II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Inflasi 2.1.1 Definisi

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Teori Inflasi
2.1.1
Definisi Inflasi
Inflasi merupakan kecenderungan meningkatnya tingkat harga secara
umum dan terus-menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak
disebut sebagai inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau
mengakibatkan kenaikan) sebagian besar harga barang-barang lain. Menurut teori
uang klasik, perubahan dalam tingkat harga keseluruhan adalah seperti perubahan
dalam unit-unit ukuran. Karena sesungguhnya kesejahteraan ekonomi masyarakat
bergantung pada harga relatif, bukan pada seluruh tingkat harga (Mankiw, 2007).
Definisi lain dari inflasi adalah kenaikan rata-rata semua tingkat harga
semua barang dan jasa dimana kenaikan harga-harga tersebut berlangsung dalam
waktu yang berkepanjangan dan secara terus-menerus. Menurut Milton Friedman,
inflasi merupakan sebuah fenomena moneter yang selalu terjadi dimanapun dan
tidak dapat dihindari. Inflasi dikatakan sebagai fenomena moneter hanya jika
terjadi peningkatan harga yang berlangsung secara cepat dan terus-menerus.
pendapat ini disetujui oleh banyak ekonom dari aliran monetaris (Mishkin, 2004).
Kenaikan harga secara terus-menerus yang menyebabkan inflasi dapat
disebabkan oleh naiknya nilai tukar mata uang luar negeri secara signifikan
terhadap mata uang dalam negeri. Inflasi menurut teori Keynes terjadi karena
masyarakat hidup diluar batas kemampuan ekonominya. Teori ini menyoroti
bagaimana perebutan sumber ekonomi antar golongan masyarakat bisa
menimbulkan permintaan agregat yang lebih besar daripada jumlah barang yang
tersedia. Dalam teori strukturalis inflasi berasal dari kekakuan struktur ekonomi
khususnya supply bahan bakar minyak, dan bahan makanan yang mengakibatkan
kenaikan harga pada barang lain.
Menurut Samuelson (1989) tingkat inflasi dapat yang ditentukan dengan
menghitung selisih tingkat harga tahun tertentu dengan tingkat harga tahun
sebelumnya dan dibandingkan tengan tingkat harga tahun ini dan dikalikan
dengan seratus persen.
Inflation (t ) 
price(t )  price(t  1)
x100
price(t  1)
Perhitungan inflasi dilakukan melalui dua pendekatan yakni Indeks Harga
Konsumen dan Indeks Harga Produsen (IHP). Indeks Harga Konsumen yang
dikenal sebagai IHK atau CPI yang mengukur biaya dari pasar konsumsi barang
dan jasa. Biasanya inflasi didasarkan kepada harga bahan pangan, pakaian,
perumahan, bahan bakar minyak, transportasi, fasilitas kesehatan, pendidikan dan
komoditi lainnya yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari di
masyarakat. Sedangkan Indeks Harga Produsen atau yang biasa dikenal sebagai
PPI merupakan pendekatan yang digunakan dalam mengukur tingkat inflasi
berdasarkan biaya produksi yang dikeluarkan oleh produsen. Indeks ini berguna
karena memberikan penjelasan yang lebih baik bagi dunia usaha (Samuelson,
1989)
Lebih lanjut Samuelson (1989), menambahkan ada pendekatan lain yang
dapat menjadi pendekatan lain dalam mengukur tingkat inflasi selain Indeks
Harga Konsumen dan Indeks Harga Produsen yakni GNP Deflator. GNP Deflator
merupakan rasio GNP nominal dan GNP rill. GNP yang merupakan pendapatan
nasional ini tersusun dari konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan net
ekspor suatu negara.
Seringkali timbul kesalahpahaman mengenai konsep inflasi di tengah
masyarakat. Kesalapahaman yang ada dimasyarakat seperti anggapan tingkat
inflasi membuat harga barang semakin mahal, dan inflasi yang tinggi sebagai
pertanda bahwa masyarakat menjadi semakin miskin. Samuelson (1989)
menjelaskan bahwa sesungguhnya inflasi berarti rata-rata tingkat harga
mengalami peningkatan. Inflasi juga tidak selalu membuat masyarakat menjadi
miskin apabila diikuti oleh peningkatan pendapatan masyarakat selama masa
terjadinya inflasi. Sehingga pendapatan rill untuk kebutuhan hidup sehari-hari
mungkin saja meningkat atau menurun selama masa inflasi.
