BAB 2 - Perdamaian dalam Islam

advertisement
BAB 2: PERDAMAIAN DALAM ISLAM
Pokok Bahasan
Islam dan Perdamaian
Ayat-Ayat Perdamaian
Hadits-Hadits Perdamaian
Perdamaian dalam Sirah Nabawiyah
Perdamaian dalam Sejarah Islam
Penulis
A. Bakir Ihsan
Penyelia Tulisan
Agus Suryaman
Pengajar Pondok Pesantren Daruttaqwa Bandung
Miftah Farid
Pengajar Pondok Pesantren An-Nuqtah Tangerang
Choirul Iman
Pengajar Pondok Pesantren As-Shodiqiyah Semarang
Moh. Hamidi
Pengajar Pondok Pesantren Taswirul Afkar Sampang
Khoirun Niat
Pengajar Pondok Pesantren An-Nur Yogyakarta
PERDAMAIAN DALAM ISLAM
I
slam agama yang cinta damai bukan hanya karena kata
“islam” itu sendiri mengandung makna “damai” (salâm) tapi
secara konseptual kata Islam menunjuk kepada sikap pasrah
dan tanpa paksaan dalam mengikuti ketentuan dan aturan Allah
dalam menjalani kehidupan ini. Makna Islam sebagai agama damai
telah termaktub dalam ayat-ayat suci al-Qur’an dan Hadits-hadits
Nabi yang merupakan petunjuk hidup bagi umat Islam. Semangat
ajaran itu tidak hanya tertulis dalam rangkaian kata-kata, tapi telah
diamalkan dalam kehidupan nyata pertama-tama oleh Nabi
Muhammad SAW sendiri lalu oleh para sahabat terdekatnya serta para
pengikut mereka yang setia kepada contoh dan keteladanannya.
Islam sebagai agama damai telah terpatri dalam doktrin, sejarah dan
peradaban Islam. Semangat perdamaian telah menghiasi sejarah
peradaban Islam yang terbentang sejak zaman awal Islam, (zaman
Nabi dan para Sahabat di Makkah dan Madinah), zaman kekhalifahan
Islam klasik, kerajaan Islam di abad pra-modern, hingga negeri-negeri
Islam di zaman modern ini. Dalam konteks Indonesia, semangat
perdamaian ini perwujudannya terang benderang karena masuknya
agama Islam ke wilayah nusantara berlangsung damai. Tidak ada
peperangan ataupun penaklukan yang menyertai dakwah Islam di
nusantara. Berbeda dengan yang terjadi di wilayah-wilayah Islam
Timur Tengah, Asia Selatan, Afrika ataupun Eropa, yang kesemuanya
melibatkan peperangan dan kontak senjata. Spirit perdamaian ini
telah terpatri dalam sifat, perilaku dan sikap toleransi yang
dicontohkan oleh para ulama nusantara, diharapkan menjadi teladan
bagi kita semua.
15
Bab ini membahas mengenai topik-topik yang erat kaitannya dengan
perdamaian dalam Islam ditinjau dari segi dokrinnya (al-Qur’an dan
Hadits) serta dilihat dari perwujudannya dalam pengalaman kaum
Muslimin sepanjang sejarah Islam. Dalam bab ini kita akan mengikuti
bagaimana perilaku Nabi Muhammad dan Sahabat utama beliau,
khususnya Umar bin Khatab, mempraktikkan ajaran damai dan
toleransi baik dalam kapasitasnya sebagai pribadi maupun dalam
kedudukannya sebagai pemimpin umat. Demikian pula pembaca akan
menelusuri narasi tentang pengalaman para pemimpin politik dan
ulama klasik atau yang terkenal dengan ulama mazhab dalam
mengelola perbedaan dan mengembangkan sikap hormat dan
menghormati antara mereka. Terakhir akan disuguhkan fakta-fakta
sejarah tentang teladan para Wali Songo dalam menjalankan dakwah
yang penuh damai dengan sedapat mungkin menghindari benturan
dengan budaya-budaya lokal yang telah lama hidup di wilayah
nusantara ini.
Tujuan
Setelah mengikuti pelatihan modul pada bab ini peserta pelatihan
diharapkan dapat:
1. Memahami bahwa Islam merupakan agama yang sungguhsunguh memperjuangkan perdamaian sebagaimana
ditegaskan dalam al-Qur’an maupun Hadits.
2. Mengenal dengan baik pengalaman-pengalaman toleransi dan
perdamaian dalam sejarah masyarakat Islam.
3. Peserta menyadari bahwa perbedaan dalam kehidupan adalah
Sunnatullah, yaitu kehendak Allah SWT yang harus diterima
dengan ketulusan, pengertian dan kedewasaan yang tinggi.
Indikator
Setelah mengikuti sesi ini, fasilitator dapat mengevaluasi
keberhas i l an pem bel aj aran s elam a pelati han dengan
menggunakan beberapa hal berikut sebagai petunjuk:
1. Peserta mampu mengidentifikasi ayat-ayat al-Qur’an dan
Hadits Rasulullah SAW yang menganjurkan perdamaian.
16
2. Peserta mampu bercerita tentang inisiatif-inisiatif perdamaian
dalam sejarah Islam sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw,
para sahabat, ulama madzhab, dan para ulama nusantara.
3. Peser ta dapat menyebutkan alasan-alasan mengapa
perdamaian harus ditegakkan dan menjelaskan kapan
peperangan terpaksa diperbolehkan.
4. Peserta dapat menunjukkan komitmen mereka untuk
bertoleransi terhadap perbedaan dan menempuh jalan ishlâh
sebagai cara terbaik untuk mencegah terjadinya pertikaian dan
konflik.
Metode
1.
2.
3.
4.
5.
Ceramah Plus Diskusi dan Tugas (CPDT)
Film Session atau Poster Session
Diskusi Kelompok
Studi Kasus
Membuat Resume
Pembelajaran dilakukan secara interaktif. Fasilitator berceramah
diselingi tanya jawab. Fasilitator memunculkan persoalan yang
mengandung dan mengundang pro dan kontra, dan kemudian
menjadikannya sebagai bahan diskusi. Perlu diperhatikan bahwa
dalam proses diskusi akan selalu muncul perbedaan. Namun
fasilitator diharapkan dapat membuat suasana agar perbedaanperbedaan yang muncul tidak menimbulkan konflik, melainkan
pengertian dan kesepahaman, dengan rasa hormat dan
kedewasaan.
Penyampaian materi “Perdamaian dalam Islam” dapat
menggunakan metode movie learning dengan mengajak peserta
pelatihan untuk menonton film atau bercerita tentang perdamaian
dan toleransi. Setelah menonton film, fasilitator membuat
kelompok-kelompok kecil untuk berdiskusi dan membuat
kesimpulan mengenai poin-poin penting dari film tersebut.
Waktu
120 Menit
17
Alat & Bahan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Laptop
LCD Projector
Papan tulis
Kertas Flip Chart
Karton
Spidol Besar
Kertas Meta Plan
Langkah-Langkah
1. Fasilitator memasuki ruangan pelatihan dengan wajah ceria dan
tersenyum sambil mengucapkan salam.
2. Fasilitator memperkenalkan diri secara singkat untuk
mengakrabkan diri dengan peserta (10 menit).
3. Fasilitator menyampaikan pokok bahasan “Perdamaian dalam
Islam” dengan singkat, mengemukakan tujuannya, serta
menjelaskan metode pembelajarannya dengan bahasa yang
sederhana (15 menit).
4. Fasilitator menampilkan video atau gambar, atau menceritakan
peristiwa konflik berskala kecil di sekitar sekolah, atau yang
berskala nasional maupun internasional, seperti konflik
Palestina, Afganistan, Suriah, dan lainnya (25 menit).
5. Fasilitator meminta peserta pelatihan untuk menuliskan apa
saja yang dapat mereka pahami dan interpretasi dari isi video,
gambar, atau cerita yang telah disampaikan (10 menit).
6. Fasilitator membagi peserta ke dalam beberapa kelompok kecil
sesuai jumlah peserta yang hadir. Masing-masing kelompok
diminta untuk berdiskusi tentang isi video, gambar atau cerita
yang telah dipaparkan, kemudian meminta setiap kelompok
untuk membuat kesimpulan (30 menit).
7. Fasilitator meminta seorang perwakilan kelompok untuk
membacakan kesimpulan kelompoknya (10 menit).
8. Selanjutnya, fasilitator meminta semua perwakilan kelompok
18
untuk berkumpul dan membuat kesimpulan akhir yang digali
dari kesimpulan masing-masing kelompok. Tujuannya adalah
untuk membangun perspektif bersama dari persamaanpersamaan yang muncul. Adapun perbedaan-perbedaan yang
ada harus tetap dihargai dan dilihat sebagai pengayaan
terhadap perspektif bersama tersebut. Hasil rumusan bersama
itu kemudian dibacakan oleh seorang perwakilan kelompok
yang ditunjuk berdasarkan musyawarah (kesepakatan) antar
perwakilan (30 menit).
9. Sebelum mengakhiri sesi “Perdamaian dalam Islam,” fasilitator
meminta peserta untuk menuliskan satu Ayat atau Hadits
tentang perdamaian yang paling pas dengan isi video, gambar
atau cerita yang telah dipaparkan. Ini untuk melihat bagaimana
peserta pelatihan menjelaskan fakta-fakta konflik dari video,
gambar atau cerita yang telah dipaparkan berdasarkan
pemahamannya mengenai perdamaian sesuai ajaran Islam
yang dipelajarinya (10 menit).
10. Sebagai penutup, fasilitator menyampaikan kesimpulannya
tentang proses dan materi pelatihan dari awal hingga akhir.
Intinya, perbedaan dapat terjadi karena latar belakang
pemikiran, agama, budaya, ekonomi dan politik, serta sudut
pandang tertentu, atau karena berbagai hal lainnya. Namun
perbedaan dapat didiskusikan dan dinegosiasikan untuk
menemukan titik temu tanpa harus mengubur perbedaanperbedaan yang ada (5 menit).
19
Bahan Bacaan
ISLAM AGAMA CINTA DAMAI
A. PENDAHULUAN
Semua makhluk Tuhan di muka bumi memiliki banyak perbedaan
antara satu dengan lainnya. Ini karena alam dan manusia
diciptakan dalam keragaman, baik secara natural maupun kultural.
Di atas bumi tumbuh beraneka ragam tumbuh-tumbuhan yang
tinggi menjulang ke angkasa, tetapi terdapat juga tanaman yang
pendek menelusuri permukaan tanah. Selain itu, ada juga
bermacam-macam jenis hewan; pemakan rumput, pemakan
daging, dan pemakan rumput dan daging sekaligus. Sama dengan
makhluk Tuhan lainnya, perbedaan dan keanekaragaman ini
berlaku bagi umat manusia. Dari segi fisik, misalnya, manusia
memiliki postur tubuh yang berbeda-beda. Ada yang berpostur
tinggi, ada juga yang berpostur pendek. Dari segi warna kulit,
manusia diciptakan beraneka warna. Ada yang berkulit hitam,
putih, kuning dan sawo matang.
Islam sebagai
agama damai telah
terpatri dalam doktrin,
sejarah dan peradaban
Islam.
20
Dari keyakinan, manusia lahir dari latar belakang agama dan
kepercayaan yang beraneka ragam. Terdapat bermacam-macam
kepercayaan termasuk Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dan
sebagainya. Masing–masing agama dan kepercayaan memiliki
pemikiran keagamaan, tradisi dan praktik-praktik ritual yang khas.
Perbedaan di antara agama-agama tersebut cukup besar. Namun,
dalam satu agama yang sama pun tidak jarang terjadi perbedaan
pendapat atau penafsiran. Dalam agama Islam, misalnya, dikenal
adanya empat madzhab, yaitu Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hanbali. Masing-masing madzhab tersebut memiliki dan
mempromosikan pandangan Fikih yang berbeda-beda. Sebagai
contoh adalah mengusap kepala ketika berwudlu. Madzhab Hanafi
berpendapat bahwa bidang kepala yang harus dibasuh air adalah
minimal sepertiganya, yaitu setara dengan besar telapak tangan.
Madzhab Maliki berpendapat lain. Menurut mazhab ini, semua
bidang kepala harus dibasuh dengan air wudhu. Sementara
Madzhab Syafi’i membolehkan mengusap kepala seperlunya saja
asal mencakup minimal tiga helai rambut.¹ Bahkan dalam Madzhab
Syafi’i terdapat Qaul Qadim (pendapat lama) dan Qaul Jadid
(pendapat baru). Qaul Qadim adalah kumpulan pendapatpendapat hukum Imam Syafi’i ketika ia menetap di Bagdad,
sedangkan Qaul Jadid adalah kumpulan fatwa-fatwa hukumnya
setelah ia pindah dan menetap di Mesir. Dalam waktu yang sama
tapi lokasi yang berbeda seorang ulama Madzhab bisa memiliki
penafsiran yang berbeda terhadap Ayat-ayat al-Qur’an maupun
Hadits tertentu.
Sebagaimana beragamnya aliran dan mazhab keagamaan,
terdapat pula berbagai macam corak dan pemikiran budaya. Corak
budaya di satu tempat dan di tempat lain seringkali berbeda.
Sesuatu yang dianggap baik di suatu tempat, belum tentu
dianggap baik di tempat lain. Budaya sarungan, misalnya, di
lingkungan pesantren dianggap baik, tetapi tidak demikian di
lingkungan perkantoran. Budaya standing party (makan sambil
berdiri), misalnya, dianggap lumrah di perkotaan, tetapi dianggap
tidak baik di kalangan pesantren karena tidak sesuai dengan
sunnah Rasul. Perbedaan-perbedaan itu menunjukkan kebesaran
Allah swt yang Maha Kuasa atas segala ciptaan-Nya.
Begitulah perbedaan dan keberagaman yang mewarnai kehidupan
umat manusia. Lalu bagaimana kita menyikapinya? Apakah
perbedaan itu merupakan masalah yang harus diselesaikan atau
hal lumrah yang tidak perlu dipermasalahkan? Sebagai langkah
awal, tentunya kita perlu bersepakat bahwa perdamaian adalah
lebih baik daripada pertikaian. Hidup rukun dan damai tentunya
lebih baik daripada bermusuhan. Karena perbedaan di antara
sesama umat manusia adalah sunnatullah yang tidak mungkin
dihilangkan, maka adalah penting bagi anak-cucu Adam untuk
saling menghargai, saling menghormati dan bersikap toleran demi
terciptanya kehidupan yang damai di muka bumi. Berikut ini
pemaparan mengenai Islam sebagai agama yang menjunjung
tinggi perdamaian dan sangat menghargai perbedaan.
21
Karena perbedaan di antara sesama umat
manusia adalah Sunnatullah yang tidak mungkin
dihilangkan, maka adalah penting bagi anak-cucu
Adam itu untuk saling menghargai, saling
menghormati dan bersikap toleran demi
terciptanya kehidupan yang damai di muka bumi.
