abd moqsith, merancang kaidah (ushul) fikih

advertisement
MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF1
Oleh Abd Moqsith Ghazali
[Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta]
Email; [email protected]
A. Pendahuluan
Banyak pemikir Muslim memandang ilmu tafsir al-Qur’an dan metodologi
pembacaan (ushul fikih) klasik tanpa cacat epistemologis apapun. Ajakan
sejumlah ulama Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qauli ke
manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yang telah
dikerangkakan para ulama dahulu memang sudah tuntas dan sempurna.
Sehingga, kewajiban umat yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya,
tetapi mengikuti dan melaksanakannya. Di sini, sebuah metodologi yang
sejatinya lahir dari pabrik intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan
sebagai sesuatu yang mutlak. Tak terbantah. Mereka telah melakukan idealisasi
dan universalisasi terhadap metodologi lama yang provisionaris.
Mestinya, metodologi pembacaan klasik diletakkan dalam konfigurasi
dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis
kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan
metodologi klasik tersebut. [1] Metodologi lama terlalu memandang sebelah
mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih bahkan menganulir
ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan.
Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi
harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu mengambil cara penundukan
terhadap akal publik. [2] Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampuan
manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk umat
manusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam
ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya
1
Artikel ini pernah dimuat dalam Komaruddin Hidayat & Ahmad Gaus (ed.), Islam, Negara
& Civil Society, Jakarta: Paramadina, 2005, hlm. 352-370.
ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
(mukallaf) [3] Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas merupakan ciri
umum dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dalam areal
teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks adalah illegal, sebab teks
merupakan aksis dari seluruh cara pemecahan problem.
Dalam pandangan ilmu tafsir dan ushul fikih lama, teks telah dipandang
sebagai manifestasi dari keseluruhan kebenaran dan dengan demikian menjadi
“dasar” dalam mengukur segala persoalan menyangkut hal-ihwal perbuatan
manusia. Dengan ungkapan lain, teks ajaran adalah wujud tunggal dari
“kebenaran mutlak” yang mesti dipedomani, meminjam istilah para penatar P4
dulu, secara murni dan konsekuen. Tendensi untuk bergeser dari makna
harafiah teks, meskipun sedikit saja, terlebih melampirkan pertimbangan lain di
luar ketentuan bunyi teks ajaran dipandang sebagai sebuah skandal dan
kejahatan teologis yang tak terampuni. Selanjutnya, jika terjadi sengketa antara
teks verbal dalam kitab suci dengan realitas, maka solusi yang disuguhkan kaum
ortodoks adalah dengan menaklukkan realitas di bawah kontrol teks ajaran.
Teks bagi mereka merupakan sumber kebenaran par excellence.
Tentu saja ini merupakan kelemahan metodologis yang mesti
mendapatkan penanganan. Dengan segala keterbatasan, bagian ini bermaksud
untuk mereformasi kaidah-kaidah tafsir dan ushul fikih yang problematis dari
sudut ontologis-epistemologis tersebut. Dengan merekonstruksi kaidah-kaidah
penafsiran dan ushul fikih ini niscaya produk pemikiran Islam akan lebih solutif
bagi problem-problem kemanusiaan yang terus melilit. Karena, betapa pun
canggihnya sebuah metodologi jika kandas pada tingkat pemecahan problem,
maka ia tidaklah banyak guna dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah metodologi
terutama dalam imu-ilmu terapan Islam semacam ilmu tafsir dan ushul fikih ini
akan berkoresponden dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan
kemaslahatan bagi sebesar-besarnya umat manusia.
Namun, sebelum masuk pada perumusan kaidah-kaidah penafsiran alQur’an itu, perlu diingatkan kembali perihal tekstualitas dan kontekstualitas alQur’an. Bahwa di balik teks al-Qur’an yang historis-kontekstual tersebut, kita
kemudian bisa merumuskan prinsip-prinsip pokok al-Qur’an yang kerap disebut
sebagai maqashid al-syari’ah.
ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF
353
ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
B. Tekstualitas dan Kontekstualitas Al-Qur’an
Hassan Hanafi, pemikir progresif Muslim dari Mesir, dalam bukunya
yang bertitel Dirasat Islamiyah menyatakan, “al-wahyu laysa kharij al-zaman
tsabitan la yataghayyaru, bal dakhil al-zaman yatathawwaru bi tathawwurihi.
[wahyu bukanlah sesuatu yang berada di luar konteks yang kokoh tak berubah,
melainkan berada dalam konteks yang mengalami perubahan demi perubahan].2
Pernyataan Hassan Hanafi tersebut menegaskan sebuah tesis bahwa Islam
bukan wahyu yang jauh di langit yang terlepas dari kenyataan konkret
masyarakat. Islam tidak memulai ajarannya dari lembaran kosong. Islam bukan
suatu creatio ex nihilio: ciptaan yang meloncat begitu saja dari ruang kosong.
Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu adalah seseorang yang hidup dalam
konteks lokalitas Arab waktu itu. Ia tidak terisolasi dari konteks di sekitar.
Jelas, bahwa meskipun al-Qur’an merupakan kalam Allah SWT,
kenyataan menunjukkan bahwa wahyu itu telah memasuki “pemukiman”
historis. Al-Qur’an adalah bagian dari fakta historis itu. Karena kitab suci yang
diyakini sebagai transkripsi firman Tuhan itu telah turun ke bumi, maka ia
adalah fakta atau teks historis yang bergerak dalam hukum kesejarahan.
Pandangan di atas sekurangnya dikukuhkan oleh empat argumen berikut.
Pertama, Allah telah memilih bahasa manusia (yakni, bahasa Arab) sebagai kode
komunikasi antara Tuhan, Jibril, dan Muhammad SAW. Di dalam proses
komunikasi itu pengujar menyatakan diri dengan cara pengungkapan yang khas.
Semua literatur mengenai kemukjizatan al-Qur’an--paling tidak sejauh
menyangkut persoalan linguistik--menegaskan peran menentukan dari cara
pengungkapan ini.3
Hasan Hanafi, Dirasat Islamiyah, Mesir: Maktabah al-Anjelu al-Mishriyah, 2000, hlm. 71
Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan al-Qur`an, terjemahan Machasin, Jakarta:
INIS, 1997, hlm. 80. Ini penting dikemukakan oleh karena bahasa --tak terkecuali bahasa Arab alQur`an-adalah ciptaan manusia, karena ia direfleksikan dari konvensi sosial hubungan antara
suara dan makna. Inilah sebabnya mengapa kaum Mu’tazilah bersikeras mengatakan tentang
kemakhlukan al-Qur`an, tatkala al-Qur`an itu hadir dalam bungkus bahasa manusia. Dengan
lantang kaum Mu’tazilah berujar bahwa bahasa adalah produk manusia. Oleh karena yang
disasar oleh Tuhan adalah manusia, maka bahasa Tuhan harus “mematuhi” bahasa manusia, agar
firman-firman-Nya mudah dipahami oleh manusia juga. Allah berfirman, wa ma arsalna min
rasulin illa bi lisani qawmihi li yubayyina lahum [QS, Ibrahim: 4). Ibnu Khaldun mengatakan “inna
al-Qur`an nazala bi lughat al-`Arab wa `ala asalibi balaghatihim”.
