TINJAUAN PUSTAKA Papaya (Carica papaya L.) Tanaman papaya diduga berasal dari Amerika Tengah dengan nenek moyang Carica papaya L. Hook dan Arn yang kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia (Sunarjono 2006). Di Indonesia, papaya memiliki berbagai jenis nama seperti kabaelo, peute, pertek, pastel, ralempaya, betik, embetik, botik, bala, sikaiolo, betis, kates, kepaya, kustela, batiek, kelilih, pisang katuka, gedang, puntil kayu (Sumatera); gedang, katela gantung, kates (Jawa); gedang, kates, kempaja, panja, kalu jwa, padu (Nusa Tenggara); bau medung, pisang malaka, buah dong, mejan (Kalimantan); hango, mauu jawa, kaliki riane (Sulawesi); tapaya, kapaya, tele, palaki, kapi (Maluku); sempien (Irian) (Mursito 2002). Klasifikasi United States Departmen of Agriculture (2010) mengemukakan bahwa Carica papaya L. diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom Subkingdom Superdivisi Divisi Kelas Subkelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Tracheobionta : Spermatophyta : Magnoliophyta : Magnoliopsida : Dilleniidae : Violalaes : Caricaceae : Carica L. : Carica papaya Linn Deskripsi Papaya merupakan tanaman dengan ketinggian mencapai 5-10 m. Bentuk daun papaya hampir seperti jari tangan melebar, bertulang daun menjari, dan ujung lancip. Pangkal daun berbentuk jantung dengan garis tengah 25-75 cm. Tangkai daun panjang menyerupai pipa, tidak berbulu dan berkelompok dekat pucuk, berlubang, dan melekat pada batang. Tajuk selalu berlekuk menyirip tidak beraturan (Kalie 1999). 4 Batang berstruktur seperti spon dan berongga. Batangnya berongga karena intinya berupa sel gabus. Berbatang lunak berair. Bekas kedudukan tangkai daun meninggalkan tanda seperti ruas. Pada musim hujan ruasnya panjang, sedangkan pada musim kemarau ruasnya pendek sesuai dengan kecepatan pertumbuhan tanaman (Sunarjono 2006). Bunga biasanya ditemukan pada sekitar puncuk. Bunga keluar dari ketiak daun, tunggal atau dalam rangkaian. Bunganya ada yang berkelamin tunggal (betina/putik atau jantan/benang sari saja) atau berkelamin sempurna (hermafrodit) yang mempunyai putik dan benang sari yang fertil. Papaya tergolong penyerbuk silang dengan bantuan perantara angin. Bunganya berbentuk terompet kecil. Mahkota bunga berwarna kekuningan (Sunarjono 2006). Buah berbentuk bulat sampai lonjong (Rukmana 1995), berwarna hijau saat masih muda dan berubah kuning kemerahan setelah menjadi masak (Mursito 2002). Buahnya bergetah dan berbiji banyak dalam rongga buah yang lebar. Bijibiji tersebut ada yang berwarna hitam (fertil) dan ada yang berwarna putih (abortus, tidak tumbuh). Buah dari bunga sempurna berbentuk panjang. Buah dari bunga betina berbentuk bulat hingga oval dengan daging tipis (Sunarjono 2006). Batang, daun, dan buahnya mengandung getah yang memiliki daya enzimatis, yaitu dapat memecah protein. Mempunyai akar tunggang dan akar samping yang lunak dan agak dangkal. Akar papaya tumbuh panjang, cenderung mendatar. Jumlahnya tidak banyak dan lemah (Sunarjono 2006). Adapun gambar morfologi pohon papaya sebagai berikut: Gambar 1. Pohon, buah dan daun Papaya (C. papaya L.) (USDA 2010) 5 Agroekologi Tanaman papaya dapat tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 1000m dpl (diatas permukaan laut), tumbuh subur di tanah yang kaya bahan organik, dan tidak suka menyukai tempat tergenang (Muhlisah 1999). Tanah yang subur dengan porositas baik, mengandung kapur, dan ber-pH 6-7 paling disenangi oleh tanaman papaya. Tanaman ini lebih senang tumbuh di lokasi yang banyak hujan (cukup tersedia air), curah hujan 1000-2000 mm per tahun dan merata sepanjang tahun. Di daerah yang beriklim kering, musim hujannya 2-5 bulan, dan