Teori Komunikasi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring adanya proses globalisasi yang memungkinkan setiap orang mengaplikasikan
pendapat-pendapat mereka, ilmu komunikasi menjadi salah satu jembatan yang sangat diperlukan
untuk jalannya jaringan antarnegara di seluruh belahan dunia. Untuk itulah muncul teori-teori yang
berhubungan dengan ilmu komunikasi dewasa ini. Entah yang dijadikan untuk kerjasama maupun
untuk suatu tujuan yang lain.
Banyak dari kelompok, individu maupun bersama, saling berselisih dalam suatu hal,
disebabkan terjadinya kesalahan dalam proses komunikasi. Bisa kita lihat salah satu contohnya,
pendukung persib dan pendukung persija saling adu jotos setelah usai pertandingan, atau perselisihan
diantara para dewan perwakilan di kantornya dalam beberapa pertemuan terakhir ini, bahkan kejadian
yang paling mengenaskan adalah kesalahan dalam penerjemahan pesan menyerah jepang oleh pihak
sekutu, kesalahan itu berakibat pada pengeboman kota Hiroshima.
Komunikasi dalam pendidikan pun sangatlah diperlukan karena tanpanya, proses pendidikan
dan pembelajaran akan terganggu di akhirnya. Untuk itu perlu bagi seorang fasilitator meningkatkan
mutu komunikasinya agar tidak terjadi misunderstanding atau ketidaksempurnaan dalam proses
penyampaian pesan/materi bagi peserta didik.
Permasalahan-permasalahan itulah yang menjadi dasar pembahasan kali ini. Pembahas akan
mencoba memperlihatkan beberapa teori yang sangatlah dibutuhkan di dunia pendidikan formal
maupun informal agar terjadinya pendidikan yang berkesinambungan, terarah, juga saling mendukung
satu dengan yang lain.
B. Rumusan Masalah
Apa saja teori komunikasi yang berkaitan dengan Teknologi Pendidikan?
C. Tujuan
Mengetahui apa saja teori komunikasi yang berkaitan dengan Teknologi Pendidikan.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengeritan Teori Komunikasi
1. Teori
Teori adalah hasil/ tujuan akhir ilmu pengetahuan. Pada dasarnya, tujuan dari teori
adalah untuk merumuskan pernyataan-pernyataan atau dalil-dalil yang bisa memberikan
penjelasan. Dalam sumber lain, teori diartikan sebagai sebuah rangkaian generalisasi yang
saling berhubungan yang masih perlu diamati dengan tes empiris.
2. Teori Komunikasi
Teori komunikasi adalah konseptualisasi atau penjelasan logis tentang fenomena
peristiwa komunikasi dalam kehidupan manusia.
B. Macam-Macam Teori Komunikasi
1. Teori-teori Semiotika
a. C.S PEIRCE
Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga
elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant.
Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera
manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu
sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon
(tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan
sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah
konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.
2
Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang
menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam
benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.Hal yang terpenting dalam proses
semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan
orang saat berkomunikasi.
Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi
mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian.
Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi dengan akting dan
penampilan fisiknya yang memikat, para penonton bisa saja memaknainya sebagai icon
wanita muda cantik dan menggairahkan.
b. FERDINAND DE SAUSSURE
Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau
penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified.
3
Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang
objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut
―referent‖. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified
dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai ―objek‖ sebagai referent dan
menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang
menyebut kata ―anjing‖ (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan
tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, ―Signifier dan signified merupakan
kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.‖ (Sobur, 2006).
c. ROLAND BARTHES
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara
kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi
kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna
yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara
teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam
teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini
dikenal dengan ―order of signification‖, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai
kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di
sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah
signifier-signified yang diusung Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu ―mitos‖ yang menandai suatu
masyarakat. ―Mitos‖ menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah
4
terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang
kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang
memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna
denotasi tersebut akan menjadi mitos. Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat
menimbulkan konotasi ―keramat‖ karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus.
Konotasi ―keramat‖ ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada
simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah
konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini,
―pohon beringin yang keramat‖ akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
d. BAUDRILLARD
Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak
mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak
mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup
dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan,
tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur,
2006).
Sebuah iklan menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak sebutir pil
multivitamin, seketika pria tersebut memiliki energi yang luar biasa, mampu mengerek
sebuah truk, tentu hanya ‗mengada-ada‘. Karena, mana mungkin hanya karena sebutir pil
seseorang dapat berubah kuat luar biasa. Padahal iklan tersebut hanya ingin menyampaikan
pesan produk sebagai multivitamin yang memberi asupan energi tambahan untuk beraktivitas
sehari-hari agar tidak mudah capek. Namun, cerita iklan dibuat ‗luar biasa‘ agar konsumen
percaya. Inilah tipuan realitas atau hiperealitas yang merupakan hasil konstruksi pembuat
iklan. Barangkali kita masih teringat dengan pengalaman masa kecil (entah sekarang masih
ada atau sudah lenyap) di pasar-pasar tradisional melihat atraksi seorang penjual obat yang
memamerkan hiburan sulap kemudian mendemokan khasiat obat di hadapan penonton?
Padahal sesungguhnya atraksi tersebut telah ‗direkayasa‘ agar terlihat benar-benar manjur di
hadapan penonton dan penonton tertarik untuk beramai-ramai membeli obatnya.
e. JACQUES DERRIDA
Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut
Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun
bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan konsep
5
demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian
realitas—pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda
(siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida
menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua
tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006:
100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki
oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang
semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan
tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan
ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.
Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak
hal. Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai
abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja
tersebut cenderung ‗sesat‘ atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan
dari moral-moral keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahanpersembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya.
Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat ditafsirkan sebagai ‗klasik‘ yang menandakan
kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya dianggap bernilai tinggi,
‗berpengalaman‘, teruji zaman, sehingga lebih dipercaya daripada sesuatu yang sifatnya
temporer. Di lain pihak, bentuk gereja yang menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan
sebagai ‗fokus ke atas‘ yang memiliki nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja tersebut
menawarkan kekhidmatan yang indah yang ‗mempertemukan‘ jemaat dan Tuhan-nya secara
khusuk, semata-mata demi Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa.
Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan
ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat
menyingkirkan (―menghancurkan‖ atau mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus
tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas. Berbeda
dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida
lebih melihat tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang
membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar
melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik
tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut.
6
f. UMBERTO ECO
Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan yang
menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer.
Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika
sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006).
Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin
memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda
menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa ―satu tanda bukanlah entitas
semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur
independen (yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni
ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean‖. Eco menggunakan ―kodes‖ untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda
suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak
berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat ―denotatif‖ (bila suatu pernyataan bisa
dipahami secara harfiah), atau ―konotatif‖ (bila tampak kode lain dalam pernyataan yang
sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure, namun Eco ingin
memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang
ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa
kini.
2. Teori disonansi kognitif
Teori disonansi kognitif merupakan sebuah teori komunikasi yang membahas mengenai
perasaan ketidaknyamanan seseorang yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran, dan perilaku
yang tidak konsisten dan memotivasi seseorang untuk mengambil langkah demi mengurangi
ketidaknyamanan tersebut.
Ranah Kognitif
7
Asumsi
Teori disonansi kognitif memiliki sejumlah anggapan atau asumsi dasar diantaranya adalah:

Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan
perilakunya. Teori ini menekankan sebuah model mengenai sifat dasar dari manusia
yang mementigkan adanya stabilitas dan konsistensi.

Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi biologis. Teori ini merujuk pada fakta-fakta
harus tidak konsisten secara psikologis satu dengan lainnya untuk menimbulkan
disonansi kognitif.

Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu
tindakan dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur. Teori ini menekankan
seseorang yang berada dalam disonansi memberikan keadaan yang tidak nyaman,
sehingga ia akan melakukan tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut.

Disonansi akan mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk
mengurangi disonansi. Teori ini beranggapan bahwa rangsangan disonansi yang
diberikan akan memotivasi seseorang untuk keluar dari inkonsistensi tersebut dan
mengembalikannya pada konsistensi.
Tingkat Disonansi
Merujuk kepada jumlah inkonsistensi yang dialami seseorang. Tiga hal yang merujuk kepada
tingkat disonansi seseorang:

Tingkat kepentingan, yaitu seberapa signifikan tingkat masalah tersebut berpengaruh
pada tingkat disonansi yang dirasakan.

Rasio disonansi, yaitu jumlah disonansi berbanding dengan jumlah konsistensi.

Rasionalitas merupakan alasan yang dikemukakan oleh seseorang yang merujuk
mengapa suatu inkonsistensi muncul.
Mengatasi Disonansi
Ada banyak cara untuk mengatasi disonansi kognitif, namun cara yang paling efektif untuk
ditempuh adalah:

Mengurangi pentingnya keyakinan disonan kita.

Menambahkan keyakinan yang konsonan.

Menghapus disonansi dengan cara tertentu.
8
Kritik Terhadap Teori

Teori ini dinilai kurang memiliki kegunaan karena teori ini tidak menjelaskan secara
menyeluruh kapan dan bagaimanaseseorang akan mencoba untuk mengurangi
disonansi.

