MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF1 Oleh Abd Moqsith Ghazali [Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta] Email; [email protected] A. Pendahuluan Banyak pemikir Muslim memandang ilmu tafsir al-Qur’an dan metodologi pembacaan (ushul fikih) klasik tanpa cacat epistemologis apapun. Ajakan sejumlah ulama Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qauli ke manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yang telah dikerangkakan para ulama dahulu memang sudah tuntas dan sempurna. Sehingga, kewajiban umat yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakannya. Di sini, sebuah metodologi yang sejatinya lahir dari pabrik intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai sesuatu yang mutlak. Tak terbantah. Mereka telah melakukan idealisasi dan universalisasi terhadap metodologi lama yang provisionaris. Mestinya, metodologi pembacaan klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodologi klasik tersebut. [1] Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih bahkan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu mengambil cara penundukan terhadap akal publik. [2] Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk umat manusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya 1 Artikel ini pernah dimuat dalam Komaruddin Hidayat & Ahmad Gaus (ed.), Islam, Negara & Civil Society, Jakarta: Paramadina, 2005, hlm. 352-370. ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER (mukallaf) [3] Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas merupakan ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks adalah illegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh cara pemecahan problem. Dalam pandangan ilmu tafsir dan ushul fikih lama, teks telah dipandang sebagai manifestasi dari keseluruhan kebenaran dan dengan demikian menjadi “dasar” dalam mengukur segala persoalan menyangkut hal-ihwal perbuatan manusia. Dengan ungkapan lain, teks ajaran adalah wujud tunggal dari “kebenaran mutlak” yang mesti dipedomani, meminjam istilah para penatar P4 dulu, secara murni dan konsekuen. Tendensi untuk bergeser dari makna harafiah teks, meskipun sedikit saja, terlebih melampirkan pertimbangan lain di luar ketentuan bunyi teks ajaran dipandang sebagai sebuah skandal dan kejahatan teologis yang tak terampuni. Selanjutnya, jika terjadi sengketa antara teks verbal dalam kitab suci dengan realitas, maka solusi yang disuguhkan kaum ortodoks adalah dengan menaklukkan realitas di bawah kontrol teks ajaran. Teks bagi mereka merupakan sumber kebenaran par excellence. Tentu saja ini merupakan kelemahan metodologis yang mesti mendapatkan penanganan. Dengan segala keterbatasan, bagian ini bermaksud untuk mereformasi kaidah-kaidah tafsir dan ushul fikih yang problematis dari sudut ontologis-epistemologis tersebut. Dengan merekonstruksi kaidah-kaidah penafsiran dan ushul fikih ini niscaya produk pemikiran Islam akan lebih solutif bagi problem-problem kemanusiaan yang terus melilit. Karena, betapa pun canggihnya sebuah metodologi jika kandas pada tingkat pemecahan problem, maka ia tidaklah banyak guna dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah metodologi terutama dalam imu-ilmu terapan Islam semacam ilmu tafsir dan ushul fikih ini akan berkoresponden dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan kemaslahatan bagi sebesar-besarnya umat manusia. Namun, sebelum masuk pada perumusan kaidah-kaidah penafsiran alQur’an itu, perlu diingatkan kembali perihal tekstualitas dan kontekstualitas alQur’an. Bahwa di balik teks al-Qur’an yang historis-kontekstual tersebut, kita kemudian bisa merumuskan prinsip-prinsip pokok al-Qur’an yang kerap disebut sebagai maqashid al-syari’ah. ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 353 ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER B. Tekstualitas dan Kontekstualitas Al-Qur’an Hassan Hanafi, pemikir progresif Muslim dari Mesir, dalam bukunya yang bertitel Dirasat Islamiyah menyatakan, “al-wahyu laysa kharij al-zaman tsabitan la yataghayyaru, bal dakhil al-zaman yatathawwaru bi tathawwurihi. [wahyu bukanlah sesuatu yang berada di luar konteks yang kokoh tak berubah, melainkan berada dalam konteks yang mengalami perubahan demi perubahan].2 Pernyataan Hassan Hanafi tersebut menegaskan sebuah tesis bahwa Islam bukan wahyu yang jauh di langit yang terlepas dari kenyataan konkret masyarakat. Islam tidak memulai ajarannya dari lembaran kosong. Islam bukan suatu creatio ex nihilio: ciptaan yang meloncat begitu saja dari ruang kosong. Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu adalah seseorang yang hidup dalam konteks lokalitas Arab waktu itu. Ia tidak terisolasi dari konteks di sekitar. Jelas, bahwa meskipun al-Qur’an merupakan kalam Allah SWT, kenyataan menunjukkan bahwa wahyu itu telah memasuki “pemukiman” historis. Al-Qur’an adalah bagian dari fakta historis itu. Karena kitab suci yang diyakini sebagai transkripsi firman Tuhan itu telah turun ke bumi, maka ia adalah fakta atau teks historis yang bergerak dalam hukum kesejarahan. Pandangan di atas sekurangnya dikukuhkan oleh empat argumen berikut. Pertama, Allah telah memilih bahasa manusia (yakni, bahasa Arab) sebagai kode komunikasi antara Tuhan, Jibril, dan Muhammad SAW. Di dalam proses komunikasi itu pengujar menyatakan diri dengan cara pengungkapan yang khas. Semua literatur mengenai kemukjizatan al-Qur’an--paling tidak sejauh menyangkut persoalan linguistik--menegaskan peran menentukan dari cara pengungkapan ini.3 Hasan Hanafi, Dirasat Islamiyah, Mesir: Maktabah al-Anjelu al-Mishriyah, 2000, hlm. 71 Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan al-Qur`an, terjemahan Machasin, Jakarta: INIS, 1997, hlm. 80. Ini penting dikemukakan oleh karena bahasa --tak terkecuali bahasa Arab alQur`an-adalah ciptaan manusia, karena ia direfleksikan dari konvensi sosial hubungan antara suara dan makna. Inilah sebabnya mengapa kaum Mu’tazilah bersikeras mengatakan tentang kemakhlukan al-Qur`an, tatkala al-Qur`an itu hadir dalam bungkus bahasa manusia. Dengan lantang kaum Mu’tazilah berujar bahwa bahasa adalah produk manusia. Oleh karena yang disasar oleh Tuhan adalah manusia, maka bahasa Tuhan harus “mematuhi” bahasa manusia, agar firman-firman-Nya mudah dipahami oleh manusia juga. Allah berfirman, wa ma arsalna min rasulin illa bi lisani qawmihi li yubayyina lahum [QS, Ibrahim: 4). Ibnu Khaldun mengatakan “inna al-Qur`an nazala bi lughat al-`Arab wa `ala asalibi balaghatihim”. 2 3 ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 354 ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER Kedua, keterlibatan Nabi Muhammad sebagai penerima pesan di satu sisi dan sebagai penafsir di sisi lain ikut menentukan proses pengungkapan dan tekstualisasi al-Quran. Muhammad SAW bukan disket kosong, melainkan orang cerdas dan berilmu. Tatkala menerima wahyu, Nabi Muhammad ikut aktif memahami dan kemudian mengungkapkannya.4 Karena itu, menurut Nashr Hamid Abu Zaid, tidak bertentangan jika dikatakan bahwa al-Qur`an adalah wahyu Tuhan dengan teks Muhammad (muhammadan text). 