BAB I PENDAHULUAN 1. Problematika Filipi 2:6-11. Di kalangan para teolog, Filipi 2:6-11 dikenal dengan nama: Hymne Kristologi, Nyanyian Kristologi, atau Syair Puji-pujian tentang Kristus dan mungkin masih ada nama yang lain lagi. Nama-nama seperti itu paling tidak memperlihatkan bahwa bagian surat tersebut cukup terkenal dan mempunyai tempat yang istimewa dalam penghayatan iman orang Kristen. Namun demikian bagian tersebut juga masih menimbulkan perdebatan di kalangan para teolog. Penafsiran dan pemahaman terhadap Filipi 2:6-11 di kalangan orang Kristen sendiri masih dalam problem yang cukup sulit. Menurut penulis, hal itulah yang menyebabkan penafsiran terhadap teks Alkitab itu kurang menolong Gereja-Gereja di Indonesia dalam memahami dan menjalankan panggilannya dalam dunia ini. Selama ini teks itu hanya ditafsirkan secara dogmatis sehingga kurang sekali menyentuh pergumulan-pergumulan praktis yang sedang dihadapi. Untuk itu dalam tulisan ini dipandang perlu untuk menggambarkan problematikanya dan mencari solusi penafsiran yang lebih menyentuh konteks orang-orang Kristen di Indonesia. Guthrie, seorang teolog Perjanjian Baru pernah memaparkan beberapa hal yang menjadi permasalahan di sekitar penafsiran dan pemahaman terhadap Filipi 2:6-11, sebagai berikut: a. Asal-usul teks Filipi 2:6-11. Menurutnya, dalam bagian ini yang dipertanyakan adalah: Apakah teks itu adalah ciptaan rasul Paulus sendiri atau sebuah teks yang berasal dari sebuah hymne yang telah dikenal dalam jemaat mula-mula, yang diambil alih dan dimasukkan oleh rasul Paulus ke dalam Surat Filipi? Jawaban terhadap pertanyaan itu bermacam-macam. 1 Ada ahli yang mengatakan bahwa teks itu bukan berasal dari Paulus, tetapi berasal dari hymne yang telah dikenal dalam Gereja mula-mula, lalu diambil alih oleh Paulus dan dimasukkan ke dalam surat Filipi sebagai dasar bagi pastoralnya terhadap jemaat Filipi. Jawaban itu didasarkan pada beberapa alasan antara lain: • Hasil penelitian mereka membuktikan bahwa bentuk sastra Filipi 2:6-11 pada mulanya bukanlah sebuah prosa seperti seperti sekarang ini, tetapi adalah sebuah hymne/puisi yang terdiri dari enam stansa, dan tiap-tiap stansa terdiri dari tiga klausa. Struktur sastra seperti itu sama dengan puisi-puisi yang dikarang dalam bahasa Aram, sebagai bahasa yang digunakan oleh jemaat mula-mula. Gaya sastra seperti itu tidak terdapat dalam surat-surat Paulus yang lain, selain dalam surat Filipi. Menurut mereka hal itu disebabkan karena teks itu bukan berasal dari Paulus sendiri yang hidup dalam budaya Helenisme. • Dari hasil penelitian itu, mereka juga menyimpulkan bahwa Paulus telah menambahkan satu klausa, dalam teks yaitu, dalam Filipi 2:8 : “ ...bahkan sampai mati di kayu salib” (thanatou tou staurou). • Untuk memperkuat kesimpulan itu, mereka juga menyatakan bahwa beberapa pokok teologis yang khas Paulus seperti: penebusan melalui salib, kebangkitan Kristus dan misi Kristus bagi penebusan dosa manusia, kurang nampak dalam Filipi 2: 6-11. Namun ada juga teolog yang membantah dan tidak sependapat dengan kesimpulankesimpulan di atas. Sebaliknya mereka berpendapat bahwa teks itu adalah ciptaan Paulus sendiri dalam rangka jawabannya terhadap pergumulan jemaat Filipi. Kesimpulan itu didasarkan pada beberapa alasan antara lain: • Bahwa sesungguhnya gaya prosa seperti itu bukan hanya dalam Filipi 2: 6-11, tetapi juga dalam Kolose 1:15-20, atau dalam surat-surat yang lain, walaupun mungkin bentuknya lebih pendek dari Filipi 2:6-11. 