urgensi lembaga keuangan mikro syariah bagi pelaku usaha kecil

advertisement
1
URGENSI LEMBAGA KEUANGAN
MIKRO SYARIAH
BAGI PELAKU USAHA KECIL
Nur Wanita*
Abstract
Minor business is one of the enterprise sector that have
a noteworthy role in the economy of a country. This is
partly due to the enterprise sectors was able to overcome
some of the problems macro economics, especially in
addressing unemployment and poverty, especially in
Indonesia. However, the business sector has not been able
to contribute the maximum due to the absence of support
from financial institutions banking. Therefore, most of the
minor businesses are not able to meet the requirements
set by the banks. As the solution is through microfinance
institutions syariah. Islamic microfinance Foundation is
more geared to help lower economic community, especially
minor businesses who want to develop their business.
Keywords: unemployment, proverty, microfinance
1.
Pendahuluan
Permasalahan yang seringkali dihadapi oleh sebagian besar
negara adalah masalah kemiskinan dan pengangguran. Masalah tersebut
semakin bertambah ketika terjadi krisis moneter, dimana dampaknya
pun sangat dirasakan di Indonesia. Ketika Indonesia di terpa krisis
moneter yang berkepanjangan, yang berlangsung hampir dua tahun
lamanya sejak awal Juli 1997, kondisi perekonomian Indonesia
menjadi tidak menentu. Dampak yang diakibatkan oleh adanya krisis
moneter tersebut sangat berpengaruh terhadap berbagai aspek hidup
2
Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015
dan kehidupan bangsa,1 baik terhadap para pelaku usaha, lembaga
keuangan, pun terhadap masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi
menengah ke bawah.
Pada saat krisis moneter melanda, lembaga keuangan yang
ada, khususnya perbankan konvensional tidak memiliki ketersediaan
dana liquid yang cukup untuk operasionalnya karena nilai tukar yang
merosot tajam. Nasabah peminjam yang sebagian besarnya berasal
dari kalangan pelaku usaha besar (perusahaan besar) tidak mampu
mengembalikan dana pinjaman karena tingginya nilai suku bunga yang
ditetapkan, sehingga mengakibatkan terjadinya kredit macet. Kredit
macet tersebut pada akhirnya berimplikasi pada ketidakmampuan
pihak perbankan untuk mengembalikan dana pinjaman kepada Bank
Indonesia. Selain itu, juga disebabkan oleh kecenderungan perbankan
yang kurang mengembangkan sektor rill, karena lebih cenderung
bermain pada transaksi spekulatif berdasarkan suku bunga.
Selain berdampak pada perbankan, pun berdampak pada pelaku
usaha, khususnya para pelaku usaha besar (perusahaan besar). Banyak
dari perusahaan-perusahaan besar yang mengalami kebangkrutan dan
sebagian lainnya terpaksa mengurangi kuantitas produksinya yang
pada akhirnya berdampak pada pengurangan jumlah tenaga kerja yang
dimilikinya. Sebagian karyawan terpaksa harus di PHK (Pemutusan
Hubungan Kerja). Hal ini menyebabkan semakin bertambahnya jumlah
pengangguran. Demikian pula halnnya terhadap masyarakat, dimana
kemampuan daya beli masyarakat menjadi menurun yang diakibatkan
oleh kenaikan harga-harga di pasaran, sehingga secara tidak langsung
menyebabkan bertambahnya jumlah masyarakat/penduduk miskin.
Dengan demikian, akibat terjadinya krisis moneter di antaranya
menyebabkan semakin bertambahnya jumlah pengangguran dan jumlah
kemiskinan.
1 Juanita, Pengaruh Krisis Ekonomi Terhadap Pelayanan Kesehatan
(Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara, 2003)
Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015
3
Menurut hasil survei Bank Dunia bekerja sama dengan Ford
Foundation Dan Badan Pusat Statistik (1998) menegaskan bahwa
sebagai akibat dari krisis moneter, masalah pengangguran, hilangnya
penghasilan, dan kesulitan memenuhi kebutuhan pokok merupakan
masalah-masalah sosial yang sangat dirasakan pada waktu itu. Karena
ketiga hal itu merupakan masalah pelik yang dihadapi masyarakat pada
umumnya, sehingga masalah-masalah tersebut ditempatkan sebagai
masalah prioritas yang harus segera diselesaikan.2
Untuk mengantisipasi masalah pengangguran dan kemiskinan,
khususnya pasca krisis, sebagian masyarakat yang memiliki kemauan
dan kemampuan produktif berusaha melakukan upaya-upaya mandiri
untuk membuat suatu usaha yang dapat dijadikan sebagai sumber
pendapatan mereka dalam skala kecil. Kegiatan usaha mereka ini
sering disebut sebagai usaha kecil. Dengan segala keterbatasan yang
dimilikinya, pelaku usaha ini tetap mampu bertahan di tengah gejolak
krisis moneter. Oleh karena itu, geliat usaha kecil inilah yang menjadi
tulang punggung ekonomi kerakyatan sejak saat itu hingga sekarang.
Semakin bertambahnya jumlah pelaku usaha kecil ini, terutama pacsa
krisis moneter, di antaranya disebabkan oleh perubahan cara pandang
(mindset) sebagian masyarakat dari semula sebagai pegawai atau
karyawan menjadi seorang wirausaha (entrepreneur).
Ketahanan sektor usaha kecil ini terhadap gejolak ekonomi,
mendorong berbagai pihak untuk mulai melirik potensi usaha kecil ini.
