6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Sirsak

advertisement
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
1.
Tinjauan Pustaka
Sirsak (Annona muricata L.)
a. Klasifikasi dan Deskripsi
Sirsak (Annona muricata L.) merupakan tumbuhan yang berasal dari
wilayah Benua Amerika dengan iklim tropis, seperti di Amerika Tengah,
Amerika Selatan dan tersebar luas hampir diseluruh dunia, termasuk di
Indonesia. Persebaran sirsak yang mencakup seluruh dunia, menyebabkan
sirsak memiliki nama lokal yang bervariasi di Indonesia misalnya, nangka
landa (Jawa), srikaya jawa (Bali), sirsak (Sunda), dan jambu landa
(Lampung) (Verheij and Coronel, 1997). Menurut Tjitrosoepomo (1991),
sistematika dari tumbuhan sirsak adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Polycarpiceae
Famili
: Annonaceae
Genus
: Annona
Spesies
: Annona muricata L.
Pohon sirsak di Indonesia pada umumnya memiliki tinggi 3-10 m
(Gambar 1d), dengan percabangannya rendah. Daun berbentuk bulat
6
7
panjang (Gambar 1a), urat daun menyirip, ujung daun meruncing, warna
daun hijau muda sampai hijau tua, dan memiliki permukaan daun yang
mengkilap. Secara umum panjang daun 6-18 cm dan lebarnya 3-7 cm.
Sirsak memiliki tangkai daun pendek dengan panjang 3-10 mm (Radi,
2002).
Sirsak memiliki bunga tunggal (Gambar 1b), dalam satu bunga
terdapat banyak putik sehingga dinamakan bunga berpistilum majemuk.
Bagian bunga tersusun secara hemicyclis, yaitu sebagian terdapat dalam
lingkaran dan yang lain spiral atau terpencar. Buah sirsak berbentuk bulat
tidak beraturan dengan kulit buahnya hijau (Gambar 1c), yang sudah tua
berubah agak kehitaman dan duri lunaknya merenggang. Daging buahnya
berwarna putih gading dan berbiji banyak (Sunarjono, 2005).
1a
1b
1c
1d
Gambar 1. (a) daun sirsak, (b) bunga sirsak, (c) buah sirsak, (d) pohon
sirsak (Radi, 2002).
b. Habitat dan Penyebaran
Tanaman sirsak bukan tanaman asli Indonesia, menurut Verheij and
Coronel (1997) tanaman ini menyebar luas ke Asia pada abad ke-19, dan
8
mulai dibudidayakan di Malaysia dan Indonesia. Awalnya tanaman sirsak
merupakan tanaman yang tumbuh liar, kemudian dikembangkan menjadi
tanaman pekarangan. Sirsak dapat tumbuh di semua jenis tanah dengan
derajat keasaman (pH) antara 5-7. Ketinggian tempat antara 100- 1000 m di
atas permukaan laut (dpl). Suhu udara yang sesuai untuk tanaman sirsak
adalah 22-32ºC dengan curah hujan yang dibutuhkan tanaman sirsak antara
1500- 3000 mm/tahun (Sunarjono, 2005).
c. Kandungan Senyawa Aktif sebagai Anti Kanker
Hasil skrining fitokimia menunjukkan keberadaan alkaloid, tanin,
flavonoid, saponin, antrakuinon dan glikosida pada ekstrak etanol daun
sirsak (Ezirim et al., 2013). Penelitian Budiarti et al., (2014) menunjukkan
bahwa fraksi klorofom daun sirsak dengan konsentrasi 1000 µg/ml memiliki
aktivitas antioksidan sebesar 35,509% dan kandungan vitamin C sebesar
42,996%. Menurut Asprey and Thornton (2000), daun sirsak mengandung
flavonoid, alkaloid, asam lemak, fitosterol, mirisil alkohol dan anonol.
Senyawa flavonoid sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan
termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga, buah, dan biji. Daun
sirsak memiliki berbagai kandungan senyawa aktif yang berpotensi sebagai
senyawa antikanker. Senyawa aktif tersebut dihasilkan dari proses
metabolisme sekunder yang terdiri atas golongan alkaloid, flavonoid,
triterpenoid/steroid, dan acetogenin yang termasuk golongan poliketida.
