PENATALAKSANAAN ULTRASOUND DAN TERAPI LATIHAN PADA PASIEN SPRAIN ANKLE DEXTRA DISUSUN OLEH : SARTI RAHAYU P27226015085 PROGAM STUDI DIPLOMA III FISIOTERAPI POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA KARANGANYAR 2015 1 BAB I PENDAHULUAN Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Depkes RI, 2009). Salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia yang optimal adalah dengan menetapkan visi dan misi Departemen Kesehatan (Depkes) tahun 20102014. Visi yang ingin dicapai adalah masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan. Visi ini dituangkan dalam 4 misi yaitu (1) meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani, (2) melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan, (3) menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan, dan (4) menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik. Untuk merealisasikan visi dan misi tersebut, telah dan sedang dilaksanakan berbagai upaya kesehatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan dalam bentuk pencegahan penyakit (preventive), peningkatan kesehatan (promotive), pengobatan penyakit (curative), dan pemulihan kesehatan (rehabilitative) oleh pemerintah dan atau masyarakat (Depkes RI, 2009). Berbagai upaya kesehatan yang telah dan sedang dilaksanakan tersebut tidak lepas dari peran aktif dan pelayanan berbagai bidang kesehatan, salah satunya adalah Fisioterapi. 2 3 Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanis), pelatihan fungsi, dan komunikasi (Depkes RI, 2007). A. Latar Belakang Masalah Kaki merupakan salah satu anggota gerak tubuh yang paling sering digunakan baik dalam aktivitas sehari-hari maupun bidang pekerjaan. Apabila fungsi kaki mengalami gangguan atau disfungsi maka akan menghambat aktivitas sehari-hari bahkan penurunan kinerja dan produktivitas. Cedera tungkai adalah yang paling sering terjadi, terutama pada atlet olahraga karena tekanan dan tarikan pada ligamen penyusun sendi ankle (Apley, 1995). Setiap melakukan aktivitas fisik khususnya olahraga selalu dihadapkan kemungkinan cidera dan cedera ini akan berdampak pada gangguan aktivitas fisik, psikis dan prestasi. Sprain ankle adalah cedera yang mengenai pada ligamen penyusun pergelangan kaki (Apley, 1995). Sprain ankle merupakan cedera yang sering terjadi saat ankle bergerak diluar lingkup gerak yang normal karena penguluran dan kelemahan ligamen serta soft tissues disekitar pergelangan kaki yang menyebabkan kehilangan fungsi ankle (Griffth, 1982). Sprain ankle terjadi tidak hanya pada pergelangan kaki tetapi biasanya dapat juga merusak bagian luar (lateral) ligamen. Sprain ankle terjadi pada saat 3 4 kaki melakukan belokan memutar (rotasi) pada kaki, meregangkan pergelangan pada titik dimana akan dapat merobek ligamen. Prevalensi sprain ankle bervariasi, Ross dkk melaporkan di Mayo Clinic, pada tahun 2000 – 2005 kasus sprain ankle khususnya yang terkena pada lateral ligamen ini biasanya terjadi pada orang umum dan para atlet olahraga. Dari kasus sprain ankle 85% nya merupakan cidera pergelangan kaki, dan menurut data yang ada 85% adalah inversi sprain. 38- 45% dari angka kejadian sprain ankle terjadi pada atlet olahraga, khususnya sprain ankle lateral. Sekitar 80% dari angka kejadian dilaporkan merupakan cedera sprain ankle yang kambuh atau keadaan sakit yang terulang setelah cedera pertama terjadi. Dari 40% individu yang terkena sprain ankle memiliki gejala sisa dari sprain ankle yang kronis yaitu keadaan ankle yang tidak stabil. Prosentase dari sprain ankle didominasi oleh wanita yaitu mencapai 63% dan pada pria berkisar 37%. Tanda dan gejala yang sering timbul pada penderita sprain ankle umumnya adalah rasa nyeri pada pergelangan kaki. Sprain ankle ringan biasanya terjadi keseleo pada pergelangan kaki