A.Pendahuluan Endometriosis merupakan salah satu

advertisement
ENDOMETRIOSIS
Disusun oleh Hartono (078115052)
A. Pendahuluan
Endometriosis merupakan salah satu penyebab nyeri pelvis (dysmenorrhea,
dyspareunia) dan ketidaksuburan pada lebih dari 35% wanita usia produktif, akan tetapi
prevalensi nyata untuk penyakit ini tidak diketahui.
Secara umum, diperkirakan 1 dari 10 orang wanita menderita endometriosis. Sekitar
71-87% wanita yang mengalami nyeri pelvis dan sekitar 38% wanita yang mengalami
masalah kesuburan didiagnosis endometriosis. Biasanya dialami oleh wanita usia produktif,
dengan kemajuan penyembuhan penyakit sangat lambat, bahkan cenderung stabil/tidak
mengalami kemajuan dalam upaya penyembuhan. Pada remaja beranjak dewasa,
endometriosis yang dialami adalah endometriosis sekunder, namun rasa nyeri yang
ditimbulkan jauh lebih hebat dibanding endometriosis primer yang dialami oleh wanita
dewasa.
B. Penyebab
Penyebab endometriosis tidak diketahui, akan tetapi diduga terkait dengan siklus
menstruasi yang tidak teratur, coelomic metaplasia, dan abnormalitas sistem imun.
Meskipun penyebab pasti tidak diketahui, beberapa faktor yang terkait dengan
terjadinya endometriosis adalah siklus menstruasi yang tidak teratur, menstruasi yang terlalu
lama, abnormalitas saluran genital, kadar estrogen terlalu tinggi, dan tertimbunnya lemak
perifer. Namun ada pula endometriosis yang disebabkan karena kelainan genetik.
Turunnya kadar estrogen karena penggunaan obat kontrasepsi oral, menopause,
olahraga telah terbukti dapat mengurangi gejala nyeri pada endometriosis.
C. Patofisiologi
Nyeri yang dialami penderita endometriosis terjadi karena lesi pada ovarium mengenai
ujung saraf, sehingga dinding ovarium melepaskan prostaglandin. Bila lesi yang muncul
berupa kista/endometriomas, maka akan terjadi dyspareunia. Gejala nyeri muncul terkait
dengan pelepasan hormon estrogen dan progesteron sepanjang siklus menstruasi.
D. Penampakan klinis
Endometriosis pada hakikatnya adalah asimtomatis, namun pada penderita dapat
tampak gejala dysmenorrhea, dyspareunia, nyeri pelvis, gangguan saluran cerna, dysuria,
hematuria, nyeri punggung bagian bawah, dan defekasi yang disertai nyeri.
E. Terapi
Berdasarkan gejala yang dialami oleh penderita, maka sasaran terapi endometriosis
adalah untuk mengurangi/menghilangkan lesi ovarium, mencegah keparahan penyebaran lesi,
mengurangi rasa nyeri yang dialami, dan mencegah terjadinya masalah ketidaksuburan.
1. Terapi non-farmakologis (pembedahan)
Tindakan pembedahan pada penderita endometriosis dapat digunakan baik sebagai
penegak diagnosis maupun sebagai terapi. Tujuan pembedahan meliputi perusakan implan
ovarium, mengangkat lesi, dan mengembalikan struktur pelvis menjadi normal untuk
mengatasi masalah ketidaksuburan dan nyeri yang ditimbulkan. Bila penderita tidak
menginginkan kesuburan di masa mendatang, maka pilihan pembedahan untuk
mengangkat rahim bisa dipertimbangkan.
Teknik pembedahan pada penderita endometriosis adalah laparostomi, karena
memiliki kemungkinan komplikasi yang paling rendah. Akan tetapi sekitar 60-100%
pasien yang dilaparostomi mengalami nyeri hebat pasca-operasi, dan sekitar lebih 44%
pasien kembali mengalami nyeri endometriosis setahun pasca-operasi. Hal ini dapat
disebabkan kekurangmampuan untuk melihat letak lesi secara visual dan mengangkatnya
hingga tuntas.
2. Terapi farmakologi
a.
