1 URGENSI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH BAGI PELAKU USAHA KECIL Nur Wanita* Abstract Minor business is one of the enterprise sector that have a noteworthy role in the economy of a country. This is partly due to the enterprise sectors was able to overcome some of the problems macro economics, especially in addressing unemployment and poverty, especially in Indonesia. However, the business sector has not been able to contribute the maximum due to the absence of support from financial institutions banking. Therefore, most of the minor businesses are not able to meet the requirements set by the banks. As the solution is through microfinance institutions syariah. Islamic microfinance Foundation is more geared to help lower economic community, especially minor businesses who want to develop their business. Keywords: unemployment, proverty, microfinance 1. Pendahuluan Permasalahan yang seringkali dihadapi oleh sebagian besar negara adalah masalah kemiskinan dan pengangguran. Masalah tersebut semakin bertambah ketika terjadi krisis moneter, dimana dampaknya pun sangat dirasakan di Indonesia. Ketika Indonesia di terpa krisis moneter yang berkepanjangan, yang berlangsung hampir dua tahun lamanya sejak awal Juli 1997, kondisi perekonomian Indonesia menjadi tidak menentu. Dampak yang diakibatkan oleh adanya krisis moneter tersebut sangat berpengaruh terhadap berbagai aspek hidup 2 Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015 dan kehidupan bangsa,1 baik terhadap para pelaku usaha, lembaga keuangan, pun terhadap masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Pada saat krisis moneter melanda, lembaga keuangan yang ada, khususnya perbankan konvensional tidak memiliki ketersediaan dana liquid yang cukup untuk operasionalnya karena nilai tukar yang merosot tajam. Nasabah peminjam yang sebagian besarnya berasal dari kalangan pelaku usaha besar (perusahaan besar) tidak mampu mengembalikan dana pinjaman karena tingginya nilai suku bunga yang ditetapkan, sehingga mengakibatkan terjadinya kredit macet. Kredit macet tersebut pada akhirnya berimplikasi pada ketidakmampuan pihak perbankan untuk mengembalikan dana pinjaman kepada Bank Indonesia. Selain itu, juga disebabkan oleh kecenderungan perbankan yang kurang mengembangkan sektor rill, karena lebih cenderung bermain pada transaksi spekulatif berdasarkan suku bunga. Selain berdampak pada perbankan, pun berdampak pada pelaku usaha, khususnya para pelaku usaha besar (perusahaan besar). Banyak dari perusahaan-perusahaan besar yang mengalami kebangkrutan dan sebagian lainnya terpaksa mengurangi kuantitas produksinya yang pada akhirnya berdampak pada pengurangan jumlah tenaga kerja yang dimilikinya. Sebagian karyawan terpaksa harus di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Hal ini menyebabkan semakin bertambahnya jumlah pengangguran. Demikian pula halnnya terhadap masyarakat, dimana kemampuan daya beli masyarakat menjadi menurun yang diakibatkan oleh kenaikan harga-harga di pasaran, sehingga secara tidak langsung menyebabkan bertambahnya jumlah masyarakat/penduduk miskin. Dengan demikian, akibat terjadinya krisis moneter di antaranya menyebabkan semakin bertambahnya jumlah pengangguran dan jumlah kemiskinan. 1 Juanita, Pengaruh Krisis Ekonomi Terhadap Pelayanan Kesehatan (Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara, 2003) Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015 3 Menurut hasil survei Bank Dunia bekerja sama dengan Ford Foundation Dan Badan Pusat Statistik (1998) menegaskan bahwa sebagai akibat dari krisis moneter, masalah pengangguran, hilangnya penghasilan, dan kesulitan memenuhi kebutuhan pokok merupakan masalah-masalah sosial yang sangat dirasakan pada waktu itu. Karena ketiga hal itu merupakan masalah pelik yang dihadapi masyarakat pada umumnya, sehingga masalah-masalah tersebut ditempatkan sebagai masalah prioritas yang harus segera diselesaikan.2 Untuk mengantisipasi masalah pengangguran dan kemiskinan, khususnya pasca krisis, sebagian masyarakat yang memiliki kemauan dan kemampuan produktif berusaha melakukan upaya-upaya mandiri untuk membuat suatu usaha yang dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan mereka dalam skala kecil. Kegiatan usaha mereka ini sering disebut sebagai usaha kecil. Dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, pelaku usaha ini tetap mampu bertahan di tengah gejolak krisis moneter. Oleh karena itu, geliat usaha kecil inilah yang menjadi tulang punggung ekonomi kerakyatan sejak saat itu hingga sekarang. Semakin bertambahnya jumlah pelaku usaha kecil ini, terutama pacsa krisis moneter, di antaranya disebabkan oleh perubahan cara pandang (mindset) sebagian masyarakat dari semula sebagai pegawai atau karyawan menjadi seorang wirausaha (entrepreneur). Ketahanan sektor usaha kecil ini terhadap gejolak ekonomi, mendorong berbagai pihak untuk mulai melirik potensi usaha kecil ini. Berbagai upaya untuk memperkuat sektor ini terus dilakukan baik oleh pemerintah selaku pemangku kebijakan, pihak swasta, yakni lembaga keuangan/ perbankan yang cukup perhatian terhadap sektor ini, atau pun masyarakat yang secara langsung menjadi motor penggerak dengan terus menjamurnya sektor usaha ini. Di antara kebijakan pemerintah tersebut adalah memberikan kemudahan bagi pelaku usaha kecil untuk mendapatkan akses modal 2 Euis Amalia, Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam; Penguatan Peran LKM dan UKM Di Indonesia, Ed.I, Cet. I (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 5. 