Relasi Kebudayaan dalam Kebijakan Publik dan

advertisement
Table of Contents
No.
Title
Page
1
Konstruksi Realitas Impor Beras oleh KOMPAS Online: Sebuah Analisis Wacana
Kritis
233 - 241
2
Tantangan-tantangan Kesisteman Partai pada Aktivitas Kepemiluan: Kasus PPP
dan PKB Sampang pada Pemilu Tahun 2009
242 - 252
3
Model Sekolah Bisnis Multi Level Marketing di Kota Surabaya
253 - 262
4
Relasi Kebudayaan dalam Kebijakan Publik dan Sistem Regulasi Negara
263 - 270
5
Potret Resiprositas dalam Tradisi Nyumbang di Pedesaan Jawa di Tengah
Monetisasi Desa
271 - 281
6
Globalisasi Ekonomi dan Ketergantungan Buruh Perempuan
282 - 288
7
Strategi Nafkah Rumah Tangga Petani Sasak Persawahan dan Nelayan Sasak
Pesisir di Lombok Timur
289 - 298
8
Konflik Sosial di Era Reformasi
299 - 308
9
Manusia sebagai Penentu Penciptaan Nilai dan Kinerja Perusahaan Perbankan di
Indonesia
309 - 319
Vol. 25 - No. 4 / 2012-10
TOC : 4, and page : 263 - 270
Relasi Kebudayaan dalam Kebijakan Publik dan Sistem Regulasi Negara
Cultural Relations In Public Policies And State Regulatory System
Author :
Hanief Saha Ghafur | [email protected]
Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia
Abstract
Meeting cultural relation with public policy is like confronting two theories in two different disciplines. Culture is studiedand
developed in anthropology and sociology. While policy is studied and developed by science of administration
andmanagement. Public policy is not merely decision made or not by the State government. It is not also merely
discusspolicy contents, but the background and process of how decision is made and implemented. Public policy is
related withState administration and legislation called arragement of the State. This article explained entry points of
cultural analysisin process of public policy and arragement of the State (governance and legislation). It also explained
arragement of theState as a cultural system and policy community as a semi-autonomous social sphere, and its
methodological implicationin social sciences' research.
Keyword : culture, culture, system, policy, process, public, policy, community, policy,
Daftar Pustaka :
1. Alvesson M, (1993). Cultural Perspektives on Organizations.. Cambridge : Cambridge University Press.
2. Benda-Beckmann F, (1984). Law out of context: a comment on the creation of customary law discussion.. . : Journal
of African Law 28(1-2): 28-33.
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)
Artikel Telaah
Review Article
Relasi Kebudayaan dalam Kebijakan Publik dan Sistem
Regulasi Negara
Cultural Relations in Public Policies and State Regulatory
System
Hanief Saha Ghafur1
Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia
ABSTRACT
Meeting cultural relation with public policy is like confronting two theories in two different disciplines. Culture is studied
and developed in anthropology and sociology. While policy is studied and developed by science of administration and
management. Public policy is not merely decision made or not by the State government. It is not also merely discuss
policy contents, but the background and process of how decision is made and implemented. Public policy is related with
State administration and legislation called arragement of the State. This article explained entry points of cultural analysis
in process of public policy and arragement of the State (governance and legislation). It also explained arragement of the
State as a cultural system and policy community as a semi-autonomous social sphere, and its methodological implication
in social sciences' research.
Key words: culture, culture system, policy process, public policy, community policy
ABSTRAK
Relasi kebudayaan dengan kebijakan publik ibarat mempertemukan dua teori dalam dua disiplin ilmu yang berbeda.
Kebudayaan banyak dikaji dan dikembangkan dalam ilmu antropologi dan sosiologi. Sedangkan kebijakan banyak dikaji
dan dikembangkan oleh ilmu administrasi dan manajemen. Kebijakan publik tidaklah semata keputusan yang dibuat
atau tidak dibuat oleh penyelengara Negara dan pemangku pemerintahan. Kebijakan publik juga tidak semata mengkaji
isi kebijakan, tapi sekaligus juga latar belakang dan proses bagaimana kebijakan itu dibuat dan diimplementasikan.
Kebijakan publik juga terkait dengan tata kelola Negara dan peraturan perundang-undangan yang disebut sebagai
pengaturan Negara. Artikel ini akan menjelaskan tentang pintu masuk (entry points) analisis kebudayaan dalam proses
kebijakan publik dan pengaturan negara (tata kelola pemerintahan dan peraturan perundang-undangan). Juga akan
dijelaskan tentang pengaturan Negara sebagai suatu sistem budaya dan komunitas kebijakan sebagai bidang sosial semi
otonom, serta implikasi metodologinya dalam penelitian ilmu-ilmu sosial.
