BAB 2: PERDAMAIAN DALAM ISLAM Pokok Bahasan Islam dan Perdamaian Ayat-Ayat Perdamaian Hadits-Hadits Perdamaian Perdamaian dalam Sirah Nabawiyah Perdamaian dalam Sejarah Islam Penulis A. Bakir Ihsan Penyelia Tulisan Agus Suryaman Pengajar Pondok Pesantren Daruttaqwa Bandung Miftah Farid Pengajar Pondok Pesantren An-Nuqtah Tangerang Choirul Iman Pengajar Pondok Pesantren As-Shodiqiyah Semarang Moh. Hamidi Pengajar Pondok Pesantren Taswirul Afkar Sampang Khoirun Niat Pengajar Pondok Pesantren An-Nur Yogyakarta PERDAMAIAN DALAM ISLAM I slam agama yang cinta damai bukan hanya karena kata “islam” itu sendiri mengandung makna “damai” (salâm) tapi secara konseptual kata Islam menunjuk kepada sikap pasrah dan tanpa paksaan dalam mengikuti ketentuan dan aturan Allah dalam menjalani kehidupan ini. Makna Islam sebagai agama damai telah termaktub dalam ayat-ayat suci al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi yang merupakan petunjuk hidup bagi umat Islam. Semangat ajaran itu tidak hanya tertulis dalam rangkaian kata-kata, tapi telah diamalkan dalam kehidupan nyata pertama-tama oleh Nabi Muhammad SAW sendiri lalu oleh para sahabat terdekatnya serta para pengikut mereka yang setia kepada contoh dan keteladanannya. Islam sebagai agama damai telah terpatri dalam doktrin, sejarah dan peradaban Islam. Semangat perdamaian telah menghiasi sejarah peradaban Islam yang terbentang sejak zaman awal Islam, (zaman Nabi dan para Sahabat di Makkah dan Madinah), zaman kekhalifahan Islam klasik, kerajaan Islam di abad pra-modern, hingga negeri-negeri Islam di zaman modern ini. Dalam konteks Indonesia, semangat perdamaian ini perwujudannya terang benderang karena masuknya agama Islam ke wilayah nusantara berlangsung damai. Tidak ada peperangan ataupun penaklukan yang menyertai dakwah Islam di nusantara. Berbeda dengan yang terjadi di wilayah-wilayah Islam Timur Tengah, Asia Selatan, Afrika ataupun Eropa, yang kesemuanya melibatkan peperangan dan kontak senjata. Spirit perdamaian ini telah terpatri dalam sifat, perilaku dan sikap toleransi yang dicontohkan oleh para ulama nusantara, diharapkan menjadi teladan bagi kita semua. 15 Bab ini membahas mengenai topik-topik yang erat kaitannya dengan perdamaian dalam Islam ditinjau dari segi dokrinnya (al-Qur’an dan Hadits) serta dilihat dari perwujudannya dalam pengalaman kaum Muslimin sepanjang sejarah Islam. Dalam bab ini kita akan mengikuti bagaimana perilaku Nabi Muhammad dan Sahabat utama beliau, khususnya Umar bin Khatab, mempraktikkan ajaran damai dan toleransi baik dalam kapasitasnya sebagai pribadi maupun dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat. Demikian pula pembaca akan menelusuri narasi tentang pengalaman para pemimpin politik dan ulama klasik atau yang terkenal dengan ulama mazhab dalam mengelola perbedaan dan mengembangkan sikap hormat dan menghormati antara mereka. Terakhir akan disuguhkan fakta-fakta sejarah tentang teladan para Wali Songo dalam menjalankan dakwah yang penuh damai dengan sedapat mungkin menghindari benturan dengan budaya-budaya lokal yang telah lama hidup di wilayah nusantara ini. Tujuan Setelah mengikuti pelatihan modul pada bab ini peserta pelatihan diharapkan dapat: 1. Memahami bahwa Islam merupakan agama yang sungguhsunguh memperjuangkan perdamaian sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an maupun Hadits. 2. Mengenal dengan baik pengalaman-pengalaman toleransi dan perdamaian dalam sejarah masyarakat Islam. 3. Peserta menyadari bahwa perbedaan dalam kehidupan adalah Sunnatullah, yaitu kehendak Allah SWT yang harus diterima dengan ketulusan, pengertian dan kedewasaan yang tinggi. Indikator Setelah mengikuti sesi ini, fasilitator dapat mengevaluasi keberhas i l an pem bel aj aran s elam a pelati han dengan menggunakan beberapa hal berikut sebagai petunjuk: 1. Peserta mampu mengidentifikasi ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW yang menganjurkan perdamaian. 16 2. Peserta mampu bercerita tentang inisiatif-inisiatif perdamaian dalam sejarah Islam sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw, para sahabat, ulama madzhab, dan para ulama nusantara. 3. Peser ta dapat menyebutkan alasan-alasan mengapa perdamaian harus ditegakkan dan menjelaskan kapan peperangan terpaksa diperbolehkan. 4. Peserta dapat menunjukkan komitmen mereka untuk bertoleransi terhadap perbedaan dan menempuh jalan ishlâh sebagai cara terbaik untuk mencegah terjadinya pertikaian dan konflik. Metode 1. 2. 3. 4. 5. Ceramah Plus Diskusi dan Tugas (CPDT) Film Session atau Poster Session Diskusi Kelompok Studi Kasus Membuat Resume Pembelajaran dilakukan secara interaktif. Fasilitator berceramah diselingi tanya jawab. Fasilitator memunculkan persoalan yang mengandung dan mengundang pro dan kontra, dan kemudian menjadikannya sebagai bahan diskusi. Perlu diperhatikan bahwa dalam proses diskusi akan selalu muncul perbedaan. Namun fasilitator diharapkan dapat membuat suasana agar perbedaanperbedaan yang muncul tidak menimbulkan konflik, melainkan pengertian dan kesepahaman, dengan rasa hormat dan kedewasaan. Penyampaian materi “Perdamaian dalam Islam” dapat menggunakan metode movie learning dengan mengajak peserta pelatihan untuk menonton film atau bercerita tentang perdamaian dan toleransi. Setelah menonton film, fasilitator membuat kelompok-kelompok kecil untuk berdiskusi dan membuat kesimpulan mengenai poin-poin penting dari film tersebut. Waktu 120 Menit 17 Alat & Bahan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Laptop LCD Projector Papan tulis Kertas Flip Chart Karton Spidol Besar Kertas Meta Plan Langkah-Langkah 1. Fasilitator memasuki ruangan pelatihan dengan wajah ceria dan tersenyum sambil mengucapkan salam. 2. Fasilitator memperkenalkan diri secara singkat untuk mengakrabkan diri dengan peserta (10 menit). 3. Fasilitator menyampaikan pokok bahasan “Perdamaian dalam Islam” dengan singkat, mengemukakan tujuannya, serta menjelaskan metode pembelajarannya dengan bahasa yang sederhana (15 menit). 4. Fasilitator menampilkan video atau gambar, atau menceritakan peristiwa konflik berskala kecil di sekitar sekolah, atau yang berskala nasional maupun internasional, seperti konflik Palestina, Afganistan, Suriah, dan lainnya (25 menit). 5. Fasilitator meminta peserta pelatihan untuk menuliskan apa saja yang dapat mereka pahami dan interpretasi dari isi video, gambar, atau cerita yang telah disampaikan (10 menit). 6. Fasilitator membagi peserta ke dalam beberapa kelompok kecil sesuai jumlah peserta yang hadir. Masing-masing kelompok diminta untuk berdiskusi tentang isi video, gambar atau cerita yang telah dipaparkan, kemudian meminta setiap kelompok untuk membuat kesimpulan (30 menit). 7. Fasilitator meminta seorang perwakilan kelompok untuk membacakan kesimpulan kelompoknya (10 menit). 8. Selanjutnya, fasilitator meminta semua perwakilan kelompok 18 untuk berkumpul dan membuat kesimpulan akhir yang digali dari kesimpulan masing-masing kelompok. Tujuannya adalah untuk membangun perspektif bersama dari persamaanpersamaan yang muncul. Adapun perbedaan-perbedaan yang ada harus tetap dihargai dan dilihat sebagai pengayaan terhadap perspektif bersama tersebut. Hasil rumusan bersama itu kemudian dibacakan oleh seorang perwakilan kelompok yang ditunjuk berdasarkan musyawarah (kesepakatan) antar perwakilan (30 menit). 9. Sebelum mengakhiri sesi “Perdamaian dalam Islam,” fasilitator meminta peserta untuk menuliskan satu Ayat atau Hadits tentang perdamaian yang paling pas dengan isi video, gambar atau cerita yang telah dipaparkan. Ini untuk melihat bagaimana peserta pelatihan menjelaskan fakta-fakta konflik dari video, gambar atau cerita yang telah dipaparkan berdasarkan pemahamannya mengenai perdamaian sesuai ajaran Islam yang dipelajarinya (10 menit). 10. Sebagai penutup, fasilitator menyampaikan kesimpulannya tentang proses dan materi pelatihan dari awal hingga akhir. Intinya, perbedaan dapat terjadi karena latar belakang pemikiran, agama, budaya, ekonomi dan politik, serta sudut pandang tertentu, atau karena berbagai hal lainnya. Namun perbedaan dapat didiskusikan dan dinegosiasikan untuk menemukan titik temu tanpa harus mengubur perbedaanperbedaan yang ada (5 menit). 19 Bahan Bacaan ISLAM AGAMA CINTA DAMAI A. PENDAHULUAN Semua makhluk Tuhan di muka bumi memiliki banyak perbedaan antara satu dengan lainnya. Ini karena alam dan manusia diciptakan dalam keragaman, baik secara natural maupun kultural. Di atas bumi tumbuh beraneka ragam tumbuh-tumbuhan yang tinggi menjulang ke angkasa, tetapi terdapat juga tanaman yang pendek menelusuri permukaan tanah. Selain itu, ada juga bermacam-macam jenis hewan; pemakan rumput, pemakan daging, dan pemakan rumput dan daging sekaligus. Sama dengan makhluk Tuhan lainnya, perbedaan dan keanekaragaman ini berlaku bagi umat manusia. Dari segi fisik, misalnya, manusia memiliki postur tubuh yang berbeda-beda. Ada yang berpostur tinggi, ada juga yang berpostur pendek. Dari segi warna kulit, manusia diciptakan beraneka warna. Ada yang berkulit hitam, putih, kuning dan sawo matang. Islam sebagai agama damai telah terpatri dalam doktrin, sejarah dan peradaban Islam. 20 Dari keyakinan, manusia lahir dari latar belakang agama dan kepercayaan yang beraneka ragam. Terdapat bermacam-macam kepercayaan termasuk Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dan sebagainya. Masing–masing agama dan kepercayaan memiliki pemikiran keagamaan, tradisi dan praktik-praktik ritual yang khas. Perbedaan di antara agama-agama tersebut cukup besar. Namun, dalam satu agama yang sama pun tidak jarang terjadi perbedaan pendapat atau penafsiran. Dalam agama Islam, misalnya, dikenal adanya empat madzhab, yaitu Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Masing-masing madzhab tersebut memiliki dan mempromosikan pandangan Fikih yang berbeda-beda. Sebagai contoh adalah mengusap kepala ketika berwudlu. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa bidang kepala yang harus dibasuh air adalah minimal sepertiganya, yaitu setara dengan besar telapak tangan. Madzhab Maliki berpendapat lain. Menurut mazhab ini, semua bidang kepala harus dibasuh dengan air wudhu. Sementara Madzhab Syafi’i membolehkan mengusap kepala seperlunya saja asal mencakup minimal tiga helai rambut.