4 Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015 guna mengembangkan usahanya, salah satunya yakni melalui lembaga keuangan. Selain itu, posisi pihak swasta seperti halnya lembaga keuangan mempunyai peran strategis dalam membantu maju dan berkembangnya sektor ekonomi masyarakat kecil ini, apalagi kolaborasi lembaga keuangan dengan operasional yang berprinsip syariah yang sudah teruji ampuh dan lebih resisten pada masa krisis moneter. Mengingat bahwa tidak semua lembaga keuangan perbankan yang ada dapat melayani kebutuhan modal pelaku usaha kecil, sementara pada kenyataannya kegiatan ekonomi rakyat lebih didominasi oleh para pelaku usaha kecil, maka sebagai solusinya adalah melalui pengembangan lembaga keuangan mikro (microfinance), yakni suatu model penyediaan jasa keuangan bagi masyarakat yang memiliki usaha pada sektor paling kecil yang tidak dapat mengakses modal atau pembiayaaan dari lembaga keuangan bank karena berbagai keterbatasannya. Kehadiran lembaga keuangan mikro, khususnya lembaga keuangan mikro syariah tersebut, diharapkan memberikan peluang bagi pelaku usaha kecil untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas usahanya menjadi terbuka, di samping dapat menghindarkan mereka dari para rentenir. 2. Pembahasan a. Pengertian dan Karteristik Usaha Kecil Pengertian usaha kecil tidak selalu sama antara satu negara dengan negara lainnya. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan usaha kecil ini dalam lingkup Indonesia, maka berikut akan dikemukakan pengertian usaha kecil dengan mengacu kepada Undang-undang Nomor 9 tahun 1995 tentang usaha kecil, Bank Indonesia, serta Badan Pusat Statistik. Menurut Undang-Undang nomor 9 tahun 1995 tentang usaha kecil, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan usaha kecil adalah segala kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015 5 sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.3 Adapun kriteria usaha kecil menurut undang-undang ini adalah sebagai berikut : 1) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau 2) Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah, 3) Milik warga negara Indonesia, 4) Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar. 5) Berbentuk usaha perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi (pasal 5 ayat 1) Pengertian tersebut di atas sama dengan pengertian menurut Bank Indonesia No.5/18/PBI/2003.4 Adapun usaha kecil yang dimaksud dalam undang-undang tersebut meliputi juga usaha informal dan usaha kecil tradisional, dimana usaha informal adalah usaha yang berlum terdaftar dan belum berbadan hukum (antara lain petani penggarap, pedagang asongan, pedagang keliling, pedagang kaki lima, dan pemulung), sedangkan usaha kecil tradisional adalah usaha yang meenggunakan alat produksi sederhana yang telah digunakan secara turun temurun, dan/ atau berkaitan dengan seni budaya.5 Departemen keuangan memberi kriteria khusus mengenai usaha kecil yang termuat dalam keputusan menteri keuangan RI No.316/ 3 Noer Sutrisno, Peranan perbankan sebagai sumber Pembiayaan Golongan Ekonomi Lemah dan Koperasi, (Jakarta: Departemen Kehakiman, 1994), h. 16 4 Peraturan Bank Indonesia No.5/18/PBI/2003 tentang Pemberian Bantuan Teknis Dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro dan Kecil, Diakses melalui www. bi.go.id. 5 Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Propinsi Sulawesi Selatan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, h. 7-12. 6 Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015 KMK.616/1994 tentang pedoman pembinaan usaha kecil dan koperasi melalui pemanfaatan dana dari bagian laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Keputusan tersebut membahas apa yang dimaksud dengan usaha kecil dan kemudian didefinisikan sebagai : perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan usaha dengan omzet pertahun setinggi-tingginya Rp. 600 Juta”. Definisi yang berbeda diberikan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang membagi usaha kecll menjadi dua kelompok, yaitu : 6 1) Industri kecil adalah usaha industri yang memiliki investasi peralatan kurang dari Rp. 70 juta, investasi per tenaga kerja maksimum Rp. 625 ribu, jumlah pekerja di bawah 20 orang, serta aset dalam penguasaannya tidak lebih dari Rp. 100 juta, 