Qawwãm• Volume 8 Nomor 2, 2014 KEWENANGAN PENGADILAN DALAM MEMERIKSA, MEMUTUS DAN MENYELESAIKAN PERKARA PERMOHONAN PENGASUHAN ANAK OLEH SELAIN PIHAK KELUARGA H. Abdullah Mustafa1 Abstrak: Anak merupakan dambaan setiap rumah tangga yg dibentuk. Anak kadang menjelma menjadi penyejuk bahkan kebanggaan dalam rumah tangga. Tapi pada kondisi tertentu anak menjadi beban yang sangat memberatkan sebuah rumah tangga, apabila rumah tangga tersebut tidak ditopang oleh kemanpuan ekonomi yang memadai. Di antara anak yg terlahir dari rumah tangga yg kurang mampu tersebut adalah Hidayatullah. Ia terlahir diri seorang ayah yang bernma Abdul Gani dan ibu bernama Ramlah. Karena ayahnya miskin sementara ibu sakit-jiwa, maka Yayasan Peduli Anak kemudian mengambil alih kepengasuhan Hidayatullah dari orang-tuanya sejak Hidayatullah berumur 5 tahun. Ketika Hidayatullah beranjak umur delapan tahun, muncullah Chaim Joel Fetter alias Abul Hayat bin Jan Jurgen Fetter, umur 29, seorang warga negara Belanda yang mendirikan Yayasan Peduli Anak. Chaim Joel sangat tertarik untuk mengasuh Hidayatullah tanpa mau mengangkatnya sebagai anak angkat. Untuk menformalkan hak pengasuhannya, Chaim mengajukan permohonan Pengasuhan anak ke Pengadilan Agama Giri Menang dan terdaftar dalam perkara no: 04/Pdt.P/2010/PA.GM. Jika melihat UU No.3 tahun 2006 Ttg Peradilan Agma berkaitan dengan kewenangan Absolut Pengadilan Agama, tidak ditemukan aturan yang memberikan wewenng kepada PA untuk menetapkan hak kepengasuhan anak yang bukan keluarga. Meskipun demikian, permohonan yang diajukan oleh Chaim tetap diterima dan disidangkan oleh PA Giri Menang sampai dengan memberikan putusan yang i: 1. Mengabulkan Permohonan para Pemhon, 2. Menetapkan anak bernama HIDAYATULLAH anak dari Pemohon II (Abdul Gani)........berada di bawah pemeliharaan dan pengasuhan Pemohon I ( CHAIM JOEL FETTER alias ABUL HAYAT Bin JAN JURGEN FETTER). Yang menjadi landasan/pertimbangan hukum hakim PA Giri Menang yg menyidangkan dan mengabulkan permhonan pemohon dalam perkara ini selain mengutip nash al-Quran yang mendorong setiap orang untuk selalu tolong menolong, majelis juga menoleh pada UU RI no 4 th 1979 Tentang Kesejahteraan Anak dan UU no. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan anak. Kata kunci: anak, hak pengasuhan, tabanni 1 Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Syari’ah IAIN Mataram Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram 145 H. Abdullah Mustafa A. KONTEKS PENELITIAN Secara biologis, anak merupakan hasil pembuahan antara ovum wanita dengan sperma lelalki, semetara secara sosial merupakan elemen penting dalam sebuah bangunan rumah tangga.Bagi dua anak manusia yang berjenis kelamin lelaki dan perempuan, maka kehadiran anak dapat mempererat talikasih,sementara secara spiritual keagamaan memandang anak turunan sebagai titipan Tuhan yang mesti dirawat dan dijaga sebaik mungkin, sebgai generasi penerus kekhalifahannya di muka bumi. Anak adalah imbrio generasi muda. Bagi sebuah bangsa yang mencita-citakan kehidupan esok yang lebih baik, maka tidak boleh tidak harus memeiliki generasi muda yang tangguh, mental kokoh, kredibel dan punya kebanggaan diri dan siap mengahapi tantangan ke depan.Untuk mendapatkan generasi muda sebagaimana dimaksud, maka perlu adanya upaya pembenahan dalam berbagai sektor kehidupan sebagai upaya revitalisasi kualitas kehidupan berbangsa dan negara, salah satunya dengan menjaga tumbuh kembang anak-anak bangsa dalam berbagai hal untuk mendapatkan kesejahteraan dalam hidup sebagai warga negara Indonesia sebagaimana tertuang dalam pancasila. Perhatian terhadap pemenuhan hak-hak anak merupakan hal penting yang perlu diperhatikan, seperti pemenuhan terhadap pendidikan dan kebutuhan hidup lainnya yang merupakan hak perawatan atau pemeliharaan, sehingga tumbuh kembang seorang anak menjadi optimal dan kemudian menjadi generasi muda yang kuat yang siap meneruskan perjuangan bangsa menuju kemajuan dalam berbagai sektor kehidupan. Mengingat begitu pentingnya perhatian terhadap pemenuhan hak anak dalam rangka menunjang kesejahteraan anak, dunia Internasional melalu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1959, Majelis Umum PBB secara aklamasi mensyahkan Deklarasi Hak AnakAnak, dan pada tanggal 21 Desember 1976, Majelis Umum mensyahkan sebuah resolusi yang menyatakan tahun 1979 sebagai tahun Internasional Anak-Anak. Resolusi ini menganjurkan semuanegara baik kaya maupun miskin untuk meninjau kembali kegiatan-kegiatan mereka dalam rangka mengingkatkan kesehahteraan anak-anak2. Selain mendapatkan perhatian dunia, Indonesia juga memberikan perhatian penting terhadap kesejahteraan anak. Hal ini terbukti dengan disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan kemudian di pertegas dengan Undangundang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan disahkanya undang-undang mengenai anak tersebut, diharapkan kesejahteraan anak indonesia dapat terpenuhi secara proporsional tanpa 2 Hal. 108 146 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari TIga Sistem Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2006). Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram Qawwãm• Volume 8 Nomor 2, 2014 adanya perbedaan yang signifikan antara si kaya dengan miskin untuk memperoleh hak pemeliharaan secara patut dan layak. Terlepas dari perhatian dunia internasional dan perhatian pemerintah Indonesaia mengenai kesejahteraan anak, Islam memiliki loyalitas yang tinggi terhadap kesejahteraan anak baik di dunia maupun di akhirat yaitu dengan menekankan pada aspek pemeliharaan oleh orang tua melalui bimbingan yang islami sehingga terjaga dari ancaman api neraka. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam firmannya : Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikatmalaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa ayang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan3. Ayat di atas sebagai pertanda bahwa perhatian Islam terhadap keluarga yang di dalamnya termasuk anak-anak, tidak hanya sebatas terhadap perhatian dunia, akan tetapi menyangkut tentang kemaslahatan keluarga di akhirat. Secara mendalam, upaya mensejahterakan anak melalaui pemeliharaan orang tua ditegaskan oleh Allah SWT sebagai berikut: Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusunan dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya. Dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan pernusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan4. Dalam rangka menunjang pemenuhan hak-hak anak, manusia sebagai mahluk sosial senantiasa saling memberikan perhatian kepada sesama, sebagaimana halnya yang dilakukan oleh salah seorang Warga Negara Asing (WNA) asal Belanda yang bernama Chaim Joel Fetter alias Abdul Hayat yang bergerak dibidang sosial peduli anak dengan mendidikan Yayasan Peduli Anak di wilayah Lombok Barat yang diperuntukkan bagi anak-anak yang tidak atau kurang mampu dan anak-anak terlantar. Dari sekian banyak anak-anak yang disuruh oleh Yayasan Peduli Anak, Chaim Joel memberikan perhatian lebih kepada seorang anak dan bermaksud mengasuh anak tersebut secara lebih khusus di rumahnya dengan alasan bahwa anak tersebut memiliki potensi kecerdasan yang luar biasa daripada anak-anak yang lainnya dan anak tersebut sedang mengidap hepatitis non aktif yang akan diobati ke luar negeri. Untuk maksud tersebut 3 4 QS. At-tahrim (66).6 QS. Al-Baqarah (2): 223 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram 147 H. Abdullah Mustafa Chaim Joel ingin mendapatkan hak kuasa asuh penuh secara legal dari Pengadilan Agama, dan dalam hal ini Chaim Joel mengajukan Permohonan Pengasuhan Anak ke Pengadilan Agama Giri Menang guna mendapatkan penetapan hak kuasa asuh terhadap Hidayatullah. Perkara permohonan pengasuhan anak yang diajukan oleh Chaim Joel, jika dikaitkan dengan Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama mengenaikewenangan absolut Pengadilan Agama, tidak terdapat ketentuan yang menyebutkan bahwa pengasuhan anak merupakan kewenangaan Pengadilan Agama, hanya saja disebutkan mengenai penguasaan anak yang terdapat pada huruf (a) angka (11) dan pengankatan anak berdasarkan hukum islam pada angka (20). Meskipun tidak terdapat ketentuan yang mengatur secara tegas tentang kewenangan Pengadilan Agama dalam menyidangkan perkara permohonan pengasuhan anak, permohonan yang diajukan oleh Chaim Joel tetap disidangkan oleh Pengadilan Agama Giri Menang sampai dengan keluarnya sebuah penetapan pengasuhan anak bagi Chaim Joel. Perkara permohonan pengasuhan anak yang diajukan oleh Chaim Joel ini berbeda halnya dengan perkara permohonan pengasuhan anak yang diajukan oleh salah satu pihak keluarga anak yang biasa disebut dengan hadhonah sebagai bentuk pemeliharaan dalam lingkup keluarga yang diajukan untuk mendapatkan kuasa asuh terhadap seorang anak ketika terjadi perceraian atau sebagai akaibat dari sebuah perceraian yang sering kita temukan di Pengadilan Agama, seperti halnya perceraian artis yang kemudian memperebutkan hak pengasuhan anak. Sedangkan dalam perkara permohonan pengasuhan anak yang diajukan Pengadilan Agama Giri Menang bahwa antara Chaim Joel dengan Hidayatullah tidak memiliki hubungan keluarga atau buka dari pihak keluarga, jadi perkara ini tidak dapat disamakan dengan hadhonah. Terlebih lagi dalam proses persidangan, Majelis Hakim sempat menyarankan untuk mengajukan permohonan pengankatan anak berdasarkan hukum islam agar sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada undang-undang peradilanagama, namun permohonan tetap pada pendirian hanya untuk mendapatkan penetapan pengasuhan anak saja. Perkara permohonan pengasuhan anak yang diajukan oleh Chaim Joel ke Pengadilan Agama Giri Menang menjadi sebuah perkara yang dianggap langka dan menarik untuk dikaji, dikarenakan jenis perkara tersebut tidak memiliki pengaturan kewenangan absolute secara jelas dalam undang-undang peradilan agama yang menjadi sebuah landasan teori. Beranjak dari kerancuan kewenangan Absolut Pengadilan Agama dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara permohonan pengasuhan anak tersebut, penulis berkeinginan untuk melakukan sebuah penelitian ilmiah yang berjudul “Kewenangan Pengadilan dalam Memeriksa, Memutus dan Menyelesaikan Perkara Permohonan Pengasuhan Anak oleh Selain Pihak Keluarga”, 148 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram Qawwãm• Volume 8 Nomor 2, 2014 B. FOKUS KAJIAN Dari paparan latar belakang di atas, peneliti menetapkan dua rumusan masalah yang akan menjadi fokus kajian, yaitu: 1. Bagaimana proses persidangan dalam perkara Permohonan Pengasuhan Anak oleh Selain Pihak Keluarga yang diajukan di Pengadilan Agama Giri Menang? 2. Apa Landasan hokum apa yang digunakan Majelis Hakim Pengadilan Agama Giri Menang dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara Permohonan Pengasuhan Anak oleh Selain Pihak Keluarga? C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1. Proses persidangan perkara permohonan pengasuhan anak yang diajukan oleh selain pihak keluarga di Pengadilan Agama Giri Menang. 