B. ISLAM DAN PERDAMAIAN
Dilihat dari segi bahasa, ‘al-Islâm’ memiliki akar kata yang sama
dengan ‘as-Salâm’, yang berarti perdamaian. Kata ‘al-Islâm’ dan
‘as-Salâm’ sama-sama berasal dari akar kata sa-li-ma, yang berarti
selamat dari bahaya atau terbebas dari gangguan.² Jadi Islam dan
perdamaian saling berkesesuaian dengan artian bahwa Islam
identik dengan perdamaian. Bukti lain bahwa Islam itu identik
dengan perdamaian adalah bahwa kata ‘as-Salâm’ menjadi salah
satu Asmâ’ul Husnā (Nama-nama Allah yang Agung). Hal ini bisa
dilihat pada firman Allah:
‫َﯿﻤﻦ‬
ُ ِ ْ ‫اﻟﻤﺆﻣﻦ ا ْ ُﻟﻤﻬ‬
ُ ِ ْ ُ ْ ‫ﺴﻼم‬
ُ َ ‫اﻟﻘﺪوس اﻟ‬
ُ ُ ْ ُ ِ ‫ُ َﻫﻮ ا ُ ا ِ ي َﻻ ا َ َ اﻻ ُ َﻫﻮ ْ َاﻟﻤ‬
(٢٣ :‫ُﴩﻛﻮن )اﳊﴩ‬
ُ ّ ِ َ َ ‫ْ َاﻟﻌﺰِ ُﺰ ا ْ َﻟﺠ ُﺒﺎر ا ْ ُﻟﻤ‬
َ ُ ِ ْ ‫ﺘﻜﱪ ُﺳ ْﺒ َ َﺎن ا ِ َﲻﺎ‬
“Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia,
Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Damai, Yang Mengaruniakan
keamanan,Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha
Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa
yang mereka persekutukan”. (QS Al-Hasyr [59]: 23).
Ayat di atas dengan jelas menyebutkan bahwa salah satu sifat Allah
adalah ‘as-Salâm’ yang berar ti Maha Damai atau juga
diterjemahkan Maha Sejahtera. Sebagaimana dinyatakan di atas,
kata ini menjadi salah satu sifat Allah (Asmâ’ul Husnâ) yang
berjumlah 99 sifat.
Selain itu, kata ini juga menjadi nama bagi salah satu surga, yaitu
Darussalam yang secara harfiah berarti “negeri damai”. Allah
berfirman:
ِ ْ َ َ ‫ﺴﻼم‬
ٍ َ ِ ‫ﺸﺎء َاﱃ‬
‫ﺘﻘﲓ‬
ُ ْ َ ُ ‫َوا‬
ِ َ ‫ﯾﺪﻋﻮ َاﱃ‬
ِ ‫دار اﻟ‬
ُ َ َ ‫وﳞﺪي َ ْﻣﻦ‬
ٍ ِ َ ‫ﴏاط ُﻣ ْﺴ‬
(٢٥ :‫)ﯾﻮﺲ‬
“Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki
orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam)”. (QS
Yunus [10]: 25)
Menurut Imam Ibnu Katsir, Allah memberi kabar gembira tentang
surga-Nya dan mengajak manusia untuk berharap atas
23
kenikmatan-kenikmatan yang ada di dalamnya. Menurut Ibnu
Katsir, surga tersebut bernama Darussalam (kampung damai) yang
bebas dari bahaya, kekurangan dan penderitaan.³ Seringnya
penyebutan konsep damai dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa
Islam memberi perhatian serius terhadap masalah ini. Tampak jelas
bahwa Islam menempatkan perdamaian sebagai prinsip
kehidupan, dasar bagi pengembangan akhlak dan panduan dalam
pergaulan dengan sesama manusia, serta visi dalam menjalin
hubungan antar peradaban dan kebudayaan yang majemuk.
Untuk meneguhkan perdamaian sebagai prinsip kehidupan,
diperlukan budaya toleransi yang kuat. Tapi bagaimanakah alQur’an berbicara mengenai toleransi? Mari kita simak bagaimana
ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Rasulullah menjunjung tinggi
toleransi. Setelah itu mari kita lihat bagaimana toleransi dan
perdamaian dipraktikkan oleh Nabi Muhammad saw dan para
generasi setelahnya. Adalah juga penting untuk memperhatikan
bagaimana ulama-ulama nusantara menerapkan prinsip
perdamaian dalam berdakwah sehingga Islam bisa diterima
dengan mudah tanpa benturan-benturan serius.
Sumber: https://alfakhriyyah.wordpress.com
Al-Qur’an memuat
lebih dari 120 (seratus
dua puluh) ayat yang
menjelaskan tata cara
penyebaran Islam,
dengan penghormatan
yang tinggi terhadap
prinsip perdamaian
dan kebebasan.
Dalam al-Qur’an terdapat lebih dari seratus dua puluh ayat yang
menjelaskan tata cara penyebaran Islam, dengan penghormatan
yang tinggi terhadap prinsip perdamaian dan kebebasan. Artinya
orang-orang yang menjadi target dakwah diberi kebebasan untuk
menerima dakwah Islam atau menolaknya.⁴ Al-Qur’an telah
memberi batasan-batasan yang harus dilakukan Nabi saw dalam
menyebarkan Islam. Dijelaskan bahwa Nabi bukanlah seorang
penguasa militer yang dapat semena-mena memaksakan
bawahannya untuk menerima kehendaknya. Ia juga bukan utusan
langsung dari langit yang dapat memaksa para pendengarnya
menerima apa yang dikatakannya.⁵ Tetapi Nabi Muhammad hanya
seorang penganjur yang arif dan berhati lembut kepada
kebenaran Islam yang tak terbantahkan.
1. Ayat-ayat Perdamaian
Pada dasarnya, umat manusia berasal dari satu nenek moyang.
Ini sesuai dengan penjelasan al-Qur’an sebagai berikut:
24
ُ َ َ %©!$#‫ي‬ãNِä3‫­ا‬/u‘‫رﲂ‬
ْ “Ï
ُ ُ (#qàَ )‫اﺗﻘﻮا‬
t,n=yzur‫ﻣﳯﺎ‬
®?ُ $# â¨
$¨ُ Z9$‫ﻟ‬#‫ ا‬$p‫ﳞﺎ‬
‫ﻨﺎس‬
َkš‰r'¯»tƒَ
َ ;oْ y‰ِ Ïn‫َ ََﻠﻖ‬ºur ‫§<و‬
َ ‫ ٍﺪة‬øÿَ ِ¯R ‫`وا‬Ïَ iB‫َﻔﺲ‬/äٍ 3ْ ‫ ﻧ‬s)‫ْﻣﻦ‬n=s{ِ ‫َﻠﻘﲂ‬
(١4 [ä:‫ﺴﺎء‬
‫ﻣﳯﻤﺎ‬
`ً ‘ِ ‫ َﻛ‬$u‫ﺎﻻ‬
KÍ åk÷]َ ÏB‫ ِر‬£]
gy_
÷]ْ ÏBَ
!$|¡ÎSur‫)اﻟ‬#ZŽÏ‫وﺴﺎء‬
َ َ ÷r‫ﺎ‬y—َ $pَ k‫زو‬
َ ُt/ْ urِ $y‫وﺑﺚ‬
ً Wx.َ Zwِ َ %y‫ﺜﲑا‬
“Hai manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak.” (QS an-Nisa [4]: 1)
Ayat ini menjelaskan bahwa pada hakikatnya seluruh umat
manusia merupakan satu keluarga besar yang berasal dari satu
jiwa. Karena hakikatnya tersebut, mereka harus saling
mendukung dan tidak diperbolehkan saling bertikai atau
bermusuhan. Kalaupun terjadi perselisihan, pertentangan
ataupun pertikaian, umat manusia diharuskan menempuh jalan
damai atau
(Ishlâh). Dalam Lisanul Arab, Ibnu Manzur
menjelaskan bahwa kata
merupakan antonim dari kata
(kerusakan).⁶ Sementara itu, dalam Al-Mu'jam Al-Wajiz
Ibrahim Madkour berpendapat bahwa kata
mengandung beberapa arti: manfaat dan keserasian; terhindar
dari kerusakan; atau menghilangkan segala sifat permusuhan
dan pertikaian antara kedua belah pihak.⁷
‫ٕاﺻــــــــ ﻼح‬
‫ٕاﺻـــ ﻼح‬
‫ﻓﺴـــــــ ﺎد‬
‫إﻻﺻـــــــــــــــــــــــــــﻼح‬
Menurut terminologi (istilah), ishlâh berarti “kesepakatan untuk
menyelesaikan pertikaian atau konflik”.⁸ Atau juga “upaya
menjembantani (mediasi) guna menyelesaikan perselisihan
antara pihak-pihak yang bertikai melalui kesepakatan dan
mencari titik temu untuk mencegah terjadinya permusuhan dan
tumbuhnya rasa iri dan dengki”.⁹ Dalam al-Qur'an, kata ishlâh
dinyatakan sebanyak 180 kali dengan jumlah perubahan
bentuk dan harakatnya sebanyak 41 macam.¹⁰ Kata ishlâh
dalam beragam bentuknya itu mengandung arti positif bagi
hubungan sesama manusia dalam masyarakat. Kata ini berarti
al-hidâyah atau petunjuk (al-Anbiya; 21:89-90), Ihsân al-‘Amal
atau perbaikan amal perbuatan/reformasi (al-Baqarah; 2:160),
al-Amru bi al-ma'ruf wa an-Nahyu 'ani al-Munkar atau
menyuruh kepada kebaikan dan mencegah keburukan (Hud;
11:117), al-Taufiq baina al-Mutanazi'ain atau rekonsiliasi antara
dua pihak yang berselisih (al-Baqarah; 2:182,224/an-Nisa;
25
4:128-129/al-Anfal; 8:1/al-Hujurat; 59: 9,10).
Perintah ishlâh demi perdamaian menunjukkan bahwa Islam
menganggap pentingnya kehidupan yang selaras dan harmoni.
Tetapi karena perbedaan-perbedaannya, mereka bisa saja
berselisih dan terjebak dalam konflik. Karena itu mereka harus
sadar bahwa perbedaan merupakan sunnatullah dan dengan
perbedaan itu manusia dapat saling mengenal dan
memanfaatkan hubungan yang baik untuk menutupi
kelemahan dan ketidak-sempurnaannya. Menurut al-Qur’an,
menyelamatkan jiwa satu orang saja sama artinya dengan
menyelamatkan seluruh umat manusia. Begitu pula, sengaja
mencelakai satu jiwa saja sama artinya dengan mencelakai
seluruh umat manusia. Allah swt berfirman:
َ ‫اﴎا ِﺋ‬
‫ﻐﲑ‬
ِ ْ َ ‫ﯿﻞ ﻧُﻪ َ ْﻣﻦ ﻗَ َ َﻞ ﻧ َْﻔ ًﺴﺎ ِﺑ‬
َ ْ ‫ِ ْﻣﻦ ْ ِﻞ َذ ِ َ َﻛ َﺘ ْ َﺎ َ َﲆ َ ِﺑﲏ‬
ٍ َ َ‫ﻧ ْ ٍَﻔﺲ ْو ﻓ‬
ِ ْ ْ ‫ﺴﺎد ِﰲ ا‬
‫وﻣﻦ ْﺣ َ َﺎﻫﺎ‬
ْ َ َ ‫ﻨﺎس َ ِﲨ ًﯿﻌﺎ‬
َ ‫رض ﻓَ َ َﻧﻤﺎ ﻗَ َ َﻞ اﻟ‬
(٣٢ :‫ﻨﺎس َ ِﲨ ًﯿﻌﺎ )اﳌﺎﺋﺪة‬
َ ‫ﻓَ َ َﻧﻤﺎ ْﺣ َﺎ اﻟ‬
“Oleh karena itu kami tetapkan bagi bani Israil, bahwa barang
siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang
itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang
memelihara kehidupan satu manusia, maka seakan-akan ia
telah memelihara manusia semuanya”. (QS al-Maidah [5]: 32)
Meskipun ayat tersebut ditujukan kepada Bani Israil, maknanya
juga berlaku untuk umat Islam, bahkan untuk semua umat
manusia. Para ulama memakai dalil ini untuk menasehati
supaya manusia tidak saling menyakiti dan membunuh.¹¹
Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa perbedaan yang ada pada
umat manusia itu sudah menjadi Sunnatullah. Dengan kata lain
bahwa perbedaan tersebut sudah dikehendaki Allah dan
manusia tidak bisa menghilangkannya. Allah berfirman:
ُ َ ُ ْ ‫وﻟﻜﻦ ِﻟ َﯿ‬
ْ ُ َ َ َ َ ُ ‫ﺷﺎء ا‬
ً َ ِ ‫ﻟﺠﻌﻠﲂ ًﻣﺔ َوا‬
‫ﺒﻠﻮﰼ ْ ِﰲ َﻣﺎ َ ٓ َ ُ ْﰼ َﻓﺎ ْﺳ َ ُِﻘﻮا‬
ْ ِ َ َ ‫ﺪة‬
َْ َ
َ َ ‫وﻟﻮ‬
ِ َ ْ َ ْ‫اﻟ‬
(٤٨ :‫ﲑات)اﳌﺎﺋﺪة‬
26
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya
satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan.” (QS al-Maidah [5]: 48)
Sebenarnya Allah berkuasa untuk membuat manusia menjadi
umat yang satu dan seragam, tanpa perbedaan seperti halnya
para malaikat. Namun itu tidak dikehendakiNya. Sebaliknya,
Allah menciptakan umat manusia berjenis-jenis dan beranekaragam dari segi fisik, agama, budaya dan pemikiran. Ketetapan
Allah ini bertujuan untuk menguji manusia agar mereka saling
berlomba-lomba dalam kebaikan. Artinya, perbedaan fisik,
agama, budaya, suku, ras dan jenis kelamin, bukanlah suatu hal
yang perlu dipersoalkan, melainkan anugerah Allah swt agar
supaya manusia saling mengenal dan saling memahami.
Perbedaan-perbedaan itu bukanlah ukuran untuk menilai
apakah seseorang itu baik atau buruk. Derajat kebaikan
manusia diukur dari ketaqwaannya. Tidak peduli apakah dia
laki-laki atau perempuan, berkulit putih atau hitam, bersuku
Jawa atau suku Padang, asal dia bertaqwa kepada Allah swt,
maka dia tergolong orang baik. Allah berfirman:
ْ ُ َ ْ‫ﺟﻌﻠ‬
َ ِ َ َ‫ﺷﻌﻮ ً َوﻗ‬
‫ﺎﺋﻞ‬
ٍ َ َ ‫ﻨﺎس ا َ َْﻠﻘ َ ُ ْﺎﰼ ِ ْﻣﻦ‬
َ َ ‫ذﻛﺮ َو ْ َﻧﱺ َو‬
ُ ُ ‫ﻨﺎﰼ‬
ُ ‫َ َﳞﺎ اﻟ‬
ُ َ َ r&ْ ¨b‫ان‬Î) 4 (#þq‫ﺘﻌﺎرﻓﻮا‬
ْr&ُ «!َ ‫ ﺗ‬$# y‰ِ YÏã‫ ا‬ö/‫َﺪ‬ä3‫ﻋ ْﻨ‬tBِ t‫ﻛﺮﻣﲂ‬
ْò2
ُ ِ
(١٣ :‫)اﳊﺠﺮات‬
4 öNä39s)ø?‫ْﻘﺎﰼ‬
èùu‘$yَ èَ tGَ Ï9‫ﻟ‬
Ÿ@ͬ!$t7s%ur $\/qãèä© öNä3»oYù=yèy_ur 4Ós\Ré&ur 9x.sŒ `ÏiB /ä3»oYø)n=yz $¯RÎ) â¨$¨Z9$# $pkš‰r'¯»tƒ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara
kamu.” (QS al-Hujurat [49]: 13)
Menurut ayat di atas, keutamaan seseorang itu dilihat dari
ketaqwaannya, bukan dari suku atau bangsanya. Pada dasarnya
taqwa adalah takut kepada Allah, jadi orang yang bertaqwa
adalah orang yang takut pada Allah swt. Taqwa dapat dicapai
dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Taqwa dapat dibuktikan dari akhlak dan tingkah
laku. Mengapa dalam ayat ini perbedaan suku dan bangsa dan
27
Jiwa dan Al-Quran
Menurut al-Qur’an, menyelamatkan jiwa satu orang saja
sama artinya dengan menyelamatkan seluruh umat
manusia. Begitu pula, sengaja mencelakai satu jiwa saja
sama artinya dengan mencelakai seluruh umat manusia.
perintah untuk ta’âruf antara mereka dikaitkan langsung
dengan kualitas ketakwaan. Pastilah ada maksud tersembunyi
di situ. Yakni, bahwa kesediaan manusia untuk saling mengenal
dan memahami suku dan bangsa yang berbeda adalah salah
satu indikasi kemuliaan dan tanda akan adanya jiwa ketakwaan
pada diri mereka. Paling tidak hal ini berlaku dalam konteks
pergaulan dan interaksi kita dengan kelompok-kelompok lain
yang berbeda dengan kita. Sebaiknya, sikap seseorang yang
menutup diri, tidak mau mengenal dan memahami orang atau
kelompok lain, dan apalagi mengganggu dan menyakitinya
hanya karena mereka berbeda, mengisyaratkan absennya
taqwa pada diri orang itu.