¹ Bahkan dalam Madzhab Syafi’i terdapat Qaul Qadim (pendapat lama) dan Qaul Jadid (pendapat baru). Qaul Qadim adalah kumpulan pendapatpendapat hukum Imam Syafi’i ketika ia menetap di Bagdad, sedangkan Qaul Jadid adalah kumpulan fatwa-fatwa hukumnya setelah ia pindah dan menetap di Mesir. Dalam waktu yang sama tapi lokasi yang berbeda seorang ulama Madzhab bisa memiliki penafsiran yang berbeda terhadap Ayat-ayat al-Qur’an maupun Hadits tertentu. Sebagaimana beragamnya aliran dan mazhab keagamaan, terdapat pula berbagai macam corak dan pemikiran budaya. Corak budaya di satu tempat dan di tempat lain seringkali berbeda. Sesuatu yang dianggap baik di suatu tempat, belum tentu dianggap baik di tempat lain. Budaya sarungan, misalnya, di lingkungan pesantren dianggap baik, tetapi tidak demikian di lingkungan perkantoran. Budaya standing party (makan sambil berdiri), misalnya, dianggap lumrah di perkotaan, tetapi dianggap tidak baik di kalangan pesantren karena tidak sesuai dengan sunnah Rasul. Perbedaan-perbedaan itu menunjukkan kebesaran Allah swt yang Maha Kuasa atas segala ciptaan-Nya. Begitulah perbedaan dan keberagaman yang mewarnai kehidupan umat manusia. Lalu bagaimana kita menyikapinya? Apakah perbedaan itu merupakan masalah yang harus diselesaikan atau hal lumrah yang tidak perlu dipermasalahkan? Sebagai langkah awal, tentunya kita perlu bersepakat bahwa perdamaian adalah lebih baik daripada pertikaian. Hidup rukun dan damai tentunya lebih baik daripada bermusuhan. Karena perbedaan di antara sesama umat manusia adalah sunnatullah yang tidak mungkin dihilangkan, maka adalah penting bagi anak-cucu Adam untuk saling menghargai, saling menghormati dan bersikap toleran demi terciptanya kehidupan yang damai di muka bumi. Berikut ini pemaparan mengenai Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi perdamaian dan sangat menghargai perbedaan. 21 Karena perbedaan di antara sesama umat manusia adalah Sunnatullah yang tidak mungkin dihilangkan, maka adalah penting bagi anak-cucu Adam itu untuk saling menghargai, saling menghormati dan bersikap toleran demi terciptanya kehidupan yang damai di muka bumi. B. ISLAM DAN PERDAMAIAN Dilihat dari segi bahasa, ‘al-Islâm’ memiliki akar kata yang sama dengan ‘as-Salâm’, yang berarti perdamaian. Kata ‘al-Islâm’ dan ‘as-Salâm’ sama-sama berasal dari akar kata sa-li-ma, yang berarti selamat dari bahaya atau terbebas dari gangguan.² Jadi Islam dan perdamaian saling berkesesuaian dengan artian bahwa Islam identik dengan perdamaian. Bukti lain bahwa Islam itu identik dengan perdamaian adalah bahwa kata ‘as-Salâm’ menjadi salah satu Asmâ’ul Husnā (Nama-nama Allah yang Agung). Hal ini bisa dilihat pada firman Allah: َﯿﻤﻦ ُ ِ ْ اﻟﻤﺆﻣﻦ ا ْ ُﻟﻤﻬ ُ ِ ْ ُ ْ ﺴﻼم ُ َ اﻟﻘﺪوس اﻟ ُ ُ ْ ُ ِ ُ َﻫﻮ ا ُ ا ِ ي َﻻ ا َ َ اﻻ ُ َﻫﻮ ْ َاﻟﻤ (٢٣ :ُﴩﻛﻮن )اﳊﴩ ُ ّ ِ َ َ ْ َاﻟﻌﺰِ ُﺰ ا ْ َﻟﺠ ُﺒﺎر ا ْ ُﻟﻤ َ ُ ِ ْ ﺘﻜﱪ ُﺳ ْﺒ َ َﺎن ا ِ َﲻﺎ “Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Damai, Yang Mengaruniakan keamanan,Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS Al-Hasyr [59]: 23). Ayat di atas dengan jelas menyebutkan bahwa salah satu sifat Allah adalah ‘as-Salâm’ yang berar ti Maha Damai atau juga diterjemahkan Maha Sejahtera. Sebagaimana dinyatakan di atas, kata ini menjadi salah satu sifat Allah (Asmâ’ul Husnâ) yang berjumlah 99 sifat. Selain itu, kata ini juga menjadi nama bagi salah satu surga, yaitu Darussalam yang secara harfiah berarti “negeri damai”. Allah berfirman: ِ ْ َ َ ﺴﻼم ٍ َ ِ ﺸﺎء َاﱃ ﺘﻘﲓ ُ ْ َ ُ َوا ِ َ ﯾﺪﻋﻮ َاﱃ ِ دار اﻟ ُ َ َ وﳞﺪي َ ْﻣﻦ ٍ ِ َ ﴏاط ُﻣ ْﺴ (٢٥ :)ﯾﻮﺲ “Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam)”. (QS Yunus [10]: 25) Menurut Imam Ibnu Katsir, Allah memberi kabar gembira tentang surga-Nya dan mengajak manusia untuk berharap atas 23 kenikmatan-kenikmatan yang ada di dalamnya. Menurut Ibnu Katsir, surga tersebut bernama Darussalam (kampung damai) yang bebas dari bahaya, kekurangan dan penderitaan.³ Seringnya penyebutan konsep damai dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa Islam memberi perhatian serius terhadap masalah ini. Tampak jelas bahwa Islam menempatkan perdamaian sebagai prinsip kehidupan, dasar bagi pengembangan akhlak dan panduan dalam pergaulan dengan sesama manusia, serta visi dalam menjalin hubungan antar peradaban dan kebudayaan yang majemuk. Untuk meneguhkan perdamaian sebagai prinsip kehidupan, diperlukan budaya toleransi yang kuat. Tapi bagaimanakah alQur’an berbicara mengenai toleransi? Mari kita simak bagaimana ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Rasulullah menjunjung tinggi toleransi. Setelah itu mari kita lihat bagaimana toleransi dan perdamaian dipraktikkan oleh Nabi Muhammad saw dan para generasi setelahnya. Adalah juga penting untuk memperhatikan bagaimana ulama-ulama nusantara menerapkan prinsip perdamaian dalam berdakwah sehingga Islam bisa diterima dengan mudah tanpa benturan-benturan serius. Sumber: https://alfakhriyyah.wordpress.com Al-Qur’an memuat lebih dari 120 (seratus dua puluh) ayat yang menjelaskan tata cara penyebaran Islam, dengan penghormatan yang tinggi terhadap prinsip perdamaian dan kebebasan. Dalam al-Qur’an terdapat lebih dari seratus dua puluh ayat yang menjelaskan tata cara penyebaran Islam, dengan penghormatan yang tinggi terhadap prinsip perdamaian dan kebebasan. Artinya orang-orang yang menjadi target dakwah diberi kebebasan untuk menerima dakwah Islam atau menolaknya.⁴ Al-Qur’an telah memberi batasan-batasan yang harus dilakukan Nabi saw dalam menyebarkan Islam. Dijelaskan bahwa Nabi bukanlah seorang penguasa militer yang dapat semena-mena memaksakan bawahannya untuk menerima kehendaknya. Ia juga bukan utusan langsung dari langit yang dapat memaksa para pendengarnya menerima apa yang dikatakannya.⁵ Tetapi Nabi Muhammad hanya seorang penganjur yang arif dan berhati lembut kepada kebenaran Islam yang tak terbantahkan. 1. Ayat-ayat Perdamaian Pada dasarnya, umat manusia berasal dari satu nenek moyang. Ini sesuai dengan penjelasan al-Qur’an sebagai berikut: 24 ُ َ َ %©!$#يãNِä3­ا/u‘رﲂ ْ “Ï ُ ُ (#qàَ )اﺗﻘﻮا t,n=yzurﻣﳯﺎ ®?ُ $# ⨠$¨ُ Z9$ﻟ# ا$pﳞﺎ ﻨﺎس َkš‰r'¯»tƒَ َ ;oْ y‰ِ Ïnَ ََﻠﻖºur §<و َ ٍﺪةøÿَ ِ¯R `واÏَ iBَﻔﺲ/äٍ 3ْ ﻧs)ْﻣﻦn=s{ِ َﻠﻘﲂ (١4 [ä:ﺴﺎء ﻣﳯﻤﺎ `ً ‘ِ َﻛ$uﺎﻻ KÍ åk÷]َ ÏB ِر£] gy_ ÷]ْ ÏBَ !$|¡ÎSur)اﻟ#ZŽÏوﺴﺎء َ َ ÷rﺎy—َ $pَ kزو َ ُt/ْ urِ $yوﺑﺚ ً Wx.َ Zwِ َ %yﺜﲑا “Hai manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (QS an-Nisa [4]: 1) Ayat ini menjelaskan bahwa pada hakikatnya seluruh umat manusia merupakan satu keluarga besar yang berasal dari satu jiwa. Karena hakikatnya tersebut, mereka harus saling mendukung dan tidak diperbolehkan saling bertikai atau bermusuhan. Kalaupun terjadi perselisihan, pertentangan ataupun pertikaian, umat manusia diharuskan menempuh jalan damai atau (Ishlâh). Dalam Lisanul Arab, Ibnu Manzur menjelaskan bahwa kata merupakan antonim dari kata (kerusakan).⁶ Sementara itu, dalam Al-Mu'jam Al-Wajiz Ibrahim Madkour berpendapat bahwa kata mengandung beberapa arti: manfaat dan keserasian; terhindar dari kerusakan; atau menghilangkan segala sifat permusuhan dan pertikaian antara kedua belah pihak.⁷ ٕاﺻــــــــ ﻼح ٕاﺻـــ ﻼح ﻓﺴـــــــ ﺎد إﻻﺻـــــــــــــــــــــــــــﻼح Menurut terminologi (istilah), ishlâh berarti “kesepakatan untuk menyelesaikan pertikaian atau konflik”.⁸ Atau juga “upaya menjembantani (mediasi) guna menyelesaikan perselisihan antara pihak-pihak yang bertikai melalui kesepakatan dan mencari titik temu untuk mencegah terjadinya permusuhan dan tumbuhnya rasa iri dan dengki”.⁹ Dalam al-Qur'an, kata ishlâh dinyatakan sebanyak 180 kali dengan jumlah perubahan bentuk dan harakatnya sebanyak 41 macam.¹⁰ Kata ishlâh dalam beragam bentuknya itu mengandung arti positif bagi hubungan sesama manusia dalam masyarakat. Kata ini berarti al-hidâyah atau petunjuk (al-Anbiya; 21:89-90), Ihsân al-‘Amal atau perbaikan amal perbuatan/reformasi (al-Baqarah; 2:160), al-Amru bi al-ma'ruf wa an-Nahyu 'ani al-Munkar atau menyuruh kepada kebaikan dan mencegah keburukan (Hud; 11:117), al-Taufiq baina al-Mutanazi'ain atau rekonsiliasi antara dua pihak yang berselisih (al-Baqarah; 2:182,224/an-Nisa; 25 4:128-129/al-Anfal; 8:1/al-Hujurat; 59: 9,10). Perintah ishlâh demi perdamaian menunjukkan bahwa Islam menganggap pentingnya kehidupan yang selaras dan harmoni. Tetapi karena perbedaan-perbedaannya, mereka bisa saja berselisih dan terjebak dalam konflik. Karena itu mereka harus sadar bahwa perbedaan merupakan sunnatullah dan dengan perbedaan itu manusia dapat saling mengenal dan memanfaatkan hubungan yang baik untuk menutupi kelemahan dan ketidak-sempurnaannya. Menurut al-Qur’an, menyelamatkan jiwa satu orang saja sama artinya dengan menyelamatkan seluruh umat manusia. Begitu pula, sengaja mencelakai satu jiwa saja sama artinya dengan mencelakai seluruh umat manusia. Allah swt berfirman: َ اﴎا ِﺋ ﻐﲑ ِ ْ َ ﯿﻞ ﻧُﻪ َ ْﻣﻦ ﻗَ َ َﻞ ﻧ َْﻔ ًﺴﺎ ِﺑ َ ْ ِ ْﻣﻦ ْ ِﻞ َذ ِ َ َﻛ َﺘ ْ َﺎ َ َﲆ َ ِﺑﲏ ٍ َ َﻧ ْ ٍَﻔﺲ ْو ﻓ ِ ْ ْ ﺴﺎد ِﰲ ا وﻣﻦ ْﺣ َ َﺎﻫﺎ ْ َ َ ﻨﺎس َ ِﲨ ًﯿﻌﺎ َ رض ﻓَ َ َﻧﻤﺎ ﻗَ َ َﻞ اﻟ (٣٢ :ﻨﺎس َ ِﲨ ًﯿﻌﺎ )اﳌﺎﺋﺪة َ ﻓَ َ َﻧﻤﺎ ْﺣ َﺎ اﻟ “Oleh karena itu kami tetapkan bagi bani Israil, bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan satu manusia, maka seakan-akan ia telah memelihara manusia semuanya”. (QS al-Maidah [5]: 32) Meskipun ayat tersebut ditujukan kepada Bani Israil, maknanya juga berlaku untuk umat Islam, bahkan untuk semua umat manusia. Para ulama memakai dalil ini untuk menasehati supaya manusia tidak saling menyakiti dan membunuh.