Kemungkinan pengujian tidak sepenuhnya terdapat dalam teori ini. Kemungkinan
pengujian berarti kemampuan untuk membuktikan apakah teori tersebut benar atau
salah.
3. Teori Agenda Setting
Agenda-setting diperkenalkan oleh McCombs dan DL Shaw (1972). Asumsi teori ini
adalah bahwa jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan
mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Jadi apa yang dianggap penting
media, maka penting juga bagi masyarakat. Dalam hal ini media diasumsikan memiliki efek
yang sangat kuat, terutama karena asumsi ini berkaitan dengan proses belajar bukan dengan
perubahan sikap dan pendapat.
Media massa memiliki kekuatan untuk mempengaruhi agenda media kepada agenda
publik. Teori Agenda Setting didasari oleh asumsi demikian. Teori ini sendiri dicetuskan oleh
Profesor Jurnalisme Maxwell McCombs dan Donald Shaw.
Menurut McCombs dan Shaw, ―we judge as important what the media judge as
important.‖ Kita cenderung menilai sesuatu itu penting sebagaimana media massa
menganggap hal tersebut penting. Jika media massa menganggap suatu isu itu penting maka
kita juga akan menganggapnya penting. Sebaliknya, jika isu tersebut tidak dianggap penting
oleh media massa, maka isu tersebut juga menjadi tidak penting bagi diri kita, bahkan
menjadi tidak terlihat sama sekali.
Denis McQuail (2000: 426) mengutip definisi Agenda Setting sebagai ―process by
which the relative attention given to items or issues in news coverage infulences the rank
order of public awareness of issues and attribution of significance. As an extension, effects on
public policy may occur.‖
Walter Lipmann pernah mengutarakan pernyataan bahwa media berperan sebagai
mediator antara ―the world outside and the pictures in our heads‖. McCombs dan Shaw juga
sependapat dengan Lipmann. Menurut mereka, ada korelasi yang kuat dan signifikan antara
apa-apa yang diagendakan oleh media massa dan apa-apa yang menjadi agenda publik.
9
Awalnya teori ini bermula dari penelitian mereka tentang pemilihan presiden di
Amerika Serikat tahun 1968. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa ada hubungan sebabakibat antara isi media dengan persepsi pemilih.
McCombs dan Shaw pertama-tama melihat agenda media. Agenda media dapat terlihat
dari aspek apa saja yang coba ditonjolkan oleh pemberitaan media terebut. Mereka melihat
posisi pemberitaan dan panjangnya berita sebagai faktor yang ditonjolkan oleh redaksi. Untuk
surat kabar, headline pada halaman depan, tiga kolom di berita halaman dalam, serta
editorial, dilihat sebagai bukti yang cukup kuat bahwa hal tersebut menjadi fokus utama surat
kabar tersebut. Dalam majalah, fokus utama terlihat dari bahasan utama majalah tersebut.
Sementara dalam berita televisi dapat dilihat dari tayangan spot berita pertama hingga
berita ketiga, dan biasanya disertai dengan sesi tanya jawab atau dialog setelah sesi
pemberitaan. Sedangkan dalam mengukur agenda publik, McCombs dan Shaw melihat dari
isu apa yang didapatkan dari kampanye tersebut. Temuannya adalah, ternyata ada kesamaan
antara isu yang dibicarakan atau dianggap penting oleh publik atau pemilih tadi, dengan isu
yang ditonjolkan oleh pemberitaan media massa. McCombs dan Shaw percaya bahwa fungsi
agenda-setting media massa bertanggung jawab terhadap hampir semua apa-apa yang
dianggap penting oleh publik. Karena apa-apa yang dianggap prioritas oleh media menjadi
prioritas juga bagi publik atau masyarakat. Akan tetapi, kritik juga dapat dilontarkan kepada
teori ini, bahwa korelasi belum tentu juga kausalitas. Mungkin saja pemberitaan media massa
hanyalah sebagai cerminan terhadap apa-apa yang memang sudah dianggap penting oleh
masyarakat. Meskipun demikian, kritikan ini dapat dipatahkan dengan asumsi bahwa pekerja
media biasanya memang lebih dahulu mengetahui suatu isu dibandingkan dengan masyarakat
umum.
News doesn’t select itself. Berita tidak bisa memilih dirinya sendiri untuk menjadi
berita. Artinya ada pihak-pihak tertentu yang menentukan mana yang menjadi berita dan
mana yang bukan berita. Siapakah mereka? Mereka ini yang disebut sebagai ―gatekeepers.‖
Di dalamnya termasuk pemimpin redaksi, redaktur, editor, hingga jurnalis itu sendiri.
Dalam dunia komunikasi politik, para calon presiden biasanya memiliki tim media
yang disebut dengan istilah ‗spin doctor.‘ Mereka berperan dalam menciptakan isu dan
mempublikasikannya melalui media massa. Mereka ini juga termasuk ke dalam ‗gatekeeper‘
tadi. Setelah tahun 1990an, banyak penelitian yang menggunakan teori agenda-setting makin
menegaskan kekuatan media massa dalam mempengaruhi benak khalayaknya. Media massa
mampu membuat beberapa isu menjadi lebih penting dari yang lainnya. Media mampu
mempengaruhi tentang apa saja yang perlu kita pikirkan. Lebih dari itu, kini media massa
10
juga dipercaya mampu mempengaruhi bagaimana cara kita berpikir. Para ilmuwan
menyebutnya sebagai framing. McCombs dan Shaw kembali menegaskan kembali tentang
teori agenda setting, bahwa ―the media may not only tell us what to think about, they also
may tell us how and what to think about it, and perhaps even what to do about it”
(McCombs, 1997).
4. Teori Interaksi Simbolik
Interaksi simbolik menurut Effendy (1989: 352) adalah suatu faham yang menyatakan
bahwa hakekat terjadinya interaksi sosial antara individu dan antar individu dengan
kelompok, kemudian antara kelompok dengan kelompok dalam masyarakat, ialah karena
komunikasi, suatu kesatuan pemikiran di mana sebelumnya pada diri masing-masing yang