2 • Bila, hanya untuk merespons situasi jemaat Filipi pada saat itu, maka tidak mungkin Paulus harus memaparkan semua pandangan teologisnya yang khas tentang Kristus. Mungkin, ia merasa cukup hanya dengan menciptakan prosa yang dianggap cocok dan sesuai dengan kebutuhan pastoralnya bagi jemaat Filipi. Guthrie sendiri mengakui bahwa memang sulit untuk membuktikan dengan pasti pendapat mana yang benar sebab masing-masing memiliki alasan yang kuat yang tidak dapat ditolak dengan begitu saja. Namun menurutnya, yang paling penting adalah kalaupun prosa itu adalah ciptaan Paulus ataupun disadur dari sebuah hymne jemaat mula-mula, maka tentu dalam penafsirannya hymne itu harus dipahami dalam kerangka pergumulan Paulus dan jemaat Filipi pada waktu itu dan bukan dalam konteks di luar itu, baik jemaat mula-mula maupun Filsafat Yunani dan Gereja masa kini.1 b. Pokok-pokok teologi penting dalam Filipi 2:6-11 yang menjadi perdebatan yaitu: • Pre-eksistensi Kristus. Yang dipermasalahkan dalam bagian ini adalah Apakah hakekat Yesus pada masa sebelum kehidupanNya di dalam dunia ini?. Jawaban atas pertanyaan itu juga berbeda-beda. Berdasarkan tafsiran mereka terhadap kata “rupa Allah” (morphe Theou), ada ahli yang menyimpulkan bahwa hakekat Kristus adalah sama dengan Allah. Hal itu didasarkan pada pemahaman bahwa kata itu mempunyai hubungan dengan kata “ousia” (hakekat), yakni memiliki morphe sama dengan memiliki ousia. Karena itu, jika kata “morphe” dihubungkan dengan kata berikutnya “setara dengan Allah” maka jelas bahwa memiliki morphe berarti memiliki keberadaan yang setara dengan Allah. Namun, di pihak lain, ada yang juga yang mengatakan bahwa kata “morphe Theou” dalam teks itu harus dipahami dalam konteks Perjanjian Lama dimana hakekat Allah dihubungkan dengan gambarNya 1 Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I (terj.), BPK Gunung Mulia, Jakarta 1992, hal. 391. 3 yang dalam LXX (Septuaginta) diterjemahkan dengan kata “eikon”. Dan kata ”gambar Allah” selalu dihubungkan dengan kata “kemuliaan Allah” (doxa). Dan dalam pemahaman ini morphe Theou harus dipahami sebagai yang memancarkan kemuliaan Allah seperti pada Adam. Jadi dalam hal ini Kristus disaksikan sebagai Adam yang ke dua.2 • Inkarnasi. Tafsiran terhadap kata “morphe Theou” seperti di atas, juga berpengaruh kepada penafsiran terhadap kata “harpagmos”. Dalam konteks Filipi 2:6-11, mereka menafsirkan kata “harpagmos” dapat ditafsirkan dalam dua cara dalam bahasa Yunani, bisa dalam pengertian: “Kristus tidak mempertahankan, menggenggam erat (sebagai wujud tidak rela melepaskan) apa yang telah Ia miliki yaitu kesetaraanNya dengan Allah melainkan melepaskannya (res rapta) dan menjadi sama dengan manusia”. Atau juga dapat pula berarti: “Kristus tidak tergoda untuk merebut sesuatu yang belum Ia miliki (res rapienda), yaitu kesetaraanNya dengan Allah tetapi mengosongkan diriNya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia”. Tafsiran ini sejalan dengan sifat Kristus yang rendah hati yang tidak mengutamakan kepentingan diriNya sendiri, malah berkorban bagi pihak lain dengan menjadi seorang hamba.3 • Proses inkarnasi. Dalam bagian ini dipertanyakan apakah yang dikosongkan dalam proses inkarnasi itu? Ada ahli yang menafsirkan bahwa yang dikosongkan adalah hakekatNya sebagai Allah, sehingga dalam diri Yesus dari Nazaret itu, Kristus benar-benar mengambil rupa dan tampil sebagai manusia sejati dan tidak berhubungan dengan keilahianNya. Namun sebaliknya, ada juga yang menafsirkan bahwa yang 2 3 Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I (terj.), hal. 393. Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I (terj.), hal. 394. 4 ditiadakan dan ditutupi hanyalah penampilanNya, yaitu “kemuliaanNya sebagai Allah”, dengan memakai “rupa seorang hamba” dan itu hanya bersifat sementara. Dengan demikian, penampilanNya sebagai Allah dalam kemuliaaNya berganti menjadi Allah yang merendahkan diri dengan mengambil rupa seorang hamba.4 • PengagunganNya. Dalam bagian ini yang dipermasalahkan adalah kata “huperupsousin”. Sebagian ahli mengatakan bahwa kata itu harus ditafsirkan dengan kata “sangat meninggikan Dia” dalam artian memulihkan kembali keallahan Kristus yang ditutupi sementara, dengan memberiNya nama di atas segala nama. Tetapi ada sebagian juga yang menyatakan bahwa kata itu harus ditafsirkan dengan kata “lebih meninggikan Dia” dalam pengertian bahwa dari keberadaanNya yang semula hanya memancarkan kemuliaan Allah dianugerahi hakekat menjadi sebagai Allah. Sehingga pemberian “nama di atas segala nama” dapat dipandang sebagai upah perendahan diri dan ketaatanNya sebagai hamba. Dengan demikian, tafsiran terhadap pokok ini sangat tergantung pada pengertian kata “rupa Allah” seperti di atas. • Kapan pemuliaan itu mulai berlangsung? Apakah itu masih terjadi di akhir jaman dalam parousia atau sudah terjadi sejak saat ini? Inipun menghasilkan jawaban yang berbeda-beda. Ada sebagian yang mengatakan, bahwa karena kata “exomologestai” berbentuk futuris, maka itu baru berlangsung pada saat yang akan datang, namun ada juga yang menafsirkan hal itu itu sebagai yang sudah terjadi sejak masa lampau dan masih berlangsung sampai saat ini (aorits), karena pengakuan itu sudah berlangsung dalam jemaat 4 Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I (terj.), hal.395. 5 Kristen di masa lalu dan masih berlangsung saat ini bahkan di masa yang akan datang.5 2. Perumusan Masalah. Dari pembahasan di atas kelihatannya bahwa dalam hal penafsiran dan pemahaman terhadap Filipi 2:6-11, ada dua pihak yang saling bertentangan. Namun, sesungguhnya ke dua pihak itu mempunyai presuposisi yang sama terhadap Filipi 2:6-11 itu, yaitu memahaminya sebagai kesaksian yang sesungguhnya tentang hakekat Kristus, baik sebagai yang ilahi maupun yang insani. Hanya, keduanya memiliki penekanan yang berbeda terhadap salah satu dari dua segi dari hakekat itu. Pihak yang satu sangat menekankan keilahian Yesus begitu rupa sehingga cenderung mengabaikan kemanusiaanNya, sebaliknya, pihak yang lain begitu menekankan kemanusiaan Yesus sehingga cenderung mengabaikan keilahianNya. Bila itu benar, maka langsung atau tidak, pihak yang satu lebih condong kepada teori Anti Kenosis, yang menekankan keilahian Kristus dan yang lain lebih berpihak pada teori Kenosis yang menekankan kemanusiaanNya. Pemahaman dan penafsiran seperti di atas, jelas akan membuat penafsiran Filipi 2:6-11 menjadi perdebatan dogmatis yang berkepanjangan, yang akan menyebabkan teks itu akan tercabut dari konteksnya yang sesungguhnya. Karena untuk memperkuat pendapatnya orang cenderung mencari bukti-bukti dari luar konteks Filipi 2:6-11 sendiri. Di sanalah orang biasa