Berbagai upaya untuk memperkuat sektor ini terus dilakukan baik oleh
pemerintah selaku pemangku kebijakan, pihak swasta, yakni lembaga
keuangan/ perbankan yang cukup perhatian terhadap sektor ini, atau
pun masyarakat yang secara langsung menjadi motor penggerak dengan
terus menjamurnya sektor usaha ini.
Di antara kebijakan pemerintah tersebut adalah memberikan
kemudahan bagi pelaku usaha kecil untuk mendapatkan akses modal
2 Euis Amalia, Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam; Penguatan Peran
LKM dan UKM Di Indonesia, Ed.I, Cet. I (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 5.
4
Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015
guna mengembangkan usahanya, salah satunya yakni melalui lembaga
keuangan. Selain itu, posisi pihak swasta seperti halnya lembaga
keuangan mempunyai peran strategis dalam membantu maju dan
berkembangnya sektor ekonomi masyarakat kecil ini, apalagi kolaborasi
lembaga keuangan dengan operasional yang berprinsip syariah yang
sudah teruji ampuh dan lebih resisten pada masa krisis moneter.
Mengingat bahwa tidak semua lembaga keuangan perbankan yang
ada dapat melayani kebutuhan modal pelaku usaha kecil, sementara
pada kenyataannya kegiatan ekonomi rakyat lebih didominasi oleh
para pelaku usaha kecil, maka sebagai solusinya adalah melalui
pengembangan lembaga keuangan mikro (microfinance), yakni suatu
model penyediaan jasa keuangan bagi masyarakat yang memiliki
usaha pada sektor paling kecil yang tidak dapat mengakses modal
atau pembiayaaan dari lembaga keuangan bank karena berbagai
keterbatasannya.
Kehadiran lembaga keuangan mikro, khususnya lembaga
keuangan mikro syariah tersebut, diharapkan memberikan peluang
bagi pelaku usaha kecil untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas
usahanya menjadi terbuka, di samping dapat menghindarkan mereka
dari para rentenir.
2.
Pembahasan
a.
Pengertian dan Karteristik Usaha Kecil
Pengertian usaha kecil tidak selalu sama antara satu negara dengan
negara lainnya. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan usaha
kecil ini dalam lingkup Indonesia, maka berikut akan dikemukakan
pengertian usaha kecil dengan mengacu kepada Undang-undang Nomor
9 tahun 1995 tentang usaha kecil, Bank Indonesia, serta Badan Pusat
Statistik.
Menurut Undang-Undang nomor 9 tahun 1995 tentang usaha
kecil, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan usaha kecil adalah
segala kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi
kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan
Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015
5
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.3 Adapun kriteria usaha
kecil menurut undang-undang ini adalah sebagai berikut :
1)
Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua
ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha atau
2)
Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah,
3)
Milik warga negara Indonesia,
4)
Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung
maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar.
5)
Berbentuk usaha perorangan, badan usaha yang tidak berbadan
hukum atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk
koperasi (pasal 5 ayat 1)
Pengertian tersebut di atas sama dengan pengertian menurut Bank
Indonesia No.5/18/PBI/2003.4 Adapun usaha kecil yang dimaksud
dalam undang-undang tersebut meliputi juga usaha informal dan usaha
kecil tradisional, dimana usaha informal adalah usaha yang berlum
terdaftar dan belum berbadan hukum (antara lain petani penggarap,
pedagang asongan, pedagang keliling, pedagang kaki lima, dan
pemulung), sedangkan usaha kecil tradisional adalah usaha yang
meenggunakan alat produksi sederhana yang telah digunakan secara
turun temurun, dan/ atau berkaitan dengan seni budaya.5
Departemen keuangan memberi kriteria khusus mengenai usaha
kecil yang termuat dalam keputusan menteri keuangan RI No.316/
3 Noer Sutrisno, Peranan perbankan sebagai sumber Pembiayaan Golongan
Ekonomi Lemah dan Koperasi, (Jakarta: Departemen Kehakiman, 1994), h. 16
4 Peraturan Bank Indonesia No.5/18/PBI/2003 tentang Pemberian Bantuan
Teknis Dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro dan Kecil, Diakses melalui www.
bi.go.id.
5 Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Propinsi Sulawesi
Selatan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha
Kecil, h. 7-12.
6
Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015
KMK.616/1994 tentang pedoman pembinaan usaha kecil dan koperasi
melalui pemanfaatan dana dari bagian laba Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). Keputusan tersebut membahas apa yang dimaksud dengan
usaha kecil dan kemudian didefinisikan sebagai : perorangan atau badan
usaha yang telah melakukan kegiatan usaha dengan omzet pertahun
setinggi-tingginya Rp. 600 Juta”.
Definisi yang berbeda diberikan oleh Departemen Perindustrian
dan Perdagangan yang membagi usaha kecll menjadi dua kelompok,
yaitu : 6
1)
Industri kecil adalah usaha industri yang memiliki investasi
peralatan kurang dari Rp. 70 juta, investasi per tenaga kerja
maksimum Rp. 625 ribu, jumlah pekerja di bawah 20 orang,
serta aset dalam penguasaannya tidak lebih dari Rp. 100 juta,
2)
Perdagangan kecil, yaitu usaha yang bergerak di bidang
perdagangan dan jasa komersial yang memiliki modal kurang dari
80 juta dan perusahaan yang bergerak di bidang usaha produksi
atau industri yang memiliki modal maksimal Rp. 200 juta. 7
Badan Pusat Statistik pun memberikan batasan yang sederhana,
dimana usaha kecil difokuskan pada industri manufaktur dengan
menggunakan kriteria serapan tenaga kerja antara 5-19 orang.8 Masih
berkaitan dengan pengertian usaha kecil, sesuai kesepakatan bersama
antara Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra)
dan Gubernur Bank Indonesia tentang Penanggulangan Kemiskinan
melalui pemberdayaan dan pengembangan usaha mikro, kecil, dan
menengah, No. 11/KEP/MENKO/KESRA/IV/2002 – No.4/2/KEP
GBI/2002 tanggal 22 April 2002, dijelaskan bahwa kredit usaha kecil
6 Gunawan Sumodiningrat, Perlu Lembaga Keuangan Kerakyata, Media
KUK, No. 15 (Jakarta, 1996), h. 411.