2
3
ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF
354
ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
Kedua, keterlibatan Nabi Muhammad sebagai penerima pesan di satu
sisi dan sebagai penafsir di sisi lain ikut menentukan proses pengungkapan dan
tekstualisasi al-Quran. Muhammad SAW bukan disket kosong, melainkan orang
cerdas dan berilmu. Tatkala menerima wahyu, Nabi Muhammad ikut aktif
memahami dan kemudian mengungkapkannya.4 Karena itu, menurut Nashr
Hamid Abu Zaid, tidak bertentangan jika dikatakan bahwa al-Qur`an adalah
wahyu Tuhan dengan teks Muhammad (muhammadan text). 5
Ketiga, prinsip gradualisme dan keberangsur-angsuran (al-tanjim) yang
ditempuh al-Qur’an di dalam mencicil ajaran-ajarannya. Kalau kita amati proses
penurunan al-Qur’an sampai dalam bentuknya sebagai ”korpus resmi yang
tertutup”, proses graduasi syari’at sangat terang benderang. Dalam kasus
pelarangan khamr, misalnya, al-Qur’an menurunkan ayat yang berbeda sampai
tiga kali dengan karakter evolutifnya yang khas. Demikian pula dalam formulasi
syari’ah. Cukup beralasan jika dikatakan bahwa formulasi syari’ah,6
sebagaimana sistem perundang-undangan lainnya, mengikuti tahap-tahap
perkembangan umat. Prinsip al-tadrij merupakan indikasi kuat, betapa al-Qur’an
itu tidak hidup di ruang yang hampa sejarah. Al-Qur’an hidup dalam alir sejarah
kemanusiaan yang hawadits. Tuhan berkarya selalu mempertimbangkan
dimensi-dimensi rasional yang mengantarainya, bukan datang berfirman dari
atas bukit tanpa preseden. Bahkan, prinsip al-tadrij bukan hanya berlaku di
dalam agama Islam secara terbatas, melainkan hampir mengena pada seluruh
agama-agama semitik yang lain.
Keempat, sejak turunnya, al-Qur’an telah berdialog dengan realitas.
Banyak sekali peristiwa yang mengiringi turunnya ayat dan yang merupakan
Keterlibatan Muhammad SAW dalam hal ini berlangsung dalam dua level. Pertama,
proses pengkalimatannya dalam bahasa Arab. Kedua, penjelasan Nabi Muhammad atas al-Qur`an
yang selanjutnya disebut hadits.
5 Lihat wawancara M Taufik Rahman dan Much Nur Ichwan dengan Nashr Hamid Abu
Zaid, “Tafsir Tak pernah Berhenti”, dalam Panji Masyarakat No. 30 Tahun I, 10 Nopember 1997,
hlm. 12-14.
6
Syari’ah di sini harus dipahami sebagai jalan dari kehendak untuk
mengimplementaikan nilai-nilai pokok agama Islam. Sebagai sebuah jalan, syari’at yang dibawa
para Nabi dan Rasul selalu berbeda-beda, mengikuti perbedaan ruang, waktu, dan tingkat
peradaban umat pengikutnya. Dengan demikian, sebagian syari’at bersifat tentatif dan relatif,
sehingga wajar kalau dikemudian hari dianulir kembali oleh syari’at-syari’at yang datang
sesudahnya.
4
ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF
355
ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
jawaban atas pertanyaan umat waktu itu. Sangat sedikit ayat-ayat yang
diturunkan tanpa ada sebab eksternal. Al-Qur’an hadir mengikuti peristiwaperistiwa baru yang muncul di tengah masyarakat. Respons yang diberikan
kadang hanya satu potong ayat, atau beberapa ayat, bahkan dalam satu surat alQur’an. Tidak jarang al-Qur’an juga menjelaskan peristiwa khusus yang menjadi
motif kehadirannya. Misalnya, permulaan surat al-Anfal yang menjawab
pertanyaan umat Islam perihal pembagian harta rampasan perang. Atau, seperti
penjelasan al-Qur’an tentang darah haid perempuan yang menyebabkan tidak
bolehnya hubungan seksual dilakukan. Juga respons al-Qur’an yang khusus
menyikapi keangkuhan Abu Lahab dan isterinya. Lengkapnya ayat-ayat itu
berbunyi demikian:
“Mereka bertanya kepadamu tentang pembagian harta rampasan perang. Katakanlah,
“Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul. Karena itu, bertakwalah kepada
Allah dan perbaikilah hubungan di antara kalian dan taatlah kepada Allah dan Rasulnya
sekiranya kalian adalah orang-orang yang beriman”. (QS, al-Anfal [8]: 1).
Mereka bertanya kepadamu tentang darah haid. Katakanlah, “haid itu adalah kotor. Oleh
sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari perempuan (isteri) ketika haid.
Janganlah kalian mendekatinya hingga perempuan itu suci kembali. Sekiranya mereka
telah suci, maka gaulilah mereka seperti yang diperintahkan Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyucikan diri” (QS, al-Baqarah [2]: 222).
“Binasalah dua tangan Abi Lahab dan sesungguhnya dia pasti binasa. Tidaklah
berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk
ke dalam api yang bergejolak. Dan begitu pula isterinya, pembawa kayu bakar. Yang di
lehernya ada tali dari sabut. (QS, al-Lahab [111]: 1-5).
Dengan itu jelas bahwa kehadiran al-Qur’an bersifat kontekstual dan
memiliki relevansi dalam kehidupan masyarakat saat itu. Bahkan al-Qur’an pun
menjadi cermin dari realitas kebudayaan dan hukum-hukum pra-Islam. Jika kita
mengikuti perkembangan al-Qur’an, maka itu berarti juga kita mengikuti
perkembangan hidup Nabi Muhammad dan perkembangan umatnya. Dengan
mempertimbangkan situasi sosio-historis yang menyertai firman Allah tersebut,
maka sungguh terdapat hubungan yang dialektis antara teks al-Quran dan
realitas budaya. Persis di dalam sistem budaya yang mendasarinya ini, al-Qur’an
“terkonstruk” secara kultural dan “terstruktur” secara historis. Meskipun alQur’an diwahyukan oleh Tuhan, secara historis ia telah dibentuk dan secara
ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF
356
ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
kultural dibangun. Bahkan, bisa dikatakan bahwa al-Qur’an datang untuk
membangun dialog dengan masyarakat Arab.
Kalau kita jujur, banyak nomenklatur dan kosa kata al-Qur’an yang
menunjukkan latar lokalitas kehadirannya. Pengambilan contoh binatang unta
sebagai bahan perenungan eksistensial, begitu juga perumpaan surga sebagai
aliran-aliran mata air yang jernih merupakan bukti kuat bahwa lokalitas itu
benar-benar tidak bisa disembunyikan hatta dalam al-Qur’an sendiri. Unta
adalah binatang yang banyak berkeliaran di Arab dan bukan binatang yang
mudah berkembang biak secara sempurna di tempat lain, Indonesia misalnya.
Sementara penggambaran surga dengan mata air di sebuah jazirah yang tandus
dan kerontang jelas merupakan sesuatu yang menggiurkan. Namun, tidak
demikian halnya bagi orang-orang yang hidup di kawasan yang curah hujannya
tinggi. Sekiranya al-Qur’an turun di daerah-daerah beriklim dingin, mungkin alQur’an akan mengambil perumpamaan surga yang berbeda.
Dalam studi Tafsir dan Ulmul Qur’an pun kita akan menemukan
sejumlah ketentuan ajaran dalam Islam yang diambil dari tradisi-tradisi
sebelumnya, baik pada era kenabian sebelumnya yang disebut syar`u man
qablana maupun pada zaman kevakuman kenabian (zaman fatrah). Terhadap
pokok soal ini ada banyak sekali contoh. Dalam kitab-kitab fikih diceritakan
bahwa jabat tangan bukanlah sesuatu yang orisinil dari Islam, melainkan
sesuatu yang dipungut dari sebuah tradisi masyarakat pra-Islam. Ini artinya,
bahwa Islam yang hadir di setiap jengkal bumi selalu merupakan hasil racikandialektik antara wahyu dan tradisi. Tak terkecuali Islam yang ada di Mekah atau
Madinah. Islam Mekah adalah Islam hasil berjumpaan wahyu dengan tradisi
lokal Mekah. Begitu juga Islam yang ada di Madinah. Dengan nalar demikian,
bisa dimengerti jika karakter dan genre ayat al-Qur’an yang turun di Mekah
berbeda dengan ayat yang turun di Madinah.