lupa bahwa apapun pendapat mereka terhadap masalah asal-usul teks itu, entah ditulis oleh Paulus ataupun bukan Paulus, dalam penafsirannya, teks itu haruslah dihubungkan dengan makna dan kedudukannya dalam keseluruhan surat Filipi. Sebab teks Filipi 2:6-11 itu bermakna bukan karena itu berasal dari Paulus ataupun bukan dari Paulus, tetapi karena teks itu telah ada dan merupakan bagian sentral dari keseluruhan surat Filipi yang ditulis dalam 5 Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I (terj.), 397-399. 6 rangka menjawab pergumulan penulis dan pembacanya pada waktu itu. Dalam prinsip seperti itulah Filipi 2:6-11 mempunyai makna penting bagi Paulus dan jemaat Filipi di masa lalu dan karena itu juga bagi Gereja-Gereja di Indonesia pada masa kini. Dari pembahasan di atas, muncul pertanyaan penting yang harus dijawab dalam tulisan ini, yaitu: Bagaimana seharusnya memahami dan menafsirkan Filipi 2:6-11 dalam konteks surat Filipi dan konteks Gereja-Gereja di Indonesia saat ini? Untuk menjawab permasalahan di atas, maka penulis akan membuat perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Mengapa Paulus memasukkan teks Filipi 2:6-11 di dalam suratnya kepada jemaat di Filipi? 2. Dimanakah kedudukan dan tempatnya dalam surat Filipi? 3. Apa maknanya bagi pembaca saat itu dan pada masa kini? 3. Tujuan. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam perumusan masalah di atas adalah: sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui motif Paulus memasukkan teks Filipi 2:6-11. 2. Untuk mengetahui bagaimana teks itu ditafsirkan dalam konteks surat Filipi. 3. Untuk mengetahui bagaimana teks itu direfleksikan dalam konteks kehidupan jemaat Filipi pada saat itu dan orang-orang Kristen pada saat ini. 7 4. Metode Penafsiran. Ada ahli yang mengatakan bahwa penggunaan metode dalam menafsirkan sebuah teks Alkitab harus disesuaikan dengan konteks dan jenis sastra teks tersebut6. Itu berarti tidak semua metode bisa digunakan untuk menafsirkan semua teks Alkitab. Menggunakan metode yang tidak memperhitungkan konteks dan jenis sastra tersebut tentu akan menghasilkan tafsiran yang tidak sesuai dengan maksud penulisnya. Sebab dalam menuliskan karyakaryanya, para penulis kitab-kitab dalam Alkitab menggunakan jenis sastra tertentu sebagai metode untuk mencapai tujuan yang hendak disampaikan kepada pembaca atau pendengarnya yang juga berada dalam konteks tertentu pula. Untuk itu sebelum menentukan metode yang akan digunakan dalam tulisan ini, pertama-tama harus diteliti dan diperjelas, apa konteks dan jenis sastra surat Filipi. Dalam dunia yang sarana komunikasinya masih sangat terbatas seperti jaman rasulrasul pada waktu itu, surat adalah alat yang sangat efektif untuk saling berkomunikasi antara seorang dengan yang lain, baik secara individu maupun kelompok. Groenen,7seorang teolog Perjanjian Baru, menginformasikan bahwa di jaman Greko-Roman dikenal tiga macam surat, yaitu: a. Surat Pribadi yang disebut Littera. Surat jenis ini ditulis oleh seseorang kepada orang yang lain, entah itu orang tua, sahabat, rekan kerja, dan lain-lain. Pola penulisan surat seperti itu, umumnya terdiri dari :1). Pembukaan, yang terdiri dari: nama penulis dan tujuan surat dituliskan. 2). Isi, yang terdiri dari: maksud utama surat itu dituliskan. 3). Penutup, yang terdiri dari: ucapan salam, yang khusus diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, yang memiliki hubungan akrab dengan penulisnya. 