VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Terdapat 16 atribut yang dapat digunakan untuk menggambarkan keberlanjutan pengelolaan lahan kering yang terjadi saat ini (existing condition) pada empat jenis sumber air (curah hujan, sumur ladang, embung, dan mesin pompa air) yaitu: 1). Teknik pengolahan tanah, 2). Jenis komoditas yang diusahakan yang memiliki nilai konservasi, 3). Tingkat penggunaan pupuk anorganik dan pestisida pestisida kimia, 4). Tingkat kesuburan tanah, 5). Luas kepemilikan lahan, 6). Ketersediaan sumberdaya air, 7). Nilai ekonomi komoditas yang diusahakan, 8). Harga dan pemasaran comoditas pertanian, 9). Teknologi pasca panen, 10). Sarana dan prasarana produksi, 11). Modal usaha, 12). kelembagaan usahatani, 13). Kegiatan pembinaan, pelatihan, dan penyuluhan, 14). Frekuensi konflik, 15). Ketersediaan aturan adat, agama, dan peraturan perundang-undangan, dan 16). Media informasi. 2. Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan lahan kering di Provinsi D.I. Yogyakarta tergolong kategori buruk sampai cukup, sehingga diperlukan strategi pengelolaan yang lebih baik agar nilai keberlanjutan tersebut dapat ditingkatkan sampai masuk kategori cukup sampai baik. Pada kondisi ketersediaan air melalui curah hujan maka penguasaan petani terhadap teknologi dan modal terbatas sehingga air menjadi faktor penentu dalam keberhasilan pengelolaan lahan kering, sedangkan pada saat petani telah mampu mengadopsi penggunaan teknologi sumur ladang dan embung maka faktor penentu keberhasilan pengelolaan lahan kering adalah kesuburan tanah. Pada saat petani mampu menggunakan mesin pompa air maka faktor penentu keberhasilan pengelolaan lahan kering selain kesuburan tanah adalah ketersediaan sarana dan prasarana produksi serta stabilitas harga dan pemasaran. 3. Pola relasi gender pada dimensi ekologi dan sosial pada seluruh jenis sumber air umumnya didominasi oleh laki-laki. Pada dimensi ekonomi ketersediaan air yang terbatas pada pengelolaan lahan kering yang mengandalkan curah hujan mendorong laki-laki mencari pekerjaan lain di kota sehingga perempuan dominan pada seluruh atribut dimensi ekonomi. Introduksi teknologi penyediaan air dan pengolahan tanah pada pengelolaan lahan kering sumber air ladang dan embung mendorong nilai ekonomi hasil panen yang menyebabkan terjadinya kesetaraan gender dalam menikmati hasil panen dan penetapan harga dan pemasaran sementara pada saat petani menggunakan mesin pompa air maka dibutuhkan input produksi yang tinggi serta tuntutan kualitas pascapanen. Hal ini mendorong kesetaraan peran perempuan dan lakilaki yang seimbang. 4. Dengan keterbatasan ketersediaan air pada pengelolaan lahan kering sumber air curah hujan maka faktor penggerak (driven factor) model pengelolaan lahan kering berkelanjutan berbasis gender mengarah pada perbaikan akses dan kontrol teknik pengolahan tanah dan sumber air melalui pelatihan dan penyuluhan, sementara dengan adopsi teknologi sumur ladang dan embung maka faktor penggerak model mengarah pada perbaikan kesuburan tanah dan kesetaraan akses dan kontrol terhadap kualitas pascapanen. Pada saat petani mampu mengintroduksi mesin pompa air faktor penggerak model selain perbaikan kesuburan tanah juga mengarah pada menjamin akses dan kontrol setara petani laki-laki dan perempuan pada harga dan pemasaran dan ketersediaan sarana dan prasaran produksi. 5. Arahan kebijakan umum pengelolaan lahan kering berkelanjutan berbasis gender adalah meningkatkan akses dan kontrol yang setara pada teknik pengolahan tanah dan ketersediaan air. Arahan kebijakan khusus tiap sumber air adalah sebagai berikut : a. pada lahan kering sumber air curah hujan untuk jangka pendek arahan kebijakan adalah mengembangkan komoditas yang tidak berbasis air sedangkan pada jangka panjang mendorong akses dan kontrol setara perempuan dan laki-laki terhadap teknik pengolahan tanah dan ketersediaan air. b. pada lahan kering sumber air sumur ladang untuk jangka pendek mendorong akses dan kontrol setara perempuan dan laki-laki terhadap 197 teknik pengolahan tanah dan ketersediaan air sedangkan untuk jangka menengah dan panjang harus dapat mendorong akses dan kontrol setara terhadap peningkatan kesuburan tanah c. pada lahan kering sumber air embung untuk jangka pendek menjaga kesuburan tanah melalui peningkatan akses dan kontrol setara terhadap teknik pengolahan tanah, ketersediaan air dan pemupukan dan pestisida ramah lingkungan sedangkan untuk jangka menengah dan panjang mendorong akses dan kontrol setara terhadap peningkatan kualitas pascapanen dan memperhatikan kesediaan modal. d. pada lahan kering sumber air mesin pompa air telah menggunakan input besar dan nilai ekonomi hasil panen tinggi sehingga untuk jangka pendek adalah menjaga stabilitas harga dan pasar sedangkan untuk jangka panjang adalah mendorong akses dan kontrol setara dalam menjaga kualitas pascapanen, harga dan pasar, akses terhadap sarana dan prasarana produksi dan memperhatikan akses dan kontrol setara laki-laki dan perempuan terhadap penetapan aturan yang mengatur usahatani lahan kering. 6.2. Saran 1. Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan lahan kering Provinsi D.I. Yogyakarta termasuk ke dalam kategori buruk dan hanya satu nilai indeks yang termasuk kategori cukup berkelanjutan. Nilai indeks tersebut ditingkatkan disarankan perlu melalui upaya perbaikan masing-masing atribut pada setiap dimensi pembangunan berkelanjutan. 2. PUG di lahan kering agar berkelanjutan dan responsif gender perlu menggeser peran dan tanggung jawab laki-laki yang semula bias gender dengan peran perempuan. Untuk itu disarankan agar peran domestik perempuan dikurangi dengan introduksi teknologi dan mengalihkan sebagian peran domestiknya kepada laki-laki atau suami, anak dan orang tua. Berbagai program pertanian seperti pelatihan, penyuluhan, akses modal, penetapan aturan/kesepakatan, penyelesaian konflik, berbagai aktivitas kelembagaan yang pada umumnya hanya untuk pria agar dibuka lebar-lebar untuk perempuan. 198 3. Pemerintah Provinsi D.I. Yogyakarta disarankan perlu menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang responsif gender pada setiap program pembangunan di D.I. Yogyakarta, terutama dalam pengelolaan lahan kering karena konsep pembangunan berkelanjutan yang responsif gender dapat secara optimal mempertemukan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan yang berkeadilan dan berkesetaraan dalam pelaksanaan seluruh bidang pembangunan. 4. Pemberian skor pada analisis MDS hanya menunjukkan kondisi sesaat, sehingga dinamika yang terjadi didalam sistem itu sendiri tidak dapat digambarkan. Oleh karena itu, disarankan agar penilaian (pemberian skor) didasarkan pada perkembangan atribut dalam kurun waktu tertentu dan atau perlu ada analisis tambahan yang dapat memberikan gambaran dinamika pengelolaan lahan secara berkelanjutan. 199