BAB II TINJAUAN UMUM SERIKT PEKERJA, PERJANJIAN KERJA, DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA 2.1 Serikat Pekerja 2.1.1 Pengertian Serikat Pekerja Pengertian serikat pekerja/buruh menurut pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 adalah organisasi yang dibentuk oleh, dari, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan buruh/pekerja dan keluarganya. Demikian pula menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, definisi Serikat Pekerja/Serikat Buruh memiliki pengertian yang sama dengan apa yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Ketenagakerjaan. Ini menunjukkan bahwa kedua UndangUndang ini memiliki pemahaman yang sama tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Dari pengertian Serikat Pekerja dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh memuat beberapa prinsip dasar yakni:14 14 Lalu Husni, 2009, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta, h. 53. 19 1. Jaminan bahwa setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/buruh. 2. Serikat buruh dibentuk atas kehendak bebas buruh/pekerja tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah, dan pihak manapun. 3. Serikat buruh/pekerja dapat dibentuk berdasarkan sector usaha, jenis pekerjaan, atau bentuk lisan sesuai dengan kehendak pekerja/buruh. 4. Basis utama serikat pekerja/buruh ada di tingkat perusahaan, serikat buruh yang ada dapat menggabungkan diri dalam Federasi Serikat Buruh/Pekerja. Demikian halnya dengan Federasi Serikat Buruh/Pekerja dapat menggabungkan diri dalam Konfederasi Serikat Buruh/Pekerja. 5. Serikat buruh/pekerja, federasi dan Konfederasi serikat buruh/pekerja yang telah terbentuk memberitahukan secara tertulis kepada kantor Depnaker setempat, untuk dicatat. 6. Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat buruh/pekerja. 2.1.2 Dasar Hukum Serikat Pekerja Manusia adalah manusia dengan semua hak dasar yang melekat padanya karena kemanusiaannya. Jika hal ini dimengerti dengan tulus, maka gagasan hak-hak asasi manusia seharusnya merupakan paham bahwa ada hak-hak tertentu yang harus dihormati dan dilindungi oleh semua manusia pada semua zaman dan semua tempat 20 karena hak tersebut bersifat universal dan merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Esa.15 Ada beberapa dasar hukum, yang menjadikan seseorang dapat aktif berserikat tanpa perasaan takut atau dibatasi oleh pihak manajemen atau pihak-pihak lain. Dasar Hukum Serikat Pekerja yakni:16 1. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28. Pasal 28 UUD 1945 ini (khususnya pasal 28, 28C, dan 28F) memberikan hak kepada seluruh warga Negara untuk berserikat dan berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Pasal ini banyak dipakai sebagai dasar oleh para buruh untuk mendirikan buruh/pekerja. 2. Undang-undang No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh. 3. Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 5. Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi. 15 Bahder Johan Nasution, 2004, Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja, Ctk Kesatu, Mandar Maju, Bandung, h. 17. 16 Abdul Khakim, op. cit, h. 217. 21 6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep 16/Men/2001 tentang Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/ Serikat Buruh. 7. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 201/Men/2001 tentang Keterwakilan dalam Kelembagaan Hubungan Industrial. 8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per06/Men/IV/2005 tentang Pedoman Verifikasi Keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh. 2.1.3 Fungsi Serikat Pekerja Fungsi Serikat Pekerja/Buruh selalu dikaitkan dengan keadaan hubungan industrial. Hubungan industrial diartikan sebagai suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi dan jasa yang meliputi pengusaha, pekerja dan pemerintah.17 Sebagai perwakilan buruh/pekerja maka serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi:18 a. sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan industrial; 17 Sentanoe Kertonegoro, 1999, Hubungan Industrial, Hubungan Antara Pengusaha dan Pengusaha (Bipartid) dan Pemerintah (Tripartid), Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta, h. 2. Asri Wijayanti, 2004, “Fungsi Serikat Pekerja Dalam Peningkatan Hubungan Industrial”, (Cited 2011 September 27), available from: URL : http://ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article. 