Al-Qur’an sangat menghargai kebebasan manusia, bahkan
dalam hal memilih agama apa yang diyakininya. Islam tidak
menganjurkan adanya paksaan dalam memeluk agama. Nabi
Muhammad saw diutus hanya untuk menyampaikan kebenaran
Islam, bukan untuk memaksakan manusia agar menerima
ajaran ini. Allah berfirman:
ُ ْ ‫َﺒﲔ‬
(٢٥٦:‫ﻐﻲ )اﻟﺒﻘﺮة‬
َ َ ‫اﻛﺮاﻩ ِﰲ ا ّ ِ ِﻦ َ ْﻗﺪ ﺗ‬
َ ِ ‫اﻟﺮﺷﺪ‬
َ َ ْ ‫َﻻ‬
ِ ّ َ ْ‫ﻣﻦ اﻟ‬
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
salah.” (QS al-Baqarah [2]: 256)
Allah juga berfirman dalam al-Qur’an:
ْ ُ ّ ِ َ ‫اﻟﺤﻖ ِ ْﻣﻦ‬
(٢٩:‫ﯿﻜﻔﺮ )اﻟﻜﻬﻒ‬
ِ َُ
ْ َ َ ‫ﯿﺆﻣﻦ‬
ْ ِ ْ ُ ْ‫ﺷﺎء َﻓﻠ‬
ْ َ َ ‫رﲂ‬
َ ْ ‫وﻗﻞ‬
ْ ُ ْ َ ْ‫ﺷﺎء َﻓﻠ‬
َ َ ‫وﻣﻦ‬
َ َ ‫ﻓﻤﻦ‬
“Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu;
maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman,
dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir".” (QS al-Kahfi
[18]: 29)
Begitulah al-Qur’an menjamin kebebasan manusia untuk
menentukan sendiri pilihan keimanannya. Kebebasan ini
diberikan supaya setiap individu bertanggungjawab atas apa
yang telah menjadi pilihannya. Bahkan Nabi Muhammad saw
sendiri tidak bisa memaksakan pamannya sendiri, Abu Thalib,
untuk beriman. Hingga wafatnya, ia belum menyatakan
29
keimanannya pada Allah, padahal jasanya bagi penyebaran
Islam sangat besar, terutama di masa-masa awal risalah
Muhammad saw. Diriwayatkan bahwa Nabi saw sangat
bersedih atas kenyataan ini, karena Abu Thalib banyak memberi
bantuan dalam dakwah Islam. Sejujurnya, Nabi sangat berharap
supaya Abu Thalib masuk Islam, namun harapannya tidak
kesampaian. Kesedihan dan keinginan Nabi ini kemudian
dijawab Allah swt dengan firmanNya:
ِ ْ َ َ ‫وﻟﻜﻦ ا‬
ِ َ َ ‫ﺒﺖ‬
ِ ْ َ ‫ا َﻧﻚ ﻻ‬
َ ْ َ ‫ﲥﺪي َ ْﻣﻦ ْﺣ‬
(٥٦:‫ﺸﺎء )اﻟﻘﺼﺺ‬
ُ َ َ ‫ﳞﺪي َ ْﻣﻦ‬
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk
kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk
kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (QS al-Qashas [28]:56)
Allah meyakinkan Nabi-Nya bahwa tugasnya hanyalah
menyampaikan risalah Islam, adapun masalah hidayah adalah
urusan dan rahasia Allah swt. Artinya, Rasulullah Muhammad
saw belum tentu dapat membuat seseorang beriman, ataupun
menjamin seseorang mendapatkan hidayah Allah swt,
sekalipun pamannya sendiri. Wewenang untuk memberi
hidayah hanyalah milik Allah swt semata.
Adapun untuk bergaul dengan seseorang yang berbeda
pemikiran, maka secara umum, al-Qur’an mengajarkan kepada
manusia untuk saling memaafkan dan saling toleransi. Allah
berfirman:
Adapun untuk bergaul
dengan seseorang
yang berbeda
pemikiran, maka secara
umum, al-Qur’an
mengajarkan kepada
manusia untuk saling
memaafkan dan saling
toleransi.
30
ٍ َ ْ َ ‫ﻓَ َِﻤﺎ‬
َ ْ ‫ﻣﻦ ا ِ ِﻟ‬
َ ْ ‫وﻟﻮ ُﻛ‬
‫ﻨﺖ َﻓﻈﺎ َ ِﻠﯿﻆَ ْ َاﻟﻘﻠِْﺐ َﻻﻧ َْﻔﻀﻮا ِ ْﻣﻦ‬
َ ِ ‫رﲪﺔ‬
ْ َ َ ‫ﻨﺖ ﻟَﻬ ُْﻢ‬
َ َ ‫وﺷﺎورﱒ ِﰲ ا ْ ْ ِﻣﺮ‬
‫ﻋﺰﻣَﺖ‬
ْ َ َ ‫ﻓﺎذا‬
ْ ُ ْ ِ َ َ ‫ﺘﻐﻔﺮ ﻟَﻬ ُْﻢ‬
َْ
ْ ِ ْ َ ‫ﻋﳯﻢ َوا ْﺳ‬
ْ ُ ْ َ ‫ﺣﻮ ِ َ َﻓﺎ ْ ُﻋﻒ‬
ْ َ َ َ‫ﻓ‬
(١٥٩:‫ﺘﻮﳇﲔ ) ل ﲻﺮان‬
َ ِ ّ ِ َ َ ‫ﻮﰻ َ َﲆ ا ِ ان ا َ ُ ِﳛﺐ ا ْ ُﻟﻤ‬
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS Ali
Imran [3]: 159)
Di ayat lain Allah juga berfirman:
(١٣ :‫ﻨﲔ )اﳌﺎﺋﺪة‬
ْ ُ ْ ‫واﺻﻔﺢ ان ا َ ُ ِﳛﺐ ا‬
ْ َ ْ َ ‫ﻋﳯﻢ‬
َ ِ ‫ﻟﻤﺤ ِﺴ‬
ْ ُ ْ َ ‫َﻓﺎ ْ ُﻋﻒ‬
“Maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka,
sesungguhya Allah menyukai orang-orang berbuat baik.” (QS alMaidah [5]: 13)
Ayat ini berkaitan dengan pergaulan dengan kaum Ahli Kitab.
Muslim dianjurkan untuk bertoleransi dengan Ahli Kitab
sekalipun, apalagi dengan sesama muslim. Adapun secara
khusus, pergaulan dengan orang yang berbeda pemikiran
dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu: (1) bergaul dengan
sesama muslim yang berbeda pendapat; dan (2) bergaul
dengan orang yang berlainan agama. Terhadap sesama muslim,
al-Qur’an menjelaskan bahwa setiap muslim itu bersaudara.
Meskipun saling berbeda satu sama lain dalam hal madzhab,
aliran, organisasi massa dan lain-lain, namun karena masih
terbingkai dalam keislaman, maka mereka tetap bersaudara.
Sesama muslim harus saling tolong-menolong dalam kebaikan,
tidak boleh saling mengganggu, saling memusuhi, saling
mendzalimi dan saling menyakiti. Allah swt berfirman:
ْ ُ َ َ َ ‫واﺗﻘﻮا ا‬
ِ ْ ُ ْ ‫ا َﻧﻤﺎ‬
ُ َ ‫ﺧﻮ ْ ُ ْﲂ‬
ٌ َ ْ ‫ﻮن ا‬
‫ﺮﲪﻮن‬
َ ْ َ ‫ﺻﻠﺤﻮا‬
ُ ِ ْ َ‫ﺧﻮة ﻓ‬
َ ُ ‫اﻟﻤﺆﻣ‬
َ ُ َ ْ ُ ‫ﻟﻌﻠﲂ‬
َ َ ‫ﺑﲔ‬
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara karena
itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah
kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS al-Hujurat
[49]: 10)
(١٠٣ :‫واﻋﺘﺼﻤﻮا ﲝﺒﻞ ﷲ ﲨﯿﻌﺎ وﻻ ﺗﻔﺮﻗﻮا )ال ﲻﺮان‬
“Berpegang teguhlah kalian dalam tali Allah dan janganlah
kalian terpecah-belah.” (QS Ali Imran [3]: 103)
Menanggapi kecenderungan umat manusia umumnya dan
Muslim khususnya untuk mementingkan dirinya sendiri
dibandingkan kepentingan bersama, Allah menyeru kepada
umat Islam untuk sungguh-sungguh bersatu padu di bawah
n a u n g a n ke te n t u a n A l l a h d a n u n t u k s e m a t a - m a t a
memperjuangkan nilai-nilai dan ajaran Allah di muka bumi ini.
31
Bukan semata-mata
karena penghinaan
atau ejekan akan
menyebabkan rasa
terhina dan sakit hati
bagi yang terkena
ejekan dan hinaan. Tapi
ejekan dan hinaan itu
bisa saja berbalik
kepada diri orang yang
melakukannya karena
boleh jadi yang
mengejek lebih buruk
dari yang diejek.
Sebaliknya Allah melarang kita berpecah belah demi
mementingkan ego sendiri karena hanya dengan persatuanlah
tujuan kebaikan dapat diperjuangkan dengan mudah dan
hanya dengan persatuan pula keburukan dan kemungkaran
dapat dengan mudah dihilangkan dalam kehidupan
masyarakat.
Sesama muslim bersaudara karena itu tidak boleh saling
mengejek. Kenapa dilarang? Bukan semata-mata karena
penghinaan atau ejekan akan menyebabkan rasa terhina dan
sakit hati bagi yang terkena ejekan dan hinaan. Tapi ejekan dan
hinaan itu bisa saja berbalik kepada diri orang yang
melakukannya karena boleh jadi yang mengejek lebih buruk
dari yang diejek. Allah berfirman:
‫ﻣﳯﻢ‬
َ َ ‫ﻗﻮم‬
ٌ ْ َ ‫ﺨﺮ‬
ْ َ ‫َ َﳞﺎ ا ِ َﻦ َ ٓ َﻣ ُﻮا َﻻ َ ْﺴ‬
ٍ ْ َ ‫ﻗﻮم ِ ْﻣﻦ‬
ْ ُ ْ ِ ‫ﻋﴗ ْن َ ُﻜﻮﻧ ُﻮا ْ ًَﲑا‬
ٍ َ ِ ‫ﺴﺎء ِ ْﻣﻦ‬
ْ ُ َ ‫ﺗﻠﻤﺰوا ﻧ ُْﻔ‬
‫ﺴﲂ َ َوﻻ‬
َ َ ‫ﺴﺎء‬
ُ ِ ْ َ ‫ﻣﳯﻦ َ َوﻻ‬
ُ ْ ِ ‫ﻋﴗ ْن َ ُﻜﻦ ْ ًَﲑا‬
ٌ َ ِ ‫َ َوﻻ‬
(١١ :‫َﻨﺎﺰوا ِ ْ ْ َﻟﻘﺎِب)اﳊﺠﺮات‬
َُ َ ‫ﺗ‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum
mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka
(yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)
dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita lain
(karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diolok-olok) lebih baik
dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela
dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan
gelar-gelar yang buruk.” (QS al-Hujurat [49]: 11)
Bahkan Allah swt melarang kaum muslimin saling berburuk
sangka dan saling memata-matai. Allah juga melarang saling
menggunjing (ghibah), yaitu membicarakan keburukan orang
lain. Allah berfirman:
‫اﻟﻈﻦ ا ٌْﰒ َ َوﻻ‬
ً ِ ‫َ َﳞﺎ ا ِ َﻦ َ ٓ َﻣ ُﻮا ا ْﺟ َ ِﻨ ُﺒﻮا َﻛ‬
ِّ ‫ﻣﻦ‬
ِّ ‫اﻟﻈﻦ ان َ ْﺑﻌَﺾ‬
َ ِ ‫ﺜﲑا‬
ْ ُ ُ َ ‫ﻀﲂ َ ْﺑﻌًﻀﺎ ُ ِﳛﺐ‬
ْ ُ ُ ‫ﺘﺐ َ ْﺑﻌ‬
َ ُ َ ‫ﺪﰼ ْن ﯾ‬
‫ﻟﺤﻢ ِﺧ ِﻪ‬
ْ َ ‫َ َﲡﺴ ُﺴﻮا َ َوﻻ َ ْﯾﻐ‬
ََْ‫ﰻ‬
َ َ ‫َﻣ ْ ًﺘﺎ‬
ِ َ ‫ﺗﻮاب‬
ُ َ ‫ﺘﻤﻮﻩ‬
(١٢ :‫رﺣﲓ )اﳊﺠﺮات‬
ٌ َ َ ‫واﺗﻘﻮا ا َ ان ا‬
ُ ُ ُ ‫ﻓﻜﺮِْﻫ‬
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari
prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa
dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan
32
janganlah sebahagian kamu menggunjing sebagian yang lain.
Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging
saudaranya yang sudah mati, maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS alHujurat [49]: 12)
Adapun pergaulan dengan orang yang berlainan agama,
selama mereka tidak memusuhi, maka Allah memperbolehkan
bergaul dengan mereka sebagaimana kita bergaul dengan
sesama Muslim. Allah swt berfirman:
ُ ُ ِ ْ ُ ‫وﻟﻢ‬
ُ ُ ِ َ ُ ‫ﻋﻦ ا ِ َﻦ َ ْﻟﻢ‬
ُ َ ْ َ ‫َﻻ‬
ْ ُ ِ َ ‫ﳜﺮﺟﻮﰼ ْ ِ ْﻣﻦ ِد‬
‫رﰼ ْن‬
ِ َ ُ ‫ﳯﺎﰼُ ا‬
ْ َ َ ‫ﯾﻘﺎﺗﻠﻮﰼ ْ ِﰲ ا ّ ِ ِﻦ‬
ْ ُ ْ ‫ﺴﻄﻮا ا َ ْ ِ ْﳱﻢ ان ا َ ُ ِﳛﺐ ا‬
ُ ِ ‫ﺗﱪوﱒ َوﺗ ُْﻘ‬
(٨ :‫ﺴﻄﲔ )اﳌﻤﺘﺤﻨﺔ‬
ُْ ََ
َ ِ ِ ‫ﻟﻤﻘ‬
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama
dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS alMumtahanah [60]: 8)
Perlu ditekankan di sini bahwa ayat-ayat yang menganjurkan
toleransi dan perdamaian tidak bertentangan dengan ayat-ayat
yang berbicara tentang perang. Artinya, dalam keadaan
normal/damai, maka yang berlaku adalah ayat-ayat
perdamaian. Sedangkan dalam kondisi perang, yang berlaku
adalah ayat-ayat peperangan yang menekankan etika atau
akhlak dalam menjalankan perang.