2.1.2 Jenis Inflasi
Inflasi terbagi kedalam tiga jenis inflasi yakni :
(1) Inflasi menurut tingkat keparahannya, yakni : Inflasi ringan (dibawah 10
persen setahun), inflasi sedang (antara 10-30 persen setahun), inflasi berat
(antara 30-100 persen setahun), hiperinflasi (diatas 100 persen setahun).
Sedangkan Samuelson (1989) mengklasifikasikan inflasi menurut tingkat
keparahannya menjadi tiga jenis inflasi, yaitu:
a. Moderate Inflation
Jika inflasi ditandai dengan peningkatan harga secara perlahan. Relatif
kecil dengan kenaikan satu digit persen tingkat inflasi per tahun. Ketika
harga relatif stabil, masyarakat mempercai nilai uang dan mau
menyimpannya karena tidak akan berkurang nilainya secara cepat. Inflasi
jenis ini mendorong masyarakat untuk melakukan investasi portofolio
jangka panjang, karena percaya adanya peningkatan harga aset investasi di
masa depan.
b. Galloping Inflation
Jika inflasi ditandai dengan peningkatan harga dua sampai tiga digit
persen tingkat inflasi per tahun. Ketika inflasi meningkat mengakibatkan
distorsi dalam ekonomi. Secara umum investasi akan beralih ke mata uang
asing, karena mata uang dalam negeri mengalami penurunan yang sangat
cepat dan ditandai dengan tingkat suku bunga yang menyentuh level
minus. Namun dengan manajemen yang baik, inflasi jenis ini masih dapat
dipulihkan seperti yang terjadi di Amerika Latin di tahun 1980an.
c. Hyperinflation
Merupakan tipe inflasi yang terparah seperti yang terjadi di Jerman pada
tahun 1920-1923 dan yang terjadi di Cina dan Hungaria pasca perang dunia
kedua. Tipe inflasi ini juga pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1963,
sebagai akibat dari kebijakan pemerintah untuk mendanai “proyek mercusuar”
dengan mencetak uang secara terus-menerus. Hal ini yang menyebabkan nilai
uang menjadi sangat rendah. Tingkat inflasi pada masa itu mencapai 600
persen sehingga pada tanggal 13 Desember 1965 pemerintah melakukan
pemotongan nilai Rupiah dari 1000 Rupiah menjadi 1 Rupiah.
(2) Inflasi menurut penyebab terjadinya, yakni:
a. Demand-Pull Inflation
Inflasi ini bermula dari adanya kenaikan permintaan total (aggregate demand),
sedangkan produksi telah dalam keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir
penuh. Jika kondisi kesempatan kerja penuh atau full employmentsudah terjadi,
kenaikan permintaan total hanya akan meningkatkan harga di pasar. Inflasi jenis
ini disebut sebagai inflasi murni.
b. Cost-Push Inflation
Inflasi yang terjadi disertai turunnya tingkat produksi. Jadi inflasi jenis ini
diikuti resesi dalam perekonomian. Keadaan ini timbul dimulai dengan adanya
penurunan penawaran total (aggregate supply) sebagai akibat dari kenaikan biaya
produksi.
(3) Inflasi menurut asalnya, yakni:
a. Domestic Inflation, yaitu inflasi yang berasal dari dalam negeri. Penyebab
dari inflasi jenis ini misalnya dari defisit anggaran belanja yang dibiayai
dengan mengeluarkan kebijakan moneter menambah jumlah uang yang
beredar berupa pencetakan uang baru, gagal panen dari bahan makannan
pokok, dan sebagainya.
b. Imported Inflation, yaitu inflasi yang berasal dari luar negeri. Mengingat
Indonesia merupakan negara dengan ekomomi terbuka kecil, sehingga
sangat dipengaruhi oleh perekonomian global termasuk tingkat inflasi.
Imported inflation juga dapat disebabkan karena peningkatan dari harga di
luar negeri yang dialami oleh mitra dagang Indonesia.
