I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ilmu forensik didasari oleh metode ilmu alam dan dikategorikan ke dalam ilmu pengetahuan alam. Ilmu pengetahuan alam menganggap sesuatu memang ilmiah apabila didasari oleh fakta (empirisme), kebenaran ilmiah yang dapat dibuktikan (positivisme), serta analisanya mampu dituangkan dengan masuk akal dan bermakna sehingga hasilnya dapat disampaikan ke masyarakat luas (Siswanto, 2010). Meningkatnya kasus kejahatan seperti pemerkosaan, bom dan mutilasi serta banyaknya bencana alam yang tidak terduga seperti tsunami, pesawat jatuh dan tanah longsor, mengakibatkan banyak korban yang tewas dan sulit dikenali secara fisik sehingga meningkatkan jumlah korban yang tidak diketahui identitasnya (Octavia, 2015; Junitha dan Alit, 2011; Wirasuta, 2008). Proses pengungkapan identitas korban sangat penting dilakukan untuk penanganan kasus kejahatan maupun bencana alam. Kesalahan dalam identifikasi korban akan berakibat fatal pada proses penanganan selanjutnya. Kesulitan dalam mengidentifikasi korban secara fisik menimbulkan suatu alternatif proses identifikasi korban yang paling akurat untuk mengungkapkan identitas seseorang dengan menggunakan analisa DNA sebagai bukti primer (Junitha dan Alit, 2011). DNA mikrosatelit dikenal juga sebagai Simple Sequence Repeat (SSR). Pada bidang genetika, khususnya kedokteran forensik, DNA mikrosatelit juga disebut sebagai Short Tandem Repeat (STR) memiliki tingkat akurasi yang tinggi, sangat tepat digunakan untuk kepentingan mengungkap identitas korban (Butler, 2004). Penanda DNA mikrosatelit terdiri dari 2-6 pasang basa yang berulang dengan kecepatan mutasi relatif tinggi yaitu 0-8 x 10-3 (Weber and Wong, 1993). Maka DNA mikrosatelit sering digunakan untuk mempelajari kekerabatan antar populasi di Indonesia. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Unadi dkk., (2010) tentang variasi genetik pada suku Batak di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung dilakukan dengan menggunakan tiga lokus DNA mikrosatelit yaitu lokus D2S1338, D13S317 dan D16S539. Penelitian ini menunjukkan bahwa amplifikasi DNA menghasilkan 14 alel pada lokus D2S1338, 10 alel pada lokus D13S317 dan i delapan alel pada lokus D16S539. Penelitian lainnya adalah identifikasi alel masyarakat Dayak Kaharingan di Kota Palangka Raya dengan menggunakan tiga lokus DNA mikrosatelit autosom menunjukkan bahwa terdapat 11 alel pada lokus D2S1338 dan Sembilan alel pada lokus D13S317 dan lokus D16S539 (Octavia, 2015). Indonesia merupakan negara multikultural yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Keberagaman suku bangsa ditandai dengan adanya perbedaan ras, bahasa, agama, kepercayaan, adat istiadat (custom), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores) serta perbedaan bentuk sosial budaya lainnya (Nasikun, 1993). Masyarakat Hindu di Bali membentuk kelompok-kelompok berdasarkan garis keturunan laki-laki (patrilineal) yang diyakini merupakan keturunan dari satu leluhur disebut sebagai soroh (klan) yang memiliki Pura Kawitan utama. Salah satu diantara soroh-soroh tersebut adalah soroh pande yang tersebar di Pulau Bali. Berdasarkan sejarah, masuknya masyarakat soroh Pande yang berasal dari berbagai sumber genetik sejak zaman pra sejarah dan menjadi cikal bakal soroh Pande saat ini terjadi dalam beberapa gelombang. Perpindahan masyarakat soroh Pande diperkirakan pada 2500 tahun lalu di zaman perunggu. Perpindahan masyarakat soroh Pande ini terjadi karena adanya perselisihan antar Raja India, yaitu bangsa Drawida yang merasa terdesak atas kedatangan bangsa Arya dari Eropa Timur di daerah Lembah sungai Hindus (India Utara) pada tahun 5.500 tahun yang lalu. Masyarakat soroh Pande menggunakan perahu