Kata kunci: kebudayaan, sistem budaya, proses kebijakan, kebijakan publik, komunitas kebijakan
Masyarakat modern terkait dengan kehidupan warganya
tidak lagi sebatas hanya pada konteks hubungan sosial
kekerabatan, klan, suku dan sebagainya, tapi hubungan
itu menjadi semakin luas, seiring dengan kemajuan
kebudayaan, khususnya kemajuan di bidang teknologi,
media komunikasi dan informasi. Perluasan konteks
hubungan sosial ini sebagai akibat dari semakin
terintegrasinya komunitas-komunitas lokal ke dalam suatu
organisasi negara-bangsa (nation state) sebagai salah
satu bentuk organisasi sosial di alam modern. Bahkan
kini bentuk organisasi negara-bangsa menjadi semakin
tertransformasikan ke dalam suatu ruang sosial-budaya
yang semakin terglobalisasikan. Transformasi mengalami
proses percepatan berkat kemajuan media komunikasi dan
informasi, di mana sebagian masyarakat tidak lagi sekedar
menjadi warga negara tertentu, tapi telah menjadi bagian
dari warga dunia yang lebih luas (globalized society).
Masyarakat atau warga dalam suatu negara-bangsa
akan diatur oleh para penyelenggara negara dan institusi
pembuat kebijakan publik, yang biasa dikenal sebagai
pemangku negara (trias politica), baik pemangku
eksekutif pemerintahan dengan jajaran birokrasinya,
pemangku legislatif seperti MPR, DPR dan DPD, maupun
pemangku yudikatifnya seperti Mahkamah Agung dan
1 Korespondensi: Hanief Saha Ghafur. Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Alamat: Kampus UI Depok 16424, Indonesia. Telepon:
021 7867222. E-mail: [email protected]
263
264
Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Vol. 25, No. 4, Oktober–Desember 2012, 263–270
Mahkamah Konstitusi. Dalam praktiknya, institusi
pembuat kebijakan publik dan birokrasi pemerintah selalu
berkeinginan untuk mempengaruhi masyarakat dengan
cara menata dan mengatur warga masyarakat. Negara
modern warga masyarakat diatur oleh berbagai peraturan
yang tidak terhitung jumlahnya yang dibuat oleh para
pemangku kebijakan negara dalam batas kewenangan
masing-masing, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif
(Haviland dalam Britan & Cohen 1980b).
Berbagai peraturan yang di keluarkan adalah
merupakan refleksi dari kehendak politik dari para
pemangku kebijakan negara atau lembaga negara.
Untuk mengkaji kehendak politik suatu kebijakan
publik yang dibuat oleh para pemangku kebijakan
negara, paling tidak ada dua cara yang harus
diketahui, yaitu kajian yang melihat isi kebijakan
(policy content) dan kajian yang melihat bagaimana
kebijakan sebenarnya dibuat dan dilaksanakan
(policy process). Kajian isi kebijakan (policy content)
kebanyakan berupa analisis legal-normatif. Kajian
antara lain ingin melihat konsistensi kebijakan
publik yang ada dalam peraturan perundangundangan, perubahan kebijakan dari waktu ke
waktu serta ketercakupan prinsip-prinsip keadilan
dalam isi kebijakan. Kajian proses kebijakan (policy
process) lebih mengarah pada analisis sosiologis dan
antropologis, disamping analisis yang berkembang
dalam kajian organisasi (administrasi). Peran analisis
sosiologis dan antropologis digunakan, karena kajian
ini ingin melihat berbagai aspek sosial-budaya dari
kebijakan, yakni keterkaitan antara kebijakan publik
dengan manusia-manusia pembuat dan pelaksana
kebijakan tersebut. Pada titik inilah terdapat
relevansi untuk melakukan pendekatan antropologis
terhadap kajian kebijakan publik yang dibuat oleh
para pemangkunya.
Tulisan ini berusaha untuk membahas urgensi
keterkaitan hubungan dan pertemuan sinergis dan
saling mengisi, antara kajian kebijakan publik pada
perluasan minat dalam kajian sosiologi-antropologi,
serta pemanfaatan berbagai teori dan konsep-konsep
sosiologi-antropologi pada proses kajian kebijakan
publik serta berbagai implikasinya terhadap
metodologi dan begitupula sebaliknya.
suatu situasi khusus, yakni situasi di mana
keputusan-keputusan itu dibuat dalam kekuasaan
aktor atau kelompok tersebut. Keputusan itu dapat
berbentuk peraturan perundang-undangan, karena
menurut Paveri Anziani bahwa prinsip dan strategi
dalam kebijakan itu perlu diterjemahkan ke dalam
peraturan perundang-undangan (hukum tertulis yang
dibuat oleh negara), sehingga menjadi norma yang
harus ditaati dan ditegakkan oleh masyarakat secara
keseluruhan. Suatu kebijakan yang tidak didukung
oleh instrumen hukum yang melegitimasi akan sulit
diterapkan dan sulit untuk dijadikan panduan yang
mengikat dalam pelaksanaan di lapangan.
Antara kebijakan publik dengan sistem regulasi
negara (state regulations system), baik berupa hukum
maupun peraturan perundang-undangan, memiliki
hubungan yang sangat erat dan sulit melepaskan
hubungan antara keduanya. Sistem regulasi negara
(state regulations system), baik berupa hukum atau
peraturan perundang-undangan merupakan produk
kebijakan publik, tetapi sekaligus juga memberi
bentuk pada kebijakan itu sendiri, sehingga dapat
berjalan dan dilaksanakan di masyarakat. Eratnya
kaitan antara kebijakan publik dengan hukum dan
peraturan perundang-undangan diakui BendaBeckmann et al. yang menyatakan: Not all policy,
of course, is law, but in all contemporary societies
salient elements of state policy have to be framed
and legitimized in terms of law. And most of
law, particularly law originating in government
institutions, can be seen as policy (Benda-Beckmann
et al. 1989a: 207).