6 John H. Hayes & Carl R. Holladay, Pedoman Penafsiran Alkitab (terj.), BPK Gunung Mulia, Jakarta 1996, hal. 30. 7 C. Goenen OFM, Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 1984, hal. 204-206. 8 b. Surat Umum yang disebut Epistola. Surat jenis ini ditulis oleh seseorang kepada sekelompok orang tertentu untuk menanggapi masalah yang sedang terjadi di antara mereka. Lewat surat itu penulis hendak mengemukakan pandangan dan keyakinannya dengan harapan itu diterima oleh pembaca atau pendengar surat itu. Untuk meyakinkan pendengar dan pembaca suratnya, penulis menggunakan metode persuasi tertentu, yang bisa disebut Rhetorika. Jenis metode retorika yang digunakan tergantung dari konteks permasalahan yang sedang dihadapi. RhetorikaJudisial digunakan dalam masalah-masalah hukum di pengadilan. Rhetorika-Deliberatif digunakan dalam rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan publik. Sedangkan RhetorikaEpideiktif digunakan dalam ibadah-ibadah atau perayaan keagamaan.8 c. Karya Sastra atau Filsafat. Surat jenis ini biasanya ditulis oleh seorang sastrawan atau filsuf hanya sebagai karya sastra atau filsafat dan tidak ditujukan kepada siapapun. Surat-surat seperti itu ditulis dan dikumpulkan untuk dijual kepada umum ataupun dijadikan koleksi pribadi karena nilai sastra dan filsafat tertentu yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan jenis-jenis surat seperti yang dikatakan di atas, maka muncul pertanyaan: Surat Filipi yang ada pada kita saat ini termasuk dalam kategori jenis surat yang mana? Para teolog memberi jawaban yang berbeda-beda. Barclay misalnya mengkategorikan surat Filipi sebagai surat pribadi yang disebut Littera dengan alasan bahwa pola penulisan surat Filipi mirip dengan pola penulisan surat pribadi, yang terdiri dari: Pembukaan, Isi dan Penutup.9 Teolog yang lain seperti Fee, secara lebih khusus mengatakan bahwa surat Filipi termasuk dalam jenis Surat Pribadi tetapi bersifat Persahabatan (friendship). Menurutnya, dalam surat seperti itu terdapat nasihat-nasihat moral yang hendak disampaikan oleh seorang sahabat 8 Wenas Kalangit, Surat Galatia: Sebuah Retorika, Dalam: Forum Biblika No.9-1999, Lembaga Alkitab Indonesia, hal. 29. 9 William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap hari, Surat Filipi, Kolose, 1 dan 2 Tesalonika,(terj), BPK Gunung Mulia, Jakarta 2006, hal 3 9 kepada sahabat-sahabatnya yang lain. Biasanya dalam persahabatan itu, si penulis surat memiliki kewibawaan yang lebih tinggi dari pembaca dan pendengar suratnya.10 Sementara Groenen11 sendiri mengkategorikan surat-surat Paulus umumnya dan Filipi khususnya dalam karya Sastra atau Filsafat. Menurutnya, memang surat-surat Paulus bisa dikategorikan dalam bentuk Littera ataupun Epistola. Sebab, dikemudian hari surat-surat itu dikumpulkan orang karena dianggap berwibawa dalam jemaat. Selanjutnya, surat-surat itu diredaksikan ulang oleh seorang redaktor dalam bentuk dan gaya sastra yang sesuai dengan konteks permasalahan yang sedang ia hadapi. Karena itu, surat-surat yang mulanya berjenis Epistola ataupun Littera, akhirnya berubah menjadi seperti karya sastra atau filsafat, seperti jenis surat yang ke tiga di atas. Untuk memperkuat kesimpulannya, Groenen menunjuk pada kesaksian 2Pet.3:16 yang menyinggung tentang pengumpulan surat-surat Paulus yang diperuntukkan