hasil dan pembahasan

advertisement
5
Pewarnaan HE diawali dengan deparafinisasi dalam xylol I selama 2 menit
dan xylol II selama 2 menit. Tahapan berikutnya adalah rehidrasi dalam alkohol
bertingkat dimulai dari alkohol absolut (2 menit), alkohol 95% (1 menit), dan
alkohol 80% (1 menit). Setelah perendaman dalam alkohol dilanjutkan dengan
pencucian mengunakan air kran selama 10 menit.
Perendaman dalam hematoksilin dilakukan selama 8 menit dilanjutkan
pencucian mengunakan air kran selama 30 detik. Setelah itu direndam dalam
lithium karbonat selama 15-30 detik dan dicuci kembali dalam air kran selama 2
menit. Perendaman dalam eosin dilakukan selama 2-3 menit, dilanjutkan
pencucian menggunakan air kran selama 30-60 menit. Tahap akhir adalah
dehidrasi dalam alkohol bertingkat (95% hingga absolut) masing-masing 2 menit.
Kemudian dilakukan penjernihan dalam xylol dua kali ulangan selama 2 menit.
Preparat yang telah dijernihkan kemudian ditutup dengan gelas penutup yang
direkatkan pada kaca objek menggunakan enthelan.
Penghitungan Sel pada Histopatologis Hati
Penghitungan dilakukan menggunakan program software ImageJ® pada
gambar yang telah diperoleh melalui pengambilan gambar jaringan hati dengan
mikroskop cahaya perbesaran 400 x. Gambar yang diambil sebanyak lima bidang
pengamatan pada hepatosit di sekitar vena porta (VP) dan vena sentralis (VS). Sel
yang dihitung adalah sel hati normal dan sel yang mengalami perubahan seperti
degenerasi hidropis, degenerasi lemak serta nekrosa. Jumlah sel tersebut akan
dijadikan dalam bentuk persentase kemudian dianalisis dengan uji Analysis of
Variance (ANOVA) dan uji Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data Aktivitas Enzim SGPT
Hati merupakan organ aksesoris pada sistem digesti sekaligus kelenjar
terbesar dalam tubuh (Akers dan Denbow 2008). Pada hewan tikus, hati terletak di
bagian kanan pada region epigastrikus, tepat di belakang dari diafragma. Hati
terdiri atas lobus-lobus dan setiap lobus terbagi menjadi lobulus-lobulus (Rogers
dan Dintzis 2012). Setiap lobulus merupakan badan heksagonal dengan ukuran
0,7 x 2 mm yang terdiri atas sel-sel parenkim hati (hepatosit), vena sentralis,
sinusoid, cabang-cabang vena porta, cabang-cabang arteri hepatika, sel Kupffer,
duktus empedu, buluh darah limfatik, dan saraf (Dancygier 2010). Hati berperan
dalam hampir semua fungsi metabolisme tubuh termasuk pada proses
metabolisme obat parasetamol (Sloane 2003).
Parasetamol yang masuk ke dalam tubuh melalui sistem gastrointestinal
kemudian akan diserap dan dibawa oleh vena porta ke hati agar dapat
dimetabolisme oleh enzim-enzim mikrosomal hati. Proses metabolisme dilakukan
dalam dua fase yaitu, fase I dan fase II. Pada fase I, parasetamol akan dioksidasi
dengan bantuan enzim mikrosomal hati yaitu enzim sitokrom P450
monooksigenase menjadi N-acetyl-para-benzoquinone imine (NAPQI) yang
6
merupakan toksin sangat reaktif. Selanjutnya pada fase II, sebagian besar
parasetamol akan dikonjugasikan dengan substrat endogen seperti asam
glukuronat, sulfat, glutation, asetat, asam amino, dan gugus metil menjadi
metabolit tidak berbahaya (Haschek dan Rousseaux 1998).