Saat ini, mulai banyak dikembangkan kajian
kebijakan dalam perspektif sosiologi-antropologi,
khususnya berkenaan dengan pendekatan faktor
sosial budaya untuk memahami suatu kebijakan.
Kebijakan publik dianggap sebagai suatu tindakan
sosial yang banyak dipengaruhi berbagai faktor,
mulai dari kesadaran, pemikiran, ideologi, pengaruh
budaya, tujuan dan kepentingan. Meminjam pendapat
Clifford Geertz (1973) bahwa kebudayaan adalah
pola dari dan pola bagi tindakan, maka sama halnya
dengan kebijakan sebagai suatu tindakan sosial tidak
bisa lepas dari pola dari dan pola bagi kebudayaan.
Kebijakan Publik dan Sistem Regulasi
Negara (State Regulations System)
Kajian Kebijakan dan Antropologi
Jenkins mengartikan kebijakan publik sebagai
serangkaian keputusan yang saling berhubungan
yang dibuat oleh seorang aktor politik atau suatu
kelompok politik berkenaan dengan pemilihan
tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu dalam
Kajian antropologi yang berkembang selama
ini banyak menjelaskan tentang hukum dan
norma-norma lainnya yang dibuat dan berlaku
dalam kehidupan masyarakat (people`s law), baik
masyarakat primitif, suku-suku tertentu maupun
Ghafur: Relasi Kebudayaan dalam Kebijakan Publik dan Sistem Regulasi Negara
masyarakat modern di perkotaan. Kajian antropologi
terhadap kebijakan publik yang dibuat oleh para
pemangku negara dengan berbagai jajaran instansi
di bawahnya, seperti hukum dan perundangundangan (state law) masih belum sebanyak kajian
tentang hukum rakyat (people's law). Perkembangan
antropologi kontemporer mulai banyak yang menaruh
minat untuk mengkaji ranah baru, berangkat dari dua
perspektif teori antropologi dan teori kebijkan publik
secara holistik dan terintegrasi.
Kajian tentang kebijakan publik terhadap sistem
regulasi negara (state regulations system) banyak
diwarnai oleh pembahasan tentang pengaruh dari
hukum negara, baik berupa peraturan perundangundangan atau keputusan pengadilan terhadap
keberadaan hukum rakyat (people`s law) (lihat
misalnya Morse 1987, Woodman 1987) atau
strategi penggunaan hukum negara dalam kasuskasus sengketa perdata dan agraria (BendaBeckmann 1981). Sementara tentang bagaimana
peraturan perundang-undangan dibuat, serta faktor
apa saja yang berpengaruh dalam pembuatannya,
masih belum banyak digali dan ditemukan. Dalam
penelusuran literatur yang saya lakukan, model kajian
antropologi tentang kebijakan publik dan pengaturan
negara dapat ditemukan dalam kajian Christensen &
Rabbibhadana (1994) tentang kegagalan pemerintah
Thailand membuat peraturan yang dapat berlaku
efektif dalam pemanfaatan sumber daya hutan yang
tidak terkendali. Begitupula karya Arjomand (1989)
tentang pengaruh paham syiah dalam pembuatan
kostitusi negara pasca revolusi di Iran. Juga Vincent
(1989) tentang kepentingan kelas penguasa dan
kekuatan supra nasional dalam pembuatan hukum
agraria kolonial di Uganda.
Perkembangan kajian ini mengesankan, karena
kebijakan publik dan sistem regulasi negara adalah
ranah peraturan yang seringkali terasing dari
kehidupan nyata masyarakat. Kebijakan publik
dan peraturan yang tidak berpijak pada basis sosial
dan budaya yang nyata hidup dalam masyarakat.
Dalam kenyataannya, kebijakan publik dan
peraturan perundang-undangan juga mengalami
hal yang sama dengan peraturan rakyat. Kebijakan
publik dan peraturan perundang-undangan
dibuat, ditransformasikan, dimodernisasi, diubah,
dimanipulasi, diselewengkan dalam konteks sosial
dan budaya yang hidup. Konteks ini berbeda antara
satu dengan yang lain sesuai keadaan dan masa di
mana kebijakan dan hukum itu dihasilkan (BendaBeckmann 1984).
Kata kunci untuk memahami kebijakan publik
dan sistem regulasi negara adalah law out of
265
context, artinya bahwa suatu peraturan tidak sekedar
dihasilkan dalam konteks peraturan itu semata,
melainkan juga dalam konteks yang ada di luar
peraturan itu sendiri, yaitu dalam interaksi sosial dan
lingkup suatu kebudayaan (Lihat Benda-Beckmann
1984). Karena kebijakan dan sistem regulasi
negara berada dalam konteks interaksi sosial dan
lingkup kebudayaan, maka pemahaman terhadap
setiap ketentuan kebijakan, hukum dan perundangundangan tidak dapat bersifat linear. Artinya dalam
pembuatan suatu peraturan, apa yang menjadi
tujuan, proses pembuatan, cara-cara yang dilakukan,
penjabaran di lapangan serta dampak yang akan
timbul selalu bersesuaian dan dapat diprediksi
lebih dahulu. Melihat pola regulasi dan kebijakan
dengan cara demikian menurut Long (1989)
merupakan penyederhanaan gejala yang berlebihan
(simplification), karena suatu proses kebijakan dan
regulasi negara (hukum) yang terjadi dapat lebih
rumit dari keadaan itu.