7 Ibid.
8 Marzuki Usman, Kiat Sukses Pengusaha Kecil, Jurnaal Keuangan dan
Moneter dan Institut Banker Indonesia (Jakarta: IBI, 1998), h. 18.
Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015
7
adalah kredit dengan jumlah plafon sebesar Rp.500.000.000,- (lima
ratus juta rupiah).9
Jika melihat dari pengertian usaha kecil tersebut di atas, maka
dapat diketahui bahwa pengertian usaha kecil yang sekaligus termuat
di dalamnya kriteria dari usaha kecil itu sendiri adalah mencakup aspek
pengelompokkan usahanya, kepemilikan, tenaga kerja yang diserap
dan jumlah plafon pembiayannya.
b.
Peran Usaha Kecil dalam Perekonomian
UMKM dalam perekonomian suatu negara memiliki peran yang
sangat penting dan strategis, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di
negara-negara lainnya. Secara nasional, peranan yang dimainkan oleh
pelaku usaha kecil ini dapat ditinjau dari beberapa aspek, yakni:
1)
Dari segi jumlah/kuantitas.
Usaha kecil ini merupakan salah satu kegiatan ekonomi rakyat
(selain usaha mikro dan menengah) yang mendominasi kegiatan
ekonomi khususnya di Indonesia, di banding usaha besar. Hal ini
dapat dilihat dari sumber Bappenas, 10 bahwa data usaha kecil
mikro pada tahun 2007 adalah sebanyak 41,30 juta unit (99,85
%), usaha menengah berjumlah 61,05 juta unit (0,14 %), dan
usaha besar sebanyak 2,2 juta unit (0,0005 %). Dari data tersebut
di atas menunjukkan bahwa dari segi jumlah, maka pelaku usaha
kecil lebih besar dan mayoritas dalam struktur pelaku usaha di
tanah air (Indonesia), dan terdapat dalam setiap sektor ekonomi.11
2)
Dari segi serapan tenaga kerja
9 Djiko Retnadi, Kunci Sukses Lembaga Keuangan Mikro; Pahami
Karakteristik Orang kecil, Situs www.compas.com, Sabtu, 13 September 2003.
10 Euis Amalia, Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam, h. 9.
11 Di Indonesia, menurut sektor ekonomi terbagi ke dalam 9 kelompok, yakni:
1) pertanian, peternakan, dan kehutanan, 2) Pertambangan dan penggalian, 3) Industri
pengolahan, 4) listrik, gas, dan air bersih, 5) bangunan, 6) perdagangan, hotel dan
restoran, 7) pengangkutan dan komunikasi, 8) jasa keuangan, persewaan, dan jasa
perusahaan, 9) jasa-jasa. Lihat Nurul Huda, dkk, Ekonomi Makro Islam; Pendekatan
Teoritis, Ed. I, Cet.II (Jakarta: Kencana, 2009), h. 23.
8
Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015
Dari sisi historis, usaha kecil merupakan sektor usaha yang telah
terbukti berperan strategis dalam mengatasi akibat dan dampak
krisis moneter yang pernah melanda Indonesia. Secara nasional,
sektor usaha kecil ini terbukti mampu memberikan kontribusi
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini.
Kedudukan yang strategis dari sektor usaha kecil ini dikarenakan
keunggulan yang dimiliki oleh sektor usaha ini dibanding usaha
besar, yakni kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja, dan
menggunakan sumber daya lokal, serta usahanya yang relatif
bersifat fleksibel.
Sektor usaha kecil ini, secara ekonomi berfungsi menyediakan
barang dan jasa bagi konsumen yang berdaya beli rendah dan
sedang. 12 Usaha kecil sendiri pada dasarnya sebagian besar
bersifat informal. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sektor
usaha ini relatif mudah untuk dimasuki oleh pelaku-pelaku usaha
baru, sehingga persoalan pengangguran dan kemiskinan sedikit
banyak dapat ditanggulangi dan implikasinya adalah pendapatan.
Bukan tidak mungkin poduk-produk yang dihasilkan oleh pelaku
usaha kecil ini menjadi substitusi bagi produk-produk usaha besar
yang mengalami kebangkrutan.13
Banyak produk yang telah dihasilkan oleh para pelaku usaha kecil
yang kemudian dimanfaatkan kembali oleh anggota masyarakat
lainnya untuk dijadikan sebagai lahan bisnis/usahanya dengan
skala yang kecil pula, demikian seterusnya (sebagai contoh, usaha
pembuatan tahu atau tempe, dimana hasil produksi tahu tersebut
memberi peluang terbukanya usaha kecil lainnya seperti penjual
gorengan atau usaha sejenisnya).