Kenaikan harga barang-barang impor yang masuk ke Indonesia akan
mengakibatkan (1) kenaikan indeks harga konsumen karena sebagian dari
kebutuhan sehari-hari masyarakat berasal barang-barang impor tersebut, (2) secara
tidak langsung menaikkan indeks harga produsen karena beberapa input produksi
berasal dari barang-barang import, (3) secara tidak langsung menimbulkan
kenaikan harga di dalam negeri karena kenaikan harga barang-barang impor
mengakibatkan penurunan penerimaan pemerintah dari tarif impor yang
dibebankan pada produk impor yang permintaannya mengalami penurunan.
2.1.3 Dampak Inflasi
Selama periode inflasi terjadi, tingkat harga dan upah tidak bergerak
dalam tingkatan yang sama, maka inflasi akan memberikan dampak redistribusi
pendapatan dan kekayaan diantara golonag ekonomi dalam masyarakat. Serta
menimbulkan terjadinya distorsi dalam harga relatif, output, dan kesempatan
kerja, dan ekonomi secara keseluruhan (Samuelson,1989).
Dampak inflasi terhadap kegiatan ekonomi masyarakat terbagi menjadi
dua yakni dampak psitif dan dampak negatif. Dampak positif dari inflasi
menyebabkan peredaran dan perputaran barang lebih cepat di masyarakat
sehingga produksi barang-barang bertambah, dan keuntungan pengusaha
bertambah. Kesempatan kerja bertambah, karena terjadi tambahan investasi yang
tercipta berarti membuka banyak lapangan kerja baru sehingga masalah
pengangguran dapat berkurang. Ketika inflasinya terkendali dan diikuti dengan
pendapatan nominal yang bertambah, maka pendapatan rill masyarakat
meningkat.
Inflasi pun memberikan dampak yang negatif terhadap perekonomian
seperti kenaikan harga kebutuhan hidup, nilai dan kepercayaan terhadap uang
akan berkurang. Menimbulkan tindakan spekulasi terhadap investasi portofolio
terutama portofolio asing yang paling diminati sehingga berdampak terhadap
melemahnya nilai tukar mata uang domestik. Banyak proyek pembangunan macet
atau terlantar karena tidak sanggup membayar input dalam proyek yang harganya
mengalami peningkatan. Dengan terjadinya inflasi menjadikan minat menabung
masyarakat berkurang sebagai akibat dari turunnya nilai mata uang jika hal ini
terjadi secara terus-menerus maka akan mematikan industri perbankan nasional.
2.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi
2.3.1
Definisi Pertumbuhan Ekonomi
Prof. Simon Kuznets memenangkan Hadiah Nobel di tahun 1971 atas
analisisnya mengenai batasan mengenai pertumbuhan ekonomi di suatu negara
sebagai tumbuhnya kemampuan untuk meningkatkan penawaran berbagai bendabenda ekonomi dalam jangka waktu yang lama bagi penduduknya. Kenaikan itu
sendiri beberapa faktor dalam negara itu sendiri seperti : (1) akumulasi kapital
yang mencakup semua investasi baru berupa tanah dan sumberdaya manusia; (2)
pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja; dan (3) kemajuan
teknologi (Todaro, 1985).
Prof. Kuznets dalam Todaro (1985) menambahkan definisi pertumbuhan
ekonomi memiliki 3 komponen pokok, yakni : meningkatnya output nasional
secara terus-menerus, adanya perkembangan teknologi, dan padanya penyesuaian
lembaga-lembaga dan inovasi di bidang sosial. Dalam analisanya Prof. Kuznets
juga menjelaskan 6 karaktreistik mengenai gambaran atau proses pertumbuhan
ekonomi yang dialami oleh beberapa negara maju, yaitu:
a. Laju pertumbuhan output perkapita yang tinggi dan pertambahan
penduduk.
b. Produktivitas tenaga kerja yang meningkat dengan pesat.
c. Transformasi struktural ekonomi yang tinggi.
d. Transformasi sosial dan ideologi yang tinggi.
e. Kecenderungan negara maju untuk melakukan ekspansi ke belahan dunia
yang lain untuk pemasaran output dan eksplorasi sumber bahan mentah.
f. Terbatasnya penyebaran pertumbuhan ekonomi yang hanya meliputi
sepertiga penduduk dunia saja.