9
1) Kandungan Alkaloid
Alkaloid merupakan hasil metabolit sekunder yang banyak
terkandung ditumbuhan hijau termasuk pada daun sirsak. Alkaloid
mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom
nitrogen, biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari sistem siklik.
Alkaloid mempunyai aktivitas fisiologi yang menonjol sehingga digunakan
secara luas dalam bidang pengobatan (Harborne, 1987). Golongan alkaloid
yang ditemukan pada tanaman sirsak meliputi beberapa senyawa dari
golongan benzil-tetrahidro-isoquinolin dan salah satunya adalah liriodin
yang bersifat antikanker, antibakteri dan antijamur (Rahayu et al., 1993).
2) Kandungan Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu hasil metabolit sekunder dan
biasanya banyak terdapat pada daun yang dipengaruhi oleh proses
fotosintesis. Flavonoid merupakan senyawa bahan alam dari golongan
fenolik. Manfaat flavonoid dalam tubuh manusia adalah sebagai antioksidan
sehingga sangat baik digunakan untuk pencegahan kanker melindungi
struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C, anti inflamasi, mencegah
keropos tulang dan antibiotik (Rahayu et al., 2006).
3) Kandungan Poliketida
Robinson (1991) menjelaskan poliketida adalah golongan
metabolit sekunder dari bakteri, jamur, tanaman, dan hewan. Poliketida
dibiosintesiskan dengan polimerisasi subunit asetil dan propionil dalam
proses yang mirip dengan sintesis asam lemak (kondensasi Claisen).
10
Poliketida adalah blok pembangun (building block) untuk berbagai
produk-produk alami. Penelitian Dewangga (2015) mendapatkan hasil
bahwa isolat daun sirsak memiliki senyawa teraktif dari uji KLT adalah
golongan poliketida. Isolat daun sirsak yang diujikan pada sel HeLa
mampu membunuh sel kanker serviks. Secara umum golongan poliketida
ini memiliki manfaat sebagai senyawa antimikroba, antiparasit, dan
antikanker merupakan poliketida atau turunannya, seperti eritromisin,
antibiotik tetrasiklin, avermektin, dan antitumor epotilon (Minto and
Blacklock, 2008).
Poliketida memiliki turunan seperti eritromisin, antibiotik
tetrasiklin, avermektin, dan acetogenin (Minto and Blacklock, 2008).
Annonaceous Acetogenin merupakan turunan poliketida yang banyak
terdapat pada daun sirsak dianggap sebagai senyawa aktif yang mampu
menghambat pertumbuhan kanker. Prinsip dasar acetogenin adalah
menghambat sintesis adenosine trifosfat (ATP) pada mitokondria sel
yang dibutuhkan oleh sel kanker sehingga sel kanker kekurangan nutrisi
untuk membelah dan akhirnya terhambat pertumbuhannya. Aktivitas
biologi dari Annonaceous acetogenin menghambat kompleks I
mitokondria (NADH-ubiquinone oxidoreductase) sehingga dapat bersifat
sitotoksik terhadap sel kanker dan terbukti sifatnya berlaku secara
spesifik. Annonaceous acetogenin merupakan inhibitor NADH pada
enzim uniquinone oxidoreductase. Enzim ini merupakan enzim esensial
dalam sistem transpor elektron yang memimpin ke proses fosforilasi
11
oksidatif di dalam mitokondria. Sumber utamanya aktivitas biologi untuk
aktivitas
Annonaceous
acetogenin
melibatkan interaksi
dengan
kompleks I mitokondria (NADH: ubiquinone oxidoreductase).
Kandungan annonaceus acetogenin terdapat diseluruh bagian
sirsak yaitu daun, batang, kulit kayu, dan biji buah (Noller, 2005).
Senyawa acetogenin ini hanya ditemukan pada tumbuhan famili
annonaceae yang merupakan senyawa poliketida dengan struktur C-34
atau C-37 rantai karbon tidak bercabang yang terikat pada gugus 2propanol pada C-2 vivo. Terlihat pada Gambar 2 nampak gugus lakton
dan gugus C=O pada γ – butirolakton (cincin yang beranggotakan lima)
yang yang merupakan ciri – ciri senyawa acetogenin yang hanya terdapat
pada golongan annonaceus (Pradana dkk, 2015).
Gambar 2. Struktur kimia dari annonaceus acetogenin (Noller, 2005).
2.