Ajaran Islam menekankan pentingnya memperbaiki hubungan
yang terlanjur retak akibat konflik dan permusuhan. Banyak
ayat al-Qur’an yang mengecam perangai sebagian manusia
yang memutus tali persaudaraan (habl minannâs) dan
menyandingkan dosa ini dengan dosa lain, yaitu melakukan
kerusakan di muka bumi (fasâd fil ardh). Salah satunya ayat di
bawah ini:
‫و ا ﻦ ﯾﻨﻘﻀﻮن ﻋﻬﺪ ﷲ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﻣ ﺜﺎﻗﻪ و ﯾﻘﻄﻌﻮن ﻣﺎ ٔﻣﺮﷲ ﺑﻪ‬
‫ٔن ﯾﻮﺻﻞ و ﯾﻔﺴﺪون ﰲ ا ٔرض ٔوﻟﺌﻚ ﳍﻢ ا ﻠﻌﻨﺔ و ﳍﻢ ﺳﻮء‬
(٢٥:‫ا ار)اﻟﻘﺮان ﺳﻮرة اﻟﺮ ﺪ‬
33
Semua manusia,
dengan segala
identitas yang melekat
padanya, dianggap
memiliki harkat dan
martabat yang sama,
karena semuanya
berasal dari Nabi
Adam as; dan Nabi
Adam as diciptakan
dari tanah.
“Dan orang-orang yang merusak janji Allah setelah terikat janji
dan memutus apa yang Allah perintahkan untuk dihubungkan
serta melakukan kerusakan di muka bumi, mereka mendapatkan
laknat dari Allah dan bagi mereka seburuk-buruknya tempat
tinggal “. (QS al-Ra’d: 25)
Allah dalam banyak kesempatan di al-Qur ’an sangat
menganjurkan ishlâh, yaitu menempuh jalan damai dan
memperbaiki hubungan yang retak akibat konflik. Bahkan
perintah ishlâh disandingkan dengan perintah bertakwa
kepada Allah. Misalnya dalam QS al-Anfal ayat 1 diperintahkan
kepada orang-orang beriman untuk “bertakwa kepada Allah
dan memperbaiki hubungan sesama manusia (ishlâh dzât albain). Perintah yang sama juga ditegaskan dalam QS al-Hujurat
ayat 10. Demikian pula QS an-Nisa ayat 128 yang nenekankan
pentingnya suami-istri untuk memperbaiki hubungan yang
retak karena konflik keluarga. Ayat itu sendiri ditutup dengan
kata-kata
yang berarti berdamai itu jauh lebih baik
dari bercerai. Kata ishlâh sendiri memiliki makna lain yang saling
berdekatan, namun kesemuanya berkonotasi positif, yaitu
petunjuk Allah, perbuatan yang baik, serta mempromosikan
kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dengan demikian,
tindakan mempromosikan perdamaian, mencegah dan
mengatasi konflik merupakan amal shaleh yang diridhoi Allah.
‫واﻟﺼــــﻠﺢ ﲑ‬
Memelihara hubungan baik sesama manusia dan menjaga tali
persaudaraan adalah prinsip utama dalam kehidupan manusia
menurut ajaran Islam. Sebegitu pentingnya nilai itu, seolaholah Islam tidak akan mungkin membenarkan tindakan perang.
Namun faktanya tidak demikian karena tidak sedikit ayat alQur ’an dan juga hadis Nabi serta bukti sejarah yang
menunjukkan bagaimana Islam membahas perang dengan
nada yang bersemangat seolah-olah menganjurkannya.
Beberapa pihak jatuh pada salah paham mengartikan
kenyataan ini dengan menyimpulkan secara gegabah bahwa
Islam agama perang dan bahwa satu-satunya cara untuk
merespon konflik adalah jalan kekerasan dan perang. Atau
paling tidak seolah-olah tercipta kesan paradoks antara damai
34
dan perang dalam Islam. Padahal dalam kaca mata Islam, sifat
alamiah manusia untuk saling menguasai dan bahkan
menindas merupakan kenyataan antropo-historis yang diakui.
Namun mengakui tidak berar ti menyetujui apalagi
menganjurkannya. Sebaliknya, demi tegaknya nilai-nilai
kemanusiaan universal tadi orang-orang beriman diminta
untuk senantiasa menyebarkan kasih sayang dan perdamaian
(afsyû al-salâm).
Namun, apabila hak-hak dasar dan kemerdekaan mereka
direnggut dengan paksa, maka perang dibolehkan demi
membela diri (QS al-Baqarah: 190). Namun perang adalah
pilihan terakhir ketika jalan damai telah tertutup sama sekali.
Dalam situasi konflik, mencegah lebih diutamakan daripada
terburu-buru memutuskan untuk terjun dalam perang (QS alAnfal:60), dan mencegah dengan sikap sabar dan menahan diri
lebih diutamakan (QS al-Nahl:126). Demi pencegahan konflik,
perjanjian damai antara negara dianjurkan untuk dilaksanakan
dan dihormati sedemikian rupa sehingga permintaan bantuan
sesama Muslim di dalam negara yang terikat perjanjian damai
tidak bisa membatalkan perjanjian tersebut (QS al-Anfal: 72).
Lebih jauh, apabila jalan perang telah ditempuh maka perang
harus dilakukan dengan proporsional alias tidak melampaui
batas (QS al-Baqarah:190, 194). Sedemikian pentingnya
mewujudkan perdamaian, menghentikan perang lebih
diutamakan apabila musuh menunjukkan itikad damai (QS alBaqarah:192). Dalam surat al-Anfal ayat 61 dikatakan, “Jika
mereka (musuh) condong kepada perdamaian, maka
condonglah kalian kepada perdamaian…”.
Dari ayat-ayat al-Qur’an di atas jelas bahwa sikap dasar Islam
dalam menyikapi konflik dan pertentangan bukanlah perang
melainkan resolusi konflik (ishlâh) secara damai. Diskursus
perang yang begitu dominan dalam wacana Islam harus
ditempatkan sebagai sebuah respon intelektual-ideologis yang
kontekstual terhadap realitas perang itu sendiri, bukan sebagai
dasar pijakan tentang bagaimana seharusnya tatanan
kehidupan yang ideal dibangun dan dipelihara. Ungkapan
35
Adapun pergaulan
dengan orang yang
berlainan agama,
selama mereka tidak
memusuhi, maka Allah
memperbolehkan
bergaul dengan
mereka sebagaimana
kita bergaul dengan
sesama Muslim.
“jihad” yang selama ini acap diidentikkan dengan perang suci
harus juga dipahami dalam konteks prinsip umum Islam, bukan
semata-mata konteks perang yang spesifik. Kata “jihad” atau
bentuk derifat lainnya, mujâhadah, dalam al-Qur ’an
mengandung makna perjuangan dengan sepenuh hati
mempromosikan dan membela nilai-nilai Islam dalam
kehidupan ini. Jihad dalam pengertian perang untuk membela
diri tidaklah keliru, namun bukan satu-satunya makna kata itu.
Usaha sungguh-sungguh mempromosikan perdamaian,
resolusi konflik secara damai, hak-hak asasi manusia, keadilan
dan toleransi dapat pula disebut jihad selama ditujukan untuk
membela nilai-nilai universal Islam. Sebaliknya perang yang
dikibarkan untuk tujuan ofensif, menindas, dan dilakukan tanpa
etika dan menghancurkan tatanan kemanusiaan, malahan tidak
pantas dimasukkan dalam kategori jihâd fî sabîlillâh.
2. Hadits–hadits Perdamaian
Jika al-Qur’an banyak berbicara mengenai toleransi dan
perdamaian, maka Hadits pun demikian. Nabi Muhammad saw
berpandangan bahwa pada dasarnya semua manusia itu sama,
setara, tidak ada keunggulan antara satu kaum atas kaum
lainnya, antara satu suku dengan suku yang lainnya.
Keunggulan tidak dilihat dari identitas, tetapi dinilai dari
ketaqwaan yang tercermin dari perbuatan seseorang. Nabi
Muhamad saw bersabda:
‫وﻓﺎﺟﺮ‬
ٌ ِ ْ ُ ‫ ا َﻧﻤﺎ ُ َﻫﻮ‬، ‫ذﻫﺐ َﻋ ْ ُْﻨﲂ ُﻋ ِ ّﺒ َﯿﺔ اﻟْ َ ﺎ ِ ِﻫﻠ ِﯿﺔ‬
َ َ ْ ‫ان ا َ َ ْﻗﺪ‬
ٌ ِ َ َ ‫ﻣﺆﻣﻦ َ ِﺗﻘﻰ‬
َِ
‫ﻨﺎس ُﳇﻬ ُْﻢ ﺑ َ ُﻨﻮ ٓ َ َدم َو ٓ َ ُدم ِ َُﻠﻖ ِ ْﻣﻦ ُ َﺮاٍب ) ﺪﯾﺚ ﺣﺴﻦ‬
ُ ‫ اﻟ‬، ‫ﺷﻘﻰ‬
(‫ﻏﺮﯾﺐ‬
“Sesungguhnya Allah telah menghilangkan keangkuhan zaman
jahiliyah pada diri kalian; manusia hanya bisa dibagi menjadi
dua bagian; seorang Mukmin yang bertaqwa dan seorang jahat
yang celaka; manusia semuanya adalah anak-cucu Adam, dan
Adam diciptakan dari tanah”.¹² (H.R. Tirmidzi)
Hadits di atas menunjukkan agungnya ajaran Islam. Islam
berpegang teguh pada prinsip persamaan sesama umat
36
manusia. Semua manusia, dengan segala identitas yang
melekat padanya, dianggap memiliki harkat dan martabat yang
sama, karena semuanya berasal dari Nabi Adam as; dan Nabi
Adam as diciptakan dari tanah. Hadits ini juga menjelaskan
bahwa kualitas seseorang tidak dilihat dari identitasnya,
melainkan dari amal perbuatannya.
Islam juga berpandangan bahwa identitas tidak begitu penting.
Yang terpenting adalah hati dan perbuatan. Hal ini sesuai
dengan sabda Rasulullah Muhammad saw:
ْ ُ ِ َ ُ ‫ﻨﻈﺮ َاﱃ‬
ْ ُ ِ َ ْ ‫ﻨﻈﺮ َاﱃ ُ ُﻗﻠﻮ ِ ُ ْﲂ َو‬
ْ ُ ِ َ ْ ‫ﺻﻮرﰼ َو‬
‫ﲻﺎﻟﲂ‬
ْ ِ َ َ ‫ﻣﻮاﻟﲂ‬
ُ ُ ْ َ ‫ان ا َ َﻻ ﯾ‬
ُ ُ ْ َ ‫وﻟﻜﻦ ﯾ‬
(‫)رواﻩ ﻣﺴﲅ‬
“Sesungguhnya Allah itu tidak melihat bentuk-bentuk kalian dan
harta-harta kalian, tetapi melihat pada hati-hati kalian dan
amal-amal kalian”.¹³(H.R. Muslim)
Hadits-Hadits di atas menjelaskan toleransi terhadap sesama
manusia secara umum. Adapun untuk sesama muslim secara
khusus, banyak Hadits yang menganjurkan untuk saling
membantu, saling menghargai, saling melengkapi, saling
bekerja sama, tidak boleh saling mendzalimi, tidak saling
menyakiti dan sebagainya. Rasulullah saw bersabda:
َ َ ‫ﯾﻈﻠﻤُﻪ‬
‫ﰷن ِﰱ َ ﺎ َ ِﺔ ِﺧ ِﻪ‬
ُ ِ ْ ‫ا ْ ُﻟﻤ‬
َ َ ‫ َ ْﻣﻦ‬، ‫ُﺴﻠﻤُﻪ‬
ُ ِ ْ ‫وﻻ‬
ُ ِ ْ َ ‫ﺴﲅ َﻻ‬
ِ ِ ْ ‫ﺴﲅ ُﺧﻮ ا ْ ُﻟﻤ‬
ً َ ْ ُ ‫ﺴﲅ‬
‫ﻓﺮج ا ُ َﻋ ْﻨُﻪ َِﲠﺎ‬
ْ َ ‫ﻓﺮج‬
ْ َ َ ، ‫ﰷن ا ُ ِﰱ َ ﺎ َﺟ ِ ِﻪ‬
ََ
َ َ ‫ﻛﺮﺑﺔ‬
َ َ ‫وﻣﻦ‬
ٍ ِ ْ ‫ﻋﻦ ُﻣ‬
ِ َ َ ‫ﯾﻮم ْ ِاﻟﻘ‬
ِ َ َ ‫ﯾﻮم ا ْ ِﻟﻘ‬
ًَ ُْ
‫ﺎﻣﺔ‬
َ َ َ ‫وﻣﻦ‬
ْ َ َ ، ‫ﺎﻣﺔ‬
ُ َ َ َ ‫ﺴﻠﻤﺎ‬
َ ْ َ ُ ‫ﺳﱰﻩ ا‬
ً ِ ْ ‫ﺳﱰ ُﻣ‬
ِ ْ َ ‫ﻛﺮﺑﺔ ِ ْﻣﻦ ُ َﻛﺮِب‬
(‫)رواﻩ اﻟﺒ ﺎري وﻣﺴﲅ‬
“Seorang muslim itu saudara muslim yang lain, tidak boleh
mendzaliminya dan tidak boleh menyakitinya; barang siapa
memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah memenuhi
kebutuhannya; barang siapa membantu mengatasi kesulitan
seorang muslim, maka Allah mengatasi kesulitannya nanti di
hari kiamat; barang siapa menutup aib seorang muslim, maka
Allah menutup aibnya di hari kiamat”.¹⁴ (H.R. Bukharⁱ Muslⁱm)
Rasulullah saw juga bersabda:
37
ٌ َ َ َ ‫َﻘﺼﺖ‬
ْ َ َ ‫َﻣﺎ ﻧ‬
ٍ َ ‫ﺻﺪﻗﺔ ِ ْﻣﻦ‬
‫ َ َوﻣﺎ‬،‫ﺑﻌﻔﻮ اﻻ ﻋــﺰا‬
ٍ ْ َ ِ ‫ َ َوﻣﺎ َزاَد ا ُ َﻋ ْﺒًﺪا‬،‫ﻣﺎل‬
(‫رﻓﻌُﻪ ا ُ )رواﻩ ﻣﺴﲅ‬
َ َ َ ‫ﺿﻊ َ ٌﺪ ِ ِ اﻻ‬
َ َ ‫َ َﺗﻮا‬
Nabi Muhammad saw
menempatkan
perdamaian dan
toleransi sebagai pilar
penting dalam
kehidupan sosial
“Sedekah itu tidak mengurangi harta, Allah tidak menambahi
orang yang memberi maaf kecuali keluhuran, dan tidaklah
seseorang itu bersikap tawadlu karena Allah, kecuali Allah akan
mengangkat derajatnya”.¹⁵ (H.R. Muslim)
Seorang muslim yang sejati adalah yang tidak menyakiti
saudara seimannya, dengan perkataan ataupun perbuatannya.