Karakteristik out of context dan unlinear thinking
dalam suatu ketentuan hukum dan perundangundangan, menegaskan bahwa proses pembuatan
dan pelaksanaan suatu kebijakan banyak dipengaruhi
oleh berbagai hubungan sosial yang ada dalam
masyarakat dan kebudayaan yang menjadi panduan
perilaku (blue print) warga masyarakat bersangkutan.
Pertanyaannya kemudian adalah: masyarakat
manakah yang membentuk dan mempengaruhi
proses pembuatan kebijakan dan pelaksanaan aturan
yang berlaku itu?
Meidinger (1987) memperkenalkan istilah
regulatory communities yang dapat diterjemahkan
sebagai komunitas peraturan, yakni kelompok yang
terlibat dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan
publik. Kelompok itu tidak hanya organisasi
birokrasi, tapi juga kelompok atau aktor-aktor lain
yang ikut terlibat. Istilah regulatory communities
ini mempunyai kesamaan arti dengan istilah policy
communities (komunitas kebijakan) atau istilah
policy network (jaringan kebijakan) dari Bennett &
Howlett (dalam Verbeeten 1996). Komunitas inilah
yang menentukan dan berpengaruh besar terhadap
proses pembuatan dan pelaksanaan suatu kebijakan
publik dan sistem regulasi negara.
Karakteristik yang melekat pada komunitas
peraturan atau komunitas kebijakan menurut
Meidinger tidak jauh berbeda dengan masyarakat
biasa, yaitu: 1) mempunyai hubungan dengan
masyarakat yang lebih luas, tapi tetap mempunyai
keunikan sifatnya sendiri; 2) para anggotanya
mempunyai hubungan yang terus-menerus dan
berkelanjutan; 3) dalam hubungan tersebut,
266
Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Vol. 25, No. 4, Oktober–Desember 2012, 263–270
mereka mengejar kepentingannya sendiri yang
sering bertentangan satu sama lain, serta berjuang
untuk mendefinisikan visi yang sama tentang suatu
kebaikan bersama; 4) para warga masyarakat itu juga
saling mempengaruhi satu sama lain, saling merujuk
dalam bertindak serta saling menginginkan suatu
penghormatan; dan 5) masyarakat selain menjadi
arena untuk mengejar kepentingan, juga sebagai
forum untuk mendifinisikan dan memperbaharui
definisi tentang perilaku dan kepentingan, baik
individu maupun kolektif.
Bila pemikiran Meidinger (1987) dipadukan
dengan pendapat Verbeeten (1996), maka karakteristik
di atas dapat ditambah dengan point-point berikut
ini: 1) anggotanya berwajah ganda, karena membawa
persepsi dan kepentingan yang berbeda pula; 2)
aparat birokrasi dan institusi pengambil kebijakan
publik sebagai warga masyarakat mempunyai posisi
ambivalen, selain sebagai pemerintah yang dituntut
berperan netral, juga mereka menjadi pihak yang
turut mengejar kepentingannya sendiri.
Dari berbagai karakteristik di atas dapat
disimpulkan bahwa komunitas peraturan atau
komunitas kebijakan adalah sebuah sistem sosiobudaya. Di dalamnya terdapat suatu interaksi sosial,
struktur sosial, budaya dan sebagainya. Pandangan
ini merupakan penafsiran kembali tentang sosiobudaya konvensional (masyarakat dan kebudayaan
dalam arti sesungguhnya) yang dikaitkan dengan
realitas masa kini. Pada masyarakat modern di
perkotaan, suatu komunitas dengan kesamaan
spasial tidak selalu memiliki kesamaan budaya,
karena ikatan warga komunitas dengan komunitinya
bisa saja sangat longgar. Sebaliknya, ikatan kuat
terbentuk karena kesamaan kepentingan, misalnya
pekerjaan yang sama, afiliasi politik yang sama
dan sebagainya. Oleh karena itu, sebuah kampung
bisa dihuni oleh para pendukung kebudayaan yang
beragam. Mengingat kompleksitas masyarakat dan
kebudayaan, maka untuk mengamati kebudayaan
masyarakat modern kita perlu menggeser perhatian.
Kebudayaan tidak hanya dimiliki masyarakat,
tapi juga ada pada organisasi-organisasi formal
yang anggotanya mengembangkan suatu bentuk
kepercayaan bersama, nilai-nilai bersama,
pengetahuan bersama untuk menafsirkan kenyataan
lingkungannya (Kalangie 1994). Salah satu
organisasi formal yang mempunyai posisi penting
dalam masyarakat modern adalah birokrasi (Britan
& Cohen 1980a). Birokrasi ditempatkan sebagai
bagian dari komunitas kebijakan publik. Di sinilah
arti pentingnya melihat "budaya organisasi" dalam
konteks kebudayaan suatu komunitas peraturan atau
komunitas kebijakan.
