BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengeluaran Pemerintah

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah (government expenditure) merupakan cerminan
kebijakan pemerintah. Kebijakan tersebut terkait dengan kebijakan pemerintah
dalam membelanjakan pendapatan untuk membeli barang dan jasa. Kebijakan ini
diambil untuk mensejahterakan rakyatnya melalui berbagai program terutama
pelayanan di sektor publik (Mangkoesoebroto, 2003). Hal ini mencerminkan
bahwa pengeluaran pemerintah berperan dalam mempertemukan permintaan
masyarakat dengan penyediaan sarana dan prasarana yang tidak dapat dipenuhi
oleh swasta.
Jumlah pengeluaran pemerintah yang akan dilakukan dalam suatu
periode tertentu tergantung kepada banyak faktor. Beberapa faktor yang penting
diantaranya adalah: 1) jumlah pajak yang akan diterima, 2) tujuan-tujuan kegiatan
ekonomi jangka pendek dan pembangunan ekonomi jangka panjang, dan 3)
pertimbangan politik dan keamanan (Sukirno, 2000).
Menurut Basri dan Subri (2003), pengeluaran pemerintah itu sangat
bervariasi, namun secara garis besarnya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Pengeluaran yang merupakan investasi yang menambah kekuatan dan
ketahanan ekonomi dimasa yang akan datang.
2. Pengeluaran yang langsung memberikan kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat.
23
3. Pengeluaran yang merupakan penghematan terhadap masa yang akan datang.
Pengeluaran untuk menyediakan kesempatan kerja yang lebih luas dan
menyebarkan daya beli yang luas.
Pengeluaran pemerintah biasanya direncanakan jauh lebih awal.
Pemerintah membuat daftar anggaran yang akan dikeluarkan setiap tahunnya dan
dijabarkan dalam APBN. Pengeluaran pemerintah dibedakan menjadi dua yaitu:
pengeluaran negara yang tercermin pada APBN dan pengeluaran daerah yang
tercermin pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah harus dicatat dan
dikelola dalam APBD. Pengeluaran pemerintah merupakan bentuk pelaksanaan
tanggung jawab dan wewenang kepada masyarakat dan pemerintah diatasnya
(pemerintah propinsi/pusat). Pengeluaran pemerintah daerah dilakukan dalam
bentuk belanja daerah. Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah
dikatakan bahwa belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui
sebagai pengurang nilai kekayaan. Jika kita melihat APBD, maka pengeluaran
pemerintah daerah secara garis besar dikelompokkan menjadi dua golongan
sebagai berikut:
1.
Belanja Tidak Langsung
Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait
secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja tidak
langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, belanja
hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan
dan belanja tidak terduga.
24
2.
Belanja Langsung
Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara
langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja langsung terdiri
dari belanja pegawai, belanja barang/jasa dan belanja modal.
Pengalokasi dana yang bersumber dari pendapatan dan pembiayaan
daerah kepada belanja daerah ditentukan oleh kebutuhan daerah itu sendiri.
Namun pemerintah memiliki peran dalam hal ini ditunjukkan oleh besaran
pengeluaran pemerintah. Peran pemerintah dalam perekonomian juga dapat
ditunjukkan melalui pengeluaran pemerintah. Untuk mencapai kondisi masyarakat
yang sejahtera, pemerintah memiliki empat peran (Dumairy, 1999:56) yaitu:
1.
Peran alokasi, yaitu peranan pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya
ekonomi yang ada agar pemanfaatannya dapat optimal dan produktif;
2.
Peran distributif, yaitu peranan pemerintah dalam mendistribusikan sumber
daya yang ada, hasil-hasil perekonomian, secara adil dan merata;
3.
Peran stabilitatif, yaitu peran pemerintah dalam memelihara stabilisasi
perekonomian.
4.
Peran dinamisatif, yaitu peran pemerintah dalam menggerakkan proses
pembangungan perekonomian agar lebih cepat tumbuh, berkembang dan
maju
Untuk mengembangkan daerahnya, pemerintah daerah diberi wewenang
dalam mengelola dan mengatur keuangan daerahnya sendiri. Pengeluaran terbesar
pemerintah daerah biasanya lebih difokuskan untuk pendidikan. Selain itu belanja
terbesar digunakan untuk pelayanan umum.
25
2.1.1. Pengeluaran Pemerintah dalam Perekonomian
Pada sistem perekonomian campuran, partisipasi pemerintah dalam pasar
adalah sebagai pembeli barang dan jasa. Pemerintah membeli barang untuk
menyediakan kebutuhan masyarakat. Pemerintah membeli input dari rumah
tangga dan mendapatkan hak kepemilikan dari sumber produktif (modal dan
tanah). Pemerintah menggunakan input tersebut untuk menghasilkan barang dan
jasa yang tidak dijual kepada sektor rumah tangga dan perusahaan, tetapi
disediakan melalui distribusi tanpa melalui pasar.
Pembelian barang dan jasa oleh pemerintah dapat digolongkan menjadi
dua yaitu konsumsi pemerintah dan investasi pemerintah (Supriana,2013:22).
Konsumsi pemerintah adalah pembelian barang yang akan dikonsumsi, seperti
membayar gaji guru, PNS, membeli alat tulis kantor dan lainnya. Sedangkan
investasi pemerintah meliputi pengeluaran untuk membangun sarana dan
prasarana seperti jalan, sekolah, rumah sakit dan irigasi. Pemerintah juga memiliki
dan menjalankan perusahaan, seperti jasa pelayanan pos, kereta api dan lain-lain.
Untuk membayar barang dan jasa yang dipergunakannya, pemerintah
mendapatkan
pemasukan
dari
perusahaan
dan
rumah
tangga,
seperti
hasil pembayaran pajak, retribusi, royalti dan fee. Pemerintah menggunakan
sumber daya yang produktif untuk menghasilkan barang dan jasa termasuk
pertahanan, jalan, sekolah dan jasa-jasa lainnya.
Dari uraian diatas, secara sederhana sebenarnya tidak sulit untuk
mengetahui jumlah barang dan jasa yang harus disediakan oleh pemerintah daerah
26
dan anggaran yang dibutuhkan. Penyediaan barang publik ini harus disesuaikan
dengan tingkat kebutuhan masyarakat. Sedangkan kebutuhan konsumen baik
rumah tangga maupun perusahaan sangat tergantung pada tingkat pendapatan.