yang ringan menyebabkan ketidaknyamanan pada kaki, pembengkakan ringan, sedikit atau adanya memar, titik nyeri yang ringan dan penderita mampu berjalan mengangkat beban tanpa bantuan dan tingkat stabilitas ankle menurun. Sprain ankle sedang dapat menimbulkan rasa nyeri yang luar biasa pada sekitar bagian luar, timbul pembengkakan dan memar, terdapat extreme tenderness dan kehilangan fungsi ankle namun mampu untuk berjalan jarak dekat. Sprain ankle parah keseleo ini merupakan jenis cedera yang serius. Ditandai terjadinya robekan didaerah yang 4 5 mengalami cedera, nyeri akan meningkat kemudian dilanjut dengan sulit bahkan tidak bisa berjalan. Berjalan bahkan berlari sesaat setelah terjadi robekan akan lebih memperburuk pembengkakan, memar dan kerusakan yang terjadi pada ligamen (Griffth,1982). Gerakan pergelangan kaki menjadi kurang terampil misalnya waktu berjalan, menendang bola atau menjepit benda kecil dengan jarijari kaki. Otot kaki yang makin lama semakin mengecil juga sering dikeluhkan. Modalitas atau intervensi fisioterapi yang dapat digunakan dalam penanganan sprain ankle antara lain ultrasound (US), TENS, infra red, Micro Wave Diathermy (MWD), dan terapi latihan. Ultrasound dapat menghasilkan efek thermal dan non-thermal yang secara fisiologis dapat mengakibatkan meningkatnya sirkulasi darah, relaksasi otot, meninggikan permeabilitas membran, meningkatkan kemampuan regenerasi jaringan, pengaruh terhadap saraf perifer, dan mengurangi nyeri (Sujatno, dkk, 2002). Terapi latihan adalah suatu usaha pengobatan yang dalam pelaksanaannya menggunakan latihan- latihan gerak tubuh baik secara aktif maupun pasif. Terapi latihan dapat membantu mempertahankan kekuatan otot, mencegah kontraktur otot, serta mempertahankan lingkup gerak sendi (Kisner, 1996). Berdasarkan keunggulan-keunggulan dari kedua modalitas dan intervensi tersebut, penulis memilih modalitas atau intervensi menggunakan ultrasound dan terapi latihan pada kasus sprain ankle kronis. Penulis mengangkat kasus sprain ankle sebagai bahan dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini karena fungsi kaki begitu penting dalam aktivitas sehari-hari sehingga jika terkena sprain ankle ini 5 6 maka akan mengganggu aktivitas sehari-hari yang dapat berakibat pada penurunan kinerja dan produktivitas seseorang. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dari Karya Tulis Ilmiah ini adalah bagaimanakah penatalaksanaan terapi ultrasound dan terapi latihan untuk mengurangi rasa nyeri dan meningkatkan LGS pada kasus sprain ankle? C. Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah untuk mengetahui penatalaksanaan terapi ultrasound dan terapi latihan untuk mengurangi rasa nyeri dan meningkatkan LGS pada kasus sprain ankle. D. Manfaat Penulisan Manfaat yang ingin dicapai penulis dari penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah (1) agar KTI yang diusulkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan fisioterapi, khususnya pengetahuan dan pemahaman dalam memberikan dan menyusun penatalaksanaan terapi ultrasound dan terapi latihan pada kasus sprain ankle, (2) dapat menambah pengetahuan pembaca dan masyarakat, khususnya tentang pengertian sprain ankle, etiologi, tanda dan gejala klinis, problematika, dan penanganan fisioterapi yang dapat diberikan pada kasus sprain ankle, (3) manfaat bagi pasien khususnya bagi atlet olah raga adalah pasien mendapatkan 6 7 penanganan cepat dan tepat dari fisioterapi dengan menggunakan terapi ultrasound dan terapi latihan. 