2) Perdagangan kecil, yaitu usaha yang bergerak di bidang perdagangan dan jasa komersial yang memiliki modal kurang dari 80 juta dan perusahaan yang bergerak di bidang usaha produksi atau industri yang memiliki modal maksimal Rp. 200 juta. 7 Badan Pusat Statistik pun memberikan batasan yang sederhana, dimana usaha kecil difokuskan pada industri manufaktur dengan menggunakan kriteria serapan tenaga kerja antara 5-19 orang.8 Masih berkaitan dengan pengertian usaha kecil, sesuai kesepakatan bersama antara Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) dan Gubernur Bank Indonesia tentang Penanggulangan Kemiskinan melalui pemberdayaan dan pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah, No. 11/KEP/MENKO/KESRA/IV/2002 – No.4/2/KEP GBI/2002 tanggal 22 April 2002, dijelaskan bahwa kredit usaha kecil 6 Gunawan Sumodiningrat, Perlu Lembaga Keuangan Kerakyata, Media KUK, No. 15 (Jakarta, 1996), h. 411. 7 Ibid. 8 Marzuki Usman, Kiat Sukses Pengusaha Kecil, Jurnaal Keuangan dan Moneter dan Institut Banker Indonesia (Jakarta: IBI, 1998), h. 18. Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015 7 adalah kredit dengan jumlah plafon sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).9 Jika melihat dari pengertian usaha kecil tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa pengertian usaha kecil yang sekaligus termuat di dalamnya kriteria dari usaha kecil itu sendiri adalah mencakup aspek pengelompokkan usahanya, kepemilikan, tenaga kerja yang diserap dan jumlah plafon pembiayannya. b. Peran Usaha Kecil dalam Perekonomian UMKM dalam perekonomian suatu negara memiliki peran yang sangat penting dan strategis, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lainnya. Secara nasional, peranan yang dimainkan oleh pelaku usaha kecil ini dapat ditinjau dari beberapa aspek, yakni: 1) Dari segi jumlah/kuantitas. Usaha kecil ini merupakan salah satu kegiatan ekonomi rakyat (selain usaha mikro dan menengah) yang mendominasi kegiatan ekonomi khususnya di Indonesia, di banding usaha besar. Hal ini dapat dilihat dari sumber Bappenas, 10 bahwa data usaha kecil mikro pada tahun 2007 adalah sebanyak 41,30 juta unit (99,85 %), usaha menengah berjumlah 61,05 juta unit (0,14 %), dan usaha besar sebanyak 2,2 juta unit (0,0005 %). Dari data tersebut di atas menunjukkan bahwa dari segi jumlah, maka pelaku usaha kecil lebih besar dan mayoritas dalam struktur pelaku usaha di tanah air (Indonesia), dan terdapat dalam setiap sektor ekonomi.11 2) Dari segi serapan tenaga kerja 9 Djiko Retnadi, Kunci Sukses Lembaga Keuangan Mikro; Pahami Karakteristik Orang kecil, Situs www.compas.com, Sabtu, 13 September 2003. 10 Euis Amalia, Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam, h. 9. 11 Di Indonesia, menurut sektor ekonomi terbagi ke dalam 9 kelompok, yakni: 1) pertanian, peternakan, dan kehutanan, 2) Pertambangan dan penggalian, 3) Industri pengolahan, 4) listrik, gas, dan air bersih, 5) bangunan, 6) perdagangan, hotel dan restoran, 7) pengangkutan dan komunikasi, 8) jasa keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, 9) jasa-jasa. Lihat Nurul Huda, dkk, Ekonomi Makro Islam; Pendekatan Teoritis, Ed. I, Cet.II (Jakarta: Kencana, 2009), h. 23. 8 Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015 Dari sisi historis, usaha kecil merupakan sektor usaha yang telah terbukti berperan strategis dalam mengatasi akibat dan dampak krisis moneter yang pernah melanda Indonesia. Secara nasional, sektor usaha kecil ini terbukti mampu memberikan kontribusi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini. Kedudukan yang strategis dari sektor usaha kecil ini dikarenakan keunggulan yang dimiliki oleh sektor usaha ini dibanding usaha besar, yakni kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja, dan menggunakan sumber daya lokal, serta usahanya yang relatif bersifat fleksibel. Sektor usaha kecil ini, secara ekonomi berfungsi menyediakan barang dan jasa bagi konsumen yang berdaya beli rendah dan sedang. 12 Usaha kecil sendiri pada dasarnya sebagian besar bersifat informal. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sektor usaha ini relatif mudah untuk dimasuki oleh pelaku-pelaku usaha baru, sehingga persoalan pengangguran dan kemiskinan sedikit banyak dapat ditanggulangi dan implikasinya adalah pendapatan. Bukan tidak mungkin poduk-produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha kecil ini menjadi substitusi bagi produk-produk usaha besar yang mengalami kebangkrutan.13 Banyak produk yang telah dihasilkan oleh para pelaku usaha kecil yang kemudian dimanfaatkan kembali oleh anggota masyarakat lainnya untuk dijadikan sebagai lahan bisnis/usahanya dengan skala yang kecil pula, demikian seterusnya (sebagai contoh, usaha pembuatan tahu atau tempe, dimana hasil produksi tahu tersebut memberi peluang terbukanya usaha kecil lainnya seperti penjual gorengan atau usaha sejenisnya). Selain memiliki kontribusi dalam penyerapan tenaga kerja, sektor usaha ini juga lebih banyak menggunakan sumber daya lokal, 12 Zainul Arifin Memahami Bank Syariah; Lingkup Peluang, Tantangan dan Prospek (Jakarta: Alvabet, 1999), 108 13 Euis Amalia, Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam, h. 8, Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015 9 baik dari segi bahan baku produksi maupun dari segi sumber modal yang dipergunakan. Hal ini tentu berbeda dengan usaha skala besar yang dalam kegiatan produksinya sangat tergantung dengan barang-barang impor serta bertopang pada fasilitas pemerintah termasuk pembiayaan. Karena itu, usaha kecil ini tidak menjadi beban negara. 