Kebutuhan terhadap barang jasa publik bagi masyarakat yang berpenghasilan
rendah akan berbeda dengan masyarakat yang berpenghasilan tinggi.
Teori-teori pengeluaran pemerintah dibedakan menjadi 2, yaitu teori
secara makro dan teori secara mikro. Teori Makro, digolongkan menjadi 3
(Mangkoesoebroto, 2003), yaitu:
1.
Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah
Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave, menghubungkan
perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap pembangunan ekonomi.
Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah
terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus
menyediakan prasarana. Pada tahap menengah investasi pemerintah tetap
diperlukan untuk menghindari terjadinya kegagalan pasar yangdisebabkan
oleh investasi swasta yang sudah semakin besar pula. Pada tingkat ekonomi
yang lebih lanjut, aktivitas pemerintah beralih pada bentuk pengeluaranpengeluaran untuk aktivitas-aktivitas sosial.
2.
Hukum Wagner
Hukum
Wagner
apabila pendapatan
menyatakan
bahwa
perkapita
meningkat,
dalam
secara
suatu
relatif
perekonomian,
pengeluaran
pemerintah pun akan meningkat. Peran pemerintah yang semakin besar
mengakibatkan pengeluaran pemerintah juga semakin besar. Menurut Wagner
27
ada 5 hal yang menyebabkan pengeluaran pemerintah selalu meningkat yaitu
tuntutan peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan, kenaikan
tingkat pendapatan masyarakat, urbanisasi yang mengiringi pertumbuhan
ekonomi,
perkembangan
ekonomi,
perkembangan
demokrasi
dan
ketidakefisienan birokrasi yang mengiringi perkembangan pemerintahan.
3.
Teori Peacock dan Wiseman
Teori
ini
didasarkan
pada
suatu
pandangan
bahwa
pemerintah
senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran, sedangkan masyarakat
tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai
pengeluaran pemerintah tersebut. Masyarakat mempunyai tingkat toleransi
pajak, yaitu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan
pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran
pemerintah. Menurut teori Peacock dan Wiseman, pemungutan pajak yang
semakin tinggi meskipun tarif pajak tidak berubah akan menyebabkan
pengeluaran pemerintah akan meningkat. Itulah sebabnya, dalam keadaan
normal, pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan dalam GNP yang meningkat
akan menyebabkan penerimaan pemerintah juga akan meningkat sekaligus
juga meningkatkan pengeluaran pemerintah. Teori Peacock dan Wiseman
dapat dilihat seperti Gambar 2.1. berikut:
Pertumbuhan
Ekonomi
Penerimaan
Pajak
Meningkat
Pengeluaran
pemerintah
Meningkat
Gambar 2.1. Teori Peacock dan Wiseman
Sumber: Mangkoesoebrata, 2010
28
Pertumbuhan
Ekonomi
Meningkat
Penerimaan &
Pengeluaran
Pemerintah
Meningkat
Teori mikro bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang menimbulkan
permintaan terhadap barang-barang publik serta faktor-faktor yang mempengaruhi
tersedianya barang publik. Interaksi antara permintaan dan penawaran akan
barang publik menentukan jumlah barang public yang akan disediakan melalui
anggaran belanja. Jumlah barang publik yang akan disediakan tersebut,
selanjutnya akan menimbulkan permintaan akan barang lain. Sebagai contoh,
pemerintah akan mendirikan gedung sekolah, hal ini akan mengakibatkan
permintaan terhadap barang lain yang dihasilkan oleh sektor swasta seperti: seng,
batu bata, semen dan sebagainya.
Teori mikro mengenai pengeluaran pemerintah dapat dirumuskan
(Mangkoesoebrata, 2010) sebagai berikut:
1.
Penentuan permintaan
Perkembangan pengeluaran pemerintah dapat dijelaskan oleh beberapa faktor
dibawah ini yaitu:
a. Perubahan permintaan akan barang publik.
b. Perubahan dari aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik
dan juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan.
c. Perubahan kualitas barang publik dan perubahan harga faktor produksi.
d. Perubahan harga faktor-faktor produksi.
2.
Penentuan tingkat output
Barang dan jasa publik yang disediakan oleh pemerintah ditentukan oleh
politisi yang memilih jumlah barang dan jasa yang dihasilkan. Disamping itu,
29
para politisi juga menentukan jumlah pajak yang akan dikenakan kepada
masyarakat untuk membiayai barang dan jasa publik yang akan disediakan.
2.2. Konsep Dasar Perpajakan
Perkembangan penerimaan pajak yang tercantum dalam APBN, terlihat
bahwa pajak mendominasi sumber penerimaan negara. Hal ini tentu sangat
membanggakan dimana bangsa kita sudah semakin mandiri dalam membiayai
anggaran rumah tangganya. Disisi lain, pajak juga merupakan sarana yang dapat
digunakan untuk membatasi yang kuat dan lemah, penyeimbang antara yang kaya
dan miskin (Irianto dan Jurdi, 2005). Dengan uang pajak, pemerintah dapat
menggunakannya untuk melaksanakan roda pembangunan dan memberi
pelayanan umum kepada masyarakat yang bersifat strategis yang hasilnya dapat
dinikmati seluruh lapisan masyarakat.
Menurut Soemitro, pengertian pajak adalah iuran rakyat kepada kas
negara berdasarkan UU (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa
timbal (kontra-pretasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan
untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2002).
Pengertian pajak menurut Andriani adalah iuran kepada negara (yang
dapat dipaksakan) terutama oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung atau tidak
langsung dapat ditunjuk, digunakan untuk membiayai pengeluaran umum
berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah
disempurnakan terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang ketentuan umum
30
dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang
oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang
Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2.2.1. Teori Pemungutan Pajak
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi
pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak. Teori-teori tersebut antara
lain adalah (Mardiasmo, 2006) :
1.
Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya.
Maka membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena
memperoleh jaminan perlindungan tersebut.
2.
Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan
(misalnya perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar kepentingan
seseorang terhadap negara, maka makin tinggi pajak yang harus dibayar.
3.
Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya artinya pajak harus
dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang.
Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan yaitu :
b. Unsur objektif, yaitu dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan
yang dimiliki oleh seseorang.
