makalah - Pusham UII

advertisement
SEMINAR
PENGARUSUTAMAAN KORUPSI SEBAGAI
PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
Jogjakarta Plaza Hotel, 15 Mei 2012
MAKALAH
PENGARUSUTAMAAN KORUPSI SEBAGAI
PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA MELALUI
MEKANISME PENGADILAN DI INDONESIA.
Oleh:
Dr. Artidjo Alkostar, SH.LLM
Ketua Muda Pidana MA-RI
MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA
KOMISI YUDISIAL
REPUBLIK INDONESIA
Norsk Senter for Menneskerettigheter
Norwegian Centre for Human Rights
PENGARUSUTAMAAN
KORUPSI
SEBAGAI
PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA MELALUI
MEKANISME PENGADILAN DI INDONESIA.
Oleh : Dr. Artidjo Alkostar, SH.LLM
Ketua Muda Pidana MA-RI
1. Korupsi sebagai Fenomena Global.
Korupsi merupakan manifestasi dari rokhani yang
sakit dari individu dan kelompok orang yang rakus dan
menjadi dosa sosial bagi bangsa. Kanker korupsi selalu
menggerogoti tubuh negara yang lambat laun akan
mengakibatkan negara kehilangan marwah (harga diri)
dan kemampuannya melindungi warga negaranya.
Konotasinya, korupsi politik dan ekonomi merupakan
korupsi kemanusiaan, karena merampas hak-hak dasar
sosial-ekonomi rakyat.
Korupsi selalu mengakibatkan hancurnya martabat
kemanusiaan suatu bangsa, untuk itu penanggulangan
korupsi selalu menuntut adanya inisiasi kepemimpinan
untuk memberikan contoh dan inspirasi antikorupsi.
Pada saat yang sama kesadaran kolektif masyarakat
madani harus selalu diperpeka nurani kemanusiaannya
dan diperluas gerakan moral-sosial untuk bersama-sama
mengibarkan bendera perang terhadap korupsi.
Para penegak hukum korupsi selalu dituntut untuk
menambah dan memaksimalkan pengetahuan hukum
(knowledge), meningkatkan skill yang berupa legal
technical capacity__keterampilan teknis menerapkan
hukum serta meneguhkan integritas moral termasuk
memperpeka nurani kemanusiaan terhadap korban
korupsi. Tuntutan tersebut sesuai dengan kualifikasi
korupsi di Indonesia yang secara yuridis dikualifikasikan
sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes).
Konotasinya, para penegak hukum korupsi harus
memiliki paradigma hukum dan ketangguhan mental
yuridisnya yang luar biasa. Pada saat yang sama, para
penegak hukum korupsi harus mempertegas VISI dan
MISI
penegakan
hukum
korupsi.
VISI
MISI
terlindunginya martabat
Kemanusiaan korban
Korupsi.
Zero tolerance
terhadap korupsi.
2. Perjuangan Menegakan hak asasi manusia, tidak
pernah mencapai garis finis, karena berada dalam
komplek lingkaran sirkuit interaksi antar manusia.
Dalam proses penegakan martabat manusia selalu ada
gesekan dan benturan kepentingan antar individu,
2
kelompok dan otoritas kekuasaan, terutama dalam
pemerintahan yang di dalamnya banyak terjadi korupsi
politik. Karena di dalamnya ada persilangan pelaksanaan
hak dan kewajiban antar manusia yang otonom. Gerak
perjalanan perlindungan hak asasi manusia sering
tersendat pada simpul pertautan antara implementasi hak
rakyat dengan praktek penyelenggaraan negara.
Seperti halnya bangsa-bangsa lain di dunia, bangsa
Indonesia telah, sedang dan akan mengemban tugas
menulis risalah peradaban bangsanya sendiri melalui
praktek menerapkan martabat kemanusiaanya. Rekam
jejak (track record) pemerintahan orde baru dalam
bidang hak asasi manusia masih segar melekat pada
memori kolektif bangsa, terutama yang langsung
menjadi korban dari pelanggaran hak asasi. Bahkan
kesaksian sejara tentang benturan nilai kemanusiaan
dalam praktek penerapan kekuasaan kerajaan-kerajaan
lama di nusantara sampai penjajahan Belanda dan
Jepang dapat ditemukan dalam buku, artefak dan
prasasti. Hal mengada dalam praktek interaksi sosial.