Obat
pilihan
utama
Obat pilihan utama untuk penderita endometriosis adalah NSAIDs, kontrasepsi oral,
atau kombinasi keduanya. Pemilihannya berdasarkan karakteristik pasien misalnya
penggunaan kontrasepsi pada pasien, pola timbulnya nyeri, dan kontraindikasi untuk
pasien tertentu. Bila pasien memberikan respon positif terhadap terapi, maka perlu
diberikan terapi untuk jangka panjang/terus-menerus karena penderita umumnya tidak
mengalami kemajuan dalam upaya penyembuhan.
Efikasi NSAIDs untuk pasien endometriosis belum pernah dievaluasi dalam uji
klinik. Akan tetapi efikasinya yang tinggi dalam terapi untuk dysmenorrhea telah
terbukti, maka diduga memiliki efikasi yang sama untuk pasien endometriosis.
Pengunaan kontrasepsi oral dapat dipilih karena dapat digunakan untuk jangka
panjang dengan efek samping yang tidak begitu signifikan. Contoh :
b. Obat alternatif
Obat alternatif yang dapat digunakan adalah progestin, danazol, dan GnRH-antagonis.
c. c. Obat untuk pasien khusus (remaja beranjak dewasa)
Tujuan terapi endometriosis untuk pasien khusus ini fokus untuk mengatasi nyeri yang
ditimbulkan. Terapi yang utama dilakukan adalah terapi farmakologis dibanding nonfarmakologis karena terkait kemampuan produktivitas memasuki masa subur wanita. Obat
pilihan utama yang diberikan adalah kontrasepsi oral karena kemampuan tubuh yang tinggi
untuk mentoleransi efek samping yang mungkin ditimbulkan. Selain itu, penggunaan
progestin juga sangat direkomendasi, meskipun penggunaannya untuk jangka panjang dapat
mengurangi densitas mineral tulang dan mengganggu profil lipid normal dalam tubuh.
Tabel 1. Terapi farmakologis untuk pasien nyeri pelvis yang disebabkan endometriosis.
Golongan obat Dosis
&
nama
generik
Kontrasepsi
1 tablet sehari
oral
NSAIDs
 Ibuprofen
 Naproxen
Progestin
 MPA

Norethindro
ne
GnRH-a
 Leuprolide
 Goserelin
 Nafarelin
Keterangan
Semua jenis
Pemberian terus menerus dapat kontrasepsi
oral
mengurangi dysmenorrhea
Kontraindikasi untuk pasien
dengan riwayat tromboemboli
atau umur >35 tahun dan
merokok
400 mg oral tiap 4-6 Perlu perhatian khusus pada
jam
pasien dengan gangguan saluran
250 mg oral tiap 6-8 nafas, ginjal, dan memiliki
jam
riwayat ulser saluran cerna
10 mg oral selama 3 Mudah ditoleransi dan lebih
bln
murah dibanding GnRH-a dan
15 mg oral 1x sehari
Nadazol
Menghambat kesuburan
11,25 mg IM tiap 3 bln
3,6 mg SC tiap bulan
200 mcg intranasal 2x
sehari
Contoh
branded
Ibufen, Proris
Inflaksen,
Naxen
Provera
-
Mengurangi massa tulang
Perlu terapi ulang
Zoladex
Jangan diberikan untuk pasien beranjak dewasa
Danazol
600-800 mg oral tiap Efek samping adrenergik harus Azol,
hari dosis terbagi
diperhatikan
Danocrine
Keterangan :
NSAIDs = Obat antiinflamasi non steroid
MPA = Medroksiprogesteron asetat
GnRH-a = Gonadotropine Releasing Hormone antagonist
IM = intramuskular
SC = subkutan
Definisi Endometriosis
Endometriosis didefinisikan sebagai ditemukannya dan bertumbuhnya kelenjar dan
stroma endometrium di lokasi heterotopik jauh dari endometrium normal. 3 Endometriosis
merupakan suatu gangguan ginekologi kronik, bersifat jinak, tergantung estrogen, yang
berhubungan dengan nyeri pelvik dan infertilitas.5
Implan endometrium ektopik ini biasanya terletak di dalam panggul,3 dengan
karakteristik ditemukannya endometrial-like tissue di luar uterus terutama pada peritoneum
pelvis, ovarium,1,2 dan septum rektovaginal,1 tetapi dapat ditemukan di tempat lainnya dalam
tubuh,3 misalnya diafragma, pleura, dan perikardium1 dan sering dikaitkan dengan nyeri dan
peningkatan risiko infertilitas.3
B. Epidemiologi Endometriosis
Endometriosis merupakan penyebab umum morbiditas pada wanita usia reproduktif. 2
Endometriosis mempengaruhi 6–10% dari wanita usia reproduktif, 50–60% dari wanita dan
remaja putri dengan nyeri panggul, dan sampai 50% wanita dengan infertilitas.1
Meskipun endometriosis ini berhubungan dengan siklus menstruasi, dapat juga
mengenai wanita postmenopause (2–5%), dan umumnya terjadi sebagai efek samping dari
pengunaan hormon.5 Endometriosis postmenopause meningkatkan risiko rekurensi dan
transformasi keganasan. Beberapa lesi endometriosis berpredisposisi untuk terjadinya kanker
clear cell dan endometriod ovarium. Endometrioma ovarium yang berdiameter 9 cm atau
lebih merupakan prediktor kuat perkembangan kanker ovarium pada wanita postmenopause
yang berumur 45 tahun atau lebih. 5
C. Faktor Risiko Endometriosis
Faktor risiko endometriosis meliputi:
-
obstruksi aliran menstruasi (misalnya, anomali mullerian),
-
paparan terhadap diethylstilbestrol di dalam uterus,
-
paparan berkepanjangan dengan estrogen endogen (misalnya, karena menarche dini,
terlambat menopause, atau obesitas),
-
siklus menstruasi pendek,
-
berat badan lahir rendah, dan
-
paparan terhadap bahan kimia yang mengganggu endokrin. 1
Studi terhadap kembar dan keluarga menunjukkan adanya keterlibatan komponen
genetik. Konsumsi daging merah dan trans fats berhubungan dengan peningkatan risiko
endometriosis yang dikonfirmasi dengan laparoskopi, dan makan buah-buahan, sayuran hijau,
dan asam lemak n-3 rantai panjang dikaitkan dengan penurunan risiko. Laktasi lama dan
kehamilan multipel bersifat protektif. Endometriosis dikaitkan dengan peningkatan risiko
penyakit autoimun, endometrioid ovarium, clear-cell karsinoma, serta kanker lainnya,
termasuk limfoma non-Hodgkin dan melanoma.1
A. Patofisiologi Endometriosis
Etiologi pasti dari endometriosis masih belum diketahui. Namun, banyak teori telah
diusulkan untuk menjelaskan presentasi klinis penyakit. Teori menstruasi retrograd oleh
Sampson merupakan penjelasan yang paling dapat diterima untuk penyakit ini. Teori ini
didukung dengan penelitian eksperimen dengan binatang dan juga oleh pengamatan klinis
selama laparoskopi yang mencatat situs umum dari keterlibatan sekitar ovarium dan dalam
kantung Douglas. Endometriosis pelvis adalah lokasi anatomi yang paling umum untuk
penyakit ini. Hemipelvis dan ovarium kiri lebih sering terkena daripada yang kanan, yang
dapat dijelaskan oleh adanya colon sigmoid di sebelah kiri yang menurunkan pergerakan
cairan peritoneal. Signifikansi klinis lateralisasi ini tidak diketahui. Keterlibatan ovarium
sering dikaitkan dengan kista endometriosis yang dikenal sebagai endometrioma atau "kista
coklat". Peritoneum pelvis, posterior cul-desac, kantong uterovesical dan uterosakral, ligamen
rotundum dan latum juga merupakan tempat-tempat umum untuk endometriosis. Keterlibatan
limfonodi pelvis ditemukan sampai dengan sepertiga dari kasus. Kadang-kadang, cervix,
vagina, dan vulva juga terlibat. Meskipun traktus genitalis merupakan sistem yang paling
sering terlibat, saluran pencernaan merupakan situs extragenital yang paling sering untuk
endometriosis. Saluran kemih adalah sistem ketiga yang paling sering terlibat, yang
mempengaruhi 10% perempuan dengan endometriosis. Bintik endometriotik kecil superfisial
ditemukan paling sering pada kandung kemih, diikuti oleh ureter. Endometrioma ovarium
bervariasi dalam ukuran, mulai dari 1 mm sampai kista coklat besar yang dapat lebih besar
dari 8 cm diameter.3
Jaringan dan sel-sel endometrium transplantasi retrograde melekat pada permukaan
peritoneal, membentuk suplai darah, dan menginvasi struktur di dekatnya. Mereka disusupi
oleh saraf sensorik, simpatik, dan parasimpatis dan mendatangkan respons inflamasi. Implan
endometriotik mengeluarkan estradiol (E2) serta prostaglandin E2 (PGE2), zat-zat yang
menarik makrofag (monocyte chemotactic protein 1 [MCP-1]), peptida neurotropik (nerve
growth factor [NGF]), enzim untuk remodeling jaringan (matrix metalloproteinases
[MMPs]), tissue inhibitors of MMPs (TIMPs), dan zat proangiogenik seperti vascular
endothelial growth factor (VEGF) dan interleukin-8. Lesi mengeluarkan haptoglobin, yang
menurunkan adhesi makrofag dan fungsi fagositosis. Lesi dan makrofag teraktivasi, yang
berlimpah dalam cairan peritoneum pada wanita dengan endometriosis, juga mensekresi
sitokin pro inflamasi (interleukin-1β, interleukin-8, interleukin-6, dan tumor necrosis factor α
[TNF-α]). Lokal (dan sistemik) estradiol dapat merangsang lesi untuk memproduksi PGE2,
yang dapat mengaktifkan serabut nyeri, meningkatkan invasi saraf lesi dengan merangsang
produksi NGF dan neurotrophins lainnya, dan meningkatkan pertumbuhan dari nosireseptor
yang berkontribusi terhadap nyeri inflamasi persisten dan menghambat apoptosis neuron.
Terjadi miseksperi dari endometrial bleeding factor (EBAF) dan dapat mengakibatkan
pendarahan rahim. Infertilitas yang merupakan hasil dari efek racun dari proses inflamasi
pada gamet dan embrio, berkompromi dengan fungsi fimbrial, dan endometrium eutopik
yang resisten terhadap aksi progesteron dan tidak cocok terhadap implantasi embrio.
Progesteron tidak meregulasi gen HoxA10, HoxA11 dan integrin αVβ3, dan dengan demikian
endometrium tidak cocok terhadap implantasi embrio. Bahan kimia yang mengganggu
endokrin dapat berkontribusi pada resistensi progesteron dan juga disfungsi kekebalan tubuh.
ERFFI1 (ErbB receptor feedback inhibitor 1) terekspresi dan adanya kelebihan sinyak
mitogenik.1
Patofisiologi Nyeri dan Infertilitas pada Endometriosis
B. Gambaran Klinis Endometriosis
Nyeri panggul yang berkaitan dengan endometriosis biasanya kronis (berlangsung ≥ 6
bulan) dan berhubungan dengan dismenore (di 50 - 90% dari kasus), dispareunia, nyeri
panggul dalam, dan nyeri perut bagian bawah dengan atau tanpa nyeri punggung dan
pinggang. Rasa sakit dapat terjadi tak terduga dan intermiten selama siklus menstruasi atau
bisa terus menerus, dan dapat terasa tumpul, berdenyut, atau tajam, dan diperburuk oleh
aktifitas fisik. Gejala yang berhubungan dengan kandung kemih dan usus (mual, distensi, dan
kenyang awal) biasanya bersifat siklik. Nyeri sering memburuk dari waktu ke waktu dan
dapat berubah sifat, nyeri yang bersifat terbakar atau hipersensitivitas jarang dilaporkan,
gejala yang bersifat sugestif dari komponen neuropatik. Adanya gejala yang tumpang tindih
dengan beberapa kondisi ginekologi lainnya (misalnya, penyakit radang panggul, adhesi
panggul, kista indung telur atau massa, leiomyomata, dan adenomiosis), dan faktor serta
kondisi non ginekologi (misalnya, irritable bowel syndrome, inflammatory bowel disease,
sistitis interstisial, nyeri myofascial, depresi, dan riwayat pelecehan seksual), membuat
diagnosis menjadi sulit.1
C. Diagnosis dan Staging Endometriosis
Pada sebagian besar penyakit, anamnesis yang lengkap akan merujuk kepada
diagnosis pada mayoritas pasien. Trias klasik gejala dari endometriosis yaitu dismenore
(kram perut pada saat menstruasi), dispareuni (nyeri pada saat bersenggama), dan
Mittleschmerz (nyeri pada pertengahan siklus atau saat ovulasi).6
Nyeri panggul kronis dan infertilitas adalah gejala yang paling umum dari
endometriosis. Nyeri panggul kronis dapat berupa nyeri siklik, nyeri nonsiklik, dismenore
sekunder, dan / atau dispareunia. Rasa sakit biasanya dimulai sebelum timbulnya menstruasi,
meningkat dengan banyaknya menstruasi, dan berkurang secara bertahap menjelang akhir
menstruasi. Dispareunia sering dalam dan sebagian besar merupakan akibat imobilitas organ
panggul akibat adhesi.3
Saat ini, metode definitif untuk mendiagnosis, penilaian stadium endometriosis dan
evaluasi terhadap rekurensi penyakit setelah pengobatan adalah visualisasi dengan tindakan
bedah.1 Saat ini, laparoskopi merupakan gold standar untuk mendiagnosis endometriosis. 3
Sistem penilaian yang telah direvisi dari American Society for Reproductive Medicine
digunakan untuk menentukan stadium penyakit (mulai dari stadium I yang menunjukkan
penyakit minimal, hingga stadium IV yang menunjukkan penyakit parah) berdasarkan
jenis,lokasi lesi, penampilan, dalamnya invasi lesi, luasnya penyakit dan adesi. Walaupun
penilaian stadium berguna dalam menentukan manajemen penyakit, stadium tidak berkorelasi
dengan beratnya nyeri atau memprediksi respons terhadap terapi untuk nyeri atau infertilitas.
Pendekatan diagnostik non-operatif seperti ultrasonografi transvaginal dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI) tidak banyak membantu dalam mendeteksi adanya adesi dan
implantasi di peritoneum dan ovarium. Namun, kedua metode pencitraan tersebut dapat
mendeteksi endometrioma ovarium dengan baik, dengan kisaran sensitivitas 80 - 90% dan
spesifisitas 60 - 98%. Karena biaya yang lebih rendah, ultrasonografi ransvaginal lebih
disukai daripada MRI dalam diagnosis endometrioma. Doppler ultrasonografi dapat
membantu dalam menetapkan diagnosis, karena dapat menunjukkan karakteristik aliran darah
sedikit ke endometrioma, aliran normal pada jaringan ovarium normal, dan aliran yang
meningkat pada tumor ovarium.1 Kadar CA-125 mungkin meningkat pada endometriosis,
tetapi tes ini tidak dianjurkan untuk tujuan diagnostik karena rendahnya sensitivitas dan
spesifisitas.1,3 Interval rata-rata antara timbulnya rasa sakit dan diagnosis definitif (bedah)
adalah 10,4 tahun. 1
D. Penatalaksanaan Endometriosis
Terapi endometriosis memiliki dua tujuan, yaitu mengendalikan rasa sakit dan
penekanan produksi estrogen.4 Terapi jangka panjang terhadap pasien dengan nyeri pelvis
kronis yang berhubungan dengan endometriosis melibatkan rangkaian berulang terapi medis,
terapi bedah, atau keduanya.1,6 Dalam kebanyakan kasus, rasa sakit muncul kembali dalam
waktu 6 sampai 12 bulan setelah selesainya terapi.1
1.
Terapi Medis
Terapi medis empiris umumnya dimulai untuk mengontrol rasa sakit tanpa konfirmasi
bedah. Terapi tersebut dimaksudkan untuk mengurangi rasa sakit melalui berbagai
mekanisme, termasuk meminimalkan peradangan, mengganggu atau menekan siklus produksi
hormon ovarium, menghambat aksi dan sintesis estradiol, dan mengurangi atau
mengeliminasi mens.1
Analgesik merupakan terapi nonspesifik, tetapi merupakan bagian terapi medis yang
penting dan satu-satunya modalitas terapi yang tepat untuk wanita yang menginginkan
kehamilan.6 Anti inflamasi non-steroid (AINS) biasanya efektif, karena implan endometriosis
mengeluarkan prostaglandin dan sitokin, yangmana produksinya diturunkan oleh AINS.
Asetaminofen saja memang kurang efektif tapi cukup baik bila dikombinasi dengan AINS
lainnya, atau sebagai monoterapi pada pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap AINS. 6
AINS biasanya digunakan untuk mengurangi dismenore, meskipun suatu studi acak
terkontrol tidak menunjukkan penurunan nyeri yang signifikan akibat endometriosis dengan
menggunakan AINS dibandingkan dengan plasebo dan tidak ada keunggulan salah satu AINS
di atas lainnya.1 Haruslah dicatat bahwa AINS sebaiknya dihindari pada masa sekitar ovulasi
pada wanita yang menginginkan kehamilan, karena penggunan AINS kronik berhubungan
dengan sindrom luteinized unruptured follicle wall; blokade terhadap prostaglandin
menghambat pecahnya dinding folikel yang menyebabkan keluarnya ovum, sehingga
fertilisasi dicegah. Pada nyeri hebat, terutama pada dismenore yang berat diperlukan suatu
narkotik.6
Kontrasepsi oral kombinasi dapat digunakan secara siklis atau kontinu untuk nyeri
terkait endometriosis dan biasanya dikombinasikan dengan AINS, meskipun berhubungan
dengan tingkat kegagalan 20 - 25%. Pendekatan ini merupakan terapi lini pertama pada
pasien tanpa kontraindikasi terhadap penggunaan kontrasepsi oral kombinasi. Agonis GnRH
efektif mendeplesi pituitari dari gonadotropin endogen dan menghambat sintesisnya lebih
lanjut, sehingga mengganggu siklus menstruasi dan mengakibatkan keadaan hipoestrogenik,
atrofi endometrium, dan amenore. 1
Karena terapi agonis GnRH memiliki efek samping yang cukup besar, termasuk
hipoestrogenik yang dapat menyebabkan hilangnya tulang hingga 13% selama 6 bulan (yang
sebagian reversibel pada penghentian terapi), maka terapi penambahan kembali estrogenprogestagen yang direkomendasikan. Estrogen threshold hypothesis menunjukkan bahwa
mempertahankan tingkat estradiol antara 30 dan 45 pg per mililiter (109 dan 164 pmol per
liter) akan mempertahankan kepadatan mineral tulang tanpa menstimuli penyakit. Meskipun,
skor untuk nyeri panggul, pelunakan, dan dismenore diperbaiki dengan penggunaan regimen
kombinasi norethindrone asetat dengan dosis 5 mg sehari dengan agonis GnRH yang
merupakan suatu estrogen kuda terkonjugasi pada dosis 0,625 mg, atau keduanya, tetapi tidak
ketika 5 mg asetat norethindrone dikombinasikan dengan dosis yang lebih tinggi (1,25 mg)
estrogen kuda terkonjugasi. Dalam waktu 1 tahun, kepadatan mineral tulang dipertahankan
pada baseline pada semua kelompok yang menerima terapi penambahan kembali. Efek terapi
penambahan kembali hanya progestin terhadap kepadatan tulang menunjukkan hasil yang
tidak konsisten pada orang dewasa dan remaja. 1
Sejak lesi endometriotik mengekspresikan aromatase dan mensintesis estradiol
mereka sendiri, penekanan produksi estradiol ovarium mungkin tidak sepenuhnya mengontrol
rasa sakit. Studi terbatas yang melibatkan sejumlah kecil pasien menunjukkan bahwa
inhibitor aromatase (pada dosis lebih rendah daripada yang digunakan untuk pengobatan
kanker payudara) adalah efektif dalam mengurangi nyeri panggul, dengan efek yang mirip
dengan terapi hormon lainnya. Aromatase inhibitor, bagaimanapun, tidak disetujui oleh FDA
untuk nyeri terkait endometriosis.1
Danazol merupakan pengobatan awal untuk endometriosis, namun efek samping
androgeniknya membatasi penggunaannya secara klinis. Dalam studi kecil, antiprogestagens
seperti mifepristone menunjukkan dapat mengurangi rasa sakit, namun data studi acak yang
lebih besar masih kurang.1
2.
Terapi Bedah
Pendekatan
bedah
untuk
menghilangkan
nyeri
yang
berhubungan
dengan
endometriosis dapat digunakan sebagai terapi lini pertama atau dimulai setelah terapi medis
gagal. Prosedur bedah termasuk eksisi, fulgurasi, atau ablasi laser dari implan endometriosis
pada peritoneum, eksisi atau drainase atau ablasi endometrioma, reseksi nodul rektovaginal,
lisis adhesi, dan gangguan jalur saraf. Percobaan random terkontrol telah menunjukkan
bahwa pada 6 bulan, ablasi laparoskopi dari implan endometriosis adalah 65% efektif dalam
mengurangi nyeri, dibandingkan dengan pengurangan nyeri oleh laparoskopi diagnostik saja
(22%). Suatu percobaan kecil yang membandingkan ablasi laparoskopi dengan pengobatan
agonis GnRH menunjukkan pengurangan rasa sakit yang sama dengan dua pendekatan.
Rekurensi nyeri yang membutuhkan terapi adalah hal yang umum (30 - 60% dari pasien)
dalam waktu 6 sampai 12 bulan setelah pengobatan. Analisis data gabungan dari dua
percobaan acak yang melibatkan 164 perempuan yang membandingkan antara eksisi
laparoskopi dengan drainase atau ablasi endometrioma dengan diameter lebih besar dari 3 cm
menunjukkan bahwa penurunan rekurensi dismenore, dispareunia, dan nyeri pada eksisi
sebanding dengan tindakan bedah lebih lanjut. Sebuah strategi alternatif untuk mengontrol
nyeri yang berhubungan dengan endometriosis adalah dengan interupsi pada jalur saraf.
Sedangkan ablasi segmen ligamen uterosakral belum terbukti efektif, percobaan random
terkontrol telah menunjukkan keunggulan laparoskopi ablasi jaringan endometriotik
dikombinasikan dengan neurektomi presakral (pengangkatan bundel saraf di dalam segitiga
interiliaca) di atas ablasi laparoskopi saja dalam memperbaiki dismenore dan mengurangi
nyeri berat. Penggantian hormon pascaoperasi harus mencakup estrogen dan progestagen,
karena estrogen saja dapat merangsang pertumbuhan penyakit mikroskopis. 1
3.
Terapi Ajuvan
Pada wanita dengan penyakit lanjut (stadium III atau IV), dismenore sedang sampai
parah, dan nyeri panggul nonsiklik, terapi medis pascaoperasi dapat memperbaiki manajemen
nyeri dengan menyediakan kontrol terhadap rekurensi sisa penyakit mikroskopis. Sebuah
meta-analisis dari 6 penelitian random bahwa dibandingkan 3 sampai 6 bulan pengobatan
pasca operasi dengan agonis GnRH, danazol, atau kontrasepsi oral kombinasi tanpa
perawatan pasca-operasi atau plasebo menunjukkan penurunan yang signifikan dalam skor
nyeri pada akhir terapi dalam kelompok terapi aktif, meskipun manfaatnya tidak konsisten
dengan follow up yang lebih lama (untuk 18 bulan) setelah penghentian terapi. Interval ratarata antara operasi dan rekurenai gejala membutuhkan terapi alternatif secara signifikan lebih
lama bagi pasien yang menerima pengobatan pasca operasi dengan agonis GnRH (> 24
bulan) dibandingkan dengan pasien yang menerima plasebo (12 bulan). 1
Ketika membandingkan pilihan terapi pasca operasi yang berbeda-beda, suatu studi
lainnya menunjukkan bahwa penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim yang mengandung
levonorgestrel-releasing pasca operasi menghasilkan penurunan rekurensi dismenore yang
lebih besar daripada pengobatan dengan agonis GnRH, meskipun pengobatan ini belum
diadopsi secara luas.3
4.
Managemen Infertilitas
Sebuah meta analisis besar dari percobaan acak mengevaluasi suprei ovarium dengan
kontrasepsi oral kombinasi, agonis GnRH, medroxyprogesterone acetate, atau danazol
dibandingkan dengan plasebo atau tanpa pengobatan pada wanita dengan berbagai stadium
endometriosis tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam kehamilan spontan atau
tingkat kelahiran hidup. Dengan demikian, agen ini tidak dianjurkan untuk pengobatan
infertilitas dan tidak harus menunda terapi kesuburan efektif. Terapi gonadotropin dan
inseminasi intrauterine, serta fertilisasi in vitro (IVF), merupakan terapi efektif pada wanita
dengan infertilitas dan endometriosis. Ablasi lesi endometriosis dengan melisiskan adesi
dianjurkan untuk pengobatan infertilitas yang terkait dengan endometriosis stadium 1 atau 2.1
Download