31
c. Unsur subjektif, yaitu dengan memperhatikan besarnya kebutuhan
materiil yang harus dipenuhi.
4.
Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan
negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu
menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.
5.
Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya menungut
pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah
tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkan kembali ke masyarakat
dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian
kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.
2.2.2. Asas Pemungutan Pajak
Asas pemungutan pajak terdiri dari (Mardiasmo, 2006):
1.
Asas domisili (asas tempat tinggal). Negara berhak mengenakan pajak atas
seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya.
2.
Asas sumber. Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang
bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
3.
Asas kebangsaan. Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu
negara.
2.2.3. Sistem Pemungutan Pajak
Dalam memungut pajak dikenal ada 3 (tiga) sistem pemungutan
(Mardiasmo, 2006), yaitu:
32
1.
Official Assessment System, yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya
pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
2.
Self Assessment System, yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak dan/atau
Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk menghitung, memperhitungkan,
membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.
3.
With Holding System, yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya
pajak yang terutang terhadap wajib pajak.
2.2.4. Pengelompokan Pajak
Menurut lembaga pemungutnya, pajak dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu:
1.
Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh),
Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Bea Meterai.
2.
Pajak Daerah, yaitu Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh: Pajak Kendaraan
Bermotor, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Hiburan.
2.3. Pajak Daerah
Menurut Marsyahrul (2004:5), Pajak daerah adalah pajak yang dikelola
oleh pemerintah daerah yang hasilnya dipergunakan untuk membiayai
pengeluaran rutin dan pembangunan daerah. Hal tersebut menggambarkan bahwa
33
pajak daerah dapat digunakan sebagai sumber pendapatan pemerintah daerah
untuk membiayai anggaran rumah tangganya. Sebagai sumber pendapatan, pajak
daerah masih merupakan sumber penerimaan pemerintah daerah yang aman dan
potensial.
Dalam UU No. 34 Tahun 2000 tentang pajak dan retribusi daerah,
disebutkan bahwa pajak daerah yang selanjutnya disebut sebagai pajak, adalah
iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa
imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
perundangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Pajak daerah untuk masingmasing Kabupaten/Kota dapat dilihat dari pos PAD dalam Laporan Realisasi
APBD.
Sebagai salah satu unsur pembentuk PAD, dalam pemungutannya pajak
daerah juga harus mempunyai dasar hukum sehingga pungutan tersebut dapat
dipaksakan. Sama halnya dengan pajak pusat, pajak daerah juga memiliki unsur
paksaan dalam pemungutannya sehingga diperlukan dasar hukum. Pungutan pajak
yang
dilakukan
oleh
pemerintah
daerah
harus
didasarkan
kepada
Keputusan/Peraturan Kepala Daerah (Perda).
Materi yang diatur dalam perda tersebut harus mematuhi peraturan
perundang-undangan yang terkait. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang
tindih pemungutan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Meskipun
demikian, hal ini tidak menjadikan otoritas fiskal sepenuhnya diserahkan kepada
pemerintah daerah. Penyebabnya karena stabilitas makro secara nasional harus
34
dijaga karena terdapat kenyataan bahwa tiap daerah memiliki kapasitas fiskal
yang berbeda (Irianto, 2012:191).
Berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 28 Tahun
2009, jenis-jenis pajak daerah yang boleh dipungut oleh daerah adalah sebagai
berikut :
1.
Pajak Provinsi, terdiri dari: Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
2.
Pajak Kabupaten/Kota, terdiri dari: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak
Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral bukan
Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung
Wallet, Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan.
2.4.
Kebijakan Desentralisasi Fiskal
Instrumen desentralisasi fiskal pada dasarnya merupakan instrumen yang
digunakan dalam penyelenggaraan pembangunan. Dengan instrumen ini, tujuan
negara untuk mensejahterakan masyarakat dapat lebih mudah dicapai. Hubungan
masyarakat dengan pemerintah daerah diharapkan dapat membuat kebijakan fiskal
di daerah sesuai dengan kebutuhan, aspirasi, prioritas dan kebutuhan daerah.
Desentralisasi dapat diartikan sebagai pelimpahan kewenangan di bidang
penerimaan anggaran atau keuangan, baik secara administrasi maupun
pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu,
salah satu makna desentralisasi fiskal dalam bentuk pemberian otonomi di bidang
keuangan (sebagian sumber penerimaan) kepada daerah merupakan suatu proses
35
pengintensifikasian
peranan
dan
sekaligus
pemberdayaan
daerah
dalam
pembangunan. Kedepannya, kebijakan pajak daerah diarahkan pada penguatan
taxing power yaitu dengan meningkatkan basis pajak daerah dan diskresi dalam
menetapkan pajak daerah. Penetapan tarif pajak daerah juga sepenuhnya
diserahkan kepada daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal merupakan langkah
penting untuk mendukung hal tersebut. Desentralisasi fiskal adalah cermin adanya
power sharing (pembagian kekuasaan), yang berupa taxing power sharing
(pembagian wewenang perpajakan).
Dalam konteks pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal, dukungan
pendanaan kepada daerah dilakukan melalui pemberian kewenangan perpajakan
daerah dan retribusi daerah. Pada tanggal 15 September 2009 telah disahkan UU
No. 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Perubahan
penting dari UU ini adalah adanya pengalihan dua jenis pajak pusat yaitu Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) sektor pedesaan dan perkotaan dan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) menjadi pajak daerah.
Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa dalam era otonomi, daerah tidak
lagi sekedar menjalankan instruksi dari pusat, tetapi benar-benar mempunyai
keleluasaan untuk meningkatkan kreativitas dalam mengembangkan potensi yang
sebelumnya bisa dikatakan terpasung. Namun dalam menetapkan jenis pajak
daerah yang wajar untuk dipungut, maka harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.
Bersifat pajak, dan bukan retribusi;
b.
Obyek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan dan mempunyai mobilitas cukup rendah serta hanya melayani
masyarakat di wilayah tersebut;
36
c.
Obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan
umum;
d.
Potensinya memadai. Hasil penerimaan pajak harus lebih besar dari biaya
pemungutan;
e.
Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif. Tidak mengganggu
sumber ekonomi dan tidak merintangi arus sumber daya antar daerah;
f.
Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat;
g.
Menjaga kelestarian lingkungan, yang berarti bahwa pengenaan pajak tidak
memberi peluang kepada pemda atau masyarakat luas untuk merusak
lingkungan.
