PERBANDINGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM TENTANG VISI DAN STRATEGI POLITIK NU SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Pemikiran Politik Islam Untuk memenuhi syarat mencapai Gelar Sarjana Sosial ( S.Sos) Oleh HENDRI JULIANTO Nim: 103033227817 JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008 M / 1429 H PERBANDINGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM TENTANG VISI DAN STRATEGI POLITIK NU KATA PENGANTAR ..................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................... B. Pembatasan dan 1 Perumusan Masalah .............................................. 5 C. Tujuan dan Fungsi Penulisan ............................................................ 5 D. Metode Penulisan ............................................................................. 5 E. Sistematika Penulisan ....................................................................... 6 BAB II NU, IDEOLOGI KEBANGSAAN A. KEAGAMAAN Visi DAN Kelahiran PAHAM NU ............................................................................. 8 B. Faham Ahlusunnah wal Jama’ah dan Paham Kebangsaan NU ........ C. 12 Sejarah Politik NU Masa Lalu ......................................................... D. Politik NU dan .................................................... 20 Khittah NU 1926 25 BAB III PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM TENTANG VISI POLITIK NU A. Sketsa Biografi Abdurrahman Wahid .............................................. 31 B. Pandangan Abdurrahman Wahid Tentang NU, Islam dan Negara .. 36 C. Abdurrahman Wahid dan Misi Perjuangan Politik PKB ................. D. 41 Sketsa Biografi Yusuf Hasyim ........................................................ 46 E. Pandangan Yusuf Hasyim Tentang NU, Islam dan Negara ............. F. Yusuf 51 Hasyim dan Misi Perjuangan Politik PKU ............................ BAB IV 57 PERBANDINGAN, ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM TENTANG KEBANGSAAN A. Pandangan Kebangsaan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim .. 60 B. Analisa Perbandingan Strategi Politik NU Abdurrahman Wahid Dan Yusuf ........................................................................... BAB VI Hasyim 66 PENUTUP A. Kesimpulan...................................................................................76 B. Saran-saran ...................................................................................79 DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mencermati dinamika internal yang terjadi dalam jam'iyah Nahdlatul Ulama beberapa periode kepemimpinan Abdurrahman Wahid, berkembanglah fenomena politik, yaitu munculnya wacana pemikiran dialektis yang dalam kurun waktu ini dirasakan oleh sebagian orang telah menghilang dari tradisi NU. Munculnya wacana pemikiran dialektis tersebut, salah satunya disebabkan oleh polemik antar geneologis “Darah Biru” NU sendiri, yaitu antara KH. Abdurrahman Wahid dan KH. Yusuf Hasyim. Dalam hal ini Greg Fealy dan Greg Barton menyatakan; Yusuf Hasyim merupakan anak terakhir pendiri NU Hasyim Asy'ari yang masih hidup (sekarang telah meninggal) dan oleh karena itu merupakan paman dari Abdurrahman Wahid. Abdurrahman Wahid sendiri adalah anak tertua dari kakak tertua Yusuf Hasyim, yaitu Wachid Hasyim. Hubungan antara paman dan keponakan, yang secara teoritis bisa membuat klaim-klaim yang bertetangan untuk menjadi penerus Hasyim Asy'ari yang sah, sangatlah kompleks, bahkan diantara keduanya jarang harmonis.1 Tema yang menjadi perdebatan antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim sebenarnya kompleks, salah satunya mengenai visi dan strategi perjuangan politik NU, yaitu menyangkut hubungan agama dan negara serta 1 Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU dan Negara, (Yogyakarta: Lkis, 1998), ha1. 123. pilihan impelementasi model dan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang paling memungkinkan untuk diterapkan. Tema yang menjadi perdebatan sehubungan dengan masalah ini, sebenarnya bukan masalah baru, karena sudah sering dijadikan bahan perdebatan oleh tokoh-tokoh sebelumnya. Setiap kali bangsa Indonesia menghadapi wacana politik bersinggungan dengan wilayah keagamaan, selalu saja muncul ke permukaan, yang bernuansa baru hanyalah pelakunya saja. Tampilnya dua saudara, antara paman dan keponakan bersamasama dibesarkan dan merupakan keturunan pendiri NU, memberi nuansa tersendiri. Akan tetapi selama ini yang muncul di permukaan lebih berupa konflik. Meskipun jika dilakukan pendalaman masih banyak titik temunya. Seperti penjelasan Pak Ud sendiri; “Sebenarnya disamping perbedaan pendapat, antara kami banyak pula persamaannya. Sayang, yang banyak diekspos adalah perbedaan kami”.2 Sejak tampil pertama kali dalam kepememimpinan NU, Abdurrahman Wahid telah mencoba menghidupkan tradisi pemikiran kritis di kalangan NU serta membangun wacana pemikiran keagamaan baru. Begitu besarnya concern Abdurrahman Wahid untuk membangkitkan tradisi pemikiran kritis dikalangan NU, terutama di kalangan anak muda NU. Teramat kuatnya posisi Abdurrahman Wahid sebagai inspirator gagasan besar dikalangan NU, tanpa disadari telah menciptakan keseragaman wacana pemikiran, sehingga harapan Abdurrahman Wahid agar terjadi dialektika yang sehat di kalangan NU tidak terpenuhi. Sehingga muncul dinamika pemikiran yang 2 KH Yusuf Hasyim,”Kami Sering Guyon Kok,” Jawa Pos, 23 November 1997. berlangsung intensif di kalangan warga NU. Jika dicermati yang terjadi adalah wacana monologis, dengan pemikiran Abdurrahman Wahid sebagai landasan terminologinya. Dalam bentuk yang ekstrim, bisa disebutkan nyaris terjadi. Penyikapan pengabsolutan setiap gagasan yang muncul dari Abdurrahman Wahid selalu terjadi, tanpa ada upaya mengimbangi dengan gagasan alternatif. Meski baru serta terbatas pada substansi gagasan tertentu, tampilnya Yusuf Hasyim dengan dialog melalui media massa yang terkesan berseberangan dengan pemikiran Abdurrahman Wahid, telah memberikan “keseimbangan“ wacana pemikiran di kalangan warga NU. Tampilnya Yusuf Hasyim sebagai antitesa terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid diharapkan menciptakan iklim yang mendukung bagi munculnya tradisi dialog yang sehat, sehingga nantinya dapat memunculkan sintesa baru dan lebih mencerahkan. Peran yang dilakukan Yusuf Hasyim itu, bukanlah tanpa mengandung resiko. Melihat kemajemukan pola pikir masyarakat kita, terutama warga NU, apa yang dilakukan Yusuf Hasyim sebagai pihak beroposisi berseberangan (sebagian) terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid, berpeluang mengkondisikan dan respon berbeda yang sama besarnya, sikap tidak setuju dan mendukung. Sikap tidak setuju akan muncul dari kalangan yang beranggapan bahwa perseteruan tersebut akibat masalah internal Bani Hasyim sendiri,3 atau mereka yang tidak rela menghadapi tokoh Abdurrahman Wahid dikritisi orang lain. Sedangkan sikap mendukung, lahir dari mereka yang merasa ada angin segar bagi munculnya pemikiran yang selama ini tidak disadari telah terbelenggu di kalangan 3 “ NU Pasca Pemilu,” Kompas, 24 Agustus 1999. NU. Apalagi selama kurun waktu tertentu memimpin NU (Abdurrahman Wahid) nyaris tidak ada pihak yang berani secara terbuka bersikap demikian. Posisi Yusuf Hasyim sebagai paman jelas menjadi faktor yang menghapuskan barrier tersebut, sehingga bisa melakukan perdebatan secara bebas dengan keponakan. Yusuf Hasyim, dengan segala kelebihan dan kekurangannya dinilai cukup punya nyali menghadapi Abdurrahman Wahid. Dalam pandangan Yusuf Hasyim, berkomitmen menjadikan siyasah (politik) sebagai alat untuk tegaknya Syari'ah Islam dalam batas yang wajar dan sejalan dengan kepentingan nasional.4 Sebaliknya dalam pandangan Abdurrahman Wahid, perjuangan syari'ah tidak harus melalui hukum-hukum dan simbol agama secara formal, melainkan sebagai ruh yang menjiwai setiap produk hukum positif yang dibuat oleh negara. Substansi syari'ah Islamiyah ini juga bisa terwujud melalui gerakan demokrasi atau menegakkan negara dan bangsa.5 Meskipun persoalan polemik antar keduanya sudah berlalu, bukan berarti masyarakat khususnya warga NU akan tinggal diam. Mereka justru penasaran mencari jawaban yang sebenarnya. Mereka akan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di antara keduanya. Diharapkan penulisan skripsi yang berjudul “PERBANDINGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM MENGENAI VISI DAN STRATEGI POLITIK NU”, dapat memberikan kontribusi untuk ikut mendudukkan persoalan keduanya sesuai porsinya, bukan sebagai upaya 4 5 H.M. Yusuf Hasyim, “PKU dan Siyasah Menuju Syari'ah,” Jawa Pos, 3 November 1998. Abdurrahman Wahid, “PKB, Syari'ah dan PKU,” Jawa Pos, 30 Oktober 1998. melakukan upaya pembenaran atas berbagai tindakan dan pernyataan keduanya. Lebih dari itu, hal ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan atas segala makna dan warna yang ada di balik peristiwa, serta sebagai upaya penempatan masalah sesuai proporsinya dari polemik keduanya yang memiliki nilai historis. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Pembahasan pada skripsi ini adalah masalah sosial yang bersifat dinamis maka penulis membatasi penulisan ini melalui visi politik NU, yang lebih difokuskan pada perbandingan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang pola hubungan agama dan negara melalui misi perjuangan politik PKB dan PKU. Dari pembatasan masalah tersebut, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pandangan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang pola perjuangan politik? 2. Apakah perbedaan dan persamaan pandangan antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang pola hubungan agama dan negara tersebut ? C. Tujuan Dan Fungsi Penulisan Tujuan dari penulisan ini ialah untuk memberikan sedikit gambaran serta penjelasan tentang pemikiran Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang pola hubungan agama dan negara melalui misi perjuangan politik PKB dan PKU. Penulisan ini memperkaya khazanah Pemikiran Politik Islam. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan Oleh karena objek penelitian ini adalah pemikiran Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang pola hubungan agama dan negara melalui misi perjuangan politik PKB dan PKU, maka skripsi ini disusun berdasarkan studi kepustakaan (Library Reseach) yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan yang relevan dengan menelusuri buku-buku atau tulisan-tulisan yang dibuat oleh Abdurrahman Wahid maupun Yusuf Hasyim serta beberapa tulisan yang mendukung ketajaman analisis. Sedangkan dalam menguraikan permasalahan, penulis menerapkan metode deskriptif, kemudian dilakukan secara analisis dengan interpretasi tentang substansi kedua tokoh ini serta membangun beberapa korelasi yang dianggap signifikan. Data-data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan studi komparatif. Sehingga penulis dapat menjelaskan perbandingan dari dua fenomena pandangan politik antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim. Sedangkan teknik penulisan skripsi ini merujuk pada buku Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat , Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2003 / 2004. F. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini terdiri dari V bab, perinciannya adalah sebagai berikut: Bab I tentang Pendahuluan. Diawali dasar pemikiran penulis mengangkat tema ini sebagai bahan penyusunan skripsi, dilanjutkan dengan pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan fungsi penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan Bab II bab ini, menguraikan tentang visi dan orientasi awal. kelahiran NU. serta uraian sejarah perjalanan politik NU serta gerakan-gerakan strategis yang dilalakukan NU, baik ketika Ormas ini menjadi Ormas keagamaan maupun ketika menjadi Partai Politik. Bab III akan membahas penggambaran seorang Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim, serta pandangan-pandangan keduanya terhadap NU, Islam dan Negara meliputi strategi perjuangan keduanya. Bab IV membahas mengenai perbandingan, Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim khususnya yang berkaitan dengan kebangsaan dan semangat perjuangan keduanya. Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan-kesimpulan dan saran saran penulis berkaitan dengan masalah yang diajukan dari keseluruhan penulisan skripsi ini. BAB II NAHDLATUL ULAMA, IDEOLOGI KEAGAMAAN DAN PAHAM KEBANGSAAN A. Latar Belakang Kelahiran NU Untuk memahami jati diri NU, KH. Syamsul Arifin, sang mediator antara KH. M. Cholil (Bangkalan) dan Hadratussyekh Hasyim Asy'ari (Tebuireng) menyatakan bahwa ketika seseorang akan memahami NU, belum cukup kalau hanya melihat sisi formal, semenjak lahir ternyata mengalami perkembangan hingga kini. Seseorang harus mempelajari kondisi yang melatarbelakangi mengapa organisasi ini dibentuk, arah mana tujuan yang hendak dituju, cara dan proses apa yang harus ditempuh dan bagaimana asumsi dan lain sebagainya6. Ada hal yang mendasar disaat kelahiran NU, menurut Kyai As’ad, sebelum para ulama memberangkat delegasi yang tergabung dalam Komite Hijaz7 berangkat ke Saudi Arabia, mereka cukup dipusingkan dengan identitas yang akan diberikan kepada delegasi tersebut dalam organisasi disertai nama dan kegiatannya. 6 Sinansuri, Encip, NU Dalam Tantangan, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Riwayat Hidup dan Perjuangannya, (Surabaya: Sahabat Ilmu, 1994). hal. 3. 7 Komite Hijaz, dibentuk di Surabaya Dalam rapat pembentukan ini dihadiri para Alim Ulama antara lain KH. Hasyim Asy'ari (Tebuireng), KH. Bisri Samsuri (Denanyar), KH. Ridlwan (Semarang), KH Nawawi (Pasuruan), KH. R. Asnawi dan KH. R. Hambali (Kudus), KH. Nachrowi (Malang), KH. Doromuntoha -menantu Kyai Cholil Bangkalan. Rapat ini mernutuskan tujuan Komite Hijaz; pertama mengirim utusan ke Makkah atas nama Ulama Indonesia untuk menghadiri Kongres Dunia Islam, dengan tugas memperjuangkan hukum-hukum ibadat dalam madzhab empat. Komite inilah yang diubah menjadi organisasi yang bersifat sosial keagamaan dengan nama NU ( Nahdlatul Ulama ) pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926 atau Rajab 1344 Hijriyah. Lihat, H. A. Bassit Adnan, Kemelut di NU, Antara Kyai dan Politisi, ( CV. Mayasari, Solo: 1992) hal.12. Setelah para ulama meraih kesepakatan mengenai nama organisasi serta kegiatannya, mereka menyerahkan amanat peresmian kepada KH. Hasyim Asy’ari. Akan tetapi beliau tidak gegabah dalam mengambil keputusan, beliau langsung meminta petunjuk Allah melalui isthikarrah. Ternyata, Allah memberikan jawaban berupa petunjuk dan dibenarkan oleh gurunya Kyai Cholil Bangkalan. Selanjutnya Kyai Cholil melalui Kyai As’ad memberi pesan berupa bacaan ayat Al Qur’an, surat Thaha ayat 17 sampai dengan 238. Dalam keterangan lain diberitakan Kyai As’ad juga memberikan sebuah tongkat dan tasbih kepada Kyai Hasyim.9 Riwayat di atas merupakan simbol yang mengandung filosofi berupa amanat kepada Kyai Hasyim sehingga muncullah cikal bakal pendirian organisasi Nahdlatul Ulama. Organisasi ini mengembangkan kepemimpinan pada tiga jalur. 8 ☺ ☺ 46#- ./0123 ()*+,- $%&' !" # >?"@ ./1 9= " ☺:⌧< 92' ./8 L ☺ GHIJK- A$BCDEXH TUV2W Q.RS !" # )OP GMIJKN #`Z 6'a ( ^)_ \] #Z6[ ⌧M` 0d☺^) X 92=c[) G1Bba ^i gh\LJZ Uf'BJ S:e 92=I 1'l K XX A$BCDE- k.)g ?gja 10B⌧< Xn $10KgAJK) : m)g ^i Terjemah: 17. Apakah itu yang di tangan kananmu, Hai Musa? 18. Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, Aku bertelekan padanya, dan Aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya”. 19. Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, Hai Musa!” 20. Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, Maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. 21. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula, 22. Dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia ke luar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), 23. Untuk kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan kami yang sangat besar. Lihat QS Thaha Al Qur’an . 