Pada dosis normal, metabolit toksik NAPQI ini segera didetoksifikasi
menjadi konjugat yang tidak toksik (asam merkapturat dan sistein) oleh glutation
dan segera dikeluarkan oleh ginjal melalui urin. Namun apabila mengkonsumsi
parasetamol pada dosis tinggi, glutation akan mengalami deplesi sekitar 90%
sehingga konsentrasi metabolit toksik ini menjadi jenuh. NAPQI yang berada
dalam keadaan bebas akan berikatan dengan makromolekul protein pada membran
hepatosit sehingga menyebabkan kerusakan membran sel hati. Sel-sel hepatosit
akan pecah sehingga enzim golongan aminotransferase seperti ALT atau SGPT
dan AST atau SGOT yang terdapat dalam sel hepatosit akan keluar dan masuk
aliran darah di sekitar vena sentralis sehingga terjadi kenaikan aktivitas enzim
SGPT dan SGOT melebihi normal (Cooper 2010).
Pada penelitian sebagai indikator kerusakan hati adalah kadar enzim SGPT.
Enzim SGPT merupakan indikator yang sensitif dalam mengenali adanya penyakit
pada hati yang bersifat akut. Hal ini disebabkan hepatosit yang rusak atau mati
akan melepaskan enzim SGPT ke dalam aliran darah (Chopra 2001). Enzim SGPT
merupakan enzim yang lebih dipercaya dibandingkan SGOT dalam menentukan
kerusakan sel hati. Hal ini disebabkan SGPT banyak ditemukan terutama di hati
sedangkan SGOT dapat ditemukan selain di hati, seperti di otot jantung, otot
rangka, ginjal, pankreas, otak, sel darah merah, dan sel darah putih. Dengan
demikian, jika hanya terjadi peningkatan SGOT maka dapat saja yang mengalami
kerusakan adalah sel-sel organ lainnya yang mengandung SGOT (Sari et al. 2008).
Data aktivitas enzim SGPT pada tikus jantan yang diberikan ekstrak air
pegagan sebagai usaha hepatoproteksi dari penginduksian parasetamol dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Aktivitas Enzim SGPT Pada Tikus yang Diberi Ekstrak Air Pegagan
Sebagai Usaha Hepatoproteksi dari Penginduksian Menggunakan
Parasetamol
Kelompok
Kelompok I
(Sebelum diinduksi
parasetamol)
Nilai SGPT (U/I)
Kelompok II
(Setelah diinduksi
Kelompok III
(Setelah dilakukan
parasetamol 1000
mg/kg BB)
pemberian ekstrak air
pegagan selama 8 hari)
K
F6
F 10
4,95 ± 2,36 ab
8,51± 5,99 ab
8,22 ± 6,18 ab
8,47 ± 7,34 ab
5,59 ± 3,61 ab
4,05 ± 1,71 ab
8,01 ± 5,35 ab
4,15 ± 3,13 ab
8,52 ± 6,54 ab
F12
F 16
6,98 ± 9,24 ab
5,24 ± 3,53 ab
4,64 ± 3,98 ab
7,67 ± 8,91 ab
10,58 ± 9,97 ab
4,64 ± 2,86 ab
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(p<0,05)
Pengukuran nilai enzim SGPT pertama dilakukan sebelum pemberian
parasetamol dan ekstrak air pegagan. Tujuannya adalah untuk mengetahui nilai
7
awal dari enzim SGPT yang terkandung dalam plasma darah tikus jantan sehingga
nilai awal ini dapat dibandingkan dengan nilai enzim SGPT saat diberikan
parasetamol dan ekstrak air pegagan. Nilai enzim SGPT yang didapatkan setiap
kelompok berada di bawah nilai enzim SGPT normal pada tikus, yaitu 18-45 U/l
(Giknis dan Clifford 2008). Perbedaan ini terjadi kemungkinan berhubungan
dengan metode yang digunakan. Untuk memperoleh kadar enzim pada literatur,
sampel diambil dari tikus yang teranestesi oleh anestesi inhalasi. Sedangkan pada
penelitian yang dilakukan, sampel diambil dari ekor tikus dalam keadaan hidup.
Hal inilah yang dapat menyebabkan nilai SGPT berada di bawah nilai normal.