14 Keunggulan lain yang dimiliki oleh usaha kecil ini adalah sifat usahanya yang fleksibel. Fleksibilitas sektor usaha ini yang menyebabkannya mampu bertahan dan menyesuaikan diri dalam kondisi krisis ekonomi. 3) Dari segi kontribusinya dalam pembentukan PDB. Sektor usaha kecil ini menjadi penopang ekonomi nasional dan menyumbang sebesar 53,3 % dari PDB nasional. 15 Hal ini dikarenakan sebagian besar pelaku usaha kecil terdapat dalam setiap sektor ekonomi. Dengan demikian, maka secara umum, usaha kecil memiliki peranan yang sangat besar yang meliputi solusi masalah pengangguran di Indonesia, mampu memberikan pelayanan ekonomi yang luas kepada masyarakat, sehingga secara tidak langsung dapat berperan dalam proses pemerataan dan pendapatan masyarakat, serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan dapat mewujudkan stabilitas nasional pada umumnya dan stabilitas ekonomi pada khususnya. c. Lembaga Keuangan Mikro Syariah 1) Pengertian Lembaga Keuangan Mikro Syariah Untuk Memahami pengertian lembaga keuangan paling tidak dapat dipahami dari apa yang dikemukakan dalam SK Menteri Keuangan RI No. 792 Tahun 1990 bahwa lembaga keuangan adalah semua badan yang kegiatannya di bidang keuangan, melakukan penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama guna membiayai 14 Ibid. 15 Ibid. 10 Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015 investasi perusahaan.16 Lembaga keuangan sering disebut juga sebagai lembaga intermediasi, karena perannya sebagai lembaga intermediasi/ perantara antara pihak yang kelebihan dana (surplus) dengan pihak yang kekurangan dana (defisit). Dari segi kelembagaan, lembaga keuangan dapat digolongkan kepada 2 golongan yakni lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank. 17 Sementara itu, kata “mikro” pada penyebutan lembaga keuangan mikro syariah lebih menunjukkan kepada tataran ruang lingkup/ cakupan yang lebih kecil, dengan asumsi perbandingan bahwa lembaga keuangan besar salah satunya adalah berbentuk bank dengan modal berskala besar, maka lembaga keuangan mikro adalah bentukan lain dari bank atau sejenisnya yang mempunyai capital kecil dan diperuntukkan untuk sektor usaha mikro dan kecil.18 Lembaga Keuangan Mikro atau lebih populer disebut microfinance, didefinisikan sebagai penyedia jasa keuangan bagi pengusaha kecil dan mikro serta berfungsi sebagai alat pembangunan bagi masyarakat pedesaan.19 Selanjutnya, menurut Tohari, sebagaimana yang dikutip oleh Euis Amalia,20 bahwa LKM adalah lembaga yang memberikan jasa keuangan bagi pengusaha mikro dan masyarakat berpenghasilan rendah, baik formal, semi formal, dan informal, atau dengan kata lain, LKM merupakan lembaga yang melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan bagi pengusaha kecil dan mikro serta 16 Meskipun dalam peraturan tersebut lembaga keuangan diutamakan untuk membiayai investasi perusahaan, namun tidak berarti membatasi kegiatan pembiayaan lembaga keuangan. Dalam kenyataannya, kegiatan usaha lembaga keuangan bisa diperuntukkan bagi investasi perusahaan, kegiatan konsumsi, dan kegiatan distribusi barang dan jasa. Y. SriSusilo, dkk, dalam Andri Sumitra M.A, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Ed. I, Cet. II (Jakarta: Kencana, 2010), h. 27. 17 Syamsu Iskandar, Bank dan Lembaga Keuangan lainnya (Jakarta: In Media, 2013), h. 2. 18 Apit Farid, Eksistensi (atikel) Lembaga Keeuangan Mikro dalam Memberdayakan ekonomi Masyarakat Kecil Menengah (artikel) diakses melalui http://dicsgoogle.com 19 Euis Amalia, Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam, h. 48. 20 Ibid. Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015 11 masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak terlayani oleh lembaga keuangan formal dan telah berorientasi pasar dan tujuan bisnis. Dalam Draft awal Rancangan Undang-Undang Nomor XXX Tahun 2001 tentang Keuangan Mikro dan Draft kedua Nmor XXX Tahun 2007 tentang Lembaga Keuangan Mikro, bahwa lembaga keuangan mikro didefinisikan sebagai badan usaha keuangan yang menyediakan layanan jasa keuangan mikro, tidak berbentuk bank, tidak berbentuk koperasi, serta bukan pegadaian, tetapi termasuk Badan Kredit Desa (BKD) dan Lembaga Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP) yang tidak memenuhi persyaratan sebagai bank, selanjutnya disebut sebagai Lembaga Keuangan Mikro Bukan Bank Bukan Koperasi (LKM B3K) atau selanjutnya disingkat LKM. Lembaga jasa keuangan ini melakukan kegiatan penghimpunan dana dan pemberian pinjaman dalam jumlah kecil dan penyediaan jasa-jasa terkait. Sementara itu, pengertian kredit mikro/keuangan mikro (microfinancei), didefinisikan Bank Indonesia sebagai kredit yang diberikan kepada para pelaku usaha produktif, baik perorangan maupun kelompok yang mempnyai hasil penjualan paling banyak Rp. 100 juta pertahun. 