5 Ketiga, prinsip gradualisme dan keberangsur-angsuran (al-tanjim) yang ditempuh al-Qur’an di dalam mencicil ajaran-ajarannya. Kalau kita amati proses penurunan al-Qur’an sampai dalam bentuknya sebagai ”korpus resmi yang tertutup”, proses graduasi syari’at sangat terang benderang. Dalam kasus pelarangan khamr, misalnya, al-Qur’an menurunkan ayat yang berbeda sampai tiga kali dengan karakter evolutifnya yang khas. Demikian pula dalam formulasi syari’ah. Cukup beralasan jika dikatakan bahwa formulasi syari’ah,6 sebagaimana sistem perundang-undangan lainnya, mengikuti tahap-tahap perkembangan umat. Prinsip al-tadrij merupakan indikasi kuat, betapa al-Qur’an itu tidak hidup di ruang yang hampa sejarah. Al-Qur’an hidup dalam alir sejarah kemanusiaan yang hawadits. Tuhan berkarya selalu mempertimbangkan dimensi-dimensi rasional yang mengantarainya, bukan datang berfirman dari atas bukit tanpa preseden. Bahkan, prinsip al-tadrij bukan hanya berlaku di dalam agama Islam secara terbatas, melainkan hampir mengena pada seluruh agama-agama semitik yang lain. Keempat, sejak turunnya, al-Qur’an telah berdialog dengan realitas. Banyak sekali peristiwa yang mengiringi turunnya ayat dan yang merupakan Keterlibatan Muhammad SAW dalam hal ini berlangsung dalam dua level. Pertama, proses pengkalimatannya dalam bahasa Arab. Kedua, penjelasan Nabi Muhammad atas al-Qur`an yang selanjutnya disebut hadits. 5 Lihat wawancara M Taufik Rahman dan Much Nur Ichwan dengan Nashr Hamid Abu Zaid, “Tafsir Tak pernah Berhenti”, dalam Panji Masyarakat No. 30 Tahun I, 10 Nopember 1997, hlm. 12-14. 6 Syari’ah di sini harus dipahami sebagai jalan dari kehendak untuk mengimplementaikan nilai-nilai pokok agama Islam. Sebagai sebuah jalan, syari’at yang dibawa para Nabi dan Rasul selalu berbeda-beda, mengikuti perbedaan ruang, waktu, dan tingkat peradaban umat pengikutnya. Dengan demikian, sebagian syari’at bersifat tentatif dan relatif, sehingga wajar kalau dikemudian hari dianulir kembali oleh syari’at-syari’at yang datang sesudahnya. 4 ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 355 ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER jawaban atas pertanyaan umat waktu itu. Sangat sedikit ayat-ayat yang diturunkan tanpa ada sebab eksternal. Al-Qur’an hadir mengikuti peristiwaperistiwa baru yang muncul di tengah masyarakat. Respons yang diberikan kadang hanya satu potong ayat, atau beberapa ayat, bahkan dalam satu surat alQur’an. Tidak jarang al-Qur’an juga menjelaskan peristiwa khusus yang menjadi motif kehadirannya. Misalnya, permulaan surat al-Anfal yang menjawab pertanyaan umat Islam perihal pembagian harta rampasan perang. Atau, seperti penjelasan al-Qur’an tentang darah haid perempuan yang menyebabkan tidak bolehnya hubungan seksual dilakukan. Juga respons al-Qur’an yang khusus menyikapi keangkuhan Abu Lahab dan isterinya. Lengkapnya ayat-ayat itu berbunyi demikian: “Mereka bertanya kepadamu tentang pembagian harta rampasan perang. Katakanlah, “Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara kalian dan taatlah kepada Allah dan Rasulnya sekiranya kalian adalah orang-orang yang beriman”. (QS, al-Anfal [8]: 1). Mereka bertanya kepadamu tentang darah haid. Katakanlah, “haid itu adalah kotor. Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari perempuan (isteri) ketika haid. Janganlah kalian mendekatinya hingga perempuan itu suci kembali. Sekiranya mereka telah suci, maka gaulilah mereka seperti yang diperintahkan Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyucikan diri” (QS, al-Baqarah [2]: 222). “Binasalah dua tangan Abi Lahab dan sesungguhnya dia pasti binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan begitu pula isterinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut. (QS, al-Lahab [111]: 1-5). Dengan itu jelas bahwa kehadiran al-Qur’an bersifat kontekstual dan memiliki relevansi dalam kehidupan masyarakat saat itu. Bahkan al-Qur’an pun menjadi cermin dari realitas kebudayaan dan hukum-hukum pra-Islam. Jika kita mengikuti perkembangan al-Qur’an, maka itu berarti juga kita mengikuti perkembangan hidup Nabi Muhammad dan perkembangan umatnya. Dengan mempertimbangkan situasi sosio-historis yang menyertai firman Allah tersebut, maka sungguh terdapat hubungan yang dialektis antara teks al-Quran dan realitas budaya. Persis di dalam sistem budaya yang mendasarinya ini, al-Qur’an “terkonstruk” secara kultural dan “terstruktur” secara historis. Meskipun alQur’an diwahyukan oleh Tuhan, secara historis ia telah dibentuk dan secara ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 356 ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER kultural dibangun. Bahkan, bisa dikatakan bahwa al-Qur’an datang untuk membangun dialog dengan masyarakat Arab. Kalau kita jujur, banyak nomenklatur dan kosa kata al-Qur’an yang menunjukkan latar lokalitas kehadirannya. Pengambilan contoh binatang unta sebagai bahan perenungan eksistensial, begitu juga perumpaan surga sebagai aliran-aliran mata air yang jernih merupakan bukti kuat bahwa lokalitas itu benar-benar tidak bisa disembunyikan hatta dalam al-Qur’an sendiri. Unta adalah binatang yang banyak berkeliaran di Arab dan bukan binatang yang mudah berkembang biak secara sempurna di tempat lain, Indonesia misalnya. Sementara penggambaran surga dengan mata air di sebuah jazirah yang tandus dan kerontang jelas merupakan sesuatu yang menggiurkan. Namun, tidak demikian halnya bagi orang-orang yang hidup di kawasan yang curah hujannya tinggi. Sekiranya al-Qur’an turun di daerah-daerah beriklim dingin, mungkin alQur’an akan mengambil perumpamaan surga yang berbeda. Dalam studi Tafsir dan Ulmul Qur’an pun kita akan menemukan sejumlah ketentuan ajaran dalam Islam yang diambil dari tradisi-tradisi sebelumnya, baik pada era kenabian sebelumnya yang disebut syar`u man qablana maupun pada zaman kevakuman kenabian (zaman fatrah). Terhadap pokok soal ini ada banyak sekali contoh. Dalam kitab-kitab fikih diceritakan bahwa jabat tangan bukanlah sesuatu yang orisinil dari Islam, melainkan sesuatu yang dipungut dari sebuah tradisi masyarakat pra-Islam. Ini artinya, bahwa Islam yang hadir di setiap jengkal bumi selalu merupakan hasil racikandialektik antara wahyu dan tradisi. Tak terkecuali Islam yang ada di Mekah atau Madinah. Islam Mekah adalah Islam hasil berjumpaan wahyu dengan tradisi lokal Mekah. Begitu juga Islam yang ada di Madinah. Dengan nalar demikian, bisa dimengerti jika karakter dan genre ayat al-Qur’an yang turun di Mekah berbeda dengan ayat yang turun di Madinah. C. Maqashid al-Syari’ah Sebagai Rujukan Utama Dalam paradigma Ilmu Tafsir dan Ushul Fikih klasik selalu dinyatakan bahwa sumber hukum paling pokok (mashadir ashliyah asasiyah) dalam Islam secara hirarkis hanya ada empat, yaitu al-Qur’an, hadits, ijma` (konsensus) dan qiyas (analogi). Sementara mashalat mursalah, istihsan, syar`u man qablana (syari`at umat atau nabi-nabi terdahulu), `urf (tradisi, kebiasaan), dan yang lainABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 357 ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER lain merupakan deretan sumber pada level sekunder, atau disebut dengan mashadir taba`iyah. Tentu saja ini sebuah kategori-kategori cerdas saat itu yang mesti mendapatkan apreasiasi dari umat Islam yang datang kemudian. Dengan ini, tampak dengan jelas bahwa al-Qur’an kemudian al-Hadits menempati posisi sentral di dalam hirarki sumber-sumber hukum dalam Islam. Segala jenis tindakan dan kegiatan harus selalu berada dalam kendali dan kontrol al-Qur’an dan al-Sunnah. Bahkan, sejarah masa kini dan yang akan datang sekalipun harus juga berada dalam ruang penaklukan kitab al-Qur’an dan al-Sunnah, kitab mana telah hadir ribuan tahun yang lalu itu. Ini, di samping karena (terutama) al-Qur’an telah diimani sebagai kitab wahyu dari Allah SWT, juga karena diyakini bahwa al-Qur’an memiliki daya jangkau yang meliputi masa lalu (madli), sekarang (hal), dan yang akan datang (mustaqbal). Indikator yang dengan utuh menggambarkan tesis lama ini adalah ungkapan al-Syafi’i “ falaisat tanzilu bi ahadin min ahli dini Allah nazilatun illa wa fi kitab Allah al-dalil `ala sabil al-huda fiha”.7 Bahwa setiap peristiwa yang ada di bumi ini sudah ada ketentuan hukum (dalil)nya di dalam al-Qur’an. Lepas dari itu, tidak bisa diingkari bahwa telah terjadi sejumlah paradoks (ta`arudl bayna al-ayat) di dalam al-Qur’an, yang diklaim sebagai poros dari seluruh dalil yang lain. Paradoks bahkan bukan hanya antara satu lafaz dan lafaz yang lain, melainkan juga antara satu gagasan dengan gagasan yang lain dalam al-Qur’an. Harus diakui, penyelesaian terhadap paradoks lafzhiyah sudah banyak dilakukan oleh ushul fikih klasik. Bahwa, ketika terjadi ta`arudl antara satu lafaz dan lafaz yang lain, maka yang mesti dilihat pertama kali oleh seorang mujtahid adalah bentuk dan karakter dari lafaz yang membentuk ayat-ayat itu. Apakah lafaz ayat itu dikemukakan dengan lafaz `am, mutlak, dan mujmal? Atau justru dengan menggunakan lafaz khash, muqayyad, dan mubayyan. Dari sini maka dilakukanlah takhshish, taqyid, tabyin, hingga naskh. Melalui penanganan lafzhiyah inilah, menurut ushul fikih, maqashid al-syari’ah dapat ditemukan.8 Penyelesaian metodologis a la ushul fikih klasik itu luar biasa canggih dan detail. Lihat al-Syafi`i, al-Risalah, Beirut: Dar al-Fikr, 1997, hlm. 49. Per istilah, maqashid al-syari`ah yang berarti tujuan penetapan hukum ini dipopulerkan seorang ahli ushul fikih dari madzhab Maliki, Abu Ishaq al-Syathibi, terutama semenjak beredarnya kitab al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari`ah. Akan tetapi, dari sudut gagasan, sebenarnya poin-poin maqasid al-syari`ah itu sudah pernah dikemukakan oleh ulama ushul fikih sebelumnya seperti al-Juwaini Imam al-Haramain dan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali. 7 8 ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 358 ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER Akan tetapi, penanganan terhadap paradoks yang bersifat isu dan gagasan belum banyak dilakukan. Misalnya, gagasan pluralisme agama dalam alQur’an. Betapa, dalam satu spektrum, pluralisme qur`anik diungkapkan melalui janji penyelamatan terhadap orang-orang yang beragama selain agama Islam (QS, al-Baqarah [2]: 62). Sementara pada spektrum yang lain, absolutisme Islam juga terpampang dengan tegas dalam al-Qur’an. Kontradiksi nyata antara beberapa ayat al-Qur’an yang mengakui sumber-sumber penyelamatan otentik lainnya di satu sisi dan ayat-ayat lain yang menyatakan Islam sebagai satusatunya sumber penyelamatan di sisi yang lain harus diatasi untuk memungkinkan tegaknya sebuah tata kehidupan berdampingan secara damai dengan umat agama lain. Terus terang, tidak banyak para ulama dan cendekiawan Muslim yang memiliki perhatian utama untuk coba menyelesaikan gagasan yang kontradiktif tersebut, baik dengan cara memperbaharui penafsiran maupun dengan menyusun sebuah metodologi pembacaan baru. Faktanya, hingga sekarang, sekelompok pemikir Islam yang concern pada gagasan pluralisme agama biasanya hanya mengutip sejumlah ayat yang mendukung pluralisme agama dan seringkali melakukan pengabaian bahkan terkesan “lari” dari ayat-ayat yang menghambat jalan pendaratan pluralisme agama. Demikian juga sebaliknya. Sembari merayakan ayat-ayat yang problematis dari sudut pluralisme agama, para ulama eksklusif kerap menafikan ayat-ayat yang secara literal jelas-jelas mendukung pluralisme agama. Bahkan, para ulama kedua ini kerap meneriakkan slogan-slogan panas berkaitan dengan eksistensi umat agamaagama lain. Bertolak dari itu, sebuah gagasan perihal hirarki sumber hukum dalam Islam perlu ditawarkan. Bahwa maqashid al-syari’ah merupakan sumber hukum pertama dalam Islam baru kemudian diikuti secara beriringian (ayat partikular) al-Qur’an dan al-Sunnah. Maqashid al-syari’ah merupakan inti dari totalitas ajaran Islam. Maqashid al-Syari’ah menempati posisi lebih tinggi dari ketentuanketentuan spesifik-furu`iyah al-Qur’an. Maqashid ini merupakan sumber inspirasi tatkala al-Qur’an hendak menjalankan ketentuan-ketentuan legalspesifik di masyarakat Arab. Maqashid al-syari’ah adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber dari al-Qur’an itu sendiri. Oleh karena itu, sekiranya ada satu ketentuan baik di dalam al-Qur’an maupun alABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 359 ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER hadits yang bertentangan secara substantif terhadap maqashid al-syari’ah, maka ketentuan tersebut mesti ditakwilkan. Ketentuan tersebut bahkan boleh dibatalkan (naskh) demi logika maqashid al-syari’ah. Maqashid al-syariah itu bukan hanya digali melalui proses dialektik antara umat Islam dengan teks al-Qur’an per se, melainkan juga sebagai hasil dari dialog yang bersangkutan dengan hati nuraninya di satu pihak, dan interaksi mereka dengan realitas kehidupan di pihak yang lain. Berinteraksi dengan realitas, berdialektik dengan teks suci, dan dilanjutkan dengan dialog personal dengan hati nurani secara terus-menerus oleh setiap anak manusia sepanjang masa kiranya akan melahirkan suatu susunan dan konstruksi maqashid al-syari’ah yang universal. Maqashid al-Syari’ah sejatinya telah bertebaran di setiap nurani umat manusia. Bukankah dengan nuraninya, manusia sudah bisa membedakan antara perkara yang buruk dan yang perkara yang baik. Perihal ini, Nabi SAW pernah mengatakan istafti qalbak (mintalah petunjuk pada hati nuranimu). Pandangan Nabi ini kemudian mendapatkan pengukuhan dari firman Allah SWT. “fa alhamaha fujuraha wa taqwaha”. Inilah dalil bahwa maqashid al-syari’ah bukan hanya berada di dalam lipatan teks-teks suci yang tak bersuara, melainkan justeru terhunjam di kedalaman hati nurani manusia yang syahdu. Khazanah ushul fikih klasik telah merumuskan, maqashid al-syari’ah itu adalah keadilan (al-`adl), kemaslahatan (al-mashlahah), kesetaraan (almusawah), hikmah-kebijaksanaan (al-hikmah), dan cintah kasih (al-rahmah), dan belakangan kemudian ditambahkan dengan pluralisme (al-ta’addudiyah), hak asasi manusia (huquq al-insan), dan kesetaraan gender. Al-Ghazali menyatakan bahwa maqashid al-syari’ah itu adalah hak hidup (hifzh al-nafs aw al-hayah), hak beragama (hifzh al-din), hak untuk berfikir (hifzh al-‘aql), hak untuk memiliki harta (hifzh al-mal), hak untuk mempertahankan nama baik (hifzh al-`irdh), dan hak untuk memiliki garis keturunan (hifzh al-nasl). Menurut al-Ghazali, pada komitmen untuk melindungi hak-hak kemanusiaan inilah, seluruh ketentuan hukum dalam al-Qur’an (Islam) diacukan.9 9 Al-Ghazali, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, Juz I, hlm. 26 ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 360 ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER D. Kaidah Tafsir Al-Qur’an Alternatif Dalam kaitan merancang kaidah penafsiran al-Qur’an yang baru, maka ada beberapa kaidah yang bisa diajukan, antara lain, adalah sebagai berikut: 1. al-‘Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfazh Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid di dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yang menjadi acuan adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau formulasi literalnya. Nah, untuk mengetahui maqashid ini maka seseorang dituntut untuk memahami konteks--tentu saja bukan hanya konteks personal yang juz’i-partikular melainkan juga konteks impersonal yang kulli-universal. Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama untuk menemukan maqashid al-syari’ah. Dalam ulumul Qur’an ditegaskan bahwa hal-hal yang menjadi petunjuk suatu sabab al-nuzul, di antaranya, pertama, ketika al-Qur’an menjelaskan sendiri. Misalnya, “mereka bertanya kepadamu” (yas’alunaka), “katakan kepada mereka” (was’alhum). Kedua, sebagaimana dikatakan sebelumnya, al-Qur’an langsung menyebut nama dari obyek yang disasarnya seperti penyebutan Abu Lahab (seperti disebutkan sebelumnya), Zaid (ibn Haritsah). Tentang peristiwa Zaid ini, Allah berfirman dalam al-Qur’an: “Dan ingatlah ketika engkau (Nabi) berkata kepada dia (Zaid) yang Allah telah karuniakan kebahagiaan dan engkaupun telah pula memberinya kebahagiaan. "Pertahankanlah isterimu (Zainab) dan bertaqwalah kepada Allah, sementara engkau sendiri (Nabi) merahasiakan apa yang ada dalam dirimu yang Allah akan memperlihatkannya, dan engkau (Nabi) takut kepada sesama manusia padahal Allah lebih patut engkau takuti. Maka, setelah Zaid menceraikan dia (Zainab), Kami nikahkan engkau dengannya agar tidak lagi ada halangan bagi kaum beriman untuk (nikah dengan bekas) istri anak-anak angkat mereka, jika mereka (anak-anak angkat) itu telah menceraikan istri-istri mereka. Dan perintah Allah itu pasti terlaksana. Tidak sepatutnya bagi Nabi ada perasaan enggan mengenai apa yang diwajibkan Allah kepadanya, sesuai dengan sunnah (hukum) Allah pada mereka yang telah lewat sebelumnya. Dan perintah Allah adalah sesuatu yang sangat pasti. Mereka (yang telah lalu sebelumnya) itu adalah orang-orang yang menyampaikan risalat (pesan-pesan suci) Allah; mereka takut kepada-Nya, dan tidak takut kepada seorangpun selain Allah. Cukuplah Allah sebagai penghitung. Muhamad bukanlah ayah seseorang (sekiranya tanpa ada keterkaitan biologis) di antara kamu, melainkan dia adalah rasul Allah dan Penutup para Nabi. Allah ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 361 ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER Maha Tahu akan segala sesuatu. (QS, al-Ahzab [33]:37-40). Membaca teks di atas segera tampak bahwa ayat tersebut turun dalam konteks spesifik, yaitu menyangkut hubungan tiga subyek; Nabi Muhammad, Zaid (anak angkat Nabi) dan Zainab yang awalnya menjadi isteri Zaid. Tapi setelah Zainab diceraikan, ia kemudian dinikahi Nabi. Sejak itu, Zaid tak lagi dipanggil sebagai Zaid ibn Muhammad melainkan Zaid ibn Haritsah (Haritsah memang ayah kandung Zaid). Belakangan, dari kasus partikular ini, sejumlah ulama melakukan generalisasi.10 Dengan merujuk pada kaidah al-`ibrah bi `umum al-lafzh la bi khushush al-sabab (yang menjadi perhatian adalah keumuman teksnya dan bukan kekhususan sebabnya), para ulama fikih berkesimpulan tentang; [1]. Anak angkat tak bernasab pada ayah angkatnya. Seorang anak hanya bernasab pada ayah kandungnya sendiri [2]. Dengan demikian, sekiranya berkenan, ayah angkat diperbolehkan menikahi mantan isteri anak angkatnya.11 Penjelasan tersebut sebagai bukti bahwa mengetahui konteks yang melatari kehadiran al-Qur’an amat diperlukan. Syathibi di dalam al-Muwafaqat menjelaskan bahwa seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri dengan pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat Muslim yang menjadi sasaran pertama wahyu.12 Pengetahuan tentang konteks (kontekstuliasasi) tentu bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam atau yang dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. Begitu maqashid alsyari’ah sudah dicapai, maka teks harus segera dilepaskan dari konteks Tentang generalisasi ini, al-Zamakhsyari dalam penafsiran surat al-Humazah mengatakan bahwa boleh jadi surat ini turun karena sebab khusus, tetapi ancaman hukuman yang termuat di dalamnya jelas berlaku umum, mencakup semua orang yang berbuat kejahatan. Ibnu Abbas pun mengatakan bahwa ayat 5:38 tentang kejahatan pencurian berlaku umum, tidak hanya bagi pelaku pencurian. Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, Juz I, hlm. 450. Ibnu Taimiyah juga berpendapat demikian; banyak ayat turun berkenaan dengan kasus tertentu, bahkan kadang-kadang menunjuk pribadi seseorang kemudian dipahami sebagai berlaku umum. Misalnya, surat 5:49 tentang perintah kepada Nabi untuk menghukumi secara adil sebenarnya diturunkan untuk kasus Bani Quraidlah dan Bani Nadhir. Namun, kata Ibnu Taimiyah tidak benar jika dikatakan bahwa perintah kepada Nabi itu hanya berlaku terhadap dua kabilah itu. Lihat al-Suyuthi, al-Itqan fi `Ulum al-Qur’an, hlm. 112. 11 Al-Qurthubi, al-Jami` li Ahkam al-Qur’an, Jilid VII, hlm. 488-495. 12 Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Kairo: Mushthafa Muhammad, Tanpa Tahun, Juz II, hlm. 12. 