musim kemaraunya 6-8 bulan, tanaman papaya masih mampu berbuah, asalkan ke dalaman air tanahnya 50-150 cm (Sunarjono 2006). Perbanyakan papaya sering dilakukan secara generatif dengan biji, sedangkan cara vegetatif tidak memberikan hasil yang baik. Pertumbuhan tanaman papaya termasuk cepat karena antara 10-12 bulan setelah ditanam buahnya telah dapat dipanen (Kalie 1999). Bagian Tananam yang Digunakan Pada Penelitian Daun papaya (C. papaya L.) adalah bahan yang digunakan dalam penelitian ini. Daun papaya muda sering digunakan sebagai bahan berbagai jenis sayuran dan pelunak daging. Perasan daun papaya dapat digunakan untuk obat penambah nafsu makan (Kalie 1999). Daun C. papaya L. memiliki kandungan antara lain enzim papain, alkaloid, pseudo karpaina, glikosid, karposid, dan saponin (Muhlisah 1999). Alkaloid karpaina mempunyai efek seperti digitalis. Papain akan tetap ada dalam daun papaya (C. papaya L.) yang telah dikeringkan dengan pemanasan yang rendah, tetapi akan rusak jika daun papaya (C. papaya L.) tersebut di keringkan dengan pemanasan yang tinggi. United States Departmen of Agriculture (2010) mengemukakan bahwa kandungan zat kimia yang dapat ditemukan di dalam daun papaya (C. papaya L.) antara lain alkaloids (1.300-4000ppm), dehydrocarpain (1.000ppm), pseudocarpaines (100ppm), flavonoid (0-2.000ppm), benzylglucosinolate, dan tanins (5.000-6.000 ppm). 6 Tabel 1 Analisis komposisi daun papaya (C. papaya L.). Unsur Komposisi Energi (kal) Air (g) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Vitamin A (IU) Vitamin B (mg) Vitamin C (mg) Kalsium (mg) Besi (mg) Fosfor (mg) Jumlah 79 75.4 8 2 11.9 18.250 0.15 140 353 0.8 63 Sumber : Direktorat Gizi, Depkes RI, 1967 diacu dalam Reky (2009) Robertson (2009) mengemukakan bahwa daun papaya mengandung glycosida, carposida, alkaloid, carpaine. Papain sebagai kandungan utamanya, papain merupakan enzim proteolitik. Selain itu, terdapat terpenoid, terpenoid ini memiliki kandungan antimikrobial (Cowan 1999). Miliken (1997) mengemukakan bahwa alkaloid, terpenoid, dan flavonoid yang terdapat dari banyak tanaman mempunyai aktivitas sebagai antiplasmodial. Kehadiran dari flavonoid dan tanin dari C. papaya L. bertanggung jawab dalam memakan radikal bebas. Flavonoid dan tanin adalah kandungan phenol dari tanaman merupakan kelompok besar dari komponen yang bertindak sebagai antioxidan utama. Studi tentang fitokimia dan aktivitas antioxidan dari daun C. papaya L. salah satu tanaman dari tiga tanaman terapi obat antimalaria di Nigeria menunjukkan bahwa daun papaya (C. papaya L.) mempunyai aktivitas antioxidan sebesar IC50 0.58 mg/ml. Aktivitas antioxidan tersebut dapat menghalangi kerusakan oksidatif akibat parasit malaria. Hal ini dimungkinkan sebagai salah satu mekanisme terapi untuk malaria (Ayoola et al.2008). Malaria Penyakit malaria telah diketahui sejak zaman Yunani. Meskipun penyakit ini telah diketahui sejak lama, namun penyebabnya belum diketahui. Dahulu, penyakit ini diduga disebabkan oleh hukuman dari dewa-dewa karena waktu itu ada wabah di sekitar kota Roma. Penyakit ini banyak ditemui di daerah rawa-rawa 7 yang mengeluarkan bau busuk, sehingga penyakit ini disebut dengan “malaria” yang berasal dari kata “mal area” yang berarti udara busuk (Pribadi 2003). Baru pada abad ke-19, Laveran melihat “bentuk pisang” dalam darah seorang penderita malaria, kemudian diketahui bahwa malaria ditularkan oleh nyamuk yang banyak terdapat di rawa-rawa (Pribadi 2003). Gejala klinik penyakit malaria adalah khas, mudah dikenal, karena demam yang naik turun dan teratur disertai menggigil. Di samping itu terdapat kelainan pada limpa, yaitu splemomegali: limpa membesar dan menjadi keras, sehingga dahulu penyakit malaria disebut demam kura (Pribadi 2003). Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi protozoa dengan genus Plasmodium. Plasmodium Plasmodium merupakan protozoa penyebab penyakit malaria. Protozoa ini mempunyai induk semang definitif nyamuk Anopheles. Infeksi Plasmodium sp. pada manusia dimulai ketika nyamuk Anopheles sp. pembawa sporozoit Plasmodium sp. menggigit manusia. Sporozoit yang masuk melalui gigitan nyamuk, selanjutnya melalui sistem sirkulasi menuju hati dan memasuki stadium intrasel hati. Di dalam hepatosit, sporozoit mengalami replikasi aseksual membentuk merozoit. Merozoit selanjutnya menyerbu dan masuk ke sel-sel eritrosit, dan dimulailah periode intrasel eritrosit. Di dalam eritrosit, merozoit melakukan metabolisme aktif termasuk mengingesti sitoplasma eritrosit hospes dan menghancurkan hemoglobin menjadi asam amino. Akibatnya, penderita mengalami gejala anemia (Hyde 1990). Stadium intraseluler (dalam sel hepatosit dan eritrosit) merupakan mekanisme parasit untuk menghindar dari sistem imunitas hospes. Dengan berada di dalam sel hospes, komponen-komponen pertahanan tubuh hospes tidak mengenalnya sebagai bahan asing. Stadium intrasel eritrosit, merupakan stadium paling toksik dari merozoit bagi hospes. Stadium ini diawali dengan proses invasi merozoit ke dalam eritrosit, diikuti pertumbuhan dan replikasi merozoit di dalam eritrosit. Keberhasilan mekanisme invasi dan pertumbuhan merozoit sangat ditentukan oleh kondisi eritrosit sebagai habitatnya. 8 Siklus Hidup Plasmodium sp. Siklus hidup Plasmodium sp. melibatkan insekta sebagai induk semang definitif (yaitu nyamuk) dan induk semang antara yaitu vertebrata (termasuk manusia) (Wakelin 1988). Dalam induk semang definitif, Plasmodium mengalami stadium seksual dan sporogoni, sedangkan dalam induk semang antara mengalami stadium aseksual yaitu intrasel hati dan eritrosit. Dalam siklus hidupnya, Plasmodium sp. melalui 2 daur aseksual, yaitu daur eritosit dalam darah (skizogoni eritosit) dan daur dalam sel parenkim hati (skizogoni eksoeritosit) atau stadium jaringan dengan skigoni praeritrosit (skizogoni eksoeritrosit primer) setelah sporozoit masuk dalam sel hati dan skizogoni eksoeritrosit sekunder yang berlangsung dalam hati (Pribadi 2003). Secara keseluruhan, siklus hidup Plasmodium sp. terdiri dari 4 stadium yaitu stadium intrasel hati, stadium intrasel eritrosit, stadium seksual dan sporogoni. Stadium intrasel merupakan salah satu strategi parasit ini menghindar dari sistem pertahanan tubuh induk semang. Gambaran siklus hidup Plasmodium adalah sebagai berikut : Gambar 2. Siklus hidup Malaria (Dept. biol 2002) Induk Semang Antara Bila nyamuk Anopheles betina yang mengandung Plasmodium sp. dalam kelenjar liurnya menusuk hospes, sporozoit yang berada dalam air liurnya masuk melalui probosis yang ditusukkan ke dalam kulit. Sporozoit segera masuk dalam peredaran darah dan setelah ½ jam sampai 1 jam masuk dalam sel hati (Pribadi 2003). Sporozoit menetap di hati dan menginfeksi hepatosit. Pemasukan sporozoit ke dalam hepatosit diperantarai oleh ikatan antara circumsporozoit protein (CSP) pada membran sporozoit dengan protein membran hepatosit yaitu heparin sulfat 9 proteoglikan (Sinnis & Sim 1997). Di dalam hepatosit sporozoit berkembang dalam 47-52 jam melewati fase trophozoit menjadi skizon dewasa yang dapat berisi 1500-8000 merozoit (jumlah total dari merozoit tiap skizon dewasa dapat bervariasi tiap spesies yang berbeda) (Jense et al 2009). Proses ini disebut skizogoni praeritrosit. Pada akhir fase praeritrosit, skizon pecah, merozoit keluar dan masuk di peredaran darah. Selama stadium intrasel