Dari uraian di atas terdapat dua isu penting
dalam mengkaji proses kebijakan. Pertama, proses
kebijakan selalu berada dalam interaksi sosial dan
konteks kebudayaan. Kedua, kebijakan dibuat
dan dilaksanakan oleh "suatu komunitas" yang
disebut dengan komunitas peraturan (regulatory
communities) atau komunitas kebijakan (policy
communities). Kedua hal ini dapat dijelaskan dengan
memanfaatkan konsep-konsep yang sudah dikenal
dalam antropologi, sebagaimana pada tulisan berikut
ini.
Pengaturan Negara (State Regulations)
sebagai Sistem Budaya
Ada dua permasalahan yang perlu dibahas
berkenaan dengan tema ini, yaitu: 1) mengapa
pengaturan negara perlu dikaji dengan menggunakan
perspektif kebudayaan; dan 2) bagaimana melihat
pengaturan negara dalam perspektif kebudayaan.
Bagi mereka yang menggunakan perspektif budaya
dalam melihat pengaturan negara, biasanya selalu
berpegang pada tesis, bahwa pengaturan negara
adalah merupakan refleksi dari kebudayaan.
Pengaturan negara tidak sekedar berupa aturan
normatif yang ada dalam teks-teks aturan, tapi
pengaturan itu selalu melibatkan berbagai aspek
dari budaya suatu masyarakat. Salah satu penjelasan
tentang hubungan antara kebijakan pengaturan
negara, baik berupa hukum maupun perundangundangan dengan kebudayaan dapat dilihat dalam
Ihromi (1984) yang menyatakan bahwa kebudayaan
adalah merupakan gambaran ideal, desain hidup,
cetak biru (blue print) dari suatu masyarakat yang
menghasilkan nilai budaya yang terwujud secara
kongkrit dalam norma sosial dan sebagian dari
norma sosial itu tercermin dalam peraturan hukum
serta perlindungan terhadap norma itu juga terjadi
melalui proses hukum.
Dengan demikian, premis teoritis yang dapat
diangkat dari hubungan antara sistem regulasi negara
dengan kebudayaan adalah bahwa kebudayaan
merupakan perangkat ideasional –baik dalam arti
sebagai sistem kognitif (Goodenough dalam Keesing
1989), sistem simbol dan maknanya (Geertz 1973)
atau sebagai cetak biru, blue print (Kluckhohn dalam
Ihromi 1984)- yang menjadi panduan bagi para
pendukung kebudayaan itu dalam mempersepsikan
sesuatu (objek atau persoalan) dan mewujudkan
persepsi itu ke dalam kebijakan publik dan regulasi
Ghafur: Relasi Kebudayaan dalam Kebijakan Publik dan Sistem Regulasi Negara
negara (dalam proses pembuatan kebijakan dan
pengaturan negara), atau mempersepsikan kembali
sistem regulasi negara yang sudah ada sesuai dengan
perkembangan kepentingan dan situasi sosial yang
ada (dalam proses implementasi kebijakan dan
pelaksanaan pengaturan negara).
Melihat produk pengaturan negara (state
regulations product) dalam perspektif kebudayaan
menurut Meidinger (1987) dapat dilakukan dengan
cara mengkaji proses pembentukan nilai dan norma
serta pendefinisian kepentingan yang mendasari
suatu kebijakan dan pengaturan negara, atau
menurut pendapat Benda-Beckmann (1986) melalui
proses sosial di mana suatu kebijakan dibuat, hukum
diciptakan, dimanipulasi, diubah dan atau diterapkan.
Dari pemikiran Meidinger dan Beckmann tersebut,
ada satu kata kunci yang menarik untuk dibahas,
yaitu kata "proses". Dengan proses dimaksudkan
bahwa kebudayaan itu dinamis sifatnya, serta akan
terus berkemabang dari waktu ke waktu. Jadi bila
kita sepakat, bahwa semua produk pengaturan
negara itu merupakan refleksi dari suatu kebudayaan,
maka harus sepakat pula tentang sifat dinamis
dari kebudayaan yang mendasari suatu kebijakan.
Konsekuensinya, kebijakan dan pengaturan negara,
hukum dan perundang-undangan harus dilihat "selalu
mengalami perkembangan".
Karena dinamisnya suatu kebudayaan, maka akan
selalu terjadi proses konstruksi dan rekonstruksi
persepsi atau interpretasi para pendukung
kebudayaan terhadap suatu objek, akhirnya akan
mempengaruhi kebijakan publik dan sistem regulasi
negara yang mengatur objek tersebut. Pengaruh
terhadap kebijakan publik dan regulasi negara
(hukum dan undang-undang) dapat terjadi dalam
bentuk perubahan substansi kebijakan atau atauranaturan formalnya, atau mengalami perkembangan
dalam menginterpretasi suatu kebijakan publik
atau aturan-aturan yang sudah ada untuk kemudian
diterapkan dalam situasi sosial tertentu.