Kearifan seuatu bangsa dapat ditunjukan dalam
kecerdasan mengambil hikmah kejadian masa lalu.
Konotasinya, kejahatan terhadap kemanusiaan masa lalu
tidak boleh terulang lagi saat ini dan di masa mendatang.
Hanya saja, budaya politik dan ideologi pemangku
kekuasaan pemerintahan berkorelasi dengan corak
kejahatan hak asasi manusia dan modus operandi
kejahatan yang dilakukan oleh penjahat hak asasi
manusia. Pemegang oligarki kekuasaan negara selalu
berpotensi mengabaikan hak-hak rakyat yang rentan
3
secara politik. Kejahatan terhadap hak asasi manusia
pada masa orde baru dan masa transisi ke reformasi,
menunjukan corak penggunaan kekuatan aparatur dan
penyalahgunaan kekuasaan politik yang hingga saat ini
belum ada penyelesaian tuntas.
Pada masa hingga tahun 2012 ini kejahatan hak asasi
bermatamorfose menjadi perampasan hak-hak ekonomi
dan sosial milik rakyat melalui gurita korupsi politik
yang menyebar secara endemik. Kendatipun hak-hak
asasi telah dijamin dalam amandemen UUD 1945 dan
berbagai perangkat hukum lainnya bahkan negara kita
telah
banyak
meratifikasi
konvensi-konvensi
internasional tentang hak asasi manusia, namun
pelanggaran hak asasi dalam berbagai corak dan
varianya tetap banyak terjadi. Hal ini membuktikan
bahwa jaminan perlindungan hak asasi secara tertulis
masih perlu dikawal pelaksanaanya oleh seluruh
komponen bangsa, terutama lembaga masyarakat seperti
media, LSM, ormas dan perguruan tinggi. Gurita korupsi
merayap ke berbagai sektor dan instansi dengan
menghisap darah kehidupan kolektif rakyat.
Ganasnya cengkeraman gurita korupsi yang
menghisap kekayaan negara dan melemahkan
perekonomian nasional, mengakibatkan banyak rakyat
tidak dapat menikmati distribusi kekayaan negara secara
adil. Masih banyaknya rakyat yang hidup dibawah garis
kemiskinan dan pada saat yang sama beberapa orang
memakan uang negara trilyun rupiah, merupakan potret
pelanggaran hak asasi yang sistemik.
4
Gurita korupsi juga mengakibatkan rakyat miskin
terhalang mendapatkan akses terhadap keadilan. Rakyat
yang lemah juga akan sulit mendapatkan perlakuan yang
sama dihadapan hukum. Racun gurita korupsi akan
membuat lemas organ tubuh institusi penegak hukum.
Untuk itu, para penegak hukum perlu minum pil
antiracun gurita korupsi agar diri kelembagaanya
memiliki daya tahan tubuh yang prima.
2. Masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia hingga
tahun 2012 saat ini adalah merajalelanya korupsi,
terutama yang berkualifikasi korupsi politik. Korupsi
merupakan faktor penghalang pembangunan ekonomi,
sosial, politik dan budaya bangsa. Negara Indonesia
sejak tahun 2002 dengan diberlakukannya UndangUndang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
mengklasifikasikan kejahatan korupsi sebagai kejahatan
luar biasa (extra ordinary crimes), karena korupsi di
Indonesia sudah meluas dan sistematis yang melanggar
hak-hak ekonomi masyarakat. Untuk itu memerlukan
cara-cara pemberantasan korupsi yang luar biasa.
Sprit Undang-Undang No.31 Tahun 1999, UndangUndang No.20 Tahun 2001, dan Undang-Undang No.30
Tahun 2002, tidak lepas dari semangat dunia
internasional yang mencetuskan Declaration of 8 th
International Conference Against Corruption tanggal 7
– 11 September 1977 di Lima yang mencetuskan
pemberantasan korupsi secara internasional. Negara
Indonesia juga mengambil langkah hukum dengan
5
meratifikasi United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC) berdasarkan Resolusi 58/4 tanggal
31 Oktober 2003, sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang
Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti
Korupsi, 2003.
Posulat moral yang melatarbelakangi kelahiran
United Nations Convention Against Corruption 2003,
antara lain karena korupsi bukan lagi masalah lokal
tetapi sudah menjadi fenomena internasional yang
mempengaruhi kehidupan politik dan ekonomi serta
aspek kehidupan lainnya. Intensitas korupsi dinilai
mengancam nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan
keadilan serta mengacaukan pembangunan berkelanjutan dan penegakan hukum.