C. Maqashid al-Syari’ah Sebagai Rujukan Utama
Dalam paradigma Ilmu Tafsir dan Ushul Fikih klasik selalu dinyatakan
bahwa sumber hukum paling pokok (mashadir ashliyah asasiyah) dalam Islam
secara hirarkis hanya ada empat, yaitu al-Qur’an, hadits, ijma` (konsensus) dan
qiyas (analogi). Sementara mashalat mursalah, istihsan, syar`u man qablana
(syari`at umat atau nabi-nabi terdahulu), `urf (tradisi, kebiasaan), dan yang lainABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF
357
ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
lain merupakan deretan sumber pada level sekunder, atau disebut dengan
mashadir taba`iyah. Tentu saja ini sebuah kategori-kategori cerdas saat itu yang
mesti mendapatkan apreasiasi dari umat Islam yang datang kemudian.
Dengan ini, tampak dengan jelas bahwa al-Qur’an kemudian al-Hadits
menempati posisi sentral di dalam hirarki sumber-sumber hukum dalam Islam.
Segala jenis tindakan dan kegiatan harus selalu berada dalam kendali dan
kontrol al-Qur’an dan al-Sunnah. Bahkan, sejarah masa kini dan yang akan
datang sekalipun harus juga berada dalam ruang penaklukan kitab al-Qur’an dan
al-Sunnah, kitab mana telah hadir ribuan tahun yang lalu itu. Ini, di samping
karena (terutama) al-Qur’an telah diimani sebagai kitab wahyu dari Allah SWT,
juga karena diyakini bahwa al-Qur’an memiliki daya jangkau yang meliputi masa
lalu (madli), sekarang (hal), dan yang akan datang (mustaqbal). Indikator yang
dengan utuh menggambarkan tesis lama ini adalah ungkapan al-Syafi’i “ falaisat
tanzilu bi ahadin min ahli dini Allah nazilatun illa wa fi kitab Allah al-dalil `ala
sabil al-huda fiha”.7 Bahwa setiap peristiwa yang ada di bumi ini sudah ada
ketentuan hukum (dalil)nya di dalam al-Qur’an.
Lepas dari itu, tidak bisa diingkari bahwa telah terjadi sejumlah paradoks
(ta`arudl bayna al-ayat) di dalam al-Qur’an, yang diklaim sebagai poros dari
seluruh dalil yang lain. Paradoks bahkan bukan hanya antara satu lafaz dan lafaz
yang lain, melainkan juga antara satu gagasan dengan gagasan yang lain dalam
al-Qur’an. Harus diakui, penyelesaian terhadap paradoks lafzhiyah sudah banyak
dilakukan oleh ushul fikih klasik. Bahwa, ketika terjadi ta`arudl antara satu lafaz
dan lafaz yang lain, maka yang mesti dilihat pertama kali oleh seorang mujtahid
adalah bentuk dan karakter dari lafaz yang membentuk ayat-ayat itu. Apakah
lafaz ayat itu dikemukakan dengan lafaz `am, mutlak, dan mujmal? Atau justru
dengan menggunakan lafaz khash, muqayyad, dan mubayyan. Dari sini maka
dilakukanlah takhshish, taqyid, tabyin, hingga naskh. Melalui penanganan
lafzhiyah inilah, menurut ushul fikih, maqashid al-syari’ah dapat ditemukan.8
Penyelesaian metodologis a la ushul fikih klasik itu luar biasa canggih dan detail.
Lihat al-Syafi`i, al-Risalah, Beirut: Dar al-Fikr, 1997, hlm. 49.
Per istilah, maqashid al-syari`ah yang berarti tujuan penetapan hukum ini
dipopulerkan seorang ahli ushul fikih dari madzhab Maliki, Abu Ishaq al-Syathibi, terutama
semenjak beredarnya kitab al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari`ah. Akan tetapi, dari sudut gagasan,
sebenarnya poin-poin maqasid al-syari`ah itu sudah pernah dikemukakan oleh ulama ushul fikih
sebelumnya seperti al-Juwaini Imam al-Haramain dan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali.
7
8
ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF
358
ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
Akan tetapi, penanganan terhadap paradoks yang bersifat isu dan
gagasan belum banyak dilakukan. Misalnya, gagasan pluralisme agama dalam alQur’an. Betapa, dalam satu spektrum, pluralisme qur`anik diungkapkan melalui
janji penyelamatan terhadap orang-orang yang beragama selain agama Islam
(QS, al-Baqarah [2]: 62). Sementara pada spektrum yang lain, absolutisme Islam
juga terpampang dengan tegas dalam al-Qur’an. Kontradiksi nyata antara
beberapa ayat al-Qur’an yang mengakui sumber-sumber penyelamatan otentik
lainnya di satu sisi dan ayat-ayat lain yang menyatakan Islam sebagai satusatunya sumber penyelamatan di sisi yang lain harus diatasi untuk
memungkinkan tegaknya sebuah tata kehidupan berdampingan secara damai
dengan umat agama lain.
Terus terang, tidak banyak para ulama dan cendekiawan Muslim yang
memiliki perhatian utama untuk coba menyelesaikan gagasan yang kontradiktif
tersebut, baik dengan cara memperbaharui penafsiran maupun dengan
menyusun sebuah metodologi pembacaan baru. Faktanya, hingga sekarang,
sekelompok pemikir Islam yang concern pada gagasan pluralisme agama
biasanya hanya mengutip sejumlah ayat yang mendukung pluralisme agama dan
seringkali melakukan pengabaian bahkan terkesan “lari” dari ayat-ayat yang
menghambat jalan pendaratan pluralisme agama. Demikian juga sebaliknya.
Sembari merayakan ayat-ayat yang problematis dari sudut pluralisme agama,
para ulama eksklusif kerap menafikan ayat-ayat yang secara literal jelas-jelas
mendukung pluralisme agama. Bahkan, para ulama kedua ini kerap
meneriakkan slogan-slogan panas berkaitan dengan eksistensi umat agamaagama lain.
Bertolak dari itu, sebuah gagasan perihal hirarki sumber hukum dalam
Islam perlu ditawarkan. Bahwa maqashid al-syari’ah merupakan sumber hukum
pertama dalam Islam baru kemudian diikuti secara beriringian (ayat partikular)
al-Qur’an dan al-Sunnah. Maqashid al-syari’ah merupakan inti dari totalitas
ajaran Islam. Maqashid al-Syari’ah menempati posisi lebih tinggi dari ketentuanketentuan spesifik-furu`iyah al-Qur’an. Maqashid ini merupakan sumber
inspirasi tatkala al-Qur’an hendak menjalankan ketentuan-ketentuan legalspesifik di masyarakat Arab. Maqashid al-syari’ah adalah sumber dari segala
sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber dari al-Qur’an itu sendiri. Oleh
karena itu, sekiranya ada satu ketentuan baik di dalam al-Qur’an maupun alABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF
359
ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
hadits yang bertentangan secara substantif terhadap maqashid al-syari’ah, maka
ketentuan tersebut mesti ditakwilkan. Ketentuan tersebut bahkan boleh
dibatalkan (naskh) demi logika maqashid al-syari’ah.
Maqashid al-syariah itu bukan hanya digali melalui proses dialektik
antara umat Islam dengan teks al-Qur’an per se, melainkan juga sebagai hasil
dari dialog yang bersangkutan dengan hati nuraninya di satu pihak, dan
interaksi mereka dengan realitas kehidupan di pihak yang lain. Berinteraksi
dengan realitas, berdialektik dengan teks suci, dan dilanjutkan dengan dialog
personal dengan hati nurani secara terus-menerus oleh setiap anak manusia
sepanjang masa kiranya akan melahirkan suatu susunan dan konstruksi
maqashid al-syari’ah yang universal. Maqashid al-Syari’ah sejatinya telah
bertebaran di setiap nurani umat manusia. Bukankah dengan nuraninya,
manusia sudah bisa membedakan antara perkara yang buruk dan yang perkara
yang baik. Perihal ini, Nabi SAW pernah mengatakan istafti qalbak (mintalah
petunjuk pada hati nuranimu). Pandangan Nabi ini kemudian mendapatkan
pengukuhan dari firman Allah SWT. “fa alhamaha fujuraha wa taqwaha”. Inilah
dalil bahwa maqashid al-syari’ah bukan hanya berada di dalam lipatan teks-teks
suci yang tak bersuara, melainkan justeru terhunjam di kedalaman hati nurani
manusia yang syahdu.