Konstruksi dan rekonstruksi atas persepsi atau
interpretasi dapat terjadi melalui sebuah proses
sosial yang terkait dengan konteks situasi dan proses
historis (Asad dalam Wright 1994). Dalam konteks
situasi dan proses historis, kebudayaan akan berkait
dengan aspek-aspek sosial, politik dan ekonomi yang
ada dalam lingkungannya. Pemikiran Priyatmoko
(1991) memberi gambaran tentang interaksi antara
sifat prosesual kebudayaan (dalam hal ini adalah
budaya politik) dengan konteks situasi dan proses
historis sebagai berikut:
Budaya politik suatu masyarakat tentulah bukan
sosok jadi sejak semula atau merupakan hadiah
267
kiriman dari kekuasaan adikodrati, melainkan
sesuatu yang terbentuk melalui proses sejarah yang
melibatkan, baik dimensi politik, sosial maupun
ekonomi. Begitu sosoknya mulai terbentuk, tentulah
budaya politik itu tidak segera menjadi beku,
melainkan selalu bergerak dalam proses pembentukan
yang terus menerus, selaras dengan tantangan yang
dihadapi dan kemampuan kreatif masyarakat dalam
menghadapi tantangan itu (Priyatmoko 1991:255).
Kebudayaan terkait dengan konteks situasi dan
proses historis, maka masyarakat dan kebudayaan
adalah merupakan entitas konseptual yang dihasilkan
oleh suatu proses historis tertentu. Tidak ada
uniformitas (keseragaman) kebudayaan di berbagai
tempat dan waktu, yang ada adalah keragaman
variasi (pluriformitas) yang disebabkan oleh
perbedaan konteks historis. Inilah yang dimaksud
dengan kerelatifan kebudayaan di dunia, baik berupa
kebudayaan super (super culture) di era kecanggihan
media komunikasi dan informasi yang semakin
mengglobal, tetap akan di setting dalam konteks
historis yang bersifat kedisini-kinian. Bila pemikiran
di atas dikaitkan dengan proses kebudayaan, maka
perubahan kebijakan dan regulasi negara sebagai
refleksi kebudayaan harus ditelusuri dari konteks
situasi dan proses historisnya. Konteks situasi dan
proses historis dapat membentuk atau mempengaruhi
tindakan manusia dalam merumuskan kepentingan,
dan juga pemahaman kebudayaannya terhadap
sistem regulasi negara (Starr & Collier 1989).
Hubungan antara organisasi birokrasi yang
membuat kebijakan dan melaksanakan regulasi
negara akan selalu berkait erat dengan lingkungan
yang lebih luas. Namun hubungan ini akan
lebih mudah untuk dipahami bila organisasi itu
dianggap tidak memiliki otonomi eksklusif. Seperti
dinyatakan Alvesson (1993) bahwa organisasi selalu
berhubungan erat dengan lingkungan kebudayaan
yang ada di luarnya. Dinamika hubungan antara
keduanya bersifat saling mempengaruhi. Budaya
suatu organisasi dapat mempengaruhi lingkungannya,
dan lingkungan dapat mempengaruhi budaya suatu
organisasi. Walaupun besar-kecilnya "pengaruh" itu
memiliki gradasi yang berbeda antara satu organisasi
dengan yang lain. Dalam dinamika hubungan itu
terbentuklah lalu-lintas pertukaran kebudayaan
(culutral traffic exchange). Konsep ini dapat
digunakan untuk melihat proses dalam kebudayaan
suatu organisasi.
Hubungan antara organisasi dengan
lingkungannya dalam suatu komunitas kebijakan,
memiliki mekanisme hubungan yang antara bagianbagiannya dapat dijelaskan menggunakan konsep
268
Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Vol. 25, No. 4, Oktober–Desember 2012, 263–270
bidang sosial semi otonom, yang akan dibahas pada
bagian berikut ini.
Komunitas Kebijakan sebagai Bidang
Sosial Semi Otonom
Komunitas kebijakan dapat dijadikan sebagai
suatu "unit analisis" dalam mengkaji proses kebijakan.
Bagaimanakah unit ini seharusnya dipahami dan
dilihat, apakah unit ini merupakan suatu komunitas
tertutup, atau terbuka? Untuk menjawab pertanyaan
ini, saya akan memulai dengan melihat terlebih
dahulu pada karakteristik organisasi dan birokrasi,
sebagai bagian dari komunitas kebijakan yang
mempunyai wewenang formal dalam membuat dan
melaksanakan suatu kebijakan dan sistem regulasi
negara.
Dalam kajian tentang organisasi ada suatu
pendekatan yang lazim disebut sebagai pendekatan
sistem terbuka (open system). Dengan pendekatan
ini, organisasi dilihat sebagai sistem kegiatan
yang saling bergantung satu sama lain, yang
menghubungkan pergeseran koalisi dari pihakpihaknya, serta berhubungan dan bahkan tergantung
pula pada lingkungan di mana sistem itu berada
(Scott 1992). Pada pendekatan sistem terbuka
terdapat kecenderungan mengesampingkan
prinsip bahwa birokrasi selalu bekerja atas aturan
prosedural dan struktur formal dengan hubunganhubungan yang bersifat impersonal. Akan tetapi
seperti dikatakan Britan & Cohen (1980b) bahwa
dinamika birokrasi selalu berkaitan dengan jaringan
hubungan informal dari individu dan kelompok
yang ada dalam birokrasi serta keterkaitan antara
jaringan itu dengan lingkungan di luar birokrasi.