21 Terkait dengan bentuk kelembagaan dari lembaga keuangan mikro di Indonesia ini oleh BI (Bank Indonesia), bahwa lembaga keuangan mikro ini dibagi ke dalam dua kategori, yakni lembaga keuangan mikro berbentuk bank dan lembaga keuangan mikro non bank. Untuk kategori pertama, contohnya adalah BRI Unit Desa, Bank Perkreditan Rakyat/ BPR (sekarang disebut sebagai Bank Pembiayaan Rakyat), dan Badan Kredit Desa. Sedang untuk kategori kedua terbagi lagi kepada dua kategori yakni yang formal seperti Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Unit Simpan Pinjam (USP), Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP), dan yang non formal seperti Baitul Maal Wat Tamwil (BMT).22 Adapun kata “syariah” dapat dipahami bahwa lembaga keuangan mikro syariah adalah badan yang melakukan kegiatan-kegiatan di bidang 21 Ibid., h. 49-50. 22 Ibid, h. 50. 12 Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015 keuangan dengan menarik uang dari masyarakat dan menyalurkan uang tersebut kembali ke masyarakat dengan menggunakan prinsip syariah dan berskala mikro. Dari penjelasan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa lembaga keuangan mikro syariah merupakan lembaga keuangan yang berskala mikro yang berbentuk bank maupun non bank, yang ditujukan untuk melayani kebutuhan masyarakat ekonomi menengah ke bawah. 2) Urgensi Lembaga keuangan mikro syariah bagi pelaku usaha kecil Dalam perekonomian modern, lembaga keuangan memiliki peran yang sangat strategis dalam pengembangan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat pada umumnya, khususnya bagi para pelaku usaha. Produksi besar dengan kebutuhan investasi yang membutuhkan modal besar tidak mungkin dapat terpenuhi tanpa bantuan dari lembaga keuangan. Untuk itu, lembaga keuangan menjadi tumpuan harapan bagi para pengusaha untuk mendapatkan tambahan modal melalui mekanisme kredit dan juga menjadi tumpuan investasi melalui mekanisme tabungan (saving). 23 Meski demikian, pada kenyataannya tidak semua kalangan pelaku usaha dapat mengakses pembiayaan/kredit dari lembaga keuangan perbankan yang ada, sebagaimana yang menimpa pada para pelaku usaha kecil. Walau disadari bahwa pelaku usaha kecil memiliki peran strategis bagi perekonoman negara, namun disebabkan karena banyak kendala yang dihadapi oleh pelaku usaha kecil, sehingga kurang mampu berperan secara optimal dalam pembangunan nasional. Adapun kendala yang sering dihadapi oleh pelaku usaha kecil sehingga belum mampu berperan secara maksimal meliputi kendala internal dan eksternal, dimana kendala internalnya terutama berkaitan dengan sumber daya manusia pengelola usaha kecil rendah, karena itulah mereka kurang mampu memanfaatkan peluang yang ada, baik 23 Muhammad Ridwan, Manajemen BMT (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 51. Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015 13 akses pasar akses terhadap sumber pembiayaan, dan akses terhadap teknologi. Adapun kendala eksternal berkaitan dengan iklim usaha yang kurang kendusif terhadap perkembangan usaha kecil tersebut. Di antara kendala-kendala tersebut di atas, kendala akses terhadap sumber pembiayaan merupakan salah satu penyebab sulitnya pelaku usaha kecil untuk dapat mengembangkan usahanya. Untuk mengatasi masalah tersebut, mayoritas pelaku usaha kecil terpaksa lebih memilih untuk berhubungan dengan para rentenir (money lender) meski dengan kisaran bunga utang yang sangat tinggi. Salah satu cara untuk memecahkan persoalan tersebut adalah dengan memberikan pembiayaaan melalui lembaaga keuangan mikro, khususnya lembaga keuangan mikro syariah. Keberadaan lembaga keuangan mikro syariah, seperti BPR Syariah, BMT dan Koperasi Syariah sangat penting bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah, khususnya pelaku usaha kecil. Hal ini disebabkan karena selama ini, operasionalisasi lembaga keuangan perbankan baik konvensional maupun syariah (dalam hal ini adalah Bank Muamalat Indonesia), kurang menjangkau usaha masyarakat kecil dan menengah. Oleh karenanya, muncul usaha untuk mendirikan bank dan lembaga keuangan mikro seperti BPR Syariah, BMT dan Koperasi Syariah yang bertujuan untuk mengatasi hambatan operasional perbankan syariah. Pada dasarnya, kegiatan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) secara prinsip hampir sama dengan lembaga keuangan mikro (LKM). Demikian pula halnya dalam hal tujuannya. Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 2013, dalam pasal 3 disebutkan bahwa lembaga keuangaan mikro (termasuk lembaga keuangan mikro syariah) bertujuan untuk: (1) meningkatkan akses pendanaan skala mikro bagi masyarakat, (2) membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktifitas masyarakat, dan (3) membantu peningkatan pendaapatan 14 Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015 dan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.24 Walaupun demikian, ada beberapa kegiatan yang berbeda dalam hal akad dan transaksinya, yaitu dengan sistem syariah yang tidak memperkenankan bunga, disamping juga terdapat dewan pengawas syariahnya. Lembaga keuangan mikro dengan sistem syariah ini diharapkan dapatmenggantikan sistem konvensional yang bertumpu pada instrumen bunga. Melalui sistem ini dapat dikembangkan bentukbentuk pembiayaan untuk usaha kecil dengan menggunakan sistem cost plus dan profit sharing Adapun kegiatan lembaga keuangan mikro syariah adalah sebagai berikut : jual beli, titipan (wadiah), mudharabah, musyarakah, zakat, dan jasa lainnya.25 Dengan demikian, lembaga keuangan mikro syariah ini berfungsi memberikan dukungan modal terutama bagi kalangan pelaku usaha kecil untuk meningkatkan usahanya, dengan harapan setelah itu usaaha mereka akan berjalan lebih lancar dan lebih besar. Berikut dikemukakan secara singkat tentang bentuk lembaga keuangan mikro syariah tersebut, baik yang berbentuk bank (BPR syariah) maupun non bank (BMT dan Koperasi syariah). 26 a) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Istilah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) pertama kali diperkenalkan oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) pada akhir tahun 1977, ketika BRI mulai menjalankan tugasnya sebagaai Bank pembina lumbung desa, bank pasar, bank desa, bank pegawai, dan bank-bank sejenis lainnya. Pada masa pembinaan yang dilakukan oleh BRI seluruh bank tersebut diberi nama Bank Perkreditan Rakyat BPR). 24 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, diakses melalui perpustakaan.bappenas.go.id 25 Euis Amalia, Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam, h. 75. 26 Apit Farid, Eksistensi (atikel) Lembaga Keeuangan Mikro dalam Memberdayakan ekonomi Masyarakat Kecil Menengah. Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015 15 Dalam perkembangan selanjutnya, perkembangan BPR yang tumbuh semakin banyak dengan menggunakan prosedur-prosedur hukum Islam sebagai dasar pelasanaannya serta diberi nama BPR Syariah. BPR Syariah yang pertama kali berdiri adalah PT. BPR Dana Mardhatillah di Keca ataan Margahayu, Bandung, PT. BPR Syariah Berkah Amal Sejahtera di kecamatan Padalarang, Bandung, dan PT. BPR Amanah Rabbaniyah di kecamatan Banjaran, Bandung. Ketiga BPR Syariah tersebut telah mendapat ijin prinsip dari Menteri Keuangan RI dan mulai berperasi pada tanggal 19 Agustus 1991. Didirikannya BPR Syariah tersebut sebagai langkah aktif dalam restrukturasi perekonomian Indonesia yang dituangkan dalam berbagai paket kebijakan keuangan, moneter, dan perbankan secara umum. BPR Syariah sendiri secara sederhana dapat dipahami sebagai BPR biasa yang sistem operasionalnya mengikuti prinsip-prinsip muamalah. Sama seperti halnya BPR, BPR Syariaah dilarang meemberikan jasa dlam lalu lintas peembayaran seperti menerima dana simpanan dalam bentuk giro sekalipun hal itu dilakukan dengan prinssip wadiah. Berhubung BPR Syariah termasuk dalam kategri lembaga keuangan bank, maka payung hukumnya pun merujuk kepada UndangUndang Nomor 10 tahun 1998 sebagai perubahan undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan. Adapun yang lebih khusus yakni dengan adanya Surat keeputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/36/KEP/DIR/1999 tanggal 12 Mei 1999 tentang BPR berdasar prinsip syariah. Dalam melaksanakan operasional kegiatannya, BPR Syariah bergerak pada penghimpunan dana dan penyaluran dana, sebagaimana yang tertuang pada pasal 27 SK Dir.BI Nomor 32/36/KEP/DIR/1999, yakni sebagai berikut : (1) Menghimpun dana dari masyarkat daam bentuk simpanan yang meliputi : (a) Tabungan berdasarkan prinsip wadiah mudharabah (b) Deposito berjangka dengan prinsip wadiah 16 Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015 (c) (2) (3) Bentuk lain dari wadiah mudharabah Melakukan penyaluran dana melalui : (a) Transaksi jual beli (b) Pembiayaan bagi hasil (c) Pembiayaan lain yang menggunakan prinsip rahn dan qard Kegiatan lain sepanjang ada persetujuan dari Dewan Syariah Nasional Di sisi lain. Lembaga BPR Syariah ini dapat pula bertindak sebagai lembaga Baitul Maal Wattamwil yang menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, sedekah, wakaf, hibah, atau dana sosial lainnya, dan menyalurkannya keepada yang berhak dalam bentuk santunan atau pinjaman kebaikan (qardhul hasan). Adapun tujuan utama dari lembaga BPR Syariah