6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1. Tinjauan Pustaka Sirsak (Annona muricata L.) a. Klasifikasi dan Deskripsi Sirsak (Annona muricata L.) merupakan tumbuhan yang berasal dari wilayah Benua Amerika dengan iklim tropis, seperti di Amerika Tengah, Amerika Selatan dan tersebar luas hampir diseluruh dunia, termasuk di Indonesia. Persebaran sirsak yang mencakup seluruh dunia, menyebabkan sirsak memiliki nama lokal yang bervariasi di Indonesia misalnya, nangka landa (Jawa), srikaya jawa (Bali), sirsak (Sunda), dan jambu landa (Lampung) (Verheij and Coronel, 1997). Menurut Tjitrosoepomo (1991), sistematika dari tumbuhan sirsak adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Polycarpiceae Famili : Annonaceae Genus : Annona Spesies : Annona muricata L. Pohon sirsak di Indonesia pada umumnya memiliki tinggi 3-10 m (Gambar 1d), dengan percabangannya rendah. Daun berbentuk bulat 6 7 panjang (Gambar 1a), urat daun menyirip, ujung daun meruncing, warna daun hijau muda sampai hijau tua, dan memiliki permukaan daun yang mengkilap. Secara umum panjang daun 6-18 cm dan lebarnya 3-7 cm. Sirsak memiliki tangkai daun pendek dengan panjang 3-10 mm (Radi, 2002). Sirsak memiliki bunga tunggal (Gambar 1b), dalam satu bunga terdapat banyak putik sehingga dinamakan bunga berpistilum majemuk. Bagian bunga tersusun secara hemicyclis, yaitu sebagian terdapat dalam lingkaran dan yang lain spiral atau terpencar. Buah sirsak berbentuk bulat tidak beraturan dengan kulit buahnya hijau (Gambar 1c), yang sudah tua berubah agak kehitaman dan duri lunaknya merenggang. Daging buahnya berwarna putih gading dan berbiji banyak (Sunarjono, 2005). 1a 1b 1c 1d Gambar 1. (a) daun sirsak, (b) bunga sirsak, (c) buah sirsak, (d) pohon sirsak (Radi, 2002). b. Habitat dan Penyebaran Tanaman sirsak bukan tanaman asli Indonesia, menurut Verheij and Coronel (1997) tanaman ini menyebar luas ke Asia pada abad ke-19, dan 8 mulai dibudidayakan di Malaysia dan Indonesia. Awalnya tanaman sirsak merupakan tanaman yang tumbuh liar, kemudian dikembangkan menjadi tanaman pekarangan. Sirsak dapat tumbuh di semua jenis tanah dengan derajat keasaman (pH) antara 5-7. Ketinggian tempat antara 100- 1000 m di atas permukaan laut (dpl). Suhu udara yang sesuai untuk tanaman sirsak adalah 22-32ºC dengan curah hujan yang dibutuhkan tanaman sirsak antara 1500- 3000 mm/tahun (Sunarjono, 2005). c. Kandungan Senyawa Aktif sebagai Anti Kanker Hasil skrining fitokimia menunjukkan keberadaan alkaloid, tanin, flavonoid, saponin, antrakuinon dan glikosida pada ekstrak etanol daun sirsak (Ezirim et al., 2013). Penelitian Budiarti et al., (2014) menunjukkan bahwa fraksi klorofom daun sirsak dengan konsentrasi 1000 µg/ml memiliki aktivitas antioksidan sebesar 35,509% dan kandungan vitamin C sebesar 42,996%. Menurut Asprey and Thornton (2000), daun sirsak mengandung flavonoid, alkaloid, asam lemak, fitosterol, mirisil alkohol dan anonol. Senyawa flavonoid sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga, buah, dan biji. Daun sirsak memiliki berbagai kandungan senyawa aktif yang berpotensi sebagai senyawa antikanker. Senyawa aktif tersebut dihasilkan dari proses metabolisme sekunder yang terdiri atas golongan alkaloid, flavonoid, triterpenoid/steroid, dan acetogenin yang termasuk golongan poliketida. 