VII. DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PRODUKTIVITAS KENTANG PADA SENTRA-SENTRA PRODUKSI DI INDONESIA5 1 ABSTRAK Prediksi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas kentang pada sentrasentra produksi kentang di Indonesia (Minahasa, Alahan Panjang, Pangalengan, Wonosobo, Pasuruan, dan Deli Serdang) dilakukan menggunakan model simulasi tanaman kentang yang telah disusun dan divalidasi. Prediksi dilakukan menggunakan skenario peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan berdasarkan proyeksi perubahan iklim di Indonesia pada masa yang akan datang (SRESA1). Skenario yang digunakan yaitu : 1) skenario I (tahun 2020): suhu udara naik 1 °C dan curah hujan turun 5%, 2) skenario II (tahun 2050) : suhu naik 1,8 °C, curah hujan turun 10% dan, 3) skenario III (tahun 2080): suhu naik 2,3 °C, curah hujan turun 15%. Hasil simulasi menunjukkan peningkatan suhu udara sebesar 1,0 °C, 1,8 °C, dan 2,3 °C dibanding kondisi cuaca saat ini mengakibatkan jumlah hari dari masing-masing fase perkembangan tanaman kentang pada enam sentra produksi kentang semakin pendek, sehingga umur tanaman menjadi lebih singkat. Umur tanaman yang lebih singkat dan penurunan curah hujan sebesar 5%, 10%, dan 15% dapat menurunkan pertumbuhan dan hasil tanaman kentang. Prediksi penurunan hasil pada keenam sentra produksi kentang ini untuk skenario I, II dan III berkisar masing-masing 13% – 31%, 25% – 47% dan 37% – 63%. Pangalengan diprediksi akan mengalami penurunan hasil terbesar pada ketiga skenario perubahan iklim. Simulasi pengaruh waktu tanam terhadap umur dan hasil kentang pada sentra-sentra produksi kentang di Indonesia menunjukkan produktivitas maksimum dapat dicapai pada waktu tanam yang berbeda-beda. Prediksi model simulasi kentang varietas Atlantis vs Granola menunjukkan produktivitas yang diperoleh varietas Atlantis sebesar 25 ton ha-1 (RUE = 1,79 g MJ-1), sedangkan Granola sebesar 16 ton ha-1 (RUE = 1,12 g MJ-1). Opsi adaptasi perubahan iklim berdasarkan hasil simulasi model untuk peningkatan hasil tanaman kentang pada sentra-sentra produksi dapat dilakukan melalui : penentuan waktu tanam yang tepat, memilih varietas kentang unggul yang memiliki nilai RUE tinggi, dan memilih varietas kentang yang lebih toleran terhadap suhu tinggi. Kata kunci: Kentang, perubahan iklim, suhu, curah hujan ABSTRACT Prediction of climate change impact on potato productivity from saveral production centers in Indonesia (Minahasa, Alahan Panjang, Pangalengan, Wonosobo, Pasuruan, dan Deli Serdang) was performed using a crop simulation model that had already been developed and validated. Prediction was done using scenarios of increasing temperature and decreasing rainfall based on climate change projection in Indonesia for the future (SRES A1). The scenario was: 1) scenario I (year of 2020): air temperature rises by 1 ° C and rainfall reduces by 5 Paper telah dikirim pada Jurnal Tanah Tropika (JTT) Universitas Lampung. Judul : Prediksi Dampak perubahan Iklim terhadap Produktivitas Kentang pada Sentra-sentra Produksi di Indonesia. 2012. Salwati, Handoko, Las I, Hidayati R. 107 108 5%, 2) scenario II (year 2050): air temperature rises by 1,8 °C and rainfall decreases by 10% and, 3) scenario III (2080): the temperature rises by 2,3 °C and rainfall reduces by 15%. The results showed that increase in air temperature by 1,0 °C, 1,8 °C, and 2,3 °C compared to current weather conditions, resulted a shorter duration of each developmental phase in six potato production centers. The shorter duration and decreased rainfall by 5%, 10%, and 15% can reduce potato growth and yield. Predicted potato yields in the six potato production centers for scenarios I, II and III were in the range of 13% – 31%, 25% – 47% and 37% – 63%, respectively. Potato production center in Pangalengan was predicted to experience the biggest decline in yield for all scenarios. Simulation of the effect of planting time to crop age and yield in the Indonesia’s potato production centers showed the highest potato yield was achieved at different planting times. Predicted yield of Atlantic variety was 25 ton ha-1 (RUE = 1,79 g MJ-1) whereas Granola variety only 16 ton ha-1 (RUE = 1,12 g MJ-1). Climate change adaptation options based on model application to increase potato yield in all production centers