ini, sebagaimana yaang dikemukakan oleh Ekonom Syariah Indoensia, Syafi’i Antonio yaitu : (a) Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam tertama masyaarakat golongan ekonomi lemah. (b) Meningkatkan pendapatan perkapita (c) Menambah lapangan kerja terutama di kecamatan-kecamatan. (d) Mengurangi urbanisasi (e) Membina ukhuwah Islamiyah melaalui kegiatan ekonomi. b) Baitul Maal Wat tamwil Secara etimologi Baitul Maal Wat Tamwil (selanjutnya disingkat BMT) terdiri dari dua istilah, yaitu baitul maal dan baitul tamwil, dimana baitul maal lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang sifatnya non profit, seperti zakat, infaq dan sedekah, sementara baitul tamwil sebagai usaha pengumulan dan penyaluran dana yang bersifat komersial.27 Sebagaimana layaknya 27 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Cet I (Yogyakarta: EKONISIA, 2003), h. 84. Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015 17 lembaga keuangan bank, usaha-usaha pengumpulan dan penyaaluran dana menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari BMT sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonoomi masyarakat kecil dengan berlandaskan syaariah. Secara historis, istilah BMT telah ada sejak zaman Rasulullah saw, meski saat itu belum terbentuk sebagai lembaga yang mandiri dan terpisah. BMT baru berdiri sebagai lembaga ekonomi tersendiri pada masa khalifah Umar bin Khaththab. Sejak saat itu dan masa-masa selanjutnya, BMT telah menjadi lembaga yang penting bagi negara, meski tidak semua sumber uang negara milik BMT, tetapi BMT boleh dikatakan telah meerambah banyak urusan mulai dari penarikan zakat, pajak, ghanimah sampai membangun jalan-jalan, menggaji tentara dan para pejabat negara serta membangunn sarana-sarana sosial lainnya. Dari rentetan sejarah, harus diakui bahwa BMT telah tampil dalam panggung sejarah Islam sebagai lembaga negara yang banyak berjasa bagi perkembangan peradaban Islam dan penciptaan kesejahteraan bagi kaum muslimin. Kebeeradaannya telah menghiasi lembaran sejarah Islam dan terus berlangsung hingga runtuhnya kekhalifahan terakhir, yaitu khalifah Utsmaniyah di Turki tahun 1924. Adapun di Indonesia, BMT pernah merebak melalui Baitul Tamwil Teknosa Salman maupun Baitul Tamwil Ridha Gusti yang kini tinggal sejarah. Secara kelembagaan, BMT didampingi atau didukung Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK), dimana PINBUK sebagai lembaga primer karena mengemban misi yang lebih luas, yakni menetaskan usaha kecil. Dalam prakteknya, PINBUK menetaskan BMT, dan pada gilirannya BMT menetaskan usaha kecil. Keberadaan BMT merupakan representasi dari kehidupan masyarakat dimana BMT itu berada, dengan jalan ini BMT mampu mengakomodir kepentingan ekonomi masyarakat, 28 khususnya masyarakat ekonomi menegah ke bawah, termasuk di dalamnya adalah pelaku usaha kecil. 28 Ibid., h. 84 . 18 Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015 Lembaga BMT yang memiliki basis kegiatan ekonomi rakyat dengan falsafah yang sama dengan koperasi, yakni dari anggota, oleh anggota, dan untuk anggota, maka berdasarkan Undang-Undang RI nomor 25 tahun 1992 berhak mendapatkan badan hukum koperasi. Berangkat dari kebijakan pengelolaan BMT yang memfokuskan anggotanya pada sektor keuangan dalam hal penghimpunan dan pendayagunaan dana, maka idealnya adalah koperasi simpan pinjam syariah yang selanjutnya pada tahun 2004 oleh Kementerian Koperasi disebut KJKS (Koperasi Jasa Keuangan Syariah) berdasarkan Keputusan Menteri Koperasi RI Nomor 91/Kep/M-KUKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah.29 Secara umum, peran BMT adalah melakukan pembinaan dan pendanaan yang berdasarkan sistem syariah. Peran ini menegaskan arti penting prinsip-prinsip syariah dalam kehidupan masyarakat. 30 Sebagai lembaga keuangan syariah yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat kecil, maka BMT mempunyai tugas penting dalam mengemban misi keislaman dalam segala aspek kehidupan masyarakat. c) Koperasi Syariah Istilah koperasi diambil dari kata cooperate (bahasa Inggris) yang berarti kerjasama, yakni kerjasama bersama untuk kepentingan dan kemanfaatan bersama. Kemudian kata itulah yang dalam bahasa Indonesia secara umum diistilahkan dengan koperasi. Dalam pengertian yang lebih lengkap, koperasi dapat dipahami sebagai suatu badan usaha bersama yang bergerak dalam bidang perekonomian, yang beranggotakan mereka yang umumnya berekonomi lemah yang bergabung scara sukarela dan atas dasar persamaan hak, 29 Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia, diakses melalui www.smecda.com 30 Ibid Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015 19 berkewajiban melakukan suatu usaha yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan para aanggtanya. Berbeda halnya dengan adanya BMT, dalam eksistensinya koperasi mendapat perhatian pemerintah dari masa ke masa. Pada masa awal bergeliatnya perekonmian