9 1) Kandungan Alkaloid Alkaloid merupakan hasil metabolit sekunder yang banyak terkandung ditumbuhan hijau termasuk pada daun sirsak. Alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid mempunyai aktivitas fisiologi yang menonjol sehingga digunakan secara luas dalam bidang pengobatan (Harborne, 1987). Golongan alkaloid yang ditemukan pada tanaman sirsak meliputi beberapa senyawa dari golongan benzil-tetrahidro-isoquinolin dan salah satunya adalah liriodin yang bersifat antikanker, antibakteri dan antijamur (Rahayu et al., 1993). 2) Kandungan Flavonoid Flavonoid merupakan salah satu hasil metabolit sekunder dan biasanya banyak terdapat pada daun yang dipengaruhi oleh proses fotosintesis. Flavonoid merupakan senyawa bahan alam dari golongan fenolik. Manfaat flavonoid dalam tubuh manusia adalah sebagai antioksidan sehingga sangat baik digunakan untuk pencegahan kanker melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C, anti inflamasi, mencegah keropos tulang dan antibiotik (Rahayu et al., 2006). 3) Kandungan Poliketida Robinson (1991) menjelaskan poliketida adalah golongan metabolit sekunder dari bakteri, jamur, tanaman, dan hewan. Poliketida dibiosintesiskan dengan polimerisasi subunit asetil dan propionil dalam proses yang mirip dengan sintesis asam lemak (kondensasi Claisen). 10 Poliketida adalah blok pembangun (building block) untuk berbagai produk-produk alami. Penelitian Dewangga (2015) mendapatkan hasil bahwa isolat daun sirsak memiliki senyawa teraktif dari uji KLT adalah golongan poliketida. Isolat daun sirsak yang diujikan pada sel HeLa mampu membunuh sel kanker serviks. Secara umum golongan poliketida ini memiliki manfaat sebagai senyawa antimikroba, antiparasit, dan antikanker merupakan poliketida atau turunannya, seperti eritromisin, antibiotik tetrasiklin, avermektin, dan antitumor epotilon (Minto and Blacklock, 2008). Poliketida memiliki turunan seperti eritromisin, antibiotik tetrasiklin, avermektin, dan acetogenin (Minto and Blacklock, 2008). Annonaceous Acetogenin merupakan turunan poliketida yang banyak terdapat pada daun sirsak dianggap sebagai senyawa aktif yang mampu menghambat pertumbuhan kanker. Prinsip dasar acetogenin adalah menghambat sintesis adenosine trifosfat (ATP) pada mitokondria sel yang dibutuhkan oleh sel kanker sehingga sel kanker kekurangan nutrisi untuk membelah dan akhirnya terhambat pertumbuhannya. Aktivitas biologi dari Annonaceous acetogenin menghambat kompleks I mitokondria (NADH-ubiquinone oxidoreductase) sehingga dapat bersifat sitotoksik terhadap sel kanker dan terbukti sifatnya berlaku secara spesifik. Annonaceous acetogenin merupakan inhibitor NADH pada enzim uniquinone oxidoreductase. Enzim ini merupakan enzim esensial dalam sistem transpor elektron yang memimpin ke proses fosforilasi 11 oksidatif di dalam mitokondria. Sumber utamanya aktivitas biologi untuk aktivitas Annonaceous acetogenin melibatkan interaksi dengan kompleks I mitokondria (NADH: ubiquinone oxidoreductase). Kandungan annonaceus acetogenin terdapat diseluruh bagian sirsak yaitu daun, batang, kulit kayu, dan biji buah (Noller, 2005). Senyawa acetogenin ini hanya ditemukan pada tumbuhan famili annonaceae yang merupakan senyawa poliketida dengan struktur C-34 atau C-37 rantai karbon tidak bercabang yang terikat pada gugus 2propanol pada C-2 vivo. Terlihat pada Gambar 2 nampak gugus lakton dan gugus C=O pada γ – butirolakton (cincin yang beranggotakan lima) yang yang merupakan ciri – ciri senyawa acetogenin yang hanya terdapat pada golongan annonaceus (Pradana dkk, 2015). Gambar 2. Struktur kimia dari annonaceus acetogenin (Noller, 2005). 