perbandingan abdurrahman wahid dan yusuf

advertisement
PERBANDINGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN
YUSUF HASYIM
TENTANG VISI DAN STRATEGI POLITIK NU
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Jurusan Pemikiran Politik Islam
Untuk memenuhi syarat mencapai Gelar Sarjana Sosial ( S.Sos)
Oleh
HENDRI JULIANTO
Nim: 103033227817
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008 M / 1429 H
PERBANDINGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN
YUSUF HASYIM
TENTANG VISI DAN STRATEGI POLITIK NU
KATA PENGANTAR .....................................................................................
i
DAFTAR ISI ....................................................................................................
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Masalah
...................................................................
B. Pembatasan
dan
1
Perumusan
Masalah
.............................................. 5
C. Tujuan
dan
Fungsi
Penulisan
............................................................ 5
D. Metode
Penulisan
.............................................................................
5
E. Sistematika
Penulisan
....................................................................... 6
BAB II
NU,
IDEOLOGI
KEBANGSAAN
A.
KEAGAMAAN
Visi
DAN
Kelahiran
PAHAM
NU
.............................................................................
8
B. Faham Ahlusunnah wal Jama’ah dan Paham Kebangsaan NU
........
C.
12
Sejarah
Politik
NU
Masa
Lalu
.........................................................
D.
Politik
NU
dan
....................................................
20
Khittah
NU
1926
25
BAB III
PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF
HASYIM TENTANG VISI POLITIK NU
A.
Sketsa
Biografi
Abdurrahman
Wahid
..............................................
31
B. Pandangan Abdurrahman Wahid Tentang NU, Islam dan Negara
..
36
C. Abdurrahman Wahid dan Misi Perjuangan Politik PKB
.................
D.
41
Sketsa
Biografi
Yusuf
Hasyim
........................................................
46
E. Pandangan Yusuf Hasyim Tentang NU, Islam dan Negara
.............
F.
Yusuf
51
Hasyim
dan
Misi
Perjuangan
Politik
PKU
............................
BAB IV
57
PERBANDINGAN, ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF
HASYIM TENTANG KEBANGSAAN
A. Pandangan Kebangsaan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim
..
60
B. Analisa Perbandingan Strategi Politik NU Abdurrahman Wahid
Dan
Yusuf
...........................................................................
BAB VI
Hasyim
66
PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................76
B. Saran-saran ...................................................................................79
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mencermati dinamika internal yang terjadi dalam jam'iyah Nahdlatul Ulama
beberapa periode kepemimpinan Abdurrahman Wahid, berkembanglah fenomena
politik, yaitu munculnya wacana pemikiran dialektis yang dalam kurun waktu ini
dirasakan oleh sebagian orang telah menghilang dari tradisi NU. Munculnya
wacana pemikiran dialektis tersebut, salah satunya disebabkan oleh polemik antar
geneologis “Darah Biru” NU sendiri, yaitu antara KH. Abdurrahman Wahid dan
KH. Yusuf Hasyim.
Dalam hal ini Greg Fealy dan Greg Barton menyatakan; Yusuf Hasyim
merupakan anak terakhir pendiri NU Hasyim Asy'ari yang masih hidup (sekarang
telah meninggal) dan oleh karena itu merupakan paman dari Abdurrahman Wahid.
Abdurrahman Wahid sendiri adalah anak tertua dari kakak tertua Yusuf Hasyim,
yaitu Wachid Hasyim. Hubungan antara paman dan keponakan, yang secara
teoritis bisa membuat klaim-klaim yang bertetangan untuk menjadi penerus
Hasyim Asy'ari yang sah, sangatlah kompleks, bahkan diantara keduanya jarang
harmonis.1
Tema yang menjadi perdebatan antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf
Hasyim sebenarnya kompleks, salah satunya mengenai visi dan strategi
perjuangan politik NU, yaitu menyangkut hubungan agama dan negara serta
1
Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU dan Negara,
(Yogyakarta: Lkis, 1998), ha1. 123.
pilihan impelementasi model dan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang
paling memungkinkan untuk diterapkan. Tema yang menjadi perdebatan
sehubungan dengan masalah ini, sebenarnya bukan masalah baru, karena sudah
sering dijadikan bahan perdebatan oleh tokoh-tokoh sebelumnya. Setiap kali
bangsa Indonesia menghadapi wacana politik bersinggungan dengan wilayah
keagamaan, selalu saja muncul ke permukaan, yang bernuansa baru hanyalah
pelakunya saja. Tampilnya dua saudara, antara paman dan keponakan bersamasama dibesarkan dan merupakan keturunan pendiri NU, memberi nuansa
tersendiri. Akan tetapi selama ini yang muncul di permukaan lebih berupa konflik.
Meskipun jika dilakukan pendalaman masih banyak titik temunya. Seperti
penjelasan Pak Ud sendiri; “Sebenarnya disamping perbedaan pendapat, antara
kami banyak pula persamaannya. Sayang, yang banyak diekspos adalah
perbedaan kami”.2
Sejak tampil pertama kali dalam kepememimpinan NU, Abdurrahman
Wahid telah mencoba menghidupkan tradisi pemikiran kritis di kalangan NU serta
membangun wacana pemikiran keagamaan baru. Begitu besarnya concern
Abdurrahman Wahid untuk membangkitkan tradisi pemikiran kritis dikalangan
NU, terutama di kalangan anak muda NU.
Teramat kuatnya posisi Abdurrahman Wahid sebagai inspirator gagasan
besar dikalangan NU, tanpa disadari telah menciptakan keseragaman wacana
pemikiran, sehingga harapan Abdurrahman Wahid agar terjadi dialektika yang
sehat di kalangan NU tidak terpenuhi. Sehingga muncul dinamika pemikiran yang
2
KH Yusuf Hasyim,”Kami Sering Guyon Kok,” Jawa Pos, 23 November 1997.
berlangsung intensif di kalangan warga NU. Jika dicermati yang terjadi adalah
wacana monologis, dengan pemikiran Abdurrahman Wahid sebagai landasan
terminologinya. Dalam bentuk yang ekstrim, bisa disebutkan nyaris terjadi.
Penyikapan pengabsolutan setiap gagasan yang muncul dari Abdurrahman Wahid
selalu terjadi, tanpa ada upaya mengimbangi dengan gagasan alternatif.
Meski baru serta terbatas pada substansi gagasan tertentu, tampilnya Yusuf
Hasyim dengan dialog melalui media massa yang terkesan berseberangan dengan
pemikiran Abdurrahman Wahid, telah memberikan “keseimbangan“ wacana
pemikiran di kalangan warga NU. Tampilnya Yusuf Hasyim sebagai antitesa
terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid diharapkan menciptakan iklim yang
mendukung bagi munculnya tradisi dialog yang sehat, sehingga nantinya dapat
memunculkan sintesa baru dan lebih mencerahkan. Peran yang dilakukan Yusuf
Hasyim itu, bukanlah tanpa mengandung resiko. Melihat kemajemukan pola pikir
masyarakat kita, terutama warga NU, apa yang dilakukan Yusuf Hasyim sebagai
pihak beroposisi berseberangan (sebagian) terhadap pemikiran Abdurrahman
Wahid, berpeluang mengkondisikan dan respon berbeda yang sama besarnya,
sikap tidak setuju dan mendukung.
Sikap tidak setuju akan muncul dari kalangan yang beranggapan bahwa
perseteruan tersebut akibat masalah internal Bani Hasyim sendiri,3 atau mereka
yang tidak rela menghadapi tokoh Abdurrahman Wahid dikritisi orang lain.
Sedangkan sikap mendukung, lahir dari mereka yang merasa ada angin segar bagi
munculnya pemikiran yang selama ini tidak disadari telah terbelenggu di kalangan
3
“ NU Pasca Pemilu,” Kompas, 24 Agustus 1999.
NU. Apalagi selama kurun waktu tertentu memimpin NU (Abdurrahman Wahid)
nyaris tidak ada pihak yang berani secara terbuka bersikap demikian. Posisi Yusuf
Hasyim sebagai paman jelas menjadi faktor yang menghapuskan barrier tersebut,
sehingga bisa melakukan perdebatan secara bebas dengan keponakan. Yusuf
Hasyim, dengan segala kelebihan dan kekurangannya dinilai cukup punya nyali
menghadapi Abdurrahman Wahid.
Dalam pandangan Yusuf Hasyim, berkomitmen menjadikan siyasah
(politik) sebagai alat untuk tegaknya Syari'ah Islam dalam batas yang wajar dan
sejalan dengan kepentingan nasional.4
Sebaliknya dalam pandangan Abdurrahman Wahid, perjuangan syari'ah
tidak harus melalui hukum-hukum dan simbol agama secara formal, melainkan
sebagai ruh yang menjiwai setiap produk hukum positif yang dibuat oleh negara.
Substansi syari'ah Islamiyah ini juga bisa terwujud melalui gerakan demokrasi
atau menegakkan negara dan bangsa.5
Meskipun persoalan polemik antar keduanya sudah berlalu, bukan berarti
masyarakat khususnya warga NU akan tinggal diam. Mereka justru penasaran
mencari jawaban yang sebenarnya. Mereka akan bertanya-tanya apa yang
sebenarnya terjadi di antara keduanya.
Diharapkan
penulisan
skripsi
yang
berjudul
“PERBANDINGAN
ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM MENGENAI VISI DAN
STRATEGI POLITIK NU”,
dapat memberikan kontribusi untuk ikut
mendudukkan persoalan keduanya sesuai porsinya, bukan sebagai upaya
4
5
H.M. Yusuf Hasyim, “PKU dan Siyasah Menuju Syari'ah,” Jawa Pos, 3 November 1998.
Abdurrahman Wahid, “PKB, Syari'ah dan PKU,” Jawa Pos, 30 Oktober 1998.
melakukan upaya pembenaran atas berbagai tindakan dan pernyataan keduanya.
Lebih dari itu, hal ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan atas segala
makna dan warna yang ada di balik peristiwa, serta sebagai upaya penempatan
masalah sesuai proporsinya dari polemik keduanya yang memiliki nilai historis.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembahasan pada skripsi ini adalah masalah sosial yang bersifat dinamis
maka penulis membatasi penulisan ini
melalui visi politik NU, yang lebih
difokuskan pada perbandingan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang
pola hubungan agama dan negara melalui misi perjuangan politik PKB dan PKU.
Dari pembatasan masalah tersebut, maka rumusan masalahnya adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana pandangan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang
pola perjuangan politik?
2. Apakah perbedaan dan persamaan pandangan antara Abdurrahman Wahid
dan Yusuf Hasyim tentang pola hubungan agama dan negara tersebut ?
C. Tujuan Dan Fungsi Penulisan
Tujuan dari penulisan ini ialah untuk memberikan sedikit gambaran serta
penjelasan tentang pemikiran Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang
pola hubungan agama dan negara melalui misi perjuangan politik PKB dan PKU.
Penulisan ini memperkaya khazanah Pemikiran Politik Islam.
Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Oleh karena objek penelitian ini adalah pemikiran Abdurrahman Wahid dan
Yusuf Hasyim tentang pola hubungan agama dan negara melalui misi perjuangan
politik PKB dan PKU, maka skripsi ini disusun berdasarkan studi kepustakaan
(Library Reseach) yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan yang relevan dengan
menelusuri buku-buku atau tulisan-tulisan yang dibuat oleh Abdurrahman Wahid
maupun Yusuf Hasyim serta beberapa tulisan yang mendukung ketajaman
analisis.
Sedangkan dalam menguraikan permasalahan, penulis menerapkan metode
deskriptif, kemudian dilakukan secara analisis dengan interpretasi tentang
substansi kedua tokoh ini serta membangun beberapa korelasi yang dianggap
signifikan. Data-data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif dengan
menggunakan
studi
komparatif.
Sehingga
penulis
dapat
menjelaskan
perbandingan dari dua fenomena pandangan politik antara Abdurrahman Wahid
dan Yusuf Hasyim.
Sedangkan teknik penulisan skripsi ini merujuk pada buku Pedoman
Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat , Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 2003 / 2004.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari V bab, perinciannya adalah sebagai berikut:
Bab I tentang Pendahuluan. Diawali dasar pemikiran penulis mengangkat
tema ini sebagai bahan penyusunan skripsi, dilanjutkan dengan pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan fungsi penulisan, metode penulisan dan
sistematika penulisan
Bab II bab ini, menguraikan tentang visi dan orientasi awal. kelahiran NU.
serta uraian sejarah perjalanan politik NU serta gerakan-gerakan strategis yang
dilalakukan NU, baik ketika Ormas ini menjadi Ormas keagamaan maupun ketika
menjadi Partai Politik.
Bab III akan membahas penggambaran seorang Abdurrahman Wahid dan
Yusuf Hasyim, serta pandangan-pandangan keduanya terhadap NU, Islam dan
Negara meliputi strategi perjuangan keduanya.
Bab IV membahas mengenai perbandingan, Abdurrahman Wahid dan
Yusuf Hasyim khususnya yang berkaitan dengan kebangsaan dan semangat
perjuangan keduanya.
Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan-kesimpulan dan saran
saran penulis berkaitan dengan masalah yang diajukan dari keseluruhan penulisan
skripsi ini.
BAB II
NAHDLATUL ULAMA, IDEOLOGI KEAGAMAAN
DAN PAHAM KEBANGSAAN
A. Latar Belakang Kelahiran NU
Untuk memahami jati diri NU, KH. Syamsul Arifin, sang mediator antara
KH. M. Cholil (Bangkalan) dan Hadratussyekh Hasyim Asy'ari (Tebuireng)
menyatakan bahwa ketika seseorang akan memahami NU, belum cukup kalau
hanya melihat sisi formal, semenjak lahir ternyata mengalami perkembangan
hingga kini. Seseorang harus mempelajari kondisi yang melatarbelakangi
mengapa organisasi ini dibentuk, arah mana tujuan yang hendak dituju, cara dan
proses apa yang harus ditempuh dan bagaimana asumsi dan lain sebagainya6.
Ada hal yang mendasar disaat kelahiran NU, menurut Kyai As’ad, sebelum
para ulama memberangkat delegasi yang tergabung dalam Komite Hijaz7
berangkat ke Saudi Arabia, mereka cukup dipusingkan dengan identitas yang akan
diberikan kepada delegasi tersebut dalam organisasi disertai nama dan
kegiatannya.
6
Sinansuri, Encip, NU Dalam Tantangan, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Riwayat Hidup
dan Perjuangannya, (Surabaya: Sahabat Ilmu, 1994). hal. 3.
7
Komite Hijaz, dibentuk di Surabaya Dalam rapat pembentukan ini dihadiri para Alim
Ulama antara lain KH. Hasyim Asy'ari (Tebuireng), KH. Bisri Samsuri (Denanyar), KH. Ridlwan
(Semarang), KH Nawawi (Pasuruan), KH. R. Asnawi dan KH. R. Hambali (Kudus), KH.
Nachrowi (Malang), KH. Doromuntoha -menantu Kyai Cholil Bangkalan. Rapat ini mernutuskan
tujuan Komite Hijaz; pertama mengirim utusan ke Makkah atas nama Ulama Indonesia untuk
menghadiri Kongres Dunia Islam, dengan tugas memperjuangkan hukum-hukum ibadat dalam
madzhab empat. Komite inilah yang diubah menjadi organisasi yang bersifat sosial keagamaan
dengan nama NU ( Nahdlatul Ulama ) pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926 atau
Rajab 1344 Hijriyah. Lihat, H. A. Bassit Adnan, Kemelut di NU, Antara Kyai dan Politisi, ( CV.
Mayasari, Solo: 1992) hal.12.
Setelah para ulama meraih kesepakatan mengenai nama organisasi serta
kegiatannya, mereka menyerahkan amanat peresmian kepada KH. Hasyim
Asy’ari. Akan tetapi beliau tidak gegabah dalam mengambil keputusan, beliau
langsung meminta petunjuk Allah melalui isthikarrah. Ternyata, Allah
memberikan jawaban berupa petunjuk dan dibenarkan oleh gurunya Kyai Cholil
Bangkalan. Selanjutnya Kyai Cholil melalui Kyai As’ad memberi pesan berupa
bacaan ayat Al Qur’an, surat Thaha ayat 17 sampai dengan 238. Dalam keterangan
lain diberitakan Kyai As’ad juga memberikan sebuah tongkat dan tasbih kepada
Kyai Hasyim.9
Riwayat di atas merupakan simbol yang mengandung filosofi berupa
amanat kepada Kyai Hasyim sehingga muncullah cikal bakal pendirian organisasi
Nahdlatul Ulama. Organisasi ini mengembangkan kepemimpinan pada tiga jalur.
8
☺ ☺ 46#- ./0123 ()*+,- $%&' !"
#
>?"@ ./1
9= "
☺:⌧< 92' ./8
L ☺ GHIJK-  A$BCDEXH TUV2W Q.RS !"
# )OP GMIJKN
#`Z
6'a ( ^)_ \] #Z6[ ⌧M` 0d☺^) X 92=c[) G1Bba
^i
gh\LJZ Uf'BJ S:e 92=I
1'l
K XX A$BCDE- k.)g ?gja 10B⌧<
Xn $10KgAJK) :
m)g ^i
Terjemah:
17. Apakah itu yang di tangan kananmu, Hai Musa?
18. Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, Aku bertelekan padanya, dan Aku pukul (daun)
dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya”.
19. Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, Hai Musa!”
20. Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, Maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap
dengan cepat.
21. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, kami akan mengembalikannya kepada
keadaannya semula,
22. Dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia ke luar menjadi putih cemerlang tanpa
cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula),
23. Untuk kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan kami yang sangat
besar. Lihat QS Thaha Al Qur’an .
9
KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Riwayat Hidup dan Perjuangannya, (Surabaya: Sahabat
Ilmu, 1994) hal. 34-35.
Pertama, jalur pendidikan yang diisyaratkan dengan adanya transfer ilmu dari
Kyai Cholil ke Kyai Hasyim. Kedua yaitu jalur sosial, bisa dilihat dari isi surat
Thaha. Ketiga, jalur spiritual yang dilukiskan dengan pemberian tasbih kepada
Kyai Hasyim, jalur ini bisa disebut dengan dakwah. Ketiga jalur inilah yang
menjadikan kegiatan utama pada awal-awal berdirinya NU.10
Sebenarnya NU telah melengkapi diri untuk menjadi jami’yah atau
organisasi yang maju. Persyaratan untuk menjadikan jami’yah pertama-tama
mempunyai pandang yang jelas tentang target yang akan dicapai di masa depan
dengan kejelasan visinya.
Visi NU tertuang dalam Muqaddimah al Qonuuni al Asaasi (anggaran
dasar) yang telah disusun oleh Rois Akbar. Jam’iyah NU, KH. M. Hasyim
Asy'ari. Program jam'iyah ini menjadi prinsip dasar dalam berbagai konsep
pengembangan organisasi yang dibicarakan setiap kali NU menyelenggarakan
Muktamar.
Anggaran dasar formal (Statuen) NU yang dibuat pada muktamar 1928, NU
menetapkan tujuannya, yaitu mengembangkan ajaran-ajaran Islam Ahlussunnah
Waljama'ah dan mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama
Islam. Pasal kunci 2 dan 3 berbunyi sebagai berikut :
Fatsal 2. Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe: "Memegang dengan
tegoeh pada salah satoe dari mazhabnja Imam empat, jaitoe lmam
Moehammad bin Idris Asj-Sjafi'i: Imam Malik bin Anas, Imam Aboe
10
Nama Nahdlatul Ulama diberikan oleh KH. A. Wahab Hasbullah karena beliau
terinspirasi oleh ulama yang mengatakan “ Janganlah kamu bergaul dengan orang-orang yang
perilakunya tidak membangkitkan kamu kepada Allah dan kata-katanya tidak menunjukkan
kepada kamu ke jalan Allah”. Harapan beliau dengan memberi nama NU ini dapat membangkitkan
(melalui kegiatannya) kepada Allah . Lihat Gus Dur, “Perluasan Cakupan Dakwah”,Aula No.01
tahun XIV (Januari 1994) hal.63-64.