Menurut Ganiswara (1995), anaestesi inhalasi seperti eter dapat menyebabkan
gangguan fungsi hati ringan sehingga memungkinkan kenaikan nilai SGPT. Hal
ini didukung dengan penelitian Collin et al. (1978) yang menyatakan bahwa eter
dapat menaikkan level enzim SGPT tikus walaupun tidak terlihat abnormalitas
pada histologi jaringan hati atau organ lainnya.
Pengukuran nilai enzim SGPT kedua dilakukan setelah pemberian
parasetamol dosis 1000 mg/kg BB yang bertujuan untuk menginduksi kerusakan
hepatosit sehingga dapat dilihat perubahannya saat diberikan ekstrak air pegagan.
Namun berdasarkan hasil pengamatan, kenaikan nilai SGPT hanya terlihat pada
kelompok kontrol dan F 16. Sedangkan pada kelompok F 6, F 10, dan F12 yang
terjadi adalah penurunan nilai SGPT. Hal ini menunjukkan induksi parasetamol
dalam dosis 1000 mg/kg BB belum mampu merusak hepatosit sehingga tidak
terjadi peningkatan nilai enzim SGPT. Sedangkan menurut penelitian Abraham
(2004), pemberian parasetamol dengan dosis 1000 mg/kg BB sudah dapat
memperlihatkan kerusakan hati yang ditandai dengan peningkatan kadar enzim
SGPT. Dosis 1000 mg/kg BB termasuk dalam golongan dosis toksik dari
parasetamol. Hal ini didukung penelitian Roy dan Das (2010) yang menggunakan
parasetamol dosis 1000 mg/kg BB dengan pemberian per oral menunjukkan
setelah 48 jam terjadi peningkatan level ALT, AST, ALP, dan serum bilirubin.
Pada histopatologi hati terlihat adanya kongesti parah pada pembuluh darah,
degenerasi hidropis ringan, dan nekrosis. International Agency for Research on
Cancer (1999) juga menyatakan bahwa pemberian parasetamol dosis melebihi 300
mg/kg BB per hari pada tikus akan menyebabkan kerusakan hati, renal, dan
testikularis. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan kejadian ini adalah kurang
pekanya tikus terhadap dosis parasetamol yang ditentukan dan
kekurangmurniannya parasetamol yang digunakan. Oleh karena tidak terjadi
peningkatan nilai enzim SGPT maka data yang diperoleh dari kelompok F 6, F 10,
dan F12 tidak dapat digunakan untuk penelitian ini.
Pengukuran nilai enzim SGPT ketiga dilakukan setelah pemberian
parasetamol dosis 1000 mg/kg BB pada hari pertama dan dosis 500 mg/kg
BB/hari pada hari kedua hingga hari ke sembilan. Dosis 500 mg/kg BB/hari
merupakan dosis maintenance yang bertujuan untuk tetap menjaga kerusakan hati
akibat induksi parasetamol dosis 1000 mg/kg BB. Setelah itu satu jam kemudian
diberikan ekstrak air pegagan dengan dosis ekstrak 1500 mg/kg BB selama 8 hari
(sediaan 200 mg/mL). Melalui hasil analisis statisik terlihat efek yang diberikan F
16 tidak terlalu signifikan (p>0,05) terhadap kontrol. Namun dapat dilihat
kelompok F 16 menunjukkan penurunan nilai enzim SGPT akibat pemberian
ekstrak air pegagan. Hal ini mengindikasikan zat aktif pegagan yang terkandung
dalam F 16 seperti asiatikosida, madekasosida, dan brahminosida (glikosida
8
saponin) mampu memperbaiki kerusakan hati akibat parasetamol yang cukup baik
(Brinkhaus et al. 2000). Asiatikosida yang merupakan kandungan utama dari
pegagan mampu meningkatkan efek enzim antioksidan seperti superoksida
dismutase, katalase, dan glutation peroksidase sehingga diduga mampu
menghambat NAPQI untuk menetap dan merusak hepatosit (Antony et al. 2006).