9 KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Riwayat Hidup dan Perjuangannya, (Surabaya: Sahabat Ilmu, 1994) hal. 34-35. Pertama, jalur pendidikan yang diisyaratkan dengan adanya transfer ilmu dari Kyai Cholil ke Kyai Hasyim. Kedua yaitu jalur sosial, bisa dilihat dari isi surat Thaha. Ketiga, jalur spiritual yang dilukiskan dengan pemberian tasbih kepada Kyai Hasyim, jalur ini bisa disebut dengan dakwah. Ketiga jalur inilah yang menjadikan kegiatan utama pada awal-awal berdirinya NU.10 Sebenarnya NU telah melengkapi diri untuk menjadi jami’yah atau organisasi yang maju. Persyaratan untuk menjadikan jami’yah pertama-tama mempunyai pandang yang jelas tentang target yang akan dicapai di masa depan dengan kejelasan visinya. Visi NU tertuang dalam Muqaddimah al Qonuuni al Asaasi (anggaran dasar) yang telah disusun oleh Rois Akbar. Jam’iyah NU, KH. M. Hasyim Asy'ari. Program jam'iyah ini menjadi prinsip dasar dalam berbagai konsep pengembangan organisasi yang dibicarakan setiap kali NU menyelenggarakan Muktamar. Anggaran dasar formal (Statuen) NU yang dibuat pada muktamar 1928, NU menetapkan tujuannya, yaitu mengembangkan ajaran-ajaran Islam Ahlussunnah Waljama'ah dan mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam. Pasal kunci 2 dan 3 berbunyi sebagai berikut : Fatsal 2. Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe: "Memegang dengan tegoeh pada salah satoe dari mazhabnja Imam empat, jaitoe lmam Moehammad bin Idris Asj-Sjafi'i: Imam Malik bin Anas, Imam Aboe 10 Nama Nahdlatul Ulama diberikan oleh KH. A. Wahab Hasbullah karena beliau terinspirasi oleh ulama yang mengatakan “ Janganlah kamu bergaul dengan orang-orang yang perilakunya tidak membangkitkan kamu kepada Allah dan kata-katanya tidak menunjukkan kepada kamu ke jalan Allah”. Harapan beliau dengan memberi nama NU ini dapat membangkitkan (melalui kegiatannya) kepada Allah . Lihat Gus Dur, “Perluasan Cakupan Dakwah”,Aula No.01 tahun XIV (Januari 1994) hal.63-64. Hanifah An-Noe'man, atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan agama Islam". Fatsal 3. Oentoek mentjapai maksoed perkoempoelan ini maka diadakan ichtiar: a. mengadakan perhoeboengan di antara Oelama-oelama jang bermazhab terseboet dalam fatsal 2. b. memeriksa kitab-kitab sebeloemnja dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitabnja Ahli Sunnah Wal Djama'ah atau kitab-kitabnja Ahli Bid'ah. c. Menjiarkan Agama Islam di atas mazhab sebagai terseboet dalam fatsal 2, dengan dijalankan apa sadja jang baik. d. Berichtiar memperbanjakkan Madrasah-Madrasah jang berdasar Agama Islam. e. Memperhatikan hal-hal jang berhoeboengan dengan masjid2, langgar2, dan pondok2, begitoe djoega dengan hal-ahwalnja anak-anak jatim dan orang-orang jang fakir miskin. f. Mendirikan badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan, dan peroesahaan, jang tiada dilarang oleh sjara' Agama Islam.11 Pada awal berdirinya NU sebagai ormas keagamaan, di mana keberadaannya merupakan manifestasi dari obsesi “Founding Fathers” yang menghendaki lestarinya tradisi-tradisi sunni di Indonesia. Namun demikian, dalam permulannya dengan realitas (problem) kebangsaan, dimensi politik juga tak luput dari kiprahnya. Terutama, karena para pendirinya dahulu aktif dalam pergerakan, penggalangan Nasionalisme di tengah-tengah iklim kolonial pada saat itu, seperti Kyai Hasyim aktif di beberapa organisasi yang ikut dalam anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pergulatan praktik NU dalam perjalanannya ini menjadi problem tersendiri. Secara internal, salah satunya karena seluruh “sumber daya” tercurahkan dalam aktivitas politik, apa yang menjadi tanggung jawab NU sebagaimana visi awal kelahirannya menjadi terabaikan. Pada sisi yang lain, ketika terjadi perubahan 11 Statuen Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama, dalam Martin Van Bruinessen, NU Tradisi, Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: Lkis, 1994), hal. 42 dalam tata kehidupan politik, kekuatan NU terasa mandul, langkah-langkahnya lebih banyak bersifat sporadis dan partisan di dalam “rekayasa” politik, misalnya pada masa Orde Baru. Terasa seolah-olah Pemerintahan kurang dapat menerima keberadaan NU, sebagai kekuatan yang turut bermain di dalam sistem kekuasaan, NU tergiring dalam posisi marginal dalam pergulatan politik nasional. Marginalisasi itu pun terus berlanjut sampai muncul kesadaran baru untuk bangkit dari keterpurukan dan melakukan perubahan dasar dalam tubuh NU, yaitu dengan kembali ke Khittah 1926. Kesadaran yang dimaksud adalah kembali melakukan peran sebagaimana awal berdirinya, dimana orientasinya adalah merekontruksi internal, yaitu jami’yah yang orientasinya banyak mengarah pada politik menjadi Diniyah Ijtima’iyah (Sosial Keagamaan). B. Paham Ahlusunah wal Jama’ah dan Paham Kebangsaan NU Semenjak awal NU menunjukkan jati dirinya sebagai penganut paham Ahlussunnah12 Wal Jama'ah, yaitu sebuah paham keagamaan yang dikalangan NU berumber padn Al Qur’an, Al Sunnah, Al Ijma', dan Al Qiyas. Tetapi, dalam hal ini Ahlussunnah wal Jama’ah itu tidak hanya terdiri satu kelompok aliran, ada beberapa sub aliran. Oleh sebab itu Dr. Jalal M. Musa mengatakan, istilah Ahlusunnah tersebut menjadi rebutan banyak kelompok, yang masing-masing menyatakan bahwa dialah Ahlussunnah wal Jama’ah dan dimasukkan kata “Al Jamaa’ah” dalam istilah ini oleh Abdul Mudhoffar al-Isfarayini disebutkan bahwa 12 Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak langkah yang berasal dari nabi Muhammad SAW dan membelanya. Lihat Muhammad Tholhah Hasan, AHLUSSUNNAH WAL-JAMA’AH Dalam Persepsi dan Tradisi NU, 2nd ed. (Jakarta: Lantabora Press, 2004),hal.3. mereka memiliki alasan yang sama karena menggunakan “Ijma” dan “Qiyas” sebagai dalil syariah yang fundamental, disamping Kitabullah (al-Qur’an) dan Sunnah Rasul.13 Seperti Muhammadiyah dan organisasi lain yang mendasarkan pada Islam, juga menganut paham tersebut sehingga secara umum tidak bisa dianggap salah, sebab kegiatan yang mereka lakukan sesuai dengan paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Karena hendak mempertahankan dan mengembangkan paham inilah, NU dilahirkan. Di mana secara harfiah Ahlussunnah Wal Jama'ah, berarti penganut sunnah Nabi dan Sahabat-sahabatnya.14 Dalam pengertian yang lebih rinci dan ini yang dianut oleh NU, sedangkan dilain hal KH. Bisri Mustafa menafsirkan Ahlussunnah Wal Jama'ah sebagai suatu paham yang harus dipegang sebagai tradisi: 1. Dalam bidang hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu madzhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i. Dalam praktik NU banyak mengikuti faham yang diajarkan oleh Syafi’i. 2. Di bidang Tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Mansyur Al Maturudi. 3. Sedangkan di Tasawufnya, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Qosim Al Junandi.15 Dari doktrin-doktrin Ahlussunnah Wal Jama'ah tersebut di atas banyak melahirkan konsep-konsep NU dalam memandang dimensi kehidupan dengan 13 Muhammad Tholhah Hasan, AHLUSSUNNAH WAL-JAMA’AH Dalam Persepsi dan Tradisi NU, hal.3-4. 14 KH. Sirojuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, (Jakarta:Pustaka Tarbiyah,1983), hal.16. 15 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982), hal.149. implikasinya dalam pandangan terhadap negara, Islam, demokrasi, dan lain sebagainya. Dalam kehidupan kenegaraan doktrin ini, melahirkan sikap-sikap normatif yang oleh KH. Ahmad Siddiq diidentifikasi atau menjadi ciri khas NU, yaitu : 1. Tawasuth dan I’tidal, yaitu sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup menjunjung tinggi keharusan berlaku adil ditengah-tengah kehidupan bersama 2. Tasamuh, yaitu sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam soal keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau khilafah. 3. Tawuzuun, yakni sikap seimbang dalam berkhidmat kepada Allah, manusia, serta lingkungan hidupnya, menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa akan mendatang.16 4. Amar Ma'ruf Nahi Munkar, yakni sikap selalu memiIiki kepedulian untuk mendorong perbuatan yang baik berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah semua hal yang menjurus dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.17 Sikap-sikap normatif yang dimiliki NU inilah yang mempengaruhi prosfektifnya dalam melihat politik kenegaraan.18 Kewajiban hidup bermasyarakat dan bernegara merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar, mentaati 16 KH. Ahmad Siddiq, Khittah Nahdiliyyah, (Surabaya: Balai Pustaka, 1979), hal. 3-11. PBNU, Kembali Ke Khittah 1926, (Bandung: Risalah, 1985), hal.119. 18 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, Rekrontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orba, ( Bandung: Mizan, 1986), hal. 59. 17 pemerintah, juga merupakan kewajiban sepanjang tidak menganjurkan kepada kekufuran. Tidak mengherankan apabila menghadapi dualisme kepemimpinan Indonesia Suharmadji Marijan Kartosuwiryo (DI/TII), NU mendukung Soekarno dan memandang DI/TII sebagai pemberontak (bhugat). Semua diputuskan dengan berdasarkan kaidah keagamaan (fiqhiyah). Sehingga Gus Dur tidak bisa menerima sebutan Mitsuo Nakamura terhadap NU sebagai “Tradisionalisme Radikal” dan memandang Nakamura kurang tahu secara mendalam nilai-nilai dalam NU yang serba fiqih.19 Lanjutnya, bahwa bidang ilmu fiqih menyangkut segala praktek kehidupan beragam serta termanifestasi dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama. Dalam menggunakan hukum fiqh, NU berpegangan pada pedoman bahwa hukum-hukum itu timbul karena adanya sebab akibat atau al Hukmu Ma’al Illat.20 Kemudian melahirkan kerangka berfikir sebab akibat dalam merumuskan produk-produk hukum. Sementara itu, pandangan NU terhadap kehidupan bernegara tercermin dalam tulisan Kyai Achmad Siddiq : 1. Negara nasional (yang didirikan bersama seluruh rakyat) wajib dipeliharanya. 2. Penguasa negara (pemerintah) yang sah harus ditempatkan pada kedudukan yang terhormat dan ditaati, selama tidak menyeleweng, memerintah ke arah yang bertentangan dengan hukum dan ketentuan Allah. 19 20 Gus Dur, NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Prisma, 1984). Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik, (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984). hal.3. 3. Kalau terjadi kesalahan dari pihak pemerintah cara mengingatkan lewat tata cara yang sebaik-baiknya.21 Pandangan kenegaraan NU seperti di atas, dipengaruhi madzhab Syafi'i yang diikutinya. Madzhab Syafi'i memilah-milah negara terbagi menjadi tiga jenis, yaitu Dar al Islam (Negara Islam), Dar al Harb (negara perang/negara anti Islam), dan Dar al Sulh (Negara damai). Masyarakat Islam memiliki jenis pertama dan ketiga. Jika jenis pertama tidak tercapai maka umat Islam dapat menerima jenis ketiga, meskipun suatu negara tidak didasarkan pada hukum Islam, akan tetapi masyarakatnya masih melaksanakan ajaran Islam, maka masyarakat tersebut wajib membela negaranya. Secara sederhana, untuk melihat korelasi antara NU, Islam dan kehidupan kenegaraan, tidak dapat dilepaskan dari sifat dasar yang ada dalam NU sendiri. Sebagai organisasi keagamaan, NU jelas mempunyai keterikatan terhadap faham Ahlussunnah Wal Jama'ah. Faham ini bisa dikatakan sebagai pondasi (ruh) dan konstruksi NU. Inilah kata kunci untuk melihat pola hubungan NU, Islam, dan negara. Ideologi Ahlussunnah Wal Jama'ah menekankan nilai-nilai moderasi dan harmonis dalam kehidupan. Nilai-nilai tersebut dapat membingkai segala pemikiran NU untuk mencermati berbagai kehidupan, termasuk dalam melihat hubungannya dengan masalah pemikiran keagamaan dan politik . Dalam wilayah kenegaraan, doktrin Ahlussunnah Wal Jama'ah dirumuskan oleh KH. Achmad Siddiq, dengan sikap politik yang sangat menjunjung tinggi sikap Tawasssuth, Tawazun, Tasamuh, serta tatanan sosial politik dan ekonomi 21 KH. Ahmad Siddiq, Khittah Nahdiliyyah, hal.43. yang didasarkan pada prinsip-prinsip, Adlah (keadilan), Syura (musyawarah), dan Musawah (persamaan), merupakan modal dasar untuk membangun wawasan kenegaraan. NU sejak dulu dikenal sebagai ormas yang mengedepankan wawasan kenegaraan dan wawasan kebangsaan ketimbang ikatan primordial yang sempit. Cara pandang inilah, perbedaan NU dengan organisasi lainnya, khususnya kelompok Islam modernis perkotaan yang dikenal cukup militan. Rumusan KH. Achmad Siddiq ini memiliki akar dengan teologi Asy'ari yang dianut NU. Substansi teologi Asy'ari lebih menonjolkan kepada model teologi moderat , seperti menjaga nilai-nilai harmonis dan keseimbangan. Dalam doktrin hubungan dengan negara, teologi Asy'ari mempunyai diktum yang tegas. Misalnya dengan idiom-idiom “Suatu negara yang dipimpin oleh orang kafir yang adil lebih baik dari pada dipimpin seorang muslim yang anarkhis”, “ Kekacauan lebih berbahaya daripada ketidak adilan”, “ 60 tahun pemerintahan dipimpin oleh orang dzalim lebih baik dari pada semalam tanpa pemimpin.” dan seterusnya. Doktrin di atas dapat digunakan sebagai senjata dalam menganalisa pola-pola hubungan NU, Islam, dan negara dengan segala pasang surutnya. Fenomena penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai satu-satunya asas tunggal seperti yang dicetuskan KH. Ahmad Siddiq dapat dipahami dari implementasi konteks doktrin Aswaja. Dalam konteks penerimaan asas tunggal ini, pertimbangan NU tidak lepas dari konteks keagamaan. Bagi NU, Pancasila adalah ideologi terbuka yang secara teologis ia bersifat inklusif, sedangkan secara prinsipil dapat memaksakan “Islamisasi Politik” dan kekuatan-kekuatan Islam politik, atau lebih dari itu sebagai wujud penolakan NU terhadap paham negara Islam. Mengenai asas tunggal ini, Martin Van Bruinessen, menilai bahwa NU telah menegaskan asas tunggal tanpa sedikitpun mengorbankan komitmen keislamannya, NU telah menegaskan pondasi bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dari rumusan pola hubungan Islam dan Pancasila ini, Fajrul Falakh berpendapat, bahwa sekurang-kurangnya dapat disimpulkan terhadap pemahaman agama, konsepsi ideologi dengan pendekatan fiqhiyah yaitu: 1. Pemahaman bahwa Islam adalah fitrah yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan kepada manusia. 2. Pancasila bukanlah agama, tak dapat menggantikan posisi agama. 3. Rumusan ke-Tuhanan Yang Maha Esa menurut pasal 29 ayat (I) UUD '45 yang menjiwai sila-sila lainnya mencerminkan “Tauhid” menurut pengertian keimanan Islam. 4. Bahwa sejarah telah menunjukkan peran Umat Islam (termasuk NU) dalam perjuangan bangsa, mendirikan negara, mempertahankan kemerdekaan dan mengisi pembangunan. 5. Berdasarkan pendekatan fiqh, dinyatakan bahwa negara didirikan dan di jaga karena perintah agama dan untuk kemaslahatan pendukung negara. Maka NU memandang, bahwa Republik Indonesia, merupakan bentuk upaya final seluruh nation, terutama kaum muslim, untuk mendirikan negara di wilayah nusantara.22 Penetapan NU terhadap ideologi Pancasila tidak terbatas kepada penerimaan secara take for granted atau untuk kepentingan sesaat. Lebih dari itu, Douglas E. Remage menggambarkan bahwa penerimaan NU terhadap Pancasila hingga batas pembelaannya dari “monopoli” dan “rekayasa” interpretasi Pancasila oleh Rezim Soeharto, dimana ABRI diandaikan sebagai elemen integral dalam negara Pancasila.23 Memakai istilah Remage, Pancasila dipahami sebagai “kawasan sengketa” antara NU dan rezim Orde Baru. Begitu pula pembelaan NU terhadap ideologi Pancasila dan bentuk negara kesatuan sebagai konsep final tidak hanya sebatas retorika. Digambarkan oleh Robert W. Hafner, bahwa usaha-usaha NU dalam mendukung negara kesatuan begitu tegas dan penuh resiko, khususnya resiko secara politis misalnya termarginalnya NU dari pusat-pusat kekuasaan pada masa rezim Orba.24 Dalam bentuk lain, pembelaan NU terhadap bentuk negara kesatuan dibuktian pada saat negara sedang diambang keretakan (disintegrasi) seperti tahun 50-an atau awal reformasi . Tidak berlebihan apabila Gus Dur dalam sambutan Muktamar ke-30 di Kediri menyatakan bahwa NU adalah kekuatan terakhir yang sanggup mempertahankan keutuhan bentuk negara kesatuan.25 22 M. Fajrul Falakh, NU Dalam Era 1990-an dalam Membangun Budaya Kerakyatan,Kepemimpinan Gus Dur, Gerakan Nasoinal NU, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), hal.26. 23 Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU dan Negara, hal.196. 24 Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU dan Negara, hal.200. 25 Abdurrahman Wahid, “PKB, Syari'ah dan PKU,” Jawa Pos, 30 Oktober 1998. Cara pandang NU seperti ini juga diabsahkan oleh ideologi dasar yang dianut NU seperti penjelasan diawal, fleksibilitas NU terbukti dengan mudahnya diterima dan membaur dalam komponen bangsa, baik kelompok muslim maupun non muslim, juga mudah menerima faham (pemikiran) baru. Sehingga keberadaan NU dianggap sebagai titik temu antar semua ideologi, kekuatan politik, dan pluralitas kebudayaan bangsa ini. C. SEJARAH POLITIK NU MASA LALU Sejarah formal NU diawali sejak didirikan oleh Hadratus Syeikh KH.Hasyim Asy'ari26 di Surabaya, 31 Januari 1926 bersama ulama KH. Wahab Hasbullah dan beberapa ulama pesantren lain. Sesuai dengan namanya NU merupakan perkumpulan ulama yang bangkit serta membangkitkan para pengikutnya bersama kaum muslimin di tengah masyarakat bangsa. Sebagai organisasi sosial keagamaan (Jam'iyah Diniyah) dalam laju pertumbuhan berikut perkembangan NU tak lepas dari hiruk pikuk politik yang ada, dikarenakan NU mempunyai potensi politik yang tidak bisa dianggap kecil. 