¹¹ Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa perbedaan yang ada pada umat manusia itu sudah menjadi Sunnatullah. Dengan kata lain bahwa perbedaan tersebut sudah dikehendaki Allah dan manusia tidak bisa menghilangkannya. Allah berfirman: ُ َ ُ ْ وﻟﻜﻦ ِﻟ َﯿ ْ ُ َ َ َ َ ُ ﺷﺎء ا ً َ ِ ﻟﺠﻌﻠﲂ ًﻣﺔ َوا ﺒﻠﻮﰼ ْ ِﰲ َﻣﺎ َ ٓ َ ُ ْﰼ َﻓﺎ ْﺳ َ ُِﻘﻮا ْ ِ َ َ ﺪة َْ َ َ َ وﻟﻮ ِ َ ْ َ ْاﻟ (٤٨ :ﲑات)اﳌﺎﺋﺪة 26 “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS al-Maidah [5]: 48) Sebenarnya Allah berkuasa untuk membuat manusia menjadi umat yang satu dan seragam, tanpa perbedaan seperti halnya para malaikat. Namun itu tidak dikehendakiNya. Sebaliknya, Allah menciptakan umat manusia berjenis-jenis dan beranekaragam dari segi fisik, agama, budaya dan pemikiran. Ketetapan Allah ini bertujuan untuk menguji manusia agar mereka saling berlomba-lomba dalam kebaikan. Artinya, perbedaan fisik, agama, budaya, suku, ras dan jenis kelamin, bukanlah suatu hal yang perlu dipersoalkan, melainkan anugerah Allah swt agar supaya manusia saling mengenal dan saling memahami. Perbedaan-perbedaan itu bukanlah ukuran untuk menilai apakah seseorang itu baik atau buruk. Derajat kebaikan manusia diukur dari ketaqwaannya. Tidak peduli apakah dia laki-laki atau perempuan, berkulit putih atau hitam, bersuku Jawa atau suku Padang, asal dia bertaqwa kepada Allah swt, maka dia tergolong orang baik. Allah berfirman: ْ ُ َ ْﺟﻌﻠ َ ِ َ َﺷﻌﻮ ً َوﻗ ﺎﺋﻞ ٍ َ َ ﻨﺎس ا َ َْﻠﻘ َ ُ ْﺎﰼ ِ ْﻣﻦ َ َ ذﻛﺮ َو ْ َﻧﱺ َو ُ ُ ﻨﺎﰼ ُ َ َﳞﺎ اﻟ ُ َ َ r&ْ ¨bانÎ) 4 (#þqﺘﻌﺎرﻓﻮا ْr&ُ «!َ ﺗ$# y‰ِ YÏã اö/َﺪä3ﻋ ْﻨtBِ tﻛﺮﻣﲂ ْò2 ُ ِ (١٣ :)اﳊﺠﺮات 4 öNä39s)ø?ْﻘﺎﰼ èùu‘$yَ èَ tGَ Ï9ﻟ Ÿ@ͬ!$t7s%ur $\/qãèä© öNä3»oYù=yèy_ur 4Ós\Ré&ur 9x.sŒ `ÏiB /ä3»oYø)n=yz $¯RÎ) â¨$¨Z9$# $pkš‰r'¯»tƒ “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.” (QS al-Hujurat [49]: 13) Menurut ayat di atas, keutamaan seseorang itu dilihat dari ketaqwaannya, bukan dari suku atau bangsanya. Pada dasarnya taqwa adalah takut kepada Allah, jadi orang yang bertaqwa adalah orang yang takut pada Allah swt. Taqwa dapat dicapai dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Taqwa dapat dibuktikan dari akhlak dan tingkah laku. Mengapa dalam ayat ini perbedaan suku dan bangsa dan 27 Jiwa dan Al-Quran Menurut al-Qur’an, menyelamatkan jiwa satu orang saja sama artinya dengan menyelamatkan seluruh umat manusia. Begitu pula, sengaja mencelakai satu jiwa saja sama artinya dengan mencelakai seluruh umat manusia. perintah untuk ta’âruf antara mereka dikaitkan langsung dengan kualitas ketakwaan. Pastilah ada maksud tersembunyi di situ. Yakni, bahwa kesediaan manusia untuk saling mengenal dan memahami suku dan bangsa yang berbeda adalah salah satu indikasi kemuliaan dan tanda akan adanya jiwa ketakwaan pada diri mereka. Paling tidak hal ini berlaku dalam konteks pergaulan dan interaksi kita dengan kelompok-kelompok lain yang berbeda dengan kita. Sebaiknya, sikap seseorang yang menutup diri, tidak mau mengenal dan memahami orang atau kelompok lain, dan apalagi mengganggu dan menyakitinya hanya karena mereka berbeda, mengisyaratkan absennya taqwa pada diri orang itu. Al-Qur’an sangat menghargai kebebasan manusia, bahkan dalam hal memilih agama apa yang diyakininya. Islam tidak menganjurkan adanya paksaan dalam memeluk agama. Nabi Muhammad saw diutus hanya untuk menyampaikan kebenaran Islam, bukan untuk memaksakan manusia agar menerima ajaran ini. Allah berfirman: ُ ْ َﺒﲔ (٢٥٦:ﻐﻲ )اﻟﺒﻘﺮة َ َ اﻛﺮاﻩ ِﰲ ا ّ ِ ِﻦ َ ْﻗﺪ ﺗ َ ِ اﻟﺮﺷﺪ َ َ ْ َﻻ ِ ّ َ ْﻣﻦ اﻟ “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah.” (QS al-Baqarah [2]: 256) Allah juga berfirman dalam al-Qur’an: ْ ُ ّ ِ َ اﻟﺤﻖ ِ ْﻣﻦ (٢٩:ﯿﻜﻔﺮ )اﻟﻜﻬﻒ ِ َُ ْ َ َ ﯿﺆﻣﻦ ْ ِ ْ ُ ْﺷﺎء َﻓﻠ ْ َ َ رﲂ َ ْ وﻗﻞ ْ ُ ْ َ ْﺷﺎء َﻓﻠ َ َ وﻣﻦ َ َ ﻓﻤﻦ “Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir".” (QS al-Kahfi [18]: 29) Begitulah al-Qur’an menjamin kebebasan manusia untuk menentukan sendiri pilihan keimanannya. Kebebasan ini diberikan supaya setiap individu bertanggungjawab atas apa yang telah menjadi pilihannya. Bahkan Nabi Muhammad saw sendiri tidak bisa memaksakan pamannya sendiri, Abu Thalib, untuk beriman. Hingga wafatnya, ia belum menyatakan 29 keimanannya pada Allah, padahal jasanya bagi penyebaran Islam sangat besar, terutama di masa-masa awal risalah Muhammad saw. Diriwayatkan bahwa Nabi saw sangat bersedih atas kenyataan ini, karena Abu Thalib banyak memberi bantuan dalam dakwah Islam. Sejujurnya, Nabi sangat berharap supaya Abu Thalib masuk Islam, namun harapannya tidak kesampaian. Kesedihan dan keinginan Nabi ini kemudian dijawab Allah swt dengan firmanNya: ِ ْ َ َ وﻟﻜﻦ ا ِ َ َ ﺒﺖ ِ ْ َ ا َﻧﻚ ﻻ َ ْ َ ﲥﺪي َ ْﻣﻦ ْﺣ (٥٦:ﺸﺎء )اﻟﻘﺼﺺ ُ َ َ ﳞﺪي َ ْﻣﻦ “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (QS al-Qashas [28]:56) Allah meyakinkan Nabi-Nya bahwa tugasnya hanyalah menyampaikan risalah Islam, adapun masalah hidayah adalah urusan dan rahasia Allah swt. Artinya, Rasulullah Muhammad saw belum tentu dapat membuat seseorang beriman, ataupun menjamin seseorang mendapatkan hidayah Allah swt, sekalipun pamannya sendiri. Wewenang untuk memberi hidayah hanyalah milik Allah swt semata. Adapun untuk bergaul dengan seseorang yang berbeda pemikiran, maka secara umum, al-Qur’an mengajarkan kepada manusia untuk saling memaafkan dan saling toleransi. Allah berfirman: Adapun untuk bergaul dengan seseorang yang berbeda pemikiran, maka secara umum, al-Qur’an mengajarkan kepada manusia untuk saling memaafkan dan saling toleransi. 30 ٍ َ ْ َ ﻓَ َِﻤﺎ َ ْ ﻣﻦ ا ِ ِﻟ َ ْ وﻟﻮ ُﻛ ﻨﺖ َﻓﻈﺎ َ ِﻠﯿﻆَ ْ َاﻟﻘﻠِْﺐ َﻻﻧ َْﻔﻀﻮا ِ ْﻣﻦ َ ِ رﲪﺔ ْ َ َ ﻨﺖ ﻟَﻬ ُْﻢ َ َ وﺷﺎورﱒ ِﰲ ا ْ ْ ِﻣﺮ ﻋﺰﻣَﺖ ْ َ َ ﻓﺎذا ْ ُ ْ ِ َ َ ﺘﻐﻔﺮ ﻟَﻬ ُْﻢ َْ ْ ِ ْ َ ﻋﳯﻢ َوا ْﺳ ْ ُ ْ َ ﺣﻮ ِ َ َﻓﺎ ْ ُﻋﻒ ْ َ َ َﻓ (١٥٩:ﺘﻮﳇﲔ ) ل ﲻﺮان َ ِ ّ ِ َ َ ﻮﰻ َ َﲆ ا ِ ان ا َ ُ ِﳛﺐ ا ْ ُﻟﻤ “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS Ali Imran [3]: 159) Di ayat lain Allah juga berfirman: (١٣ :ﻨﲔ )اﳌﺎﺋﺪة ْ ُ ْ واﺻﻔﺢ ان ا َ ُ ِﳛﺐ ا ْ َ ْ َ ﻋﳯﻢ َ ِ ﻟﻤﺤ ِﺴ ْ ُ ْ َ َﻓﺎ ْ ُﻋﻒ “Maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhya Allah menyukai orang-orang berbuat baik.” (QS alMaidah [5]: 13) Ayat ini berkaitan dengan pergaulan dengan kaum Ahli Kitab. Muslim dianjurkan untuk bertoleransi dengan Ahli Kitab sekalipun, apalagi dengan sesama muslim. Adapun secara khusus, pergaulan dengan orang yang berbeda pemikiran dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu: (1) bergaul dengan sesama muslim yang berbeda pendapat; dan (2) bergaul dengan orang yang berlainan agama. Terhadap sesama muslim, al-Qur’an menjelaskan bahwa setiap muslim itu bersaudara. Meskipun saling berbeda satu sama lain dalam hal madzhab, aliran, organisasi massa dan lain-lain, namun karena masih terbingkai dalam keislaman, maka mereka tetap bersaudara. Sesama muslim harus saling tolong-menolong dalam kebaikan, tidak boleh saling mengganggu, saling memusuhi, saling mendzalimi dan saling menyakiti. Allah swt berfirman: ْ ُ َ َ َ واﺗﻘﻮا ا ِ ْ ُ ْ ا َﻧﻤﺎ ُ َ ﺧﻮ ْ ُ ْﲂ ٌ َ ْ ﻮن ا ﺮﲪﻮن َ ْ َ ﺻﻠﺤﻮا ُ ِ ْ َﺧﻮة ﻓ َ ُ اﻟﻤﺆﻣ َ ُ َ ْ ُ ﻟﻌﻠﲂ َ َ ﺑﲔ “Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS al-Hujurat [49]: 10) (١٠٣ :واﻋﺘﺼﻤﻮا ﲝﺒﻞ ﷲ ﲨﯿﻌﺎ وﻻ ﺗﻔﺮﻗﻮا )ال ﲻﺮان “Berpegang teguhlah kalian dalam tali Allah dan janganlah kalian terpecah-belah.” (QS Ali Imran [3]: 103) Menanggapi kecenderungan umat manusia umumnya dan Muslim khususnya untuk mementingkan dirinya sendiri dibandingkan kepentingan bersama, Allah menyeru kepada umat Islam untuk sungguh-sungguh bersatu padu di bawah n a u n g a n ke te n t u a n A l l a h d a n u n t u k s e m a t a - m a t a memperjuangkan nilai-nilai dan ajaran Allah di muka bumi ini. 31 Bukan semata-mata karena penghinaan atau ejekan akan menyebabkan rasa terhina dan sakit hati bagi yang terkena ejekan dan hinaan. Tapi ejekan dan hinaan itu bisa saja berbalik kepada diri orang yang melakukannya karena boleh jadi yang mengejek lebih buruk dari yang diejek. Sebaliknya Allah melarang kita berpecah belah demi mementingkan ego sendiri karena hanya dengan persatuanlah tujuan kebaikan dapat diperjuangkan dengan mudah dan hanya dengan persatuan pula keburukan dan kemungkaran dapat dengan mudah dihilangkan dalam kehidupan masyarakat. Sesama muslim bersaudara karena itu tidak boleh saling mengejek. Kenapa dilarang? Bukan semata-mata karena penghinaan atau ejekan akan menyebabkan rasa terhina dan sakit hati bagi yang terkena ejekan dan hinaan. Tapi ejekan dan hinaan itu bisa saja berbalik kepada diri orang yang melakukannya karena boleh jadi yang mengejek lebih buruk dari yang diejek. Allah berfirman: ﻣﳯﻢ َ َ ﻗﻮم ٌ ْ َ ﺨﺮ ْ َ َ َﳞﺎ ا ِ َﻦ َ ٓ َﻣ ُﻮا َﻻ َ ْﺴ ٍ ْ َ ﻗﻮم ِ ْﻣﻦ ْ ُ ْ ِ ﻋﴗ ْن َ ُﻜﻮﻧ ُﻮا ْ ًَﲑا ٍ َ ِ ﺴﺎء ِ ْﻣﻦ ْ ُ َ ﺗﻠﻤﺰوا ﻧ ُْﻔ ﺴﲂ َ َوﻻ َ َ ﺴﺎء ُ ِ ْ َ ﻣﳯﻦ َ َوﻻ ُ ْ ِ ﻋﴗ ْن َ ُﻜﻦ ْ ًَﲑا ٌ َ ِ َ َوﻻ (١١ :َﻨﺎﺰوا ِ ْ ْ َﻟﻘﺎِب)اﳊﺠﺮات َُ َ ﺗ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diolok-olok) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” (QS al-Hujurat [49]: 11) Bahkan Allah swt melarang kaum muslimin saling berburuk sangka dan saling memata-matai. Allah juga melarang saling menggunjing (ghibah), yaitu membicarakan keburukan orang lain. Allah berfirman: اﻟﻈﻦ ا ٌْﰒ َ َوﻻ ً ِ َ َﳞﺎ ا ِ َﻦ َ ٓ َﻣ ُﻮا ا ْﺟ َ ِﻨ ُﺒﻮا َﻛ ِّ ﻣﻦ ِّ اﻟﻈﻦ ان َ ْﺑﻌَﺾ َ ِ ﺜﲑا ْ ُ ُ َ ﻀﲂ َ ْﺑﻌًﻀﺎ ُ ِﳛﺐ ْ ُ ُ ﺘﺐ َ ْﺑﻌ َ ُ َ ﺪﰼ ْن ﯾ ﻟﺤﻢ ِﺧ ِﻪ ْ َ َ َﲡﺴ ُﺴﻮا َ َوﻻ َ ْﯾﻐ ََْﰻ َ َ َﻣ ْ ًﺘﺎ ِ َ ﺗﻮاب ُ َ ﺘﻤﻮﻩ (١٢ :رﺣﲓ )اﳊﺠﺮات ٌ َ َ واﺗﻘﻮا ا َ ان ا ُ ُ ُ ﻓﻜﺮِْﻫ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan 32 janganlah sebahagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati, maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS alHujurat [49]: 12) Adapun pergaulan dengan orang yang berlainan agama, selama mereka tidak memusuhi, maka Allah memperbolehkan bergaul dengan mereka sebagaimana kita bergaul dengan sesama Muslim. Allah swt berfirman: ُ ُ ِ ْ ُ وﻟﻢ ُ ُ ِ َ ُ ﻋﻦ ا ِ َﻦ َ ْﻟﻢ ُ َ ْ َ َﻻ ْ ُ ِ َ ﳜﺮﺟﻮﰼ ْ ِ ْﻣﻦ ِد رﰼ ْن ِ َ ُ ﳯﺎﰼُ ا ْ َ َ ﯾﻘﺎﺗﻠﻮﰼ ْ ِﰲ ا ّ ِ ِﻦ ْ ُ ْ ﺴﻄﻮا ا َ ْ ِ ْﳱﻢ ان ا َ ُ ِﳛﺐ ا ُ ِ ﺗﱪوﱒ َوﺗ ُْﻘ (٨ :ﺴﻄﲔ )اﳌﻤﺘﺤﻨﺔ ُْ ََ َ ِ ِ ﻟﻤﻘ “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS alMumtahanah [60]: 8) Perlu ditekankan di sini bahwa ayat-ayat yang menganjurkan toleransi dan perdamaian tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang berbicara tentang perang. Artinya, dalam keadaan normal/damai, maka yang berlaku adalah ayat-ayat perdamaian. Sedangkan dalam kondisi perang, yang berlaku adalah ayat-ayat peperangan yang menekankan etika atau akhlak dalam menjalankan perang. Ajaran Islam menekankan pentingnya memperbaiki hubungan yang terlanjur retak akibat konflik dan permusuhan. Banyak ayat al-Qur’an yang mengecam perangai sebagian manusia yang memutus tali persaudaraan (habl minannâs) dan menyandingkan dosa ini dengan dosa lain, yaitu melakukan kerusakan di muka bumi (fasâd fil ardh). Salah satunya ayat di bawah ini: و ا ﻦ ﯾﻨﻘﻀﻮن ﻋﻬﺪ ﷲ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﻣ ﺜﺎﻗﻪ و