2. Kanker Kanker pada dasarnya merupakan sel dengan proliferasi yang tidak terkendali akibat kerusakan gen, utamanya pada regulator daur sel (Cherath et al., 2005). Pertumbuhan kanker merupakan proses mikroevolusioner yang dapat berlangsung dalam beberapa bulan atau beberapa tahun. Proses pertumbuhan kanker dinamakan karsinogenesis, yang dimulai dari satu sel kanker memperbanyak diri dan membentuk koloni kecil dalam jaringan 12 yang sama. Selanjutnya terjadi perubahan genetik (seperti aktivasi onkogen) yang menyebabkan koloni dari sel abnormal menjadi malignan. Perubahan genetik pada gen-gen yang mengatur pertumbuhan, yaitu onkogen dan tumour supressor gene merupakan perubahan yang sering terjadi. Akibatnya sel akan berproliferasi terus menerus dan menimbulkan pertumbuhan jaringan yang abnormal (Meiyanto dkk., 2006). Kanker terjadi karena sel yang telah kehilangan pengendalian dan mekanisme normal, sehingga pertumbuhan tidak teratur. Kanker bisa terjadi dari berbagai jaringan dalam berbagai organ. Sejalan dengan pertumbuhan dan pembiakan, sel-sel kanker membentuk suatu masa dari jaringan ganas menyusup ke jaringan di dekatnya dan bisa menyebar (metastasis) ke seluruh tubuh. Sel kanker dibentuk dari sel-sel normal dalam suatu proses rumit yang disebut transformasi, yang terdiri dari tahap inisiasi dan promosi. Pada siklus sel kanker terjadi dengan cara sel masuk ke dalam siklus pembelahan sel: fase G1, fase S, fase G2, kemudian fase M. Ketika protoonkogen mengalami mutasi menjadi onkogen, maka mekanisme fisiologis proses pembelahan sel normal akan mengalami gangguan dan menuju pada lesi gen. Perubahan ini akan menyebabkan terjadinya proses pembelahan sel neoplastik (Meiyanto dkk., 2006). 3. Kanker Serviks Kanker serviks atau yang disebut juga sebagai kanker mulut rahim merupakan salah satu penyakit kanker yang paling banyak dialami kaum wanita. Hampir seluruh wanita yang mengalami kanker serviks 13 menyebabkan kematian. Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau leher rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan vagina (Walboomers et al., 1999). Berdasarkan data yang ada, dari sekian banyak penderita kanker di Indonesia, penderita kanker serviks mencapai sepertiga bagian. Data WHO tercatat, setiap tahun ribuan wanita meninggal karena penyakit kanker serviks ini dan merupakan jenis kanker yang menempati peringkat teratas sebagai penyebab kematian wanita dunia. Kanker serviks menyerang pada bagian organ reproduksi kaum wanita, tepatnya di daerah leher rahim atau pintu masuk ke daerah rahim yaitu bagian yang sempit di bagian bawah antara kemaluan wanita dan rahim (Gambar 3) (Walboomers et al., 1999). Gambar 3. Anatomi serviks (Moore et al., 2006). Bagian serviks sangat riskan mengalami pertumbuhan sel abnormal karena secara anatomis, serviks dibagi menjadi 2 bagian yakni eksoserviks/portio (bagian luar) dan endoserviks kanalis serviks (bagian dalam) (Gambar 3). Masing-masing bagian itu dilapisi oleh sel penyusun 14 yang disebut dengan sel epitel. Pada bagian eksoserviks dilapisi oleh sel epitel gepeng berlapis (squamous compleks), sedangkan pada endoserviks dilapisi oleh sel epitel kuboid / silindris pendek selapis bersilia. Pada daerah perbatasan keduanya terdapat area yang disebut squamo-columnar junction (SJC). Pada bagian peralihan ini, sel-sel epitel itu biasanya akan mengalami metaplasi (perubahan menjadi abnormal). Hal ini disebabkan karena sel-sel itu saling bertumpuk dan saling mendesak, sehingga sel-sel tersebut mudah sekali terinveksi virus dan mudah untuk ditembus (Wijayanti dkk, 2014). 