bercadik (khas Nusantara) secara berkelompok menyebar melalui beberapa daerah yaitu, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Pulau di Filipina, Jawa, Bali dan sebagainya (Darmada dkk., 2007). Kemudian, masyarakat yang berprofesi mengolah logam juga dinyatakan berasal dari Teluk Tonkin, Cina. Selain itu, pada 300 tahun sebelum masehi, masyarakat yang menetap di Dongson, Vietnam sebagai pusat kebudayaan logam juga dinyatakan sebagai cikal-bakal warga Pande yang berkembang menjadi klan atau soroh Pande di Bali. Disamping itu, kedatangan leluhur masyarakat soroh Pande ke Bali dari Pulau Jawa bersamaan dengan kedatangan para tokoh dan penguasa pembentuk masyarakat Bali. Kemudian ii menyebar ke berbagai daerah yang memerlukan mereka, sehingga masyarakat soroh Pande tersebar hampir di seluruh Bali (Darmada dan Sutama, 2001). Pada tahun 1975 telah berdiri sebuah organisasi yaitu Maha Semaya Warga Pande (MSWP). Organisasi ini dibentuk agar semua warga Pande diseluruh Bali bersatu tanpa memandang siapa yang paling tinggi dan tidak saling merendahkan dengan mengadakan sebuah perjanjian bahwa semua warga Pande berasal dari keturunan yang sama yaitu dari Mpu Brahma Wisesa. Keberadaan organisasi MSWP yang bertujuan mulia ini dibentuk di Provinsi, Kabupaten dan Kecamatan, sehingga keberadaan organisasi MSWP ini sangat membantu dalam memberikan informasi tentang jumlah masyarakat soroh Pande yang ada di Bali. Salah satu ciri khas keberadaan masyarakat soroh Pande adalah adanya Patirtan Perapen dimasing-masing rumah (Gambar 1). Patirtan Perapen merupakan sumber mata air suci untuk memohon tirta perapen bagi lelintihan pasemetonan pande dalam kegiatan keagamaan tertentu (Jiwa, 2013). Gambar 1. Patirtan Perapen masyarakat soroh Pande Luas wilayah pulau Bali dari tahun 2010 hingga saat ini sekitar 5636,66 km2 dengan kepadatan penduduk yaitu 690 per km2 dengan total jumlah penduduk sebesar 3.890.756 jiwa. Dari seluruh penduduk Bali tersebut sebesar 643.473 jiwa merupakan penduduk pendatang yang tinggal baik di kota-kota maupun di pedesaan (Badan Pusat Statistik, 2010). Dengan demikian penelitian variasi genetik untuk pembuatan database DNA kelompok-kelompok masyarakat di Bali akan lebih baik bila menggunakan pendekatan soroh dibandingkan dengan pendekatan wilayah. iii Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukanlah penelitian menggunakan tiga lokus DNA mikrosatelit autosom untuk mengetahui ragam alel yang tersebar pada masyarakat soroh Pande di Kabupaten Gianyar serta sebagai referensi untuk memudahkan pengungkapan identitas korban yang tidak dapat dikenali secara fisik dan bermanfaat dalam kepentingan forensik. 1.2. Rumusan Masalah 1. Berapakah ragam alel, keragaman genetik serta Power of Discrimination yang ditemukan pada masing-masing lokus DNA mikrosatelit autosom pada masyarakat soroh Pande di Kabupaten Gianyar ? 2. Bagaimanakah pengelompokan sampel masyarakat soroh Pande di Kabupaten Gianyar berdasarkan tiga lokus DNA mikrosatelit autosom yang digunakan ? 1.3. Tujuan 1. Untuk mengetahui ragam alel, keragaman genetik serta Power of Discrimination yang ditemukan pada masing-masing lokus DNA mikrosatelit autosom pada masyarakat soroh Pande di Kabupaten Gianyar. 2. Untuk mengetahui pengelompokan sampel masyarakat soroh Pande di Kabupaten Gianyar berdasarkan tiga lokus DNA mikrosatelit autosom yang digunakan. I.4. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai ragam alel, keragaman genetik serta Power of Discrimination pada masingmasing lokus D2S1338, D13S317 dan D16S539 pada masyarakat soroh Pande di Kabupaten Gianyar. Data yang dihasilkan dapat digunakan untuk melengkapi DNA database suku-suku yang ada di Indonesia dan bermanfaat dalam kepentingan forensik. iv