Negara Indonesia sebagai Negara Pihak yang telah
meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi tersebut,
dituntut untuk dapat melakukan pemberantasan korupsi
secara efektif dengan mempergunakan sistem hukum
nasionalnya
serta
instrumen-instrumen
hukum
internasional yang terkait dengan korupsi. Dengan
adanya Konvensi PBB Anti Korupsi, kejahatan korupsi
di Indonesia dan di negara-negara yang meratifikasi
menjadi berkualifikasi internasional. Konotasinya,
stakeholder dari kejahatan korupsi dan proses
penyelesaiannya menjadi tambah luas. Para Investor luar
negeri, Bank Dunia, dan lembaga keuangan asing, akan
menjadi pihak yang dirugikan jika terjadi korupsi yang
menyangkut hak mereka di Indonesia. Jadi, para pihak
yang berkepentingan dan terkait secara moral dengan
6
korupsi tidak hanya pelaku kejahatan, tetapi juga negara,
masyarakat Indonesia, bahkan juga masyarakat
internasional. Korupsi yang mengambil keuangan dan
merugikan perekonomian negara, telah, sedang dan akan
selalu merampas hak-hak strategis rakyat (stakeholder)
untuk dapat hidup secara layak.
Dalam kejahatan HAM (hak asasi manusia) yang
dikualifikasikan sebagai extra ordinary crimes, maka
menjadi
tanggungjawab negara (Orga Omnes
Obligation) untuk mengadilinya, karena extra ordinary
crimes masuk dalam domain Hostis Humanis Generis
atau musuh seluruh umat manusia. Dalam menelaah
kejahatan korupsi dan kejahatan Hak Asasi Manusia
(HAM) di Indonesia Larry Diamond, dalam bukunya
The Spirit Of Democracy (2008:220) menegaskan To be
sure,Indonesia remains a troubled democracy with an
extremely weak rule of law. Abuse of public office for
private gain remains endemic…..Corrupts relationships
between powerful private actors, government
bureaucrats, politicians and security officials infuse the
political system and undermine if from within. As a
result oligarchic business interest exercise a
preponderant influence on parties, legislatures, and the
executive. Corruption seeps deep into many local
administration, often hand in hand with egregious
human right abuses. Jadi menurut Larry Diamond,
negara Indonesia masih ada masalah dalam penerapan
demokrasi serta begitu lemahnya penegakan hukumnya.
Penyelahgunaaan
instansi
pemerintahan
untuk
kepentingan pribadi masih merajalela. Praktek korupsi
7
antara orang-orang swasta berpengaruh dengan orangorang pemerintah, politisi dan aparat keamanan merasuk
ke dalam sistem politik dan merusak dari dalam. Sebagai
akibatnya kepentingan bisnis kelompok kecil melakukan
pengaruh lebih besar terhadap partai, anggota DPR dan
pejabat pemerintahan. Korupsi banyak terjadi di banyak
pemerintah daerah, dan sering bertali-temali dengan
pelanggaran hak asasi manusia.
Korban (victims) langsung maupun tidak langsung
dari kejahatan korupsi adalah negara dan rakyat, karena
dengan adanya kejahatan korupsi maka keuangan dan
perekonomian negara menjadi berkurang dan terganggu.
Lebih dari itu, korbannya adalah masyarakat yang lemah
secara ekonomis atau rentasn secara politis. Rakyat
miskin menjadi tidak dapat berkehidupan secara layak
dan anaknya tidak dapat mendapat pendidikan yang
wajar. Para koruptor menjadikan negara sebagai korban
(Victim State). Untuk itu, diperlukan adanya perangkat
hukum yang kuat untuk menanggulangi korupsi. Dengan
mengutip filosof Plato, Amartya Sen dalam bukunya
Development As Freedom) (1999;127-127) mengatakan
Plato suggested in the Laws that a strong sense of duty
would help to prevent corruption, jadi diperlukan adanya
rasa tanggung jawab bersama yang kuat untuk mencegah
timbulnya korupsi.
Kejahatan korupsi secara langsung maupun tidak
atau
langsung
merugikan
keuangan
negara
perekonomian negara, yang pada saat yang sama
merugikan
rakyat.
