PENDAHULUAN Nekrolisis epidermal toksik ditemukan pertama kali pada tahun 1956, sebanyak 4 kasus oleh Alana Lyell, penyakit ini biasanya juga disebut sindrom Lyell. NET ditemukan oleh Alana Lyell dengan gambaran berupa erupsi yang menyerupai luka bakar pada kulit akibat terkena cairan panas (scalding). Kondisi toksik mengacu pada beredarnya zat toksin dalam peredaran darah, dahulu kondisi ini dipikirkan sebagai penyebab dari gejala-gejala nekrolisis epidermal toksik. Lyell menggunakan istilah ‘nekrolisis’ dengan menggabungkan gejala klinis epidermolisis dengan gambaran histopatologi ‘nekrosis’. Beliau juga menggambarkan keterlibatan pada membran mukosa sebagai bagian dari sindrom, dan ditemukan hanya terjadi sedikit inflamasi di daerah dermis, sebuah tanda yang kemudian disebut ‘dermal silence’.1 Penyebab NET belum jelas, tetapi obat-obatan (sulfonamid dan butazones) dan spesies Staphylococcus merupakan penyebab utama. Akibatnya, istilah-istilah seperti ‘staphylococcal-induced toxic epidermal necrolysis’ dan ‘drug-induced scalded skin syndrome’ menang selama beberapa dekade, tetapi sekarang dipisahkan karena terapi dan prognosisnya berbeda. Oleh karena itu nekrolisis epidermal toksik atau NET merupakan penyakit erupsi kulit yang umumnya timbul akibat obat-obatan dengan lesi berupa bulla, dengan penampakan kulit seperti terbakar yang menyeluruh.1,2 EPIDEMIOLOGI Nekrolisis epidermal toksik merupakan penyakit yang langka. Insiden NET ditemukan 0,4 – 1,2 kasus per 1 juta orang per tahun. Berdasarkan data dari ‘Group Health Cooperative of Puget Sound’, Seattle, Washington, yang mencakup sekitar 260000 individu, dari laporan pasien yang dirawat di rumah sakit dari tahun 19721986. Insiden eritema multiformis, SSJ, dan NET sebanyak 1,8 kasus per 1 juta orang per tahun, kasus untuk pasien dengan umur 20-64 tahun. Insiden EM, SSJ, dan NET untuk pasien yang berumur dibawah 20 tahun dan diatas 65 tahun meningkat menjadi 7 sampai 9 kasus per 1 juta orang per tahun. Insiden nekrolisis epidermal toksik sebesar 1,2 kasus per juta per tahun di Perancis berdasarkan survey nasional tahun 1981 sampai dengan tahun 1985.3,4 NET lebih sering dijumpai pada perempuan dibandingkan laki-laki, dengan perbandingan 1.5:1, dan insiden meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Kelompok pasien yang mempunyai resiko adalah orang-orang dengan ‘slow acetylator genotypes’, pasien ‘immunocompromised’ misalnya infeksi HIV, limfoma, dan pasien dengan tumor otak yang menjalani radioterapi yang secara bersamaan mendapat obat antiepilepsi. Pada individu dengan AIDS, risiko terjadi nekrolisis epidermal toksin adalah 1000 kali lipat lebih tinggi daripada populasi umum.1 Angka kematian yang dilaporkan dari sebagian besar kasus yang diterapi hanya dengan suportif sangat bervariasi, dan diketahui bahwa angka ini sangat bergantung pada faktor-faktor seperti usia pasien dan tingkat kerusakan epidermis. Namun demikian, tingkat kematian berkisar antara 25% hingga 50% (rata-rata, 25-35%) untuk pasien nekrolisis epidermal toksik.1 Insiden NET (kasus / juta / tahun), telah dilaporkan 2,7 kali lebih tinggi, dan kematian dua kali lebih tinggi (51% dibandingkan dengan 25%), pada orang tua dibandingkan dengan orang dewasa muda dengan keterlibatan obat yang sama (NSAID, antibakteri dan antikonvulsi) yang memberatkan pada kedua kelompok. Insiden NET juga meningkat secara dramatis terhadap pasien AIDS.4,5 ETIOLOGI Insiden NET 80% disebabkan oleh obat-obatan, dan kurang dari 5% disebabkan oleh bahan kimia, mycoplasma pneumonia, infeksi virus, imunisasi. Guillaume dkk melakukan identifikasi terhadap obat yang diduga sebagai penyebab, dari 67 kasus: sulfonamid, antikonvulsi, dan ‘nonsteroidal anti inflammatory drugs’ merupakan