Madekasosida dan asam madekasat membantu persembuhan kerusakan hati
karena aktifitas antiinflamatori dan imunomodulator yang dimilikinya (Vohra et al.
2011). Selain kandungan tersebut, total glukosida dari pegagan turut membantu
memperbaiki fungsi hati yang rusak sehingga terjadi penurunan nilai enzim SGPT
(Ming et al. 2004).
Histopatologi Organ Hati
Pengamatan histolopatologi hati dilakukan untuk memberikan informasi
mengenai perubahan mikroskopis hati yang ditimbulkan akibat pemberian ekstrak
air pegagan terhadap hati yang diinduksi parasetamol. NAPQI yang dihasilkan
dari biotransformasi parasetamol dengan sistem enzim sitokrom P450 akan
bereaksi dengan molekul penyusun membran sel hepatosit sehingga menyebabkan
kerusakan hati. Perubahan mikroskopis dapat meliputi perubahan inti sel,
sitoplasma, dan sel secara keseluruhan. Berdasarkan pengamatan histopatologi
pada kelompok kontrol dan F 16 ditemukan adanya sel normal dan sel yang
mengalami perubahan sublethal serta lethal pada hepatosit. Perubahan ini
diskoring menggunakan program software ImageJ® dan dibandingkan antara vena
porta dan vena sentralis untuk melihat efek hepatoprotektif dari ekstrak air
pegagan. Skoring dilakukan terhadap lima bidang pengamatan pada hepatosit di
sekitar vena porta dan vena sentralis untuk menggambarkan derajat keparahan
jaringan hati.
Perubahan sublethal atau yang sering disebut perubahan degeneratif
merupakan proses yang jika rangsangannya dihentikan, maka sel dapat kembali
seperti semula. Sedangkan proses lethal merupakan suatu proses sel telah
mencapai titik tidak dapat lagi mengkompensasi kerusakan dan telah terjadi
kematian sel (nekrosa) (Price dan Wilson 2003).
Perubahan sublethal yang terlihat pada bidang pengamatan adalah
degenerasi hidropis dan degenerasi lemak. Degenerasi hidropis umumnya dimulai
dari daerah porta yang meluas menuju sentralis karena daerah porta merupakan
daerah yang pertama kali menerima suplai darah dari saluran pencernaan.darah
yang mengandung toksin dibawa dari usus, masuk ke hati melewati vena porta
kemudian melewati sinusoid menuju vena sentralis (Price dan Wilson 2003).
Secara makroskopis, organ yang mengalami degenerasi hidropis terlihat lebih
besar, warnanya opaque, konsistensinya lunak dan rapuh, serta kurang memiliki
bentuk lagi. Sedangkan secara mikroskopis, ukuran sel meningkat disertai batas
sel yang tidak jelas, sebagian organela sel akan berubah menjadi kantong air,
sitoplasma terlihat seperti bervakuola, opaque, dan lebih granuler. Hal ini terjadi
karena metabolit reaktif NAPQI merusak membran sel sehingga keseimbangan
ion natrium dan kalium terganggu dan terjadilah peningkatan jumlah air ke dalam
sel (Mugera 2000).
9
Sedangkan pada degenerasi lemak, secara makroskopis hati akan terlihat
pucat atau coklat kekuningan, licin, dan biasanya perlemakan menyebar ke
seluruh bagian. Sedangkan secara mikroskopis, tampak jaringan hati sudah tidak
teratur, adanya lemak dalam bentuk droplet kecil atau besar yang mengisi ruang
sitoplasma sel hati sehingga komponen dan inti sel hati akan terdesak ke tepi. Hal
ini terjadi karena metabolit reaktif NAPQI mengganggu sintesis dan pematangan
protein di ribosom pada retikulum endoplasma kasar sehingga tidak terbentuknya
apoprotein dan lipoprotein yang akan membawa trigliserida keluar ke plasma
untuk dimetabolisme. Hal inilah yang menyebabkan asam lemak tidak dapat
disekresikan sehingga menjadi terakumulasi dalam sel hati (Cheville 2006). Pada
jaringan histopatologi, degenerasi lemak terlihat seperti ruang kosong di
sitoplasma karena saat proses dehidrasi dalam alkohol, droplet lemak akan
menghilang meninggalkan bentuk vakuola pada sitoplasma (Mugera 2000).