hati, ada beberapa jenis Plasmodium yang mengalami stadium dorman dengan membentuk hipnozoit. Hipnozoit tersebut akan reaktif setelah beberapa minggu, bulan atau tahun dan akan mengalami replikasi aseksual. Merozoit selanjutnya menyerbu dan masuk ke sel-sel eritrosit, dan dimulailah periode intrasel eritrosit (Wakelin 1988). Stadium intraseluler eritrosit melibatkan interaksi seluler antara eritrosit-merozoit. Sisi anterior merozoit melekat pada membran plasma eritrosit, lalu melakukan invaginasi, membentuk vakuol dengan parasit berada di dalamnya (Pribadi 2003). Merozoit dalam eritrosit mengalami pertumbuhan dan pembelahan. Pada awalnya merozoit dalam eritrosit berbentuk cincin (ring form) dan diikuti dengan pertambahan volume merozoit (membentuk tropozoit). Pertambahan volume merozoit terjadi karena merozoit melakukan metabolisme aktif termasuk mengingesti sitoplasma eritrosit hospes dan menghancurkan hemoglobin menjadi asam amino. Selanjutnya tropozoit melakukan skizogoni membentuk skizon (disebut skizon eritrositik), yang kurang lebih mengandung 32 merozoit (Wakelin 1988). Merozoit-merozoit dalam skizon selanjutnya dilepaskan dari eritrosit dengan merusak dinding eritrosit, dan menginfeksi eritrosit lain. Ketika pelepasan merozoit, pigmen dan semua produk metabolitnya juga dilepaskan ke sirkulasi sehingga menginduksi perubahan-perubahan patologis induk semang (Wakelin 1988). Setelah 2 atau 3 generasi (3-15 hari) merozoit dibentuk, sebagian tumbuh menjadi bentuk seksual. Proses ini disebut gametogoni (gametositogenesis) (Pribadi 2003). Makrogametosit (betina) dan mikrogametosit (jantan) haploid merupakan sel prekursor dari gamet betina dan gamet jantan. Gametosit 10 (mikrogamet dan makrogamet) adalah merozoit yang besar dan hampir memenuhi eritrosit, dan setiap eritrosit hanya mengandung 1 merozoit. Induk Semang Definitif Pada saat nyamuk Anopheles sp. betina menggigit manusia yang eritrositnya mengandung Plasmodium sp., parasit aseksual dicernakan bersama eritrosit, sedangkan gametosit tumbuh terus (Pribadi 2003). Gametosit terhisap oleh nyamuk, menginduksi gametogenesis dan keluar dari eritrosit. Inti pada mikrogametosit membelah menjadi 4 sampai 8 yang masingmasing menjadi bentuk panjang seperti benang (flagel) dengan ukuran 20-25 µ, menonjol keluar dari sel induk, bergerak-gerak sebentar dan kemudian melepaskan diri (Pribadi 2003). Proses ini berlangsung beberapa menit pada suhu yang sesuai. Flagel atau gamet jantan disebut mikrogamet. Makrogamet mengalami proses pematangan (maturasi) dan menjadi gamet betina atau makrogamet. Mikrogamet dan makrogamet selanjutnya mengalami fertilisasi di dalam saluran pencernaan nyamuk membentuk zigot. Zigot selanjutnya berkembang menjadi bentuk motil (disebut ookinet) dan masuk ke dinding usus. Ookinet berkembang menjadi ookista. Ookista mengalami stadium aseksual (sporogoni) sehingga membentuk sporozoit. Sporozoit selanjutnya migrasi ke glandula saliva. Jika nyamuk ini kemudian menggigit manusia, siklus akan kembali berulang seperti semula. Plasmodium berghei Plasmodium berghei merupakan salah satu dari spesies Plasmodium yang menginfeksi rodensia (Thomas 1983). malaria banyak menggunakan Penelitian berbagai aspek imunologis P. berghei dan mencit sebagai induk semangnya, karena P. berghei mempunyai siklus hidup maupun morfologi sama seperti Plasmodium yang menginfeksi manusia. 