Kanker
Kanker pada dasarnya merupakan sel dengan proliferasi yang tidak
terkendali akibat kerusakan gen, utamanya pada regulator daur sel (Cherath
et al., 2005). Pertumbuhan kanker merupakan proses mikroevolusioner
yang dapat berlangsung dalam beberapa bulan atau beberapa tahun. Proses
pertumbuhan kanker dinamakan karsinogenesis, yang dimulai dari satu sel
kanker memperbanyak diri dan membentuk koloni kecil dalam jaringan
12
yang sama. Selanjutnya terjadi perubahan genetik (seperti aktivasi onkogen)
yang menyebabkan koloni dari sel abnormal menjadi malignan. Perubahan
genetik pada gen-gen yang mengatur pertumbuhan, yaitu onkogen dan
tumour supressor gene merupakan perubahan yang sering terjadi.
Akibatnya sel akan berproliferasi terus menerus dan menimbulkan
pertumbuhan jaringan yang abnormal (Meiyanto dkk., 2006).
Kanker terjadi karena sel yang telah kehilangan pengendalian dan
mekanisme normal, sehingga pertumbuhan tidak teratur. Kanker bisa terjadi
dari berbagai jaringan dalam berbagai organ. Sejalan dengan pertumbuhan
dan pembiakan, sel-sel kanker membentuk suatu masa dari jaringan ganas
menyusup ke jaringan di dekatnya dan bisa menyebar (metastasis) ke
seluruh tubuh. Sel kanker dibentuk dari sel-sel normal dalam suatu proses
rumit yang disebut transformasi, yang terdiri dari tahap inisiasi dan promosi.
Pada siklus sel kanker terjadi dengan cara sel masuk ke dalam siklus
pembelahan sel: fase G1, fase S, fase G2, kemudian fase M. Ketika protoonkogen mengalami mutasi menjadi onkogen, maka mekanisme fisiologis
proses pembelahan sel normal akan mengalami gangguan dan menuju pada
lesi gen. Perubahan ini akan menyebabkan terjadinya proses pembelahan
sel neoplastik (Meiyanto dkk., 2006).
3.
Kanker Serviks
Kanker serviks atau yang disebut juga sebagai kanker mulut rahim
merupakan salah satu penyakit kanker yang paling banyak dialami kaum
wanita. Hampir seluruh wanita yang mengalami kanker serviks
13
menyebabkan kematian. Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi
pada serviks atau leher rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita
yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus)
dan vagina (Walboomers et al., 1999).
Berdasarkan data yang ada, dari sekian banyak penderita kanker di
Indonesia, penderita kanker serviks mencapai sepertiga bagian. Data WHO
tercatat, setiap tahun ribuan wanita meninggal karena penyakit kanker
serviks ini dan merupakan jenis kanker yang menempati peringkat teratas
sebagai penyebab kematian wanita dunia. Kanker serviks menyerang pada
bagian organ reproduksi kaum wanita, tepatnya di daerah leher rahim atau
pintu masuk ke daerah rahim yaitu bagian yang sempit di bagian bawah
antara kemaluan wanita dan rahim (Gambar 3) (Walboomers et al., 1999).
Gambar 3. Anatomi serviks (Moore et al., 2006).
Bagian serviks sangat riskan mengalami pertumbuhan sel abnormal
karena secara anatomis, serviks dibagi menjadi 2 bagian yakni
eksoserviks/portio (bagian luar) dan endoserviks kanalis serviks (bagian
dalam) (Gambar 3). Masing-masing bagian itu dilapisi oleh sel penyusun
14
yang disebut dengan sel epitel. Pada bagian eksoserviks dilapisi oleh sel
epitel gepeng berlapis (squamous compleks), sedangkan pada endoserviks
dilapisi oleh sel epitel kuboid / silindris pendek selapis bersilia. Pada daerah
perbatasan keduanya terdapat area yang disebut squamo-columnar junction
(SJC). Pada bagian peralihan ini, sel-sel epitel itu biasanya akan mengalami
metaplasi (perubahan menjadi abnormal). Hal ini disebabkan karena sel-sel
itu saling bertumpuk dan saling mendesak, sehingga sel-sel tersebut mudah
sekali terinveksi virus dan mudah untuk ditembus (Wijayanti dkk, 2014).
4.