bagi Gereja umumnya. Secara Historis-Kritis, pendapat Groenen lebih masuk akal, hal itu tercermin dalam alur pemikiran surat Filipi yang kurang lancar dan tersendat-sendat, yang mungkin dikarenakan beberapa surat Paulus kepada jemaat di Filipi telah diredaksikan ulang menjadi satu surat seperti saat ini12. Namun yang penting bagi penulis adalah bahwa penyusunan kembali surat-surat itu menjadi sebuah karya sastra yang baru dan utuh seperti saat ini, tentu dengan menggunakan metode retorika tertentu sesuai dengan konteks dan kebutuhan Gereja pada waktu itu. Atau juga, bukan tidak mungkin bahwa Paulus sendiri adalah penulis surat Filipi dalam bentuk seperti yang ada saat ini, karena gaya penulisan seperti adalah jenis retorika tertentu yang cocok dengan konteks pergumulan Paulus dan jemaat Filipi pada waktu itu. Karena itu pertanyaan penting adalah jenis retorika apa yang digunakan dalam surat Filipi saat ini? 10 Gordon D. Fee, Philippians, The IVP New Testament Commentary Series, InterVarsity Press, England 1999, p. 13-15. 11 C. Goenen OFM, Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru, hal. 208 12 William Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru, Pendekatan Kritis Terhadap Masalah-Masalahnya (terj.), BPK Gunung Mulia, Jakarta 200, hal. 62-63. 10 Tentang jenis retorika yang digunakan dalam surat Filipi saat ini ada dua pendapat yang berbeda. Seperti yang dikutip oleh Reed, D.F.Watson,13 berpendapat bahwa Paulus menulis surat Filipi dengan menggunakan jenis Rhetoric-Deliberatif, dimana dalam jenis retorika tersebut, Filipi 2:6-11 dapat dikategorikan dalam bagian Exemplum (contoh), yaitu salah satu bagian dalam Rhetorika-Deliberatif, yang biasa berfungsi sebagai contoh untuk menasihati Jemaat di Filipi. Namun, di tempat yang lain, Claudio Cs., berpendapat bahwa surat Filipi menggunakan jenis Rhetoric-Epideictic sebab bagi mereka tempat Filipi 2: 6-11 dalam konteks surat Filipi bukan hanya salah satu contoh etika yang harus diteladani tetapi sebagai sebuah hymne yang juga adalah sebuah puji-pujian yang memiliki tempat yang sentral dalam surat Filipi, yang merupakan satu-satunya dasar bagi Paulus untuk menasihati, menghibur, dan menguatkan jemaat di Filipi dalam pergumulan mereka. Karena itu Claudio & Cappa14 menempatkan Filipi 2:6-11 pada bagian yang sentral, yaitu dalam Probatio/ Argumentatio, sebagai dasar argumentasi untuk memuliakan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan menasihati jemaat di Filipi sebagai jemaatNya. Perbedaan seperti itu mungkin saja terjadi karena dalam penelitiannya, Bloomquist menemukan bahwa pada dasarnya surat Filipi merupakan gabungan dari ke dua jenis retorika itu, karena itu bisa tafsirkan berdasarkan metode Deliberative maupun Epideictic15. Dalam hal ini, penulis lebih sependapat dengan Claudio sebab sebagai sebuah hymne, Filipi 2:6-11 terutama adalah sebuah puji-pujian yang kemudian dijadikan dasar etis untuk menasihati Jemaat Filipi. Dan sebagai Puji-pujian, maka bagi penulis, Filipi 2:6-11 lebih tepat dipahami dalam kerangka Epideictic daripada Deliberatif. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini penulis akan menggunakan 13 Jeffrey T. Reed, Using Ancient Rhetorical Categories to Interpret Paul’s Letters: a Questios of Genre, in: Rhetoric and the New Testament, edited by Stanley E. Porter & Thomas H. Olbricht, Sheffield Academic Press, England 1993, P.315 14 Claudio Basevi & Juan Chapa, Philippians 2:6-11: The Rhetorical Function of a Pauline Hymn, in: Rhetoric and the Newtestament, p. 346. 