11 Levine (1990) mengemukakan bahwa klasifikasi P. berghei adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Subfilum Kelas Subkelas Ordo Subordo Famili Genus Spesies : Animalia : Protozoa : Apicomplexa : Sporozoasida : Coccidiasina : Eucoccidiorida : Haemospororina : Plasmodiidae : Plasmodium : Plasmodium berghei Siklus hidup P. berghei sama seperti genus Plasmodium pada umumnya. Adapun gambaran sikluh hidup P. berghei sebagai berikut : Gambar 3 Siklus Hidup Plasmodium berghei. (CDC 2010) Mencit Mencit merupakan hewan coba yang sering digunakan dalam penelitian. Mencit memiliki sifat-sifat reproduksi yang mirip dengan mamalia besar serta siklus estrus yang pendek (Malole & Pramono 1989). Hewan ini digunakan karena cukup efisien, mudah dipelihara, tidak memerlukkan tempat yang luas untuk pemeliharaanya, waktu kebuntingan yang singkat, dan banyak memiliki anak per kelahiran. 12 Malole dan Pramono (1989) mengemukakan taksonomi mencit adalah: Kingdom Filum Subfilum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Vertebrata : Mamalia : Rodentia : Muridae : Murinae : Mus : Mus Musculus Sifat dan Morfologi Mencit Mencit merupakan hewan yang jinak, lemah, mudah ditangani, takut cahaya dan aktif pada malam hari, mencit yang dipelihara sendiri makannya lebih sedikit dan bobotnya lebih ringan dibanding yang dipelihara bersama-sama dalam satu kandang, kadang-kadang mempunyai sifat kanibal (Yuwono et al. 2004). Malole dan Pramono (1980) mengemukakan bahwa nilai fisiologis mencit adalah sebagai berikut: Tabel 2 Nilai fisiologis mencit. Kriteria Hemoglobin Sel darah putih Neutropil Lymphosit Eosinophil Monosit Basophil Nilai 10,2 – 16,6 mg/dl 6 – 15 X 10 3 /mm3 10 – 40% 55 – 95% 0 – 4% 0,1 - 3,5% 0 – 0,3% Darah Darah merupakan cairan pembawa berbagai zat penting tubuh, dipompakan oleh jantung melalui suatu sistem pembuluh darah tertutup. Unsur seluler dari darah terdiri dari sel darah putih, sel darah merah dan trombosit yang tersuspensi di dalam plasma. Volume darah total yang beredar pada keadaan normal sekitar 8% dari berat badan. Sekitar 55% dari volume tersebut adalah plasma (Ganong 2002). 13 Leukosit Leukosit adalah sistem pertahanan tubuh yang dibentuk sebagian dalam sumsum tulang dan sebagian lagi dalam organ limfoid seperti timus, bursa fabrisius dan limpa pada unggas (Guyton 1996). Pada keadaan normal terdapat 6 – 15 X 10 3 /mm3 leukosit per mikroliter darah mencit. Dari jumlah tersebut, jenis terbanyak adalah granulosit. Sel granulosit muda memiliki inti berbentuk sepatu kuda, yang akan berubah menjadi multilobular dengan meningkatnya umur sel. Sebagian besar sel tersebut mengandung granula netrofilik (neutrofil), sedangkan sebagian kecil mengandung granula yang dapat diwarnai dengan zat pewarna asam (eosonofil), dan sebagian lagi mengadung granula basofilik (basofil). Dua jenis sel lain yang lazim ditemukan dalam darah tepi adalah limfosit, yang memiliki inti bulat besar dan sitoplasma sedikit, serta monosit, yang mengandung banyak sitoplasma tidak bergranula dan mempunyai inti berbentuk menyerupai ginjal. Kerja sama sel-sel tersebut menyebabkan tubuh memilki sistem pertahanan yang kuat terhadap berbagai tumor dan infeksi virus, bakteri serta parasit (Ganong 2002). Granulosit Semua sel granulosit memilki granula sitoplasmik mengandung substansi biologik aktif, yang berperan dalam reaksi peradangan dan alergi (Ganong 2002). Neutrofil Neutrofil dewasa berdiameter 10-12 µm dengan sitoplasma beraspek kelabu pucat dan terdapat butir-butir halus berwarna ungu serta inti bergelambir (Dellman & Brown 1992). Gambaran mikroskopis neutrofil sebagai berikut : Gambar 4 Neutrofil. (Anonim 2010) 14 Waktu paruh rata-rata sel neutrofil di dalam sirkulasi adalah 6 jam. Untuk dapat mempertahankan kadar normal di dalam peredaran darah, diperlukan pembentukan lebih dari 100 milyar sel neutrofil per hari. Sebagian besar sel ini akan memasuki jaringan. Sel-sel ini ditarik dan bergulir di permukaan endothelium