Siklus Sel
Siklus sel adalah proses duplikasi secara akurat untuk menghasilkan
jumlah DNA kromosom yang banyak dan untuk menghasilkan dua sel
anakan yang identik secara genetik. Proses duplikasi ini berlangsung terus
menerus dan siklik. Siklus sel secara normal terbagi menjadi dua periode,
yaitu interfase atau periode non pembelahan dan periode pembelahan sel
(M) yang menghasilkan sel-sel baru. Interfase terdiri atas tiga fase, yaitu :
G1 (Gap pertama), S (Sintesis DNA), dan G2 (Gap kedua), dan diselingi
fase istirahat, yaitu G0. Kemudian periode pembelahan atau mitotic,
membelah dengan dua tahapan yaitu : kariokinesis atau mitosis dan
sitokinesis. Fase awal dimulai dengan G1, pada fase ini sel mulai
mempersiapkan untuk melakukan sintesis DNA dan juga melakukan
biosintesis RNA dan protein, dilanjutkan dengan fase S, dimana pada fase
ini terjadi replikasi DNA (David and Shivdasani, 2001). Pada akhir fase ini
sel telah berisi DNA ganda dan kromosom telah mengalami replikasi
15
(McDonald and Ford, 1997). Lamanya siklus tersebut berbeda-beda pada
berbagai macam organisme. Pada sel normal manusia sekitar 20-24 jam.
Fase G1 membutuhkan waktu 8-10 jam, fase S 6-8 jam, fase G2 5 jam dan
fase M 1 jam. Waktu generasi untuk kultur sel pada umumnya sama dengan
sel normal (Rang et al., 2003).
Perubahan dari satu fase ke fase berikutnya dalam siklus sel diatur
oleh beberapa checkpoint (pada masing-masing fasenya). Checkpoint
berfungsi mengontrol kromosom yang terbentuk dalam kondisi utuh dan
tahap-tahap kritis siklus sel telah berlangsung sempurna sebelum memasuki
tahap selanjutnya (Livingstone and Shivdasani, 2001). Pada kanker terjadi
perubahan pengaturan siklus sel. Selama perkembangan sel kanker biasanya
mempengaruhi ekspresi protein-protein pengatur siklus sel, hal ini karena
tidak mampunya kontrol checkpoint mengenali sel kanker. Sehingga
menyebabkan inisiasi fase S atau mitosis tetap berlangsung meskipun ada
kerusakan
seluler
dan
ketidakstabilan
genetik
yang
selanjutnya
menimbulkan clone maligna (De Vita et al.,1997; McDonald and Ford,
1997)
5.
Apoptosis
Apoptosis merupakan prose terjadinya kematian sel secara
terprogram. Apoptosis terjadi normal selama proses perkembangan dan
penuaan sebagai mekanisme homeostatik untuk memelihara populasi sel
dalam jaringan. Apoptosis penting untuk mengatur kematian sel untuk
mengkontrol jumlah sel dan membersihkan sel yang rusak yang mempunyai
16
peran penting untuk supresi tumor. Sel yang apoptosis akan menunjukkan
sel melisut (cell shrinkage), pemadatan kromatin (chromatin condensation)
kemudian menjadi sel apoptosis atau sel apoptosis yang akan memudahkan
untuk difagositosis oleh makrofag (Ford et al., 2004).
Mekanisme terjadinya apoptosis melibatkan aktivasi berbagai
molekul bergantung energi (energy-dependent). Saat ini diketahui ada 2
jalur utama apoptosis yaitu jalur ekstrinsik atau jalur reseptor kematian
(death receptor pathway) dan jalur intrinsik atau jalur mitokondria (Ford et
al., 2004).
Jalur ekstrinsik diawali oleh sel surface death receptor dari
berbagai macam sel. Death receptor adalah anggota dari tumor necrosis
factor receptor family (TNF) mempunyai cytoplasmic domain yang berisi
protein interaksi disebut death domain, yang penting untuk mengirim
apoptotic signals. Mekanisme apoptosis yang diinduksi oleh death receptor
diawali Fas ligand (FasL) yang melepaskan Fas dari ligandnya. Molekul
Fas menuju ke sitoplasma yang terdapat death domain, tempat untuk
berikatan dengan adapter protein yang juga mempunyai death domain dan
disebut FADD (fas-associated death domain). FADD yang dilekatkan pada
death receptors kembali berikatan dengan procaspase-8 melalui death
domain. Setelah caspase-8 diaktivasi, enzim tersebut akan mengaktifkan
cascade-caspase dengan mengikat dan mengaktifkan pro-caspase yang lain
serta mengaktifkan enzim yang melaksanakan execution phase dari
apoptosis. Mekanisme apoptosis dapat dihambat oleh protein yang disebut
17
FLIP, yang berikatan dengan procaspase-8 tetapi tidak dapat berikatan dan
mengaktifkan enzim karena kurang mempunyai aktifitas enzim. Beberapa
virus dan sel normal memproduksi FLIP dan digunakan untuk menghambat
dan memproteksi infeksi dan memproteksi sel normal dari Fas
mediatedapoptosis (Ford et al., 2004).