7 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sprain Ankle 1. Definisi sprain ankle Sprain ankle biasanya diartikan sebagai cidera olahraga tapi dapat juga terjadi pada aktifitas sehari-hari. Sprain ankle adalah terulurnya ligamen penyusun sendi ankle karena gerakan yang mendadak pada posisi kaki terpuntir kesalah satu sisi yang menyebabkan ligamen tertarik melebihi batas normal elastisitasnya (Jonh, 2011). Cedera sprain adalah cedera yang biasa terkena pada ligamen lateral ankle di sekitar persendian tulang yang dibentuk oleh permukaan tulang rawan sendi yang membungkus tulang-tulang yang berdampingan. Kerusakan serat ligamen sering dibarengi oleh perdarahan yang menyebar di sekeliling jaringan dan terlihat sebagai memar (Aronen, 2009). 2. Anatomi fungsional sendi pergelangan kaki (ankle joint) a. Tulang Sendi pergelangan kaki terbentuk dari deretan tulang-tulang. Pedis (ossa tarsi) tersusun atas: os tarsus, os metatarsus dan os phalanges. Tarsus tersusun atas: os talus, os calcaneus, os naviculare, ossa cuneiforme lateral- intermadiummediale dan os cuboideum. Os metatarsus tersusun atas metatarsale I- V, yang terbagi atas basis, corpus dan caput. Basis metatarsal I terdiri atas phalanx proximalis dan phalanx distal, sedangkan phalange II- V, terdiri atas phalanx media dan phalanx distal. Phalange tersusun atas phalanx I-V. Untuk os phalange 8 9 I terdiri atas phalanx proximalis dan distalis, sedangkan phalange II-V, terdiri atas phalanx proximalis, phalanx media dan phalanx distalis. b. Ligamentum Ligamen di kedua sisi ankle berfungsi untuk menopang tulang- tulang yang ada di persendian ankle. Ligamen pada ankle terbagi menjadi dua kelompok yaitu ligamen colateral lateral dan ligamen colateral medial. Ligamen colateral lateral terdiri dari ligamen talofibula anterior, ligamen calcaneofibular, ligamen talocalcaneal, dan ligamen talofibular posterior. Ligamen talofibular anterior melewati maleolus lateralis menuju talus bagian anterior dan berfungsi untuk membatasi gerakan plantar fleksi. Ligamen calcaneofibular dan ligamen talocalcaneal berjalan melewati maleolus lateral menuju calcaneus dan berfungsi untuk membatasi gerak dorsi fleksi ankle. Ligamen colateral medial atau ligamen deltoid terdiri atas ligamen tibionavicular, ligamen calcaneotibial, ligamen talotibial anterior dan ligamen talotibial posterior. Ligamen tibionavicular berjalan melewati bagian depan maleolus dan berfungsi untuk menghambat gerakan abduksi. c. Otot Otot penggerak gerakan ankle joint yaitu gerakan dorsi fleksi dilakukan oleh m. tibialis anterior dan gerakan plantar fleksi oleh m. gastrocnemius dan m. soleus. Otot- otot penggerak utama inversi m. tibialis posterior, sedangkan otototot penggerak utama eversi adalah m. peroneus longus dan m. peroneus brevis. 9 10 B. Problematika Fisioterapi Problematika yang muncul dari sprain ankle antara lain : 1. Impairment Pada tingkat impairment, problematika yang muncul adalah adanya nyeri pada sendi pergelangan kaki dan adanya keterbatasan LGS kaki (Taylor,1997). 2. Functional limitation Dilihat dari impairmentnya maka penderita merasakan ketidaknyamanan dan mengalami gangguan dalam aktivitas fungsional kaki seperti keterbatasan kemampuan jari-jari untuk bergerak , menendang bola, berjalan, berlari, dan lainlain (Taylor, 1997). 3. Participation restriction Merupakan permasalahan yang dihadapi seseorang dalam berinteraksi dengan masyarakat, pada atlet sepak bola mengalami kesulitan saat bermain dilapangan, kegiatan gotong- royong, dan lain-lain. C. Teknologi Intervensi Pada bab ini penulis akan dibahas mengenai teknologi intervensi yang akan digunakan untuk kasus sprain ankle: 1. Ultrasound Ultrasound therapy adalah suatu terapi menggunakan gelombang suara dengan frekuensi lebih dari 20000 Hz. Bunyi ini tidak dapat didengar oleh 10 11 manusia tetapi dapat berguna dalam bidang kesehatan antara lain untuk terapi pada frekuensi 0,7-3,3 MHz. a. Mesin ultrasound Mesin ultrasound terdiri dari dua sirkuit, yaitu primer dan sekunder. Sirkuit