Hanifah An-Noe'man, atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerdjakan
apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan agama Islam".
Fatsal 3. Oentoek mentjapai maksoed perkoempoelan ini maka diadakan
ichtiar:
a. mengadakan perhoeboengan di antara Oelama-oelama jang bermazhab
terseboet dalam fatsal 2.
b. memeriksa kitab-kitab sebeloemnja dipakai oentoek mengadjar, soepaja
diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitabnja Ahli Sunnah Wal Djama'ah
atau kitab-kitabnja Ahli Bid'ah.
c. Menjiarkan Agama Islam di atas mazhab sebagai terseboet dalam fatsal 2,
dengan dijalankan apa sadja jang baik.
d. Berichtiar memperbanjakkan Madrasah-Madrasah jang berdasar Agama
Islam.
e. Memperhatikan hal-hal jang berhoeboengan dengan masjid2, langgar2,
dan pondok2, begitoe djoega dengan hal-ahwalnja anak-anak jatim dan
orang-orang jang fakir miskin.
f. Mendirikan badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian,
perniagaan, dan peroesahaan, jang tiada dilarang oleh sjara' Agama Islam.11
Pada
awal berdirinya
NU
sebagai ormas
keagamaan,
di mana
keberadaannya merupakan manifestasi dari obsesi “Founding Fathers” yang
menghendaki lestarinya tradisi-tradisi sunni di Indonesia. Namun demikian, dalam
permulannya dengan realitas (problem) kebangsaan, dimensi politik juga tak luput
dari kiprahnya. Terutama, karena para pendirinya dahulu aktif dalam pergerakan,
penggalangan Nasionalisme di tengah-tengah iklim kolonial pada saat itu, seperti
Kyai Hasyim aktif di beberapa organisasi yang ikut dalam anggota Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Pergulatan praktik NU dalam perjalanannya ini menjadi problem tersendiri.
Secara internal, salah satunya karena seluruh “sumber daya” tercurahkan dalam
aktivitas politik, apa yang menjadi tanggung jawab NU sebagaimana visi awal
kelahirannya menjadi terabaikan. Pada sisi yang lain, ketika terjadi perubahan
11
Statuen Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama, dalam Martin Van Bruinessen, NU Tradisi,
Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: Lkis, 1994), hal. 42
dalam tata kehidupan politik, kekuatan NU terasa mandul, langkah-langkahnya
lebih banyak bersifat sporadis dan partisan di dalam “rekayasa” politik, misalnya
pada masa Orde Baru. Terasa seolah-olah Pemerintahan kurang dapat menerima
keberadaan NU, sebagai kekuatan yang turut bermain di dalam sistem kekuasaan,
NU tergiring dalam posisi marginal dalam pergulatan politik nasional.
Marginalisasi itu pun terus berlanjut sampai muncul kesadaran baru untuk bangkit
dari keterpurukan dan melakukan perubahan dasar dalam tubuh NU, yaitu dengan
kembali ke Khittah 1926. Kesadaran yang dimaksud adalah kembali melakukan
peran sebagaimana awal berdirinya, dimana orientasinya adalah merekontruksi
internal, yaitu jami’yah yang orientasinya banyak mengarah pada politik menjadi
Diniyah Ijtima’iyah (Sosial Keagamaan).
B. Paham Ahlusunah wal Jama’ah dan Paham Kebangsaan NU
Semenjak awal NU menunjukkan jati dirinya sebagai penganut paham
Ahlussunnah12 Wal Jama'ah, yaitu sebuah paham keagamaan yang dikalangan NU
berumber padn Al Qur’an, Al Sunnah, Al Ijma', dan Al Qiyas. Tetapi, dalam hal
ini Ahlussunnah wal Jama’ah itu tidak hanya terdiri satu kelompok aliran, ada
beberapa sub aliran. Oleh sebab itu Dr. Jalal M. Musa mengatakan, istilah
Ahlusunnah tersebut menjadi rebutan banyak kelompok, yang masing-masing
menyatakan bahwa dialah Ahlussunnah wal Jama’ah dan dimasukkan kata “Al
Jamaa’ah” dalam istilah ini oleh Abdul Mudhoffar al-Isfarayini disebutkan bahwa
12
Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak langkah yang
berasal dari nabi Muhammad SAW dan membelanya. Lihat Muhammad Tholhah Hasan,
AHLUSSUNNAH WAL-JAMA’AH Dalam Persepsi dan Tradisi NU, 2nd ed. (Jakarta: Lantabora
Press, 2004),hal.3.
mereka memiliki alasan yang sama karena menggunakan “Ijma” dan “Qiyas”
sebagai dalil syariah yang fundamental, disamping Kitabullah (al-Qur’an) dan
Sunnah Rasul.13 Seperti Muhammadiyah dan organisasi lain yang mendasarkan
pada Islam, juga menganut paham tersebut sehingga secara umum tidak bisa
dianggap salah, sebab kegiatan yang mereka lakukan sesuai dengan paham
Ahlussunnah wal Jama’ah. Karena hendak mempertahankan dan mengembangkan
paham inilah, NU dilahirkan. Di mana secara harfiah Ahlussunnah Wal Jama'ah,
berarti penganut sunnah Nabi dan Sahabat-sahabatnya.14
Dalam pengertian yang lebih rinci dan ini yang dianut oleh NU, sedangkan
dilain hal KH. Bisri Mustafa menafsirkan Ahlussunnah Wal Jama'ah sebagai
suatu paham yang harus dipegang sebagai tradisi:
1. Dalam bidang hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu
madzhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i. Dalam
praktik NU banyak mengikuti faham yang diajarkan oleh Syafi’i.
2. Di bidang Tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Al Asy’ari
dan Imam Abu Mansyur Al Maturudi.
3. Sedangkan di Tasawufnya, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Qosim
Al Junandi.15
Dari doktrin-doktrin Ahlussunnah Wal Jama'ah tersebut di atas banyak
melahirkan konsep-konsep NU dalam memandang dimensi kehidupan dengan
13
Muhammad Tholhah Hasan, AHLUSSUNNAH WAL-JAMA’AH Dalam Persepsi dan
Tradisi NU, hal.3-4.
14
KH. Sirojuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, (Jakarta:Pustaka
Tarbiyah,1983), hal.16.
15
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982), hal.149.
implikasinya dalam pandangan terhadap negara, Islam, demokrasi, dan lain
sebagainya.
Dalam kehidupan kenegaraan doktrin ini, melahirkan sikap-sikap normatif
yang oleh KH. Ahmad Siddiq diidentifikasi atau menjadi ciri khas NU, yaitu :
1. Tawasuth dan I’tidal, yaitu sikap tengah yang berintikan kepada prinsip
hidup menjunjung tinggi keharusan berlaku adil ditengah-tengah
kehidupan bersama
2. Tasamuh, yaitu sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam
soal keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau khilafah.
3. Tawuzuun, yakni sikap seimbang dalam berkhidmat kepada Allah,
manusia, serta lingkungan hidupnya, menyelaraskan kepentingan masa
lalu, masa kini, dan masa akan mendatang.16
4. Amar Ma'ruf Nahi Munkar, yakni sikap selalu memiIiki kepedulian untuk
mendorong perbuatan yang baik berguna dan bermanfaat bagi kehidupan
bersama, serta menolak dan mencegah semua hal yang menjurus dan
merendahkan nilai-nilai kehidupan.17
Sikap-sikap normatif yang dimiliki NU inilah yang mempengaruhi
prosfektifnya dalam melihat politik kenegaraan.18 Kewajiban hidup bermasyarakat
dan bernegara merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar, mentaati
16
KH. Ahmad Siddiq, Khittah Nahdiliyyah, (Surabaya: Balai Pustaka, 1979), hal. 3-11.
PBNU, Kembali Ke Khittah 1926, (Bandung: Risalah, 1985), hal.119.
18
Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, Rekrontruksi Pemikiran
Islam Indonesia Masa Orba, ( Bandung: Mizan, 1986), hal. 59.
17
pemerintah, juga merupakan kewajiban sepanjang tidak menganjurkan kepada
kekufuran.
Tidak mengherankan
apabila
menghadapi dualisme
kepemimpinan
Indonesia Suharmadji Marijan Kartosuwiryo (DI/TII), NU mendukung Soekarno
dan memandang DI/TII sebagai pemberontak (bhugat). Semua diputuskan dengan
berdasarkan kaidah keagamaan (fiqhiyah). Sehingga Gus Dur tidak bisa menerima
sebutan Mitsuo Nakamura terhadap NU sebagai “Tradisionalisme Radikal” dan
memandang Nakamura kurang tahu secara mendalam nilai-nilai dalam NU yang
serba fiqih.19 Lanjutnya, bahwa bidang ilmu fiqih menyangkut segala praktek
kehidupan beragam serta termanifestasi dalam kehidupan bermasyarakat dan
beragama. Dalam menggunakan hukum fiqh, NU berpegangan pada pedoman
bahwa hukum-hukum itu timbul karena adanya sebab akibat atau al Hukmu Ma’al
Illat.20 Kemudian melahirkan kerangka berfikir sebab akibat dalam merumuskan
produk-produk hukum.
Sementara itu, pandangan NU terhadap kehidupan bernegara tercermin
dalam tulisan Kyai Achmad Siddiq :
1. Negara nasional (yang didirikan bersama seluruh rakyat) wajib
dipeliharanya.
2. Penguasa negara (pemerintah) yang sah harus ditempatkan pada
kedudukan yang terhormat dan ditaati, selama tidak menyeleweng,
memerintah ke arah yang bertentangan dengan hukum dan ketentuan
Allah.
19
20
Gus Dur, NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Prisma, 1984).
Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik, (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984). hal.3.
3. Kalau terjadi kesalahan dari pihak pemerintah cara mengingatkan lewat
tata cara yang sebaik-baiknya.21
Pandangan kenegaraan NU seperti di atas, dipengaruhi madzhab Syafi'i
yang diikutinya. Madzhab Syafi'i memilah-milah negara terbagi menjadi tiga
jenis, yaitu Dar al Islam (Negara Islam), Dar al Harb (negara perang/negara anti
Islam), dan Dar al Sulh (Negara damai). Masyarakat Islam memiliki jenis pertama
dan ketiga. Jika jenis pertama tidak tercapai maka umat Islam dapat menerima
jenis ketiga, meskipun suatu negara tidak didasarkan pada hukum Islam, akan
tetapi masyarakatnya masih melaksanakan ajaran Islam, maka masyarakat tersebut
wajib membela negaranya.
Secara sederhana, untuk melihat korelasi antara NU, Islam dan kehidupan
kenegaraan, tidak dapat dilepaskan dari sifat dasar yang ada dalam NU sendiri.
Sebagai organisasi keagamaan, NU jelas mempunyai keterikatan terhadap faham
Ahlussunnah Wal Jama'ah. Faham ini bisa dikatakan sebagai pondasi (ruh) dan
konstruksi NU. Inilah kata kunci untuk melihat pola hubungan NU, Islam, dan
negara. Ideologi Ahlussunnah Wal Jama'ah menekankan nilai-nilai moderasi dan
harmonis dalam kehidupan. Nilai-nilai tersebut dapat membingkai segala
pemikiran NU untuk mencermati berbagai kehidupan, termasuk dalam melihat
hubungannya dengan masalah pemikiran keagamaan dan politik .
Dalam wilayah kenegaraan, doktrin Ahlussunnah Wal Jama'ah dirumuskan
oleh KH. Achmad Siddiq, dengan sikap politik yang sangat menjunjung tinggi
sikap Tawasssuth, Tawazun, Tasamuh, serta tatanan sosial politik dan ekonomi
21
KH. Ahmad Siddiq, Khittah Nahdiliyyah, hal.43.
yang didasarkan pada prinsip-prinsip, Adlah (keadilan), Syura (musyawarah), dan
Musawah (persamaan), merupakan modal dasar untuk membangun wawasan
kenegaraan. NU sejak dulu dikenal sebagai ormas yang mengedepankan wawasan
kenegaraan dan wawasan kebangsaan ketimbang ikatan primordial yang sempit.
Cara pandang inilah, perbedaan NU dengan organisasi lainnya, khususnya
kelompok Islam modernis perkotaan yang dikenal cukup militan. Rumusan KH.
Achmad Siddiq ini memiliki akar dengan teologi Asy'ari yang dianut NU.
Substansi teologi Asy'ari lebih menonjolkan kepada model teologi moderat ,
seperti menjaga nilai-nilai harmonis dan keseimbangan.
Dalam doktrin hubungan dengan negara, teologi Asy'ari mempunyai diktum
yang tegas. Misalnya dengan idiom-idiom “Suatu negara yang dipimpin oleh
orang kafir yang adil lebih baik dari pada dipimpin seorang muslim yang
anarkhis”, “ Kekacauan lebih berbahaya daripada ketidak adilan”, “ 60 tahun
pemerintahan dipimpin oleh orang dzalim lebih baik dari pada semalam tanpa
pemimpin.” dan seterusnya. Doktrin di atas dapat digunakan sebagai senjata
dalam menganalisa pola-pola hubungan NU, Islam, dan negara dengan segala
pasang surutnya.
Fenomena penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai satu-satunya asas
tunggal seperti yang dicetuskan KH. Ahmad Siddiq dapat dipahami dari
implementasi konteks doktrin Aswaja. Dalam konteks penerimaan asas tunggal
ini, pertimbangan NU tidak lepas dari konteks keagamaan. Bagi NU, Pancasila
adalah ideologi terbuka yang secara teologis ia bersifat inklusif, sedangkan secara
prinsipil dapat memaksakan “Islamisasi Politik” dan kekuatan-kekuatan Islam
politik, atau lebih dari itu sebagai wujud penolakan NU terhadap paham negara
Islam.
Mengenai asas tunggal ini, Martin Van Bruinessen, menilai bahwa NU telah
menegaskan
asas
tunggal
tanpa
sedikitpun
mengorbankan
komitmen
keislamannya, NU telah menegaskan pondasi bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Dari rumusan pola hubungan Islam dan Pancasila ini, Fajrul Falakh
berpendapat, bahwa sekurang-kurangnya dapat disimpulkan terhadap pemahaman
agama, konsepsi ideologi dengan pendekatan fiqhiyah yaitu:
1. Pemahaman bahwa Islam adalah fitrah yang bersifat menyempurnakan
segala kebaikan kepada manusia.
2. Pancasila bukanlah agama, tak dapat menggantikan posisi agama.
3. Rumusan ke-Tuhanan Yang Maha Esa menurut pasal 29 ayat (I) UUD
'45 yang menjiwai sila-sila lainnya mencerminkan “Tauhid” menurut
pengertian keimanan Islam.
4. Bahwa sejarah telah menunjukkan peran Umat Islam (termasuk NU)
dalam
perjuangan
bangsa,
mendirikan
negara,
mempertahankan
kemerdekaan dan mengisi pembangunan.
5. Berdasarkan pendekatan fiqh, dinyatakan bahwa negara didirikan dan di
jaga karena perintah agama dan untuk kemaslahatan pendukung negara.
Maka NU memandang, bahwa Republik Indonesia, merupakan bentuk
upaya final seluruh nation, terutama kaum muslim, untuk mendirikan
negara di wilayah nusantara.22
Penetapan NU terhadap ideologi Pancasila tidak terbatas kepada
penerimaan secara take for granted atau untuk kepentingan sesaat. Lebih dari itu,
Douglas E. Remage menggambarkan bahwa penerimaan NU terhadap Pancasila
hingga batas pembelaannya dari “monopoli” dan “rekayasa” interpretasi Pancasila
oleh Rezim Soeharto, dimana ABRI diandaikan sebagai elemen integral dalam
negara Pancasila.23 Memakai istilah Remage, Pancasila dipahami sebagai
“kawasan sengketa” antara NU dan rezim Orde Baru.
Begitu pula pembelaan NU terhadap ideologi Pancasila dan bentuk negara
kesatuan sebagai konsep final tidak hanya sebatas retorika. Digambarkan oleh
Robert W. Hafner, bahwa usaha-usaha NU dalam mendukung negara kesatuan
begitu tegas dan penuh resiko, khususnya resiko secara politis misalnya
termarginalnya NU dari pusat-pusat kekuasaan pada masa rezim Orba.24 Dalam
bentuk lain, pembelaan NU terhadap bentuk negara kesatuan dibuktian pada saat
negara sedang diambang keretakan (disintegrasi) seperti tahun 50-an atau awal
reformasi . Tidak berlebihan apabila Gus Dur dalam sambutan Muktamar ke-30 di
Kediri menyatakan bahwa NU adalah kekuatan terakhir yang sanggup
mempertahankan keutuhan bentuk negara kesatuan.25
22
M. Fajrul Falakh, NU Dalam Era 1990-an dalam Membangun Budaya
Kerakyatan,Kepemimpinan Gus Dur, Gerakan Nasoinal NU, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press,
1997), hal.26.
23
Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU dan Negara,
hal.196.
24
Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU dan Negara,
hal.200.
25
Abdurrahman Wahid, “PKB, Syari'ah dan PKU,” Jawa Pos, 30 Oktober 1998.
Cara pandang NU seperti ini juga diabsahkan oleh ideologi dasar yang
dianut NU seperti penjelasan diawal, fleksibilitas NU terbukti dengan mudahnya
diterima dan membaur dalam komponen bangsa, baik kelompok muslim maupun
non muslim, juga mudah menerima faham (pemikiran) baru. Sehingga keberadaan
NU dianggap sebagai titik temu antar semua ideologi, kekuatan politik, dan
pluralitas kebudayaan bangsa ini.
C. SEJARAH POLITIK NU MASA LALU
Sejarah formal NU diawali sejak didirikan oleh Hadratus Syeikh
KH.Hasyim Asy'ari26 di Surabaya, 31 Januari 1926 bersama ulama KH. Wahab
Hasbullah dan beberapa ulama pesantren lain. Sesuai dengan namanya NU
merupakan perkumpulan ulama yang bangkit serta membangkitkan para
pengikutnya bersama kaum muslimin di tengah masyarakat bangsa.
Sebagai organisasi sosial keagamaan (Jam'iyah Diniyah) dalam laju
pertumbuhan berikut perkembangan NU tak lepas dari hiruk pikuk politik yang
ada, dikarenakan NU mempunyai potensi politik yang tidak bisa dianggap kecil. 27
Babak awalpun dimulai pada tahun 1939 NU bergabung dengan Majlis Islam A'la
26
Peran KH. Hasyim Asy’ari tersebut dalam beberapa tulisan, yaitu sebagai pemberi
legitimasi atas pemebentukan organisasi NU. Kyai Wahab maupun KH. Hasim Asy’ari selalu
tampil dengan peran yang berbeda, tetapi secara mutualistik saling memerlukan dalam
keberhasilan membentuk NU. Kyai Wahab menawarkan konsep dan kemampuan organisatoris,
sementara Kyai Hasyim memberi legitimasi keagamaan. Lihat Andree Feillard, NU vis a vis
Negara, (Yogyakarta:LkiS,1999), hal.11.