ﯾﻘﻄﻌﻮن ﻣﺎ ٔﻣﺮﷲ ﺑﻪ ٔن ﯾﻮﺻﻞ و ﯾﻔﺴﺪون ﰲ ا ٔرض ٔوﻟﺌﻚ ﳍﻢ ا ﻠﻌﻨﺔ و ﳍﻢ ﺳﻮء (٢٥:ا ار)اﻟﻘﺮان ﺳﻮرة اﻟﺮ ﺪ 33 Semua manusia, dengan segala identitas yang melekat padanya, dianggap memiliki harkat dan martabat yang sama, karena semuanya berasal dari Nabi Adam as; dan Nabi Adam as diciptakan dari tanah. “Dan orang-orang yang merusak janji Allah setelah terikat janji dan memutus apa yang Allah perintahkan untuk dihubungkan serta melakukan kerusakan di muka bumi, mereka mendapatkan laknat dari Allah dan bagi mereka seburuk-buruknya tempat tinggal “. (QS al-Ra’d: 25) Allah dalam banyak kesempatan di al-Qur ’an sangat menganjurkan ishlâh, yaitu menempuh jalan damai dan memperbaiki hubungan yang retak akibat konflik. Bahkan perintah ishlâh disandingkan dengan perintah bertakwa kepada Allah. Misalnya dalam QS al-Anfal ayat 1 diperintahkan kepada orang-orang beriman untuk “bertakwa kepada Allah dan memperbaiki hubungan sesama manusia (ishlâh dzât albain). Perintah yang sama juga ditegaskan dalam QS al-Hujurat ayat 10. Demikian pula QS an-Nisa ayat 128 yang nenekankan pentingnya suami-istri untuk memperbaiki hubungan yang retak karena konflik keluarga. Ayat itu sendiri ditutup dengan kata-kata yang berarti berdamai itu jauh lebih baik dari bercerai. Kata ishlâh sendiri memiliki makna lain yang saling berdekatan, namun kesemuanya berkonotasi positif, yaitu petunjuk Allah, perbuatan yang baik, serta mempromosikan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dengan demikian, tindakan mempromosikan perdamaian, mencegah dan mengatasi konflik merupakan amal shaleh yang diridhoi Allah. واﻟﺼــــﻠﺢ ﲑ Memelihara hubungan baik sesama manusia dan menjaga tali persaudaraan adalah prinsip utama dalam kehidupan manusia menurut ajaran Islam. Sebegitu pentingnya nilai itu, seolaholah Islam tidak akan mungkin membenarkan tindakan perang. Namun faktanya tidak demikian karena tidak sedikit ayat alQur ’an dan juga hadis Nabi serta bukti sejarah yang menunjukkan bagaimana Islam membahas perang dengan nada yang bersemangat seolah-olah menganjurkannya. Beberapa pihak jatuh pada salah paham mengartikan kenyataan ini dengan menyimpulkan secara gegabah bahwa Islam agama perang dan bahwa satu-satunya cara untuk merespon konflik adalah jalan kekerasan dan perang. Atau paling tidak seolah-olah tercipta kesan paradoks antara damai 34 dan perang dalam Islam. Padahal dalam kaca mata Islam, sifat alamiah manusia untuk saling menguasai dan bahkan menindas merupakan kenyataan antropo-historis yang diakui. Namun mengakui tidak berar ti menyetujui apalagi menganjurkannya. Sebaliknya, demi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan universal tadi orang-orang beriman diminta untuk senantiasa menyebarkan kasih sayang dan perdamaian (afsyû al-salâm). Namun, apabila hak-hak dasar dan kemerdekaan mereka direnggut dengan paksa, maka perang dibolehkan demi membela diri (QS al-Baqarah: 190). Namun perang adalah pilihan terakhir ketika jalan damai telah tertutup sama sekali. Dalam situasi konflik, mencegah lebih diutamakan daripada terburu-buru memutuskan untuk terjun dalam perang (QS alAnfal:60), dan mencegah dengan sikap sabar dan menahan diri lebih diutamakan (QS al-Nahl:126). Demi pencegahan konflik, perjanjian damai antara negara dianjurkan untuk dilaksanakan dan dihormati sedemikian rupa sehingga permintaan bantuan sesama Muslim di dalam negara yang terikat perjanjian damai tidak bisa membatalkan perjanjian tersebut (QS al-Anfal: 72). Lebih jauh, apabila jalan perang telah ditempuh maka perang harus dilakukan dengan proporsional alias tidak melampaui batas (QS al-Baqarah:190, 194). Sedemikian pentingnya mewujudkan perdamaian, menghentikan perang lebih diutamakan apabila musuh menunjukkan itikad damai (QS alBaqarah:192). Dalam surat al-Anfal ayat 61 dikatakan, “Jika mereka (musuh) condong kepada perdamaian, maka condonglah kalian kepada perdamaian…”. Dari ayat-ayat al-Qur’an di atas jelas bahwa sikap dasar Islam dalam menyikapi konflik dan pertentangan bukanlah perang melainkan resolusi konflik (ishlâh) secara damai. Diskursus perang yang begitu dominan dalam wacana Islam harus ditempatkan sebagai sebuah respon intelektual-ideologis yang kontekstual terhadap realitas perang itu sendiri, bukan sebagai dasar pijakan tentang bagaimana seharusnya tatanan kehidupan yang ideal dibangun dan dipelihara. Ungkapan 35 Adapun pergaulan dengan orang yang berlainan agama, selama mereka tidak memusuhi, maka Allah memperbolehkan bergaul dengan mereka sebagaimana kita bergaul dengan sesama Muslim. “jihad” yang selama ini acap diidentikkan dengan perang suci harus juga dipahami dalam konteks prinsip umum Islam, bukan semata-mata konteks perang yang spesifik. Kata “jihad” atau bentuk derifat lainnya, mujâhadah, dalam al-Qur ’an mengandung makna perjuangan dengan sepenuh hati mempromosikan dan membela nilai-nilai Islam dalam kehidupan ini. Jihad dalam pengertian perang untuk membela diri tidaklah keliru, namun bukan satu-satunya makna kata itu. Usaha sungguh-sungguh mempromosikan perdamaian, resolusi konflik secara damai, hak-hak asasi manusia, keadilan dan toleransi dapat pula disebut jihad selama ditujukan untuk membela nilai-nilai universal Islam. Sebaliknya perang yang dikibarkan untuk tujuan ofensif, menindas, dan dilakukan tanpa etika dan menghancurkan tatanan kemanusiaan, malahan tidak pantas dimasukkan dalam kategori jihâd fî sabîlillâh. 2. Hadits–hadits Perdamaian Jika al-Qur’an banyak berbicara mengenai toleransi dan perdamaian, maka Hadits pun demikian. Nabi Muhammad saw berpandangan bahwa pada dasarnya semua manusia itu sama, setara, tidak ada keunggulan antara satu kaum atas kaum lainnya, antara satu suku dengan suku yang lainnya. Keunggulan tidak dilihat dari identitas, tetapi dinilai dari ketaqwaan yang tercermin dari perbuatan seseorang. Nabi Muhamad saw bersabda: وﻓﺎﺟﺮ ٌ ِ ْ ُ ا َﻧﻤﺎ ُ َﻫﻮ، ذﻫﺐ َﻋ ْ ُْﻨﲂ ُﻋ ِ ّﺒ َﯿﺔ اﻟْ َ ﺎ ِ ِﻫﻠ ِﯿﺔ َ َ ْ ان ا َ َ ْﻗﺪ ٌ ِ َ َ ﻣﺆﻣﻦ َ ِﺗﻘﻰ َِ ﻨﺎس ُﳇﻬ ُْﻢ ﺑ َ ُﻨﻮ ٓ َ َدم َو ٓ َ ُدم ِ َُﻠﻖ ِ ْﻣﻦ ُ َﺮاٍب ) ﺪﯾﺚ ﺣﺴﻦ ُ اﻟ، ﺷﻘﻰ (ﻏﺮﯾﺐ “Sesungguhnya Allah telah menghilangkan keangkuhan zaman jahiliyah pada diri kalian; manusia hanya bisa dibagi menjadi dua bagian; seorang Mukmin yang bertaqwa dan seorang jahat yang celaka; manusia semuanya adalah anak-cucu Adam, dan Adam diciptakan dari tanah”.¹² (H.R. Tirmidzi) Hadits di atas menunjukkan agungnya ajaran Islam. Islam berpegang teguh pada prinsip persamaan sesama umat 36 manusia. Semua manusia, dengan segala identitas yang melekat padanya, dianggap memiliki harkat dan martabat yang sama, karena semuanya berasal dari Nabi Adam as; dan Nabi Adam as diciptakan dari tanah. Hadits ini juga menjelaskan bahwa kualitas seseorang tidak dilihat dari identitasnya, melainkan dari amal perbuatannya. Islam juga berpandangan bahwa identitas tidak begitu penting. Yang terpenting adalah hati dan perbuatan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Muhammad saw: ْ ُ ِ َ ُ ﻨﻈﺮ َاﱃ ْ ُ ِ َ ْ ﻨﻈﺮ َاﱃ ُ ُﻗﻠﻮ ِ ُ ْﲂ َو ْ ُ ِ َ ْ ﺻﻮرﰼ َو ﲻﺎﻟﲂ ْ ِ َ َ ﻣﻮاﻟﲂ ُ ُ ْ َ ان ا َ َﻻ ﯾ ُ ُ ْ َ وﻟﻜﻦ ﯾ ()رواﻩ ﻣﺴﲅ “Sesungguhnya Allah itu tidak melihat bentuk-bentuk kalian dan harta-harta kalian, tetapi melihat pada hati-hati kalian dan amal-amal kalian”.¹³(H.R. Muslim) Hadits-Hadits di atas menjelaskan toleransi terhadap sesama manusia secara umum. Adapun untuk sesama muslim secara khusus, banyak Hadits yang menganjurkan untuk saling membantu, saling menghargai, saling melengkapi, saling bekerja sama, tidak boleh saling mendzalimi, tidak saling menyakiti dan sebagainya. Rasulullah saw bersabda: َ َ ﯾﻈﻠﻤُﻪ ﰷن ِﰱ َ ﺎ َ ِﺔ ِﺧ ِﻪ ُ ِ ْ ا ْ ُﻟﻤ َ َ َ ْﻣﻦ، ُﺴﻠﻤُﻪ ُ ِ ْ وﻻ ُ ِ ْ َ ﺴﲅ َﻻ ِ ِ ْ ﺴﲅ ُﺧﻮ ا ْ ُﻟﻤ ً َ ْ ُ ﺴﲅ ﻓﺮج ا ُ َﻋ ْﻨُﻪ َِﲠﺎ ْ َ ﻓﺮج ْ َ َ ، ﰷن ا ُ ِﰱ َ ﺎ َﺟ ِ ِﻪ ََ َ َ ﻛﺮﺑﺔ َ َ وﻣﻦ ٍ ِ ْ ﻋﻦ ُﻣ ِ َ َ ﯾﻮم ْ ِاﻟﻘ ِ َ َ ﯾﻮم ا ْ ِﻟﻘ ًَ ُْ ﺎﻣﺔ َ َ َ وﻣﻦ ْ َ َ ، ﺎﻣﺔ ُ َ َ َ ﺴﻠﻤﺎ َ ْ َ ُ ﺳﱰﻩ ا ً ِ ْ ﺳﱰ ُﻣ ِ ْ َ ﻛﺮﺑﺔ ِ ْﻣﻦ ُ َﻛﺮِب ()رواﻩ اﻟﺒ ﺎري وﻣﺴﲅ “Seorang muslim itu saudara muslim yang lain, tidak boleh mendzaliminya dan tidak boleh menyakitinya; barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah memenuhi kebutuhannya; barang siapa membantu mengatasi kesulitan seorang muslim, maka Allah mengatasi kesulitannya nanti di hari kiamat; barang siapa menutup aib seorang muslim, maka Allah menutup aibnya di hari kiamat”.¹⁴ (H.R. Bukharⁱ Muslⁱm) Rasulullah saw juga bersabda: 37 ٌ َ َ َ َﻘﺼﺖ ْ َ َ َﻣﺎ ﻧ ٍ َ ﺻﺪﻗﺔ ِ ْﻣﻦ َ َوﻣﺎ،ﺑﻌﻔﻮ اﻻ ﻋــﺰا ٍ ْ َ ِ َ َوﻣﺎ َزاَد ا ُ َﻋ ْﺒًﺪا،ﻣﺎل (رﻓﻌُﻪ ا ُ )رواﻩ ﻣﺴﲅ َ َ َ ﺿﻊ َ ٌﺪ ِ ِ اﻻ َ َ َ َﺗﻮا Nabi Muhammad saw menempatkan perdamaian dan toleransi sebagai pilar penting dalam kehidupan sosial “Sedekah itu tidak mengurangi harta, Allah tidak menambahi orang yang memberi maaf kecuali keluhuran, dan tidaklah seseorang itu bersikap tawadlu karena Allah, kecuali Allah akan mengangkat derajatnya”.¹⁵ (H.R. Muslim) Seorang muslim yang sejati adalah yang tidak menyakiti saudara seimannya, dengan perkataan ataupun perbuatannya. Rasulullah saw bersabda: ِ ِ َ َ ﺴﻠﻤﻮن ِ ْﻣﻦ ِﻟ َﺴﺎ ِ ِﻧﻪ (وﯾﺪﻩ )رواﻩ ﻣﺴﲅ ُ ِ ْ ا ْ ُﻟﻤ َ ِ َ ﺴﲅ َ ْﻣﻦ َ ُ ِ ْ ﺳﲅ ا ْ ُﻟﻤ “Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya”.¹⁶ (H.R. Muslim) Hadits di atas mengandung pesan kuat bahwa seorang muslim yang baik dilarang menyakiti sesama muslim dengan katakatanya atau perbuatannya. Demikianlah beberapa Hadits tentang toleransi dan perdamaian, sebagai bukti bahwa Nabi Muhammad saw menempatkan perdamaian dan toleransi sebagai pilar penting dalam kehidupan sosial. Bagaimana toleransi dan perdamaian sebagai pilar penting dalam kehidupan tersebut, dipraktikkan oleh Rasulullah saw dalam kehidupan nyata? C. PERDAMAIAN DALAM SIRAH NABAWIYAH Rasulullah saw merupakan teladan sejati, tidak hanya bagi umat Islam tapi juga bagi seluruh umat manusia. Ia sangat menghormati manusia sebagai manusia terlepas siapa dia. Rasulullah suka memberi maaf, bersikap ramah dan sopan kepada orang lain, bahkan terhadap pembantunya sendiri. Akhlak Rasulullah saw sangatlah agung, sampai-sampai Allah swt memujinya dengan firman-Nya: َ َ َ َوا َﻧﻚ ﻋﻈﲓ ٍ ُ ﻟﻌﲆ ٍ ِ َ ُﻠﻖ “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS al-Qalam [68]: 4) 38 Namun setelah Islam masuk Madinah, berkat Rasulullah saw, Suku Aus dan Suku Khazraj yang selama ini berperang akhirnya bisa berdamai. Bahkan keduanya menjadi pembela setia Rasulullah dalam berdakwah sehingga mereka disebut dengan kaum Anshar. Beberapa contoh akhlak mulia Rasulullah saw yang berkenaan dengan kemanusiaan adalah sebagai berikut: 1. Rasulullah Menghormati Jenazah Seorang Yahudi Diriwayatkan bahwa suatu hari ada rombongan orang pembawa jenazah berjalan lewat persis di hadapan Rasulullah saw. Seketika itu pula beliau bangun berdiri sebagai ungkapan rasa hormatnya kepada jenazah tersebut. Tetapi kemudian datang seorang sahabat mendekatinya dan memberitahukan bahwa jenazah tersebut adalah seorang Yahudi. Rasulullah dengan tegas menjawab: “Bukankah dia juga adalah manusia” (H.R. Bukhari Muslim). 