2. Landasan hokum yang digunakan Majelis Hakim Pengadilan Agama Giri Menang dalam memeriksam, memutus dan menyelesaikan perkara Permohonan Pengadilan Anak oleh selain pihak keluarga. D. KEGUNAAN PENELITIAN Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi peneliti sendiri maupun bagi instansi yang terkait dan masyarakat yang menyelesaikan perkara permohonan pengasuhan anak di Pengadilan Agama. Adapun kegunaan penelitian ini adalah : Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan bidang hukum acara peradilan Agama dan hukum materil peradilan agama.Secara praktis diharapkan penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi Fakultas Syari’ah untuk meningkatkan intensitas kajian hukum agar mampu menghadapi problema kontemporer yang muncul di bidang peradilan agama, dan bagi instansi terkait dapat dijadikan bahan pustaka untuk terus meningkatkan kualitas pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang mandiri. E. LOKASI PENELITIAN Lokasi Penelitian adalah Pengadilan Agama Giri Menang, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi NTB. Pengadilan Agama Giri Menang merupakan lembaga formal yang bertugas melayani masyarakat yang hendak mengajukan perkara-perkara tentang perkawinan, kewarisan, wakaf, shadakah, dan ekonomi syari’ah bagi masyarakat Islam Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Utara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, J.o UU RI NO 50 TH 2009 Tentang Peradilan Agama Pasal 49 “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, shadaqah dan ekonomi syaria’ah. Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram 149 H. Abdullah Mustafa Adapun pertimbangan penulis melakukan penelitian di lokasi tersebut antara lain : 1. Pengadilan Agama Giri Menang baru pertama kali menyidangkan perkara Permohonan Pengasuhan Anak yang diajukan oleh selain dari pihak keluarga dalam hal ini oleh Warga Negara Asing asal Belanda. 2. Karena Pengadilan Agama Giri Menang berada di wilayah Kabupaten Lombok Barat dan bertaraf kelas II A, dan dalam upaya untuk meningkatkan kelas kepada yang lebih baik. F. TELAAH PUSTAKA Dalam telaah pustaka penulis mencoba memaparkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan agar penelitian yang akan penulis lakukan tidak dikatakan plagiat. Berdasarkan focus penelitian sebagaimana terdapat pada rumusan masalah di atas, penulis mencoba membandingkan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya yang menyangkut masalah pemeliharaan anak atau hal-hal yang berkaitan dengannya dan mengenai Kompetensi Absolut Pengadilan Agama. Di antara penelitian yang pernah dilakukan antara lain : Zulkarnaen, meneliti tentang Hadhanah dan Pelaksaannya Sebagai Akibat Perceraian di Kelurahan Dasan Agung Mataram, mengambil lokasi penelitian di Dasan Agung Mataram Zulkarnaen menyimpulkan : 1. Pelaksanaan hadhanah yang dilakukan oleh masyarakat di Dasan Agung setelah terjadinya perceraian banyak diasuh oleh nenek, baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. Apabila dikaji, pertembuhan anak akan lebih baik bila tinggal bersama orangtuanya. 2. Pada umumnya bentuk pemeliharaan anak yang mempunyai harta dan belum baligh yang dilakukan di Dasan Agung dengan cara mengambil harta anak untuk membiayai kepentingan anak. Yuliana, meneliti tentang Penetapan Hadhanah Akibat Perceraian, mengambil lokasi penelitian di Pengadilan Agama Praya.menyimpulkan : 1. Sumber-sumber rujukan hukum sebagai dasar penetapan hadhanah akibat perceraian bagi hakim-hakim atau Majelis Hakim di Pengadilan Agama Praya, pada prinsipnya meliputi Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan fiqih serta undang-undang. Namun di dalam praktiknya selama ini lebih mengutamakan Al-qur’an dan KHI yang telah dijadikan rujukan. 2. Faktor pertimbangan atau faktor yang memperngaruhi Majelis Hakim dalam penetapan hadhanah akibat perceraian di Pengadilan Agama Praya adalahfaktor kemaslahatan anak, dengan terutama memperhatikan karakter akhlaq yang mengasuh anak ini adalah faktor internal. Syarifudin, meneliti tentang Ekspansi Kompetensi Absolut Pengadilan Agama (Kajian analitik terhadap Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006), menyimpulkan : 150 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram Qawwãm• Volume 8 Nomor 2, 2014 1. Dengan disahkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, maka Peradilan Agama mendapatkan tambahan kewenangan yang sangat strategis yaitu Ekonomi Syari’ah, sebagaimana termaktub dalam Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang perubahan pertama atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama pada huruf (i). 2. Implikasi ekspansi kompetensi absolute Pengadilan Agama akan berpengaruh terhadap kualifikasi Hakim Pengadilan Agama, para hakim dituntut untuk : a. Para Hakim Pengadilan Agama harus terus meningakatkan wawasan hukum tentang perekonomian syari’ah dalam bingkai regulasi Indonesia dan aktualisasi fiqh islam. b. para Hakim Pengadilan Agama harus mempunyai wawasan memadai tentang produk layanan dan mekanisme operasional dari perbankan syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, reksadana syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah dana pensiunan syari’ah dan bisni syari’ah. c. Cara Hakim Pengadilan Agama harus perlu mengingkatkan wawasan hukum tentang prediksi terjadinya sengketa dalam akad yang berbasis syari’ah. d. Para Hakim Pengadilan Agama harus meningkatkan wawasan dasardasar hukum dan peraturan perundang-undangan serta konsepsi dan fiqih islam islam tentang ekonomi syari’ah. Dari tiga penelitian di atas, penelitian pertama dan kedua memfokuskan pada hadhanah atau pemeliharaan anak sebagai akibat dari sebuah perceraian dalam lingkup keluarga, dan penelitian yang ketiga menekankan pada penambahan kompetensi absolute Pengadilan Agama yaitu di bidang Ekonomi Syari’ah. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan dalam skripsi ini terfokus pada kewenangan absolut Pengadilan Agama dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara Permohonan Pengasuhan Anak yang diajukan oleh selain dari pihak keluarga, dan memperjelas kompetensi absolute Pengadilan Agama dalam pemeriksaan perkara tersebut. G. KERANGKA TEORITIK 1. Pengertian Anak Dalam Kamus Bahasa Indonesia, anak diartikan sebagai turunan yang kedua atau manusia yang lebih kecil?5. Sedangkan pengertian anak secara terminologi dapat diperoleh dari berbagai sumber, yaitu : Menurut referensi IslamPengertian anak, tentunya akan kita peroleh berdasarkan sumber keislaman, yaitu al-qur’an dan hadits. Dari kedua sumber islam tersebut, jika kita teliti secara cermat, tentu tidak akan kita temukan pengertian anak secara kontekstual dari al-qur’an dan maupun 5 Hoetomo, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Mitra Pelajar, 2005) Hal. 41 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram 151 H. Abdullah Mustafa hadits, namun gambaran pengertian tentang anak dapat kita peroleh dari ungkapan al-qur’an dan hadits yang berbicara masalah keluarga, seperti firman Allah SWT pada ayat berikut : Artinya: Dan sesungguhnya kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukhizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu)6 Berdasarkan ayat di atas, bahwa yang dimaksud dengan anak di dalam islam adalah seorang anak baik laik-lak maupun perempuan yang dilahirkan oleh seorang. Isteri yang sah dalam ikatan perkawinan. Pemahaman ini diambil dari pernyataan “kami berikan kepada merek isteri-isteri dan keturunan’’, pada ayat di atas. Sementara itu, secara yuridis, terdapat beberapa sumber perundang-undangan yang memberika keteranga tentang pengertian anak, mengingat indonesia menganut sistem penerapan hukum secara simbiotik yaitu pernerapan hukum agama tertentu yang dilegalkan berdasarkan undang-undang, hal ini ditandai dengan adanya Pengadilan Agama sebagai tempat pencari keadilan bagi orang yang beragama islam yang dilandasi dengan hukum islam. Maka secara otomatis terdapat dia sumber perundang-undangan yang menjadi dasar kebijakan dunia peradilan di Indonesia, yaitu undang-undang peradilan agama dan undang-undang peradilan secara umum. Pengadilan Agama memiliki beberapa landasan hukum yang dijadikan sebagai dasar pelaksanaan kekuasaan kehakiman, yaitu Undang-undang Peradilan Agama No. 7 tahun 1989, yang kemudian telah direvisi dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006 dan No. 50 Tahun 2009. Selain itu terdapat juga Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dijadikan sandaran oleh Pengadilan Agama dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara. Pengeritan anak yang digunakan oleh Pengadilan Agama, terdapat pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Bab IX Tentang Kedudukan Anak , Pasal 42 yaitu: anak yang sah adalah anak yang dilahirka dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pengertian yang sama juga terdapat dalam KompilasiHukum Islam (KHI) Pasal 99 huruf a dan b yang berbunyi: anak yang sah adalah: (a) anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, (b) hasil perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Sumber pengertian anak yang kedua bersumber dari Perundangundangan umum, yaitu Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang 6 152 QS. Ar-Ra’d (13) :38 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram Qawwãm• Volume 8 Nomor 2, 2014 Perlindungan Anak. Dalam undang-undang tersebut, pengertian anak terdapat pada Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi: “Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Perbedaan pengertian anak menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan Undang0undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yaitu, dalam UU No. 1 TH 1974 dan KHI dikhususkan pada kategori anak sah dari hasil hubungan pernikahan, sedangkan dalam UU Perlindungan Anak menyebutkan anak secara umum, tanpa menegaskan dari hasil hubungan pernikahan yang sah. 2. Beberapa Istilah Tentang Anak Terdapat beberapa istilah tentang anak mengenai peralihan perawatan anak, baik dalam lingkup keluarga ataupun perawatan oleh non keluarga. Adapun beberapa istilah yang kita kenal pada umumnya yaitu : a. Hadhanah Secara etimologi kata Hadhanah (al-hadhanah) berarti “aljanb” yang berarti di samping atau berada di bawah ketiak7. Secara terminologi hadhanah menurut Zahabi adalah melayani anak kecil untuk mendidik dan memperbaiki kepribadiannya oleh orang-orang yang berhak mendidiknya pada usia tertentu yang ia tidak sanggup melakukannya sendiri8. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, hadhanah disebutkan dalam Pasal 1 huruf (g) yaitu: Pemeliharaan atau hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri. Kegiatan pemeliharaan anak sebagaimana disebutkan dalam KHI menjelaskan bahwa batas pemeliharaan anak dalam lingkup keluarga dilakukan hingga anak tersebut dewasa. Jika merujuk pada keterangan yang terdapat dalam KHI, dapat dikatatakan bahwa pengasuhan merupakan bagian dari hadhanah, namun pengasuhan tersebut berada dalam lingkup keluarga dan bukan pengasuhan sebagaimana pada fokus kajian dalam penelitian ini, dan perkara hadhanah sering dijumpai di Pengadilan Agama sebagai akibat dari perceraian orang tua yang ingin mendapatkan hak asuh atas anaknya,Seperti halnya kasus selebriti Ahmad Dani dengan Maia yang memperebutkan hak asuh atas anaknya melalui Pengadilan Agama. Ibnu Manzur, Lisan al-araby. (Mesir: Dar al-Ma’rif), hal. 911 Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspekftif Islam. (Jakarta: Pena Media, 2008), h. 114. 