Khazanah ushul fikih klasik telah merumuskan, maqashid al-syari’ah itu
adalah keadilan (al-`adl), kemaslahatan (al-mashlahah), kesetaraan (almusawah), hikmah-kebijaksanaan (al-hikmah), dan cintah kasih (al-rahmah),
dan belakangan kemudian ditambahkan dengan pluralisme (al-ta’addudiyah),
hak asasi manusia (huquq al-insan), dan kesetaraan gender. Al-Ghazali
menyatakan bahwa maqashid al-syari’ah itu adalah hak hidup (hifzh al-nafs aw
al-hayah), hak beragama (hifzh al-din), hak untuk berfikir (hifzh al-‘aql), hak
untuk memiliki harta (hifzh al-mal), hak untuk mempertahankan nama baik
(hifzh al-`irdh), dan hak untuk memiliki garis keturunan (hifzh al-nasl). Menurut
al-Ghazali, pada komitmen untuk melindungi hak-hak kemanusiaan inilah,
seluruh ketentuan hukum dalam al-Qur’an (Islam) diacukan.9
9
Al-Ghazali, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, Juz I, hlm.
26
ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF
360
ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
D. Kaidah Tafsir Al-Qur’an Alternatif
Dalam kaitan merancang kaidah penafsiran al-Qur’an yang baru, maka
ada beberapa kaidah yang bisa diajukan, antara lain, adalah sebagai berikut:
1. al-‘Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfazh
Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid
di dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah bukan huruf dan
aksaranya melainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yang menjadi acuan
adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau
formulasi literalnya. Nah, untuk mengetahui maqashid ini maka seseorang
dituntut untuk memahami konteks--tentu saja bukan hanya konteks personal
yang juz’i-partikular melainkan juga konteks impersonal yang kulli-universal.
Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam
pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama untuk menemukan maqashid
al-syari’ah.
Dalam ulumul Qur’an ditegaskan bahwa hal-hal yang menjadi petunjuk
suatu sabab al-nuzul, di antaranya, pertama, ketika al-Qur’an menjelaskan
sendiri. Misalnya, “mereka bertanya kepadamu” (yas’alunaka), “katakan kepada
mereka” (was’alhum). Kedua, sebagaimana dikatakan sebelumnya, al-Qur’an
langsung menyebut nama dari obyek yang disasarnya seperti penyebutan Abu
Lahab (seperti disebutkan sebelumnya), Zaid (ibn Haritsah). Tentang peristiwa
Zaid ini, Allah berfirman dalam al-Qur’an:
“Dan ingatlah ketika engkau (Nabi) berkata kepada dia (Zaid) yang Allah telah
karuniakan kebahagiaan dan engkaupun telah pula memberinya kebahagiaan.
"Pertahankanlah isterimu (Zainab) dan bertaqwalah kepada Allah, sementara engkau
sendiri (Nabi) merahasiakan apa yang ada dalam dirimu yang Allah akan
memperlihatkannya, dan engkau (Nabi) takut kepada sesama manusia padahal Allah
lebih patut engkau takuti. Maka, setelah Zaid menceraikan dia (Zainab), Kami nikahkan
engkau dengannya agar tidak lagi ada halangan bagi kaum beriman untuk (nikah dengan
bekas) istri anak-anak angkat mereka, jika mereka (anak-anak angkat) itu telah
menceraikan istri-istri mereka. Dan perintah Allah itu pasti terlaksana. Tidak sepatutnya
bagi Nabi ada perasaan enggan mengenai apa yang diwajibkan Allah kepadanya, sesuai
dengan sunnah (hukum) Allah pada mereka yang telah lewat sebelumnya. Dan perintah
Allah adalah sesuatu yang sangat pasti. Mereka (yang telah lalu sebelumnya) itu adalah
orang-orang yang menyampaikan risalat (pesan-pesan suci) Allah; mereka takut
kepada-Nya, dan tidak takut kepada seorangpun selain Allah. Cukuplah Allah sebagai
penghitung. Muhamad bukanlah ayah seseorang (sekiranya tanpa ada keterkaitan
biologis) di antara kamu, melainkan dia adalah rasul Allah dan Penutup para Nabi. Allah
ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF
361
ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
Maha Tahu akan segala sesuatu. (QS, al-Ahzab [33]:37-40).
Membaca teks di atas segera tampak bahwa ayat tersebut turun dalam
konteks spesifik, yaitu menyangkut hubungan tiga subyek; Nabi Muhammad,
Zaid (anak angkat Nabi) dan Zainab yang awalnya menjadi isteri Zaid. Tapi
setelah Zainab diceraikan, ia kemudian dinikahi Nabi. Sejak itu, Zaid tak lagi
dipanggil sebagai Zaid ibn Muhammad melainkan Zaid ibn Haritsah (Haritsah
memang ayah kandung Zaid). Belakangan, dari kasus partikular ini, sejumlah
ulama melakukan generalisasi.10 Dengan merujuk pada kaidah al-`ibrah bi
`umum al-lafzh la bi khushush al-sabab (yang menjadi perhatian adalah
keumuman teksnya dan bukan kekhususan sebabnya), para ulama fikih
berkesimpulan tentang; [1]. Anak angkat tak bernasab pada ayah angkatnya.
Seorang anak hanya bernasab pada ayah kandungnya sendiri [2]. Dengan
demikian, sekiranya berkenan, ayah angkat diperbolehkan menikahi mantan
isteri anak angkatnya.11
Penjelasan tersebut sebagai bukti bahwa mengetahui konteks yang
melatari kehadiran al-Qur’an amat diperlukan. Syathibi di dalam al-Muwafaqat
menjelaskan bahwa seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri dengan
pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab
sebagai masyarakat Muslim yang menjadi sasaran pertama wahyu.12
Pengetahuan tentang konteks (kontekstuliasasi) tentu bukan untuk konteks itu
sendiri, melainkan untuk menimba dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam
atau yang dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. Begitu maqashid alsyari’ah sudah dicapai, maka teks harus segera dilepaskan dari konteks
Tentang generalisasi ini, al-Zamakhsyari dalam penafsiran surat al-Humazah
mengatakan bahwa boleh jadi surat ini turun karena sebab khusus, tetapi ancaman hukuman
yang termuat di dalamnya jelas berlaku umum, mencakup semua orang yang berbuat kejahatan.
Ibnu Abbas pun mengatakan bahwa ayat 5:38 tentang kejahatan pencurian berlaku umum, tidak
hanya bagi pelaku pencurian. Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, Juz I, hlm. 450.
Ibnu Taimiyah juga berpendapat demikian; banyak ayat turun berkenaan dengan kasus
tertentu, bahkan kadang-kadang menunjuk pribadi seseorang kemudian dipahami sebagai
berlaku umum. Misalnya, surat 5:49 tentang perintah kepada Nabi untuk menghukumi secara
adil sebenarnya diturunkan untuk kasus Bani Quraidlah dan Bani Nadhir. Namun, kata Ibnu
Taimiyah tidak benar jika dikatakan bahwa perintah kepada Nabi itu hanya berlaku terhadap
dua kabilah itu. Lihat al-Suyuthi, al-Itqan fi `Ulum al-Qur’an, hlm. 112.
11 Al-Qurthubi, al-Jami` li Ahkam al-Qur’an, Jilid VII, hlm. 488-495.
12 Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Kairo: Mushthafa Muhammad, Tanpa
Tahun, Juz II, hlm. 12.