4. Siklus Sel Siklus sel adalah proses duplikasi secara akurat untuk menghasilkan jumlah DNA kromosom yang banyak dan untuk menghasilkan dua sel anakan yang identik secara genetik. Proses duplikasi ini berlangsung terus menerus dan siklik. Siklus sel secara normal terbagi menjadi dua periode, yaitu interfase atau periode non pembelahan dan periode pembelahan sel (M) yang menghasilkan sel-sel baru. Interfase terdiri atas tiga fase, yaitu : G1 (Gap pertama), S (Sintesis DNA), dan G2 (Gap kedua), dan diselingi fase istirahat, yaitu G0. Kemudian periode pembelahan atau mitotic, membelah dengan dua tahapan yaitu : kariokinesis atau mitosis dan sitokinesis. Fase awal dimulai dengan G1, pada fase ini sel mulai mempersiapkan untuk melakukan sintesis DNA dan juga melakukan biosintesis RNA dan protein, dilanjutkan dengan fase S, dimana pada fase ini terjadi replikasi DNA (David and Shivdasani, 2001). Pada akhir fase ini sel telah berisi DNA ganda dan kromosom telah mengalami replikasi 15 (McDonald and Ford, 1997). Lamanya siklus tersebut berbeda-beda pada berbagai macam organisme. Pada sel normal manusia sekitar 20-24 jam. Fase G1 membutuhkan waktu 8-10 jam, fase S 6-8 jam, fase G2 5 jam dan fase M 1 jam. Waktu generasi untuk kultur sel pada umumnya sama dengan sel normal (Rang et al., 2003). Perubahan dari satu fase ke fase berikutnya dalam siklus sel diatur oleh beberapa checkpoint (pada masing-masing fasenya). Checkpoint berfungsi mengontrol kromosom yang terbentuk dalam kondisi utuh dan tahap-tahap kritis siklus sel telah berlangsung sempurna sebelum memasuki tahap selanjutnya (Livingstone and Shivdasani, 2001). Pada kanker terjadi perubahan pengaturan siklus sel. Selama perkembangan sel kanker biasanya mempengaruhi ekspresi protein-protein pengatur siklus sel, hal ini karena tidak mampunya kontrol checkpoint mengenali sel kanker. Sehingga menyebabkan inisiasi fase S atau mitosis tetap berlangsung meskipun ada kerusakan seluler dan ketidakstabilan genetik yang selanjutnya menimbulkan clone maligna (De Vita et al.,1997; McDonald and Ford, 1997) 5. Apoptosis Apoptosis merupakan prose terjadinya kematian sel secara terprogram. Apoptosis terjadi normal selama proses perkembangan dan penuaan sebagai mekanisme homeostatik untuk memelihara populasi sel dalam jaringan. Apoptosis penting untuk mengatur kematian sel untuk mengkontrol jumlah sel dan membersihkan sel yang rusak yang mempunyai 16 peran penting untuk supresi tumor. Sel yang apoptosis akan menunjukkan sel melisut (cell shrinkage), pemadatan kromatin (chromatin condensation) kemudian menjadi sel apoptosis atau sel apoptosis yang akan memudahkan untuk difagositosis oleh makrofag (Ford et al., 2004). Mekanisme terjadinya apoptosis melibatkan aktivasi berbagai molekul bergantung energi (energy-dependent). Saat ini diketahui ada 2 jalur utama apoptosis yaitu jalur ekstrinsik atau jalur reseptor kematian (death receptor pathway) dan jalur intrinsik atau jalur mitokondria (Ford et al., 2004). Jalur ekstrinsik diawali oleh sel surface death receptor dari berbagai macam sel. Death receptor adalah anggota dari tumor necrosis factor receptor family (TNF) mempunyai cytoplasmic domain yang berisi protein interaksi disebut death domain, yang penting untuk mengirim apoptotic signals. Mekanisme apoptosis yang diinduksi oleh death receptor diawali Fas ligand (FasL) yang melepaskan Fas dari ligandnya. Molekul Fas menuju ke sitoplasma yang terdapat death domain, tempat untuk berikatan dengan adapter protein yang juga mempunyai death domain dan disebut FADD (fas-associated death domain). FADD yang dilekatkan pada death receptors