Selain memiliki kontribusi dalam penyerapan tenaga kerja, sektor
usaha ini juga lebih banyak menggunakan sumber daya lokal,
12 Zainul Arifin Memahami Bank Syariah; Lingkup Peluang, Tantangan dan
Prospek (Jakarta: Alvabet, 1999), 108
13 Euis Amalia, Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam, h. 8,
Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015
9
baik dari segi bahan baku produksi maupun dari segi sumber
modal yang dipergunakan. Hal ini tentu berbeda dengan usaha
skala besar yang dalam kegiatan produksinya sangat tergantung
dengan barang-barang impor serta bertopang pada fasilitas
pemerintah termasuk pembiayaan. Karena itu, usaha kecil ini
tidak menjadi beban negara. 14
Keunggulan lain yang dimiliki oleh usaha kecil ini adalah sifat
usahanya yang fleksibel. Fleksibilitas sektor usaha ini yang
menyebabkannya mampu bertahan dan menyesuaikan diri dalam
kondisi krisis ekonomi.
3)
Dari segi kontribusinya dalam pembentukan PDB.
Sektor usaha kecil ini menjadi penopang ekonomi nasional
dan menyumbang sebesar 53,3 % dari PDB nasional. 15 Hal ini
dikarenakan sebagian besar pelaku usaha kecil terdapat dalam
setiap sektor ekonomi.
Dengan demikian, maka secara umum, usaha kecil memiliki
peranan yang sangat besar yang meliputi solusi masalah pengangguran
di Indonesia, mampu memberikan pelayanan ekonomi yang luas kepada
masyarakat, sehingga secara tidak langsung dapat berperan dalam
proses pemerataan dan pendapatan masyarakat, serta mendorong
pertumbuhan ekonomi dan dapat mewujudkan stabilitas nasional pada
umumnya dan stabilitas ekonomi pada khususnya.
c.
Lembaga Keuangan Mikro Syariah
1)
Pengertian Lembaga Keuangan Mikro Syariah
Untuk Memahami pengertian lembaga keuangan paling tidak
dapat dipahami dari apa yang dikemukakan dalam SK Menteri Keuangan
RI No. 792 Tahun 1990 bahwa lembaga keuangan adalah semua badan
yang kegiatannya di bidang keuangan, melakukan penghimpunan
dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama guna membiayai
14 Ibid.
15 Ibid.
10
Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015
investasi perusahaan.16 Lembaga keuangan sering disebut juga sebagai
lembaga intermediasi, karena perannya sebagai lembaga intermediasi/
perantara antara pihak yang kelebihan dana (surplus) dengan pihak yang
kekurangan dana (defisit). Dari segi kelembagaan, lembaga keuangan
dapat digolongkan kepada 2 golongan yakni lembaga keuangan bank
dan lembaga keuangan non bank. 17
Sementara itu, kata “mikro” pada penyebutan lembaga keuangan
mikro syariah lebih menunjukkan kepada tataran ruang lingkup/
cakupan yang lebih kecil, dengan asumsi perbandingan bahwa lembaga
keuangan besar salah satunya adalah berbentuk bank dengan modal
berskala besar, maka lembaga keuangan mikro adalah bentukan lain dari
bank atau sejenisnya yang mempunyai capital kecil dan diperuntukkan
untuk sektor usaha mikro dan kecil.18
Lembaga Keuangan Mikro atau lebih populer disebut
microfinance, didefinisikan sebagai penyedia jasa keuangan bagi
pengusaha kecil dan mikro serta berfungsi sebagai alat pembangunan
bagi masyarakat pedesaan.19 Selanjutnya, menurut Tohari, sebagaimana
yang dikutip oleh Euis Amalia,20 bahwa LKM adalah lembaga yang
memberikan jasa keuangan bagi pengusaha mikro dan masyarakat
berpenghasilan rendah, baik formal, semi formal, dan informal, atau
dengan kata lain, LKM merupakan lembaga yang melakukan kegiatan
penyediaan jasa keuangan bagi pengusaha kecil dan mikro serta
16 Meskipun dalam peraturan tersebut lembaga keuangan diutamakan untuk
membiayai investasi perusahaan, namun tidak berarti membatasi kegiatan pembiayaan
lembaga keuangan. Dalam kenyataannya, kegiatan usaha lembaga keuangan bisa
diperuntukkan bagi investasi perusahaan, kegiatan konsumsi, dan kegiatan distribusi
barang dan jasa. Y. SriSusilo, dkk, dalam Andri Sumitra M.A, Bank dan Lembaga
Keuangan Syariah, Ed. I, Cet. II (Jakarta: Kencana, 2010), h. 27.
17 Syamsu Iskandar, Bank dan Lembaga Keuangan lainnya (Jakarta: In Media,
2013), h. 2.
18 Apit Farid, Eksistensi (atikel) Lembaga Keeuangan Mikro dalam
Memberdayakan ekonomi Masyarakat Kecil Menengah (artikel) diakses melalui
http://dicsgoogle.com
19 Euis Amalia, Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam, h. 48.
20 Ibid.
Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015
11
masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak terlayani oleh lembaga
keuangan formal dan telah berorientasi pasar dan tujuan bisnis.