15 L. Gregory Bloomquist, The Function of Suffering in Philippians, in: Journal for Study of the New Testament Supplement Serries 78, JOST Press, England 1993,p. 119. 11 metode Rhetoric-Epideictic yang menempatkan Filipi 2:5-11 dalam bagian probatio/argumentatio. Dalam kerangka metode Rhetoric-Epideictic, maka struktur surat Filipi dapat susun berdasarkan pembagian yang dibuat oleh Bloomquist,16 sebagai berikut: (Epistolary Prescript 1:1-2) 1: 3-11 Exordium 1:12-14 Narratio 1:15-18a Partitio 1:18b-4:7 Argumentatio: 4:8-20 1:18b-26 confirmatio 1:27-2:18 exortatio (conclusion to confirmatio) 2:19-30 exempla 3:1-16 reprehensio 3:17-4:7 exortatio (conclusion to reprehensio) Peroratio (Epistolary Postscript 4:21-21) 5. Perumusan Judul. Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas, maka penulis merumuskan judul tulisan ini sebagai berikut: HIDUP DI DALAM KRISTUS (Analisa Retorika Terhadap Filipi 2:6-11 Serta Relevansinya Bagi Kehidupan dan Pelayanan Gereja-gereja di Indonesia Pada Saat Ini) 6. Penjelasan Judul. Kata “di dalam Kristus” adalah Istilah Paulus yang khas untuk mengungkapkan pemahaman dan teologinya yang menggambarkan persekutuan dan hubungan Kristus Yesus yang sangat 16 L. Gregory Bloomquist, The Function of Suffering in Philippians, in: Journal for Study of the New Testament Supplement Serries 78, JOST Press, p.137. 12 akrab bahkan meyatu dengan jemaatNya. Istilah itu juga digunakan oleh Paulus dalam menjelaskan realitas Kristus dan penebusanNya yang walaupun belum sempurna, namun sudah mulai berlangsung sejak saat ini dan masih dinantikan kesempurnaannya di masa depan (Parousia)17. Dalam Surat Filipi kata ini kurang lebih duapuluh lima kali muncul yang nampak dalam teks aslinya “en Christo”. Itu memperlihatkan bahwa kata itu sendiri mempunyai makna yang penting dalam surat Filipi. Hal itu disebabkan karena, kata “di dalam Kristus” dapat menggambarkan tempat dan makna Filipi 2:6-11 dalam keseluruhan surat Filipi. Sebab “di dalam Kristus”, Paulus menjadi rasulNya, menderita dalam memberitakan InjilNya dan menasihatkan mereka supaya hidup dalam kehidupan yang sepadan dengan Injil sesuai dengan kehendak Kristus sendiri sebagai Tuhannya. Kata “en Christo” juga memiliki makna persekutuan, yaitu persekutuan antara Kristus Yesus yang telah bertahta di Sorga dengan umatNya yang ada dalam dunia ini, sekali gus juga persekutuan di antara orang-orang yang percaya kepada Kristus Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat dunia ini. Persekutuan itu diwujudkan dalam banyak hal, antara lain dalam: Sakramen-sakramen, Ibadah-ibadah, Pelayanan dan pola hidup sehari-hari yang didasarkan pada kehendak dan sifat-sifat Yesus Kristus sebagai Tuhan. Dalam semua itu orang Kristen percaya bahwa Kristus hidup di dalam mereka dan mereka ada di dalam Kristus Yesus. Metode Retorika (Rhetorical-Criticism), berasal dari dua kata yaitu: Pertama, Rhetorica sebagai sebuah cabang ilmu Filsafat yang digunakan dalam mengkomunikasikan pikiran dan perasaan seseorang kepada yang lain secara persuasif sehingga orang yang mendengarnya dapat membenarkan pendapat dan pikiran tersebut. Kedua, Critic, yang berasal dari kata krinein yang berarti menilai atau membedakan. Jadi dengan methode 17 J. D. Duglas (Ed.), Esiklopedi Alkitab Masa Kini (terj.), Kanisius, Yogyakarta 2001, hal. 219. 