kembali berikatan dengan procaspase-8 melalui death domain. Setelah caspase-8 diaktivasi, enzim tersebut akan mengaktifkan cascade-caspase dengan mengikat dan mengaktifkan pro-caspase yang lain serta mengaktifkan enzim yang melaksanakan execution phase dari apoptosis. Mekanisme apoptosis dapat dihambat oleh protein yang disebut 17 FLIP, yang berikatan dengan procaspase-8 tetapi tidak dapat berikatan dan mengaktifkan enzim karena kurang mempunyai aktifitas enzim. Beberapa virus dan sel normal memproduksi FLIP dan digunakan untuk menghambat dan memproteksi infeksi dan memproteksi sel normal dari Fas mediatedapoptosis (Ford et al., 2004). Jalur intrinsik apoptosis melibatkan sejumlah besar stimulus yang tidak dimediasi reseptor (non-receptor-mediated) yang menghasilkan sinyal intraseluler yang langsung bereaksi dengan sasaran intrasel dan berkaitan erat dengan mitokonria. Jalur intrinsik disebabkan oleh peningkatan permiabilitas mitokondria dan pelepasan molekul pro apoptotic ke sitoplasma (Kresno, 2011). Pengontrolannya dimulai dengan pengeluaran keluarga protein Bcl-2. Bcl-2 family mempunyai lebih dari 20 macam protein, yang semuanya berfungsi untuk regulasi apoptosis. Dua protein yang berfungsi anti apoptosis adalah Bcl-2 dan Bcl-X. Protein antiapoptosis dalam keadaan normal berada disekitar membran mitokondria dan sitoplasma. Ketika sel kehilangan kemampuan mempertahankan diri atau mengalami stress, Bcl-2 dan Bcl-x akan menghilang dari membran mitokondria dan digantikan kelompok protein pro-apoptotis seperti Bad, Bax atau Bid. Ketika Bcl-2/Bcl-x menurun, terjadi peningkatan permeabilitas membran mitokondria menyebabkan keluarnya beberapa protein yang akan mengaktifkan caspase cascade. Salah satu dari protein tersebut adalah cytochrome c. Didalam cytosol cytochrome c berikatan dengan Apaf-1 (apoptosis activating factor-1) dan mengaktifkan caspase- 18 9. Bcl-2 dan Bcl-x secara langsung menghambat aktivasi Apaf-1 dan kemudian menghilang dari sel yang menyebabkan dapat terjadi aktivasi Apaf-1. Protein mitokondria yang lain seperti apoptosis initiating factor (AIF) memasuki sitoplasma yang akan berikatan untuk menetralkan berbagai macam inhibitor apoptosis. Hal tersebut akan mengaktifkan caspase cascade (Wataguli, 2008). 6. Protein p53 Kanker servik terjadi karena adanya peran molekuler dari protein dalam tubuh. Salah satu protein yang diperkirakan mengambil peranan penting di dalam etiopatogenesis serta progresi kanker ovarium adalah p53. Prayitno (2006) menyatakan bahwa p53 merupakan tumor suppressor gene yang mengkode atau mengekspresikan protein p53. Dimana p53 dalam beberapa penelitian dianggap sebagai faktor transkripsi terhadap gen-gen yang terlibat dalam regulasi siklus sel, induksi apoptosis, DNA repair, dan stabilitas genom. Gen p53 juga berperan sebagai indikator prognostik, pertumbuhan malignansi dan berhubungan dengan respon atau resistensi kanker ovarium terhadap kemoterapi. Menurut Robinson (1991), protein p53 pertama kali diidentifikasi pada tahun 1979 sebagai transformation-related protein dan protein yang keberadaannya banyak terakumulasi diinti sel kanker serta berikatan kuat dengan antigen T simian virus 40 (SV40). Kemudian berkembangnya penelitian sepuluh tahun setelahnya, peneliti mendapatkan bahwa ternyata 19 protein tersebut merupakan mutasi dari bentuk awal p53/wild-type p53 (wt p53) dan sifat onkogenik p53 sebenarnya merupakan hasil dari mutasi p53. Protein p53 dikodekan oleh gen p53, Gen yang produknya mempunyai fungsi penting dalam mengaktivasi cell