10 ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 362 ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER kearabannya yang awal (disebut dengan dekontekstualisasi) untuk kemudian dilakukan rekontekstualisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam itu di tempat dan di belahan bumi non-Arab. Maka, kontekstualisasi, dekontekstualisasi, dan rekontekstualisasi merupakan mekanisme kerja penafsiran sepanjang masa. Kaidah al-`Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfazh yang diajukan di atas merupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi al-`ibrah bi `umum allafadz la bi khushush al-sabab. Yang berarti bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafaz, bukan khususnya sebab.13 Ini berarti, jika suatu nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk merespons suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah pada keumuman lafaz ( altaslim bi `umum al-lafzh) hanya akan menyebabkan kita senantiasa berada dalam kerangka makna linguistik (fi ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas Nahr Hamid Abu Zaid dalam bukunya yang berjudul al-Nash, al-Sulthah, alHaqiqah.14 Menyangkut kaidah ini, al-Suyuthi memberikan alasan bahwa itulah yang telah dilakukan oleh para sahabat dan golongan lain. Ini bisa dibuktikan, kata al-Suyuthi, dari antara lain ketika turun ayat zhihar dalam kasus Salman ibn Shakhar, ayat li’an dalam perkara Hilal ibn Umayah dan ayat qadzf dalam kasus tuduhan terhadap A’isyah. Penyelesaian terhadap kasuskasus tersebut ternyata juga dapat diterapkan terhadap peristiwa lain yang serupa. Lihat Abd alRahman al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Kairo, 1974, hlm. 110. Al-Zamakhsyari dalam penafsiran surat al-Humazah mengatakan bahwa boleh jadi surat ini turun karena sebab khusus, tetapi ancaman hukuman yang termuat di dalamnya jelas berlaku umum, mencakup semua orang yang berbuat kejahatan yang disebutkan. Ibnu Abbas pun mengatakan bahwa ayat 5:38 tentang kejahatan pencurian berlaku umum, tidak hanya bagi pelaku pencurian. Lihat al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, Kairo: 1970, Juz I, hlm. 450. Ibnu Taimiyah juga berpendapat demikian, bahwa banyak ayat-ayat yang diturunkan berkenaan dengan kasus tertentu, bahkan kadang-kadang menunjuk pribadi seseorang kemudian dipahami sebagai berlaku umum. Misalnya, surat 5:49 tentang perintah kepada Nabi untuk mengadili secara adil sebenarnya diturunkan untuk kasus Bani Quraidlah dan Bani Nazhir. Namun, kata Ibnu Taimiyah tidak benar jika lalu dikatakan bahwa perintah kepada Nabi itu hanya untuk berlaku adil terhadap kedua kabilah itu. Lihat al-Suyuthi, al-Itqan, hlm. 112. Muhammad Abduh dalam hal ini juga memiliki sikap yang sama, yaitu menekankan universalitas al-Qur`an, karena menurutnya al-Qur`an adalah kitab kemanusiaan yang kekal, pelita hidayah dan petunjuk kepada kebenaran dan sebagai rahmat bagi orang-orang yang beriman. Lihat Abdullah Mahmud Syathahah, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh fi Tafsir alQur’an al-Karim, Kairo: 1963, hlm. 48. 14 Nahr Hamid Abu Zaid, al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al`Arabi, 1997, hlm. 155 13 ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 363 ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER Terdapat sekian banyak kritik terhadap kaidah konvensional ini. Misalnya, pertama, kaidah ini dipandang terlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pada medan semantik dengan menepikan peranan sabab al-nuzul. Implikasinya, para pengguna kaidah ini kerap terjebak pada suatu kenaifan. Bahwa semakin harafiah seseorang membaca al-Qur’an, maka semakin dekat ia pada kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh yang bersangkutan dari makna literal al-Qur’an, maka ia semakin terlempar dari kebenaran. Maka, semakin literal seseorang di dalam memperlakukan al-Qur’an, maka semakin dekat ia pada ketakwaan. Dan semakin substantif seseorang di dalam memandang al-Qur’an, maka jauh ia dari ketakwaan. Dengan itu, Abu Hamid al-Ghazali pernah mengemukakan beberapa pokok yang menjadi sumber kegagalan seseorang dalam menemukan makna alQur’an. [1]. Kecenderungan yang terlalu kuat pada huruf dan aksara. Seakan dengan penyebutan huruf secara benar seperti dalam ilmu Tajwid, maka yang bersangkutan akan begitu saja bisa menemukan kebenaran; [2]. Terbelengu oleh pendapat para imam atau ulama yang panutannya; [3]. Pengambilan makna alQur’an dari sudut lahirnya saja seperti yang dikatakan para sahabat dan ulama berikutnya. Tegas al-Ghazali berkata bahwa barang siapa menafsirkan al-Qur’an hanya dengan mengandalkan kemampuan berbahasa Arab diyakini akan banyak mengalami kesalahan (man badara ila istinbath al-ma`ani bi mujarrad alarabiyah katsura ghalathuhu).15 Kedua, dalam kaidah yang terakhir itu, realitas hendak disubordinasikan ke dalam bunyi harafiah teks. Yang dituju adalah kebenaran teks dengan konsekuensi mengabaikan konteks (al-siyaq al-tarikhi) yang mengitari. Konteks didudukkan dalam posisi yang rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh karena para pemakai kaidah ini menganut ideologi universalisme dan ketidak berhinggan kebenaran huruf (shalahiyyah al-nansh dalaliyan li kulli zaman wa makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara tentang lafaz dalam porsi yang demikian besar. Segala jenis perbincangan kebahasaan (abhats lughawiyah min mabahits al-alfazh) seperti mengenai `ammkhashsh, muthlaq-muqayyad, mujmal-mubayyan, muhkam-mutasyabih, qath’i- 15 Al-Ghazali, Ihya’ `Ulum al-Din, Juz I, Semarang: Thaha Putera, Tanpa Tahun, hlm. 285- 296. ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 364 ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER zhanni merupakan upaya untuk menegakkan otoritas teks semata. Para pemakai kaidah kedua ini mungkin tepat sekiranya disebut sebagai penyembah kata (`ubbad al-alfazh), semantara kata (lafaz) adalah shanam yu’bad (patung yang disembah). Segera tampak bahwa analisis yang berhenti hanya pada konteks linguistik saja tidak akan cukup memadai untuk mengejar kebenaran hakiki (maqashid asasiyah) yang diusung oleh teks. Analisis mestinya dilanjutkan pada penyingkapan makna yang terdiamkan (al-maskut `anhu), yaitu makna yang tak tercakup secara verbatim di dalam aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap makna-makna itu akan meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan hanya terhadap struktur kalimat per se melainkan yang justeru fondasional adalah analisa kelas dan struktur sosial dan budaya yang melingkupi sejarah kehadiran teks. Maka, kejarlah maqashid al-syari’ah dengan pelbagai cara, tanpa terlalu banyak terpesona terhadap keindahan sebuah teks. Sebab, keterpesonaan merupakan tindakan ideologis yang hanya akan menumpulkan kreativitas dalam pencarian makna obyektif. Dalam konteks sekarang, pengetahuan dan pemahaman tentang maqashid al-syari’ah merupakan aspek paling krusial dan vital dalam melakukan ijtihad. Orang yang mencadangkan diri hanya pada makna lahir ayat atau penghampiran lafzhiyah serta terikat dengan sabab juz’i suatu ayat dan abai pada maksud-maksud pensyari’atan hukum eo ipso akan dihadapkan pada kekeliruan-kekeliruan cukup fatal dalam berijtihad. Maqashid al-syari’ah menjadi kunci keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya, karena kepada dasaran tujuan hukum itulah setiap persoalan dalam kehidupan umat manusia diacukan. Sedemikian penting konsep maqashid alsyari’ah, sehingga al-Syathibi mengatakan bahwa mengetahui dan memahami maqashid al-syari’ah secara utuh dan total merupakan satu syarat dari dua prasyarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid. Salah satu dari dua syarat mujtahid itu adalah memungkinkan untuk melakukan istinbath