VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Pertumbuhan ekonomi selama kurun 2002-2009 baik pada tingkat nasional maupun provinsi berdampak pada penyerapan tenaga kerja yang sangat bervariasi antar provinsi. Beberapa provinsi yang berada pada Kuadran I dapat memanfaatkan momentum pertumbuhan ekonomi yang lebih berpihak kepada tenaga kerja. Sementara provinsi-provinsi yang berada di wilayah Kuadran IV sebagian belum dapat memanfaatkan pertumbuhan yang dicapai untuk dapat menyerapa tenaga kerja yang signifikan. Berdasarkan uraian penjelasan pada bab-bab sebelumnya dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1) Terjadi anomali hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan penyerapan tenaga kerja pada beberapa provinsi, salah satu penyebab adalah kurangnya kontribusi sektor dalam menyerap tenaga kerja (not friendly growth). Sektor riil (pertanian, pertambangan dan insustri) tumbuh lambat, sementara sektor perdagangan, angkutan dan jasa tumbuh cepat. Dengan adanya anomaly ini mengindikasikan bahwa tidak selamanya teori ekonomi berlaku umum 2) Terdapat hubungan yang erat antara pertumbuhan ekonomi dengan penyerapan tenaga kerja. Baik hubungan normal maupun terjadi anomali menunjukkan pola hubungan yang tidak sederhana, ada ―lag‖ 3) Dalam jangka pendek maupun jangka panjang pertumbuhan ekonomi diyakini dapat mengungkit penyerapan tenaga kerja, terjadi hubungan timbal balik dan keduanya dapat saling memperkuat 6.2 Implikasi Kebijakan Masalah-masalah ketenagakerjaan bersifat multi-dimenasional, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh berbagai faktor dengan pola hubungan yang kompleks sehingga penyelesaiannya menuntut arah kebijaksanaan serta pendekatan yang multi-dimensional pula. Jelas terlalu naif untuk menganggap masalah-masalah ketenagakerjaan dapat diatasi oleh suatu kebijakan tunggal atau merupakan tanggung jawab satu kementrian tertentu. Masalah ketenagakerjaan 105 merupakan masalah yang berskala besar, kompleks, serta masih didominasi oleh tenaga kerja pertanian dan sektor informal memerlukan kebijakan pasar kerja yang lentur (labour market flexibility) (Bappenas,2003). Melalui kebijaksanaan itu pihak pengusaha diharapkan dapat mengatasi permasalahan ketenagakerjaan internal melalui penyesuaian tingkat upah, bukan melalui pemutusan hubungan kerja yang berdampak sangat luas. Kebijakan semacam itu diharapkan dapat mempersempit tingkat kesenjangan upah antara lapangan usaha formal dan informal (yang pada gilirannya diharapkan dapat mengurangi ketimpangan pendapatan antar golongan masyarakat), menekan laju kenaikan pengangguran terbuka, serta menurunkan angka kemiskinan. Walaupun demikian penting untuk diantisipasi potensi sejumlah permasalahan yang dapat timbul dalam mengimplementasikan kebijaksanaan itu. Manning (2000:108), misalnya, dalam salah satu laporannya mengingatkan bahwa pasar kerja di Indonesia, sekalipun berada di tengah transformasi ekonomi yang cepat, pada dasarnya masih tetap lentur. Kelenturan itulah yang merupakan penjelasan kunci kenapa angka pengangguran dan kemiskinan tidak meningkat lebih cepat dibandingkan dengan masa krisis. Jika analisisnya benar maka implikasinya adalah bahwa penekanan yang berlebihan pada kebijaksanaan ini dikawatirkan dapat mendistorsi pasar kerja keseluruhan, suatu kekawatiran yang secara jelas diungkapkan juga dikemukakan oleh Islam (2000). Bagi dia kebijaksanaan itu tidak memadai sehingga diperlukan semacam paradigma baru yang ‖mengatasi‖ (moving beyond) kelenturan pasar kerja, antara lain, dengan menginkorporasikan masalah-masalah ketenagakerjaan dalam kebijakan makro. Apapun bentuknya, yang jelas arah kebijakan yang diperlukan hendaknya, sebagaimana disarankan Manning (2003), mampu mengakomodasikan kepentingan semua pekerja, tidak hanya buruh formal tetapi juga informal, tidak hanya pekerja atau pengusaha di lapangan usaha pertanian tetapi juga di lapangan usaha bukan-pertanian. Semakin ketatnya persaingan ekonomi dan perdagangan antar negara baik pada tingkat regional maupun internasional yang tidak bisa dihindari akan berdampak pada kondisi internal perekonomian suatu negara. Dalam menghadapi tantangan tersebut, Indonesia dalam kancah percaturan ekonomi global harus tetap menjaga pertumbuhan ekonomi yang merupakan syarat perlu (necessary 106 condition) dalam pembangunan untuk mensejahterakan masyarakat. Bila hal ini tidak terpenuhi akan sulit untuk meningkatkan Penyerapan tenaga kerja yang tiap tahunnya selalu bertambah. Pemerintah pusat maupun daerah perlu merumuskan strategi kebijakan yang serasi agar pertumbuhan ekonomi yang dicapai lebih ―ramah‖ terhadap tenaga kerja utamanya bagi provinsi-provinsi di Kuadran IV. Pertumbuhan sektor riil perlu dipacu dengan memberikan kemudahan dalam iklim investasi dan perijinan berusaha. Berbagai macam peraturan daerah yang semata-mata hanya mengejar target pendapatan daerah (PAD) perlu ditinjau ulang kalau perlu dihapus bila peraturan itu malah jadi faktor penghambat dalam berinvestasi. Disamping itu pemerintah tetap konsisten memposisikan sektor pendidikan dan kesehatan menjadi prioritas utama dalam pembangunan karena merupakan pilar utama dalam meningkatkan kualitas SDM. 6.3 Saran Para pembuat kebijakan jangan terlalu terpikat oleh aspek kuantitas pertumbuhan ekonomi tetapi yang lebih penting adalah harus memberi perhatian yang memadai terhadap struktur dan kualitasnya. Menurut UNDP pertumbuhan ekonomi timpang atau cacat jika ekonomi secara keseluruhan tumbuh tetapi tidak memperluas kesempatan kerja (jobless growth). Model yang dibangun dalam penelitian ini masih dapat terus dikembangkan dengan analisis yang lebih komprehensif serta disagregasi wilayah yang lebih kecil, misalnya kabupaten/kota. Perbaikan dapat dilakukan dengan menambah lebih panjang periode yang dianalisis maupun variabel lain (misalnya: kesehatan, nilai investasi, tingkat pinjaman). Penyempurnaan terhadap penelitian ini dapat dilakukan dengan mengkaji performa ekonomi yang lebih bervariasi untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. 107 Halaman ini sengaja dikosongkan 108