Jalur intrinsik apoptosis melibatkan sejumlah besar stimulus yang
tidak dimediasi reseptor (non-receptor-mediated) yang menghasilkan sinyal
intraseluler yang langsung bereaksi dengan sasaran intrasel dan berkaitan
erat dengan mitokonria.
Jalur intrinsik disebabkan oleh peningkatan
permiabilitas mitokondria dan pelepasan molekul pro apoptotic ke
sitoplasma (Kresno, 2011). Pengontrolannya dimulai dengan pengeluaran
keluarga protein Bcl-2. Bcl-2 family mempunyai lebih dari 20 macam
protein, yang semuanya berfungsi untuk regulasi apoptosis. Dua protein
yang berfungsi anti apoptosis adalah Bcl-2 dan Bcl-X. Protein antiapoptosis dalam keadaan normal berada disekitar membran mitokondria dan
sitoplasma. Ketika sel kehilangan kemampuan mempertahankan diri atau
mengalami stress,
Bcl-2 dan Bcl-x akan menghilang dari membran
mitokondria dan digantikan kelompok protein pro-apoptotis seperti Bad,
Bax atau Bid. Ketika Bcl-2/Bcl-x menurun, terjadi peningkatan
permeabilitas membran mitokondria menyebabkan keluarnya beberapa
protein yang akan mengaktifkan caspase cascade. Salah satu dari protein
tersebut adalah cytochrome c. Didalam cytosol cytochrome c berikatan
dengan Apaf-1 (apoptosis activating factor-1) dan mengaktifkan caspase-
18
9. Bcl-2 dan Bcl-x secara langsung menghambat aktivasi Apaf-1 dan
kemudian menghilang dari sel yang menyebabkan dapat terjadi aktivasi
Apaf-1. Protein mitokondria yang lain seperti apoptosis initiating factor
(AIF) memasuki sitoplasma yang akan berikatan untuk menetralkan
berbagai macam inhibitor apoptosis. Hal tersebut akan mengaktifkan
caspase cascade (Wataguli, 2008).
6.
Protein p53
Kanker servik terjadi karena adanya peran molekuler dari protein
dalam tubuh. Salah satu protein yang diperkirakan mengambil peranan
penting di dalam etiopatogenesis serta progresi kanker ovarium adalah p53.
Prayitno (2006) menyatakan bahwa p53 merupakan tumor suppressor gene
yang mengkode atau mengekspresikan protein p53. Dimana p53 dalam
beberapa penelitian dianggap sebagai faktor transkripsi terhadap gen-gen
yang terlibat dalam regulasi siklus sel, induksi apoptosis, DNA repair, dan
stabilitas genom. Gen p53 juga berperan sebagai indikator prognostik,
pertumbuhan malignansi dan berhubungan dengan respon atau resistensi
kanker ovarium terhadap kemoterapi.
Menurut Robinson (1991), protein p53 pertama kali diidentifikasi
pada tahun 1979 sebagai transformation-related protein dan protein yang
keberadaannya banyak terakumulasi diinti sel kanker serta berikatan kuat
dengan antigen T simian virus 40 (SV40). Kemudian berkembangnya
penelitian sepuluh tahun setelahnya, peneliti mendapatkan bahwa ternyata
19
protein tersebut merupakan mutasi dari bentuk awal p53/wild-type p53 (wt
p53) dan sifat onkogenik p53 sebenarnya merupakan hasil dari mutasi p53.