berdasarkan pemahaman seseorang kepada maqashid al-syari’ah tadi.16 Lihat al-Syathibi, al-Muwafaqat, Juz III, hlm. 105-106. Para ulama berbeda-beda di dalam memberikan persyaratan-persyaratan bagi seorang mujtahid. Menurut al-Ghazali, seorang mujtahid harus memenuhi dua persyaratan. [a] menguasai jalan-jalan syara’, [b] adil, dalam pengertian menjauhi kemaksiatan. [lihat al-Ghazali, al-Mushtashfa min `Ilm al-Ushul, juz II, hlm. 16 ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 365 ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER [2] Jawaz Naskh al-Nushush (al-Juz’iyyah) bi al-Mashlahah Sesungguhnya syariat (hukum) Islam tidak memiliki tujuan lain kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal (jalb al-mashalih), dan menolak segala bentuk kemafsadatan (dar’u al-mafasid). Ibnu al-Qayyim alJawziyah, seorang tokoh Islam bermadzhab Hanbali, menyimpulkan bahwa syari’at Islam dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal yang lain, yaitu kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, dan kebijaksanaan (al-hikmah). Prinsip-prinsip ini haruslah menjadi dasar dan substansi dari seluruh persoalan hukum. Ia harus senantiasa ada dalam pikiran para ahli fikih ketika memutuskan suatu kasus hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam.17 Persoalannya, jika acuan hukum adalah kemaslahatan, maka siapa yang berhak mendefinisikan dan yang memiliki otoritas untuk merumuskannya. Untuk menjawabnya, perlu kiranya dibedakan antara kemaslahatan yang bersifat individual-subyektif dengan kemashlahatan yang bersifat sosial102]. Menurut al-Amidi dan al-Baidlawi, seorang mujtahid harus dua persyaratan, yaitu [a] seorang mukallaf yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, [b] mengetahui jalan-jalan hukum syara’. [lihat al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, 1417 H./1996 M., hlm. 139]; al-Isnawi, Nihayah al-Saul Syarh Minhaj al-Ushul ila al-Ushul, Bierut: Mathba’ah Shabih, Tanpa Tahun, Juz III, hlm. 244]. Namun, secara detail, sebagian besar ulama mempersyaratkan seorang mujtahid harus mengetahui; al-Qur`an-al-Hadits, nasikh-mansukh, ijma’, qiyas, bahasa Arab, ushul al-fiqh, maqashid al-Syari’ah. [lihat, Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, hlm. 1044-1051]. Adalah al-Syaukani, Jalaluddin al-Mahalli, yang kemudian diikuti Zaki al-Din Sya’ban, Wahbah al-Zuhaili, yang mempersyaratkan seorang mujtahid harus mengetahui ushul al-Fiqh. [lihat al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushul, Beirut: Dar alFikr, Tanpa Tahun, hlm. 252; al-Mahalli, Syarh Jam’u al-Jawami’, dalam al-Bannani, Hasyiyah al`Allamah al-Bannani, Indonesia: Dar Ihya` al-Kutub al-`Arabiyah, Tanpa Tahun, juz II, hlm. 383; Zaki al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, Mesir: Dar al-Ta`lif, 1965, hlm. 412-413; Wahbah alZuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, hlm, 1048] 17 Ibnu al-Qayyim, I`lam al-Muwaqqi`in `an Rabb al-`Alamin, Beirut: Dar al-Jil, Tanpa Tahun, juz III, hlm. 3. Pandangan ini juga dikemukakan para pemikir terkemuka al-Ghazali (w. 505 H./1111 M.), Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H.) , Izz al-Din Ibn `Abd al-Salam (w. 660 H.), Najm al-Din al-Thufi (w. 716 H.), Ibnu Taimiyah (w. 728 H.), Abu Ishaq al-Syathibi (w. 790 H.), hingga Muhammad bin al-Tahir bin `Asyur (w. 1393 H./1973 M.). Mereka sepakat bahwa sesungguhnya syari’at Islam tidak memiliki tujuan lain kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal (jalb al-mashalih), dan menolak segala bentuk kemafsadatan (dar`u al-mafasid). Sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa syari’at Islam dibangun demi kebahagiaan (sa`adah) manusia baik di dunia maupun di akhirat (ma`asy wa ma`ad), sepenuhnya mencerminkan kemaslahatan tadi. ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 366 ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER obyektif. Yang pertama adalah kemaslahatan yang menyangkut kepentingan orang per orang yang bersifat independen, terpisah dengan kepentingan orang lain. Karena sifatnya yang subyektif, maka yang berhak menentukan maslahat dan tidaknya adalah pribadi yang bersangkutan. Sedang kemaslahatan yang bersifat sosial-obyektif adalah kemaslahatan yang menyangkut kepentingan orang banyak. Dalam hal ini, maka otoritas yang memberikan penilaian adalah orang banyak juga melalui mekanisme syura untuk mencapai kesepakatan (ijma`). Dan sesuatu yang telah menjadi konsensus dari proses pendefinisian maslahat melalui musyawarah itulah hukum tertinggi yang mengikat kita. Di sinilah pemecahan masalah bersama cukup menentukan. Al-Qur’an mengatakan, urusan mereka dimusyawarahkan (dibicarakan dan diputuskan) bersama di antara mereka sendiri. (QS: al-Syura, 38). Selanjutnya, terdapat satu pertanyaan ontologis dalam ranah ushul fikih, jika terjadi pertentangan antara teks (nash) dan maslahat mana yang mesti dimenangkan? Dalam menjawab pertanyaan ini, umumnya ulama ushul fikih klasik mengatakan bahwa yang dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyatakan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara nash dan mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh nash adalah kemaslahatan itu sendiri. Sering disinyalir bahwa kemaslahatan yang diandaikan oleh manusia adalah kemaslahatan semu dan relatif, sementara kemaslahatan yang ditetapkan Tuhan melalui bunyi harafiah nash adalah kemaslahatan hakiki dan obyektif. Manusia tidak memiliki kewenangan untuk mempertanyakan dan menggugat kemaslahatan literal teks. Kewajiban manusia adalah mengamalkan dan mengimaninya secara sepenuh hati. Karena itu, sebuah pendirian perlu dikemukakan bahwa maslahat memiliki otoritas untuk menganulir kententuan-ketentuan legal spesifikpartikular teks suci. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “naskh al-nushush al-juz’iyyah bi al-mashlahah”.18 Sebagai spirit dari teks (nushush) al-Qur’an, kemaslahatan merupakan amunisi untuk mengontrol balik dari keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks yang kurang relevan. Dengan cara ini, cita kemaslahatan akan senantiasa berkreasi untuk memproduksi formulasi teks Dalam ushul fikih dimungkinkan bagi akal manusia untuk menasakh nash yang disebut dengan nasakh bi al-‘aql. Sebagian ulama juga membolehkan pembatalan hukum dengan qiyas (analogi). 