27
Dilihat dari segi hubungannya dengan politik dan pemerintah, sejarah NU bisa di bagi
dalam lima periode. (1) 1926-1942, ketika NU menetapkan sikap non politik dan non kooperatif
yang ketat vis-à-vis pemerintah kolonial Belanda; (2) 1942-1945, ketika NU dipaksa bekerja sama
dengan pemerintah jepang; (3) 1945-1952, ketika NU berpartisipasi dalam pemerintahan Replublik
yang baru berdiri, melalui partai Masyumi dimana NU memperoleh status keanggotaan istimewa;
(4) 1952-1973, ketika NU secara langsung dan bebas berpartisipasi dalam politik dan
pemerintahan atas nama NU sebagai parpol independent; (5) 1973-1984, ketika NU melepaskan
kegiatan politiknya dan menyerahkan kepada PPP. Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme
Radikal, Persinggungan NU dan Negara, hal.58.
Indonesia (MIAI),28 yang secara umum MIAI bergerak dibidang keagamaan tetapi
dalam setiap aktivitasnya sarat dengan muatan politik.29
Sebenarnya MIAI ini dibentuk pada tahun 1937 sebagai keinginan untuk
memperkuat tali persatuan umat Islam Indonesia, tapi baru dua tahun kemudian
NU turut bergabung di dalamnya. 30
Setelah MIAI membubarkan diri,31 NU bergabung dengan organisasi Majlis
Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI) yang dibentuk pada tahun 1945,
pembentukan Masyumi dikarenakan, pada waktu itu penjajah baru, Jepang
membekukan kegiatan politik termasuk MIAI yang berkesan anti kolonial.
Sebenarnya partai masyumi ini dibentuk merupakan buah karya mukta'mar
Islam Indonesia di Yogyakarta tanggal 7-8 November 1945. Dalam muktamar ini,
salah satunya memutuskan bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai politik bagi
Islam Indonesia, serta para aktivis politik Islam yang tergabung di dalam
Masyumi sering disebut sebagai salah satu pelopor demokrasi di Republik ini.
Berjalan dengan seiringnya waktu, dalam tubuh Masyumi selalu muncul
konflik diantara tokoh-tokoh elitnya,
sehingga NU selalu menemukan
kekecewaan. Sebagai contoh pada kabinet Wilopo ( 3 April 1952 – 30 Juli
28
MIAI yaitu sebuah organisasi Islam gabungan antara NU, Muhammadiyah. Bagi NU,
keterlibatanya dalam MIAI merupakan sebuah langkah awal untuk menuju dunia politik dalam arti
terbawa untuk menentukan posisi secara tegas terhadap penjajah Belanda menjelang Perang Dunia
II. Lihat Andree Feillard, NU vis a vis Negara, (Yogyakarta:LkiS,1999), hal.17
29
Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi Kekuasaan, Pencarian Wacana Baru,
(Yogyakarta:LkiS, 1994),hal.51.
30
Penggabungan NU kedalam MIAI , NU mempunyai alasan bahwa yakin kaum
perubahan tidak mendominasi penggabungan dalam organisasi ini. Andree Feillard, NU vis a vis
Negara, hal.17
31
Karena secara implisit keberadaan MIAI dan organisasi lain, selain NU dan
Muhammadiyah tidak diakui Jepang. Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi,Relasi Kekuasaan,
Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta:LkiS, 1994),hal.54. Lihat Andree Feillard, NU vis a vis
Negara, hal.29.
1953)32, dalam jabatan Menteri Agama, menurut NU jabatan tersebut adalah
bagian NU ini berlangsung sejak awal kemerdekaan. NU menilai dirinya sebagai
cermin dari mayoritas umat Islam Indonesia dilihat dari segi ilmu, aqidah, dan
amaliyahnya. Namun ternyata jabatan itu diberikan pada Muhammadiyah (Faqih
Usman). Merasa kecewa, NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan
menyatakan diri sebagai partai politik independent.33
Ketika NU menjadi Parpol, sejarah membuktikan bahwa partai NU yang
masih baru pada Pemilu 1955 menempati urutan ketiga.34 Prestasi ini memberikan
posisi kuat untuk NU. Hal ini tercermin dalam kabinet koalisi. Namun rupanya
periode Kabinet Ali Sastroamidjojo Kedua ( 24 Maret 1956 – 09 April 1957 )
yang masuk masa Demokrasi Liberal ini tidak berumur panjang. Padahal kala itu
NU memperoleh empat jabatan menteri, yakni Menteri Agama, Menteri Dalam
Negeri, Menteri Sosial, dan Menteri Perekonomian.35
Apa daya, kabinet itu hanya berumur setahun kemudian diganti oleh
Kabinet Juanda atau Kabinet Karya (09 Maret 1957 – 10 Juli 1959).36 Pada
akhirnya, perubahan sistem politik Indonesia terjadi, setelah munculnya Dekrit 5
Juli 1959 maka muncul Era Demokrasi Terpimpin, yang membawa peran partai
politik merosot tajam.
32
Greg Fealy, IJTIHAD POLITIK ULAMA Sejarah Nahdlatul Ulama 1952-1967.
(Yogyakarta: LkiS, 2007).hal.372.
33
Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional (Jakarta: Grafiti Pers, 1987).hal.79-94.
34
Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi,Relasi Kekuasaan, Pencarian Wacana Baru
(Yogyakarta: LkiS, 1994),hal.69
35
Greg Fealy, IJTIHAD POLITIK ULAMA Sejarah Nahdlatul Ulama 1952-1967.
(Yogyakarta: LkiS, 2007).hal.374.
36
Kabinet Juanda atau Kabinet Karya adalah merupakan koalisi antara PNI-NU. Andree
Feillard, NU vis a vis Negara, hal.53.
Tak terkecuali Masyumi yang termasuk disingkirkan. Karena keterlibatan
tokoh-tokohnya dalam pemberontakan PKI dan di sisi lain NU dengan sikap
akomodatifnya mampu bertahan. Dengan lengsernya Masyumi menjadikan NU
sebagai partai Islam terbesar, dengan demikian NU terus menggalang persatuan
umat Islam mengimbangi kekuatan PKI.
Melalui Subhan ZE37, NU menggalang pemuda-pemuda untuk menandingi
PKI yang telah meluas mengkader para pemuda dengan latihan dan disertai
persenjataan yang lengkap. Pada akhirnya prahara politik yang dilancarkan PKI
pada tahun 1965 telah menandai awal proses Demokrasi Terpimpin telah berakhir.
Adanya percobaan kudeta yang dinamakan G 30 S PKI ini, memunculkan
perasaan anti komunis di kalangan masyarakat. Dari penggalangan yang
dilakukan Subhan ZE, menghasilkan sikap anti komunis sehingga terbentuk KAPGestapu, yaitu kekuatan aksi pengganyangan G 30 S PKI pada akhirnya menuntut
pembubaran PKI.
Dinamika politik terus berjalan seiring kekuasaan negara jatuh ditangan
Soeharto atas mandat Presiden Soekarno melalui Surat Perintah Sebelas Maret.
Bersama TNI-AD Pak Harto terus mengembangkan sayap politik dengan
mendirikan partai Golkar (Golongan Karya) pada tanggal 20 Oktober 1964
37
Subchan Z.E adalah pengusaha muda kaya dari Kudus, Jawa Tengah. Bergaya hidup
cosmopolitan, bertentangan dengan hidup Puritan yang dianut sebagian besar Kyai di kalangan
NU. Subhan juga sering memunculkan gagasan radikal, ia ingin menjadikan NU sebagai partai
kader dan modern, membatasai peran ulama hanya dalam wilayah keagamaan, bukan urusan
politik. Dengan sikap politiknya yang reformis, Subchan sangat popular di kalangan politisi muda
NU pada waktu itu. Di tubuh NU, subchan memiliki jabatan yang dituigaskan kepadnya
diantaranya; Ketua IV Pengurus Besar harian hasil pemilihan muktamar tahun 1962-1967, dengan
surat ‘Penetapan Pengurus besar NU’, PBNU (56/Tanf/Pgs/II-1963) 4 Februari 1963 AN 96. Lihat
Abdul Wahid, SANG PEJUANG SEJATI K.H Muhammad Yusuf Hasyim Di Mata Sahabat Dan
santri,(Jombang: PUSTAKA IKAPETE, 2007), hal24-25.Lihat juga Greg Fealy, IJTIHAD
POLITIK ULAMA Sejarah NU 1952-1967 (Yogyakarta: LKis, 2007).hal.383-385.
dengan nama Sekber Golkar. Golkar pada masa awal berdirinya tidak mempunyai
basis massa, kemudian mengunakan taktik buldoser untuk mengalihkan suarasuara partai lama. Tidak heran jika Golkar dapat memenangkan Pemilu pada
tahun 1971. Sedangkan partai-partai lain umumnya tertindih, tetapi NU tetap
mampu bertahan dari sinilah peran Kyai dan pesantren menjadi faktor utama
penentu prestasi NU.
Berikutnya, pada tanggal 5 Januari 1973 NU berfusi dengan tiga partai
politik lain kedalam PPP. Hal ini terjadi atas kebijakan Pak Harto untuk
mengelompokan partai-partai dengan tujuan mempermudah kampanye Pemilu dan
sistem administrasi seperti fraksi di DPR.38
Namun perjalanan politik NU di tubuh PPP sering mendapat kekecewaan,
pada akhirnya NU menyatakan untuk kembali ke Khittah 1926 yang ditetapkan
dalam MUNAS Alim Ulama NU di pondok pesantren Salafiyah Syafi'iyah
Asembagus Situbondo. Keputusan ini akhirnya diimbuhkan pada Muktamar NU
setahun kemudian di tempat yang sama. Dengan keputusan Muktamar tentang
Khittah ini secara otomatis NU keluar dari PPP.
Momentum kembali ke Khittah 1926 tersebut, telah mengubah hampir
semua tatanan kehidupan komunitas NU, terutama yang berkaitan dengan
orientasi gerakannya. Kembali ke Khittah 1926 bukan semata-mata berarti
meninggalkan kehidupan politik, tetapi lebih sebagai perubahan orientasi gerakan
politik. Jika sebelumnya NU menempuh strategi politik panggung, politik
struktural yang disediakan oleh pemerintah Orba, maka dengan kembali ke
38
Lance Castles, TUJUH MESIN PENDULANG SUARA Perkenalan, Prediksi, Harapan
Pemilu 1999 (Yogyakarta:LkiS, 1999), hal.xvi.
Khittah NU menempuh strategi “politik tanpa panggung”, artinya dalam
kehidupan politik NU menciptakan panggung permainannya sendiri dan pada saat
yang sama mengabaikan panggung yang telah disediakan pemerintah Orba.
Pelepasan jaket politik struktural Orba ini tidak menurunkan karir politik NU.
D. POLITIK NU DAN KHITTAH 1926
Hubungan antara NU dan Negara kini menunjukkan perkembangan
menarik. Setelah sekian lama jami’yah yang berbasis massa desa ini berada di luar
pemerintahan, sekarang mulai masuk di dalam pemerintahan. Posisi yang berubah
ini tentu menimbulkan “kegagapan-kegagapan” tertentu. Misalnya, bagaimana
organisasi ini harus memposisikan dirinya ketika harus berhadapan dengan negara
yang dipimpin putra terbaik NU Abdurrahman Wahid.39
Muktamar NU ke-30 yang diselenggarakan di Pesantren Lirboyo, Kediri,
Jawa Timur, mempunyai arti strategis. Siap atau tidak, dalam perhelatan akbar
kali ini NU dituntut untuk melakukan pemikiran ulang atas apa yang telah
dilakukannya selama ini. Belum tentu yang dihasilkan pada Muktamar kali ini
adalah segala sesuatu yang bersifat baru. Bisa saja yang muncul justru peneguhanpeneguhan atas apa yang pernah digelutinya pada lima belas tahun terakhir.
Pada masa-masa itulah NU mengalami transformasi sangat penting. Tidak
saja organisasi sosial-keagamaan terbesar di Nusantara ini memperoleh injeksi
kepemimpinan orang sekaliber Abdurrahman Wahid, tetapi juga karena keadaan
harus merumuskan ulang format dirinya dalam kaitannya dengan kekuatan39
h.11.
Bahtiar Effendy, Gus Dur dan pupusnya DWI TUNGGAL (Jakarta: Ushul Press, 2005),
kekuatan politik disatu pihak, dan dalam hubungannya dengan pemerintah atau
negara di pihak lain.
Dalam hal ini penting untuk dicatat, bahwa selama lebih kurang tiga
dasawarsa, NU mengalami proses penjauhan dari negara. Meskipun tidak bersifat
clear cut benar, lembaga-lembaga politik-keagamaan Orde Baru kosong dari
kemungkinan partisipasi kalangan nahdliyin. Baik Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Departemen Agama, dan kemudian
Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) sekalipun “bebas” dari
keterlibatan strategis tokoh-tokoh NU.
Memang untuk waktu yang cukup panjang, pemerintah Orde Baru lebih
memberi peluang kepada kalangan Islam “sekolahan”. Tentu ada penjelasan yang
bersifat rasional tentang konfigurasi politik keagamaan seperti ini. Mungkin saja,
kemampuan administratif kalangan Islam “sekolahan” tadi bersifat komplementer
dengan kebijakan pemerintah Orde Baru yang menekankan stabilitas politik dan
pembangunan. Meski begitu, tetap saja secara emosional-keorganisasian,
kalangan NU merasa terpinggirkan. Karenanya, masuk akal ucapan Abdurrahman
Wahid beberapa waktu lalu, ketika Presiden Soeharto turun, NU tidak ikut
bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat oleh Orde Baru.
Situasi inilah yang antara lain menjadi faktor reposisi NU pada Muktamar
Situbondo. Lewat tangan-tangan dingin tokoh-tokoh NU seperti KH As'ad
Syamsul Arifin, KH Achmad Shiddiq, KH Ali Maksum, dan Abdurrahman
Wahid, organisasi ini menggulirkan semangat “Kembali ke Khittah 1926”.
Kurang lebih, dengan itu NU ingin menyatakan bahwa NU kembali ke garis
asalnya jam'iyah sosial-keagamaan. Karenanya kaitan NU dengan politik bersifat
ada jarak dan mengambangkan warganya untuk bergabung dengan siapa mereka
suka. Inilah yang pernah dikeluhkan Mahbub Djunaidi, yang dalam pandangannya
tak rela melihat NU yang jumlah anggotanya banyak itu, semata-mata menjadi
“hostes politik.”
Terlepas dari kekecewaan seorang Mahbub, terbukti dengan itu kalangan
NU bisa masuk ke mana-mana. Pada tahap inilah, NU sebenarnya telah memberi
makna atas apa yang dapat disebut sebagai diversifikasi politik Islam. Yaitu,
bahwa alat dan medium politik itu beragam. Dengan negara sekalipun, karena
situasinya seperti diisyaratkan di atas, ia menjaga jarak. Bahkan dikenal sebagai
mewakili kekuatan kritis. Konstruk seperti inilah yang kemudian mengantarkan
NU untuk mengembangkan wacana tentang berpolitik secara budaya tentang
Civil Society sesuatu yang sangat diminati oleh kalangan muda NU hingga kini.
Masa uzlah NU dengan politik dan negara berakhir sudah. Terutama sejak
periode reformasi lahir, dan orang pun mulai bergairah untuk ramai-ramai
mendirikan partai. Seperti tak ada beban dengan semboyan “Kembali ke Khittah
1926”, warga NU mengikatkan kembali hubungan emosional-kelembagaannya
dengan partai politik. Meskipun secara organisasi hal ini bisa dijelaskan, dan
dipercaya tidak bertentangan dengan Khittah, tak urung hal itu menimbulkan
kecemasan.
Reformasi telah merubah alur politik NU, dari Ormas tahun 1926 menuju
ke Parpol tahun 1955 kemudian masuk kembali ke Ormas dengan dalih Khittah
’26 di 1984 berlanjut merubah arah rotasi politik dengan menggunakan jaket
politiknya tahun 1998 era reformasi dengan mendirikan Parpol yang bertajuk
partainya orang NU bersifat terbuka untuk siapapun. Ternyata alibi yang dibuat
Abdurrahman Wahid menjadi sebuah kenyataan luar biasa. Jauh dari perkiraan
warga NU, PKB menjadi partai yang kuat dari akar rumput sampai kalangan
moderat NU. Sebuah sosialisasi dan jurus politik terbaik yang dilakukan oleh
kalangan elit NU.
Tanpa basa-basi, Abdurrahman Wahid telah menjadi ikon besar. Dia telah
merubah pragmatisme politik NU, melalui koalisi dengan partai sekuler yang
dikenal dengan Poros Tengah. Abdurrahman Wahid mempunyai kekuatan penuh
yang takkan diperkiraan sebelumnya dengan puncak menjadi Presiden Republik
Indonesia ke-4 hasil votting anggota parlemen. Ini merupakan sebuah prestasi
politik NU terbaik pada masa reformasi. Semula NU hanya mempunyai panggung
sendiri dalam hal politik, maka pada masa reformasi NU bukan lagi ikut dalam
panggung politik yang telah disediakan pemerintah. Tetapi NU langsung
meminang garis depan dan mengkordinir serta memegang peranan penuh politik
negara. Jarak NU dengan kekuasaan pupus. Disadari atau tidak, NU telah
terintegrasikan ke dalam negara.
Inilah persoalan yang sangat ingin dinafikan mau tidak mau NU harus
melihatnya kembali pada Muktamar kali ini. Secara formal, NU tetap akan berada
pada posisi Kembali ke Khittah 1926. Secara substansial dan emosional,
duduknya Abdurrahman Wahid di kursi kepresidenan merupakan sesuatu yang
harus ditata ulang dalam kerangka berpikir dan bertindak NU. Kegalauan
semacam ini semakin kuat walaupun bukan tidak disertai oleh kegembiraan
tertentu dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden.
Dalam konteks inilah diharapkan pada Muktamar selanjutnya akan memilih
seseorang yang bukan carbon copy Abdurrahman Wahid. Bukan saja yang
terakhir ini unik dan fenomenal di NU, bahkan mungkin juga di Tanah Air, tetapi
tantangan NU ke depan lebih terfokus pada pengembangan kelembagaan. Karena
itu, yang diperlukan adalah seseorang yang mempunyai kemampuan manajerial,
dalam bahasa Herbert Feith “ administrator”.
Kualitas seperti ini akan membawa NU pada garis yang “semestinya.”
Yaitu sebagai organisasi sosial keagamaan, para ulamalah sebenarnya yang
mengendalikan gerak organisasi. Kepada siapa harapan ini dapat diletakkan?
Bachtiar Effendi mengungkapkan bahwa kiranya warga NU jauh lebih paham,
dibanding siapa pun yang berada di luar lingkungan mereka, siapa itu Hasyim
Muzadi, Agil Siradj, Salahudin Wahid, Achmad Bagdja, atau Fajrul Falaakh.40
Tetapi prestasi orang-orang NU untuk mengembangkan sayap politik patut
di acungkan jempol. Konsep yang berbuah matang pun berhasil diraih. Sehingga,
dari penjelasan di atas dapat ditarik benang merah, NU dan politik takkan pernah
lepas baik dari awal berdiri sampai sekarang. Karena politik adalah salah satu
organ pelengkap hidup NU. Itu tidak bisa dipungkiri, sejarah awal NU lah yang
telah memberikan jawaban itu semua. Jika NU bergerak tanpa diimbangi dengan
politik maka pincanglah NU.
40
h.7-10.
Bahtiar Effendy, Gus Dur dan pupusnya DWI TUNGGAL (Jakarta: Ushul Press, 2005),
KHITTAH NU 1926
Khittah
NU 1926 merupakan era baru orientasi perjuangan NU.
Keberadaan Khittah ini merupakan reorientasi perjuangan NU dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, khususnya dalam hal pengelolaan umat untuk
kepentingan pembangunan. Keberadaan khittah NU 1926 merupakan titik balik
perjuangan NU, dari perjuangan sektor politik menuju perjuangan yang lebih
memberikan perhatian pada aspek sosial kemasyarakatan, persis misi pada saat
didirikannya organisasi sosial keagamaan ini pada tahun 1926.