yang paling terlibat. Penggunaan fenobarbital, lamotrigin, flukonazol, karbamazepin, dan celecoxib dapat menyebabkan NET. Kasus-kasus yang disebabkan oleh inokulasi kuman difteri, pemberian imunisasi polio dan antitoksin tetanus, telah banyak dilaporkan. Raviglione dkk melaporkan kasus NET yang fatal yang disebabkan pemberian profilaksis fansidar pada pasien HIV-AIDS. Namun, pada beberapa kasus sulit untuk memperoleh riwayat pemakaian obat. Selain itu NET juga disebutkan oleh beberapa pakar sebagai bentuk konfluen, akut, dan lanjutan dari Sindrom Stevens Johnson. 2,3,6,7,8,9,10 Tabel 1. Obat-obatan yang beresiko Resiko Rendah menyebabkan NET Resiko tinggi Allupurinol Acetic acid NSAIDs (e.g., diclofenac) Sulfamethoxalon Aminopenicillins Sulfadiazine Cephalosphorins sulfapyridine Quinolones Sulfadoxine Cyclins sulfasalazine Macrolides Carbamazipine Lamotrigine Phenobarbital Phenytoin Phenylbutazone Nevirapine Oxicam NSAIDs Thiacetazone PATOGENESIS Sekalipun rangkaian proses molekuler dan seluler yang pasti masih belum dipahami dengan sempurna, beberapa penelitian memberikan petunjuk penting dalam menentukan patogenesis dari NET. Pola imunologik pada lesi-lesi awal menunjukkan terjadinya reaksi cell-mediated cytotoxic yang berakhir dengan apoptosis yang masif. Penelitian imunopatologik telah mendeteksi bahwa pada fase-fase awal NET, ditemukan adanya CD8+ limfosit T pada epidermis dan dermis, serta beberapa sel natural killer. Sedangkan monosit lebih ditemukan pada fase-fase akhir. Sel sitotoksik ini mengekspresikan reseptor α-β T-cell dan sanggup merusak melalui perforin dan granzyme, namun tidak melalui Fas.11 Saat ini anggapan bahwa ekspansi dari sel oligoklonal CD8+ ini memiliki hubungan dengan beberapa obat spesifik dan proses major histocompatibility complex-restricted terhadap keratinosit. Lebih jauh lagi, regulasi dari sel T CD4+CD25+ memiliki peranan yang penting dalam mencegah kerusakan epidermis yang lebih parah yang disebabkan oleh reaksi sitotoksik dari limfosit T.11 Sitokin-stitokin penting seperti interleukin-6, TNF-a, dan Fas ligand (Fas-i) juga ditemukan pada lesi kulit dari pasien NET. Viard dkk mengutarakan bahwa proses apoptosis dari keratinosit pada lesi kulit dapat dihubungkan dengan peningkatan ekspresi dari Fas, dan dapat dihambat oleh imunoglobulin dalam konsentrasi tinggi, dengan cara menghalangi interaksi dari Fas dan Fas-L42. TNF juga diperkirakan memainkan peranan penting. Molekul ini ditemukan dalam lesi epidermis, dalam cairan lepuhan, dan dalam sel mononuklear serta makrofag perifer.11 Proses asetilasi yang berlangsung lambat ditemukan pada pasien NET yang dinduksi sulfonamid, yang menunjukkan peningkatan produksi metabolik yang reaktif. Namun, respon imunologik yang terjadi lebih diarahkan pada obat penyebab, dibandingkan terhadap metabolik tersebut.11 Pada akhirnya, faktor genetik sendiri mungkin saja memainkan peranan penting. Hubungan yang kuat dengan faktor genetik diamati pada suku Han di Cina, antara human lekocyte antigen HLA-B1502 dan SJS yang diinduksi oleh karbamazepin, serta antara HLA-B5801 dan SJS yang diinduksi oleh allopurinol. Bagaimanapun, hubungan antara NET yang diinduksi karbamazepin dan HLA-B1502 tidak ditemukan pada pasien ras Eropa yang tidak memiliki leluhur bangsa Asia.11,12 GEJALA KLINIS Gejala awal dari NET adalah terdapat demam, nyeri pada mata, dan rasa sakit saat menelan, 1-3 hari mendahului manifestasi kulit. Lesi kulit cenderung muncul pertama di badan, menyebar ke leher, wajah dan bagian proksimal ekstremitas atas. Bagian distal lengan serta kaki jarang terlibat, tetapi telapak tangan dan kaki dapat menjadi tempat awal yang terlibat. Eritema dan erosi dari mukosa, okular dan genital dapat dijumpai pada pasien