Rasulullah saw bersabda:
ِ ِ َ َ ‫ﺴﻠﻤﻮن ِ ْﻣﻦ ِﻟ َﺴﺎ ِ ِﻧﻪ‬
(‫وﯾﺪﻩ )رواﻩ ﻣﺴﲅ‬
ُ ِ ْ ‫ا ْ ُﻟﻤ‬
َ ِ َ ‫ﺴﲅ َ ْﻣﻦ‬
َ ُ ِ ْ ‫ﺳﲅ ا ْ ُﻟﻤ‬
“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat
dari lisan dan tangannya”.¹⁶ (H.R. Muslim)
Hadits di atas mengandung pesan kuat bahwa seorang muslim
yang baik dilarang menyakiti sesama muslim dengan katakatanya atau perbuatannya. Demikianlah beberapa Hadits
tentang toleransi dan perdamaian, sebagai bukti bahwa Nabi
Muhammad saw menempatkan perdamaian dan toleransi
sebagai pilar penting dalam kehidupan sosial. Bagaimana
toleransi dan perdamaian sebagai pilar penting dalam
kehidupan tersebut, dipraktikkan oleh Rasulullah saw dalam
kehidupan nyata?
C. PERDAMAIAN DALAM SIRAH NABAWIYAH
Rasulullah saw merupakan teladan sejati, tidak hanya bagi umat
Islam tapi juga bagi seluruh umat manusia. Ia sangat menghormati
manusia sebagai manusia terlepas siapa dia. Rasulullah suka
memberi maaf, bersikap ramah dan sopan kepada orang lain,
bahkan terhadap pembantunya sendiri. Akhlak Rasulullah saw
sangatlah agung, sampai-sampai Allah swt memujinya dengan
firman-Nya:
َ َ َ ‫َوا َﻧﻚ‬
‫ﻋﻈﲓ‬
ٍ ُ ‫ﻟﻌﲆ‬
ٍ ِ َ ‫ُﻠﻖ‬
“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi
pekerti yang agung.” (QS al-Qalam [68]: 4)
38
Namun setelah Islam
masuk Madinah, berkat
Rasulullah saw, Suku
Aus dan Suku Khazraj
yang selama ini
berperang akhirnya
bisa berdamai. Bahkan
keduanya menjadi
pembela setia
Rasulullah dalam
berdakwah sehingga
mereka disebut
dengan kaum Anshar.
Beberapa contoh akhlak mulia Rasulullah saw yang berkenaan
dengan kemanusiaan adalah sebagai berikut:
1. Rasulullah Menghormati Jenazah Seorang Yahudi
Diriwayatkan bahwa suatu hari ada rombongan orang
pembawa jenazah berjalan lewat persis di hadapan Rasulullah
saw. Seketika itu pula beliau bangun berdiri sebagai ungkapan
rasa hormatnya kepada jenazah tersebut. Tetapi kemudian
datang seorang sahabat mendekatinya dan memberitahukan
bahwa jenazah tersebut adalah seorang Yahudi. Rasulullah
dengan tegas menjawab: “Bukankah dia juga adalah manusia”
(H.R. Bukhari Muslim).
2. Rasulullah Memaafkan Penduduk Thaif yang Menolak dan
Mengusirnya
Diceritakan bahwa setelah wafatnya Abu Thalib dan Siti
Khadijah, ulah kaum kafir Quraisy terhadap kaum muslimin
semakin menjadi-jadi. Menyikapi hal tersebut, Rasul berfikir
untuk mencari lahan baru sebagai pusat dakwah. Rasulullah
diberi saran bahwa Thaif dapat menjadi alternatif pusat dakwah,
apalagi dengan kondisi tanahnya yang subur dan baik untuk
perkebunan. Kemudian Rasul pergi ke Thaif untuk mengajak
penduduknya memeluk Islam, ditemani Zaid bin Haritsah. Pada
mulanya penduduk Thaif menyambutnya dengan hangat.
Namun ketika Rasulullah SAW mengutarakan maksud dari
kedatangannya, yaitu untuk mengajak mereka memeluk Islam,
penduduk Thaif menjadi sangat marah. Mereka beramai-ramai
menolak Rasulullah dan mengusirnya dengan kasar; bahkan
anak-anak pun diajak untuk mengusir Rasul. Dengan sangat
sedih, Rasulullah melarikan diri sampai Qarn as-Tsa’alib, dimana
dia berhenti sejenak untuk beristirahat. Dalam peristirahatan
itulah, malaikat Jibril datang untuk menghibur Rasulullah
sambil menawarkan bantuan kepadanya. Jibril berkata bahwa
Allah SWT telah mengutus malaikat penjaga gunung untuk
membantunya.
40
Seketika itu pula malaikat penjaga gunung datang kepada
Rasul dan berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah
telah mendengar makian kaummu kepadamu, dan aku adalah
malaikat penjaga gunung; aku diutus oleh Tuhanku kepadamu
untuk mentaati segala perintahmu, apapun yang kamu
inginkan; jika kamu mau, aku akan menimpakan dua gunung ini
kepada orang-orang yang telah mengusirmu". Rasulullah
Muhammad SAW menolak tawaran malaikat itu dengan penuh
kasih sayang sambil berkata: "Jangan, aku justru berharap agar
Allah menjadikan anak-cucu mereka orang-orang yang hanya
menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan
sesuatu apapun." (H.R. Muslim).¹⁸
3. Memaafkan dan Memintakan Ampun untuk yang Enggan
Masuk Islam
Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud r.a. bahwa: Seolah-olah aku
melihat Nabi mengalami apa yang dialami para Nabi; beliau
dipukuli oleh kaumnya hingga berdarah, kemudian ia
mengusap darah tersebut dari wajahnya dan lalu berkata: “Ya
Allah, ampunilah kaumku, karena mereka ini kaum yang tidak
tahu”. (Muttafaq ‘Alaih).¹⁹
4. Rasulullah Tidak Pernah Memukul dan Menghukum
Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa: “Rasulullah saw samasekali tidak pernah memukul dengan tangannya; tidak
terhadap perempuan (istri), tidak pula terhadap pembantunya,
kecuali ketika berjihad di jalan Allah; Rasulullah juga tidak
pernah menghukum seseorang kecuali telah melanggar hal-hal
yang diharamkan Allah; jadi beliau menghukum karena Allah.”
(H.R. Muslim).²⁰
5. Mengakomodir Perbedaan dalam Membaca al-Qur’an
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab r.a. berkata: Aku
mendengar Hisyam bin Hakim membaca Surat al-Furqan di
masa hidup Rasulullah saw. Lalu aku mendengarkan bacaannya,
ternyata dia membaca dengan huruf (bacaan) yang aneh dan
tidak diajarkan Rasulullah saw. Hampir saja aku melukainya
41
dalam shalat; namun aku bersabar hingga ia mengucapkan
salam (selesai shalat); lalu aku mengikatnya dengan selendang
kemudian aku bertanya: "Siapa yang mengajarimu membaca
Surat yang aku dengar tadi"? Hisyam menjawab: "Aku diajari
bacaan tersebut oleh Rasulullah saw." Lalu aku berkata:
"Bohong kamu karena Rasulullah telah mengajariku bacaan
yang berbeda dengan bacaanmu." Lalu aku bergegas
membawanya kepada Rasulullah saw kemudian aku berkata
kepadanya: "Aku mendengar orang ini (Hisyam) membaca
Surat al-Furqan dengan bacaan-bacaan yang tidak engkau
ajarkan kepadaku." Lalu Rasulullah saw berkata: "Lepaskan dia,
bacalah wahai Hisyam"! Kemudian Hisyam membaca sesuai
dengan yang aku dengar tadi. Kemudian Rasulullah saw
berkata: "Begitulah bacaan tersebut diturunkan." Kemudian
beliau berkata: "Bacalah wahai Umar"! Lalu aku membaca sesuai
dengan yang telah Rasulullah ajarkan kepadaku. Lalu Rasulullah
berkata: "Begitulah bacaan tersebut diturunkan; sesungguhnya
al-Qur'an ini diturunkan dengan tujuh huruf (bacaan), maka
bacalah dengan apa yang mudah darinya”.²¹
6. Mendamaikan Dua Suku yang Bertikai
Sebelum Islam masuk ke Madinah, telah ada dua suku besar
yang mendiami kota tersebut, yaitu Suku Aus dan Suku Khazraj.
Keduanya terlibat persaingan dan pertikaian yang tiada
hentinya. Meskipun telah banyak peperangan di antara
keduanya dan telah banyak pula darah yang ditumpahkan, tak
ada pihak yang dapat mendamaikan kedua suku tersebut.
Namun setelah Islam masuk Madinah, berkat Rasulullah saw,
Suku Aus dan Suku Khazraj yang selama ini berperang akhirnya
bisa berdamai. Bahkan keduanya menjadi pembela setia
Rasulullah dalam berdakwah sehingga mereka disebut dengan
kaum Anshar.²² Begitu juga dalam kasus perkelahian antar
penduduk Quba, Rasulullah berhasil mendamaikannya.
ٍ ْ َ ‫ﻋﻦ َﺳﻬ ِْﻞ ْ ِﻦ‬
َ ْ ‫ ن‬، ‫رﴈ ا ُ َﻋ ْﻨُﻪ‬
‫ﻫﻞ ُﻗ َ ٍﺎء ا ْﻗ َ َ ُﺘﻠﻮا َﺣﱴ‬
َْ
َ ِ َ ‫ﺳﻌﺪ‬
ِ َ َ ‫ﺮاﻣﻮا ِ ْ ِﻟﺤ‬
ُ ُ َ ‫ ﻓَ ْ ِ َﱪ‬، ‫ﺎرة‬
، َ ِ ‫وﺳﲅ ِ َﺑﺬ‬
َ َ َ ‫رﺳﻮل ا ِ َﺻﲆ ا ُ َﻠَ ْ ِﯿﻪ‬
ْ َ ََ
42
َ ََ
‫ُﺼﻠﺢ ﺑ َ ْ ُ َْﳯﻢ‬
ُ ِ ْ ‫ " ْاذﻫ َُﺒﻮا ﺑ َِﻨﺎ ﻧ‬: ‫ﻓﻘﺎل‬
“Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d r.a.: Suatu ketika orang-orang
Quba berkelahi satu sama lain sampai-sampai saling melempar
batu. Ketika hal itu diberitahukan kepada Rasulullah saw, beliau
bersabda:”Mari kita pergi dan mendamaikan mereka”.²³ [3:858SA]
Begitulah kecintaan Rasulullah saw terhadap perdamaian.
Beliau orang yang sangat menghargai perbedaan dan sangat
toleran, dengan non-muslim ataupun dengan sesama muslim.
Sebagai umatnya, sudah sewajarnya kita mencontoh dan
meneladani akhlak luhur ini.
D. PERDAMAIAN DALAM SEJARAH ISLAM
Jika ditelusuri secara mendalam, ternyata sejarah Islam lebih
banyak diwarnai perdamaian. Benar bahwa terjadi banyak
peperangan, tetapi kehidupan umat Islam secara keseluruhan
ketika itu lebih banyak diwarnai suasana damai. Rasulullah saw
diutus menjadi Rasul ketika berumur 40 tahun. Kemudian beliau
berdakwah selama kurang lebih 23 tahun. Dakwah Rasulullah saw
ini bisa dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Makkah dan
periode Madinah. Periode Makkah berlangsung kurang lebih 13
tahun, sedangkan periode Madinah selama kurang lebih 10 tahun.
Berdasarkan sejarah, dakwah Rasulullah saw di Makkah tidak
terjadi peperangan, bahkan Rasul menjadi teladan agung dalam
hal kesabaran, ketabahan dan jiwa pemaaf. Adapun periode
Madinah, memang terjadi banyak peperangan, namun pada
dasarnya Rasulullah lebih mempromosikan perdamaian. Sebagai
contoh adalah apa yang telah dijelaskan di atas mengenai
perdamaian antara suku Aus dan Khazraj.
Islam tidak mendorong orang untuk berperang. Islam selalu
mengajak perdamaian. Peperangan terjadi selama Nabi di kota
Madinah karena umat Islam berusaha membela dirinya dari
serangan kaum Quraisy yang memusuhi mereka dan berjuang
mengembalikan hak yang telah dirampas musuh. Selain itu, umat
Islam terpaksa menempuh jalan perang karena pihak musuh
berniat menghancurkannya dan bermaksud menghalangi mereka
Islam tidak mendorong
orang untuk
berperang. Islam selalu
mengajak perdamaian.
Peperangan terjadi
selama Nabi di kota
Madinah karena umat
Islam berusaha
membela dirinya dari
serangan kaum
Quraisy yang
memusuhi mereka dan
berjuang
mengembalikan hak
yang telah dirampas
musuh.
43
menjalankan agama dan keyakinannya. Sebagaimana yang terjadi
dalam sejarah Islam, bahwa kaum Quraisy menindas kaum
muslimin di Makkah sehingga mereka terpaksa hijrah ke Madinah.
Kaum muslimin pergi ke Madinah meninggalkan harta benda
mereka di Makkah. Mereka tidak membawa apa-apa kecuali untuk
bekal selama di perjalanan. Hal ini disebabkan hijrah bukanlah
rekreasi, namun lebih merupakan pelarian untuk menghindari
penindasan sehingga mereka tidak sempat membawa harta benda
mereka. Nah, peperangan-peperangan yang terjadi di Madinah
lebih disebabkan oleh motif menuntut keadilan agar hak-hak dan
kemerdekaan mereka diberikan dan dipulihkan kembali. Kaum
Muhajirin yang dibantu Anshar ingin mengambil kembali harta
benda dan milik mereka. Namun karena kaum Quraisy
menghalanginya, maka peperangan tak terhindarkan.
Meskipun banyak peperangan, Islam tetap menunjukkan
keluhurannya sebagai agama perdamaian. Contoh nyata dalam hal
ini adalah Piagam Madinah, perjanjian Hudaibiyah, dan
pembebasan kota Makkah (Fathu Makkah).
1. Piagam Madinah
Piagam Madinah
Secara sosial-politik,
Piagam yang kemudian
terkenal dengan nama
Piagam Madinah itu,
bertujuan
menghadirkan
kehidupan sosial yang
stabil, aman dan
sejahtera di kota
Madinah yang dihuni
oleh masyarakat yang
majemuk.
44
Di masa-masa awal kehidupannya di Madinah, Rasulullah telah
menemukan ketidakharmonisan kehidupan masyarakat
Madinah akibat perbedaan keyakinan di antara mereka. Saat itu
belum seluruh penduduk Madinah memeluk Islam.