are: optimal planting time, use of superior potato varieties that have higher value of RUE, and select application of suitable potato varieties that are more tolerant to high temperatures. Key words: Potato, climate change, scenarios, productivity 7.1. Pendahuluan Pemanasan global yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK), terutama sejak revolusi industri telah menyebabkan perubahan iklim. Pemanasan global berdampak pada perilaku iklim seperti perubahan curah hujan dan jumlah radiasi surya yang diterima oleh tanaman serta peningkatan suhu udara akan berdampak besar terhadap pertanian, seperti perubahan tindakan agronomis, pola tanam, lama musim pertumbuhan dan hasil (Holden dan Breneton 2006). Gregory et al. (2008) memperkirakan akan terjadi peningkatan suhu udara rata-rata berkisar antara 1,0 – 1,4 oC, selama 30 – 40 tahun. Pemanasan global dalam kurun waktu 50 tahun dapat menyebabkan kenaikan suhu udara sebesar 2 °C (Singh dan Lal 2010). Perubahan iklim diindikasikan oleh adanya variabilitas iklim khususnya peningkatan suhu udara dan perubahan pola curah hujan yang terjadi secara terus menerus dalam jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun (Kementerian Lingkungan Hidup 2004). Perubahan iklim sangat berpengaruh terhadap sektor pertanian, yang dapat mengakibatkan penurunan produktivitas tanaman (Holden dan Breneton 2006; Prihantoro 2008). 109 Perubahan suhu udara dan curah hujan, yang erat kaitannya dengan proses fisiologi tanaman seperti fotosintesis, laju pertumbuhan tanaman, serta keseimbangan kandungan air dan nutrisi hara (Meza et al. 2008). Hal ini sejalan dengan pendapat Las et al. (2008) yang menyatakan bahwa tiga faktor utama terkait dengan perubahan iklim global yang akan berdampak terhadap sektor pertanian adalah: (1) perubahan pola hujan dan iklim ekstrim (banjir dan kekeringan), (2) peningkatan suhu udara, dan (3) peningkatan muka air laut. Salah satu dampak perubahan iklim adalah awal musim hujan yang mundur dan periode musim kemarau yang makin panjang. Perubahan pola hujan sudah terjadi pada beberapa wilayah di Indonesia sejak beberapa dekade terakhir, seperti awal musim hujan yang mundur pada beberapa lokasi tetapi lebih cepat pada lokasi lain (Apriyana 2011). Pergeseran pola hujan sangat mempengaruhi sumberdaya dan infrastruktur pertanian, pergeseran waktu taman, musim dan pola tanam, serta degradasi lahan. Model simulasi tanaman yang dihubungkan dengan faktor iklim telah diaplikasikan pada berbagai aspek di penjuru dunia termasuk untuk memprediksi dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian. Teknologi model simulasi tersebut semakin berkembang dengan pesat selama satu dasawarsa ini (Ying dan Stuik 2010). Model simulasi tanaman merupakan alat analisis kuantitatif dalam upaya untuk menjelaskan permasalahan secara integral dalam bidang pertanian. Poluektov dan Topaj (2001) menyatakan bahwa teknologi pemodelan yang mensimulasikan perkembangan dan pertumbuhan untuk prediksi hasil tanaman dalam hubungannya dengan iklim dapat dimanfaatkan dan dikembangkan lebih lanjut. Perkembangan model simulasi tanaman semakin disadari pentingnya untuk berbagai tujuan, analisis sistem untuk pendekatan suatu masalah secara integral dan terutama sekali untuk antisipasi dampak perubahan iklim. Penelitian terpadu yang melibatkan berbagai disiplin ilmu tanah, agronomi, serta agrometeorologi akan mendukung perkembangan model menjadi lebih efisien dan lebih jelas arah dan sasarannya. Menurut Bey et al. (1991) melalui pendekatan model simulasi tanaman, akan dapat dianalisis dan dipadukan berbagai faktor atau skenario untuk 110 menghasilkan suatu kesimpulan akhir dengan berbagai kemungkinan dalam membuat suatu keputusan. Model simulasi tanaman telah digunakan sebagai alat bantu untuk melakukan prediksi dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian sehingga opsi-opsi adaptasi dapat ditentukan. Model simulasi tanaman kentang yang telah disusun dalam penelitian ini digunakan untuk memprediksi dampak dari perubahan iklim tersebut terhadap produktivitas kentang pada sentra-sentra produksi di Indonesia. Hasil simulasi dampak perubahan iklim terhadap produksi tanaman ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar perencanaan di wilayah pengembangan baik skala nasional, regional bahkan lebih luas (Travasso dan Delecolle 1995; Supit 1997) untuk melakukan adaptasi perubahan iklim. Tanaman kentang merupakan salah satu tanaman yang diperkirakan akan sangat terpengaruh oleh perubahan iklim. 