oleh kerja selektin. Selanjutnya sel-sel tersebut akan berikatan dengan kuat pada molekul perekat netrofil dari golongan integrin. Tahap berikutnya, sel-sel ini menyusup di antara sel endothelium, menembus dinding kapiler, melalui proses yang disebut diapedesis (Ganong 2002). Sejumlah besar sel yang meninggalkan sirkulasi dan masuk ke dalam saluran pencernaan akan hilang dari tubuh. Invasi bakteri ke dalam tubuh akan mencetuskan respon peradangan. Sumsum tulang dirangsang untuk menghasilkan dan melepas sejumlah besar netrofil. Interaksi produk bakteri dengan faktor-faktor plasma dan sel menghasilkan zat yang menarik neutrofil ke daerah peradangan (kemotaksis) (Ganong 2002). Zat kemotaksis ini, yang merupakan bagian dari kelompok besar kemokin, mencakup komponen dalam sistem komplemen (C5a), lekotrein dan polipeptida dari sel limfosit, sel mast dan basofil. Pengaruh perasangan C5a pada aktivitas kemotaksis diperkuat oleh G-globulin. Membran neutrofil mengandung protein tersebut, yang juga berfungsi mengikat dan mengangkut vitamin D di dalam plasma (Ganong 2002). Faktor plasma lainnya bekerja pada bakteri untuk menjadikannya difagositosis (opsonisasi). Opsonin utama yang menyelubungi bakteri adalah immunoglobulin-G (IgG) dan protein komplemen. Bakteri yang telah diselubungi akan berikatan dengan reseptor pada membran sel neutrofil. Melalui respon yang diperantai oleh protein G heterotrimerik, tercetus peningkatan aktivitas motorik dalam sel, eksositosis, dan peristiwa yang dinamakan letupan respiratorik (Ganong 2002). Peningkatan aktivitas motorik menyebabkan segera dicernanya bakteri melalui endositosis (fagositosis). Melalui eksositosis, granula neutrofil menuangkan kandungannya ke dalam vakuola fagosit yang berisi bakteri, dan sampai taraf tertentu, juga ke dalam ruang interstisial (degranulasi). Granula yang mengandung beragam protease, serta protein antimikroba yang disebut defensin (Ganong 2002). Enzim lisosom neutrofil dapat mencerna dinding sel bakteri, enzim proteolitik, mieloperoksidase, 15 ribonuklease, dan fosfolipase secara bersama bersifat letal bagi agen penyakit (Tizard 1982). Eosinofil Eosinofil merupakan leukosit bergranulosit, berukuran 10- 15 µm yang bersifat polimorfonukleus-eosinofilik. Eosinofil berglambir 2 (seperti kacamata) yang memilki granul asidofil yang berukuran besar 3-4 µm, sitoplasma berwarna merah cerah dengan perwarnaan wright’s (Sturkie & Grimminger 1976). Gambaran mikroskopis Eosinofil sebagai berikut : Gambar 5 Eosinosil. (Laboratorium Kesehatan 2009) Eosinofil mengandung suatu komponen enzim yang sama dengan neutrofil tetapi tidak memiliki lisosim dan phagotisin namun mengandung kadar peroksidase yang tinggi dan histaminase ( Rumawas 1989). Eosinofil memiliki waktu paruh yang singkat dalam sirkulasi. Eosinofil akan ditarik ke permukaan sel endotel oleh selektin, dapat berikatan dengan integrin yang akan merekatnya pada dinding pembuluh, dan masuk ke dalam jaringan melalui cara diapedesis, seperti halnya dengan neutrofil. Eosinofil melepaskan protein, sitokin, dan kemokin yang mengakibatkan reaksi peradangan. Selain itu, eosinofil mampu membunuh organisme yang menyusup ke dalam tubuh (Frandson 1986). Namun respon eosinofil terhadap selektin dan integrin bersifat selektif, demikian pula molekulmolekul pembunuh yang di sekresikannya. Keberadaan eosinofil banyak terutama di mukosa saluran gastrointestinal, untuk mempertahankan terhadap serangan berbagai parasit, serta di mukosa saluran pernafasan dan saluran kemih (Ganong 2002). Jumlah eosinofil yang beredar di dalam sirkulasi akan meningkat pada penyakit alergi, seperti asma serta berbagai penyakit saluran pernafasan