18 22 b. wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama dibidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya; c. sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraaturan perundangundangan yang berlaku; d. sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya; e. sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; f. sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham dalam perusahaan. Dalam pasal 102 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 juga disebutkan fungsi serikat pekerja dalam hubungan industrial yakni : “Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya”. 23 2.1.4 Hak dan Kewajiban Serikat Pekerja Berdasarkan pengertiannya Serikat Pekerja/Serikat Buruh diberikan jaminan, seperti yang diatur pada pasal 25-29, dan pasal 43 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh.19 Hak Serikat Pekerja/ Serikat Buruh : 1. membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha; 2. mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial; 3. mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan; 4. membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh; 5. melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6. Dapat berafiliasi dan atau bekerja sama dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh internasional atau organisasi internasionalnya lainnya. Kewajiban Serikat Pekerja/Serikat Buruh : 1. melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak-hak dan memperjuangkan kepentingannya; 2. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya; 19 Abdul Khakim, op. cit, h. 222. 24 3. mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada anggotanya sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. 2.2 Perjanjian Kerja Bersama 2.2.1 Pengertian Perjanjian Perjanjian kerja dalam bahasa Belanda disebut arbeidsovereenkoms. Pengertian perjanjian kerja dalam ketentuan pasal 1601a KUHPerdata, mengenai perjanjian kerja disebut bahwa : “Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak satu si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah”.20 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 1 angka 14 memberikan pengertian yakni : “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak”. Selain itu pengertian mengenai Perjanjian Kerja juga dikemukan oleh Prof. R. Imam Soepomo, S.H, yang menerangkan bahwa perihal pengertian tentang perjanjian 20 Djumadi, 2004, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Penerbit Rajagrafindo, Jakarta, h. 29. 25 kerja adalah : Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk memperjakan buruh itu dengan membayar upah.21 Selanjutnya perihal pengertian Perjanjian Kerja, pendapat Prof. Subekti, S.H. beliau menyatakan dalam bukunya Aneka Perjanjian, disebutkan bahwa Perjanjian Kerja adalah:22 “Perjanjian antara seorang buruh dengan seseorang majikan, perjanjian yang ditandai oleh ciri-ciri; adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas (dienstverhouding) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain.” 2.2.2 Perjanjian Kerja Bersama Istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) timbul setelah diundangkannya Undang-undang No.21 Tahun 2000. Istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) digunakan untuk menggantikan istilah sebelumnya yaitu Kesepakatan Kerja Bersama (KKB), dikarenakan pembuat undang-undang berpendapat bahwa pengertian dari Perjanjian Kerja Bersama (PKB) sama dengan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB).23 Perjanjian Perburuhan/Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) atau istilah yang dipergunakan dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 adalah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Collective Labour 21 Imam Soepomo, 1983, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta, 22 Soebekti, 1985, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, h. 58. 23 Asri wijayanti, loc.cit. h. 37. 