Pertumbuhan ekonomi juga dapat didefinisikan sebagai suatu proses
kenaikan output perkapita jangka panjang yang terjadi apabila ada kecenderungan
output naik yang bersumber dari kekuatan yang berada dalam perekonomian itu
sendiri, bukan berasal dari luar atau bersifat sementara. Sasaran pertumbuhan
ekonomi merupakan salah satu tujuan utama suatu negara dan merupakan suatu
determinan penting dalam menilai kesejahteraan masyarakat di suatu negara.
Perhitungan pertumbuhan ekonomi diperoleh dengan persamaan di bawah ini :
GDPgrowth 
GDP(t )  GDP(t  1)
GDP(t  1)
Dimana GDP merupakan akumulasi dari konsumsi masyarakat (C), investasi (I),
pengeluaran pemerintah (G), dan ekspor netto yakni selisih dari ekspor dan impor
(X-M).
2.3.2
Ringkasan Teori Pertumbuhan Ekonomi
Teori ekonomi klasik yang dipelopori oleh Adam Smith menyebutkan
bahwa pertumbuhan ekonomi akan terjadi apabila ada peningkatan jumlah kapital
dan spesialisasi kerja. Teori David Ricardo pada umumnya sama dengan teori
Adam Smith secara garis besar tapi lebih menekankan faktor keterbatasan lahan
dan pertumbuhan penduduk.
Teori pertumbuhan ekonomi menurut Solow menunjukkan bagaimana
persediaan modal (K), pertumbuhan angkatan kerja (L), dan kemajuan teknologi
(E) berinteraksi dalam perekonomian. Tingkat kemajuan teknologi yang terlihat
dari peningkatan keterampilan atau kemajuan teknik sehingga produktivitas
perkapita meningkat. Fungsi produksi ditambahkan satu variabel E yakni
teknologi sebagai faktor eksternal dalam teori Solow. Dengan adanya kemajuan
teknologi, model Solow menjelaskan kenaikan yang berkelanjutan dalam standar
hidup masyarakat dengan fungsi produksi sebagai berikut :
Y  f ( K , L, E )
Teori pertumbuhan ekonomi menurut Harrod-Domar menyatakan setiap
penambahan stok modal melalui investasi masyarakat akan meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk menghasilkan output. Sedangkan Rostow membagi
tahapan pertumbuhan ekonomi kedalam lima tahapan yakni :
a. Masyarakat tradisional, yakni masyarakat yang pola kehidupannya
masih
menggunakan cara-cara
sangat
sederhana
dan tingkat
produktivitasnya sangat terbatas.
b. Masyarakat prasyarat untuk lepas landas, yakni masyarakat yang mulai
sadar akan pembangunan ekonomi, terdapat peranan ilmu pengetahuan
yang aktif.
c. Masyarakat lepas landas, yakni perkembangan IPTEK digunakan
dalam
menunjang
kegiatan
perekonomian.
Sudah
mulai
mengembangkan industri dan jasa yang diikuti dengan penggunaan
sumberdaya secara optimal.
d. Masyarakat tingkat kematangan, yakni sudah dapat mengatasi
ketergantungan kepada negara lain. Kehidupan perekonomiann
ditopang dengan penggunaan sumberdaya alam dan sumber daya alam
yang matang.
e. Masyarakat konsumsi tinggi, yakni masyarakat yang pendapatan
perkapitanya sangat tinggi.
2.3
Teori Suku Bunga
Suku bunga merupakan harga yang dibayar atas kepemilikan sejumlah
dana atau modal. Suku bunga menurut Irving Fisher membedakan suku bunga
dalam dua jenis yakni suku bunga nominal (nominal interest rate) dan suku bunga
rill (real interest rate). Suku bunga nominal adalah suku bunga yang masih
mengandung faktor inflasi sedangkan suku bunga rill merupakan tingkat suku
bunga yang didapat dari keseimbangan antara permintaan dan penawaran di pasar
keuangan. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :
i  r 
dimana, i = suku bunga nominal,
r = suku bunga rill,
π = tingkat inflasi.