Lahirnya Khittah 1926 ini di samping diilhami oleh kondisi obyektif bahwa
perjuangan di bidang politik ternyata lebih besar mudharat (kerugian), dari pada
manfaatnya, artinya pengorbanan yang harus diberikan NU lebih besar dari
manfaat yang dapat diraih kasus paling nyata dapat dilihat dari marginalisasi
peran NU di PPP.
Dalam sisi lain perjuangan di bidang politik ternyata telah menyita
perhatian, dengan konsekuensi terampasnya perhatian dan energi fungsionaris dan
aktivis NU yang semestinya menjadi porsi untuk umat (anggota). Akhirnya NU
melontarkan umatnya yang mestinya mendapat perhatian dan arahan, justru kian
mendapatkan umatnya pada posisi tertinggal dalam hal kualitas diri, dibanding
umat lain. Disinilah muncul kesadaran baru yang memandang perlunya dilakukan
perubahan-perubahan mendasar dalam tubuh NU.
Kembali ke Khittah 1926 adalah kesadaran yang dimaksud, tiada lain
merupakan titik balik dimana NU kembali kepada semangat dasarnya. Babak awal
mulai dilakukan untuk perubahan secara mendasar,
baik pada aspek
kepemimpinan dengan segala perangkat (struktural) organisasinya, maupun aspek
politik berkaitan dengan visi, misi dan strategi (perjuangan) nya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Khittah 1926 yang ditetapkan melalui Muktamar ke-27
di Situbondo (1984), sebagai refleksi kritis terhadap perjalanan NU.
Dengan demikian, telah mengembalikan arah perjuangannya dari politik
kepada sosial keagamaan. Disinilah kemudian, NU memasuki wilayah baru, yakni
Perjuangan Kemasyarakatan Semesta.41
41
Ini adalah periode sesuai dengan yang dikemukakan oleh Gus Dur, merupakan periode
ketiga NU (1984-sekarang). sebelumnya adalah periode dimana NU hanya menjadi jami’yah
Diniyah (1926-1936), serta perjuangan politik (politik idealistik) (1936-1955), dan NU menjadi
kekuatan politik (1955-1984). M. Masyhur amin, Dialog Pemikiran Islam dan Realitas Politik,
(Yogyakarta:LKPSM,1993), hal.151-152.
BAB III
PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF
HASYIM TERHADAP VISI PERJUANGAN POLITIK
NU
A. SKETSA BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID
Abdurrahman Wahid lahir 4 Agustus 1940 di Jombang, Jawa Timur dengan
nama Abdurrahman ad-Dakhil, ia telah melewati proses pematangan pemikiran
dan pengembangan intelektual yang cukup panjang dan dalam.42 Abdurrahman
Wahid tumbuh dan berkembang di tengah keluarga santri beraliran Sunni.
Kakeknya KH. Hasyim Asy’ari, adalah pendiri NU. Ayahnya, KH. A. Wahid
Hasyim, adalah Menteri Agama RI pertama dan aktif dalam Panitia Sembilan
yang merumuskan Piagam Jakarta.
KH. A. Wahid Hasyim memberikan nama Abdurrahman ad Dakhil bagi
putra pertamanya yang lahir pada Agustus 1940. Nama itu diambilkan dari nama
tokoh Islam terkemuka dimasa Dinasti Umayah. Secara leksikal, ia berarti
“Abdurrahman sang penakluk” Idealisme KH. A. Wahid Hasyim adalah tentu
agar putra pertamanya juga menjadi seorang “penakluk”, seperti pemilik asli
nama itu ratusan tahun silam. Namun dikemudian hari sang putra lebih suka
menuliskan namanya sebagai Gus Dur. Orang-orang secara akrab memanggilnya
Gus Dur. Barangkali karena itulah, karena tidak pernah menuliskan kata ad
42
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institut,
2006), hal.ix.
Dakhil, putra KH. A. Wahid Hasyim ini sedikit kepayahan untuk menampilkan
diri sebagai seorang penakluk, bahkan dalam lingkungan NU yang dipimpinnya.
Meskipun berasal dari keluarga santri, sebagian jenjang pendidikan formal
Abdurrahman Wahid ditempuh di sekolah-sekolah sekuler. Ia lulus dari Sekolah
Rakyat (SR) di Jakarta tahun 1953. Tahun 1953 - 1957, ia belajar di Sekolah
Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Yogyakarta. Di Yogyakarta ini ia tinggal di
rumah salah seorang Majlis Tarjih Muhammadiyah, KH. Junaid. Dari tahun
1957–1959 ia belajar di pesantren tegalrejo Magelang dan kemudian pindah ke
Pesantren Mu’allimat Bahrul Ulum Jombang, sampai tahun 1963. Kemudian ia
pindah ke Pesantren Krapyak Yogyakarta dan menetap di rumah tokoh NU
terkemuka, KH. Ali Ma'shum.43
Tahun 1964, Abdurrahman Wahid berangkat ke Kairo untuk belajar di
Universitas al Azhar. Namun, sebagian besar waktunya di Mesir dihabiskan di
ruang perpustakaan, terutama American University Library, sebuah perpustakaan
terlengkap di kota itu. Dari Mesir ia pindah ke Universitas Baghdad mengambil
Fakultas Sastra.
Dengan latar belakang pendidikan, pergaulan, dan perkenalannya dengan
dunia keilmuan yang cukup kosmopolitan itu, Abdurrahman Wahid mulai naik ke
permukaan percaturan intelektual Indonesia
dengan pemikiran-pemikiran
briliannya. Pada tahun 1970-an, ketika ia mulai aktif di beberapa lembaga sosial,
LSM, dan forum-forum diskusi. Kendati latar belakang pendidikan formalnya
tidak ada yang ditempuh di Barat, menurut Greg Barton. Abdurrahman Wahid
43
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, hal.xi-xiii.
secara intelektual jauh lebih siap untuk berpartisipasi dalam wacana-wacana besar
mengenai pemikiran Barat, pendidikan Islam, dan masyarakat Muslim. Studinya
di Baghdad telah memberikan dasar yang baik mengenai pendidikan bercorak
liberal dan bergaya Barat serta sekuler.44
KH. Ali Ma'shum (alm) pengasuh Pondok Pesantren al Munawwir Krapyak
Yogyakarta pernah menyatakan “ Gus Dur itu pancen nyeleneh, aneh, ananging
beneh (Gus Dur itu membuat kita bingung, bengong, namun nyatanya benar)”.
Cerita ini terungkap ketika ada pengadilan terhadap perilaku Abdurrahman Wahid
yang dianggap membingungkan atau kontroversial.45
Gagasan-gagasan dan komentarnya dianggap bertentangan dengan aturan
yang selama ini dianut oleh kalangan NU atau pemeluk Islam. Tulisan atau
perilaku Abdurrahman Wahid membingungkan warga, khususnya ulama NU.
Termasuk didalamnya tentang ajaran Marxisme. Didasari terhadap gagasannya,
Abdurrahman Wahid sering dituduh sebagai agen orientalisme, zionisme, sekuler,
sosialis, dan meremehkan ajaran Islam. 46
Sejak melontarkan pemikiran-pemikiran pada pertengahan 1980-an,
Abdurrahman Wahid senantiasa mewarnai wacana media massa di tanah air.
Berangkat dari dunia pesantren, ia dinilai berhasil menepiskan anggapan sebagian
komunitas Islam kota terhadap kejumudan dunia pendidikan Islam tradisional.
44
Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU dan Negara,
hal.165-166. Kh Ahmad Siddiq (alm) pernah mengungkapkan kehenarannya ketika Gus Dur yang
masih SMEP sudah membaca Das Kapital karya Karl Max. Sewaktu remaja ia juga gemar
membaca karya-karya Jean Pul Sartre dan mengagumi pemikiran pemimpin besar India,
Mohandas Karamachachand Ghandi. KH. Imron Hamzah dan Choiril Anam, “Gus Dur Diadili
Kyai-Kyai”, Jawa Pos, 1989, hal. 11
45
KH. Imron Hamzah dan Choiril Anam, “Gus Dur Diadili Kyai-Kyai”, Jawa Pos, 1989,
hal. 3.
46
Sholihin Hidayat dan Sururi al Faruqi “Gus Dur Tokoh Nyeleneh dan Konsisten”, Jawa
Pos, 20 April 1999.
Kolom – kolom awalnya menyadarkan orang akan tidak berdasarnya “stereotip”
yang sering dialamatkan kepada para kyai selama ini. Memasuki dasawarsa 1990an langkah politiknya lebih ‘gila’ lagi.
Bagi sejumlah komunitas Islam, ia pernah dikecam habis-habisan karena
pendapatnya yang berani keluar dari mainstream umat. Kemudian bersama
sejumlah tokoh yang ada di pinggir kekuasaan ia mengungkapkan forum
Demokrasi. Dengan itu, maka ia telah mengambil resiko yaitu bersebrangan
dengan pendukung status quo.
Menjelang pemilu 1997, ia menggandeng Mbak Tutut tanpa meninggalkan
Mbak Mega. Masih dalam kesempatan yang sama, bersama Mbak Tutut dan R.
Hartono ia melakukan safari politik ke kantong-kantong NU di Jawa Timur.
Sebelumnya pada Muktamar NU di Cipasung tahun 1995, ia sempat digoncang
oleh kubu Abu Hasan, tapi ia tidak collapse. Setelah itu iklim hubungannya
dengan pemerintah sempat agak memanas. Tetapi justru ia bisa bersalaman
dengan Pak Harto. Ada yang menyebut peristiwa ini sebagai “salaman politik”.
Dengan segala sepak terjangnya itulah benar-benar menjadi sosok kyai yang
mewarnai langit intelektual bebas di tanah air. Siapa lagi kalau bukan Gus Dur,
panggilan akarab KH. Abdurrahman Wahid, tokoh paling kontroversial di
panggung politik Indonesia.
Periode akhir kepemimpinan Abdurrahman Wahid dalam NU, didukung
terutama kehidupan politik era reformasi, setelah Soeharto lengser pada 21 Mei
1998. Abdurrahman Wahid telah bermain api di kancah politik nasional. Tidak
secara langsung atas lengsernya Pak Harto memberikan kesempatan politik bagi
banyak pihak, apalagi yang mempunyai dukungan massa besar, untuk dilewatkan
begitu saja. Tanpa memperdulikan suara-suara sumbang, tiba-tiba Abdurrahman
Wahid membuat kejutan politik, dengan mendirikan partai bagi warga NU, yaitu
PKB. Hal ini dilakukan agar NU dapat secara langsung merasakan pahit manisnya
politik yang tidak manikmati secara berarti, serta tidak mau hanya berdiri di
pinggir jalan. Karena terbentur di Khittah ’26, maka diciptakanlah PKB. Dan,
tamsil yang pernah dinyatakan Abdurrahman Wahid pada masa kampanye 1999,
bahwa ibarat ayam NU mengeluarkan “telur” dan ”kotoran” menunjukkan tingkat
proksimitas PKB dengan NU yang teramat tinggi.
Inilah yang membuat peserta Muktamar merekomendasikan PKB untuk
melakukan politik “pulang kandang.” Dengan kata lain, mereka mengamanatkan
PKB untuk mengajak para nahdliyin, yang secara politik berada dimana-mana,
untuk kembali ke “telur” NU. Karenanya, meskipun diawal pidato, Abdurrahman
Wahid sudah menyatakan keharusan untuk memisahkan NU dengan PKB, di
dalam pandangan jamaahnya antara NU dan PKB merupakan entitas yang tidak
bisa dipisahkan.47
Sampai pada klimaksnya meteor politik Abdurrahman Wahid mencorong
ketika dirinya resmi terpilih menjadi Presiden RI ke-4 di bawah mandat MPR.
Dengan wakil Megawati selaku rival dalam pemilihan langsung anggota MPR
tersebut yang berasal dari “partai wong cilik” (PDI-Perjuangan) yang memperoleh
jumlah suara pada urutan setelah Abdurrahman Wahid.
47
Bahtiar Effendy, Gus Dur dan pupusnya DWI TUNGGAL, hal.26.
Itulah sebagian kecil sosok Abdurrahman Wahid, yang sekilas terkesan
sebagai tokoh multi komplek lengkap dengan segala kenyelenehannya. "Tugas
saya sudah usai, mengobrak-abrik NU, yakni mengubah wawasan warga NU”.
Itulah salah satu ungkapan ketua PBNU Abdurrahman Wahid saat usai periode
kedua dalam kepemimpinan dalam NU.48
B. PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG NU, ISLAM DAN
NEGARA
Pendidikan Abdurrahman Wahid mewakili Amalmagasi antar pendidikan
Islam tradisional dan pendidikan “barat” modern. Dilihat dari setting ini, akan
tampak salah satu dari hasil sintesis kedua pendidikan ini adalah perhatian yang
sangat kuat untuk reformasi pemikiran dan politik Islam, sesuatu yang harus
diperhatikan oleh modernisme Islam.
Untuk benar-benar memahami pemikiran politik Abdurrahman Wahid,
perlu dilihat kehadirannya sebagai representasi generasi pemikir Islam
Revolusioner di Indonesia. Greg Barton,49 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi,50
memasukkan Abdurrahman Wahid sebagai pemikir Neo-Modernis, yang sangat
mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka, inklusif dan liberal, utamanya
dalam menerima dan meng-afirmasi pluralisme masyarakat dan menekankan
signifikansi toleransi dan harmoni dalam hubungan antar komunal.51 Salah satu
48
Ummurisalah, “Gus Dur di Mata Mereka”, Aula, No. 11/Th.XVI/November 1994,
hal.27.
49
Greg Fealy dan Greg Barton, Op Cit , hal.195.
Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, Rekrontruksi Pemikiran
Islam Indonesia Masa Orde Baru, Cet II, ( Bandung: Mizan, 1990), hal. 171-177.
51
Ammaruddin Masdar, Membaca Pemikiran Gus Dur dan Amin Rais Tentang Demokrasi.
50
ciri yang menandai pemikiran Neo-modernis adalah komitmennya pada pluralistik
dan nilai-nilai demokratik. Selain itu, nilai-nilai pluralistik ini telah dirajut di
dalam struktur Iman (Islam) sebagai nilai inti Islam itu sendiri.52
Berangkat dari pola pemikiran di atas, timbul pertanyaan bagaimanakah
Abdurrahman Wahid menempatkan kepentingan nasional dengan kepentingan
agama (Islam)?. Bagi Abdurrahman Wahid, kepentingan Islam memang harus
diutamakan oleh umat Islam, sebab itu hak Umat Islam telah dijamin oleh
perundang-undangan. Tetapi permasalahannya, bagaimana kalau kepentingan
Islam itu justru merugikan pihak lain?. Hal demikian menurut Abdurrahman
Wahid harus dihindari, karena kepentingan nasional adalah Kepentingan Islam
juga, tujuan Islam adalah menciptakan kesejahteraan sebagaimana ditegaskan
dalam al-Qur’an “ Tiadalah Ku utus engkau ( wahai Muhammad ), kecuali
sebagai pembawa Rahmat ( Kesejahteraan )”.
Sehingga kita bisa mengetahui mengapa Abdurrahman Wahid menolak
bergabung dengan ICMI. Menurut persepsinya, ICMI cenderung bersifat
eksklusif. Apalagi pada kenyataannya, ICMI lebih banyak bernuansa politis
daripada nuansa kecendekiawanan. Fenomena ICMI yang kita saksikan
tampaknya menjadi sarana “batu loncatan” oleh pihak-pihak tertentu untuk
meningkatkan karir politik, dan dengan ICMI negara bisa mengkooptasi atau
bahkan menjinakkan para cendekiawan muslim
yang semula sangat kritis
terhadap negara.53
52
53
hal.70.
Greg Fealy dan Greg Barton, Op Cit , hal.195
Nasrullah Ali Fauzi, ICMI Antara Status Quo dan Demokratisasi,(Bandung:Mizan,1995),
Kenyataan ICMI tersebut di atas bagi Abdurrahman Wahid dirasa kurang
sehat, terlalu banyak membela satu golongan saja (Islam) dan mengabaikan
golongan lainnya (non muslim). Hal demikian kurang baik untuk suatu negara
semacam
Indonesia
yang
pluralistik
serta
memiliki
komponen
yang
beranekaragam. 54 Ia menegaskan pendapatnya :
Bagi saya “masyarakat Islami” di Indonesia bertentangan dengan konstitusi,
karena akan menempatkan non muslim sebagai warga negara kelas dua.
Tetapi sebuah masyarakat Indonesia di mana kaum muslimin kuat, kuat
yang berarti berfungsi secara baik. Saya pikir itulah yang terbaik. Karena
itu, menjadi tugas NU-lah untuk menunjukkan alternatif visi dan
kemasyarakatan yang toleransi.55
Dalam menghadapi kebangkitan politik Islam di Indonesia, Abdurrahman
Wahid berargumentasi:..
Jauh di lubuk hati saya, saya tidak tahu bahwa tidak mungkin bagi
Indonesia diatur oleh satu pihak. Impian dan keyakinan saya bagi sebuah
Indonesia yang modern adalah politik yang terbuka, dimana kegiatan politik
adalah hal yang biasa dan tidak secara eksklusif berdasarkan agama dan ras.
... Bukankah, sebaliknya bahwa gerakan Islam harus menghindarkan
formalisme
dan
memperjuangkan
demokrasi
dengan
segala
konsekuensinya. kalau ini tidak dilakukan bukankah salah satu, kalau kita
menghasilkan formalisme Islam yang mengekang demokrasi (seperti di
Iran) atau meninggalkan demokrasi dengan meninggalkan Islam?
Pertarungan inilah yang tampaknya masih akan mewarnai kehidupan
bangsa ini.
Abdurrahman Wahid melihat bahwa wadah untuk pendapatnya sebenarnya
sudah ada yaitu Pancasila. Baginya, di dalam Pancasila terdapat unsur toleransi
beragama, dan merupakan prasyarat yang sangat penting dalam pembangunan
sebuah masyarakat demokratis di Indonesia. Pandangannya mengenai Pancasila
54
55
Gus Dur, “ ICMI Islam Masjid”, Aula, No. 11/Th.XIV/November 1994, hal.55.
Greg Fealy dan Greg Barton, Op Cit , hal.206-207.
sebagai basis nasionalisme bagi negara penting, karena beberapa muslim
memandang Pancasila sebagai ideologi sekuler yang tidak sesuai dengan lslam.
Dalam hal ini, Abdurrahman Wahid sering kali menunjukkan bahwa,
ayahnya Wahid Hasyim, seorang pemimpin NU pada tahun 1945, juga sepakat
mendukung negara nasional non Islam.56 NU merupakan salah satu organisasi
berbasis massa yang pertama kali mengakui keabsahan Orde Baru. Abdurrahman
Wahid berpendapat bahwa tidak ada keharusan dalam ajaran Islam untuk
membentuk negara Islam. Itulah sebabnya, ayahnya dan kepemimpinan NU bisa
dengan mudah menerima sebuah negara yang tidak secara eksplisit berdasarkan
Islam. Baginya Indonesia adalah sebuah negara konsensus dan kompromi ini
inhern dalam Pancasila.57
Abdurrahman Wahid seringkali menekankan keyakinan nasionalis NU
dengan menegaskan kesetiaan NU pada Pancasila. Ia menjelaskan bahwa pada
tahun 1945 Soekarno meminta nasehat pimpinan NU, termasuk ayahnya yang
diyakini membantu Soekarno merumuskan Pancasila.58 Selain itu Abdurrahman
Wahid berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan nasionalisme.