dan saluran gastrointestinal lain. 16 Basofil Basofil merupakan leukosit bergranulosit yang bersifat polimofonuklearbasofil. Basofil berdiameter 10-12 µm dengan inti dua gelambir, bentuk inti yang tidak teratur. Granul berukuran 0,5-1,5 µm berwarna biru tua sampai dengan ungu (basofilik), sering menutup inti yang berwarna agak lemah (Dellman & Brown 1992). Gambaran mikroskopis basofil sebagai berikut : Gambar 6 Basofil. (Anonim 2010) Basofil akan masuk ke jaringan dan melepaskan berbagai protein serta sitokin. Basofil meyerupai tetapi tidak identik dengan sel mast. Seperti halnya dengan sel mast, basofi mengandung histamin dan heparin. Basofil melepaskan histamin dan mediator radang lain apabila diaktifkan oleh limfosit T, dan penting pada reaksi hipersensitifitas (Ganong 2002). Basofil mempunyai fungsi meningkatkan permebialitas dan vasodilatasi pembuluh darah dalam reaksi hipersensitifitas kulit seperti pada gigitan serangga (Dellman & Brown 1992). Agrunolosit Limfosit Limfosit adalah leukosit agranulosit yang mempunyai ukuran dan bentuk yang bervariasi (Sturkie & Grimminger 1976). Variasi ukuran besarnya terdiri dari limfosit besar, sedang dan kecil. Limfosit kecil berukuran 9 µm, inti besar dan kuat mengambil warna, sitoplasma berwarna biru pucat, inti memiliki sedikit lekuk di satu sisi. Sedangkan limfosit sedang dan besar berukuran 12-15 µm, lebih banyak sitoplasma, inti lebih besar dan pucat dibandingkan limfosit kecil. Limfosit besar berdiameter 12-16 µm dan limfosit kecil 9-12 µm. Gambaran mikroskopis limfosit sebagai berikut : 17 Gambar 7 Limfosit. (BioMIM 2006) Limfosit merupakan unsur kunci pada proses kekebalan. Fungsi utama limfosit adalah memproduksi antibodi atau sebagai sel efektor khusus dalam menaggapi antigen yang melekat pada makrofag. Limfosit tertentu mengikat dirinya pada agen-agen asing dan merusaknya (Guyton 1996). Beberapa limfosit dibentuk di sumsum tulang, tetapi bagian terbesar dibentuk di dalam kelenjar limfe, timus dan limpa dari sel prekusor yang berasal dari sumsum tulang, setelah mengalami proses di dalam timus atau bursa ekivalen menjadi prekusor sel T atau sel B (Ganong 2002). Limfosit T berperan dalam membantu dalam proses tanggap kebal berperantara sel. Sedangkan limfosit B berperan dalam respon humoral dengan produksi sekresi utama adalah immunoglobulin (antibodi). Pada umumnya limfosit memasuki sistem peredaran darah melalui pembuluh limfe. Hanya sekitar 2% dari seluruh limfosit dalam tubuh terdapat di darah perifer, sebagian besar sisanya terdapat di organ limfoid. Monosit Monosit adalah leukosit agranulosit, memilki butir azurofil yang tidak spesifik dan merupakan sel leukosit terbesar dengan diameter 15-20 µm (Dellman & Brown 1987). Sitoplasmanya bersifat warna basofil dengan sitoplasma lebih banyak dibandingkan dengan limfosit besar. Inti monosit berbentuk seperti tapal kuda atau ginjal. Gambaran mikroskopis monosit sebagai berikut : 18 Gambar 8 Monosit. (Fakhrizal 2009) Monosit diproduksi di sumsum tulang. Monosit dari sumsum tulang masuk ke dalam darah dan beredar selama kurang lebih 72 jam (Ganong 2002). Sel-sel ini kemudian masuk ke jaringan dan menjadi makrofag jaringan. Pada saat ini monosit telah mempunyai fungsi sebagai makrofag dan mampu melawan agenagen asing (Guyton 1996). Makrofag jaringan, termasuk sel Kupffer di hati, makrofag alveolar paru, dan mikrogilia di otak, seluruhnya berasal dari sirkulasi (Ganong 2002). Sel makrofag akan diaktifkan oleh limfokin dari limfosit T. Makrofag yang aktif akan bermigrasi sebagai respon terhadap rangsangan kemotaksis, selanjutnya menelan dan membunuh bakteri melalui proses yang umumnya serupa dengan neutrofil.