dalam penelitian ini.
Dengan segala aspek yang ada, maka konsep penelitian akan menjadi
seperti berikut:
(Komunikator)
KMPSYD
(Strategi Komunikasi
Pemasaran Pemasaran)
Kultur
Fashion
(Pesan)
Kultural
(Media Pemasaran)
(Pasar)
Subkultur
: Objek Penelitian
Bagan I.2 Bagan Kerangka Konsep.
G. Metodologi Penelitian
15
Metode yang digunakan dalam penielitian ini adalah metode studi kasus.
Metode studi kasus digunakan karena strategi komunikasi pemasaran dari KMPSYD
perlu dijelaskan secara mendetail dan terperinci, mengingat pasar KMPSYD yang
berbeda dari merek kebanyakan. Dalam prakteknya, komunikasi pemasaran dari
KMPSYD meliputi jangkauan pasar, pembentukan identitas personal, kolaborasi,
konten pemberitaan dan sosial media, iklan hingga event rutin. Studi kasus juga
meliputi beragam sebab dan alasan secara mendetail mengenai semua langkah yang
berkenaan dengan perihal komunikasi pemasaran. Sifat penelitian deskriptif juga
menjadi alasan digunakannya metode studi kasus pada penelitian ini.
Sumber penelitian ini nantinya akan beragam walaupun tetap terfokus. Objek
penelitian yang merupakan bagian dari beberapa subkultur mengakibatkan beberapa
aktor dari subkultur dapat menjadi sumber dari penelitian. Walaupun lingkup cukup
besar karena KMPSYD memiliki jangkauan komunikasi yang cukup luas, penelitian
akan tetap memaksimalkan efektifitas yang bertolok ukur pada rumusan masalah.
H. Teknik Pengumpulan Data
1. Wawancara
Wawancara mendalam merupakan metode pengumpulan data yang sering
digunakan dalam penelitian kualitatif. Wawancara mendalam merupakan percakapan
antara peneliti dengan seorang informan atau sampel (Berger, 2000: 111). Wawancara
biasanya dilakukan untuk mengetahui seluk beluk dari informan itu sendiri maupun
informasi yang dimiliki oleh informan itu sendiri. Pada penelitian ini, wawancara akan
dilakukan pimpinan, bagian pemasaran, bagian distribusi, pelaksana pemasaran dan
beberapa perangkat yang terkait dalam pelaksanaan proses pemasaran. Jenis
wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi struktur,
mengingat objek penelitian bukan dari kalangan yang formal.
16
2. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data dari dokumen yang
merepresentasikan dari berbagai proposisi (Thomas, 2011: 164). Dokumen yang
digunakan untuk penelitian ini bersumber dari dokumen dari band, label rekaman,
dokumen komunitas, artikel di media mengenai band dan literatur. Teknik ini
digunakan karena KMPSYD telah melakukan berbagai kegiatan komunikasi
pemasaran. Dokumen dalam penelitian ini dapat berupa flyer, iklan, foto, video dan
konten di media. Teknik ini dapat digunakan untuk mengkover hasil data yang didapat
dari wawancara.
3. Teknik Analisis Data
Teknik Analisis yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif. Teknik ini
menurut Yin (2009: 131-132) dilakukan dengan tiga langkah, yakni enumerasi, tabulasi
atau kategorisasi dan kuantifikasi. Marshall dan Rossman (1999: 150) menjabarkan
langkah tersebut sebagai berikut:
a. Enumerasi data dilakukan dengan memilah data kasar ke dalam data yang
terorganisir sehingga mudah untuk dibaca. Contohnya adalah mentranskrip hasil
wawancara dan reduksi dokumen.
b. Tabulasi dilakukan memisahkan data-data ke berbagai kategori dan “kotak” yang
ada.
c. Kuantifikasi adalah menguji data yang telah dikategorikan dengan basis hipotesis
atau asumsi yang dikembangkan oleh peneliti. Tahap ini juga memperhatikan
kesesuaian data dengan kebutuhan penelitian.
17
Bila setelah langkah tersebut data yang diperlukan dirasa kurang lengkap, peneliti
dapat mencari data alternatif dengan data tambahan sebelum akhirnya hasil penelitian
dituliskan dalam laporan akhir.
4. Keabsahan Penelitian
Penelitian ini menggunakan keabsahan konstruk untuk menguji keabsahan
penelitian. Menurut Yin (2009: 40-43) keabsahan konstruk mengidentifikasikan
ukuran data operasional yang didapat dengan konsep yang menjadi tolok ukur. Cara
uji ini juga dapat didukung oleh proses triangulasi, yakni uji kesesuaian antara hasil,
konsep dan realita (O’Donoghue & Punch, 2003: 78). Triangulasi data menggunakan
berbagai sumber data seperti dokumen, arsip, hasil wawancara, hasil observasi atau
juga dengan mewawancarai lebih dari satu subjek untuk mendapatkan hasil dan realita
dari sudut pandang lain.
18
Download