13 Rhetorical-Criticism, penulis hendak menilai dan memahami pikiran yang hendak disampaikan Penulis surat Filipi berdasarkan gaya bahasa dan kerangka berpikir retorika dalam surat tersebut. Karena itu kajian ini lebih mengarahkan perhatian pada bagaimana cara penyusunan bahan dan penggunaan kata-kata tertentu yang mempunyai efek persuasif guna mempengaruhi keyakinan pembaca dan pendengar surat itu di dalam konteks dan pergumulan mereka18. Selain itu, metode itu juga lebih dapat dipertanggung-jawabkan secara naratif sebab menempatkan Filipi 2:6-11 dalam konteks surat Filipi secara keseluruhan. Sebab, dalam prinsip naratif, Filipi 2:6-11 hanyalah sebagian kecil dari surat Filipi, yang hanya dapat dipahami maknanya dalam konteks keseluruhan surat Filipi. Kedudukan Filipi 2:6-11 yang sentral dan mendasar serta maknanya yang mendalam bagi Jemaat Filipi itulah yang menjadi motivasi dan inspirasi penulis juga untuk menjadikannya sebagai kajian alternatif dan sumbangan bagi misi Gereja-Gereja di Indonesia saat ini. 7. Manfaat Penulisan Manfaat yang diharapkan dari penulisan ini adalah sebagai berikut.: 1. Dalam bidang akademik, diharapkan tulisan menjadi salah satu alternatif penafsiran yang baru, yang dapat dipertanggung-jawabkan secara akademik di samping penafsiran-penafsiran yang yang sudah ada sebelumnya. 2. Dalam bidang praktis, diharapkan tulisan ini menjadi salah satu sumbangan dan dorongan bagi pergumulan Gereja-Gereja di Indonesia. 18 R. J. Coggins & J. L. Houlden (ed.), A Dictionary of Bible Interpretation, SCM Press, London 1990, p.600. 14 8. Sistimatika Penulisan. Sistimatika penulisan ini adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Bagian ini membahas tentang: Problem Penafsiran Terhadap Filipi 2:6-11, Permasalahan, Perumusan Masalah, Metode Penafsiran, Perumusan dan Penjelasan Judul, Manfaat Penulisan serta Sistimatika Penulisan. BAB II: BEBERAPA PENAFSIRAN YANG BERSIFAT “DOGMATIS”19 TERHADAP FILIPI 2:6-11. Bagian ini membahas tentang pandangan beberapa teolog yang mendekati teks Filipi 2:6-11 dalam pengaruh ajaran /doktrin tertentu, seperti keallahan dan kemanusiaan Yesus Kristus. BAB III : PENAFSIRAN Dalam bagian ini teks Filipi 2:6-11 akan ditafsir berdasarkan kerangka Analisa Retorika kemudian dibandingkan dengan hasil penafsiran Dogmatis terhadap Filipi 2:6-11. BAB IV : TEMPAT DAN MAKNA FILIPI 2:6-11 DALAM KONTEKS Bagian ini akan membahas tentang tempat makna Filipi 2:6-11 dalam konteks pergumulan orang-orang Kristen, pertama bagi Jemaat Filipi dan kemudian bagi Gereja-Gereja di Indonesia Indonesia saat ini, sebagai upaya menghubungkan teks dari masa lalu dalam konteks masa kini BAB V: PENUTUP Bagian ini berisi kesimpulan terhadap isi seluruh penulisan ini, yaitu dari BAB I- IV. 19 Istilah dogmatis yang digunakan itu hanyalah berdasarkan penilaian penulis saja untuk bisa membedakannya dari penafsiran yang didasarkan pada prinsip-prinsip penafsiran Alkitab secara kritis-teologis. Istilah penfsiran yang dogmatis ini digunakan berdasarkan pembagian model-model metode penafsiran Alkitab berdasrkan pembagian yang dibuat oleh Emmanuel Gerrit Singgih , Dunia yang Bermakna, Persetia, Jakarta 1999, hal.285. Di sana beliau membaginya dalam tiga model, yaitu: Pra/non-kritis, kritis-Historis dan tasir Kritis-Naratif. 15