27 Babak awalpun dimulai pada tahun 1939 NU bergabung dengan Majlis Islam A'la 26 Peran KH. Hasyim Asy’ari tersebut dalam beberapa tulisan, yaitu sebagai pemberi legitimasi atas pemebentukan organisasi NU. Kyai Wahab maupun KH. Hasim Asy’ari selalu tampil dengan peran yang berbeda, tetapi secara mutualistik saling memerlukan dalam keberhasilan membentuk NU. Kyai Wahab menawarkan konsep dan kemampuan organisatoris, sementara Kyai Hasyim memberi legitimasi keagamaan. Lihat Andree Feillard, NU vis a vis Negara, (Yogyakarta:LkiS,1999), hal.11. 27 Dilihat dari segi hubungannya dengan politik dan pemerintah, sejarah NU bisa di bagi dalam lima periode. (1) 1926-1942, ketika NU menetapkan sikap non politik dan non kooperatif yang ketat vis-à-vis pemerintah kolonial Belanda; (2) 1942-1945, ketika NU dipaksa bekerja sama dengan pemerintah jepang; (3) 1945-1952, ketika NU berpartisipasi dalam pemerintahan Replublik yang baru berdiri, melalui partai Masyumi dimana NU memperoleh status keanggotaan istimewa; (4) 1952-1973, ketika NU secara langsung dan bebas berpartisipasi dalam politik dan pemerintahan atas nama NU sebagai parpol independent; (5) 1973-1984, ketika NU melepaskan kegiatan politiknya dan menyerahkan kepada PPP. Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU dan Negara, hal.58. Indonesia (MIAI),28 yang secara umum MIAI bergerak dibidang keagamaan tetapi dalam setiap aktivitasnya sarat dengan muatan politik.29 Sebenarnya MIAI ini dibentuk pada tahun 1937 sebagai keinginan untuk memperkuat tali persatuan umat Islam Indonesia, tapi baru dua tahun kemudian NU turut bergabung di dalamnya. 30 Setelah MIAI membubarkan diri,31 NU bergabung dengan organisasi Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI) yang dibentuk pada tahun 1945, pembentukan Masyumi dikarenakan, pada waktu itu penjajah baru, Jepang membekukan kegiatan politik termasuk MIAI yang berkesan anti kolonial. Sebenarnya partai masyumi ini dibentuk merupakan buah karya mukta'mar Islam Indonesia di Yogyakarta tanggal 7-8 November 1945. Dalam muktamar ini, salah satunya memutuskan bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai politik bagi Islam Indonesia, serta para aktivis politik Islam yang tergabung di dalam Masyumi sering disebut sebagai salah satu pelopor demokrasi di Republik ini. Berjalan dengan seiringnya waktu, dalam tubuh Masyumi selalu muncul konflik diantara tokoh-tokoh elitnya, sehingga NU selalu menemukan kekecewaan. Sebagai contoh pada kabinet Wilopo ( 3 April 1952 – 30 Juli 28 MIAI yaitu sebuah organisasi Islam gabungan antara NU, Muhammadiyah. Bagi NU, keterlibatanya dalam MIAI merupakan sebuah langkah awal untuk menuju dunia politik dalam arti terbawa untuk menentukan posisi secara tegas terhadap penjajah Belanda menjelang Perang Dunia II. Lihat Andree Feillard, NU vis a vis Negara, (Yogyakarta:LkiS,1999), hal.17 29 Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi Kekuasaan, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta:LkiS, 1994),hal.51. 30 Penggabungan NU kedalam MIAI , NU mempunyai alasan bahwa yakin kaum perubahan tidak mendominasi penggabungan dalam organisasi ini. Andree Feillard, NU vis a vis Negara, hal.17 31 Karena secara implisit keberadaan MIAI dan organisasi lain, selain NU dan Muhammadiyah tidak diakui Jepang. Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi,Relasi Kekuasaan, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta:LkiS, 1994),hal.54. Lihat Andree Feillard, NU vis a vis Negara, hal.29. 1953)32, dalam jabatan Menteri Agama, menurut NU jabatan tersebut adalah bagian NU ini berlangsung sejak awal kemerdekaan. NU menilai dirinya sebagai cermin dari mayoritas umat Islam Indonesia dilihat dari segi ilmu, aqidah, dan amaliyahnya. Namun ternyata jabatan itu diberikan pada Muhammadiyah (Faqih Usman). Merasa kecewa, NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan menyatakan diri sebagai partai politik independent.33 Ketika NU menjadi Parpol, sejarah membuktikan bahwa partai NU yang masih baru pada Pemilu 1955 menempati urutan ketiga.34 Prestasi ini memberikan posisi kuat untuk NU. Hal ini tercermin dalam kabinet koalisi. Namun rupanya periode Kabinet Ali Sastroamidjojo Kedua ( 24 Maret 1956 – 09 April 1957 ) yang masuk masa Demokrasi Liberal ini tidak berumur panjang. Padahal kala itu NU memperoleh empat jabatan menteri, yakni Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Menteri Sosial, dan Menteri Perekonomian.35 Apa daya, kabinet itu hanya berumur setahun kemudian diganti oleh Kabinet Juanda atau Kabinet Karya (09 Maret 1957 – 10 Juli 1959).36 Pada akhirnya, perubahan sistem politik Indonesia terjadi, setelah munculnya Dekrit 5 Juli 1959 maka muncul Era Demokrasi Terpimpin, yang membawa peran partai politik merosot tajam. 32 Greg Fealy, IJTIHAD POLITIK ULAMA Sejarah Nahdlatul Ulama 1952-1967. (Yogyakarta: LkiS, 2007).hal.372. 33 Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional (Jakarta: Grafiti Pers, 1987).hal.79-94. 34 Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi,Relasi Kekuasaan, Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LkiS, 1994),hal.69 35 Greg Fealy, IJTIHAD POLITIK ULAMA Sejarah Nahdlatul Ulama 1952-1967. (Yogyakarta: LkiS, 2007).hal.374. 36 Kabinet Juanda atau Kabinet Karya adalah merupakan koalisi antara PNI-NU. Andree Feillard, NU vis a vis Negara, hal.53. Tak terkecuali Masyumi yang termasuk disingkirkan. Karena keterlibatan tokoh-tokohnya dalam pemberontakan PKI dan di sisi lain NU dengan sikap akomodatifnya mampu bertahan. Dengan lengsernya Masyumi menjadikan NU sebagai partai Islam terbesar, dengan demikian NU terus menggalang persatuan umat Islam mengimbangi kekuatan PKI. Melalui Subhan ZE37, NU menggalang pemuda-pemuda untuk menandingi PKI yang telah meluas mengkader para pemuda dengan latihan dan disertai persenjataan yang lengkap. Pada akhirnya prahara politik yang dilancarkan PKI pada tahun 1965 telah menandai awal proses Demokrasi Terpimpin telah berakhir. Adanya percobaan kudeta yang dinamakan G 30 S PKI ini, memunculkan perasaan anti komunis di kalangan masyarakat. Dari penggalangan yang dilakukan Subhan ZE, menghasilkan sikap anti komunis sehingga terbentuk KAPGestapu, yaitu kekuatan aksi pengganyangan G 30 S PKI pada akhirnya menuntut pembubaran PKI. Dinamika politik terus berjalan seiring kekuasaan negara jatuh ditangan Soeharto atas mandat Presiden Soekarno melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Bersama TNI-AD Pak Harto terus mengembangkan sayap politik dengan mendirikan partai Golkar (Golongan Karya) pada tanggal 20 Oktober 1964 37 Subchan Z.E adalah pengusaha muda kaya dari Kudus, Jawa Tengah. Bergaya hidup cosmopolitan, bertentangan dengan hidup Puritan yang dianut sebagian besar Kyai di kalangan NU. Subhan juga sering memunculkan gagasan radikal, ia ingin menjadikan NU sebagai partai kader dan modern, membatasai peran ulama hanya dalam wilayah keagamaan, bukan urusan politik. Dengan sikap politiknya yang reformis, Subchan sangat popular di kalangan politisi muda NU pada waktu itu. Di tubuh NU, subchan memiliki jabatan yang dituigaskan kepadnya diantaranya; Ketua IV Pengurus Besar harian hasil pemilihan muktamar tahun 1962-1967, dengan surat ‘Penetapan Pengurus besar NU’, PBNU (56/Tanf/Pgs/II-1963) 4 Februari 1963 AN 96. Lihat Abdul Wahid, SANG PEJUANG SEJATI K.H Muhammad Yusuf Hasyim Di Mata Sahabat Dan santri,(Jombang: PUSTAKA IKAPETE, 2007), hal24-25.Lihat juga Greg Fealy, IJTIHAD POLITIK ULAMA Sejarah NU 1952-1967 (Yogyakarta: LKis, 2007).hal.383-385. dengan nama Sekber Golkar. Golkar pada masa awal berdirinya tidak mempunyai basis massa, kemudian mengunakan taktik buldoser untuk mengalihkan suarasuara partai lama. Tidak heran jika Golkar dapat memenangkan Pemilu pada tahun 1971. Sedangkan partai-partai lain umumnya tertindih, tetapi NU tetap mampu bertahan dari sinilah peran Kyai dan pesantren menjadi faktor utama penentu prestasi NU. Berikutnya, pada tanggal 5 Januari 1973 NU berfusi dengan tiga partai politik lain kedalam PPP. Hal ini terjadi atas kebijakan Pak Harto untuk mengelompokan partai-partai dengan tujuan mempermudah kampanye Pemilu dan sistem administrasi seperti fraksi di DPR.38 Namun perjalanan politik NU di tubuh PPP sering mendapat kekecewaan, pada akhirnya NU menyatakan untuk kembali ke Khittah 1926 yang ditetapkan dalam MUNAS Alim Ulama NU di pondok pesantren Salafiyah Syafi'iyah Asembagus Situbondo. Keputusan ini akhirnya diimbuhkan pada Muktamar NU setahun kemudian di tempat yang sama. Dengan keputusan Muktamar tentang Khittah ini secara otomatis NU keluar dari PPP. Momentum kembali ke Khittah 1926 tersebut, telah mengubah hampir semua tatanan kehidupan komunitas NU, terutama yang berkaitan dengan orientasi gerakannya. Kembali ke Khittah 1926 bukan semata-mata berarti meninggalkan kehidupan politik, tetapi lebih sebagai perubahan orientasi gerakan politik. Jika sebelumnya NU menempuh strategi politik panggung, politik struktural yang disediakan oleh pemerintah Orba, maka dengan kembali ke 38 Lance Castles, TUJUH MESIN PENDULANG SUARA Perkenalan, Prediksi, Harapan Pemilu 1999 (Yogyakarta:LkiS, 1999), hal.xvi. Khittah NU menempuh strategi “politik tanpa panggung”, artinya dalam kehidupan politik NU menciptakan panggung permainannya sendiri dan pada saat yang sama mengabaikan panggung yang telah disediakan pemerintah Orba. Pelepasan jaket politik struktural Orba ini tidak menurunkan karir politik NU. D. POLITIK NU DAN KHITTAH 1926 Hubungan antara NU dan Negara kini menunjukkan perkembangan menarik. Setelah sekian lama jami’yah yang berbasis massa desa ini berada di luar pemerintahan, sekarang mulai masuk di dalam pemerintahan. Posisi yang berubah ini tentu menimbulkan “kegagapan-kegagapan” tertentu. Misalnya, bagaimana organisasi ini harus memposisikan dirinya ketika harus berhadapan dengan negara yang dipimpin putra terbaik NU Abdurrahman Wahid.39 Muktamar NU ke-30 yang diselenggarakan di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, mempunyai arti strategis. Siap atau tidak, dalam perhelatan akbar kali ini NU dituntut untuk melakukan pemikiran ulang atas apa yang telah dilakukannya selama ini. Belum tentu yang dihasilkan pada Muktamar kali ini adalah segala sesuatu yang bersifat baru. Bisa saja yang muncul justru peneguhanpeneguhan atas apa yang pernah digelutinya pada lima belas tahun terakhir. Pada masa-masa itulah NU mengalami transformasi sangat penting. Tidak saja organisasi sosial-keagamaan terbesar di Nusantara ini memperoleh injeksi kepemimpinan orang sekaliber Abdurrahman Wahid, tetapi juga karena keadaan harus merumuskan ulang format dirinya dalam kaitannya dengan kekuatan39 h.11. Bahtiar Effendy, Gus Dur dan pupusnya DWI TUNGGAL (Jakarta: Ushul Press, 2005), kekuatan politik disatu pihak, dan dalam hubungannya dengan pemerintah atau negara di pihak lain. Dalam hal ini penting untuk dicatat, bahwa selama lebih kurang tiga dasawarsa, NU mengalami proses penjauhan dari negara. Meskipun tidak bersifat clear cut benar, lembaga-lembaga politik-keagamaan Orde Baru kosong dari kemungkinan partisipasi kalangan nahdliyin. Baik Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Departemen Agama, dan kemudian Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) sekalipun “bebas” dari keterlibatan strategis tokoh-tokoh NU. Memang untuk waktu yang cukup panjang, pemerintah Orde Baru lebih memberi peluang kepada kalangan Islam “sekolahan”. Tentu ada penjelasan yang bersifat rasional tentang konfigurasi politik keagamaan seperti ini. Mungkin saja, kemampuan administratif kalangan Islam “sekolahan” tadi bersifat komplementer dengan kebijakan pemerintah Orde Baru yang menekankan stabilitas politik dan pembangunan. Meski begitu, tetap saja secara emosional-keorganisasian, kalangan NU merasa terpinggirkan. Karenanya, masuk akal ucapan Abdurrahman Wahid beberapa waktu lalu, ketika Presiden Soeharto turun, NU tidak ikut bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat oleh Orde Baru. Situasi inilah yang antara lain menjadi faktor reposisi NU pada Muktamar Situbondo. Lewat tangan-tangan dingin tokoh-tokoh NU seperti KH As'ad Syamsul Arifin, KH Achmad Shiddiq, KH Ali Maksum, dan Abdurrahman Wahid, organisasi ini menggulirkan semangat “Kembali ke Khittah 1926”. Kurang lebih, dengan itu NU ingin menyatakan bahwa NU kembali ke garis asalnya jam'iyah sosial-keagamaan. Karenanya kaitan NU dengan politik bersifat ada jarak dan mengambangkan warganya untuk bergabung dengan siapa mereka suka. Inilah yang pernah dikeluhkan Mahbub Djunaidi, yang dalam pandangannya tak rela melihat NU yang jumlah anggotanya banyak itu, semata-mata menjadi “hostes politik.” Terlepas dari kekecewaan seorang Mahbub, terbukti dengan itu kalangan NU bisa masuk ke mana-mana. Pada tahap inilah, NU sebenarnya telah memberi makna atas apa yang dapat disebut sebagai diversifikasi politik Islam. Yaitu, bahwa alat dan medium politik itu beragam. Dengan negara sekalipun, karena situasinya seperti diisyaratkan di atas, ia menjaga jarak. Bahkan dikenal sebagai mewakili kekuatan kritis. Konstruk seperti inilah yang kemudian mengantarkan NU untuk mengembangkan wacana tentang berpolitik secara budaya tentang Civil Society sesuatu yang sangat diminati oleh kalangan muda NU hingga kini. Masa uzlah NU dengan politik dan negara berakhir sudah. Terutama sejak periode reformasi lahir, dan orang pun mulai bergairah untuk ramai-ramai mendirikan partai. Seperti tak ada beban dengan semboyan “Kembali ke Khittah 1926”, warga NU mengikatkan kembali hubungan emosional-kelembagaannya dengan partai politik. Meskipun secara organisasi hal ini bisa dijelaskan, dan dipercaya tidak bertentangan dengan Khittah, tak urung hal itu menimbulkan kecemasan. Reformasi telah merubah alur politik NU, dari Ormas tahun 1926 menuju ke Parpol tahun 1955 kemudian masuk kembali ke Ormas dengan dalih Khittah ’26 di 1984 berlanjut merubah arah rotasi politik dengan menggunakan jaket politiknya tahun 1998 era reformasi dengan mendirikan Parpol yang bertajuk partainya orang NU bersifat terbuka untuk siapapun. Ternyata alibi yang dibuat Abdurrahman Wahid menjadi sebuah kenyataan luar biasa. Jauh dari perkiraan warga NU, PKB menjadi partai yang kuat dari akar rumput sampai kalangan moderat NU. Sebuah sosialisasi dan jurus politik terbaik yang dilakukan oleh kalangan elit NU. Tanpa basa-basi, Abdurrahman Wahid telah menjadi ikon besar. Dia telah merubah pragmatisme politik NU, melalui koalisi dengan partai sekuler yang dikenal dengan Poros Tengah. Abdurrahman Wahid mempunyai kekuatan penuh yang takkan diperkiraan sebelumnya dengan puncak menjadi Presiden Republik Indonesia ke-4 hasil votting anggota parlemen. Ini merupakan sebuah prestasi politik NU terbaik pada masa reformasi. Semula NU hanya mempunyai panggung sendiri dalam hal politik, maka pada masa reformasi NU bukan lagi ikut dalam panggung politik yang telah disediakan pemerintah. Tetapi NU langsung meminang garis depan dan mengkordinir serta memegang peranan penuh politik negara. Jarak NU dengan kekuasaan pupus. Disadari atau tidak, NU telah terintegrasikan ke dalam negara. Inilah persoalan yang sangat ingin dinafikan mau tidak mau NU harus melihatnya kembali pada Muktamar kali ini. Secara formal, NU tetap akan berada pada posisi Kembali ke Khittah 1926. Secara substansial dan emosional, duduknya Abdurrahman Wahid di kursi kepresidenan merupakan sesuatu yang harus ditata ulang dalam kerangka berpikir dan bertindak NU. Kegalauan semacam ini semakin kuat walaupun bukan tidak disertai oleh kegembiraan tertentu dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Dalam konteks inilah diharapkan pada Muktamar selanjutnya akan memilih seseorang yang bukan carbon copy Abdurrahman Wahid. Bukan saja yang terakhir ini unik dan fenomenal di NU, bahkan mungkin juga di Tanah Air, tetapi tantangan NU ke depan lebih terfokus pada pengembangan kelembagaan. Karena itu, yang diperlukan adalah seseorang yang mempunyai kemampuan manajerial, dalam bahasa Herbert Feith “ administrator”. Kualitas