7.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap produktivitas kentang pada sentra-sentra produksi kentang di Indonesia untuk membantu pemilihan opsi-opsi adaptasi dampak perubahan iklim. 7.3. Metodologi 7.3.1. Metode Prediksi Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Kentang di Indonesia Metode yang digunakan untuk memprediksi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas kentang di Indonesia yaitu berdasarkan simulasi menggunakan model simulasi tanaman kentang yang telah disusun dan divalidasi dalam penelitian ini (Bab VI). Model terdiri dari tiga submodel yaitu (1) perkembangan tanaman, (2) pertumbuhan tanaman, dan (3) neraca air lahan, dengan memasukkan parameter tanah dan tanaman serta unsur-unsur cuaca harian yang terdiri dari suhu dan kelembaban udara, radiasi surya, curah hujan dan kecepatan angin. Hasil simulasi akan menunjukkan perbedaan produktivitas kentang pada enam sentra produksi di Indonesia kondisi cuaca saat ini dengan masa mendatang 111 berdasarkan skenario perubahan iklim. Sentra-sentra produksi tersebut adalah : Minahasa (Sulawesi Utara), Alahan Panjang (Sumatera Barat), Pangalengan (Jawa Barat), Pasuruan (Jawa timur), Wonosobo (Jawa Tengah), dan Deli Serdang (Sumatera Utara). Iklim pada masing-masing sentra produksi ini diasumsikan berubah sesuai skenario emisi SRES A1 (IPCC 2007). Dalam hal ini, diasumsikan bahwa unsur-unsur iklim yang berubah hanya suhu udara dan curah hujan sedangkan unsur-unsur iklim lainnya sebagai masukan model (radiasi surya, kelembaban udara dan kecepatan angin) tetap. Asumsi ini merupakan salah satu keterbatasan prediksi dampak perubahan iklim, akibat keterbatasan tingkat pengetahuan dalam memprediksi perubahan unsur-unsur iklim masa depan secara lebih rinci sesuai kebutuhan model. Pada kondisi cuaca saat ini (present condition), model dijalankan menggunakan data yang diperoleh dari stasiun-stasiun klimatologi pada masingmasing sentra produksi. Perubahan iklim berdasarkan skenario SRES/Special Report on Emissions Scenarios (SRES A1) digunakan untuk menduga kenaikan suhu udara dan perubahan curah hujan pada tahun 2020, 2050 dan 2080 pada sentra-sentra produksi kentang tersebut. Model kemudian dijalankan menggunakan unsur-unsur iklim yang telah berubah tersebut sebagai masukan model dan hasilnya dibandingkan dengan keluaran model pada kondisi cuaca saat ini. Perbedaan produksi tersebut merupakan prediksi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas kentang di Indonesia. 7.3.2. Skenario Perubahan Iklim di Indonesia Seperti disebut sebelumnya, skenario perubahan iklim pada sentra-sentra produksi kentang di Indonesia dibuat berdasarkan proyeksi suhu udara dan curah hujan untuk wilayah Indonesia berdasarkan skenario emisi SRESA1 untuk tahun 2020, 2050, dan 2080. Hasil proyeksi di Indonesia menunjukkan peningkatan suhu udara untuk tahun 2020, 2050, dan 2080 berturut-turut sebesar 1°C, 1,8 °C, dan 2,3 °C, sedangkan proyeksi curah hujan untuk tahun 2020, 2050, dan 2080 diperkirakan akan mengalami penurunan sampai 15% pada daerah Indonesia bagian Selatan dan pengalami peningkatan pada Indonesia bagian Utara (Hulme dan Sheard 1999). Kaimuddin (2000) menyatakan bahwa selain meningkatkan 112 suhu udara, perubahan iklim di Indonesia dalam periode 1931 – 1990 juga menyebabkan penurunan curah hujan. Pada kajian yang lain, Boer et al. (2007) dalam Ministry of Environment (2007) menyatakan bahwa dari 33 Stasiun Klimatologi di Indonesia mengindikasikan kenaikan suhu udara dalam periode tahun 1981 – 2002. Dengan demikian, kajian ini mengasumsikan peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia. Kajian ini menentukan peningkatan suhu udara sebesar : 1,0 °C, 1,8 °C, dan 2,3 °C, dan penurunan curah hujan sebesar : 5%, 10%, 15% masing-masing pada tahun 2020, 2050, dan 2080. Berdasarkan proyeksi perubahan iklim di Indonesia tersebut, maka skenario dibuat dengan mengkombinasikan peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan. Skenario tersebut adalah: skenario I : suhu udara naik 1,0 °C dan curah hujan turun 5% (tahun 2020), skenario II : suhu udara naik 1,8 °C dan curah hujan turun 10% (tahun 2050), dan skenario III : suhu udara naik 2,3 °C dan curah hujan turun 15% (tahun 2080). 