Keberagaman ini, di satu sisi menunjukkan kehidupan sosial
yang alamiah, tetapi di sisi lain berpotensi menimbulkan
ketegangan dan ketidakstabilan sosial. Untuk menciptakan
situasi yang lebih kondusif, Rasulullah berinisiatif membuat
Piagam yang berlaku untuk semua kalangan, untuk kaum
muslim dan non-muslim. Piagam itu bertujuan melindungi hakhak setiap warga masyarakat untuk berkeyakinan serta
berusaha untuk melindungi jiwa, harta dan kehormatan semua
warga Madinah secara adil dan terhormat. Dengan begitu,
setiap orang merasa diperlakukan secara sama dan adil karena
keberadaan dan hak-haknya diakui dan dilindungi. Secara
sosial-politik, Piagam yang kemudian terkenal dengan nama
Piagam Madinah itu, bertujuan menghadirkan kehidupan sosial
yang stabil, aman dan sejahtera di kota Madinah yang dihuni
oleh masyarakat yang majemuk. Isi Piagam Madinah tersebut di
antaranya:²⁴
ٍ َ ُ ‫ﺘﺎب ِ ْﻣﻦ‬
ِ ‫ِﺴﻢ‬
َ َ .‫اﻟﺮﺣﲓ‬
‫ﷲ َﻠَ ْ ِﯿﻪ‬
ٌ َ ‫ﻫﺬا ِﻛ‬
ُ ‫ﻨﱯ َﺻﲆ‬
ِ َْ ‫ﷲ‬
ِ ْ
ّ ِ ِ ‫ﻣﺤﻤﺪ اﻟ‬
ِ ْ ِ ‫اﻟﺮﲪﻦ‬
‫وﻟﺤﻖ‬
ْ ُ ْ ‫ﺑﲔ‬
َ ِ َ َ ‫وﻣﻦ ﺗَِﺒ َﻌﻬ ُْﻢ‬
َ ِ ْ َ َ ‫ﺴﻠﻤﲔ ِ ْﻣﻦ ُ َﻗﺮ ٍْﺶ‬
ْ َ َ ‫وﯾﱶب‬
َ ْ ِ ِ ْ ‫اﻟﻤﺆ ِﻣ ِ ْ َﲔ َوا ْ ُﻟﻤ‬
َ ْ َ ‫وﺳﲅ‬
َ ََ
ِ ‫دون اﻟ‬
ٌ َ ِ ‫اﳖﻢ ٌﻣﺔ َوا‬
َ َ َ ‫ِ ِ ْﲠﻢ َو‬
.‫ﻨﺎس‬
ِ ْ ُ ‫ﺪة ِ ْﻣﻦ‬
ْ ُ ,‫ﺎﻫﺪ َ َﻣﻌﻬ ُْﻢ‬
“Dengan menyebut nama Allah swt yang maha pengasih lagi
maha penyayang. Piagam ini dari Muhammad yang menjadi
Nabi di antara kaum mukminin dan muslimin dari kalangan
Quraisy dan kalangan Yatsrib dan orang-orang yang mengikuti,
45
menyusuli, dan berperang bersama mereka. Sesungguhnya
mereka satu umat tanpa ada perbedaan.”
َ َ ‫ﻣﻈﻠﻮﻣﲔ‬
َ َ ْ ْ ‫ﻨﴫ َوا‬
‫ﻨﺎﴏ‬
َ ِ َ َ ‫وﻻ ُﻣ‬
َ ْ ِ ْ ُ ْ َ ‫ﺳﻮة َ ْ َﲑ‬
َ ْ ‫َ ْﻣﻦ ﺗَ ِ َﺒﻌ َﻨﺎ ِ ْﻣﻦ َ ُ ْﳞﻮَد َﻓﺎن َ ُ اﻟ‬
‫ﻠﳱﻢ‬
ْ َِْ َ
“Barangsiapa mau megikuti kita dari orang-orang Yahudi, maka
niscaya akan mendapatkan pertolongan dan perlindungan,
tidak akan dizalimi dan tidak akan diperangi.”
ٍ ْ َ ‫دﺑﲏ‬
ِ ْ ُ َ ْ ِ ,‫اﻟﻤﺆ ِﻣ ِ ْ َﲔ‬
, ‫ﺴﻠﻤﲔ ِد ْ ُ ُﳯﻢ‬
ْ ُ ْ ‫ﻋﻮف ٌﻣﺔ َ َﻣﻊ‬
َ ْ ِ ِ ْ ‫ َو ِ ْ ُﻠﻤ‬,‫ﻠﳱﻮد ِد ْ ُ ُ ْﳯﻢ‬
ْ ِ َ َ ‫ٕان َ ُ ْﳞﻮ‬
ٍ ْ َ ‫َﳱﻮد َ ِ ْﺑﲏ‬
ِ ْ ُ ِ ‫اﻟﻤﻌﺎﻫﺪ ْ َﻦ َﻣﺎ‬
ِ ْ ُ ْ ‫ ِﻟ َ ِﺒﻘ ِﺔ ا‬.‫ َو ﻧ ُْﻔ ِﺴﻬ ِْﻢ‬,‫َ َﻣﻮا ِ ْ ِ ْﳱﻢ‬
ِ ِ َ ُ ْ ‫َﳱﻮد‬
‫ﻋﻮف‬
“Sesungguhnya Yahudi dari klan bani Auf adalah satu umat
bersama orang-orang mukmin. Orang Yahudi dapat memeluk
agamanya. Orang Islam mempertahankan agamanya, baik
kaum Muslimin sendiri maupun budak-budak mereka. Untuk
Yahudi yang mengadakan perjanjian damai mendapatkan
aturan yang sama dengan aturan yang berlaku bagi Yahudi bani
Auf.”
ِ ْ ُ َ ْ ‫ٔن َ َﲆ ا‬
‫ﴫ َ َﲆ‬
َ ْ ِ ِ ْ ‫َﻔﻘﳤﻢ َو َ َﲆ ا ْ ُﻟﻤ‬
َ ْ ‫ﳯﻢ اﻟﻨ‬
ْ ُ ُ َ َ ‫ﺴﻠﻤﲔ ﻧ‬
ْ ُ ُ َ َ ‫ﳱﻮد ﻧ‬
ُ ُ َ ْ َ ‫ َو ن ﺑ‬,‫َﻔﻘﳤﻢ‬
ِ َ ْ ‫ﻟﺼﺤ‬
ِ ِ َ ‫ﻫﻞ‬
ِ ‫ﻫﺬﻩ ا‬
َ ْ ‫ﺎرب‬
‫واﻟﱪ‬
ِ ْ َ ‫ﻨﺼﺢ َواﻟ ِﻨﺼ ْﯿ َ َﺔ‬
َ َ َ ‫َ ْﻣﻦ‬
َ ْ ‫ﳯﻢ اﻟ‬
ُ ُ َ ْ َ ‫ َو ن ﺑ‬,‫ﯿﻔﺔ‬
‫اﻻﰒ‬
َ ُْ
ِ ْ ْ ‫دون‬
“Nafkah orang Yahudi ditanggung sendiri. Nafkah kaum
muslimin juga di tanggung sendiri, dan di antara mereka semua
(muslim dan non-muslim) wajib membantu satu sama lain
dalam melawan siapapun yang menentang dan melanggar isi
piagam ini, dan mereka semua berhak saling memberi saran,
nasihat dan kebaikan serta tidak melakukan pelanggaran.”
ِ َ ْ ‫ﻟﺼﺤ‬
ِ ِ َ ‫ﻫﻞ‬
ِ ‫ﻫﺬﻩ ا‬
ِ ْ ‫ َوان اﻟْ َ َﺎر َﰷﻟ‬,‫ﯿﻔﺔ‬
‫ﻨﻔﺲ َ ْ ُﲑ‬
ِ ْ ِ ‫ﺟﻮﻓُﻬَﺎ‬
َ ِ ْ َ ‫َوان‬
ٌ َ َ ‫ﯾﱶب‬
ْ َ ‫ﺣﺮام‬
ٌ َ ْ ُ ‫ﻻﲡﺎر‬
‫ذن ْ ِﻫﻠﻬَﺎ‬
ٍ َ ‫ُﻣ‬
ِ ْ ِ ‫ﺣﺮﻣﺔ اﻻ‬
ُ َ ُ َ ‫ َواﻧُﻪ‬,‫ﻀﺎر َو ٓ ِ ٍﰒ‬
“Dan sesungguhnya Yatsrib tidak boleh dizalimi oleh siapapun
yang berada dalam naungan Piagam ini. Tetangga adalah
seperti diri sendiri, tidak boleh disakiti atau dizalimi. tidak boleh
memasuki wilayah pribadi tetangganya tanpa seizin yang
berhak.”
ِ َ ْ ‫ﻟﺼﺤ‬
ِ ِ َ ‫ﻫﻞ‬
ِ ‫ﻫﺬﻩ ا‬
ٍ َ َ ‫ﯿﻔﺔ ِ ْﻣﻦ‬
ُ َ ُ ‫ﺪث ِوا ْﺷ ِﺘ َ ٍﺎر‬
‫ﳜﺎف‬
ِ ْ ‫ﺑﲔ‬
َ ْ َ ‫ﰷن‬
َ َ ‫َوان َﻣﺎ‬
46
َ َ ‫ﷲ َﻋﺰ َو َ ﻞ‬
ِ ‫رﺳﻮل‬
ٍ َ ُ ‫واﱃ‬
ِ ‫ﻓَ َﺴﺎ ُ ُدﻩ َﻓﺎن َ َﻣﺮ ُدﻩ َاﱃ‬
ِ ْ ُ َ ‫ﻣﺤﻤﺪ‬
‫ﷲ‬
ُ ‫ﷲ َﺻﲆ‬
.‫وﺳﲅ‬
َ َ َ ‫َﻠَ ْ ِﯿﻪ‬
“Dan apabila terjadi insiden atau konflik yang dikhawatirkan
menimbulkan kekacauan, maka masalah ini akan diselesaikan
dengan mengacu kepada (ketentuan) Allah dan Rasul utusan
Allah.”
Terwujudnya Piagam Madinah yang dibuat Rasulullah saw
merupakan bukti bahwa Islam menaruh perhatian serius
terhadap hak-hak asasi manusia dan menganggap bahwa
kehidupan sosial yang baik dan harmoni wajib diwujudkan
dengan kontrak-kontrak sosial yang dapat diterima dan
mengikat semua kelompok, serta harus dihormati semua pihak.
Piagam Madinah merupakan produk politik dan hukum yang
sangat maju di zamannya yang sesuai dengan nilai-nilai
demokrasi dan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) yang baru
ditemukan dan diperjuangkan oleh masyarakat internasional di
abad ke-20. Dengan Piagam itu, Rasulullah ingin menyatakan
kepada kelompok-kelompok non-muslim bahwa Islam
bukanlah ancaman bagi mereka, karenanya kehadirannya tidak
perlu ditakuti. Islam adalah rahmatan lil alamin. Tetapi dengan
Piagam itu pula Rasulullah ingin mengajarkan kepada segenap
warga Madinah yang beragam itu agar mereka berkomitmen
untuk hidup bersama secara beradab dengan membuat
kontrak-kontrak sosial yang dihormati dan dipatuhi.
2. Perjanjian Hudaibiyah
Peristiwa ini terjadi pada tahun 6 hijriyah. Ringkasnya, ketika itu
Rasulullah beserta rombongan dari Madinah pergi ke Makkah
untuk melaksanakan umroh. Namun di Makkah telah tersiar
kabar tersebut dan kaum Quraisy menolak rencana kedatangan
Rasul. Mereka bahkan menyiapkan pasukan untuk
menghalanginya. Namun, untuk mencegah terjadinya
peperangan, Rasulullah kemudian mengusulkan dibuatnya
suatu kesepakatan atau perjanjian perdamaian yang dikenal
dengan nama perjanjian Hudaibiyah. Isi dari perjanjian ini
adalah sebagai berikut: (1) Tahun ini Nabi dan rombongan
47
mengurungkan niatnya untuk umroh dan kembali ke Madinah,
dan sebagai gantinya umroh bisa dilaksanakan tahun depan; (2)
mengadakan genjatan senjata (berdamai) selama 10 tahun; (3)
setiap orang yang terikat pada perjanjian ini bebas untuk
memilih, memilih bergabung dengan kubu Rasulullah atau
kubu Quraisy; dan (4) kaum Quraisy yang melarikan diri ke
Madinah maka harus ditolak, sedangkan kaum Muslimin yang
melarikan diri ke Makkah maka harus diterima.²⁵
Di sinilah terlihat keluhuran Islam di mana Nabi saw memilih
untuk mengalah daripada berperang. Nabi bersedia kembali ke
Madinah dan mengurungkan niatnya untuk melaksanakan
umroh. Nabi juga bersedia menerima kesepakatan yang
keempat yang sebenarnya merugikan kaum muslimin, karena
dengan poin itu seolah-olah Rasulullah memperbolehkan
orang untuk murtad dan melarang orang Quraisy masuk Islam.
Meski terlihat merugikan kaum muslimin, namun demi
perdamaian, Nabi menyetujui kesepakatan tersebut.
Hak yang Adil
Sesungguhnya Yahudi
dari klan bani Auf
adalah satu umat
bersama orang-orang
mukmin. Orang Yahudi
dapat memeluk
agamanya. Orang
Islam
mempertahankan
agamanya, baik kaum
Muslimin sendiri
maupun budak-budak
mereka. Untuk Yahudi
yang mengadakan
perjanjian damai
mendapatkan aturan
yang sama dengan
aturan yang berlaku
bagi Yahudi bani Auf.
Sifat mengalah Nabi juga terlihat ketika proses penulisan
kesepakatan. Pihak kaum muslimin menginginkan agar
kesepakatan ini ditulis dengan mencantumkan
Bismillahirrahmanirrahim, namun pihak Quraisy menolaknya.
Mereka minta cukup dituliskan Bismika Allahumma. Terjadi
perselisihan ketika itu, namun kemudian Nabi melerai dan
menerima permintaan pihak Quriasy.²⁶ Perselisihan juga terjadi
ketika nama Nabi akan dituliskan. Kaum Muslimin
menginginkan dituliskannya nama Muhammad Rasulullah,
namun kaum Quraisy menolaknya, dan mengusulkan cukup
dituliskan Muhammad bin Abdillah. Lagi-lagi Nabi mengalah
dan menerima permintaan pihak Quraisy. Nabi melakukan
semua ini karena melihat kebaikan (mashlahat) yang lebih besar
daripada hanya memasukkan pendapat dan memperkuat
identitasnya. Mashlahat tersebut adalah perdamaian.
3. Pembebasan Kota Makkah (Fathu Makkah)
Peristiwa ini terjadi pada tahun 8 hijriyah dan masih terkait
dengan perjanjian Hudaibiyah. Sebagaimana disebutkan dalam
48
perjanjian Hudaibiyah, bahwa semua pihak sepakat untuk
berdamai selama 10 tahun. Namun ternyata kaum Quraisy
melanggar perjanjian itu. Mereka menyerang salah satu sekutu
Islam, yaitu Kabilah Bani Khuza’ah. Mendengar kejadian ini,
Rasulullah saw marah dan menyiapkan bala tentara besar untuk
melakukan pembalasan sekaligus membebaskan kota Makkah.
Ada sekitar 10 ribu pasukan yang dipimpin langsung oleh
Rasulullah saw menuju Makkah.
Namun demikian, tidak terjadi perlawanan besar pada peristiwa
ini karena kaum Quraisy tidak melakukan perlawanan. Nabi pun
telah memerintahkan kepada semua pasukan untuk tidak
menyerang jika tidak diserang. Rasulullah memasuki kota
Makkah tanpa perlawanan. Di sinilah terlihat kebesaran Nabi
dan keagungan ajaran Islam. Nabi melarang pasukan Islam
membunuh kaum wanita, anak-anak dan orang tua. Nabi juga
melarang pasukan merusak bangunan dan menebang pohon.