Jaringan informal itu menurut Blau & Meyer (1987)
mempunyai aturan, pengelompokan, prosedur dan
sangsi sendiri. Berkenaan dengan hal ini, Justice
(1986) mencontohkan tentang jaringan informal
yang bekerja dalam birokrasi kesehatan di Nepal
sebagai jaringan yang terbentuk atas dasar identitas
kedaerahan, etnik, kasta dan ikatan kekeluargaan.
Juga Vincent (1989) mencontohkan kasus perubahan
hukum agraria di Uganda melihat jaringan informal
yang terbentuk atas dasar kesamaan almamater dan
klub, selain kekerabatan dan perkawinan.
Dengan karakteristik birokrasi yang demikian,
maka birokrasi itu merupakan gambaran dari suatu
bidang sosial semi otonom. Berkenaan dengan konsep
ini, Moore (1983) mengartikan bahwa "bidang
sosial semi otonom" adalah suatu bidang (arena)
sosial yang mampu menghasilkan aturan-aturan,
dan instrumen pemaksaan agar tunduk pada aturan-
aturan tersebut, tapi pada saat yang sama ia memiliki
kerentanan terhadap aturan-aturan lain yang berasal
dari luar, sehingga ia disebut semi otonom. Bidang
sosial semi otonom dalam birokrasi dapat memberi
gambaran adanya jaringan-jaringan informal yang
dibuat oleh sejumlah individu atau kelompok dalam
birokrasi. Jaringan itu dapat melampaui batasbatas organisasi birokrasi sehingga anggota pada
jaringan itu menggambarkan suatu hubungan antara
para birokrat itu sendiri dengan pihak lain di luar
organisasi birokrasi. Jaringan itu menciptakan aturan
sendiri dalam hubungan internal antar anggotanya
sendiri, namun pada saat bersamaan anggota
jaringan juga tunduk pada aturan-aturan yang
dibuat dan berasal dari bidang sosial lain, misalnya
aturan formal dalam organisasi resminya. Hal ini
dapat terjadi, karena aktor-aktor dalam jaringan itu
bukanlah representasi dari suatu bidang sosial semi
otonom. Para aktor itu dapat memiliki beberapa
jaringan (dapat berada dalam beberapa bidang
sosial semi otonom). Benda-Beckmann et al. (1989)
mengistilahkan aktor ini sebagai aktor yang janusfaces. Mereka mempunyai strategi dalam memilih
untuk mengaktifkan bidang sosial semi otonom yang
mana untuk memperjuangkan kepentingannya.
Jaringan yang disebut di atas dapat melahirkan
terbentuknya suatu komunitas kebijakan atau
komunitas peraturan. Ciri-cirinya sebagaimana
diungkapkan di muka, memberi gambaran
karakteristik bidang sosial semi otonom dan janusfaces dari aktor-aktornya. Komunitas yang terbentuk
atas dasar jaringan ini batas-batasnya tidak dapat
ditentukan secara fisik. Batas-batas komunitas ada
pada proses hubungan yang terjadi dalam jaringan
itu. Inilah yang disebut Moore (1983) sebagai ciri
lain dari konsep bidang sosial semi otonom.
Implikasi Metodologi
Berbagai teori dan konsep-konsep di atas
memiliki implikasi metodologis, khususnya dalam
mengembangkan suatu bentuk pengkajian yang
dapat mengutuhkan semua itu dalam satu kerangka
berfikir yang terintegrasi. Penggunaan teori dan
konsep di atas menuntut penggunaan tool of analysis
yang tepat, sehingga mendapatkan gambaran yang
utuh. Selain itu, dari segi penelitian, teori dan konsep
di atas juga mengimplikasikan pilihan metodologi
yang akan digunakan dalam penelitian. Diperlukan
penggunaan analisis komparatif, analisis situasional
dan analisis jaringan sosial.
Analisis komparatif dapat dilakukan setelah
kita menetapkan adanya suatu perbedaan yang
Ghafur: Relasi Kebudayaan dalam Kebijakan Publik dan Sistem Regulasi Negara
dapat diperbandingkan. Analisis komparatif akan
menjelaskan perbedaan-perbedaan dalam sistem
pengaturan negara (state regulations system) dan
kebudayaan dari komunitas peraturan (komunitas
kebijakan) dalam konteks historis yang berbeda.
Untuk melengkapi analisis komparatif, diperlukan
penggunaan analisis situasional guna melengkapi
kajian dengan gambaran berbagai variasi dalam
perilaku para pendukung kebudayaan tersebut.
Sedang analisis jaringan sosial digunakan untuk
membantu menelusuri hubungan-hubungan informal
yang dapat menjembatani komunikasi antara birokrat
dengan lingkungan di luarnya.
Pada umumnya pendekatan yang dilakukan
dalam penelitian antropologi-sosiologi adalah
penggunaan pendekatan emik, yaitu pemahaman
menurut pandangan subjektif dari objek yang diteliti
(actor`s point of view) dan pendekatan holistik,
yaitu pemahaman terhadap objek secara utuh dan
menyeluruh (holeness). Inilah yang dikatakan Britan
& Cohen (1980) sebagai teknik membawa tradisi
penelitian antropologi ke dalam kajian tentang
organisasi, birokrasi, dan tentu tentang kebijakannya
pula.
Daftar Pustaka
Alvesson M (1993) Cultural Perspektives on Organizations.