Islam bisa berkembang secara spiritual dalam sebuah negara nasional yang tidak
secara formal berdasarkan pada Islam:
NU berpegang pada konsepsi nasionalisme yang sesuai dengan Pancasila
dan UUD 1945. NU telah menjadi pioner dalam masalah ideologis. Ini
hanya satu kasus, karena di seluruh dunia Islam hubungan antara
nasionalisme dan Islam masih menjadi persoalan, para penulis sendiri
56
Dapat dilihat dalam pernyataan Wahid Hasyim pada tahun 1945 bahwa dengan
“Persatuan bangsa yang tidak dapat dipecah-pecah, posisi Islam yang sehat bisa di jamin”, dikutip
dari Harry J. Benda, The Crescent And The Rissing Sun, Indonesian Islam Under Japanese
Occupation, (Den Hag: Van Houve Ltd, 1953). hal 189.
57
Gus Dur, “NU dan Islam”, Media Indonesia, 8 Oktober 1998.
58
Pidato Gus Dur, “Langkah Strategis”, Aula, Juli 1992, hal.26.
menganggap nasionalisme sebagai bentuk sekularisme. Mereka belum
mengerti bahwa nasionalisme seperti yang dipraktekkan di Indonesia
tidaklah sekular, tetapi sangat menghormati peran agama.59
Gambaran pemikiran Abdurrahman Wahid di atas telah membuat NU
menciptakan organisasinya sendiri pada tahun 1926, dan menciptakan partai
politik sendiri pada tahun 1952 ketika kepemimpinan baru Masyumi di bawah
Moh. Natsir memutuskan untuk mengurangi peran ulama yang berkumpul di
majlis Syuro. Moh. Natsir, sebagai seorang yang berpendidikan “Islam dan Barat”
yang membiarkan ulama NU memutuskan apa yang benar dan apa yang salah
sesuai dengan hukum Islam.
Perpecahan instrinsik ini merupakan alasan mengapa para Founding Father
RI memutuskan melawan “bentuk-bentuk” dalam memandang substansi, pada
bulan Mei 1945, sebagai cara untuk mempersatukan bangsa yang heterogen ini.
Masyumi pada tahun 1950-an tidak pernah memperjuangkan “bentuk-bentuk”
melainkan substansi. Kini, Abdurrahman Wahid mempromosikan nilai-nilai etik
(etika sosial) bukan pemahaman Islam
yang legal-formalistik. Baginya di
tempatkan Islam sebagai sebuah nilai-nilai etik dalam konteks kebangsaan dan
keagamaan akan memberi nuansa baru dalam warna dan orientasi dari gerakan
Islam dan interpretasi ajarannya, sehingga ketegangan Islam dan negara dapat
dieliminasi demi kebutuhan kemanusiaan.60
C. ABDURRAHMAN WAHID DAN MISI PERJUANGAN POLITIK PKB
59
Pidato Gus Dur, “Langkah Strategis”, Aula, hal.26.
Muhammad AS Hikam, “Negara, Masyarakat Sipil dan gerakan Keagamaan dalam
Politik Indonesia” Prisma, No.3 Tahun XX, Maret 1991, hal.89.
60
Komitmen-komitmen Abdurrahman Wahid seperti yang dijelaskan,
dibuktikan dengan hadirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sebuah partai
yang bersifat terbuka yang bisa menampung. aspirasi segenap komponen bangsa
tanpa membedakan agama, suku maupun golongan. Dalam hal ini ia lebih jauh
menjelaskan
... sebuah pertanyaan mengganggu partai tersebut dalam jangka panjang
mengapa PKB tidak menjadikan kepentingan agama sebagai pijakan,
mengapa justru nasionalisme dan demokrasi sebagai dasar pijakannya?
PKB mengutamakan kepentingan nasional. Untuk menyesuaikan
kepentingan hukum nasional dengan fiqh, tentu menjadi utama PKB, ...
PKB dalam hal ini tentu bertindak mengutamakan substansi hukum Islam
melalui hukum nasional dan bukannya mengutamakan simbol-simbol
formal keagamaan. Mengapa? Karena Republik Indonesia adalah sebuah
negara dengan kepentingan nasionalnya sendiri dan bukan sebuah negara
agama ...61
Secara formal organisatoris, memang Mathori Abdul Djalil adalah Ketua
Umum PKB. Namun tokoh utama yang berperan penting dalam seluruh proses
gerak dalam percaturan politik PKB di pentas nasional adalah Abdurrahman
Wahid. Bayangan Abdurrahman Wahid dalam visi, misi dan perilaku politik PKB
sangatlah dominan. Poster-poster yang manampilkan Abdurrahman Wahid ketika
kampanye
berlangsung
muncul
dimana-mana.
Seruan
dari
kampanye
Abdurrahman Wahid “Maju tak gentar, membela yang benar bersama PKB”
menggema berulang-ulang, baik dalam media massa maupun dalam kampanye.
Di berbagai kota di mana Abdurrahman Wahid melakukan kampanye, para
pendukung, simpatisan dan jama'ah NU berbondong-bondong mendengarkan
kampanyenya. Di hadapan publik, Abdurrahman Wahid menjelaskan visi, misi
dan tujuan perjuangan partainya. Kiranya tak berlebihan bahwa keberhasilan PKB
61
Gus Dur, “PKB Syariah dan PKU” Jawa Pos, 30 Oktober 1998
tidak bisa dilepaskan dari peran-peran Abdurrahman Wahid. Berangkat dari
sinilah kekuatan tawar menawar politik Abdurrahman Wahid pun sangat
diperhitungkan, misalnya keputusannya untuk berkoalisi dengan partai politik
yang “sekuler” dibawah pimpinan Megawati, dalam hal ini dia di dalam partai
PDI Perjuangan.
Berkenaan dengan keputusan Abdurrahman Wahid yang masuk dalam
golongan Poros Tengah untuk berkoalisi dengan Megawati, sebenarnya ada titik
temu dengan pemikiran politik Abdurrahman Wahid atau perjuangan yang selama
ini ditekuninya, yakni demokrasi. Douglas E. Remage menjelaskan, bahwa
pemikiran politik Gus Dur di dasarkan pada visi politik yang demokratis, sekuler
dengan nasionalis, salah satu keyakinan intinya adalah bila Indonesia benar-benar
akan menjadi civil society yang demokratis, aspirasi politik masyarakat tidak
boleh disalurkan melalui agama.62
Hal tersebut mengingatkan kita pada kedekatan politik Soekarno dan Natsir
pada akhir masa revolusi dan awal 1950-an. Hubungan politik Natsir dan
Soekarno mengalami pasang surut. Tempo-tempo mereka terlibat di dalam
perdebatan sengit, seperti dalam hal Islam sebagai dasar negara sampai ihwal
mencuci anggota tubuh yang terkena jilatan anjing. dan sesekali mereka menjalin
hubungan personal yang sangat hangat. Ketika Soekarno dibuang ke Endah,
adalah Natsir dan A. Hassan (Pimpinan Persatuan Islam) yang rajin berkirim surat
berdiskusi mengenai kaitan Islam dan politik, dan mengirim kacang jambu mete
(mede). Begitu pula pada awal-awal pemerintahan Republik, Soekarno
62
Greg Fealy dan Greg Barton, Op Cit, hal.194.
mempercayakan Natsir untuk memimpin Kementrian Penerangan.
Dalam konteks ini, menurut cerita Soekarno hampir-hampir tak pernah
membacakan teks pidatonya kecuali yang telah diparaf Natsir. Puncak
kehangatan hubungan politik Natsir dan Soekarno terjalin ketika yang pertama
memelopori mosi integral. Antara lain atas dasar itu, Soekarno menganggap
Natsir orang yang paling punya visi untuk menjadi Perdana Menteri pada 1950.
Jika berhasil apa yang tengah diupayakan Poros Tengah dan kubu Megawati,
untuk menjalin aliansi politik, merupakan pengulangan sejarah hubungan antara
Natsir dan Soekarno. Baik gedung Dewan Dakwah lslamiyah Indonesia maupun
Masjid aI-Azhar, yang menjadi tempat pertemuan antara golongan agama dan
nasionalis yang dimaksud mempunyai kedekatan emosional tertentu dengan
Masyumi. Begitu pula dengan tokoh-tokoh politik yang menyertainya.
Kepeloporan M. Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra di dalam proses aliansi
ini dapat dianggap sebagai representasi semangat politik ke-Masyumi-an.63
Bagi Abdurrahman Wahid, gerakan Islam yang bercorak simbolik formal
justru tidak strategis. Dalam kondisi bangsa yang plural dengan potensi yang
berderajat tinggi, gerakan Islam yang simbolik formal menurutnya akan
menimbulkan self defensive system (daya tahan diri) dari kelompok lain yang
merasa terancam eksistensinya. Akibatnya dapat menimbulkan ketegangan antara
kelompok yang memancing lahirnya masalah besar dalam proses pembangunan
bangsa.64 Memang ada sekelompok masyarakat Indonesia yang menginginkan
63
Bahtiar Effendy, JALAN TENGAH Politik Islam (Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara
yang Tidak Mudah) (Jakarta:Ushul Press, 2005), hal.26.
64
Gus Dur, Pengantar, dalam Greg Fealy dan Greg barton, Op Cit.
berdirinya negara berdasarkan agamanya, ya macam-macamlah ada yang dari
ICMI, ada juga dari kelompok lain ... kata Gus Dur suatu ketika.65
Abdurrahman Wahid mencontohkan kasus dalam negara Turki dan Iran
yang bersedia menerima sekularisasi dalam menegakkan demokrasi. Meskipun
Abdurrahman Wahid tidak menjatuhkan secara tegas pilihan bangsa dimasa
depan, model Turki atau Iran. Ia hanya mengingatkan bahwa formalisme agama
(hukum-hukum agama) dalam struktur kenegaraan akan menimbulkan persoalan
baru, yakni terhambatnya proses demokrasi di Indonesia. “Bukankah sebaliknya
kata Abdurrahman Wahid; bahwa gerakan Islam harus menghindari formalisme
dan memperjuangkan demokrasi dengan menyeluruh konsekuensinya”. Dengan
demikian, menurutnya memperjuangkan demokrasi dengan menampilkan
pandangan hukum Islam tentang hak warga negara, perbedaan antar manusia, atau
dengan kata lain, Islam harus menggali sedalam-dalamnya komponen hak asasi
manusia dan musyawarah. Cara inilah menurut Abdurrahman Wahid Islam akan
mempunyai relevansi dan perkembangan sosial saat ini.66
Bagaimanapun menurut Abdurrahman Wahid dalam panggung sejarah
peradaban manusia, Islam hanyalah salah satu dari kesekian mata rantai peradaban
manusia. Karenanya sumbangan Islam harus diberikan dalam rangka kebersamaan
dengan semua pihak, bukan menyendiri di luar sejarah.67 Demikian juga dalam
konteks wawasan ke Indonesiaan Islam hanyalah salah satu dari sekian agama dan
pandangan hidup yang ada di dalamnya. Pluralitas agama, tradisi, budaya dan
65
Gus Dur, “Wawancara”, NU Aula, No. 3 Tahun XXI Maret 1999. Lihat juga dalam
Sabili, No. 13 Tahun VI, 6 Januari 1999.
66
Gus Dur, “Pencarian Strategi Hal yang Lumrah”, Jawa Pos, 12 Maret 1998.
67
Gus Dur, “Masalah Kultur Kepemimpinan Umat Islam”, Jawa Pos, 13 Maret 1998.
pandangan hidup merupakan sesuatu yang sudah mapan dalam bangunan
Indonesia. Karena itu, setiap agama (termasuk Islam), seharusnya di
fungsionalisasikan dalam posisi imbang dan timbal balik (komplementer). Tidak
ada yang mendominasi atau didominasi.
Dengan keyakinan-keyakinan seperti tersebut di atas, Abdurrahman Wahid
selalu menegaskan bahwa ia dan NU akan menolak dan melawan segala
perubahan politik yang inskonstitusional. Menurutnya NU sejak dulu dikenal
sebagai ormas yang lebih mengedepankan wawasan kebangsaan ketimbang ikatan
primordial yang sempit. Abdurrahman Wahid mencontohkan kasus penerimaan
NU terhadap Pancasila sebagai landasan organisasi serta kasus penerimaan NU
terhadap wacana kenegaraan seperti dalam keputusan muktamar NU di
Banjarmasin.
Dalam pandangan Abdurrahman Wahid, kedua keputusan tersebut
merupakan keputusan agama (fiqih) dan bukan keputusan resmi pemerintah yang
harus dijadikan undang-undang negara, hanya kalau sudah menjadi hukum agama,
dapat dijadikan keputusan resmi. Semua itu menurut Abdurrahman Wahid
mencerminkan penerimaan hukum dilakukan oleh swakarsa tanpa melalui peranperan negara. Kekuatannya terletak pada kenyataan bahwa pertimbanganpertimbangan lokal selalu menjadi bagian dari NU itu sendiri.68 Sikap ini yang
membuat NU menjadi organisasi yang fleksibel. Umpamanya saja, sikap NU di
dewan konstituante untuk mempertahankan asas atau dasar Islam, tidak pernah
dijadikan sikap resmi organisasi dan artinya NU memperjuangkan Syari’ah tidak
68
Gus Dur, “NU dan Islam”, Media Indonesia ,30 Oktober 1998.
selalu hukum-hukum dan simbol-simbol formal, melainkan sebagai ruh yang
menjiwai setiap hukum positif yang dibuat oleh negara. Substansi syariah ini juga
bisa terwujud melalui gerakan demokratisasi atau menegakkan negara bangsa.
Pikiran-pikiran NU inilah yang akan diperjuangkan melalui PKB dalam kancah
politik praktis. 69
D. SKETSA BIOGRAFI YUSUF HASYIM
KH. Yusuf Hasyim yang akrab disapa Pak Ud lahir 3 Agustus 1929 di
Tebuireng Jombang. Merupakan putra bungsu dari istri pertama KH. Hasyim
Asy’ari yaitu Nyai Nafiqoh.70 Pendidikannya selalu di Pesantren Tebuireng dan
Pesantren KH. Ali Ma’shum. Dialah anak kesayang Hadratussyekh Hasyim
Asy’ari yang meninggal ketika Yusuf berusia 18 tahun dan tidak membuat dia
manja.
Nama Muhammad Yusuf yang dipilih khusus oleh K.H Hasyim Asy’ari
merupakan nama dan dua Nabi sekaligus; Nabi Muhammad SAW dan Nabi Yusuf
as. Pemilihan nama ini bertujuan mengikuti sunnah Nabi, dengan memberi nama
yang baik kepada putra-putrinya, serta berharap agar bayi itu kelak tumbuh
setegar Nabi Yusuf dan sesabar, searif, dan setabah Nabi Muhammad. Dalam
hidupnya, diharapkan dia sanggup menghadapi segala ujian dan cobaan, serta
selalu bersikap jujur dan terpuji.71
69
Gus Dur, “PKB, Sayriah dan PKU”, Jawa Pos, 30 Oktober 1998.
Abdul Wahid, SANG PEJUANG SEJATI K.H Muhammad Yusuf Hasyim Di Mata
Sahabat Dan santri,(Jombang: PUSTAKA IKAPETE, 2007), hal.1.
71
Abdul Wahid, SANG PEJUANG SEJATI K.H Muhammad Yusuf Hasyim Di Mata
Sahabat Dan santri, hal.3.
70
Selama masa pendidikan, Yusuf Hasyim pernah nyantri di Pondok
Pesantren Krapyak, di bawah asuha KH. Munawwir. Saat masuk Krapyak, Ia baru
berumur 14 tahun. Selain itu, Yusuf Hasyim juga pernah mondok di Gontor,
Ponorogo jawa Timur, yang mengkombinasikan antar pengajaran ilmu-ilmu
agama dengan studi umum dan bahasa-bahasa asing.
Otodidak atau belajar sendiri merupakan style Yusuf Hasyim di masa
remajanya. hal itu dikarenakan tidak sempat mengenyam pendidikan formal.
Bahkan lantaran tuntutan situasi dan kondisi, Yusuf Hasyim kemudian ikut
terlibat dalam ketentaraan dan politik. Tetapi ia cepat belajar dan memoles
kekurangan dengan banyak membaca dan bergaul dengan kalangan cendikiawan.
Kelemahan banyak sisi termasuk keagamaan, diimbangi dengan ketajaman intuisi
dan keluwesan bergaul. ini sangat mendukung Yusuf Hasyim dewasa, harus terjun
sebagai Politisi Nasional.72
Beliau adalah bekas tentara Laskar Hisbullah pada Desember 1945 dan TNI
pada awal Juli 1947 dan beliau mengundurkan diri tahun 1956, terjun ke dunia
politik praktis (Wakil NU) hingga sempat duduk sebagai anggota Dewan. Dia
juga sempat menjadi selebritis bintang film sebagai Sunan Gresik dalam film Wali
Songo. Darah prajurit, watak politisi, pemain drama, serta pengaruh pesantren
agaknya berpacu dalam dirinya. Adapun jabatan-jabatan yang pernah di emban
yaitu: Wakil SekJend LVRI ( Legiun Veteran Republik Indonesia), Ketua Banser
tahun 1964, Anggota DPR RIS, anggota DPRGR tahun 1967, Sekjen PBNU,
Wakil Ketua MPP PPP, Anggota DPR/MPR komisi I (1971-1977, 1977-1982, dan
72
Abdul Wahid, SANG PEJUANG SEJATI K.H Muhammad Yusuf Hasyim Di Mata
Sahabat Dan santri, hal.5.
1982-1987); anggota Dewan Pakar ICMI; anggota DPA Kabinet Reformasi; dan
Jabatan terakhir adalah Ketua Umum Partai Kebangkitan Umat (PKU) dan
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng dan mengundurkan diri pada April
2006..73
Memang menangkap kemauan Yusuf Hasyim tidaklah mudah. Hal Ini
disebabkan karena pribadi tokoh Tebuireng ini sulit dibaca. Suatu ketika Yusuf
Hasyim berkata: “ NU adalah sebuah pondok besar, tempat kaum nahdilyin
menimba ilmu, kebajikan dan akhlakul karimah, maka masuklah (kedalam NU)
dengan penuh kecintaan, kasih sayang, rukun, bersatu dan dengan ikatan jiwa
raga. NU adalah jam’iyah yang harus bersifat memperbaiki dan menyantuni.74
Setting NU di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid selama tiga
periode berturut- turut, senantiasa dihadiri dan disaksikan oleh Yusuf Hasyim baik
secara fisik dan moral, formal dan informal. Yusuf Hasyim adalah salah satu
representasi dinamika internal NU, Menurut Syamsudin Haris, dia bukan saja
pengawal nurani dan tradisi kaum Nahdliyin, tetapi juga merupakan jembatan
kemajemukan NU, Lanjutnya, dia juga merupakan ulama sekaligus seorang
politikus yang menafsirkan realitas internal bagi jamaah NU. Misalnya Yusuf
Hasyim sudah memprihatinkan pelaksanaan Khittah ‘26 sebelum orang lain
mengakui sebagai realitas. Sebagai wakil generasi kedua dan putra pendiri NU,
73
Abdul Wahid, SANG PEJUANG SEJATI K.H Muhammad Yusuf Hasyim Di Mata
Sahabat Dan santri, hal.16-22 dan hal.58.
74
Pak Ud, Gatra, 21 Januari 1995.hal.20.