Perubahan lethal yang terlihat pada bidang pengamatan adalah nekrosa.
Perubahan nekrosa meliputi perubahan nukleus yaitu piknosis, karioreksis,
kariolisis, dan sel yang hilang (Haschek dan Rousseaux 1998). Nekrosa yang
terjadi akibat parasetamol adalah nekrosa sentrilobular yang ditandai kerusakan
terutama di hepatosit sekitar daerah vena sentralis. Hal ini dikaitkan dengan
terbentuknya metabolit sangat reaktif setelah parasetamol dimetabolisme di hati
(Cooper 2010).
Persentase berbagai perubahan sel hepatosit di sekitar vena porta dan vena
sentralis disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Persentase Perubahan Keadaan Hepatosit di Sekitar Vena Porta dan Vena
Sentralis pada Tikus Putih Jantan Kelompok Kontrol dan yang Diberi
Ekstrak Air Pegagan Selama 8 Hari Sebagai Usaha Hepatoproteksi
terhadap Efek Toksik Parasetamol
Normal
(%)
Degenerasi
hidropis (%)
Degenerasi
lemak (%)
Nekrosa
(%)
VP
VS
VP
29,3 ± 14,6ab
24,7 ±11,8ab
36,1 ± 8,0 ab
38,5 ± 8,9 ab
40,6 ± 5,7ab
39,2 ± 6,2 ab
5,4 ± 2,6 ab
9,2 ± 2,0ab
5,3 ± 2,0 ab
26,8 ±19,5ab
25,6 ±15,0ab
19,4 ± 5,0 ab
VS
30,4 ± 9,0ab
46,1 ± 2,3ab
7,1 ± 4,7ab
16,3 ± 4,8 ab
Kelompok Lokasi
K
F 16
Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(p<0,05).
Pada vena porta, sel hepatosit normal pada kelompok F 16 memperlihatkan
persentase sel normal yang lebih tinggi disertai degenerasi lemak dan nekrosa
yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Sedangkan nilai persentase
degenerasi hidropis lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini
menandakan formula ekstrak air pegagan kelompok F 16 berperan dalam
mencegah kerusakan sel hati sehingga persentase nekrosa lebih rendah apabila
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kandungan seperti asiatikosida,
madekasosida, dan braminosida merupakan zat yang memiliki sifat
hepatoprotektif (Brinkhaus et al. 2000;Antony et al. 2006;Vohra et al. 2011).
Nilai degenerasi hidropis yang lebih tinggi dapat diartikan sebagai kerusakan awal
yang bersifat sementara dan dapat kembali menjadi normal apabila penyebab
10
kerusakan dihentikan (Price dan Wilson 2003). Namun persentase hepatosit
normal, hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan
nekrosa pada seluruh kelompok perlakuan di vena porta tidak berbeda nyata
(p>0,05). Hal ini kemungkinan disebabkan proses metabolisme parasetamol saat
masuk ke dalam vena porta belum sepenuhnya menghasilkan metabolit toksik
NAPQI. Parasetamol yang terkandung dalam aliran darah dari saluran
gastroinstestinal saat masuk ke hati melalui vena porta baru akan dimetabolisme
hingga fase II (Haschek dan Rousseaux 1998). Gambaran histopatologi hati di
sekitar vena porta disajikan pada Gambar 1.
VP F 16
20 µm
Gambar 1
VP K
20 µm
Perbandingan gambaran histopatologi jaringan hati di sekitar vena
porta pada kelompok F 16 dan kontrol. Lesio hepatosit berupa
degenerasi hidropis (panah biru), degenerasi lemak (panah hijau),
nekrosa (panah hitam), dan sel normal (panah merah). Pewarnaan
HE, Perbesaran 400 x.