Dalam Draft awal Rancangan Undang-Undang Nomor XXX
Tahun 2001 tentang Keuangan Mikro dan Draft kedua Nmor XXX
Tahun 2007 tentang Lembaga Keuangan Mikro, bahwa lembaga
keuangan mikro didefinisikan sebagai badan usaha keuangan yang
menyediakan layanan jasa keuangan mikro, tidak berbentuk bank,
tidak berbentuk koperasi, serta bukan pegadaian, tetapi termasuk Badan
Kredit Desa (BKD) dan Lembaga Lembaga Dana Kredit Pedesaan
(LDKP) yang tidak memenuhi persyaratan sebagai bank, selanjutnya
disebut sebagai Lembaga Keuangan Mikro Bukan Bank Bukan Koperasi
(LKM B3K) atau selanjutnya disingkat LKM. Lembaga jasa keuangan
ini melakukan kegiatan penghimpunan dana dan pemberian pinjaman
dalam jumlah kecil dan penyediaan jasa-jasa terkait. Sementara itu,
pengertian kredit mikro/keuangan mikro (microfinancei), didefinisikan
Bank Indonesia sebagai kredit yang diberikan kepada para pelaku usaha
produktif, baik perorangan maupun kelompok yang mempnyai hasil
penjualan paling banyak Rp. 100 juta pertahun. 21
Terkait dengan bentuk kelembagaan dari lembaga keuangan mikro
di Indonesia ini oleh BI (Bank Indonesia), bahwa lembaga keuangan
mikro ini dibagi ke dalam dua kategori, yakni lembaga keuangan mikro
berbentuk bank dan lembaga keuangan mikro non bank. Untuk kategori
pertama, contohnya adalah BRI Unit Desa, Bank Perkreditan Rakyat/
BPR (sekarang disebut sebagai Bank Pembiayaan Rakyat), dan Badan
Kredit Desa. Sedang untuk kategori kedua terbagi lagi kepada dua
kategori yakni yang formal seperti Koperasi Simpan Pinjam (KSP),
Unit Simpan Pinjam (USP), Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP),
dan yang non formal seperti Baitul Maal Wat Tamwil (BMT).22
Adapun kata “syariah” dapat dipahami bahwa lembaga keuangan
mikro syariah adalah badan yang melakukan kegiatan-kegiatan di bidang
21 Ibid., h. 49-50.
22 Ibid, h. 50.
12
Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015
keuangan dengan menarik uang dari masyarakat dan menyalurkan uang
tersebut kembali ke masyarakat dengan menggunakan prinsip syariah
dan berskala mikro.
Dari penjelasan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa lembaga
keuangan mikro syariah merupakan lembaga keuangan yang berskala
mikro yang berbentuk bank maupun non bank, yang ditujukan untuk
melayani kebutuhan masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
2)
Urgensi Lembaga keuangan mikro syariah bagi pelaku usaha
kecil
Dalam perekonomian modern, lembaga keuangan memiliki
peran yang sangat strategis dalam pengembangan dan pertumbuhan
ekonomi masyarakat pada umumnya, khususnya bagi para pelaku
usaha. Produksi besar dengan kebutuhan investasi yang membutuhkan
modal besar tidak mungkin dapat terpenuhi tanpa bantuan dari lembaga
keuangan. Untuk itu, lembaga keuangan menjadi tumpuan harapan
bagi para pengusaha untuk mendapatkan tambahan modal melalui
mekanisme kredit dan juga menjadi tumpuan investasi melalui
mekanisme tabungan (saving). 23
Meski demikian, pada kenyataannya tidak semua kalangan pelaku
usaha dapat mengakses pembiayaan/kredit dari lembaga keuangan
perbankan yang ada, sebagaimana yang menimpa pada para pelaku
usaha kecil. Walau disadari bahwa pelaku usaha kecil memiliki peran
strategis bagi perekonoman negara, namun disebabkan karena banyak
kendala yang dihadapi oleh pelaku usaha kecil, sehingga kurang mampu
berperan secara optimal dalam pembangunan nasional.
Adapun kendala yang sering dihadapi oleh pelaku usaha kecil
sehingga belum mampu berperan secara maksimal meliputi kendala
internal dan eksternal, dimana kendala internalnya terutama berkaitan
dengan sumber daya manusia pengelola usaha kecil rendah, karena
itulah mereka kurang mampu memanfaatkan peluang yang ada, baik
23 Muhammad Ridwan, Manajemen BMT (Yogyakarta: UII Press, 2004), h.
51.
Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015
13
akses pasar akses terhadap sumber pembiayaan, dan akses terhadap
teknologi. Adapun kendala eksternal berkaitan dengan iklim usaha
yang kurang kendusif terhadap perkembangan usaha kecil tersebut.
Di antara kendala-kendala tersebut di atas, kendala akses
terhadap sumber pembiayaan merupakan salah satu penyebab sulitnya
pelaku usaha kecil untuk dapat mengembangkan usahanya. Untuk
mengatasi masalah tersebut, mayoritas pelaku usaha kecil terpaksa
lebih memilih untuk berhubungan dengan para rentenir (money lender)
meski dengan kisaran bunga utang yang sangat tinggi. Salah satu cara
untuk memecahkan persoalan tersebut adalah dengan memberikan
pembiayaaan melalui lembaaga keuangan mikro, khususnya lembaga
keuangan mikro syariah.
Keberadaan lembaga keuangan mikro syariah, seperti BPR
Syariah, BMT dan Koperasi Syariah sangat penting bagi masyarakat
ekonomi menengah ke bawah, khususnya pelaku usaha kecil. Hal
ini disebabkan karena selama ini, operasionalisasi lembaga keuangan
perbankan baik konvensional maupun syariah (dalam hal ini adalah
Bank Muamalat Indonesia), kurang menjangkau usaha masyarakat
kecil dan menengah. Oleh karenanya, muncul usaha untuk mendirikan
bank dan lembaga keuangan mikro seperti BPR Syariah, BMT dan
Koperasi Syariah yang bertujuan untuk mengatasi hambatan operasional
perbankan syariah.