seperti ini akan membawa NU pada garis yang “semestinya.” Yaitu sebagai organisasi sosial keagamaan, para ulamalah sebenarnya yang mengendalikan gerak organisasi. Kepada siapa harapan ini dapat diletakkan? Bachtiar Effendi mengungkapkan bahwa kiranya warga NU jauh lebih paham, dibanding siapa pun yang berada di luar lingkungan mereka, siapa itu Hasyim Muzadi, Agil Siradj, Salahudin Wahid, Achmad Bagdja, atau Fajrul Falaakh.40 Tetapi prestasi orang-orang NU untuk mengembangkan sayap politik patut di acungkan jempol. Konsep yang berbuah matang pun berhasil diraih. Sehingga, dari penjelasan di atas dapat ditarik benang merah, NU dan politik takkan pernah lepas baik dari awal berdiri sampai sekarang. Karena politik adalah salah satu organ pelengkap hidup NU. Itu tidak bisa dipungkiri, sejarah awal NU lah yang telah memberikan jawaban itu semua. Jika NU bergerak tanpa diimbangi dengan politik maka pincanglah NU. 40 h.7-10. Bahtiar Effendy, Gus Dur dan pupusnya DWI TUNGGAL (Jakarta: Ushul Press, 2005), KHITTAH NU 1926 Khittah NU 1926 merupakan era baru orientasi perjuangan NU. Keberadaan Khittah ini merupakan reorientasi perjuangan NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam hal pengelolaan umat untuk kepentingan pembangunan. Keberadaan khittah NU 1926 merupakan titik balik perjuangan NU, dari perjuangan sektor politik menuju perjuangan yang lebih memberikan perhatian pada aspek sosial kemasyarakatan, persis misi pada saat didirikannya organisasi sosial keagamaan ini pada tahun 1926. Lahirnya Khittah 1926 ini di samping diilhami oleh kondisi obyektif bahwa perjuangan di bidang politik ternyata lebih besar mudharat (kerugian), dari pada manfaatnya, artinya pengorbanan yang harus diberikan NU lebih besar dari manfaat yang dapat diraih kasus paling nyata dapat dilihat dari marginalisasi peran NU di PPP. Dalam sisi lain perjuangan di bidang politik ternyata telah menyita perhatian, dengan konsekuensi terampasnya perhatian dan energi fungsionaris dan aktivis NU yang semestinya menjadi porsi untuk umat (anggota). Akhirnya NU melontarkan umatnya yang mestinya mendapat perhatian dan arahan, justru kian mendapatkan umatnya pada posisi tertinggal dalam hal kualitas diri, dibanding umat lain. Disinilah muncul kesadaran baru yang memandang perlunya dilakukan perubahan-perubahan mendasar dalam tubuh NU. Kembali ke Khittah 1926 adalah kesadaran yang dimaksud, tiada lain merupakan titik balik dimana NU kembali kepada semangat dasarnya. Babak awal mulai dilakukan untuk perubahan secara mendasar, baik pada aspek kepemimpinan dengan segala perangkat (struktural) organisasinya, maupun aspek politik berkaitan dengan visi, misi dan strategi (perjuangan) nya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Khittah 1926 yang ditetapkan melalui Muktamar ke-27 di Situbondo (1984), sebagai refleksi kritis terhadap perjalanan NU. Dengan demikian, telah mengembalikan arah perjuangannya dari politik kepada sosial keagamaan. Disinilah kemudian, NU memasuki wilayah baru, yakni Perjuangan Kemasyarakatan Semesta.41 41 Ini adalah periode sesuai dengan yang dikemukakan oleh Gus Dur, merupakan periode ketiga NU (1984-sekarang). sebelumnya adalah periode dimana NU hanya menjadi jami’yah Diniyah (1926-1936), serta perjuangan politik (politik idealistik) (1936-1955), dan NU menjadi kekuatan politik (1955-1984). M. Masyhur amin, Dialog Pemikiran Islam dan Realitas Politik, (Yogyakarta:LKPSM,1993), hal.151-152. BAB III PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM TERHADAP VISI PERJUANGAN POLITIK NU A. SKETSA BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID Abdurrahman Wahid lahir 4 Agustus 1940 di Jombang, Jawa Timur dengan nama Abdurrahman ad-Dakhil, ia telah melewati proses pematangan pemikiran dan pengembangan intelektual yang cukup panjang dan dalam.42 Abdurrahman Wahid tumbuh dan berkembang di tengah keluarga santri beraliran Sunni. Kakeknya KH. Hasyim Asy’ari, adalah pendiri NU. Ayahnya, KH. A. Wahid Hasyim, adalah Menteri Agama RI pertama dan aktif dalam Panitia Sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta. KH. A. Wahid Hasyim memberikan nama Abdurrahman ad Dakhil bagi putra pertamanya yang lahir pada Agustus 1940. Nama itu diambilkan dari nama tokoh Islam terkemuka dimasa Dinasti Umayah. Secara leksikal, ia berarti “Abdurrahman sang penakluk” Idealisme KH. A. Wahid Hasyim adalah tentu agar putra pertamanya juga menjadi seorang “penakluk”, seperti pemilik asli nama itu ratusan tahun silam. Namun dikemudian hari sang putra lebih suka menuliskan namanya sebagai Gus Dur. Orang-orang secara akrab memanggilnya Gus Dur. Barangkali karena itulah, karena tidak pernah menuliskan kata ad 42 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institut, 2006), hal.ix. Dakhil, putra KH. A. Wahid Hasyim ini sedikit kepayahan untuk menampilkan diri sebagai seorang penakluk, bahkan dalam lingkungan NU yang dipimpinnya. Meskipun berasal dari keluarga santri, sebagian jenjang pendidikan formal Abdurrahman Wahid ditempuh di sekolah-sekolah sekuler. Ia lulus dari Sekolah Rakyat (SR) di Jakarta tahun 1953. Tahun 1953 - 1957, ia belajar di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Yogyakarta. Di Yogyakarta ini ia tinggal di rumah salah seorang Majlis Tarjih Muhammadiyah, KH. Junaid. Dari tahun 1957–1959 ia belajar di pesantren tegalrejo Magelang dan kemudian pindah ke Pesantren Mu’allimat Bahrul Ulum Jombang, sampai tahun 1963. Kemudian ia pindah ke Pesantren Krapyak Yogyakarta dan menetap di rumah tokoh NU terkemuka, KH. Ali Ma'shum.43 Tahun 1964, Abdurrahman Wahid berangkat ke Kairo untuk belajar di Universitas al Azhar. Namun, sebagian besar waktunya di Mesir dihabiskan di ruang perpustakaan, terutama American University Library, sebuah perpustakaan terlengkap di kota itu. Dari Mesir ia pindah ke Universitas Baghdad mengambil Fakultas Sastra. Dengan latar belakang pendidikan, pergaulan, dan perkenalannya dengan dunia keilmuan yang cukup kosmopolitan itu, Abdurrahman Wahid mulai naik ke permukaan percaturan intelektual Indonesia dengan pemikiran-pemikiran briliannya. Pada tahun 1970-an, ketika ia mulai aktif di beberapa lembaga sosial, LSM, dan forum-forum diskusi. Kendati latar belakang pendidikan formalnya tidak ada yang ditempuh di Barat, menurut Greg Barton. Abdurrahman Wahid 43 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, hal.xi-xiii. secara intelektual jauh lebih siap untuk berpartisipasi dalam wacana-wacana besar mengenai pemikiran Barat, pendidikan Islam, dan masyarakat Muslim. Studinya di Baghdad telah memberikan dasar yang baik mengenai pendidikan bercorak liberal dan bergaya Barat serta sekuler.44 KH. Ali Ma'shum (alm) pengasuh Pondok Pesantren al Munawwir Krapyak Yogyakarta pernah menyatakan “ Gus Dur itu pancen nyeleneh, aneh, ananging beneh (Gus Dur itu membuat kita bingung, bengong, namun nyatanya benar)”. Cerita ini terungkap ketika ada pengadilan terhadap perilaku Abdurrahman Wahid yang dianggap membingungkan atau kontroversial.45 Gagasan-gagasan dan komentarnya dianggap bertentangan dengan aturan yang selama ini dianut oleh kalangan NU atau pemeluk Islam. Tulisan atau perilaku Abdurrahman Wahid membingungkan warga, khususnya ulama NU. Termasuk didalamnya tentang ajaran Marxisme. Didasari terhadap gagasannya, Abdurrahman Wahid sering dituduh sebagai agen orientalisme, zionisme, sekuler, sosialis, dan meremehkan ajaran Islam. 46 Sejak melontarkan pemikiran-pemikiran pada pertengahan 1980-an, Abdurrahman Wahid senantiasa mewarnai wacana media massa di tanah air. Berangkat dari dunia pesantren, ia dinilai berhasil menepiskan anggapan sebagian komunitas Islam kota terhadap kejumudan dunia pendidikan Islam tradisional. 44 Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU dan Negara, hal.165-166. Kh Ahmad Siddiq (alm) pernah mengungkapkan kehenarannya ketika Gus Dur yang masih SMEP sudah membaca Das Kapital karya Karl Max. Sewaktu remaja ia juga gemar membaca karya-karya Jean Pul Sartre dan mengagumi pemikiran pemimpin besar India, Mohandas Karamachachand Ghandi. KH. Imron Hamzah dan Choiril Anam, “Gus Dur Diadili Kyai-Kyai”, Jawa Pos, 1989, hal. 11 45 KH. Imron Hamzah dan Choiril Anam, “Gus Dur Diadili Kyai-Kyai”, Jawa Pos, 1989, hal. 3. 46 Sholihin Hidayat dan Sururi al Faruqi “Gus Dur Tokoh Nyeleneh dan Konsisten”, Jawa Pos, 20 April 1999. Kolom – kolom awalnya menyadarkan orang akan tidak berdasarnya “stereotip” yang sering dialamatkan kepada para kyai selama ini. Memasuki dasawarsa 1990an langkah politiknya lebih ‘gila’ lagi. Bagi sejumlah komunitas Islam, ia pernah dikecam habis-habisan karena pendapatnya yang berani keluar dari mainstream umat. Kemudian bersama sejumlah tokoh yang ada di pinggir kekuasaan ia mengungkapkan forum Demokrasi. Dengan itu, maka ia telah mengambil resiko yaitu bersebrangan dengan pendukung status quo. Menjelang pemilu 1997, ia menggandeng Mbak Tutut tanpa meninggalkan Mbak Mega. Masih dalam kesempatan yang sama, bersama Mbak Tutut dan R. Hartono ia melakukan safari politik ke kantong-kantong NU di Jawa Timur. Sebelumnya pada Muktamar NU di Cipasung tahun 1995, ia sempat digoncang oleh kubu Abu Hasan, tapi ia tidak collapse. Setelah itu iklim hubungannya dengan pemerintah sempat agak memanas. Tetapi justru ia bisa bersalaman dengan Pak Harto. Ada yang menyebut peristiwa ini sebagai “salaman politik”. Dengan segala sepak terjangnya itulah benar-benar menjadi sosok kyai yang mewarnai langit intelektual bebas di tanah air. Siapa lagi kalau bukan Gus Dur, panggilan akarab KH. Abdurrahman Wahid, tokoh paling kontroversial di panggung politik Indonesia. Periode akhir kepemimpinan Abdurrahman Wahid dalam NU, didukung terutama kehidupan politik era reformasi, setelah Soeharto lengser pada 21 Mei 1998. Abdurrahman Wahid telah bermain api di kancah politik nasional. Tidak secara langsung atas lengsernya Pak Harto memberikan kesempatan politik bagi banyak pihak, apalagi yang mempunyai dukungan massa besar, untuk dilewatkan begitu saja. Tanpa memperdulikan suara-suara sumbang, tiba-tiba Abdurrahman Wahid membuat kejutan politik, dengan mendirikan partai bagi warga NU, yaitu PKB. Hal ini dilakukan agar NU dapat secara langsung merasakan pahit manisnya politik yang tidak manikmati secara berarti, serta tidak mau hanya berdiri di pinggir jalan. Karena terbentur di Khittah ’26, maka diciptakanlah PKB. Dan, tamsil yang pernah dinyatakan Abdurrahman Wahid pada masa kampanye 1999, bahwa ibarat ayam NU mengeluarkan “telur” dan ”kotoran” menunjukkan tingkat proksimitas PKB dengan NU yang teramat tinggi. Inilah yang membuat peserta Muktamar merekomendasikan PKB untuk melakukan politik “pulang kandang.” Dengan kata lain, mereka mengamanatkan PKB untuk mengajak para nahdliyin, yang secara politik berada dimana-mana, untuk kembali ke “telur” NU. Karenanya, meskipun diawal pidato, Abdurrahman Wahid sudah menyatakan keharusan untuk memisahkan NU dengan PKB, di dalam pandangan jamaahnya antara NU dan PKB merupakan entitas yang tidak bisa dipisahkan.47 Sampai pada klimaksnya meteor politik Abdurrahman Wahid mencorong ketika dirinya resmi terpilih menjadi Presiden RI ke-4 di bawah mandat MPR. Dengan wakil Megawati selaku rival dalam pemilihan langsung anggota MPR tersebut yang berasal dari “partai wong cilik” (PDI-Perjuangan) yang memperoleh jumlah suara pada urutan setelah Abdurrahman Wahid. 47 Bahtiar Effendy, Gus Dur dan pupusnya DWI TUNGGAL, hal.26. Itulah sebagian kecil sosok Abdurrahman Wahid, yang sekilas terkesan sebagai tokoh multi komplek lengkap dengan segala kenyelenehannya. "Tugas saya sudah usai, mengobrak-abrik NU, yakni mengubah wawasan warga NU”. Itulah salah satu ungkapan ketua PBNU Abdurrahman Wahid saat usai periode kedua dalam kepemimpinan dalam NU.48 B. PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG NU, ISLAM DAN NEGARA Pendidikan Abdurrahman Wahid mewakili Amalmagasi antar pendidikan Islam tradisional dan pendidikan “barat” modern. Dilihat dari setting ini, akan tampak salah satu dari hasil sintesis kedua pendidikan ini adalah perhatian yang sangat kuat untuk reformasi pemikiran dan politik Islam, sesuatu yang harus diperhatikan oleh modernisme Islam. Untuk benar-benar memahami pemikiran politik Abdurrahman Wahid, perlu dilihat kehadirannya sebagai representasi generasi pemikir Islam Revolusioner di Indonesia. Greg Barton,49 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi,50 memasukkan Abdurrahman Wahid sebagai pemikir Neo-Modernis, yang sangat mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka, inklusif dan liberal, utamanya dalam menerima dan meng-afirmasi pluralisme masyarakat dan menekankan signifikansi toleransi dan harmoni dalam hubungan antar komunal.51 Salah satu 48 Ummurisalah, “Gus Dur di Mata Mereka”, Aula, No. 11/Th.XVI/November 1994, hal.27. 49 Greg Fealy dan Greg Barton, Op Cit , hal.195. Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, Rekrontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Cet II, ( Bandung: Mizan, 1990), hal. 171-177. 51 Ammaruddin Masdar, Membaca Pemikiran Gus Dur dan Amin Rais Tentang Demokrasi. 50 ciri yang menandai pemikiran Neo-modernis adalah komitmennya pada pluralistik dan nilai-nilai demokratik. Selain itu, nilai-nilai pluralistik ini telah dirajut di dalam struktur Iman (Islam) sebagai nilai inti Islam itu sendiri.52 Berangkat dari pola pemikiran di atas, timbul pertanyaan bagaimanakah Abdurrahman Wahid menempatkan kepentingan nasional dengan kepentingan agama (Islam)?. Bagi Abdurrahman Wahid, kepentingan Islam memang harus diutamakan oleh umat Islam, sebab itu hak Umat Islam telah dijamin oleh perundang-undangan. Tetapi permasalahannya, bagaimana kalau kepentingan Islam itu justru merugikan pihak lain?. Hal demikian menurut Abdurrahman Wahid harus dihindari, karena kepentingan nasional adalah Kepentingan Islam juga, tujuan Islam adalah menciptakan kesejahteraan sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an “ Tiadalah Ku utus engkau ( wahai Muhammad ), kecuali sebagai pembawa Rahmat ( Kesejahteraan )”. Sehingga kita bisa mengetahui mengapa Abdurrahman Wahid menolak bergabung dengan ICMI. Menurut persepsinya, ICMI cenderung bersifat eksklusif. Apalagi pada kenyataannya, ICMI lebih banyak bernuansa politis daripada nuansa kecendekiawanan. Fenomena ICMI yang kita saksikan tampaknya menjadi sarana “batu loncatan” oleh pihak-pihak tertentu untuk meningkatkan karir politik, dan dengan ICMI negara bisa mengkooptasi atau bahkan menjinakkan para cendekiawan muslim yang semula sangat kritis terhadap negara.53 52 53 hal.70. Greg Fealy dan Greg Barton, Op Cit , hal.195 Nasrullah Ali Fauzi, ICMI Antara Status Quo dan Demokratisasi,(Bandung:Mizan,1995), Kenyataan ICMI tersebut di atas bagi Abdurrahman Wahid dirasa kurang sehat, terlalu banyak membela satu golongan saja (Islam) dan mengabaikan golongan lainnya (non muslim). Hal demikian kurang baik untuk suatu negara semacam Indonesia yang pluralistik serta memiliki komponen yang beranekaragam. 54 Ia menegaskan pendapatnya : Bagi saya “masyarakat Islami” di Indonesia bertentangan dengan konstitusi, karena akan menempatkan non muslim sebagai warga negara kelas dua. Tetapi sebuah masyarakat Indonesia di mana kaum muslimin kuat, kuat yang berarti berfungsi secara baik. Saya pikir itulah yang terbaik. Karena itu, menjadi tugas NU-lah untuk menunjukkan alternatif visi dan kemasyarakatan yang toleransi.55 Dalam menghadapi kebangkitan politik Islam di Indonesia, Abdurrahman Wahid berargumentasi:.. Jauh di lubuk hati saya, saya tidak tahu bahwa tidak mungkin bagi Indonesia diatur oleh satu pihak. Impian dan keyakinan saya bagi sebuah Indonesia yang modern adalah politik yang terbuka, dimana kegiatan politik adalah hal yang biasa dan tidak secara eksklusif berdasarkan agama dan ras. ... Bukankah, sebaliknya bahwa gerakan Islam harus menghindarkan formalisme dan memperjuangkan demokrasi dengan segala konsekuensinya. kalau ini tidak dilakukan bukankah salah satu, kalau kita menghasilkan formalisme Islam yang mengekang demokrasi (seperti di Iran) atau meninggalkan demokrasi dengan meninggalkan Islam? Pertarungan inilah yang tampaknya masih akan mewarnai kehidupan bangsa ini. Abdurrahman Wahid melihat bahwa wadah untuk pendapatnya sebenarnya sudah ada yaitu Pancasila. Baginya, di dalam Pancasila terdapat unsur toleransi beragama, dan merupakan prasyarat yang sangat penting dalam pembangunan sebuah masyarakat demokratis di Indonesia. Pandangannya mengenai Pancasila 54 55 Gus Dur, “ ICMI Islam Masjid”, Aula, No. 11/Th.XIV/November 1994, hal.55. Greg Fealy dan Greg Barton, Op Cit , hal.206-207. sebagai basis nasionalisme bagi negara penting, karena beberapa muslim memandang Pancasila sebagai ideologi sekuler yang tidak sesuai dengan lslam. Dalam hal ini, Abdurrahman Wahid sering kali menunjukkan bahwa, ayahnya Wahid Hasyim, seorang pemimpin NU pada tahun 1945, juga sepakat mendukung negara nasional non Islam.56 NU merupakan salah satu organisasi berbasis massa yang pertama kali mengakui keabsahan Orde Baru. Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa tidak ada keharusan dalam ajaran Islam untuk membentuk negara Islam. Itulah sebabnya, ayahnya dan kepemimpinan NU bisa dengan mudah menerima sebuah negara yang tidak secara eksplisit berdasarkan Islam. Baginya Indonesia adalah sebuah negara konsensus dan kompromi ini inhern dalam Pancasila.57 Abdurrahman Wahid seringkali menekankan keyakinan nasionalis NU dengan menegaskan kesetiaan NU pada Pancasila. Ia menjelaskan bahwa pada tahun 1945 Soekarno meminta nasehat pimpinan NU, termasuk ayahnya yang diyakini membantu Soekarno merumuskan Pancasila.58 Selain itu Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan nasionalisme. Islam bisa berkembang secara spiritual dalam sebuah negara nasional yang tidak secara formal berdasarkan pada Islam: NU berpegang pada konsepsi nasionalisme yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. NU telah menjadi pioner dalam masalah ideologis. Ini hanya satu kasus, karena di seluruh dunia Islam hubungan antara nasionalisme dan Islam masih menjadi persoalan, para penulis sendiri 56 Dapat dilihat dalam pernyataan Wahid Hasyim pada tahun 1945 bahwa dengan “Persatuan bangsa yang tidak dapat dipecah-pecah, posisi Islam yang sehat bisa di jamin”, dikutip dari Harry J. Benda, The Crescent And The Rissing Sun, Indonesian Islam Under Japanese Occupation, (Den Hag: Van Houve Ltd, 1953). hal 189. 57 Gus Dur, “NU dan Islam”, Media Indonesia, 8 Oktober 1998. 58 Pidato Gus Dur, “Langkah Strategis”, Aula, Juli 1992, hal.26. menganggap nasionalisme sebagai bentuk sekularisme. Mereka belum mengerti bahwa nasionalisme seperti yang dipraktekkan di Indonesia tidaklah sekular, tetapi sangat menghormati peran agama.59 Gambaran pemikiran Abdurrahman Wahid di atas telah membuat NU menciptakan organisasinya sendiri pada tahun 1926, dan menciptakan partai politik sendiri pada tahun 1952 ketika kepemimpinan baru Masyumi di bawah Moh. Natsir memutuskan untuk mengurangi peran ulama yang berkumpul di majlis Syuro. Moh. Natsir, sebagai seorang yang berpendidikan “Islam dan Barat” yang membiarkan ulama NU memutuskan apa yang benar dan apa yang salah sesuai dengan hukum Islam. Perpecahan instrinsik ini merupakan alasan mengapa para Founding Father RI memutuskan melawan “bentuk-bentuk” dalam memandang substansi, pada bulan Mei 1945, sebagai cara untuk mempersatukan bangsa yang heterogen ini. Masyumi pada tahun 1950-an tidak pernah memperjuangkan “bentuk-bentuk” melainkan substansi. Kini, Abdurrahman Wahid mempromosikan nilai-nilai etik (etika sosial) bukan pemahaman Islam yang legal-formalistik. Baginya di tempatkan Islam sebagai sebuah nilai-nilai etik dalam konteks kebangsaan dan keagamaan akan memberi nuansa baru dalam warna dan orientasi dari gerakan Islam dan interpretasi ajarannya, sehingga ketegangan Islam dan negara dapat dieliminasi demi kebutuhan kemanusiaan.60 C. ABDURRAHMAN WAHID DAN MISI PERJUANGAN POLITIK PKB 59 Pidato Gus Dur, “Langkah Strategis”, Aula, hal.26. Muhammad AS Hikam, “Negara, Masyarakat Sipil dan gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia” Prisma, No.3 Tahun XX, Maret 1991, hal.89. 60 Komitmen-komitmen Abdurrahman Wahid seperti yang dijelaskan, dibuktikan dengan hadirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sebuah partai yang bersifat terbuka yang bisa menampung. aspirasi segenap komponen bangsa tanpa membedakan agama, suku maupun golongan. Dalam hal ini ia lebih jauh menjelaskan ... sebuah pertanyaan mengganggu partai tersebut dalam jangka panjang mengapa PKB tidak menjadikan kepentingan agama sebagai pijakan, mengapa justru nasionalisme dan demokrasi sebagai dasar pijakannya? PKB mengutamakan kepentingan nasional. Untuk menyesuaikan kepentingan hukum nasional dengan fiqh, tentu menjadi utama PKB, ... PKB dalam hal ini tentu bertindak mengutamakan substansi hukum Islam melalui hukum nasional dan bukannya mengutamakan simbol-simbol formal keagamaan. Mengapa? Karena Republik Indonesia adalah sebuah negara dengan kepentingan nasionalnya sendiri dan bukan sebuah negara agama ...61 Secara formal organisatoris, memang Mathori Abdul Djalil adalah Ketua Umum PKB. Namun tokoh utama yang berperan penting dalam seluruh proses gerak dalam percaturan politik PKB di pentas nasional adalah Abdurrahman Wahid. Bayangan Abdurrahman Wahid dalam visi, misi dan perilaku politik PKB sangatlah dominan. Poster-poster yang manampilkan Abdurrahman Wahid ketika kampanye berlangsung muncul dimana-mana. Seruan dari kampanye Abdurrahman Wahid “Maju tak gentar, membela yang benar bersama PKB” menggema berulang-ulang, baik dalam media massa maupun dalam kampanye. Di berbagai kota di mana Abdurrahman Wahid melakukan kampanye, para pendukung, simpatisan dan jama'ah NU berbondong-bondong mendengarkan kampanyenya. Di hadapan publik, Abdurrahman Wahid menjelaskan visi, misi dan tujuan perjuangan partainya. Kiranya tak berlebihan bahwa keberhasilan PKB 61 Gus Dur, “PKB Syariah dan PKU” Jawa Pos, 30 Oktober 1998 tidak bisa dilepaskan dari peran-peran Abdurrahman Wahid. Berangkat dari sinilah kekuatan tawar menawar politik Abdurrahman Wahid pun sangat diperhitungkan, misalnya keputusannya untuk berkoalisi dengan partai politik yang “sekuler” dibawah pimpinan Megawati, dalam hal ini dia di dalam partai PDI Perjuangan. Berkenaan dengan keputusan Abdurrahman Wahid yang masuk dalam golongan Poros Tengah untuk berkoalisi dengan Megawati, sebenarnya ada titik temu dengan pemikiran politik Abdurrahman Wahid atau perjuangan yang selama ini ditekuninya, yakni demokrasi. Douglas E. Remage menjelaskan, bahwa pemikiran politik Gus Dur di dasarkan pada visi politik yang demokratis, sekuler dengan nasionalis, salah satu keyakinan intinya adalah bila Indonesia benar-benar akan menjadi civil society yang demokratis, aspirasi politik masyarakat tidak boleh disalurkan melalui agama.62 Hal tersebut mengingatkan kita pada kedekatan politik Soekarno dan Natsir pada akhir masa revolusi dan awal 1950-an. Hubungan politik Natsir dan Soekarno mengalami pasang surut. Tempo-tempo mereka terlibat di dalam perdebatan sengit, seperti dalam hal Islam sebagai dasar negara sampai ihwal mencuci anggota tubuh yang terkena jilatan anjing. dan sesekali mereka menjalin hubungan personal yang sangat hangat. Ketika Soekarno dibuang ke Endah, adalah Natsir dan A. Hassan (Pimpinan Persatuan Islam) yang rajin berkirim surat berdiskusi mengenai kaitan Islam dan politik, dan mengirim kacang jambu mete (mede). Begitu pula pada awal-awal pemerintahan Republik, Soekarno 62 Greg Fealy dan Greg Barton, Op Cit, hal.194. mempercayakan Natsir untuk memimpin Kementrian Penerangan. Dalam konteks ini, menurut cerita Soekarno hampir-hampir tak pernah membacakan teks pidatonya kecuali yang telah diparaf Natsir. Puncak kehangatan hubungan politik Natsir dan Soekarno terjalin ketika yang pertama memelopori mosi integral. Antara lain atas dasar itu, Soekarno menganggap Natsir orang yang paling punya visi untuk menjadi Perdana Menteri pada 1950. Jika berhasil apa yang tengah diupayakan Poros Tengah dan kubu Megawati, untuk menjalin aliansi politik, merupakan pengulangan sejarah hubungan antara Natsir dan Soekarno. Baik gedung Dewan Dakwah lslamiyah Indonesia maupun Masjid aI-Azhar, yang menjadi tempat pertemuan antara golongan agama dan nasionalis yang dimaksud mempunyai kedekatan emosional tertentu dengan Masyumi. Begitu pula dengan tokoh-tokoh politik yang menyertainya. Kepeloporan M. Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra di dalam proses aliansi ini dapat dianggap sebagai representasi semangat politik ke-Masyumi-an.63 Bagi Abdurrahman Wahid, gerakan Islam yang bercorak simbolik formal justru tidak strategis. Dalam kondisi bangsa yang plural dengan potensi yang berderajat tinggi, gerakan Islam yang simbolik formal menurutnya akan menimbulkan self defensive system (daya tahan diri) dari kelompok lain yang merasa terancam eksistensinya. Akibatnya dapat menimbulkan ketegangan antara kelompok yang memancing lahirnya masalah besar dalam proses pembangunan bangsa.64 Memang ada sekelompok masyarakat Indonesia yang menginginkan 63 Bahtiar Effendy, JALAN TENGAH Politik Islam (Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah) (Jakarta:Ushul Press, 2005), hal.26. 64 Gus Dur, Pengantar, dalam Greg Fealy dan Greg barton, Op Cit. berdirinya negara berdasarkan agamanya, ya macam-macamlah ada yang dari ICMI, ada juga dari kelompok lain ... kata Gus Dur suatu ketika.65 Abdurrahman Wahid mencontohkan kasus dalam negara Turki dan Iran yang bersedia menerima sekularisasi dalam menegakkan demokrasi. Meskipun Abdurrahman Wahid tidak menjatuhkan secara tegas pilihan bangsa dimasa depan, model Turki atau Iran. Ia hanya mengingatkan bahwa formalisme agama (hukum-hukum agama) dalam struktur kenegaraan akan menimbulkan persoalan baru, yakni terhambatnya proses demokrasi di Indonesia. “Bukankah sebaliknya kata Abdurrahman Wahid; bahwa gerakan Islam harus menghindari formalisme dan memperjuangkan demokrasi dengan menyeluruh konsekuensinya”. Dengan demikian, menurutnya memperjuangkan demokrasi dengan menampilkan pandangan hukum Islam tentang hak warga negara, perbedaan antar manusia, atau dengan kata lain, Islam harus menggali sedalam-dalamnya komponen hak asasi manusia dan musyawarah. Cara inilah menurut Abdurrahman Wahid Islam akan mempunyai relevansi dan perkembangan sosial saat ini.66 Bagaimanapun menurut Abdurrahman Wahid dalam panggung sejarah peradaban manusia, Islam hanyalah salah satu dari kesekian mata rantai peradaban manusia. Karenanya sumbangan Islam harus diberikan dalam rangka kebersamaan dengan semua pihak, bukan menyendiri di luar sejarah.67 Demikian juga dalam konteks wawasan ke Indonesiaan Islam hanyalah salah satu dari sekian agama dan pandangan hidup yang ada di dalamnya. Pluralitas agama, tradisi, budaya dan 65 Gus Dur, “Wawancara”, NU Aula, No. 3 Tahun XXI Maret 1999. Lihat juga dalam Sabili, No. 13 Tahun VI, 6 Januari 1999. 66 Gus Dur, “Pencarian Strategi Hal yang Lumrah”, Jawa Pos, 12 Maret 1998. 67 Gus Dur, “Masalah Kultur Kepemimpinan Umat Islam”, Jawa Pos, 13 Maret 1998. pandangan hidup merupakan sesuatu yang sudah mapan dalam bangunan Indonesia. Karena itu, setiap agama (termasuk Islam), seharusnya di fungsionalisasikan dalam posisi imbang dan timbal balik (komplementer). Tidak ada yang mendominasi atau didominasi. Dengan keyakinan-keyakinan seperti tersebut di atas, Abdurrahman Wahid selalu menegaskan bahwa ia dan NU akan menolak dan melawan segala perubahan politik yang inskonstitusional. Menurutnya NU sejak dulu dikenal sebagai ormas yang lebih mengedepankan wawasan kebangsaan ketimbang ikatan primordial yang sempit. Abdurrahman Wahid mencontohkan kasus penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai landasan organisasi serta kasus penerimaan NU terhadap wacana kenegaraan seperti dalam keputusan muktamar NU di Banjarmasin. Dalam pandangan Abdurrahman Wahid, kedua keputusan tersebut merupakan keputusan agama (fiqih) dan bukan keputusan resmi pemerintah yang harus dijadikan undang-undang negara, hanya kalau sudah menjadi hukum agama, dapat dijadikan keputusan resmi. Semua itu menurut Abdurrahman Wahid mencerminkan penerimaan hukum dilakukan oleh swakarsa tanpa melalui peranperan negara. Kekuatannya terletak pada kenyataan bahwa pertimbanganpertimbangan lokal selalu menjadi bagian dari NU itu sendiri.68 Sikap ini yang membuat NU menjadi organisasi yang fleksibel. Umpamanya saja, sikap NU di dewan konstituante untuk mempertahankan asas atau dasar Islam, tidak pernah dijadikan sikap resmi organisasi dan artinya NU memperjuangkan Syari’ah tidak 68 Gus Dur, “NU dan Islam”, Media Indonesia ,30 Oktober 1998. selalu hukum-hukum dan simbol-simbol formal, melainkan sebagai ruh yang menjiwai setiap hukum positif yang dibuat oleh negara. Substansi syariah ini juga bisa terwujud melalui gerakan demokratisasi atau menegakkan negara bangsa. Pikiran-pikiran NU inilah yang akan diperjuangkan melalui PKB dalam kancah politik praktis. 69 D. SKETSA BIOGRAFI YUSUF HASYIM KH. Yusuf Hasyim yang akrab disapa Pak Ud lahir 3 Agustus 1929 di Tebuireng Jombang. Merupakan putra bungsu dari istri pertama KH. Hasyim Asy’ari yaitu Nyai Nafiqoh.70 Pendidikannya selalu di Pesantren Tebuireng dan Pesantren KH. Ali Ma’shum. Dialah anak kesayang Hadratussyekh Hasyim Asy’ari yang meninggal ketika Yusuf berusia 18 tahun dan tidak membuat dia manja. Nama Muhammad Yusuf yang dipilih khusus oleh K.H Hasyim Asy’ari merupakan nama dan dua Nabi sekaligus; Nabi Muhammad SAW dan Nabi Yusuf as. Pemilihan nama ini bertujuan mengikuti sunnah Nabi, dengan memberi nama yang baik kepada putra-putrinya, serta berharap agar bayi itu kelak tumbuh setegar Nabi Yusuf dan sesabar, searif, dan setabah Nabi Muhammad. Dalam hidupnya, diharapkan dia sanggup menghadapi segala ujian dan cobaan, serta selalu bersikap jujur dan terpuji.71 69 Gus Dur, “PKB, Sayriah dan PKU”, Jawa Pos, 30 Oktober 1998. Abdul Wahid, SANG PEJUANG SEJATI K.H Muhammad Yusuf Hasyim Di Mata Sahabat Dan santri,(Jombang: PUSTAKA IKAPETE, 2007), hal.1. 71 Abdul Wahid, SANG PEJUANG SEJATI K.H Muhammad Yusuf Hasyim Di Mata Sahabat Dan santri, hal.3. 70 Selama masa pendidikan, Yusuf Hasyim pernah nyantri di Pondok Pesantren Krapyak, di bawah asuha KH. Munawwir. Saat masuk Krapyak, Ia baru berumur 14 tahun. Selain itu, Yusuf Hasyim juga pernah mondok di Gontor, Ponorogo jawa Timur, yang mengkombinasikan antar pengajaran ilmu-ilmu agama dengan studi umum dan bahasa-bahasa asing. Otodidak atau belajar sendiri merupakan style Yusuf Hasyim di masa remajanya. hal itu dikarenakan tidak sempat mengenyam pendidikan formal. Bahkan lantaran tuntutan situasi dan kondisi, Yusuf Hasyim kemudian ikut terlibat dalam ketentaraan dan politik. Tetapi ia cepat belajar dan memoles kekurangan dengan banyak membaca dan bergaul dengan kalangan cendikiawan. Kelemahan banyak sisi termasuk keagamaan, diimbangi dengan ketajaman intuisi dan keluwesan bergaul. ini sangat mendukung Yusuf Hasyim dewasa, harus terjun sebagai Politisi Nasional.72 Beliau adalah bekas tentara Laskar Hisbullah pada Desember 1945 dan TNI pada awal Juli 1947 dan beliau mengundurkan diri tahun 1956, terjun ke dunia politik praktis (Wakil NU) hingga sempat duduk sebagai anggota Dewan. Dia juga sempat menjadi selebritis bintang film sebagai Sunan Gresik dalam film Wali Songo. Darah prajurit, watak politisi, pemain drama, serta pengaruh pesantren agaknya berpacu dalam dirinya. Adapun jabatan-jabatan yang pernah di emban yaitu: Wakil SekJend LVRI ( Legiun Veteran Republik Indonesia), Ketua Banser tahun 1964, Anggota DPR RIS, anggota DPRGR tahun 1967, Sekjen PBNU, Wakil Ketua MPP PPP, Anggota DPR/MPR komisi I (1971-1977, 1977-1982, dan 72 Abdul Wahid, SANG PEJUANG SEJATI K.H Muhammad Yusuf Hasyim Di Mata Sahabat Dan santri, hal.5. 1982-1987); anggota Dewan Pakar ICMI; anggota DPA Kabinet Reformasi; dan Jabatan terakhir adalah Ketua Umum Partai Kebangkitan Umat (PKU) dan Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng dan mengundurkan diri pada April 2006..73 Memang menangkap kemauan Yusuf Hasyim tidaklah mudah. Hal Ini disebabkan karena pribadi tokoh Tebuireng ini sulit dibaca. Suatu ketika Yusuf Hasyim berkata: “ NU adalah sebuah pondok besar, tempat kaum nahdilyin menimba ilmu, kebajikan dan akhlakul karimah, maka masuklah (kedalam NU) dengan penuh kecintaan, kasih sayang, rukun, bersatu dan dengan ikatan jiwa raga. NU adalah jam’iyah yang harus bersifat memperbaiki dan menyantuni.74 Setting NU di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid selama tiga periode berturut- turut, senantiasa dihadiri dan disaksikan oleh Yusuf Hasyim baik secara fisik dan moral, formal dan informal. Yusuf Hasyim adalah salah satu representasi dinamika internal NU, Menurut Syamsudin Haris, dia bukan saja pengawal nurani dan tradisi kaum Nahdliyin, tetapi juga merupakan jembatan kemajemukan NU, Lanjutnya, dia juga merupakan ulama sekaligus seorang politikus yang menafsirkan realitas internal bagi jamaah NU. Misalnya Yusuf Hasyim sudah memprihatinkan pelaksanaan Khittah ‘26 sebelum orang lain mengakui sebagai realitas. Sebagai wakil generasi kedua dan putra pendiri NU, 73 Abdul Wahid, SANG PEJUANG SEJATI K.H Muhammad Yusuf Hasyim Di Mata Sahabat Dan santri, hal.16-22 dan hal.58. 