2. Rasulullah Memaafkan Penduduk Thaif yang Menolak dan Mengusirnya Diceritakan bahwa setelah wafatnya Abu Thalib dan Siti Khadijah, ulah kaum kafir Quraisy terhadap kaum muslimin semakin menjadi-jadi. Menyikapi hal tersebut, Rasul berfikir untuk mencari lahan baru sebagai pusat dakwah. Rasulullah diberi saran bahwa Thaif dapat menjadi alternatif pusat dakwah, apalagi dengan kondisi tanahnya yang subur dan baik untuk perkebunan. Kemudian Rasul pergi ke Thaif untuk mengajak penduduknya memeluk Islam, ditemani Zaid bin Haritsah. Pada mulanya penduduk Thaif menyambutnya dengan hangat. Namun ketika Rasulullah SAW mengutarakan maksud dari kedatangannya, yaitu untuk mengajak mereka memeluk Islam, penduduk Thaif menjadi sangat marah. Mereka beramai-ramai menolak Rasulullah dan mengusirnya dengan kasar; bahkan anak-anak pun diajak untuk mengusir Rasul. Dengan sangat sedih, Rasulullah melarikan diri sampai Qarn as-Tsa’alib, dimana dia berhenti sejenak untuk beristirahat. Dalam peristirahatan itulah, malaikat Jibril datang untuk menghibur Rasulullah sambil menawarkan bantuan kepadanya. Jibril berkata bahwa Allah SWT telah mengutus malaikat penjaga gunung untuk membantunya. 40 Seketika itu pula malaikat penjaga gunung datang kepada Rasul dan berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengar makian kaummu kepadamu, dan aku adalah malaikat penjaga gunung; aku diutus oleh Tuhanku kepadamu untuk mentaati segala perintahmu, apapun yang kamu inginkan; jika kamu mau, aku akan menimpakan dua gunung ini kepada orang-orang yang telah mengusirmu". Rasulullah Muhammad SAW menolak tawaran malaikat itu dengan penuh kasih sayang sambil berkata: "Jangan, aku justru berharap agar Allah menjadikan anak-cucu mereka orang-orang yang hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun." (H.R. Muslim).¹⁸ 3. Memaafkan dan Memintakan Ampun untuk yang Enggan Masuk Islam Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud r.a. bahwa: Seolah-olah aku melihat Nabi mengalami apa yang dialami para Nabi; beliau dipukuli oleh kaumnya hingga berdarah, kemudian ia mengusap darah tersebut dari wajahnya dan lalu berkata: “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka ini kaum yang tidak tahu”. (Muttafaq ‘Alaih).¹⁹ 4. Rasulullah Tidak Pernah Memukul dan Menghukum Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa: “Rasulullah saw samasekali tidak pernah memukul dengan tangannya; tidak terhadap perempuan (istri), tidak pula terhadap pembantunya, kecuali ketika berjihad di jalan Allah; Rasulullah juga tidak pernah menghukum seseorang kecuali telah melanggar hal-hal yang diharamkan Allah; jadi beliau menghukum karena Allah.” (H.R. Muslim).²⁰ 5. Mengakomodir Perbedaan dalam Membaca al-Qur’an Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab r.a. berkata: Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca Surat al-Furqan di masa hidup Rasulullah saw. Lalu aku mendengarkan bacaannya, ternyata dia membaca dengan huruf (bacaan) yang aneh dan tidak diajarkan Rasulullah saw. Hampir saja aku melukainya 41 dalam shalat; namun aku bersabar hingga ia mengucapkan salam (selesai shalat); lalu aku mengikatnya dengan selendang kemudian aku bertanya: "Siapa yang mengajarimu membaca Surat yang aku dengar tadi"? Hisyam menjawab: "Aku diajari bacaan tersebut oleh Rasulullah saw." Lalu aku berkata: "Bohong kamu karena Rasulullah telah mengajariku bacaan yang berbeda dengan bacaanmu." Lalu aku bergegas membawanya kepada Rasulullah saw kemudian aku berkata kepadanya: "Aku mendengar orang ini (Hisyam) membaca Surat al-Furqan dengan bacaan-bacaan yang tidak engkau ajarkan kepadaku." Lalu Rasulullah saw berkata: "Lepaskan dia, bacalah wahai Hisyam"! Kemudian Hisyam membaca sesuai dengan yang aku dengar tadi. Kemudian Rasulullah saw berkata: "Begitulah bacaan tersebut diturunkan." Kemudian beliau berkata: "Bacalah wahai Umar"! Lalu aku membaca sesuai dengan yang telah Rasulullah ajarkan kepadaku. Lalu Rasulullah berkata: "Begitulah bacaan tersebut diturunkan; sesungguhnya al-Qur'an ini diturunkan dengan tujuh huruf (bacaan), maka bacalah dengan apa yang mudah darinya”.²¹ 6. Mendamaikan Dua Suku yang Bertikai Sebelum Islam masuk ke Madinah, telah ada dua suku besar yang mendiami kota tersebut, yaitu Suku Aus dan Suku Khazraj. Keduanya terlibat persaingan dan pertikaian yang tiada hentinya. Meskipun telah banyak peperangan di antara keduanya dan telah banyak pula darah yang ditumpahkan, tak ada pihak yang dapat mendamaikan kedua suku tersebut. Namun setelah Islam masuk Madinah, berkat Rasulullah saw, Suku Aus dan Suku Khazraj yang selama ini berperang akhirnya bisa berdamai. Bahkan keduanya menjadi pembela setia Rasulullah dalam berdakwah sehingga mereka disebut dengan kaum Anshar.²² Begitu juga dalam kasus perkelahian antar penduduk Quba, Rasulullah berhasil mendamaikannya. ٍ ْ َ ﻋﻦ َﺳﻬ ِْﻞ ْ ِﻦ َ ْ ن، رﴈ ا ُ َﻋ ْﻨُﻪ ﻫﻞ ُﻗ َ ٍﺎء ا ْﻗ َ َ ُﺘﻠﻮا َﺣﱴ َْ َ ِ َ ﺳﻌﺪ ِ َ َ ﺮاﻣﻮا ِ ْ ِﻟﺤ ُ ُ َ ﻓَ ْ ِ َﱪ، ﺎرة ، َ ِ وﺳﲅ ِ َﺑﺬ َ َ َ رﺳﻮل ا ِ َﺻﲆ ا ُ َﻠَ ْ ِﯿﻪ ْ َ ََ 42 َ ََ ُﺼﻠﺢ ﺑ َ ْ ُ َْﳯﻢ ُ ِ ْ " ْاذﻫ َُﺒﻮا ﺑ َِﻨﺎ ﻧ: ﻓﻘﺎل “Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d r.a.: Suatu ketika orang-orang Quba berkelahi satu sama lain sampai-sampai saling melempar batu. Ketika hal itu diberitahukan kepada Rasulullah saw, beliau bersabda:”Mari kita pergi dan mendamaikan mereka”.²³ [3:858SA] Begitulah kecintaan Rasulullah saw terhadap perdamaian. Beliau orang yang sangat menghargai perbedaan dan sangat toleran, dengan non-muslim ataupun dengan sesama muslim. Sebagai umatnya, sudah sewajarnya kita mencontoh dan meneladani akhlak luhur ini. D. PERDAMAIAN DALAM SEJARAH ISLAM Jika ditelusuri secara mendalam, ternyata sejarah Islam lebih banyak diwarnai perdamaian. Benar bahwa terjadi banyak peperangan, tetapi kehidupan umat Islam secara keseluruhan ketika itu lebih banyak diwarnai suasana damai. Rasulullah saw diutus menjadi Rasul ketika berumur 40 tahun. Kemudian beliau berdakwah selama kurang lebih 23 tahun. Dakwah Rasulullah saw ini bisa dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah berlangsung kurang lebih 13 tahun, sedangkan periode Madinah selama kurang lebih 10 tahun. Berdasarkan sejarah, dakwah Rasulullah saw di Makkah tidak terjadi peperangan, bahkan Rasul menjadi teladan agung dalam hal kesabaran, ketabahan dan jiwa pemaaf. Adapun periode Madinah, memang terjadi banyak peperangan, namun pada dasarnya Rasulullah lebih mempromosikan perdamaian. Sebagai contoh adalah apa yang telah dijelaskan di atas mengenai perdamaian antara suku Aus dan Khazraj. Islam tidak mendorong orang untuk berperang. Islam selalu mengajak perdamaian. Peperangan terjadi selama Nabi di kota Madinah karena umat Islam berusaha membela dirinya dari serangan kaum Quraisy yang memusuhi mereka dan berjuang mengembalikan hak yang telah dirampas musuh. Selain itu, umat Islam terpaksa menempuh jalan perang karena pihak musuh berniat menghancurkannya dan bermaksud menghalangi mereka Islam tidak mendorong orang untuk berperang. Islam selalu mengajak perdamaian. Peperangan terjadi selama Nabi di kota Madinah karena umat Islam berusaha membela dirinya dari serangan kaum Quraisy yang memusuhi mereka dan berjuang mengembalikan hak yang telah dirampas musuh. 43 menjalankan agama dan keyakinannya. Sebagaimana yang terjadi dalam sejarah Islam, bahwa kaum Quraisy menindas kaum muslimin di Makkah sehingga mereka terpaksa hijrah ke Madinah. Kaum muslimin pergi ke Madinah meninggalkan harta benda mereka di Makkah. Mereka tidak membawa apa-apa kecuali untuk bekal selama di perjalanan. Hal ini disebabkan hijrah bukanlah rekreasi, namun lebih merupakan pelarian untuk menghindari penindasan sehingga mereka tidak sempat membawa harta benda mereka. Nah, peperangan-peperangan yang terjadi di Madinah lebih disebabkan oleh motif menuntut keadilan agar hak-hak dan kemerdekaan mereka diberikan dan dipulihkan kembali. Kaum Muhajirin yang dibantu Anshar ingin mengambil kembali harta benda dan milik mereka. Namun karena kaum Quraisy menghalanginya, maka peperangan tak terhindarkan. Meskipun banyak peperangan, Islam tetap menunjukkan keluhurannya sebagai agama perdamaian. Contoh nyata dalam hal ini adalah Piagam Madinah, perjanjian Hudaibiyah, dan pembebasan kota Makkah (Fathu Makkah). 1. Piagam Madinah Piagam Madinah Secara sosial-politik, Piagam yang kemudian terkenal dengan nama Piagam Madinah itu, bertujuan menghadirkan kehidupan sosial yang stabil, aman dan sejahtera di kota Madinah yang dihuni oleh masyarakat yang majemuk. 44 Di masa-masa awal kehidupannya di Madinah, Rasulullah telah menemukan ketidakharmonisan kehidupan masyarakat Madinah akibat perbedaan keyakinan di antara mereka. Saat itu belum seluruh penduduk Madinah memeluk Islam. Keberagaman ini, di satu sisi menunjukkan kehidupan sosial yang alamiah, tetapi di sisi lain berpotensi menimbulkan ketegangan dan ketidakstabilan sosial. Untuk menciptakan situasi yang lebih kondusif, Rasulullah berinisiatif membuat Piagam yang berlaku untuk semua kalangan, untuk kaum muslim dan non-muslim. Piagam itu bertujuan melindungi hakhak setiap warga masyarakat untuk berkeyakinan serta berusaha untuk melindungi jiwa, harta dan kehormatan semua warga Madinah secara adil dan terhormat. Dengan begitu, setiap orang merasa diperlakukan secara sama dan adil karena keberadaan dan hak-haknya diakui dan dilindungi. Secara sosial-politik, Piagam yang kemudian terkenal dengan nama Piagam Madinah itu, bertujuan menghadirkan kehidupan sosial yang stabil, aman dan sejahtera di kota Madinah yang dihuni oleh masyarakat yang majemuk. Isi Piagam Madinah tersebut di antaranya:²⁴ ٍ َ ُ ﺘﺎب ِ ْﻣﻦ ِ ِﺴﻢ َ َ .