Rasulullah saw masuk Masjidil Haram yang di dalamnya telah
berkumpul banyak penduduk Makkah sebagai bangsa yang
kalah perang. Lagi-lagi di sini Rasulullah saw menunjukkan
kebesaran beliau sebagai panutan seluruh umat manusia. Bisa
saja Nabi menjadikan mereka sebagai tawanan perang atau
budak sebagaimana berlaku saat itu. Namun Nabi sama sekali
tidak melakukannya. Rasulullah sebaliknya memaafkan dan
membebaskan mereka semuanya. Nabi berkata kepada
mereka: “Wahai kaum Quraisy, kalian pikir, apa yang akan aku
lakukan pada kalian?" Mereka menjawab: "Kebaikan, (karena
engkau) saudara (kami) yang mulia dan anak saudara (kami)
yang mulia." Rasulullah kemudian berkata: "Aku mengatakan
kepada kalian sebagaimana (nabi) Yusuf berkata kepada
saudara-saudaranya, tidak ada cercaan bagi kalian, pergilah,
kalian adalah orang-orang yang bebas.”²⁷
Melalui Piagam
Madinah, Rasulullah
ingin mengajarkan
kepada segenap warga
Madinah yang
beragam itu agar
mereka berkomitmen
untuk hidup bersama
secara beradab dengan
membuat kontrakkontrak sosial yang
dihormati dan
dipatuhi.
4. Keteladanan Umar bin Khattab
Jiwa besar Nabi saw sebagai orang yang sangat menghargai
kemanusiaan dan perdamaian diteladani generasi setelahnya.
Salah satunya adalah Umar bin Khattab. Meskipun dikenal
49
Teladan
Khalifah Umar
Salah satu ucapan
Umar yang sangat
terkenal hingga
sekarang adalah
ucapannya kepada
Amru bin Ash, salah
satu panglima besar
Islam. Kepadanya Umar
berkata: "Mengapa
kalian menjadikan
penduduk tersebut
sebagai budak,
padahal ibu-ibu
mereka telah
melahirkan mereka
dalam keadaan
merdeka”.
keras, namun dia sangat menghargai kemanusiaan. Umar bin
Khattab adalah khalifah kedua menggantikan Abu Bakar asShiddiq. Pada masanya, banyak kemajuan yang berhasil
dibuatnya. Selain perluasan wilayah kekuasaan hingga Mesir,
kebijakan-kebijakan yang dibuatnya masih dikenang hingga
sekarang. Umar adalah khalifah yang tegas dan disiplin, namun
demikian dia juga sederhana dan penuh kasih sayang.
Umar adalah contoh agung toleransi dalam sejarah Islam.
Dikisahkan bahwa pada suatu hari khalifah kedua ini berjalanjalan menyusuri kota Madinah seperti kebiasaannya untuk
mengamati keadaan rakyatnya. Beliau terkejut ketika melihat
seorang lelaki Yahudi tua renta yang tergeletak di pinggir jalan.
Dia kemudian bertanya kepadanya apa yang membuatnya
seperti itu? Ternyata orang Yahudi tersebut menderita karena
jatuh miskin. Umar sangat sedih melihatnya, dan memutuskan
untuk memberinya makanan secara tetap, dari Baitul Mal untuk
membantu agar orang tua tersebut dapat hidup secara layak.
Bukan hanya itu, Umar juga membebaskannya dari kewajiban
membayar pajak negara (jizyah).²⁸
Contoh lain dari jiwa kemanusiaan Umar adalah sikapnya
terhadap penduduk di daerah yang ditaklukkan pasukan Islam.
Biasanya Umar tidak mau menjadikan mereka sebagai budak
dan selalu berpesan kepada pasukannya untuk berbuat baik
terhadap penduduk setempat. Salah satu ucapan Umar yang
sangat terkenal hingga sekarang adalah ucapannya kepada
Amru bin Ash, salah satu panglima besar Islam. Kepadanya
Umar berkata:
‫ﻣﱴ اﺳ ﺘﻌﺒﺪﰎ اﻟﻨﺎس وﻗﺪ و ﲥﻢ ٔ ﺎﲥﻢ ٔﺣﺮارا ؟‬
“Mengapa kalian menjadikan penduduk tersebut sebagai budak,
padahal ibu-ibu mereka telah melahirkan mereka dalam
keadaan merdeka?”²⁹
5. Toleransi Ulama Madzhab
Sikap toleransi dan perdamaian juga diperlihatkan para ulama
madzhab. Terdapat empat ulama madzhab yang terkenal yaitu:
50
Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali.
Meskipun mereka saling berbeda dalam perumusan dan
pemahaman hukum-hukum fikih, namun mereka saling
menghargai dan saling menghormati. Mereka hanya berijtihad
dengan ilmu pengetahuan dan pemahaman mereka, dan tidak
pernah memaksakan pendapatnya. Mereka mempersilahkan
setiap orang untuk bebas mengikuti atau tidak mengikuti
pendapat mereka karena sadar bahwa hasil ijtihad itu belum
tentu benar. Beberapa sikap mereka yang mencerminkan
toleransi dan kedewasaan, di antaranya adalah sebagai berikut:
Ulama Madzhab
Para ulama madzhab
mempersilahkan setiap
orang untuk bebas
mengikuti atau tidak
mengikuti pendapat
mereka karena sadar
bahwa hasil ijtihad itu
belum tentu benar
a. Saling menimba ilmu satu dari yang lainnya
Berdasarkan sejarah, Imam Syafi’i tidak bertemu dengan
Imam Hanafi. Imam Syafi’i lahir pada tahun di mana Imam
Hanafi wafat. Namun Imam Syafi’i sangat ingin menimba
ilmu dari Imam Hanafi karena mengetahui bahwa dia adalah
salah satu ulama besar. Akhirnya Imam Syafi’i berguru
kepada salah satu murid besar Imam Hanafi yang bernama
Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani. Muhammad bin alHasan ini bisa dikatakan tangan kanan Imam Hanafi. Dalam
Kitab al-Umm, Imam Syafi’i banyak menukil dari
Muhammad bin al-Hasan ini. Selain itu, Imam Syafi’i juga
berguru kepada Imam Maliki. Bahkan dia menghafal kitab
Muwatta’nya Imam Maliki. Diceritakan oleh Imam Nawawi
bahwa: “as-Syafi'i pergi ke Madinah untuk berguru kepada
Abi Abdillah, Malik bin Anas Rahimahullah; ketika sampai di
sana, as-Syafi'i membacakan Kitab Muwatta' kepada Imam
Malik secara hafalan; Imam Malik kagum dengannya; lalu asSyafi'i belajar tekun dengannya. Imam Malik berpesan
kepada as-Syafi'i: Bertaqwalah kamu kepada Allah dan
jauhilah kemaksiatan karena kelak kamu menjadi orang
yang berpengaruh.”³¹
Saling belajar juga berlaku antara Imam Syafi’i dan Imam
Hanbali. Keduanya saling menghargai dan saling
menghormati. Salah seorang murid Imam Syafi’i yang
benama az-Za’farani bercerita: “Aku tidak membaca kepada
51
Imam Syafi'i kecuali ketika itu hadir Imam Hanbali; dan aku
tidak pergi ke majlis Imam Syafi'i kecuali ketika itu Imam
Hanbali hadir di situ.”³²
Adapun bergurunya Imam Syafi'i kepada Imam Hanbali
diceritakan oleh murid-murid Imam Hanbali. Bahwa pada
suatu hari Imam Syafi'i mendatangi Imam Hanbali dan
berkata: "Pada suatu hari aku membahas suatu masalah
bersama penduduk Irak, andai saja aku memiliki Hadits
Rasulullah saw saat itu"; kemudian Imam Hanbali
memberikan 3 Hadits kepada Imam Syafi'i; lalu Imam Syafi'i
berterima kasih padanya.³³
b. Saling menghormati dan saling memuji
Diceritakan bahwa Imam Syafi’i suka memuji Imam Hanafi. Ia
berkata: “Semua makhluk itu pengikut Abu Hanifah, barang
siapa yang ingin mendalami fikih maka ikutilah Abu
Hanifah.”³⁴ Imam Syafi'i juga berceritera bahwa Imam Maliki
juga sangat hormat kepada Imam Hanafi. Pernah suatu hari
Imam Maliki ditanya mengenai Imam Hanafi. Imam Maliki
menjawab: "Iya, aku melihat seorang lelaki yang sangat kuat
argumennya."³⁵
Imam Hanbali juga sangat memuji Imam Syafi’i. Imam
Hanbali berkata: “Sesungguhnya Allah telah
menganugrahkan pada diri Syafi’i segala kebaikan.”³⁶
Sebaliknya, Imam Syafi’i juga sangat memuji Imam Hanbali.
Imam Syafi’i berkata: “Ahmad bin Hanbal adalah seorang
imam dalam sembilan perkara; imam dalam hal hadits, fikih,
bahasa, al-Qur'an, imam dalam hal kefakiran (merasa butuh
dengan Allah), imam dalam hal zuhud, wara’ (sikap kehatihatian) dan dalam hal sunnah.”³⁷
c. Sangat toleran dalam hal berpendapat
Para ulama Madzhab menyadari bahwa hasil ijtihad itu tidak
pasti benar. Yang pasti benar hanyalah dari Allah. Sedangkan
pikiran manusia bersifat relatif. Sesuatu yang dianggap
52
benar oleh seseorang bisa jadi dianggap salah oleh orang
lain. Jargon umum yang dipakai oleh para ulama madzhab
yaitu:
‫ ور ٔى ﲑى ﺧﻄ ٔ ﳛﳣﻞ اﻟﺼﻮاب‬، ٔ ‫ر ٔﱙ ﺻﻮاب ﳛﳣﻞ اﳋﻄ‬
“Pendapatku itu benar, namun mungkin juga salah;
sedangkan pendapat orang lain itu salah, namun mungkin
juga benar.”³⁸
Contoh paling kongkret dari toleransi ulama madzhab
adalah sikap Imam Syafi’i. Imam Syafi'i tidak membaca doa
Qunut dalam shalat Subuh ketika berziarah ke makam Imam
Hanafi, yaitu tepatnya di Masjid Abu Hanifah, padahal dia
berpendapat bahwa Qunut itu Sunnah Muakkadah. Ketika
ditanya mengenai hal ini, Imam Syafi'i menjawab: “Aku
meninggalkannya karena menghormati orang yang berada
di makam ini (Imam Hanafi)”.³⁹
Wali Songo
6. Toleransi Ulama Nusantara
Toleransi dan prinsip perdamaian juga dipraktikkan dengan
baik oleh ulama-ulama nusantara. Masuknya Islam ke Jawa
merupakan bukti nyata bagaimana toleransi dan perdamaian
lebih diutamakan. Sebelum datangnya Islam ke Jawa,
penduduk Jawa telah memeluk agama Hindu dan Budha.
Kemudian datanglah para ulama yang dikenal dengan Wali
Songo untuk menyebarkan Islam di tanah Jawa. Berbeda
dengan penyebaran Islam di daerah-daerah Timur Tengah yang
dilalui melalui peperangan, Islam berhasil masuk dan
disebarkan ke Jawa dengan jalan damai. Para ulama Jawa yang
dikenal dengan nama Wali Songo tersebut menyebarkan Islam
di Jawa dengan cara-cara yang menghormati budaya setempat
(pendekatan kultural), yang santun dan tanpa kekerasan. Ulama
Wali Songo sangat menghormati tradisi dan budaya lokal.
Mereka tidak menyudutkan praktik-praktik yang hidup dalam
masyarakat meskipun bertentangan dengan syariat Islam.
Sebaliknya, mereka membiarkan praktik-praktik tersebut
sambil berusaha memasukkan nilai-nilai Islam ke dalamnya.
Wali Songo sangat
menghormati tradisi
dan budaya lokal.
Mereka tidak
menyudutkan praktikpraktik yang hidup
dalam masyarakat
meskipun
bertentangan dengan
syariat Islam.
Sebaliknya, mereka
membiarkan praktikpraktik tersebut sambil
berusaha memasukkan
nilai-nilai Islam ke
dalamnya. Upaya ini
ternyata sangat manjur.
Dengan begitu orang
Jawa lebih mudah
menerima Islam karena
mengganggap bahwa
Islam tidak
mengganggu adatistiadat dan budaya
mereka.
53
Upaya ini ternyata sangat manjur. Dengan begitu orang Jawa
lebih mudah menerima Islam karena mengganggap bahwa
Islam tidak mengganggu adat-istiadat dan budaya mereka.
Lihat saja apa yang dilakukan Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus.
Sunan Kalijaga berdakwah dengan gamelan sekaten-nya. Atas
usul Sunan Kalijaga, diadakanlah acara “sekaten” untuk
memperingati hari lahir Nabi Muhammad saw. Kata “sekaten”
sebenarnya berasal dari kata syahadatain yang berarti dua
kalimat syahadat. Acara sekaten sampai sekarang masih
diadakan di alun-alun Yogyakarta sebagai peringatan maulid
Nabi Muhammad saw. Dulunya, acara sekaten ini dilaksanakan
dengan menabuh gamelan dengan langgam Jawa yang telah
lazim di masa itu. Akan tetapi langgam Jawa tersebut diisi
dengan ajaran-ajaran Islam. Dengan acara sekaten ini, Sunan
Kalijaga berhasil menarik minat penduduk setempat untuk
lebih mengenal Islam.⁴⁰
Sunan Kalijaga juga mengarang lakon-lakon wayang baru yang
isinya diubah dan dimasuki ajaran-ajaran Islam. Dalam
menyelenggarakan pagelaran wayang, upah sebagai dalang
adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. Dengan kalimat
syahadat, Sunan Kalijaga baru bersedia dipanggil untuk
memainkan lakon wayang. Pendekatan berdakwah yang
toleran seperti inilah yang dapat membuat orang Jawa masuk
Islam.⁴¹
Mirip dengan Sunan Kalijaga, Sunan Kudus juga sangat
bersikap toleran terhadap masyarakat setempat yang
beragama Hindu dan Budha. Sampai sekarang, di kalangan
masyarakat Kudus terdapat tradisi pelarangan menyakiti,
bahkan menyembelih sapi. Pelarangan ini adalah salah satu
bentuk toleransi yang ditunjukkan Sunan Kudus, yang juga
bernama Sayyid Ja’far Shodiq. Sikap toleran Sunan Kudus juga
terlihat dari dibuatnya Masjid Menara Kudus dengan arsitektur
yang dipengaruhi arsitektur Hindu. Padasan atau keran untuk
wudlu yang dibuat berjumlah delapan. Ini untuk mengadopsi
ajaran Asta Sanghika Marga (Delapan Jalan Utama) orang
54
Hindu. Hasil dari toleransi itu adalah berkembangnya Islam
dengan cepat tanpa adanya paksaan di daerah-daerah dakwah
Sunan Kudus.⁴²
Toleransi dan sikap damai ini juga dipraktikkan oleh para kiai,
salah satunya adalah K.H. Hasyim Asyari. K.H. Hasyim dikenal
sebagai ulama yang sangat toleran terhadap perbedaan
mazhab. Meski termasuk pendiri Nahdatul Ulama (NU) yang
banyak mengikuti pendapat Imam Syafi’i, namun dengan tegas
ia menyeru ulama NU untuk menjauhi sifat fanatik buta
terhadap satu mazhab. Mengenai hal ini, K.H. Hasyim Asyari
mengatakan: “Wahai para ulama yang fanatik terhadap
madzhab-madzhab atau terhadap suatu pendapat,
tinggalkanlah kefanatikanmu terhadap urusan furu’ (cabang
agama), dimana para ulama telah memiliki dua pendapat atau
lebih yaitu; setiap mujtahid itu benar; dan pendapat lain
mengatakan: mujtahid yang benar itu satu, akan tetapi
pendapat yang salah itu tetap diberi pahala. Tinggalkanlah
fanatisme dan hindarilah jurang yang merusakkan ini
(fanatisme)”.⁴³
Seruan tersebut tidak hanya dituangkan dalam tulisan, namun
juga dipraktikkannya dalam kehidupan. Menurut K.H.