terlibat berlangsung internalisasi atau pembatinan.
Teori Interaksi Simbolik yang masih merupakan pendatang baru dalam studi ilmu
komunikasi, yaitu sekitar awal abad ke-19 yang lalu. Sampai akhirnya teori interaksi simbolik
terus berkembang sampai saat ini, dimana secara tidak langsung SI merupakan cabang
sosiologi dari perspektif interaksional (Ardianto. 2007: 40).
Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional, dimana merupakan salah satu
perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat ‖humanis‖
(Ardianto. 2007: 40). Dimana, perspektif ini sangat menonjolkan keangungan dan maha
karya nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini. Perspektif ini
menganggap setiap individu di dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, berinteraksi di
tengah sosial masyarakatnya, dan menghasilkan makna ‖buah pikiran‖ yang disepakati secara
kolektif. Dan pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang
dilakukan oleh setiap individu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah
satu ciri dari perspektif interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik.
Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta
inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu (Soeprapto. 2007). Banyak ahli di
belakang perspektif ini yang mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting
dalam konsep sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu adalah objek yang bisa secara
langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.
Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993)dalam West- Turner (2008: 96),
interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami
bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana
cara dunia membentuk perilaku manusia.
11
Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari
pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan
tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat
(Society) dimana individu tersebut menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970)dalam
Ardianto (2007: 136), Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk
membentuk makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui
interaksi.
Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain: (1) Pikiran
(Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang
sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan
individu lain, (2) Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari
penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah
salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self)
dan dunia luarnya, dan (3) Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang
diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap
individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang
pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah
masyarakatnya.
‖Mind, Self and Society‖ merupakan karya George Harbert Mead yang paling terkenal
(Mead. 1934dalam West-Turner. 2008: 96), dimana dalam buku tersebut memfokuskan pada
tiga tema konsep dan asumsi yang dibutuhkan untuk menyusun diskusi mengenai teori
interaksi simbolik.
Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik
antara lain:
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
2. Pentingnya konsep mengenai diri,
3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.
Tema pertama pada interaksi simbok berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi
perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses
komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi
secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang
dapat disepakati secara bersama. Hal ini sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya Herbert
12
Blumer (1969)dalam West-Turner (2008: 99) dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai
berikut:
1. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan
orang lain kepada mereka,
2. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia,
3. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.
Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya ‖Konsep diri‖ atau
‖Self-Concept‖. Dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan pada pengembangan
konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan
orang lainnya. Tema ini memiliki dua asumsi tambahan, menurut LaRossan & Reitzes (1993)
dalam West-Turner (2008: 101), antara lain:
1. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain,
2. Konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku.
Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubungan antara kebebasan
individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi
perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang
ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan
mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi- asumsi yang berkaitan
dengan tema ini adalah:
1. Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial,
2. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
Rangkuman dari hal-hal yang telah dibahas sebelumnya mengenai tiga tema konsep
pemikiran George Herbert Mead yang berkaitan dengan interaksi simbolik, dan tujuh asumsiasumsi karya Herbert Blumer (1969) adalah sebagai berikut:
Tiga tema konsep pemikiran Mead
 Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
 Pentingnya konsep diri,
 Hubungan antara individu dengan masyarakat.
Tujuh asumsi karya Herbert Blumer
13

Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan orang lain
pada mereka,

Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia,

Makna dimodifikasi melalui sebuah proses interpretif,

Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain,

Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku,

Orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial,

Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
5. Teori Ivan Petrovich Pavlov, Stimulus Respons
Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) adalah seorang behavioristik terkenal dengan teori
pengkondisian asosiatif stimulus-respons dan hal ini yang dikenang darinya hingga kini. Ia
tidak pernah memiliki hambatan serius dalam sepanjang kariernya meskipun terjadi
kekacauan dalam revolusi rusia.
Pavlov lahir di kota kecil di Rusia tengah, anak seorang pendeta ortodoks pedesaan.
Pada awalnya ia berniat mengikuti jejak ayahnya, namun mengurungkan dan pergi ke
universitas di St. Petersburg untuk mengajar pada tahun 1870. Dari sinilah karir seorang
pavlov mulai berjalan hingga ia memimpin institut Fisiologi Pavlovian di Akademi Ilmu
Pengetahuan Rusia.
Ia menemukan bahwa ia dapat menggunakan stimulus netral, seperti sebuah nada atau
sinar untuk membentuk perilaku (respons). Dalam hal ini, eksperimen yang dilakukan oleh
pavlov menggunakan anjing sebagai subyek penelitian.
14
Berikut adalah tahap-tahap eksperimen dan penjelasan dari gambar diatas:
Gambar pertama. Dimana anjing, bila diberikan sebuah makanan (UCS) maka secara
otonom anjing akan mengeluarkan air liur (UCR).
Gambar kedua. Jika anjing dibunyikan sebuah bel maka ia tidak merespon atau
mengeluarkan air liur.
Gambar ketiga. Sehingga dalam eksperimen ini anjing diberikan sebuah makanan (UCS)
setelah diberikan bunyi bel (CS) terlebih dahulu, sehingga anjing akan mengeluarkan air liur
(UCR) akibat pemberian makanan.
Gambar keempat. Setelah perlakukan ini dilakukan secara berulang-ulang, maka ketika
anjing mendengar bunyi bel (CS) tanpa diberikan makanan, secara otonom anjing akan
memberikan respon berupa keluarnya air liur dari mulutnya (CR).
Dalam ekperimen ini bagaimana cara untuk membentuk perilaku anjing agar ketika
bunyi bel di berikan ia akan merespon dengan mengeluarkan air liur walapun tanpa diberikan
makanan. Karena pada awalnya (gambar 2) anjing tidak merespon apapun ketika mendengar
bunyi bel.
Jika anjing secara terus menerus diberikan stimulus berupa bunyi bel dan kemudian
mengeluarkan air liur tanpa diberikan sebuah hadiah berupa makanan. Maka kemampuan
stimulus terkondisi (bunyi bel) untuk menimbulkan respons (air liur) akan hilang. Hal ini
disebut dengan extinction atau penghapusan.
Pavlov mengemukakan empat peristiwa eksperimental dalam proses akuisisi dan
penghapusan sebagai berikut:
1. Stimulus tidak terkondisi (UCS), suatu peristiwa lingkungan yang melalui
kemampuan bawaan dapat menimbulkan refleks organismik. Contoh: makanan
2. Stimulus terkondisi (CS), Suatu peristiwa lingkungan yang bersifat netral dipasangkan
dengan stimulus tak terkondisi (UCS). Contoh: Bunyi bel adalah stimulus netral yang
di pasangkan dengan stimulus tidak terkondisi berupa makanan.
3. Respons tidak terkondisi (UCR), refleks alami yang ditimbulkan secara otonom atau
dengan sendirinya. Contoh: mengeluarkan air liur
15
4. Respos terkondisi (CR), refleks yang dipelajari dan muncul akibat dari penggabungan
CS dan US. Contoh: keluarnya air liur akibat penggabungan bunyi bel dengan
makanan.
Menilik psikologi behavioristik menggunakan suatu pendekatan ekperimental, refleksiologis
objektif pavlov tetap merupakan model yang luar biasa dan tidak tertandingi.
6. Teori Jarum Suntik (Hypodermic Needle)
Teori Jarum Suntik ini diangkat setelah melihat keberhasilan penggunaan media radio
dan media cetak sebagai alat propaganda dalam Perang Dunia I, serta keberhasilan drama
radio Orson Welles yang mengisahkan turunnya makhluk Mars ke bumi yang membuat
penduduk di sejumlah kota di Amrik menjadi gempar.
Pada tahun 1938 Orson Welles bersama John Houseman membuat drama radio berjudul
―War of The Worlds‖ dengan menggunakan efek suara yang canggih pada saat itu. Saat itu
tak kurang dari sejuta warga AS mendengarkannya. Sebuah berita mengejutkan tiba-tiba
muncul di tengah sandiwara radio ini. ―Ladies and gentlemen, Saya Carl Phillips, saat ini
saya berada di Wilmuth farm, Grovers Mill, New Jersey. . . .Well, Saya . . tidak tahu dari
mana memulainya, saya tidak punya kata-kata untuk menceritakannya! saya baru saja tiba di
tempat ini… saya hampir tidak mempercayai apa yang saya lihat saat ini … sebuah
pemandangan yang menakjubkan…. seperti… seperti dalam kisah modern Arabian Nights.
Saya tidak tahu apa yang saya lihat… sesuatu muncul dari dalam tanah. Tadi diawali sebuah
goncangan yang hebat…. kemudian sebuah lubang menganga dari dalam bumi…. seperti
sebuah bekas meteor yang jatuh. Lihat.. sebuah obyek keluar dari lubang tersebut .. bukan
meteor… tapi lebih menyerupai silinder raksasa….‖
Selang beberapa menit kemudian ―reporter‖ Phillips, ditemani oleh ―astronomer,‖
Professor Pierson, menceritakan seperti sebuah berita radio tentang kemunculan robot-robot
raksasa dari dalam bumi yang menghancurkan apapun yang menghadang. Menghancurkan
gedung dan membunuh ribuan manusia. ‗Reporter‘ lain melaporkan penyerangan alien di
daerah lain.
Dengan model penyampaian bergaya laporan pandangan mata, ditambah dengan efek
suara yang dahsyat, sandiwara ini telah berhasil meyakinkan warga Amerika Serikat bahwa
telah terjadi invasi makhluk Mars ke bumi. Akibatnya, kepanikan melanda jutaan warga
Amerika. Petugas telepon kerepotan menyambungkan sambungan telepon yang tiba-tiba
sangat padat. Para ayah, atau orang tua ingin mengetahui keadaan anaknya atau anggota
keluarga lainnya, begitu juga sebaliknya, bahkan banyak yang berdoa dan menelepon untuk
16
saling meminta maaf! Padahal berita tersebut hanyalah bagian dari adegan dalam sandiwara
radio.
Teori Jarum Suntik berpendapat bahwa khalayak sama sekali tidak memiliki kekuasaan
untuk menolak informasi setelah disuntikkan melalui media komunikasi. Khalayak terlena
seperti kemasukan obat bius melalui jarum suntik sehingga tidak memiliki alternatif untuk
menentukan pilihan lain, kecuali apa yang disiarkan oleh media. Teori ini juga dikenal
dengan sebutan Teori Peluru atau bullet theory.
17
Download