اﻟﺮﺣﲓ ﷲ َﻠَ ْ ِﯿﻪ ٌ َ ﻫﺬا ِﻛ ُ ﻨﱯ َﺻﲆ ِ َْ ﷲ ِ ْ ّ ِ ِ ﻣﺤﻤﺪ اﻟ ِ ْ ِ اﻟﺮﲪﻦ وﻟﺤﻖ ْ ُ ْ ﺑﲔ َ ِ َ َ وﻣﻦ ﺗَِﺒ َﻌﻬ ُْﻢ َ ِ ْ َ َ ﺴﻠﻤﲔ ِ ْﻣﻦ ُ َﻗﺮ ٍْﺶ ْ َ َ وﯾﱶب َ ْ ِ ِ ْ اﻟﻤﺆ ِﻣ ِ ْ َﲔ َوا ْ ُﻟﻤ َ ْ َ وﺳﲅ َ ََ ِ دون اﻟ ٌ َ ِ اﳖﻢ ٌﻣﺔ َوا َ َ َ ِ ِ ْﲠﻢ َو .ﻨﺎس ِ ْ ُ ﺪة ِ ْﻣﻦ ْ ُ ,ﺎﻫﺪ َ َﻣﻌﻬ ُْﻢ “Dengan menyebut nama Allah swt yang maha pengasih lagi maha penyayang. Piagam ini dari Muhammad yang menjadi Nabi di antara kaum mukminin dan muslimin dari kalangan Quraisy dan kalangan Yatsrib dan orang-orang yang mengikuti, 45 menyusuli, dan berperang bersama mereka. Sesungguhnya mereka satu umat tanpa ada perbedaan.” َ َ ﻣﻈﻠﻮﻣﲔ َ َ ْ ْ ﻨﴫ َوا ﻨﺎﴏ َ ِ َ َ وﻻ ُﻣ َ ْ ِ ْ ُ ْ َ ﺳﻮة َ ْ َﲑ َ ْ َ ْﻣﻦ ﺗَ ِ َﺒﻌ َﻨﺎ ِ ْﻣﻦ َ ُ ْﳞﻮَد َﻓﺎن َ ُ اﻟ ﻠﳱﻢ ْ َِْ َ “Barangsiapa mau megikuti kita dari orang-orang Yahudi, maka niscaya akan mendapatkan pertolongan dan perlindungan, tidak akan dizalimi dan tidak akan diperangi.” ٍ ْ َ دﺑﲏ ِ ْ ُ َ ْ ِ ,اﻟﻤﺆ ِﻣ ِ ْ َﲔ , ﺴﻠﻤﲔ ِد ْ ُ ُﳯﻢ ْ ُ ْ ﻋﻮف ٌﻣﺔ َ َﻣﻊ َ ْ ِ ِ ْ َو ِ ْ ُﻠﻤ,ﻠﳱﻮد ِد ْ ُ ُ ْﳯﻢ ْ ِ َ َ ٕان َ ُ ْﳞﻮ ٍ ْ َ َﳱﻮد َ ِ ْﺑﲏ ِ ْ ُ ِ اﻟﻤﻌﺎﻫﺪ ْ َﻦ َﻣﺎ ِ ْ ُ ْ ِﻟ َ ِﺒﻘ ِﺔ ا. َو ﻧ ُْﻔ ِﺴﻬ ِْﻢ,َ َﻣﻮا ِ ْ ِ ْﳱﻢ ِ ِ َ ُ ْ َﳱﻮد ﻋﻮف “Sesungguhnya Yahudi dari klan bani Auf adalah satu umat bersama orang-orang mukmin. Orang Yahudi dapat memeluk agamanya. Orang Islam mempertahankan agamanya, baik kaum Muslimin sendiri maupun budak-budak mereka. Untuk Yahudi yang mengadakan perjanjian damai mendapatkan aturan yang sama dengan aturan yang berlaku bagi Yahudi bani Auf.” ِ ْ ُ َ ْ ٔن َ َﲆ ا ﴫ َ َﲆ َ ْ ِ ِ ْ َﻔﻘﳤﻢ َو َ َﲆ ا ْ ُﻟﻤ َ ْ ﳯﻢ اﻟﻨ ْ ُ ُ َ َ ﺴﻠﻤﲔ ﻧ ْ ُ ُ َ َ ﳱﻮد ﻧ ُ ُ َ ْ َ َو ن ﺑ,َﻔﻘﳤﻢ ِ َ ْ ﻟﺼﺤ ِ ِ َ ﻫﻞ ِ ﻫﺬﻩ ا َ ْ ﺎرب واﻟﱪ ِ ْ َ ﻨﺼﺢ َواﻟ ِﻨﺼ ْﯿ َ َﺔ َ َ َ َ ْﻣﻦ َ ْ ﳯﻢ اﻟ ُ ُ َ ْ َ َو ن ﺑ,ﯿﻔﺔ اﻻﰒ َ ُْ ِ ْ ْ دون “Nafkah orang Yahudi ditanggung sendiri. Nafkah kaum muslimin juga di tanggung sendiri, dan di antara mereka semua (muslim dan non-muslim) wajib membantu satu sama lain dalam melawan siapapun yang menentang dan melanggar isi piagam ini, dan mereka semua berhak saling memberi saran, nasihat dan kebaikan serta tidak melakukan pelanggaran.” ِ َ ْ ﻟﺼﺤ ِ ِ َ ﻫﻞ ِ ﻫﺬﻩ ا ِ ْ َوان اﻟْ َ َﺎر َﰷﻟ,ﯿﻔﺔ ﻨﻔﺲ َ ْ ُﲑ ِ ْ ِ ﺟﻮﻓُﻬَﺎ َ ِ ْ َ َوان ٌ َ َ ﯾﱶب ْ َ ﺣﺮام ٌ َ ْ ُ ﻻﲡﺎر ذن ْ ِﻫﻠﻬَﺎ ٍ َ ُﻣ ِ ْ ِ ﺣﺮﻣﺔ اﻻ ُ َ ُ َ َواﻧُﻪ,ﻀﺎر َو ٓ ِ ٍﰒ “Dan sesungguhnya Yatsrib tidak boleh dizalimi oleh siapapun yang berada dalam naungan Piagam ini. Tetangga adalah seperti diri sendiri, tidak boleh disakiti atau dizalimi. tidak boleh memasuki wilayah pribadi tetangganya tanpa seizin yang berhak.” ِ َ ْ ﻟﺼﺤ ِ ِ َ ﻫﻞ ِ ﻫﺬﻩ ا ٍ َ َ ﯿﻔﺔ ِ ْﻣﻦ ُ َ ُ ﺪث ِوا ْﺷ ِﺘ َ ٍﺎر ﳜﺎف ِ ْ ﺑﲔ َ ْ َ ﰷن َ َ َوان َﻣﺎ 46 َ َ ﷲ َﻋﺰ َو َ ﻞ ِ رﺳﻮل ٍ َ ُ واﱃ ِ ﻓَ َﺴﺎ ُ ُدﻩ َﻓﺎن َ َﻣﺮ ُدﻩ َاﱃ ِ ْ ُ َ ﻣﺤﻤﺪ ﷲ ُ ﷲ َﺻﲆ .وﺳﲅ َ َ َ َﻠَ ْ ِﯿﻪ “Dan apabila terjadi insiden atau konflik yang dikhawatirkan menimbulkan kekacauan, maka masalah ini akan diselesaikan dengan mengacu kepada (ketentuan) Allah dan Rasul utusan Allah.” Terwujudnya Piagam Madinah yang dibuat Rasulullah saw merupakan bukti bahwa Islam menaruh perhatian serius terhadap hak-hak asasi manusia dan menganggap bahwa kehidupan sosial yang baik dan harmoni wajib diwujudkan dengan kontrak-kontrak sosial yang dapat diterima dan mengikat semua kelompok, serta harus dihormati semua pihak. Piagam Madinah merupakan produk politik dan hukum yang sangat maju di zamannya yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) yang baru ditemukan dan diperjuangkan oleh masyarakat internasional di abad ke-20. Dengan Piagam itu, Rasulullah ingin menyatakan kepada kelompok-kelompok non-muslim bahwa Islam bukanlah ancaman bagi mereka, karenanya kehadirannya tidak perlu ditakuti. Islam adalah rahmatan lil alamin. Tetapi dengan Piagam itu pula Rasulullah ingin mengajarkan kepada segenap warga Madinah yang beragam itu agar mereka berkomitmen untuk hidup bersama secara beradab dengan membuat kontrak-kontrak sosial yang dihormati dan dipatuhi. 2. Perjanjian Hudaibiyah Peristiwa ini terjadi pada tahun 6 hijriyah. Ringkasnya, ketika itu Rasulullah beserta rombongan dari Madinah pergi ke Makkah untuk melaksanakan umroh. Namun di Makkah telah tersiar kabar tersebut dan kaum Quraisy menolak rencana kedatangan Rasul. Mereka bahkan menyiapkan pasukan untuk menghalanginya. Namun, untuk mencegah terjadinya peperangan, Rasulullah kemudian mengusulkan dibuatnya suatu kesepakatan atau perjanjian perdamaian yang dikenal dengan nama perjanjian Hudaibiyah. Isi dari perjanjian ini adalah sebagai berikut: (1) Tahun ini Nabi dan rombongan 47 mengurungkan niatnya untuk umroh dan kembali ke Madinah, dan sebagai gantinya umroh bisa dilaksanakan tahun depan; (2) mengadakan genjatan senjata (berdamai) selama 10 tahun; (3) setiap orang yang terikat pada perjanjian ini bebas untuk memilih, memilih bergabung dengan kubu Rasulullah atau kubu Quraisy; dan (4) kaum Quraisy yang melarikan diri ke Madinah maka harus ditolak, sedangkan kaum Muslimin yang melarikan diri ke Makkah maka harus diterima.²⁵ Di sinilah terlihat keluhuran Islam di mana Nabi saw memilih untuk mengalah daripada berperang. Nabi bersedia kembali ke Madinah dan mengurungkan niatnya untuk melaksanakan umroh. Nabi juga bersedia menerima kesepakatan yang keempat yang sebenarnya merugikan kaum muslimin, karena dengan poin itu seolah-olah Rasulullah memperbolehkan orang untuk murtad dan melarang orang Quraisy masuk Islam. Meski terlihat merugikan kaum muslimin, namun demi perdamaian, Nabi menyetujui kesepakatan tersebut. Hak yang Adil Sesungguhnya Yahudi dari klan bani Auf adalah satu umat bersama orang-orang mukmin. Orang Yahudi dapat memeluk agamanya. Orang Islam mempertahankan agamanya, baik kaum Muslimin sendiri maupun budak-budak mereka. Untuk Yahudi yang mengadakan perjanjian damai mendapatkan aturan yang sama dengan aturan yang berlaku bagi Yahudi bani Auf. Sifat mengalah Nabi juga terlihat ketika proses penulisan kesepakatan. Pihak kaum muslimin menginginkan agar kesepakatan ini ditulis dengan mencantumkan Bismillahirrahmanirrahim, namun pihak Quraisy menolaknya. Mereka minta cukup dituliskan Bismika Allahumma. Terjadi perselisihan ketika itu, namun kemudian Nabi melerai dan menerima permintaan pihak Quriasy.²⁶ Perselisihan juga terjadi ketika nama Nabi akan dituliskan. Kaum Muslimin menginginkan dituliskannya nama Muhammad Rasulullah, namun kaum Quraisy menolaknya, dan mengusulkan cukup dituliskan Muhammad bin Abdillah. Lagi-lagi Nabi mengalah dan menerima permintaan pihak Quraisy. Nabi melakukan semua ini karena melihat kebaikan (mashlahat) yang lebih besar daripada hanya memasukkan pendapat dan memperkuat identitasnya. Mashlahat tersebut adalah perdamaian. 3. Pembebasan Kota Makkah (Fathu Makkah) Peristiwa ini terjadi pada tahun 8 hijriyah dan masih terkait dengan perjanjian Hudaibiyah. Sebagaimana disebutkan dalam 48 perjanjian Hudaibiyah, bahwa semua pihak sepakat untuk berdamai selama 10 tahun. Namun ternyata kaum Quraisy melanggar perjanjian itu. Mereka menyerang salah satu sekutu Islam, yaitu Kabilah Bani Khuza’ah. Mendengar kejadian ini, Rasulullah saw marah dan menyiapkan bala tentara besar untuk melakukan pembalasan sekaligus membebaskan kota Makkah. Ada sekitar 10 ribu pasukan yang dipimpin langsung oleh Rasulullah saw menuju Makkah. Namun demikian, tidak terjadi perlawanan besar pada peristiwa ini karena kaum Quraisy tidak melakukan perlawanan. Nabi pun telah memerintahkan kepada semua pasukan untuk tidak menyerang jika tidak diserang. Rasulullah memasuki kota Makkah tanpa perlawanan. Di sinilah terlihat kebesaran Nabi dan keagungan ajaran Islam. Nabi melarang pasukan Islam membunuh kaum wanita, anak-anak dan orang tua. Nabi juga melarang pasukan merusak bangunan dan menebang pohon. Rasulullah saw masuk Masjidil Haram yang di dalamnya telah berkumpul banyak penduduk Makkah sebagai bangsa yang kalah perang. Lagi-lagi di sini Rasulullah saw menunjukkan kebesaran beliau sebagai panutan seluruh umat manusia. Bisa saja Nabi menjadikan mereka sebagai tawanan perang atau budak sebagaimana berlaku saat itu. Namun Nabi sama sekali tidak melakukannya. Rasulullah sebaliknya memaafkan dan membebaskan mereka semuanya. Nabi berkata kepada mereka: “Wahai kaum Quraisy, kalian pikir, apa yang akan aku lakukan pada kalian?" Mereka menjawab: "Kebaikan, (karena engkau) saudara (kami) yang mulia dan anak saudara (kami) yang mulia." Rasulullah kemudian berkata: "Aku mengatakan kepada kalian sebagaimana (nabi) Yusuf berkata kepada saudara-saudaranya, tidak ada cercaan bagi kalian, pergilah, kalian adalah orang-orang yang bebas.”²⁷ Melalui Piagam Madinah, Rasulullah ingin mengajarkan kepada segenap warga Madinah yang beragam itu agar mereka berkomitmen untuk hidup bersama secara beradab dengan membuat kontrakkontrak sosial yang dihormati dan dipatuhi. 4. Keteladanan Umar bin Khattab Jiwa besar Nabi saw sebagai orang yang sangat menghargai kemanusiaan dan perdamaian diteladani generasi setelahnya. Salah satunya adalah Umar bin Khattab. Meskipun dikenal 49 Teladan Khalifah Umar Salah satu ucapan Umar yang sangat terkenal hingga sekarang adalah ucapannya kepada Amru bin Ash, salah satu panglima besar Islam. Kepadanya Umar berkata: "Mengapa kalian menjadikan penduduk tersebut sebagai budak, padahal ibu-ibu mereka telah melahirkan mereka dalam keadaan merdeka”. keras, namun dia sangat menghargai kemanusiaan. Umar bin Khattab adalah khalifah kedua menggantikan Abu Bakar asShiddiq. Pada masanya, banyak kemajuan yang berhasil dibuatnya. Selain perluasan wilayah kekuasaan hingga Mesir, kebijakan-kebijakan yang dibuatnya masih dikenang hingga sekarang. Umar adalah khalifah yang tegas dan disiplin, namun demikian dia juga sederhana dan penuh kasih sayang. Umar adalah contoh agung toleransi dalam sejarah Islam. Dikisahkan bahwa pada suatu hari khalifah kedua ini berjalanjalan menyusuri kota Madinah seperti kebiasaannya untuk mengamati keadaan rakyatnya. Beliau terkejut ketika melihat seorang lelaki Yahudi tua renta yang tergeletak di pinggir jalan. Dia kemudian bertanya kepadanya apa yang membuatnya seperti itu? Ternyata orang Yahudi tersebut menderita karena jatuh miskin. Umar sangat sedih melihatnya, dan memutuskan untuk memberinya makanan secara tetap, dari Baitul Mal untuk membantu agar orang tua tersebut dapat hidup secara layak. Bukan hanya itu, Umar juga membebaskannya dari kewajiban membayar pajak negara (jizyah).