10
ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF
362
ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
kearabannya yang awal (disebut dengan dekontekstualisasi) untuk kemudian
dilakukan rekontekstualisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam itu
di tempat dan di belahan bumi non-Arab. Maka, kontekstualisasi,
dekontekstualisasi, dan rekontekstualisasi merupakan mekanisme kerja
penafsiran sepanjang masa.
Kaidah al-`Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfazh yang diajukan di atas
merupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi al-`ibrah bi `umum allafadz la bi khushush al-sabab. Yang berarti bahwa yang harus menjadi
pertimbangan adalah keumuman lafaz, bukan khususnya sebab.13 Ini berarti,
jika suatu nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada
pilihan lain selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk
merespons suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah pada keumuman lafaz ( altaslim bi `umum al-lafzh) hanya akan menyebabkan kita senantiasa berada
dalam kerangka makna linguistik (fi ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas
Nahr Hamid Abu Zaid dalam bukunya yang berjudul al-Nash, al-Sulthah, alHaqiqah.14
Menyangkut kaidah ini, al-Suyuthi memberikan alasan bahwa itulah yang telah
dilakukan oleh para sahabat dan golongan lain. Ini bisa dibuktikan, kata al-Suyuthi, dari antara
lain ketika turun ayat zhihar dalam kasus Salman ibn Shakhar, ayat li’an dalam perkara Hilal ibn
Umayah dan ayat qadzf dalam kasus tuduhan terhadap A’isyah. Penyelesaian terhadap kasuskasus tersebut ternyata juga dapat diterapkan terhadap peristiwa lain yang serupa. Lihat Abd alRahman al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Kairo, 1974, hlm. 110.
Al-Zamakhsyari dalam penafsiran surat al-Humazah mengatakan bahwa boleh jadi surat
ini turun karena sebab khusus, tetapi ancaman hukuman yang termuat di dalamnya jelas berlaku
umum, mencakup semua orang yang berbuat kejahatan yang disebutkan. Ibnu Abbas pun
mengatakan bahwa ayat 5:38 tentang kejahatan pencurian berlaku umum, tidak hanya bagi
pelaku pencurian. Lihat al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, Kairo: 1970, Juz I, hlm. 450.
Ibnu Taimiyah juga berpendapat demikian, bahwa banyak ayat-ayat yang diturunkan
berkenaan dengan kasus tertentu, bahkan kadang-kadang menunjuk pribadi seseorang
kemudian dipahami sebagai berlaku umum. Misalnya, surat 5:49 tentang perintah kepada Nabi
untuk mengadili secara adil sebenarnya diturunkan untuk kasus Bani Quraidlah dan Bani Nazhir.
Namun, kata Ibnu Taimiyah tidak benar jika lalu dikatakan bahwa perintah kepada Nabi itu
hanya untuk berlaku adil terhadap kedua kabilah itu. Lihat al-Suyuthi, al-Itqan, hlm. 112.
Muhammad Abduh dalam hal ini juga memiliki sikap yang sama, yaitu menekankan
universalitas al-Qur`an, karena menurutnya al-Qur`an adalah kitab kemanusiaan yang kekal,
pelita hidayah dan petunjuk kepada kebenaran dan sebagai rahmat bagi orang-orang yang
beriman. Lihat Abdullah Mahmud Syathahah, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh fi Tafsir alQur’an al-Karim, Kairo: 1963, hlm. 48.
14 Nahr Hamid Abu Zaid, al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al`Arabi, 1997, hlm. 155
13
ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF
363
ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
Terdapat sekian banyak kritik terhadap kaidah konvensional ini.
Misalnya, pertama, kaidah ini dipandang terlalu banyak berkonsentrasi dan
bergerak pada medan semantik dengan menepikan peranan sabab al-nuzul.
Implikasinya, para pengguna kaidah ini kerap terjebak pada suatu kenaifan.
Bahwa semakin harafiah seseorang membaca al-Qur’an, maka semakin dekat ia
pada kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh yang bersangkutan dari makna literal
al-Qur’an, maka ia semakin terlempar dari kebenaran. Maka, semakin literal
seseorang di dalam memperlakukan al-Qur’an, maka semakin dekat ia pada
ketakwaan. Dan semakin substantif seseorang di dalam memandang al-Qur’an,
maka jauh ia dari ketakwaan.
Dengan itu, Abu Hamid al-Ghazali pernah mengemukakan beberapa
pokok yang menjadi sumber kegagalan seseorang dalam menemukan makna alQur’an. [1]. Kecenderungan yang terlalu kuat pada huruf dan aksara. Seakan
dengan penyebutan huruf secara benar seperti dalam ilmu Tajwid, maka yang
bersangkutan akan begitu saja bisa menemukan kebenaran; [2]. Terbelengu oleh
pendapat para imam atau ulama yang panutannya; [3]. Pengambilan makna alQur’an dari sudut lahirnya saja seperti yang dikatakan para sahabat dan ulama
berikutnya. Tegas al-Ghazali berkata bahwa barang siapa menafsirkan al-Qur’an
hanya dengan mengandalkan kemampuan berbahasa Arab diyakini akan banyak
mengalami kesalahan (man badara ila istinbath al-ma`ani bi mujarrad alarabiyah katsura ghalathuhu).15
Kedua, dalam kaidah yang terakhir itu, realitas hendak disubordinasikan
ke dalam bunyi harafiah teks. Yang dituju adalah kebenaran teks dengan
konsekuensi mengabaikan konteks (al-siyaq al-tarikhi) yang mengitari. Konteks
didudukkan dalam posisi yang rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh
karena para pemakai kaidah ini menganut ideologi universalisme dan ketidak
berhinggan kebenaran huruf (shalahiyyah al-nansh dalaliyan li kulli zaman wa
makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara
tentang lafaz dalam porsi yang demikian besar. Segala jenis perbincangan
kebahasaan (abhats lughawiyah min mabahits al-alfazh) seperti mengenai `ammkhashsh, muthlaq-muqayyad, mujmal-mubayyan, muhkam-mutasyabih, qath’i-
15
Al-Ghazali, Ihya’ `Ulum al-Din, Juz I, Semarang: Thaha Putera, Tanpa Tahun, hlm. 285-
296.
ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF
364
ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
zhanni merupakan upaya untuk menegakkan otoritas teks semata. Para pemakai
kaidah kedua ini mungkin tepat sekiranya disebut sebagai penyembah kata
(`ubbad al-alfazh), semantara kata (lafaz) adalah shanam yu’bad (patung yang
disembah).
Segera tampak bahwa analisis yang berhenti hanya pada konteks
linguistik saja tidak akan cukup memadai untuk mengejar kebenaran hakiki
(maqashid asasiyah) yang diusung oleh teks. Analisis mestinya dilanjutkan pada
penyingkapan makna yang terdiamkan (al-maskut `anhu), yaitu makna yang tak
tercakup secara verbatim di dalam aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap
makna-makna itu akan meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan hanya
terhadap struktur kalimat per se melainkan yang justeru fondasional adalah
analisa kelas dan struktur sosial dan budaya yang melingkupi sejarah kehadiran
teks. Maka, kejarlah maqashid al-syari’ah dengan pelbagai cara, tanpa terlalu
banyak terpesona terhadap keindahan sebuah teks. Sebab, keterpesonaan
merupakan tindakan ideologis yang hanya akan menumpulkan kreativitas dalam
pencarian makna obyektif.
Dalam konteks sekarang, pengetahuan dan pemahaman tentang
maqashid al-syari’ah merupakan aspek paling krusial dan vital dalam melakukan
ijtihad. Orang yang mencadangkan diri hanya pada makna lahir ayat atau
penghampiran lafzhiyah serta terikat dengan sabab juz’i suatu ayat dan abai
pada maksud-maksud pensyari’atan hukum eo ipso akan dihadapkan pada
kekeliruan-kekeliruan cukup fatal dalam berijtihad.