primer merupakan sebuah generator yang menghasilkan arus bolak balik berfrekuensi tinggi. Sirkuit primer ini akan dihubungkan dengan bahan piezoelectric yang terdapat di dalam treatment head, yang disebut sirkuit sekunder. Frekuensi dari sirkuit sekunder harus sama dengan sirkuit primer. Frekuensi dari sirkuit sekunder ditentukan oleh ketebalan dari bahan piezo-electric sehingga ketebalan dari bahan piezo-electric harus disesuaikan dengan frekunsi sirkuit primer yang sekaligus menentukan frekuensi dari mesin ultrasound tersebut. Dalam tranduser terdapat pula apa yang disebut area radiasi efektif (ERA atau Effecting Radiation Area). ERA adalah merupakan suatu data yang penting untuk menentukan dosis terapi oleh karena itu ERA harus selalu diukur dan dilaporkan (Sujatno, dkk, 2002). 1) Penyebaran gelombang ultrasound Penyebaran gelombang ultrasound didalam tubuh manusia timbul karena adanya dua fenomena yaitu adanya refleksi dan divergensi pada area divergen. Penyebaran gelombang ultrasound dapat menimbulkan efek pada jaringan lain diluar daerah pancaran bundle ultrasound akibat adanya pantulan/ refleksi dari media-media yang kuat daya refleksinya seperti metal, udara, dan jaringan tulang. 2) Penyerapan dan penetrasi pada gelombang ultrasound 11 12 Jika energi ultrasound masuk kedalam jaringan tubuh maka efek pertama yang diharapkan adalah efek biologis. Karena adanya penyerapan energi ultrasound tersebut, semakin dalam gelombang ultrasound masuk kedalam tubuh maka intensitasnya akan semakin berkurang dan penetrasi yang dapat dicapai juga berkurang. Penetrasi terdalam gelombang ultrasound pada jaringan tubuh dimana efek terapeutik masih bisa diharapkan dinyatakan dengan istilah penetration depth (P). Pada penetration depth intensitas ultrasound yang diberikan masih tersisa 10%. 3) Bentuk gelombang Bentuk gelombang dari ultrasound antara lain: (a) Continous yaitu gelombang yang dihantarkan secara terus - menerus, biasa diberikan pada kondisi akut dan (b) Intermitten yaitu gelombang yang terputus, dengan bentuk pulsa dan lamanya ditentukan oleh karakteristik mesin yang digunakan, biasa diberikan pada kondisi kronis (Sujatno, dkk, 2002). 4) Media penghantar Media penghantar diantara tranduser dan permukaan tubuh sifatnya mutlak agar energi ultrasound dapat masuk kedalam tubuh. Media penghantar yang baik harus memenuhi kriteria yaitu bersih dan steril pada keadaan tertentu, tidak terlalu cair (kecuali metode sub aqual), tidak cepat terserap kulit, tidak menyebabkan flek-flek, tidak menimbulkan iritasi kulit, mudah menghantarkan ultrasonic, transparan, dan murah. b. Efek dari ultrasound 1) Efek panas/ thermal 12 13 Panas yang dihasilkan tergantung dari nilai frekuensi gelombang yang dipakai, intensitas dan lama pengobatan. Jaringan yang paling besar mengabsorbsi panas adalah jaringan dengan komposisi kolagen tinggi. Efek thermal akan memberikan pengaruh yaitu memperlancar proses metabolisme, mengurangi nyeri dan muscle spasm, meningkatkan sirkulasi, dan meningkatkan ekstensibilitas jaringan lunak (Cameron, 1999). 2) Efek non-thermal Efek yang pertama kali didapat oleh tubuh adalah efek mekanik/ nonthermal. Gelombang ultrasound menimbulkan adanya peregangan dan perapatan didalam jaringan dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi dari ultrasound. Efek mekanik ini juga disebut dengan micro massage. Selain micro massage dihasilkan pula efek micro streaming. Pengaruhnya terhadap jaringan yaitu menggerakan cairan disekitar sel dan tissue fibers sehingga meningkatkan permeabilitas jaringan dan meningkatkan metabolisme (Low, 2000). c. Teknik aplikasi Teknik aplikasi ultrasound ada 2 yaitu Kontak langsung atau tranduser menempel langsung pada area yang diterapi dengan media penghantar (coupling media). Tujuan