Cambridge: Cambridge University Press.
Arjomand SA (1989) Constitution-Making in Islamic
Iran: The Impact of Theocracy on the Legal Order of a
Nation-State. Dalam: June S & Jane FC (eds). History
and Power in the Study of Law: New Directions in
Legal Anthropology. Ithaca, NY: Cornell University
Press. Pp. 113-127.
Benda-Beckmann F (1984) Law out of context: a comment
on the creation of customary law discussion. Journal
of African Law 28(1-2): 28-33.
Benda-Beckmann F (1986) Anthropology and Comparative
Law. Dalam: Keebet von Benda-Beckmann & Fons
S (eds). Anthropology of Law in the Netherlands:
Essays on Legal Pluralism. Dordrecht-Holland: Foris
Publications. Pp. 90-109.
Benda-Beckman F (1989) Interfaces and Janus-Faces:
A Critical Appraisal of the Interface Appro ach in
Development Sociology from a Socio-legal Studies
Perspective. Dalam: Norman L (ed). Encounters at
the Interface: A Perspective on Social Discontinuities
in Rural Development. Wageningen: Wageningen
Agricultural University. Pp. 205-220.
Benda-Beckman F (1981) Forum shopping and shopping
forums: dispute processing in a Minangkabau village.
Journal of Legal Pluralism 19(1):117-159
269
Blau PM & Marshall WM (1987) Birokrasi dalam
Masyarakat Modern. Jakarta: UI-Press.
Britan G & Ronald C (1980a) Introduction". Dalam:
Gerald B & Ronald C (eds). Hierarchy and Society:
Anthropological Perspectives on Bureucracy.
Philadelphia: Institute for the Study of Human Issues.
Pp. 1-8.
Britan G & Ronald C (1980b) Toward an Anthropology
of Formal Organizations. Dalam: Gerald B & Ronald
C (eds). Hierarchy and Society: Anthropological
Perspectives on Bureucracy. Philadelphia: Institute for
the Study of Human Issues. Pp. 9-30
Budiman A (1996) Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan
Ideologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Christensen SR & Akin R (1994) Exit, voice and the
depletion of open access resources: the political bases
of property right in Thailand. Law and Society Review
28(3):639-655
Geertz C (1973) The Interpretation of Cultures. New York:
Basic Books.
Ihromi TO (1984) Kata Pengantar. Dalam: TO Ihromi
(ed). Antropolog dan Hukum. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. Pp. 1-43.
Justice J (1986) Policies, Plans, and People: Culture and
Health Development in Nepal. Berkeley, Los Angeles:
University of California Press.
Kalangie NS (1994) Kebudayaan dan Kesehatan:
Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer Melalui
Pendekatan Sosiobudaya. Jakarta: Megapoint.
Keesing RM (1989) Antropologi Budaya: Suatu Perspektif
Kontemporer. Jakarta: Erlangga.
Long N (1989) Introduction: The Raison D`Etre for
the Studying Rural Development Interface. Dalam:
Vandana D & Robert P (eds). Encounters at the
Interface: A Perspective on Social Discountinuities
in Rural Development. Wageningen: Wageningen
Agricultural University. 1-10.
Meidinger E (1987) Regulatory culture: a theoritical
outline. Law and Policiy 9(4): 355-386.
Moore SF (1983) Law as Process: An Anthropological
Approach. Boston: Routledge and Kegan Paul.
Morse BW (1987) Indigenous Law and State Legal
Systems: Conflict and Compatibility. Dalam Bradford
WM & Gordon RW (eds). Indigenous Law and the
State. Dordrecht, Holland: Foris Publications. Pp.
101-120.
Priyatmoko (1991) Budaya Politik dan Birokrasi Lokal.
Dalam: Alfian & Nazaruddin S (eds). Profil Budaya
Politik Indonesia. Jakarta: Grafiti Press. Pp. 252-265.
Scott RW (1992) Organizations: Rational, Natural and
Open Systems. 3rd Ed Englewood Cliffs. New Jersey:
Prentice Hall.
Starr J & Jane FC (1989) Introduction: Dialogues in Legal
Anthropology. Dalam: June S & Jane FC (eds). History
and Power in the Study of Law: New Directions in
Legal Anthropology. Ithaca, NY: Cornell University
Press. Pp. 1-28.
270
Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Vol. 25, No. 4, Oktober–Desember 2012, 263–270
Verbeeten T (1996) The Relevance of the Learning
Approach for the Study of Regimes for `commonpool`. In: Paper 6th Annual Conference for the Study
of Common Property Resources. Berceley: University
of California.
Vincent J (1989) Contours of Change: Agrarian Law in
Colonial Uganda, 1895-1962. Dalam: June S & Jane
FC (eds), History and Power in the Study of Law:
New Directions in Legal Anthropology. Ithaca, NY:
Cornell University Press. Pp. 153-167.
Woodman GW (1987) How State Courts Create Customary
Law in Ghana and Nigeria. Dalam: Bradford WM
& Gordon RW (eds). Indigenous Law and the State.
Dordrecht, Holland: Foris Publications). Pp. 181-220.
Wright S (1994) Culture in Anthropology and
Organizational Studies. Dalam: Susan W (ed).
Anthropology of Organizations. London: Routledge.
Pp. 1-34.
Download