Pada dasarnya, kegiatan Lembaga Keuangan Mikro Syariah
(LKMS) secara prinsip hampir sama dengan lembaga keuangan
mikro (LKM). Demikian pula halnya dalam hal tujuannya. Menurut
Undang-Undang No. 1 tahun 2013, dalam pasal 3 disebutkan bahwa
lembaga keuangaan mikro (termasuk lembaga keuangan mikro syariah)
bertujuan untuk: (1) meningkatkan akses pendanaan skala mikro bagi
masyarakat, (2) membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan
produktifitas masyarakat, dan (3) membantu peningkatan pendaapatan
14
Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015
dan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat miskin dan/atau
berpenghasilan rendah.24
Walaupun demikian, ada beberapa kegiatan yang berbeda dalam
hal akad dan transaksinya, yaitu dengan sistem syariah yang tidak
memperkenankan bunga, disamping juga terdapat dewan pengawas
syariahnya. Lembaga keuangan mikro dengan sistem syariah ini
diharapkan dapatmenggantikan sistem konvensional yang bertumpu
pada instrumen bunga. Melalui sistem ini dapat dikembangkan bentukbentuk pembiayaan untuk usaha kecil dengan menggunakan sistem
cost plus dan profit sharing Adapun kegiatan lembaga keuangan mikro
syariah adalah sebagai berikut : jual beli, titipan (wadiah), mudharabah,
musyarakah, zakat, dan jasa lainnya.25 Dengan demikian, lembaga
keuangan mikro syariah ini berfungsi memberikan dukungan modal
terutama bagi kalangan pelaku usaha kecil untuk meningkatkan
usahanya, dengan harapan setelah itu usaaha mereka akan berjalan
lebih lancar dan lebih besar.
Berikut dikemukakan secara singkat tentang bentuk lembaga
keuangan mikro syariah tersebut, baik yang berbentuk bank (BPR
syariah) maupun non bank (BMT dan Koperasi syariah). 26
a)
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
Istilah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) pertama kali diperkenalkan
oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) pada akhir tahun 1977, ketika BRI
mulai menjalankan tugasnya sebagaai Bank pembina lumbung desa,
bank pasar, bank desa, bank pegawai, dan bank-bank sejenis lainnya.
Pada masa pembinaan yang dilakukan oleh BRI seluruh bank tersebut
diberi nama Bank Perkreditan Rakyat BPR).
24 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro, diakses melalui perpustakaan.bappenas.go.id
25 Euis Amalia, Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam, h. 75.
26 Apit Farid, Eksistensi (atikel) Lembaga Keeuangan Mikro dalam
Memberdayakan ekonomi Masyarakat Kecil Menengah.
Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015
15
Dalam perkembangan selanjutnya, perkembangan BPR yang
tumbuh semakin banyak dengan menggunakan prosedur-prosedur
hukum Islam sebagai dasar pelasanaannya serta diberi nama BPR
Syariah. BPR Syariah yang pertama kali berdiri adalah PT. BPR Dana
Mardhatillah di Keca ataan Margahayu, Bandung, PT. BPR Syariah
Berkah Amal Sejahtera di kecamatan Padalarang, Bandung, dan PT.
BPR Amanah Rabbaniyah di kecamatan Banjaran, Bandung. Ketiga
BPR Syariah tersebut telah mendapat ijin prinsip dari Menteri Keuangan
RI dan mulai berperasi pada tanggal 19 Agustus 1991.
Didirikannya BPR Syariah tersebut sebagai langkah aktif dalam
restrukturasi perekonomian Indonesia yang dituangkan dalam berbagai
paket kebijakan keuangan, moneter, dan perbankan secara umum.
BPR Syariah sendiri secara sederhana dapat dipahami sebagai BPR
biasa yang sistem operasionalnya mengikuti prinsip-prinsip muamalah.
Sama seperti halnya BPR, BPR Syariaah dilarang meemberikan jasa
dlam lalu lintas peembayaran seperti menerima dana simpanan dalam
bentuk giro sekalipun hal itu dilakukan dengan prinssip wadiah.
Berhubung BPR Syariah termasuk dalam kategri lembaga
keuangan bank, maka payung hukumnya pun merujuk kepada UndangUndang Nomor 10 tahun 1998 sebagai perubahan undang-undang
Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan. Adapun yang lebih khusus
yakni dengan adanya Surat keeputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
32/36/KEP/DIR/1999 tanggal 12 Mei 1999 tentang BPR berdasar
prinsip syariah.
Dalam melaksanakan operasional kegiatannya, BPR Syariah
bergerak pada penghimpunan dana dan penyaluran dana, sebagaimana
yang tertuang pada pasal 27 SK Dir.BI Nomor 32/36/KEP/DIR/1999,
yakni sebagai berikut :
(1)
Menghimpun dana dari masyarkat daam bentuk simpanan yang
meliputi :
(a)
Tabungan berdasarkan prinsip wadiah mudharabah
(b)
Deposito berjangka dengan prinsip wadiah
16
Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015
(c)
(2)
(3)
Bentuk lain dari wadiah mudharabah
Melakukan penyaluran dana melalui :
(a)
Transaksi jual beli
(b)
Pembiayaan bagi hasil
(c)
Pembiayaan lain yang menggunakan prinsip rahn dan qard
Kegiatan lain sepanjang ada persetujuan dari Dewan Syariah
Nasional
Di sisi lain. Lembaga BPR Syariah ini dapat pula bertindak
sebagai lembaga Baitul Maal Wattamwil yang menerima dana yang
berasal dari zakat, infaq, sedekah, wakaf, hibah, atau dana sosial
lainnya, dan menyalurkannya keepada yang berhak dalam bentuk
santunan atau pinjaman kebaikan (qardhul hasan).
Adapun tujuan utama dari lembaga BPR Syariah ini, sebagaimana
yaang dikemukakan oleh Ekonom Syariah Indoensia, Syafi’i Antonio
yaitu :
(a)
Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam tertama
masyaarakat golongan ekonomi lemah.
(b)
Meningkatkan pendapatan perkapita
(c)
Menambah lapangan kerja terutama di kecamatan-kecamatan.