Hadratussyekh Hasyim Asy'ari, Yusuf Hasyim adalah sosok wajah “NU
komplek”.75
Selama kepemimpinan Abdurrahman Wahid dalam NU, Yusuf Hasyim
tampil sebagai seorang nahdliyin yang “ gelisah dan menggugat “ kemapanan Gus
Dur, NU, PPP, juga kemapanan Orde Baru. Yusuf Hasyim tidak menginginkan
NU tertidur atau ditidurkan oleh realitas struktural di sekitarnya. Yusuf Hasyim
menggugat Orde Baru, ketika menyinggung soal “wilayah sakral” agama dalam
RUU Perkawinan 1973.76 Dia menggugat kecenderungan agama kearah
kemusryikan tatkala pemerintah mengintroduksi aliran kepercayaan. Dan dia juga
ikut menentang pemberlakuan P4, karena khawatir menjadi penafsiran tunggal
atas ideologi negara Pancasila.77 Di panggung kampanye PPP, Yusuf Hasyim
merupakan juru kampanye vokal yang menolak pengkambing hitaman Islam oleh
sebagian pemerintah (birokrasi). Namun perlahan, Yusuf Hasyim dengan sigap
menyambut kerja sama dengan Orde Baru, ketika secara berangsur-angsur
menyantuni golongan Islam.
Di dalam PPP, Yusuf Hasyim juga tidak pernah diam. Dia menggugat H.J
Naro yang melemparkan NU dengan telur busuk,78 melainkan kepada Buya Ismail
Hasan Metarium yang dianggap tak mendengar suara-suara orang NU. Yusuf
Hasyim juga memprakarsai rujuk sementara Mathori Abdul Djalil dengan Buya,
75
Tim Tempo, Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia Antara Tahun 1983-1984,
(Jakarta: Grafiti Press, 1984), hal. 270.Lihat juga Aula, No 12 Tahun XVI, (Desember 1994),
hal.60.
76
Wakil-wakil NU dalam PPP yang dipimpin oleh Pak Ud menolak karena RUU
Perkawinan 1973 tersebut dianggap secara prinsipal bertentangan dengan ajaran Islam. Lihat
Syamsudian Haris, PPP dan Poltik Orde Baru, (Jakarta:Garmedia, 1991), hal.11 dan 46.
77
Syamsudin Haris, PPP dan Politik Orde Baru, hal.46-51.
78
Istilah J Naro yang digunakan untuk tokoh-tokoh NU (politisi), lihat Tempo, 21 Maret
1987.Dan dengan pelecehan tersebut maka Pak Ud pun menurunkan pamor PPP yang dipimpin J.
Naro khususnya di Jawa Timur, Kompas, 14 April 1987.
dengan harapan orang-orang PPP tidak menarik garis pemisah dengan Kubu
Rembang.79 Tetapi dia merasa kecewa, sebab merasa dipakai saja oleh orangorang Buya untuk menjalin jalan kompromi, sehingga akhirnya dia mundur dari
keanggotaannya di DPP PPP.
Apabila ditelaah surat pengunduran diri Yusuf Hasyim dari kenggotaan
Mustasyar PBNU hasil Muktamar Cipasung, sebenarnya Yusuf Hasyim telah
terluka. Keprihatinan luka itu lebih dari siapapun, karena dia merasa tidak
didengar oleh siapapun, termasuk oleh keponakannya, Abdurrahman Wahid.
Pertikaian keluarga Yusuf Hasyim dan Abdurrahman Wahid bukanlah hal
yang baru, sebab sudah lama terjadi. Sebenarnya dulu, pertikaian antara paman
dan keponakan itu hampir dapat ditengahi (almarhumah) Nyai Wahid Hasyim
(Ibu Kandung Abdurrahman Wahid). Dan itu diakui sendiri oleh Yusuf Hasyim;
“ya itulah satu sebabnya, dulu kalau saya ribut terus mbak yu80 sakit. Nah saya
tidak tega itu. Tetapi saya melihat, membiarkan Gus Dur menjadi pemimpin itu
beresiko tinggi”.81
Tentunya bukan saja karena kepergian almarhumah, maka Yusuf Hasyim
senantiasa menyerang Abdurrahman Wahid.
Hal ini bisa dilihat dari surat
pengunduran diri Yusuf Hasyim, tak satupun aktor yang
mempengaruhi
pengunduran dirinya, kecuali komitmen yang tulus dan total terhadap masa depan
NU.
79
Laode Ida, Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1996), hal. 143.
80
Mbak yu merupakan bahasa jawa yang mempunyai arti kakak perempuan yang
sekandung.
81
Gatra, 21 Januari 1995, hal.34.
Itulah sosok setelah tidak aktif di politik (keluar dari PKU, 2000) saat ini
Yusuf Hasyim kembali memimpin Pesantren Tebuireng. “Saya memang ingin
mengasuh pesantren dengan baik dan hidup berkeluarga dengan baik” katanya
suatu ketika.
E.
PANDANGAN YUSUF HASYIM TENTANG NU, ISLAM DAN
NEGARA
Memahami pemikiran Yusuf Hasyim, dapat dilihat kehadirannya sebagai
representasi unsur NU yang pernah bercokol dalam dunia politik. Sebab
kehadirannya di sana, ia dikenal sebagai politisi vokal serta kritis dalam
menyikapi kebijakan-kebijakan awal pemerintahan Orde Baru, yang menurutnya
tidak menguntungkan bagi Islam (baik sebagai kelembagaan maupun ajaran).
Untuk itu, agar mudah merumuskan pandangan-pandangannya, perlu
penulis singgung kembali peristiwa “perang dua kubu” dalam internal NU, ketika
orpol ini merespon kebijakan-kebijakan awal pemerintahan Orde Baru. Secara
garis besar kebijakan Orde Baru yang menggegerkan Islam khususnya dan unsurunsur dalam PPP, yaitu; pertama, soal isu-isu perpindahan agama yang
menghantui umat Islam. kedua, timbulnya pandangan “sekuleristik” yang mulai
berkembang berkaitan dengan peran politik Islam, yang ditandai oleh gagasan
“sekulerisasi” dari Nur Cholis Madjid melalui slogan “ Islam yes, partai Islam no”
yang dimunculkan sekitar tahun 70-an.82
82
Syamsudian Haris, PPP dan Politik Orde Baru, (Jakarta:Garmedia, 1991), hal.11.
Menyikapi kebijakan Orde Baru di atas, dalam internal PPP muncul
kelompok-kelompok besar yang cenderung radikal yang saling bertentangan yakni
kelompok idealis dan kelompok realis.83 Kelompok idealis yang diwakili unsur
NU memandang politik merupakan interpretasi keagamaan dalam soal keduniaan
dan atas dasar cita politik keagamaan ini, garis radikal unsur NU memprotes
kebijakan serta arah politik pemerintah dalam banyak hal dinilai bercorak diikuti
pembelaan terhadap Kaum Sekuler,
yakni terkesan mengenyampingkan
pertimbangan-pertimbangan agama. Sementara kelompok realis memandang,
penerapan simbol-simbol agama dalam partai merupakan hambatan untuk
membangun PPP sebagai partai modern. Mereka memandang bahwa politik
adalah sesuatu yang realistis, tidak berkaitan dengan ideologi apalagi dengan
pertimbangan keagamaan.84
Puncak keradikalan yang ditunjukkan unsur-unsur NU ini, terlihat jelas
pada SU MPR 1978, dalam sidang ini mengagendakan RANTAP, P4 yang di
dalamnya berupa tafsir
lima sila dalam Pancasila untuk dijadikan pedoman
perilaku bangsa Indonesia serta rencana dimasukkannya aliran kepercayaan,
mendapat reaksi cukup keras dari fraksi PPP yang dimotori unsur NU, (Yusuf
Hasyim dkk) mengambil sikap walk out .85 Unsur NU memandang bahwa
rancangan tersebut merupakan suatu ancaman terhadap status Islam sebagai
agama.86 Berkenaan dengan ketidaksetujuan unsur NU ini, Martin Van Bruinessen
83
Sudarnoto Abdul Hakim, Islam Berbagai Perspektif, (Yogyakarta: LPMI, 1995),
hal.265.
84
Sudarnoto Abdul Hakim, Islam Berbagai Perspektif, hal.271.
Laode Ida, Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1996), hal.44.
86
Sudarnoto Abdul Hakim, Islam Berbagai Perspektif, hal.271.
85
berkomentar bahwa ketidaksetujuan tersebut bukan terhadap relatifisme agama
yang terkandung dalam program indoktrinasi, ini menyatakan semua agama yang
diakui sama benarnya dan memberikan tempat terhormat kepada aliran
kepercayaan.87 Terhadap masalah indoktrinasi ini pula, melalui surat yang ditanda
tangani oleh Rois II, KH. Masykur, Khatib I, Abdurrahman Wahid, Ketua 1, KH.
Yusuf Hasyim dan Sekjen, HM. Moenasir menegaskan sikap NU yang isinya
bahwa PBNU memandang perlu menyatakan penegasan sikapnya untuk tetap
mempertahankan asas Islam bagi Nahdlatul Ulama sebagai suatu Jam'iyah.88
Atas sikap-sikap idealis dan cenderung radikal dari unsur-unsur NU inilah,
Presiden Soeharto merasa kecewa terhadap politisi-politisi NU.89 Dan akibatnya
pimpinan PPP dari unsur MI, Naro di dukung oleh anggota PPP yang akomodatif
kepada pemerintah melakukan pembersihan partai dari unsur radikalisme politisi
NU. 90
Dari sinilah, salah satu kekecewaan politisi NU terhadap kelompok
akomodasi realis, Naro dkk. Bersama dengan itu timbul gagasan untuk
melepaskan NU dari PPP sekaligus mengembalikan NU pada misi awal berdirinya
NU, Khittah 1926. Meskipun gagasan untuk kembali ke Khittah ’26 sebenarnya
sudah digulirkan sejak tahun 1959. Gagasan itu bagaikan membentur tembok
bahkan memperoleh tanggapan kurang baik dari elit NU yang didominasi politisi
baru pada penghujung tahun 1970-an dan awal 1980-an, setelah mengalami
87
Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi,Relasi Kekuasaan, Pencarian Wacana Baru,
hal.106.
88
M. Imam Aziz, “Beberapa Pertanyaan di sekitar NU dan Pancasila”, (Makalah di diskusi
ntetrfidsi, 16 Desember 1992).
89
Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik, (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984),
hal.63-64.
90
Laode Ida, Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara, hal.50.
berbagai ketegangan dan konflik dalam NU baik sebagai akibat percaturan
kepentingan dari fraksi-fraksi yang berbeda di NU mulai mengambil langkah
kembali ke khittah 1926.
Terhadap gagasan, di tubuh NU sendiri melahirkan dua kubu besar yang
disebut kubu realis dan idealis. Kubu realis berpandangan bahwa untuk
memperjuangkan aspirasi NU harus melakukan interaksi dan interdependensi baik
dengan kelompok lain maupun dengan kekuasaan. Sedangkan kubu idealis yang
pada intinya menolak pengurangan porsi NU.91
Pertarungan dua kubu NU inilah yang senantiasa mewarnai perjalanan NU
dalam merespon perkembangan zaman. Persoalan ini nampak menjadi dilematik
ketika konsep perjuangan NU Khittah ’26 tiba-tiba kandas oleh hingar bingarnya
Pemilu 99 dan euforia reformasi pasca lengsernya Soeharto. Kelompok realis
menjadi sumber ketidakpercayaan kalangan warga Nahdliyyin (kubu idealis) yang
tetap memegang idealisme untuk berpihak pada cita-cita NU.
Ketidakpercayaan
kubu-kubu
di
atas,
dapat
dilihat
adanya
dua
kecenderungan dalam merespon perkembangan sosial bagi organisasi NU sebagai
gerakan Islam. Menurut Abdurrahman Wahid, dua kecenderungan gerakan itu
adalah; pertama pihak yang berpendapat Islam seharusnya tidak menampilkan diri
dalam bentuk yang eksklusif dan simbolik. Islam mesti mengintegrasikan
kegiatannya dalam kegiatan bangsa secara menyeluruh. Pihak ini jelas memiliki
tema-tema gerakan pilihan masalhnya sangat jelas yakni yang dihadapi bangsa.
Paradigma pihak ini merawat bangsa dengan agama. kedua, pihak yang
91
Laode Ida, Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara, hal.80-81.
menginginkan ajaran Islam diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara (state). Agama diharapkan menjadi pemecah masalah, sehingga
paradigma pihak ini “menguasai negara dengan agama”. Pihak ini ingin
menampilkan wajah Islam dan mengekspresikan rasa keberagamannnya dalam
kenegaraan secara utuh, meski kadang tanpa didukung oleh substansi apapun dari
agama itu sendiri.92
Dari rangkaian-rangkaian peristiwa serta kategori cenderung kelompok
tersebut di atas, nampaknya Yusuf Hasyim dapat digolongkan pada kelompok
idealis yang cenderung eksklusif. Bisa dilihat dari pandangan dan pikiran
keagamaan yang terkadang radikal dalam
merespon perkembangan zaman
melalui NU sebagai suatu gerakan Islam. Isu-isu politik Islam 93 yang beliau
lontarkan tatkala Pemilu 99 misalnya, merupakan salah satu bukti pemikiran
Yusuf Hasyim yang eksklusif ini.
Menurut Yusuf Hasyim, antara Islam dan politik janganlah terjadi
pemisahan atau dalam bahasa KH. Wahab Hasbullah, Islam dan politik ibarat
“gula dan manisnya”. Mengenai hal ini Yusuf Hasyim berpendapat; bagi saya
Islam dan politik jangan dipisahkan. Politik harus diikuti oleh agama sehingga
mudah menyingkirkan penyelewengan. Tidak boleh ada jurang pemisah antara
agama dan politik.94 Walaupun kalimat yang diucapkan Yusuf Hasyim tidak
92
Zainal Arifin Toha, “Gus Dur, NU dan Demokrasi”, Suara Merdeka, 3 Desember 1993.
Lihat juga Al zastrow Ng, “Gus Dur, Islam dan Demokrasi”, Suara Merdeka, 6 Desember 1994.
93
Politik Islam yang dimaksud adalah politik yang di dasarkan pada pandangan keagamaan
Islam, polutik yang mengunakan symbol formal dan dimaksudkan untuk menegakkan tatanan
masyarakt politik Islam. Ketika mengamati perdebatan tentang dasar negara, Endang Saifuddin
Anshori menyebut ini dengan Kelompok Nasionalis Islam, merupakan rival dari Sekuler
Nasionalis. Sudarnoto Abdul Hakim, Islam Berbagai Perspektif, hal.278.
94
KH. Yusuf Hasyim, “Gus Dur Tidak Demokratis”, Sabili No.4 Thn.VI, 2 September
1998, hal.57.
secara teknikal merujuk pada teks, namun pernyataan tersebut terkesan idealis dan
eksklusif. Dalam arti bahwa aktifitas dan kegiatan politik dipahami Yusuf Hasyim
sebagai manifestasi ajaran Islam. Meskipun bekas wadah politik yang pernah
menghantar Yusuf Hasyim sebagai wakil di FPP telah kembali khittah '26,
ternyata cita-cita untuk menjadikan NU sebagai partai politik sangatlah kuat,
komentarnya : ..... Khittah itukan sekedar rumusan orang-orang muda sekarang.
NU naluri politiknya kental... bagi saya sebaiknya NU kembali menjadi partai
politik. Memang pada tahun 1984 sebagaimana orang-orang NU berpendapat
bahwa perlu langkah baru agar NU menjadi organisasi sosial kemasyarakatan.
Hal itu sekedar menghindari himpitan-himpitan. Nah, sekarang sudah tidak ada
himpitan maka kembali seperti dulu. Kalau ada yang menanyakan itu melanggar
khittah, saya jawab yang tahun 1952 itu melanggar khittah tidak .95
Berangkat dari pandangan serta idealisme Yusuf Hasyim tersebut, serta di
dukung zaman yang kondusif untuk mewujudkan obsesinya, wajar apabila pada
saat pemilu 99 idealismenya diwujudkan melalui Partai Kebangkitan Umat
(PKU). Menurutnya,disamping PKU lebih mewarisi tradisi pemikiran NU yang
lebih fiqh oriented dan melalui partai ini pula reformasi internal guna
mengembalikan NU pada cita-cita luhur para pendirinya dapat dilakukan,
sekaligus memperjuangkan aspirasi umat Islam pada umumnya. Jadi, dari sini
terlihat jelas komitmen PKU untuk menjadikan siyasah ( politik ) sebagai alat
95
KH. Yusuf Hasyim, “Gus Dur Tidak Demokratis”, Sabili No.4 Thn.VI, 2 September
1998, hal.59.
memperjuangkan syari’ah Islam dalam batas akomodasi yang wajar dan sejalan
dengan kepentingan nasional.96
Dalam cara inilah, terlihat Yusuf Hasyim terkesan masih berputar-putar
pada pola lama, dari sinilah perbedaan antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf
Hasyim ini terjadi. Menurut Yusuf Hasyim ini dilakukan semata-mata demi
kepentingan dan kebaikan NU, “ apa yang saya inginkan cuma satu : NU baik...,
saya prihatin jika ada orang yang menuduh saya akan membuat NU bebas, itu
sama sekali tidak benar “ 97tegasnya suatu ketika.
F. YUSUF HASYIM DAN MISI PERJUANGAN POLITIK PKU
Masalahnya mengapa paradigma pemikiran Abdurrahman Wahid yang
diperjuangkan melalui Partai Kebangkitan Bangsa belum sepenuhnya diterima
oleh sebagian warga NU. Dalam hal ini, Yusuf Hasyim mengemukakan beberapa
alasan. Pertama, Partai yang didirikan Abdurrahman Wahid, PKB tidak
mencerminkan komitmen yang kuat pada aqidah Islam. Kedua, keberadaan
sebagian warga NU atas dukungan PKB kepada Ketua Umum PDI-P Megawati
yang akan menciptakan single majority dalam mengawasi kelompok-kelompok
Islam politik.98
Hal senada juga dikemukakan oleh A. Syafi'i Maarif yang menurutnya
pemikiran politik Abdurrahman Wahid yang diperjuangkan melalui PKB memang
belum sepenuhnya diterima oleh sebagian warga NU. Hal ini karena kiprah
96
KH. Yusuf Hasyim, “PKU, dari Siyasah Menuju Syariah”, Jawa Pos, 3 November 1998.
Ummu Risalah, “Cara Pak Ud memprotes manajer kesebelasan yang tidak kompak”,
Aula, Agustus 1988, hal.11.
98
Pak Ud, “Romantisme PKB”, Republika, 10 Agustus 1998.
97
Abdurrahman Wahid di luar NU selama ini dicurigai oleh banyak kalangan NU
sebagai
langkah-langkah
yang
dapat
membahayakan
NU.
Hubungan
Abdurrahman Wahid dengan nasionalis sekuler dan non muslim serta keinginan
berkoalisi dengan PDI Megawati yang dicitrakan sebagai partainya kelompok
nasionalis sekuler belum diterima sepenuhnya oleh sebagian warga NU. Maka
selanjutnya, Maarif mengemukakan jika PKB berkoalisi dengannya, dianggap
tidak memperoleh manfaat dan akan mungkin merugikannya.99 Dalam hal ini
Yusuf Hasyim, dukungan PKB terhadap Megawati
secara politik dianggap
merupakan sebuah dosa “ kalau secara politis saja dosa, apalagi secara agama”
.100
Berangkat dari visi politik Abdurrahman Wahid yang diperjuangkan
melalui PKB inilah, akhirnya melalui visi Partai Kebangkitan Umat
mengimbangi
(PKU)
gagasan-gagasan Abdurrahman Wahid. Disamping itu menurut
Yusuf Hasyim, PKU lebih mewarisi tradisi NU yang lebih fiqh oriented, PKU
juga mempunyai misi khusus yaitu senantiasa mengusahakan berlakunya ajaran
Islam dalam kehidupan bernegara. Lebih lanjut misi
PKU
menurut Yusuf
Hasyim mengacu pada Anggaran Dasar NU pasal 5 yang berbunyi : Tujuan NU
adalah berlakunya ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama'ah dan
menganut salah satu madzhab empat di tengah-tengah kehidupan negara kesatuan
99
A. Syafi’I Maarif, “Persaingan Memperebutkan Suara NU”, Republika, 28 Agustus
100
Pak Ud, Republika, 26 Oktober 1998.