Pada vena sentralis, persentasi hepatosit normal pada kelompok F 16 juga
lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini diikuti dengan persentasi
degenerasi lemak dan nekrosa pada kelompok F 16 yang lebih rendah
dibandingkan kelompok kontrol. Sedangkan nilai persentase degenerasi hidropis
lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol walaupun tidak terjadi perbedaan
yang nyata pada seluruh perlakuan (p>0,05). Hal ini semakin membuktikan F 16
memiliki kemampuan meningkatkan daya tahan sel dan menjaga kelangsungan sel
normal serta memulihkan sel yang mengalami perubahan degenerasi bersifat
sementara akibat metabolit reaktif parasetamol menjadi sel normal kembali. Hal
ini disebabkan oleh asiatikosida yang merupakan kandungan utama dari pegagan
mampu meningkatkan efek enzim antioksidan sehingga mampu menghambat
radikal bebas NAPQI (metabolit reaktif) untuk menetap dan merusak membran sel
hepatosit (Antony et al. 2006). Total glukosida dari ekstrak juga efektif untuk
menghambat perubahan degenerasi lemak pada hepatosit. Persembuhan juga
semakin cepat terjadi karena kandungan triterpenoid saponin seperti
madekasosida dan asam madekasat yang memiliki aktifitas antiinflamasi dan
imunomodulator (Vohra et al. 2011). Gambaran histopatologi hati disekitar vena
sentralis disajikan pada Gambar 2.
11
VS F 16
20 µm
VS K
20 µm
Gambar 2 Perbandingan gambaran histopatologi jaringan hati di sekitar vena
sentralis pada kelompok F 16 dan kontrol. Lesio hepatosit berupa
degenerasi hidropis (panah biru), degenerasi lemak (panah hijau),
nekrosa (panah hitam), dan sel normal (panah merah). Pewarnaan
HE, Perbesaran 400 x.
Hasil skoring pada histopatologi hati ini selaras dengan hasil pengukuran
kadar enzim SGPT. Hal ini ditunjukkan melalui penurunan jumlah sel nekrosa
pada hepatosit di sekitar vena porta dan vena sentralis pada kelompok F 16
dibandingkan kelompok kontrol. Penurunan jumlah sel nekrosa pada kelompok F
16 akibat perlindungan dari ekstrak air pegagan menyebabkan penurunan
pelepasan enzim SGPT ke dalam aliran darah sehingga kadar enzim SGPT yang
terukur pun menurun dibandingkan kelompok kontrol.
Beberapa herbal lain yang dapat dijadikan sebagai perbandingan terhadap
efek hepatoprotektif dari pegagan adalah Psidium guajava, Pleurotus florida, dan
Plumbago zeylanica. Psidium guajava memiliki kandungan antioksidan yang
cukup baik sehingga mampu mengeliminasi radikal bebas yang dihasilkan oleh
metabolit parasetamol (Roy dan Das 2010). Sedangkan Pleurotus florida,
walaupun belum diketahui komponen yang bertanggung jawab terhadap efek
hepatoprotektif, namun terbukti berperan dalam menurunkan level serum bilirubin
dan menjaga jaringan hati dengan mengeleminasi radikal bebas hasil metabolit
parasetamol (Sumy et al. 2011). Plumbago zeylanica juga menunjukkan aktifitas
hepatoprotektif yang baik. Kandungan triterpenoid dan steroid yang dimiliki
tumbuhan ini mampu menurunkan level serum penanda kerusakan hati (Kanchana
dan Sadiq 2011).
SIMPULAN
Formula ekstrak air pegagan pada F 16 memiliki kemampuan yang baik
dalam menjaga kelangsungan hepatosit normal dan memulihkan hepatosit yang
mengalami kerusakan sementara untuk pulih kembali sehingga terjadi penurunan
nilai enzim SGPT setelah diinduksi parasetamol walaupun efek yang diberikan
tidak terlalu signifikan dibandingkan kelompok kontrol.
Download