lebih dari 90%. Keterlibatan epitel saluran pernapasan dijumpai 25% dari pasien dengan TEN, dan lesi gastrointestinal misalnya esophagitis, diare juga dapat terjadi. Lesi kulit biasanya lembek, dan erosi mukosa terasa sangat sakit. Manifestasi sistemik termasuk demam, limfadenopati, hepatitis dan ‘cytopenias’.1 Morfologi dari lesi kulit telah dipelajari secara rinci. Pertama, lesi muncul tampak eritematosa, ‘dusky red’ atau ‘purpuric macules’ dari ukuran dan bentuk tidak teratur, dan memiliki kecenderungan untuk menyatu. Pada tahap tampak keterlibatan mukosa yang terasa nyeri, dengan tingkat progresivitas cepat untuk NET harus benarbenar dicurigai. Jika kerusakan epidermal yang spontan tidak ditemukan, maka tanda Nikolsky harus dicari dengan mengerahkan tekanan mekanis tangensial dengan jari pada beberapa area eritematosa.1 Pada keterlibatan epidermis berkembang menjadi nekrosis, dengan ‘dusky red macular lession’ yang berwarna abu-abu yang khas. Proses ini dapat terjadi sangat cepat, beberapa jam ataupun hingga beberapa hari. Epidermis yang nekrotik kemudian terlepas dari dermis yang mendasarinya, dan cairan yang mengisi ruang antara dermis dan epidermis, sehingga menimbulkan bulla. Bulla mempunyai gambaran khas mudah pecah dan dapat memanjang ke samping dengan sedikit tekanan dari jempol dari nekrotik epidermis tersebut akan berpindah ke lateral (Hansen Asboe-sign). Kulit basah menyerupai kertas rokok seperti ditarik keluar oleh trauma, meliputi daerah yang luas dan perdarahan pada dermis, yang disebut sebagai ‘scalding’. Oleh karena itu pasien tersebut harus ditangani dengan sangat hati-hati. Bulla tegang biasanya terlihat pada permukaan palmoplantar, di mana epidermis lebih tebal sehingga, lebih tahan terhadap trauma ringan.1 Saat penatalaksanaan pasien tersebut, tingkat nekrolisis harus dievaluasi dengan hati-hati dan benar, karena hal itu merupakan faktor prognostik utama. Aturan yang khas digunakan untuk mengevaluasi luas permukaan luka bakar sesuai untuk tujuan ini. Pengalaman menunjukkan bahwa tingkat epidermal detachment kulit mudah estimasi. Pengukuran harus mencakup terlepas dan dilepas epidermis (tanda nikolsky positif), tetapi tidak untuk daerah eritematosa (tanda nikolsky negatif). Tingkat kerusakan kulit memungkinkan klasifikasi pasien menjadi salah satu dari tiga kelompok: • SJS: <10% dari luas permukaan tubuh (BSA) • SJS-TEN tumpang tindih (kategori menengah): 10-30% dari BSA • TEN > 30% dari BSA.12 HISTOPATOLOGI Biopsi kulit untuk pemeriksaan histology rutin dan imunofloresensi harus dilakukan pasa setiap kasus NET, sekalipun secara diagnosis sudah dapat ditegakkan. Ini didasarkan pada faktor legalitas, serta karena biopsy merupakan satu-satunya cara untuk menyingkirkan sebagian besar diagnosis banding.11 Pada tahap-tahap awal, keterlibatan epidermis ditandai dengan ‘sparse’ apoptosis keratinosit di lapisan suprabasal, yang secara cepat berubah menjadi NET dan ‘subepidermal detachment’. Ditemukan Infiltrat sel-sel mononuclear dalam jumlah sedang pada papil dermis, yang utamanya terdiri atas limfosit dan makrofag. Diantara populasi sel T, limfodit CD8+ dengan karakteristik fenotipik dari area sel sitotoksik dapat dengan jelas ditemukan. Hal ini menandakan terjadinya reaksi imunologi yang di mediasi sel-sel. Eosinofil tampaknya lebih jarang ditemukan pada kasus NET yang berat. Pemeriksaan direct immunofluoresensi menunjukkan hasil negatif11 Gambar 6. A tampak nekrosis eosinofilik di dermis pada fase puncak, dengan sedikit inflamasi di daerah dermis. Perhatikan celah zona ‘junction’. B tampak epidermis yang mengalami nekrosis menyeluruh telah terpisah dari dermis dan terlipat seperti sebuah lembaran.11 PEMERIKSAAN LABORATORIUM Tidak ada tes laboratorium khusus