cycle check point berfungsi memperpanjang waktu tertentu dalam siklus sel untuk memberi kesempatan perbaikan DNA. Bila proses menerjemahan DNA mengalami suatu gangguan atau mutasi. Proses keganasan (malignansi) dapat terjadi karena perilaku sel yang abnormal akibat adanya mutasi gen. Mutasi gen, dalam hal ini terjadi pada gen p53, karena berikatan dengan onkogen virus seperti HPV. Bila ada kerusakan DNA karena x-rays, UV atau yang lain maka ATM/ATR kinase akan diaktifkan, yang akan mengaktifkan Chk1/Chk2 kinase dimana Chk1/Chk2 fungsinya adalah memfosforilasi p53. Pada keadaan tidak terfosforilasi p53 diikat oleh protein Mdm2. Pada keadaan normal, kadar p53 dalam sel sangat rendah karena dipengaruhi oleh Mdm2. Bila p53 dalam keadaan dipegangi Mdm2 maka akan cepat didegradasi karena Mdm2 akan menambah ubikuitin pada p53. P53 menjadi sasaran bagi proteosom, yang terus didegradasi sehingga konsentrasinya akan rendah (Syaifudin, 2010). Penyebab paling utama kanker serviks adalah infeksi onkogenik dari famili Papovoroda yaitu Human Papilloma Virus (HPV) (Bosch et al., 2002). Suatu kondisi medis yang ditandai dengan pertumbuhan sel yang abnormal yang melapisi permukaan serviks disebut displasia serviks. Proses 20 terbentuknya kanker serviks dapat terjadi bertahun-tahun, tetapi bisa terjadi lebih cepat. 7. Human Papilloma Virus (HPV) Human papilloma virus (HPV) adalah virus DNA untai ganda yang menular secara seksual dan menginfeksi permukaan kulit dan mukosa epitel (Khan, 2009). Infeksi virus papiloma manusia (human papilloma virus/HPV) pada kelamin adalah infeksi menular seksual (IMS) yang paling umum. Ada lebih dari 120 tipe virus HPV, HPV adalah virus dengan materi genetik DNA untai ganda berukuran 8000 pasang basa yang dapat menyebabkan beberapa penyakit pada manusia. Penyakit yang disebabkan oleh HPV diantaranya warts pada organ genital seperti kanker leher rahim (Franco et al., 2001). Gambar 4. Patogenesis HPV terhadap terbentuknya kanker servik (Franco et al., 2001). 21 Beberapa jenis HPV menyebabkan kutil atau pertumbuhan sel yang tidak normal (displasia) di daerah kelamin dalam atau di sekitar leher rahim atau dubur. Pertumbuhan sel tidak normal ini dapat menyebabkan kanker leher rahim atau dubur. Infeksi HPV pada alat kelamin disebarkan melalui hubungan seks. Infeksi HPV dapat bertahan lama. Mekanisme HPV menyebabkan kanker serviks terlihat pada Gambar 4. Pada awalnya virus ini menempel pada kulit manusia bagian leher rahim pada sel epitel SJC. Kemudian HPV masuk kedalam sel menembus dinding nukleus dan mengganggu kerja gen p53 yang berada di inti sel dengan cara berikatan dengan gen p53. Hal ini menyebabkan fungsi gen p53 menjadi terganggu sehingga tidak mampu melakukan repairing, siklus sel, ataupun apoptosis sel. Sehingga sel tidak stabil dan menyebabkan gangguan siklus sel yang akhirnya terjadi pembelahan sel yang tidak terkendali (Franco et al., 2001). 8. Sel HeLa Sel HeLa merupakan salah satu sel kanker turunan dari sel epitel leher rahim (cervix) manusia. Dimana sel ini berfungsi sebagai bahan uji dalam penelitian pada kasus kanker serviks dengan standar yang stabil (kultur murni sel kanker leher rahim). Sel HeLa merupakan continuous cell line dari sel-sel kanker serviks milik Henrietta Lacks yang meninggal karena kankernya pada tahun 1951. Awalnya, cell line ini dinamai “Helen Lane” untuk menjaga nama Lacks. Sel ini tumbuh sebagai sel yang semi melekat ketika dikulturkan, tidak dapat mati (immortal) karena tua, dan 22 dapat membelah secara tidak terbatas selama