coupling media adalah untuk memaksimalkan jumlah gelombang ultrasonic yang masuk ke tubuh. Kontak tidak langsung terdiri dari ( Under water (menggunakan media air), Water pillow (menggunakan kantong plastik/ karet mengandung air. d. Indikasi dan kontraindikasi ultrasound 13 14 Indikasi pemberian ultrasound yaitu pada kondisi cedera muskuloskeletal seperti sprain ankle yaitu efek termal dari ultrasound akan memberi pengaruh memperlancar proses metabolisme, mengurangi nyeri dan muscle spasm, meningkatkan sirkulasi, dan meningkatkan ekstensibilitas jaringan lunak (Cameron, 1999). Sedangkan kontra indikasi ultrasound yaitu (1) penggunaan ultrasound pada daerah mata, jantung, uterus pada wanita hamil, epiphyseal plate, dan testis, (2) hilangnya sensibilitas, (3) post laminectomy, (4) DM, (5) septis-inflamations, (6) tumor, (7) post traumatik, (8) tromboplebitis dan varises, dan (9) endorprothese. e. Dosis Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan dosis antara lain: 1) Frekuensi Frekuensi terapi tergantung pada kondisi penyakit. Pada kondisi akut dapat diberikan setiap hari. Sedangkan pada kondisi kronis 2-3x/minggu. 2) Intensitas Intensitas dapat dibagi menjadi 3 yaitu 1,2-3 W/cm2 (kuat), 0,3-1,2 W/cm2 (sedang), <0,3 W/cm2 (rendah). 3) Lama terapi Lama terapi tergantung pada luas ERA dan area yang akan diterapi, misalnya dalam terapi menggunakan ERA dengan luas 3 cm2 dan luas area terapi 15 cm2 maka lama waktu terapi adalah 5 menit (diperoleh dari luas area terapi dibagi luas ERA). 14 15 2. Terapi Latihan Terapi latihan adalah upaya penyembuhan yang dalam pelaksanaanya menggunakan latihan gerak tubuh baik aktif maupun pasif (Priatna, 1985). Secara umum tujuan terapi latihan adalah untuk pencegahan disfungsi dengan pengembangan, peningkatan, perbaikan atau pemeliharaan dari kekuatan dan daya tahan otot dan kemampuan fungsional (Kisner dan Colby, 1996). Jenis terapi latihan antara lain : a. Active movement Active movment adalah gerakan yang timbul dari kekuatan kontraksi otot pasien itu sendiri secara sadar (Kisner, 1996). Teknik active movement yang digunakan adalah : a) Free active movement Free active movement merupakan suatu gerakan aktif yang dilakukan oleh adanya kekuatan otot dan anggota tubuh itu sendiri tanpa adanya bantuan dan tahanan kekuatan otot dari luar. Free active movement berfungsi untuk memperlancar sirkulasi darah sehingga bisa mengurangi oedema, dengan mengurangi oedema sekitar ankle maka akan mengurangi nyeri dan apabila latihan ini dilakukan secara berulang- ulang dapat memelihara kekuatan otot. Tujuan latihan ini adalah untuk menambah lingkup gerak sendi (LGS), menjaga elastisitas jaringan, mencegah pemendekan otot dan mengurangi nyeri (Kisner, 1996). b) Resisted Active Movement 15 16 Resisted active movement merupakan salah satu gerakan aktif dengan diberikan kekuatan dari luar berupa tahanan terhadap otot – otot yang sedang berkontraksi. Tahanan ini bisa berasal tahanan terapis yang menggunakan alat bantu seperti karet elastis dan berat badan pasien sendiri. Salah satu cara untuk meningkatkan kekekuatan otot adalah dengan meningkatkan tahanan secara bertahap. Active movement dengan tahanan merupakan latihan stabilisasi ankle yang bertujuan untuk membantu melindungi serta memperbaiki problem yang muncul akibat instabilitas atau nyeri yang di akibatkan oleh kelemahan otot. Latihan stabilisasi juga memperbaiki sistem peredaran darah oleh adanya pumping action sehingga mengatasi terjadinya pembengkakan yang dapat mengganggu gerak dan fungsi sendi dan mampu mengurangi nyeri pada level sensorik. Dengan berkurangnya nyeri, lingkup gerak sendi (LGS) bertambah akan menimbulkan peningkatan kemampuan menyangga beban tubuh sehingga meningkatkan kemampuan (Raymond, 1998). 16