7.3.3. Analisis Dampak Perubahan Iklim terhadap Produksi Kentang di Indonesia Analisis dilakukan dengan cara membandingkan hasil prediksi model berdasarkan skenario peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan dengan hasil keluaran model menggunakan peubah cuaca pada kondisi saat ini. Analisis dampak peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan terhadap produktivitas kentang atau peubah yang lain seperti umur tanaman pada masa yang akan datang dapat dilakukan secara kuantitatif menggunakan model tersebut. Analisis dampak perubahan iklim yang akan dilakukan terdiri dari : 1. Pengaruh peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan terhadap produktivitas (hasil umbi) tanaman kentang varietas Granola. 2. Pengaruh waktu tanam terhadap produktivitas dan umur tanaman kentang varietas Granola. 3. Pengaruh varietas tanaman kentang (Granola vs Atlantis). Analisis dilakukan dengan menjalankan model yang sudah disusun dan divalidasi. Analisis yang dilakukan tersebut akan digunakan untuk menentukan 113 pilihan opsi adaptasi terhadap perubahan iklim pada sentra-sentra produksi kentang di Indonesia. 7.4. Hasil dan Pembahasan 7.4.1. Dampak Peningkatan Suhu Udara dan Penurunan Curah Hujan terhadap Hasil Umbi Kentang Varietas Granola Dampak Peningkatan Suhu Udara Prediksi umur tanaman kentang pada masing-masing fase perkembangan tanaman varietas Granola di Minahasa, Alahan Panjang, Pangalengan, Wonosobo, Pasuruan, dan Deli Serdang pada kondisi cuaca saat ini (7 Agustus) dibandingkan dengan Skenario I, Skenario II, dan Skenario III ditujukkan pada Gambar 29. Gambar 29. (a) (b) (c) (d) (e) (f) Prediksi umur tanaman kentang (hari) pada kondisi cuaca saat ini dibandingkan skenario I, skenario II, dan skenario III, di Minahasa (a), Alahan Panjang (b), Pangalengan (c), Wonosobo (d). Pasuruan (e), dan Deli Serdang (f). 114 Gambar 29 menunjukkan peningkatan suhu udara sebesar 1,0 °C, 1,8 °C, dan 2,3 °C pada Skenario I, II, dan III dibanding kondisi cuaca saat ini mengakibatkan jumlah hari pada masing-masing fase perkembangan tanaman kentang di Minahasa, Alahan Panjang, Pangalengan, Wonosobo, Pasuruan, dan Deli Serdang semakin pendek, sehingga umur tanaman menjadi lebih singkat. Umur tanaman kentang yang lebih singkat karena suhu udara yang tinggi menyebabkan biomassa yang diakumulasi selama masa pertumbuhan menjadi berkurang. Pengurangan biomassa tanaman dan umbi selanjutnya akan menurunkan produktivitas tanaman kentang. Tabel 13 menunjukkan peningkatan suhu udara sebesar 1,0 °C, 1,8 °C, dan 2,3 °C pada Skenario I, II, dan III dibanding kondisi cuaca saat ini mengakibatkan penurunan produktivitas kentang. Tabel 13. Penurunan produktivitas kentang (ton ha-1) akibat peningkatan suhu udara pada enam sentra produksi kentang di Indonesia Suhu udara naik 1 °C Suhu udara naik 1,8 °C Suhu udara naik 2,3 °C Produktivitas saat ini (ton ha-1) Produktivitas (ton ha-1) Penurunan Produktivitas (%) Produktivitas (ton ha-1) Penurunan Produktivitas (%) Produktivitas (ton ha-1) Penurunan Produktivitas (%) Minahasa 15,1 12,5 17 10,7 29 8,6 43 A. Panjang 19,9 15,7 21 13,1 34 10,4 48 Pangalengan 15,1 10,8 28 8,8 41 6,4 57 Wonosobo 14,2 11,8 17 10,7 24 9,7 32 Pasuran 15.3 12,2 20 10,4 32 8,5 44 Deli Serdang 16,1 14,9 8 13,5 16 11,4 29 Daerah Hasil prediksi model menunjukkan peningkatan suhu udara 1,0 °C (tahun 2020), 1,8 °C (tahun 2050), dan 2,3 °C (tahun 2080) mengakibatkan penurunan produktivitas kentang pada keenam sentra produksi kentang masing-masing 8% – 28%, 16% – 41%, dan 29% – 57%. Pangalengan diprediksi mengalami penurunan produktivitas terbesar dibanding sentra produksi kentang yang lain, yaitu sebesar 28%, 41%, dan 57% pada skenario I, II, dan III. Sementara itu, Deli Serdang diprediksi mengalami penurunan produktivitas terkecil, yaitu sebesar 8%, 16%, dan 29% pada skenario I, II, dan III dibanding sentra produksi kentang yang lainnya. 