Maqashid al-syari’ah menjadi kunci keberhasilan mujtahid dalam
ijtihadnya, karena kepada dasaran tujuan hukum itulah setiap persoalan dalam
kehidupan umat manusia diacukan. Sedemikian penting konsep maqashid alsyari’ah, sehingga al-Syathibi mengatakan bahwa mengetahui dan memahami
maqashid al-syari’ah secara utuh dan total merupakan satu syarat dari dua
prasyarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid. Salah satu dari dua syarat
mujtahid itu adalah memungkinkan untuk melakukan istinbath berdasarkan
pemahaman seseorang kepada maqashid al-syari’ah tadi.16
Lihat al-Syathibi, al-Muwafaqat, Juz III, hlm. 105-106. Para ulama berbeda-beda di
dalam memberikan persyaratan-persyaratan bagi seorang mujtahid. Menurut al-Ghazali, seorang
mujtahid harus memenuhi dua persyaratan. [a] menguasai jalan-jalan syara’, [b] adil, dalam
pengertian menjauhi kemaksiatan. [lihat al-Ghazali, al-Mushtashfa min `Ilm al-Ushul, juz II, hlm.
16
ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF
365
ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
[2] Jawaz Naskh al-Nushush (al-Juz’iyyah) bi al-Mashlahah
Sesungguhnya syariat (hukum) Islam tidak memiliki tujuan lain kecuali
untuk mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal (jalb al-mashalih), dan
menolak segala bentuk kemafsadatan (dar’u al-mafasid). Ibnu al-Qayyim alJawziyah, seorang tokoh Islam bermadzhab Hanbali, menyimpulkan bahwa
syari’at Islam dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan
kemanusiaan universal yang lain, yaitu kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, dan
kebijaksanaan (al-hikmah). Prinsip-prinsip ini haruslah menjadi dasar dan
substansi dari seluruh persoalan hukum. Ia harus senantiasa ada dalam pikiran
para ahli fikih ketika memutuskan suatu kasus hukum. Penyimpangan terhadap
prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam.17
Persoalannya, jika acuan hukum adalah kemaslahatan, maka siapa yang
berhak mendefinisikan dan yang memiliki otoritas untuk merumuskannya.
Untuk menjawabnya, perlu kiranya dibedakan antara kemaslahatan yang
bersifat individual-subyektif dengan kemashlahatan yang bersifat sosial102]. Menurut al-Amidi dan al-Baidlawi, seorang mujtahid harus dua persyaratan, yaitu [a]
seorang mukallaf yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, [b] mengetahui jalan-jalan hukum
syara’. [lihat al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, 1417 H./1996 M., hlm.
139]; al-Isnawi, Nihayah al-Saul Syarh Minhaj al-Ushul ila al-Ushul, Bierut: Mathba’ah Shabih,
Tanpa Tahun, Juz III, hlm. 244]. Namun, secara detail, sebagian besar ulama mempersyaratkan
seorang mujtahid harus mengetahui; al-Qur`an-al-Hadits, nasikh-mansukh, ijma’, qiyas, bahasa
Arab, ushul al-fiqh, maqashid al-Syari’ah. [lihat, Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, hlm.
1044-1051]. Adalah al-Syaukani, Jalaluddin al-Mahalli, yang kemudian diikuti Zaki al-Din
Sya’ban, Wahbah al-Zuhaili, yang mempersyaratkan seorang mujtahid harus mengetahui ushul
al-Fiqh. [lihat al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushul, Beirut: Dar alFikr, Tanpa Tahun, hlm. 252; al-Mahalli, Syarh Jam’u al-Jawami’, dalam al-Bannani, Hasyiyah al`Allamah al-Bannani, Indonesia: Dar Ihya` al-Kutub al-`Arabiyah, Tanpa Tahun, juz II, hlm. 383;
Zaki al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, Mesir: Dar al-Ta`lif, 1965, hlm. 412-413; Wahbah alZuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, hlm, 1048]
17 Ibnu al-Qayyim, I`lam al-Muwaqqi`in `an Rabb al-`Alamin, Beirut: Dar al-Jil, Tanpa
Tahun, juz III, hlm. 3. Pandangan ini juga dikemukakan para pemikir terkemuka al-Ghazali (w.
505 H./1111 M.), Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H.) , Izz al-Din Ibn `Abd al-Salam (w. 660 H.), Najm
al-Din al-Thufi (w. 716 H.), Ibnu Taimiyah (w. 728 H.), Abu Ishaq al-Syathibi (w. 790 H.), hingga
Muhammad bin al-Tahir bin `Asyur (w. 1393 H./1973 M.). Mereka sepakat bahwa sesungguhnya
syari’at Islam tidak memiliki tujuan lain kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan
universal (jalb al-mashalih), dan menolak segala bentuk kemafsadatan (dar`u al-mafasid).
Sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa syari’at Islam dibangun demi kebahagiaan
(sa`adah) manusia baik di dunia maupun di akhirat (ma`asy wa ma`ad), sepenuhnya
mencerminkan kemaslahatan tadi.
ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF
366
ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
obyektif. Yang pertama adalah kemaslahatan yang menyangkut kepentingan
orang per orang yang bersifat independen, terpisah dengan kepentingan orang
lain. Karena sifatnya yang subyektif, maka yang berhak menentukan maslahat
dan tidaknya adalah pribadi yang bersangkutan. Sedang kemaslahatan yang
bersifat sosial-obyektif adalah kemaslahatan yang menyangkut kepentingan
orang banyak. Dalam hal ini, maka otoritas yang memberikan penilaian adalah
orang banyak juga melalui mekanisme syura untuk mencapai kesepakatan
(ijma`). Dan sesuatu yang telah menjadi konsensus dari proses pendefinisian
maslahat melalui musyawarah itulah hukum tertinggi yang mengikat kita. Di
sinilah pemecahan masalah bersama cukup menentukan. Al-Qur’an mengatakan,
urusan mereka dimusyawarahkan (dibicarakan dan diputuskan) bersama di
antara mereka sendiri. (QS: al-Syura, 38).
Selanjutnya, terdapat satu pertanyaan ontologis dalam ranah ushul
fikih, jika terjadi pertentangan antara teks (nash) dan maslahat mana yang mesti
dimenangkan? Dalam menjawab pertanyaan ini, umumnya ulama ushul fikih
klasik mengatakan bahwa yang dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi
menyatakan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara nash dan
mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh nash adalah kemaslahatan itu
sendiri. Sering disinyalir bahwa kemaslahatan yang diandaikan oleh manusia
adalah kemaslahatan semu dan relatif, sementara kemaslahatan yang ditetapkan
Tuhan melalui bunyi harafiah nash adalah kemaslahatan hakiki dan obyektif.
Manusia tidak memiliki kewenangan untuk mempertanyakan dan menggugat
kemaslahatan literal teks. Kewajiban manusia adalah mengamalkan dan
mengimaninya secara sepenuh hati.
Karena itu, sebuah pendirian perlu dikemukakan bahwa maslahat
memiliki otoritas untuk menganulir kententuan-ketentuan legal spesifikpartikular teks suci. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “naskh al-nushush
al-juz’iyyah bi al-mashlahah”.18 Sebagai spirit dari teks (nushush) al-Qur’an,
kemaslahatan merupakan amunisi untuk mengontrol balik dari keberadaan teks
dengan menganulir beberapa teks yang kurang relevan. Dengan cara ini, cita
kemaslahatan akan senantiasa berkreasi untuk memproduksi formulasi teks
Dalam ushul fikih dimungkinkan bagi akal manusia untuk menasakh nash yang
disebut dengan nasakh bi al-‘aql. Sebagian ulama juga membolehkan pembatalan hukum dengan
qiyas (analogi).
18
ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF
367
ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
keagamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapan formulasi dan teks
keagamaan lama.