74 Pak Ud, Gatra, 21 Januari 1995.hal.20. Hadratussyekh Hasyim Asy'ari, Yusuf Hasyim adalah sosok wajah “NU komplek”.75 Selama kepemimpinan Abdurrahman Wahid dalam NU, Yusuf Hasyim tampil sebagai seorang nahdliyin yang “ gelisah dan menggugat “ kemapanan Gus Dur, NU, PPP, juga kemapanan Orde Baru. Yusuf Hasyim tidak menginginkan NU tertidur atau ditidurkan oleh realitas struktural di sekitarnya. Yusuf Hasyim menggugat Orde Baru, ketika menyinggung soal “wilayah sakral” agama dalam RUU Perkawinan 1973.76 Dia menggugat kecenderungan agama kearah kemusryikan tatkala pemerintah mengintroduksi aliran kepercayaan. Dan dia juga ikut menentang pemberlakuan P4, karena khawatir menjadi penafsiran tunggal atas ideologi negara Pancasila.77 Di panggung kampanye PPP, Yusuf Hasyim merupakan juru kampanye vokal yang menolak pengkambing hitaman Islam oleh sebagian pemerintah (birokrasi). Namun perlahan, Yusuf Hasyim dengan sigap menyambut kerja sama dengan Orde Baru, ketika secara berangsur-angsur menyantuni golongan Islam. Di dalam PPP, Yusuf Hasyim juga tidak pernah diam. Dia menggugat H.J Naro yang melemparkan NU dengan telur busuk,78 melainkan kepada Buya Ismail Hasan Metarium yang dianggap tak mendengar suara-suara orang NU. Yusuf Hasyim juga memprakarsai rujuk sementara Mathori Abdul Djalil dengan Buya, 75 Tim Tempo, Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia Antara Tahun 1983-1984, (Jakarta: Grafiti Press, 1984), hal. 270.Lihat juga Aula, No 12 Tahun XVI, (Desember 1994), hal.60. 76 Wakil-wakil NU dalam PPP yang dipimpin oleh Pak Ud menolak karena RUU Perkawinan 1973 tersebut dianggap secara prinsipal bertentangan dengan ajaran Islam. Lihat Syamsudian Haris, PPP dan Poltik Orde Baru, (Jakarta:Garmedia, 1991), hal.11 dan 46. 77 Syamsudin Haris, PPP dan Politik Orde Baru, hal.46-51. 78 Istilah J Naro yang digunakan untuk tokoh-tokoh NU (politisi), lihat Tempo, 21 Maret 1987.Dan dengan pelecehan tersebut maka Pak Ud pun menurunkan pamor PPP yang dipimpin J. Naro khususnya di Jawa Timur, Kompas, 14 April 1987. dengan harapan orang-orang PPP tidak menarik garis pemisah dengan Kubu Rembang.79 Tetapi dia merasa kecewa, sebab merasa dipakai saja oleh orangorang Buya untuk menjalin jalan kompromi, sehingga akhirnya dia mundur dari keanggotaannya di DPP PPP. Apabila ditelaah surat pengunduran diri Yusuf Hasyim dari kenggotaan Mustasyar PBNU hasil Muktamar Cipasung, sebenarnya Yusuf Hasyim telah terluka. Keprihatinan luka itu lebih dari siapapun, karena dia merasa tidak didengar oleh siapapun, termasuk oleh keponakannya, Abdurrahman Wahid. Pertikaian keluarga Yusuf Hasyim dan Abdurrahman Wahid bukanlah hal yang baru, sebab sudah lama terjadi. Sebenarnya dulu, pertikaian antara paman dan keponakan itu hampir dapat ditengahi (almarhumah) Nyai Wahid Hasyim (Ibu Kandung Abdurrahman Wahid). Dan itu diakui sendiri oleh Yusuf Hasyim; “ya itulah satu sebabnya, dulu kalau saya ribut terus mbak yu80 sakit. Nah saya tidak tega itu. Tetapi saya melihat, membiarkan Gus Dur menjadi pemimpin itu beresiko tinggi”.81 Tentunya bukan saja karena kepergian almarhumah, maka Yusuf Hasyim senantiasa menyerang Abdurrahman Wahid. Hal ini bisa dilihat dari surat pengunduran diri Yusuf Hasyim, tak satupun aktor yang mempengaruhi pengunduran dirinya, kecuali komitmen yang tulus dan total terhadap masa depan NU. 79 Laode Ida, Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 143. 80 Mbak yu merupakan bahasa jawa yang mempunyai arti kakak perempuan yang sekandung. 81 Gatra, 21 Januari 1995, hal.34. Itulah sosok setelah tidak aktif di politik (keluar dari PKU, 2000) saat ini Yusuf Hasyim kembali memimpin Pesantren Tebuireng. “Saya memang ingin mengasuh pesantren dengan baik dan hidup berkeluarga dengan baik” katanya suatu ketika. E. PANDANGAN YUSUF HASYIM TENTANG NU, ISLAM DAN NEGARA Memahami pemikiran Yusuf Hasyim, dapat dilihat kehadirannya sebagai representasi unsur NU yang pernah bercokol dalam dunia politik. Sebab kehadirannya di sana, ia dikenal sebagai politisi vokal serta kritis dalam menyikapi kebijakan-kebijakan awal pemerintahan Orde Baru, yang menurutnya tidak menguntungkan bagi Islam (baik sebagai kelembagaan maupun ajaran). Untuk itu, agar mudah merumuskan pandangan-pandangannya, perlu penulis singgung kembali peristiwa “perang dua kubu” dalam internal NU, ketika orpol ini merespon kebijakan-kebijakan awal pemerintahan Orde Baru. Secara garis besar kebijakan Orde Baru yang menggegerkan Islam khususnya dan unsurunsur dalam PPP, yaitu; pertama, soal isu-isu perpindahan agama yang menghantui umat Islam. kedua, timbulnya pandangan “sekuleristik” yang mulai berkembang berkaitan dengan peran politik Islam, yang ditandai oleh gagasan “sekulerisasi” dari Nur Cholis Madjid melalui slogan “ Islam yes, partai Islam no” yang dimunculkan sekitar tahun 70-an.82 82 Syamsudian Haris, PPP dan Politik Orde Baru, (Jakarta:Garmedia, 1991), hal.11. Menyikapi kebijakan Orde Baru di atas, dalam internal PPP muncul kelompok-kelompok besar yang cenderung radikal yang saling bertentangan yakni kelompok idealis dan kelompok realis.83 Kelompok idealis yang diwakili unsur NU memandang politik merupakan interpretasi keagamaan dalam soal keduniaan dan atas dasar cita politik keagamaan ini, garis radikal unsur NU memprotes kebijakan serta arah politik pemerintah dalam banyak hal dinilai bercorak diikuti pembelaan terhadap Kaum Sekuler, yakni terkesan mengenyampingkan pertimbangan-pertimbangan agama. Sementara kelompok realis memandang, penerapan simbol-simbol agama dalam partai merupakan hambatan untuk membangun PPP sebagai partai modern. Mereka memandang bahwa politik adalah sesuatu yang realistis, tidak berkaitan dengan ideologi apalagi dengan pertimbangan keagamaan.84 Puncak keradikalan yang ditunjukkan unsur-unsur NU ini, terlihat jelas pada SU MPR 1978, dalam sidang ini mengagendakan RANTAP, P4 yang di dalamnya berupa tafsir lima sila dalam Pancasila untuk dijadikan pedoman perilaku bangsa Indonesia serta rencana dimasukkannya aliran kepercayaan, mendapat reaksi cukup keras dari fraksi PPP yang dimotori unsur NU, (Yusuf Hasyim dkk) mengambil sikap walk out .85 Unsur NU memandang bahwa rancangan tersebut merupakan suatu ancaman terhadap status Islam sebagai agama.86 Berkenaan dengan ketidaksetujuan unsur NU ini, Martin Van Bruinessen 83 Sudarnoto Abdul Hakim, Islam Berbagai Perspektif, (Yogyakarta: LPMI, 1995), hal.265. 84 Sudarnoto Abdul Hakim, Islam Berbagai Perspektif, hal.271. Laode Ida, Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal.44. 86 Sudarnoto Abdul Hakim, Islam Berbagai Perspektif, hal.271. 85 berkomentar bahwa ketidaksetujuan tersebut bukan terhadap relatifisme agama yang terkandung dalam program indoktrinasi, ini menyatakan semua agama yang diakui sama benarnya dan memberikan tempat terhormat kepada aliran kepercayaan.87 Terhadap masalah indoktrinasi ini pula, melalui surat yang ditanda tangani oleh Rois II, KH. Masykur, Khatib I, Abdurrahman Wahid, Ketua 1, KH. Yusuf Hasyim dan Sekjen, HM. Moenasir menegaskan sikap NU yang isinya bahwa PBNU memandang perlu menyatakan penegasan sikapnya untuk tetap mempertahankan asas Islam bagi Nahdlatul Ulama sebagai suatu Jam'iyah.88 Atas sikap-sikap idealis dan cenderung radikal dari unsur-unsur NU inilah, Presiden Soeharto merasa kecewa terhadap politisi-politisi NU.89 Dan akibatnya pimpinan PPP dari unsur MI, Naro di dukung oleh anggota PPP yang akomodatif kepada pemerintah melakukan pembersihan partai dari unsur radikalisme politisi NU. 90 Dari sinilah, salah satu kekecewaan politisi NU terhadap kelompok akomodasi realis, Naro dkk. Bersama dengan itu timbul gagasan untuk melepaskan NU dari PPP sekaligus mengembalikan NU pada misi awal berdirinya NU, Khittah 1926. Meskipun gagasan untuk kembali ke Khittah ’26 sebenarnya sudah digulirkan sejak tahun 1959. Gagasan itu bagaikan membentur tembok bahkan memperoleh tanggapan kurang baik dari elit NU yang didominasi politisi baru pada penghujung tahun 1970-an dan awal 1980-an, setelah mengalami 87 Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi,Relasi Kekuasaan, Pencarian Wacana Baru, hal.106. 88 M. Imam Aziz, “Beberapa Pertanyaan di sekitar NU dan Pancasila”, (Makalah di diskusi ntetrfidsi, 16 Desember 1992). 89 Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik, (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984), hal.63-64. 90 Laode Ida, Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara, hal.50. berbagai ketegangan dan konflik dalam NU baik sebagai akibat percaturan kepentingan dari fraksi-fraksi yang berbeda di NU mulai mengambil langkah kembali ke khittah 1926. Terhadap gagasan, di tubuh NU sendiri melahirkan dua kubu besar yang disebut kubu realis dan idealis. Kubu realis berpandangan bahwa untuk memperjuangkan aspirasi NU harus melakukan interaksi dan interdependensi baik dengan kelompok lain maupun dengan kekuasaan. Sedangkan kubu idealis yang pada intinya menolak pengurangan porsi NU.91 Pertarungan dua kubu NU inilah yang senantiasa mewarnai perjalanan NU dalam merespon perkembangan zaman. Persoalan ini nampak menjadi dilematik ketika konsep perjuangan NU Khittah ’26 tiba-tiba kandas oleh hingar bingarnya Pemilu 99 dan euforia reformasi pasca lengsernya Soeharto. Kelompok realis menjadi sumber ketidakpercayaan kalangan warga Nahdliyyin (kubu idealis) yang tetap memegang idealisme untuk berpihak pada cita-cita NU. Ketidakpercayaan kubu-kubu di atas, dapat dilihat adanya dua kecenderungan dalam merespon perkembangan sosial bagi organisasi NU sebagai gerakan Islam. Menurut Abdurrahman Wahid, dua kecenderungan gerakan itu adalah; pertama pihak yang berpendapat Islam seharusnya tidak menampilkan diri dalam bentuk yang eksklusif dan simbolik. Islam mesti mengintegrasikan kegiatannya dalam kegiatan bangsa secara menyeluruh. Pihak ini jelas memiliki tema-tema gerakan pilihan masalhnya sangat jelas yakni yang dihadapi bangsa. Paradigma pihak ini merawat bangsa dengan agama. kedua, pihak yang 91 Laode Ida, Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara, hal.80-81. menginginkan ajaran Islam diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (state). Agama diharapkan menjadi pemecah masalah, sehingga paradigma pihak ini “menguasai negara dengan agama”. Pihak ini ingin menampilkan wajah Islam dan mengekspresikan rasa keberagamannnya dalam kenegaraan secara utuh, meski kadang tanpa didukung oleh substansi apapun dari agama itu sendiri.92 Dari rangkaian-rangkaian peristiwa serta kategori cenderung kelompok tersebut di atas, nampaknya Yusuf Hasyim dapat digolongkan pada kelompok idealis yang cenderung eksklusif. Bisa dilihat dari pandangan dan pikiran keagamaan yang terkadang radikal dalam merespon perkembangan zaman melalui NU sebagai suatu gerakan Islam. Isu-isu politik Islam 93 yang beliau lontarkan tatkala Pemilu 99 misalnya, merupakan salah satu bukti pemikiran Yusuf Hasyim yang eksklusif ini. Menurut Yusuf Hasyim, antara Islam dan politik janganlah terjadi pemisahan atau dalam bahasa KH. Wahab Hasbullah, Islam dan politik ibarat “gula dan manisnya”. Mengenai hal ini Yusuf Hasyim berpendapat; bagi saya Islam dan politik jangan dipisahkan. Politik harus diikuti oleh agama sehingga mudah menyingkirkan penyelewengan. Tidak boleh ada jurang pemisah antara agama dan politik.94 Walaupun kalimat yang diucapkan Yusuf Hasyim tidak 92 Zainal Arifin Toha, “Gus Dur, NU dan Demokrasi”, Suara Merdeka, 3 Desember 1993. Lihat juga Al zastrow Ng, “Gus Dur, Islam dan Demokrasi”, Suara Merdeka, 6 Desember 1994. 93 Politik Islam yang dimaksud adalah politik yang di dasarkan pada pandangan keagamaan Islam, polutik yang mengunakan symbol formal dan dimaksudkan untuk menegakkan tatanan masyarakt politik Islam. Ketika mengamati perdebatan tentang dasar negara, Endang Saifuddin Anshori menyebut ini dengan Kelompok Nasionalis Islam, merupakan rival dari Sekuler Nasionalis. Sudarnoto Abdul Hakim, Islam Berbagai Perspektif, hal.278. 94 KH. Yusuf Hasyim, “Gus Dur Tidak Demokratis”, Sabili No.4 Thn.VI, 2 September 1998, hal.57. secara teknikal merujuk pada teks, namun pernyataan tersebut terkesan idealis dan eksklusif. Dalam arti bahwa aktifitas dan kegiatan politik dipahami Yusuf Hasyim sebagai manifestasi ajaran Islam. Meskipun bekas wadah politik yang pernah menghantar Yusuf Hasyim sebagai wakil di FPP telah kembali khittah '26, ternyata cita-cita untuk menjadikan NU sebagai partai politik sangatlah kuat, komentarnya : ..... Khittah itukan sekedar rumusan orang-orang muda sekarang. NU naluri politiknya kental... bagi saya sebaiknya NU kembali menjadi partai politik. Memang pada tahun 1984 sebagaimana orang-orang NU berpendapat bahwa perlu langkah baru agar NU menjadi organisasi sosial kemasyarakatan. Hal itu sekedar menghindari himpitan-himpitan. Nah, sekarang sudah tidak ada himpitan maka kembali seperti dulu. Kalau ada yang menanyakan itu melanggar khittah, saya jawab yang tahun 1952 itu melanggar khittah tidak .95 Berangkat dari pandangan serta idealisme Yusuf Hasyim tersebut, serta di dukung zaman yang kondusif untuk mewujudkan obsesinya, wajar apabila pada saat pemilu 99 idealismenya diwujudkan melalui Partai Kebangkitan Umat (PKU). Menurutnya,disamping PKU lebih mewarisi tradisi pemikiran NU yang lebih fiqh oriented dan melalui partai ini pula reformasi internal guna mengembalikan NU pada cita-cita luhur para pendirinya dapat dilakukan, sekaligus memperjuangkan aspirasi umat Islam pada umumnya. Jadi, dari sini terlihat jelas komitmen PKU untuk menjadikan siyasah ( politik ) sebagai alat 95 KH. Yusuf Hasyim, “Gus Dur Tidak Demokratis”, Sabili No.4 Thn.VI, 2 September 1998, hal.59. memperjuangkan syari’ah Islam dalam batas akomodasi yang wajar dan sejalan dengan kepentingan nasional.96 Dalam cara inilah, terlihat Yusuf Hasyim terkesan masih berputar-putar pada pola lama, dari sinilah perbedaan antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim ini terjadi. Menurut Yusuf Hasyim ini dilakukan semata-mata demi kepentingan dan kebaikan NU, “ apa yang saya inginkan cuma satu : NU baik..., saya prihatin jika ada orang yang menuduh saya akan membuat NU bebas, itu sama sekali tidak benar “ 97tegasnya suatu ketika. F. YUSUF HASYIM DAN MISI PERJUANGAN POLITIK PKU Masalahnya mengapa paradigma pemikiran Abdurrahman Wahid yang diperjuangkan melalui Partai Kebangkitan Bangsa belum sepenuhnya diterima oleh sebagian warga NU. Dalam hal ini, Yusuf Hasyim mengemukakan beberapa alasan. Pertama, Partai yang didirikan Abdurrahman Wahid, PKB tidak mencerminkan komitmen yang kuat pada aqidah Islam. Kedua, keberadaan sebagian warga NU atas dukungan PKB kepada Ketua Umum PDI-P Megawati yang akan menciptakan single majority dalam mengawasi kelompok-kelompok Islam politik.98 Hal senada juga dikemukakan oleh A. Syafi'i Maarif yang menurutnya pemikiran politik Abdurrahman Wahid yang diperjuangkan melalui PKB memang belum sepenuhnya diterima oleh sebagian warga NU. Hal ini karena kiprah 96 KH. Yusuf Hasyim, “PKU, dari Siyasah Menuju Syariah”, Jawa Pos, 3 November 1998. Ummu Risalah, “Cara Pak Ud memprotes manajer kesebelasan yang tidak kompak”, Aula, Agustus 1988, hal.11. 98 Pak Ud, “Romantisme PKB”, Republika, 10 Agustus 1998. 97 Abdurrahman Wahid di luar NU selama ini dicurigai oleh banyak kalangan NU sebagai langkah-langkah yang dapat membahayakan NU. Hubungan Abdurrahman Wahid dengan nasionalis sekuler dan non muslim serta keinginan berkoalisi dengan PDI Megawati yang dicitrakan sebagai partainya kelompok nasionalis sekuler belum diterima sepenuhnya oleh sebagian warga NU. Maka selanjutnya, Maarif mengemukakan jika PKB berkoalisi dengannya, dianggap tidak memperoleh manfaat dan akan mungkin merugikannya.99 Dalam hal ini Yusuf Hasyim, dukungan PKB terhadap Megawati secara politik dianggap merupakan sebuah dosa “ kalau secara politis saja dosa, apalagi secara agama” .100 Berangkat dari visi politik Abdurrahman Wahid yang diperjuangkan melalui PKB inilah, akhirnya melalui visi Partai Kebangkitan Umat mengimbangi (PKU) gagasan-gagasan Abdurrahman Wahid. Disamping itu menurut Yusuf Hasyim, PKU lebih mewarisi tradisi NU yang lebih fiqh oriented, PKU juga mempunyai misi khusus yaitu senantiasa mengusahakan berlakunya ajaran Islam dalam kehidupan bernegara. Lebih lanjut misi PKU menurut Yusuf Hasyim mengacu pada Anggaran Dasar NU pasal 5 yang berbunyi : Tujuan NU adalah berlakunya ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama'ah dan menganut salah satu madzhab empat di tengah-tengah kehidupan negara kesatuan 99 A. Syafi’I Maarif, “Persaingan Memperebutkan Suara NU”, Republika, 28 Agustus 100 Pak Ud, Republika, 26 Oktober 1998. 