115 Dampak Penurunan Curah Hujan Dalam model ini, pertumbuhan tanaman sangat dibatasi oleh jumlah air yang tersedia dalam tanah antara kapasitas lapang dan titik layu permanen. Peningkatan kandungan air tanah akan meningkatkan laju transpirasi yang merupakan indikator ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman. Kondisi ketersediaan air tersebut sangat ditentukan oleh jumlah curah hujan, sehingga penurunan curah hujan dapat mengurangi pertumbuhan dan hasil tanaman. Tabel 14 menunjukkan penurunan curah hujan sebesar 5%, 10%, dan 15% pada Skenario I, II, dan III dibanding kondisi cuaca saat ini mengakibatkan penurunan produktivitas kentang. Tabel 14. Penurunan produktivitas kentang (ton ha-1) akibat penurunan curah hujan pada enam sentra produksi kentang di Indonesia Curah hujan turun 5% Curah hujan turun 10% Curah hujan turun 15% Produktivitas saat ini (ton ha-1) Produktivitas (ton ha-1) Penurunan Produktivitas (%) Produktivitas (ton ha-1) Penurunan Produktivitas (%) Produktivitas (ton ha-1) Penurunan Produktivitas (%) Minahasa 15,1 14,2 6 13,3 12 12,5 17 A. Panjang 19,9 19,9 0 19,9 0 19,9 0 Pangalengan 15,1 14,6 2 14,6 4 13,9 8 Wonosobo 14,2 12,9 9 12,4 12 11,8 16 Pasuruan 15.3 13,5 12 11,9 22 10,6 31 Deli Serdang 16,1 15,7 3 15,0 7 14,4 11 Daerah Tabel 14 menunjukkan penurunan produktivitas kentang pada lima sentra produksi kentang masing-masing 2% – 12%, 4% – 27%, dan 8% – 31% akibat penurunan curah hujan sebesar 5% (skenario I), 10% (skenario II), dan 15% (skenario III). Persentase penurunan produktivitas terbesar terjadi di Pasuruan dan terkecil di Pangalengan. Penurunan curah hujan pada ketiga skenario di Alahan panjang tidak menyebabkan penurunan produktivitas. Hal ini disebabkan karena air tidak menjadi faktor pembatas, sehingga penurunan curah hujan tidak menyebabkan pengurangan biomassa selama masa pertumbuhan tanaman kentang. 116 Dampak Interaksi Peningkatan Suhu Udara dan Penurunan Curah Hujan Pada semua sentra produksi, biomassa umbi turun dengan kenaikan suhu udara dan penurunan curah hujan. Pengurangan biomassa umbi selama masa pertumbuhan pada kondisi cuaca saat ini (7 Agustus) dibandingkan dengan skenario I, II, III pada keenam sentra produksi ditunjukkan pada Gambar 30. (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 30. Biomassa umbi (berat basah) pada kondisi cuaca saat ini dibanding skenario I, II, dan III di Minahasa (a), Alahan Panjang (b), Pangalengan (c), Wonosobo (d), Pasuruan (e), dan Deli Serdang (f). Pengurangan biomassa umbi semakin besar pada peningkatan suhu udara yang makin tinggi atau penurunan curah hujan yang makin besar sesuai Skenario I, II dan III. Dari keenam sentra produksi tersebut, pengurangan terbesar terjadi di Pangalengan dan terkecil di Deli Serdang (Tabel 15). Laju pertumbuhan biomassa umbi kentang selama masa pertumbuhan tanaman yang berkurang akibat peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan pada keenam sentra produksi ini menyebabkan penurunan hasil umbi kentang pada saat panen. 117 Tabel 15. Penurunan produktivitas kentang (ton ha-1) akibat peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan pada sentra produksi kentang di Indonesia Produktivitas saat ini (ton ha-1) Skenario I (tahun 2020) Skenario II (tahun 2050) Skenario III (tahun 2080) Produktivitas (ton ha-1) Penurunan Produktivitas (%) Produktivitas (ton ha-1) Penurunan Produktivitas (%) Produktivitas (ton ha-1) Penurunan Produktivitas (%) Minahasa 15,1 11,6 23 9,8 35 7,7 49 A. Panjang 19,9 15,7 21 13,1 34 10,4 48 Pangalengan 15,1 10,8 28 8,2 47 5,5 63 Wonosobo 14,2 12,1 15 10,1 29 8,5 40 Pasuran 15.3 10,6 31 8,1 47 5,9 61 Deli Serdang 16,1 13,9 13 12,2 25 10,2 37 Daerah Tabel 15 menunjukkan produktivitas dan persentase penurunannya pada keenam sentra produksi akibat peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan pada ketiga skenario atau Tahun 2020, 2050 dan 2080. Hasil prediksi model menunjukkan bahwa peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan secara bersama-sama mengakibatkan perubahan periode masing-masing fase perkembangan tanaman, penurunan kadar air tanah, yang akhirnya mengakibatkan pengurangan pertumbuhan dan hasil tanaman kentang. Pengurangan pertumbuhan tanaman kentang akibat peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan ini sejalan dengan pendapat Easterling et al. (2007) yang menyatakan, bahwa produksi tanaman akan turun 5% – 8% karena dampak perubahan iklim akibat peningkatan suhu udara dan perubahan pola curah hujan. Pada penelitian ini (Tabel 15) prediksi penurunan produktivitas untuk Skenario I, II dan III berkisar masing-masing 13% – 31%, 25% – 