Tujuan dari UU Nomor 28 Tahun 2009 (Mulyawan, 2010) adalah:
1. Memperbaiki kewenangan pemungutan;
2. Meningkatkan local taxing power;
3. Meningkatkan efektivitas pengawasan;
4. Meningkatkan sistem pengelolaan.
Kebijakan desentralisasi fiskal memungkinkan pemerintah daerah
memiliki sumber dana yang cukup untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat. Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat,
perlahan-lahan juga dapat berkurang. Dengan demikian, penguatan otonomi
daerah dapat terwujud. Berkenaan dengan hal itu, pemerintah daerah diharapkan
semakin mendekatkan diri dalam berbagai kegiatan pelayanan publik guna
meningkatkan tingkat kepercayaan publik. Seiring dengan semakin tingginya
tingkat kepercayaan, diharapkan tingkat partisipasi (dukungan) publik terhadap
pemerintah daerah juga semakin tinggi.
37
Seiring bertambahnya pajak daerah yang dikelola langsung oleh
pemerintah
daerah,
maka
kesempatan
bagi
pemerintah
daerah
untuk
meningkatkan penerimaan pajak daerah semakin meningkat. Dari hal tersebut di
atas, dapat kita lihat bahwa kebijakan desentralisasi fiskal merupakan bukti nyata
dari upaya pemerintah dalam pelaksanaan otonomi daerah sehingga tingkat
ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat semakin rendah.
2.5. Pertumbuhan Ekonomi
Secara singkat dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan
proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Hal penting yang perlu
ditekankan terdapat pada tiga aspek yaitu proses, output perkapita dan jangka
panjang. Pertumbuhan ekonomi adalah suatu proses, bukan suatu gambaran
ekonomi pada suatu waktu yang dinamis dari suatu perekonomian yaitu melihat
bagaimana perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu.
Pertumbuhan ekonomi membahas gerakan perekonomian dalam jangka
panjang. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mengentaskan
kemiskinan sangat tergantung pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang sebuah
negara.
Pertumbuhan
ekonomi
berarti
perkembangan
kegiatan
dalam
perekonomian menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam
masyarakat meningkat.
Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makro
ekonomi dalam jangka panjang. Dari satu periode ke periode lainnya, kemampuan
suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat. Kemampuan
yang meningkat ini disebabkan karena faktor produksi akan selalu mengalami
38
pertambahan dalam jumlah dan kualitasnya. Investasi akan menambah jumlah
barang modal. Teknologi yang digunakan berkembang. Disamping itu, tenaga
kerja bertambah sebagai akibat perkembangan penduduk dan pengalaman kerja
dan pendidikan menambah ketrampilan (Sukirno, 2006). Di dalam proses
pertumbuhan ekonomi juga dipengaruhi oleh dua macam faktor yaitu faktor
ekonomi yaitu modal dan teknologi, faktor nonekonomi yaitu sumber alamnya
dan sumber daya manusia.
2.5.1.
Teori Pertumbuhan Ekonomi
Ada beberapa teori pertumbuhan ekonomi, masing-masing teori
mengemukakan faktor-faktor apa saja yang mendorong pertumbuhan, yaitu:
1.
Teori Pertumbuhan Klasik
Menurut pandangan ahli-ahli ekonomi klasik, ada empat faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu: jumlah penduduk, jumlah stok
barang-barang modal, luas tanah dan kekayaan alam serta tingkat teknologi
yang
digunakan.
Meskipun
disadari
bahwa
banyak
faktor
yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi namun yang menjadi titik perhatian
utama adalah pertambahan penduduk. Pada awalnya, jumlah penduduk yang
sedikit dan kekayaan alam yang besar mengakibatkan tingkat pengembalian
modal dari investasi akan tinggi. Hal ini tidak akan berlangsung lama apabila
jumlah penduduk sudah terlalu banyak.
2. Teori Schumpeter
Teori Schumpeter menekankan tentang pentingnya peranan pengusaha dalam
menciptakan pertumbuhan ekonomi. Para pengusaha merupakan golongan
39
yang akan terus-menerus membuat pembaruan atau inovasi dalam ekonomi..
Adapun jenis-jenis inovasi, yaitu:
a. Memperkenalkan barang-barang baru
b. Mempertinggi efisiensi cara memproduksi dan menghasilkan barang
c. Memperluas pasar suatu barang ke pasar-pasar yang baru
d. Mengembangkan sumber bahan mentah yang baru
e. Mengadakan perubahan dalam organisasi untuk efisiensi kegiatan
perusahaan.
Menurut
Schumpeter,
makin
tinggi
tingkat
kemajuan
suatu
perekonomian maka semakin terbatas untuk mengadakan inovasi. Hal ini
akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi berjalan lambat. Pada akhirnya
akan mencapai tingkat “keadaan tidak berkembang” atau “stationary state”.
Namun berbeda dengan pandangan Klasik, pada pandangan Schumpeter
keadaan tidak berkembang dicapai ketika tingkat pertumbuhan ekonomi
tinggi.
3. Teori Harrod-Domar
Teori ini bertujuan untuk menerangkan syarat yang harus dipenuhi
perekonomian dapat mencapai pertumbuhan yang teguh atau steady growth
dalam jangka panjang. Model Harrod-Domar dibangun berdasarkan asumsiasumsi :
a. Perekonomian dalam kondisi full employment dan closed economy.
b. Tidak ada campur tangan pemerintah
c. APS sama dengan MPS, dan MPS dianggap konstan
40
d. Rasio stok kapital terhadap pendapatan dianggap tetap
e. Tidak ada penyusutan barang capital
f. Tingkat harga umum konstan (upah riil sama dengan pendapatan riil)
g. Tidak ada perubahan tingkat bunga.
Teori
Harrod-Domar
menganggap
bahwa
pertambahan
dan
kesanggupan memproduksi tidak secara sendirinya akan menciptakan
pertambahan produksi dan kenaikan pendapatan nasional. Harrod dan Domar
sependapat dengan Keynes bahwa pertambahan produksi dan pendapatan
nasional bukan ditentukan oleh pertambahan dalam kapasitas memproduksi,
tetapi
oleh
kenaikan
pengeluaran
masyarakat.
Walaupun
kapasitas
memproduksi bertambah, pendapatan nasional baru akan bertambah dan
pertumbuhan ekonomi tercipta apabila pengeluaran masyarakat mengalami
kenaikan kalau dibandingkan dengan pada masa sebelumnya.