Protein p53 dikodekan oleh gen p53, Gen yang produknya
mempunyai fungsi penting dalam mengaktivasi cell cycle check point
berfungsi memperpanjang waktu tertentu dalam siklus sel untuk memberi
kesempatan perbaikan DNA. Bila proses menerjemahan DNA mengalami
suatu gangguan atau mutasi. Proses keganasan (malignansi) dapat terjadi
karena perilaku sel yang abnormal akibat adanya mutasi gen. Mutasi gen,
dalam hal ini terjadi pada gen p53, karena berikatan dengan onkogen virus
seperti HPV. Bila ada kerusakan DNA karena x-rays, UV atau yang lain
maka ATM/ATR kinase akan diaktifkan, yang akan mengaktifkan
Chk1/Chk2 kinase dimana Chk1/Chk2 fungsinya adalah memfosforilasi
p53. Pada keadaan tidak terfosforilasi p53 diikat oleh protein Mdm2. Pada
keadaan normal, kadar p53 dalam sel sangat rendah karena dipengaruhi oleh
Mdm2. Bila p53 dalam keadaan dipegangi Mdm2 maka akan cepat
didegradasi karena Mdm2 akan menambah ubikuitin pada p53. P53 menjadi
sasaran bagi proteosom, yang terus didegradasi sehingga konsentrasinya
akan rendah (Syaifudin, 2010).
Penyebab paling utama kanker serviks adalah infeksi onkogenik dari
famili Papovoroda yaitu Human Papilloma Virus (HPV) (Bosch et al.,
2002). Suatu kondisi medis yang ditandai dengan pertumbuhan sel yang
abnormal yang melapisi permukaan serviks disebut displasia serviks. Proses
20
terbentuknya kanker serviks dapat terjadi bertahun-tahun, tetapi bisa terjadi
lebih cepat.
7.
Human Papilloma Virus (HPV)
Human papilloma virus (HPV) adalah virus DNA untai ganda yang
menular secara seksual dan menginfeksi permukaan kulit dan mukosa epitel
(Khan, 2009). Infeksi virus papiloma manusia (human papilloma
virus/HPV) pada kelamin adalah infeksi menular seksual (IMS) yang paling
umum. Ada lebih dari 120 tipe virus HPV, HPV adalah virus dengan materi
genetik DNA untai ganda berukuran 8000 pasang basa yang dapat
menyebabkan beberapa penyakit pada manusia. Penyakit yang disebabkan
oleh HPV diantaranya warts pada organ genital seperti kanker leher rahim
(Franco et al., 2001).
Gambar 4. Patogenesis HPV terhadap terbentuknya kanker servik (Franco
et al., 2001).
21
Beberapa jenis HPV menyebabkan kutil atau pertumbuhan sel yang
tidak normal (displasia) di daerah kelamin dalam atau di sekitar leher rahim
atau dubur. Pertumbuhan sel tidak normal ini dapat menyebabkan kanker
leher rahim atau dubur. Infeksi HPV pada alat kelamin disebarkan melalui
hubungan seks. Infeksi HPV dapat bertahan lama. Mekanisme HPV
menyebabkan kanker serviks terlihat pada Gambar 4. Pada awalnya virus
ini menempel pada kulit manusia bagian leher rahim pada sel epitel SJC.
Kemudian HPV masuk kedalam sel menembus dinding nukleus dan
mengganggu kerja gen p53 yang berada di inti sel dengan cara berikatan
dengan gen p53. Hal ini menyebabkan fungsi gen p53 menjadi terganggu
sehingga tidak mampu melakukan repairing, siklus sel, ataupun apoptosis
sel. Sehingga sel tidak stabil dan menyebabkan gangguan siklus sel yang
akhirnya terjadi pembelahan sel yang tidak terkendali (Franco et al., 2001).
8.
Sel HeLa
Sel HeLa merupakan salah satu sel kanker turunan dari sel epitel
leher rahim (cervix) manusia. Dimana sel ini berfungsi sebagai bahan uji
dalam penelitian pada kasus kanker serviks dengan standar yang stabil
(kultur murni sel kanker leher rahim). Sel HeLa merupakan continuous cell
line dari sel-sel kanker serviks milik Henrietta Lacks yang meninggal
karena kankernya pada tahun 1951. Awalnya, cell line ini dinamai “Helen
Lane” untuk menjaga nama Lacks. Sel ini tumbuh sebagai sel yang semi
melekat ketika dikulturkan, tidak dapat mati (immortal) karena tua, dan
22
dapat membelah secara tidak terbatas selama memenuhi kondisi dasar bagi
sel untuk tetap hidup masih ada (Rahbari et al., 2009).