Untuk kasus di Indonesia yang memiliki sistem ekonomi terbuka kecil,
yakni terbuka akan mobilisasi sumber kapital global walau peranannya kecil
dalam perekonomian global, cenderung dipengaruhi oleh kondisi yang terjadi di
negara ekonomi terbuka besar. Dalam sistem ekonomi terbuka kecil tingkat
besaran suku bunga yang berlaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni :
a. Domestic money market
Besaran suku bunga ditentukan dari keseimbangan antara permintaan dan
penawaran di pasar keuangan domestik. Pasar keuangan yang stabil akan
mendorong terciptanya keseimbangan tingkat suku bunga. Dengan pasar uang
yang stabil juga mendorong terjadinya efisiensi dalam pasar uang.
b. Expected rate of devaluation
Harapan akan menguatnya nilai uang di masa yang akan datang juga akan
menentukan besaran suku bunga sebab ekspektasi terhadap nilai mata uang yang
akan lebih besar di masa yang akan datang akan meningkatkan kepercayaan
masyarakat untuk memegang uang. Hal ini akan meningkatkan besaran suku
bunga dengan asumsi jumlah uang yang beredar tetap, cateris paribus.
c. Expected inflation
Harapan akan meningkatnya tingkat harga ditandai dengan terjadinya infalasi
di waktu yang akan datang, akan meningkatkan permintaan terhadap uang. Hal ini
akan meningkatkan besaran suku bunga dengan asumsi jumlah uang yang beredar
tidak berubah, cateris paribus.
d. Imported interest rate
Mengingat Indonesia adalah negara dengan perekonomian terbuka kecil pasti
akan ikut terpengaruhi oleh peerkonomian internasional. Termasuk variabel suku
bunga yang akan ditetapkan sebagai suku bunga nasional.
2.4
Teori Kebijakan Subsidi
Mahzab neoklasik ekonomi modern mendasarkan perekonomian seperti
pasar persaingan sempurna, yakni terjadi efisiensi paling optimal dalam
perekonomian dengan efisiensi penggunaan sumberdaya dan terciptanaya harga
dan kuantitas produksi dalam keseimbanagan sehingga intervensi pemerintah
tidak diperlukan. Namun kenyataannya hal tersebut tidaklah terjadi, di belahan
dunia manapun perekonomian tidak selalu dalam kondisi keseimbangan yang
mengakibatkan terjadinya kegagalan pasar. Maka diperlukan intervensi dari
pemerintah dalam menanggulangi kegagalan pasar tersebut (Amegashie, 2006)
Lebih lanjut Amegashie (2006) menambahkan kegagalan pasar yang kerap
terjadi di negara berkembang seperi distorsi pasar dimana pembeli tidak
mendapatkan informasi yang sempurna, jumlah perusahan yang kecil, barang
publik, lemahnya perlindungan terhadap hak cipta suatu barang dalam
perekonimian. Untuk menanggulangi hal tersebut pemerintah mengeluarkan
kebijakan subsidi untuk mereduksi inefisiensi di pasar. Dengan adanya subsidi
akan meningkatkan permintaan terhadap barang tersebut dan kemudian direspon
oleh perusahaan dengan meningkatkan produksinya.
Bentuk subsidi yang diberikan oleh pemerintah biasanya kepada barangbarang publik dimana pihak swasta tidak mau menyediakannya sementara daya
beli masyarakat sangat rendah sehingga tidak mampu membeli barang-barang
dengan harga pasar. Untuk itu pemerintah memberikan subsidi untuk menekan
harga barang publik, sehingga harga barang menjadi lebih terjangkau oleh
masyarakat. Contoh pemberian subsidi di Indonesia adalah subsidi pupuk bagi
petani, subsidi pendidikan dan kesehatan, serta subsidi bahan bakar minyak bagi
nelayan dan masyarakat.
2.5
Pengantar Fluktuasi Ekonomi
Fluktuasi ekonomi menunjukkan masalah yang sedang terjadi bagi para
ekonom dan pembuat kebijakan. Secara rata-rata GDP Indonesia mengalami
pertumbuhan sebesar 5 persen per tahun. Tapi rata-rata dalam jangka panjang
menyembunyikan fakta bahwa terkadang output nasional tidak tumbuh dengan
stabil. Terkadang tumbuh pesat dibeberapa tahun, terkadang pula tumbuh lambat
di beberapa tahun yang lain. Ekonom menyebut fluktuasi jangka pendek pada
output nasional dan pengangguran sebagai siklus bisnis (bussiness cycle).