2.5.2. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Pajak
Pajak mempengaruhi permintaan agregat {AD = C + I + G (bila
perekonomian tertutup)} secara tidak langsung melalui dispossable income dan
selanjutnya terhadap pengeluaran konsumsi. Apabila pajak naik sebesar ΔT
maka disposable income turun dengan jumlah yang sama dan pengeluaran
konsumsi juga turun sebesar : ΔC = -c ΔT d imana c adalah Marg inal
Propensity to Consume
(MPC), dan selanjutnya ΔC ini menurunkan AD
melalui proses multiplier sebesar 1/1-c x ΔC atau -c/1-c x ΔT.
Dengan
demikian kenaikan pajak cenderung untuk menurunkan output dan bersifat
deflasioner. Akan
tetapi,
apabila
penerimaan
pajak
digunakan
untuk
pembelian barang/jasa (ΔG) maka pengaruh pajak ini belum tentu deflasioner.
41
Apabila kenaikan penerimaan pajak sebesar ΔT seluruhnya digunakan untuk
pembelian barang/jasa (ΔG) maka kenaikan AD sebesar 1/1-c x ΔG.
Pengaruh netto dari kebijakan tersebut sebesar (-c/1-c x ΔT) + (1/1-c x
ΔG). Tetapi karena seluruh kenaikan
pajak
digunakan untuk pembelian
barang/jasa maka ΔT = ΔG sehingga pengaruh nettonya terhadap AD sebesar
ΔAD = ΔT = ΔG. Apabila penerimaan pajak meningkat sebesar ΔT dan
seluruhnya digunakan untuk pembelian barang/jasa sebesar ΔG maka akan
meningkatkan permintaan agregat sebesar ΔAD. Hal ini terkenal dengan dalil
Anggaran Berimbang atau Balanced Budget Multiplier (Boediono, 2001).
2.6. Jumlah Penduduk
Penduduk adalah orang-orang yang berada di dalam suatu wilayah yang
terkait oleh atura-aturan yang berlaku dan saling berinteraksi satu sama lain secara
terus menerus. Dalam sosiologi, penduduk adalah kumpulan manusia yang
menempati wilayah geografi dan ruang tertentu. Konsep penduduk menurut
Badan Pusat Statistik (BPS) adalah semua orang yang berdomisili di wilayah
geografis Republik Indonesia selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang
berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap.
Dewasa ini, penduduk merupakan subyek penting dalam pembangunan.
Penyebabnya
karena
penduduk
merupakan
penggerak
dan
pelaksana
pembangunan. Selain itu penduduk adalah sumber tenaga kerja yang dibutuhkan
untuk menggerakkan roda pembangunan.
Setiap tahun, angka pertumbuhan penduduk terus meningkat. Hal ini
menyebabkan jumlah penduduk juga semakin besar. Meningkatnya jumlah
42
penduduk menuntut konsekuensi logis adanya peningkatan sarana dan prasarana
umum, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas. Karena seiring dengan semakin
besarnya jumlah penduduk maka barang dan jasa yang dibutuhkan juga makin
besar. Hal ini memerlukan anggaran yang besar dalam membiayai kebutuhan
tersebut.
Widarjono (Budiharjo, 2003:159) mengatakan bahwa, jumlah penduduk
yang besar bagi Indonesia oleh perencanaan pembangunan dipandang sebagai
asset modal besar pembangunan tetapi sekaligus juga sebagai beban.
Pembangunan sebagai asset apabila dapat meningkatkan produksi nasional.
Jumlah penduduk yang besar akan menjadi beban jika struktur, persebaran, dan
mutunya sedemikian rupa sehingga hanya menuntut pelayanan sosial dan tingkat
produksinya rendah sehingga menjadi tanggungan penduduk yang bekerja secara
efektif.
Dalam perekonomian, penduduk dapat berfungsi ganda jika ditinjau dari
sisi permintaan dan sisi penawaran. Dilihat dari sisi permintaan, jumlah penduduk
yang besar merupakan pangsa pasar yang baik dan potensial. Karena pada sisi ini,
penduduk berfungsi sebagai konsumen harus memenuhi segala kebutuhan hidup.
Namun jika dilihat dari sisi penawaran, penduduk juga merupakan produsen yang
memproduksi barang dan jasa. Sehingga berdasarkan hal tersebut, secara teori
pertumbuhan penduduk yang besar bila diikuti oleh tingkat produktivitas yang
tinggi akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi tinggi (Putong, 2008).
43
2.6.1.
Jumlah Penduduk Terhadap Pajak
Menurut Todaro (2003), pertambahan penduduk bukanlah merupakan
masalah. Namun sebaliknya, pertambahan penduduk merupakan unsur penting
yang dapat memacu pembangunan ekonomi. Populasi yang besar merupakan
pasar yang potensial sebagai sumber permintaan akan berbagai macam barang dan
jasa. Hal ini kemudian berpengaruh menggerakkan roda perekonomian yang pada
akhirnya menciptakan skala ekonomis (economics of scale) produk yang
menguntungkan semua pihak.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida
Alisjahbana (Harian Tempo, 2014) menyatakan bahwa saat ini jumlah penduduk
Indonesia mencapai angka 255,5 juta atau 40,3 persen dari total jumlah penduduk
Asia Tenggara. Angka itu bisa menjadi kekuatan ekonomi bagi Indonesia karena
akan menjadi pangsa pasar yang sangat besar. Menurutnya, penduduk yang besar
ini akan menjadi pendorong peningkatan pendapatan per kapita penduduk
Indonesia.
Sejalan dengan teori perpajakan, Musgrave: besar kecilnya penerimaan
pajak sangat ditentukan oleh pendapatan per kapita dan jumlah penduduk. Pajak
dan pendapatan memiliki hubungan fungsional, karena pendapatan merupakan
fungsi dari pajak. Apabila pendapatan seseorang meningkat maka kemampuannya
untuk membayar pajak juga akan meningkat. Demikian juga halnya dengan
jumlah penduduk. Ketika seseorang bekerja maka dia akan mendapatkan
penghasilan. Penghasilan tersebut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup setelah dikurangi pajak. Maka semakin besar jumlah penduduk, kesempatan
44
pemerintah untuk menaikkan pendapatan daerah melalui pajak juga akan
meningkat.