Sel HeLa dibudidayakan ketika Lacks menerima perawatan untuk
kanker leher rahim. Sel HeLa masih digunakan untuk penelitian di
laboratorium sebagai model dari sel manusia. Sel HeLa adalah sel kanker
leher rahim akibat infeksi HPV 18 sehingga mempunyai sifat yang berbeda
dengan sel leher rahim normal. Sel ini diinfeksi HPV sehingga
mengeekspresikan 2 onkogen, yaitu E6 dan E7. Protein E6 dan E7 terbukti
dapat menyebabkan sifat imortal pada kultur primer keratinosit manusia,
namun sel yang imortal ini tidak bersifat tumorigenik hingga suatu proses
genetik terjadi. Jadi, viral onkogen tersebut tidak secara langsung
menginduksi pembentukan tumor, tetapi menginduksi serangkaian proses
yang pada akhirnya dapat menyebabkan sifat kanker (Goodwin and DiMaio,
2000).
Proses kultur sel ini memerlukan beberapa media yang cukup. Media
yang digunakan adalah media RPMI 1640-serum. Dimana media RPMI ini
mampu memberikan kondisi invitro yang sesuai dengan keadaan aslinya. Di
dalamnya terkandung nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan, yaitu asam
amino, vitamin, garam-garam anorganik, dan glukosa. Serum yang
ditambahkan
mengandung
hormon-hormon
yang
mampu
memacu
pertumbuhan sel. Albumin berfungsi sebagai protein transport, lipid
diperlukan untuk pertumbuhan sel, dan mineral berfungsi sebagai kofaktor
23
enzim. Sehingga dari media tersebut sel tersebut tetap bisa digunakan sampai
sekarang (Freshney, 1986).
9.
Sitotoksisitas
Sitotoksik adalah sifat toksis atau beracun yang dimiliki oleh suatu
senyawa tertentu terhadap sel hidup. Uji sitotoksik ini dianalisis dengan
ELISA reader sehingga didapat IC50 yang digunakan untuk menentukan
LC50 sebagai nilai minimum suatu zat dapat membunuh 50% sel yang hidup.
Sitotoksisitas merupakan suatu uji secara in vitro yang dilakukan
menggunakan kultur sel dalam mengevaluasi keamanan suatu obat,
makanan, kosmetika, maupun bahan-bahan kimia lainnya. Pengujian ini
selain menggunakan kultur sel, juga dilakukan uji farmakokinetika in vitro
untuk mengembangkan obat-obat dan mengamati toksisitas akut maupun
kronik (Djajanegara dan Wahyudi, 2009).
Uji sitotoksik ini dapat dilakukan dengan metode MTT assay yang
memiliki kelebihan yaitu relatif cepat, sensitif, akurat, digunakan untuk
mengukur sampel dalam jumlah besar dan hasilnya bisa digunakan untuk
memprediksi sifat sitotoksik suatu bahan. Metode ini menggunakan pripsip
dengan pembentukan kristal yang mampu dibaca oleh alat ELISA reader
dengan panjang gelombang tertentu yang mampu menghasikan data
berdasarkan perbedaan warna karena adanya kristal yang terbentuk.
Panjang gelombang yang umum digunakan dalam uji sitotoksisitas sel HeLa
adalah 550 n (Freshney, 1986).
24
10.
Imunohistokimia (IHC)
IHC merupakan metode pengecatan preparat dengan menggunakan
prinsip pengikatan imunologi dan sifat kimia pada suatu jaringan. Sehingga
pada suatu jaringan tertentu dapat terlihat bagian – bagian kimianya, seperti
protein, lemak atau zat lainnya. Adanya pengecatan secara IHC ini kita
dapat mengetahui perbedaan struktur kimia pada suatu jaringan sehingga
kita dapat tahu hal – hal apa saja yang dialami oleh sebuah sel (Munirah
dkk, 2006).
Imunohistokimia
merupakan
suatu
cara
pemeriksaan
untuk mengukur derajat imunitas atau kadar antibodi atau antigen dalam
sediaan jaringan. Nama imunohistokimia diambil dari nama immune yang
menunjukkan bahwa prinsip dasar dalam proses ini ialah penggunaan
antibodi
dan
histo
menunjukkan
jaringan
secara
mikroskopis.