Dengan
demikian,
upaya
pemberantasan korupsi tidak realistis jika tidak
8
mengikutsertakan masyarakat sebagai stakeholder.
Dalam pasal 41 Undang-Undang No.31 Tahun 1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi ditentukan
adanya peran masyarakat.
Peluang
ini sebagai
konsekuensi logis dari posisi masyarakat dalam negara
demokrasi sebagai stakeholder dalam kehidupan
bernegara. Seperti halnya juga dalam Konvensi PBB
Anti Korupsi pada pasal 13 menjamin adanya partisipasi
masyarakat. Antara lain menegas-kan: Negara Pihak
wajib mengambil tindakan-tindakan yang semestinya,
dalam kewenangan dan sesuai dengan prinsip-prinsip
dasar hukum nasionalnya, untuk meningkatkan
partisipasi aktif perorangan dan kelompok di luar sektor
publik, seperti masyarakat sipil, organisasi-organisasi
non pemerintah dan organisasi-organisasi berbasis
masyarakat, dalam pencegahan dari dan perlawanan
terhadap korupsi dan meningkatkan kewaspadaan
masyarakat mengenai keberadaan, penyebab dan
kegawatan serta ancaman dari korupsi.
Secara yuridis dalam upaya pemberantasan korupsi,
masyarakat diberikan mandat hukum untuk memberikan kontribusi peran sosial, yaitu untuk berinteraksi
dan bersama penegak hukum dalam pemberantasan
korupsi dan dalam jangkauan yang lebih luas
menciptakan Good Government. Operasionalisasi peran
masyarakat (LSM, Ormas, Perguruan Tinggi, Mass
Media) dapat diaktualisasikan dalam aktivitas kontrol,
monitoring, pengajuan konsep, dan sejenisnya.
Konsekuensi etis dari adanya peran partisipasi
masyarakat, maka pada saat yang bersamaan efektifitas
penerapan Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang
9
Perlindungan Saksi dan Korban merupakan keniscayaan.
Dalam kasus korupsi adalah jaminan hak yang
memperoleh perlindungan hukum bagi masyarakat yang
memberikan informasi adanya dugaan korupsi
sebagaimana ditentukan dalam pasal 41 ayat 2 d
Undang-Undang No.31 Tahun 1999.
3. Tugas yuridis Pengadilan korupsi.
Dalam proses memeriksa dan memutus perkara
korupsi, Pengadilan dituntut untuk menelorkan nilai
kebenaran dan keadilan. Hukum merupakan kehendak
kebajikan yang ada dalam struktur rokhaniah masyarakat
bangsa Indonesia. Putusan pengadilan korupsi harus
selalu mencerminkan keadilan bagi korban korupsi,
pemangku kepentingan (stake holder) dan penjahat yang
korupsi. Pengarusutamaan penanganan kasus korupsi
merupakan konsekuensi logis dari korupsi yang menurut
hukum Indonesia telah dikategorikan sebagai kejahatan
luar biasa.
Mahkamah Agung telah melatih para Hakim yang
menangani perkara korupsi baik Hakim karier maupun
Hakim ad hoc, sehingga perkara korupsi ditangani oleh
para Hakim yang memiliki kompetensi. Apalagi di
Mahkamah Agung telah diterapkan sistem kamar yang
dengan demikian perkara korupsi ditangani oleh Kamar
Pidana Khusus, sehingga disparitas pidana dapat
dihindari dan proses penanganannya tidak memakan
waktu lama, karena ditangani oleh ahlinya.
Korupsi dinyatakan sebagai extra ordinary crimes,
karena korupsi telah meluas dan sistematis serta
10
merampas hak-hak asasi sosial-ekonomi rakyat,
sehingga menuntut adanya spirit keadilan para penegak
hukum, agar ada distribusi keadilan bagi korban korupsi
yaitu terutama rakyat miskin. Konsekuensi yuridisnya,
pidana yang menjerakan, pengembalian uang pengganti
yang sebanyak-banyaknya, dan denda maksimal harus
menjadi perhatian utama. Sesuai pasal 197 ayat (1)f
KUHAP, putusan pengadilan harus mempertimbangkan
keadaan-keadaan yang memberatkan dan keadaankeadaan yang meringankan. Spririt keadilan bagi rakyat
miskin korban kejahatan korupsi harus paralel dalam
proses peradilan yaitu sejak penyidikan, penuntutan,
pengadilan, serta pelaksanaan pidana.
11
Download