18 ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 367 ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER keagamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapan formulasi dan teks keagamaan lama. Praktek dari kaidah ini dapat diketahui dari pembatalan demi pembatalan terhadap sejumlah syariat Islam, yang dikenal dengan istilah nasikhmansukh. Semua pelajar Islam mesti tahu cerita tentang penganuliran beberapa syariat yang dipandang tidak lagi bersendikan kemaslahatan. Dijelaskan bahwa nasakh itu bukan hanya berlaku terhadap syariat nabi-nabi terdahulu (syar`u man qablana) saja, melainkan juga berlangsung dalam batang tubuh syariat Nabi Muhammad sendiri. Betapa syariat Islam yang baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad karena tidak bermaslahat lagi. Tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu kemudian karena diketahui di lapangan aturan tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukunya yang bertitelkan Fashl al-Maqal fi Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal menyatakan bahwa hikmah (kemaslahatan) itu merupakan saudara kandung dari syariat-syariat yang telah ditetapkan Allah Swt.19 Teks suci tanpa kemaslahatan memang tak berfungsi apa-apa buat manusia, kecuali untuk teks itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya menyertakan cita kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan adalah fondasi paling pokok dari setiap perundang-undangan syari’at Islam. Ini bukan karena ajaran Islam memang perlu dicocok-cocokkan secara opurtunistik dengan perkembangan kemaslahatan, melainkan karena tuntutan kemaslahatan itu secara obyektif niscaya mengharuskan demikian. Menarik mendengar pernyataan Izzuddin Ibnu Abdissalam, “innama al-takalif kulluha raji`atun ila Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal fi Taqrir Ma Baina al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal aw Wujub al-Nadhar al-`Aqli wa Hudud al-Ta’wil, Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-`Arabiyah, 1999, hlm. 125. 19 ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 368 ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER mashalih al-`ibad” [seluruh ketentuan agama diarahkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia].20 Dengan ini, maka kemaslahatan itu merupakan ajaran agama-meminjam bahasa Ibnu al-Muqaffa’ sebagaimana dikutip Adonis21--yang ushul dengan demikian tidak berubah, pokok, dan universal), sementara wujud pelaksanaan cita kemaslahatan itu merupakan perkara agama yang fushul sehingga bisa berubah-berubah mengikuti perubahan alur sejarah dan peradaban). Sebagai yang ushul, teks-teks agama yang demikian tidak boleh diubah dan dianulir. Maka, yang perlu mendapatkan penegasan di sini adalah bahwa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks al-Qur`an yang mengandung prinsip-prinsip ajaran yang universal, ajaran mana telah melintasi ruang dan waktu, mengatasi pelbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini disebut sebagai ayat dengan kedudukan paling tinggi (al-ayat al-‘ala qiymatan), atau al-ayat al-ushuliyat atau ushul al-Qur`an. Ayat-ayat seperti ini memang tidak banyak jumlahnya, bahkan bisa dihitung dengan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat yang tidak bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum baina al-nas an tahkumu bi al`adl” [apabila kalin memberikan putusan hukum di antara umat manusia, maka putuskan dengan penuh keadilan], “I`dilu huwa aqrabu li al-taqwa” [berbuat adillah karena keadilan itu lebih dekat pada taqwa], dan sebagainya. Naskh terhadap ayat yang demikian bukan saja bertentangan dengan semangat kehadiran Islam awal, melainkan juga bertentangan dengan logika nasakh sendiri. Hassan Hanafi berkata bahwa termasuk ke dalam kategori ayat fondasional adalah ayat-ayat yang terkait dengan pluralisme agama. Ia berkata, ”al-ta’addudiyah fi al-islam ashl. Wa ahl al-kitab ta’bir ’anha” (pluralisme dalam Islam adalah pokok, dan istilah ahli kitab yang dikenakan kepada orang Yahudi dan Nashrani dalam Islam sebagai manifestasi dari ajaran pluralisme itu). Izz ibn Abd al-Salam, Qawa`id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Beirur: Dar al-Jil, Tanpa Tahun, Juz II hlm. 72. 21 Sebagaimana dikutip Adonis, Ibnu al-Muqaffa’ berpendapat bahwa al-Qur`an dibagi menjadi dua bagian, yang ushul (yang pokok) dan yang fushul (yang spesifik). Sayangnya, demikian Ibnu al-Muqaffa`, kebanyakan umat Islam lebih banyak mencari ayat-ayat yang fushul (partikular) dan mengabaikan yang ushul (universal). Lihat Adonis, al-Tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-Ibda’ wa al-Itba’ ‘inda al-‘Arab, Beirut: Dar al-Saqi, Juz II, hlm. 290 20 ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 369 ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER Dengan demikian, menurutnya, ayat-ayat yang mendukung pluralisme yang fondasional itu tak bisa dianulir oleh ayat-ayat anti pluralisme yang partikular itu. Ia mencontohkan bahwa ayat yang mengatakan ”orang yang mencari agama selain islam, maka tak diterima22” tak bisa membatalkan ayat23 ”sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang Shabi’ah, orang-orang Nashrani”. Ia berani berkata bahwa jika Islam memang agama damai, maka ayat yang menganjurkan perdamaian bisa membatalkan ayat yang menyuruh peperangan. Jika damai adalah pokok, maka peperangan adalah pengecualian (wa al-silmu qa’idah wa al-harb huwa al-istisna’). 24 Sementara ayat-ayat mu’amalah dalam al-Qur’an yang bersifat teknisoperasional--saya suka menyebutnya dengan al-ayat al-adna qiymatan atau alayat al-furu`iyyat atau fikih al-Qur’an, seperti ayat yang berbicara tentang bentuk-bentuk hukuman (`uqubat), sanksi bagi para pelaku pidana (hudud), bilangan waris dan sebagainya, maka tetap terbuka kemungkinan untuk dinasakh, sekiranya ayat tadi tidak efektif lagi sebagai sarana untuk mewujudkan cita kemalahatan. Dalam sejarahnya, nasakh selalu hadir untuk terus-menerus memperbaharui teks-teks agama yang tidak lagi merepresentasikan prinsip-prinsip dasar Islam. Terang-benderang, nasikh-mansukh dalam bidang mu`amalahijtima`iyah tidak berhenti dengan cabutnya Nabi Muhammad dari panggung sejarah kemanusiaan. Sebagai pelanjut Nabi Muhammad, dengan separangkat ilmu pengetahuan yang dimiliki, para ulama telah diberi mandat untuk selalu mengadakan pembaharuan-pembaharuan syari’at melalui aktivitas ijtihadnya. Dalam mengistinbathkan hukum, di samping mengacu pada cita kemaslahatan di atas, para ulama juga perlu memperhatikan secara khusus situasi dan kondisi masyarakat sebagai obyek yang dituju oleh hukum tersebut.25 22Ayatnya berbunyi, “wa man yabtaghi ghair al-islam dinan fa lan yuqbala minhu” (QS,....). Ayatnya berbunyi, “inna alladzina amanu wa alladzina hadu wa al-shabi’una wa alnashara...”. (QS,...). 24Baca Hassan Hanafi, Min al-Naql ila al-Aql: Ulumul al-Qur’an, Beirut: Dar al-Amir, 2009, hlm. 187-190. 25 Coba simak, beberapa kali khalifah Umar ibn Khathab tidak memberlakukan suatu hukum, karena dinilai tidak tepat. Sayyidina Umar pernah tidak memotong tangan seorang pencuri yang melakukan tindak pencurian disaat paceklik. 