(d)
Mengurangi urbanisasi
(e)
Membina ukhuwah Islamiyah melaalui kegiatan ekonomi.
b)
Baitul Maal Wat tamwil
Secara etimologi Baitul Maal Wat Tamwil (selanjutnya disingkat
BMT) terdiri dari dua istilah, yaitu baitul maal dan baitul tamwil,
dimana baitul maal lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan
dan penyaluran dana yang sifatnya non profit, seperti zakat, infaq
dan sedekah, sementara baitul tamwil sebagai usaha pengumulan dan
penyaluran dana yang bersifat komersial.27 Sebagaimana layaknya
27 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Cet I (Yogyakarta:
EKONISIA, 2003), h. 84.
Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015
17
lembaga keuangan bank, usaha-usaha pengumpulan dan penyaaluran
dana menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari BMT sebagai lembaga
pendukung kegiatan ekonoomi masyarakat kecil dengan berlandaskan
syaariah.
Secara historis, istilah BMT telah ada sejak zaman Rasulullah
saw, meski saat itu belum terbentuk sebagai lembaga yang mandiri
dan terpisah. BMT baru berdiri sebagai lembaga ekonomi tersendiri
pada masa khalifah Umar bin Khaththab. Sejak saat itu dan masa-masa
selanjutnya, BMT telah menjadi lembaga yang penting bagi negara,
meski tidak semua sumber uang negara milik BMT, tetapi BMT boleh
dikatakan telah meerambah banyak urusan mulai dari penarikan zakat,
pajak, ghanimah sampai membangun jalan-jalan, menggaji tentara dan
para pejabat negara serta membangunn sarana-sarana sosial lainnya.
Dari rentetan sejarah, harus diakui bahwa BMT telah tampil dalam
panggung sejarah Islam sebagai lembaga negara yang banyak berjasa
bagi perkembangan peradaban Islam dan penciptaan kesejahteraan bagi
kaum muslimin. Kebeeradaannya telah menghiasi lembaran sejarah
Islam dan terus berlangsung hingga runtuhnya kekhalifahan terakhir,
yaitu khalifah Utsmaniyah di Turki tahun 1924.
Adapun di Indonesia, BMT pernah merebak melalui Baitul
Tamwil Teknosa Salman maupun Baitul Tamwil Ridha Gusti yang kini
tinggal sejarah. Secara kelembagaan, BMT didampingi atau didukung
Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK), dimana PINBUK
sebagai lembaga primer karena mengemban misi yang lebih luas, yakni
menetaskan usaha kecil. Dalam prakteknya, PINBUK menetaskan
BMT, dan pada gilirannya BMT menetaskan usaha kecil. Keberadaan
BMT merupakan representasi dari kehidupan masyarakat dimana BMT
itu berada, dengan jalan ini BMT mampu mengakomodir kepentingan
ekonomi masyarakat, 28 khususnya masyarakat ekonomi menegah ke
bawah, termasuk di dalamnya adalah pelaku usaha kecil.
28 Ibid., h. 84 .
18
Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015
Lembaga BMT yang memiliki basis kegiatan ekonomi rakyat
dengan falsafah yang sama dengan koperasi, yakni dari anggota, oleh
anggota, dan untuk anggota, maka berdasarkan Undang-Undang RI
nomor 25 tahun 1992 berhak mendapatkan badan hukum koperasi.
Berangkat dari kebijakan pengelolaan BMT yang memfokuskan
anggotanya pada sektor keuangan dalam hal penghimpunan dan
pendayagunaan dana, maka idealnya adalah koperasi simpan pinjam
syariah yang selanjutnya pada tahun 2004 oleh Kementerian Koperasi
disebut KJKS (Koperasi Jasa Keuangan Syariah) berdasarkan
Keputusan Menteri Koperasi RI Nomor 91/Kep/M-KUKM/IX/2004
tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan
Syariah.29
Secara umum, peran BMT adalah melakukan pembinaan dan
pendanaan yang berdasarkan sistem syariah. Peran ini menegaskan
arti penting prinsip-prinsip syariah dalam kehidupan masyarakat.
30
Sebagai lembaga keuangan syariah yang bersentuhan langsung dengan
kehidupan masyarakat kecil, maka BMT mempunyai tugas penting
dalam mengemban misi keislaman dalam segala aspek kehidupan
masyarakat.
c)
Koperasi Syariah
Istilah koperasi diambil dari kata cooperate (bahasa Inggris)
yang berarti kerjasama, yakni kerjasama bersama untuk kepentingan
dan kemanfaatan bersama. Kemudian kata itulah yang dalam bahasa
Indonesia secara umum diistilahkan dengan koperasi.
Dalam pengertian yang lebih lengkap, koperasi dapat dipahami
sebagai suatu badan usaha bersama yang bergerak dalam bidang
perekonomian, yang beranggotakan mereka yang umumnya berekonomi
lemah yang bergabung scara sukarela dan atas dasar persamaan hak,
29 Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Republik Indonesia, diakses melalui www.smecda.com
30 Ibid
Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015
19
berkewajiban melakukan suatu usaha yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan para aanggtanya.
Berbeda halnya dengan adanya BMT, dalam eksistensinya
koperasi mendapat perhatian pemerintah dari masa ke masa. Pada
masa awal bergeliatnya perekonmian Indonesia sering didengar dengan
istilah Koperasi Unit Desa (KUD), salah satu lembaga koperasi yang
langsung berhubungan dengan rakyat di tataran bawah (gass-root)
juga berpayung hukum salah satunya adalah Undang-Undang Nomor
25 tahun 1992 tentang perkoperasian.