47% dan 37% – 63%. Pangalengan diprediksi akan mengalami penurunan terbesar pada ketiga skenario perubahan iklim. Penurunan hasil pertanian dapat mencapai lebih dari 40% apabila suhu naik melebihi 4 oC (Tschirley 2007). Menggunakan model simulasi tanaman, John Sheehy (IRRI 2007) menyatakan kenaikan hasil tanaman padi akibat kenaikan konsentrasi CO 2 75 ppm adalah 0,5 ton ha-1 dan penurunan hasil akibat kenaikan suhu 1°C mencapai 0,6 ton ha-1. Menurut Peng et al. (2004) setiap kenaikan suhu minimum sebesar 1 °C dapat menurunkan hasil tanaman padi sebesar 10%. Pada penelitian ini (Tabel 13) peningkatan suhu rata-rata 1,0 °C, 1,8 °C, dan 2,3 °C dapat menurunkan hasil panen kentang di Pangalengan masing- 118 masing 28%, 41% dan 57% dengan asumsi curah hujan tetap. Penurunan curah hujan sebesar 5%, 10%, dan 15% dapat menurunkan hasil panen kentang di Pasuruan masing-masing 12%, 22%, dan 31% (Tabel 14). Jika suhu udara dan curah hujan berubah sesuai Skenario I, II dan III maka produktivitas kentang tersebut di Pangalengan turun menjadi 28%, 47%, dan 63% (Tabel 15) dan di Pasuruan 31%, 47%, dan 61% (tabel 15). 7.4.2. Pengaruh Waktu Tanam terhadap Hasil dan Umur Tanaman Kentang Analisis dampak perubahan iklim juga dilakukan dengan mensimulasikan waktu tanam terhadap umur dan produktivitas kentang. Analisis dilakukan dengan simulasi waktu tanam tiap 10 hari (dasarian) mulai 1 Januari sampai 31 Desember di Minahasa, Alahan Panjang, Pangalengan, Wonosobo, Pasuruan, dan Deli Serdang. Prediksi pengaruh waktu tanam terhadap umur tanaman dan produktivitas dianalisis pada keenam sentra produksi kentang tersebut (Gambar 31). Secara umum umur tanaman kentang yang panjang akan menghasilkan produktivitas tinggi dibandingkan umur tanaman yang pendek. Prediksi waktu tanam kentang (varietas Granola) saat ini di Minahasa (Gambar 31a) menunjukkan produktivitas maksimum 18 ton ha-1 dapat dicapai apabila kentang ditanam pada Juni I. Untuk mencapai produktivitas di atas 15 ton ha-1 penanaman kentang saat ini dapat dilakukan mulai dari Februari III sampai Juni III. Produktivitas di bawah 12 ton ha-1 didapatkan apabila kentang ditanam pada Juli III/III, sehingga pada waktu tanam ini tidak dianjurkan untuk menanam kentang. Sementara itu, produktivitas maksimum (21 ton ha-1 ) di Alahan Panjang (Gambar 31b) dapat dicapai pada waktu tanam September II sampai Desember III, sedangkan waktu tanam yang lain menghasilkan produktivitas di atas 15 ton ha-1. Prediksi waktu tanam di Pangalengan (Gambar 31c) menunjukkan produktivitas di atas 16 ton ha-1 diperoleh apabila kentang ditanam pada Januari I sampai Mei I dan Agustus II sampai Desember III. Produktivitas tertinggi di atas 20 ton ha-1 dapat dicapai pada waktu tanam Maret III dan April I. Produktivitas di atas 14 ton ha-1 di Wonosobo diperoleh pada waktu tanam Januari I sampai Maret II dan Oktober I sampai Desember III. Produktivitas tertinggi 16 ton ha-1 dapat 119 dicapai apabila kentang ditanam pada Oktober I sampai November II (Gambar 31d). (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 31. Pengaruh waktu tanam terhadap umur dan produktivitas kentang pada kondisi cuaca saat ini di Minahasa (a), Alahan Panjang (b), Pangalengan (c), Wonosobo (d), Pasuruan (e), dan Deli Serdang (f). [garis : umur tanaman, batang : produktivitas kentang]. Produktivitas di atas 14 ton ha-1 di Pasuruan dapat dicapai pada waktu tanam Januari I sampai Mei I dan September I sampai Desember III. Produktivitas terendah yaitu sekitar 9 ton ha-1 akan didapatkan apabila penanaman dilakukan pada Juli I sampai Agustus III, sehingga pada waktu tanam ini tidak dianjurkan untuk melalukan penanaman kentang di Pasuruan (Gambar 31e). Produktivitas di atas 15 ton ha-1 di Deli Serdang diperoleh pada waktu tanam 120 Januari I sampai Maret II dan Oktober I sampai Oktober III. Produktivitas terendah sampai 6 ton ha-1 didapatkan apabila penanaman dilakukan pada April I sampai Agustus III, sehinga tidak dianjurkan untuk menanam kentang pada waktu tanam ini di Deli Serdang (Gambar 31f). Dengan menjalankan model berdasarkan waktu tanam tiap dasarian dari Januari hingga Desember selama 1 tahun, diperoleh produktivitas tiap waktu tanam tersebut yang bervariasi dan waktu tanam optimal didefinisikan sebagai waktu tanam yang menghasilkan produktivitas tertinggi. Skenario peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan (Skenario I, II dan III) pada simulasi pengaruh waktu tanam juga dilakukan pada sentra produksi kentang. Pengaruh waktu tanam di Minahasa (Gambar 32), Alahan Panjang (Gambar 33), dan Deli Serdang (Gambar 34) menunjukkan peningkatan suhu udara yang makin tinggi sesuai Skenario I, II dan III dibanding kondisi cuaca saat ini menyebabkan umur tanaman semakin pendek dan produktivitas kentang semakin rendah. Penurunan curah hujan akan memperbesar penurunan produktivitas khususnya pada masa pertumbuhan tanaman yang terjadi selama musim kemarau. (a) (b) (c) (d) Gambar 32. Pengaruh waktu tanam terhadap umur dan produktivitas kentang di Minahasa, kondisi saat ini (a), skenario I (b), skenario II (c), dan skenario III (d) [garis: umur tanaman, batang: produktivitas kentang]. 121 (a) (b) (c) (d) Gambar 33. Pengaruh waktu tanam terhadap umur dan produktivitas kentang di Alahan Panjang, kondisi cuaca saat ini (a), skenario I (b), skenario II (c), dan skenario III (d) [garis : umur tanaman, batang : produktivitas kentang]. (a) (b) (c) (d) Gambar 34. Pengaruh waktu tanam terhadap umur dan produktivitas kentang di Deli Serdang, kondisi cuaca saat ini (a), skenario I (b), skenario II (c), dan skenario III (d) [garis : umur tanaman, batang : produktivitas kentang]. 122 Tabel 16 menunjukkan persentase produktivitas di waktu tanam optimal pada enam sentra produksi dan penurunan produktivitas akibat peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan skenario I (tahun 2020) skenario II (tahun 2050) dan skenario III (tahun 2080). Tabel 16. Penurunan produktivitas kentang pada waktu tanam optimal di enam sentra produksi kentang akibat peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan pada Tahun 2020, 2050 dan 2080 Daerah Waktu tanam optimal Produktivi tas saat ini (ton ha-1) Skenario I (tahun 2020) Produk tivitas (ton ha-1) 14 Produktivitas (ton.ha-1) Skenario II (tahun 2050) Penurunan Produktivi tas (%) 22 Produk tivitas (ton ha-1) 13 Penurunan Produktivi tas (%) 28 Skenario III (tahun 2080) Produk tivitas (ton ha-1) 10 Penurunan Produktivi tas (%) Minahasa Juni I 18 A. Panjang Desember II 21 16 24 13 38 11 48 Pangalengan Maret III 21 15 29 12 43 9 57 Wonosobo Oktober III 16 13 19 11 31 10 38 Pasuruan September I 18 16 11 14 22 13 28 D. Serdang Februari III 17 14 18 13 24 11 35 Tabel 16 menunjukkan bahwa dengan pengaturan waktu tanam pada kondisi cuaca saat ini dapat meningkatkan produktivitas di keenam sentra produksi dibanding tanpa pengaturan waktu tanam (Tabel 13, 14, dan 15). Minahasa, Pasuruan dan Pangalengan menunjukkan peningkatan produktivitas yang signifikan dibanding lokasi lain. Waktu tanam optimal pada kondisi peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan berdasarkan Skenario I, II dan III (Tabel 16) akan menyebabkan penurunan produktivitas kentang pada keenam sentra produksi masing-masing 11% – 29%, 22% – 43%, dan 28% – 57%. Pangalengan juga diprediksi akan mengalami penurunan terbesar pada waktu tanam optimal tersebut pada Skenario II dan III sebesar 43%, dan 57%. Dari berbagai komoditas pertanian, tanaman hortikultura termasuk tanaman kentang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Opsi adaptasi perubahan iklim berdasarkan hasil simulasi model terhadap tanaman kentang dapat dilakukan dengan penentuan waktu tanam yang tepat untuk mendapatkan ketersediaan air yang cukup dan meminimalkan kehilangan air. 44 123 7.4.3. Pengaruh Varietas Tanaman Kentang (Granola vs. Atlantis) terhadap Hasil dan Umur Tanaman Kentang Pengaruh perbedaan varietas terhadap hasil tanaman kentang diprediksi menggunakan model simulasi untuk umur tanaman pada masing-masing periode fase perkembangan serta hasil umbi tanaman. Prediksi umur tanaman pada masing-masing periode fase perkembangan tanaman kentang varietas Granola dan Atlantis waktu tanam tanggal 14 Maret ditunjukkan pada Gambar 35, sedangkan perbedaan hasil umbi tanaman kedua varietas ditunjukkan pada Gambar 36. Gambar 35. Prediksi umur tanaman pada masing-masing fase perkembangan tanaman (hari) varietas Granola dan Atlantis waktu tanam tanggal 14 Maret. Gambar 35 menunjukkan varietas Atlatis memerlukan jumlah hari yang lebih lama untuk menyelesaikan masing-masing fase perkembangan tanaman dibanding Granola, sehingga umur kentang varietas Atlantis (116 hari) lebih panjang dari Granola (110 hari). Umur tanaman yang lebih panjang menyebabkan biomassa umbi varietas Atlantis lebih tinggi dari Granola (Gambar 36). Gambar 36. Prediksi biomassa umbi kentang varietas Granola dan varietas Altantis waktu tanam tanggal 14 Maret. 