1998. Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD '45.101 Lebih lanjut Yusuf Hasyim berkomentar : "Cita-cita PKU tak lebih dari sekedar akomodasi dalam batas-batas tertentu terhadap syari'at Islam, serta tegaknya kebenaran, keadilan, HAM atas dasar etika dan moral Islam yang universal. Karena itu, kecemasan Abdurrahman Wahid terhadap Partai berbasis Islam bakal melahirkan formalisme agama, mengancam integrasi nasional sangatlah berlebihan ... sungguh ironis yang paradoks jika Abdurrahman Wahid sebagai salah satu pelopor transformasi intelektual. dan dengan paradigma baru masih menggunakan frame lama dan stigma politik aliran untuk mencurigai kebangkitan Islam politik ... penonjolan identitas Islam dalam PKU tak berarti mematikan semangat demokrasi dan keterbukaan .....” 102 Pernyataan-pernyataan Yusuf Hasyim di atas menunjukkan, meskipun beliau menolak sekulerisme bukan berarti menyetujui formalisme Islam secara absolut. Ada wilayah-wilayah tertentu dimana nilai (syari’at Islam) bisa diadaptasi dalam produk hukum positif Indonesia secara proporsional. Selebihnya, diluar wilayah yang memang syari’at perlu ditampilkan ke dalam hukum positif, menurut Yusuf Hasyim yang diperlukan adalah tampilnya secara substansial sesuai dengan universalitas ajaran Islam. Atau dengan kata lain, Yusuf Hasyim mengakui adanya watak universalisme agama pada sisi yang lain. Pada domain sekterianisme, tak dapat dihindari terjadinya saling berhadapan antara agama satu 101 A. Basit Adnan, Kemelut di NU Antara Kyai dan Politisi, (Solo: Mayasari, 1982), hal.52. 102 KH. Yusuf Hasyim, “PKU, dari Siyasah Menuju Syariah”, Jawa Pos, 3 November 1998. Lihat juga wawancara, Pak Ud, Sabili No 13 Tahun VI, 6 Januari 1999, hal. 49 dengan agama lain. Tetapi pada domain nilai universalisme ajaran agama-agama terjadi penyatuan dan pertemuan “ bernegara sekaligus beragama” di kalangan umat beragama tanpa dikuatirkan konflik. “Konsep kita jelas, masyarakat madaniyah, masyarakat madani dimana semua kelompok-kelompok agama itu di akomodir secara seimbang ... kita menginginkan formulasi hukum Islam yang relevan sajalah dalam kehidupan kita ini, jangan berlebih-lebihan”. BAB IV PERBANDINGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM TENTANG KEBANGSAAN A. PANDANGAN KEBANGSAAN ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM Runtuhnya rezim Orde Baru serta naiknya Orde Reformasi pada tanggal 21 Mei 1998, yang ditandai oleh lengsernya Soeharto dari singgasana kepresidenan diganti oleh BJ. Habibie, telah memberi implikasi determinan terhadap konstelasi perpolitikan Indonesia. Terjadi perubahan-perubahan mendasar dalam tatanan kehidupan bernegara, terutama dalam dimensi politik. Gejala euphoria politik dengan hasrat yang meluap-luap untuk mendirikan partai politik adalah satu indikasi dalam era perubahan ini. Di tengah hiruk pikuknya panggung politik Orde Reformasi, ternyata berimplikasi juga terhadap eksistensi NU sebagai gerakan keagamaan dalam merespon perkembangan. Persoalan tampak menjadi dilematik betapa konsep Kembali Khittah 26, seolah dirusak oleh kalangan internal NU sendiri. Di senggement NU dengan politik melalui “konsep khittah” relatif gagal, karena konflik yang tajam terjadi diantara elite NU sendiri, Jam'iyah NU ternyata gagal dengan munculnya partai-partai di tengah warga Nahdliyin. Kelompok realis menjadi sumber ketidakpercayaan kalangan kelompok idealisme yang tetap berpihak pada ciri-ciri NU. Fenomena ini dapat dilihat ketika terjadi tarik menarik antara penggagas partai di Rembang tanggal 6 Juni 1998 terkait dengan sifat terbuka atau tertutupnya partai di kalangan ini. Sebagian kelompok menghendaki partai terbuka, tanpa embel-embel Islam, yang berarti dapat menampung aspirasi segenap kelompok bangsa. Dan sebagian kelompok lain, menghendaki partai yang bersifat tertutup yang khusus mewadahi umat Islam, lebih spesifik warga NU sendiri. Meskipun akhirnya dikalangan NU lahir beberapa partai baik yang bersifat terbuka maupun tertutup. Apabila penulis perhatikan tentang pandangan visi dan startegi perjuangan politik NU baik oleh Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim sebetulnya sesuai dengan watak dasar NU. Paham Ahlussunnah wal Jama'ah yang menjunjung tinggi sikap tawassuth (moderat), tawazun (proporsional) dan tasamuh (toleran), serta sejalan dengan tatanan sosial politik dan ekonomi NU berdasarkan prinsipprinsip adalah adlah (keadilan), syuro (permusyawaratan) dan musawah (persamaan) yang merupakan modal dasar bagi Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim untuk dikembangkan dalam membangun wawasan kebangsaan. Masalahnya mengapa visi dan strategi perjuangan politik NU antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tidak bisa dipersatukan? Dalam hal ini jika penulis menyimak pandangan keduanya melalui misi perjuangan politik PKB dan PKU, tampak bahwa problem yang diperdebatkan dapat dikotakkan pada domain sektarian Islam, seperti menyangkut legislasi syari'at Islam seperti legislasi hukum perkawinan Islam dalam hukum positif dan lain-lain yang jumlahnya sangat terbatas. Diluar itu tidak ada perbedaan yang signifikan. Sepertinya pandangan Abdurrahman Wahid tentang gagasan “sekulerisme” di Indonesia, untuk memecahkan problem fundamental keislaman dan keIndonesiaan dilatarbelakangi oleh setting sosial yang terjadi di Indonesia, sama persis dengan kondisi yang melatarbelakangi munculnya sekulerisme di Turki. Terjadinya kemerosotan moral yang hampir pada semua aspek kehidupan. Kepemimpinan yang tidak amanah, moral korup, budaya kekerasan, manipulasi agama, tidak pekanya umat beragama terhadap isu-isu kemanusiaan sebagaimana pernah terjadi di Turki pada masa peralihan menuju sekulerisme, juga dapat dirasakan di sini. Kondisi itu sama-sama menjadi keprihatinan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim. Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim sama-sama gelisah menghadapi problem fundamental yang dialami dalam kehidupan keberagamaan dan kebangsaan di Indonesia. Hanya perbedaannya, Yusuf Hasyim tidak menjadikan pola hubungan agama dengan negara di Indonesia sebagaimana yang berlaku selama ini sebagai penyebab timbulnya masalah. Solusinya, menurut Yusuf Hasyim, akomodasi negara terhadap mainstream Islam politik merupakan sebuah keharusan. Untuk menghindari ketegangan disatu sisi, sekaligus memperkuat legitimasi negara di mata umat di sisi lain atau dalam bahasa Yusuf Hasyim formalisasi agama diperlukan sebagai identitas Islam yang mayoritas di Indonesia.103 Sebaliknya, Abdurrahman Wahid menganggap bahwa hubungan agama dan negara (formalisme agama) tidak diperlukan, karena tidak sesuai struktur kebangsaan lndonesia yang majemuk. Menurutnya dengan menggunakan 103 KH. Yusuf Hasyim, “PKU, dari Siyasah Menuju Syariah”, Jawa Pos, 3 November 1998. Lihat juga wawancara, Pak Ud, Sabili No 13 Tahun VI, 6 Januari 1999, hal. 49. terminologi keagamaan seperti asas, idiom, simbol-simbol formal keagamaan akan mudah dituduh melakukan politisasi agama. Sehingga tidak aneh kalau solusi yang ditawarkan Abdurrahman Wahid adalah dalam bentuk mensekulerkan negara, alasannya menurutnya karena Indonesia bukanlah negara agama.104 Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim, meskipun garis pemikirannya berbeda, sama-sama mendasarkan gagasannya demi kepentingan Jam'iyah NU dan bangsanya, hanya yang satu melalui jalur formal kebangsaan, sedangkan satunya tidak. Dan meskipun keduanya mempunyai pemikiran yang berbeda secara diamental, semua gagasannya diabdikan untuk kepentingan dan eksistensi Nahdlatul Ulama. 104 Gus Dur, “PKB, Sayriah dan PKU”, Jawa Pos, 30 Oktober 1998. Lihat juga Rumadi, “Kegamangan Politik Kyai NU”, Aula no.05 tahun XXIII, Mei 2001.hal.71-72. Perbedaan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang Visi dan Strategi Politik NU. Perbedaan Pemikiran Abdurrahman Wahid Yusuf Hasyim Basis pergumulan di NU Intelektual105 Politisi praktis (tidak menunjukan latar belakang yang jelas juga tidak berangkat dari tradisi NU yang kuat )110 Berpijak pada paradigma Kecenderungan paradigma pemikiran dan berangkat dari agama menyelesaikan masalah gerakan bangsa (intregrasi Islam dalam bangsa tanpa menampakkan bentukbentuk yang eksklusif Islam)106 Berpijak pada paradigma berangkat dengan agama menyelesaikan masalah bangsa (kelompok yang berharap menguasai posisi strategis kekuasaan sehingga sebagian besar kekuatannya mampu diserap oleh negara)111 Interprestasi khittah NU Mengarah pada kebebasan untuk memilih atau tidak 1926 memilih partai politik dan tidak mengidentifikasikan dengan sebutan NU (dikenal dengan politik kultural)107 Mengarah pada pelepasan untuk memilih PPP, tetapi tidak memilih PDI-P dengan Golkar serta menginginkan NU tampil sebagai partai politik sendiri (dikenal dengan khittah plus)112 Isu-isu agama dan politik Pemisahan antara agama Politik harus diikuti dengan agama113 dan politik108 Latar belakang pendirian PKB, mewadahi aspirasi warga nahdliyin sejak NU partai tidak menjadi partai politik atau sejenak NU termaginalkan secara politis109 105 PKU, tidak terceminkan keislamannya dalam PKB, keberatan atas dukungan PKB terhadap Megawati yang dicitrakan sebagai warga NU sebagai nasionalis sekuler114 Musfihir Dahlan, “Meluruskan Tradisi NU, Mingguan Mutiara edisi 9, 22 Juni 1982. Ishomudidin Hadziq, “Landasan Teologis Gerakan Sosial NU”, Taswirul Afka No. 1,Tahun 1994. hal.37 107 Marzuki Wahid dkk, Geger Di Republik NU, Perebutan wacana, Tafsir Sejarah, Tafsiran Makna,(Jakarta: Kompas-Lakspedam, 1999), hal.216-217. 108 Abdurrahman Wahid, “ Masih Perlukah Formalisme Agama di Perlukan”, Jawa Pos, 3 November 1998. 109 Sahar L. Hasan dkk (ed), Memilih Partai Islam, (Jakarta: Gema Insani, 1998), hal.24. 110 Musfihir Dahlan, “Meluruskan Tradisi NU, Mingguan Mutiara edisi 9, 22 Juni 1982 106 Komitmen partai terhadap Untuk melindungi pluralitas atau lebih mengutamakan kepentingan nasional115 Untuk melindungi syari’ah atau menjadikan siyasah (politik)untuk memperjuangkan syari’ah119 dalam Formulasi hukum Islam yang relevan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara120 Pola hubungan dan negara agama Intregasi Islam kegiatan bangsa116 Negara citakan dicita- Negara demokrasi yang Negara demokrasi tidak ada /masyarakat madani dengan fundamentalisme Islam 117 representasi politik Islam sebagai umat mayoritas atau semua kelompok diorganisir secara seimbang121 yang Pandang terhadap visi Bagi NU Syariat Islam Bagi NU, berbagai hal yang politik NU ( wawasan berlaku sebagai konvensi menyangkut masalah publik keagamaan ) bukan aturan formal118 yang termasuk didalamnya adalah masalah kenegaraan dan kebangsaan merujuk fiqh sebagai implementasi lahiriah dari syariah122 Persamaan Visi dan Startegi Perjuangan Politik NU Antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim 111 Ishomudidin Hadziq, “Landasan Teologis Gerakan Sosial NU”, Taswirul Afka No. 1,Tahun 1994. hal.37. 112 Ummu Risalah, “Cara Pak Ud memprotes manajer kesebelasan yang tidak kompak”, Aula, Agustus 1988, hal.13-14. 113 Yusuf Hasyim, “Wawancara”, Sabili No.4 tahun VI, 2 September 1998,hal.57-58. 114 Yusuf Hasyim, “Romantrisme PKB”, Republika, 10 Agustus 1998. 115 Abdurrahman Wahid, “PKB, Syariah,PKU”, Jawa Pos, 30 Oktober 1998. 116 Ibid. 117 Abdurrahman Wahid, “ Masih Perlukah Formalisme Agama di Perlukan”, Jawa Pos, 3 November 1998. 118 Abdurrahman Wahid, “PKB, Syariah,PKU”, Jawa Pos, 30 Oktober 1998. 119 KH. Yusuf Hasyim, “PKU, dari Siyasah Menuju Syariah”, Jawa Pos, 3 November 1998. 120 Ibid. 121 Yusuf Hasyim, “Wawancara”, Sabili No.4 tahun VI, 2 September 1998,hal.40. 122 KH. Yusuf Hasyim, “PKU, dari Siyasah Menuju Syariah”, Jawa Pos, 3 November 1998. 1. Islam sebagai agama pembebasan sepenuhnya kompatibel dengan visi politik NU 2. Kehadiran negara Islam di Indonesia, ditolak bukan semata-mata karena tidak adanya perintah langsung dari al Qur’an dan Hadist untuk melahirkan itu, tetapi kehadirannya juga bisa tidak bermakna kondusif bagi upaya mempertahankan intregitas bangsa yang pluralistik 3. Penerimaan negara yang demokrasi diterima sebagai sistem yang paling rasional dan realistis untuk mewujudkan terbentuknya suatu tatanan masyarakat yang adil, egaliter sebagaimana dicita-citakan oleh Islam. B. ANALISA PERBANDINGAN STRATEGI POLITIK NU ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM Terlepas dari segala perbedaan pemikiran antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim, pemikiran antara mereka adalah masalah di masalah, jika dianalisa lebih mendalam sebenarnya perbedaan-perbedaan tersebut merupakan akumulasi bom waktu dari setting awal perseteruan sebelumnya, Yusuf Hasyim mengakui sendiri, bahwa pembentukan PKU terdapat concern Yusuf Hasyim untuk mereformasi internal NU. Sebab dalam pandangannya, selama kepemimpinan Abdurrahman Wahid, NU mengalami stagnasi, dan dianggap banyak penyelewengan terhadap tradisi serta cita-cita luhur Founding Father NU. 123 Karena itu pula, Yusuf Hasyim mengatakan mundur dari musytasar baru 123 Yusuf Hasyim, “Wawancara”, Sabili No.4 tahun VI, 2 September 1998,hal.57. Lihat juga KH. Yusuf Hasyim, “PKU, dari Siyasah Menuju Syariah”, Jawa Pos, 3 November 1998. hasil Muktamar Cipasung beberapa tahun lalu. Saya membiarkan Abdurrahman Wahid menjadi pimpinan itu beresiko tinggi. Tegasnya suatu ketika.124 Sejak Abdurrahman Wahid memimpin NU selama 3 periode, NU seperti mendapatkan pencerahan. Jika penulis membuat perbandingan antara NU rezim Abdurrahman Wahid dan rezim Idham Chalid yang menjadi ketua sebelumnya, maka tampak berbagai kekontrasan mencolok. Dari sudut penampilan pribadi, Abdurrahman Wahid tampil sebagai figur pemikir yang menggerakkan beberapa gagasan penting dalam wacana Islam kontemporer Indonesia. Abdurrahman Wahid bahkan berani melanggar batas seluas-luasnya antara umat beragama. Beliau juga telah membawa NU masuk ke suatu Horizon baru, berbagai pikiran garda depan Islam diterima dengan lapang dada di organisasi ini. Bahkan tanpa kritik tentunya, melainkan ada kesediaan menerima suatu pluralisme. Sementara itu, figur Idham Chalid di kalangan NU selalu menjadi ikon bagi kelompok, politikus yang. berambisi memperebutkan jatah politik dalam pemerintahan. Figur Idham juga mewakili sekelompok politikus yang menjadikan NU sebagai ladang vote getting untuk meraih suara di parlemen. NU di bawah ldham selalu dikaitkan dengan up down kehidupan partai di negeri ini. Mungkin di mata anak muda NU sekarang ini, figur Idham bisa dikatakan mewakili penggambaran “pragmatisme politik” yang sudah old fashioned sehingga tidak menarik perhatian. Oleh karena itu, sejumlah figur yang mewarisi Idham’s legacy sekarang ini, seperti Yusuf Hasyim, Slamet Efendi Yusuf, Chalid Mawardi, dkk, kurang mendapat simpati di kalangan anak muda. 124 Pak Ud, “Wawancara”, Gatra, 21 januari 1995. hal.34. Secara sederhana, Abdurrahman Wahid telah menjadi simbol bagi segala jenis pembaharuan yang menaikkan kurs NU di mata publik, dari Ormas yang dianggap mewakili tradisional yang terbelakang menjadi Ormas yang bisa menolerensi pluralitas dan pembaharuan pemikiran. Ide-ide Islam kultural, pribumisasi Islam, HAM dan demokrasi merupakan concern yang diperjuangkan Abdurrahman Wahid selama menahkodai NU. NU tidak akan pernah hidup tanpa demokrasi, kaidah agamanya. Jika harus ada NU syaratnya ada demokrasi.125 Sudah tentu pembaharuan yang dibawa Abdurrahman Wahid bukan tidak merangsang berbagai polemik, bahkan juga fitnah. Dalam tubuh NU, manuver pemikiran Abdurrahman Wahid juga menimbulkan banyak tanda tanya di kalangan Kyai-kyai sepuh. Di akhir periode kepemimpinannya, rupanya komitmen Abdurrahman Wahid yang selalu melatarbelakangi gagasan-gagasan Islam inklusif dibuktikan pula dengan hadirnya Partai Kebangkitan Bangsa, suatu partai yang terbuka yang bisa menampung aspirasi segenap komponen bangsa tanpa membedakan agama, suku, maupun golongan. Dengan komitmennya, wajar jika Abdurrahman Wahid berkeinginan koalisi dengan Megawati Soekarno Putri yang dianggap sebagai warga NU, yang bermaksud sebagai representasi nasionalis sekuler antara Gus Dur dengan Megawati banyak titik temu, Gus Dur (baca:PKB) adalah religius nasionalis, sementara Megawati (baca: PDI-P) nasionalis-religius.126 125 Dedy jamaluddin dan Idi Subandi Ibrahim, Zaman baru Islam Indonesia, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), hal.167. 