Fluktuasi dalam perekonomian mempengaruhi Aggregate Demand dan
Agregate Supply baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
Fluktuasi dalam perekonomian dapat menurukan dan menaikkan Aggregate
Demand dan juga dapat menurunkan dan menaikkan Aggregate Supply.
(a)
(b)
Sumber : Mankiw (2007)
Gambar 2.1 Fluktuasi Perekonomian yang Mempengaruhi Aggregate
Demand
Gambar 2.1 (a) menunjukkan adanya peningkatan aggregat demand
dalam jangka panjang yang disebabkan oleh peningkatan jumlah uang yang
beredar sehingga akan menghasilkan peningkatan harga. Kondisi tersebut terjadi
karena dalam jangka panjang perekonomian sudah dalam kondisi full-employment
sehingga upaya untuk meningkatkan aggregat demand hanya akan menghasilkan
inflasi dan tidak menambah output.
Gambar 2.1 (b) menunjukkan adanya peningkatan aggregat demand dalam
jangka pendek sehingga menghasilkan peningkatan output sebesar
.
Kondisi tersebut terjadi karena dalam jangka pendek harga bersifat kaku dan
perekonomian belum dalam kondisi full-employment sehingga peningkatan
aggregat demand tidak menghasilkan inflasi.
Sumber : Mankiw (2007)
Gambar 2.2 Fluktuasi Perekonomian yang Mempengaruhi Aggregate Supply
Gambar 2.2 menunjukkan bahwa fluktuasi ekonomi yang mengakibatkan
penurunan
Aggregate
Supply
dalam
jangka
pendek
akan
menurunkan
keseimbangan dalam perekonomian yang semula di titik B menjadi turun ke titik
A. Fluktuasi jenis ini contohnya terjadi karena ada peningkatan harga minyak
yang merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam perekonomian.
Peningkatan harga minyak dunia akan menurunkan penawaran secara agregat
sehingga memberi dampak yang buruk bagi perekonomian yakni penurunan
output nasional dan peningkatan harga.
2. 6
Penelitian-Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2005) tentang Analisis Pengaruh
Harga Bahan Bakar Minyak Terhadap Tingkat Inflasi di Indonesia periode waktu
penelitian antara tahun 1990 sampai dengan tahun 2004. Penelitian ini
menggunakan metode regresi linear berganda yang diestmasi dengan metode
ordinary least square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inflasi dipengaruhi secara signifikan
oleh uang kartal, nilai tukar rill, harga bahan bakar minyak, dan uang kartal
periode sebelumnya pada tingkat kepercayaan 95 persen. Hasil estimasi
menunjukkan bahwa jiika ada peningkatan harga bahan bakar minyak sebesar satu
persen akan menyebabkan inflasi meningkat sebesar 0,11 persen. Hal ini berarti
selama periode tahun 1990 sampai 2004 harga bahan bakar minyak berkorelasi
positif terhadap tingkat inflasi di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan oleh Yu Hsing pada tahun 2007 ini menjelaskan
tentang peningkatan harga minyak dunia terhadap kondisi makroekonomi dan
pertumbuhan output di Jerman sebagai salah satu negara industri terbesar di dunia
yang tingkat ketergantungannya terhadap minyak sangat tinggi. Periode
pengamatan Yu Hsing sejak triwulan ketiga tahun 1991 hingga triwulan keempat
tahun 2006. Penelitian ini menggunakan metode Ordinary Least Square dalam
selang kepercayaan 95 persen.
Hasil penelitian menunjukkan peningkatan harga minyak dunia tidak
menyebabkan penurunan pertumbuhan output nasional di Jerman walaupun
Jerman merupakan negara importir minyak yang besar. Penelitian ini pun
mengungkapkan bahwa sesungguhnya perekonomian Jerman dapaat tumbuh
dengan pesat bukan dipengaruhi oleh kenaikan harga minyak dunia tetapi berasal
dari tingginya harga saham, rendahnya tingkat suku bunga, dan rendahnya tingkat
inflasi.
Penelitian Farzanegan (2007) menjelaskan bahwa dengan adanya fluktuasi
harga minyak akan meningkatkan tingkat inflasi dan juga peningkatan GDP.