2.6.2. Jumlah Penduduk dan Pengeluaran Pemerintah
Unsur pembentuk suatu negara terdiri dari rakyat, wilayah, pemerintah
yang berdaulat, dan pengakuan dari negara lain. Rakyat termasuk syarat
terbentuknya suatu negara yang bersifat konstitutif atau mutlak. Rakyat suatu
negara meliputi penduduk dan bukan penduduk (orang asing). Bukan penduduk
adalah orang yang ada di wilayah suatu negara tetapi tidak bermaksud untuk
menetap dan tinggal di negara yang bersangkutan.
Jumlah penduduk memiliki hubungan yang erat dalam menentukan
anggaran pengeluaran pemerintah. Karena meningkatnya jumlah penduduk
menuntut konsekuensi logis adanya peningkatan kebutuhan terhadap sarana dan
prasarana umum, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas, seperti sarana
pendidikan, sarana kesehatan, dan lain-lain. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut,
maka pemerintah menggunakan pendapatan yang dimilikinya untuk membeli
barang dan jasa demi memenuhi kepentingan masyarakat. Dengan demikian,
jumlah penduduk yang besar akan memerlukan anggaran yang besar. Hal ini akan
mempengaruhi besar kecilnya pengeluaran pemerintah yang diperlukan.
2.7.
Konsumsi Masyarakat
Konsumsi adalah kegiatan membeli barang dan jasa untuk memuaskan
keinginan, memiliki dan menggunakan barang dan jasa tersebut. Pengeluaran
konsumsi rumah tangga adalah nilai belanja yang dilakukan oleh rumah tangga
untuk membeli berbagai kebutuhan tersebut. Menurut Sukirno (2004:38),
45
Konsumsi adalah nilai perbelanjaan yang dilakukan oleh rumah tangga untuk
membeli berbagai jenis kebutuhannya dalam satu tahun tertentu.
Dalam perekonomian dua sektor yang terdiri dari sektor rumah tangga
dan perusahaan, digambarkan bahwa sektor rumah tangga akan memperoleh
pendapatan berupa gaji dan upah, sewa, bunga dan keuntungan. Hal ini
disebabkan karena sektor perusahaan menggunakan faktor-faktor produksi yang
dimiliki oleh rumah tangga. Sebagian besar dari pendapatan itu akan digunakan
untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan membeli barang dan jasa yang
dihasilkan oleh sektor perusahaan. Sisa pendapatan yang tidak digunakan untuk
konsumsi akan ditabung (Sukirno, 2012).
Pengeluaran konsumsi masyarakat adalah salah satu variabel makro
ekonomi dalam identitas pendapatan nasional menurut pendekatan pengeluaran.
Umumnya konsumsi masyarakat dilambangkan dengan huruf C (Consumption).
Konsumsi merupakan fungsi dari pendapatan yang dapat dibelanjakan. Keynes
menduga bahwa kecenderungan mengkonsumsi merupakan fungsi yang stabil.
Besarnya konsumsi agregat sangat bergantung kepada besarnya pendapatan
agregat. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa konsumsi akan
meningkat jika pendapatan meningkat namun peningkatan konsumsi tidak akan
sebesar peningkatan pendapatan.
Semakin tinggi tingkat pendapatan maka jarak (gap) antara pendapatan
dan konsumsi akan semakin besar. Hal ini menggambarkan bahwa semakin tinggi
pendapatan maka proporsi dari pendapatan yang ditabung juga semakin besar.
Konsumsi seseorang berbanding lurus dengan pendapatannya. Secara makro,
46
agregat pengeluaran konsumsi masyarakat berbanding lurus dengan pendapatan
nasional. Semakin besar pendapatan, makin besar pula pengeluaran konsumsi.
Demikian pula halnya dengan perilaku tabungan. Apabila pendapatan bertambah,
maka baik konsumsi maupun tabungan juga akan bertambah. Perbandingan
besarnya tambahan pengeluaran konsumsi terhadap tambahan pendapatan disebut
hasrat marjinal untuk berkonsumsi (Marginal Propensity to Consume, MPC).
Sedangkan nisbah besarnya tambahan pengeluaran konsumsi terhadap tambahan
pendapatan disebut hasrat marjinal untuk menabung (Marginal Propensity to
Save, MPS).
Pada masyarakat yang kehidupan ekonominya relatif belum mapan,
biasanya angka MPC mereka relatif besar, sementara angka MPS mereka relatif
kecil. Artinya jika mereka memperoleh tambahan pendapatan maka sebagian
besar tambahan pendapatannya itu akan teralokasikan untuk konsumsi. Hal
sebaliknya berlaku pada masyarakat yang kehidupan ekonominya sudah relatif
lebih mapan.
Pola
konsumsi
masyarakat
yang
belum
mapan
biasanya
didominasi oleh konsumsi kebutuhan pokok atau primer. Sedangkan pengeluaran
konsumsi masyarakat yang sudah mapan cenderung lebih banyak teralokasikan ke
kebutuhan sekunder atau bahkan tersier.
2.8. Review Peneliti Terdahulu
Dalam penelitian ini, penulis juga menyertakan penelitian sebelumnya
yang relevan dengan penelitian ini dan dapat dijadikan sebagai referensi, yaitu:
1.
Putriani (2011)
47
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
mempengaruhi pengeluaran pemerintah di Indonesia. Judul penelitian adalah
“Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengeluaran Pemerintah Indonesia
Periode 1999-2009”. Dengan menggunakan beberapa teori dan hasil penelitian
sebelumnya terhadap pengeluaran pemerintah. Variabel yang diteliti dalam
penelitian ini adalah jumlah penduduk, inflasi, kurs dan pertumbuhan ekonomi
dengan menggunakan data time series selama periode 1999-2009 dan dianalisis
dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Penelitian ini
menemukan bahwa faktor jumlah penduduk dan kurs, signifikan mempengaruhi
total pengeluaran pemerintah di Indonesia, sedangkan inflasi dan pertumbuhan
ekonomi kurang signifikan.
2.
Sasana (2011)
Penelitian yang berjudul: “Analisis Determinan Belanja Daerah di
Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat Dalam Era Otonomi dan Desentralisasi
Fiskal” yang dimuat dalam Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE), Maret 2011, Hal.