7 8 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram 153 H. Abdullah Mustafa b. At-tabanni, Pengangkatan Anak/ Adopsi atau Anak Angkat. Menurut istilah, at-tabanni adalah seorang mengangkat anak orang lain sebagai anak, maka berlakulah terhadap anak itu seluruh hukum-hukum yang berlaku atas anak kandung9. Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaili adalah pengangkatan anak (tabanni) “Pengambilan anak yang dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang jelas nasab-nya, kemudian anak itu di nasab-kan kepada dirinya”10 Pengertian at-Tabanni dengan hadhanah sebagaimana tersebut di atas, memiliki perbedaan yang cukup signifikan dalam istilah hadhanah tidak terdapat penegasan pemeliharaan oleh orang lain, sedangkan dalam at-Tabanni pemeliharaan yang dimaksudkan adalah pemeliharaan dalam lingkup orang lain, bukan dalam lingkup keluarga. Hal tersebut di Indonesia dikenal dengan pengangkatan anak atau adopsi. Sedangkan istilah ‘’Pengangkatan Anak” berkembang di Indonesia sebagai terjemahan dari bahasa inggris “adoption”, mengangkat seorang anak, yang berarti “mengangkat anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri dan mempunyai hak yang sama dengan anak kandung”11. Adopsi berasal dari kata “adoptie” bahasa Belanda, atau “adopt” (adoptio) bahasa Inggris, yang berarti pengangkatan anak, mengangkat anak. Pengertian dalam bahasa Belanda menurut Kamus Hukum, berarti “pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri”. Secara terminologi, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat, yaitu “anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri”. Sedangkan dalam Ensiklopedia Umum disebutkan “Adopsi, suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan. Biasanya adopsi dilaksanakan untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak12. Sedangkan menurut Prof. Ali Afandi, S.H. adopsi adalah pengangkatan anak oleh seseorang dengan maksud untuk menganggapnya anak itu sebagai anaknya 9 Muhammad Ali Syais, Tafsir Ayat Ahkam, dalam Huzaemah T. Yanggo, Hukum Pengangkatan Anak Dalam Islam, Suara Uldilag Mahkamah Agung R.I. Vol. 3 No.X (Maret, 2007), h.2. 10 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-islami, dalam Andi Syamsu dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.20 11 Simorangkir, Kamus Hukum, dalam Andi Syamsu dan M Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta :Pena Media, 2008) h. 59 12 Muderis, Adopsi, h. 5. 154 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram Qawwãm• Volume 8 Nomor 2, 2014 sendiri13. Pengertian Adopsi atau Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud, pada dasarnya sama dengan pengertian at-tabanni sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989 J.o UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Undang-undang Peradilan Agama, ketentuan mengenai anak angkat terdapat pada penjelasan Pasal 49, huruf (a) tentang Perkawinan, nomor (20) Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mengenai anak angkat disebutkan dalam Pasal 171, huruf (h) Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaanuntuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Selain itu, mengenai bagian harta peninggalan untuk anak angkat diatur dalam Pasal 209, ayat (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyakbanyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pengertian anak angkat dijelaskan dalam Pasal 1 poin (9) yaitu: “Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Ketentuan pengangkatan anak tersebut diperjelas lagi dalam pasal 39 pasal (1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (20) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat satu, tidak boleh memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya, (3) calin orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat, (4) Pengangkatan anak oleh waraga negara asing hanya dapat dilakukan sebgai upaya terakhir, (5) Dalam hal asal-usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat. Mengenai anak angkat, islam memberikan batasan yaitu dengan tidak menghilangkan atau memutus nasab antara anak dengan orang tua kandungnya, sehingga anak tersebut memiliki hubungan kekeluargaan, dan orang tua angkat pun tidak dapat 13 Ali Afandi, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 149 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram 155 H. Abdullah Mustafa menjadikan anak angkatnya sebagai anak kandung. Hal tersebut ditegaskan oleh Allah SWT dalam firmanNya : Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahu bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maulamaulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang14. Ayat di atas memberikan penegasan yang berbeda dengan pengertian pengangkatan anak, anak angkat, atau adopsi sebagaimana pengertian yang terdapat dalam kamus hukum atau kamus bahasa Indonesia.Menurut sejarah, Nabi Muhammad sendiri sebelum menerima ke-Rasulan mempunyai seorang anak angkat yang bernama Zaid putra Haritsah dalam status budak (sahaya) yang dihadiahkan oleh Khadijah bin Khuwailid kepada Muhammad bin Abdullah. Kemudian dimerdekakan beliau dan diangkat menjadi anak angkat serta ditukarkannya nama anak tersebut dengan Zaid bin Muhammad. Dihadapan kaum Quraisy pernah Muhammad mengatakan, saksikanlah oleh kamu, bahwa Zaid kuangkat menjadi anak angkatku, dan mewarisiku dan aku mewarisinya. Beberapa waktu setelah Muhammad diutus menjadi Rasul, maka turunlah wahyu yang menegaskan masalah ini, seperti yang telah disebutkan di atas. Sesudah itu turun pula wahyu yang menetapkan tentang peraturan waris-mewaris yang ditentukan hanya kepada orang-orang yang ada pertalian sedarah, turunan dan perkawinan. Mulai saat itu Zaid bin Muhammad ditukar menjadi Zaid bin Haritsh15. Anak angkat dalam arti memelihara, dan mendidik dan mengasuh seorang anak orang lain adalah sangat dianjurkan dalam Islam. Tetapi penamaan anak angkat tidak menjadikan seorang menjadi mempunyai hubungan dengan orang lain seperti hubungan yang terdapat dalam hubungan darah16. QS. Al-Ahzab (33): 4-5 Muderis, Adopsi, h. 53. 16 Sayut Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (Jakarta: UI Press, 1986), h. 136. 14 15 156 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram Qawwãm• Volume 8 Nomor 2, 2014 c. Pengasuhan Anak atau Anak Asuh Dalam Kamus Bahasa Indonesia, mengasuh berarti menjaga (merawat, dan mendidik) anak kecil, sedangkan pengasuh berarti orang yang mengasuh ; wali (orang tua dsb), sedangkan pengasuhan berarti hal (cara, perbuatan, dsb) mengasuh17. Dalam ketentuan Pasal 49 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, yang mengatur tentang kewenangan absolut Pengadilan Agama, tidak ditemukan penyebutan atau penjelasan mengenai pengasuhan anak ataupun anak asuh, hanya saja disebutkan mengenai pengasuhan anak yang terdapat pada penjelasan pasal 49 huruf a (tentang perkawinan) nomor (11) yaitu pengasuhan anak-anak, dan pada nomor (20) pengangkatan anak berdasarkan hukum islam. Demikian juga halnya dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI), tidak memberikan penjelasan tentang pengasuhan anak atau anak asuh, namun hanya berbicara mengenai pemeliharaan dalam lingkup keluarga yang lazim disebut dengan hadhanahm dan tentang anak angkat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Pengertian pengasuhan anak atau anak kuasa asuh dijelaskan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang terdapaat pada Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 nomor (10) dan (11) sebagai berikut: pasal (10) Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar. (11) Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memlihara,membina, melindungi, dan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya. 3. Batas Kewenangan Absolut Antara Lingkungan Peradilan Agama dengan Peradilan Negari. Pasal 24 (2) Undang-undang Dasar Negera RI Tahun 1945 menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Mengingat Indonesia memiliki, beberapa lembaga peradilan, maka perlu adanya batasan kekuasaan antara masing-masing pengadilan 17 116 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasan Indonesia (Jakarta: 2008) h. Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram 157 H. Abdullah Mustafa agar tidak saling tumpang tindih. Dalam hukum acara perdata dikenal adanya 2 (dua) macam kewenangan mengadili, yaitu : a. Kewenangan Mutlak (kompetensi Absolut), yaitu wewenangan badan Pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama (Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Tinggi) maupun dalam lingkungan peradilan yang lain (Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Agama). b. Kewenangan Relatif (Kompetensi Relatif), yaitu mengatur tentang pembagian kekuasaan mengadili antar-Pengadilan yang serupa atau sejenis (Pengadilan Negeri Bukit Tinggi dengan Pengadilan Negeri Padang Panjang)18. Dari dua macam kewenangan pengadilan sebagaimana di atas, dalam penelitian ini difokuskan pada permasalahan kewenangan absolut pengadilan, karena penelitian ini berkaitan dengan materi atau jenis perkara yang diadili oleh Pengadilan Agama Giri Menang. Pasal 50 UU No. 8 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum menyatakan “Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama “. Jadi pada dasarnya semua perkara pidana dan perdata menjadi kewenangan Pengadilan Negeri (asas lex generalis). Tetapi kemudian ada ketentuan lain dalam undang-undang yang menentukan bahwa terhadap perkara-perkara perdata tertentu menjadi kewenangan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama (lex specialis)19. Adapun mengenai kewenangan absolut untuk lingkungan peradilan agama diatur dalam Undang-undang RI No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang kemudian diubah dengan Undangundang No. 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Dalam pasal 49 Undangundang tersebut menyebutkan : “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orangorang yang beragama Islam di bidang : a. Perkawinan ; b. Waris ; c. Wasiat ; d. Hibah ; e. Wakaf ; f. Zakat ; M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, h. 19. Andi Syamsu Alam dan M Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam (Jakarta: Pena Media, 2008) h. 8 18 19 158 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram Qawwãm• Volume 8 Nomor 2, 2014 g. Infaq ; h. Shadaqah dan i. Ekonomi Syari’ah.” Ketentuan yang terdapat pada pasal 49 sebagaimana tersebut di atas merupakan dasar kewenangan absolut lingkungan Peradilan Agama. Namun, seorang hakim tidak dibenarkan untuk menolak suatu perkara secara serta merta dengan alasan tidak aturan yang mengatur, tidak terdapat dalam ketentuan perundang-undangan ataupun tidak jelas aturannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 14 ayat 1 Undang-undang No. 14 Tahun 1970. “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Kalau sekiranya ia tidak menemukan hukum tertulis, maka ia wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat20. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 yang berbunyi sebagai berikut : “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” Ketentuan sebagaimana yang terdapat pada Pasal 27, oleh M Fauzan disebut sebagai asas social justice yang harus dimiliki oleh hakim, dan ketentuan tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 28 (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan ras keadilan yang hidup dalam masyarakat”21. Selain undang-undang peradilan agama sebagaiamana telah disebutkan sebelumnya, lingkungan peradilan agama juga diperkuat oleh Kompilasi Hukum Islam, yang menjadi salah satu acuan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama. Adapun mengenai produk hukum yang dihasilkan dari lingkungan Peradilan Agama maupun lingkungan Peradilan Umum ada dua yaitu putusan dan penetapan. Bagi lingkungan Peradilan Agama sebelum berlakunya UU Nomor 7 tahun 1989, adaproduk hukum ketiga yaitu Surat Keterangan Tentang Terjadinya Talak (SKT3), yang kini tidak ada lagi.22 H. METODE PENELITIAN M. Nur, Hukum Acara Perdata, h. 5. M Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2007) 22 Erfanizah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia (Jogjakarta: Sukses Offset, 2008), h. 265 20 21 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram 159 H. Abdullah Mustafa Metodologi merupakan unsur yang sangat penting dalam sebuah peneitian, dimana penulis menerapkan bagaimana langkah-langkah atau cara melakukan pendekatan kepada subyek sehingga memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan. Adapun metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Pendekatan Penelitian. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif yang merupakan jenis penelitian yang menghasilkan penemuanpenemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur statistik atau cara kuantifikasi lainnya23. Selain itu pendekatan kualitatif bersifat deskriptif yaitu data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka, sehingga data yang ditemukan bersifat eksploratif yang bertujuan menggambarkan keadaan atau fenomena yang terjadi. Bogdan dan Taylor mengemukakan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati24. Dari batasan ini, maka pendekatan kualitatif mengarah pada latar dan individu secara holistic (utuh), dimana individu atau organisasi tidak diisolasi ke dalam variabel atau hipotesis tetapi dipandang sebagai bagian dari sesuatu keutuhan. 2. Sumber Data dan Jenis Data. Untuk mendapatkan data yang valid serta obyektif terhadap apa yang diteliti, maka penulis merumuskan beberapa langkah yang akan menjadi target dalam pengumpulan data serta informasi yang terkait dengan penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian kualitatif biasanya sumber data utama berupa kata-kata dan tindakan25. Termasuk di dalamnya dokumentasi, wawancara dan lain sebagainya. Jenis data yang paling utama adalah kata-kata dan tindakan orang yang diamati, data-data tersebut bisa didokumentasikan melalui catatan tertulis atau memanfaatkan tekhnologi yang ada misalnya alat perekaman audio, video maupun pengambilan foto-foto atau film. Tidak dapat dipungkiri selain 2 sumber data tersebut, terdapat sumber tertulis sebagai bahan tambahan dari penelitian kualitatif. Sumber tersebut terbagi atas : 23 Rosady Ruslan, Metode Penelitian Public Relation dan Komunikasi, (Jakarta: PT Rajagrafindo. Thn 2006) h. 212. 24 Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung PT Remaja Rosdakarya, 2008), h.6. 25 Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian, h. 157 160 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram Qawwãm• Volume 8 Nomor 2, 2014 a. Sumber buku dan majalah, berupa buku, alqur’an, undang-undang, desertasi, tesis, skripsi, buku riwayat hidup, buku terbitan pemerintah dan lain-lain. b. Sumber dari arsip, berupa dokumern perkara. c. Dokumen resmi,berupa info resmi yang terdapat dalam situs Pengadilan, dalam hal ini website Pengadilan Agama Giri Menang yang dapat diakses melalui situs www. pagirimenang.net Untuk memperoleh data dan informasi, maka penulis merumuskan langka-langkah berikut : a. Penulis mencoba mengumpulkan data yang berupa dokumentasi atau arsip-arsip yang terkait dengan masalh pengasuhan anak. b. Mencoba melakukan diskusi dengan responden yang berada di lokasi penelitian, misalnya para Hakim, Panitra/ Pengganti, Bidang Panmud Hukum, Panmud Gugatan maupun Panmud Permohonan. 3. Tekhnik Pengumpulan Data Pengumpulan data merupakan inti utama dalam kegiatan penelitian untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan beberapa metode yaitu: a. Metode Observasi Metode Observasi adalah suatu cara mengumpulkan data yang dilaksanakan secara sengaja dengan jalan pengamatan dan pencatatan secara sistematis26. Adapun Observasi yang dilakukan penulis pada peneliyian ini adalah dengan melakukan pengkajian pada berkas-berkas persidangan perkara Permohonan Pengasuhan Anak yang diajukan oleh selain pihak keluarga yang terdapat di Pengadilan Agama Giri Menang, termasuk pada berkas putusan perkara tersebut dan hasli wawancara dengan para Hakim. Observasi ini dimaksudkan untuk melakukan penyesuaian antara penerapan teori dan praktek yang terjadi pada persidangan perkara Permohonan Pengasuhan Anak. Metode ini penulis gunakan untuk mendapatkan informasi secar langsung dengan datang ke lokasi yakni Pengadilan Agama Giri Menang, sehingga memperoleh gambaran tentang perkara Permohonan Pengasuhan Anak di Pengadilan Agama Giri Menang. b. Metode Wawancara Metode ini adalah suatu proses tanya jawab secar lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan secara fisik yaitu satu 26 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 230 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram 161 H. Abdullah Mustafa dengan lainnya saling melihat, dan mendengar secara langsung pertanyaan serta jawaban27. Dalam metode wawancara terdapat dua teknik wawancara yaitu : Wawancara terstruktur dapat berarti penulis telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh, dan berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis yang alternatif jawabannya pun telah disiapkan. Wawancara tidak terstruktur/ bebas adalah dimana penulis tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap tetapi hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan. Hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan intesitas wawancara secara berjenjang sesuai dengan situasi dan kondisi dan cenderung bersifat dialog. Wawancara tidak terstruktur ini dilakukan dengan Majelis Hakim Pengadilan Agama Giri Menang yang menyidangkan perkarapermohonan pengasuhan anak oleh selain pihak keluarga, Panitera Pengganti dan Panmud Hukum. Penulis lebih condong untuk menggunakan sistem wawancara tidak terstruktur untuk menjaga intesitas wawancara dengan responden yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Jenis data yang diperoleh dari hasil wawancara ini adalah berupa kata-kata yang merupakan argumentasi atau landasan Hakim dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara Permohonan Pengasuhan Anak oleh selain pihak keluarga. Data yang diperoleh dari hasil wawancara tersebut selanjutnya akan digunakan untuk melakukan penyesuaian dengan ketentuan yang telah dituangkan dalam berkas putusan oleh Majelis Hakim dan selanjutnya disesuaikan dengan teori hukum yang telah terkait dengan masalah tersebut. c. Metode Dokumentasi Dokumentasi yang telah diserap dari kata asing kemudian diidonesiakan menjadi dokumen, berarti barang-barang tertulis. Metode dokumentasi merupakan cara pengumpulan data dengan menyelidiki benda-benda tertulis seperti; buku-buku, notulen rapat, majalah dan sebagainya28. Adapun dokumen yang dijadikan sebagai acuan dalam metode dokumentasi ini adalah dokumen berupa berkas-berkas perkara atau salinan putusan perkara yang akan diteliti, dalam hal ini perkara Ibid, h. 231 Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1998),h. 236 27 28 162 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram Qawwãm• Volume 8 Nomor 2, 2014 beranjak dari data perkara secara umum sehingga Menemukan jenis perkara Permohonan Pengasuhan Anak yang diajukan oleh selain pihak keluarga pada Pengadilan Agama Giri Menang. 4. Analisis Data Analisa data merupakan upaya untuk mencari dan menata secara sistematis tentang catatan hasil observasi, wawancara dan lain sebagainya, untuk meningkatkan pemahaman penulis tentang kasus yang akan diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Oleh karena itu dalam upaya menganalisa data peneliti akan menggunakan analisa filosofis deskriptif, yaitu menggambarkan dan menginterpretasikan data dan temuan-temuan yangpenulis peroleh di lapangan. Dengan demikian data yang didapat dari observasi, wawancara, dokumentasi dan lain sebagainya dapat disimpulkan. 5. Kredibilitas Data Kredibilitas data bertujuan untuk menguji atau membuktikan bahwa apa yang diteliti sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam kenyataan. Untuk itu penulis menggunakan beberapa teknik yang sesuai dengan permasalahan yang dikaji : a. Memperpanjang Waktu Penelitian Untuk memastikan data dan informasi yang sudah diperoleh, penulis mencoba untuk memperpanjang waktu penelitian guna mendeteksi dan memperhitungkan distorsi yan gmungkin mengotori data, dan dapat membangun kepercayaan para subjek terhadap penulis dan juga kepercayaan diri penulis sendiri b. Menguji secara triangulasi Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan dan sebagai pembanding terhadap data yang ditemukan. Dengan demikian penulis dapat mengecek kembali temuan yang didapat dengan jalan membandingkan dengan berbagai sumber, metode, atau, teori. Untuk itu penulis melakukan cara sebagai berikut : 1. Mengajukan berbagai macam variasi pertanyaan. 2. Mengeceknya dengan berbagai sumber data. 3. Memanfaatkan berbagai metode agar pengecekan kepercayaan data dapat dilakukan. Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram 163 H. Abdullah Mustafa c. Pengecekan Anggota Pengecekan dengan anggota dalam proses pengumpulan data merupakan hal yang sangat penting dalam pemeriksaan derajat kepercayaan. Pengecekan dilakukan untuk : 1. Menyediakan kesempatan kepada responden untuk memperbaiki kesalah dari data menentang suatu penafsiran yang barangkali salah. 