²⁸ Contoh lain dari jiwa kemanusiaan Umar adalah sikapnya terhadap penduduk di daerah yang ditaklukkan pasukan Islam. Biasanya Umar tidak mau menjadikan mereka sebagai budak dan selalu berpesan kepada pasukannya untuk berbuat baik terhadap penduduk setempat. Salah satu ucapan Umar yang sangat terkenal hingga sekarang adalah ucapannya kepada Amru bin Ash, salah satu panglima besar Islam. Kepadanya Umar berkata: ﻣﱴ اﺳ ﺘﻌﺒﺪﰎ اﻟﻨﺎس وﻗﺪ و ﲥﻢ ٔ ﺎﲥﻢ ٔﺣﺮارا ؟ “Mengapa kalian menjadikan penduduk tersebut sebagai budak, padahal ibu-ibu mereka telah melahirkan mereka dalam keadaan merdeka?”²⁹ 5. Toleransi Ulama Madzhab Sikap toleransi dan perdamaian juga diperlihatkan para ulama madzhab. Terdapat empat ulama madzhab yang terkenal yaitu: 50 Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali. Meskipun mereka saling berbeda dalam perumusan dan pemahaman hukum-hukum fikih, namun mereka saling menghargai dan saling menghormati. Mereka hanya berijtihad dengan ilmu pengetahuan dan pemahaman mereka, dan tidak pernah memaksakan pendapatnya. Mereka mempersilahkan setiap orang untuk bebas mengikuti atau tidak mengikuti pendapat mereka karena sadar bahwa hasil ijtihad itu belum tentu benar. Beberapa sikap mereka yang mencerminkan toleransi dan kedewasaan, di antaranya adalah sebagai berikut: Ulama Madzhab Para ulama madzhab mempersilahkan setiap orang untuk bebas mengikuti atau tidak mengikuti pendapat mereka karena sadar bahwa hasil ijtihad itu belum tentu benar a. Saling menimba ilmu satu dari yang lainnya Berdasarkan sejarah, Imam Syafi’i tidak bertemu dengan Imam Hanafi. Imam Syafi’i lahir pada tahun di mana Imam Hanafi wafat. Namun Imam Syafi’i sangat ingin menimba ilmu dari Imam Hanafi karena mengetahui bahwa dia adalah salah satu ulama besar. Akhirnya Imam Syafi’i berguru kepada salah satu murid besar Imam Hanafi yang bernama Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani. Muhammad bin alHasan ini bisa dikatakan tangan kanan Imam Hanafi. Dalam Kitab al-Umm, Imam Syafi’i banyak menukil dari Muhammad bin al-Hasan ini. Selain itu, Imam Syafi’i juga berguru kepada Imam Maliki. Bahkan dia menghafal kitab Muwatta’nya Imam Maliki. Diceritakan oleh Imam Nawawi bahwa: “as-Syafi'i pergi ke Madinah untuk berguru kepada Abi Abdillah, Malik bin Anas Rahimahullah; ketika sampai di sana, as-Syafi'i membacakan Kitab Muwatta' kepada Imam Malik secara hafalan; Imam Malik kagum dengannya; lalu asSyafi'i belajar tekun dengannya. Imam Malik berpesan kepada as-Syafi'i: Bertaqwalah kamu kepada Allah dan jauhilah kemaksiatan karena kelak kamu menjadi orang yang berpengaruh.”³¹ Saling belajar juga berlaku antara Imam Syafi’i dan Imam Hanbali. Keduanya saling menghargai dan saling menghormati. Salah seorang murid Imam Syafi’i yang benama az-Za’farani bercerita: “Aku tidak membaca kepada 51 Imam Syafi'i kecuali ketika itu hadir Imam Hanbali; dan aku tidak pergi ke majlis Imam Syafi'i kecuali ketika itu Imam Hanbali hadir di situ.”³² Adapun bergurunya Imam Syafi'i kepada Imam Hanbali diceritakan oleh murid-murid Imam Hanbali. Bahwa pada suatu hari Imam Syafi'i mendatangi Imam Hanbali dan berkata: "Pada suatu hari aku membahas suatu masalah bersama penduduk Irak, andai saja aku memiliki Hadits Rasulullah saw saat itu"; kemudian Imam Hanbali memberikan 3 Hadits kepada Imam Syafi'i; lalu Imam Syafi'i berterima kasih padanya.³³ b. Saling menghormati dan saling memuji Diceritakan bahwa Imam Syafi’i suka memuji Imam Hanafi. Ia berkata: “Semua makhluk itu pengikut Abu Hanifah, barang siapa yang ingin mendalami fikih maka ikutilah Abu Hanifah.”³⁴ Imam Syafi'i juga berceritera bahwa Imam Maliki juga sangat hormat kepada Imam Hanafi. Pernah suatu hari Imam Maliki ditanya mengenai Imam Hanafi. Imam Maliki menjawab: "Iya, aku melihat seorang lelaki yang sangat kuat argumennya."³⁵ Imam Hanbali juga sangat memuji Imam Syafi’i. Imam Hanbali berkata: “Sesungguhnya Allah telah menganugrahkan pada diri Syafi’i segala kebaikan.”³⁶ Sebaliknya, Imam Syafi’i juga sangat memuji Imam Hanbali. Imam Syafi’i berkata: “Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam dalam sembilan perkara; imam dalam hal hadits, fikih, bahasa, al-Qur'an, imam dalam hal kefakiran (merasa butuh dengan Allah), imam dalam hal zuhud, wara’ (sikap kehatihatian) dan dalam hal sunnah.”³⁷ c. Sangat toleran dalam hal berpendapat Para ulama Madzhab menyadari bahwa hasil ijtihad itu tidak pasti benar. Yang pasti benar hanyalah dari Allah. Sedangkan pikiran manusia bersifat relatif. Sesuatu yang dianggap 52 benar oleh seseorang bisa jadi dianggap salah oleh orang lain. Jargon umum yang dipakai oleh para ulama madzhab yaitu: ور ٔى ﲑى ﺧﻄ ٔ ﳛﳣﻞ اﻟﺼﻮاب، ٔ ر ٔﱙ ﺻﻮاب ﳛﳣﻞ اﳋﻄ “Pendapatku itu benar, namun mungkin juga salah; sedangkan pendapat orang lain itu salah, namun mungkin juga benar.”³⁸ Contoh paling kongkret dari toleransi ulama madzhab adalah sikap Imam Syafi’i. Imam Syafi'i tidak membaca doa Qunut dalam shalat Subuh ketika berziarah ke makam Imam Hanafi, yaitu tepatnya di Masjid Abu Hanifah, padahal dia berpendapat bahwa Qunut itu Sunnah Muakkadah. Ketika ditanya mengenai hal ini, Imam Syafi'i menjawab: “Aku meninggalkannya karena menghormati orang yang berada di makam ini (Imam Hanafi)”.³⁹ Wali Songo 6. Toleransi Ulama Nusantara Toleransi dan prinsip perdamaian juga dipraktikkan dengan baik oleh ulama-ulama nusantara. Masuknya Islam ke Jawa merupakan bukti nyata bagaimana toleransi dan perdamaian lebih diutamakan. Sebelum datangnya Islam ke Jawa, penduduk Jawa telah memeluk agama Hindu dan Budha. Kemudian datanglah para ulama yang dikenal dengan Wali Songo untuk menyebarkan Islam di tanah Jawa. Berbeda dengan penyebaran Islam di daerah-daerah Timur Tengah yang dilalui melalui peperangan, Islam berhasil masuk dan disebarkan ke Jawa dengan jalan damai. Para ulama Jawa yang dikenal dengan nama Wali Songo tersebut menyebarkan Islam di Jawa dengan cara-cara yang menghormati budaya setempat (pendekatan kultural), yang santun dan tanpa kekerasan. Ulama Wali Songo sangat menghormati tradisi dan budaya lokal. Mereka tidak menyudutkan praktik-praktik yang hidup dalam masyarakat meskipun bertentangan dengan syariat Islam. Sebaliknya, mereka membiarkan praktik-praktik tersebut sambil berusaha memasukkan nilai-nilai Islam ke dalamnya. Wali Songo sangat menghormati tradisi dan budaya lokal. Mereka tidak menyudutkan praktikpraktik yang hidup dalam masyarakat meskipun bertentangan dengan syariat Islam. Sebaliknya, mereka membiarkan praktikpraktik tersebut sambil berusaha memasukkan nilai-nilai Islam ke dalamnya. Upaya ini ternyata sangat manjur. Dengan begitu orang Jawa lebih mudah menerima Islam karena mengganggap bahwa Islam tidak mengganggu adatistiadat dan budaya mereka. 53 Upaya ini ternyata sangat manjur. Dengan begitu orang Jawa lebih mudah menerima Islam karena mengganggap bahwa Islam tidak mengganggu adat-istiadat dan budaya mereka. Lihat saja apa yang dilakukan Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga berdakwah dengan gamelan sekaten-nya. Atas usul Sunan Kalijaga, diadakanlah acara “sekaten” untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad saw. Kata “sekaten” sebenarnya berasal dari kata syahadatain yang berarti dua kalimat syahadat. Acara sekaten sampai sekarang masih diadakan di alun-alun Yogyakarta sebagai peringatan maulid Nabi Muhammad saw. Dulunya, acara sekaten ini dilaksanakan dengan menabuh gamelan dengan langgam Jawa yang telah lazim di masa itu. Akan tetapi langgam Jawa tersebut diisi dengan ajaran-ajaran Islam. Dengan acara sekaten ini, Sunan Kalijaga berhasil menarik minat penduduk setempat untuk lebih mengenal Islam.⁴⁰ Sunan Kalijaga juga mengarang lakon-lakon wayang baru yang isinya diubah dan dimasuki ajaran-ajaran Islam. Dalam menyelenggarakan pagelaran wayang, upah sebagai dalang adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. Dengan kalimat syahadat, Sunan Kalijaga baru bersedia dipanggil untuk memainkan lakon wayang. Pendekatan berdakwah yang toleran seperti inilah yang dapat membuat orang Jawa masuk Islam.⁴¹ Mirip dengan Sunan Kalijaga, Sunan Kudus juga sangat bersikap toleran terhadap masyarakat setempat yang beragama Hindu dan Budha. Sampai sekarang, di kalangan masyarakat Kudus terdapat tradisi pelarangan menyakiti, bahkan menyembelih sapi. Pelarangan ini adalah salah satu bentuk toleransi yang ditunjukkan Sunan Kudus, yang juga bernama Sayyid Ja’far Shodiq. Sikap toleran Sunan Kudus juga terlihat dari dibuatnya Masjid Menara Kudus dengan arsitektur yang dipengaruhi arsitektur Hindu. Padasan atau keran untuk wudlu yang dibuat berjumlah delapan. Ini untuk mengadopsi ajaran Asta Sanghika Marga (Delapan Jalan Utama) orang 54 Hindu. Hasil dari toleransi itu adalah berkembangnya Islam dengan cepat tanpa adanya paksaan di daerah-daerah dakwah Sunan Kudus.⁴² Toleransi dan sikap damai ini juga dipraktikkan oleh para kiai, salah satunya adalah K.H. Hasyim Asyari. K.H. Hasyim dikenal sebagai ulama yang sangat toleran terhadap perbedaan mazhab. Meski termasuk pendiri Nahdatul Ulama (NU) yang banyak mengikuti pendapat Imam Syafi’i, namun dengan tegas ia menyeru ulama NU untuk menjauhi sifat fanatik buta terhadap satu mazhab. Mengenai hal ini, K.H. Hasyim Asyari mengatakan: “Wahai para ulama yang fanatik terhadap madzhab-madzhab atau terhadap suatu pendapat, tinggalkanlah kefanatikanmu terhadap urusan furu’ (cabang agama), dimana para ulama telah memiliki dua pendapat atau lebih yaitu; setiap mujtahid itu benar; dan pendapat lain mengatakan: mujtahid yang benar itu satu, akan tetapi pendapat yang salah itu tetap diberi pahala. Tinggalkanlah fanatisme dan hindarilah jurang yang merusakkan ini (fanatisme)”.