1998.
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD '45.101 Lebih lanjut
Yusuf Hasyim berkomentar :
"Cita-cita PKU tak lebih dari sekedar akomodasi dalam batas-batas tertentu
terhadap syari'at Islam, serta tegaknya kebenaran, keadilan, HAM atas dasar
etika dan moral Islam yang universal. Karena itu, kecemasan Abdurrahman
Wahid terhadap Partai berbasis Islam bakal melahirkan formalisme agama,
mengancam integrasi nasional sangatlah berlebihan ... sungguh ironis yang
paradoks jika Abdurrahman Wahid sebagai salah satu pelopor transformasi
intelektual. dan dengan paradigma baru masih menggunakan frame lama
dan stigma politik aliran untuk mencurigai kebangkitan Islam politik ...
penonjolan identitas Islam dalam PKU tak berarti mematikan semangat
demokrasi dan keterbukaan .....” 102
Pernyataan-pernyataan Yusuf Hasyim di atas menunjukkan, meskipun
beliau menolak sekulerisme bukan berarti menyetujui formalisme Islam secara
absolut. Ada wilayah-wilayah tertentu dimana nilai (syari’at Islam) bisa diadaptasi
dalam produk hukum positif Indonesia secara proporsional. Selebihnya, diluar
wilayah yang memang syari’at perlu ditampilkan ke dalam hukum positif,
menurut Yusuf Hasyim yang diperlukan adalah tampilnya secara substansial
sesuai dengan universalitas ajaran Islam. Atau dengan kata lain, Yusuf Hasyim
mengakui adanya watak universalisme agama pada sisi yang lain. Pada domain
sekterianisme, tak dapat dihindari terjadinya saling berhadapan antara agama satu
101
A. Basit Adnan, Kemelut di NU Antara Kyai dan Politisi, (Solo: Mayasari, 1982),
hal.52.
102
KH. Yusuf Hasyim, “PKU, dari Siyasah Menuju Syariah”, Jawa Pos, 3 November
1998. Lihat juga wawancara, Pak Ud, Sabili No 13 Tahun VI, 6 Januari 1999, hal. 49
dengan agama lain. Tetapi pada domain nilai universalisme ajaran agama-agama
terjadi penyatuan dan pertemuan “ bernegara sekaligus beragama” di kalangan
umat beragama tanpa dikuatirkan konflik. “Konsep kita jelas, masyarakat
madaniyah, masyarakat madani dimana semua kelompok-kelompok agama itu di
akomodir secara seimbang ... kita menginginkan formulasi hukum Islam yang
relevan sajalah dalam kehidupan kita ini, jangan berlebih-lebihan”.
BAB IV
PERBANDINGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF
HASYIM TENTANG KEBANGSAAN
A. PANDANGAN KEBANGSAAN ABDURRAHMAN WAHID DAN
YUSUF HASYIM
Runtuhnya rezim Orde Baru serta naiknya Orde Reformasi pada tanggal 21
Mei 1998, yang ditandai oleh lengsernya Soeharto dari singgasana kepresidenan
diganti oleh BJ. Habibie, telah memberi implikasi determinan terhadap konstelasi
perpolitikan Indonesia. Terjadi perubahan-perubahan mendasar dalam tatanan
kehidupan bernegara, terutama dalam dimensi politik. Gejala euphoria politik
dengan hasrat yang meluap-luap untuk mendirikan partai politik adalah satu
indikasi dalam era perubahan ini.
Di tengah hiruk pikuknya panggung politik Orde Reformasi, ternyata
berimplikasi juga terhadap eksistensi NU sebagai gerakan keagamaan dalam
merespon perkembangan. Persoalan tampak menjadi dilematik betapa konsep
Kembali Khittah 26, seolah dirusak oleh kalangan internal NU sendiri. Di
senggement NU dengan politik melalui “konsep khittah” relatif gagal, karena
konflik yang tajam terjadi diantara elite NU sendiri, Jam'iyah NU ternyata gagal
dengan munculnya partai-partai di tengah warga Nahdliyin. Kelompok realis
menjadi sumber ketidakpercayaan kalangan kelompok idealisme yang tetap
berpihak pada ciri-ciri NU.
Fenomena ini dapat dilihat ketika terjadi tarik menarik antara penggagas
partai di Rembang tanggal 6 Juni 1998 terkait dengan sifat terbuka atau
tertutupnya partai di kalangan ini. Sebagian kelompok menghendaki partai
terbuka, tanpa embel-embel Islam, yang berarti dapat menampung aspirasi
segenap kelompok bangsa. Dan sebagian kelompok lain, menghendaki partai yang
bersifat tertutup yang khusus mewadahi umat Islam, lebih spesifik warga NU
sendiri. Meskipun akhirnya dikalangan NU lahir beberapa partai baik yang
bersifat terbuka maupun tertutup.
Apabila penulis perhatikan tentang pandangan visi dan startegi perjuangan
politik NU baik oleh Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim sebetulnya sesuai
dengan watak dasar NU. Paham Ahlussunnah wal Jama'ah yang menjunjung
tinggi sikap tawassuth (moderat), tawazun (proporsional) dan tasamuh (toleran),
serta sejalan dengan tatanan sosial politik dan ekonomi NU berdasarkan prinsipprinsip adalah adlah (keadilan), syuro (permusyawaratan) dan musawah
(persamaan) yang merupakan modal dasar bagi Abdurrahman Wahid dan Yusuf
Hasyim untuk dikembangkan dalam membangun wawasan kebangsaan.
Masalahnya mengapa visi dan strategi perjuangan politik NU antara
Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tidak bisa dipersatukan? Dalam hal ini
jika penulis menyimak pandangan keduanya melalui misi perjuangan politik PKB
dan PKU, tampak bahwa problem yang diperdebatkan dapat dikotakkan pada
domain sektarian Islam, seperti menyangkut legislasi syari'at Islam seperti
legislasi hukum perkawinan Islam dalam hukum positif dan lain-lain yang
jumlahnya sangat terbatas. Diluar itu tidak ada perbedaan yang signifikan.
Sepertinya pandangan Abdurrahman Wahid tentang gagasan “sekulerisme”
di Indonesia, untuk memecahkan problem fundamental keislaman dan
keIndonesiaan dilatarbelakangi oleh setting sosial yang terjadi di Indonesia, sama
persis dengan kondisi yang melatarbelakangi munculnya sekulerisme di Turki.
Terjadinya kemerosotan moral yang hampir pada semua aspek kehidupan.
Kepemimpinan yang tidak amanah, moral korup, budaya kekerasan, manipulasi
agama, tidak pekanya umat beragama terhadap isu-isu kemanusiaan sebagaimana
pernah terjadi di Turki pada masa peralihan menuju sekulerisme, juga dapat
dirasakan di sini. Kondisi itu sama-sama menjadi keprihatinan Abdurrahman
Wahid dan Yusuf Hasyim.
Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim sama-sama gelisah menghadapi
problem fundamental yang dialami dalam kehidupan keberagamaan dan
kebangsaan di Indonesia. Hanya perbedaannya, Yusuf Hasyim tidak menjadikan
pola hubungan agama dengan negara di Indonesia sebagaimana yang berlaku
selama ini sebagai penyebab timbulnya masalah. Solusinya, menurut Yusuf
Hasyim, akomodasi negara terhadap mainstream Islam politik merupakan sebuah
keharusan. Untuk menghindari ketegangan disatu sisi, sekaligus memperkuat
legitimasi negara di mata umat di sisi lain atau dalam bahasa Yusuf Hasyim
formalisasi agama diperlukan sebagai identitas Islam yang mayoritas di
Indonesia.103 Sebaliknya, Abdurrahman Wahid menganggap bahwa hubungan
agama dan negara (formalisme agama) tidak diperlukan, karena tidak sesuai
struktur kebangsaan lndonesia yang majemuk. Menurutnya dengan menggunakan
103
KH. Yusuf Hasyim, “PKU, dari Siyasah Menuju Syariah”, Jawa Pos, 3 November
1998. Lihat juga wawancara, Pak Ud, Sabili No 13 Tahun VI, 6 Januari 1999, hal. 49.
terminologi keagamaan seperti asas, idiom, simbol-simbol formal keagamaan
akan mudah dituduh melakukan politisasi agama. Sehingga tidak aneh kalau
solusi yang ditawarkan Abdurrahman Wahid adalah dalam bentuk mensekulerkan
negara, alasannya menurutnya karena Indonesia bukanlah negara agama.104
Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim, meskipun garis pemikirannya
berbeda, sama-sama mendasarkan gagasannya demi kepentingan Jam'iyah NU
dan bangsanya, hanya yang satu melalui jalur formal kebangsaan, sedangkan
satunya tidak. Dan meskipun keduanya mempunyai pemikiran yang berbeda
secara diamental, semua gagasannya diabdikan untuk kepentingan dan eksistensi
Nahdlatul Ulama.
104
Gus Dur, “PKB, Sayriah dan PKU”, Jawa Pos, 30 Oktober 1998. Lihat juga Rumadi,
“Kegamangan Politik Kyai NU”, Aula no.05 tahun XXIII, Mei 2001.hal.71-72.
Perbedaan Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim tentang Visi dan
Strategi Politik NU.
Perbedaan Pemikiran
Abdurrahman Wahid
Yusuf Hasyim
Basis pergumulan di NU
Intelektual105
Politisi
praktis
(tidak
menunjukan latar belakang
yang jelas juga tidak
berangkat dari tradisi NU
yang kuat )110
Berpijak pada paradigma
Kecenderungan
paradigma pemikiran dan berangkat dari agama
menyelesaikan
masalah
gerakan
bangsa (intregrasi Islam
dalam
bangsa
tanpa
menampakkan
bentukbentuk yang eksklusif
Islam)106
Berpijak pada paradigma
berangkat dengan agama
menyelesaikan
masalah
bangsa (kelompok yang
berharap menguasai posisi
strategis
kekuasaan
sehingga sebagian besar
kekuatannya
mampu
diserap oleh negara)111
Interprestasi khittah NU Mengarah pada kebebasan
untuk memilih atau tidak
1926
memilih partai politik dan
tidak mengidentifikasikan
dengan
sebutan
NU
(dikenal dengan politik
kultural)107
Mengarah pada pelepasan
untuk memilih PPP, tetapi
tidak
memilih
PDI-P
dengan
Golkar
serta
menginginkan NU tampil
sebagai
partai
politik
sendiri (dikenal dengan
khittah plus)112
Isu-isu agama dan politik
Pemisahan antara agama Politik harus diikuti dengan
agama113
dan politik108
Latar belakang pendirian PKB, mewadahi aspirasi
warga nahdliyin sejak NU
partai
tidak
menjadi
partai
politik atau sejenak NU
termaginalkan
secara
politis109
105
PKU, tidak terceminkan
keislamannya dalam PKB,
keberatan atas dukungan
PKB terhadap Megawati
yang dicitrakan sebagai
warga
NU
sebagai
nasionalis sekuler114
Musfihir Dahlan, “Meluruskan Tradisi NU, Mingguan Mutiara edisi 9, 22 Juni 1982.
Ishomudidin Hadziq, “Landasan Teologis Gerakan Sosial NU”, Taswirul Afka No.
1,Tahun 1994. hal.37
107
Marzuki Wahid dkk, Geger Di Republik NU, Perebutan wacana, Tafsir Sejarah,
Tafsiran Makna,(Jakarta: Kompas-Lakspedam, 1999), hal.216-217.
108
Abdurrahman Wahid, “ Masih Perlukah Formalisme Agama di Perlukan”, Jawa Pos, 3
November 1998.
109
Sahar L. Hasan dkk (ed), Memilih Partai Islam, (Jakarta: Gema Insani, 1998), hal.24.
110
Musfihir Dahlan, “Meluruskan Tradisi NU, Mingguan Mutiara edisi 9, 22 Juni 1982
106
Komitmen
partai
terhadap Untuk
melindungi
pluralitas
atau
lebih
mengutamakan
kepentingan nasional115
Untuk melindungi syari’ah
atau menjadikan siyasah
(politik)untuk
memperjuangkan
syari’ah119
dalam Formulasi hukum Islam
yang
relevan
dalam
kehidupan berbangsa dan
bernegara120
Pola hubungan
dan negara
agama Intregasi Islam
kegiatan bangsa116
Negara
citakan
dicita- Negara demokrasi yang Negara
demokrasi
tidak
ada /masyarakat madani dengan
fundamentalisme Islam 117 representasi politik Islam
sebagai umat mayoritas atau
semua kelompok diorganisir
secara seimbang121
yang
Pandang terhadap visi Bagi NU Syariat Islam Bagi NU, berbagai hal yang
politik NU ( wawasan berlaku sebagai konvensi menyangkut masalah publik
keagamaan )
bukan aturan formal118
yang termasuk didalamnya
adalah masalah kenegaraan
dan kebangsaan merujuk
fiqh sebagai implementasi
lahiriah dari syariah122
Persamaan Visi dan Startegi Perjuangan Politik NU Antara Abdurrahman
Wahid dan Yusuf Hasyim
111
Ishomudidin Hadziq, “Landasan Teologis Gerakan Sosial NU”, Taswirul Afka No.
1,Tahun 1994. hal.37.
112
Ummu Risalah, “Cara Pak Ud memprotes manajer kesebelasan yang tidak kompak”,
Aula, Agustus 1988, hal.13-14.
113
Yusuf Hasyim, “Wawancara”, Sabili No.4 tahun VI, 2 September 1998,hal.57-58.
114
Yusuf Hasyim, “Romantrisme PKB”, Republika, 10 Agustus 1998.
115
Abdurrahman Wahid, “PKB, Syariah,PKU”, Jawa Pos, 30 Oktober 1998.
116
Ibid.
117
Abdurrahman Wahid, “ Masih Perlukah Formalisme Agama di Perlukan”, Jawa Pos, 3
November 1998.
118
Abdurrahman Wahid, “PKB, Syariah,PKU”, Jawa Pos, 30 Oktober 1998.
119
KH. Yusuf Hasyim, “PKU, dari Siyasah Menuju Syariah”, Jawa Pos, 3 November
1998.
120
Ibid.
121
Yusuf Hasyim, “Wawancara”, Sabili No.4 tahun VI, 2 September 1998,hal.40.
122
KH. Yusuf Hasyim, “PKU, dari Siyasah Menuju Syariah”, Jawa Pos, 3 November
1998.
1. Islam sebagai agama pembebasan sepenuhnya kompatibel dengan visi politik
NU
2. Kehadiran negara Islam di Indonesia, ditolak bukan semata-mata karena tidak
adanya perintah langsung dari al Qur’an dan Hadist untuk melahirkan itu, tetapi
kehadirannya juga bisa tidak bermakna kondusif bagi upaya mempertahankan
intregitas bangsa yang pluralistik
3. Penerimaan negara yang demokrasi diterima sebagai sistem yang paling
rasional dan realistis untuk mewujudkan terbentuknya suatu tatanan masyarakat
yang adil, egaliter sebagaimana dicita-citakan oleh Islam.
B.
ANALISA
PERBANDINGAN
STRATEGI
POLITIK
NU
ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM
Terlepas dari segala perbedaan pemikiran antara Abdurrahman Wahid dan
Yusuf Hasyim,
pemikiran antara mereka adalah masalah di masalah, jika
dianalisa lebih mendalam sebenarnya perbedaan-perbedaan tersebut merupakan
akumulasi bom waktu dari setting awal perseteruan sebelumnya, Yusuf Hasyim
mengakui sendiri, bahwa pembentukan PKU terdapat concern Yusuf Hasyim
untuk
mereformasi
internal
NU.
Sebab
dalam
pandangannya,
selama
kepemimpinan Abdurrahman Wahid, NU mengalami stagnasi, dan dianggap
banyak penyelewengan terhadap tradisi serta cita-cita luhur Founding Father
NU. 123 Karena itu pula, Yusuf Hasyim mengatakan mundur dari musytasar baru
123
Yusuf Hasyim, “Wawancara”, Sabili No.4 tahun VI, 2 September 1998,hal.57. Lihat juga
KH. Yusuf Hasyim, “PKU, dari Siyasah Menuju Syariah”, Jawa Pos, 3 November 1998.
hasil Muktamar Cipasung beberapa tahun lalu. Saya membiarkan Abdurrahman
Wahid menjadi pimpinan itu beresiko tinggi. Tegasnya suatu ketika.124
Sejak Abdurrahman Wahid memimpin NU selama 3 periode, NU seperti
mendapatkan pencerahan. Jika penulis membuat perbandingan antara NU rezim
Abdurrahman Wahid dan rezim Idham Chalid yang menjadi ketua sebelumnya,
maka tampak berbagai kekontrasan mencolok. Dari sudut penampilan pribadi,
Abdurrahman Wahid tampil sebagai figur pemikir yang menggerakkan beberapa
gagasan penting dalam wacana Islam kontemporer Indonesia. Abdurrahman
Wahid bahkan berani melanggar batas seluas-luasnya antara umat beragama.
Beliau juga telah membawa NU masuk ke suatu Horizon baru, berbagai pikiran
garda depan Islam diterima dengan lapang dada di organisasi ini. Bahkan tanpa
kritik tentunya, melainkan ada kesediaan menerima suatu pluralisme.
Sementara itu, figur Idham Chalid di kalangan NU selalu menjadi ikon bagi
kelompok, politikus yang. berambisi memperebutkan jatah politik dalam
pemerintahan. Figur Idham juga mewakili sekelompok politikus yang menjadikan
NU sebagai ladang vote getting untuk meraih suara di parlemen. NU di bawah
ldham selalu dikaitkan dengan up down kehidupan partai di negeri ini. Mungkin
di mata anak muda NU sekarang ini, figur Idham bisa dikatakan mewakili
penggambaran “pragmatisme politik” yang sudah old fashioned sehingga tidak
menarik perhatian. Oleh karena itu, sejumlah figur yang mewarisi Idham’s legacy
sekarang ini, seperti Yusuf Hasyim, Slamet Efendi Yusuf, Chalid Mawardi, dkk,
kurang mendapat simpati di kalangan anak muda.
124
Pak Ud, “Wawancara”, Gatra, 21 januari 1995. hal.34.
Secara sederhana, Abdurrahman Wahid telah menjadi simbol bagi segala
jenis pembaharuan yang menaikkan kurs NU di mata publik, dari Ormas yang
dianggap mewakili tradisional yang terbelakang menjadi Ormas yang bisa
menolerensi pluralitas dan pembaharuan pemikiran. Ide-ide Islam kultural,
pribumisasi Islam, HAM dan demokrasi merupakan concern yang diperjuangkan
Abdurrahman Wahid selama menahkodai NU. NU tidak akan pernah hidup tanpa
demokrasi, kaidah agamanya. Jika harus ada NU syaratnya ada demokrasi.125
Sudah tentu pembaharuan yang dibawa Abdurrahman Wahid bukan tidak
merangsang berbagai polemik, bahkan juga fitnah. Dalam tubuh NU, manuver
pemikiran Abdurrahman Wahid juga menimbulkan banyak tanda tanya di
kalangan Kyai-kyai sepuh.
Di akhir periode kepemimpinannya, rupanya komitmen Abdurrahman
Wahid yang selalu melatarbelakangi gagasan-gagasan Islam inklusif dibuktikan
pula dengan hadirnya Partai Kebangkitan Bangsa, suatu partai yang terbuka yang
bisa menampung aspirasi segenap komponen bangsa tanpa membedakan agama,
suku, maupun golongan. Dengan komitmennya, wajar jika Abdurrahman Wahid
berkeinginan koalisi dengan Megawati Soekarno Putri yang dianggap sebagai
warga NU, yang bermaksud sebagai representasi nasionalis sekuler antara Gus
Dur dengan Megawati banyak titik temu, Gus Dur (baca:PKB) adalah religius
nasionalis, sementara Megawati (baca: PDI-P) nasionalis-religius.126
125
Dedy jamaluddin dan Idi Subandi Ibrahim, Zaman baru Islam Indonesia, (Bandung:
Zaman Wacana Mulia, 1998), hal.167.