2. Memberikan kesempatan kepada responden agar dapat memberikan data tambahan karena dengan memberikan konsep tulisan penulis, responden barangkali akan mengingat lagi halhal yang belum terpikirkan pada waktu yang lalu. 3. Memberikan kesempatan bagi responden untuk mengadakan penilaian terhadap keseluruhan penilaian terhadap cakupan data secara menyeluruh dan mengeceknya dengan data dari pihak dirinya sendiri. d. Pemeriksaan Teman Sejawat Pemeriksaan teman sejawat atau peer review adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan jalan mengumpulkan rekanrekan yang sebaya, yang memiliki pengetahuan umum yang sama tentang apa yang diteliti sehingga dapat me-review persepsi, pandangan dan analisis yang sedang dilakukan. Teknik ini dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekan-rekan sejawat. Hal ini bertujuan untuk : 1. Membuat penulis tetap mempertahankan sifat terbuka dan kejujuran 2. Memberikan suatu kesempatan awal untuk menjajaki dan menguji hipotesa kerja yang muncul dari pemikiran penulis. I. PROFIL PENGADILAN AGAMA GIRI MENANG 1. Sejarah Umum dan Daerah Yurisdiksi Pengadilan Agama (P.A) Giri Menang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (R.I) No. 145 tahun 1998 tanggal 16 September 1998. Pengadilan Agama Giri Menang terletak di Desa Giri Menang, Kabupaten Lombok Barat yang merupakan pusat pemerintahan kabupaten tersebut, dengan batas-batas sebagai berikut : Sebelah Timur : Kantor Bupati Lombok Barat. Sebelah Barat : Sawah dan Pemukiman Penduduk. Sebelah Selatan : Sawah dan Pemukiman Penduduk. Sebelah Utara : Jl. Soekarno Hatta. Pengadilan Agama GIri Menang merupakan pusat pengajuan perkara bagi masyarakat Lombok Barat yang beragama Islam padaa 164 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram Qawwãm• Volume 8 Nomor 2, 2014 tingkat pertama di bidang perkawinana, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah. Pengadilan Agama Giri Menang bertaraf kelas II A, dan sedang dalam upaya berbenah diri untuk meningkatkan kelas kepada yang lebih baik demi pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang mandiri secara professional. Berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 “Pengadilan Agama berkedudukan di ibukota kabupaten/ kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/ kota”, maka daerah yurisdiksi Pengadilan Agama Giri menang meliputi seluruh wilayah yang ada di kabupaten Lombok Barat. Secara astronomis Kabupaten Lombok Barat terletak antara Bujur 115°4’ s.d 116° Bujur Timur dan lintang 8°12’ s.d Lintang Selatan. Secara geografis Kabupaten Lombok Barat berbatasan sebagai berikut : a. Sebelah Utara dengan Lombok Timur, b. Sebelah Timur dengan Praya, c. Sebelah Selatan dengan Samudera India, d. Sebelah Barat dengan Selat Lombok. Wilayah hukum Pengadilan Agama Giri Menang meliputi seluruh Kecamatan dan Desa yang ada di Kabupaten Lombok Barat dengan rincian sebagai berikut : a. Kecamatan Bayan mewilayahi 8 Desa, yaitu : 1) Loloan 2) Bayan 3) Persiapan Sambil Elen 4) Senaru 5) Anyar 6) Sukadane 7) Akar-akar 8) Persiapan Mumbul Sari b. Kecamatan Kayangan mewilayahi 6 Desa, yaitu : 1) Selengan 2) Gumantar 3) Kayangan 4) Dangiang 5) Sesait 6) Santong c. Kecamatan Gangga mewilayahi 5 Desa, yaitu : 1) Gondang 2) Bentek 3) Gegelang Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram 165 H. Abdullah Mustafa 4) Rempek 5) Sambik Bangkol d. Kecamatan Tanjung mewilayahi 6 Desa, yaitu : 1) Tenggala 2) Sigar Penjalin 3) Tanjung 4) Sakong 5) Desa Tinaga 6) Tegal Maju e. Kecamatan Pemenang mewilayahi 4 Desa, yaitu : 1) Pemenang Timur 2) Pemenang Barat 3) Malaka 4) Gili Indah f. Kecamatan Batu Layar mewilayahi 5 Desa, yaitu: 1) Sandik 2) Batu Layar 3) Meninting 4) Lembah Sari 5) Persiapan Senggigi g. Kecamatan Gunung Sari mewilayahi 10 Desa, yaitu : 1) Taman Sari 2) Sesela 3) Jatisela 4) Kekait 5) Gunung Sari 6) Midang 7) Kekeri 8) Mambalan 9) Dopang 10) Penimbung h. Kecamatan Lingsar mewilayahi 10 Desa, yaitu : 1) Lingsar 2) Peteluan Indah 3) Batu Kumbung 4) Batu Mekar 5) Sigerongan 6) Karang bayan 7) Langko 166 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram Qawwãm• Volume 8 Nomor 2, 2014 8) Duman 9) Dasan Geria 10) Gegerung i. Kecamtan Narmada mewilayahi 13 Desa, yaitu : 1) Sesaot 2) Selat 3) Lembah Sempage 4) Presak 5) Suranadi 6) Batu Kuta 7) Tanak Beak 8) Dasan Tereng 9) Badrain 10) Sembung 11) Sedau 12) Keru 13) Nyiur Lembang j. Kecamatan Kediri mewilayahi 7 Desa, yaitu : 1) Kediri 2) Montong Are 3) Jagerage Indah 4) Gelogor 5) Rumak 6) Ombe 7) Banyu Mulek k. Kecamatan Kuripan mewilayahi 4 Desa, yaitu : 1) Kuripan 2) Kuripan Utara 3) Kuripan Selatan 4) Jagerage l. Kecamatan labuapi mewilayahi 8 Desa, yaitu : 1) Bengkel 2) Merembu 3) Bagik Polak 4) Telaga Waru 5) Perempuan 6) Kr. Bangket 7) Bajur 8) Kuranji Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram 167 H. Abdullah Mustafa m. Kecamatan Gerung Mewilayahi 6 Desa, yaitu : 1) Gerung Utara 2) Gerung Selatan 3) Dasan Geres 4) Babussalam 5) Beleka 6) Kebon Ayu n. Kecamatan Lembar mewilayahi 5 Desa, yaitu : 1) Lembar 2) Jembatan Kembar 3) Labuan Tereng 4) Sekotong Timur 5) Mereje o. Kecamatan Sekotong mewilayahi 5 Desa, yaitu : 1) Sekotong Tengah 2) Pelangan 3) Sekotong Barat 4) Buwun Mas 5) Persiapan Kedaro Dengan demikian, secara keseluruhan wilayah hukum Pengadilan Agama Giri Menang terdiri dari 15 Kecamatan dan 117 Desa29. Daerah yurisdiksi Pengadilan Agama Giri Menang kini meliputi dua kabupaten Lombok Barat dan Lombok Utara yang baru-baru ini telah berdiri secara resmi yang merupakan pecahan dari Kabupaten Lombok Barat dan Belum memilik Pengadilan Agama Khusu untuk Kabupaten Lombok Utara, dan adapun wilayah hukum Kabupaten Lombok Utara meliputi lima (nomor 1-5) kecamatan yang telah disebutkan di awal pada peta daerah yurisdiksi Pengadilan Agama Giri Menang yaitu mulai dari Kecamatan Bayan sampai Kecamatan Pemenang. 2. Visi dan Misi Pengadilan Agama Giri Menang. Visi Pengadilan Agama Giri Menang adalah mewujudkan supremasi hukum melalui Kekuasaan Kehakiman mandiri, efektif, efesien serta mendapatkan kepercayan publik, professional dalam member pelayanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau dan biaya 29 PTA Mataram, Daerah Yurisdiksi Pengadilan TInggi Agama Mataram Tahun 2006, (PTA Mataram: Mataram, 2006) 168 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram Qawwãm• Volume 8 Nomor 2, 2014 rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan pelayanan publik. Untuk mewujudkan visi tersebut di atas, Pengadilan Agama Giri Menang telah menetapkan misi-misi sebagai berikut : a. Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan Undang-Undang dan Peraturan serta memenuhi rasa keadilan masyarakat; b. Mewujudkan Pengadilan Agama Giri Menang yang madiri dan independen, bebas dari campur tangan pihak lain; c. Memperbaiki akses pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan; d. Memperbaiki kualitas input internal pada proses peradilan; e. Mewujudkan Pengadilan Agama Giri Menang yang efektif, efisien, martabat, dan dihormati; f. Melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan transparan. Dalam rangka melaksanakan tugas pokoknya, Pengadilan Agama Giri Menang telah meletakkan kebijakan-kebijakan umum yang strategis sebagai upaya untuk merealisasikan Visi dan Misi yang telah ditetapkan. Kebijakan-kebijakan umum tersebut antara lain sebagai berikut : a. Dalam Bidang Perkara : 1) Menyelenggarakan prosedur penerimaan perkara secara tertib, cepat, dan transparan, serta memberikan informasi yang seluasluasnya pada Masyarakat pencari keadilan mengenai jalannya perkara; 2) Menyelenggarakan persidangan perkara secara cepat, sederhana dan biaya ringan, bebas KKN, dengan tetap menjunjung tinggi atas keadilan dan kebenaran; 3) Menjatuhkan putusan selambat-lambatnya dalam waktu 6 (enam) bulan sejak perkara didaftar; 4) Melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait dan mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk melaksanakan eksekusi putusan; 5) Menyelenggarakan administrasi kepaniteraan secara tertib, cepat, dan cermat. b. Dalam Bidang Pengawasan; 1) Melakukan pengawasan secara rutin dan insidentil terhadap tingkah laku dan perbuatan Hakim dan Pejabat Kepaniteraan dan Kejurusitaan dalam hal penyelenggaraan persidangan perkara; 2) Melakukan pengawasan baik secara rutin maupun isidentil terhadap seluruh Pejabat Pegawai Pengadilan dalam hal penyelenggaraan tekhnis Peradilan, administrasi dan financial. c. Dalam Bidang Pembinaan dan Pengelolaan Sumber Daya Manusia : 1) Mencetak Sumber Daya Manusia yang kapabel, professional dan handal; Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram 169 H. Abdullah Mustafa 2) Menyelenggarakan urusan kepegawaian secara benar, tertib dan akurat. d. Dalam Bidang Pengelolaan Sarana dan Prasarana; 1) Menyediakan sarana dan prasarana gedung Pengadilan sesuai dengan standar kelayakan mutu, baik secara kuantitas maupun kualitas; 2) Menyediakan bangunan rumah dinas untuk Ketua, Wakil Ketua, Hakim dan Pejabat Kepaniteraan dan Sekretariat; 3) Memelihara kebersihan kenyamanan dan keindahan geudng menggunakan dan merawat barang inventaris seefektif dan seefisien mungkin. 4) Menyediakan ruang perpustakaan yang representative, sehingga mampu menampung jumlah buku dan para pengunjung; 5) Menyediakan buku-buku perpustakaan untuk menunjung dan meningkatkan pengetahuan SDM Pegawai Pengadilan Agama Giri Menang. e. Dalam Bidang Pengelolaan Keuangan : 1) Meningkatkan plat form anggaran DIPA untuk mendukung pelaksanaan tugas pokok Pengadilan; 2) Merealisasikan dan mempertanggungjawabkan anggaran DIPA sesuai ketentuan yang berlaku30. 3) 3. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Giri Menang. Struktur organisasi Pengadilan Agama Giri Menang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Susunan Organisasi Pengadilan Agama Giri Menang terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Sekretaris, dan Jurusita. Pimpinan Pengadilan terdiri dari Seorang Ketua dan Wakil Ketua. Ketua dan Wakil Ketua diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung. Untuk ketua dijabat oleh . H. M Taufiq HM, SH dan Wakil Ketua saat ini masih kosong seiring dengan pindahnyaH.A. MUKRI AGAFI, SH., MH ke PA Kupang. Hakim adalah Pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. Hakim Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Panitera adalah seorang Pejabat yang memimpin Kepaniteraan. Dalam melaksanakan tugasnya Panitera dibantu oleh Wakil Panitera, beberapa Panitera Muda, beberapa Panitera Pengganti, Jurusita dan Jurusita Pengganti. Sekretaris adalah seorang Pejabat yang memimpin Sekretariat. Dalam melaksanakan tugasnya Sekretaris dibantu oleh Wakil Sekretaris, 30 170 Laporan Tahunan Pengadilan Agama Giri Menang, Tahun 2012. Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram Qawwãm• Volume 8 Nomor 2, 2014 Kepala Urusan Umum. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada bagan struktur organisasi sebagai berikut : STRUKTUR ORGANISASI PENGADILAN AGAMA GIRI MENANG HAKIM KETUA 1. AHMAD RIFA’I, S. Ag. 2. MUSLICH, S. Ag. MH. 3. Drs.MAFTUH BASUNI 4. Drs. H. MUSTHOFA ALIE 5. M. SAFI’I, S.Ag. 6. Drs. IMAM SHOFWAN 7. Drs. MUTAMAKIN, SH. 8. MUH. NASIKHIN, S.HI, MH. 9. Drs. SYAFRUDDIN,S.Ag.M.SI 10.RAUFFIP DAENG MAMALA, SH PANMUD HUKUM H. MOH. SALEH, SH Drs. H. MUDJAHIDIN, AR.M. Hum. Keterangan : _________________________ Garis Komando ............................................. Garis Perintah WAKIL KETUA H. A. MUKRI AGAFI, SH. MH. PANITERA / SEKRETARIS M U K S I N, SH. WAKIL PANITERA WAKIL SEKRETARIS SAHNUDDIN, SH LALU. RUSLAN, SH PANMUD GUGATAN PANMUD PERMOHONAN KAUR KEPEGAWAIAN & ORTALA KAUR KEUANGAN MURAD, SH LALU. WIRAME, SH JIDAH, SH R ATI P PANITERA PENGGANTI : 1. Drs. MAS’UD YUSUF KAUR UMUM H. MAWARDI, SH JURUSITA / JURUSITA PENGGANTI : 4. Data Perkara Yang Diterima dan Diputus Pengadilan Agama Giri Menang Data perkara yang akan dipaparkan dibawah ini merupakan data perkara yang diterima dan diputus oleh Pengadilan Agama GIri Menang Tahun 2013 dan 2014. Perkara yang diterima dan diputus pada tahun 2013 dipaparkan secara umum, sedangkan untuk perkara tahun 2014 belum ada laporan tahunan karena mengingat tahun 2014 sedang berjalan, yang dipaparkan adalah perkara yang masuk diterima dan diputus pada bulan April 2013, karena pada bulan April terdapat perkara Permohonan Pengasuhan Anak yang diajukan oleh selain pihak keluarga, sebagaiman terdapat pada tabel data perkara sebagai berikut ; Tabel I Data Perkara Ringkas Pengadilan Agama Giri Menang Tahun 201331 31 Arsip Perkara, Panmud Hukum Pengadilan Agama Giri Menang Tahun 2013 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram 171 H. Abdullah Mustafa NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 BULAN Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah Jumlah Perkara Diterima 16 15 16 27 14 19 14 18 13 27 49 12 240 Jumlah Perkara Diputus 15 3 17 17 20 23 13 22 12 19 17 50 228 Berdasarkan laporan data perkara bagian Panmud Hukum Pengadilan Agama Giri Menang pada bulan April tahun 2010 di atas, nomor urut 44 dengan nomor perkara 04/Pdt.P/2010/PA.GM merupakan jenis perkara Permohonan Hak Kuasa Penuh Asuh Anak atau Pengasuhan Anak, yang diajukan oleh Chaim Joel Fetter alias Abdul Hayat bin Jan Jurger sebagai Pemohon I dan Abdul Gani bin Kausar sebagai Pemohon II yang disidangkan oleh Majelis C1,C6,C9,D11 dengan susunan Hj. Mariyani, SH., sebagai Ketua Majelis Hakim dan Dra. Hj. Chulailah serta Moh. Rivai, SH., sebagai Hakim Anggota, dengan didampingi oleh Izuddin, SH., sebagai Panitera Pengganti. Chaim Joel Fetter alias Abdul Hayat adalah warga Negara Belanda dengan nomor paspor BXR8D0D54, pekerjaan sebagai Pembina Yayasan Peduli Anak, tempat kediaman di Jalan Suranadi 2 Montong, Desa Selat, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, penghasilan perbulan + 80 juta, mengajukan permohonan untuk mendapat hak kuasa penuh asuh anak atau pengasuhan anak atas anak yang bernama Hidayatullah bin Abdul Gani, usia 8 tahun. Abdul Gani bin Kausar adalah Warga Negara Indonesia, pekerjaan tani, tempat kediaman di Dusun Sandik Atas, Desa Sandik, Kecamatan Batu Layar, Kabupaten Lombok Barat, sekaligus bertindak selaku orang tua kandung dari Hidayatullah. Chaim Joel Fetter telah resmi memeluk agama Islam dengan nama Abdul Hayat, pada tanggal 05 februari 2010 yang disaksikan oleh beberapa tokoh agama dan masyarakat. Setelah itu ia menikah dengan 172 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram Qawwãm• Volume 8 Nomor 2, 2014 seseorang yang bernama Martina Natra Tilova sesuai dengan ketentuan hukum Islam pada tanggal 20 Maret 2010 di Dusun Langko, Desa Langko, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Lingsar. Adapun landasan Pemohon mengajukan hak kuasa asuh atau pengasuhan anak karena kepeduliannya terhadap nasib anak terutama bidang pendidikan, sandang dan pangan. Selain itu, yang membuat Pemohon tertarik untuk mengasuh Hidayatullah karena ia melihat ada potensi yang bagus dalam diri anak tersebut karena kecerdasannya, dan terlebih lagi Hidayatullah terkena penyakit hepatitis non aktif dan bermaksud akan diobati di Singapura oleh Pemohon. Orang tua kandung dari Hidayatullah adalah Abdul Gani dan Ramlah. Abdul Gani bekerja sebagai buruh tani serabutan yang tidak menentu penghasilannya dan tidak cukup untuk memberikan penghidupan yang layak kepada keluarganya. Sedangkan ibu dari Hidayatullah yaitu Ramlah yang menderita sakit jiwa sebagaimana surat keterangan kesehatan jiwa yang dikeluarkan oleh Rumah Sakit (RSJ) Provinsi Nusa Barat (NTB) Nomor: 442/108/RSJP/I/2010 tanggal 1 februari 2010 32. Berdasarkan keterangan di atas, antara Chaim Joel Fetter alias abdul Hayat sebagai calon orang tua asuh dengan Hidayatullah sebagai calon anak asuh tidak memilki hubungan pertalian darah atau keluarga. Dengan demikian bahwa antara Chaim Joel Fetter dengan Hidayatullah tidak ada hubungan pertalian nasab atau keluarga, melainkan adalah orang lain. a. Factor-Faktor Penyebab Pengajuan Permohonan Pengasuhan Anak Berdasarkan hasil wawancara dengan Panmud Hukum Pengadilan Agama Giri Menang, ada beberapa factor penyebab pengajuan perkara permohonan pengasuhan anak dan pengangkatan anak di Pengadilan Agama. Faktor-faktor tersebut dibagi kedalam dua bagian yaitu faktor penyebab dari calon orang tua asuh atau pengasuh dan faktor penyebab dari orang tua kandung calon anak asuh. 1) Beberapa Faktor Penyebab dari Calon Orang Tua Asuh, yaitu : a) Kesepian Kesepian merupakan faktor penyebab dari calon orang tua asuh untuk mengajukan permohonan pengasuhan anak, kesepian ang dimaksud bukan karena tidak mempunyai keturunan atau tidak mempunyai anak kandung. Faktor kesepian ini biasanya disebabkan karena anakkandung sudah berumah tangga dan tidak tinggal serumah dengan orang tua, pada akhirnya orang tua merasa kesepian di rumah tanpa adanya 32 Ibid, bulan April tahun 2014. Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram 173 H. Abdullah Mustafa penghibur hati yang menghiasi hari-hari tua. Dan secara kebetulan hal ini juga dilakukan oleh Panmud Hukum Pengadilan Agama Giri Menang, hanya saja berbeda jenis perkaranya yaitu pengangkatan anak berdasarkan hukum islam. b) Tidak Mempunyai Keturunan Tidak mempunyai keturunan atau yang lazim disebut dengan mandul merupakan salah satu faktor penyebab seseorang mengajukan untuk mengasuh atau mengangkat anak, dan hal semacam ini sering kita temukan di tengah-tengah masyarakat. Dan pada umumnya orang yang mengajukan permohonan pengasuhan atau pengangkatan anak anak memiliki tingkat perekonomian memadai, sehingga besar kemungkinan bagi anak asuh atau anak angkat untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan mendapatkan kesejahteraan dalam hidup. c) Berjiwa Sosial Dengan dasar jiwa sosial yang kuat dapat mendorong seseorang untuk senantiasa membantu sesame sebagai makhluk sosial yang membutuhkan bantuan dan dukungan moril dan materil dari orang lain untuk senantiasa memperoleh hak-hak dalam hidup, seperti halnya seorang anak yang berhak atas pemeliharaan, pendidikan, sandang, pangan, dan papan. Hal tersebut menjadi salah satu motivasi seseorang untuk mengajukan permohonan pengasuhan anak atau pengangkatan anak. Perbuatan dengan dasar jiwa sosial sebagaimana dimaksud di atas, sama halnya dengan perbuatan pengasuhan anak yang dilakukan oleh Chaim Joel Fetter alias Abdul Hayat dengan mengajukan permohonan untuk mendapat hak kuasa asuh penuh atas anak yang bernama Hidayatullah. d) Sebagai Pancingan untuk Mendapat Keturunan Ada juga orang yang dengan sengaja mengasuh atau mengangkat anak untuk menjadikan anak tersebut sebagai pancingan mendapatkan anak kandung, hal ini biasanya dilakukan oleh pasangan suami-istri yang sudah cukup lama menikah akan tetapi belum dikaruniai anak, Menurut M. Saleh, istilah tersebut dalam adat suku sasak disebut dengan peras, yaitu mengambil anak dari pihak keluarga atau orang lain untuk dijadikan pacningan atau pelipur lara karena ingin memiliki anak seperti anak yang diasuh. 2) Beberapa Faktor Penyebab dari Orang Tua Kandung Calon Anak Asuh, yaitu : a) Faktor Ekonomi 174 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram Qawwãm• Volume 8 Nomor 2, 2014 Faktor ekonomi merupakan faktor utama bagi orang tua untuk melepas dan melimpahkan pemeliharaan anaknya kepada keluarga, kerabat, orang lain atau lembaga sosial. Tingkat perekonomian yang rendah mengakibatkan tarap kesejahteraan hidup menjadi rendah, dan pada akhirnya banyak orang tua yang tidak mampu memenuhi hak-hak anaknya berupa perawatan, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya, sehingga dengan landasan tersebut orang tua dengan merasa rendah hati merelakan anaknya untuk diasuh orang lain. b) Meningkatkan Kesejahteraan Anak Dalam ran3ka meningkatkan kesejahteraan anak menuju kearah perubahan yang lebih baik, bagi para orang tua yang taraf perekonomiannya pas-pasan untuk kelangsungan kehidupan keluarga, terkadang lebih memilih untuk menitipkan anaknya untuk diasuh oleh keluarga yang perekonomiannya lebih mapan, kerabat, orang lain atau lembaga demi mendapatkan penghidupan dan pendidikan yang lebih baik33. b. Prosedur Berperkara di Pengadilan Agama Bagi orang yang beragama Islam yang ingin berperkara di Pengadilan Agama harus menempuh prosedur sebagai berikut : 1) Pihak berperkara datang ke Pengadilan Agama dengan membawa surat gugatan atau permohonan. 2) Pihak berperkara menghadap petugas Meja I dan menyerahkan surat gugatan atau permohonan, minimal 2 (dua) rangkap. Untuk surat gugatan ditambah sejumlah tergugat. 3) Petugas meja Pertama (dapat) memberikan penjelasan yang dianggap perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan dan menaksir panjar biaya perkara yang kemudian ditulis dalam SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar). Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersbut,. (Pasal 182 ayat (1) HIR. Jo. Psl. 90 Undang Undang RI No. 3 Thn. 2006 Tentang Perubahan Atas Undang Undang No. 7 Thn 1989 Tentang Peradilan Agama biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara. 4) Petugas meja I menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonan kepada pihak berperkara disertai dengan SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) dalam rangkap 3 (tiga) 5) Pihak berperkara datang ke loket layanan bank yang ditunjuk dan mengisi slip penyetoran panjar biaya perkara. Pengisian data dalam slip bank tersebut sesuai dengan SKUM (Surat Kuasa 33 2014. M. Nasir SH, wawancara, Panmud Hukum Pengadilan Agama Giri Menang, 2 agustus Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram 175 H. Abdullah Mustafa Untuk Membayar), seperti nomor urut, dan besarnya biaya penyetoran. Kemudian pihak berperkara menyerahkan slip bank yang telah diisi dan menyetorkan uang sebesar yang tertera dalam slip bank tersebut. 6) Setelah pihak berperkara menerima slip bank yang telah divalidasi dari petugas layanan bank, pihak berperkara menyerahkan slip bank tersebut dan menyerahkan (SKUM) Surat Kuasa Untuk Membayar kepada pemegang kas (Kasir) 7) Pemegang Kas (Kasir) mencatat Panjar Biaya tersebut ke dalam Jurnal Keuangan Perkara serta menandatangani SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar), membubuhkan nomor perkara dan tanggal penerimaan perkara dalam SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) dan dalam surat gugatan/ permohonan sesuai dengan Nomor dan tanggal saat pencatatan dalam Jurnal Keuangan Perkara 8) Pemegang kas kemudian member tanda lunas dalam SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar), dan menyerahkan kembali kepada pihak berperkara asli SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) serta satu salinan surat gugatan atau permohonan yang telah diberi nomor perkara dan tanggal pendaftaran (pendaftaran selesai). Pihak/ pihak-pihak berperkara akan dipanggil oleh jurusita/ jurusita pengganti untuk menghadap ke persidangan setelah ditetapkan Susunan Majelis Hakim (PMH) dan hari siding pemeriksaan perkaranya (PHS). Hari sidang pertama, paling lambat 30 hari sejak pendaftaran. Pemanggilan pihak-pihak dilakukan paling lambat tiga hari sebelum persidangan (hari waktu memanggil tidak dihitung) 9) Pihak-pihak hadir di Persidangan sesuai dengan panggilan sidang 10) Setelah Majelis Hakim membacakan putusan dalam sidang yang terbuka untuk umum, Ketua Majelis memberitahukan pada Penggugat/ Pemohon untuk menghadap Kasir guna mengecek panjar biaya perkara yang bersangkutan 11) Pemohon/ Penggugat selanjutnya menghadap kepada Pemegang Kas untuk menanyakan perincian penggunaan panjar biaya perkara yang telah ia bayarkan, dengan memberikan informasi nomor perkaranya 12) Pemegang Kas berdasarkan Buku Jurnal Keuangan Perkara memberi penjelasan mengenai rincian penggunaan biaya perkara kepada Pemohon/ Penggugat 13) Pemohon/Penggugat setelah menerima kwitansi pengambilan sisa panjar biaya perkara dan menandatanganinya, kemudian menyerahkan kembali kwitansi tersebut kepada Pemegang Kas 176 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram Qawwãm• Volume 8 Nomor 2, 2014 14) Pemegang Kas menyerahkan uang sejumlah yang tertera dalam kwitansi tersebut beserta tindasan pertama kwitansi kepada pihak Pemohon/ Penggugat 15) Para Pihak dapat mengajukan Banding dalam tempo 14 hari setelah putusan dihatuhkan atau 14 hari setelah pemberitahuan amar putusan apabila pihak tidak hadir saat putusan diucapkan 34 J. PROSES PERSIDANGAN PERKARA PERMOHONAN PENGASUHAN ANAK OLEH SELAIN PIHAK KELUARGA DI PENGADILAN AGAMA GIRI MENANG. Bahwa dalam rangka menertibkan pelaksanaan peradilan di Indonesia dikenal adanya dua kewenangan untuk mengadili yaitu kewenangan absolut dan kewenangan relatif. Kewenangan absolut suatu pengadilan pada dasarnya sudah tertuang di dalam perundang-undangan yang berlaku. Sehingga ketika diajukan suatu jenis perkara maka tinggal disesuaikan dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, apakah merupakan kewenangan Pengadilan terkait atau tidak. Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 menetapkan empat jenis lingkungan peradilan, dan masing-masing mempunyai kewenangan mengadili bidang tertentu dalam kedudukan sebagai badan-badan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Untuk lingkungan Peradilan Agama, menurut Bab I Pasal 2 jo Bab III Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 ditetapkan tugas kewenangannya yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perdata bidang: (a) Perkawinan, (b) Kewarisan, wasiat, dan hibah berdasarkan Hukum Islam ; (c) wakaf dan sedekah35. Kini seiring berjalannya waktu menuju perkembangan zaman, dengan disahkannya UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Peradilan Agama memiliki tambahan kewenangan di bidang ekonomi syariah, sebagaimana telah disebutkan pada bab I dalam skripsi ini. Merujuk kepada kewenangan absolut Pengadilan Agama sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku sebagaiman telah disebutkan sebelumnya, jika dikaitkan dengan perkara Permohonan Pengasuhan Anak yang diajukan oleh selain pihak keluarga di Pengadilan Agama Giri Menang, maka terlebih dahulu jenis perkara ini harus disesuaikan dengan pengaturan kewenangan absolut Pengadilan Agama yang terdapat pada Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubah Atas UU No. 7 Tahun 1989 untuk menentukan apakah perkara tersebut merupakan kewenangan absolut Pengadilan Agama atau tidak. 34 Pengadilan Agama Giri Menang, “Prosedur Berperkara”, dalam http// www.pagirimenang.net diambil tanggal 20 juli 2014, pukul 20.30 35 Sulaikin Lubis, “Kewenangan Peradilan Agama”, dalam Gamala Dewi (Ed), Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), h. 105. Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram 177 H. Abdullah Mustafa Jenis perkara permohonan pengasuhan anak yang diajukan oleh orang lain, sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 49 bahwa tidak terdapat poin yang menyebutkan secara jelas bahwa pengasuhan anak oleh orang lain merupakan kewenangan Pengadilan Agama. Dengan tidak disebutkannya secara jelas pengaturan pengasuhan anak oleh selain pihak keluarga, secara kasat mata jenis perkara tersebut merupakan kewenangan absolut Pengadilan Agama. Dalam menyidangkan perkara Permohonan Hak Kuasa Penuh Asuh Anak atau Pengasuhan Anak yang diajukan oleh chaim Joel Fetter alias abdul Hayat atas anak yang bernama Hidayatullah, Majelis Hakim Pengadilan Agama Giri Menang menempuh beberapa langkah dalam menemukan dan menyesuaikan pengaturan jenis perkara tersebut sehingga dapat disidangkan dan menjadi bagian dari kewenangan absolut Pengadilan Agama. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang Anggota Majelis Hakim yang menyidangkan perkara Permohonan Pengasuhan Anak oleh selain pihak keluarga di Pengadilan Agama Giri Menang, upaya yang ditempuh Majelis Hakim untuk menemukan pengaturan perkara permohonan pengasuhan anak oleh selain pihak keluarga, yaitu tidak sertamerta menolah perkara tersebut dengan alasan hukum tidak ada atau kurang jelas, akan tetapi Majelis Hakim melakukan interpretasi atau berijtihad terlebih dahulu untuk mendapatkan keyakinan akan suatu kebenaran. Hal tersebut didasarkan pada Pasal 14 UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasan Kehakiman, yang berbunyi “Pengadilan tidak boleh menolah untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”, dan Pasal 27 ayat (1) “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka hakim memiliki kewenangan untuk melakukan interpretasi atau penafsiran untuk menemukan sesuatu yang belum jelas guna mendapatkan suatu kebenaran relatif dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara. Adapun sumber interpretasi pertama yang dilakukan hakim berasal dari landasan kewenangan absolut Pengadilan Agama yang terdapat pada Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006, penjelasan tentang perkawinan pada huruf (a) nomor (11) Penguasaan Anak. Dalam hal ini, Majelis Hakim berpendapat bahwa hak kuasa asuh atau pengasuhan anak sebagaimana yang dimaksud pada permohonan pengasuhan anak merupakan bagian dari penguasaan anak, sebab dalam proses pengasuhan anak, anak asuh tersebut berada di bawah kekuasaan orang tua asuh setelah adanya penetapan dari Pengadilan Agama. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), kegiatan pengasuhan anak disebutkan dalam Pasal 1 huruf (g) “Pemeliharaan anak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memelihara 178 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram Qawwãm• Volume 8 Nomor 2, 2014 dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri”, namun pasal ini belum dapat dijadikan landasan untuk menyatakan bahwa permohonan pengasuhan anak oleh selain pihak keluarga menjadi kewenangan Pengadilan. Langkah kedua yang digunakan Majelis Hakim Pengadilan Agama Giri Menang untuk menentukan bahwa perkara permohonan pengasuhan anak yang diajukan oleh selain pihak keluarga merupakan kewenangan absolut pengadilan Agama adalah dengan merujuk pada UU Nomor. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pada Pasal 1 angka (9) dan (10) mengenai pengertian anak asuh dan kuasa asuh, dan Pasal 27 sampai Pasal 41, dan khususnya melalui penjelasan Pasal 33 ayat (2) yang menjadi dasar utama untuk memperkuat bahwa permohonan pengasuhan anak oleh selain pihak keluarga merupakan kewengan absolut Pengadilan Agama, yaitu “Pengadilan yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam”. Pada pasal sebelumnya telah ditegaskan bahwa untuk dapat melakukan pengasuhan anak maka orang yang akan mengasuh harus seagama dengan anak asuh, ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 31 ayat (4) yaitu “Perseorangan yang melaksanakan pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus seagama dengan agama dianaut anak yang akan diasuhnya”. Pada Pasal 37 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2002 menyatakan “Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar, baik fisik, mental, spritual, maupun sosial”, dan pada UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 45 ayat (1) menyatakan “Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya”. Jika disesuaikan dengan hasil paparan data dan temuan pada bab II, maka orang tua dari Hidayatullah dapat dikatakan tidak dapat menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar yang pada dasarnya merupakan tanggung jawabnya sebagaimana ketentuan pasal 45 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 dan hal tersebut telah memenuhi ketentuan pada Pasal 37 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2002. Penggunaan UU Nomor. 23 Tentang Perlindungan anak pada Pengadilan Agama sedikit menjadi pembicaraan, sebab UU tersebut dianggap berlaku secara umum yang pada akhirnya melahirkan asumsi bahwa UU tersebut berlaku pada peradilan umum atau negeri. Namun, ketentuan yang terdapat UU Perlindungan Anak dengan sendirinya memberikan kewenangan absolute kepada Pengadilan Agama untuk memberikan penetpan terhadap perkara Permohonan Pengasuhan Anak oleh selain pihak keluarga atau orang lain, dan hal tersebut menjadi landasan bahwa Pengadilan Agama tidak hanya berpedoman mati dengan Undang-Undang Peradilan Agama, dan dalam hal ini juga dapat diberlakukan asas hokum lex specialis derogate lex generalis sebagaimana yang telah disebutkan pada bab I, kaidah tersebut memberikan keterangan Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram 179 H. Abdullah Mustafa untuk menepikan hukum yang umum dengan hukum yang khusus, namun sebaliknya jika tidak terdapat yang khusus kembali kepada yang umum, dan pada Kenyataannya hukum tersebut menunjuk kepada Pengadilan Agama. Hal tersebut dikuatkan juga dengan pemberlakuan hukum acara di Pengadilan Agama, pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, yaitu “Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undangundang ini”. Selain itu Majelis Hakim menggunakan penafsiran teologis yaitu hakim dapat menafsirkan undang-undang sesuai tujuan pembentukan undang-undang daripada bunyi kata-kata saja. Penafsiran ini terjadi apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Sebagaimana penjelasan pasal 49 huruf (a) nomor 11, UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 Tentang Pengangkatan Anak, dimana dalam hal pengasuhan dan pemeliharaan anak yang paling diperhatikan adalah untuk kepentingan yang terbaik bagi anak, selain itu Majelis Hakim berpendapat bahwa pengasuhan anak merupakan bagian dari penguasaan anak, sebagaimana terdapat dalam penjelasan Pasal 49 huruf (a) nomor 11 yang didasarkan pada kekuasaan dalam mengasuh. Dengan demikian Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara Permohonan Pengasuhan Anak merupakan wewenang absolut Pengadilan Agama36. Di samping itu, menurut M. Syafi’i, S.Sg37, salah seorang hakim Pengadilan Agama Giri Menang, hakikat hak kepangeasuhan seperti yang diajukan dalam permohonan pemohon satu tidak beda jauh dengan Tabanni/pengangkatan anak, karena antara keduanya yang diminta adalah hak mengasuh. Yang beda mungkin akibat hukum yang ditimbulkan oleh masing-masing bentuk penetapan hukum tersebut. Kalau tabanni atau pengakatan anak akan berakibat hukum saling mewarisi sebagai hak-hak perdata dari sementara pihak-pihak, sebagai ditetapkan dalam KHI, maka dalam hak asuh tanpa mengangkat anak boleh jadi tidak punya hak-hak perdata sebagaimana layaknya anak angkat. Terlebih lagi dalam perkara no: 04/Pdt.P/2010/PA. GM, pihak Chaim sebaga pemohon menyatakan dia hanya ingin memeiliki hak masuh tanpa mau mengangkat statust Hidayatullah menjadi anak angkat sebagaimana tertera dalam KHI. 2 Moh. Rivai, wawancara, Hakim Pengadilan Agama Giri Menang, 4 agustus 2014. dengan M.Syafi’i, Hakim PA Giri Menang, 18 September 2014. 