⁴³ Seruan tersebut tidak hanya dituangkan dalam tulisan, namun juga dipraktikkannya dalam kehidupan. Menurut K.H. Shalahuddin Wahid, suatu ketika K.H. Hasyim Asyari akan kedatangan seorang ulama bernama K.H. Abdurrahman Syamsuri dari Pondok Pesantren Muhammadiyah, Paciran Lamongan, Jawa Timur. Ketika itu K.H. Hasyim dengan K.H. Abdurrahman berbeda pendapat mengenai hukum memukul bedug sebelum adzan. K.H. Abdurrahman berpendapat bahwa memukul kentongan sebelum adzan tidak diperbolehkan. Sedang K.H. Hasyim memperbolehkannya dengan syarat itu bukan bagian dari ibadah sholat. Karena tahu K.H. Abdurrahman hendak bersilaturahim ke pesantrennya, K.H. Hasyim mengintruksikan kepada masjid Nahdliyin di sepanjang jalan yang akan dilalui oleh K.H. Abdurrahman untuk menyimpan beduk dan tidak membunyikannya. Hal itu dilakukan untuk menghormati tokoh Muhammadiyah tersebut. Hal yang sama juga dilakukan oleh K.H. Abdurrahman ketika KH. Hasyim Asy’ari K.H. Hasyim Asyari mengatakan: “Wahai para ulama yang fanatik terhadap madzhab-madzhab atau terhadap suatu pendapat, tinggalkanlah kefanatikanmu terhadap urusan furu’ (cabang agama), dimana para ulama telah memiliki dua pendapat atau lebih yaitu; setiap mujtahid itu benar; dan pendapat lain mengatakan: mujtahid yang benar itu satu, akan tetapi pendapat yang salah itu tetap diberi pahala. Tinggalkanlah fanatisme dan hindarilah jurang yang merusakkan ini 55 K.H. Hasyim Asyari bersilaturahim ke pesantrennya. Seluruh masjid Muhammadiyah yang akan dilalui K.H. Hasyim diperintahkan untuk memasang beduk sebagai bentuk penghormatan kepada tokoh NU tersebut.⁴⁴ Demikianlah, sejak dahulu ulama nusantara telah banyak mempraktikkan toleransi dalam beragama dan berdamai terhadap orang lain yang berbeda pandangan. Alangkah baik dan indahnya jika sikap ini terus kita jaga dan kita praktikkan dalam keseharian kita. E. KESIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an dan Hadits memiliki sikap yang jelas dan tegas soal toleransi dan perdamaian. Apa yang dimiliki Islam baik sebagai aturan dan hukum (sistem norma) ataupun sejarahnya, sangatlah jelas. Bahwa Islam menganggap perdamaian dan toleransi sebagai hal penting untuk mewujudkan dan menjamin kehidupan yang baik bagi umat manusia yang berbeda-beda keyakinan dan identitas. Islam juga berpendapat bahwa aspek kemanusiaan sangatlah penting terutama dalam menyikapi-perbedaan-perbedaan atas dasar ajaran-ajaran agama. Islam berpandangan bahwa setiap orang berhak untuk berpendapat ataupun menempuh jalan yang berbeda, tetapi yang terpenting adalah bahwa pendapat dan pilihan setiap orang itu haruslah dihormati dan dihargai. Perdamaian telah dipraktikkan dari zaman Nabi Muhammad saw, para sahabat, pada ulama madzhab, dan para ulama nusantara. Beberapa hal di bawah ini perlu menjadi perhatian kita bersama, yaitu: 1. Islam berpandangan sangat positif terhadap prinsip-prinsip toleransi, ishlâh, dan perdamaian dalam urusan kehidupan ataupun dalam urusan keagamaan. 2. Hal-hal ini telah dipraktikkan dengan baik dalam sejarah masyarakat Islam, yaitu oleh Rasulullah saw, oleh para khulafa’urrasyidin dan oleh para ulama, baik ulama klasik maupun ulama nusantara. 56 3. Prinsip-prinsip tersebut perlu dijaga, diamalkan dan disebarluaskan di semua waktu dan tempat oleh umat Islam sebagai bentuk kebanggaan kita terhadap ajaran dan pengalaman-pengalaman baik dari sejarah masyarakat Islam. Dan sebagai akhirul kalam, perlu ditegaskan lagi bahwa peperangan pada dasarnya tidak dikehendaki sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw ketika ber sepakat untuk menandatangani Perjanjian Hudaibiyah. Bagi Islam, peperangan hanya merupakan alternatif terakhir apabila perdamaian atau ishlâh gagal diwujudkan. Sebagaimana telah dinyatakan di atas, bahwa perang dalam Islam hanyalah bertujuan untuk melindungi diri dan menolak kezaliman. Karena itu, yang perlu diperlihatkan dalam pergaulan sehari-hari adalah prinsip menghargai orang lain dengan merayakan kebersamaan dan bukan untuk membesarbesarkan apalagi mempermasalahkan perbedaan–perbedaan yang ada. Dengan perdamaian, kita bisa hidup rukun, aman, dan tenang. Dengan perdamaian pula, kita bisa bekerjasama dalam melaksanakan pembangunan dan menggapai kemajuan sebagai wujud dari amal saleh yang berkelanjutan. Pada akhirnya, dengan perdamaian, misi sejati Islam sebagai rahmatan lil alamin akan bermakna karena kita mampu menggerakkannya dalam sikap dan perilaku damai dan toleran kita. Catatan: ¹ Muhammad bin Abdillah Ibnu ‘Arabi, Ahkâm al-Qur’ân (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 2003) cet. 3, vol. 2, hal. 60-61. ² Ibrahim Madkour, Al-Mu’jam al-Wajîz (Mesir: Lembaga Bahasa Arab, tt) hal. 319. ³ Ismail bin Umar Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm (Riyad: Dar at-Tibah, 1999) vol. 4, hal. 261. ⁴ Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Ghazali Menjawab 100 Soal Keislaman (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2010), hal.172. ⁵ Ibid, hal. 173. ⁶ Shalih Bin Abdullah dan Khathib Al-Haram, Nadhratu An-Na'îm Fî Makârim Akhlâq Ar-Rasûl (Jeddah: Dar Al-Wasiilah, t.t), cet IV, jil. 2, hal. 364. ⁷ Ibrahim Madkour, Al-Mu'jam Al-Wajîz, hal. 518. ⁸ Shalih Bin Abdullah dan Khathib Al-Haram, Nadhratu An-Na'îm, hal. 364. ⁹ Fahd Bin Furaij Al-Ma'la, Fannu Al-Ishlâh Baina An-Nâs (Al-Maktabah AsySyaamilah), hal. 4. 57 ¹⁰ Muhammad Zaki, Mu'jam Kalimât Al-Qur'an Al-Karîm (Al-Maktabah Asy-Syaamilah), jilid. 1, hurup shad, hal. 6. ¹¹ Ismail bin Umar Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’an al-Azhîm, vol. 3, hal. 92. ¹² Sunan at-Tirmidzi, Bab Fi Fadli as-Syam wa al-Yaman, Hadits no. 4336. Imam Tirmidzi berkata bahwa Hadits ini adalah Hadits Hasan yang Gharib. ¹³ Shahih Muslim, Kitâb al-Birr wa as-Shilâh wa al-Adab, Bâb Tahrim Dzulmi al-Muslim, Hadits no. 6708. ¹⁴ Shahih Bukhari, Hadits no. 2442 dan Shahih Muslim, Hadits no. 2580 ¹⁵ Shahih Muslim, Kitâb al-Birr wa as-Shilâh wa al-Adab, Bab Istihbâb al-‘afwi wa atTawadlu’, Hadits no. 6757 ¹⁶ Shahih Muslim, Kitâb al-Îmân, Bâb Bayân Tafadhul al-Islâm, Hadits no. 171 ¹⁷ Lihat Shahih Bukhari, Kitâb al-Janâ`iz, Bâb Man Qâma Li Janâzah Yahûdiy, Hadits no. 1312. Lihat juga Shahih Muslim, Kitâb al-Janâ`iz, Bâb al-Qiyâm Li al-Janâzah, Hadits no. 2269 ¹⁸ Lihat Shahih Muslim, Kitâb al-Jihâd wa as-Siyâr, Bâb Mâ Laqiya an-Nabiy min Adza al-Musyrikîn wa al-Munâfiqîn, Hadits no. 4754. ¹⁹ Shahih Bukhari, Kitâb AHadîts al-Anbiyâ, Bâb Haddatsanâ Abul Yâman, Hadits no. 3477; shahih Muslim, Kitâb al-Jihâd wa as-Siyâr, Bâb Ghazwât Uhud, Hadits no. 4747. ²⁰ Shahih Muslim, Kitâb al-Fadhâil, Bâb Mubâ'adatihî li al-Atsam wa ikhtiyârihî min alMubâh Ashalahu, Hadits no. 6195. ²¹ HR. Bukhari Muslim dengan redaksi Bukhari. Shahih Bukhari, Kitâb Fadhâil al-Qur’ân, Bâb Unzila al-Qur’^an ‘Alâ Sab’at Ahruf, Hadits no. 4992. ²² Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, op cit, vol. 2, hal. 90. ²³ Imam Az-Zabidi, Ringkasan Shahih al-Bukhari (Bandung: Penerbit Mizan, 2013), hal. 559. ²⁴ Al-Buthy, Fiqhus Sirah, Fikih Sirah, Jakarta, Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika), 2010, hal. 236 ²⁵ Sofiyyurahman al-Mubarkafuri, ar-Rahîq al-Makhtûm (Qatar: Kementerian wakaf, 2007) hal. 342 ²⁶ Ibid , hal. 342. ²⁷ Ibid, hal. 404-405. ²⁸ Mahmud Hamdi Zaqzuq, al-Islâm Wa Qadhâyâ al-Hiwâr (Kairo: kementerian Waqaf, 2002), hal. 218-219. 58 SUMBER PUSTAKA Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, ‘Udzmât al-Islâm, Vol. 1, Kairo: Maktabah Al-Usrah, 2002 Al-Buthy, Fiqhus Sirah, Fikih Sirah, Jakarta, Penerbit Hikmah, PT Mizan Publika, 2010 Al-Ghazali, Syaikh Muhammad, Ghazali Menjawab 100 Soal Keislaman, Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2010 Al-Haram, Shalih Bin Abdullah dan Khathib, Nadhratu An-Na'îm Fî Makârim Akhlâq Ar-Rasûl, Jilid 2, Jeddah: Dar Al-Wasilah, t.t. Al-Jumaili, Hasan Suhail, At-Ta’âyusy Baina A`immat Al-Madzâhib alFiqhiyah (www.alukah.net) diakses pada hari Ahad, 14 Juni 2015 Al-Ma’la, Fahd Bin Furaij, Fannu Al-Ishlâh Baina An-Nâs, Al-Maktabah Asy-Syamilah Al-Mawa’idz, Kompilasi Kitab Hasyim Asy’ari,Irsyâdu al-Sariy fi Jam’i Mushannafati Al-Syaikh Hasyim Asy’ari, Kitab pegangan Ponpes Tebuireng Jombang Al-Mubarkafuri, Sofiyyurahman,Ar-Rahîq Al-Makhtûm, Qatar: Kementerian Wakaf, 2007 An-Nawawi, Al-Majmu’, Vol. 1, Beirut: Darul Fikr, 1997 ‘Arabi, Muhammad bin Abdillah Ibnu, Ahkâm Al-Qur’ân, Vol. 2, Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 2003 As-Syafi’ie, Muhammad bin Idris, Al-Umm, Vol. 6, Beirut: Darul Ma’rifah, 1393 H As-Syirazi, Ibrahim bin Ali, Thabaqât Al-Fuqahâ, Vol. 1, Beirut: Darul Qalam, t.t. Az-Zabidi, Imam, Ringkasan Shahih Al-Bukhari, Bandung : Penerbit Mizan, 2013 Fatkhan, Muh., Dakwah Budaya Walisongo, Aplikasi Metode Dakwah Walisongo di Era Multikultural, Jurnal Aplikasia, Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. IV, no. 2 Desember 2003 Katsir, Ismail bin Umar Ibnu, Tafsîr Al-Qur’ân Al-Azhîm,Vol. 4, Riyad: Dar at-Tibah, 1999 Kementerian Waqaf Mesir, Fatâwa Al-Azhar (www.islamic- 59 council.com) diakses pada hari Senin, 15 Juni 2015 Madkour, Ibrahim, Al-Mu’jam Al-Wajîz, Mesir: Lembaga Bahasa Arab, tt. Shahih Bukhari Shahih Muslim Sunan At-Tirmidzi Wafa’, Abdul Qadir bin Abil, Al-Jawâhir Al-Mudhiyyah fî Thabaqât alHanâfiyah,Vol. 1, Karachi, Amir Muhammad Kutub Khan press, t.t. Ya’la, Muhammad bin Abi, Thabaqât Al-Hanâbilah, Vol. 1, Beirut: Darul Ma’rifah, t.t. Zaki, Muhammad, Mu'jam Kalimat Al-Qur'ân Al-Karîm, Jilid 1, AlMaktabah Asy-Syamilah Zaqzuq, Mahmud Hamdi, Al-Islâm Wa Qadhâya Al-Hiwâr, (Kairo: kementerian Waqaf, 2002). 60 Lembar Evaluasi 1. Sebutkan kesesuaian antara Islam dengan perdamaian! 2. Menurut al-Qur’an, apa tujuan Allah menjadikan manusia itu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku? 3. Benarkah perbedaan itu sudah dikehendaki oleh Allah? Tunjukkan buktinya! 4. Berdasarkan Hadits Nabi, bagaimana seharusnya sikap seorang Muslim? Tunjukkan bukti Haditsnya! 5. Ceritakan sikap Rasulullah saw ketika melihat jenazah orang Yahudi? 6. Ceritakan sikap toleran Rasulullah dalam Piagam Madinah, Perjanjian Hudaibiyah, dan Fathu Makkah! 7. Bagaimana sikap Khalifah Umar bin Khattab ketika melihat orang jompo di pinggir jalan? 8. Tunjukkan sikap saling toleran antara Imam Syafi’i dan Imam Hanbali! 9. Bagaimana cara Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus menarik simpati penduduk untuk mengenal Islam? 10. Apa yang Anda akan lakukan ketika ada orang yang berbeda pendapat dengan Anda? 61