26 Aggrement (CLA), atau dalam bahasa Belanda disebut dengan Collective Arbeids Overemkomst (CAO), perjanjian ini dikenal dalam khasanah hukum Indonesia berdasarkan ketentuan dalam hukum KUHPerdata.24 Sedangkan pengertian perjanjian perburuhan menurut Lotmar Tarifvertrage ialah suatu perjanjian antara seorang majikan atau lebih dengan sekelompok buruh yang memuat syarat-syarat upah dan kerja untuk perjanjian-perjanjian kerja yang akan diadakan kemudian.25 Perjanjian kerja bersama ini adalah semua perjanjian tertulis sehubungan dengan kondisi–kondisi kerja yang diakhiri dengan penandatangan oleh pengusaha, kelompok pengusaha atau satu atau lebih organisasi pengusaha disatu pihak dan pihak lain oleh perwakilan organisasi pekerja atau perwakilan dari pekerja yang telah disyahkan melalui peraturan dan hukum nasional. 26 Pengertian Perjanjian Kerja Bersama menurut KUHPerdata ditemukan dalam pasal 1601n sebagai berikut:27 “Persetujuan perburuhan kolektif adalah peraturan perburuhan yang dibuat oleh seseorang atau beberapa orang perkumpulan majikan yang berbadan hukum di satu 24 Lalu Husni, 2009, op.cit, h. 75. 25 F.X. Djumialdji dan Wiwoho Soejono,1987, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan Pancasila, Bina Aksara, Jakarta, h. 13. 26 ILO Recommendation No. 91 paragraf 2 27 Agusmidah, 2010, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Ghalia Indonesia, h. 48. 27 pihak, dan suatu perkumpulan buruh atau lebih yang berbentuk badan hukum, tentang syarat-syarat pekerjaan yang harus diindahkan sewaktu membuat persetujuan perburuhan.” Pasal 1 angka 21 Undang-undang No13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mendefenisikan sebagai berikut:28 “Perjanjian Kerja Bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/buruh atau beberapa serikat pekerja/buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.” Perjanjian kerja bersama adalah hak yang mendasar yang telah disyahkan oleh anggota-anggota ILO dimana mereka mempunyai kewajiban untuk menghormati, mempromosikan dan mewujudkan dengan itikad yang baik. Perjanjian kerja bersama adalah hak pengusaha atau organisasi pengusaha disatu pihak dan dipihak lain serikat pekerja atau organisasi yang mewakili pekerja. Hak ini ditetapkan untuk mencapai kondisi-kondisi pekerja yang manusiawi dan penghargaan akan martabat manusia (humane conditions of labour and respect for human dignity), seperti yang tercantum dalam Konstitusi ILO. Berdasarkan Pasal 1 angka 21 UU No. 13 Tahun 2003 jo Kepmenakertrans No. KEP.48/MEN/2004 tentang tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan serta pembuatan dan pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama, adalah 28 Ibid, h. 47. 28 perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. 29 Untuk menjaga agar isi perjanjian kerja bersama sesuai dengan harapan pekerja maka isi perjanjian kerja bersama haruslah memuat hal-hal yang lebih dari sekedar aturan yang berlaku (normatif), dengan membatasi masa berlakunya suatu perjanjian kerja bersama, guna untuk selalu dapat disesuaikan dengan kondisi riel dalam kehidupan bermasyarakat. Perjanjian Kerja Bersama tidak hanya mengikat para pihak yang membuatnya yaitu serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha saja, tetapi juga mengikat pihak ketiga yang tidak ikut di dalam perundingan yaitu pekerja/buruh, terlepas dari apakah pekerja/buruh tersebut menerima atau menolak isi perjanjian kerja bersama atau apakah pekerja/buruh tersebut menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh yang berunding atau tidak. Penggunaan istilah bersama dalam perjanjian kerja bersama ini menunjuk pada kekuatan berlakunya perjanjian yaitu mengikat pengusaha, atau beberapa pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pekerja/buruh itu sendiri. Penggunaan istilah bersama itu bukan menunjuk bersama dalam arti seluruh pekerja/buruh ikut 29 Ayu Kusuma Ning Dewi, 2006, Peranan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Dalam Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama, Karsa Murni, Medan, hal. 30. 29 berunding dalam pembuatan perjanjian kerja bersama karena dalam proses pembuatan perjanjian kerja bersama pekerja/buruh bukan merupakan pihak dalam berunding. 2.2.3 Dasar hukum Perjanjian Kerja Bersama Secara yuridis formal dasar hukum dari Perjanjian Kerja Bersama adalah: 1. Kepmenaker No. 48 tahun 2004 tentang Tata cara Pembuatan dan Pengesahan 2. Peraturan perusahaan serta pembuatan dan pengesahan Perjanjian Kerja Bersama. 3. Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 4. Undang-undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. 