126
Alexander Litay, “Kami Banyak Titik Temu Dengan PKB”, Republika, 3 Agustus
1998.
Itulah gambaran lebih kurang dalam kepemimpinan Abdurrahman Wahid
selama menahkodai NU, dan apabila era Abdurrahman Wahid dikaitkan dengan
concern Yusuf Hasyim untuk mereformasi internal NU dalam perspektif tradisi
dan kultur NU, maka ada korelasi terhadap keinginan-keinginan Yusuf Hasyim
tersebut. Korelasi yang terjadi melalui perseteruan Abdurrahman Wahid dan
Yusuf Hasyim berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: Pertama, Politisasi atas
NU periode Abdurrahman Wahid boleh dibilang hampir sama dengan periode
sebelumnya (Idham Chalid). Suatu ketika, Abdurrahman Wahid menyatakan
bahwa paska Khittah, NU akan meninggalkan politik praktis, seraya memasuki
daerah yang dia sebut sebagai unpolitical politic,127 suatu praktik politik di luar
panggung negara. Sedangkan langkah-langkah Abdurrahman Wahid selanjutnya
diperiode ketiga paska Muktamar Cipasung mengarah kepada hal-hal yang
bersifat politis. Abdurrahman Wahid terlihat lebih banyak terlibat dalam urusanurusan pragmatisme politik. Dengan kata lain, Abdurrahman Wahid lebih banyak
berhitung dengan ekternalitas variabel-variabel di luar wilayah garapan NU.
Padahal, status NU masih memegang konsep khittah 1926. Sebaliknya, rival
politik yang selama ini menginginkan NU yang dikenal dengan kelompok khittah
plus merasa dikecewakan oleh komitmen bersama melalui konsep khittah 1926
ini. Yusuf Hasyim misalnya, menyatakan bahwa keputusan Abdurrahman Wahid
yang mengakui PKB sebagai satu-satunya partai warga NU bisa diibaratkan air
susu di balas air tuba terhadap warga NU yang menjadi aktivis partai-partai lain.
127
M. Masyhur Amin, Dialog Pemikiran Islam dan Realitas Politik, (Yogyakarta:LKPSM,
1993), hal.151-152.
Lihat kenyataannya, Gus Dur berbicara masalah demokrasi dan transparansi,
tetapi nyata tidak demokratis,128 ujar Pak Ud.
Dari sini jelas, korelasi yang menjadi perbedaan Abdurrahman Wahid dan
Yusuf Hasyim adalah berkaitan dengan interpetasi khittah 1926. Dan ternyata
dengan multi interpretasi khittah ini, kedua-duanya berujung pada hal yang sama,
yakni mengebawahkan (sub ordination) NU kepada motif-motif yang asing
setelah organisasi ini kembali ke khittah 1926.
Menurut analisis penulis, perbedaan keduanya tentang interpretasi khittah
ini hanyalah sikap kewajaran di dalam melakukan politisasi atas NU. Tepatnya,
Abdurrahman Wahid melakukan politisasi atas NU atau setidaknya memobilisasi
NU dengan cara-cara melakukan empowering society yang menjadi idaman
selama kepemimpinannya di NU. Sedangkan Yusuf Hasyim melakukan politisasi
NU agar memperoleh konstituan ormas atau dalam konteks vote getting.129
Mengacu pada komitmen NU dalam menerapkan diktum khittah 1926,
fenomena munculnya partai-partai di kalangan NU, seperti PKB, PKU, PNU,
menurut penulis membuktikan bahwa pengamalan warga NU (dalam konteks ini
Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim) masih terasa setengah hati. Hal ini
sesuai dengan analisis Machrus Irsyam yang menyatakan bahwa kembalinya NU
ke Khittah 1926 dalam perkembangan pelaksaannya masih mencemaskan, karena
perilaku beberapa elit NU, seperti manuver Abdurrahman Wahid seringkali tidak
dapat menempatkan diri sebagai ketua PBNU dan sekaligus aktifis partai.130 Hal
128
Yusuf Hasyim, “Wawancara”, Sabili No.4 tahun VI, 2 September 1998,hal.59.
Ummu Risalah, “Cara Pak Ud memprotes manajer kesebelasan yang tidak kompak”,
Aula, Agustus 1988, hal.15.
130
Machrus Irsyam, “NU Pasca Pemilu”, Kompas, 25 Agustus 1998.
129
senada juga diungkapkan seorang penggagas konsep khittah 1926, KH.A. Muchid
Muzadi, beliau menilai bahwa sosialisasi khittah 1926 di kalangan NU belum
dilakukan secara serius, terarah dan terkordinir. Dan inilah yang menanggapi kuat
indikasi penafsiran beragam di kalangan elit NU.131 Kedua, concern Yusuf
Hasyim untuk mereformasi internal NU, menurut penulis adalah berkaitan dengan
kuatnya Abdurrahman Wahid atau lebih tepatnya, terlalu intensifnya pengaruh
kharismatik Abdurrahman Wahid. Salah satu dampak detrimental pengaruh itu
adalah rusaknya mekanisme keorganisasian dalam tubuh PBNU. Jika ini dibaca
dalam kerangka gagasan Max Weber tentang Rutinitas Kharisma maka dapat
dikatakan bahwa, karena kharisma Abdurrahman Wahid tidak dapat di mapankan
(institutionalized) secara rutin dalam sebuah mekanisme kelembagaan yang
permanen, maka kharisma dari Abdurrahman Wahid itu akan merusak hubunganhubungan kelembagaan yang telah disepakati bersama dalam Muktamar. Dalam
hal ini misalnya, kedudukan lembaga syuriah yang Qua Defines mestinya berada
di atas dan mengendalikan Tanfidziyah, dalam prakteknya malah justru terbalik.
Begitu juga yang menyangkut proses-proses yang menyangkut pembuatan
kebijakan, hampir bisa dikatakan sepenuhnya pada sosok Abdurrahman Wahid.
Rumor yang beredar luas di kalangan kaum nahdiliyyin bahwa
Abdurrahman Wahid waliyullah, merupakan hal yang menambah jarak antara
Abdurrahman Wahid dan para Kyai semakin melebar sehingga sulit dikontrol.
Menanggapi pengaruh kharisma Abdurrahman Wahid, Fachri Aly menyatakan
bahwa faktor “darah biru” Abdurrahman Wahid telah menyebabkan warga NU
131
Kh. Muchid Muzadi, “Menguji Komitmen 15 tahun Khittah 1926”, Harian Duta, 2
Agustus 1999.
mempunyai rasa ewuh pakewuh untuk melancarkan kritik secara terbuka
terhadapnya. Abdurrahman Wahid dalam perspektif kultural warganya menurut
Fachri melalui pengaruh kharismanya berada dalam wilayah The Sacred
Territory. Sebagai bagian dari The Sacred Territory ini Abdurrahman Wahid
melancarkan gagasannya dan membuka apa yang disebut Peter L. Berger sebagai
The Liberated Territory With Respect to Religion, atau wilayah sekuler dalam
perspektif harfiah kultur umatnya dan sekaligus tampil sebagai mediator besar,
sebagai jembatan impersonal. Bahkan tidak berhenti sampai disini saja, yakni
sebagai jendela melalui nama nahdliyin untuk melihat dunia luar. Namun lanjut
Fachri pada akhirnya Abdurrahman Wahid secara tak langsung menjadi agen
pensucian baik terhadap perubahan-perubahan duniawiyah di sekitarnya, maupun
terhadap tindakan-tindakannya dalam The Liberated Territory itu sendiri.132
Peran-peran inilah, menurut Fachri yang melontarkan Abdurrahman Wahid
sebagai pemimpin nasional.
Mistifikasi terhadap diri Abdurrahman Wahid di atas, tidak saja datang dari
dalam NU sendiri, tetapi lebih banyak justru datang dari luar. Dengan gagasangagasan yang tidak bisa dipungkiri lagi, memang ada di sekitar pluralisme agama,
hubungan agama dan ideologi negara serta demokrasi. Abdurrahman Wahid telah
menempatkan diri sebagai seorang tokoh yang tidak bisa diabaikan dalam
kontribusi ide-ide baik tingkat nasional maupun internasional. Di sektor politik,
dia juga telah menjadi tumpuan publik yang memimpin adanya reformasi politik.
132
“Analisis Fachry Ali”, Gatra, 26 November 1994, hal.19.
Keberaniannya merangkul Megawati telah menerbitkan terjadinya koalisi politik
antara kekuatan sekuler dan agama.
Karena mistifikasi semacam ini, diikuti kultur NU yang begitu
menghormati Kyai sepuh, Abdurrahman Wahid akhirnya tampil sebagai single
player di NU dan meninggalkan teman-teman yang lain. Suasana kolegalitas yang
dahulu pada saat menjelang atau sesudah Muktamar ke-27 di Situbondo tahun
1984, menyemangati The Winning Team yang mengsukseskan konsepsi khittah
1926 yang hampir punah. Dengan kekuatan kharisma Abdurrahman Wahid, ia
berhasil tampil sebagai seorang "Gus" dalam pengertian komunitas pesantren,
seorang putra Kyai yang harus dilayani dan harus diikuti dan didengarkan. Tak
heran, akibat kelebihan-kelebihan Abdurrahman Wahid itu pula, akhirnya dia
menjadi One Man Show,133 terlihat selalu menimbang-nimbang posenya di
hadapan publik.
Fenomena kekuatan kharismatik Abdurrahman Wahid di atas rupanya
menjadi perhatian sekaligus kegalauan Yusuf Hasyim. Tampak sekali setelah
pengunduran diri Yusuf Hasyim dari mutasyar PBNU, dia rajin mengevaluasi
sepak terjang Abdurrahman Wahid. Menurutnya, ada beberapa hal yang sangat
merugikan NU, dalam hal ini di contohkan :
Contoh kecil soal Rois Aam KH Ilyas Ruchyat.Beliau ngomong ke saya
pernah dimarahi, Gus Dur gara-gara membuat statemen yang bernada
ukhuwah Islamiyah tentang Bosnia, Statemen tersebut disahkan oleh NU,
Muhammadiyah dan Dewan Dakwah. Eh, Gus Dur tidak setuju dan
memarahi KH. Ilyas. Saya berpikir, Kyai Ilyas itukan Rois Aam yang dalam
NU kedudukannya paling tinggi, kok diperlakukan seperti itu.134
133
134
KH. Agoes Aly Mansyhuri, “NU Jaya, NU Ketawa”, Jawa Pos, 24 November 1999.
KH. Yusuf Hasyim, “Romantsime PKB”, Republika, 10 Agustus 1998.
Berkenaan dengan mistifikasi terhadap Abdurrahman Wahid, ataupun
gagasan-gagasan “gila” yang oleh banyak orang, khususnya nahdliyin selalu
mengamini tanpa adanya reserve, menjadi sorotan suatu kekhawatiran Yusuf
Hasyim, karena akan berujung pada pengkultusan individu sehingga memicu
timbulnya “ideologi Gus Durianisme”.135 Yusuf Hasyim menyadari bahwa
pemikiran Abdurrahman Wahid yang membangsa visioner belum sepenuhnya
tersosialisasi di lapisan bawah NU,136 komentar Yusuf Hasyim:
Bagi warga NU terutama yang tingkat fanatisme dan patronasenya tinggi,
menganggap bahwa Gus Dur adalah Wali Allah yang waskito. Orang lain
boleh saja tak menerima ucapan dan tindakannya. Tapi buat mereka, Gus
Dur mustahil keliru. Mungkin ini dapat dimaklumi bila yang mengucapkan
adalah warga NU di pelosok desa yang tingkat pendidikannya sederhana.
Padahal cukup banyak kekeliruan Gus Dur yang sudah terekspos secara luas
... meski demikian, warga NU tetap yakin. Bila perlu, kekeliruan Gus Dur
harus ditakwilkan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah kebenaran.
Bagi mereka Gus Dur bak Nabi Khidzir dan kita adalah Nabi Musa.
Anehnya fenomena ini tak cuma menghinggapi konstituen tradisional NU,
melainkan juga sejumlah intelektual lokal serta bule yang akrab dengan Gus
Dur. Pandangan seperti ini tak pernah terjadi sebelum Gus Dur, tentu bisa
menghambat sikap kritis ... lebih dari itu dapat menyemaikan kultus
individu.137
Bila ketegangan antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim dilihat dari
latar belakang penyebabnya, maka dekripsi di atas menunjukkan keterkaitan fakta
penyebab yang satu dengan yang lainnya. ada faktor internal dan faktor eksternal
yang saling berinteraksi, yaitu ; Pemikiran reformis dari Abdurrahman Wahid,
Pemikiran dan tindakan Abdurrahman Wahid cederung merelatifkan peran
lembaga syuriah, merelatifkan peran-peran tokoh sepuh sebelum kepemimpinan
dan pemikiran Gus Dur dianggap menyimpang dari tradisi NU selama ini. Adanya
135
“Surat Pembaca”, Aula no. 03 Tahun XX, Maret 1998, hal.4.
KH. Yusuf Hasyim, “Romantsime PKB”, Republika, 10 Agustus 1998.
137
KH. Yusuf Hasyim, “Kepemimpinan Gus Dur dan Pesantren”, Gatra, 12 Agustus 2000,
136
hal.22.
kepemimpinan Abdurrahman Wahid yang mencoba mengembangkan pemikiran
anti tesis dari kecenderungan “negara kuat” serta kecenderungan terbangunnya
patronase politik antara tokoh-tokoh NU di kalangan birokrat.
Walaupun demikian bila dicermati latar belakang perbedaan Abdurrahman
Wahid dan Yusuf Hasyim secara seksama, menurut hemat penulis, maka kekuatan
penuh adalah yang disebut pertama, yakni pemikiran-pemikiran reformis
Abdurrahman Wahid. Perbedaan prinsipal antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf
Hasyim yaitu bahwa Abdurrahman Wahid menunjukkan jati dirinya yang ingin
melakukan perubahan-perubahan dalam internal NU maupun eksternal NU. Atau
tepatnya pemikiran dan tindakan Abdurrahman Wahid cenderung menentang
kemapanan. Sementara Yusuf Hasyim melihat kecenderungan itu dianggap akan
merusak tatanan kemapanan NU yang selanjutnya akan merusak NU.
Berangkat dari sinilah, wajar jika selama ini Yusuf Hasyim selalu
menggugat kemapanan Abdurrahman Wahid. meskipun terlihat bertolak belakang
terhadap Abdurrahman Wahid, nampaknya hal ini dilakukan Yusuf Hasyim untuk
menghapus barrier bagi nahdliyin agar memiliki keberanian menghadapi
kekuatan Abdurrahman Wahid. Pada akhirnya tak berlebihan apa yang dikatakan
Samsuddin Haris bahwa Yusuf Hasyim adalah sosok nurani kaum nahdliyin
melainkan juga sosok penafsir realitas eksternal bagi NU dan jamiyahnya.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penulisan skripsi ini sesungguhnya masih terlalu sederhana dan belum bisa
dikatakan memadai untuk sebuah kajian atau analisis tentang latar belakang
kritisme Yusuf Hasyim terhadap kepemimpinan Abdurrahman Wahid, baik dari
segi varian maupun karakteristiknya. Apalagi kalau penulisan ini menyertakan
pendekatan historis sosiologis yang secara praktis membutuhkan banyak
pemikiran untuk merumuskan agar tercapai suatu akurasi dan konsistensi
penulisan yang bisa diterima. Meski demikian, penulisan ini mungkin akan tetap
berguna setidaknya bagi penulis lain yang ingin mendapatkan beberapa informasi
seputar polemik antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim berkenaan dengan
NU.
Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim secara
geneologis adalah keturunan darah biru Founding Father NU, yang tentu punya
tanggung jawab yang sama besar untuk mengembangkan NU ke arah cita-citanya,
yakni mampu menjawab tantangan perubahan sosial sekaligus mewariskan nilainilai keislaman berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah untuk meningkatkan kualitas
spiritual dan menjaga moralitas bangsa.
Baik Abdurrahman Wahid maupun Yusuf Hasyim akhirnya tampil
merumuskan pemikiran dan strateginya dengan mengambil segi positif perjalanan
serta kiprah NU sebelumnya. Pemikiran politik serta strategi keduanya merupakan
sintesis dari pergumulan serta kiprah individu masing-masing, baik melalui
organisasi NU maupun dunia luar NU. Sehingga, merupakan kenyataan yang
wajar jika Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim memberikan pemikiran yang
berbeda terhadap cara untuk mewujudkan cita-cita perjuangan NU.
Dalam hal ini, paradigma pemikiran Abdurrahman Wahid dan Yusuf
Hasyim untuk mewujudkan gagasan, strateginya berbeda, Abdurrahman Wahid
lebih mendasarkan pada paradigma, dalam istilah Abdurrahman Wahid
“Berangkat dari agama untuk menyelesaikan masalah bangsa”, dimana
Abdurrahman Wahid ingin mengintegrasikan kegiatan Islam dalam kegiatan
bangsa. Secara keseluruhan tanpa menampakkan bentuk-bentuk simbol formal
keagamaan atau yang bersifat Islam eksklusif.
Sebaliknya, Yusuf Hasyim mendasarkan pemikiran dan strateginya pada
pijakan paradigma “ berangkat dengan agama untuk menyelesaikan masalah
bangsa “. Hal ini terlihat jelas kecenderungan Yusuf Hasyim untuk memformilkan
Islam dalam kehidupan negara misalnya melalui simbol-simbol serta idiom
keislaman yang semuanya lebih mengarah pada eksklusifisme Islam.
Perbedaan paradigma keduanya ini dalam konteks tertentu mempunyai
implikasi yang berbeda, khususnya dalam merumuskan hubungan Islam (syariah)
dan negara. Meskipun keduanya menolak syariah dijadikan konstitusi negara
secara absolut, tetapi lebih menerima dan berhasrat mengislamkan kehidupan
bernegara tanpa harus, menimbulkan masalah. Yusuf Hasyim membela Negara
Demokrasi untuk melindungi syariah dari penyelewengan atau distorsi, Sedang
Abdurrahman Wahid mendukung Negara Demokrasi justru lebih sebagai
keharusan untuk melindungi plurarisme masyarakat bangsa.
Ada beberapa kemungkinan sikap Yusuf Hasyim yang secara faktual terlihat
eksklusif dan bersebrangan dengan Abdurrahman Wahid. Pertama, penggunaan
formalisasi Islam melalui idiom-idiom Islam, isu-isu sekuleris yang ditujukan
pada Abdurrahman Wahid merupakan strategi perjuangan untuk menggoyahkan
Abdurrahman Wahid dan PKB.
Kedua, merupakan puncak rivalitas antara Yusuf Hasyim dengan
Abdurrahman Wahid. Selama ini melihat perilaku pemikiran sekuler serta sikap
Abdurrahman Wahid yang dianggap menyeleweng dari tradisi NU.
B. SARAN-SARAN
Kepada para akademisi hendaknya dapat mendorong munculnya kelompokkelompok diskusi. Kelompok ini diharapkan tidak hanya dapat mengiyakan
pandangan-pandangan elit NU, tetapi juga mampu melahirkan orang-orang yang
mampu mengkritik pandangan-pandangannya termasuk pandangan Abdurrahman
Wahid. Mengingat figur Abdurrahman Wahid yang begitu kuat terkadang
melahirkan fanatisme yang berlebihan
Download