37Wawancara 180 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram Qawwãm• Volume 8 Nomor 2, 2014 K. LANDASAN HUKUM MAJELIS HAKIM PENGADILAN AGAMA GIRI MENANG DALAM MEMERIKSA, MEMUTUS, DAN MENYELESAIKAN PERKARA PERMOHONAN PENGASUHAN ANAK Dalam pembahasan ini, pada dasarnya meliputi pembahasan pada point A yaitu proses persidangan permohonan pengasuhan anak pada Pengadilan Agama. Adapun pemisahan secara khusus pada point A yaitu untuk memberikan penjelasan mengenai proses persidangan dalan kewenangan absolut yang belum jelas di dalam Undang-Undang Peradilan Agama sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dan setelah ditemukannya fakta yang jelas dalam proses persidangan barulah suatu perkara dapat diperiksa, diputus, dan diselesaikan oleh Pengadilan Agama Giri Menang. Selain masalah kewenangan absolut dalam perkara permohonan pengasuhan anak yang diajukan oleh selain pihak keluarga di Pengadilan Agama Giri Menang yang menjadi pokok bahasan dalam skripsi ini, tentunya dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara, Pengadilan Agama Giri Menang harus berpedoman terlebih dahulu pada batas-batas daerah yurisdiksi atau wilayah kekuasaannya yang meliputi seluruh wilayah Kabupaten Lombok Barat yang kini terbagi menjadi dua Kabupaten yaitu Lombok Barat dan Lombok Utara. Menurut paparan data dan temuan yang terdapat pada bab II, kedudukan wilayah hukum para pihak yang mengajukan permohonan pengasuhan anak berdomisili di wilayah Kabupaten Lombok Barat, yaitu Pemohon I Chaim Joel Fetter alias Abdul Hayat berdomisili di Jalan suranadi 2 Montong, Desa Selat, Kecamatan Narmada, dan Pemohon II selaku ayah kandung dari Hidayatulah berdomisili di Dusun Sandik Atas, Desa sandik, Kecamatan Batu Layar. Berdasarkan ketentuan daerah yuridiksi Pengadilan Agama Giri Menang yang terdapat pada bab II, kedua alamat tersebut berada di wilayah Kabupaten Lombok Barat yang menjadi daerah kekuasaan yuridiksi Pengadilan Agama Giri Menang berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU No.3 Tahun 2006, yang kemudian menjadi landasan formil yang kemudian menjadi salah satu bagian dari landasa hukum. Dengan demikian dua unsur kewenangan yang harus dipenuhi oleh suatu Pengadilan sebagai suatu landasan hukum untuk dapat memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara, yaitu kewenangan relatif dan kewenangan absolut telah terpenuhi, maka Pengadilan Agama Giri Menang berhak memeriksa, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara Permohonan Pengasuhan Anak yang diajukan oleh selain pihak keluarga dengan nomor perkara 04/Pdt.P/2010/PA.GM. Selain itu, menurut salah seorang Anggota Majelis Hakim yang menyidangkan perkara Permohonan Pengasuhan Anak oleh selain pihak keluarga yang diajukan oleh Chaim Joel Fetter, pada dasarnya ada dua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram 181 H. Abdullah Mustafa landasan Majelis Hakim dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara tersebut yaitu landasan yuridiksi dan landasan filosofis38. 1. Landasan Yuridis Menurut Kamus Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan yuridis adalah hukum menurut hukum ; secara hukum 39. Dapat disimpulkan yang dimaksud dengan hukum menurut hukum yaitu penegakan hukum berdasarkan undang-undang yang berlaku, dan landasan ini disebut sebagai landasn hukum. Adapun landasan yuridis yang digunakan Majelis Hakim dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara permohonan pengasuan anak, yaitu penafsiran terhadap UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama, Pasal 49 huruf a, nomor (11) “Pengasuhan anak”, dan Majelis Hakim juga merujuk kepada UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, sebagaimana telah disebutkan dan dijelaskan sebelumnya. Sehinga dengan landasan undang-undang sebagaimana dimaksud, Majelis Hakim berpendapat bahwa mereka berhak memeriksa perkara tersebut. Dalam landasan yuridis ini mencakup akan ketentuan kewengan relatif dan kewengan absolut Pengadilan Agama yang telah ditetapkan dengan berbagai ketentuan, karena ketentuan tersebut menjadi sebuah pedoman aturan hukum bagi masyarakat. 2. Landasan Filosofis Filosofis artinya berdasarkan filsafat, sedangkan filsafat artinya pengetahuan dan penyelidikan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal dan hukumya; teori yang mendasari alam pikiran suatu kegiatan; ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi; falsafah40. Landasan filosofis Majelis Hakim dalam memeriksa, memutus, dan meyelesaikan perkara Permohonan Pengasuhan Anak oleh selain pihak keluarga yaitu landasan atau argumentasi yang didasari pada pemikiran berdasarkan kemaslahatan yang tidak disebutkan secara langsung di dalam perundang-undangan yang berlaku, melainkan hal tersebut berdasarkan kemaslahatan yang diperoleh dari olah pikir manusia yang didasari oleh berbagai argumen. Adapun landasan filosofis yang digunakan Majelis Hakim yaitu berdasarkan kepentingan dan kesejahteran anak dalam berbagai hal untuk menuju masa depan yang lebih baik dalam rangka saling membantu dalam kebajikan dan memberikan manfaat bagi sesama 3Ibid Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Mitra Pelajar, 2005), h. 598. h. 156. 4Haetomo, 5Ibid. 182 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram Qawwãm• Volume 8 Nomor 2, 2014 manusia yang merupakan mahluk sosial. Landasan filosofis tersebut didasari oleh Firman Allah, yaitu: “....dan tolong-menolong kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”( Al-Maidah: 2) “...dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesunguhnya telah datang kepada rasul-rasul kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, Kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi”. (Al-Maidah: 32) Selain menggunakan ayat al-Qur’an sebagai dasar landasan filosofis, Majelis Hakim berpegang kepada kaidah fiqhiyah yang berbunyi : Artinya: “Kebijakan dan perlakuan penguasa terhadap rakyat harus mengacu kepada perlindungan dan kesejahteraan rakyatnya” Majelis Hakim memandang kemaslahatan yang ditimbulkan dari pengasuhan anak oleh Pemohon I demi kepentingan dan kesejahteraan anak tersebut. L. KESIMPULAN Berdasarkan uraian pada pembahasan dan sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditetapkan, maka kesimpulan yang diperoleh dalam skripsi ini adalah: 1. Proses persidangan dalam perkara Permohonan Pengasuhan Anak oleh selain pihak keluarga di Pengadilan Agama Giri Menang ditempuh Majelis Hakim melalui dua proses, yaitu pertama dari hasil penafsiran atau interpretasi penjelasan UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, Pasal 49 huruf (a) Nomor (11) “penguasaan anak”, bahwa hak kuasa asuh atau pengasuhan anak merupakan bagian dari penguasaan anak, dan yang kedua dengan merujuk pada UU No. 23 Tahun 2002 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram 183 H. Abdullah Mustafa Tentang Perlindungan Anak, khususnya penjelasan Pasal 33 ayat (2) yang menyatakan “bahwa Pengadilan yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam”. Dengan demikian Majelis Hakim Pengadilan Agama GIri Menang yang menyidangkan perkara Permohonan Hak Kuasa Penuh Asuh Anak atau Pengasuhan Anak oleh selain pihak keluarga berkesimpulan bahwa perkara tersebut merupakan wewenangan Pengadilan Agama. 2. Landasan hukum yang digunakan Majelis Hakim Pengadilan Agama Giri Menang dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara Permohonan Hak Kuasa Asuh atau Pengasuhan Anak oleh selain pihak keluarga, secara garis besar ada dua landasan. Landasan pertama adalah landasan yuridis atau yang disebut dengan landasan hokum yaitu segala sesuatu yang didasari kepada undang-undang, didalamnya termasuk kewenangan relative yang disandarkan kepada Pasal 4 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2006 dan kewenangan absolute yang didasarkan kepada penafsiran penjelasan Pasal 49 huruf (a) nomor (11) tentang “penguasaan anak-anak”, dan dengan merujuk pada UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, khususnya penjelasan Pasal 33 ayat (2). Landasan kedua adalah landasan filosofis yang berdasarkan akal budi yaitu berdasarkan kemaslahatan anak yaitu demi kepentingan dan kesejahteraan hidup, dan landasan ini digunakan sebagai dasar putusan perkara oleh Majelis Hakim. M. SARAN-SARAN Berdasarkan hasil penelitian dalam skripsi ini, peneliti ingin memberikan beberapa saran yaitu : 1. Bagi Hakim Pengadilan Agama Giri Menang diharapkan terus meningkatkan kajian hokum secara mandiri di bidang Peradilan Agama demi terselenggaranya kekuasaan kehakiman yang mandiri dan dilaksanakan secara professional untuk menuju kemajuan di bidang hokum Peradilan Agama. 2. Bagi Fakultas Syaria’ah secara umum dan khususnya jurusan ahwal alsyakhsiyah agar dapat lebih menekankan aspek pemahaman hokum kepada mahasiswa di bidang Peradilan Agama untuk meningkatkan kualitas mahasiswa Fakultas Syari’ah. 3. Bagi rekan-rekan mahasiswa yang akan melakukan penelitian di bidang hokum Peradilan Agama hendaknya lebih meningkatkan intesitas kajian hokum agar lebih menguasai teori-teori hukum. 184 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram Qawwãm• Volume 8 Nomor 2, 2014 DAFTAR RUJUKAN A. Basiq Djalil. Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006. Abdullah Manan. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005. Abdullah Manan. Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan. Jakarta :Kencana Prenada Media Group, 2007. Ahmad Rofiq. Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2003. Ali Afandi. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum pembuktian. Jakarta: Rineka Cipta, 2000. Andi Syamsu Alam & M. Fauzan. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam.Jakarta: Pena Media, 2008. Cik Hasan Bisri. Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000. Erfanizah Zuhriah. Peradilan Agama di Indonesia. Jogjakarta: Sukses Offset, 2008. Gemala Dewi (Ed.) Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group , 2006. Huzaemah T. Yanggo. Suara Uldilag Mahkamah Agung RI Lingkungan Peradilan Agama (Vol. 3. No.X). Jakarta: Pokja Perdata Agama RI, 2007. Husaini Usman. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, 2004. Haetomo. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Mitra Pelajar, 2005. Lexy J. Meleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008. M Fauzan. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah. Jakarta: Kencana Media Prenada, 2007. M. Nur Rasaid. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2003. Muderis Zaini. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Mustofa. Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama. Jakarta: Kencana, 2008. Mohammad Daud Ali. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002 M. Ridwan Lubis (Ed). Peradilan Satu Atap dan Profesi Advokat. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005. Rasady Ruslan. Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Soedharyo Saimin. Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak. Jakarta: Sinar Grafika, 2004 Sudarsono. Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Rineka Cipta, 1994. Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram 185 H. Abdullah Mustafa Suharsini Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 1997 Soerjono & Abdurrahman. Metode Penelitian Hukum. Jakara: Rineka Cipta, 2005. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Peradilan dan Hukum Acara Islam.Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001. Yulies Tiena Masriani. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2006 186 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram