III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Sumberdaya Manusia Sumberdaya manusia adalah sumberdaya yang memiliki akal, perasaan, keinginan, kemampuan, dan keterampilan. Sumberdaya manusia sangat penting karena merupakan unsur sumberdaya yang bertugas mengoperasikan usaha. Sumberdaya manusia sebagai salah satu faktor produksi merupakan unsur utama dalam menciptakan dan merealisasikan peluang bisnis (Moeljono 2005). Menurut Griffin dan Ebert (2005), sumberdaya manusia mencakup kontribusi orang-orang baik secara fisik maupun mental saat mereka melakukan produksi di dalam perekonomian. Konsep mengenai sumberdaya manusia selalu dikaitkan dengan pengelolaannya dalam mencapai tujuan perusahaan. Pengelolaan sumberdaya manusia termasuk dalam kegiatan manajemen sumberdaya manusia. Menurut Mangkunegara (2002), manajemen sumber daya manusia dapat didefinisikan sebagai pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya yang ada pada individu (karyawan). Menurut Griffin dan Ebert (2005), manajemen sumberdaya manusia adalah serangkaian aktivitas organisasi yang diarahkan pada usaha menarik, mengembangkan, dan mempertahankan angkatan kerja yang efektif. Manajemen sumberdaya manusia yang baik sangat penting dalam mencapai hasil kerja yang optimal dan sesuai dengan yang diharapkan oleh perusahaan. 1.1.2 Budaya Perusahaan (Corporate Culture) Budaya adalah sebagai gabungan kompleks asumsi, tingkah laku, cerita dan mitos, metafora, dan berbagai ide lain yang menjadi satu untuk menentukan apa arti menjadi anggota masyarakat tertentu (Stoner et al. 1996, diacu dalam Moeljono 2005). Schein (1992), diacu dalam Ndraha (2005) mendefinisikan budaya sebagai suatu pola asumsi dasar yang dimiliki oleh kelompok ketika memecahkan masalah penyesuaian eksternal dan integrasi internal. Ndraha (2005) menyebutkan beberapa fungsi budaya, antara lain sebagai identitas/citra suatu masyarakat, sebagai pengikat, sebagai sumber, sebagai kekuatan penggerak dan pengubah, sebagai kemampuan membentuk nilai tambah, sebagai pembimbing 11 pola perilaku, sebagai substitusi formalisasi, dan sebagai mekanisme adaptasi terhadap perubahan. Salah satu aspek budaya dalam masyarakat adalah budaya organisasi. Organisasi merupakan kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasikan, yang bekerja atas dasar yang terus-menerus untuk mencapai tujuan bersama (Robbins 1990, diacu dalam Ndraha 2005). Ndraha (2005) menyebutkan bahwa organisasi dapat diamati sebagai living organism dimana ada organisasi sebagai input dan ada organisasi sebagai output. Organisasi sebagai input terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu visi dan misi, sumber-sumber (SDA, SDM, dan SDB), dan dasar hukum. Seiring waktu, organisasi sebagai input berubah menjadi organisasi sebagai output. Dasar hukum menjadi faktor pembentuk struktur organisasi, sumber-sumber menjadi faktor utama pembentuk manajemen organisasi, sedangkan visi dan misi menjadi faktor utama pembentuk budaya organisasi. Budaya organisasi menurut Robbins (2003) adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi suatu sistem dari makna bersama. Sistem makna bersama merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi. Menurut Schein (1992), diacu dalam Ndraha (2005), budaya organisasi adalah pola dari asumsi–asumsi yang dipelajari oleh organisasi selama proses–proses pemecahan persoalan dan pengambilan keputusan dalam rangka melakukan adaptasi dengan lingkungan eksternal dan melakukan integrasi internal, yang selama ini telah terbukti efektif, sehingga perlu untuk diajarkan pada anggota baru sebagai cara memandang, berpikir, merasa, dan bertindak yang benar. Menurut Ndraha (2005), terdapat beberapa pelaku budaya yang dapat menyumbangkan budayanya kepada organisasi, yaitu pendiri, pemilik, pengurus, karyawan, pelanggan, konsumen, stakeholder, stockholder, masyarakat, pemerintah, mitra usaha, anak perusahaan, pemasok, pesaing, lawan, musuh, korban, mangsa, dan lingkungan. Budaya perusahaan (corporate culture) adalah aplikasi budaya organisasi terhadap suatu badan usaha (perusahaan). Schein (1991), diacu dalam Tika (2008) membagi budaya perusahaan dalam tiga tingkatan, yaitu: 12 1. Artifacts adalah elemen budaya perusahaan yang paling luar dari budaya perusahaan karena dapat dilihat dan konkret. Hal-hal yang termasuk dalam artifact, antara lain produk, objek, material, desain bangunan, teknologi, bahasa, cerita, mitos, seragam, upacara, simbol, bahkan pola perilaku individu atau organisasi. Artifact mudah di observasi, akan tetapi artifact hanya menggambarkan sekilas budaya organisasi, karena arti yang berada dibalik artifact tidak mudah untuk diinterpretasikan. 2. Espoused Values merupakan elemen dasar budaya perusahaan yang mengarahkan perilaku. Beliefs termasuk di dalamnya dan lebih berkaitan dengan apa yang dipikirkan seseorang sebagai benar atau salah. Nilai berkaitan dengan moral dan etik sehingga berperan menentukan apa yang seharusnya dilakukan seseorang. Espoused values dibentuk dari nilai-nilai, strategi, visi dan misi, atau filosofi organisasi, namun tahapannya masih di hafalan, peraturan, atau baru mulai ditransfer melalui usaha-usaha secara sadar dan terencana. 3. Basic Underlying Assumptions merupakan bagian terdalam dari budaya perusahaan yang mendasari nilai, sikap, dan keyakinan para anggotanya. Asumsi ini biasanya tumbuh dari standardisasi penyelesaian masalah yang berulang-ulang dan menjadi hal yang tidak sadar dan selalu menjadi dasar dalam penyelesaian masalah-masalah serupa. Menurut Ndraha (2005), budaya organisasi adalah genus, sedangkan budaya perusahaan adalah spesinya. Menurut Moeljono (2005), budaya korporat (corporate culture) adalah sistem nilai-nilai yang diyakini semua anggota organisasi dan yang dipelajari, diterapkan serta dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat, dan dapat dijadikan acuan berperilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan. Menurut Robbins (2003), budaya perusahaan yang kuat dapat menjadi pengganti bagi formalisasi. Budaya yang mampu diterapkan dengan sepenuh hati atau tanpa paksaan akan menjadi budaya yang kuat sehingga dapat menjadi kendali perilaku formal. Menurut Sobirin (2007), diperlukan adanya sharing dan kesadaran sosial seluruh anggota dalam memelihara budaya, baik dengan cara formal maupun 13 informal. Cara formal dimulai pada saat perusahaan akan merekrut karyawan baru. Cara informal dilakukan kepada karyawan yang sudah lebih dulu menjadi karyawan tetap. Hal ini dilakukan dengan cara membiarkan karyawan mempelajari, memahami, dan menjiwai sendiri budaya yang telah berjalan. Elemen artifact, seperti cerita dan ritual dapat digunakan untuk memelihara budaya. Karyawan cukup diingatkan secara berulang-ulang mengenai budaya yang ada sehingga karyawan menjadi terbiasa menerapkan budaya tersebut. 3.1.3 System Development Life Cycle (SDLC) Budaya perusahaan pada umumnya telah dibentuk oleh pendiri sejak awal berdirinya perusahaan tersebut. Namun, terdapat perusahaan yang belum menerapkan budaya perusahaan secara jelas. Merumuskan budaya perusahaan pada perusahaan yang sedang atau telah berjalan lebih sulit sehingga memerlukan tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk menemukan rumusan budaya perusahaan yang sesuai. Siswanto, selaku Manajer APJ Surabaya Utara, menyebutkan mengenai proses perumusan suatu budaya organisasi memakai metode yang umum atau lazim, yaitu melalui pendekatan penelitian dengan mencari umpan balik dimana satu atau dua peneliti melakukan wawancara dengan beberapa orang yang sangat berperan (key managers).5 Hasil wawancara dikumpulkan dan dibuat ikhtisar dari pandangan-pandangan individual yang nantinya harus dikomunikasikan kepada karyawan untuk dibahas kelayakannya. System Development Life Cycle (SDLC) merupakan suatu alat atau metode untuk membangun atau mengembangkan suatu sistem. Namun, tahapan dalam metode ini merupakan tahapan yang umum sehingga dapat digunakan untuk merumuskan budaya perusahaan pada perusahaan yang sedang berjalan. Menurut O’Brien (2005) rangkaian sistem SDLC terdiri dari lima tahap, yaitu: 1. Tahap investigasi Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan dan permasalahan yang terjadi sehingga didapat alternatif solusi penyelesaian masalah. Hal ini dapat dilakukan dengan cara wawancara, penyebaran kuisioner, 5 Focus Group Discussion (FGD), maupun Siswanto, H. 2010. Filosofi Melandasi Budaya Perasuhaan Yang Operasional. http://infodis.plnjatim.co.id/v2/?mod=berita&pro=detail&id=17 [3 Mei 2012] 14 pengamatan langsung mengenai kondisi atau situasi saat aktivitas kerja berlangsung di lapang untuk mengetahui budaya yang cocok untuk diterapkan. 2. Tahap analisis Pada tahap ini, analisis dilakukan terhadap hasil yang didapatkan pada tahap investigasi. Tahap analisis bertujuan untuk memahami dan mendokumentasikan kebutuhan dari perumusan suatu budaya perusahaan. Kegiatan pengolahan data dilakukan pada tahap ini. Nilai-nilai budaya yang paling banyak dipilih oleh responden akan masuk sebagai pertimbangan dalam merumuskan budaya perusahaan. 3. Tahap perancangan Pada tahap ini akan disusun suatu desain dari hasil analisis yang telah dilakukan. Tahap ini merupakan kegiatan menentukan bagaimana desain budaya perusahaan akan memenuhi tujuan yang ditetapkan oleh pendiri usaha. Peneliti akan merancang budaya perusahaan yang dianggap sesuai dengan karakteristik sumberdaya manusia perusahaan yang bersangkutan dan dapat menjadi solusi dari masalah yang dihadapi. 4. Tahap implementasi Implementasi merupakan suatu kegiatan untuk mewujudkan desain yang telah disusun menjadi bagian penting yang akan dilaksanakan oleh semua karyawan. Pada tahap ini juga dilakukan pengujian terhadap budaya perusahaan yang telah disusun. Evaluasi dilaksanakan setelah budaya perusahaan diterapkan (diuji) dalam jangka waktu tertentu. Pada tahap ini peneliti dapat mengetahui nilai-nilai budaya apa saja yang telah diterapkan oleh karyawan maupun yang belum diterapkan. 5. Tahap pemeliharaan Pada tahap pemeliharaan, budaya perusahaan telah diuji dan dievaluasi sehingga dihasilkan umpan balik dari para responden. Umpan balik tersebut selanjutnya dijadikan bahan untuk pengembangan atau perbaikan dari budaya perusahaan yang telah diuji. Kekurangan atau ketidaksesuaian dalam desain budaya perusahaan yang telah disusun akan diperbaiki sehingga diperoleh budaya perusahaan yang sesuai. Jika budaya 15 perusahaan tersebut sudah sesuai dan dapat diterapkan oleh hampir seluruh karyawan pada tahap implementasi, maka budaya perusahaan tersebut harus “dipelihara” atau harus dilaksanakan oleh seluruh karyawan untuk seterusnya hingga jangka waktu tertentu. 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Persaingan bisnis yang ketat dialami oleh usaha restoran di Kota Bogor yang juga dialami oleh Restoran Karimata. Restoran Karimata merupakan salah satu usaha restoran yang terletak di daerah Bogor dengan lokasi yang strategis. Restoran ini menawarkan menu khas yang berbeda dari restoran lainnya di Bogor. Para konsumen pun menjadi tertarik untuk berkunjung ke restoran ini. Namun, restoran ini masih mengalami masalah dalam hal sumberdaya manusia yang dapat mempengaruhi pelayanan kepada konsumen. Hal ini terlihat dari masih adanya beberapa karyawan yang mempunyai motivasi kerja yang rendah sehingga pelayanan kepada konsumen menjadi kurang maksimal. Hal tersebut menjadi kelemahan dari usaha ini sehingga harus segera diatasi agar dapat menjadi kekuatan. Restoran Karimata hingga saat ini juga belum memiliki visi dan misi secara jelas dan tertulis sehingga karyawan yang tidak mengerti akan tujuan pemilik memiliki kontribusi yang rendah dalam mencapai tujuan. Akibatnya, para karyawan hanya bekerja demi kepentingan diri sendiri sehingga sulit untuk mengatur perilaku karyawan. Hal tersebut juga berdampak pada kualitas pelayanan yang diberikan kepada konsumen sehingga menimbulkan adanya kritik atau keluhan dari konsumen yang merasa tidak terlayani dengan baik. Langkah awal yang dapat dilakukan adalah dengan merumuskan visi dan misi Restoran Karimata secara jelas dan tertulis. Langkah selanjutnya adalah memperbaiki kualitas pelayanan melalui perbaikan perilaku kerja dan kompetensi karyawan. Hal ini dapat dilakukan dengan merumuskan suatu budaya perusahaan yang sesuai untuk diterapkan di Restoran Karimata. Budaya perusahaan sebagai pengganti formalisasi merupakan solusi yang sesuai untuk mengatasi permasalahan yang dialami Restoran Karimata. Hal ini dikarenakan budaya perusahaan mengandung seperangkat kepercayaan, nilai, dan norma yang dapat membimbing perilaku karyawan. 16 Perumusan visi dan misi secara jelas dan tertulis merupakan langkah awal yang dilakukan karena visi dan misi merupakan faktor utama pembentuk budaya restoran. Perumusan visi dan misi ini masih termasuk rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam merumuskan budaya perusahaan Restoran Karimata. Perumusan visi dan misi Restoran Karimata ini akan dilakukan bersama dengan pemilik restoran karena pemilik adalah pihak yang menentukan tujuan dan makna dari pendirian usaha. Rumusan budaya perusahaan akan ditemukan berdasarkan tingkatan budaya Schein (1991), diacu dalam Tika (2008), yaitu artifacts, espoused values, dan basic underlying assumptions. Metode yang digunakan untuk merumuskan budaya perusahaan dalam penelitian ini adalah mengikuti tahapan-tahapan dalam metode System Development Life Cycle (SDLC) yang terdiri atas lima tahap. Pada tahap investigasi setelah merumuskan visi dan misi secara tertulis dilakukan kegiatan mendapatkan daftar elemen tingkatan budaya yang akan menjadi atribut dalam kuisioner. Pada tahap analisis dilakukan kegiatan penyebaran kuisioner kepada dua tipe responden, yaitu responden internal dan eksternal serta kegiatan pengolahan dan analisis data hasil penyebaran kuisioner. Pada tahap perancangan dilakukan kegiatan perumusan budaya perusahaan Restoran Karimata. Pada tahap implementasi dilakukan uji coba penerapan rumusan budaya perusahaan Restoran Karimata. Pada tahap pemeliharaan dilakukan evaluasi hasil penerapan budaya perusahaan untuk menilai kesesuaiannya dengan Restoran Karimata. Budaya perusahaan yang telah dianggap sesuai akan diterapkan di Restoran Karimata untuk seterusnya dalam jangka waktu tertentu. Kerangka pemikiran operasional penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. 17 Persaingan usaha restoran di Kota Bogor meningkat Restoran Karimata mengalami masalah pengelolaan sumberdaya manusia dan harus meningkatkan kualitas pelayanan Perumusan visi dan misi secara tertulis Perumusan budaya perusahaan berdasarkan tingkatan budaya menurut Schein, yaitu: 1. Artifacts 2. Espoused values 3. Basic underlying assumptions System Development Life Cycle (SDLC) 1. Tahap investigasi 2. Tahap analisis 3. Tahap perancangan 4. Tahap implementasi 5. Tahap pemeliharaan Budaya Perusahaan Restoran Karimata Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional 18