Praktek dari kaidah ini dapat diketahui dari pembatalan demi
pembatalan terhadap sejumlah syariat Islam, yang dikenal dengan istilah nasikhmansukh. Semua pelajar Islam mesti tahu cerita tentang penganuliran beberapa
syariat yang dipandang tidak lagi bersendikan kemaslahatan. Dijelaskan bahwa
nasakh itu bukan hanya berlaku terhadap syariat nabi-nabi terdahulu (syar`u
man qablana) saja, melainkan juga berlangsung dalam batang tubuh syariat Nabi
Muhammad sendiri. Betapa syariat Islam yang baru diundangkan, kerap dalam 3
sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad karena tidak
bermaslahat lagi.
Tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu
tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu
ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan
konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui
mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu kemudian
karena diketahui di lapangan aturan tersebut tidak lagi menyuarakan
kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukunya yang bertitelkan Fashl al-Maqal fi
Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal menyatakan bahwa
hikmah (kemaslahatan) itu merupakan saudara kandung dari syariat-syariat
yang telah ditetapkan Allah Swt.19
Teks suci tanpa kemaslahatan memang tak berfungsi apa-apa buat
manusia, kecuali untuk teks itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya
menyertakan cita kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan adalah
fondasi paling pokok dari setiap perundang-undangan syari’at Islam. Ini bukan
karena ajaran Islam memang perlu dicocok-cocokkan secara opurtunistik
dengan perkembangan kemaslahatan, melainkan karena tuntutan kemaslahatan
itu secara obyektif niscaya mengharuskan demikian. Menarik mendengar
pernyataan Izzuddin Ibnu Abdissalam, “innama al-takalif kulluha raji`atun ila
Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal fi Taqrir Ma Baina al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal
aw Wujub al-Nadhar al-`Aqli wa Hudud al-Ta’wil, Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-`Arabiyah,
1999, hlm. 125.
19
ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF
368
ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
mashalih al-`ibad” [seluruh ketentuan agama diarahkan untuk sebesar-besarnya
kemaslahatan umat manusia].20
Dengan ini, maka kemaslahatan itu merupakan ajaran agama-meminjam bahasa Ibnu al-Muqaffa’ sebagaimana dikutip Adonis21--yang ushul
dengan demikian tidak berubah, pokok, dan universal), sementara wujud
pelaksanaan cita kemaslahatan itu merupakan perkara agama yang fushul
sehingga bisa berubah-berubah mengikuti perubahan alur sejarah dan
peradaban). Sebagai yang ushul, teks-teks agama yang demikian tidak boleh
diubah dan dianulir.
Maka, yang perlu mendapatkan penegasan di sini adalah bahwa nasakh
tidak dapat dilakukan terhadap teks al-Qur`an yang mengandung prinsip-prinsip
ajaran yang universal, ajaran mana telah melintasi ruang dan waktu, mengatasi
pelbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini disebut sebagai ayat dengan
kedudukan paling tinggi (al-ayat al-‘ala qiymatan), atau al-ayat al-ushuliyat atau
ushul al-Qur`an. Ayat-ayat seperti ini memang tidak banyak jumlahnya, bahkan
bisa dihitung dengan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat yang tidak bisa
dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum baina al-nas an tahkumu bi al`adl” [apabila kalin memberikan putusan hukum di antara umat manusia, maka
putuskan dengan penuh keadilan], “I`dilu huwa aqrabu li al-taqwa” [berbuat
adillah karena keadilan itu lebih dekat pada taqwa], dan sebagainya. Naskh
terhadap ayat yang demikian bukan saja bertentangan dengan semangat
kehadiran Islam awal, melainkan juga bertentangan dengan logika nasakh
sendiri.
Hassan Hanafi berkata bahwa termasuk ke dalam kategori ayat
fondasional adalah ayat-ayat yang terkait dengan pluralisme agama. Ia berkata,
”al-ta’addudiyah fi al-islam ashl. Wa ahl al-kitab ta’bir ’anha” (pluralisme dalam
Islam adalah pokok, dan istilah ahli kitab yang dikenakan kepada orang Yahudi
dan Nashrani dalam Islam sebagai manifestasi dari ajaran pluralisme itu).
Izz ibn Abd al-Salam, Qawa`id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Beirur: Dar al-Jil, Tanpa
Tahun, Juz II hlm. 72.
21 Sebagaimana dikutip Adonis, Ibnu al-Muqaffa’ berpendapat bahwa al-Qur`an dibagi
menjadi dua bagian, yang ushul (yang pokok) dan yang fushul (yang spesifik). Sayangnya,
demikian Ibnu al-Muqaffa`, kebanyakan umat Islam lebih banyak mencari ayat-ayat yang fushul
(partikular) dan mengabaikan yang ushul (universal). Lihat Adonis, al-Tsabit wa al-Mutahawwil:
Bahts fi al-Ibda’ wa al-Itba’ ‘inda al-‘Arab, Beirut: Dar al-Saqi, Juz II, hlm. 290
20
ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF
369
ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
Dengan demikian, menurutnya, ayat-ayat yang mendukung pluralisme yang
fondasional itu tak bisa dianulir oleh ayat-ayat anti pluralisme yang partikular
itu. Ia mencontohkan bahwa ayat yang mengatakan ”orang yang mencari agama
selain islam, maka tak diterima22” tak bisa membatalkan ayat23 ”sesungguhnya
orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang Shabi’ah, orang-orang
Nashrani”. Ia berani berkata bahwa jika Islam memang agama damai, maka ayat
yang menganjurkan perdamaian bisa membatalkan ayat yang menyuruh
peperangan. Jika damai adalah pokok, maka peperangan adalah pengecualian
(wa al-silmu qa’idah wa al-harb huwa al-istisna’). 24
Sementara ayat-ayat mu’amalah dalam al-Qur’an yang bersifat teknisoperasional--saya suka menyebutnya dengan al-ayat al-adna qiymatan atau alayat al-furu`iyyat atau fikih al-Qur’an, seperti ayat yang berbicara tentang
bentuk-bentuk hukuman (`uqubat), sanksi bagi para pelaku pidana (hudud),
bilangan waris dan sebagainya, maka tetap terbuka kemungkinan untuk
dinasakh, sekiranya ayat tadi tidak efektif lagi sebagai sarana untuk
mewujudkan cita kemalahatan. Dalam sejarahnya, nasakh selalu hadir untuk
terus-menerus memperbaharui teks-teks agama yang tidak lagi
merepresentasikan prinsip-prinsip dasar Islam.
Terang-benderang, nasikh-mansukh dalam bidang mu`amalahijtima`iyah tidak berhenti dengan cabutnya Nabi Muhammad dari panggung
sejarah kemanusiaan. Sebagai pelanjut Nabi Muhammad, dengan separangkat
ilmu pengetahuan yang dimiliki, para ulama telah diberi mandat untuk selalu
mengadakan pembaharuan-pembaharuan syari’at melalui aktivitas ijtihadnya.
Dalam mengistinbathkan hukum, di samping mengacu pada cita kemaslahatan di
atas, para ulama juga perlu memperhatikan secara khusus situasi dan kondisi
masyarakat sebagai obyek yang dituju oleh hukum tersebut.25
22Ayatnya
berbunyi, “wa man yabtaghi ghair al-islam dinan fa lan yuqbala minhu”
(QS,....).
Ayatnya berbunyi, “inna alladzina amanu wa alladzina hadu wa al-shabi’una wa alnashara...”. (QS,...).
24Baca Hassan Hanafi, Min al-Naql ila al-Aql: Ulumul al-Qur’an, Beirut: Dar al-Amir, 2009,
hlm. 187-190.
25 Coba simak, beberapa kali khalifah Umar ibn Khathab tidak memberlakukan suatu
hukum, karena dinilai tidak tepat. Sayyidina Umar pernah tidak memotong tangan seorang
pencuri yang melakukan tindak pencurian disaat paceklik.