atau definitif yang diindikasikan. Tes dasar bisa membantu dalam merencanakan terapi simptomatik atau suportif. Pemeriksaan laboratorium yang digunakan biasanya adalah tes kimia darah untuk melihat keseimbangan cairan tubuh.13,14 DIAGNOSIS BANDING 1. Sindrom Stevens-Johnson: keadaan umum biasanya buruk disertai vesikel dan bulla tanpa epidermolisis.14 2. Staphylococcus scalded skin syndrome (SSSS): biasanya timbul pada anak-anak dengan lokalisasi tertentu. Berupa bulla nummular di leher, ketiak, lipat paha dan wajah, kemudian menyeluruh. Setelah beberapa hari akan terjadi deskuamasi. SSSS jarang mengenai mukosa.14,15 TERAPI Diagnosa dini diperlukan dalam penatalaksanaan NET yang optimal, penghentian segera obat penyebab, perawatan suportif, dan terapi spesifik. Perawatan suportif sama dengan yang dilakukan untuk luka bakar yang berat, dan ditujukan untuk membatasi komplikasi, yang merupakan penyebab utama kematian. Termasuk hipovolemia, ketidakseimbangan elektrolit, gagal ginjal dan sepsis. Perawatan luka sehari-hari lebih hati-hati, hidrasi dan nutrisi mendukung penting dan terutama dilakukan dalam unit perawatan intensif jika melibatkan epidermis detachment 1020% (atau lebih) dari BSA.1,15 13 Perawatan luka sebaiknya dilakukan sekali dalam sehari dengan bantuan. Pasien harus bergerak seminimal mungkin, karena setiap gerakan adalah penyebab utama epidermis detachment. Perawatan kulit berkonsentrasi pada wajah, mata, hidung, mulut, telinga, daerah anogenital, lipatan aksilaris dan interdigital lipatan. Daerah normal diusahakan tetap kering dan tidak dimanipulasi. Daerah lesi, khususnya di bagian belakang dan daerah yang tertekan akibat kontak dengan tempat tidur, harus dioles dengan vaselin dan ditutup kain kasa sampai timbul reepitelisasi.1 Hingga saat ini, tidak ada terapi khusus untuk NET. Prevalensi rendah pada NET dari uji klinis acak sudah dilakukan. Sebagai akibatnya, literatur untuk sebagian besar laporan kasus seri kecil tidak terkendali. Dalam studi tersebut, beberapa pengobatan, termasuk siklosforin (3-4 mg / kg / hari), cyclophosphamide (100-300 mg / hari), plasmapheresis, dan N-acetylcysteine (2 g/6h) telah memberikan hasil yang menjanjikan. Kortikosteroid sistemik telah menjadi andalan terapi selama puluhan tahun, tetapi penggunaannya masih kontroversi, meskipun penelitian terbaru menunjukkan keampuhan ketika diberikan selama jangka waktu pendek sebagai terapi. Kortikosteroid yang digunakan adalah deksametason 40 mg sehari IV dalam dosis terbagi. Bila setelah 2 hari masa pengobatan dan timbul lesi baru, maka hendaknya dipikirkan pasien alergi terhadap obat yang diberikan. Obat yang tersering adalah antibiotik. Sebagai pengobatan topikal dapat digunakan sulfadiazine perak (krim dermazin, silvadene) yang dimaksudkan untuk mencegah atau mengobati infeksi.1,15 PROGNOSIS Apabila kelainan kulit meluas, meliputi 50% - 70% permukaan kulit, maka prognosisnya buruk. Jadi luas kulit juga mempengaruhi prognosisnya. Juga bila terdapat purpura yang luas dan leucopenia. Tingkat prognosis dapat juga diketahui dengan menggunakan tabel scorten, dimana semakin tinggi skor yang didapat maka resiko kematian juga semakin tinggi. Angka kematian di bagian Ilmu Kesehatan Kulit Kelamin Universitas Indonesia, di antara tahun 1999-2004 (selama 5 tahun) sebanyak 16.0%, jadi lebih tinggi daripada SSJ yang hanya 1% karena NET memang merupakan penyakit yang berat.11,15 Tabel 2. Scorten. SCORTEN Prognostic factors Points Age >40 years 1 Heart rate >120 bpm 1 Cancer or hematologic 1 malignancy BSA involved on day 1 1 above 10% Serum urea level (>10 1 mmol/l) Serum bicarbonate level 1 (<20 mmol/l) Serum glucose level (>14 1 mmol/l) SCORTEN Mortality rate (%) 0-1 3.2 2 12.1 3 35.8 4 58.3 =5 90