Namun dampak dari peningkatan GDP tidak dapat diidentifikasikan secara
signifikan karena didorong oleh peningkatan pengeluaran pemerintah melalui
pemberian subsidi. Dalam pelaksanaannya kebijakan pemberian subsidi ini
meningkatkan perilaku “rent-seeking” dari birokrat. Peningkatan pengeluaran
pemerintah ini juga banyak yang dialokasikan pada aktivitas yang tidak produktif
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Terjadi penemuan yang menarik dari penelitian Farzanegan di Iran ini
karena statusnya sebagai net importir minyak juga diikuti dengan meningkatnya
volume impor masyarakat terhadap komoditi lain. Hal ini disebabkan oleh
melemahnya nilai mata uang luar negeri terhadap nilai mata uang domestik.
Dengan kata lain dengan adanya fluktuasi harga minyak mengakibatkan
menguatnya niali mata uang domestik Iran.
Penelitian yang dilakukan oleh Katsuya Ito (2008) mengenai keterkaitan
fluktuasi harga minyak dunia terhadap perekonomian Russia sebagai negara
eksportir minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi. Periode penelitian ini dimulai
sejak triwulan pertama tahun 1997 samap triwulan keempat tahun 2007.
Penelitian ini menggunakan data deret waktu dengan metode Vector Error
Correction Model (VECM) sehingga dapat meramalkan kondisi pada jangka
panjang.
Penelitian
Ito (2008) menunjukkan dampak dari harga minyak dan
guncangan moneter terhadap perekonomian Russia. Apabila terjadi perubahan
harga minyak dunia sebesar satu persen akan meningkatkan pertumbuhan GDP
Russia sebesar 0,25 persen dan peningkatan tingkat inflasi sebesar 0,36 persen
pada dua belas triwulan berikutnya. Penelitian ini juga menegaskan guncangan
moneter melalui saluran suku bunga akan mempengaruhi tingkat inflasi dan GDP
rill.
Penelitian Ito (2008) terhadap Russia sebagai salah satu net eksportir
minyak, berbeda dengan hasil temuan Jalil di tahun yang sama menyatakan bahwa
Malaysia sebagai negara net eksportir untuk komoditi minyak memberikan
subsidi untuk konsumsi minyak dalam negerinya. Pembiayaan subsidi diperoleh
dari surplus perdagangan Malaysia atas komoditi minyak itu sendiri. Hal ini pun
pernah berlaku di Indonesia sewaktu Indonesia menjadi salah satu anggota OPEC.
Pemerintah Malaysia merasa perlu untuk mengintervensi minyak di dalam negeri
mengingat minyak adalah sumber energi utama yang digunakan dalam kegiatan
perekonomian di negara tersebut. Ketika terjadi kenaikan harga minyak akan
diikuti dengan meningkatnya harga-harga barang.
Lebih lanjut Jalil (2008) menjelaskan bahwa fluktuasi harga minyak di
Malaysia lebih mempengaruhi perekonomian Malaysia. Hasil penelitian Jalil
menemukan bahwa fluktuasi harga minyak lebih mempengaruhi pendapatan
nasional (GNP) dan tingkat pengangguran dibandingkan kebijakan fiskal maupun
kebijakan harga yang ditetapkan oleh pemerintahnya.
Penelitian Aliyu (2008) bermaksud untuk mengetahui dampak bagi
pertumbuhan ekonomi Nigeria yang disebabkan oleh guncangan harga minyak
dan volatilitas nilai tukar mata uang di Nigeria sebagai salah satu negara net
eksportir untuk komoditi minyak. Penelitian ini menggunakan data deret waktu
dengan metode Vector Error Correction Model dalam estimasi agar diketahui
dampaknya dalam jangka panjang. Periode pengamatan dimulai dari triwulan
pertama tahun 1986 hingga triwulan keempat tahun 2007.
Hasil penelitian Aliyu (2008) menemukan bahwa untuk kasus Nigeria
pertumbuhan GDP
lebih
dipengaruhi
oleh
peningkatan
harga
minyak
dibandingkan apresiasi nilai tukar mata uang di negara ini. Hasil estimasi dalam
jangka panjang menunjukkan apabila harga minyak dunia meningkat sebesar 10
persen maka akan diikuti dengan peningkatan GDP rill Nigeria meningkat sebesar
7,73 persen. Sedangkan apabila nilai tukar mata uang meningkat sebesar 10
persen hanya akan meningkatkan GDP sebesar 0,35 persen.