46–58 Vol. 18, No. 1ISSN: 412-3126. Penelitian ini mengkaji pengaruh
pendapatan asli daerah, produk domestik regional bruto, dana perimbangan, dan
jumlah penduduk terhadap belanja pemerintah daerah di Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa Barat. Dengan menggunakan regresi linear berganda metode OLS
sebagai alat analisis, penelitian ini menunjukkan bahwa produk domestik regional
bruto, transfer dana dan jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap belanja
pemerintah daerah pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat.
48
3.
Bustamam (2004)
Penelitian yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Pengeluaran Pemerintah Di Propinsi Riau (1976-2000)”. Dengan menggunakan
data time series selama periode 1976-2000, yang merupakan data sekunder dari
BPS Propinsi Riau dan dianalisis dengan menggunakan metode OLS, penelitian
ini menemukan bahwa faktor-faktor yang signifikan yang mempengaruhi
pertumbuhan total pengeluaran pemerintah di Propinsi Riau adalah jumlah
penduduk dan total pengeluaran pemerintah tahun sebelumnya. Sedangkan
pertumbuhan pengeluaran rutin secara signifikan dipengaruhi oleh investasi,
jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran rutin tahun
sebelumnya. Faktor yang signifikan mempengaruhi pertumbuhan pengeluaran
pembangunan pemerintah di Propinsi Riau adalah jumlah penduduk, pertumbuhan
ekonomi dan pengeluaran pembangunan tahun sebelumnya. Jumlah penduduk
merupakan faktor yang paling besar mempengaruhi pengeluaran pemerintah di
Propinsi Riau, terutama terhadap pengeluaran pembangunan.
4.
Ulfa (2005)
Penelitianya yang berjudul’’ Studi Analisis Kebijakan Fiskal Dan
Struktur Pembiayaan Jangka Menengah di Indonesia’’ dengan metode deskrisptif
dijelaskan dimana sisi penerimaan pemerintah sangat mempengaruhi besaran
pembiayaan yang dilakukan oleh pemerintah khususnya pada jangka menengah
serta kondisi perekonomian pada saat itu yang turut memberikan andil pada
besaran dan alokasi anggaran pengeluaran.
49
5.
Sihombing (2003)
Penelitian yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Pengeluaran Pemerintah Dengan Pendekatan Error Correction Model”.
Penelitian ini menggunakan pendekatan Eror Corection Model untuk melihat
pengaruh jangka pendek dan jangka panjang setiap faktor-faktor yang
mempengaruhi pengeluaran pemerintah tersebut. Dengan mengambil data time
series sejak tahun 1969 - 2000 dan diproses dengan Program Eviews 3.0,
penelitian ini menemukan bahwa dalam jangka pendek variabel arus modal masuk
dan inflasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap besarnya pengeluaran
pemerintah. Sementara dalam jangka panjang, hasil estimasi memperlihatkan
bahwa variabel pertumbuhan ekonomi, arus modal masuk, inflasi, pengeluaran
pemerintah tahun sebelumnya, perubahan inflasi tahunan dan perubahan
pengeluaran pemerintah tahunan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
pengeluaran pemerintah Indonesia. Namun ditemukan pula, bahwa perubahan
pertumbuhan ekonomi tahunan dan perubahan arus modal masuk tahunan tidak
memberikan pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap pengeluaran
pemerintah.
6.
Mehmood (2010)
Penelitian yang berjudul: “The Relationship between Government
Expenditure and Poverty: A Cointegration Analysis”. Dipublikasikan di
Romanian Journal of Fiscal Policy, Volume 1, Issue 1, July-December 2010,
Pages 29-37. Menggunakan data time-series periode 1976-2010 dan dianalisis
dengan menggunakan ECM model and Johnson Cointegration test respectively.
Penelitian ini mengkaji hubungan antara defisit fiskal yang disebabkan oleh
50
pengeluaran pemerintah yang melebihi jumlah pendapatan Pajak yang dipungut
dengan kemiskinan (Poverty). Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam jangka
pendek dan jangka panjang, terdapat hubungan yang negatif diantara kedua
variabel.
7.
Tayeh (2011)
Penelitian yang berjudul: ”The Determinants of Public Expenditures in
Jordan”. Dengan menggunakan data periode 1979-2000, hasil analisis
menyatakan bahwa jumlah penduduk, pengangguran dan inflasi berpengaruh
secara signifikan terhadap pengeluaran pemerintah.
8.
Taha, (2008)
Penelitian yang berjudul: “Causality Between Tax Revenue and
Government Spending in Malaysia”, dipublikasikan di The International Journal
of Business and Finance Research,Volume2,2008. Trend pemungutan pajak di
Malaysia tidak konsisten, selalu berubah sesuai dengan kondisi perekonomian.
Total penerimaan pajak memberikan kontribusi terbesar dari total seluruh
pendapatan pemerintah Malaysia. Dengan menggunakan VAR models dan data
periode 1970-2006, penelitian ini mengkaji hubungan antara penerimaan pajak
dan pengeluaran pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka
panjang, terdapat hubungan antara penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah
pada pemerintah federal Malaysia.
9.
Izzah (2014)
Penelitian yang berjudul: “Analisis Penerimaan Pajak Daerah dan
Pengeluaran Pemerintah Terhadap Perekonomian Propinsi Sumatera Utara
(VAR)”. Dengan menggunakan teknik analisis VAR dengan uji Impulse Response
51
Function (IRF), hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka panjang,
PDRB mempengaruhi penerimaan pajak daerah sekaligus mempengaruhi
pengeluaran aparatur daerah. Variabel yang paling efektif mempengaruhi
pengeluaran aparatur daerah adalah penerimaan pajak daerah.
10. Supriadi (2013)
Penelitian yang berjudul: “Kajian Hubungan Resiprokal antara
Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah (Studi Kasus di Indonesia Periode
1969-2011)”. Kajian ini menguji hubungan resiprokal antara penerimaan dan
pengeluaran pemerintah Indonesia dengan menggunakan data tahunan pada
periode 1969-2011. Disamping itu pula diteliti juga pengaruh variabel kontrol
pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan harga minyak internasional terhadap
penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Dengan menggunakan Analisis TwoStage Least Square dihasilkan kesimpulan bahwa hubungan antara penerimaan
dan pengeluaran memiliki pola hubungan yang mendukung hipotesis sinkronisasi
fiskal. Sedangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan harga minyak internasional
serta variabel dummy krisis ekonomi sebagai variabel kontrol memiliki pengaruh
yang bervariasi.