23
ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF
370
ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
Bahwa pembentukan suatu ketentuan hukum atau ajaran harus selalu
dirujukkan atau mempertimbangkan kondisi-kondisi lokal dan tingkat
peradaban yang dicapai manusia, itu sebuah kebutuhan pokok yang tidak bisa
diingkari. Sebab itu, sebagian ulama mempersyaratkan bagi seorang mufasir
atau mujtahid untuk mengetahui sabab al-nuzul dari sebuah ayat. Memahami
kandungan suatu ayat yang hanya berjangkar pada argumen-argumen
gramatikal26 dengan menepikan peristiwa-peristiwa lokal yang menyertainya
telah terjebak pada logosentrisme bahasa secara penuh. Padahal, dalam
kehidupan ini pada mulanya bukanlah kata, melainkan realitas. Sebuah realitas
dilaporkan dengan menggunakan bahasa. Dengan demikian, bahasa seharusnya
hanya sarana dan bukan tujuan.
[3] Tanqih al-Nushush bi `Aql al-Mujtama’ Yajuzu
Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan
untuk mensortir sejumlah ketentuan “partikular” agama menyangkut perkaraperkara publik, baik dalam al-Qur’an maupun dalam al-Sunnah. Sehingga ketika
terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harafiah teks ajaran, maka
akal publik berotoritas untuk menyempurnakan, memodifikasikan, dan
menunda pelaksanaannya. Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika
berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat `uqubat dan hudud (seperti
potong tangan, dan rajam), qishash, waris, dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut
dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan masalah-masalah
kemanusian, yang terjadi bisa-bisa merupakan bagian ayat yang perlu dimaknai
ulang melalui prosedur tanqih yang berupa taqyid bi al-`aql, takhshish bi al-`aql,
dan tabyin bi al-`aql.
Ayat-ayat semacam itu, sebagaimana dikatakan sebelumnya disebut
sebagai fikih al-Qur’an. Sebagai sebuah fikih, ayat-ayat tersebut sepenuhnya
Sekelompok pemikir yang cenderung memperhatikan makna leksikal pasti akan
mempersyaratkan agar seorang mufassir mengetahi gramatika bahasa Arab. Terhadap prasyarat
ini, satu pertanyaan yang bisa diajukan adalah bukankah Nabi Muhammad sendiri seorang yang
ummi. Dikisahkan, Nabi Muhammad adalah seorang yang tidak bisa membaca dan menulis.
Menarik memperhatikan pernyataan Abu Hamid al-Ghazali, “wa kullu syari’atin la tadlharu illa bi
lughat, fa yashiru tilka al-lughat alatan li `ilm kitab Allah wa sunnah rasulih. Wa min al-alat `ilmu
al-kitabah wa al-khathth, illa anna dzalika laisa dlaruriyyan idz kana al-rasul ummiyan. Baca Abu
Hamid al-Ghazali, Ihya’ `Ulum al-Din, Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, Juz I, hlm. 17.
26
ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF
371
ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
merupakan respons al-Qur`an terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung
dalam lokus tertentu pula, masyarakat Arab. Dengan demikian, kebenaran ayatayat tadi bersifat relatif dan tentatif, sehingga memerlukan penyempurnaan,
pembaharuan, dan penyulingan. Dalam tataran itu, universalisasi fikih al-Qur’an
tanpa melalui proses tanqih harus dihindari. Sebab, membiarkan fikih al-Qur’an
persis seperti dalam bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qur`an pada
perangkap yang mematikan spirit dan elan vital al-Qur`an.
Kerja tanqih ini hakekatnya inheren di dalam diri setiap manusia yang
berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang tak pernah padam
untuk bertanqih. Terdapat dorongan adekuat untuk senantiasa berpihak pada
kebenaran dan keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk mengoreksi pelbagai
kekeliruan dan menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik dan bukan
akal privat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki pendapat atau
otoritarianisme dalam merumuskan dan memecahkan urusan-urusan publik.
Bagaimanapun di dalam ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan
dalam masyarakat yang berhak memaksa pandangannya pada orang lain, karena
pandangannya dinilai lebih benar. Mereka memiliki kedudukan dan derajat yang
sama.
Pandangan di atas sangat berbeda dengan pandangan mainstream, baik
yang klasik maupun yang kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal
di bawah kedigdayaan teks. Baik kalangan Asy’ariyah maupun Mu’tazilah
hakekatnya sama-sama memposisikan akal hanya sebatas alat untuk
membenarkan dan manakwil teks, karena teks adalah pangkal atau asal yang
absolut. Dengan demikian, tak ayal lagi jika akal tidak bisa bergerak terlalu jauh,
kecuali hanya untuk melakukan rasionalisasi terhadap ayat-ayat tertentu dalam
al-Qur’an dan al-Sunnah.27 Akal hanya berguna untuk membuka tabir kegelapan
teks-teks zhanniyat al-Qur’an saja. Di tangan Mu’tazilah, akal hanya berfungsi
untuk menakwil ayat-ayat mutasyabih saja. Akal tidak cukup percaya diri untuk
melakukan peninjauan ulang apalagi mempertanyakan ayat-ayat partikular yang
tergolong qath`iyat dari sudut struktur gramatika bahasanya.
Di lingkungan Mu’tazilah, ayat-ayat al-Qur’an yang banyak ditangani dengan
menggunakan mekanisme takwil adalah sejumlah ayat yang dikenal dengan mutasyabihat.
Mu’tazilah tidak berani mempertanyakan ayat-ayat yang sudah dinyatakan sebagai ayat
muhkamat atau qath’iyat.
27
ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF
372
ISLAM, NEGARA, & CIVIL SOCIETY: GERAKAN, DAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
Akal manusia dalam buku-buku teologi klasik telah diletakkan sebagai
sub-ordinat dari teks. Akal mengalami penyusutan peran. Seolah-olah akal
manusia itu begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia secara
massal akan bertelanjang bulat di jalan-jalan sebagaimana binatang, berzina
beramai-ramai, mencuri secara berjemaah, saling bunuh-membunuh, dan
sebagainya. Ini, tentu saja sebuah sikap yang tidak apresiatif bahkan
merendahkan akal sebagai karya agung Allah SWT. Allah menciptakan akal
sesungguhnya agar manusia sanggup memilah dan memilih mana-mana
tindakan yang baik dan mana-mana pula perbuatan yang buruk. Dengan agak
sedikit Hegelian, manusia adalah subyek yang bisa menentukan sendiri landasan
nilai dan kriteria-kriteria dalam kehidupannya. Manusia adalah subyek yang
akan terus bergerak ke depan dan bukan surut ke belakang.
Sekali lagi, akal publik harus diberi posisi yang penting. Ia tidak cukup
hanya diperlakukan sebagai pengelola dan alat penafsir terhadap teks.
Menyangkut perkara-perkara mu’amalah yang mundan, akal publik perlu
mendapatkan wewenang untuk mempertanyakan relevansi dan signifikansi
ketentuan-ketentuan spesifik-legal al-Qur’an. Bahkan, sekiranya dari data
empiris diketahui secara pasti ketidak-berdayaan sebuah teks di dalam
mengatasi perkara-perkara publik, maka akal publik mesti mempertimbangkan
ulang ketentuan tersebut. Akal publik mempunyai tanggungjawab moralintelektual untuk mentanqih ayat-ayat yang problematik pada implemetnasinya
di lapangan.
D. Penutup
Akhirnya, yang dipaparkan itu hanya sebagian kaidah tafsir dan ushul
fikih alternatif yang bisa disodorkan untuk membenahi kelemahan-kelemahan
metodologi istinbath yang telah lama dirisaukan. Tentu ada banyak lagi kaidah
penafsiran yang perlu direformasi dengan menyertakan banyak orang yang
berkompeten. Bahkan, bukan hanya kaidah-kaidah itu yang perlu diperbaharui,
melainkan yang tidak kalah pentingnya adalah terkait dengan mekanisme kerja
ijma’, qiyas, istihsan, maslahat mursalah, ’urf dan lain-lain. Dengan cara ini,
niscaya kita bisa menghindari kebekuan dan kemandulan metodologi tafsir alQur’an dan ushul fikih. [..]
ABD MOQSITH GHAZALI, MERANCANG KAIDAH (USHUL) FIKIH ALTERNATIF
373
Download