Christensson (2009) meneliti seberapa besar pengaruh guncangan harga
minyak sebagai penyebab inflasi di Amerika Serikat. Penelitian ini berbeda dari
penelitian sebelumnya yang cakupan permasalahannya pada tingkat perekonomian
nasional. Namun penelitian ini justru menganalisis pengaruh guncangan harga
minyak bagi inflasi di tingkat regional di Amerika Serikat.
Penelitian ini menemukan bahwa bagian barat Amerika memiliki pengaruh
yang lebih rendah dari guncangan harga minyak terhadap inflasi dibandingkan
dengan daerah lainnya di Amerika Serikat secara signifikan. Hal ini disebabkan
oleh penggunaan minyak yang efisien, rendahnya tingkat inflasi, dan nilai tukar
yang lebih rendah di bagian Barat Amerika dibandingkan dengan daerah lainnya.
Fayoumi (2009) meneliti hubungan antara volatilitas harga minyak dunia
dengan tingkat pengembalian di pasar saham (stock market returns) yang terjadi
di tiga negara kawasan Timur-Tengah yakni Turki, Tunisia, dan Yordania.
Walaupun ketiga negara tersebut berada di kawasan Timur-Tengah namun ketiga
negara ini merupakan importir minyak. Penelitian ini menggunakan data bulanan
dengan metode Vector Error Correction Model (VECM). Periode pengamatan
dimulai dari Desember tahun 1997 hingga Maret 2008.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fluktuasi harga minyak tidak
secara langsung mempengaruhi pasar saham ketiga negara tersebut. Tingkat
pengembalian di pasar saham lebih dipengaruhi oleh indikator makroekonomi
domestik masing-masing negara dibandingkan oleh harga minyak. Indikator
makroekonomi yang berpengaruh tersebut adalah tingkat suku bunga dan
produktivitas industri.
2.7
Kerangka Pemikiran
Penelitian ini menganalisis pengaruh fluktuasi harga minyak dunia
terhadap
perekonomian
Indonesia
yang
tercermin
dalam
variabel
makroekonominya seperti tingkat inflasi, GDP, nilai tukar, dan suku bunga.
Fluktuasi harga minyak dunia juga mempengaruhi kebijakan fiskal berupa
kebijakan subsidi pemerintah terhadap Bahan Bakar Minyak selama periode tahun
1980-2010.
Fluktuasi harga minyak dunia mempengaruhi tingkat inflasi. Peningkatan
maupun penurunan harga minyak dunia akan mempengaruhi tingkat harga barang
dan jasa. Ketika harga minyak befluktuasi maka akan mempengaruhi fungsi
produksi karena minyak merupakan sumber energi yang digunakan selama proses
produksi. Pada saaat harga minyak meningkat, produsen akan meresponnya
dengan mengurangi kuantitas produksinya. Jumlah supply output yang berkurang
akan meningkatkan harga barang dan jasa di masyarakat.
Indonesia sebagai net importir memiliki ketergantungan yang besar
terhadap penggunaan minyak dan produk turunannya. Penggunaan minyak yang
besar tersebut dikarenakan tingginnya konsumsi masyarakat akan minyak.
Penggunaan minyak besar sebagain sumber energi dan konsumsi langsung oleh
masyarakat.Dampak yang di berikan oleh fluktuasi harga minyak dunia baik
dalam
jangka
pendek
dan
jangka
panjang
terhadap
variabel-variabel
makroekonomi dan subsidi Bahan Bakar Minyak sanagt membutuhkan kebijakan
pemerintah yang tepat untuk menghindari ketidakstabilan ekonomi dan sosial di
masyarakat.
Fluktuasi Harga
Minyak
Variabel
Makroekonomi
mi
GDP
Tingkat
Inflasi
Kebijakan
Fiskal
Nilai Tukar
Suku Bunga
Kebijakan Subsidi
Dampak pada
Perekonomian
VECM
Jangka Panjang
Jangka Pendek
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian
Download