PENDAHULUAN Latar Belakang Ketercukupan dalam memenuhi kebutuhan pangan khususnya protein hewani pertanian selama ini, selain komoditas ternak unggulan (ayam, sapi, kambing, domba), beberapa komoditas "minor animals/livestock" perlu mendapat perhatian (Bahri et al. 2004). Pengembangan komoditas baru tentu harus disesuaikan faktor-faktor fisiologi, biofisik dan sosial ekonomi yang merupakan sumber keunggulan wilayah (Simatupang et al. 2004). Rusa merupakan salah satu alternatif sebagai hewan yang mempunyai potensi untuk ditingkatkan statusnya mengingat ketersediaannya yang meluas hampir di setiap pulau di Indonesia. Keunggulan rusa, venison (dagingnya) mempunyai kandungan lemak rendah dan hasil ikutannya mempunyai nilai ekonomis tinggi antara lain kulit, ranggah, velvet, tulang, darah, kulit dan gigi. Bahkan by product dari rusa (penis, otot kaki belakang, ekor, fetus yang telah mati) tetap mempunyai nilai tinggi untuk pengobatan China. Rusa menghasilkan daging (venison) dan sumber protein yang sangat baik. Proporsi berat karkas dan berat hidup (dreesing percentage) rusa mencapai 56 – 58% dibandingkan sapi (51 – 55% dan domba (44 – 50%). Perbedaan nilai nutrisi daging rusa dengan beberapa jenis ternak lain menurut Naipospos (2003) yaitu rusa (protein; 32 g, kalori; 159 kkal, lemak; 3,30 g, kolestrol; 66 mg), sapi potong (protein; 31 g, kalori; 214 kkal, lemak; 9,76 g, kolestrol; 92 mg), babi (protein; 29 g, kalori; 219 kkal, lemak; 10,64 g, kolestrol; 101 mg), domba (protein; 25 g, kalori; 178 kkal, lemak; 7,26 g, kolestrol; 83 mg), Universitas Sumatera Utara ayam (protein; 31 g, kalori; 159 kkal, lemak; 3,42 g, kolestrol; 83 mg), kalkun (protein; 29 g, kalori; 154 kkal, lemak; 3,45 g, kolestrol; 68 mg). Mengingat potensinya, maka upaya peningkatan populasi rusa didukung sepenuhnya oleh Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan agar pengembangan rusa dapat semakin memasyarakat. SK Menteri Pertanian No. 362/KPTS/TN/12/V/1990, menyatakan bahwa rusa masuk dalam kelompok ternak yang dapat dibudidayakan seperti ternak lainnya dan termasuk pula didalamnya mengatur tentang peraturan izin usaha. Peraturan Pemerintah RI No 8 Tahun 1999 tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar khususnya pasal 11 telah memberikan peluang bahwa generasi ke dua (F2) hasil penangkaran sudah merupakan ternak budidaya (Jacoeb dan Wiryosuhanto, 1994). SK Menteri pertanian No. 404/KPTS/OT.210/6/2002 tentang Pedoman Perizinan dan Pendaftaran Usaha Peternakan: rusa dimasukkan sebagai salah satu jenis hewan yang dapat dibudidayakan dan dikembangbiakkan sebagai ternak, untuk mendukung otonomi daerah maka dalam pengembangan budidaya rusa kewenangan pemberian izin dan pengawasan dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah melalui BKSDA (Badan Konservasi dan Sumber Daya Alam) setempat. Pemanfaatan pada generasi ke dua (F2 atau G2) membutuhkan pencatatan yang mampu menerangkan silsilah, struktur dalam populasi dan jumlahnya serta asal muasal ternak rusa di suatu penangkaran. Data-data seperti bobot badan, ukuran dimensi tubuh dan reproduksi sangat dibutuhkan untuk memprediksi potensi produksi dan peluang peningkatan produktivitas melalui teknologi pemuliabiakan. Melalui penomoran dan pencatatan yang teratur yang dilakukan pada setiap rusa, dapat diperoleh proyeksi produksi ternak dari suatu populasi dan Universitas Sumatera Utara dapat mengatur ketersediaan rusa bagi pemenuhan produksi daging, ranggah, dan kulit. Upaya pengembangbiakan rusa diluar habitatnya membutuhkan kajian yang mendalam agar secara alamiah tidak mengganggu kemampuan reproduksinya. Untuk tujuan peningkatan rusa dapat dipercepat dengan memanfaatkan teknologi dan manajemen reproduksi. Dengan melibatkan teknologi reproduksi maka selain tujuan peternakan tercapai juga sebagai upaya konservasi plasma nuftah untuk mencegah kepunahan. Penerapan teknologi reproduksi memerlukan informasi mengenai sifat-sifat fisiologis dan pola reproduksi alamiah yang akurat. Untuk spesies rusa tropis, informasi pada kondisi alamiahnya tersebut belum diperoleh. Laju peningkatan populasi di habitat penangkaran tanpa introduksi teknologi reproduksi masih kurang memuaskan. Disisi lain untuk penerapan teknologi reproduksi diperlukan data-data dasar sifat-sifat fisiologis dan pola reproduksi pada rusa sambar didaerah tropis belum tersedia. Data yang ada masih diadopsi dari negara-negara empat musim yang secara fisiologi mempunyai perbedaan terhadap respon panjang hari dan pemunculan aktivitas reproduksinya. Oleh karena informasi mengenai pola reproduksi sangat diperlukan sebelum diterapkan teknologi reproduksi pada ternak rusa. Tujuan Penelitian Menguji perbedaan pola perkawinan rusa sambar (Cervus unicolor) dengan berbagai ratio betina. Universitas Sumatera Utara Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi peneliti, masyarakat dan kalangan akademik tentang pola perkawinan dengan berbagai ratio betina pada rusa Sambar (Cervus unicolor) sebagai komoditas ternak baru yang cukup berpotensi. Hasil penelitian nantinya diharapkan dapat digunakan sebagai rujukan dalam pengembangan peternakan rusa, serta dapat digunakan sebagai bahan penulisan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Universitas Sumatera Utara