Indonesia sering didengar dengan istilah Koperasi Unit Desa (KUD), salah satu lembaga koperasi yang langsung berhubungan dengan rakyat di tataran bawah (gass-root) juga berpayung hukum salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian. Memperhatikan akan peranannya, koperasi mempunyai posisi strategis sebagai lembaga perekonomian yang berfungsi sebagai lembaga yang meringankan beban permasalahan ekonomia masyarakat kecil. Hal ini sesuai dengan fungsi koperasi : (1) Fungsi ekonoomi, dalam bentuk kegiatan-kegiatan usaha ekonomi yang dilakukan koperasi untuk meringankan beban hidup seharihari para anggotanya. (2) Fungsi sosial, dalam bentuk kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan secara gotong royong dalam bentuk sumbangan berupa uang yang berasal dari laba koperasi. Adapun dalam menjalankan operasionalnya, sebuah koperasi bermodal dari dana yang dihimpun dari para anggotanya berupa simpanan pokok, simpanan wajib, simpanan sukarela, penghasilan hasil usaha dan sumber lain yang tidak mengikat. Meskipun demikian, faktanya banyak koperasi yang memodifikasi jenis simpanan para anggotanya sesuai dengan kebutuhan bersama. Perkembangan selanjutnya,, seiring dengan bertambah populernya sistem ekonomi syariah, maka koperasi pun banyak yang beralih dari operasional “konvensional” menjadi koperasi syariah. Sederhananya dapat dipahami bahwa koperasi syariah adalah bentuk koperasi biasa namun dalam operasionalnya menggunakan prinsip syariah. Namun ada juga yang mendefinisikannya sebagai sebagai lembaga ekonomi (syirkah ta’awuniyah) mudharabah yakni suatu 20 Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015 perjanjian kerjasama antara dua atau lebih yang satu menyediakan modal, yang lain melakukan usaha atas dasar profit sharing. Koperasi syariah mulai diperbincangkan banyak orang ketika menyikapi semaraknya pertumbuhan Baitul maal wat Tamwil di Indonesia yang ternyata mampu memberi warna bagi perekonomian kalangan akar rumput,31 khususnya bagi pelaku usaha mikro dan kecil. Dengan menjamurnya koperasi berlabel syariah, diharapkan dapat terus membantu perekonomian terutama masyarakat kecil yang banyak terjebak dalam praktik rentenir, juga memberi kondisi yang lebih menentramkan bagi mereka yang sudah lama menjadi anggota koperasi. Dengan menjamurnya koperasi berlabel syariah, diharapkan dapat terus membantu perekonomian terutama masyarakat kecil yang banyak terjebak dalam praktik rentenir, juga memberi kondisi yang lebih menentramkan bagi mereka yang sudah lama menjadi anggota koperasi. DAFTAR PUSTAKA Amalia, Euis, Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam; Penguatan Peran LKM dan UKM Di Indonesia, Ed.I, Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 2009 Arifin, Zainul, Memahami Bank Syariah; Lingkup Peluang, Tantangan dan Prospek, Jakarta: Alvabet, 1999 Buchori, Nur S, Koperasi Syariah, Cet. I; (Jawa Timur: Mashun, 2009 Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Propinsi Sulawesi Selatan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil 31 Nur S. Buchori, Koperasi Syariah, Cet. I (Jawa Timur: Mashun, 2009), h. 10 Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015 21 Farid, Apit, Eksistensi Lembaga Keeuangan Mikro Dalam Memberdayakan ekonomi Masyarakat Kecil Menengah (artikel) diakses melalui http://dicsgoogle.com Huda, Nurul, dkk, Ekonomi Makro Islam; Pendekatan Teoritis, Ed. I, Cet.II; Jakarta: Kencana, 2009 Iskandar, Syamsu, Bank dan Lembaga Keuangan lainnya, Jakarta: In Media, 2013 Juanita, Pengaruh Krisis Ekonomi Terhadap Pelayanan Kesehatan, Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara, 2003. Peraturan Bank Indonesia No.5/18/PBI/2003 tentang Pemberian Bantuan Teknis Dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro dan Kecil, Diakses melalui Www.bi.go.id Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia, diakses melalui www.smecda.com Ridwan, Muhammad, Manajemen BMT, Yogyakarta: UII Press, 2004 Retnadi, Djoko Kunci Sukses Lembaga Keuangan Mikro; Pahami Karakteristik Orang kecil, Situs www.compas.com SriSusilo,Y, dkk, dalam Andri Sumitra M.A, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Ed. I, Cet. II; Jakarta: Kencana, 2010 Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Cet I (Yogyakarta: EKONISIA, 2003), h. 84 Sumodiningrat, Gunawan, Perlu Lembaga Keuangan Kerakyata, Media KUK, No. 15 (Jakarta, 1996 ---------, Membangun Perekonomian Rakyat, Cet. I; Yokyakata : Pusat Pelajar, t.th Sutrisno, Noer, Peranan perbankan sebagai sumber Pembiayaan Golongan Ekonomi Lemah dan Koperasi; Jakarta: Departemen Kehakiman, 1994 Usman, Marzuki, Kiat Sukses Pengusaha Kecil, Jurnaal Keuangan dan Moneter dan Institut Banker Indonesia, Jakarta: IBI, 1998 22 Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, diakses melalui perpustakaan. bappenas.go.id *) Nur Wanita, S.Ag., M.Ag adalah Dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Palu