5. Undang-undang No. 18 tahun 1956 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 98. 6. Peraturan Pemerintah No. 49 tahun 1954 tentang Tata Cara Membuat dan Mengatur Perjanjian Perburuhan. 7. Undang-undang No. 21 tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Pekerja dan Majikan. 30 2.2.4 Syarat Sah Perjanjian Kerja Bersama Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata yang mengemukakan empat syarat, yaitu : 1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak 2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum 3. Adanya suatu hal tertentu 4. Adanya sebab yang halal Pengertian perjanjian kerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini tidak menyebutkan bentuk perjanjian kerja itulisan atau tulisan, demikian juga mengenai jangka waktunya ditentukan atau tidaksebagaimana sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan pengertian perjanjian kerja di atas dapat ditarik beberapa unsure dari perjanjian kerja yaitu: 1. Adanya unsur Pekerjaan (work) Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian). Pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja dan hanyadengan seizin majikanlah pekerja dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam KUH Perdata Pasal 1603 a yang berbunyi: “Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga untuk menggantikannya.” Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan 31 keterampilan/keahliannya. Maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia, perjanjian kerja tersebut putus demi hukum. 2. Adanya unsur Perintah Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan yang diperjanjikan. Di sinilah perbedaan hubungan kerja dengan hubungan lainnya, misalnya hubungan antara dokter dengan pasien dan pengacara dengan kliennya. Hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja karena dokter dan pengacara tidak tunduk pada perintah pasien dan klien. 3. Adanya Waktu Tertentu Dalam melakukan pekerjaan haruslah dilakukan sesuai dengan waktu yang ditentukan dalam perjanjian kerja atau peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dalam melakukan pekerjaannya tidak boleh sekehendak hati dari majikan atau dilakukan seumur hidup. Pekerjaan harus dilakukan sesuai dengan waktu yang ditentukan pada perjanjian kerja atau peraturan perusahaan dan pelaksanannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kebiasaan dan ketertiban umum. Dalam praktek saat ini mengenai jangka waktu ini dikenal dua jenis yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja dengan Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). 32 4. Adanya upah Upah memegang peranan penting dalam hubungan perjanjian kerja. Bahkan dapat dikatakan tujuan utama seorang pekerja bekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah maka suatu hubungan tersebut bukanlah merupakan hubungan kerja. Seperti seorang narapidana yang diharuskan untuk melakukan pekerjaan tertentu atau seorang mahasiswa perhotelan yang sedang malakukan praktek di sebuah hotel.30 Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata maksudnya bahwa pihak-pihak yang melakukan perjanjian kerja harus sepakat, seia sekata mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Apa yang dikehendaki pihak yang satu harus dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang ditawarkan dan pihak pengusaha menerima pekerja tersebut untuk dipekerjakan. Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian merupakan syarat mutlak, maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha harus dalam keadaan cakap membuat perjanjian. Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batas umur minimal 18 tahun.92 Selain itu, seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwanya (waras). 30 Djumadi, 2004, Perjanjian Kerja, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13 33 Adanya pekerjaan yang diperjanjikan dalam istilah Pasal 1320 KUH Perdata adalah hal tertentu. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan objek dari perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak. Objek perjanjian yaitu pekerjaan harus halal, yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas. Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian kerja tersebut sah. Syarat kemauan bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subjektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian sedangkan syarat adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan tersebut harus halal sebagai syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian. Kalau syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum artinya dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Jika yang dipenuhi adalah syarat subjektif maka akibat hukum dari perjanjian tersebut dapat dibatalkan, pihak-pihak yang tidak memberikan persetujuan secara bebas demikian juga oleh orang tua/wali atau pengampu bagi pihak yang tidak cakap membuat perjanjian dapat meminta pembatalan kepada hakim. Dengan demikian perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh hakim. 34 2.2.5 Tahap Pembentukan Perjanjian Kerja Bersama Seperti lazimnya perjanjian, pembuatan perjanjian kerja bersama juga ada ketentuan yang berlaku. Ketentuan yang dimaksud adalah:31 1. Salah satu pihak (serikat pekerja/serikat buruh atau pengusaha) mengajukan pembuatan perjanjian kerja bersama secara tertulis, disertai konsep perjanjian kerja bersama. 2. Minimal keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh 50% dari jumlah pekerja/buruh yang ada pada saat pertama pembuatan perjanjian kerja bersama. 3. Perundingan dimulai paling lambat tiga puluh hari sejak permohonan tertulis. 4. Pihak-pihak yang berunding adalah pengurus serikat pekerja/serikat buruh dan pimpinan perusahaan yang bersangkutan, dengan membawa surat kuasa masing-masing. 5. Perundingan dilaksanakan oleh tim perunding dari kedua belah pihak, masing-masing lima orang. 6. Jangka waktu perundingan bipartit adalah tiga puluh hari sejak hari pertama dimulainya perundingan. 7. Tata tertib perundingan sekurang-kurangnya memuat: 31 Abdul Khakim, op. cit, h. 100. 35 a) Tujuan pembuatan tata tertib, b) Susunan tim perunding, c) Lamanya masa perundingan, d) Materi perundingan, e) Tata cara perundingan, f) Cara penyelesaian apabila terjadi kebuntuan perundingan, g) Sahnya perundingan, h) Biaya perundingan, 8. Selama proses perundingan masing-masing pihak dapat berkonsultasi kepada pejabat instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan. 9. Apabila perundingan gagal dan tidak tercapai sesuai dengan jangka waktu yang disepakati dalam tata tertib, maka kedua pihak dapat menjadwal kembali perundingan tersebut dengan jangka waktu paling lam tiga puluh hari setelah perundingan gagal. 10. Apabila upaya perundingan ulang pada butir 9 tidak menyelesaikan pembuatan perjanjian kerja bersama (PKB), salah satu pihak atau kedua pihak melaporkan dan meminta bantuan penyelesaian pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. 11. Penyelesaian oleh instansi sebagaimana dimaksud butir 10 dilakukan dengn mengacu Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 36 12. Apabila upaya penyelesaian dimaksud butir 10 dilakukan melalui mediasi dan para pihak atau salah satu pihak tidak memediator melaporkan, maka atas kesepakatan para pihak, mediator melaporkan kepada menteri untuk menetapkan langkah-langkah penyelesaian. 13. Sebagai tindak lanjut, menteri dapat menunjuk pejabat untuk melakukan penyelesaian pembuatan PKB. 14. Apabila upaya penyelesaian oleh pejabat yang ditunjuk menteri tidak mencapai kesepakatan, salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial di daerah hukum tempat pekerja/buruh bekerja. 15. Apabila daerah hukum tempat pekerja/buruh bekerja melebihi satu daerah hukum pengadilan hubungan industrial, gugatan diajukan pada pengadilan hubungan industrial yang daerah hukumnya mencakup domisili perusahaan. Menurut Undang-Undang No 13 Tahun 2003 dalam hal disatu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh, maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan PKB dengan pengusaha apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50 % (limapuluh persen) dari jumlah seluruh pekerja/ buruh diperusahaan yang bersangkutan (Pasal 119 ayat (1)). Dalam hal disatu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki anggota lebih dari 50% 37 (limapuluh persen) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam melakukan perundingan dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% (limapuluh persen) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara (Pasal 119 ayat (2). Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan untuk merundingkan PKB dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan suara dengan mengikuti prosedur semula.32 Jika dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha yang jumlah keanggotaanya lebih dari 50% (limapuluh persen) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut (Pasal 120 ayat (1)). Dalam hal ketentuan tersebut tidak terpenuhi, maka serikat pekerja/buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (limapuluh persen) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha (Pasal 120 ayat (2)). Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud di atas tidak terpenuhi, maka serikat pekerja/serikat buruh 32 Lalu Husni, op. cit, h. 83. 38 membentuk tim perunding yang keanggotaanya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh (Pasal 120 ayat (3)). 33 2.2.5 Para Pihak yang Membuat Perjanjian Kerja Bersama Kewenangan pembuatan PKB adalah berkaitan dengan pihak yang dapat dan mempunyai wewenang untuk membuat PKB. Dari pengertian PKB tersebut diatas sudah dapat diketahui siapa saja para pihak yang dapat melakukan pembuatan PKB. Para pihak tersebut adalah serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha/gabungan pengusaha. PKB disusun oleh pengusaha dan serikat pekerja yang terdaftar dan dilaksanakan secara musyawarah untuk mencapai mufakat. PKB hanya dapat dirundingkan dan disusun oleh serikat pekerja yang didukung oleh sebagian besar pekerja di perusahaan yang bersangkutan. Dengan demikian para pihak atau subyek yang membuat PKB adalah dari pihak buruh/pekerja diwakili oleh serikat pekerja/buruh atau beberapa serikat pekerja/buruh diperusahaan itu dengan pengusaha atau perkumpulan pengusaha.34 Pekerja diwakili oleh serikat pekerja dimaksudkan agar pekerja lebih kuat posisinya dalam melakukan perundingan dengan majikan karena pengurus serikat 33 Lalu Husni, op.cit, h. 84. 34 Lalu Husni, op.cit, h. 82. 39 pekerja umumnya akan dipilih dari orang yang mampu memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya.35 Adapun yang dimaksud dengan pengusaha terdapat dalam Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 jo Pasal 1 ayat (4) Keputusan Menteri Tenaga Kerja danTransmigrasi Nomor : KEP-48/MEN/IV/2004, adalah: 1. Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri. 2. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya. 3. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan a dan b tersebut diatas, yang berkedudukan diluar wilayah Indonesia. Ketentuan tentang cara pembuatan Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana paparan di atas menunjukkkan bahwa pekerja/buruh maupun pengusaha harus menjunjung tinggi asas demokrasi khususnya dalam menentukan serikat buruh/pekerja yang paling berhak membuat PKB dengan pihak pengusaha.36 2.2.6 Masa Berlaku Perjanjian Kerja Bersama Masa berlakunya PKB paling lama 2 (dua) tahun dan hanya dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara serikat 35 Lalu Husni, loc.cit. 36 Lalu Husni, op.cit, h. 84. 40 pekerja/buruh dengan pengusaha.37 Selain perjanjian perburuhan berakhir karena waktunya sudah habis, dapat juga perjanjian perburuhan berakhir sewaktu-waktu yaitu adanya kemungkinan untuk mohon kepada pengadilan agar perjanjian perburuhan itu dinyatakan berakhir karena alasan-alasan yang memaksa yaitu bilamana tidak diperhatikan menimbulkan rasa tidak adil.38 Dalam Pasal 124 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa Perjanjian Kerja Bersama paling sedikit memuat : a. Hak dan kewajiban pengusaha; b. Hak dan kewajiban serikat pekerja/buruh serta pekerja/buruh; c. Jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; d. Tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama. Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 124 ayat 2). Jika isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 124 ayat 3). Ketentuan ini menggariskan tentang acuan hukum dalam membuat berbagai perjanjian dalam hubungan kerja Perjanjian Kerja Bersama (PKB) sebagai perjanjian induk di perusahaan dalam pembuatannya harus mengacu pada peraturan perundang-undangan 37 Lalu Husni, loc.cit. 38 F.X. Djumialdji dan Wiwoho Soejono, op.cit, h. 25. 41 yang berlaku, demikian halnya dengan perjanjian kerja substansinya tidak boleh bertentangan dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). 42