Imunohistokimia merupakan metode untuk mendeteksi keberadaan antigen
spesifik di dalam sel suatu jaringan dengan menggunakan prinsip
pengikatan antara antibodi (Ab) dan antigen (Ag) pada jaringan hidup.
Pemeriksaan ini membutuhkan jaringan dengan jumlah dan ketebalan yang
bervariasi tergantung dari tujuan pemeriksaan (Fitra dkk., 2008).
Pada umumnya teknik ini dimanfaatkan untuk identifikasi,
lokalisasi, dan karakterisasi suatu antigen tertentu. Bisa pula digunakan
untuk menentukan diagnosis, terapi, dan prognosis kanker. Teknik ini
diawali dengan pembuatan irisan jaringan (histologi) untuk diamati dibawah
mikroskop. Interaksi antara antigen-antibodi adalah reaksi yang tidak kasap
25
mata. Tempat pengikatan antara antibodi dengan protein spesifik
diidentifikasi dengan marker yang biasanya dilekatkan pada antibodi dan
bisa
divisualisasi
secara
langsung
atau
dengan
reaksi
untuk
mengidentifikasi marker. Pada pengecatan IHC sel kanker dibutuhkan
protein yang digunakan sebagai indikasi bagaimana reaksi yang
ditimbulkan pada suatu reaksi tersebut Immunohistokimia melibatkan
inkubasi sel dengan antibody (Prayitno et al., 2013). Antibodi akan
berikatan dengan antigen atau protein spesifik di dalam sel. Antibodi yang
tidak berikatan dipisahkan dengan pencucian, sedangkan antibodi yang
berikatan dideteksi secara langsung dengan antibodi primer berlabel,
maupun secara tidak langsung dengan antibodi sekuder berlabel enzim atau
fluoresen (CCRC, 2010).
B. Kerangka Pemikiran
Kanker serviks merupakan penyakit mematikan yang banyak menyerang
kaum wanita. Banyak pengobatan dan penelitian yang dikembangkan untuk
menangani kanker servik. Penelitian yang dikembangkan saat ini adalah
penggunaan daun sirsak sebagai obat pendamping dalam kemoterapi sebagai
pengobatan yang lebih aman (Inayah, 2015). Pada penelitian tersebut digunakan
isolat senyawa tunggal dari daun sirsak sebagai pendamping Doxorubicin sebagai
obat kemoterapi.
Daun sirsak dapat digunakan sebagai sumber produk alami dalam
pengembangan obat antikanker dengan kandungan yang terdapat didalamnya
(Astirin et al., 2014). Telah diketahui bahwa daun sirsak memiliki kandungan
26
acetogenin golongan senyawa aktif poliketida, yang memiliki efek antiproliferasi
terhadap sel HeLa dengan kemungkinan terjadi mekanisme cell cycle arrest. Fraksi
klorofom daun sirsak yang dilakukan oleh Dewangga (2015) mendapatkan isolat
daun sirsak dengan senyawa teraktifnya adalah golongan poliketida. Pada
penelitian ini akan dicari bagaimana efek dari turunan fraksi klorofom daun sirsak
yaitu isolat senyawa tunggal poliketida terhadap sel HeLa. Kemudian dilakukan
Imunohistokimia dengan antibodi sekunder protein p53 untuk mengetahui ekspresi
kerja dari senyawa golongan poliketida tersebut terhadap penghambatan
pertumbuhan sel HeLa. Kerangka pemikiran penelitian dapat di gambarkan dalam
bagan seperti pada Gambar 5 di bawah ini:
Gambar 5. Diagram alir kerangka pemikiran
C. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Isolat Senyawa aktif golongan poliketida pada daun sirsak dapat
mempengaruhi sel HeLa yang akan didapat nilai LC50 pada uji sitotoksisitas
27
dengan nilai LC50 adalah < 100 μg/ml, maka nilai tersebut dikatakan senyawa
tersebut berpengaruh pada sel HeLa sebagai sel kanker.
2.
Nilai LC50 merupakan konsentrasi yang digunakan dalam pewarnaan
Imunohistokimia menggunakan antibodi protein p53. Bila sel HeLa yang
diwarnai menunjukkan perubahan warna menjadi coklat maka senyawa
tersebut dikatakan mampu penghambatan pertumbuhan sel HeLa.
Download