126 Alexander Litay, “Kami Banyak Titik Temu Dengan PKB”, Republika, 3 Agustus 1998. Itulah gambaran lebih kurang dalam kepemimpinan Abdurrahman Wahid selama menahkodai NU, dan apabila era Abdurrahman Wahid dikaitkan dengan concern Yusuf Hasyim untuk mereformasi internal NU dalam perspektif tradisi dan kultur NU, maka ada korelasi terhadap keinginan-keinginan Yusuf Hasyim tersebut. Korelasi yang terjadi melalui perseteruan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: Pertama, Politisasi atas NU periode Abdurrahman Wahid boleh dibilang hampir sama dengan periode sebelumnya (Idham Chalid). Suatu ketika, Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa paska Khittah, NU akan meninggalkan politik praktis, seraya memasuki daerah yang dia sebut sebagai unpolitical politic,127 suatu praktik politik di luar panggung negara. Sedangkan langkah-langkah Abdurrahman Wahid selanjutnya diperiode ketiga paska Muktamar Cipasung mengarah kepada hal-hal yang bersifat politis. Abdurrahman Wahid terlihat lebih banyak terlibat dalam urusanurusan pragmatisme politik. Dengan kata lain, Abdurrahman Wahid lebih banyak berhitung dengan ekternalitas variabel-variabel di luar wilayah garapan NU. Padahal, status NU masih memegang konsep khittah 1926. Sebaliknya, rival politik yang selama ini menginginkan NU yang dikenal dengan kelompok khittah plus merasa dikecewakan oleh komitmen bersama melalui konsep khittah 1926 ini. Yusuf Hasyim misalnya, menyatakan bahwa keputusan Abdurrahman Wahid yang mengakui PKB sebagai satu-satunya partai warga NU bisa diibaratkan air susu di balas air tuba terhadap warga NU yang menjadi aktivis partai-partai lain. 127 M. Masyhur Amin, Dialog Pemikiran Islam dan Realitas Politik, (Yogyakarta:LKPSM, 1993), hal.151-152. Lihat kenyataannya, Gus Dur berbicara masalah demokrasi dan transparansi, tetapi nyata tidak demokratis,128 ujar Pak Ud. Dari sini jelas, korelasi yang menjadi perbedaan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim adalah berkaitan dengan interpetasi khittah 1926. Dan ternyata dengan multi interpretasi khittah ini, kedua-duanya berujung pada hal yang sama, yakni mengebawahkan (sub ordination) NU kepada motif-motif yang asing setelah organisasi ini kembali ke khittah 1926. Menurut analisis penulis, perbedaan keduanya tentang interpretasi khittah ini hanyalah sikap kewajaran di dalam melakukan politisasi atas NU. Tepatnya, Abdurrahman Wahid melakukan politisasi atas NU atau setidaknya memobilisasi NU dengan cara-cara melakukan empowering society yang menjadi idaman selama kepemimpinannya di NU. Sedangkan Yusuf Hasyim melakukan politisasi NU agar memperoleh konstituan ormas atau dalam konteks vote getting.129 Mengacu pada komitmen NU dalam menerapkan diktum khittah 1926, fenomena munculnya partai-partai di kalangan NU, seperti PKB, PKU, PNU, menurut penulis membuktikan bahwa pengamalan warga NU (dalam konteks ini Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim) masih terasa setengah hati. Hal ini sesuai dengan analisis Machrus Irsyam yang menyatakan bahwa kembalinya NU ke Khittah 1926 dalam perkembangan pelaksaannya masih mencemaskan, karena perilaku beberapa elit NU, seperti manuver Abdurrahman Wahid seringkali tidak dapat menempatkan diri sebagai ketua PBNU dan sekaligus aktifis partai.130 Hal 128 Yusuf Hasyim, “Wawancara”, Sabili No.4 tahun VI, 2 September 1998,hal.59. Ummu Risalah, “Cara Pak Ud memprotes manajer kesebelasan yang tidak kompak”, Aula, Agustus 1988, hal.15. 130 Machrus Irsyam, “NU Pasca Pemilu”, Kompas, 25 Agustus 1998. 129 senada juga diungkapkan seorang penggagas konsep khittah 1926, KH.A. Muchid Muzadi, beliau menilai bahwa sosialisasi khittah 1926 di kalangan NU belum dilakukan secara serius, terarah dan terkordinir. Dan inilah yang menanggapi kuat indikasi penafsiran beragam di kalangan elit NU.131 Kedua, concern Yusuf Hasyim untuk mereformasi internal NU, menurut penulis adalah berkaitan dengan kuatnya Abdurrahman Wahid atau lebih tepatnya, terlalu intensifnya pengaruh kharismatik Abdurrahman Wahid. Salah satu dampak detrimental pengaruh itu adalah rusaknya mekanisme keorganisasian dalam tubuh PBNU. Jika ini dibaca dalam kerangka gagasan Max Weber tentang Rutinitas Kharisma maka dapat dikatakan bahwa, karena kharisma Abdurrahman Wahid tidak dapat di mapankan (institutionalized) secara rutin dalam sebuah mekanisme kelembagaan yang permanen, maka kharisma dari Abdurrahman Wahid itu akan merusak hubunganhubungan kelembagaan yang telah disepakati bersama dalam Muktamar. Dalam hal ini misalnya, kedudukan lembaga syuriah yang Qua Defines mestinya berada di atas dan mengendalikan Tanfidziyah, dalam prakteknya malah justru terbalik. Begitu juga yang menyangkut proses-proses yang menyangkut pembuatan kebijakan, hampir bisa dikatakan sepenuhnya pada sosok Abdurrahman Wahid. Rumor yang beredar luas di kalangan kaum nahdiliyyin bahwa Abdurrahman Wahid waliyullah, merupakan hal yang menambah jarak antara Abdurrahman Wahid dan para Kyai semakin melebar sehingga sulit dikontrol. Menanggapi pengaruh kharisma Abdurrahman Wahid, Fachri Aly menyatakan bahwa faktor “darah biru” Abdurrahman Wahid telah menyebabkan warga NU 131 Kh. Muchid Muzadi, “Menguji Komitmen 15 tahun Khittah 1926”, Harian Duta, 2 Agustus 1999. mempunyai rasa ewuh pakewuh untuk melancarkan kritik secara terbuka terhadapnya. Abdurrahman Wahid dalam perspektif kultural warganya menurut Fachri melalui pengaruh kharismanya berada dalam wilayah The Sacred Territory. Sebagai bagian dari The Sacred Territory ini Abdurrahman Wahid melancarkan gagasannya dan membuka apa yang disebut Peter L. Berger sebagai The Liberated Territory With Respect to Religion, atau wilayah sekuler dalam perspektif harfiah kultur umatnya dan sekaligus tampil sebagai mediator besar, sebagai jembatan impersonal. Bahkan tidak berhenti sampai disini saja, yakni sebagai jendela melalui nama nahdliyin untuk melihat dunia luar. Namun lanjut Fachri pada akhirnya Abdurrahman Wahid secara tak langsung menjadi agen pensucian baik terhadap perubahan-perubahan duniawiyah di sekitarnya, maupun terhadap tindakan-tindakannya dalam The Liberated Territory itu sendiri.132 Peran-peran inilah, menurut Fachri yang melontarkan Abdurrahman Wahid sebagai pemimpin nasional. Mistifikasi terhadap diri Abdurrahman Wahid di atas, tidak saja datang dari dalam NU sendiri, tetapi lebih banyak justru datang dari luar. Dengan gagasangagasan yang tidak bisa dipungkiri lagi, memang ada di sekitar pluralisme agama, hubungan agama dan ideologi negara serta demokrasi. Abdurrahman Wahid telah menempatkan diri sebagai seorang tokoh yang tidak bisa diabaikan dalam kontribusi ide-ide baik tingkat nasional maupun internasional. Di sektor politik, dia juga telah menjadi tumpuan publik yang memimpin adanya reformasi politik. 132 “Analisis Fachry Ali”, Gatra, 26 November 1994, hal.19. Keberaniannya merangkul Megawati telah menerbitkan terjadinya koalisi politik antara kekuatan sekuler dan agama. Karena mistifikasi semacam ini, diikuti kultur NU yang begitu menghormati Kyai sepuh, Abdurrahman Wahid akhirnya tampil sebagai single player di NU dan meninggalkan teman-teman yang lain. Suasana kolegalitas yang dahulu pada saat menjelang atau sesudah Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984, menyemangati The Winning Team yang mengsukseskan konsepsi khittah 1926 yang hampir punah. Dengan kekuatan kharisma Abdurrahman Wahid, ia berhasil tampil sebagai seorang "Gus" dalam pengertian komunitas pesantren, seorang putra Kyai yang harus dilayani dan harus diikuti dan didengarkan. Tak heran, akibat kelebihan-kelebihan Abdurrahman Wahid itu pula, akhirnya dia menjadi One Man Show,133 terlihat selalu menimbang-nimbang posenya di hadapan publik. Fenomena kekuatan kharismatik Abdurrahman Wahid di atas rupanya menjadi perhatian sekaligus kegalauan Yusuf Hasyim. Tampak sekali setelah pengunduran diri Yusuf Hasyim dari mutasyar PBNU, dia rajin mengevaluasi sepak terjang Abdurrahman Wahid. Menurutnya, ada beberapa hal yang sangat merugikan NU, dalam hal ini di contohkan : Contoh kecil soal Rois Aam KH Ilyas Ruchyat.Beliau ngomong ke saya pernah dimarahi, Gus Dur gara-gara membuat statemen yang bernada ukhuwah Islamiyah tentang Bosnia, Statemen tersebut disahkan oleh NU, Muhammadiyah dan Dewan Dakwah. Eh, Gus Dur tidak setuju dan memarahi KH. Ilyas. Saya berpikir, Kyai Ilyas itukan Rois Aam yang dalam NU kedudukannya paling tinggi, kok diperlakukan seperti itu.134 133 134 KH. Agoes Aly Mansyhuri, “NU Jaya, NU Ketawa”, Jawa Pos, 24 November 1999. KH. Yusuf Hasyim, “Romantsime PKB”, Republika, 10 Agustus 1998. Berkenaan dengan mistifikasi terhadap Abdurrahman Wahid, ataupun gagasan-gagasan “gila” yang oleh banyak orang, khususnya nahdliyin selalu mengamini tanpa adanya reserve, menjadi sorotan suatu kekhawatiran Yusuf Hasyim, karena akan berujung pada pengkultusan individu sehingga memicu timbulnya “ideologi Gus Durianisme”.135 Yusuf Hasyim menyadari bahwa pemikiran Abdurrahman Wahid yang membangsa visioner belum sepenuhnya tersosialisasi di lapisan bawah NU,136 komentar Yusuf Hasyim: Bagi warga NU terutama yang tingkat fanatisme dan patronasenya tinggi, menganggap bahwa Gus Dur adalah Wali Allah yang waskito. Orang lain boleh saja tak menerima ucapan dan tindakannya. Tapi buat mereka, Gus Dur mustahil keliru. Mungkin ini dapat dimaklumi bila yang mengucapkan adalah warga NU di pelosok desa yang tingkat pendidikannya sederhana. Padahal cukup banyak kekeliruan Gus Dur yang sudah terekspos secara luas ... meski demikian, warga NU tetap yakin. Bila perlu, kekeliruan Gus Dur harus ditakwilkan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah kebenaran. Bagi mereka Gus Dur bak Nabi Khidzir dan kita adalah Nabi Musa. Anehnya fenomena ini tak cuma menghinggapi konstituen tradisional NU, melainkan juga sejumlah intelektual lokal serta bule yang akrab dengan Gus Dur. Pandangan seperti ini tak pernah terjadi sebelum Gus Dur, tentu bisa menghambat sikap kritis ... lebih dari itu dapat menyemaikan kultus individu.137 Bila ketegangan antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim dilihat dari latar belakang penyebabnya, maka dekripsi di atas menunjukkan keterkaitan fakta penyebab yang satu dengan yang lainnya. ada faktor internal dan faktor eksternal yang saling berinteraksi, yaitu ; Pemikiran reformis dari Abdurrahman Wahid, Pemikiran dan tindakan Abdurrahman Wahid cederung merelatifkan peran lembaga syuriah, merelatifkan peran-peran tokoh sepuh sebelum kepemimpinan dan pemikiran Gus Dur dianggap menyimpang dari tradisi NU selama ini. Adanya 135 “Surat Pembaca”, Aula no. 03 Tahun XX, Maret 1998, hal.4. KH. Yusuf Hasyim, “Romantsime PKB”, Republika, 10 Agustus 1998. 137 KH. Yusuf Hasyim, “Kepemimpinan Gus Dur dan Pesantren”, Gatra, 12 Agustus 2000, 136 hal.22. kepemimpinan Abdurrahman Wahid yang mencoba mengembangkan pemikiran anti tesis dari kecenderungan “negara kuat” serta kecenderungan terbangunnya patronase politik antara tokoh-tokoh NU di kalangan birokrat. Walaupun demikian bila dicermati latar belakang perbedaan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim secara seksama, menurut hemat penulis, maka kekuatan penuh adalah yang disebut pertama, yakni pemikiran-pemikiran reformis Abdurrahman Wahid. Perbedaan prinsipal antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim yaitu bahwa Abdurrahman Wahid menunjukkan jati dirinya yang ingin melakukan perubahan-perubahan dalam internal NU maupun eksternal NU. Atau tepatnya pemikiran dan tindakan Abdurrahman Wahid cenderung menentang kemapanan. Sementara Yusuf Hasyim melihat kecenderungan itu dianggap akan merusak tatanan kemapanan NU yang selanjutnya akan merusak NU. Berangkat dari sinilah, wajar jika selama ini Yusuf Hasyim selalu menggugat kemapanan Abdurrahman Wahid. meskipun terlihat bertolak belakang terhadap Abdurrahman Wahid, nampaknya hal ini dilakukan Yusuf Hasyim untuk menghapus barrier bagi nahdliyin agar memiliki keberanian menghadapi kekuatan Abdurrahman Wahid. Pada akhirnya tak berlebihan apa yang dikatakan Samsuddin Haris bahwa Yusuf Hasyim adalah sosok nurani kaum nahdliyin melainkan juga sosok penafsir realitas eksternal bagi NU dan jamiyahnya. BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Penulisan skripsi ini sesungguhnya masih terlalu sederhana dan belum bisa dikatakan memadai untuk sebuah kajian atau analisis tentang latar belakang kritisme Yusuf Hasyim terhadap kepemimpinan Abdurrahman Wahid, baik dari segi varian maupun karakteristiknya. Apalagi kalau penulisan ini menyertakan pendekatan historis sosiologis yang secara praktis membutuhkan banyak pemikiran untuk merumuskan agar tercapai suatu akurasi dan konsistensi penulisan yang bisa diterima. Meski demikian, penulisan ini mungkin akan tetap berguna setidaknya bagi penulis lain yang ingin mendapatkan beberapa informasi seputar polemik antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim berkenaan dengan NU. Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim secara geneologis adalah keturunan darah biru Founding Father NU, yang tentu punya tanggung jawab yang sama besar untuk mengembangkan NU ke arah cita-citanya, yakni mampu menjawab tantangan perubahan sosial sekaligus mewariskan nilainilai keislaman berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah untuk meningkatkan kualitas spiritual dan menjaga moralitas bangsa. Baik Abdurrahman Wahid maupun Yusuf Hasyim akhirnya tampil merumuskan pemikiran dan strateginya dengan mengambil segi positif perjalanan serta kiprah NU sebelumnya. Pemikiran politik serta strategi keduanya merupakan sintesis dari pergumulan serta kiprah individu masing-masing, baik melalui organisasi NU maupun dunia luar NU. Sehingga, merupakan kenyataan yang wajar jika Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim memberikan pemikiran yang berbeda terhadap cara untuk mewujudkan cita-cita perjuangan NU. Dalam hal ini, paradigma pemikiran Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim untuk mewujudkan gagasan, strateginya berbeda, Abdurrahman Wahid lebih mendasarkan pada paradigma, dalam istilah Abdurrahman Wahid “Berangkat dari agama untuk menyelesaikan masalah bangsa”, dimana Abdurrahman Wahid ingin mengintegrasikan kegiatan Islam dalam kegiatan bangsa. Secara keseluruhan tanpa menampakkan bentuk-bentuk simbol formal keagamaan atau yang bersifat Islam eksklusif. Sebaliknya, Yusuf Hasyim mendasarkan pemikiran dan strateginya pada pijakan paradigma “ berangkat dengan agama untuk menyelesaikan masalah bangsa “. Hal ini terlihat jelas kecenderungan Yusuf Hasyim untuk memformilkan Islam dalam kehidupan negara misalnya melalui simbol-simbol serta idiom keislaman yang semuanya lebih mengarah pada eksklusifisme Islam. Perbedaan paradigma keduanya ini dalam konteks tertentu mempunyai implikasi yang berbeda, khususnya dalam merumuskan hubungan Islam (syariah) dan negara. Meskipun keduanya menolak syariah dijadikan konstitusi negara secara absolut, tetapi lebih menerima dan berhasrat mengislamkan kehidupan bernegara tanpa harus, menimbulkan masalah. Yusuf Hasyim membela Negara Demokrasi untuk melindungi syariah dari penyelewengan atau distorsi, Sedang Abdurrahman Wahid mendukung Negara Demokrasi justru lebih sebagai keharusan untuk melindungi plurarisme masyarakat bangsa. Ada beberapa kemungkinan sikap Yusuf Hasyim yang secara faktual terlihat eksklusif dan bersebrangan dengan Abdurrahman Wahid. Pertama, penggunaan formalisasi Islam melalui idiom-idiom Islam, isu-isu sekuleris yang ditujukan pada Abdurrahman Wahid merupakan strategi perjuangan untuk menggoyahkan Abdurrahman Wahid dan PKB. Kedua, merupakan puncak rivalitas antara Yusuf Hasyim dengan Abdurrahman Wahid. Selama ini melihat perilaku pemikiran sekuler serta sikap Abdurrahman Wahid yang dianggap menyeleweng dari tradisi NU. B. SARAN-SARAN Kepada para akademisi hendaknya dapat mendorong munculnya kelompokkelompok diskusi. Kelompok ini diharapkan tidak hanya dapat mengiyakan pandangan-pandangan elit NU, tetapi juga mampu melahirkan orang-orang yang mampu mengkritik pandangan-pandangannya termasuk pandangan Abdurrahman Wahid. Mengingat figur Abdurrahman Wahid yang begitu kuat terkadang melahirkan fanatisme yang berlebihan