memenuhi kondisi dasar bagi sel untuk tetap hidup masih ada (Rahbari et al., 2009). Sel HeLa dibudidayakan ketika Lacks menerima perawatan untuk kanker leher rahim. Sel HeLa masih digunakan untuk penelitian di laboratorium sebagai model dari sel manusia. Sel HeLa adalah sel kanker leher rahim akibat infeksi HPV 18 sehingga mempunyai sifat yang berbeda dengan sel leher rahim normal. Sel ini diinfeksi HPV sehingga mengeekspresikan 2 onkogen, yaitu E6 dan E7. Protein E6 dan E7 terbukti dapat menyebabkan sifat imortal pada kultur primer keratinosit manusia, namun sel yang imortal ini tidak bersifat tumorigenik hingga suatu proses genetik terjadi. Jadi, viral onkogen tersebut tidak secara langsung menginduksi pembentukan tumor, tetapi menginduksi serangkaian proses yang pada akhirnya dapat menyebabkan sifat kanker (Goodwin and DiMaio, 2000). Proses kultur sel ini memerlukan beberapa media yang cukup. Media yang digunakan adalah media RPMI 1640-serum. Dimana media RPMI ini mampu memberikan kondisi invitro yang sesuai dengan keadaan aslinya. Di dalamnya terkandung nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan, yaitu asam amino, vitamin, garam-garam anorganik, dan glukosa. Serum yang ditambahkan mengandung hormon-hormon yang mampu memacu pertumbuhan sel. Albumin berfungsi sebagai protein transport, lipid diperlukan untuk pertumbuhan sel, dan mineral berfungsi sebagai kofaktor 23 enzim. Sehingga dari media tersebut sel tersebut tetap bisa digunakan sampai sekarang (Freshney, 1986). 9. Sitotoksisitas Sitotoksik adalah sifat toksis atau beracun yang dimiliki oleh suatu senyawa tertentu terhadap sel hidup. Uji sitotoksik ini dianalisis dengan ELISA reader sehingga didapat IC50 yang digunakan untuk menentukan LC50 sebagai nilai minimum suatu zat dapat membunuh 50% sel yang hidup. Sitotoksisitas merupakan suatu uji secara in vitro yang dilakukan menggunakan kultur sel dalam mengevaluasi keamanan suatu obat, makanan, kosmetika, maupun bahan-bahan kimia lainnya. Pengujian ini selain menggunakan kultur sel, juga dilakukan uji farmakokinetika in vitro untuk mengembangkan obat-obat dan mengamati toksisitas akut maupun kronik (Djajanegara dan Wahyudi, 2009). Uji sitotoksik ini dapat dilakukan dengan metode MTT assay yang memiliki kelebihan yaitu relatif cepat, sensitif, akurat, digunakan untuk mengukur sampel dalam jumlah besar dan hasilnya bisa digunakan untuk memprediksi sifat sitotoksik suatu bahan. Metode ini menggunakan pripsip dengan pembentukan kristal yang mampu dibaca oleh alat ELISA reader dengan panjang gelombang tertentu yang mampu menghasikan data berdasarkan perbedaan warna karena adanya kristal yang terbentuk. Panjang gelombang yang umum digunakan dalam uji sitotoksisitas sel HeLa adalah 550 n (Freshney, 1986). 24 10. Imunohistokimia (IHC) IHC merupakan metode pengecatan preparat dengan menggunakan prinsip pengikatan imunologi dan sifat kimia pada suatu jaringan. Sehingga pada suatu jaringan tertentu dapat terlihat bagian – bagian kimianya, seperti protein, lemak atau zat lainnya. Adanya pengecatan secara IHC ini kita dapat mengetahui perbedaan struktur kimia pada suatu jaringan sehingga kita dapat tahu hal – hal apa saja yang dialami oleh sebuah sel (Munirah dkk, 2006). Imunohistokimia merupakan suatu cara pemeriksaan untuk mengukur derajat imunitas atau kadar antibodi atau antigen dalam sediaan jaringan. Nama imunohistokimia diambil dari nama immune yang menunjukkan bahwa prinsip dasar dalam proses ini ialah penggunaan antibodi dan histo menunjukkan jaringan