23 ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 370 ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER Bahwa pembentukan suatu ketentuan hukum atau ajaran harus selalu dirujukkan atau mempertimbangkan kondisi-kondisi lokal dan tingkat peradaban yang dicapai manusia, itu sebuah kebutuhan pokok yang tidak bisa diingkari. Sebab itu, sebagian ulama mempersyaratkan bagi seorang mufasir atau mujtahid untuk mengetahui sabab al-nuzul dari sebuah ayat. Memahami kandungan suatu ayat yang hanya berjangkar pada argumen-argumen gramatikal26 dengan menepikan peristiwa-peristiwa lokal yang menyertainya telah terjebak pada logosentrisme bahasa secara penuh. Padahal, dalam kehidupan ini pada mulanya bukanlah kata, melainkan realitas. Sebuah realitas dilaporkan dengan menggunakan bahasa. Dengan demikian, bahasa seharusnya hanya sarana dan bukan tujuan. [3] Tanqih al-Nushush bi `Aql al-Mujtama’ Yajuzu Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan untuk mensortir sejumlah ketentuan “partikular” agama menyangkut perkaraperkara publik, baik dalam al-Qur’an maupun dalam al-Sunnah. Sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harafiah teks ajaran, maka akal publik berotoritas untuk menyempurnakan, memodifikasikan, dan menunda pelaksanaannya. Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat `uqubat dan hudud (seperti potong tangan, dan rajam), qishash, waris, dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan masalah-masalah kemanusian, yang terjadi bisa-bisa merupakan bagian ayat yang perlu dimaknai ulang melalui prosedur tanqih yang berupa taqyid bi al-`aql, takhshish bi al-`aql, dan tabyin bi al-`aql. Ayat-ayat semacam itu, sebagaimana dikatakan sebelumnya disebut sebagai fikih al-Qur’an. Sebagai sebuah fikih, ayat-ayat tersebut sepenuhnya Sekelompok pemikir yang cenderung memperhatikan makna leksikal pasti akan mempersyaratkan agar seorang mufassir mengetahi gramatika bahasa Arab. Terhadap prasyarat ini, satu pertanyaan yang bisa diajukan adalah bukankah Nabi Muhammad sendiri seorang yang ummi. Dikisahkan, Nabi Muhammad adalah seorang yang tidak bisa membaca dan menulis. Menarik memperhatikan pernyataan Abu Hamid al-Ghazali, “wa kullu syari’atin la tadlharu illa bi lughat, fa yashiru tilka al-lughat alatan li `ilm kitab Allah wa sunnah rasulih. Wa min al-alat `ilmu al-kitabah wa al-khathth, illa anna dzalika laisa dlaruriyyan idz kana al-rasul ummiyan. Baca Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ `Ulum al-Din, Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, Juz I, hlm. 17. 26 ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 371 ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER merupakan respons al-Qur`an terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung dalam lokus tertentu pula, masyarakat Arab. Dengan demikian, kebenaran ayatayat tadi bersifat relatif dan tentatif, sehingga memerlukan penyempurnaan, pembaharuan, dan penyulingan. Dalam tataran itu, universalisasi fikih al-Qur’an tanpa melalui proses tanqih harus dihindari. Sebab, membiarkan fikih al-Qur’an persis seperti dalam bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qur`an pada perangkap yang mematikan spirit dan elan vital al-Qur`an. Kerja tanqih ini hakekatnya inheren di dalam diri setiap manusia yang berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang tak pernah padam untuk bertanqih. Terdapat dorongan adekuat untuk senantiasa berpihak pada kebenaran dan keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk mengoreksi pelbagai kekeliruan dan menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik dan bukan akal privat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki pendapat atau otoritarianisme dalam merumuskan dan memecahkan urusan-urusan publik. Bagaimanapun di dalam ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat yang berhak memaksa pandangannya pada orang lain, karena pandangannya dinilai lebih benar. Mereka memiliki kedudukan dan derajat yang sama. Pandangan di atas sangat berbeda dengan pandangan mainstream, baik yang klasik maupun yang kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal di bawah kedigdayaan teks. Baik kalangan Asy’ariyah maupun Mu’tazilah hakekatnya sama-sama memposisikan akal hanya sebatas alat untuk membenarkan dan manakwil teks, karena teks adalah pangkal atau asal yang absolut. Dengan demikian, tak ayal lagi jika akal tidak bisa bergerak terlalu jauh, kecuali hanya untuk melakukan rasionalisasi terhadap ayat-ayat tertentu dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.27 Akal hanya berguna untuk membuka tabir kegelapan teks-teks zhanniyat al-Qur’an saja. Di tangan Mu’tazilah, akal hanya berfungsi untuk menakwil ayat-ayat mutasyabih saja. Akal tidak cukup percaya diri untuk melakukan peninjauan ulang apalagi mempertanyakan ayat-ayat partikular yang tergolong qath`iyat dari sudut struktur gramatika bahasanya. Di lingkungan Mu’tazilah, ayat-ayat al-Qur’an yang banyak ditangani dengan menggunakan mekanisme takwil adalah sejumlah ayat yang dikenal dengan mutasyabihat. Mu’tazilah tidak berani mempertanyakan ayat-ayat yang sudah dinyatakan sebagai ayat muhkamat atau qath’iyat. 27 ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 372 ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER Akal manusia dalam buku-buku teologi klasik telah diletakkan sebagai sub-ordinat dari teks. Akal mengalami penyusutan peran. Seolah-olah akal manusia itu begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia secara massal akan bertelanjang bulat di jalan-jalan sebagaimana binatang, berzina beramai-ramai, mencuri secara berjemaah, saling bunuh-membunuh, dan sebagainya. Ini, tentu saja sebuah sikap yang tidak apresiatif bahkan merendahkan akal sebagai karya agung Allah SWT. Allah menciptakan akal sesungguhnya agar manusia sanggup memilah dan memilih mana-mana tindakan yang baik dan mana-mana pula perbuatan yang buruk. Dengan agak sedikit Hegelian, manusia adalah subyek yang bisa menentukan sendiri landasan nilai dan kriteria-kriteria dalam kehidupannya. Manusia adalah subyek yang akan terus bergerak ke depan dan bukan surut ke belakang. Sekali lagi, akal publik harus diberi posisi yang penting. Ia tidak cukup hanya diperlakukan sebagai pengelola dan alat penafsir terhadap teks. Menyangkut perkara-perkara mu’amalah yang mundan, akal publik perlu mendapatkan wewenang untuk mempertanyakan relevansi dan signifikansi ketentuan-ketentuan spesifik-legal al-Qur’an. Bahkan, sekiranya dari data empiris diketahui secara pasti ketidak-berdayaan sebuah teks di dalam mengatasi perkara-perkara publik, maka akal publik mesti mempertimbangkan ulang ketentuan tersebut. Akal publik mempunyai tanggungjawab moralintelektual untuk mentanqih ayat-ayat yang problematik pada implemetnasinya di lapangan. D. Penutup Akhirnya, yang dipaparkan itu hanya sebagian kaidah tafsir dan ushul fikih alternatif yang bisa disodorkan untuk membenahi kelemahan-kelemahan metodologi istinbath yang telah lama dirisaukan. Tentu ada banyak lagi kaidah penafsiran yang perlu direformasi dengan menyertakan banyak orang yang berkompeten. Bahkan, bukan hanya kaidah-kaidah itu yang perlu diperbaharui, melainkan yang tidak kalah pentingnya adalah terkait dengan mekanisme kerja ijma’, qiyas, istihsan, maslahat mursalah, ’urf dan lain-lain. Dengan cara ini, niscaya kita bisa menghindari kebekuan dan kemandulan metodologi tafsir alQur’an dan ushul fikih. [..] ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF 373