Memperhatikan akan peranannya, koperasi mempunyai posisi
strategis sebagai lembaga perekonomian yang berfungsi sebagai
lembaga yang meringankan beban permasalahan ekonomia masyarakat
kecil. Hal ini sesuai dengan fungsi koperasi :
(1)
Fungsi ekonoomi, dalam bentuk kegiatan-kegiatan usaha ekonomi
yang dilakukan koperasi untuk meringankan beban hidup seharihari para anggotanya.
(2)
Fungsi sosial, dalam bentuk kegiatan-kegiatan sosial yang
dilakukan secara gotong royong dalam bentuk sumbangan berupa
uang yang berasal dari laba koperasi.
Adapun dalam menjalankan operasionalnya, sebuah koperasi
bermodal dari dana yang dihimpun dari para anggotanya berupa
simpanan pokok, simpanan wajib, simpanan sukarela, penghasilan
hasil usaha dan sumber lain yang tidak mengikat. Meskipun demikian,
faktanya banyak koperasi yang memodifikasi jenis simpanan para
anggotanya sesuai dengan kebutuhan bersama.
Perkembangan selanjutnya,, seiring dengan bertambah
populernya sistem ekonomi syariah, maka koperasi pun banyak yang
beralih dari operasional “konvensional” menjadi koperasi syariah.
Sederhananya dapat dipahami bahwa koperasi syariah adalah bentuk
koperasi biasa namun dalam operasionalnya menggunakan prinsip
syariah. Namun ada juga yang mendefinisikannya sebagai sebagai
lembaga ekonomi (syirkah ta’awuniyah) mudharabah yakni suatu
20
Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015
perjanjian kerjasama antara dua atau lebih yang satu menyediakan
modal, yang lain melakukan usaha atas dasar profit sharing.
Koperasi syariah mulai diperbincangkan banyak orang ketika
menyikapi semaraknya pertumbuhan Baitul maal wat Tamwil di
Indonesia yang ternyata mampu memberi warna bagi perekonomian
kalangan akar rumput,31 khususnya bagi pelaku usaha mikro dan kecil.
Dengan menjamurnya koperasi berlabel syariah, diharapkan dapat
terus membantu perekonomian terutama masyarakat kecil yang banyak
terjebak dalam praktik rentenir, juga memberi kondisi yang lebih
menentramkan bagi mereka yang sudah lama menjadi anggota koperasi.
Dengan menjamurnya koperasi berlabel syariah, diharapkan
dapat terus membantu perekonomian terutama masyarakat kecil yang
banyak terjebak dalam praktik rentenir, juga memberi kondisi yang
lebih menentramkan bagi mereka yang sudah lama menjadi anggota
koperasi.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, Euis, Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam; Penguatan
Peran LKM dan UKM Di Indonesia, Ed.I, Cet. I; Jakarta: Rajawali
Pers, 2009
Arifin, Zainul, Memahami Bank Syariah; Lingkup Peluang, Tantangan
dan Prospek, Jakarta: Alvabet, 1999
Buchori, Nur S, Koperasi Syariah, Cet. I; (Jawa Timur: Mashun, 2009
Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Propinsi
Sulawesi Selatan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
31 Nur S. Buchori, Koperasi Syariah, Cet. I (Jawa Timur: Mashun, 2009), h.
10
Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015
21
Farid, Apit, Eksistensi Lembaga Keeuangan Mikro Dalam
Memberdayakan ekonomi Masyarakat Kecil Menengah (artikel)
diakses melalui http://dicsgoogle.com
Huda, Nurul, dkk, Ekonomi Makro Islam; Pendekatan Teoritis, Ed. I,
Cet.II; Jakarta: Kencana, 2009
Iskandar, Syamsu, Bank dan Lembaga Keuangan lainnya, Jakarta: In
Media, 2013
Juanita, Pengaruh Krisis Ekonomi Terhadap Pelayanan Kesehatan,
Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara, 2003.
Peraturan Bank Indonesia No.5/18/PBI/2003 tentang Pemberian
Bantuan Teknis Dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro
dan Kecil, Diakses melalui Www.bi.go.id
Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Republik Indonesia, diakses melalui www.smecda.com
Ridwan, Muhammad, Manajemen BMT, Yogyakarta: UII Press, 2004
Retnadi, Djoko Kunci Sukses Lembaga Keuangan Mikro; Pahami
Karakteristik Orang kecil, Situs www.compas.com
SriSusilo,Y, dkk, dalam Andri Sumitra M.A, Bank dan Lembaga
Keuangan Syariah, Ed. I, Cet. II; Jakarta: Kencana, 2010
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Cet I
(Yogyakarta: EKONISIA, 2003), h. 84
Sumodiningrat, Gunawan, Perlu Lembaga Keuangan Kerakyata,
Media KUK, No. 15 (Jakarta, 1996
---------, Membangun Perekonomian Rakyat, Cet. I; Yokyakata : Pusat
Pelajar, t.th
Sutrisno, Noer, Peranan perbankan sebagai sumber Pembiayaan
Golongan Ekonomi Lemah dan Koperasi; Jakarta: Departemen
Kehakiman, 1994
Usman, Marzuki, Kiat Sukses Pengusaha Kecil, Jurnaal Keuangan
dan Moneter dan Institut Banker Indonesia, Jakarta: IBI, 1998
22
Bilancia, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni 2015
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2013 Tentang
Lembaga Keuangan Mikro, diakses melalui perpustakaan.
bappenas.go.id
*)
Nur Wanita, S.Ag., M.Ag adalah Dosen Fakultas Syariah dan
Ekonomi Islam IAIN Palu
Download