secara mikroskopis. Imunohistokimia merupakan metode untuk mendeteksi keberadaan antigen spesifik di dalam sel suatu jaringan dengan menggunakan prinsip pengikatan antara antibodi (Ab) dan antigen (Ag) pada jaringan hidup. Pemeriksaan ini membutuhkan jaringan dengan jumlah dan ketebalan yang bervariasi tergantung dari tujuan pemeriksaan (Fitra dkk., 2008). Pada umumnya teknik ini dimanfaatkan untuk identifikasi, lokalisasi, dan karakterisasi suatu antigen tertentu. Bisa pula digunakan untuk menentukan diagnosis, terapi, dan prognosis kanker. Teknik ini diawali dengan pembuatan irisan jaringan (histologi) untuk diamati dibawah mikroskop. Interaksi antara antigen-antibodi adalah reaksi yang tidak kasap 25 mata. Tempat pengikatan antara antibodi dengan protein spesifik diidentifikasi dengan marker yang biasanya dilekatkan pada antibodi dan bisa divisualisasi secara langsung atau dengan reaksi untuk mengidentifikasi marker. Pada pengecatan IHC sel kanker dibutuhkan protein yang digunakan sebagai indikasi bagaimana reaksi yang ditimbulkan pada suatu reaksi tersebut Immunohistokimia melibatkan inkubasi sel dengan antibody (Prayitno et al., 2013). Antibodi akan berikatan dengan antigen atau protein spesifik di dalam sel. Antibodi yang tidak berikatan dipisahkan dengan pencucian, sedangkan antibodi yang berikatan dideteksi secara langsung dengan antibodi primer berlabel, maupun secara tidak langsung dengan antibodi sekuder berlabel enzim atau fluoresen (CCRC, 2010). B. Kerangka Pemikiran Kanker serviks merupakan penyakit mematikan yang banyak menyerang kaum wanita. Banyak pengobatan dan penelitian yang dikembangkan untuk menangani kanker servik. Penelitian yang dikembangkan saat ini adalah penggunaan daun sirsak sebagai obat pendamping dalam kemoterapi sebagai pengobatan yang lebih aman (Inayah, 2015). Pada penelitian tersebut digunakan isolat senyawa tunggal dari daun sirsak sebagai pendamping Doxorubicin sebagai obat kemoterapi. Daun sirsak dapat digunakan sebagai sumber produk alami dalam pengembangan obat antikanker dengan kandungan yang terdapat didalamnya (Astirin et al., 2014). Telah diketahui bahwa daun sirsak memiliki kandungan 26 acetogenin golongan senyawa aktif poliketida, yang memiliki efek antiproliferasi terhadap sel HeLa dengan kemungkinan terjadi mekanisme cell cycle arrest. Fraksi klorofom daun sirsak yang dilakukan oleh Dewangga (2015) mendapatkan isolat daun sirsak dengan senyawa teraktifnya adalah golongan poliketida. Pada penelitian ini akan dicari bagaimana efek dari turunan fraksi klorofom daun sirsak yaitu isolat senyawa tunggal poliketida terhadap sel HeLa. Kemudian dilakukan Imunohistokimia dengan antibodi sekunder protein p53 untuk mengetahui ekspresi kerja dari senyawa golongan poliketida tersebut terhadap penghambatan pertumbuhan sel HeLa. Kerangka pemikiran penelitian dapat di gambarkan dalam bagan seperti pada Gambar 5 di bawah ini: Gambar 5. Diagram alir kerangka pemikiran C. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Isolat Senyawa aktif golongan poliketida pada daun sirsak dapat mempengaruhi sel HeLa yang akan didapat nilai LC50 pada uji sitotoksisitas 27 dengan nilai LC50 adalah < 100 μg/ml, maka nilai tersebut dikatakan senyawa tersebut berpengaruh pada sel HeLa sebagai sel kanker. 2. Nilai LC50 merupakan konsentrasi yang digunakan dalam pewarnaan Imunohistokimia menggunakan antibodi protein p53. Bila sel HeLa yang diwarnai menunjukkan perubahan warna menjadi coklat maka senyawa tersebut dikatakan mampu penghambatan pertumbuhan sel HeLa.