124 Gambar 36 menunjukkan produktivitas Atlantis sebesar 25 ton ha-1, sedangkan Granola hanya 16 ton ha-1. Dalam hal ini, varietas Atlantis memiliki RUE sebesar 1,79 g MJ-1 sedangkan Granola memiliki RUE sebesar 1,12 g MJ-1, sehingga biomassa yang dihasilkan Atlantis dari prediksi model ini lebih besar dari Granola. Nilai RUE tinggi diperlukan oleh tanaman kentang untuk mengubah radiasi yang diintersepsi sehingga dihasilkan biomassa yang tinggi (Wolf 2002; Richter et al. 2001). Shah et al. (2004) sebelumnya juga menyatakan bahwa parameter yang dapat digunakan untuk melihat produksi suatu tanaman adalah RUE. Parameter penting dalam perhitungan biomassa menggunakan konsep RUE berbeda-beda antar tanaman maupun varietasnya, sehingga salah satu opsi adaptasi yang dapat dilakukan berdasarkan hasil simulasi model ini adalah memilih varietas kentang unggul yang memiliki nilai RUE tinggi. Di samping itu, skenario peningkatan suhu udara menyebabkan umur tanaman semakin pendek menyakibatkan produktivitas kentang rendah, sehingga opsi adaptasi lainnya dapat dilakukan dengan memilih varietas kentang yang lebih tolerant terhadap suhu tinggi sehingga memiliki umur lebih panjang. Opsi lain adalah menanam kentang pada dataran yang lebih tinggi, namun opsi ini akan menghadapi kendala keterbatasan lahan termasuk problem lingkungan yang akan diakibatkannya. 7.5. Kesimpulan 1. Peningkatan suhu udara sebesar 1,0 °C, 1,8 °C, dan 2,3 °C pada Tahun 2020, 2050 dan 2080 dibanding kondisi cuaca saat ini di Minahasa, Alahan Panjang, Pangalengan, Wonosobo, Pasuruan, dan Deli Serdang yang mewakili sentra-sentra produksi kentang di Indonesia mengakibatkan jumlah hari dari masing-masing fase perkembangan tanaman kentang semakin pendek, sehingga umur tanaman menjadi lebih singkat. 2. Umur tanaman yang pendek berdampak pada pengurangan biomassa tanaman yang selanjutnya akan menurunkan hasil (produktivitas) tanaman kentang, masing-masing sebesar 13% – 31%, 25% – 47% dan 37% – 61% untuk Skenario I, II dan III. 125 3. Penurunan curah hujan sebesar 5% (skenario I), 10% (skenario II), dan 15% (skenario III) mengakibatkan penurunan produktivitas kentang pada lima sentra produksi kentang masing-masing 2% – 12%, 4% – 27%, dan 8% – 31%. Alahan Panjang diprediksi tidak mengalami penurunan produktivitas akibat penurunan curah hujan. 4. Prediksi penurunan produktivitas pada keenam sentra produksi kentang untuk Skenario I (Tahun 2020), II (Tahun 2050) dan III (Tahun 2080) yang merupakan interaksi peningkatan suhu dan curah hujan berkisar masingmasing 13% – 31%, 25% – 47% dan 37% – 63%. Pangalengan diprediksi akan mengalami penurunan terbesar pada skenario I dan II yaitu 47%, dan 63%. 5. Produktivitas maksimum saat ini di Minahasa 18 ton ha-1 (varietas Granola) dapat dicapai apabila kentang ditanam pada Juni I, di Alahan Panjang dicapai pada waktu tanam Desember II (21 ton ha-1), Pangalengan pada Maret III (21 ton ha-1), Wonosobo pada Oktober III (16 ton ha-1 ), Pasuruan pada September I (18 ton ha-1), dan Deli Serdang pada Februari III (17 ton ha-1). 6. Penurunan produktivitas pada waktu tanam optimal karena peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan berkisar masing-masing 11% – 29%, 22% – 43%, dan 28% – 57% pada Skenario I, II, dan III. Pangalengan juga diprediksi akan mengalami penurunan terbesar di waktu tanam optimal sebesar 43%, dan 57% pada skenario II dan III. 7. Varietas Atlantis memiliki RUE sebesar 1,79 g MJ-1 sedangkan Granola sebesar 1,12 g MJ-1, sehingga biomassa yang dihasilkan Atlantis dari prediksi model ini lebih besar dari Granola. Produktivitas Atlantis sebesar 25 ton ha-1, sedangkan Granola hanya 16 ton ha-1. 8. Opsi adaptasi perubahan iklim berdasarkan hasil simulasi model untuk peningkatan produktivitas tanaman kentang di sentra-sentra produksi dapat dilakukan melalui : penentuan waktu tanam yang tepat, memilih varietas kentang unggul yang memiliki nilai RUE tinggi, dan memilih varietas kentang yang lebih toleran terhadap suhu tinggi sehingga memiliki umur lebih panjang.