Shalahuddin Wahid, suatu ketika K.H. Hasyim Asyari akan
kedatangan seorang ulama bernama K.H. Abdurrahman
Syamsuri dari Pondok Pesantren Muhammadiyah, Paciran
Lamongan, Jawa Timur. Ketika itu K.H. Hasyim dengan K.H.
Abdurrahman berbeda pendapat mengenai hukum memukul
bedug sebelum adzan. K.H. Abdurrahman berpendapat bahwa
memukul kentongan sebelum adzan tidak diperbolehkan.
Sedang K.H. Hasyim memperbolehkannya dengan syarat itu
bukan bagian dari ibadah sholat. Karena tahu K.H.
Abdurrahman hendak bersilaturahim ke pesantrennya, K.H.
Hasyim mengintruksikan kepada masjid Nahdliyin di sepanjang
jalan yang akan dilalui oleh K.H. Abdurrahman untuk
menyimpan beduk dan tidak membunyikannya. Hal itu
dilakukan untuk menghormati tokoh Muhammadiyah tersebut.
Hal yang sama juga dilakukan oleh K.H. Abdurrahman ketika
KH. Hasyim Asy’ari
K.H. Hasyim Asyari
mengatakan: “Wahai
para ulama yang
fanatik terhadap
madzhab-madzhab
atau terhadap suatu
pendapat,
tinggalkanlah
kefanatikanmu
terhadap urusan furu’
(cabang agama),
dimana para ulama
telah memiliki dua
pendapat atau lebih
yaitu; setiap mujtahid
itu benar; dan
pendapat lain
mengatakan: mujtahid
yang benar itu satu,
akan tetapi pendapat
yang salah itu tetap
diberi pahala.
Tinggalkanlah
fanatisme dan
hindarilah jurang yang
merusakkan ini
55
K.H. Hasyim Asyari bersilaturahim ke pesantrennya. Seluruh
masjid Muhammadiyah yang akan dilalui K.H. Hasyim
diperintahkan untuk memasang beduk sebagai bentuk
penghormatan kepada tokoh NU tersebut.⁴⁴
Demikianlah, sejak dahulu ulama nusantara telah banyak
mempraktikkan toleransi dalam beragama dan berdamai
terhadap orang lain yang berbeda pandangan. Alangkah baik
dan indahnya jika sikap ini terus kita jaga dan kita praktikkan
dalam keseharian kita.
E. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an dan Hadits
memiliki sikap yang jelas dan tegas soal toleransi dan perdamaian.
Apa yang dimiliki Islam baik sebagai aturan dan hukum (sistem
norma) ataupun sejarahnya, sangatlah jelas. Bahwa Islam
menganggap perdamaian dan toleransi sebagai hal penting untuk
mewujudkan dan menjamin kehidupan yang baik bagi umat
manusia yang berbeda-beda keyakinan dan identitas. Islam juga
berpendapat bahwa aspek kemanusiaan sangatlah penting
terutama dalam menyikapi-perbedaan-perbedaan atas dasar
ajaran-ajaran agama. Islam berpandangan bahwa setiap orang
berhak untuk berpendapat ataupun menempuh jalan yang
berbeda, tetapi yang terpenting adalah bahwa pendapat dan
pilihan setiap orang itu haruslah dihormati dan dihargai.
Perdamaian telah dipraktikkan dari zaman Nabi Muhammad saw,
para sahabat, pada ulama madzhab, dan para ulama nusantara.
Beberapa hal di bawah ini perlu menjadi perhatian kita bersama,
yaitu:
1. Islam berpandangan sangat positif terhadap prinsip-prinsip
toleransi, ishlâh, dan perdamaian dalam urusan kehidupan
ataupun dalam urusan keagamaan.
2. Hal-hal ini telah dipraktikkan dengan baik dalam sejarah
masyarakat Islam, yaitu oleh Rasulullah saw, oleh para
khulafa’urrasyidin dan oleh para ulama, baik ulama klasik
maupun ulama nusantara.
56
3. Prinsip-prinsip tersebut perlu dijaga, diamalkan dan
disebarluaskan di semua waktu dan tempat oleh umat Islam
sebagai bentuk kebanggaan kita terhadap ajaran dan
pengalaman-pengalaman baik dari sejarah masyarakat Islam.
Dan sebagai akhirul kalam, perlu ditegaskan lagi bahwa
peperangan pada dasarnya tidak dikehendaki sebagaimana
dicontohkan Rasulullah saw ketika ber sepakat untuk
menandatangani Perjanjian Hudaibiyah. Bagi Islam, peperangan
hanya merupakan alternatif terakhir apabila perdamaian atau
ishlâh gagal diwujudkan. Sebagaimana telah dinyatakan di atas,
bahwa perang dalam Islam hanyalah bertujuan untuk melindungi
diri dan menolak kezaliman. Karena itu, yang perlu diperlihatkan
dalam pergaulan sehari-hari adalah prinsip menghargai orang lain
dengan merayakan kebersamaan dan bukan untuk membesarbesarkan apalagi mempermasalahkan perbedaan–perbedaan
yang ada.
Dengan perdamaian, kita bisa hidup rukun, aman, dan tenang.
Dengan perdamaian pula, kita bisa bekerjasama dalam
melaksanakan pembangunan dan menggapai kemajuan sebagai
wujud dari amal saleh yang berkelanjutan. Pada akhirnya, dengan
perdamaian, misi sejati Islam sebagai rahmatan lil alamin akan
bermakna karena kita mampu menggerakkannya dalam sikap dan
perilaku damai dan toleran kita.
Catatan:
¹
Muhammad bin Abdillah Ibnu ‘Arabi, Ahkâm al-Qur’ân (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah,
2003) cet. 3, vol. 2, hal. 60-61.
²
Ibrahim Madkour, Al-Mu’jam al-Wajîz (Mesir: Lembaga Bahasa Arab, tt) hal. 319.
³
Ismail bin Umar Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm (Riyad: Dar at-Tibah, 1999) vol.
4, hal. 261.
⁴
Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Ghazali Menjawab 100 Soal Keislaman (Tangerang:
Penerbit Lentera Hati, 2010), hal.172.
⁵
Ibid, hal. 173.
⁶
Shalih Bin Abdullah dan Khathib Al-Haram, Nadhratu An-Na'îm Fî Makârim Akhlâq
Ar-Rasûl (Jeddah: Dar Al-Wasiilah, t.t), cet IV, jil. 2, hal. 364.
⁷
Ibrahim Madkour, Al-Mu'jam Al-Wajîz, hal. 518.
⁸
Shalih Bin Abdullah dan Khathib Al-Haram, Nadhratu An-Na'îm, hal. 364.
⁹
Fahd Bin Furaij Al-Ma'la, Fannu Al-Ishlâh Baina An-Nâs (Al-Maktabah AsySyaamilah), hal. 4.
57
¹⁰ Muhammad Zaki, Mu'jam Kalimât Al-Qur'an Al-Karîm (Al-Maktabah Asy-Syaamilah),
jilid. 1, hurup shad, hal. 6.
¹¹ Ismail bin Umar Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’an al-Azhîm, vol. 3, hal. 92.
¹² Sunan at-Tirmidzi, Bab Fi Fadli as-Syam wa al-Yaman, Hadits no. 4336. Imam Tirmidzi
berkata bahwa Hadits ini adalah Hadits Hasan yang Gharib.
¹³ Shahih Muslim, Kitâb al-Birr wa as-Shilâh wa al-Adab, Bâb Tahrim Dzulmi al-Muslim,
Hadits no. 6708.
¹⁴ Shahih Bukhari, Hadits no. 2442 dan Shahih Muslim, Hadits no. 2580
¹⁵ Shahih Muslim, Kitâb al-Birr wa as-Shilâh wa al-Adab, Bab Istihbâb al-‘afwi wa atTawadlu’, Hadits no. 6757
¹⁶ Shahih Muslim, Kitâb al-Îmân, Bâb Bayân Tafadhul al-Islâm, Hadits no. 171
¹⁷ Lihat Shahih Bukhari, Kitâb al-Janâ`iz, Bâb Man Qâma Li Janâzah Yahûdiy, Hadits no.
1312. Lihat juga Shahih Muslim, Kitâb al-Janâ`iz, Bâb al-Qiyâm Li al-Janâzah, Hadits
no. 2269
¹⁸ Lihat Shahih Muslim, Kitâb al-Jihâd wa as-Siyâr, Bâb Mâ Laqiya an-Nabiy min Adza
al-Musyrikîn wa al-Munâfiqîn, Hadits no. 4754.
¹⁹ Shahih Bukhari, Kitâb AHadîts al-Anbiyâ, Bâb Haddatsanâ Abul Yâman, Hadits no.
3477; shahih Muslim, Kitâb al-Jihâd wa as-Siyâr, Bâb Ghazwât Uhud, Hadits no. 4747.
²⁰ Shahih Muslim, Kitâb al-Fadhâil, Bâb Mubâ'adatihî li al-Atsam wa ikhtiyârihî min alMubâh Ashalahu, Hadits no. 6195.
²¹ HR. Bukhari Muslim dengan redaksi Bukhari. Shahih Bukhari, Kitâb Fadhâil al-Qur’ân,
Bâb Unzila al-Qur’^an ‘Alâ Sab’at Ahruf, Hadits no. 4992.
²² Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, op cit, vol. 2, hal. 90.
²³ Imam Az-Zabidi, Ringkasan Shahih al-Bukhari (Bandung: Penerbit Mizan, 2013), hal.
559.
²⁴ Al-Buthy, Fiqhus Sirah, Fikih Sirah, Jakarta, Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika), 2010,
hal. 236
²⁵ Sofiyyurahman al-Mubarkafuri, ar-Rahîq al-Makhtûm (Qatar: Kementerian wakaf,
2007) hal. 342
²⁶ Ibid , hal. 342.
²⁷ Ibid, hal. 404-405.
²⁸ Mahmud Hamdi Zaqzuq, al-Islâm Wa Qadhâyâ al-Hiwâr (Kairo: kementerian Waqaf,
2002), hal. 218-219.
58
SUMBER PUSTAKA
Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, ‘Udzmât al-Islâm, Vol. 1, Kairo:
Maktabah Al-Usrah, 2002
Al-Buthy, Fiqhus Sirah, Fikih Sirah, Jakarta, Penerbit Hikmah, PT Mizan
Publika, 2010
Al-Ghazali, Syaikh Muhammad, Ghazali Menjawab 100 Soal
Keislaman, Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2010
Al-Haram, Shalih Bin Abdullah dan Khathib, Nadhratu An-Na'îm Fî
Makârim Akhlâq Ar-Rasûl, Jilid 2, Jeddah: Dar Al-Wasilah, t.t.
Al-Jumaili, Hasan Suhail, At-Ta’âyusy Baina A`immat Al-Madzâhib alFiqhiyah (www.alukah.net) diakses pada hari Ahad, 14 Juni 2015
Al-Ma’la, Fahd Bin Furaij, Fannu Al-Ishlâh Baina An-Nâs, Al-Maktabah
Asy-Syamilah
Al-Mawa’idz, Kompilasi Kitab Hasyim Asy’ari,Irsyâdu al-Sariy fi Jam’i
Mushannafati Al-Syaikh Hasyim Asy’ari, Kitab pegangan Ponpes
Tebuireng Jombang
Al-Mubarkafuri, Sofiyyurahman,Ar-Rahîq Al-Makhtûm, Qatar:
Kementerian Wakaf, 2007
An-Nawawi, Al-Majmu’, Vol. 1, Beirut: Darul Fikr, 1997
‘Arabi, Muhammad bin Abdillah Ibnu, Ahkâm Al-Qur’ân, Vol. 2, Beirut:
Darul Kutub Ilmiyah, 2003
As-Syafi’ie, Muhammad bin Idris, Al-Umm, Vol. 6, Beirut: Darul
Ma’rifah, 1393 H
As-Syirazi, Ibrahim bin Ali, Thabaqât Al-Fuqahâ, Vol. 1, Beirut: Darul
Qalam, t.t.
Az-Zabidi, Imam, Ringkasan Shahih Al-Bukhari, Bandung : Penerbit
Mizan, 2013
Fatkhan, Muh., Dakwah Budaya Walisongo, Aplikasi Metode Dakwah
Walisongo di Era Multikultural, Jurnal Aplikasia, Jurnal Aplikasi
Ilmu-ilmu Agama, Vol. IV, no. 2 Desember 2003
Katsir, Ismail bin Umar Ibnu, Tafsîr Al-Qur’ân Al-Azhîm,Vol. 4, Riyad:
Dar at-Tibah, 1999
Kementerian Waqaf Mesir, Fatâwa Al-Azhar (www.islamic-
59
council.com) diakses pada hari Senin, 15 Juni 2015
Madkour, Ibrahim, Al-Mu’jam Al-Wajîz, Mesir: Lembaga Bahasa Arab,
tt.
Shahih Bukhari
Shahih Muslim
Sunan At-Tirmidzi
Wafa’, Abdul Qadir bin Abil, Al-Jawâhir Al-Mudhiyyah fî Thabaqât alHanâfiyah,Vol. 1, Karachi, Amir Muhammad Kutub Khan press, t.t.
Ya’la, Muhammad bin Abi, Thabaqât Al-Hanâbilah, Vol. 1, Beirut: Darul
Ma’rifah, t.t.
Zaki, Muhammad, Mu'jam Kalimat Al-Qur'ân Al-Karîm, Jilid 1, AlMaktabah Asy-Syamilah
Zaqzuq, Mahmud Hamdi, Al-Islâm Wa Qadhâya Al-Hiwâr, (Kairo:
kementerian Waqaf, 2002).
60
Lembar Evaluasi
1. Sebutkan kesesuaian antara Islam dengan perdamaian!
2. Menurut al-Qur’an, apa tujuan Allah menjadikan manusia itu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku?
3. Benarkah perbedaan itu sudah dikehendaki oleh Allah?
Tunjukkan buktinya!
4. Berdasarkan Hadits Nabi, bagaimana seharusnya sikap seorang
Muslim? Tunjukkan bukti Haditsnya!
5. Ceritakan sikap Rasulullah saw ketika melihat jenazah orang
Yahudi?
6. Ceritakan sikap toleran Rasulullah dalam Piagam Madinah,
Perjanjian Hudaibiyah, dan Fathu Makkah!
7. Bagaimana sikap Khalifah Umar bin Khattab ketika melihat
orang jompo di pinggir jalan?
8. Tunjukkan sikap saling toleran antara Imam Syafi’i dan Imam
Hanbali!
9. Bagaimana cara Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus menarik
simpati penduduk untuk mengenal Islam?
10. Apa yang Anda akan lakukan ketika ada orang yang berbeda
pendapat dengan Anda?
61
Download