Review penelitian terdahulu diatas diringkas dalam Tabel 2.1. berikut
Tabel 2.1.
Penelitian Terdahulu
N
o
Nama
Peneliti
1 Putriani
(2011)
Judul
Penelitian
Variabel
Terikat
Variabel
Bebas
Analisis
Pengeluara Penduduk,
Faktor yg
n
inflasi, kurs
mempengaruhi Pemerintah &
Pengeluaran
Pertumbuhan
Pemerintah
Ekonomi
52
Hasil Penelitian
Dgn menggunakan
metode
OLS,Penelitian ini
menemukan bahwa
faktor jumlah
Indonesia
Periode 19992009
penduduk dan kurs,
signifikan
mempengaruhi
total pengeluaran
pemerintah di
Indonesia,
sedangkan inflasi
dan pertumbuhan
ekonomi kurang
signifikan.
2 Sasana,
Hadi
(2011)
Analisis
Belanja
Determinan Daerah
Belanja
Daerah di
Kab/Kota Prop
Jawa Barat
Dalam Era
Otonomi dan
Desentralisasi
Fiskal
3 Bustama
m (2004)
Analisis
total
Jumlah
Faktor-Faktor pengeluara Penduduk,
yang
n
Investasi,
Mempengaruh pemerintah Pertumbuhan
i Pengeluaran
Ekonomi
Pemerintah Di
Propinsi Riau
(1976-2000)
4
Studi Analisis Pembiayaa - Penerimaan dengan metode
Kebijakan n
Pemerintah deskrisptif
Fiskal dan
dijelaskan dimana
Ulfa
- PAD
- PDRB
- Dana
Perimbanga
n
- Jumlah
Penduduk
53
Penelitian ini
mengkaji pengaruh
PAD, PDRB, dana
perimbangan, dan
jumlah penduduk
terhadap belanja
pemerintah daerah
kab/kota di Provinsi
Jawa Barat. Temuan
penting penelitian
ini adalah PDRB,
transfer dana,dan
jumlah penduduk
berpengaruh positif
terhadap belanja
pemerintah daerah
dikabupaten / kota
diProvinsi Jawa
Barat.
Penelitian ini
menemukan bahwa
faktor-faktor yang
signifikan
mempengaruhi
pertumbuhan total
pengeluaran
pemerintah di
Propinsi Riau ialah
jumlah penduduk
dan total
pengeluaran
pemerintah tahun
sebelumnya.
( 2005)
Struktur
Pemerintah
Pembiayaan
Jangka
Menengah di
Indonesia
sisi penerimaan
pemerintah sangat
mempengaruhi
besaran pembiayaan
yang dilakukan oleh
pemerintah
khususnya pada
jangka menengah
serta kondisi
perekonomian pada
saat itu yang turut
memberikan andil
pada besaran dan
alokasi anggaran
pengeluaran.
5
Sihombi
Analisis
Pengeluara
ng
Faktor yang n
Mempengaruh Pemerintah
(2003)
i Pengeluaran
Pemerintah
dgn
Pendekatan
Error
Correction
Model
Pertumbuha
n ekonomi,
arus modal
masuk,
inflasi
Dengan mengambil
data time series
sejak tahun 1969 2000 dan diproses
dengan Program
Eview 3.0,
penelitian ini
menemukan bahwa
dalam jangka
pendek variabel arus
modal masuk dan
inflasi mempunyai
pengaruh yang
signifikan terhadap
besarnya
pengeluaran
pemerintah.
6
Mehmoo
d (2010)
Kemiskinan
Menggunakan data
time-series periode
1976-2010 dan
dianalisis dengan
menggunakan
ECM model and
Johnson
Cointegration test
respectively. Hasil
analisis
menunjukkan
bahwa dalam
jangka pendek dan
jangka panjang,
terdapat hubungan
The
Defisit
Relationship fiskal
between
Government
Expenditure
and Poverty:
A
Cointegration
Analysis
54
yang negatif
diantara kedua
variabel.
7
Tayeh
(2011)
The
pengeluara - jumlah
Determinants n
penduduk,
of Public
pemerintah penganggura
Expenditures
n dan inflasi
in Jordan
menyatakan bahwa
jumlah penduduk,
pengangguran dan
inflasi berpengaruh
secara signifikan
terhadap
pengeluaran
pemerintah.
8
Taha,
(2008)
Causality
pendapatan - penerimaan
Between Tax pemerintah pajak
Revenue and
Government
Spending in
Malaysia
Penelitian
menunjukkan bahwa
dalam
jangka
panjang, penerimaan
pajak yang besar
memberikan
kontribusi terhadap
pendapatan
pemerintah federal
Malaysia.
9
Izzah
(2014)
Analisis
Perekonomi - Pajak
Penerimaan
Daerah
an
Pajak Daerah
- Pengeluara
dan
n
Pengeluaran
Pemerintah
Pemerintah
Terhadap
Perekonomia
n Propinsi
Sumatera
Utara (VAR)
Dengan
menggunakan teknik
analisis VAR
dengan uji Impulse
Response Function
(IRF), hasil
penelitian
menunjukkan bahwa
dalam jangka
panjang , PDRB
mempengaruhi
penerimaan pajak
daerah sekaligus
mempengaruhi
pengeluaran
aparatur daerah.
Variabel yang paling
efektif
mempengaruhi
pengeluaran
aparatur daerah
adalah penerimaan
55
pajak daerah.
1
0
Supriadi
(2013)
Kajian
Hubungan
Resiprokal
antara
Penerimaan
dan
Pengeluaran
Pemerintah
(Studi Kasus
di Indonesia
Periode
1969-2011)
Pengeluara Pertumbuhan Dengan
n
menggunakan
Ekonomi,
Analisis Two-Stage
Pemerintah Inflasi dan
Least Square
harga
dihasilkan
minyak
kesimpulan bahwa
internasional hubungan antara
penerimaan dan
pengeluaran
memiliki pola
hubungan yang
mendukung
hipotesis
sinkronisasi fiskal.
Sedangkan
pertumbuhan
ekonomi, inflasi,
dan harga minyak
internasional serta
variabel dummy
krisis ekonomi
sebagai variabel
kontrol memiliki
pengaruh yang
bervariasi
56
Download